bab i pendahuluan a. latar belakang putusan batal demi

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putusan batal demi hukum adalah suatu putusan yang memiliki akibat hukum yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan. 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendefenisikan tentang dakwaan, tetapi dakwaan adalah sebagai dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan itu pemeriksaan persidangan dapat dilakukan. Masalahnya adalah dapatkah surat dakwaan diputuskan oleh majelis hakim batal demi hukum dalam putusan akhir atau setelah pemeriksaan pokok perkara? 2 Surat dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik. Semua informasi mengenai fakta-fakta delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier) tersebut. 3 1 http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadap-putusan-batal-demi- hukum/ , diakses tanggal 8 Agustus 2015, Artikel yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, judul “Pendapat Hukum Terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website yusril.ihzamahendra,com, tanggal 15 Mei 2012. 2 Lilik Mulyadi (I), Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 39. 3 M.L. Hc. Hulsman disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hal. 149-150. Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh JPU dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam Universitas Sumatera Utara

Upload: vuliem

Post on 18-Jan-2017

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Putusan batal demi hukum adalah suatu putusan yang memiliki akibat hukum

yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama

sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan.1

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendefenisikan

tentang dakwaan, tetapi dakwaan adalah sebagai dasar dari hukum acara pidana dan

berdasarkan dakwaan itu pemeriksaan persidangan dapat dilakukan.

Masalahnya

adalah dapatkah surat dakwaan diputuskan oleh majelis hakim batal demi hukum

dalam putusan akhir atau setelah pemeriksaan pokok perkara?

2 Surat dakwaan

dibuat oleh Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik. Semua informasi mengenai fakta-fakta

delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier) tersebut.3

1http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadap-putusan-batal-demi-

hukum/, diakses tanggal 8 Agustus 2015, Artikel yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, judul “Pendapat Hukum Terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website yusril.ihzamahendra,com, tanggal 15 Mei 2012.

2 Lilik Mulyadi (I), Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 39.

3 M.L. Hc. Hulsman disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hal. 149-150.

Hakim pada

prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut

tidak didakwakan oleh JPU dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam

Universitas Sumatera Utara

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 Tanggal 26

Mei 1984.4

Permasalahan ini menjadi sangat menarik karena dalam praktik biasa terjadi

dimana hakim memutus suatu dakwaan menjadi batal demi hukum baik sebelum

maupun sesudah dilakukan pemeriksaan pokok perkara atau setelah dilakukan

pemeriksaan alat-alat bukti dan pembacaan tuntutan oleh penuntut umum.

5 Hakim

yang membatalkan dakwaan pada pemeriksaan pendahuluan sudah diatur di dalam

Pasal 143 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP6

Gambaran masalahnya sebagaimana diketahui terkait prosedur hukum acara

setelah dakwaan dibacakan, dimana hakim kemudian menanyakan kepada

terdakwa/penasehat hukumnya mengenai dakwaan tersebut (vide: Pasal 155 ayat (2)

huruf b KUHAP), kemudian terdakwa/penasehat hukumnya dapat mengajukan

keberatan atas dakwaan dalam bentuk “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau

“dakwaan tidak dapat diterima” atau “surat dakwaan harus dibatalkan”

, sedangkan untuk

pembatalan dakwaan oleh hakim setelah pemeriksaan pokok perkara belum diatur

dengan jelas dan tegas di dalam KUHAP melainkan masih kelihatan samar-samar.

7

4 Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. 5 Matteus A. Rogahang, “Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur

Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012, hal. 111. 6 M. Yahya Harahap (I), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 358.

7 Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 93.

(vide: Pasal

156 ayat (1) KUHAP), artinya keberatan-keberatan itu harus diajukan oleh terdakwa

di sidang pengadilan setelah dakwaan dibacakan. Ketiga macam keberatan tersebut,

Universitas Sumatera Utara

baik terdakwa maupun penasehat hukumnya, dapat mengajukan salah satunya atau

ketiga macam keberatan tersebut sekaligus, asalkan ada relevansi dan dasar

hukumnya terhadap surat dakwaan.8

Masalah ketidakwenangan mengadili menjadi hal yang mudah dijawab karena

sudah jelas ditentukan dalam KUHAP terkait ketidakberesan dakwaan dalam bentuk

Kemudian setelah mendengar pendapat dari penuntut umum, hakim

seharusnya mempertimbangkan keberatan itu untuk selanjutnya mengambil

“keputusan” (vide: redaksional Pasal 156 ayat (1) KUHAP) dan keputusan atas

keberatan tersebut dapat berakibat perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, jika

keberatan “diterima”, atau sidang dilanjutkan jika keberatan “tidak diterima” atau

hakim berpendapat “hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan”

(vide: Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut adalah

tentang “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau “dakwaan tidak dapat diterima”

atau “surat dakwaan harus dibatalkan”. Alur proses penanganan perkara seperti yang

digambarkan di atas adalah hal yang lazim dan biasa terjadi, akan tetapi lain halnya

ketika muncul bentuk penyelesaian perkara bila terdakwa tidak mengajukan

eksepsi/keberatan atas dakwaan, saat/setelah memeriksa alat bukti, hakim

menemukan ketidakberesan dakwaan yang dapat membatalkan dakwaan, masalahnya

bisakah hakim membuat putusan pembatalan atas dakwaan setelah pemeriksaan

pokok perkara dilakukan?

