beberapa perbedaan antara audit investigasi dengan audit forensik
TRANSCRIPT
Beberapa Perbedaan antara Audit Investigasi dengan Audit Forensik
- Dasar pelaksanaan audit investigasi antara lain: kewenangan yang ada pada lembaga audit,
satuan pengawas, permintaan dari DPR, dewan komisaris atau manajer suatu perusahaan, atau
ketentuan lain sebagai dasar pelaksanaan. Sedangkan dasar audit forensik ialah pasal 120 ayat (1)
KUHAP. Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.
Permintaan penyidik dapat dikelompokkan dua hal, yaitu:
(1) Permintaan menghitung kerugian negara, yang dilakukan oleh auditor untuk membuat
keterangan ahli dan sebagai bukti kesaksian di sidang pengadilan; (2) Permintaan untuk menjadi
saksi ahli di mana auditor tidak diminta untuk menghitung kerugian negara, melainkan hanya
diminta pendapat sebagai seorang yang ahli dalam bidang keuangan dan akuntansi serta
mengetahui tentang korupsi.
- Tanggung jawab pelaksanaan audit investigasi adalah pada lembaga audit atau satuan
pengawas, sedangkan audit forensik berada pada pribadi auditor. Apabila keterangan yang
diberikan kepada penyidik atau keterangan di sidang pengadilan palsu, auditor akan dikenai
sanksi.
- Tujuan audit investigasi adalah mengadakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya,
serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi
dari masyarakat. Sedangkan audit
forensik bertujuan membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana khusus yang
sedang dihadapi penyidik, serta mengumpulkan bukti-bukti dokumenter/surat untuk mendukung
dakwaan jaksa.
- Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar auditing serta disesuaikan dengan
keadaan yang dihadapi. Sedangkan audit forensik mengacu pada standar auditing dan
kewenangan penyidik, dengan demikian, auditor dapat menggunakan prosedur yang lebih luas.
- Dalam merencanakan dan melaksanakan audit investigasi, auditor menggunakan skeptic
profesionalisme serta menerapkan azas praduga tak bersalah. Sedangkan untuk audit forensik,
dari hasil penyelidikan/penyidikan,
penyidik telah memperoleh bukti awal bahwa tersangkanya telah melakukan perbuatan melawan
hukum.
- Tim yang melaksanakan audit investigasi sebaiknya oleh tim atau minimal salah satu auditor
yang telah mengembangkan temuan audit sebelumnya. Tim audit baru dapat dibentuk apabila
sumber informasi berasal dari informasi
dan pengaduan masyarakat. Sedangkan dalam audit forensik dapat dibentuk tim audit baru,
dalam hal demikian, lebih baik dipilih auditor yang pernah melaksanakan tugas bantuan tenaga
ahli untuk kasus yang sama atau hampir sama. Selanjutnya, salah satu dari tim audit harus
bersedia menjadi saksi ahli di sidang pengadilan.
- Untuk persyaratan tim audit investigasi, auditor ‘sebaiknya’ yang menguasai masalah akuntansi
dan auditing, serta mengetahui beberapa ketentuan hukum perundang-undangan. Sedangkan
audit forensik, auditor ‘harus’ memahami masalah akuntansi dan auditing, karena belum tentu
obyek yang diperiksa telah menyelenggarakan akuntansi sesuai prinsip yang lazim, serta
mengetahui sedikit tentang hukum.
- Laporan hasil audit untuk audit investigasi menetapkan siapa yang terlibat atau bertanggung
jawab, dan ditandatangani oleh kepala lembaga/satuan audit. Sedangkan untuk laporan hasil
audit forensik aditor berkewajiban membuat dan menandatangani keterangan ahli atas nama
auditor. Salah satu auditor di BAP sebagai saksi ahli di sidang pengadilan. Dalam hai ini
wewenang penyidik adalah menetapkan siapa yang telah melakukan peristiwa pidana
sebagaimana pasal 55 dan 56 KUHP.
