bahan tugas ekofistum

72
RESPON TUMBUHAN TERHADAP CAHAYA Dinding sel kaku yang menyelubungi suatu sel tumbuhan memiliki peran penting dalam meregulasi potensial air dan merupakan komponen utama dalam mendukung structural suatu tumbuhan. Tumbuhan tumbuh menetap di suatu tempat dan tidak dapat berpindah lingkungan sesukanya seperti hewan. Tumbuhan tidak dapat berpindah, mencari perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang buruk seperti halnya hewan. Meskipun tumbuhan juga harus menghindari kondisi buruk jika ingin bertahan hidup. Perkecambahan biji dan keberhasilan perkecambahan dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Banyak biji tidak akan berkecambah jika terpendam terlalu dalam atau jika berada di bawah (tertutup) kanopi hutan. Perkecambahan yang terjadi di bawah kanopi berakhir pada pemanjangan batang hingga mencapai cahaya. Gulma yang tumbuh di tepi lading gandum akan berukuran lebih pendek jika dibandingkan dengan sesamanya yang berkompetisi dengan gandum yang terletak di tengah ladang. Tumbuhan berbunga pada waktu yang berbeda, pembentukan bunga selama musim tertentu pada tiap spesies dikarenakan menunggu beberapa isyarat dari lingkungan. Hal ini dan pola respon tumbuhan yang sama dengan jelas memiliki keuntungan bertahan (ketahanan) yang signifikan. Mereka membuat tumbuhan mampu mengolah sumber yang tersedia, bersaing dengan spesies lain secara efektif, atau mengantisipasi perubahan lingkungan yang buruk. Tetapi bagaimana biji dan perkecambahan dapat mengetahui dimana mereka? Bagaimana tumbuhan memperkirakan waktu perubahan musim? Sebagaimana telah dibahas pada Bab 15, jawaban untuk pertanyaan ini dan banyak pertanyaaan terkait keberhasilan tumbuhan bertahan hidup mungkin dapat diketahui dari kapasitas mereka mendeteksi dan menginterpretasikan variasi sinyal lingkungan. Salah satu sinyal lingkungan adalah cahaya. Kita mengetahui bahhwa fotosinttesis mungkin terjadi hanya jika ada cahaya tetapi fotosintesis hanyalah satu contoh

Upload: zakhruf-as-salaamah

Post on 26-Dec-2015

163 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

fistum

TRANSCRIPT

Page 1: bahan tugas ekofistum

RESPON TUMBUHAN TERHADAP CAHAYA

Dinding sel kaku yang menyelubungi suatu sel tumbuhan memiliki peran penting

dalam meregulasi potensial air dan merupakan komponen utama dalam mendukung structural

suatu tumbuhan. Tumbuhan tumbuh menetap di suatu tempat dan tidak dapat berpindah

lingkungan sesukanya seperti hewan. Tumbuhan tidak dapat berpindah, mencari

perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang buruk seperti halnya hewan. Meskipun

tumbuhan juga harus menghindari kondisi buruk jika ingin bertahan hidup.

Perkecambahan biji dan keberhasilan perkecambahan dipengaruhi oleh kondisi

lingkungannya. Banyak biji tidak akan berkecambah jika terpendam terlalu dalam atau jika

berada di bawah (tertutup) kanopi hutan. Perkecambahan yang terjadi di bawah kanopi

berakhir pada pemanjangan batang hingga mencapai cahaya. Gulma yang tumbuh di tepi

lading gandum akan berukuran lebih pendek jika dibandingkan dengan sesamanya yang

berkompetisi dengan gandum yang terletak di tengah ladang. Tumbuhan berbunga pada

waktu yang berbeda, pembentukan bunga selama musim tertentu pada tiap spesies

dikarenakan menunggu beberapa isyarat dari lingkungan. Hal ini dan pola respon tumbuhan

yang sama dengan jelas memiliki keuntungan bertahan (ketahanan) yang signifikan. Mereka

membuat tumbuhan mampu mengolah sumber yang tersedia, bersaing dengan spesies lain

secara efektif, atau mengantisipasi perubahan lingkungan yang buruk.

