batal
TRANSCRIPT
1
Dengan kemampuan kepemimpinan Rektor Universitas Tadulako
dalam pemberdayaan sumber-sumberdaya yang dimiliki secara profesional
termasuk pemberdayaan staf akademik dan staf administrasi dapat
mewujudkan pelayanan yang memuaskan terhadap mahasiswa sehingga
para mahasiswa dapat mengikuti dan melaksanakan proses perkuliahan
dengan baik dengan prestasi akademik yang tinggi atau pujian.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Harapan tercapainya kualitas dalam penyelenggaraan
2
pendidikan nasional secara umum masih menghadapi berbagai kendala,
khususnya di Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi di Indonesia dalam berbagai bidang masih jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan perguruan tinggi di Negara-negara lain.
Hasil survey Asia wek 2005 menempatkan perguruan tinggi di Indonesia
pada posisis yang cukup rendah, di Asia yaitu renking ke 15 untuk bersaing
dalam sains dan teknologi, dan di bawa 50 besar untuk perguruan tinggi multi
disiplin (dalam Siraj, 2011. Hal. 6). Bukan hanya dalam bidang sains tetapi
juga dalam budaya dan humaniora Perguruan Tinggi di Indonesia juga masih
terkebelakang, Majalah Times edisi Nopember 2005, mengenai 100
Perguruan Tinggi peringkat atas di dunia dibidang ilmu budaya dan
humaniora hanya satu perguruan tinggi di Indonesia yaitu UGM yang
menempati peringkat ke 56. Hal-hal tersebut disebabkan karena perguruan
tinggi masih dihadapkan pada berbagai masalah seperti belum memadainya
pengelolaan anggaran, terbatasnya daya tampung, tidak efisien dan
efektifnya penggunaan sumber daya, dan lain-lain (Tilaar, 1994). Amat
beralasan jika pembangunan pendidikan pada Tahun 2010-2014 diarahkan
untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui
peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi,
kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan (Kebijakan
3
Pembinaan Perguruan Tinggi, Forum Dekan se Indonesia pada Tanggal 5
September 2011, Palu).
Mencermati Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut serta
kebijakan Dirjen Perguruan Tinggi yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 2 Ayat 1,
menjelaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan tinggi adalah menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan atau profesional yang dapat mengembangkan dan
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kesenian di
berbagai perguruan tinggi, sehingga membutuhkan layanan yang berkualitas.
Peran perguruan tinggi, dalam pengembangan kemampuan akademik
mahasiswa amat penting dan strategis. Tayeb menyatakan bahwa misi
Perguruan Tinggi dapat mengembangkan kemampuan serta kecakapan
dalam diri mahasiswa serta masyarakat luas untuk mampu berfikir dengan
berorientasi pada kepentingan bangsa serta kemanusiaan, baik pada waktu
sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang, dengan
menggunakan pola-pola yang obyektif, kritis dan analitis, yang dapat
menghasilkan persepsi serta konsepsi yang tepat (Salusu,1986:1).
Perguruan Tinggi adalah pusat kegiatan pendidikan bagi civitas
akademik yang melaksanakan program perkulihaan dalam berbagai bidang
4
ilmu, melakukan pengujian (riset) dan pengembangan ilmu pengetahuan
berdasarkan kaidah-kaidah profesionalisme. Pada dasarnya Perguruan tinggi
memiliki kesamaan dalam melaksanakan aktivitas yaitu melaksanakan Tri
Dharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat). Perguruan Tinggi melakukan aktivitas, dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu eksakta maupun non eksakta, dan berhak
memberikan gelar kesarjanaan (Salusu 1986: 4). Untuk memperoleh
kesarjanaan melalui proses yaitu: mulai dari proses registrasi sampai dengan
proses penyelesaian tugas akhir (Skripsi, Tesis, Disertasi). Dengan melalui
proses tersebut, mahasiswa sebagai sasaran pelayanan secara melembaga
penting mendapatkan perhatian dan layanan yang memuaskan dari berbagai
unsur sumber daya yang dimiliki perguruan tinggi, baik staf akademik dan
staf administrasi maupun unsur pimpinan terkait. Keberhasilan sebuah
universitas dalam mencapai kualitas dan pelayanan sangat ditentukan oleh
kemampuan kepemimpinan dalam mengarahkan bawahan untuk mencapai
tujuan. “ sulit mempertahankan kualitas dan pelayanan konsumen yang baik
tanpa kepemimpinan yang efektif, Andrew J. DuBrin (2009:3). Apalagi,
universitas di era globalisasi dituntut memiliki keunggulan yang memiliki daya
saing tinggi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Universitas Tadulako sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi Negeri di
Propinsi Sulawesi Tengah, dituntut berperan serta dalam mengembangkan
5
ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menggali potensi serta nilai-nilai
yang hidup di Daerah Propinsi Sulawesi Tengah melalui “Tri Dharma
Perguruan Tinggi”. yaitu: ”melaksanakan kegiatan di bidang pendidikan dan
pengajaran, bidang penelitian serta bidang pengabdian pada masyarakat”,
dengan sasaran untuk meningkatkan mutu luaran (lulusan) yang memiliki
daya saing yang tinggi. Tuntutan lulusan yang berkualitas dengan
kemampuan daya saing tinggi bukan hal yang mudah dicapai, tetapi bukan
pula sesuatu yang mustahil dicapai, hanya saja memerlukan kerja keras dan
dukungan semua pihak, baik secara eksternal maupun internal. Secara
internal pencapaian kualitas dan layanan yang memuaskan jangan hanya
menjadi tanggung jawab Rektor Universitas Tadulako saja, tetapi juga
menjadi tanggung jawab semua pembantu rektor terkait, termasuk pimpinan
Fakultas (dekan), para pembantu dekan terkait pada 9 (Sembilan) Fakultas
yaitu: Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Ekonomi
(FISIP), Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP),
Fakultas pertanian, Fakultas Kehutanan serta staf akademik dan staf
administrasi. Dengan dukungan staf administrasi sebanyak 400 orang, dan
staf akademik sebanyak 1169 orang yang disipakan dalam memberikan
pelayanan terhadap 26.000 (dua puluh enam ribu) mahasiswa, maka
pencapaian kualitas dan layanan dapat dicapai. Jumlah staf administrasi
maupun staf akademik yang tersedia dalam melaksanakan pelayanan
6
akademik yang memuaskan masih jauh dari jumlah yang memadai, apalagi
jika pelayanan akademik mengacu pada SOP yang telah ditetapkan di
Universitas tadulako. Secara eksternal “era globalisasi Universitas Tadulako
tidak dapat menghindar dari keterlibatan maupun campur tangan pihak luar
sekecil apapun bentuknya. Mau atau tidak mau, Untad harus meningkatkan
kualitas untuk dapat survive menghadapi kompetisi berat dengan universitas
yang sudah berskala nasional maupun internasional. Strategi yang ditempuh
adalah “mengintegrasikan dimensi internasional dalam proses pendidikan,
penelitian, dan pelayanan masyarakat (public) sehingga menghasilkan mutu
pendidikan, penelitian dan service yang bertaraf dan di akui secara
internasiuonal. (Rektor Untad, 2011:5)
Upaya-upaya untuk mencapai kualitas dan mewujudkan pelayanan
yang memuaskan di Universitas Tadulako adalah bagian strategi penting,
selain mengoptimalkan pemberdayaan sumber-sumber daya manusia (staf
akademik dan staf administrasi) secara efektif dan efisien, juga dibutuhkan
pemimpin yang memiliki kemampuan kepemimpinan yang unggul,
kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang dapat
menunjukkan keteladanan bagi bawahan, staf akademik dan staf administrasi
dalam mewujudkan pelayanan yang memuaskan, seperti adil, jujur, disiplin
dan professional dalam melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan. Mampu
memberikan motivasi terhadap bawahan, sehingga staf akademik dan staf
7
administrasi memiliki semangat kerja yang tinggi dalam melaksanakan
pelayanan yang memuaskan. Memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten
terhadap pencapaian tujuan lembaga sehingga staf akademik dan staf
administrasi maun dan mampu melaksanakan pelayanan yang memuaskan.
Mampu mendelagasikan kewenangan terhadap bawahannya serta memiliki
kemampuan mengendalikan dan mengarahkan pada bawahannya sehingga
staf akademik dan staf administrasi mau dan mampu melaksanakan
pelayanan yang memuaskan terhadap pelanggan. Dengan kemampuan
kepemimpinan Rektor Universitas Tadulako dalam pemberdayaan sumber-
sumberdaya yang dimiliki secara profesional termasuk pemberdayaan staf
akademik dan staf administrasi dapat mewujudkan pelayanan yang
memuaskan terhadap mahasiswa sehingga para mahasiswa dapat mengikuti
dan melaksanakan proses perkuliahan dengan baik dengan prestasi
akademik yang tinggi atau pujian.
Berdasarkan issu dan fenomena menunjukkan bahwa di satu sisi
kepemimpinan Rektor dalam pelaksanaan pelayanan akademik sudah
berjalan, namun disisi lain belum optimal . Hal ini berarti bahwa masih
terdapat unsur-unsur pimpinan, staf akademik dan staf administrasi sebagai
bawahan rektor yang belum siap mewujudkan pelayanan akademik
sebagaimana yang diharapkan, adapun pelayanan akademik yang dimaksud
sebagai berikut:
8
1. Proses Perwalian
Pada umumnya staf pengajar yang mendapat tugas untuk
melaksanakan pembimbingan kepada mahasiswa belum berjalan sesuai
dengan SOP yang telah dibiau oleh pimpinan universitas Tadulako. Hal ini
dapat dilihat pada Dosen wali dan mahasiswa belum menetapkan jadual
pertemuan untuk konsultasi rutin, Dosen Wali dan Mahasiswa belum mengadakan
pertemuan rutin sesuai jadual yang telah ditetapkan bersama, Dosen Wali bersama
mahasiswa belum membuat laporan perkembangan kemajuan mahasiswa, Dosen
Wali / PA belum dilibatkan memberikan persetujuan dalam hal khusus, seperti pindah
program studi dan cuti akademik
2. Proses Perkuliahan
Pada umumnya Dosen belum membuat kontrak perkuliahan dengan
mahasiswa secara konsisten. Pada umumnya staf pengajar belum membuat
SAP/GBPP dalam perkualiahan, bahkan masih terdapat diantaranya
membuat SAP tidak melaksanakan SAP sebagaimana yang telah
dirumuskan oleh Tim. Staf pengajar (Dosen) belum melaksanakan secara
konsisten jumlah tatap muka perkuliahan yang harus dipenuhi oleh
Mahasiswa sesuai dengan jumlah SKS, Minimal 12 kali tatap muka untuk 2
SKS, Minimal 14 kali tatap muka untuk 3 SKS, Minimal 24 kali tatap muka
untuk 4 SKS. Staf pengajar atau Dosen belum secara konsisten
9
memasukkan nilai akhir kepada jurusan atau Prodi tepat waktu sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan Fakultas.
3. Bidang Praktikum
Pada umumnya staf pengajar dalam pelaksanaan praktikum pada
mata kuliah tertentu belum melibatkan Kepala Laboratorium menyeleksi
peserta praktikum, membuat daftar peserta praktikum, Laporan Praktikum
belum dimasukkan pada akhir periode Praktikum, Kepala laboratorium belum
mengeluarkan Sertifikat/Nilai Praktikum. Nilai Akhir/Syarat Lulus Praktikum
mahasiswa belum memasukkan Laporan Praktikum sesuai mata kuliah yang
dipraktikumkan.
4. Semester Pendek
Pelaksanaan semester pendek, belum sesuai dengan ketentuan yang
berlaku (SOP), hal ini dapat dilihat penyelenggaraan semester pendek belum
transparan bagi semua sivitas akademik dan staf administrasi. Hal ini dapat
dilihat pada penunjukkan staf pengajar untuk melaksanakan semester
pendek
5. Tugas Akhir
Pada umumnya staf akademik dalam memberikan pelayanan belum
tepat waktu yaitu melebih dari 3 hari yang seharusnya 1 hari.
10
11
Meskipun masalah kepemimpinan ini masih terus mendapat perhatian
agar supaya karakter dan sifat-sifat kepemimpinan terus disempurnakan
seperti transparansi,akuntabilitas, responsibilitas dan kualitas layanan.
Demikian pula gaya kepemimpinan diupayakan lebih partisipatif, agar
pelayanan dapat dilaksanakan sesuai harapan pelanggan yaitu pelayanan
yang cepat, tepat dan nyaman serta adil.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi kepemimpinan di UNTAD,
Rektor pada tingkat Universitas dibantu oleh Pembantu Rektor Bidang
12
Akademik (PR.I), Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum dan
Keuangan (PR II), Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaa (PR.III) ,
Pembantu Rektor Bidang kerjasama (PR.IV), dan pada tingkat Fakultas
dipimpin oleh Dekan dibantu para pembantu Dekan . Berkaitan dengan
tenaga akademik yang mengelola layanan pendidikan dalam hal teknis
administrasi ditangani oleh bagian administrasi bidang kademik.
Layanan akademik meliputi penyediaan sarana, penyediaan pedoman
dan prosedur layanan, registrasi dan layanan Kartu Rencana Studi (KRS)
Mahasiswa, layanan perkuliahan, serta layanan administrasi akademik
lainnya yang menjadi bagian dari layanan administrasi akademik unit
kerjanya, tingkat universitas.Fakultas/unit kerja yang setara. Besarnya
tanggung jawab akademik dalam layanan administrasi akademik ini, tentu
juga didukung oleh komptensi sumber daya manusianya. Pelaksana layanan
administrasi akademik adalah tenaga administrasi akademik setingkat Kepala
Sub Bagian Administrasi Akademik Tingkat Universitas/Fakultas/Unit Kerja
yang setara atau yang setara dengan jabatan itu untuk unit masing-masing.
Universitas Tadulako sudah berupaya untuk memaksimalkan layanan
pendidikan secara tertib dan bertanggung jawab dengan melakukan
lokakarya, Peningkatan Mutu Layanan Bimbingan Akademik bagi mahasiswa
Untad, di kampus Bumi Tadulako Tondo. Lokakarya yang diikuti 140 Dosen
yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam
13
mengoptimalkan fungsi perwalian bagi mahasiswa, dan untuk menyamakan
persepsi dosen tentang proses dan prosedur perwalian mahasiswa
mendukung keberhasilan belajar di Perguruan Tinggi. Selain itu,dengan
kegiatan tersebut,dapat menyamakan persepsi tentang prosedur dan tata
kelola layanan akademik di Untad, serta meningkatkan akuntabilitas layanan
akademik dilingkungan Untad.
Hasil penelitian Syafar (2010) mengatakan bahwa kualitas layanan
pada Bidang Akademik terutama bidang kemahasiswaan belum memadai.
Syafar mengukur dari aspek realiability, responsiviness, assurance, empaty,
dan tangible. Keempat unsur inilah dijadikan indikator untuk mengukur
kualitas pelayanan di Universitas Tadulako. Karena kualitas kurang memadai
maka masih perlu perhatian dari unsur pimpinan melakukan pengembangan
untuk meningkatakan kemampuan dan pengetahuan bagi setiap pegawai,
terutama dalam menghadapi berbagai perubahan dan kemajuan dengan
adanya sistem tekhnologi yang modern.
Oleh karena itu manajemen perguruan tinggi harus ditopang oleh
kualitas para pemimpin dan pengelola yang memadai dan tidak cukup hanya
menggunakan indikator tunggal, tetapi harus menggunakan multi indikator
dari aspek proses pelayanan dan aspek output atau hasil pelayanan.
Manajemen Perguruan Tinggi harus sudah seperti mengelola perusahaan
(cooperate Business), dengan mengandalkan pendekatan keperilakuan,
14
dalam arti kata perguruan tinggi harus mengalami perubahan. Bukan lagi
sekedar mencetak SDM yang high quality dan professional tetapi harus
sudah berubah menjadi institusi knowledge producing enterprise.
Pembantu Rektor I yang menangani bidang akademik dan selaku
penanggung jawab lokakarya pada waktu itu dalam sajian materinya
mengungkapkan, Universitas Tadulako dengan segala kemampuannya yang
telah dicapai, bertekad meningkatkan daya saing dengan berupaya
menghasilkan lulusan yang bermutu dan relevan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Selain itu, sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, Untad tetap
memposisikan mahasiswa sebagai pelanggan utama. Oleh karnanya yang
menjadi orientasi dan perhatian utama pelayanan dalam mendayagunakan
berbagai sumber daya yang dimiliki. Namun upaya dan harapan tersebut
belum sampai pada puncak pengharapan dan yang didambakan.
Padahal tahun Akademik 2011/2012 Universitas Tadulako memiliki 26
ribu mahasiswa mulai dari jenjang diploma hingga mahasiswa Pascasarjana.
Dosen 1169 dan pegawai 400 orang yang tersebar pada 8 Fakultas dan Satu
Program Pascasarjana. Semua yang beraktivitas pada perguruan tinggi,
harapannya membutuhkan pelayanan yang berkualitas.
Hasil observasi awal, bahwa kepemimpinan di Universitas Tadulako
dianggap sosok pemimpin yang familier dan visioner (Radar Sulteng, Kamis
15
Tanggal 18 Agustus 2011). Tindakan yang dilakukan adalah mencoba
melakukan suatu perubahan dengan melakukan penataan lingkungan baik
pada sumber daya manusia maupun non manusia. Tindakan Rektor tersebut
dapat menjalankan perannya sebagai agen perubahan yang membuat sketsa
ke depan dengan melibatkan bawahan untuk menjalankan visi, mendorong
terlaksananya pengabdian masyarakat melalui pendidikan dan penelitian
sebagai keunggulan yang harus diraih pada Tahun 2020. Namun tindakan
tersebut masih mendapat sebuah tantangan, tetapi tantangan itu merupakan
bentuk motivasi mengarah pada perbaikan dan kebenaran.
Sutomo (2010), menyatakan bahwa kepemimpinan yang melakukan
perubahan dapat dikatakan kepemimpinan transformasional yang dapat
bekerja dengan mendorong bawahannya agar lebih inovatif, mempunyai visi,
dan adanya tujuan strategis bagi organisasi dan adanya komitmen dari pihak
bawahannya. Tapi nampak bahwa implementasi kepemimpinan
transformasional mengalami penurunan disebabkan karena karakteristik
kepemimpinan belum membangun komunikasi antara bawahan dan
mahasiswa sebagai pelanggan inti, untuk mencari titik kelemahan pemberian
pelayanan baik serta belum memperhatikan budaya di lingkungan universitas
maupun di tingkat Fakultas, sehingga masih ada unsur civitas yang
bermalas-malas .
16
Penelitian ini diharapkan mampu mengungkap gaya kepemimpinan
yang ada kaitannya dengan pelayanan akademik yang berlaku di Universitas
Tadulako secara komprehensif sehingga dapat memberikan kontribusi untuk
meningkatkan kualitas layanan akademik. Penelitian kepemimpinan
difokuskan pada pendekatan terbaru dalam kepemimpinan, transformasional
yang diharapkan mampu melakukan perubahan terhadap pelayanan
akademik di UNTAD dan dapat meningkatkan prestasi kerja dan kepuasan
para pengikutnya.
Berdasarkan hasil pengamatan serta didukung oleh berbagai informasi
terlihat bahwa Universitas Tadulako, nampak para pemimpin di universitas
baik level pemimpin di tingkat Universitas maupun tingkat fakultas masih
tercermin gaya kepemimpinan yang otoriter, maksudnya pimpinan Fakultas
belum sepenuhnya mematuhi apa yang menjadi keputusan pada unsur
pimpinan di Universitas.
Beberapa hal yang dimaksud antaranya adalah masing-masing
pimpinan Fakultas menetapkan pelaksanaan perkulihan dan ujian semester
tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh Universitas. Belum
tepat waktu dalam membuat jadwal perkuliahan, sehingga berdampak pada
ketidak seragaman pelaksanaan perkualiahan dan pelaksanaan ujian
semster. Jika hal ini dibiarkan maka akan mengganggu kegiatan-kegiatan
akademik lain di masing-masing Fakultas.
17
Namun berdasatkan informasi bahwa Rektor adalah sosok pemimpin
yang visioner, akan tetapi transformasi kepemimpinan secara internal belum
optimal mendukung peningkatan kualitas layanan akademik, namun sudah
ada gejala yang mengarah pada kepemimpinan transformasional, maka
identifikasi sejumlah permasalahan yang perlu dikaji yang berhubungan
dengan gaya kepemimpinan dan kualitas pelayanan akademik di Universitas
Tadulako, belum sepenuhnya sesuai dengan harapan dan Sarana dan
prasarana pendidikan yang disediakan UNTAD seperti kecukupan ruang
kuliah serta sarana penunjang (LCD, Laptop), ketersediaan referensi kuliah di
perpustakaan, ketersediaan dan kelengkapan laboratorium, perlengkapan
ruang kuliah, begitupula sumberdaya manusia staf administrasi, dosen
(termasuk di dalamnya Penasehat Akademik, pembimbing Tugas Akhir), dan
pengurus Jurusan/Program Studi belum memberikan pelayanan sesuai
harapan
18
Melalui proses tersebut, mahasiswa sebagai sasaran pelayanan,
secara melembaga mendapatkan pelayanan dari berbagai unsur baik pada
dosen, staf maupun unsur pimpinan di tingkat rektorat maupun tingkat
fakultas. Ke tiga unsur tersebut sangat bertanggung jawab atas keberhasilan
sebuah organisasi atau lembaga. Keberhasilan sebuah lembaga sangat
ditentukan oleh efektifitas kepemimpinan, sulit mempertahankan kualitas dan
pelayanan konsumen yang baik tanpa kepemimpinan yang efektif Andrew J.