Audit investigasi dan audit forensik termasuk audit ketaatan, namun dalam praktek, ketentuan
yang harus ditaati sangat luas, terutama menyangkut kebijakan manajemen, hukum formal
maupun hukum material dan lain-lain.
Audit investigasi dan forensik merupakan audit yang bertujuan untuk menemukan kecurangan.
Kecurangan yang sering dijumpai dalam praktek di Indonesia antara lain:
- Kecurangan yang merugikan perusahaan swasta, baik dilakukan manajemen maupun karyawan
yang berupa pencurian, penggelapan, pemalsuan dan lain-lain.
Apabila hal tersebut terjadi pada BUMN/BUMD yang menggunakan modal dan kelonggaran
dari negara dan masyarakat, maka tindak pidana tersebut termasuk tindak pidana korupsi.
- Kecurangan yang menguntungkan perusahaan, seperti mark up laporan keuangan yang dipakai
untuk mengajukan kredit bank agar memperoleh kredit dalam jumlah besar, atau memanipulasi
pencatatan agar sedikit mungkin membayar pajak ke negara, manipulasi dalam penjualan yang
menguntungkan perusahaan sendiri, dan melanggar ketentuan pemerintah dalam operasi
bisnisnya.
- Kecurangan yang dilakukan manajemen dengan melakukan mark up laporan keuangan yang
tujuannya agar manajemen kelihatan berhasil, perusahaan memperoleh laba sehingga manajemen
dipertahankan oleh RUPS atau agar mendapatkan tantiem yang besar.
- Kecurangan yang terjadi pada instansi pemerintah atau BUMN/BUMD pada umumnya pasti
merugikan negara.
II. Memahami Ketentuan Hukum Berkaitan dengan Audit Investigasi dan Audit Forensik.
- Dalam Kode etik Akuntan Indonesia dikemukakan bahwa setiap anggota harus selalu
mempertahankan nama baik profesi dan menjunjung tinggi peraturan dan etika profesi serta
hukum di mana ia melaksanakan kerjanya.
- Setiap anggota harus menolak setiap penugasan yang tidak akan dapat diselesaikannya atau
tidak sesuai dengan keahlian profesionalnya.
- Penjelasan pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa menjadi saksi adalah satu kewajiban
setiap orang.
- Pasal 120 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
- Pasal 224 KUHP berkaitan dengan sanksi bagi siapa yang menolak menjadi saksi.
- Pasal 187 butir c KUHAP, yaitu keterangan ahli termasuk bukti surat
- Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 24 Prp Th. 1960 berhubungan dengan kewajiban memberi
keterangan menurut pengetahuannya masing-masing
- sebagai saksi, termasuk akuntan.
- Pasal 274 ayat (1) dan (3) RIB mengatur mengenai orang-orang yang tidak didengar sebagai
saksi seperti keluarga sedarah, suami, dan isteri.
- Pasal 7 ayat (1) dan pasal 22 UU No.3/1971 berkaitan dengan kewajiban memberi keterangan
kepada penyidik dalam kapasitas sebagai saksi.
- Pasal 35 UU No. 31/1999 berkaitan dengan pengecualian kewajiban sebagai saksi.
- Tanggung jawab administrasi pegawai negeri, PP 30/1980 dan pasal 89 Keppres 16/1994.
- Tanggung jawab keuangan pegawai negeri, Pasal 55, 74, 77 ICW dan 1365 KUPDt.
- Tanggung jawab pidana korupsi pegawai negeri, pasal 1 ayat (1) butir a, b, c, e beserta
penjelasannya dan ayat (2) UU No. 3/1971.
- Tanggung jawab pidana umum beberapa pasal di KUHP: 209, 210, 418, 419, 420 (delik
penyuapan), 415, 416, 417 (delik penggelapan), 423, 425 (delik kerakusan), 387, 388, 435 (delik
pemborongan, leveransir dan rekanan).
- PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
- Ketentuan mengenai tuntutan ganti rugi dan perbendaharaan.
- Beberapa pasal KUHPdt yang perlu diketahui auditor karena sering dijumpai dalam praktek,
seperti pasal: 1359, 1360, 1361, 1362, 1963, 1964, dan 1965.
Masalah hukum di suatu negara mungkin berbeda dengan negara lain, terutama mengenai hukum
yang berhubungan dengan tindak pidana. Pelaku tindak pidana sesuai KUHP diatur dalam pasal
55 dan 56. Dengan memperhatikan pasal tersebut diharapkan auditor lebih berhati-hati. Pasal 39
ayat (2) Keppres No. 16/1994 dinyatakan: ‘Barang siapa menandatangani dan atau mengesahkan
suatu bukti yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh hak dan atau pembayaran
dari negara bertanggung jawab atas kebenaran dan sahnya surat bukti surat tersebut.’ Ketentuan
tersebut menjadi bertentangan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan tanggung jawab renteng.
Sebagai contoh, ketika atasan menyuruh bawahannya bertindak menyalahi penggunaan
anggaran, maka orang pertama yang terlibat secara formal adalah orang yang menandatangani,
misalnya seorang petugas telah menandatangani berita acara penerimaan barang.
III. Pelaksanaan Bantuan Tenaga Ahli
Kasus yang ditangani penyidik pada umumnya kasus hasil penyelidikan polisi atau jaksa, namun
ada juga yang berasal dari laporan lembaga audit yang menyatakan adanya indikasi tindak
pidana korupsi.
Apabila lembaga audit menerima surat dari kepolisian atau kejaksaan yang isinya meminta
bantuan tenaga ahli untuk menghitung kerugian negara, maka lembaga audit menunjuk tim yang
akan melaksanakan bantuan.
1. Penunjukan tim audit untuk melaksanakan penelitian awal
Untuk kasus yang berasal dari lembaga audit, sebaiknya dilakukan oleh tim atau salah satu
anggota tim yang pernah melaksanakan audit investigasi untuk kasus terkait. Sedangkan untuk
kasus yang baru dan merupakan hasil penyilidikan jaksa atau polisi, tim dipilih terutama mereka
yang pernah melaksanakan bantuan kepada penyidik untuk kasus yang relatif sama.
Tim harus menguasai akuntansi, auditing, dan sedikit mengetahui hukum dan perundang-
undangan.
2. Penelitian awal terhadap kasus yang akan diaudit
Agar pekerjaan bantuan audit tersebut dapat dilaksanakan secara cepat dan tepat, sebaiknya
untuk kasus hasil penyelidikan jaksa atau polisi dapat ditempuh dua cara sebagai berikut:
- Penyidik memaparkan kasus tersebut dihadapan auditor.
- Lembaga audit menugaskan tim untuk memperoleh gambaran kasus dengan mendatangi kantor
penyidik.
Apabila alternatif kedua yang dipilih, maka dalam penelitian awal tim audit:
- Menanyakan kepada penyidik mengenai perintah penyidikan.
- Apabila dalam penanganan kasus diperlukan surat izin, misalnya kasus kredit bank, maka
auditor menanyakan apakah telah ada izin dari BI.
- Mencari tahu apakah terdakwanya ditahan atau tidak.
- Bukti-bukti surat apa saja yang telah disita.
- Auditor mempelajari BAP terdakwa dan BAP para saksi.
- Setelah memperoleh gambaran kasus yang dihadapi, selanjutnya memperkirakan bukti-bukti
surat apa saja yang masih diperlukan.
- Umumnya, pada setiap kasus terdapat perbedaan, sehingga data yang diperoleh dalam
penelitian awal juga berbeda.
3. Pembentukan tim audit
Tim yang melaksanakan audit sebaiknya yang telah terjun pada penelitian awal, namun juga
tidak harus dipaksakan. Contoh kasus yang sulit dan makan tenaga adalah manipulasi keuangan
dengan memanipulasi pencatatan, pengerjaan akuntansi tidak sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum, dan buku besar belum dibuat.