8 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

“ketidakwenangan hakim pengadilan”. Sesuai Pasal 156 ayat (7) KUHAP, hakim

ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar

pendapat dari JPU dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya

dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang. Jika hakim menemukan

ketidakbenaran dakwaan yang berakibat tidak berwenangnya pengadilan maka hakim

tersebut dapat memutuskannya.

Contoh pada saat dakwaan dibacakan tidak ada eksepsi/keberatan dari

terdakwa/penasehat hukumnya mengenai locus delicti tindak pidananya, akan tetapi

setelah memeriksa alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

keterangan terdakwa9, ternyata locus delicti-nya terjadi di luar yuridiksi pengadilan

yang memeriksa, maka dengan demikian hakim tersebut dapat menyatakan tidak

berwenang mengadili perkara tersebut meskipun tidak ada eksepsi dari

terdakwa/penasehat hukumnya.10

Ketidakwenangan mengadili harus diputuskan/ditetapkan sebelum pengajuan

tuntutan untuk mencegah terdakwa dituntut dua kali untuk perkara yang sama, lagi

pula telah diatur dasar hukumnya di dalam Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (1)

huruf 1 a KUHAP. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika hakim menyatakan

keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya

dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus

9 Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 10http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html, diakses

tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014.

Universitas Sumatera Utara

setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a

KUHAP menentukan: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum

mengajukan tuntutan pidana”.

Bagaimana jika hakim setelah memeriksa alat bukti ternyata menemukan

bahwa dakwaan tersebut harus dibatalkan, apa langkah yang bisa diambil oleh hakim

tersebut? Apakah bisa memutuskannya dalam putusan akhir? Bukankah KUHAP

mengatur putusan akhir itu hanya dalam bentuk putusan pemidanaan (dihukum) dan

putusan bukan pemidanaan (bebas atau lepas dari tuntutan hukum)11

KUHAP telah mengatur mengenai suatu putusan akhir dinyatakan batal demi

hukum

sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP, Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal

194 ayat (1) KUHAP, Pasal 197 ayat (1) KUHAP, Pasal 199 ayat (1) huruf b

KUHAP, dan Pasal 222 ayat (1) KUHAP.

12

11 Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP. Lihat juga: P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum

Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 184-185. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).

12http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500d17ccd58cb/menguji-putusan-batal-demi-hukum, diakses tanggal 6 Agustus 2015, Artikel berudul “Menguji Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website hukumonline.com, tanggal 23 Juli 2012.

, namun untuk pembatalan surat dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara

tidak diatur dalam KUHAP. KUHAP tidak mengatur secara tegas mengenai

pembatalan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara atau setelah tuntutan

dibacakan, akan tetapi jika membaca redaksional Pasal 156 ayat (2) KUHAP yakni

“Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa

Universitas Sumatera Utara

lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut

baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Penekanan

redaksional itu tepatnya dalam hal “…baru dapat diputus setelah selesai

pemeriksaan…”. Dari ketentuan ini berarti KUHAP memberikan sarana yuridis bagi

hakim untuk memutuskan batal demi hukum atau tidak batalnya suatu dakwaan

setelah pemeriksaan pokok perkara selesai, hal yang sama juga berlaku jika dakwaan

tidak dapat diterima.

Menurut M. Yahya Harahap, majelis hakim lebih baik memeriksa dulu

perkaranya secara keseluruhan untuk menjaga cara penilaian yang lebih objektif,13

sehingga dengan adanya pemeriksaan itu hakim akan lebih objektif menilai, apakah

dakwaan itu terang atau tidak, sehingga dapat dibatalkan atau tidak14

Pertanyaannya lagi adalah kapan suatu pemeriksaan pendahuluan dinyatakan

selesai? Bila membaca aturan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang menegaskan:

“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan

pidana”. Berarti selesainya pemeriksaan pendahuluan adalah setelah proses

pemeriksaan alat bukti, dan sebelum pengajuan tuntutan pidana. Sedangkan jika telah

ada pengajuan tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan, KUHAP

, karena suatu

dakwaan harus memiliki patokan agar tidak merugikan hak-hak terdakwa dan

terdakwa dapat mempersiapkan pembelaannya sebelum perkara tersebut diputuskan

dalam putusan akhir.