DuBrin (2009:3 ), Wahyu Suprapti (2000:1).
19
Hal ini didukung pendapat Gupta (1983: 92), Riduwan (2009:25),
Untuk mengukur kapasitas kepemimpinan bagi Perguruan Tinggi dalam
mendukung daya saing Perguruan Tinggi yaitu (1) memiliki dua tipe
kepemimpinan yaitu sebagai status leader dan officier leader; Sebagai status
leader dia harus dapat diterima oleh semua anggota kelompok, dan sebagai
official leader dia harus bersifat fatherly, (2) memiliki kemampuan dalam
memberikan kewenangan dan delegasi kepada staff, (3) memiliki perhatian
yang tinggi kepada staff, (4) dapat menciptakan atmosfir kepuasan kerja.
20
Jika mengkaji kedua pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
keberhasilan kepemimpinan sebuah organisasi tergantung kemampuan para
pemimpin dalam mempengaruhi bawahan/staf. Untuk mempengaruhi perilaku
bawahan maka pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya diharapkan
memiliki kemampuan untuk memotivasi, menjadi teladan, memegang
komitmen dan mampu menciptakan komunikasi serta mampu melakukan
pendelegasian.
Perguruan Tinggi perlu kiranya mempunyai pemimpin yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain
21
memberikan konstribusi demi efektivitas keberhasilan organisasi
(House,199:184). Selain memiliki kemampuan memotivasi juga diharapkan
dapat menjadi tauladan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Sultan
Hamengkubowono X yang menyatakan bahwa syarat mutlak bagi
kepemimpinan nasional yang kuat dan beribawa jika mampu
mengimplentasikan Tri logi kepemimpinan yang terdiri dari keteladanan,
kemauan dan kompetensi (Adi Sujatno, 2007: 69).
Kepemimpinan yang menjalankan perannya sebagai motivator,
menjadi panutan dan memiliki kemauan maka dapat mewujudkan serta
komptensi adalah komitmen (Bob Adams, 2006:2), jadi kepemimpinan yang
efektif jika dapat memegang komitmen (Luthans, 2006: 638). Kepemimpinan
yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan komunikasi (Ari
Retno Habsari, 2002:63), juga memiliki kemampuan mendelegasikan tugas
sesuai kemampuan staf (Sedarmayanti,2009:141).
Pendapat para ahli tersebut tersebut menunjukkan betapa pentingnya
kepemimpinan sebuah organisasi, gagal dan berhasil tidaknya sebuah
organisasi dalam melakukan perubahan demi pengembangan organisasi
tergantung yang pemimpin dan dipimpin. Pemimpin puncak pada Perguruan
Tinggi/Universitas adalah Rektor dibantu oleh wakil Rektor, sebagai unsur
pelaksana akademik adalah Fakultas, lembaga penelitian dan lembaga
22
pengabdian masyarakat dan unsur tenaga pelaksana akademik adalah Biro
(Statuta Universitas Tadulako: Tahun 2002) .
Pembantu Rektor I yang menangani bidang akademik dan selaku
penanggung jawab lokakarya pada waktu itu dalam sajian materinya
mengungkapkan, Universitas Tadulako dengan segala kemampuannya yang
telah dicapai, bertekad meningkatkan daya saing dengan berupaya
menghasilkan lulusan yang bermutu dan relevan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Selain itu, sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, Untad tetap
memposisikan mahasiswa sebagai pelanggan utama. Oleh karnanya yang
menjadi orientasi dan perhatian utama pelayanan dalam mendayagunakan
berbagai sumber daya yang dimiliki. Namun upaya dan harapan tersebut
belum sampai pada puncak pengharapan dan yang didambakan.
Padahal tahun Akademik 2011/2012 Universitas Tadulako memiliki 26
ribu mahasiswa mulai dari jenjang diploma hingga mahasiswa Pascasarjana.
Dosen 1169 dan pegawai 400 orang yang tersebar pada 8 Fakultas dan Satu
Program Pascasarjana. Semua yang beraktivitas pada perguruan tinggi,
harapannya membutuhkan pelayanan yang berkualitas.
Berdasarkan hasil pengamatan serta didukung oleh berbagai informasi
terlihat bahwa kepemimpinan Rektor Universitas Tadulako belum
menegakkan disiplin kerja, belum maksimal memberi motivasi kepada
23
bawahannya untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan
pelayanan akademik, belum menciptakan komunikasi secara rutin kepada
bawahan baik yang berkaitan dengan pelayanan perkuliahan maupun pada
pelayanan tugas akhir serta dalam memberikan pendelegasian belum
sepenuhnya memperhatikan kompetensi bagi pegawai serta belum
berpegang teguh pada komitmen yang telah dibuat dalam bentuk aturan,
seperti .
B. Identifikasi Masalah
Beberapa hal yang dimaksud antaranya adalah unsur Pimpinan
Uversitas Tadulako (Rektor, Dekan dan ketua Jurusan), belum
memperlihatkan perilaku kepemimpinan yang dapat dijadikan sebagai
tauldan, hal ini dapat dilihat dari aspek kedisiplinan dalam memanfaatkan
waktu kerja yaitu masuk pada jam 8 pagi dan pulang pada jam 4 sore. Jika
hal ini terjadi maka akan berdampak pada perilaku bawahan, sehingga tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat kampus belum efektif.
Kepemimpinan di Universitas Tadulako, belum maksimal memberikan
motivasi pada bawahan untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan.
Hal ini dapat dilihat dari aspek kemampuan pegawai dalam memberi layanan
belum maksimal dilaksanakan.
24
Namun diakui bahwa di Universitas Tadulako belum sepenuhnya para
staf mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga
berdampak pada kualitas pelayanan yang diharapkan pelanggan mendapat
pelayanan yang cepat dan tepat.
sebagaimana yang diatur dalam karena berikan maksimal
meningkatkan motivasi menerapkan kepemimpinan partisipatif, masing-
masing pimpinan Fakultas menetapkan pelaksanaan perkulihan dan ujian
semester tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh Universitas.
Belum tepat waktu dalam membuat jadwal perkuliahan, sehingga berdampak
25
pada ketidak seragaman pelaksanaan perkuliahan dan pelaksanaan ujian
semester.
Namun berdasatkan informasi bahwa Rektor adalah sosok pemimpin
yang visioner, akan tetapi transformasi kepemimpinan secara internal belum
optimal mendukung peningkatan kualitas layanan akademik, namun sudah
ada gejala yang mengarah pada kepemimpinan transformasional, maka
identifikasi sejumlah permasalahan yang perlu dikaji yang berhubungan
dengan gaya kepemimpinan dan kualitas pelayanan akademik di Universitas
Tadulako, belum sepenuhnya sesuai dengan harapan dan Sarana dan
prasarana pendidikan yang disediakan UNTAD seperti kecukupan ruang
kuliah serta sarana penunjang (LCD, Laptop), ketersediaan referensi kuliah di
perpustakaan, ketersediaan dan kelengkapan laboratorium, perlengkapan
ruang kuliah, begitupula sumberdaya manusia staf administrasi, dosen
(termasuk di dalamnya Penasehat Akademik, pembimbing Tugas Akhir), dan
pengurus Jurusan/Program Studi belum memberikan pelayanan sesuai
harapan.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
26
1. Bagaimana gaya kepemimpinan dalam menunjang kualitas pelayanan
Universitas Tadulako ?
2. Bagaimana diskripsi pelaksanaan pelayanan selama berlangsung di
Universitas Tadulako ?
3. Faktor-faktor apa yang paling determinan menunjang kepemimpinan di
Universitas Tadulako?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara konfrehensif tentang gaya
kepemimpinan dalam menunjang kualitas pelayanan Universitas Tadulako.
2. Untuk mengetahui dan menganlisis gambaran secara konfrehensif tentang
pelaksanaan pelayanan selama berlangsung di Universitas Tadulako.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang paling determinan
menunjang kepemimpinan di Universitas Tadulako.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah bahwa penelitian ini dapat memberi kontribusi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu
administrasi negara.
27
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah bahwa penelitian ini dapat memahami secara
lebih tepat fenomena tentang kepemimpinan dan pelayanan akademik
yang dapat memuaskan masyarakat kampus, sehingga penelitian ini
dapat menyodorkan gaya kepemimpinan yang tepat yang kemudian
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan
perubahan untuk peningkatan mutu atau kualitas pelayanan di
Universitas Tadulako.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Administrasi Publik dan Perkembangannya.
1. Pengertian Administrasi Publik
Terdapat banyak persepsi tentang pengertian administrasi publik
diantaranya. Stephen Robbins dikutip oleh Damai Darmadi Sukidin (2009:5)
28
menyatakan: “ Administration is the universal process of efficiently getting
activities completed with and through other people” .
Jadi apa yang dikatakan Stephen Robbins tentang pengertian
administrasi pada hakekatnya administrasi merupakan suatu proses yang
universal dalam aktivitas pencapaian tujuan secara efisien dengan dan
melalui orang lain.
Chandler dan Palano dikutip oleh Keban (2004:3) menyatakan bahwa:
Administrasi publik adalah proses dimana sumber daya dan personil publik
diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan, dan mengelola
keputusan dalam kebijakan publik. Kedua pengarang tersebut juga
menjelaskan bahwa administrasi publik merupakan seni dan ilmu (art and
science) yang ditujukan untuk mengatur “ public affairs” dan melaksanakan
berbagai tugas yang telah ditetapkan.
Harbani Pasolong (2008:7) mengutip pendapat beberapa ahli tentang
pengertian administrasi publik yaitu:
H.George Frederickson (1997:46), menjelaskan konsep “publik dalam
lima perspektif yaitu: (a) publik sebagai kelompok kepentingan, yaitu publik
dilihat sebagai manifestasi dan interaksi kelompok yang melahirkan
kepentingan masyarakat, (b) publik sebagai pemilih yang rasional, yaitu
masyarakat terdiri atas individu-individu yang berusaha memenuhi kebutuhan
29
dan kepentingan sendiri, (c) publik sebagai perwakilan kepentingan
masyarakat, yaitu kepentingan publik diwakili melalui suara, (d) publik
sebagai konsumen, yaitu konsumen sebanarnya tidak terdiri dari individu-
individu yang tidak berhubungan satu sama lain, namun dalam jumlah yang
cukup besar mereka menimbulkan tuntutan pelayanan birokrasi.(e) publik
sebagai warga Negara yaitu warga Negara dianggap sebagai publik karena
partisipasi masyarakat sebagai keikutsertaan warga Negara dalam seluruh
proses penyelenggaraan pemerintahan dipandang sebagai sesuatu yang
paling penting.
David H.Rosenbloom (2005) menunjukkan bahwa administrasi publik
merupakan pemanfaatan teori-teori dan proses-proses manajemen, politik
dan hukum untuk memenuhi keinginan pemerintah dibidang legislative,
eksekutif dalam rangka fungsi-fungsi pengetahuan dan pelayanan terhadap
masyarakat secara keseluruhan atau sebagaian.
Keban (2004:10) menjelaskan ruang lingkup administrasi publik dapat
dilihat pada: (a) kebijakan publik, (b) Birokrasi publik, (c) manajemen publik,
(d) kepemimpinan, (e) pelayanan publik, (f) administrasi kepegawaian, (g)
Kinerja, (h) etika administrasi.
Jadi administrasi publik jika dilihat dari definisi-definisi yang telah
dijelaskan di atas, maka pada hakekatnya administrasi public sebagai suatu
30
jenis kegiatan atau aktivitas pekerjaan dan perbuatan atau tindakan atau pun
usaha. Namun demikian, kegiatan yang dilakukan, tidak hanya terdiri atas
satu macam, melainkan merupakan suatu rangkaian kegiatan. Kegiatan itu
dilaksanakan dalam satu kerangka kerjasama, yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Jadi sesungguhnya administrasi adalah
serangkaian kegiatan atau sebagai proses (Damai Darmadi Sakidin:2008:7).
2. Perkembangan Administrasi Publik.
Sejarah perkembangan administrasi publik pada dasarnya dapat
ditelusuri melalui berbagai literatur yang membahas tentang administrasi
publik. Thoha (2002:18 ), Husein Umar (2004:5 ), definisi administrasi publik
dapat dilihat dari paradigmanya. Berikut ada 6 (enam) paradigma untuk
menjelaskan definisi administrasi publik.
Paradigma I, Tahun 1900-1926; pada masa ini dibedakan dengan
jelas antara administrasi dan politik negara. Jadi memusatkan perhatian pada
letak administrasi negara di antara aspek-aspek lainnya. Paradigma II, Tahun
1927-1973; pada masa ini administrasi negara memiliki prinsip-prinsip yang
jelas. Prinsipnya adalah administrasi negara dapat diterapkan di negara
mana saja walaupun berbeda kebudayaan, lingkungan, visi dan
lainnya.Paradigma III, Tahun 1950-1970; pada masa ini administrasi negara
telah berkembang sebagai bagian dari ilmu politik.Paradigma IV, Tahun
31
1956-1970; pada masa ini administrasi negara telah berkembang sebagai
ilmu administrasi. Diawali dengan ketidaksenangan bahwa ilmu administrasi
dianggap sebagai ilmu kelas 2 setelah ilmu politik.Paradigma V, setelah
Tahun 1970; pada masa ini administrasi negara telah berkembang menjadi
ilmu administrasi negara, yaitu merambah ke teori organisasi, ilmu kebijakan
dan ekonomi politik.
Mansyur Achmad (2010: 27) mengungkapkan bahwa Fredericson
membagi 5 (lima) paradigma dalam ilmu pengetahuan administrasi negara
yang telah berkembang selama ini, namun kemudian menambahkan I
Paradigma lain yang ia sendiri turut menganjurkannya yaitu “Administrasi
Negara Baru yang terfokus pada usaha untuk mengorganisasikan,
menggambarkan, mendesain, ataupun membuat organisasi dapat berjalan
kearah dan dengan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal
yang dilaksanakan dengan pengembangan desentralisasi dan organisasi-
organisasi demokratis yang responsif dan mengandung partisipasi, serta
dapat memberikan secara merata jasa-jasa yang diperlukan masyarakat ”.
Jika kita kembali melihat perkembangan administrasi publik dari tahun 1970-
an sampai sekarang mengalami perubahan, penelitian mengambil dari
sebuah tulisan dalam bentuk jurnal Teguh Kurniawan (Website. http://teguh
kurniawan.web.ugm.co,id) yaitu:
1) Old Publik Administration (1885-1980)
32
Perkembangan Administrasi pulik model klasik dibedakan menjadi 4
(empat) generasi yaitu: Pre Generation ( sampai sebelum 1885), First
Generation (1885 – 1936), Second Generation ( 1937 – 1945), Third
Generation ( setelah 1945).
a. Pre Generation (Sampai sebelum 1885)
Dalam Administrasi Publik Pra Generasi termasuk para pemikir
seperti plato, aristoteles dan Machiavelli. Masa ini merujuk pada kondisi yang
ada di daratan Eropa. Pada masa ini sampai dengan kelahiran konsep
Negara Bangsa, penekanan Administrasi Publik didasarkan pada prinsip
permaslahan moral dan kehidupan politik serata pada organisasi dari
Administrasi Publik. Abad I (Pencerahan), terdapat tiga tokoh yaitu Plato,
Aristoteles dan Machiavelli menciptakan sebuah dasar pemikiran bahwa
Memiliki etika pelayanan publik dalam prinsip pelayanan pada Pengawasan
kota, wilayah/angora, tempat ibadah (Plato) dan kemudian ditambah
pengawasan daerah pedalaman/ pedesaan oleh Aristoteles. Abad XIV – XVII
(Kegelapan), Pada abad ini ilmu tidak berkembang kareana adanya doktrin
gereja. Abad XVIII – XIX (Pencerahan Kembali/Renaisance).
b. First Generation (1885 – 1936)
Di daratan Eropa, Wina oleh Lorenz Van Stein (1855) yang dikenal
sebagai Bapak pendiri Ilmu Administrasi. Perkembangan ilmu Administrasi di
33
Eropa berorientasi pada legal approach. DiAmerika, Oleh Thomas Woodrow
Wilson ( 1856 – 1924) yang dikenal sebagai Bapak pengembang ilmu
adminitrasi. Perkembangan Ilmu Administrasi diAmerika berorientasi pada
management Approach. Wilson dalam Bukunya yang berjudul “ The Study Of
Administration” mengemukakan 4 (empat) konsep yaitu: (1) Dikotomi Politik –
Administrasi, (2) Prinsip-prinsip Administrasi, (3) Analisis pebandingan antara
organisasi politik dan privat melalui skema politik, (4) Pencapaian manajemen
yang efektif malalui pemberian pelatihan – pelatihan pada pegawai negeri
dan dengan menilai kualitas mereka. Tulisan Wilson yang berjudul “ The
Study Of Administration” dikenal dengan tonggak perkembangan Keilmuan
Administrasi.
c. Second Generation ( 1937 – 1945)
Pada generasi kedua diwarnai oleh dua tokoh yaitu Gulick dan Urwick
yang merupakan pendiri Ilmu Administrasi dengan mengintegrasikan ide dari
Henri Fayol kedalam teori komprehensif Administrasi. Mereka percaya bahwa
pemikiran Fayol menawarkan perlakuan yang sistematis dalam
manajemendan bisa diaplikasikan dengan baik pada manejemen perusahaan
maupun untuk ilmu administrasi. Dua disiplin ilmu Gulick dan Quwick tidak
perlu dipisahkan melainkan menjadi sebuah ilmu tunggal dari adminstrasi
yang melewati batas-batas antara sektor privat dan sektor publik dimana
34
dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Administrasi lebih memfokuskan pada
organisasi pemerintahan.
d. Third Generation ( setelah 1945)
Generasi ketiga dari Administrasi Publik model klasik muncul dengan
mempertanyakan ide dari Wilson dan generasi kedua. Pada awalnya
pembedaan politik dan administrasi sangat dipertimbangkan oleh generasi
ketiga, namun demikian diskusi terus berlanjut. Perkembangan selanjutnya,
sebagai akibat dari gagalnya intervensi Amerika di Vietnam dan juga skandal
Watergate membuat politik mulai diragukan, dan baru ditahun 1980-an
terdapat pertimbanagn yang baik kembali terhadap birokrasi dimana
Administrasi Publik harus memisahkan diri dari politik.
Pre Generation, First Generation, Second Generation dan Third
Generation disebut sebagai Old Public Administration. Konsep yang
digunakan Paradigma Old Public administration juga dapat dilihat melalui
model “old chestnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi
Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis dan
terinstitusionalisasi; organisasi yang hierarkhis dan berdasarkan peraturan;
penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta
menghasilkan keluaran yang seragam
2) New Public Management (11980-1990)
35
Setelah perkembangan Ilmu Administrasi pada tahun 1980-an
kemudian berkembang lagi menjadi New Public Management khususnya di
New Zealand,Australia, Inggris dan Amerika sebagai akibat dari munculnya
krisis kesejahteraan negara. Paradigma ini kemudian menyebar secara luas
khususnya ditahun 1990-an disebabkan adanya promosi dari lembaga
internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran
dan kelompok- kelompok konsultan manajemen
Paradigma NPM ini muncul disebabkan sejumlah kekuatan baik
dinegara maju maupun dinegara berkembang . Di negara maju memiliki
perkembangan dibidang ekonomi, social, politik dan lingkungan
administrative secara bersama – sama mendorong terjadinya perubhan
radikal dalam sistem manajemen dan Administrasi Publik. Sasaran utama
dari perubahan yang diinginkan adalah peningkatan cara pengelolaan
pemerintah dan penyampaian pelayanan pada masyarakat dengan
penekanan pada efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Kemunculan NPM
dinegara berkembang hampir sama dengan negara maju yang dilatar
belakangi oleh faktor- faktor krisis ekonomi dan keuangan, penyesuaian
struktur dan kondisional konteks manajemen dan administrasi Publik, serta
konteks politik bagi adanya reformasi.