4. Pelaksanaan Audit
Dalam melaksanakan audit sebaiknya auditor memfokuskan pada pemeriksaan bukti surat. Pada
kasus tindak pidana khusus, auditor harus mengaudit suatu transaksi dari awal sampai akhir
dengan mempelajari ketentuan yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Sebagai contoh, kasus
kredit macet non bisnis mengacu pada ketentuan berikut ini.
- UU Perbankan.
- Ketentuan kredit dari BI dan bank bersangkutan.
- Ketentuan hukum perdata.
- Ketentuan agraria apabila agunannya berupa tanah.
- UU yang berhubungan dengan hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
- Ketentuan lain yang ada hubungannya dengan kasus yang diaudit.
Apabila terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum
material. Auditor harus mengumpulkan bukti-bukti tersebut. Perhitungan kerugian negara harus
pasti atau minimal tidak boleh sangkaan atau digeneralisir. Apabila kerugian negara belum dapat
dihitung, sebagai contoh, agunan bank belum dijual, sebaiknya kerugian negara didasarkan pada
kerugian terhadap perekonomian negara.
5. Keterangan ahli
Apabila perkara sudah jelas permasalahannya dan telah ada persesuaian
dengan penyidik, auditor membuat keterangan ahli. Keterangan ahli ditandatangani tim audit
(bukan kepala lembaga audit). Sebaiknya, digunakan kertas polos dalam membuat keterangan
ahli.
6. Auditor di-BAP
Auditor yang akan menjadi saksi ahli di siding pengadilan di-BAP oleh penyidik. Namun
berdasarkan pengalaman, justru auditor yang mempersiapkan BAP karena harus sejalan dengan
keterangan ahli. Hal demikian dapat dimaklumi karena untuk kasus tertentu yang mengetahui
secara detail permasalahannya adalah auditor. Pertanyaan dan jawaban dalam BAP dibuat
sedemikian rupa, sehingga mencerminkan BAP saksi ahli. Sebelum di-BAP, auditor disumpah
terlebih dahulu.
7. Auditor menjadi saksi ahli di siding pengadilan
Seringkali ketika persidangan pada pokok perkara, status auditor sebagai saksi ahli
dipermasalahkan oleh penasehat hukum. Pertanyaan hakim dan penasehat hukum umumnya
bebas, sehingga saksi ahli sebaiknya pengetahuannya luas. Jawaban saksi ahli diupayakan tidak
timbul pertanyaan baru, dan auditor harus berusaha sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditarik
ke masalah hukum atau yang di luar keahlian auditor atau kasus yang menjadi kasus perdata.
IV. Audit Investigasi
1. Menerapkan azas praduga tak bersalah
Dalam audit investigasi, terutama yang didasarkan pada informasi atau pengaduan masyarakat,
auditor harus menerapkan azas praduga tak bersalah dalam merencanakan dan melaksanakan
tugasnya. Seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selanjutnya, auditor tetap
diperbolehkan menerapkan sikap skeptisme profesionalismenya. Hal demikian berarti, auditor
tidak boleh menganggap manajemen sebagai orang yang tidak jujur, namun juga tidak boleh
menganggap manajemen sebagai orang yang
tidak diragukan kejujurannya. Sebaiknya auditor tidak berasumsi bahwa
pelaku salah meskipun informasi dari masyarakat sudah mempublikasikan di media massa
sedemikian rupa. Berdasarkan pengalaman, hal demikian lebih berhasil. Sebagai contoh, dalam
melakukan wawancara dengan mereka yang diduga terlibat, auditor harus berpenampilan secara
wajar dan tidak menimbulkan sikap yang dapat memberi kesan bahwa auditor hanya mencari
kesalahan. Hal demikian, selain dapat menciptakan suasana yang tidak tegang antara auditor
dengan yang diperiksa, juga dapat mempermudah memperoleh bukti atau informasi yang benar
dari mereka. Di samping itu, auditor juga harus menyadari bahwa kecurangan pada umumnya
terjadi karena persengkokolan (kolusi), sehingga asumsi bahwa yang diperiksa telah melakukan
kesalahan atau kecurangan, hanya membuat kasus sulit untuk dibongkar.
