beberapa faktor resiko inkontinensia urin diantaranya

Upload: si-sari-wisholic

Post on 09-Jan-2016

11 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kh.kjlk;l/lkl;l'

TRANSCRIPT

Beberapa faktor resiko inkontinensia urin diantaranya

1. Usia

Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian setelah usia 65 tahun (Ichsan, 2010).

2. Ras

Dahulu wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensia urin daripada ras lain. Namu, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras bukanlah perkiraan terbaik (Ichsan, 2010).

3. Obesitas

Beberapa menunjukkan bahwa peningkatan body mas index (BMI) merupakan faktor resiko independen inkontinensia urin. Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan peningkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral clossing pressure dan menjurus pada inkontinensia urin (SW, Jy, Kh, & et.al, 2007).

4. Menopause

Pada masa menopause, produksi hormon estrogen berkurang. Estrogen mempengaruhi fungsi ureter, uretra, serta kandung kemih.Penurunan hormon ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Penurunan estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan kandung kemih yang dapat menyebabkan berbagai keluhan seperti inkontinensia, peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih lainnya. Selain itu, pengeruh estrogen menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot-otot pengontrol proses berkemih (Suparman & Rompas, 2008).

5. Kelahiran dan kehamilan

Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dampak berdampak pada disfungsi otot pelvis (Ichsan, 2010).

6. Kebiasaan Merokok Dan penyakit Paru Kronis

Kebiasaan merokok didentifikasikan sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi. Salah satu dari tersebut menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok. Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antikolinergik (Ichsan, 2010).

7. Histerektomi

Istilah histerektomi berasal dari bahasa latin histeria yang berarti kandungan, rahim, atau uterus, dan ectomi yang berarti memotong. Jadi histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahim yang dilakukan oleh ahli kandungan (Friedman, Borten, & Chapin, 1998).

DAMPAK YANG MEMPENGARUHIBerpengaru terhadap kehidupan

1. Sosial

2. Psikologi

3. Aktivita seksual

4. Pekerjaan

5. Perubahan pada Ginjal(12)Selama kehamilan, ginjal akan sedikit bertambah besar. Bailey dan Rollenston (1971) misalnya menemukan bahwa ginjal 1,5 cm lebih panjang selama masa nifas daripada yang diukur 6 bulan kemudian. Kecepatan filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal bertambah pada masa kehamilan, yang pertama sebanyak 50% pada awal trimester kedua dan yang terakhir tidak cukup banyak (Chesley,1963;Dunlop,1981). Mekanisme tepat untuk meningkatkan hal-hal ini pada kehamilan belum diketahui. Meningkatnya filtrasi glomerulus telah ditemukan oleh sebagian peneliti, menetap sampai cukup bulan, sementara aliran plasma ginjal menurun pada kehamilan lanjut. Kebanyakan penelitian tentang fungsi ginjal yang dilakukan selama kehamilan telah dikerjakan dengan subjek dalam posisi terlentang, posisi yang pada kehamilan tua dapat menimbulkan perubahan-perubahan hemodinamik sistemik yang menyolok, yang menimbulkan perubahan pada beberapa aspek fungsi ginjal. Pada kehamilan tua, misalnya aliran urin dan ekskresi natrium sangat dipengaruhi oleh postur, yang rata-rata kurang dari separuh dari kecepatan ekskresi pada posisi terlentang, dibandingkan dengan posisi berbaring miring. Sementara postur jelas mempengaruhi ekskresi pada kehamilan lanjut, dampaknya pada filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal kelihatannya jauh lebih berubah-ubah. Chesley dan Sloan (1964) menemukan keduanya menurun biasanya ketika wanita hamil tersebut dalam posisi terlentang, sementara Dunlop (1976) menemukan sedikit penurunan. Pritchard (1955) mendeteksi penurunan keduanya pada posisi terlentang dibandingkan dengan berbaring miring pada beberapa tetapi tidak kebanyakan, wanita hamil lanjut yang diteliti. Ezimokhai dkk (1981) menyajikan bukti bahwa penurunan aliran plasma ginjal pada kehamilan lanjut tidak begitu saja disebabkan oleh efek posisional. Davison dan Hytten (1974) secara langsung menunjukkan bahwa perkiraan angka filtrasi glomerulus hanya valid untuk kondisi saat pengukurannya dan bahwa perubahan akibat postur menggambarkan situasi nyata daripada artifak.Kemungkinan sebab penurunan fungsi ginjal pada posisi terlentang dibandingkan pada posisi berbaring miring adalah turunnya aliran balik vena ke jantung, yang disebabkan oleh obstruksi vena kava inferior dan vena iliaka oleh uterus gravid yang besar, yang dapat menimbulkan berkurangnya curah jantung dan pada gilirannya menurunkan aliran plasma ginjal dan filtrasi glomerulus. Tetapi, urutan peristiwa ini tidak jelas penting uuntuk mekanisme yang mencetuskan retensi natrium dan air saat terlentang. Kemungkinan mekanisme lainnya untuk menerangkan penurunan ekskresi natrium dan air pada wanita hamil yang telentang adalah naiknya tekanan ureter. Fulop dab Brazeau (1970) menginduksi peningkatan reabsorbsi tubuler untuk air da natrium pada anjing dengan menaikkan secara sedang tekanan ureter.

b. Perubahan Kandung Kemih(12)Ada beberapa perubahan anatomi yang nyata pada kandung kemih sebelum bulan keempat kehamilan. Tetapi dari saat itu ke depan, ukuran uterus yang bertambah besar bersama dengan hiperemis yang mempengaruhi organ-organ pelvis dan hyperplasia otot-otot dan jaringan penyambung, mengangkat trigonum kandung kemih dan menyebabkan penebalan margo posteriornya atau intraureterik. Berlanjutnya proses ini pada akhir kehamilan menimbulkan pendalaman dan pelebaran trigonum yang jelas. Mukosa kandung kemih tidak mengalami perubahan, kecuali bertambah besarnya ukuran dan lekuk-lekuk pembuluh darah. Dengan menggunakan uretrosistometri, Iosif dkk (1980) menemukan bahwa tekanan kandung kemih berlipat dua dari 8 cm H2O pada kehamilan primigravida awal menjadi 20 cm H2O pada kehamian cukup bulan. Untuk mengkompensasi menurunnya kapasitas kandung kemih ini, panjang uretra absolut dan fungsional berturut-turut 6,7 mm dan 4,8 mm. pada akhirnya, untuk memelihara kontinensinya, tekanan intrauretra maksimal naik dari 70 menjadi 93 cm H2O. mendekati akhir kehamilan, khususnya pada nullipara di mana bagian presentasinya sering sudah engage sebelum terjadi persalinan, seluruh basis kandung kemih terdorong ke depan dan ke atas, sehingga mengubah permukaan normal yang cembung menjadi cekung. Di samping itu, tekanan dari bagian presentasi tersebut mengganggu drainase darah dan limfe dari basis kandung kemih yang mudah mengalami cedera dan agaknya lebih peka terhadap infeksi. Baik tekanan maupun panjang uretra telah diperlihatkan berkurang pada wanita tersebut setelah kelahiran vaginal (Van Geelen dkk., 1982). Peneliti-peneliti ini menyebutkan bahwa kelemahan mekanisme sfingter uretra yang disebabkan oleh kehamilan dan persalinan mungkin memainkan peranan dalam patogenesis inkontinensia urin tekanan.Peningkatan terjadinya stress inkontinensia selama kehamilan menjadi alasan terjadinya perubahan kontur fasia, ligamen, otot-otot dasar panggul, dan saraf-saraf yang menyokong dan mengontrol leher kandung kemih dan uretra.

Masalah keperawatan

1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih

2) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine

3) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuatIntervensiIntervensiRasional

Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.

Ajarkan untuk membatasi masukan cairan pada malam hari.

Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan putaneus dengan penepukan supra pubik).

Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal, sedikitnya 2000cc/hari bila tidak ada kontra indikasi.

Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah direncanakan

Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkontinensia. Berkemih yang sering dapat mengurangi dortongan beri distensi kandung kemih

Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.

Diagnosa 2

IntervensiRasional

Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.

Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh. Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.

Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

Diangnosa 3

IntervensiRasional

Awasi TTV

Catat pemasukan dan pengeluaran

Awasi berat jenis urine

Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

Timbang BB setiap hari Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.

Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan caian

Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine

Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus

Untuk mengawasi status cairan