Dalam NPM menyediakan banyak pilihan untuk mencapai biaya yang
efektif dalm penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang
36
terpisah untuk kebijakan dan implementasi, kontrak kerja , pasar internal,
sub-kontrak dan metode lainnya. NPM memiliki focus yang kuat terhadap
organisasi internalnya diman berusaha memperbaiki kinerja organisasi sektor
public dengan metode yang digunakan oleh sektor privat. Terdapat sejumlah
prinsip dasar dari NPM berdasarkan pendapat dari sejumlah ahli
sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu,
2002, serta Borins and Warrington 1996 dalam Samaratunge and
Bennington, 2002) :
a. Penanganan oleh manajemen professional, Artinya, biarlah manajer yang
mengelola. Prinsip ini memperkenalkan akan adanya kebutuhan bagi
pengelolaan yang professional di tingkat atas, dan manajer professional ini
harus diberikan kewenangan yang besar dalam mengelola dari pada
hanya sekedar menjadi administrator yang fungsinya hanya
mengadministrasikan aturan. Jika memungkinkan, posisi dari manajer ini
harus berdasarkan kontrak khususnya untuk mampu memberikan jawaban
terhadap hasil-hasil tertentu yang ditentukan secara politis. Pola kontrak
yang semacam ini membawa perubahan yang mendasar dalam
pengorganisasian manajemen sumberdaya manusia di sector public.
b. Keberadaan standard an ukuran kerja. Salah satu perangkat penting
dalam mengimplementasikan manajemen professional adalah melalui
pendefinisian secara jelas terhadap tujuan, target, dan indicator
37
keberhasilan. Lebih disukai dalam bentuk kuantitatif serta pembenaran
berdasarkan akuntabilitas yang lebih besar terhadap penggunaan
sumberdaya.
c. Penekanan pada pengawasan keluaran dan manajemen wirausaha. Hal
ini dilakukan melalui mekanisme kinerja dan anggaran berdasarkan
program serta melalui perencanaan jangka panjang dan penggunaan
manajemen stratejik pada organisasi. Manajemen stratejik memfokuskan
pada perubahan tujuan yang harus dicapai oleh organisasi dalam situasi
perubahan lingkungan yang dinamis melalui analisa SWOT.
d. Unit yang tidak mengumpul. Organisasi dibagi kedalam unit-unit korporasi
yang terpisah dan dengan kontrak kinerja yang terpisah dengan tujuan
memisahkan kebijakan dari unit operasional.
e. Kompetisi dalam pelayanan publik. Penerapan prinsip pasar ke dalam
sektor publik dilakukan melalui privatisasi, komersialisasi dan tes pasar
(tender versus penyediaan oleh birokrasi). Dengan memisahkan antara
penyedia (otoritas legal) dari produksi (transformasi teknis dari input
menjadi output), maka rivalitas dari produsen yang berbeda dapat
digunakan untuk mengurangi biaya dan meningkatkan standar.
f. Penekanan pada gaya sektor privat dalam praktek manajemen. Idenya
adalah memindahkan etika pelayanan public dari gaya militer menjadi lebih
38
fleksibel dalam merekrut dan memberikan penghargaan seperti evaluasi
kinerja dan gaji yang sesuai kinerja
g. Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan penghematan. Dilakukan
melalui pemotongan biaya langsung, peningkatan disiplin pekerja,
pembatasan biaya keluhan serta penggunaan teknologi komunikasi dan
informasi.
h. Penekanan, terhadap peran dari manajer public dalam menyediakan
pelayanan berkualitas tinggi.
i. Mengadvokasi otonomi manajerial dengan mengurangi pengawasan
lembaga pusat
j. Tuntutan, pengukuran dan penghargaan terhadap kinerja individu dan
organisasi.
k. Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya manusia dan teknologi
yang dibutuhkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya.
l. Menjaga penerimaan terhadap kompetisi dan wawasan yang terbuka
mengenai bagaimana tujuan public harus dilaksanakan oleh aparat
pemerintah
3) New Public Service (1990- sekarang)
39
New Public Service merupakan perkembangan lebih lanjut dari New
Public Manajemen pada 1990-an yaitu setelah Administrasi publik
mengusung konsep pemerintahan yang efisien dengan banyak pilihan untuk
mencapainya kemudian Administrasi berkembang menjadi lebih inovatif.
Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam
reformasi administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru,
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi
publik dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Dukungan intelektual
dalam gerakan ini di Inggris tampak dari karya Emmanual Savas dengan
“Privatization”nya, Normann Flynn dengan “Public Sector Management”nya.
Di Amerika Serikat, gerakan ini memperoleh popularitas besar berkat karya
terkenal David Osborne dan Ted Gaebler (1995), Reinventing Government.
Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di
banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik dengan
melakukan privatisasi gaya Inggris atau dengan gerakan mewirausahakan
birokrasi gaya Amerika Serikat.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi
pasar sehingga memandang hubungan antara badan-badan publik dengan
pelanggannya sebagai layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan
pembeli. Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu
menemukan cara-cara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan, atau
40
menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah.
Manajer publik didesak untuk “mengarahkan bukannya mengayuh,” yang
bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi
sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme
pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada
akuntabilitas kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi
badanbadan publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan
proses administrasi, dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.
Menurut Denhardt dan Denhardt (2003), karena pemilik kepentingan
publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka administrator publik
seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan
memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan
implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga
negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan
perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai New Public Service.
Perspektif new public service mengawali pandangannya dari
pengakuan atas warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi
kepemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak hanya dipandang
sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga
melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga
negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government)
41
dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih
baik. Kepentingan public tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan
pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari
nilai bersama dan kepentingan bersama. Perspektif new public service
menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam
pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.
Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari
adanya beberapa lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas
dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus
melibatkan masyarakat tidak hanya dalam perencanaan tetapi juga
pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus
dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik
tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan
administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi
pelayanan kepada masyarakat.
Perspektif new public service membawa angin perubahan dalam
administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut perubahan
dalam cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan, perubahan
dalam memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat,
perubahan dalam cara bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan,
dan perubahan dalam bagaimana administrator publik menjalankan tugas
42
memenuhi kepentingan publik. Perspektif ini mengedepankan posisi
masyarakat sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi
publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi
administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan
publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Perspektif ini juga
mengakui bahkan menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai
jenjang pemerintahan, termasuk daerah. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan lokal, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting dalam
perspektif new public service, yang merupakan perspektif baru dalam
administrasi publik.
Untuk memahami kaitan antara administrasi publik dengan
kepemimpinan , maka terlebih dahulu memahami hakekat ilmu administrasi.
Makmur (2008:1), mengemukakan bahwa hakekat ilmu administrasi
merupakan hasil pemikiran dan penalaran manusia yang disusun
berdasarkan dengan rasionalitas dan sistimatika yang mengungkapkan
kejelasan tentang objek forma, yaitu pemikiran untuk menciptakan suatu
keteraturan dari berbagai aksi dan reaksi yang dilakoni oleh manusia dan
objek material, yaitu manusia yang melakukan aktivitas adminitrasi dalam
bentuk kerja sama menuju terwujudnya tujuan tertentu.
43
Haedar Akib (2011:226) mengutip pendapat Morten Egeberg, Oters
dan Pierre, 2007:77) menyatakan bahwa sebagai ilmuan atau pemerhati
administrasi sama-sama memahami bahwa inti administrasi adalah
organisasi. Karena administrasi merupakan bentuk kerjasama sekelompok
orang yang didasarkan atas pengetahuan (explisit, Tacit, and cultural)
tertentu untuk mencapai suatu tujuan, dilakukan melalui organisasi. Seperti
halnya organisasi yang berkecimpung dengan bidang pendidikan, diharapkan
dalam melaksanakan aktivitas harus membangun kerjasama yang baik.
seperti administrasi, organisasi, manajemen, kepemimpinan, hubungan
manusia, perilaku manusia.
Jadi administrasi publik mempunyai keterkaitan dengan
kepemimpinan. Makmur (2006:15) menjelaskan bahwa akumulasi bagian-
bagian yang terangkum dalam administrasi membentuk suatu kesatuan utuh,
yang diistilahkan dengan totalitas. Bagian-bagian dalam sistem administrasi
dapat digambarkan sebagai berikut:
12
34
5
44
Gambar di atas, merupakan suatu ikatan utuh dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:
1.Simbol persegi empat adalah administrasi, memberikan konseptual yang
berlaku secara universal yang mengarah kepada proses kerja sama
dengan dilandasi pemikiran rasional.
2. Simbol lingkaran pertama adalah organisasi. Apabila administrasi
memberikan pemaknaan keteraturan dalam kerjasama manusia, maka
organisasi berfungsi sebagai wadah berserikat manusia untuk melakukan
kerjasama.
3. Simbol lingkaran kedua adalah manajemen, memikirkan pelaksanaan
suatu kegiatan yang telah ditentukan sebelumnya dengan membagi habis
kegiatan ke dalam unit-unit organisasi secara profesional.
4. Simbol lingkaran ketiga adalah kepemimpinan. Berfungsi untuk
mengarahkan manusia yang melakukan kerjasama, sehingga
melaksanakan kepercayaan (trust) antara satu dengan yang lainnya.
45
5. Simbol lingkaran keempat adalah hubungan manusia. Aktivitas
adiministrasi akan mengalami hambatan atau kelancaran sangat
tergantung kepada hubungan baik atau tidaknya manusia dalam suatu
organisasi.
6. Simbol lingkaran kelima adalah perilaku manusia. Efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan daripada aktivitas atau kegiatan administrasi juga ditentukan
oleh perilaku dari seluruh manusia dalam organisasi.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami administrasi publik adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu adminitrasi dengan objek kajian kerja
sama untuk mencapai tujuan tertentu, demikian juga admnistrasi publik yang
mengkaji tentang aktivitas manusia secara teratur untuk mencapai tujuan
tertentu. Sehingga kepemimpinan terlihat punya keterkaitan dengan
administrasi publik dengan alasan bahwa aktivitas dalam sebuah organisasi
tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada kepemimpinan
yang.menggerakkan sumber daya yang tersedia di sebuah organisasi atau
lembaga.
B. Kepemimpinan dalam Perspektif Administrasi Publik
1. Penelitian Relevan
46
Berdasarkan hasil penelitian Waldman et al., (2001) pengaruh
pimpinan pada kinerja organisasi adalah sangat dimungkinkan,
kepemimpinan kharismatik hanya memprediksi kinerja pada kondisi
lingkungan ketidakpastian bukan pada kondisi lingkungan yang penuh
dengan kepastian. Korelasi terjadi pada saat terjadi hubungan yang signifikan
secara statistic antara kepemimpinan transaksional atau kepemimpinan
kharismatik dan ketidakpastian lingkungan, meskipun pada kenyataannya
diukur dengan menggunakan metode-metode umum dan kejadian yang
menunjukkan mereka covary. Kepemimpinan transaksional tidak berkorelasi
secara signifikan dengan kinerja, sebaliknya secara marginal kepemimpinan
kharismatik secara signifikan berkorelasi dengan kinerja. Ketika kharisma
uncertainty dan transaksional–uncertainty dimasukkan bersama ke dalam
persamaan, hanya koefisien kharismatik uncertainty yang signifikan. Hasil ini
memungkinkan kharismatik dalam interaksinya dengan uncertainty menjadi
variable kunci dalam memprediksi kinerja.
Junaedi Sheelyana dan Fandi Tjipto (2002), menemukan bahwa
kepemimpinan transformational menunjukkan bahwa pemimpin yang
menunjukkan empati dan mengkomunikasikan visi mempengaruhi
kepercayaan bawahan pada kegiatan organisasi secara signifikan pemimpin
yang memperoyeksikan dirinya bertindak percaya diri dan penuh keyakinan
tidak mempengaruhi kekaguman bawahan terhadap kemampuan pimpinanya
47
secara signifikan, namun perilaku pemimpin dari kompetensi personal dan
komitmen total pada misi organisasi ternyata dapat mempengaruhi secara
siginifikan perasaan kagum bawahanya. Hasil penelitian ini didukung hasil
penelitian yang dilakukan Khoirul (2001) pada Universitas Muhammadiyah
Malang, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada pengaruh komitmen
pimpinan dengan kinerja karyawan. Selanjutnya penelitian ini juga
mengindikasikan bahwa pengaruh kemampuan pemimpin meyakinkan
bawahan akan kompetensi mereka dan kemampuan pemimpin
mendelegasikan tanggungjawab dan memberi kesempatan bagi bawahan
untuk sukses tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan
bawahan pada kemampuannya sendiri untuk mengendalikan situasi
(perberdayaan). Namun demikian, secara parsial variable kemampuan
pemimpin meyakinkan kompetensi bawahan berpengaruh secara signifikan.
Marselius ST-Rita Andarika (2004), yang dituangkan dalam bentuk
Jurnal, melihat ada 4 faktor gaya kepemimpinan yaitu faktor kharisma,
inspirasional, stimulasi intelektual, dan perhatian individual yang dianalisis
tekhnik korelasi product-moment, dimana hasil penelitiannya menyimpulkan
bahwa factor charisma, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian
menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan.
Syahir Natsir (2004), melakukan penelitian dengan menguji pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap perilaku kerja dengan melihat indikator gaya
48
kepemimpinan transaksional, transformasional dan kharismatik, dan hasilnya
adalah gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional terdapat
pengaruh langsung negative tetapi tidak signifikan, makna dari hasil
penelitian ini bahwa perilaku kerja karyawan tidak dipengaruhi oleh
pertukaran imbalan (material) yang berarti bahwa tidak dapat dijadikan
sebagai alat yang memprediksi perilaku kerja. Sedangkan gaya
kepemimpinan kharismatik teradap pengaruh langsung positif dan signifikan
terhadap perilaku kerja, makna dari hasil penelitian ini adalah kepemimpinan
kharismatik dapat memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik.
Fitriani (2010), mengkaji tentang Kepemimpinan Kepala Dinas
Pendidikan Nasional terhadap Kualitas Pelayanan pada Bidang Pendidikan di
Kota Bengkulu. Hasil penelitian terdapat pengaruh yang positif dan tinggi
kepemimpinan Kepala Dinas terhadap kualitas pelayanan pada bidang
pendidikan, Kepemimpinan Kepala Dinas dilihat dari dimensi-dimensi yaitu
membimbing, membuat struktur dan fasilitas aktivitas atau hubungan memiliki
pengaruh yang kuat/tinggi dan merupkan faktor penentu dalam pelayanan
pada bidang pendidikan di Kota Bengkulu .
Indikasi Gallup dalam Luthans (2006) berdasarkan hasil surveynya
mengatakan, kepemimpinanlah yang mengarahkan seorang termotivasi dan
menciptakan situasi yang dapat membuat karyawan bahagia dan berhasil,
bukan organisasi. Dalam arti kata keberhasilan, kegagalan sebuah kegiatan
49
tergantung pada kepemimpinan, motivasi seseorang dalam melaksanakan
tugasnya. Cardoso (2000) menyatakan betapapun majunya kebijakan dan
perumusan tujuan organisasi serta penggunaan tekhnologi, berkembangnya
informasi, tersedianya modal tanpa didukung oleh kualitas sumber daya
manusia dalam penyelenggaraan pelayanan publik, tidak akan mencapai
hasil yang optimal.
Hasil penelitian tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa betapa
pentingnya kepemimpinan terhadap pencapaian tujuan sebuah organisasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut para pemimpin sebaiknya mampu
menerapkan gaya kepemimpinan. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua
dimensi gaya kepemimpinan dapat diterapkan pada semua organisasi,
disebabkan karena manusia yang beraktivitas dalam sebuah organisasi
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehinga unsur pimpinan dalam
menjalankan kepemimpinanya diharapkan sebelum mempengaruhi kearah
pencapaian tujuan, maka terlebih dahulu membaca situasi dan tingkat
kemampuan para bawahannya atau yang dipimpin.
2. Pengertian Kepemimpinan dan Teori Kepemimpinan
a. Pengertian Kepemimpinan
Berbicara tentang kepemimpinan berarti kita tidak dapat melepaskan
diri dari masalah manusia, karena memang kepemimpinan sutradaranya
50
adalah manusia itu sendiri yang memiliki pemikiran realistis dalam
menghadapi berbagai proses aktivitas yang juga diperankan oleh manusia.
Oleh karena itu kepemimpinan tidak akan ada tanpa pemimpin dan yang
dipimpin, keduanya ini adalah manusia. Bass (1981), menjelaskan bahwa
kepemimpinan merupakan fenomena yang kompleks, dan merupakan gejala
kemanusiaan yang universal. Burns (1978), kepemimpinan juga merupakan
salah satu topik yang paling banyak diamati sekaligus fenomena yang paling
sedikit dipahami.
Akhir-akhir ini masalah kepemimpinan semakin menarik perhatian
banyak kalangan, utamanya dalam kajian manajemen publik, sebab
kepemimpinan memiliki dimensi yang luas. Kepemimpinan tidak hanya berarti
pemimpin terhadap manusia, tetapi juga pemimpin terhadap perubahan.
Seorang pemimpin tidak hanya mempengaruhi bawahan, tetapi juga
merupakan sebagai sumber inspirasi dan motivasi bawahannya. Oleh sebab
itu definisi dan penafsiran kepemimpinan semakain beragam dalam
perkembangannya.
Torgesen (1972) Selain kepemimpinan dipandang sebagai seni dan
ilmu pengetahuan juga sebagai profesi. Sebagai suatu profesi kepemimpinan
memenuhi criteria, “ knowledge, competent application, social responsibility,
self control . Disamping itu kepemimpinan dapat ditelaah dari segi sifat,
perilaku, situasi dan kaitannya dengan perubahan lingkungan (kepemimpinan
51
transformational). Namun belum ada kata sepakat di antara para teoritisi
organisasi tentang definisi kepemimpinan Dwivedi (1979). Tergantung pada
sudut pandang mereka masing-masing.
Berhubung dengan sangat pentingnya aspek kepemimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang baik, maka wajar apabila masalah
kepemimpinan mendapat pengkajian yang lebih serius oleh para ahli, seperti
yang diungkapkan oleh Terry (2002) menyatakan dunia sedang memerlukan
kepemimpinan, sehingga kepemimpinan dapat dipandang sebagai
kemampuan seseorang atau pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang
lain menurut keinginan-keinginanya dalam setiap kegiatan-kegiatan tertentu.
Makna dari penjelasan tentang kepemimpinan tersebut mudah
diberikan, akan tetapi sukar untuk benar-benar didalami, karena setiap pakar
kepemimpinan mempunyai pandangan yang berbeda-beda yang
menawarkan teori-teori yang saling bertentangan tentang natur
kepemimpinan yang efektif . Beberapa ahli teori berkata bahwa hakekat
kepemimpinan adalah visi. Yang lain berkata bahwa kepemimpinan
memberdayakan para pengikutnya. Yang lain lagi menawarkan keahlian-
keahlian manajemen spesifik kepada para pemimpin, atas dasar pemikiran
bahwa sekalipun jika kita tidak bisa mendiagnosis masalahnya dan meminta
para ahli menyelesaikannya, mungkin kita bisa mengelolanya.
52
Dengan demikian pengertian kepemimpinan akan timbul di manapun
asalkan unsur- unsur seperti: Adanya orang yang dipengaruhi, Adanya orang
yang mempengaruhi, mengarahkan kepada tercapainya sesuatu tujuan.
Implikasi semua definisi tersebut menunjukkan bahwa seseorang pemimpin
harus memiliki kemampuan lebih untuk mengarahkan dan mempengaruhi
orang lain dalam pencapaian tujuan.
Stoner et al (1996) secara rinci mengemukakan implikasi definisinya
sebagai berikut:
(1).Kepemimpinan melibatkan orang lain (karyawan atau pengikut). Dengan
kemauan mereka menerima pengarahan dari pemimpin dan membuat
proses kepemimpinan menjadi mungkin , tanpa orang yang dipimpin,
semua mutu kepemimpinan dari seorang manajer menjadi tidak relevan.
(2). Kepemimpinan melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara
pimpinan dan anggota kelompok. Anggota kelompok bukannya tanpa
kekuasaan, mereka dapat dan membentuk aktivitas kelompok dengan
berbagai cara. Sekalipun demikian, pemimpin biasanya mempunyai
kekuasaan lebih besar.
(3) Kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan berbagai bentuk
kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku pengikut dengan berbagai
cara. Artinya, seorang pemimpin tidak hanya harus mampu menyuruh
53
bawahannya untuk mengerjakan sesuatu, tetapi juga dapat
mempengaruhinya untuk mengikuti petunjuk dan instruksinya.
(4) Kepemimpinan menggabungkan tiga aspek pertama dan mengakui
bahwa kepemimpinan adalah mengenai nilai.
Jika pengertian kepemimpinan yang diajukan oleh Stoner tersebut
dikaji, maka hal yang menarik adalah proses interaksi dan saling
mempengaruhi antar pribadi baik pimpinan maupun karyawan. Hal ini berarti
bahwa aktivitas kepemimpinan akan berjalan dengan baik kalau terjadi
hubungan timbal balik melalui proses komunikasi yang jelas. Pemahaman ini
mengarah kepada teori pertukaran social yang kemudian berkembang
menjadi salah satu pendekatan dalam kajian interaksi pemimpin dengan
bawahan atau pengikutnya.
Walaupun definisi kepemimpinan memiliki berbagai anasir utama yang
menggerakkan jalannya proses kepemimpinan, yaitu adanya pemimpin,
bawahan, tujuan yang ingin dicapai, dan situasi tertentu.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa kepemimpinan merupakan
salah satu aspek penting dalam manajemen dan salah satu bagian dari
administrasi publik. Untuk memberi pengertian tentang kepemimpinan maka
penulis menelusuri dari berbagai pendapat para ahli Salusu (2004:190)
54
kepemimpinan sering sulit didefinisikan secara tepat, oleh sebab itu banyak
orang mencoba memperkenalkan defenisinya sesuai versi masing-masing .