13 M. Yahya Harahap (II), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 394. 14 Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 121.

Universitas Sumatera Utara

menamakannya dengan “pemeriksaan dinyatakan ditutup” (vide: Pasal 182 ayat (2)

KUHAP) berarti pemeriksaan pokok perkara telah selesai.

Berdasarkan uraian tersebut di atas pandangan ini menyatakan bahwa setelah

pemeriksaan pendahuluan dinyatakan selesai, hakim masih dapat memutus suatu

dakwaan batal demi hukum, akan tetapi Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (2)

KUHAP mensyaratkannya dengan tegas harus dilakukan sebelum pengajuan

tuntutan, bukan setelah tuntutan dibacakan sebagaimana yang terdapat di dalam

Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim.

Ruang lingkup Pasal 156 KUHAP terkait dengan keberatan/eksepsi dari

terdakwa dapat dilakukan jika sebelumnya ada keberatan/eksepsi dari terdakwa.

Bagaimana penyelesaiannya jika sebelumnya tidak ada keberatan/eksepsi dari

terdakwa mengenai hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Putusan

Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim?

Penyelesaian ini berpulang kepada penafsiran hakim, mau menganalogikan

ketentuan Pasal 156 ayat (2) KUHAP berlaku meskipun tidak ada keberatan

sebelumnya dari terdakwa atau tidak. Perlu diingat bahwa hakim hanya diberikan

kewenangan memutus secara ex officio (meskipun tanpa ada keberatan dari terdakwa)

hanya dalam hal menyatakan pengadilan tidak berwenang (vide: Pasal 156 ayat 7

KUHAP).

Bila memperhatikan praktek peradilan tentang aturan hukum acara, contoh

tentang berwenangnya JPU mengajukan Peninjauan Kembali (PK) padahal menurut

Pasal 263 ayat (1) KUHAP tegas mengatur yang dapat mengajukan PK hanya

Universitas Sumatera Utara

terpidana atau ahli warisnya, menunjukkan aturan hukum acara bukanlah sesuatu

yang statis (kaku), dihubungkan pula dengan asas keadilan dan kemanfaatan, terasa

sungguh tidak adil dan tidak bermanfaat jika hakim ”terbelenggu” untuk tidak bisa

berbuat apa-apa jika saat/setelah memeriksa alat bukti menemukan indikasi dakwaan

harus dibatalkan demi hukum atau dakwaan harus tidak dapat diterima.

Ada atau tidaknya keberatan/eksepsi sebelumnya dari terdakwa, bukanlah

merupakan suatu belenggu bagi hakim untuk berbuat ketika menemukan

“ketidakberesan suatu dakwaan” (batal demi hukum/tidak dapat diterima) setelah

pemeriksaan alat bukti dan pokok perkara. Sebelum memutuskan dakwaan batal demi

hukum/tidak dapat diterima sebaiknya harus mengikuti prosedur berikut ini:15

1. Langkah pertama: jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat bukti (sebelum pengajuan tuntutan) ditemukan indikasi dakwaan seharusnya batal demi hukum maka hakim harus menyatakannya di persidangan.

2. Langkah kedua: atas pernyataan hakim tersebut, kemudian JPU memberikan pendapatnya atau keberatan/eksepsi yang dilanjutkan dengan pendapat dari terdakwa.

3. Langkah ketiga: jika setelah mendengar keberatan/eksepsi tersebut, hakim tetap memandang dakwaan batal demi hukum maka hakim juga dapat membuat putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

Konstruksi hukum yang pertama adalah Pasal 156 ayat (7) jo Pasal 182 ayat

(1) huruf a KUHAP menjadi dasar argumentasi dalam hal tidak ada keberatan/eksepsi

dari terdakwa tetapi selama proses persidangan hakim menganggap tidak berwenang

untuk mengadili perkara tersebut (absolut/relatif) maka hakim harus menyatakan

tidak berwenang mengadili dan harus dilakukan sebelum adanya pengajuan tuntutan.

15http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html, diakses

tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014.

Universitas Sumatera Utara

Konstruksi kedua adalah Pasal 156 ayat (2), jo Pasal 182 ayat (1) huruf a

KUHAP jika ada keberatan maupun tidak ada keberatan sebelumnya, hakim dapat

memutus dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dinyatakan

selesai/sebelum tuntutan pidana diajukan. Sebaiknya sebelum memutuskan

berdasarkan kedua konstruksi hukum di atas, maka hakim harus mendengar pendapat

dari JPU dan terdakwa/penasehat hukumnya.