Tetapi bagaimana biji dan perkecambahan dapat mengetahui dimana mereka?

Bagaimana tumbuhan memperkirakan waktu perubahan musim? Sebagaimana telah dibahas

pada Bab 15, jawaban untuk pertanyaan ini dan banyak pertanyaaan terkait keberhasilan

tumbuhan bertahan hidup mungkin dapat diketahui dari kapasitas mereka mendeteksi dan

menginterpretasikan variasi sinyal lingkungan. Salah satu sinyal lingkungan adalah cahaya.

Kita mengetahui bahhwa fotosinttesis mungkin terjadi hanya jika ada cahaya tetapi

fotosintesis hanyalah satu contoh kapasitas tumbuhan membedakan antara terang dan gelap.

Tumbuhan juga dapat mengetahui gradient cahaya dan mendeteksi perbedaan kecil pada

komposisi spektrumnya. Dengan cara ini, tumbuhan mampu membedakan mereka sedang

berada pada paparan matahari langsung atau di bawah bayangan tumbuhan lain, atau mampu

untuk menandai awal dan akhir suatu hari. Tumbuhan menggunakan informasi dari cahaya

dengan berbagai cara yang berbeda untuk mengontrol pertumbuhan, bentuk, dan

reproduksinya.

Pada bab ini kita:

1.    Megenalkan konsep regulasi cahaya pada perkembangan tumbuhan atau fotomorfogenesis

2.    Mendeskripsikan penemuan fitokrom dan tinjauan kimia dasar pada pigmen fotoreversibel

yang unik ini

Page 2: bahan tugas ekofistum

3.    Meninjau efek fisiologis fitokrom, menunjukkan bagaimana keterkaitannya pada semua

aspek perkembangan

4.    Menunjukkan bagaimana fitokrom dapat digunakan untuk memonitor perubahan cahaya

alami lingkungan

5.    Menganalisis pemahaman kita saat ini mengenai bagaimana fittokrom bekerja pada tingkat

molecular

6.    Meninjau secara singkat mengenai respon tumbuhan terhadap cahaya biru dan radiasi sinar

UV

      Fotomorfogenesis

Sejak cahaya merupakan satu faktor yang lebih signifikan dalam lingkungan alami,

tidak seharusnya menjadi sebuah keterkejutan bahwa respon tumbuhan terhadap cahaya,

disebut fotomorfogenesis, merupakan tema sentral pada perkembangan tumbuhan.

Ketika telah diketahui bahwa pottensial perkembangan semua organisme ditentukan

oleh gennya, kesadaran bahwa potensial pada tumbuhan sebagian besar ditentukan oleh

cahaya. Efek pencahayaan pada perkembangan tumbuhan secara konvensional telah dipilih

sebagai topic yang berbeda dari morfogenesis normal, tetapi perbedaan ini lebih sesuai

dibandingkan dengan kenyataan. Memang, signifikansi fotomorfogenesis yang sesungguhnya

dirangkumkan oleh H. Mohr dan W. Shropshire ketika mereka menulis “Perkembangan

normal pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fotomorfogenesis” (Mohr and Sshropshire,

1983).

Bagaimana tumbuhan memperoleh dan menginterpretasikan informasi ini menjadi

sangat kritis terhadap perkembangannya? Sejak sinyal cahaya, seperti hormon, berasal dari

luar sel, kita dapat membayangkan sebuah respon rantai transduksi-persepsi sedikit analog

seperti pada respon hormon yang telah ditemukan (diketahui). Persepsi sinyal cahaya

membutuhkan sebuah pigmen yang menyerap cahaya dan secara fotokimia menjadi aktif.