Glenn (dalam Salusu, 2004:192) telah mengumpulkan lebih dari 350
definisi tentang kepemimpinan. Salah satu diantaranya adalah Yulk (1994:3),
“ Leadership is teh process of influencing the activities of an organized group
to Ward goal achievement” dan Wijono dalam (Pasolong, 2008)
kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain untuk melakukan sesuai dengan kehendak pemimpin.
Robbins (2008: 49) kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi sebuah kelompok untuk mencapai suatu visi atau
serangkaian tujuan tertentu. Terry (2006:343), dunia sedang memerlukan
kepemimpinan, sehingga kepemimpinan dapat dipandang sebagai
kemampuan seseorang atau pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang
lain menurut keinginan-keinginanya dalam setiap kegiatan-kegiatan tertentu.
Kouzes (1999:3), menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya
adalah mengenai penciptaan cara bagi orang untuk ikut berkonstribusi dalam
mewujudkan sesuatu yang luar biasa. Untuk mewujudkan sesuatu yang luar
biasa maka Gribbin (1972:9) merumuskan kepemimpinan sebagai berikut: “
Leadership can be described as a process of influence on group in a
particular situation, at a given point in time, and in a specific set of attain
55
organizational objectives, giving them the exprience of helping attain the
common objectives and satisfaction with the type of leadership provided”.
Kepemimpinan dapat digambarkan sebagai bagian dari proses suatu situasi
yang mana mempengaruhi anggota dan pada suatu saat memiliki objek
organosasi yang khusus, sehingga mereka memiliki pengalaman yang
membantu untuk memperoleh objek dan dengan tipe kepemimpinan ini
memberikan kepuasan .
Berdasarkan konsep kepemimpinan yang diungkapkan Gribbin, maka
diangkat beberapa hal sebagai berikut:,
1. Adanya pengaruh, ada kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi
kelompok sehingga mereka bersedia dengan suka rela bukan melalui
paksaan untuk melakukan kegiatan.
2. Dalam siatuasi tertentu, kepemimpinan yang berhasil tidak dapat
dipisahkan dengan kemampuan seseorang pemimpin dalam
menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan tuntutan keadaan yang
dihadapinya.
3. Menggerakkan, yaitu kepemimpinan yang menekankan pada usaha
mempengaruhi anggota agar mereka dengan sukarela bekerja bersamaan
untuk mencapai tujuan kelompok. Sukarela dalam hal ini hanya dapat
56
diwujudkan jika pemberian motivasi pemimpin menyentuh motiv-motiv
mereka.
4. Kepuasan, memperlengkapi type/gaya kepemimpinan. Ada kalanya
produktivitas dapat ditingkatkan melalui tekanan dan hukuman. Tetapi
ternyata bahwa para anggota merasa tidak puas. Pengurus hendaknya
berusaha membantu anggotanya untuk mencapai kepuasan kerja dengan
jalan memberikan motivasi.
Dengan demikian pengertian kepemimpinan akan timbul di manapun
asalkan unsur- unsur seperti:
(1) Adanya orang yang dipengaruhi, artinya kepemimpinan hendaknya
melibatkan orang lain seperti para bawahan atau pengikutnya. Melalui
kesediaan mereka mau menerima pengarahan dari pemimpin, anggota-
anggota kelompok membantu menegakkan status pemimpin dan
memungkinkan berlangusngnya proses kepemimpinan.Tanpa bawahan
atau pengikut maka kualitas kepemimpinan dari pimpinan tidak akan
relevan.
(2) Adanya orang yang mempengaruhi, mengarahkan kepada tercapainya
sesuatu tujuan. Implikasi semua definisi tersebut menunjukkan bahwa
seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan lebih untuk
mengarahkan dan mempengaruhi orang lain dalam pencapaian tujuan.
57
Bass and Avolio (1990:21) memberikan definisi kepemimpinan sebagai
suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Pemimpin merupakan agen
perubahan, orang yang perilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain
daripada perilaku orang lain yang mempengaruhi mereka. Kepemimpinan
timbul ketika satu anggota kelompok mengubah motivasi atau komptensi
anggota lainnya di dalam kelompok.
Menyimak beberapa pendapat tersebut di atas, kepemimpinan
merupakan suatu proses mempengaruhi tingkah laku orang-orang supaya
dapat bekerjasama dalam mewujudkan tujuan yang telah disepakati
bersama. Kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi aktivitas
seseorang dalam kelompok orang yang terorganisasi (bawahan) supaya mau
bekerjasama dengan pimpinan (atasan) dalam situasi tertentu untuk
mencapai tujuan. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh dari pimpinan terhadap para
pengikutnya dengan memberikan misi, visi, perhatian, rasa senang, kasih
sayang, kepercayaan, obsesi, dan konsistensi pada para anggotanya serta
menggunakan simbol-simbol, perhatian, memberikan pelatihan, serta
menunjukkan contoh dan tindakan nyata será memotivasi para pengikutnya
untuk mencapai tujuan organisasi secara sukarela.
Esensi kepemimpinan dapat dikatakan efektif, jika para pemimpin
dapat membantu orang untuk menerjemah peristiwa, memahami mengapa
58
relevan, dan mengenali ancaman dan kesempatan yang muncul. Jika para
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya dapat membantu
menciptakan kesepakatan tentang sasaran, prioritas dan strategi maka
pemimpin tersebut dapat dikatakan membangun komitmen dan optimisme
tugas, meningkatkan antusiasme untuk pekerjaan itu, komitmen terhadap
sasaran tugas, dan keyakinan bahwa upaya itu akan berhasil secara efisien,
dan inovatif (Yukl, 2003: 523).
Pendapat tersebut yang telah dikemukakan, terlihat bahwa
keberhasilan seseorang pemimpin dalam memimpin suatu organisasi sangat
ditentukan oleh kemampuan mengaplikasikan gaya kepemimpinan secara
efektif.
Penelitian-penelitian yang bersumber pada pandangan gaya
kepemimpinan (stylistic approach) pada umumnya memuastkan perhatiannya
pada perbandingan antara gaya kepemimpinan otokratik dan demokratik.
Oleh karena penelitian di bidang ini kurang konsisten dan tidak dapat
menggambarkan superioritas universal dari satu gaya kepemimpinan
terutama gaya kepemimpinan demokratik, maka beberapa ahli mulai
memusatkan perhatiannya pada pendekatan lain yaitu pendekatan
situasional, karena Gatto beranggapan kedua gaya tersebut kurang
konsisiten, maka Gatto (1992) mengembangkan menjadi 4 gaya
59
kepemimpinan yaitu gaya direktif, konsultatif, partisipatif dan delegasi.
Masing-masing gaya ini memiliki karakteristik tersendiri seperti:
1. Gaya kepemimpinan direktif. Semua kegiatan terpusat pada pemimpin,
dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak yang
diizinkan. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter.
2. Gaya konsultatif, Gaya ini dibangun di atas gaya direktif , kurang otoriter
dan lebih banyak melakukan interaksi dengan para staf dan anggota
organisasi. Fungsi pemimpin lebih banyak berkunsultasi, memberikan
bimbingan, motivasi, memberi nasehat dalam rangka mencapai tujuan.
3. Gaya partisipatif. Gaya ini bertolak dari gaya konsultatif yang bisa
berkembang ke arah saling percaya antara pemimpin dan bawahan.
Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk
menyelesaikan pekerjaan sebagai tanggung jawab mereka. Sementara itu
kontak konsultatif tetap berjalan terus. Dalam gaya ini pemimpin lebih
banyak mendengar, menerima, bekerja sama dan memberi dorongan
dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian diberikan kepada
kelompok.
4. Gaya free-rein, Gaya ini disebut gaya delegasi, yaitu gaya yang lebih
banyak mendorong kemampuan staf untuk mengmabil inisiatif. Kurang
interaksi dan control yang dilakukan oleh pemimpin sehingga gaya ini
60
hanya bisa berjalan apabila staf memperhatikan tingkat komptensi dan
keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa
setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara
yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang
satu lebih baik atau lebih jelek dari pada gaya kepemimpinan yang lainnya.
Parasuraman dan Berry (1990), menjelaskan bahwa salah satu karkateristik
pemimpin yang diharapkan untuk dapat menciptakan pelayanan yang unggul
yaitu gaya kepemimpinan yang selalu siap membimbing bawahan, tanpa
henti melatih, memuji, memperbaiki, mempengaruhi, mengarahkan,
mendengarkan. Mereka menenamkan pada komunikasi pribadi dua arah
karena mereka mengetahui bahwa ini cara terbaik untuk memberi bentuk,
substansi, dan kredibilitas bagi visi pelayanan dan cara yang terbaik (Andira
dan Budiarto Subroto, 2009).
Ada beberpa gaya kepemimpinan seperti dalam jurnal Nisrul Irawati
(2004), menyebut tiga gaya kepemimpinan yaitu: (1) The authocratic leader,
(2) The participative leader, (3) The Free Rein Leader. Bass dan avolio
(Nancy Gustafson, Ed,D: 2009) yang diistilahkan model kepemimpinan Full-
Range yaitu gaya kepemimpinan transformasional, transaksional dan Laissez
faire, Luthans (2006), Robbins (2007) melihat gaya kepemimpinan yaitu gaya
kepemimpinan transformasional, transaksional dan kharismatik, outentik dan
61
budaya. Tetapi pada penelitian ini penulis menjadikan indicator dari variable
gaya kepemimpinan yaitu gaya transformasional, transaksional dan
kharismatik.
Haedar Akib (2010), untuk mengklasifikasi teori dan penelitian
kepemimpinan dapat dilakukan dengan cara memahami level analisisnya
(Lussier dan Achua, 2001: 14). Level analisis teori kepemimpinan minimal
terdiri dari empat, yakni individu, kelompok, organisasi dan masyarakat.
Karena itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan dalam
konsep proses pada salah satu dari empat level tersebut.
Pertama, level individu. Level analisis ini terfokus pada individu
pemimpin dan hubungannya dengan individu lain (pengikutnya). Asumsi yang
dianut ialah efektivitas kepemimpinan tidak dapat dipahami lebih jauh tanpa
menjelaskan bagaimana pemimpin dan pengikutnya saling mempengaruhi
satu sama lain sepanjang waktu.
Kedua, level kelompok. Level analisis ini terfokus pada hubungan
antara pemimpin dengan kelompok pengikut kolektif yang disebut proses
kelompok. Teori proses kelompok memfokuskan pada kontribusi seorang
pemimpin terhadap efektivitas kelompok. Penelitian mendalam tentang
beberapa kelompok kecil telah mengidentifikasi faktor determinan penting
bagi efektivitas kelompok.
62
Ketiga, level organisasi. Level analisis ini terfokus pada organisasi
sehingga lazim disebut proses organisasi. Kinerja organisasi dalam jangka
panjang tergantung pada penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan
dan perolehan sumber daya yang dibutuhkan untuk tetap hidup, serta pada
proses transformasi efektif yang digunakan oleh organisasi untuk
menghasilkan produk dan jasa. Sebagian hasil penelitian terakhir pada level
organisasi menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari manajer level
puncak terhadap kinerja organisasi (Lussier dan Achua, 2001: 14; Manz dan
Sims, 2001: 2; Overton, 2002).
Keempat, level masyarakat. Level analisis ini banyak terfokus pada
perilaku pemimpin informal dalam masyarakat pada umumnya. Corak
kepemimpinan di masyarakat sangat dipengaruhi oleh tatanan nilai dan
keyakinan serta norma-norma (adat, kesusilaan, hukum, agama) yang
berkembang dalam masyarakat.
Mencermati beberapa pendapat tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa kepemimpinan mempunyai peran yang sangat strategis dalam sebuah
organisasi. Sunindhia dan Ninik Widyanti (1993:128), ada 3 (tiga) tugas dan
peranan pemimpin yaitu: Meyakinkan, mengambil resko, Melaksanakan
disiplin.
a. Meyakinkan
63
Tidak ada kepemimpinan tanpa adanya kerelaan dari orang-orang
yang dipimpin. Untuk memperoleh kerelaan ini seorang pemimpin biasanya
harus menggunakan keyakinan. Dengan menggunbakan keyakinan seorang
pemimpin berusaha menggunakan semangat orang-orang bawahannya.
Usaha usaha dilakukan untuk mengembangkan sikap tertentu dari orang-
orang bawahan, untuk menimbulkan keyakinan tentang pendapat-pendapat
tertentu atau keyakinan tentang keadaan-keadaan tertentu.
b. Mengambil resiko
Di antara pemimpin-pemimpin kita yang terbaik adalah orang-orang
yang mempunyai ide-ide, percaya sungguh-sungguh akan ide-ide tersebut
dan mengambil resiko yang perlu untuk membuktikannya. Sifat yang terakhir
ini memerlukan keberanian yang sungguh-sungguh dan adalah sangat
penting untuk kepoemimpinan. Pemimpin mau mengambil resiko yang
diperhitungkan atas dasar perhitungannya sendiri yang baik. Ia bukanlah
hanya seorang pemimpin, akan tetapi juga orang yang mengerjakan.
c. Melaksanakan Disiplin
Kebanyakan pekerjaan adalah lebih baik dikerjakan di bawah aturan
disiplin tertentu daripada dikerjakan secara bebas. Pegawai-pegawai ingin
mengetahui status mereka dan apa yang diharapkan dari mereka. Baik
kepuasan maupun produktivitas pegawai bertambah karena disiplin. Disiplin
64
yang baik membantu menjamin bahwa tiap pegawai akan bekerja terus
dengan baik dan tidak melanggar hak-hak dari orang-orang lain. Sering
dikatakan bahwa seorang pemimpin yang pandai/baik adalah seorang
pengajar yang pandai/baik. Mengajar adalah salah satu daripada cara-cara
yang terbaik untuk memajukan orang-orang, mendorong, dan menyadarkan
mereka akan tujuan-tujuan tertentu. Seorang pemimpin menggunakan
kecakapan mengajar apabila ia mengajikan pertanyaan-pertanyaan dan
memnberikan saran-saran sebagai gantinya memberikan perintah-perintah.
Menunjukkan bagaimana menyelesaikan tugas tertentu, membetulkan
kesalahan-kesalahan, dan mempersiapkan pengikut-pengikutnya untuk
memperoleh kemajuan adalah merupakan contoh lainnya mengenai
kecakapan mengajar sebagai suatu ciri kepemimpinan yang penting.
Jadi Seorang pemimpin memahami orang-orang dan mengetahui
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan mereka. Ia mempunyai
kecakapan untuk bekerja dengan orang-orang dan bersikap sedemikian rupa,
sehingga ia memperoleh kepercayaan dan kesetiaan. Orang-orang suka
bekerja sama dengan dia. Ia suka memberi pertolongan, ingin orang-orang
lain sukses, ramah tamah, dan dapat didekati serta menghargai sudut
pandangan orang-orang lain.
Memimpin orang-orang memerlukan prinsip-prinsip tertentu yang
harus dipahami dan diikuti untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya.
65
Robert E.Quinn (2000: 43), menjelaskan bahwa ada 8 peran
kepemimpinan/manajerial yang didukung oleh tingkat kecakapan dalam
melaksanakan tugas sebagai pemimpin dimana pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya dapat bertindak sebagai:
1. Direktur harus memiliki tingkat kecakapan dalam mengambil inisiatif,
menentukan sasaran dan dapat mendelagasikan secara efektif.
2. Produser, harus berusaha meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja
secara pribadi, juga mampu memberikan motivasi pada orang lain serta
mempu memperhatikan waktu dengan baik dalam arti kata manajemen
waktu yang harus diperhatikan.
3.Koordinator, harus mampu membuat suatu perencanaan , mengelola dan
mendesain serta mengontrol bawahan.
4. Pemantau, harus memiliki kecekapan dalam mengurangi kelebihan beban
informasi, menganalisis informasi dengan pemikiran yang kritis serta
menyajikan informasi, menulis secara efektif.
5.Monitor, harus memiliki kecakapan memahami diri sendiri dan orang lian,
menciptakan komunikasi dan mengbembangkan bawahan.
66
6. Fasilitator, harus memiliki kecerdasan membentuk tim, pengambilan
keputusan yang partisipatif serta menamajemn konflik yang harus
dikuasai.
7.Innovator, harus memiliki kecakapan hidup bersama dengan perubahan,
pemilikiran yang jreatif dan mengelola perubahan.
8.Broker, harus memiliki pengetahuan tentang membangun dan
mempertahankan sebuah pusat kekuatan, merundingkan kesepakatan dan
komitmen serta menyajikan gagasan-gagasan.
Pemimpin yang menjalankan peran tersebut, maka setidaknya
memiliki keahlian atau kecakapan dalam menjalankan kepemimpinannya,
karena peran tersebut tidak terlaksana manakala pemimpin tidak
mengikutsertakan pengikut untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan,
terutama dalam meningkatkan kualitas layanan di sebuh lembaga atau
institusi.
Hasil penelitian Robert E.Quinn (2000: menemukan bahwa jika
pemimpin atau manajer memiliki kecakapan tersebut, maka dia akan bekerja
secara cepat, Karena kecakapan dan pengetahuan berhubungan dengan
perilaku untuk bertindak secara tepat .
b. Teori Kepemimpinan
67
Untuk mendalami kepemimpinan, di sini akan dikemukakan beberapa
teori kepemimpinan yang telah dikenal sejak lama maupun yang masih agak
baru. Pasolong ( 2008: 84) berpendapat bahwa teori kepemimpinan adalah
konsep-konsep keemimpinan yang telah teruji kebenarannya melalu suatu
penelitian ilmiah.
Luthans (2006: 641), menjelaskan dua macam teori kepemimpinan
yaitu teori kepemimpinan tradisional dan teori kepemimpinan moderen. Teori
kepemimpinan tradisional dapat dikategorikan ke dalam, (1) teori pendekatan
sifat, (2) teori pendekatan kelompok, (3) Model kontingensi, (4) Model Hersey
& Blanchard, (5) teori kepemimpinan Path-Goal, Sedangkan teori
kepemimpinan moderen dikelompokkan ke dalam, (1) teori kepemimpinan
kharismatik, (2) teori kepemimpinan transformasional dan teori
kepemimpinan transaksional (Sedarmayanti: 2009:125) mengistilahkan
sebagai teori kepemimpinan dengan pendekatan terkini dan terbaru.
(1) Teori Kepemimpinan Tradisional
a. Teori Pendekatan Sifat
Untuk menganalisis kepemimpinan, maka yang menjadi perhatian
khusus adalah melakukan pendekatan sifat, dalam memahami ciri-ciri umum
seorang pemimpin, sehingga teori sifat ini menyatakan karakteristik atau sifat
tertentu yang dimiliki seseorang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan.
68
Kualitas pribadi seseorang sangat menentukan kepemimpinanya. Kualitas
pribadi tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain . Karena itu tidak
semua orang bisa menjadi pemimpin, kecuali bagi mereka yang memiliki
tingkat kecerdasan yang lebih dari anggotanya.
Jika pendekatan sifat diaplikasikan dalam kepemimpinan organisasi,
hasilnya akan semakin kabur (Luthans: 2006:243). Alasannya karena teori
sifat ini gagal membuktikan keandalannya sebab tak satu pun kombinasi sifat
yang secara konsisten dapat membedakan antara pemimpin dan yang bukan
pemimpin, atau antara pemimpin efektif dan tidak efektif. Juga teori ini tidak
dapat membuktikan adanya hubungan yang kuat antara sifat dengan
kesuksesan kepemimpinan. Salah satu studi membuktikan bahwa efektifitas
kepemimpinan tidak ditentukan sejumlah sifat khusus, akan tetapi tergantung
atas sejauhmana sifat pemimpin sesuai dengan situasi yang dihadapi .
Luthans (2006:645), mengatakan bahwa sesuai pendapat Blanchard
menjelaskan tidak ada sekumpulan sifat yang menjamin kepemimpinan yang
sukses. Sehingga perlu melakukan pengembangan kecakapan, baik pada
pengembangan kecakapan teknis, konseptual maupun kecakapan hubungan
manusia. Dan kecakapan memimpin yaitu kreativitas, organisasi, persuasive,
diplomasi, pengetahuan terhadap tugas, dan kemampuan berbicara dengan
baik
69
b. Pendekatan Kepemimpinan Kelompok-Teori Kepemimpinan
Pertukaran .
Pengembangan teori ini didasarkan pada pendekatan psikologi social
terutama teori pertukaran sosial yang klasikal. Teori ini beranggapan bahwa
pemimpin memberikan manfaat yang lebih besar ketimbang pengorbanan
bawahan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan kelompok, diperlukan
pertukaran yang positif antara pimpinan dengan bawahan.