Intinya putusan dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan oleh hakim,

bukan dalam bentuk penetapan.16

Menurut M. Yahya Harahap, suatu dakwaan dapat batal demi hukum apabila

dakwaan tersebut tidak merumuskan semua unsur dalil yang didakwakan, atau tidak

merinci secara jelas peran dan perbuatan terdakwa dalam dakwaan, suatu dakwaan

batal demi hukum juga karena dakwaan tersebut kabur (obscuur libel) tidak

Putusan dakwaan batal demi hukum dapat

dijatuhkan hakim pada 2 (dua) kemungkinan yaitu pada waktu sebelum pemeriksaan

alat bukti dan setelah pemeriksaan alat bukti selesai (sebelum dan setelah

pemeriksaan pokok perkara). Konstruksi hukum yang kedua di atas masih

menimbulkan pertanyaan dan perdebatan dalam praktik dalam hal jika telah ada

tuntutan pidana (pemeriksaan telah ditutup), bagaimana prosedurnya? Ada yang

mengatakan itu merupakan kelalaian hakim itu sendiri dalam menerapkan hukum

acara, dan ada pula yang berpendapat masih dimungkinkan bagi hakim diberikan

ruang untuk membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum.

16 Wilhelmus Taliak, “Akibat Hukum Surat Dakwaan Batal Dan Surat Dakwaan Dinyatakan

Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, hal. 82.

Universitas Sumatera Utara

dijelaskan cara bagaimana kejahatan/tindak pidana itu dilakukan, tetapi hal ini tidak

diputuskan pada putusan akhir, melainkan dalam putusan sela.17

Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa jika sama sekali tidak ada

keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya atau dari jaksa maka berlaku

prinsip kekuasaan kehakiman.

Oleh karena itulah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:

19/Pid.Sus/2015/PN.Sim dijadikan sebagai studi analisis untuk memberikan

argumentasi hukum (legal reasoning) tentang dakwaan JPU yang dibatalkan hakim

oleh karena ditemukannya perbedaan jumlah uang antara yang diterangkan oleh

terdakwa dan yang disebutkan JPU dalam surat dakwaan. Terdakwa menerangkan

Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu dengan uang patungan masing-masing

Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU

yang menyatakan terdakwa disuruh oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu

dengan memberikan uang Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah). Selain itu Rikal juga

tidak dihadirkan di persidangan setelah diperintahkan oleh majelis hakim.

18

Hal itu menjadi menarik bila ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai

dakwaan batal demi hukum dikaitkan dengan putusan majelis hakim dalam Putusan

Salah satu upaya untuk menemukan ruang bagi

hakim adalah dengan melihat konsekuensi yuridis dari dakwaan itu sendiri sehingga

suatu dakwaan dapat dibatalkan demi hukum atau tidak dapat diterima dikaitkan

dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam teori sistem hukum.

17 M. Yahya Harahap (I), Op. cit, hal. 359. 18 Ibid., hal. 392.

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim terhadap terdakwa

(Ikhsan Fauzi Rangkuti) yang didakwa oleh JPU melakukan penyalahgunaan

narkotika jenis sabu-sabu dengan tuntutan melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Menariknya kasus ini karena majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri

Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim tersebut menjatuhkan putusan akhir

dengan dakwaan batal demi hukum artinya putusan hakim tersebut berisi pembatalan

dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara, padahal bila berpedoman pada Pasal

143 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 156 ayat (1) KUHAP dakwaan menjadi batal

demi hukum dapat dijatuhkan oleh majelis hakim seharusnya sebelum pemeriksaan

pokok perkara atau saat diajukan eksepsi oleh terdakwa/penasehat hukumnya tentang

dakwaan kabur (obscuur libel) atau berkaitan dengan kewenangan hakim mengadili.

Majelis hakim dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim menafsirkan

ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dengan berprinsip pada hukum

progresif yang memandang hukum acara tidak mesti dilaksanakan secara kaku

(statis). Hakim dalam perkara ini tidak kaku mempertimbangkan Pasal 143 ayat (2)

huruf b KUHAP dalam membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum sekalipun

tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya dan juga tidak

mengenai masalah kewenangan hakim mengadili.

Uraian dalam dakwaan menurut Andi Hamzah sesuai Pasal 143 KUHAP

harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan

Universitas Sumatera Utara

dengan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan.19 Cara menguraikan isi

dalam dakwaan itu menurutnya masih lebih banyak bergantung pada yurisprudensi20

dan doktrin. Menurut Jonkers yang harus dimuat selain daripada perbuatannya juga

dimuat unsur-unsur tindak pidananya.21

Dakwaan yang tidak jelas dan tidak cermat serta terkesan menambah sesuatu

yang tidak jelas itu membuka ruang bagi hakim secara lebih luas memberikan

penafsiran, sehingga majelis hakim berpeluang membatalkan dakwaan tersebut.