Sebuah pigmen bertindak pada jalur ini disebut dengan fotoreseptor. Dengan selektif

menyerap panjang gelombang cahaya yang berbeda, fotoreseptor membaca informasi yang

terdapat pada cahaya dan menginterpretasikan informasi tersebut pada sel dan membentuk

aksi primer. Aksi primer dapat melibatkan perubahan konformasi protein sederhana, sebuah

reaksi fotokimia redoks, atau beberapa bentuk lain dari transduksi sinyal. Apapun kejadian

primer di alam, penyerapan cahaya oleh set fotoreseptor menjadi proses kimiacascade,

disebut rantai sinyal transduksi, pada akhirnya mengarahkan pada respon perkembangan.

Kebanyakan respon fotomorfogenik pada tumbuhan tingkat tinggi muncul di bawah

control satu dari tiga fotoreseptor pentransduksi sinyal yakni (1) fitokrom, yang umumnya

Page 3: bahan tugas ekofistum

menyerap daerah sperktum cahaya merah (R) dan far-red (Fr); (2) reseptor biru dan penyerap

UV-A, kriptokrom; dan (3) satu atau lebih reseptor UV-B.

      Fitokrom

Saat ini telah diketahui bahwa kromoprotein yang sering ditemukan yang disebut

fitokrom memiliki peran penting dalam hampir semua tahap perkembangan tumbuhan.

Keberadaannya ditemukan pada pengamatan fisiologis sederhana. Perkecambahan biji dan

pertumbuhan pemanjangan perkecambahan menunjukkan respon fotoreversibel pada cahaya

merah dan far-red. Karena keunikan karakter fotoreversibel, system pigmen yang diajukan

(diperkirakan) dihadapkan dengan skeptisme dalam komunitas ilmu pengetahuan.

Telah lama diketahui bahwa cahaya dapat mempengaruhi perkembangan tumbuhan

dibawah kondisi yang tidak mempengaruhi tingkat fotosintesis secara signifikan. Perbedaan

spesifik pada pertumbuhan dan bentuk tumbuhan dalam keadaan gelap telah menarik

perhatian ahli botani dan fisiologi selama berabad-abad. Namun, hanya sedikit kemajuan

yang diperoleh dalam mengetahui fenomena ini hingga awal 1950an. Pada saat itu, H. A.

Bortwick, seorang ahli botani dan S. B. Hendricks, seorang ahli kimia fisik, bersama

beberapa koleganya, mulai meneliti spectrum aksi (lihat Bab 7) yang secara luas

mempengaruhi fenomena seperti fotosensitif perkecambahan biji selada, pemanjangan batang

ercis, dan control fotoperiodik perbungaan. Satu penelitian menarik adalah adanya kesamaan

dari spectrum aksi, dengan puncak pada cahaya merah dan far-red. Saat ini, keseluruhan

kejadian luas ini berbagi fotoreseptor yang sama. Lebih jelas lagi, bagaimanapun, adalah

penemuan fotoreversibilitas – sebuah respon yang dipengaruhi oleh cahaya perlakuan merah

yang diikuti dengan cahaya far-red. Fotoreversibilitas yang jelas seperti ini belum pernah

dideskripsikan di biologi.

Data yang ditampilkan pada tabel 18.1 mengilustrasikan apa yang dimaksud dengan

fotoreversibilitas. Pada penelitian ini, sejumlah biji dibiarkan menyerap air dalam keadaan

gelap selama 3 jam sebelum dipaparkan pada berbagai perlakuan pencahayaan langsung.

Perlakuan cahaya merah berkisar antara 1 menit (R; 660 nm) atau 4 menit cahaya far-red

(FR; λ = 700 nm)  pada taraf yang rendah, atau pergantian R dan FR secara cepat.

Berdasarkan pencahayaan yang dilakukan, biji dikembalikan ke tempat gelap selama 48 jam,

setelah jumlah biji yang berkecambah dihitung. Perhatikan bahwa Rmemacu perkecambahan

hingga 88% tetapi R yang diikuti FR (cahay merah diikuti far-red) mendukung

perkecambahan pada keadaan gelap (22%). Ketika perlakuan R dan FR diberikan bergantian,

persentasi perkecambahan tergantung pada cahaya mana yang terakhir dipaparkan, R atau

FR). Seperti yang diperkirakan bahwa perkecambahan dipengaruhi oleh pergantian cahaya

yang diberikan antara cahaya merah dan far-red.