Luthans (2006:645), menyatakan bahwa dalam organisasi kerja, rekan
kerja yang terlibat dalam hubungan pertukaran unvestasi dan keuantungan
adalah atasan dan bawahan. Atasan menginvestasikan (misalnya upah,
ruangan kantor), dan menerima keuntungan dari atas, dan investasi dan
keuntungan terjadi secara one-to-one pada setiap unit atasan bawahan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemimpin yang memberi
perhatian kepada bawahannya mempunyai pengaruh positif terhadap sikap,
kepuasan, dan unjuk kerja (Felley: 1976). Penelitian lain menunjukkan bahwa
bawahan pada kenyataannya dapat mempengaruhi pemimpin sebagaimana
pemimpin mempengaruhi bawahan. Greene (1975) menemukan bahwa pada
saat bawahan tidak menunjukkan unjuk kerja yang baik, maka pemimpin
cenderung beriorentasi pada struktur inisiasi, akan tetapi ketika bawahan
melaksanakan pekerjaan dengan baik, pemimpin beriorentasi pada
70
konsiderasi, Barrow (1976) menemukan bahwa kelompok produktivitas lebih
banyak mempengaruhi gaya kepemimpinan dari pada pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap produktivitas.
Pada hakekatnya teori ini berhasil menunjukkan adanya pengaruh
timbal balik antara pemimpin dan bawahan (Green:1975), akan tetapi teori ini
memiliki berbagai keterbatasan. Yukl (1989) menyatakan bahwa teori ini lebih
deskriptif ketimbang preskriptif dan tidak mampu member pedoman khusus
kepada para pemimpin, bagaimana memperoleh kekuasaan dan
menggunakannya secara efektif. Di samping itu, teori ini diuji dilaboratorium
dengan kelompok kecil sebagai percobaan, sementara proses pertukaran
social memerlukan penelitian jangka panjang dalam organisasi berskala
besar untuk menunjukkan hasil yang sama jika proses yang sama dilakukan.
c. Teori Kontingensi
Dasar teori ini bertolak dari asumsi bahwa unjuk kerja suatu kelompok
tergantung pada interaksi diantara gaya kepemimpinan dan kesesuaian
situasi. Kepemimpinan dipandang sebagai hubungan yang didasarkan atas
pengaruh dan kekuasaan. Fiedler (1978) mengembangkan teknik
pengukuran gaya kepemimpinan yang disebut Least Preferred Coworker
(LPC). Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara
kepemimpinan dengan unjuk kerja kelompok. Fiedler kemudian
71
mengembangkan model kontingensi kepemimpinan yang efektif (A
Contingency Model of Leadership Effectiveness) dengan memasukkan
peubah situasional. Fiedler (1978) hubungan antara skor LPC dengan
efektivitas kepemimpinan ditentukan oleh peubah situasional yang kompleks
yang disebut sebagai kesesuaian situasi yang dapat dikontrol. Kesesuaian
situasi dimaksud adalah sejauh mana pemimpin berkemampuan mengontrol
situasi yang bersangkutan terhadap bawahannya. Untuk itu Fiedler
mengajukan tiga aspek yang dapat dijadikan ukuran kesesuaian situasi (1)
Hubungan pemimpin-bawahan, yaitu sejauhmana seorang pemimpin diterima
oleh bawahannya, atau menyangkut kualitas hubungan atasan-bawahan. (2)
Struktur tugas, yaitu yang berkaitan dengan prosedur baku dari tugas,
deskripsi yang detail tentang produk dan jasa akhir, dan indicator yang dapat
menunjukkan sejauh mana tugas-tugas dijalankan dengan baik. (3) Posisi
kekuasaan, berhubungan dengan sejauh mana otoritas pemimpin untuk
menilai unjuk kerja, member balas jasa atau pun hukuman kepada
bawahannya .
Walaupun Fiedler berhasil menjelaskan teorinya, akan tetapi teori ini
tidak luput dari kritikan-kritikan . Hersey dan Blanchard (1989) misalnya
mengingatkan, bahwa teori ini kembali kepada suatu rangkaian perilaku
pemimpin yang berdiri sendiri, yang menyatakan bahwa hanya ada dua dasar
perilaku gaya kepemimpinan, yaitu yang beriorentasi tugas dan hubungan .
72
Banyak kenyataan menunjukkan bahwa perilaku pemimpin seharusnya
dipetakan pada dua garis sumbu yang terpisah daripada suatu rangkaian
yang berdiri sendiri . Oleh karena itu seorang pemimpin yang orientasi
tugasnya tinggi tidak selalu tinggi atau rendah pada orientasi hubungan.
Berbagai kombinasi dari dua dimensi itu bias muncul. Kemudian, Yukl (1989)
mengeritik, bahwa model ini menganggap struktur tugas selalu dalam situasi
yang memungkinkan control terhadap bawahan. Akan tetapi, kekuasaan
pemimpin pada dasarnya merupakan bagian dari perbedaan pengetahuan
atas tugas diantara pemimpin dan bawahan. Kekuasaan pemimpin akhli
misalnya, akan tinggi jika ia memiliki pengalaman dan informasi yang lebih
banyak dibanding dengan bawahannya. Situasi seperti ini pada
kenyataannya tidak sinambung dan terutama diperlukan jika bawahan
menginginkan unjuk kerja kelompok yang baik, serta tugas sangat struktur
yang memungkinkan bawahan mempelajari tugas tersebut dengan cepat.
Ashour (1973) menilai bahwa model Fiedler bukanlah teori yang
sesuai dengan kenyataan, sebab ia tidak mampu menjelaskan bagaimana
skor LPC ,mepengaruhi unjuk kerja kelompok. Secara empirik model ini
lemah, sebab secara statistikal tidak mampu menunjukkan korelasi yang
signifikan (Graen, Alvares, Orris, dan Martella, McMahon, Vecchio,1983).
Kerr dan Harlan (1973), menilai bahwa pengukuran peubah situasi dari model
ini tidak bebas dari skor LPC pemimpin, sebab pengukuran LPC dan
73
hubungan pemimpin-bawahan keduanya diperoleh dari pemimpin, dan
keduanya membaur..
d. Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard
Model kepemimpinan ini dikenal dengan nama teori kepemimpinan
siklus kehidupan (life cycle theory of leadership), yang kemudian dirubah
menjadi teori kepemimpinan situasional (situational leadership theory),. Dasar
pemikiran teori ini (Hersey and Blanchard, 1988) adalah hubungan antara :
(a) banyaknya bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan oleh
seorang pemimpin, (b) tingginya perasaan social yang diberikan seorang
pemimpin, (c) kesiapan bawahan melaksanakan tugas khusus, fungsi, atau
pencapaian sasaran.
Konsep ini dikembangkan untuk membantu oran-orang untuk
mencapai kepemimpinan efektif dalam interaksinya setiap saat dengan orang
lain. Model kepemimpinan ini memberi pemahaman kepada para pemimpin
tentang hubungan antara gaya kepemimpinan efektif dengan tingkat
kesediaan atau kesiapan bawahan mereka. Model kepemimpinan situasional
menekankan pada perilaku hubungan antara pemimpin dengan bawahan.
Model gaya kepemimpinan tergantung atas tingkat kesiapan bawahan yang
akan dipengaruhi oleh pemimpin. Hersey & Blanchard mengidentifikasi
perilaku pemimpin dalam perilaku tugas dan hubungan. Perilaku tugas
74
dimaknakan sebagai keleluasaan pemimpin menjelaskan tugas dan tanggung
jawab individu atau kelompok, seperti penjelasan tentang apa yang
dikerjakan, bagaimana, kapan, dimana, dan siapa yang melakukannya.
Perilaku hubungan diartikan sebagai keleluasaan pemimpin dalam
menggunakan komunikasi dua arah atau berbagai arah, seperti
mendengarkan, menyiapkan, dan menunjang.
Dari kedua perilaku ini, Hersey & Blanchard mengembangkan gaya
kepemimpinan sebagai berikut: (1) Gaya S1 adalah gaya kepemimpinan
yang dicirikan oleh tugas tinggi hubungan rendah, atau gaya
memberitahukan yang berarti pemimpin memberi petunjuk khusus dan
mengawasi unjuk kerja bawahan secara ketat. Jika gaya kepemimpinan ini
dihubungkan dengan kesiapan bawahan, maka gaya kepemimpinan ini efektif
jika diarahkan kepada bawahan yang tidak mampu dan tidak bersedia
memikul tanggung jawab atau pada kuadran dengan tingkat kesiapan rendah
(R1). (2) Gaya S2, gaya kepemimpinan yang dicirikan oleh tugas tinggi
hubungan rendah, atau gaya menjajakan yang berarti pemimpin menjelaskan
setiap keputusan yang diambil dan member kesempatan bawahan untuk
meminta kejelasan dari setiap keputusan tersebut. Gaya kepemimpinan
seperti ini efektif untuk bawahan dengan tingkat kesediaan moderat, atau
bawahan yang tidak mampu tetapi bersedia bertanggungjawab terhadap
tugas yang diberikan (R2). (3) Gaya (S3), gaya kepemimpinan yang ditandai
75
oleh hubungan tinggi dan tugas rendah, atau gaya melibatkan, yang berarti
pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan . Gaya
kepemimpinan ini efektif untuk bawahan dengan tingkat kesediaan moderat
atau mampu, tetapi tidak mau bertanggungjawab (R3), (4) Gaya (S4), gaya
kepemimpinan yang ditandai oleh tugas rendah hubungan rendah, atau gaya
kepemimpinan mendelegasikan, yang berarti pemimpin member
tanggungjawab kepada bawahan atau keputusan yang diamati dan
pelaksanaannya. Gaya kepemimpinan ini efektif untuk bawahan dengan
tingkat kesediaan yang tinggi, atau mempunyai keyakinan tinggi dalam arti
mampu dan atau bertanggungjawab (R4).
Kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard, bahwa efektifitas kepemimpinan sangat tergantung pada variabel
situasional. Akan tetapi, pendekatan ini mengabaikan variabel budaya
sebagai variabel situasional yang sangat menentukan pilihan gaya
kepemimpinan yang efektif. Hofstede (1980) dan Hartanto (1986)
menemukan adanya pengaruh budaya nasional terhadap gaya
kepemimpinan seorang pemimpin terhadap bawahan. Amerika misalnya,
menurut Hofstede (1980), merupakan masyarakat yang memiliki dimensi
budaya kerja individualistic yang tinggi, dengan dimensi jarak kuasa yang
relatif rendah, sangat kontras dengan Indonesia yang memiliki budaya kerja
kolektifistik tinggi, dan dengan jarak kuasa yang relative tinggi. Dua kondisi
76
budaya yang berbeda ini, tidak memungkinkan penerapan gaya
kepemimpinan yang sama.
(2) Teori Kepemimpinan Moderen
Luthans (2006: 651), teori kepemimpinan moderen dikelompokkan ke
dalam, (1) teori kepemimpinan kharismatik, (2) teori kepemimpinan
transformasional, (3) teori kepemimpinan transaksional.
a. Teori Kepemimpinan Transformasional .
Salah satu asumsi dasar dari teori kepemimpinan transformational
yang perlu digaris bawahi bahwa para pemimpin organisasi harus mampu
menghadapi perubahan-perubahan secara berkesinambungan agar bisa
bersaing dalam situasi ekonomi yang perubahnya serba cepat.
Dalam situasi seperti ini setiap organisasi atau perusahaan
menghadapi dua persoalan pokok dimasa yang akan datang. Pertama,
perubahan tekhnologi yang begitu cepat dan berkesinambungan . Kedua,
perubahan social dalam arti arus manusia yang masuk ke dalam angkatan
kerja dan pasar kerja dengan kebutuhan, nilai-nilai, dan sikap yang berbeda
dari generasi sebelumnya.
Angkatan kerja baru ini muncul dengan ragam komposisi demografik,
baik usia maupun jenis kelamin. Kedua perubahan yang cepat itu dalam
77
dekade ini dan dekade mendatang memerlukan kepemimpinan yang luwes,
beriorentasi pembangunan, bersedia menerima perbedaan pandangan atau
pendapat, dan memanfaatkannya, serta mampu menghadapi angkatan kerja
dengan tingkat pendidikan yang relative lebih tinggi. Bass dan Avolio (1990)
memandang kepemimpinan transformasional sebagai suatu kebutuhan yang
mendesak untuk menghadapi permasalahan seperti di atas.
Bass dalam Gibson (1997: 86), menyatakan bahwa kepemimpinan
transformational adalah kemampuan untuk memberi inspirasi dan memotivasi
pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang
direncanakan secara orsinil dan untuk imbalan internal. Dengan
mengungkapkan suatu visi, pemimpin transformasional membujuk para
pengikut untuk bekerja keras mencapai sasaran yang digambarkan. Visi
pemimpin memberikan motivasi bagi pengikut untuk bekerja keras yakni
memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
Yukl (1994), mengatakan bahwa konsep kepemimpinan
transformasional pertama kali dikemukakan oleh Burns pada tahun 1978, dari
penelitian deskriptif mengenai kepemimpinan politik. Burns menjelaskan
bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yaitu para
pemimpin dan pengikut saling meningkatkan kesadaran dari para pengikut
dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral dengan
menstransformasikan menggerakkan kebutuhan kebutuhan tingkatan yang
78
lebih tinggi sebagaimana hierarkhi kebutuhan Maslow (1965). Kemudian
dikembangkan oleh Bass (1985), dan mendefinisikan kepemimpinan
transformasional sebagai kemampuan yang dimiliki seorang pimpinan untuk
mempengaruhi anak buahnya, sehingga mereka akan percaya, meneladani
dan menghormatinya.
Kompetensi transformasional seorang pemimpin mungkin dapat diukur
dari kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui
pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai misi
dan visi organisasinya. Proses perubahan yang dilakukan pemimpin
transformasional, menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara:
(1) Meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas
dan pekerjaan,
(2) Mengarahkan mereka untuk focus dan tujuan kelompok dan organisasi,
bukan pada kepentingan pribadi, dan
(3) Mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin. Implemntasi
kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan
dilingkungan birokrasi, tetapi juga diberbagai organisasi yang memiliki
banyak tenaga potensial dan berpendidikan.
Secara organisasional Leithwood & Jantzi (1990), menulis bahwa
penerapan model kepemimpinan transformasional sangat bermanfaat untuk
79
(1) membangun budaya kerjasama dan profesionalitas diantra pegawai , (2)
memotivasi pemimpin untuk mengembangkan diri, dan (3) membantu
pemimpin memecahkan masalah secara efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalisme dapat dibangun karena
kepemimpinan transformasional akan menfasilitasi pegawainya untuk
berdialog, berdiskusi dan merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama
yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan mereka untuk saling
mengingatkan dalam mengerjakan pekerjaan . kebersamaan juga dilakukan
dalam merumuskan dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi.,
sehingga komitmen lebih mudah dibangun . Seorang pemimpin
transformasional juga akan membagi kewenangannya melalui pemberdayaan
pegawai, secara aktif mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai
organisasi. Untuk mendukung perubahan budaya, Bass ,menyarankan untuk
memanfaatkan mekanisme birokrasi yang selama ini tidak dijalankan.
Harbani Pasolong (2008:130), mengatakan bahwa sebaiknya para
pemimpin transformasional jika ingin melakukan suatu perubahan setidaknya
memperhatikan prinsip kepemimpinan transformasional yaitu menjelaskan
bahwa kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang merefleksikan
tujuan bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan sederhana.
80
Visi tersebut berjalan dengan baik jika kesadaran pegawai, selalu
berusaha untuk meningkatkan terhadap nilai dan pentingnya tugas dan
pekerjaan mereka bagi organisasi. Untuk mencapai visi tersebut maka semua
unsur tetap menjaga dan memelihara komitmen yang telah dibangun
bersama, terutama pada pelopor perubahan harus berani melakukan dan
merespon perubahan apabila diperlukan, dan menjelaskan kepada seluruh
pegawai tentang manfaat perubahan yang dilakukan.
Untuk melakukan perubahan tersebut maka diperlukan
pengembangan diri, mengembangkan diri secara terus menerus melalui
berbagai media pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi
kepemimpinanya dengan memberdayakan pegawai berdasarkan
kepercayaan, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan
mereka, membimbing dan mengembangjkan kreativitas pegawai dan
membantu mereka untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi
daripada kepentingan pribadi.
Tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan budaya kerjasama, dan
mengarahkan mereka untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi
daripada kepentingan pribadi dan kondusifitas organisasi, serta menciptakan
organisasi yang kondusif dengan mengembangkan budaya kemitraan,
komunikasi, dan menggunakan etika dan moralitas.
81
Dengan demikian kepemimpinan transformasional dapat memberikan
pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi, dalam era
globalisasi seperti sekarang ini yang membutuhkan lingkungan kerja sama
dari seluruh komponen organisasi untuk memecahkan masalah strategis .
Budaya kerjasama yang terbentuk dapat mengubah sikap mereka
terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja, dan perhatian
yang ditunjukkan oleh pemimpin juga akan menciptakan iklim kondusif dalam
organisasi.
Gaya kepemimpinan transfomasional, pada mulanya dicetuskan oleh
Burns (1978) dan Bass (1985). Munculnya teori ini didasarkan pada teori-
teori terdahulu yang tidak mampu menciptakan perubahan yang lebih
mendasar yang sangat diperlukan saat ini. Perubahan yang diharapkan
adalah perubahan tingkah laku, nilai-nilai dan motivasi/kebutuhan. Perubahan
ini diperlukan agar usaha menghasilkan kinerja yang luar biasa karena
adanya komitmen kerja yang kuat dan sunguh-sungguh sebagai manifestasi
dari motivasi kerja mereka yang semakin meningkat.
Burns (1978) dalam Dwi Suryanto (2007:27), menyatakan bahwa
kepemimpinan transformasionallah yang mampu dengan sukses melakukan
perubahan, karena pemimpin transformasionallah yang mamapu
82
menyediakan visi yang jelas bagi perubahan itu. Ia memiliki tujuan yang jelas
yang bisa membimbing organisasi itu menuju ke arah yang baru.
Teori ini merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan
selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model
kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns
yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam
konteks organisasional oleh Bernard Bass (Seperti dikutip oleh Sherly
L.Shipers, Blacwell, 2004).
Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan
transformasional ini. Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan
yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo
(kepemimpinan transaksional). Kepemimpinan transformasional inilah yang
sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena
kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan
mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih
sebelumnya.
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan
yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan
kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan
ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan
83
memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran
"tingkat tinggi" yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat
itu (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip Dwi
Suryanto, 2007) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih
baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi
dari empat cara ini, yaitu:
(1) Memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan
kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada
para bawahannya (Idealized Influence-Charisma),
(2) Menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol
untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan
penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation),
(3) Meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara
seksama (Intellectual Stimulation), dan
(4) Memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang
secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang
seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka
sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.
John D Politis (2004) menyatakan bahwa kepemimpinan
transformational adalah kemampuan untuk memberi inspirasi dan memotivasi
84
pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dari pada yang
direncanakan secara orsinil dan untuk imbalan internal. Dengan
mengungkapkan suatu visi, pemimpin transformasional membujuk para
pengikut untuk bekerja keras mencapai sasaran yang digambarkan. Visi
pemimpin memberikan motivasi bagi pengikut untuk bekerja keras yakni
memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
Bass & Reggio (2006:3) mengartikan kepemimpinan transaformasional
sebagai berikut:
Transformational leaders are those stimulate and inspire followers to both achive extraordinary autcome and, in the process, develop their own leadership capacity. Transformational leadres help followers grow and develo pinto leaders by responding to individual followers’ needs by empowering them and by aligning the objective and goals of the individual followers the leaders, the group and the larger organization.
Pada dasarnya kepemimpinan transformatsional yaitu kepemimpinan
yang menstimulasi dan menginspirasi para bawahan untuk mencapai hasil
yang lebih tinggi diluar yang diharapkan dengan berproses lebih baik dan
mengembangkan kapasitas kepemimpinan yang dimiliki oleh bawahannya.
Kepemimpinan transformasional berupaya membantu menumbuhkan dan
mengembangkan potensi kepemimpinan yang dimiliki bawahan dengan
merespon kebutuhan-kebutuhannya dengan memberdayakan bawahannya
dengan menyadarkan adanya sasaran dan tujuan individual dari bawahannya
yang lebih tinggi, kelompok dan tujuan organisasi. Kepemimpinan
85
transformasional berusaha menyadarkan kebutuhan yang tinggi dalam diri
bawahan dengan cara meningkatkan kebutuhannya yang tidak sekedar
kebutuhan keamanan sementara tetapi juga menggali kemampuan bawahan
dengan cara merangsang untuk beraktualisasi dalam menyelesaikan
pekerjaan.
Koehler dan Ponkowaki (1997:16) mengartikan kepemimpinan
transfomrasional sebagai berikut:
Transformational leadership is definited a process of inspiring change and empowering fallower to achieve preater heights, to improve themselves and to improve organization process. It is an enabling process cousing followers to accept responsibility and accountability for themselves and the proceesses to which they are assigned.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa kepemimpinan
transformasional dapat didefinisikan sebagai suatu proses menginspirasi
perubahan dan memberdayakan bawahan untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi, untuk meningkatkan kemampuan mereka miliki dan untuk
meningkatkan kualitas proses-proses keorganisasian, Kesmua itu
dimungkinkan berproses sebab para bawahan menerima tanggungjawab dan
mempertanggungjawabkannya untuk dirinya sendiri dan proses-proses untuk
tugas-tugas yang telah ditetapkan.