Pada waktu membuat laporan audit investigasi, azas praduga tak bersalah juga harus diterapkan.
Dalam laporan audit digunakan kata ‘diduga’, misalnya:
- Pemimpin proyek diduga telah melanggar ...
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan kolusi.
- Pemimpin proyek diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
2. Sumber informasi audit investigsi
Sumber informasi audit investigasi dapat berupa:
- Pengembangan temuan audit sebelumnya, seperti audit terhadap laporan keuangan dan audit
opersional.
- Adanya pengaduan dari masyarakat.
- Adanya permintaan dari dewan komisaris atau DPR untuk melakukan audit, misalnya karena
adanya dugaan manajemen/pejabat melakukan penyelewengan.
3. Penelitian awal terhadap pengaduan masyarakat
Informasi dari masyarakat belum tentu jelas atau disertai data yang akurat. Oleh karena itu,
sebaiknya diadakan penelitian awal terlebih dahulu. Namun, auditor harus berterima kasih,
karena masih ada masyarakat yang peduli terhadap permasalahan yang merugikan negara,
masyarakat, atau perusahaan.
Penelaahan awal terhadap informasi untuk menentukan apakah cukup alasan untuk dilakukan
audit investigasi. Salah satu criteria agar dapat dilakukan audit ini adalah apakah ada indikasi
yang merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara setelah diadakan penelaahan
informasi awal yang disertai dengan bukti-bukti yang diperoleh.
Dari penelitian awal diperoleh gambaran kasus dan dua kesimpulan:
- Tidak cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi.
- Cukup alasan untuk diadakan audit investigasi.
Apabila cukup alasan, maka dibentuk tim dan dianggarkan waktu pelaksanaannya.
4. Program pemeriksaan untuk audit investigasi
Program audit untuk audit investigasi umumnya sulit ditetapkan telebih dahulu atau dibakukan.
Kalau audit investigasi yang dilaksanakan merupakan pengembangan temuan audit sebelumnya,
seperti finacial audit dan operational audit, auditor dapat menyusun langkah audit yang hendak
dilaksanakan.
Meskipun demikian, terkadang setelah dilaksanakan, banyak mengalami penyesuaian atau
perubahan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan modus operandi antara kasus yang
satu dengan yang lain. Di samping itu, modus operandi praktek kecurangan atau korupsi di
Indonesia jauh lebih banyak macamnya jika dibandingkan di negara maju, seperti:
penyalahgunaan wewenang, pemalsuan, penipuan, kolusi, nepotisme, menghalalkan segala cara,
dan selalu berlindung di balik pembenaran hukum. Auditor mungkin menghadapi satu kasus saja,
contohnya yaitu pemberian kredit bank yang tidak benar. Namun demikian, adanya
kemungkinan auditor menemukan lebih dari satu kasus, seperti L/C fiktif dan pembelian fiktif.
Dengan demikian, setiap transaksi merupakan kasus berdiri sendiri. Prosedur audit yang
diterapkan tergantung dari kasus yang dihadapi. Umumnya, penerapan prosedur audit pada
financial audit juga dapat membongkar beberapa kasus. Demikian halnya, program pemeriksaan
untuk audit investigasi akan mengaudit setiap transaksi dari awal sampai akhir, dan harus sesuai
dengan ketentuan yang umum dan ketentuan dari obyek yang diperiksa. Sebagai contoh, untuk
kasus pembelian fiktif dimulai dari dasar pengadaan barang, pelaksanaan pembelian,
pembayaran dan pemanfaatan dari barang yang dibeli. Pengadaan barang yang sebetulnya bisa
dibeli melalui cabang dengan harga relatif murah, tetapi, apabila pengadaannya disentralisir di
pusat umumnya banyak terjadi pemborosan.