Page 4: bahan tugas ekofistum

Tabel 18.1 kontrol fotoreversibel perkecambahan. Biji selada diimbibisikan selama 3 jam sebelum perlakuan radiasi. Radiasi yang dilakukan adalah cahaya merah 1 menit, cahaya far-red 3 menit. Perkecambahan dihitung setelah 48 jam perlakuan gelap pada suhu 20˚C.

Borthwick, Hendricks, dan koleganya menemukan kesamaan fotoreversibilitas dalam

control pembungaan dan pemanjangan batang oleh R dan FR. Pengamatan ini membuat

mereka mengajukan keberadaan system pigmen, yang kemudian disebut dengan fitokrom.

Pigmen hipotetis ini dapat ditemukan dalam dua bentuk, bentuk yang menyerap cahaya

merah (Pr) dan bentuk yang menyerap cahaya far-red (Pfr). Pigmen tersebut juga dapat

bersifat fotokromik, yang berarti bahwa penyerapan cahaya dapat mengubah sifat

absorbansinya. Penyerapan cahaya merah oleh Pr dapat mengubah pigmen tersebut menjadi

bentuk penyerap cahaya far-red ketika penyerapan cahaya far-red berikutnya oleh Pfr

memicu pengubahan pigmen kembali ke bentuk penyerap warna merah (Gambar 18.1).

Berdasarkan percobaan fisiologis sederhana yang dideskripsikan pada tabel 18.1,

kelompok Beltsville mampu memperkirakan beberapa ciri pada system pigmen ini. Pertama,

karena biji dan jaringan kecambah pada keadaan gelap awalnya merespon pada cahaya

merah, bukan far-red, pigmen yang kemungkinan disintesis sebagai bentu Pr, yang

terakumulasi dalam gelap. Selebihnya, Pr lebih stabil dan mungkin secara fisiologis tidak

aktif. Kedua, karena perlakuan dengan cahaya merah menginisiasi perkecambahan dan

perkembangan lainnya, Pfr kemungkinan merupakan bentuk yang aktif. Di sisi lain, Pfr

umumnya tidak stabil dan dapat rusak atau dapat berubah menjadi Pr dalam keadaan gelap

oleh reaksi nonfotokimia yang tergantung suhu. Ketiga,  karena pigmen tidak dapat terlihat

pada pertumbuhan keadaan gelap, jaringan tanpa klorofil, dapat ditemukan meskipun sedikit.

Borthwick dan Hendricks menduga lebih jauh bahwa pigmen berfungsi sebagai katalis dan

kemungkinan berwujud protein. Merupakan sebuah penghargaan atas pemikiran saintis untuk

peneliti dan kelompoknya tersebut mengingat bahwa di kemudian hari prediksi mereka

terbukti.

Page 5: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.1 sistem pigmen fotoreversibel yang umum diajukan sebagai dasar perkecambahan dan respon tumbuhan lain dalam perubahan cahaya merah dan far-red. Penyerapan cahaya merah oleh bentuk pigmen penyerap cahaya merah (Pr) mengubahnya menjadi bentuk penyerap cahaya  far-red (Pfr). Pfr mengaktifkan rantai sinyal transduksi yang mengarah pada respon fisiologis.

Berdasarkan pada puncak absorbansi daerah cahaya merah pada spectrum,

diperkirakan bahwa Pr dapat berupa pigmen berwarna kebiru-biruan. Meskipun tidak ada

warna biru yang tampak pada jaringan tanpa klorofil pada batang dan koleoptil yang tumbuh

di tempat gelap, yang tetap memperlihatkan perilaku fotoreversibel dalam pertumbuhannya.

Karena keunikan karakter fotoreversibel, keberadaan fitokrom dihadapkan pada skeptisme

komunitas ilmu pengetahuan (Sage, 1992). Tidak ada prasyarat untuk suatu pigmen

fotoreversibel dalam pustaka penelitian pada tumbuhan atau hewan. Kebanyakan pendapat

yang paling diharapkan menyebutkan bahwa ada dua pigmen terpisah yang terlibat.

