batasan ekstra piramidal
DESCRIPTION
Sindroma Ektra Piramidal et causa Penggunaan Obat anti PsikosisTRANSCRIPT
BATASAN/DEFINISI
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem ekstrapiramidal
adalah terutama di formatio reticularis dari pons danmedulla dan di target saraf di medula
spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Istilah gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan
otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal
(piramidal). Namun, nama ini agak menyesatkan karena beberapa gejala (contohnya akatisia)
kemungkinan sama sekali tidak merupakan masalah motorik. Beberapa gejala ekstrapiramidal
dapat ditemukan bersamaan pada seorang pasien dan saling menutupi satu dengan yang
lainnya. Gejala Ektrapiramidal merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat
antipsikotik. Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati kelainan psikotik seperti
skizofrenia dan gangguan skizoafektif.
ETIOLOGI
Sindroma ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan
adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat
antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal
ChlorpromazineThioridazinePerphenazinetrifluoperazineFluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetapine
150-1600
100-900
8-48
5-60
5-60
2-100
2-6
25-100
++
+
+++
+++
+++
++++
++
-
Olanzapine
Aripiprazole
75-100
200-1600
2-9
50-400
10-20
10-20
+
+
+
+
+
+
PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum ,globus palidus, inti-inti talamik, nukleus
subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut dengan korteks
motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan
satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat
lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan
penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal
penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks
dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus
dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba
diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus
untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan
korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya
menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit
itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang
menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah
lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya
sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-
striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal
dikarenakan inhibisi transimisi dopaminergik di ganglia basalis. Beberapa neuroleptik (contoh
haloperidol, fluphenazine) merupaka inhibitor dopamine ganglia basalis yang lebih poten, dan
sebagai akibatnya menyebabkan efek samping EPS yang lebih menonjol.
GEJALA KLINIS
a. Akut
Efek samping muncul setelah pemakaian obat antipsikotik dalam hitungan hari sampai minggu.
1. Parkinsonism yang diinduksi obat
Sindrom parkinsonism timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering terjadi pada
dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Faktor risiko antipsikotik
menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinsonism
sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Manifestasi klinis yaitu gerakan spontan yang menurun (bradikinesia), meningkatkan tonus otot
(muscular rigidity) dan resting tremor.
2. Distonia
Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya menyebabkan gerakan atau
postur yang abnormal, termasuk krisis okulorigik, prostrusi lidah, trismus, tortikolis, distonia
laring-faring, dan postur distonik pada anggota gerak dan batang tubuh.
Distonia lebih banyak diakibatkan oleh APG I terutama yang mempunyai potensi tinggi, dan
umumnya terjadi di awal pengobatan (beberapa jam sampai beberapa hari pengobatan) atau
pada peningkatan dosis secara bermakna.
Gejala distonia berupa gerakan distonik yang disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot, onset
yang tiba-tiba dan terus menerus, hingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Otot yang
paling sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh
(opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernapas, hingga sianosis. Spasme otot dan postur yang abnormal,
umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher, tetapi terkadang juga
daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah. Distonisa laring dapat menyebabkan asfiksia dan
kematian. Sering terjadi pada penderita usia muda (usia belasan atau dua puluhan) dan
kebanyakan pada laki-laki.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurutDSM- IV adalah
sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik
(atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi
neuroleptik :
1) Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2) Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3) Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4) Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)
5) Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6) Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7) Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau
dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang
digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat
antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala
katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau
tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah
menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis
umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut :
gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal
yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
3. Akatisia
Merupakan bentuk yang paling sering dari sindroma ekstrapiramidal yang diinduksi oleh obat
antipsikotik. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang
panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita
dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau
iritabel. Akatisia terkadang sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan ansietas atau agitasi
dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang.
b. Kronik (late)
1.
1. Tardive dyskinesia
Terjadi setelah menggunakan antipsikotik minimal selama 3 bulan atau setelah pemakaian
antipsikotik dihentikan selama 4 minggu untuk oral dan 8 minggu untuk injeksi depot, maupun
setelah pemakaian dalam jangka waktu yang lama (umumnya setelah 6 bulan atau lebih).
Penderita yang menggunakan APG I dalam jangka waktu yang lama sekitar 20-30% akan
berkembang menjaditardive dyskinesia. Seluruh APG I dihubungkan dengan risiko tardive
dyskinesia.
Umumnya berupa gerakan involunter dari mulut, lidah, batang tubuh, dan ekstremitas yang
abnormal dan konsisten. Gerakan oral-facial meliputi mengecap-ngecap bibir (lip smacking),
menghisap (sucking), dan mengerutkan bibir (puckering) atau seperti facial grimacing. Gerakan
lain meliputi gerakan irregular dari limbs, terutama gerakan lambat seperti koreoatetoid dari jari
tangan dan kaki, gerakan menggeliat dari batang tubuh.
2. Tardive distonia
Ini merupakan tipe kedua yang paling sering dari sindroma tardive. Gerakan distonik adalah
lambat, berubah terus menerus, dan involunter serta mempengaruhi daerah tungkai dan lengan,
batang tubuh, leher (contoh torticolis, spasmodic disfonia) atau wajah (contoh meige’s
syndrome). Tidak mirip benar dengan distonia akut.
3. Tardive akatisia
Mirip dengan bentuk akatisia akut tetapi berbeda dalam respons terapi dengan menggunakan
antikolinergik. Pada tardive akatisia pemberian antikolinergik memperberat keluhan yang telah
ada.
4. Tardive tics
Sindroma tics multiple, rentang dari motorik tic ringan sampai kompleks denganinvoluntary
vocazations (tardive gilles de la tourette’s syndrome).
5. Tardive myoclonus
Singkat, tidak stereotipik, umumnya otot rahang tidak sinkron. Gangguan ini jarang dijumpai.
PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan distonia simplek tidak
membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya antipsikotik tidak tersedia
secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi
dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan
akut. Pemeriksaan rutin elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, dan
bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, dan
termasuk hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang terlihat dari
pningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM. Perusakan otot juga menghasilkan
myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi
memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.
DIAGNOSIS BANDING
Sindroma putus obat
Parkinson Disease
Distonia primer
Tetanus
Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
PENYULIT
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan
kualitas penderita dalam beraktivitas.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami
fraktur.
PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut masih baik bila gejala langsung
dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada EPS yang kronik lebih buruk. Pasien
dengan tardive distonia sangat buruk. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien
yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
PENATALAKSANAAN
Mulai dengan penurunan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan trihexyphenidil
(THP) atau antikolinergik lainnya, 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis
diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah
mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping EPS. Dosis antipsikotik diturunkan
hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Pedoman penatalaksanaan adalah sebagai berikut:
1. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan terapi
profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien
yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
2. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan
komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan
kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi
gejala psikotik.
3. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik
medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
Antikolinergik merupakan terapi distonia akut bentuk primer dan praterapi dengan salah satu
obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang umum meliputi
benztropin (Congentin) 0,5-2 mg 2xsehari (BID) sampai 3x sehari (TID) atau triheksiphenidil
(Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan
distonia akut dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena “rasa melayang”
yang mereka dapat daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan distonia akut berat
harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan
benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin
(Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg
IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak eksperimen. Agen
yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga
dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan
benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat
membantu.
Pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin
juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik
umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Benzodiazepine dapat mengurangi
pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-
aminobutirat-ergik. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi
pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan.