bahaya pandemi serta dampak ekonomi akibat wabah flu burung

Upload: miswardwardzone

Post on 29-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bahaya pandemi flu burung

TRANSCRIPT

BAHAYA PANDEMI SERTA DAMPAK EKONOMI AKIBAT WABAH FLU BURUNG

BAHAYA PANDEMI DAN PENULARAN SERTA CARA PENANGGULANGAN WABAH FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)Nanda Subhan

0707101010114

A-07

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM BANDA ACEH

ABSTRAK

Dewasa ini virus H5N1 atau yang lazim dikenal sebagai virus flu burung (Avian Influenza) telah mewabah dimana mana. Virus ini pada awalnya hanya menginfeksi unggas. Namun akhir akhir ini diberitakan bahwa ada manusia yang telah terserang virus flu burung,bahkan virus ini telah mengakibatkan kematian manusia yang telah terinfeksi virus ini. Indonesia tergolong kawasan yang rawan terhadap serangan flu burung. Hal ini disebabkan karena pada umumnya unggas berada di sekitar peternakan rakyat,yang umumnya berskala kecil. Melihat kondisi ini, maka perlu diadakan usaha pengendalian wabah flu burung ini agar flu burung yang pada awalnya bersifat pandemic tidak berubah menjadi endemik.Keyword: Avian influenza,Virus H5N1, Pandemi, patofisiologi, PenanggulanganPENDAHULUAN

Penyakit influensa unggas (avian influenza), atau lebih dikenal sebagawabah flu burung, pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yangmenjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), yang disebut juga sebagaiPenyakit Lombardia mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu sungai Po.Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil mengidentikfikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut, baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influensa A (Schafer, 1955). Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir virus flu burung, yaitu burung-burung liar, infeksi yang terjadi biasanya berlangsung tanpa gejala (asimtomatik) karena virus influensa A itu dari jenis yang berpatogenisitas rendah dan hidup bersama secara seimbang dengan penjamu-penjamu tersebut (Webster, 1992, Alexander, 2000).Dalam beberapa hari terakhir, wilayah Indonesia kembali dilanda wabah flu burung. Masyarakat pun ramai membicarakan flu burung yang telah nyata-nyata menelan korban manusia. Seperti kita ketahui, dari tahun ke tahun jumlah korban semakin bertambah. Flu burung pertama kali dilaporkan di Indonesia pada bulan Agustus 2003. Sampai dengan awal Februari 2006, virus ini dilaporkan menjadi endemik di 26 propinsi di Indonesia. Pada akhir Januari 2007, tercatat sudah terjadi 81 kasus flu Burung, dimana 63 diantara penderitanya meninggal dunia (sumber: depkes). Indonesia kini menempati peringkat teratas di dunia dalam hal ancaman pandemi flu burung.KARAKTERISTIK DAN MORFOLOGI VIRUS FLU BURUNG

Virus flu burung tergolong virus influenza tipe A. Virus Influenza tipe A dapat menginfeksi spesieshewan seperti burung,babi,kuda,ikan paus dan singa laut. Virus Influenza memiliki 8 segmen RNA dengan panjang 12-15 ribu pasang basa. Influenza A bentuknya bulat atau filamen dengan diameter 50-120 nanometer x 200-300 nanometer. Tiap virus memiliki 50 paku (spike) yang mengandung protein HA (80%) dan NA(20%). Keduanya berfungsi sebagai antigen yang mempengaruhi antibodi. Protein HA: berperan dalam proses attachment virus dengan sel, yaitu berinteraksi langsung dengan reseptor yang ada di permukaan sel. Protein NA: sebagai perusak reseptor dengan memotong asam sialat dari reseptor. Proses ini penting untuk pelepasan virus dari sel (budding). Influenza A dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan sifat antigen dari protein haemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Sampai saat ini ditemukan 15 jenis H (H1-H15) dan 9 jenis N (N1-N9). Virus avian influenza mati dengan pemanasan 56 derajat Celsius selama tiga jam atau 60 derajat Celsius selama 30 menitPATOGENESA

Mutasi genetik virus avian influenza seringkali terjadi sesuai dengan kondisi dan lingkungan replikasinya. Mutasi gen ini tidak saja untuk mempertahankan diri akan tetapi

juga dapat meningkatkan sifat patogenisitasnya. Penelitian terhadap virus H5N1 yang diisolasi dari pasien yang terinfeksi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa mutasi genetik pada posisi 627 dari gen PB2 yang mengkode ekspresi polymesase basic protein (Glu627Lys) telah menghasilkan highly cleavable hemagglutinin glycoprotein yang merupakan faktor virulensi yang dapat meningkatkan aktivitas replikasi virus H5N1 dalam sel hospesnya (Hatta M, et. al. 2001). Disamping itu adanya substitusi pada nonstructural protein (Asp92Glu), menyebabkan H5N1 resisten terhadap interferon dan tumor necrosis factor (TNF-) secara invitro (Seo SH, et.al. 2002). Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan di dalam sel gastrointestinal (de Jong MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al. 2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3-Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA -2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia (Russel CJ and Webster RG.2005, Stevens J. et. al. 2006).PENULARAN FLU BURUNG

Proses penyebaran flu burung belum sepenuhnya dipahami. Bebek dan angsa yang merupakan ordo Anseriformes serta flu burung camar dan burung laut dari ordo Charadriiformes adalah pembawa (carrier) virus influenza A subtipe H5 dan H7. Virus yang dibawa oleh unggas ini umumnya kurang ganas (LPAIV). Unggas air liar ini juga menjadi reservoir alami untuk semua virus influenza. Diperkirakan penyebaran virus flu burung karena adanya migrasi dari unggas liar tersebut. Beberapa cara penularan virus flu burung yang mungkin terjadi :

A. Penularan Antar Unggas

Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui :

a) Pergerakan unggas yang terinfeksi b) Kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan c) Lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km d) Kereta/lori yang digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain e) Kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat B. Penularan dari Unggas Ke Manusia

Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1.

Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah :

a) Pekerja di peternakan ayam b) Pemotong ayam c) Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung d) Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung e) Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung C. Penularan Antar Manusia

Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Menurut WHO, pada 2004 di Thailand dan 2006 di Indonesia, diduga terjadi adanya penularan dari manusia ke manusia tetapi belum jelas. 3 Model penularan ini perlu diantisipasi secara serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan mengancam kesehatan, kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi karena virus flu burung memiliki kemampuan untuk menyusun ulang materi genetik virus flu burung dengan virus influenza manusia sehingga timbul virus Influenza subtipe baru yang sangat mudah menular (reassortment). D. Penularan dari Lingkungan ke Manusia

Secara teoritis, model penularan ini dapat terjadi oleh karena ketahanan virus H5N1 di alam atau lingkungan. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penularan flu burung pada manusia namun diperkirakan melalui saluran pernapasan karena dari hasil penelitian didapatkan reseptor H5N1 pada saluran napas manusia terutama saluran napas bagian bawah dan setiap orang memiliki jumlah reseptor yang berbeda-beda, sedangkan pada saluran percernaan ditemukan reseptor dalam jumlah yang sangat sedikit namun belum bisa dibuktikan penularan flu burung melalui saluran pencernaan dan ada referensi yang mengatakan bahwa reseptor H5N1 pada manusia hanya terdapat pada saluran pernapasan jadi hal ini masih diperdebatkan. Kotoran unggas, biasanya kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk, menjadi salah satu faktor risiko penyebaran flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekret burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung (H5N1) atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung. E. Penularan ke Mamalia Lain

Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar secara langsung pada beberapa mamalia yang berbeda yaitu babi, kuda, mamalia yang hidup di laut, familia Felidae (singa, harimau, kucing) serta musang (stone marten). BAHAYA PANDEMIAda tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menandai awal terjadinya pandemi:

a) Sebuah virus subtipe HA, yang tidak pernah menyerang manusia minimal satu generasi, kini muncul (atau muncul kembali).b) Menginfeski serta mengalami replikasi secara efisien dalam tubuh manusia.c) Secara mudah menyebar dan bertahan dalam populasi manusia.Ini menunjukkan bahwa ancaman terjadinya pandemi influensa baru pada manusia bukanlah secara khusus terkait dengan minculnya HPAI H5N1. Sebegitu jauh, H5N1 hanya memenuhi dua dari tiga syarat di atas: artinya, untuk sebagian besar umat manusia ada subtipe baru dan sudah menular serta menimbulkan penyakit yang berat dan sangat mematikan, dengan kematian yang l40 kasus sampai sat ini. Pada sebagian besar manusia tidak ada kekebalan terhadap virus sejenis H5N1. Sebuah pandemi baru sudah di ambang pintu seandainya H5N1 garis Asia berhasil memperoleh sifat-sifat yang memungkinkan ia dapat menular secara efisien dan bertahan dari manusia ke manusia. Baik sifat-sifat itu diperoleh melalui adaptasi secara berangsur ataupun melalui reasortasi dengan virus yang sudah beradaptasi dalam tubuh manusia (Guan 2004). Secara in vitro sudah dibuktikan bahwa dua pertukaran asam amino yang berlangsung simultan yang terjadi pada reseptor