Secara jelas perlu diketahui penemuan fisik untuk keberadaan fitokrom dan akhirnya

untuk mengisolasi pigmen dan mengkarakterisasinya secara in vitro. Strategi yang

mengarahkan penyelesaian dari masalah ini menyebabkan karakter fotoreversibel ini kembali

dihadapkan skeptisisme. Sejak hanya fitokrom yang diketahui sebagai pigmen fotokromik

yang ada pada tumbuhan, yang seharusnya mudah dideteksi, pada perkecambahan dalam

keadaan gelap, perubahan absorbansi berhubungan dengan fotokonversi pigmen dari bentuk

satu ke bentuk lainnya.  Hendricks dan koleganya memperkirakan bahwa fotokonversi Pr ke

Pfr akan disertai dnegan penurunan absorbansi cahaya merah (absorbansi maksimum Pr)

dana berhubungan pula dengan  peningkatan absorbansi cahaya merah dan penurunan far-

red. Penyinaran dengan cahaya far-red dapat menyebabkan peningkatan absorbansi cahaya

merah dan penurunan pada cahaya far-red. Percobaan ini memerlukan jenis spektrofotometer

khusus, yang mampu mengukur perubahan kecil nilai absorbansi, dari sampel jaringan yang

menghamburkan cahaya. Untungnya, peralatan seperti itu sedang dikembangkan di

laboratorium Beltsville dan perlu sedikit modifikasi untuk menyesuaikan penggunaannya

dalam mendeteksi fitokrom.

Perubahan absorbansi fotoreversibel yang diperkirakan ditunjukkan pada

pertumbuhan pucuk jagung dalam keadaan gelap oleh Butler et al pada tahun 1959 (Gambar

18.2). Analisis spectrum ini yang menunjukkan secara fisik bahwa pada kenyataannya

Page 6: bahan tugas ekofistum

fitokrom itu ada. Beberapa waktu kemudian, Siegelman dan Firer (1964) menggunakan

teknik purifikasi protein  dan memurnikan pigmen dari kecambah sereal yang ditumbuhkan

pada kondisi gelap. Kemudian mereka dapat menunjukkan karakter fotoreversibel secara in

vitro seperti yang didapatkan pada penyerapan spectrum pada Pr dan Pfr yang telah

dimurnikan (gambar 18.3). Pada tahun berikutnya, fitokrom ditemukan dimanapun. Fitokrom

tersebut terdapat di alga, lumut (lumut daun dan lumut hati), dan kemungkinan pada semua

bagian tumbuhan yang memiliki peran penting dalam biokimia, pertumbuhan, dan

perkembangan. Saat ini juga diketahui bahwa ada banyak fitokrom, yang dikodekan oleh

sekelompok gen. Fitokrom-fitokrom yang ditunjukkan oleh Butler dan koleganya dan

merupakan yang pertama diisolasi oleh Siegelman dan Firer pada tahun 1964 diketahui

sebagai fitokrom A (PHYA). Karena fitokrom tersebut juga merupakan bentuk yang

terakumulasi pada kecambah yang mengalami etiolasi. Fisiologi dan biokimia PHYA telah

dipelajari dengan lebih ekstensif lagi selama empat decade. Signifikansi multiple fitokrom

akan dibahas kemudian. Pertama-tama, kita akan meninjau ciri fisiologi dan biokimia system

fitokrom, berdasarkan penelitian fitokrom pada perkecambahan dalam kondisi gelap.

Gambar 18.2 Kurva absorbansi pucuk jagung berdasarkan penyinaran cahaya merah dan far-red. Perhatikan bahwa kurva ini menunjukkan absorbansi keseluruhan jaringan, tidak hanya pigmen. Perhatikan juga bahwa konversi pigmen dari Pfr (garis putus-putus) ke Pr (garis lurus) menyebabkan peningkatan absorbansi cahaya merah dan penurunan daerah spectrum cahaya far-red. Perbedaan efektif spectrum menunjukkan penyerapan spectrum bentuk Pr (dari W. Butler et al Proceeding of The National Academy of Sciences USA 45:1703-1708, 1959. Dicetak ulang dengan ijin)

Page 7: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.3 Spektrum penyerapan fitokrom yang dimurnikan. Perhatikan bahwa perbedaan penyerapan daerah biru pada spektrum sebagaimana daerah merah/far-red. Beberapa efek cahaya biru dimediasi oleh fitokrom, tetapi fotokonversi oleh cahaya merah mencapai 50-100 kali lebih efektif dibandingkan biru. Karena bentuk keduanya menyerap cahaya setara dengan daerah hijau (500-550 nm) cahaya hijau tidak mengubah keadaan pigmen dan dapat dgunakan sebagai cahaya yang aman.

Fitokrom pada Perkecambahan dalam Gelap

Akumulasi fitokrom dalam bentuk Pr pada perkecambahan dalam kondisi gelap,

adalah stabil. Sekali dipaparkan pada cahaya dan dikonbersikan pada Pfr, fitokrom

mengalami transformasi yang menyebabkan hilangnya Pfr dan fitokrom total.

Seperti yang telah diperkirakan, fitokrom disintesis dalam bentuk Pr yang menyerap

warna merah, yang stabil dan terakumulasi pada biji dan kecambah dalam kondisi gelap.

Kecambah yang mengalami etiolasi, telah menjadi sumber yang disukai dalam penelitian

fitokrom sejak awal karena dua alasan. Pertama, kecambah yang mengalami etiolasi

mengakumulasi sejumlah besar pigmen. Kedua, ketidakadaan klorofil menyebabkan

kemungkinan yang lebih besar dalam mengukur fitokrom secara langsung pada jaringan

dengan spektrofotometer yang diadaptasi untuk digunakan dengan optik rapat, bahan yang

menghamburkan cahaya. Dengan cara ini, perubahan jumlah total fitokrom dan proporsi

relative Pr dan Pfr dapat diamati bersamaan dengan kontol penyinaran. Penelitian secara in

vivo ini telah mengkonfirmasi banyak prediksi awal.

Page 8: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.4 Tipe transformasi fitokrom pada jaringan kecambah yang mengalami etiolasi. Jaringan pada kondisi gelap dipaparkan pada cahaya merah dalam waktu pendek kemudian diamati menggunakan spektrofotometer untuk menghitung total pigmen dan Pfr pada periode gelap. Pr ddihitung sebagai pembanding.

Pada perkecambahan dalam kondisi gelap, paparan gelombang cahaya merah yang

singkat mengubah Pr menjadi Pfr. Gelombang cahaya far-red langsung mengikuti perlakuan

paparan cahaya merah dan mengubah pigmen kembali ke bentuk Pr. Cahaya far-red

meniadakan efek cahaya merah dan membatalkan respon fisiologis. Hal ini menunjukkan

bahwa Pfr, setidaknya pada perkecambahan kondisi gelap, relative tidak stabil dan jika tidak

dihilangkan secara fitokimia, konsentrasinya akan berkurang dalam keadaan gelap selama

kurang lebih 1-1,5 jam (Gambar 18.4). Kehilangan Pfr bersamaan dengan penurunan jumlah

total fitokrom. Kejadian kinetic ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa kedua bentuk pigmen

merupakan subjek degradasi kimia yang ireversibel  (Gambar 18.5). Pr terakumulasi pada

keadaan gelap hingga tingkat sintesisnya sesuai  dengan tingkat degradasi Pr. Berdasarkan

perlakuan cahaya merah yang mnegubah Pr menjadi Pfr, kandungan total fitokrom menurun

karena tingkat degradasi Pfr mencapai 100 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat

degradasi Pr.