22

Untuk dapat memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu dakwaan, maka

seharusnya terhadap dakwaan harus dilakukan eksaminasi, yaitu penelitian dan

pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh pimpinan

untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/JPU dalam melaksanakan

tugas atau penyelesaian suatu perkara dari sudut teknis yuridis maupun administrasi

negara.23

Pembatalan dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim setelah

pemeriksaan pokok perkara ini diputuskan oleh majelis hakim hanya karena atas

nama Rikal yang disebut-sebut dalam dakwaan tersebut adalah orang yang menyuruh

membeli dan memberikan uang sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada

19 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 172. 20 Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 47/K/Kr/1956 Tanggal 28 Maret 1957. 21 Andi Hamzah (1996), Op. cit. hal. 174 22 Ibid. hal. 177. 23 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:

Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, (Jakarta: Kejagung RI, 2011), hal. 4 dan hal. 32-33. Pasal 1 angka 11 jo Pasal 49, Pasal 50 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

Universitas Sumatera Utara

terdakwa (Ikhsan Fauzi Rangkuti) tidak dijadikan tersangka/terdakwa ataupun

dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau tidak dihadirkan sebagai saksi

dalam persidangan. Tidak dimasukkannya Rikal ke dalam berkas perkara aquo

sedangkan Rikal dalam surat dakwaan disebutkan sebagai orang yang menyuruh

membeli narkotika jenis sabu-sabu bahkan memberikan uang sebesar Rp.100.000,-

(seratus ribu rupiah) kepada terdakwa sesuai fakta-fakta hukum menurut majelis

hakim telah bertentangan dengan rasa keadilan yang merupakan tujuan dari

penegakan hukum itu sendiri.24

1. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

Pasal 143 ayat (3) KUHAP menentukan, “….Surat dakwaan yang tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b

KUHAP adalah batal demi hukum”. Sekalipun Rikal bukan lah orang yang didakwa

dalam Dakwaan JPU Nomor Register Perkara: PDM-06/Siant/N.2.24/Ep.3/01.2015

Tertanggal 19 Januari 2015 melainkan adalah terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti saja,

tetapi majelis hakim memutuskan terhadap dakwaan menjadi batal demi hukum

setelah dilakukan pemeriksaan pokok perkara.

Pasal 143 KUHAP menentukan:

2. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

24 Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23

April 2015, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

3. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

4. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik, pada saat bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Terhadap ketentuan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menurut

Lilik Mulyadi adalah merupakan syarat formil sedangkan syarat dalam Pasal 143 ayat

(2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil.25 Kekurangan syarat formil surat

dakwaan tidak menyebabkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum26, sedangkan

kekurangan syarat materiil surat dakwaan misalnya surat dakwaan tidak jelas dan

terang27 atau karena surat dakwaan tersebut bertentangan antara satu dengan yang

lainnya mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null

end void).28 Tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat (2)

huruf b KUHAP tentang syarat materiil adalah batal demi hukum.29

Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (syarat materiil) tersebut di

atas jelas ditafsirkan oleh majelis hakim berdasarkan konsep kekuasaan kehakiman

secara merdeka, bebas untuk menafsirkan hukum,

30

25 Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 41. 26 Ibid., hal. 42. Lihat juga: Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114. 27 Ibid., hal. 44. 28 Ibid., hal. 46. 29 Wilhelmus Taliak, Loc. Cit. 30 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

dan hakim wajib menggali,

mengikuti, serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

Universitas Sumatera Utara

masyarakat.31 Majelis hakim dalam perkara aquo mengatakan “Suatu dakwaan batal

demi hukum jika tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan yaitu: dakwaan kabur

(obscuur libel) karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi

pencampuran unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang

lainnya.32

Cermat adalah ketelitian JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang

didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat

Atas dasar pertimbangan inilah hakim tersebut dikatakan telah menafsirkan

Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP secara bebas dan merdeka sesuai konsep hukum

progresif.

Dikatakan bahwa hakim dalam putusan ini menafsirkan Pasal 143 ayat (2)

huruf b KUHAP secara tidak kaku karena dalam pertimbangannya disebutkan karena

adanya unsur-unsur tindak pidana yang tidak diuraikan atau terjadi pencampuran

unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu antara

terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti dan Rikal.

Terdakwa menerangkan bahwa Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu

dengan uang patungan masing-masing Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)

bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU yang menyatakan terdakwa disuruh

oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu dengan memberikan uang Rp.100.000,-

(seratus ribu rupiah). Dalam hal ini JPU tidak cermat dan jelas membuat surat

dakwaannya.

31 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 32 Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23

April 2015, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan.