Apabila laporan keuangan dimanipulasi manajemen, sepanjang proses akuntansinya telah
dilakukan, maka dilanjutkan dengan mencari modus operandi kecurangan. Tanpa terlebih dahulu
dikerjakan akuntansinya, lebih sulit menentukan jumlah kecurangan secara pasti, misalnya
sebagian besar transaksi tidak dibuatkan buku besar dan entitas mempunyai banyak unit operasi
yang bersifat responsibility center dan decentralized. Apabila pimpinan entitas menyusun sendiri
laporan keuangan, maka auditor harus berhati-hati karena ada kemungkinan dia akan melakukan
manipulasi keuangan. Korupsi yang dilakukan dengan kolusi atau penyalahgunaan wewenang
umumnya melibatkan banyak orang, yaitu dari atasan sampai bawahan. Modus operandi untuk
pembelian barang habis pakai fiktif, baik
sebagian atau seluruhnya yitu dengan menaikkan harga. Agar rekanan bersedia diajak kolusi
tentu dipilih rekanan yang mempunyai hubungan istimewa dan penawaran harga dilaksanakan
secara formalitas. Rekanan seolah-olah mengirim barang, dan petugas penerima barang karena
merasa sebagai bawahan menurut saja disuruh menandatangani berita acara penerimaan barang
fiktif. Selanjutnya, kepala gudang ikut menandatangani berita acara penerimaan barang dan
bagian administrasi mencatatnya pada kartu persediaan. Bagian yang memerlukan barang
disuruh membuat bon permintaan barang fiktif dan seringkali beberapa bagian lain ikut
dilibatkan. Sebagai auditor, apabila audit dilakukan enam bulan setelah terjadinya transaksi
tersebut, maka akan mengalami kesulitan membuktikannya karena
mereka tentu bersatu. Dalam kondisi tersebut, yang paling sulit adalah memecah ‘persatuan
mereka’. Tentunya, masing-masing auditor mempunyai
teknik tersendiri dengan berprinsip bahwa tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sempurna.
5. Pelaksanaan audit investigasi
Apabila dari penelitian awal dapat disimpulkan bahwa audit dapat dilaksanakan, maka dibuat
surat tugas. Sebelum diterbitkan surat penugasan, obyek disuruh menyusun pembukuan
sebagaimana mestinya, dan audit baru dimulai setelah pembukuan dan laporan keuangan dibuat.
Berbeda dengan audit forensik, bagaimanapun sulitnya melakukan audit, maka
auditor tetap harus melaksanakan. Sebagai contoh, kasus manipulasi keuangan melalui
manipulasi pembukuan yang terjadi di suatu entitas yang mempunyai banyak unit. Masing-
masing unit ada yang mengelola keuangan, ada juga yang tidak, bahkan buku besar tidak/belum
dibuat.
Untuk perencanaan, pelaksanaan dan pembuatan laporan audit, sebaiknya auditor menggunakan
azas praduga tak bersalah.
Setiap temuan harus didukung dengan bukti secara lengkap, terutama dokumen yang.Pemeriksa
No. 84 April 2002 39 mendukung transaksi. Bukti dokumen jauh lebih kuat daripada bukti
pengakuan. Apabila hasil audit diserahkan kepada kejaksaan, maka pengakuan bukan/tidak
termasuk bukti surat. Pengumpulan bukti pendukung sangat penting, terutama apabila laporan
audit akan diserahkan kepada kejaksaan. Pengakuan dari mereka yang diduga terlibat atau
bertanggung jawab hanya berlaku selama pengakuan tersebut diakui oleh yang bersangkutan. Di
samping itu, pengakuan bukan sebagai bukti
audit apabila hanya pelengkap yang memperkuat bukti audit yang ditemukan auditor.