86
Dengan demikian kepemimpinan transformasional dapat memberikan
pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi, dalam era
globalisasi seperti sekarang ini yang membutuhkan lingkungan kerja sama
dari seluruh komponen organisasi untuk memecahkan masalah strategis. dan
kepatuhan.
Kepemimpinan transformasional mendapat pengakuan dari
bawahannya karena bawahan lebih mengakui kekuasaan personal dari
pimpinan organisasi dari pada pengakuan pada kedudukan formal seseorang
sebagai pimpinan organisasi atau kekuasaan otoritas. Proses menginspirasi
perubahan merupakan hasil menemukenali kelemahan, kekuatan dan
pelauang-peluang yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan yang
dinilai lebih baik, sedangkan pemberdayaan kepada pegawai sangat
diperhatikan dengan maksud mendorong prestasi kerja bagi pegawai.
Robbins dan Judge (2008:90) pemimpin transformasional menaruh
perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para bawahannya,
mengubah kesadaran para bawahan pada issu-issu yang ada dengan cara
membantu orang lainmemandang masalah lama dengan cara baru,
menyenangkan hati dan menginspirasi bawahan untuk bekerja keras guna
menjacapai tujuan.
87
Secara grafik, Bass dan Avolio (1990) menjelaskan perbedaan
kepemimpinan transaksional Versus Transformasional pada Gambar berikut
ini:
Pemimpin Transaksional Pemimpin Tramsformasional1. Penghargaan Kontingen: Kontrak
pertukaran penghargaan dengan usaha yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian/prestasi.
2. Menajemen berdasarkan kekecualiaan (Aktif) mengawasi dan mencari pelanggan terhadap aturan dan estándar, mengambil tindakan korektif
3. Manajemen berdasarkan kekecualiaan (passif) : Intervensi hanya saja jika estándar tidak dipenuhi.
4. Sesuka hati: Menghindari tanggung jawab: menghindari pengambilkan keputusan.
1. Karisma: Memberikan Visi dan Misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan kepercayaan.
2.Inspirasi: Mengomunikasikan harapan tinggi: menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha:mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana.
3. Stimulasi Intelektual: Menunjukkan intelegensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati.
4.Memerhatikan individu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
Sumber: Bass & Avolio (1990), The Implication of transactional leaedrship for individual, team, and organizational developmen, Research in Organizational Change and development. Vol.4
Berdasarkan gambar tersebut di atas, memberikan perbedaan
karakteristik kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan
transaksional. Meskipun demikian, sebagian pendukung atas perbedaan
karakteritik ini, tetap bertahan bahwa pemimpin sebagai salah satu unsur
yang terpenting kedua-duanya dibutuhkan dalam sebuah organisasi.
Sementara pemimpin transaksional memotivasi pengikut untuk mematuhi
pemimpin melalui proses pertukaran, pemimpin transformasional memotivasi
88
pengikutnya dengan mendorong mereka untuk melakukan yang terbaik demi
pencapaian tujuan dan kepentingan organisasi.
b. Kepemimpinan Transaksional
Kemudian kepemimpinan transaksional pada prinsipnya sangat
tergantung pada pertukaran imbalan antara pimpinan dengan bawahan.
Kesepakatan antara pimpinan dan bawahan tentang apa yang seharusnya
dikerjakan oleh seorang bawahan dimaksudkan untuk memperoleh imbalan
atau agar dapat menghindari hukuman. Namun demikian kepemimpinan
transaksional juga menyangkut nilai-nilai, akan tetapi nilai-nilai tersebut
hanya relevan dengan proses pertukaran atau keuntungan timbale balik.
Dengan demikian seorang pemimpin transaksional juga mengakui kebutuhan
dan keinginan bawahan, serta menjelaskan bahwa ke duanya hanya bisa
dicapai dengan memuaskan jika para bawahan mencurahkan usahanya
sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Harbani Pasolong (2008:127), menjelaskan bahwa model
kepemimpinan transaksional mempunyai dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif dimana model transaksional ini terletak pada efisiensi di
dalam pelaksanaan kerja, karena kejelasan pembagian kerja sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi
89
pedoman dan aturan kerja, dan konsitensi terhadap tata aturan yang telah
ditetapkan.
Di samping itu, kepemimpinan birokrasi transaksional juga menjamin
pencapaian tujuan dalam jangka pendek dan kemudahan dalam pengawasan
dan pengelolaan pegawai. Sedangkan dampak negatif, dari model
kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang beriorentasi pada
kekuasaan yang hierarkis, tidak adanya pemberdayaan pegawai dan
pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, kondisi yang kurang
kondusif karena penerapan komunikasi Top-Down dan formalitas hubungan
atasan bawahan dan loyalitas berlebihan pada pimpinan.
Marco Tavanti (dalam Antonio Marturano: 2010), Kepemimpinan
transaksional yang paling sering dijelaskan sebagai biaya manfaat-pertukaran
antara pemimpin dan pengikut mereka (Kuhnert dan Lewis, 1987).
The transaction or exchange involves something of value between what the leader possesses or controls and what the follower wants in return for his/her services (Yukl and Van Fleet 1992). Transactional leadership involves leaders clarifying goals and objectives, communicating to organize tasks and activities with the cooperation of their employees to ensure that wider organizational goals aremet (Bass 1974: 341)
Kepemimpinan transaksional melibatkan pemimpin mengklarifikasi
tujuan dan sasaran, berkomunikasi untuk mengatur tugas dan kegiatan
dengan kerja sama karyawan mereka untuk memastikan bahwa tujuan
90
organisasi yang lebih luas akan tercapai. Keberhasilan pemimpin-pengikut
tergantung pada hubungan penerimaan perbedaan hierarkis dan kemampuan
untuk bekerja melalui modus pertukaran.
Transaksional kepemimpinan didasarkan pada asumsi bahwa
bawahan dan sistem kerja lebih baik jika pemimpin memotivasi dengan
memberi reward dan hukuman (Kuhnert 1994). Dengan demikian seorang
pemimpin transaksional juga mengakui kebutuhan dan keinginan bawahan,
menjelaskan bahwa ke duanya hanya bias dicapai dengan memuaskan jika
para bawahan mencurahkan usahanya sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
Veithzal Rivai (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional
merupakan suatu kemampuan pemimpin untuk memandu atau memotivasi
pengikut kea rah pencapaian tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas
peran dan tuntutan tugas.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa efektivitas
transaksional semata-mata ditentukan oleh kemampuan seseorang pemimpin
memberi imbalan bagi pekerjaan yang berhasil dan hukuman bagi
pelanggaran aturan main yang disepakati, juga ditentukan oleh kemampuan
seseorang bawahan untuk menilai atau membandingkan antara kebaikan
dengan kekurangan dan transaksi yang dilakukan dengan pemimpinnya.
Kepemimpinan ini mempunyai karakteristik utama yakni pertukaran antara
produktivitas dengan imbalan atau hukuman.
91
Indiriyo Gitosudarmo dan I Nyoman Sudita, (1997) dalam Koman
Ardana dkk (2008:148) , menyatakan bahwa imbalan dapat dipakai sebagai
dorongan atau memotivasi pada suatu tingkat perilaku dan prestasi, dan
dorongan pemilihan organisasi sebagai tempat bekerja. Selain itu imbalan
juga dapat memenuhi kebutuhan hubungan kerja. Sedangkan hukuman
merupakan pemberian hasil yang tidak diinginkan (menyakitkan) untuk
mengeliminir perilaku yang tidak diinginkan tersebut. Sebenarnya hukuman
bukan merupakan cara yang efektif bagi pimpinan untuk mengubah perilaku
dengan alasan bahwa hukuman hanya mempengaruhi perilaku yang bersifat
sementara dan tidak berlangusng lama, dapat menimbulkan perilaku
emosional, dan kurang manusiawi.
Yulk (1998:295-296) menjelaskan bahwa kepemimpinan transaksional
adalah perilaku pemimpin dengan cara memotivasi pengikut dengan
mempertukarkan kepentingan. Para pemimpin politik untuk menukar
pekerjaan, subsidi, dan kontrak-kontrak pemerintah, yang menguntungkan
untuk memperoleh suara dan kontribusi kampanye. Jadi kepemimpinan
transaksional mendapat kepatuhan dari bawahan disebabkan kemampuan
pemimpin tersebut dalam memenuhi pertukaran kepentingan, sehingga
terlaksananya gagasan-gagasannya atau pencapaian sasaran organisasi
sangat tergantung pada kemmapuan sumber daya yang ada dalam
92
kewenangan pemimpin dalam memenuhi pertukaran dengan upaya-upaya
yang dilaksanakan bawahan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kepemimpinan transaksional adalah
nilai-nilai yang relevan dalam proses pertukaran, seperti kejujuran, keadilan,
tanggung jawab, tetapi nilai-nilai tersebut berlaku eksklusif, yakni hanya
mengikat untuk pemimpin dengan pengikut-pengikut yang berinteraksi. Oleh
karenanya kepemimpinan transaksional tidak dapat diharapkan untuk
menghasilkan perubahan system social dalam waktu yang lama. Dalam
kaitan dengan peran pemimpin transaksional dengan upaya organisasi yang
sedang mengalami perubahan, Tichy dan Ulrich (1987) dalam
(Tjiptono,1998:8) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional
cenderung tetap menghambat pertumbuhan organisasi dan perubahan.
Tanggapan yang senada juga dinyatakan Denhardt & Denhardt (2003:146)
menyatakan bahwa: in case of transactional leadership the two parties come
together in relationship thet advances the interests of both, but there is no
deep or enduring link between them . Kemudian Bass & Reggio (2006:3)
menegaskan bahwa: “
Transactional business leaders offer financial reward for productivity or deny reward for lack of productivity. This exehange is based on the leader discussing with others what is required and specifying the conditions, and rewards these others will receive if fulfill those requirements”.
93
Pada dasarnya pendapat Bass & Reggio di atas mengatakan bahwa
kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran penghargaan
financial untuk produktivitas yang dihasilkan pengikut atau bawahan atau
sebaliknya meniadakan penghargaan untuk kurangnya produktivitas yang
kurang yang dari dipersyaratkan. Kepatuhan dan produktivitas kerja bawahan
dibandingkan dengan penghargaan yang telah disepakati. Pemimpin
transakisonal memotivasi bawahan dengan tiga cara yaitu:
1). Contingent rewards, yakni kontrak pertukaran yang menjanjikan
penghargaan dengan usaha yang menhasilkan kinerja yang baik.
2) active management by exeption, yakni mengawasi dan mencari
penyimpangan terhadap apa yang dilakukan oleh bawahan dengan aturan
dan standar serta mengambil tindakan korektif.
3) passive management by exeption, yakni intervensi hanya jika standar tidak
dipenuhi
Hal ini didukung hasil penelitian Ralp J.Masi &Robert A.Cooke (2000)
dalam Harbani Pasolong (2008:133), judul penelitian " Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional dan transaksional terhadap Motivasi
bawahan dan Produktivitas organisasi", hasil penelitian beliau menemukan
punya hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional
terhadap motivasi kerja pegawai. Sedangkan Randy (2004) dala Harbani
94
Pasolong (2008:134) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional
mempunyai hubungan positif dengan budaya konstruktif, kepemimpinan
transaksional punya hubungan positif dengan budaya definsif.
c. Kepemimpinan Kharismatik
Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu
dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang
nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu kebijakan.
Andrew J.DubRin (2005: 44) mendefinisikan kepemimpinan kharismatik
adalah kualitas special dari pemimpin yang tujuannya, kekuasaannya, dan
ketegasannya berbeda dari pemimpin yang lain.
Kepemimpinan kharismatik dapat dilihat dari teori kepemimpinan
Kharismatik Max Weber dan Teori kepemimpinan House.
a. Teori kepemimpinan Max Weber.
Pada pembahasan mengenai Kepemimpinan Kharismatik dapat ditarik
beberapa kesimpulan terkait dengan hal tersebut. Salah satu poin-poin
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pemimpin kharismatik dalam kacamata Weber merupakan suatu
fenomena sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul
terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menjadi
barometer kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya.
95
2) Gejala pemimpin kharismatik tersebut pada umumnya pada saat terjadi
sebuah krisis, baik itu krisis kepemimpinan. Sehingga adanya kharisma
tersebut akan melahirkan sesuatu yang beda dari sebelum adanya
kharisma dengan setelahnya. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul
bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya
seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial,
adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut,
adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki
kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta
adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami
kesuksesan. Akan tetapi, ada sisi lain yang juga perlu disentuh dari
kelemahan konsep kharismatik. Terkadang kharisma melahirkan suatu hal
yang paradoksal.
3) Parodoks kharisma adalah bahwa dalam bertindak sebagai salah satu
sumber perubahan sosial, ia dengan mudah sekali merebut hati,
sebaliknya iapun gampang dibasikan oleh karena kelompok-kelompok
sosial pendukungnya menganggap pesan kharismatik tersebut selalu
bersangkut paut dengan situasi kebutuhan-kebuthan material dan
idealnya. Segi paradoksal lainya adalah terletak pada masalah diterimanya
perubahan kharisma oleh kelompok-kelompok sosial. Sebab pemimpin
kharismatik muncul disaat terjadi krisis. Maka akan menjadi persoalan
96
ketika terdapat pesan kharisma yang juga serupa dan lahir dari tokoh yang
berbeda. Hal itu secara implisit akan mengundang persaingan mencari
pengikut dan penganut. Karena akan melahirkan prejudice akan kharisma
palsu atau pseodu charisma:// perengbiru. blogspot.com/ 2011/01/
kepemimpinan-kharismatik-analisis.html.
b. Teori Kepemimpinan Kharismatik dari House
House (1977: 189-207), teori kharismatik didasarkan atas hasil-hasil
penemuan dari berbagai disiplin ilmu social. Ia mengidentifikasi bagaimana
para pemimpin kharismatik berperilaku, bagaimana mereka berbeda dari
orang lain, serta dalam kondisi yang bagaimana mereka memperoleh banyak
kemungkinan untuk berkembang. Selanjutnya dikatakan, seorang pemimpin
kharismatik mempunyai dampak yang dalam dan tidak biasa terhadap para
pengikut, mereka merasakan bahwa keyakinan-keyakinan pemimpin tersebut
adalah benar, mereka menerima pemimpin tersebut tanpa mempertanyakan
lagi, mereka tunduk kepada pemimpin dengan senang hati, mereka merasa
sayang terhadap pemimpin tersebut, mereka terlihat secara emosional dalam
misi kelompok atau organisasi tersebut. Mereka percaya bahwa mereka
dapat member kontribusi terhadap keberhasilan misi tersebut, dan mereka
mempunyai tujuan-tujuan kinerja tinggi .
97
Robert House yang terkenal dengan gagasannya mengenai teori jalur-
tujuan mengidentifikasi tiga karakteristik pemimpin kharismatik, yakni:
kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan pada
keyakinan yang dianut (Robbins, et.al., 1994: 499-500). Sedarmayanti
(2009:129) efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi pemimpin
menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan
untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya, Teorinya disebut sebagai
jalur tujuan Karena memfokuskan pada bagaimana pemimpin mempengaruhi
persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan
tujuan jalan untuk mencapai tujuan.
Khaedar Akib (2010) Teori kepemimpinan kharismatik merupakan suatu
perluasan dari teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut
membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar
biasa bila mengamati perilaku-perilaku tertentu. Beberapa penulis telah
mengidentifikasi karakteristik pribadi pemimpin kharismatik ini.
Setelah Warren Bennis mempelajari 90 pemimpin yang paling efektif
dan sukses di Amerika serikat disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik
mempunyai empat kompetensi yang sama yakni: mempunyai visi atau
pemahaman tujuan; dapat mengkomunikasikan visinya dalam kata-kata yang
jelas sehingga para pengikutnya dapat dengan mudah memihak; dapat
menunjukkan konsistensi dan fokus dalam memburu visi kepemimpinannya;
98
dan tahu kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu, analisis
yang paling menyeluruh telah dirampungkan oleh Congger dan Kanungo dari
Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yang dibuat menyatakan bahwa
pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki
komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan
percaya diri, serta sebagai agen perubahan radikal, bukan manajer dari
status quo.
Conger and Kanungo (1987) dalam Syahrir Natsir (2004), menjelaskan
bahwa sebuah teori tentang kepemimpinan kharisamtik yang didasarkan atas
asumsi bahwa kharisma adalah sebuah fenomena atribusi. Dimana dikatakan
bahwa atribusi charisma oleh pengikut tergantung kepada beberapa aspek
perilaku pemimpin. Perilaku-perilaku tersebut tidak diasumsikan ada pada
semua pemimpin kharismatik dengan tingkat yang sama, dan kepentingan
yang relative dari masing-masing perilaku untuk diatribusikan kepada
charisma tergantung sampai tingkat tertentu kepada situasi kepemimpinan.
Dari beberapa teori tentang kepemimpinan kharismatik memberi
sejumlah penjelasan yang saling bersaing bagi proses-proses mempengaruhi
yang terdapat di dalamnya. Penjelasan Conger and Kanungo (1987)
kelihatannya menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama
dan internalisasi sebagai proses skunder. Sedangkan teori House (1977),
menekankan kepada indentifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh
99
pemimpin, dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan-tujuan dan rasa percaya
diri para pengikut.
Menurut Bass (1985) bahwa kharisma adalah bagian penting dari
kepemimpinan transformasional, namun kharisma itu sendiri tidak cukup
untuk proses transformasional. Pemimpin kharismatik lebih dari sekedar
percaya diri pada keyakinannya, melainkan pula melihat dirinya sendiri
seperti mempunyai suatu tujuan dan takdir supranatural. Sementara itu,
pengikutnya bukan saja mempercayai dan menghormati pemimpin yang
kharismatik, melainkan pula memuja dan menyembah pemimpinnya sebagai
seorang pahlawan yang melebihi manusia atau tokoh spiritual. Pemimpin
Model Kepemimpinan Kharismatik(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Budaya Organisasi
Perilaku Pemimpin Efek terhadap pengikut dan kelompok kerja
Luaran
Adaptif Pemimpin membangum visi
Pemimpin membangun harapan kinerja yang tinggi dan menunjukkan kepercayaan pada diri dan kepada orang lain, serta kemampuan kolektif untuk merealisasikan visi
Model pemimpin yang mengharapkan agar nilai-nilai, bakat, keyakinan dan perilaku diperlukan
Meningkatkan motivasi intrinsik, orientasi prestasi dan pencapaian tujuan
Meningkatkan identifikasi terhadap pemimpin dan kepentingan kolektif anggota organisasi
Meningkatkan kohesi di antara anggota kelompok
Meningkatkan prestise diri, kemanjura diri, dan perhatian intrinsik terhadap pencapaian tujuan
Meningkatkan pemodelan peran kepemimpinan kharismatik
Komitmen personal terhadap pemimpin dan visi
Perilaku diri sendiri yang disakralkan
Komitmen organisasi
Kebermaknaan dan kepuasan tugas
Meningkatkan kinerja individu, kelompok, organisasi dan masyarakat
100
kharismatik dipandang memiliki kebesaran, sekaligus menjadi katalisator
mekanisme psikodinamik pengikutnya.
Seorang pemimpin kharismatik lebih besar kemungkinannya akan lahir
manakala para pengikut membagi sama norma-norma, keyakinan dan fantasi
yang dapat dijadikan sebagai basis bagi seruan emosional dan rasional oleh
pemimpin tersebut. Namun, Bass juga menyatakan bahwa tanggapan
seseorang terhadap pemimpin kharismatik kemungkinannya akan sangat
terpolarisasi, karena pemimpin kharismatik dicintai oleh beberapa orang
namun dibenci oleh yang lainnya. Tanggapan yang terpolarisasi ini
membantu menjelaskan mengapa demikian banyak pemimpin politik yang
kharismatik menjadi sasaran pembunuhan.
Kata akhir yang perlu dipahami dalam hal ini ialah kepemimpinan
kharismatik mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja
karyawan yang tinggi. Namun, pemimpin kharismatik mungkin paling tepat
jika tugas pengikut memiliki suatu komponen ideologis. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa pemimpin kharismatik lebih dimungkinan muncul
dalam konteks politik, agama, waktu perang atau apabila suatu perusahaan
bisnis memperkenalkan suatu produk yang benar-benar baru (baca: produk
kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam
kehidupannya.
Namun beberapa para ahli mengungkapkan tentang kepemimpinan
dengan memberi berbgai definisi, tetapi pada prinsipnya sama yaitu
101
mengarah pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain
untuk bekerjasama mencapai tujuan. Untuk mempengaruhi orang lain
termasuk bawahan agar perilaku dan karakteritik mau berubah, maka para
pimpinan dalam menjalankan kepemimpinan harus menggunakan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan bawahan.