tempat penggabungan protein HA dari virus HPAI H5N1 garis Asia (Q226L dan G228S) mengoptimalkan ikatannya kepada reseptor tipe 2-6 pada manusia seperti yang dimiliki oleh virus influenas A yang sudah beradaptasi dalam tubuh manusia (Harvey 2004). Gambaryan et al (2006) berhasil mengidentifikasi dua isolat virus manusia yang berasal dari ayah dan anak laki-lakinya yang telah terinfeksi H5N1 di Hong Kong pada tahun 2003, yang berbeda dengan semua isloat H5N1 lainnya yang diperoleh dari manusia dan unggas, menunjukkan afinitas yang lebih tinggi terhadap resseptor 2-6 akibat telah terjadi mutasi S227N secara unik pada tempat penggabungan di reseptor HAI.Pandemi mungkin kini sudah di ambang pintu, atau bahkan sudah terjadi ketika anda membaca naskah ini. Tidak seorang pun dapat meramalkannya. Kemungkinan hal seperti itu terjadi berkorelasi langsung dengan jumlah virus yang beredar di unggas, dan dengan demikian juga berarti dengan besarnya kemungkinan manusia terpapar. Oleh karena itu keberhasilan membasmi H5N1 pada sumbernya akan menurunkan risiko pandemi oleh virus ini. Ada perkiraan, yang dibahas di email dan juga berbagai forum diskusi, bahwa cukup dengan investasi sebesar 10% dari dana yang disediakan untuk mengembangkan vaksin manusia yang spesifik H5, akan mempunyai efek yang lebih besar jika digunakan untuk membasmi H5N1 pada unggas dalam upaya mencegah wabah H5N1 pada manusia.

Sejak pertama kali H5N1 dapat diisolasi dari manusia di tahun 1997, virus ini belum berhasil menyelesaikan langkah terakhir (yaitu menyebar secara mudah serta mampu bertahan pada manusia) dalam memenuhi tiga syarat di atas untuk dapat menjadi pandemi di kalangan manusia. Tetapi penelitian mutakhir belum lama ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun virulensi H5N1 pada mamalia makin meningkat dan jenis penjamu pun makin meluas: H5N1 yang diisolasi dari bebek domestik yang nampak sehat di daratan China dari tahun 1999 sampai 2002, dan juga di Vietnam sejak 2003 secara preogresif makin patogenik terhadap mamalia (Chen 2004). H5N1 telah memperluas jenis penjamu, dan secara alami telah menulari dan membunuh beberapa spesies mamalia (kucing, harimau) yang sebelumnya dianggap resisten terhadap infeksi virus influensa unggas.

Meskipun demikian, jangan sampai kita lengah karena sementara kita terlalu memusatkan perhatian kepada situasi H5N1 di Asia, virus influensa lain yang mungkin lebih mempunyai potensi untuk menimbulkan pandemi dapat saja muncul. Misalnya beberapa strain dari subtipe H9N2 yang sebelum tahun 1980-an belum ditemukan di Asia, kini bukan saja mulai meluas di antara populasi unggas di Asia tetapi juga telah melintas ke populasi babi di bagian tenggara dan timur China (Shortridge 1992, Peiris 2001, Xu 2004). Reseptor dari virus-virus ini menunjukkan kesamaan dalam ciri-ciri spesifiknya dengan virus yang telah beradaptasi dengan manusia (Li 2005b, Matrosovich 2001). Viru-virua H9 ini mempunyai penjamu yang luas, dan secara genetik beragam serta dapat secara langsung menginfeksi manusia. Strain H9N2 yang telah menginfeksi manusia di Hong Kong, malah menunjukkan gentipe yang dekat dengan genotipe virus H5N1 tahun 1997 (Lin 2000).Adapun fase-fase Pandemi Influenza adalah sebagai berikut :

TINGKATAN PANDEMI WHO

Periode inter-pandemi

Fase ITidak adanya subtipe virus influenza baru pada manusia, terdapat infeksi pada binatang (unggas) dengan risiko rendah pada penularan manusia.

Fase IITidak adanya subtipe virus influenza baru pada manusia, terdapat infeksi pada binatang (unggas) dengan risiko tinggi pada penularan manusia.

Periode waspada pandemi

Fase IIIManusia terinfeksi dengan virus subtipe baru, tidak adanya penularan dari manusia ke manusia.

Fase IVPenularan dari manusia ke manusia pada klaster kecil dan terlokalisir pada aren yang kecil.

Fase VKlaster besar, masih terlokalisir, virus mulai beradaptasi ke manusia.

Periode pandemi

Fase VIPenularan yang meningkat dan transmisi berkelanjutan pada manusia.