Kemungkinan auditor tidak dapat memperoleh bukti yang kompeten apabila terjadi kolusi atau
pemalsuan bukti. Prosedur audit yang dirancang secara efektif akan mendapati banyak kendala
dalam menghadapi adanya kolusi dan
pemalsuan.
6. Kertas kerja audit investigasi
Kertas kerja audit bisa disusun sebagai berikut:
- Kertas kerja audit yang umum, yaitu menyangkut data umum obyek atau kegiatan yang
diperiksa termasuk ketentuan yang harus dipatuhi.
- Kertas kerja audit untuk setiap orang yang diduga terlibat, yaitu berisi antara lain: identitas
seseorang, tindakan yang melanggar hukum serta akibatnya yang dilengkapi dengan bukti yang
mendukung.
Selain itu, dapat pula disusun per tahapan transaksi seperti pada kasus kredit macet, antara lain:
tahap permohonan kredit, tahap perhitungan 5C, tahap pencairan dan penggunaan kredit, serta
tahap setelah kredit cair sampai dinyatakan macet.
Kertas kerja harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dibuat laporan khusus.
7. Hasil audit investigasi
Hasil audit investigasi pada umumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Apa yang dilaporkan masyarakat tidak terbukti
- Apa yang diadukan terbukti, misalnya terjadi penyimpangan dari suatu aturan atau ketentuan
yang berlaku, namun tidak merugikan negara atau perusahaan.
- Terjadi kerugian bagi perusahaan akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
karyawan.
- Terjadi ketekoran/kekurangan kas atau persediaan barang milik negara, dan bendaharawan
tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan tersebut diakibatkan bukan karena kesalahan atau
kelalaian bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat terjadi wanprestasi atau kerugian dari perikatan yang lahir dari
undang-undang.
- Terjadi kerugian negara akibat kelalaian atau akibat dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pegawai negeri selain bendaharawan.
- Terjadi kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum dan tindak pidana lainnya.
8. Laporan audit investigasi
Laporan audit investigasi bersifat rahasia, terutama apabila laporan tersebut akan diserahkan
kepada kejaksaan. Dalam menyusun laporan, auditor tetap menggunakan azas praduga tak
bersalah.
Pada umumnya laporan audit investigasi berisi: dasar audit, temuan audit, tindak lanjut dan
saran. Sedangkan laporan audit yang akan diserahkan kepada kejaksaan, temuan audit memuat:
modus operandi, sebab terjadinya
penyimpangan, bukti yang diperoleh, dan kerugian yang ditimbulkan.
Apabila menyangkut nama seseorang yang diduga terlibat, maka digunakan nomor sandi. Dalam
laporan harus digunakan kata diduga, misalnya untuk pihak yang diduga terlibat digunakan
nomor sandi X dengan uraian kalimat: ‘diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
Laporan audit investigasi biasanya tebal serta banyak lampirannya. Oleh karena itu, sebaiknya
tidak dilampirkan dalam dakwaan karena ada kemungkinan terjadi salah jumlah, dan angka yang
berbeda antara hal satu dengan yang lainnya. Pernah dalam suatu perkara tindak pidana korupsi,
laporan audit investigasi dilampirkan dalam dakwaan oleh jaksa, tetapi terdakwa diputus bebas,
beberapa pertimbangan keputusan bebas oleh hakim
antara lain:
- Penjumlahan angka dalam laporan audit yang salah.
- Angka kerugian negara antara halaman laporan audit yang satu dengan yang lain berbeda.
- Angka dalam laporan audit tidak sama dengan lampiran laporan audit.
Bagaimanapun juga laporan audit investigasi bagi penyidik adalah sebagai informasi awal.
Untuk kepentingan jaksa, dibuat lagi keterangan ahli yang ringkas. Di samping itu, belum tentu
sama laporan auditor untuk pelaku dan jumlah kerugian antara laporan audit investigasi dengan
keterangan ahli.