Siagian (2002:83), menjelaskan bahwa pada prinsipnya tidak ada perilaku
dan gaya kepemimpinan yang sama efektifnya menghadapi semua situasi
organisasional dan perilaku bawahan. Maksudnya tidak semua gaya
kepemimpinan dapat diterapkan pada semua organisasi, karena manusia
yang terdapat dalam sebuah organisasi memiliki karakteristik-karakteristik
yang berbeda-beda sehingga gaya kepemimpinan yang cocok adalah gaya
kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi bawahan.
Thoha (2004) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan
norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Hersey dan Blanchard (1982)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola-pola perilaku
konsisten yang mereka terapkan dalam bekerja dengan melalui orang lain
seperti dipersepsikan orang-orang itu. Pola-pola itu timbul pada diri orang-
orang lain pada waktu mereka mulai memberikan tanggapan dengan cara
yang sama dalam kondisi yang serupa, pola itu membentuk kebiasaan
tindakan yang setidaknya dapat diperkirakan bagi mereka yang bekerja
dengan pemimpin itu. Keating (1986), membagi dua gaya kepemimpinan
102
yaitu: (1) Kepemimpinan yang beriorentasi pada tugas (task oriented), (2)
Kepemimpinan yang beriorentasi pada manusia (human relationship
oriented). Dalam dua bidang tugas kepemimpinan itu, akhir-akhir ini
dikembangkan teori 4 (empat) gaya kepemimpinan yaitu:
“ Kekompakan Tinggi Kerja
Rendah”
“ Kerja Tinggi Kekompakan Tinggi”
“ Kekompakan Rendah Kerja
Rendah”
“ Kerja Tinggi Kekompakan
Rendah”
Sumber: Keating (1986)
Kekompakan Tinggi dan kerja rendah, gaya kepemimpinan ini
berusaha menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok,
tetapi kurang memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok atau
penyelesaian tugas bersama.
Kerja tinggi dan kekompakan rendah, gaya kepemimpinan ini
menekankan segi penyelesaian tugas dan tercapainya tujuan kelompok.
Gaya kepemimpinan ini menampilkan gaya kepemimpinan direktif. Gaya
kepemimpinan ini baik untuk kelompok yang baru dibentuk, yang
membutuhkan tujuan dan sasaran jelas, dan kelompok yang telah kehilangan
arah, tidak mempunyai lagi tujuan dan sasaran, tidak mempunyai criteria
untuk meninjau lagi hasil kerjanya, yang sudah kacau dan tidak berarti lagi.
103
Karena gaya ini member kejelasan tujuan dan sasaran kerja serta
pengawasan yang ketat atas usaha mencapai tujuan dan sasaran itu. Gaya
kepemimpinan yang direktif ini tepat dipergunakan dalam usaha dagang yang
penuh persaingan, situasi gawat dan dikalangan militer.
Kerja tinggi dan kekompakan tinggi. Gaya kepemimpinan yang menjaga
kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi cocok dipergunakan untuk
membentuk kelompok. Kelompok yang baru dibentuk membutuhkan
kejelasan tujuan dan sasaran, struktur kerja untuk mencapai tujuan dan
sasaran itu, serta usaha untuk membina hubungan antara para anggota.
Waktu menggunakan gaya kepemimpinan itu untuk membentuk kelompok,
pemimpin perlu menjadi model untuk kelompok dengan menunjukkan
perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas. Kerja rendah dan
kekompakan rendah. Gaya kepemimpinan yang kurang menakankan
penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok cocok untuk kelompok yang
sudah jelas akan tujuan dan sarannya.Gaya kepemimpinan itu merupakan
gaya kepemimpinan yang menggairahkan untuk kelompok yang sudah jadi.
Keputusan untuk mempergunakan gaya kepemimpinan ini amat tergantung
pada sejarah dan keadaan kelompok yang ada.
House (1997), mengemukakan ada empat gaya kepemimpinan
perilaku seorang pemimpin yaitu : (1) Kepemimpinan direktif, pemimpin
memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengetahui apa yang
104
menjadi harapan pimpinannya dan pemimpin tersebut menyatakan kepada
bawahannya tentang bagaimana dapat melaksanakan tugas. Gaya ini
mengandung arti bahwa pemimpin beriorentasi pada hasil . (2)
Kepemimpinan partisipatif , pemimpin berkomunikasi dengan bawahannya
dan bertanya untuk mendapatkan masukan-masukan atau saran-saran
dalam rangka pengambil keputusan. (3) Kepemimpinan Supportif, yaitu
usaha pemimpin untuk menekankan diri dan bersikap ramah serta
menyenangkan bawahannya. (4) Kepemimpinan beriorentasi pada prestasi,
pemimpin menetapkan tujuan-tujuan yang bersifat menantang, pemimpin
tersebut mengharapkan agar bawahan berusaha mencapai tujuan tersebut
secara efektif, serta pemimpin menunjukkan rasa percaya diri kepada
bawahannya bahwa mereka akan memenuhi tuntutan bawahannya.
Model efektivitas kepemimpinan Robert House (1997), yang
menggambarkan hubungan antara pemimpin dalam menggunakan gaya
kepemimpinanya dengan variable situasional dan efektivitas kepemimpinan.
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Faktor Kontingensi
- Struktur Tugas- System Otoritas/wewenang
Resmi- Kelompok Kerja
Perilaku pemimpin
-Direktif
- Partisipatif
- Prestasi
- Suportif
105
Model Efektivitas Kepemimpinan Robert House (1997)
Dari gambar tersebut di atas, terlihat empat gaya kepemimpinan
disesuaikan dengan karakteristik dan situasi yang dihadapi oleh pemimpin .
Misalnya, jika siatuasi yang dihadapi pemimpin adalah bawahan yang
memiliki kkepercayaan dan keyakinan diri yang rendah, maka gaya
kepemimpinan yang harus diadopsinya adalah gaya suportif. Dengan gaya ini
bawahan akan merasa diperhatikan oleh atasannya, dibantu, dan diberi
dukungan social untuk menghadapi kesulitannya, dan bagaimana cara
menyelesaikan pekerjaan secara baik. Jika situasi yang dihadapi oleh
pemimpin adalah ketidak puasan bawahan atas hadiah yang diberikan
atasan, maka pemimpin harus mengadopsi gaya kepemimpinan partisipatif.
Dengan gaya ini pemimpin mendengarkan dan mengajak bawahannya untuk
Perilaku pemimpin
-Direktif
- Partisipatif
- Prestasi
- Suportif
Hasil
-Kinerja
-Kepuasan
Faktor Kontingensi Bawahan
- Focus Kendali- Pengalaman- Persepsi kemampuan
106
ikut menentukan hadiah seperti apa yang diinginkan. Apakah hadiah yang
bersifat intrinsik seperti tantangan kerja, atau hadiah ekstrinsik seperti bonus,
promosi, atau tunjangan kesejahteraan.
White (1997) melakukan penelitian dan membahas berbagai
hubungan antara perilaku pemimpin yang berbeda , yaitu perilaku otoriter,
demokratis, Laissez Faire dengan berfungsinya kelompok. (1) Gaya
kepemimpinan otokratis, yaitu gaya kepemimpinan otoritarian dapat pula
disebut tukan cerita. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka
mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan
kebutuhan-kebuthan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung
kepada bawahan. (2) Gaya demokratis, yaitu gaya kepemimpinan yang
dikenal pula sebagai gaya partisipatif. Gaya ini berasumsi bahwa para
anggota organisasi yang ambil bagian secara pribadi dalam proses
pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan sebagai suatu akibat
mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran dan tujuan
organisasi.
Sudiamunawar (2006) menjelaskan bahwa pendekatan tidak berarti
para pemimpin tidak membuat keputusan, tetapi justru seharusnya
memahami terlebih dahulu apakah yang menjadi sasaran organisasi
sehingga ,mereka dapat mempergunakan pengetahuan para anggotanya. (3)
Gaya Laissez Faire yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini
107
bukan berarti tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa
suatu tugas disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-
teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai
sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi.
Hersey & Blanchard (1996), mengatakan bahwa kepemimpinan
situasional, tidak ada satu cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku orang-
orang. Gaya kepemimpinan mana yang harus diterapkan pemimpin terhadap
orang-orang atau sekelompok orang bergantung pada level kematangan dari
orang-orang yang akan dipengaruhi oleh pemimpin.
Stoner dkk (1996) menyatakan bahwa teori kepemimpinan situasional
adalah pendekatan kepemimpinan yang oleh Hersey & Blanchard yang
menguraikan bagaimana pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinan
mereka sebagai respon pada keinginan untuk berhasil dalam pekerjaan,
pengalaman, kemampuan, dan kemauan dari bawahan mereka yang terus
berubah.
Tjiptono (2000), menyatakan bahwa kepemimpinan situasional dikenal
pula sebagai kepemimpinan tidak tetap atau kontingensi. Asumsi yang
digunakan dalam toeri ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya
kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin dalam segala kondisi.
Karena itu gaya kepemimpinan situasional akan menrapkan suatu gaya
108
tertentu berdasarkan pertimbangan atas factor-faktor seperti pemimpin,
pengikut, situasi , dalam arti struktur tugas, peta kekuasaan, dan dinamika
kelompok. Ketiga factor tersebut merupakan variable kritis yang saling
berhubungan dan berinteraksi. Pernyataan ini dikenal dengan istilah hukum
situasi.
Thoha (2004) menyatakan kinerja dapat dicapai efektif apabila
pemimpin dalam organisasi tersebut mengembangkan suatu kepemimpinan
situasional. Pendekatan situasional merupakan pendekatan yang
menyatakan bahwa tekhnik manajemen yang paling baik memberikan
konstribusi untuk pencapaian sasaran organisasi dalam situasi atau
lingkungan yang berbeda.
Rivai (2004), menyatakan bahwa kepemimpinan situasional
mendasarkan diri pada saling berhubungan antara sejumlah petunjuk,
pengarahan dan dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pemimpin.
Pendekatan kepemimpinan berdasarkan situasi, karena melalui teori sifat
tidak dapat memberikan banyak jawaban dalam kepemimpinan sehingga
orang beralih pada penelaahan situasi, karena dapat dipercaya bahwa
pemimpin merupakan p-roduk dari situasi. Menurut teori kepemimpinan
situasional, dengan berkembangnya tingkat kematangan bawahan jika dilihat
dari segi kemampuannya untuk melakukan tugas yang bersaifat spesifik,
109
disini pemimpin sudah mulai mengurangi pola orientasi tugas dan menambah
pola orientasi hubungan.
Thoha (2004), mengatakan bahwa untuk memahami kepemimpinan
yang dipertautkan dengan sitausi tertentu, pada hakekatnya telah dikenal dari
usaha-usaha pada penelitian terdahulu seperti Universitas Ohio dan juga
tiga Dimensi Reddin.
Kepemimpinan situasional telah dikembangkan Hersey & Blanchard
(1982), didasarkann pada saling berhubungan dengan (1) Jumlah petunjuk
dan pengarahan yang diberikan pimpinan (2) Jumlah dukungan
sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan, (3) Tingkat kematangan dan
kesiapan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus,
fungsi atau tujuan tertentu. Thoha (2004) mengatakan kepemimpinan
situasional dikembangkan untuk membantu orang menjalankan
kepemimpinan dengan memperhatikan perannya yang efektif di dalam
interaksinya dengan orang lain setiap harinya.
Melihat pendapat Hersey & Blanchard, maka ada 2 hal yang perlu
diperhatikan yang berkaitan dengan perilaku pemimpin, yaitu (1) gaya dasar
antara lain perilaku pengarahan, dan perilaku mendukung, (2) kematangan
bawahan.
110
1) Perilaku mengarahkan, adalah sejumlah mana seorang pemimpin
melibatkan diri dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan dalam
komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang
seharusnya dilakukan pengikut, memberitahuykan pengikut tentang apa
yang seharusnya dikerjakan, di mana, bagaimana, melakukannya, dan
melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya.
2) Perilaku mendukung adalah sejauh mana seseorang pemimpin melibatkan
diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan
dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan para
pengikut dalam pengambilan keputusan
Ducker (1985), mengemukakan bahwa pemimpin merupakan sumber
daya yang pokok yang paling langka dalam setiap organisasi. Oleh karena itu
berhasil tidaknya suatu organisasi disebabkan karena perilaku pemimpin
yang tidak efektif. Cribbin (1985), mengatakan bahwa seorang pemimpin
yang baik akan menyesuaikan dengan perilakunya dengan tuntutan keadaan.
Perilaku pemimpin mungkin efektif dalam keadaan tertentu tetapi belum tentu
efektif dalam keadaan yang lainnya. Oleh karena itu pemimpin harus mampu
menyesuaikan perilakunya dengan keadaan.
Berdasarkan konsep yang bersumber dari beberapa para ahli, tentang
gaya kepemimpinan, maka penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa di
111
dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik, maka perlu adanya
dukungan dari unsur pemerintah yang memiliki kemampuan untuk
menerapkan berbagai macam gaya kepemimpinan.
Dessler (1922), komitmen organisasi dapat dilihat dari 3 faktor yaitu: 1)
Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi,
2) Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, 3)
Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan organisasi.
4. Kualitas Pelayanan Akademik
a. Kualitas Pelayanan
Sebelum membahas tentang pelayanan akademik, maka terlebih
dahulu mengungkapkan beberapa pandangan dari para ahli tentang
pelayanan. Kualitas memegang peranan kunci dalam organisasi, oleh karena
tujuan organisasi tidak akan efektif tanpa ada kualitas. Kualitas pada
dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yakni suatu sikap atau cara
pegawai dalam melayani pelanggan atau masayarakat secara memuaskan.
Berbicara tentang pelayanan baik sebagai pemberi pelayanan maupun
penerima pelayanan semua pasti merasakan terutama yang mempunyai
urusan/keperluan pada suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta.
112
Ketika kita dilayani oleh petugas, saat itu kita merasakan sesuatu. Ada
perasaan senang atau tidak senang. Pada saat kita merasa senang dilayani
oleh petugas tersebut, kita mengatakan bahwa pelayanannya sangat
memuaskan. Karena kepuasan itu, lalu kita mengatakan bahwa
pelayanannya berkualitas. Sebaliknya, ketika kita merasa dirugikan aparat
akibat pelayanannya berbelit-belit, tidak terbuka/transparan tentang apa yang
diinginkan oleh aparat itu, kita mengatakan bahwa pelayanannya tidak
berkualitas. Poltak Sinambela (2006: 3) .mengatakan pada awalnya, konsep
pelayanan prima timbul dari kreativitas para pelaku bisnis, yang kemudian
diikuti oleh organisasi-organisasi nirlaba dan instansi pemerintah, sehingga
dewasa ini budaya pelayanan prima tidak lagi hanya milik dunia bisnis tetapi
milik semua orang.
Moenir (2001:12) Pelayanan secara umum yang didambakan adalah:
kemudahan dalam pengurusan kepentingan, mendapatkan pelayanan wajar,
mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih, mendapatkan
perlakukan yang jujur dan terus terang. Untuk itu, Sedarmayanti (2004: 252)
mengatakan bahwa dalam pemberian pelayanan hendaknya mengacu pada
hal-hal sebagai berikut: (1) Kepuasan total pelanggan, (2). Menjadikan
kualitas sebagai tujuan utama dalam pelayanan, (3). Membangun kualitas
dalam sebuah proses, (4). Menerapkan filosofi, berbicara berdasarkan fakta,
(5). Menjalin kemitraan baik internal maupun eksternal.
113
Russel & Taylor (200:78) mendefinisikan kualitas sebagai totalitas
tampilan dan karakteristik produk dan jasa yang berusaha keras dengan
segenap kemampuannya memuaskan kebutuhan tertentu. Selanjutnya
Russel & Taylor memberikan pemaknaan tentang kualitas pelayanan dengan
memandang dari dua sudut pandang yaitu: produsen dan pengguna atau
pasar. Jika ditinjau dari sudut pandang pasar maka penilaian kualitas
diserahkan pada pengguna, yakni sejahmana desain pelayanan yang
dilaksanakan organisasi berkemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan
(quality of design). Pelanggan melihat kualitas dari karakteristik yang
seharusnya yang ia terima sehingga mencakup value (nilai), fitness for use
(cocok untuk digunakan), support (dukungan), dan psychological impressions
(kesan psikologis), yang kesemuanya dipersepsi secara dinamik. Makna
kualitas dari pelanggan diperoleh dari hasil perbandingan antara harapan
tentang pelayanan (expected service) dan penilaian atas kenyataan
pelayanan yang diterima (perceived service). Sedangkan dari sudut produsen
atau penyedia produk atau jasa, maka kualitas dilihat dari pemenuhan
spesifikasi atau atribut-atribut yang telah dipersyaratkan dan dinayatakan,
termasuk ketentuan biaya-biaya yang menjadi tanggung jawab pengguna.
Pembinaan manajemen dan penggunaan sumber daya organisasi diarahkan
untuk memenuhi persyaratan yang telah dinyatakan, pemenuhan tersebut
dengan tujuan untuk memenuhi harapan pengguna sehingga dihadapkan
114
kepuasan. Kebutuhan yang dipersyaratkan dapat berwujud produk itu sendiri
maupun proses inbteraksi antara warga Negara dengan aparatur pemerintah.
Aparatur pemerintah dalam menjalankan kepemimpinanya, agar
mendapatkan kepercayaan untuk melayani masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung. Perlu menyadari bahwa dirinya dituntut untuk
memahami sosok aparatur pelayan yang dapat memberikan pelayanan prima
yaitu sensitive dan responsive terhadap peluang dan tantangan yang
dihadapi, dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan
terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, berwawasan futuris
dan sitemik sehingga resiko yang mungkin timbul akan diminimalisir dan
berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial. Namun
Esensi pelayanan prima pada dasarnya mencakup empat prinsip, yaitu
CETAK (cepat, tepat dan akuntabel (Surjadi:2009:46).
Gambar Makna Kualitas Versi Russel & Taylor
The Meaning of Quality
Production
Producer’s Perspective
Quality of Design
-Quality Characteristic
-Price
Consumer’s Perspective
Quality of Conformance
-Comformance to specification
-Cost
Marketing
115
Sumber: Kualitas Versi Russel & Taylor, 2000 Operations Management p.82 New. Jersey: Printice-Hall Inc.
Mencermati gambar tersebut di atas menggambarkan bahwa kualitas
pelayanan tidak lepas dengan perspektif system, artinya kualitas pelayanan
merupakan interaksi timbal balik dari suatu pertukaran sumber daya antara
lingkungan sebagai pengguna dan organisasi sebagai produsen.
Tingkat kepuasan yang diperoleh masayarakat atau pelayanan yang
didapatkan akan member masukan bagi organisasi penyedia layanan dengan
tujuan untuk memperbaiki kinerjanya. Dan sebaliknya apa yang
dipersyaratkan oleh organisasi akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat
atau badan usaha untuk meningkatkan kinerjanya. (1) Karisma: Memberikan
Visi dan Misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan
kepercayaan. (2) Inspirasi: Mengomunikasikan harapan tinggi menggunakan
simbol-simbol untuk memfokuskan usaha mengekspresikan tujuan penting
dalam cara yang sederhana. (3) Stimulasi Intelektual: Menunjukkan
intelegensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati. (4) Memerhatikan
individu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan
secara individual, melatih, menasehati.
Fitness for Consumer Use
116
b. Pelayanan Akademik
Kata pelayanan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya pelayanan publik, pelayanan administratif, pelayanan yang
memuaskan dan sebagainya. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat
semakin kritis untuk mendapatkan haknya. Pelayanan tidak dapat dilepaskan
dengan hak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan diartikan
sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memeroleh imbalan
(uang), atau jasa. Pelayanan juga diartikan sebagai kemudahan yang
diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa (2001: 571).
Muhammad Iqbal (2007:53), pelayanan darai kata ”SERVICE” jika diurai
adalah sebagai berikut:
1. Self Awarness & Self Esteem, Menanamkan kesadaran diri bahwa
melayani adalah tugasnya dan melaksanakannya dengan menjaga
martabat diri dan pihak lain yang dilayani.
2. Empathy & enthuasiasm, mengetengahkan empati dan melayani
pelanggan dengan penuh kegairahan,
3. Reform Vision & Victory, berpandangan ke masa depan dan memberikan
layanan yang baik untuk memenangkan sesama pihak.
4. Initiative & Impressive, memberikan layanan dengan penuh insiatif dan
mengesankan pihak yang dilayani.
117
5. Care & Cooperative, menunjukkan perhatian kepada konsumen dan
membina kerjasama yang baik.
Berbicara masalah pelayanan akademik maka tentu tidak akan terlepas
dari berbicara tentang pelayanan publik, karena pelayanan akademik juga
menyangkut pelayanan publik dalam bidang yang sifatnya khusus. Moenir
(2001: 196) pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur
dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain
sesuai dengan haknya.
Miftah Thoha (1995:26) memberikan definisi pelayanan publik adalah
suatu usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau institusi
tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan masyarakat dalam
rangka mencapai tuijuan tertentu.
Dari ketiga definisi tersebut maka dapat ditarik benang merah
pengertian pelayanan publik yaitu suatu usaha yang dilakukan seseorang
atau sekelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pelayanan akademik adalah pelayanan yang berkaitan dengan
kegiatan pendidikan di perguruan tinggi.