Jelas adalah JPU harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan

sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang di lakukan oleh

terdakwa dalam surat dakwaan.33 Substansi dakwaan yang tidak jelas dan tidak

cermat mengenai pencantuman pasal juga bisa mengakibatkan dakwaan batal demi

hukum.34

Meskipun hakim telah memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan orang

yang bernama Rikal ke persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi

dalam perkara aquo agar perkara tersebut menjadi terang benderang untuk menuju

pada kebenaran materiil, namun JPU tidak menghadirkan orang yang bernama Rikal

yang telah diperintahkan oleh majelis hakim tersebut hingga perkara ini diputuskan

majelis hakim menjadi batal demi hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas

menjadi menarik dilakukan penelitian ini dengan menetapkan “Dakwaan Batal Demi

Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan

Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim)” sebagai judul tesis dalam penelitian ini.

33 Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114. 34http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt531db4b93eefc/hakim-ad-hoc-nyatakan-

dakwaan-susi-batal-demi-hukum, diakses tanggal 7 Agustus 2015, Artikel berjudul “Hakim Ad Hoc Nyatakan Dakwaan Susi Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website hukumonline.com tanggal 10 Maret 2014. Seperti yang terjadi dalam kasus yang menjerat Susi Tur Andayani dengan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena menerima suap bersama-sama M. Akil Mochtar dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan. Padahal, peran Susi Tur Andayani selaku advokat dalam tindak pidana tersebut lebih kepada mewakili kepentingan para pihak yang berperkara di MK. Peran Susi sebagai medepleger (turut serta) lebih kepada bersama-sama Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, dan pihak-pihal lain yang memberikan sesuatu atau janji kepada M. Akil Mochtar selaku hakim MK. Menurut hakim Sofialdi berpendapat, pasal Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak dapat diberlakukan untuk Susi yang berkapasitas sebagai advokat yang mewakili kepentingan para pemberi. Sofialdi menilai, Susi Tur Andayani justru lebih tepat didakwa dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Dengan demikian dakwaan terhadap Susi Tur Andayani menjadi batal demi hukum yang diputuskan dalam putusan sela.

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Mengapa hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal

demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dan pembacaan tuntutan

dikaitkan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku?

2. Apakah dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum dalam Putusan Nomor

19/Pid.Sus/2015/PN.Sim, dapat diajukan kembali bilamana dikaitkan dengan

asas nebis in idem?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami dasar hakim menjatuhkan putusan yang

menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok

perkara dan pembacaan tuntutan dikaitkan dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dakwaan yang dinyatakan batal demi

hukum dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim., dalam kaitannya

dengan asas nebis in idem.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat, secara teoritis maupun manfaat

praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat membuka paradigma berfikir

akademis dalam memahami permasalahan tentang boleh atau tidaknya suatu

dakwaan batal demi hukum dan kriteria suatu dakwaan dapat menjadi batal

demi hukum dikaitkan dengan putusan hakim yang membatalkan dakwaan di

dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim.

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi para aparat penegak hukum,

jaksa, advokat, hakim-hakim pengadilan, khususnya bagi JPU dan hakim yang

memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana. Manfaatnya bagi JPU

adalah sebagai masukan agar dapat memperbaiki kesalahannya dalam

membuat dan menyusun rumusan delik dalam dakwaan. Manfaatnya bagi

advokat/penasehat hukum adalah sebagai masukan agar dapat mempersiapkan

diri dalam pembelaan hak-hak kliennya bila suatu dakwaan tidak memenuhi

syarat formil dan materiil. Manfaatnya bagi hakim adalah sebagai masukan

agar tidak menggunakan kewenangan yudisian independen secara bebas tanpa

batas sehingga melanggar prinsip atika dan moral. Bermanfaat pula bagi

masyarakat yaitu agar dapat mengetahui dan memahami persoalan di dalam

hukum acara termasuk kelemahan KUHAP dalam mengatur tentang

pembatalan surat dakwaan.

Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penelitian

Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran

terhadap karya-karya ilmiah maupun tesis milik orang lain (mahasiswa) di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara. Tujuannya adalah untuk menghindari perbuatan

menduplikasi (plagiat) terhadap karya ilmiah (tesis) milik orang lain. Namun dari

hasil dari penelusuran tersebut tidak menemukan judul maupun permasalahan tesis

yang sama dengan judul dan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini.