Periode pasca pandemi

PENANGGULANGANPengendalian atau penanggulangan flu burung yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan baik itu ke hewan maupun manusia. Berikut adalah hal hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan flu burung :

a) Hindarilah terpapar/terkena cairan yang ada pada paruh, hidung dan mata unggas yang sakit. b) Anak-anak mudah tertular flu burung. Jauhkan dan jangan dibiarkan bermain dengan unggas, telur, bulu unggas, dan lingkungan yang tercemar kotoran unggas. c) Buang dan timbunlah dengan tanah, kotoran unggas yang ada disekitar rumah. d) Jangan memegang unggas yang mati mendadak tanpa sarung tangan, penutup hidung/mulut,sepatu/penutup kaki. Sebaiknya segera kubur unggas itu. e) Cuci daging dan telur unggas sebelum dimasak atau disimpan di kulkas. f) Masaklah daging dan telur unggas sampai matang sebelum dimakan. Virus flu burung bisa menular melalui telur atau daging unggas yang tidak dimasak sampai matang. g) Jangan mengkonsumsi daging unggas yang terkena flu burung. h) Bangkai unggas jangan dijual/dimakan. Segera kubur agar penyakitnya tidak menular ke unggas lain, anda sendiri, keluarga dan tetangga serta masyarakat luas. i) Jauhkan kandang unggas dari rumah tinggal. Kandangkan unggas dalam kurungan agar tidak tertular penyakit dari unggas lain. j) Pakai penutup hidung/masker dan kacamata renang (goggle) jika berada dipeternakan ayam atau unggas berkumpul. k) Cuci tangan dengan sabun setelah memegang unggas atau telur. Mandi dan cuci pakaian setelah mengubur unggas mati. l) Bila ada yang merasa terkena flu, badan panas, pusing, sesak napas setelah ada unggas mati mendadak, segera pergi ke Puskesmas atau dokter. Jangan sampai terlambat KESIMPULANMakna penting peranan virus influensa unggas (AI) yang sangat patogen terhadap wabah yang menghancurkan peternakan unggas secara nyata makin mejningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Bangkitnya virus-virus AI subtipe H5 dan H7 yang berpatogenisitas rendah (LP, low pathogenicity) dari tempat penampungannya dalam unggas liar telah menjadi dasar dari proses ini. Masih harus diteliti apakah benar, dan mengapa, prevalensi virus H5 dan H7 dalam tempat penampungnya telah berubah. Dalam hal status endemik dari H5N1 garis Asia yang berpatogenisitas tinggi (HPAI) dalam populasi unggas ternak di Asia Tenggara, yang juga sering telah menyebabkan tertularinga unggas berpindah, sudah saatnya ditinjau kembali paradigma epidemiologi dan endemisitas dalam populasi unggas berpindah. Wabah ini dapat menimnbulkan kerugian besar terhadap industri ternak unggas dalam skala lintas benua. Risiko paparan pada manusia secara langsung berhubungan dengan meningkatnya kehadiran virus yang berpotensi menular dari hewan ke manusia dalam unggas ternak.DAFTAR PUSTAKADuhan db.,JF. 2008. Waspada serangan flu burung. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/waspada-serangan-flu-burung-3_02.pdf [ diakses pada: 30 september 2010]

Food and agriculture organization (FAO). 2005. Pencegahan dan pengendalian flu burung (avian influenza) pada peternakan unggas skala kecil. http://www.fao.org/docs/eims/upload//241491/ai303id00.pdf [ diakses pada: 30 september 2010]

Kandun IN et al. 2006. Three Indonesian cluster of H5N1 virus infection in 2005. www N Engl J Med. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa060930#t=abstract [ diakses pada: 5 Oktober 2010]

Li LKS et al. 2004. Genesis of a highly pathogenic and potentially pandemic H5N1 influenza virus in eastern asia [abstrak].

Osterholm MT. 2005. preparing for the next pandemic. www N Engl J Med. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp058068 [ diakses pada: 5 Oktober 2010]

Pudjiantmoko. 2009. Kasus flu burung subtipe H7 pada burung puyuh di jepang. http://atanitokyo.blogspot.com/2009/03/kasus-flu-burung-subtipe-h7-pada-burung.htmlPurwoarmintaA.2007.Pandemifluburung. http://sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=49Radji M. 2006. Avian influenza A (H5N1): patogenesis, pencegahan dan penyebaran padamanusia.http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2006/v03n02/maksum0302.pdf?PHPSESSID=50ac0ac476b31f8693bfbb726df823c1 [ diakses pada: 19 september 2010]Snacken R et al. 1999. The next influenza pandemic: Lescon from hongkong 1997. http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol5no2/snacken.htm [diakses pada: 5 Oktober 2010]

Utomo BN. 2004. Mengenal penyakit flu burung (avian influenza) dan langkah-langkah penangganannya. http://www.litbang.deptan.go.id/berkas/AI.pdf [ diakses pada: 2 Oktober 2010]World health organization (WHO). 2005. Avian influenza A (H5N1) infection in humans.wwwNEnglJMed. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra052211 [ diakses pada: 16 september 2010]

World health organization (WHO). 2004. Evolution of H5N1 avian influenza viruses in asia. http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol11no10/05-0644.htm [ diakses pada: 5 oktober 2010