118
Berdasarkan pengertian tersebut maka pelayanan akademik dapat
diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk
memberikan kemudahan pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dalam hal
yang berkaitan dengan kegiatan akademik.
Sudarman Danim (2003:79) berpendapat bahwa mengingat pentingnya
fungsi pendidikan, adalah keharusan lembaga yang memberi layanan publik
itu secara terus menerus dengan meningkatkan mutu kinerjanya. Ia
menambahkan bahwa bentuk pelayanan pendidikan yang bermutu antara
lain terjadinya kontak intensif antara pelayan dengan pengguna jasa,
pelayanan dilakukan secara tepat waktu dan tepat sasaran, perbuatan
melayani dilakukan secara hati-hati dan komprehensif, dan transparan
menghadapi masalah-masalah yang tidak dapat diraba.
Tampubolon (2001) dalam Sugi Rahayu (2010) menyebutkan adanya
lima jenis pelayanan mahasiswa, yaitu:
(1) Jasa kurikuler, meliputi peraturan akademik, perkuliahan, kurikulum,
bimbingan/konsultasi akademik, praktikum, tugas akhir, evaluasi,
termasuk alat Bantu perkuliahan seperti perpustakaan, OHP,
laboratorium, dan lain-lain,
119
(2) Jasa penelitian, meliputi buku pedoman penelitian, lembaga penelitian,
pelaksanaan penelitian, publikasi hasil penelitian, seminar penelitian,
termasuk juga alat Bantu seperti di atas,
(3) Jasa pengabdian masyarakat, termasuk jenis ini adalah buku pedoman,
pelaksanaan program, administrasi program dan publikasi hasil program,
(4) Jasa administrasi, meliputi kebijakan strategis, administrasi kegiatan
akademik(seperti kehadiran perkuliahan, penilaian, praktikum), registrasi,
transkrip, ijazah dan system informasi,
(5) Jasa ekstra kurikuler, meliputi buku informasi atau panduan kegiatan
ekstra kurikuler, pengelolaan program dan kegiatan kemahasiswaan,
pengembangan minat, kesejahteraan, olah raga, kesehatan, serta alat
dan sarana pendukungnya.
Pelayanan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kepuasan
pelanggan. Guna memuaskan pelanggan dalam dunia bisnis terdapat lima
unsur pelayanan yang dapat ditengarai, yaitu:
(1) cepat, yang dimaksud dengan kecepatan di sini adalah waktu yang
digunakan dalam melayani pelayanan minimal sama dengan batas waktu
dalam standar pelayanan yang ditentukan oleh perusahaan,
120
(2) Tepat, tepat dalam bidangnya, tepat dalam waktu, menguasai
pengetahuan dan keterampilan yang mendukung, tepat dalam
menangani keluhan,
(3) Aman, para petugas pelayanan harus mampu memberikan perasaan
aman kepada pelanggan. Rasa aman ini adalah rasa aman fisik dan
psikhis,
(4) Ramah tamah, membuat pelanggan merasa dihargai dan dihormati,
bersikap professional dan ramah pada saat pelanggan mengeluhkan
pelayanan mereka,
(5) Nyaman, memberikan rasa nyaman pada pelanggan (mereka merasa
tenang dan tenteram) (Sugiarto, 1999: 42).
Memberikan pelayanan secara prima kepada pelanggan mempunyai
tujuan untuk memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggan sehingga tercapai
suatu kepuasan. Kepuasan itu sendiri terdiri atas dua hal yaitu layanan dan
produk kegiatan pelayanan. Keduanya harus memenuhi syarat agar supaya
dapat memberikan kepuasan kepada penerima layanan. Untuk pelayanan
harus berkualitas. Kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara pelayanan
yang diharapkan pelanggan dengan pelayanan yang diharapkan organisasi.
121
Zeithhami-Parasuraman-Berry (1990), Fandy Tjiptono (2001: 70) ada
lima dimensi pokok yang lazim digunakan untuk menilai kualitas pelayanan
yaitu:
(1) Tangible (Bukti langsung), kualitas pelayanan berupa meliputi fasilitas
fisik, perlengkapan dan karyawan, seperti: komputer, ruang tunggu dan
tempat informasi.
(2) Realiability (Keandalan), yakni kemampuan untuk memberikan pelayanan
yangterpercaya atau dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan,
(3) Responsiviness (Daya tanggap), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap
yaitu cepat dsan tepat, sesuai harapan pelanggan.
(4) Assurance (Jaminan), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
atau keramahan dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para
staf,
(5) Emphaty, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan dan
hubungan pribadi, namun tidak mengabaikan ketegasan dalam
memberikan pelayanan.
Moenir (1995: 124-127). pelayanan publik akan dapat terlaksana
dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh beberapa faktor
122
pendukung, yaitu: (1) kesadaran, (2) aturan, (3) organisasi, (4) pendapatan,
(5) kemampuan-keterampilan, (6) sarana pelayanan.
Berbagai penyesuaian konsep tersebut tentunya dapat diterapkan
dalam memberikan pelayanan akademik kepada mahasiswa. Dalam kaitan
dengan dunia pendidikan, pelayanan dibagi menjadi tiga, yaitu pelayanan
akademik atau kurikuler, administrasi dan ekstra kurikuler. Penelitian ini lebih
menitik beratkan kepada pelayanan akademik dengan tidak
mengesampingkan pelayanan non akademik
Pelayanan akademik dimaksudkan sebagai pelayanan yang terkait
dengan peraturan akademik, perkuliahan, kurikulum, bimbingan/konsultasi
akademik, praktikum, tugas akhir, evaluasi, termasuk alat bantu perkuliahan
seperti perpustakaan, OHP, laboratorium, dan lain-lain.
Beberapa jenis pelayanan akademik akan diuraikan secara singkat.
Pertama, pelayanan akademik tentang perkuliahan melibatkan banyak unsur,
diantaranya: Dosen. Sudarwan Danim (2003: 80) berpendapat bahwa tenaga
kependidikan (termasuk dosen), dilihat sebagai totalitas yang satu sama lain
secara sinergi memberikan sumbangan terhadap proses pendidikan, pada
tempat dimana mereka memberikan pelayanan. Tugas lembaga pendidikan
secara umum adalah memberikan pelayanan optimal kepada peserta didik
khususnya dan customer pendidikan pada umumnya, pada titik di mana
123
pelayanan itu harus dilakukan. Hal senada dikemukakan oleh Mastuhu (2004:
109), bahwa berhasil atau tidaknya penyelenggaraan pendidikan bermutu
tergantung pada jumlah atau mutu para aktor atau petugas yang
melaksanakannya. Dosen memiliki fungsi dominant dalam pelayanan
akademik karena tugas dosen di sini adalah mengajar, membimbing, dan
menguji.
Kedua, pelayanan akademik terkait dengan kurikulum, Nasution seperti
dikutip Suryo Subroto (1984), berpendapat bahwa organisasi kurikulum
adalah pola atau bentuk bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada
muris-murid. Organisasi kurikulum sangat erat hubungannya dengan tujuan
pendidikan yang hendak dicapai karena pola-pola yang berbeda akan
mengakibatkan cara penyampaian pelajaran yang berbeda pula.
Ketiga, sarana dan prasarana pendukung. Sarana pendukung meliputi
peralatan, perlengkapan laboratorium, perpustakaan dan alat bantu
pembelajaran. Prasarana atau disebut fasilitas meliputi gedung dengan
segala perlengkapannya, fasilitas komunikasi dan kemudahan lainnya.
Kualitas pendidikan yang berkembang saat ini, model pengukurannya
mencakup beberapa hal yang berhubungan dengan standar nasional yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Soedijarto (2008:291) dalam
mengelola pendidikan yang berkualitas agar berstandar nasional meliputi: 1)
124
Kualitas dan kualifikasi tenaga dosen/.guru dan kependidikan lainnya, 2)
Sarana dan Prasarana, 3) Kurikulum dan proses pembelajaran, 4) Media
pembelajaran seperti buku, laboratorium, dan media pembelajaran lain yang
diperlukan, 5) Sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus dan objektif
dipenuhi persyaratannya.
Selanjutnya dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS
2000-2004), untuk meningkatkan kualitas pada bidang pendidikan terdapat
arah pembangunan dengan program-program sebagai berikut:
1) Perluasan dari pemerataan pendidikan dengan adanya dana yang
mencukupi.
2) Meningkatkan kemampuan dan mutu hidup para pendidik
3) Membenahi kurikulum
4) Memberdayakan lembaga pendidikan
5) Meningkatkan manajemen pendidikan, termasuk upaya desentralisasi
dan otonomi pendidikan.
Oleh karena itu ruang lingkup pelayanan bidang pendidikan
menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka pemerintah dalam pelayanan
bidang pendidikan mempunyai porsi yang besar. Namun demikian karena
125
keterbatasan sumber daya pemerintah, maka porsi masyarakat perlu digali
atau diikutsertakan.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan beberapa perspektif teori dan dalam tinjauan pustaka
dan hasil penelitian sebelumnya, maka penulis mengaitkan dengan teori
kepemimpinan yang mendasari argemennya bahwa kepemimpinan
merupakan suatu kemampuan seseorang dalam mempegaruhi orang lain
untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan. Untuk mempengaruhi orang lain
harus menggunakan suatu strategi (Salusu:1968). Strategi yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara yang dipergunakan oleh
seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya untuk
mempengaruhi bawahan, karena untuk mempengaruhi bawahan bukan
pekerjaan gampang, karena yang melakukan aktivitas di dalam sebuah
organisasi memiliki sumber daya manusia yang memiliki karkateristik yang
berbeda-beda, sehingga perlu startegi untuk menggerakkan bahwahan agar
mereka mau dan ihklas bergerak menjalankan tugasnya sebagai pelayan
masyarakat kampus. Gaya kepemimpinan yang diterapkan Gatto adalah
gaya kepemimpinan otoriter, partisipatif, konsultatif dan free-rein/delegasi.
126
Gaya inilah yang dapat dijadikan sebagai dimensi untuk mengetahui
kepemimpinan di Universitas Tadulako. Lebih jelasnya dapat dilihat kerangka
pikir dibawah ini:
Gambar Kerangka Pikir
Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan
1. Direktif
2. Partisipatif
3. Konsultatif
4. Free-rein
(Gatto:1992)
Kualitas Pelayanan
1. Realibility
2. Responsiviness
3. Assurance
4. Empaty
5. Tangible
(Parasuraman:1990)
Kepuasan
127
128
dan suka rela yorang yang dipimpin keraj pencapaian suatu tujuannggeta
laksanakan .literature Ada tiga unsur utama yang berpengaruh terhadap
keefektifan pengelolaan pendidikan pada Perguruan Tinggi di Universitas
Tadulako, yaitu: (1) Pendidik, (2) Tenaga kependidikan, (3) Peserta didik.
Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian
129
pada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Tenaga kependidikan
bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada
satuan pendidikan di Unieversitas Tadulako. Sedangkan peserta didik adalah
mahasiswa sebagai pelanggang utama yang sangat membutuhkan
pelayanan yang memuaskan.
Ketiga unsur tersebut memiliki karakteristik tersendiri, ada yang
melayani dan ada yang dilayani ada yang menjadi pemimpin dan ada yang
dipimpin/pengikut. Robert (1999:405) mengatakan bahwa terjadinya
kepemimpinan mengalir dari mereka yang bersedia dipimpin yaitu pengikut.
Dan siapa yang akan diikuti oleh pengikut? seorang yang melayani. Siapa
yang melayani ? tidak lain adalah pemimpin. Jadi kepemimpinan lahir dari
adanaya tindakan-tindakan spesifik seorang pemimpin dalam mengarahkan
dan mengkoordinasikan kerja anggota kelompok.
Untuk memahami karkateristik dari berbagai unsur tersebut baik yang
memimpin maupun yang dipimpin dapat dilihat dari aspek pendekatan
situasional dalam mempengaruhi bawahan, karena sukses tidaknya
seseorang dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin tergantung pada
penerapan gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan kondisi bawahan
atau yang dipimpin. Jadi kualitas pelayanan akademik bagi masyarakat
kampus dapat tercapai jika pimpinan dan yang dipimpin melakukan
130
kerjasama yang baik untuk melakukan suatu perubahan demi
pengembangan organisasi. Agus Dwiyanto (2002: ) menjelaskan bahwa
untuk mengukur tingkat kualitas pelayanan dapat dilihat dari
(1) Responsivitas (responsiveness). Responsivitas berkaitan dengan
kecepatan tanggapan yang dilakukan oleh pegawai terhadap kebutuhan
pengguna jasa, yang dalam hal ini adalah masyarakat yang
membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur dalam perundangan yang
berlaku.
(2) Kesopanan (courtesy). Kesopanan berkaitan dengan keramahan yang
ditampilkan oleh aparatur dalam proses pemberian pelayanan publik, di
mana faktor ini secara tidak langsung memberikan iklim organisasi yang
sejuk dan kondusif ketika proses pemberian pelayanan berlangsung.
(3) Akses (access). Akses berkaitan dengan kesediaan aparatur (pegawai)
untuk memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara tanpa
adanya sikap diskriminatif, karena jika kondisi ini berlangsung, maka
akan ada kesenjangan dalam pemberian pelayanan., sehingga
pemerataan pelayanan tidak akan tercapai dan berdampak pada
rendahnya kualitas layanan.
131
(4) Komunikasi (communication), Komunikasi berkaitan dengan kelancaran
hubungan verbal maupun fisik antara apratur (pegawai) dan pengguna
jasa dalam proses pemberian pelayanan.
Jika dilihat dari aspek pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan,
maka dapat dikaji melalui pendekatan gaya kepemimpinan Robert
(1999:406). Wahyu Suprapti (2000:13) pendekatan gaya kepemimpinan
dapat diklasifikasikan pada pendekatan klassik dan pendekatan modern.
Miftha Thoha (1999), Siagian (2000: 205) mengatakan bahwa kepemimpinan
dapat dipelajari dari pola tingkah laku. Pola tingkah laku identik dengan gaya.
Gaya kepemimpinan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karkateristik
para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya pada saat mereka
berupaya mempengaruhi para anggota kelompok, baik secara perseorangan
maupun kolektif., seperti gaya otoriter, konsultatif, partisipatif dan delegasi
serta kepemimpinan transformasional dan transaksional dan kharismatik.
Kepemimpinan Transformasional memiliki karakteristik, seperti karisma yaitu
memberikan Visi dan Misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek
dan kepercayaan. Inspirasi: dalam mengomunikasikan harapan tinggi dengan
menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha:mengekspresikan
tujuan penting dalam cara yang sederhana. Stimulasi Intelektual yang dapat
menunjukkan intelegensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati.
132
Serta memerhatikan individu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati
Sedangkan kepemimpinan Transaksional memiliki karakteritik, seperti
Penghargaan Kontingen dan kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha
yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui
pencapaian/prestasi. Memanajemen berdasarkan kekecualiaan (Aktif)
mengawasi dan mencari pelanggan terhadap aturan dan stándar, mengambil
tindakan korektif. Manajemen berdasarkan kekecualiaan (passif) dengan
Intervensi hanya saja jika stándar tidak dipenuhi. Sesuka hati dengan
menghindari tanggung jawab: menghindari pengambilkan keputusan.
Kemudian kepemimpinan Kharismatik memiliki karakteristik seperti
yang dijelaskan Luthans (2006: 653) mengutip pendapat Bass bahwa
kepemimpinan karismatik hanya sebuah komponen kepemimpinan
transformasional di perluas sehingga dapat dilihat dari dua sisi yaitu etis dan
tidak etis. Karismatik Etis karakteritiknya adalah: (1) Menggunakan
kekuasaan untuk melayani orang lain, (2) Menyelaraskan visi dengan
kebutuhan dan aspirasi pengikut, (3) Memerhatikan dan belajar dari kritik, (4)
Menstimulasi pengikut untuk berpikir independen dan mempertanyakan
pandangan pemimpin, (5) Komunikasi terbuka dua arah, (6) Melatih,
mengembangkan dan mendukung pengikut, membagikan penghargaan
dengan orang lain, (7). Mengadalkan estándar moral internal untuk
133
memuaskan organisasi dan kepentingan orang banyak. Sedangkan
Karismatik Tidak Etis yaitu (1) Menggunakan kekuasaan hanya untuk
keuntungan atau dampak pribadi., (2). Mengedepankan visi pribadi, (3)
Mengabaikan kritik atau pandangan yang berlawanan, (4). Menuntut
keputusannya diterima tanpa pertanyaan, (5) Komunikasi satu arah, (6).
Insentif untuk kebutuhan pengikut, (7). Mengandalkan standar moral
eksternal untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Berdasarkan uraian tersebut, diperoleh gambaran bahwa kualitas
pelayanan akademik ditentukan oleh karakteritik kepemimpinan. Karakteristik
kepemimpinan nampak pada pola/gaya kepemimpinan transaksional,
transformasional dan kharismatik yang diterapkan para pemimpin dalam
menjalankan perannya sebagai katalisator, desiminator, motivator dan
katalisator di Universitas Tadulako. Lebih jelasnya dapat dilihat alur pikir
tersebut .
134
..
UNTAD
1.Visi
2. Misi
KEPEMIMPINAN
1.Rektor-PR
2. Dekan- PD
3. Biro Akademik- Staf
Dipimpin:
Masyarakat kampus
Pemimpin
Kualitas Pelayanan
1. Responsiviness
2. Kesopanan
3. Akses
4. Komunikasi
1.
Karakteristik Kepemimpinan
1.Peran kepemimpinan
2. Gaya kepemimpinan
Layanan:
1. Jasa kurikuler
2. Jasa Penelitian
3. Jasa pengabdian
4. Jasa Ekstra kurikuler
Harapan Masyarakat Kampus Layanan yang: Cepat,Tepat, Aman, ramah dan nyaman.
135
136
(1) Jasa kurikuler, meliputi peraturan akademik, perkuliahan, kurikulum,
bimbingan/konsultasi akademik, praktikum, tugas akhir, evaluasi, termasuk
137
alat Bantu perkuliahan seperti perpustakaan, OHP, laboratorium, dan lain-
lain,
(2) Jasa penelitian, meliputi buku pedoman penelitian, lembaga penelitian,
pelaksanaan penelitian, publikasi hasil penelitian, seminar penelitian,
termasuk juga alat Bantu seperti di atas,
(3) Jasa pengabdian masyarakat, termasuk jenis ini adalah buku pedoman,
pelaksanaan program, administrasi program dan publikasi hasil program,
(4) Jasa administrasi, meliputi kebijakan strategis, administrasi kegiatan
akademik(seperti kehadiran perkuliahan, penilaian, praktikum), registrasi,
transkrip, ijazah dan system informasi,
(5) Jasa ekstra kurikuler, meliputi buku informasi atau panduan kegiatan
ekstra kurikuler, pengelolaan program dan kegiatan kemahasiswaan,
pengembangan minat, kesejahteraan, olah raga, kesehatan, serta alat dan
sarana pendukungnya.
Pelayanan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kepuasan
pelanggan. Guna memuaskan pelanggan dalam dunia bisnis terdapat lima unsur
pelayanan yang dapat ditengarai, yaitu:
(1) cepat, yang dimaksud dengan kecepatan di sini adalah waktu yang
digunakan dalam melayani pelayanan minimal sama dengan batas waktu
dalam standar pelayanan yang ditentukan oleh perusahaan,
138
(2) Tepat, tepat dalam bidangnya, tepat dalam waktu, menguasai pengetahuan
dan keterampilan yang mendukung, tepat dalam menangani keluhan,
(3) Aman, para petugas pelayanan harus mampu memberikan perasaan aman
kepada pelanggan. Rasa aman ini adalah rasa aman fisik dan psikhis,
(4) Ramah tamah, membuat pelanggan merasa dihargai dan dihormati,
bersikap professional dan ramah pada saat pelanggan mengeluhkan
pelayanan mereka,
(5) Nyaman, memberikan rasa nyaman pada pelanggan (mereka merasa tenang
dan tenteram) (Sugiarto, 1999: 42).
.
.KEP.TRANSFORMASIONAL
1.Karisma
2.Inspirasi
3. Stimulakasi Intelektual
4. Memerhatikan Individu
KEP,TRANSAKSIONAL
1.Penghargaan Kontingen
2.Manajemen Aktif
3.Manajemen Pasif
4. Sesuka Hati
KEP.KARISMATIK
1.Etis
2. Tidak etis
Yang jelas kepemimpinan karisma adalah kualitas secara personil dimiliki oleh pemimpin yang luar biasa
139
.
.
.
.KUALITAS PELAYANAN AKADEMIK
1. Responsiviness
2. Kesopanan
3. Akses
4. Komunikasi
Pelayanan Akademik PEMIMPIN
1. Rektor dan Pembantu rektor
2. Dekan dan Pembantu Dekan
3. Biro dan ketua lembaga
KEPEMIMPINAN
UNTAD
KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN
1. Gaya Kepemimpinan (Bass &Avolio)
2. Peran Kepemimpinan (Burt &Nanus)
Faktor Yang Tidak Diiedentifikasi
140
.
KEPUASAN: Masyarakat kampus (Internal & Eksternal).