Penelitian ini menunjukkan originalisasi (keaslian) karena berdasarkan hasil

penelusuran, tidak ditemukan judul maupun permasahalan dari penelitian-penelitian

terdahulu yang mengandung kesamaan (identik) dengan judul dan permasalahan

tentang dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dalam sidang

pengadilan (sesuai Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim). Baik judul

maupun rumusan masalah dalam penelitian ini sama tidak memiliki kemiripan

dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah

asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain, serta dapat

dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian

ini adalah teori sistim hukum. Kata “sistem” (systema) diadopsi dari bahasa Yunani

Universitas Sumatera Utara

yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.35

Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta

dengan adanya sistem hukum.36 Kondisi penegakan hukum dapat digambarkan dalam

suatu sistem peradilan pidana berada dalam sistim besar yaitu teori sistim hukum

(legal system theory). Sistem hukum dalam teori JH. Merryman merupakan suatu

seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum (legal

system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules).37 Sistem

hukum menurut Lawrence Milton Friedman meliputi struktur hukum, substansi

hukum, dan budaya hukum.38

Jika membicarakan teori sistim hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat

tiga komponen yang dilibatkan, sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman,

masing-masing yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur

hukum mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga

pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan,

Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.

39

Substansi hukum mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan

35 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2004), hal. 4. 36 Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal.

71. 37 Ade Maman Suherman, Loc. cit. 38 Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah

Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. 39 Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

Universitas Sumatera Utara

pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Kultur hukum mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena

kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku

aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku

warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.40

40 Ibid.

Bagian penting yang dibicarakan dalam penelitian ini dalam kaitannya dengan

sistem hukum adalah masalah prosedur hukum dan substansi hukum. Alasan

memfokuskan analisis ini pada prosedur dan substansi hukum karena prosedur hukum

acara dan substansi hukum terkait dengan batalnya dakwaan tidak tegas diatur dalam

KUHAP dan juga tidak dijelaskan apakah hakim boleh membatalkan dakwaan setelah

dilakukan pemeriksaan pokok perkara, dan setelah pembacaan tuntutan, sedangkan

dalam praktik bisa terjadi dimana hakim membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan

pokok perkara atau setelah dakwaan dan tuntutan dibacakan.

Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini ditujukan kepada para aparat

penegak hukum khususnya hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang memeriksa

dan mengadili perkara dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim yang

menjatuhkan putusan menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah

pemeriksaan pokok perkara karena dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak

lengkap menguraikan syarat materiil dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b

KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini juga ditujukan kepada jaksa

penuntut umum yang tidak menguraikan secara cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap

tentang syarat materiil dakwaan. Kelemahan dakwaan penuntut umum yang tidak

mencantumkan Pasal 55 KUHP tentang delik penyertaan (deelneming) karena para

pelaku dalam perkara a quo bukan tunggal, melainkan banyak (lebih dari satu).

Kelemahan dakwaan penuntut umum tersebut sebagai faktor keberhasilan dalam

penegakan hukum termasuk bagi hakim yang tidak mencantumkan putusannya pada

salah satu putusan akhir, putusan pemidanaan, atau bebas, atau lepas dari segala

tuntutan, melainkan membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara.

Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa dalam ranah penegakan hukum,

perlu diperhatikan komponen-komponen dalam sistem hukum itu yaitu: struktur,

substansi dan kultur.41

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-

elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen

saja tidak bekerja dengan baik maka akan mengganggu elemen lainnya hingga pada

gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi

kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor

Bila suatu kondisi penegakan hukum yang tidak sesuai dengan

tujuan-tujuan hukum itu sendiri untuk menciptakan keadilan, ketertiban,

kemanfaatan, dana kesejahteraan masyarakat, maka perlu kiranya komponen dalam

sistim hukum itu dikoreksi guna efektifitas penegak hukum itu sendiri.

41 Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai

Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun 2003/2004.

Universitas Sumatera Utara

penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena bila diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.42

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial termasuk aparatur penegak hukum.

43

Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat

untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu bahwa sejatinya

pengadilan sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya

berlangsung berbagai proses interaksi dari para aktor dalam melaksanakan litigasi,

berperan menegakkan hukum, dan bertemunya kepentingan-kepentingan yang

berbenturan.

Kepolisian berperan dalam melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan

berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang

dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara hakim pengadilan berperan penting

dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku. Substansi

hukum (perundang-undangan) khususnya KUHAP juga harus mampu

mengakomodasi dan mengatur dengan jelas dan tegas mengenai prosedural hukum

acara dalam penegakan hukum.

44

42 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,

Rajawali, 1983), hal. 5. 43 Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14. 44 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2006), hal. 212.

Universitas Sumatera Utara

Sistim hukum harus lebih luas dari hukum acara pidana (hukum

prosedural/formal) karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek

substansi KUHAP saja. Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan

struktur juga budaya hukum, artinya hukum dilihat tidak saja yang diatur secara law

in the books tetapi juga law in actions.45 Proses peradilan tanpa hukum materiil

akan lumpuh, sebaliknya tanpa hukum formil maka liar dan bertindak semaunya

dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany.46

Sistem hukum secara terpadu diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi

fungsional di antara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses

kewenangan masing-masing yang diberikan undang-undang. Aktivitas pelaksanaan

sistim peradilan pidana merupakan fungsi gabungan dari legislator, polisi, jaksa,

pengadilan dan dan lain-lain baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun

diluarnya, tujuan dari gabungan fungsi dalam kerangka sistim hukum itu adalah

untuk menegakkan dan melaksanakan hukum.

47

2. Konsepsi

Tujuan menggunakan landasan konsepsional ini adalah untuk menghindari

penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami istilah-istilah yang

digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah:

45 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46. 46 Ibid. 47 M. Yahya Harahap (III), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan

dan Penuntutan, cet. ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 90.

Universitas Sumatera Utara

a. Surat dakwaan adalah surat tuduhan yang dibuat atau disiapkan oleh JPU

yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan

yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana

perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai

perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang

memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu

pula yang nantinya menjadi dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di

sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan

itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.48

b. Batal demi hukum adalah tidak memiliki daya mengikat secara hukum.

c. Dakwaan batal demi hukum adalah dakwaan JPU yang tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat karena secara hukum dianggap tidak pernah ada

(never existed) dari sejak semula dakwaan itu dibuat oleh JPU.

d. Pemeriksaan pokok perkara adalah pemeriksaan perkara oleh majelis hakim

dalam sidang pengadilan terkait dengan pokok perkara termasuk dalam hal

pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi.

48 A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 1989), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

e. Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.49

f. Hakim adalah semua hakim pengadilan yang berada di bawah Mahkamah

Agung baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan

tersebut

50

g. Pengadilan adalah semua pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan.

, khususnya hakim pengadilan yang menjatuhkan putusan terhadap

pembatalan surat dakwaan.

51

h. Kriteria adalah ciri-ciri atau syarat-syarat yang terdapat/terkandung di dalam

suatu dakwaan yang dapat dibatalkan oleh majelis hakim.

i. Hukum acara adalah hukum formil yang mengatur pelaksanaan hukum

materiil sebagaimana hukum formil yang diatur dalam KUHAP.

49 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia. 50 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman. 51 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman.

Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang

mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan,52 menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang

diteliti,53 meneliti terhadap kaedah-kaedah dan asas-asas hukum,54 selain mengacu

pada teori-teori juga mengacu pada doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta

kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di

dalam putusan pengadilan.55

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan

menguraikan permasalahan di dalam praktik sekaligus menganalisis permasalahan

tersebut melalui pendekatan peraturan perundang-undangan,

56

2. Sumber Data

teori-teori, norma-

norma, kaidah-kaidah, asas-asas/prinsip-prinsip hukum yang relevan. Fakta-fakta

tersebut adalah fakta terkait dengan pembatalan suatu dakwaan menjadi batal demi

hukum oleh hakim setelah hakim memeriksa pokok perkaranya.

Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder,

52 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51. 53 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2,

(Bandung: Alumni, 1994), hal. 12. 54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13. 55 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia,

2008), hal. 282. 56 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005), hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu: KUHAP, KUHP, Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Simalungun.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan-

ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah,

majalah, jurnal ilmiah, artikel, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau

pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa

Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka.57

57 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160.

Baik terhadap

bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca

referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah,

mendownload data melalui internet. Semua data yang diperoleh akan dipilah-pilah

dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam hal

pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data

Semua data terkait dengan pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan

setelah pemeriksaan pokok perkara akan dianalisis secara kualitatif, bukan secara

kuantitatif.58

Menganalisis permasalahan dalam penelitian ini sekaligus memberikan legal

reasoning yang dikemukakan secara deduktif,

Analisis secara kualitatif memfokuskan pada analisis menggunakan

teori-teori, doktrin-doktrin, asas dan prinsip, serta kaidah-kaidah hukum yang relevan

dengan pembatalan surat dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim pengadilan

setelah pemeriksaan pokok perkara.

Fokus analisis mengenai pembatalan dakwaan oleh hakim pengadilan setelah

pemeriksaan pokok perkara, untuk menganalisis dakwaan batal demi hukum yang

diputuskan oleh majelis hakim dalam putusan akhir sebagaimana Putusan Hakim PN

Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum acara

yang diatur dalam KUHAP.

59 diungkapkan secara sistematis

dengan menjelaskan hubungan antar data, memberikan penilaian benar atau salah

atau bagaimana semestinya menurut teori tentang batalnya suatu dakwaan setelah

pemeriksaan pokok perkara, dan juga berdasarkan para doktrin yang ada, asas, norma,

dan ketentuan di dalam KUHAP sehingga permasalahan tersebut dapat dijawab.60

58 Ibid., hal. 161. 59 Deduktif adalah penalaran logika dari umum ke khusus. 60 Ibid., hal. 192.

Universitas Sumatera Utara