Gambar 18.5 sistem fitokrom. Pigmen diisintesis secara fisiologis dalam bentuk inaktif yakni bentuk penyerap merah (Pr), yang terakumulasi pada perkecambahan dalam keadaan gelap. Cahaya merah (660 nm) mengatur fototransformasi menajdi bentuk penyerap  far-red (Pfr). Penyerapan cahaya far-red (735 nm) mengembalikan pigmen ke bentuk Pr. Pfr, bentuk aktif memasuki suatu reaksi yang tidak diketahui (X) untuk memberikan respon. Pr’ dan Pfr’ mewakili masing-masing produk degradasi Pr dan Pfr yang tidak aktif.

Page 9: bahan tugas ekofistum

Ciri menarik lain pada gambar 18.4 merupakan peningkatan Pr. Awalnya, dipercaya

untuk menunjukkan reversi gelap pigmen dari Pfr ke Pr, ciri ini diketahui secara luas

merupaka artefak dari metode spektrofotometer untuk mengukur fitokrom. Kedua bentuk

pigmen menunjukkan spectrum penyerapan cahaya yang tumpang tindih (Gambar 18.3).

Karena dua spectrum tersebut tumpang tindih, tidak mungkin mengubah keseluruhan pigmen

secara 100% ke bentuk lainnya, bahkan ketika menggunakan cahaya merah ataufar-

red “murni”. Bahkan, radiasi dengan cahaya tampak pada kadar ketetapan yang cukup

mendukung fotoekuilibrium, ketika terdapat kedua bentuk Pr dan Pfr. Fotoekuilibrium ()

didefinisikan sebagai:

dimana Ptot merupakan total fitokrom atau jumlah Pr dan Pfr. Fotoekuilibrium yang

ditetapkan oleh cahaya merah (660 nm) adalah 0,8 (Tabel 18.2). Oleh karena itu, bahkan

dengan cahaya merah “murni” dengan panjang gelombang 660 nm, tidak mungkin mengubah

100% pigmen tersebut menjadi Pfr. Hal ini dikarenakan Pfr juga menyerap, meskipun kurang

efisien dibandingkan dengan Pr, cahaya dengan panjang gelombang 660 nm dan, hingga

sekitar 20% Pfr melalui fototransformasi berubah kembali menjadi Pr. Dengan cara yang

sama, Pr juga menyerap sedikit cahaya far-red (735 nm), sehingga cahaya far-red mengubah

sebagian Pr menjadi Pfr. Pr yang muncul kembali pada gambar 18.4 merupakan tahapan yang

tidak terungkap, karena keanehan pada system pengukuran, sekitar 20% yang tidak

terkonversi menjadi Pfr oleh gelombang cahaya merah ketika keadaan nol. Penting untuk

diingat bahwa fotoekuilibrium, entah dibawah keadaan pencahayaan merah, far-red atau

campuran keduanya (misal cahaya putih), merupakan proses dinamis yang mengikutsertakan

siklus antara Pr dan Pfr.

Tabel 18.2 fotoekuilibrium fitokrom secara umum (ɸ) terdiri dari cahaya merah, biru, hijau dan far-red

Cahaya λ (nm) ɸ

Biru

Merah

Far-red

Far-red

450

660

720

756

0,4

0,8

0,02

0,01

Page 10: bahan tugas ekofistum

Pehatikan bahwa daerah hijau pada spectrum (540 nm) terdapat sedikit atau tidak ada

penyerapan oleh berbagai fitokrom (Gambar 18.3). Oleh karena itu, cahaya hijau digunakan

sebagai cahaya yang aman untuk mempelajari fitokrom karena tidak menyebabkan konversi

fitokrom yang signifikan. Selanjutnya pada bab ini, kita akan melihat bahwa beberapa respon

fitokrom mungkin disebabkan cahaya aman yang tradisional.

Komplikasi lain yang menarik adalah kehadiran beberapa senyawa antara dalam

waktu singkat dalam fototransformasi antara Pr dan Pfr (Gambar 18.6). Pada suhu ruang,

senyawa antara trsebut memiliki rentangan waktu selama nanodetik hingga milidetik. Pada

suhu rendah, senyawa antara tersebut lebih stabil dan dapat diidentifikasi melalui spectrum

penyerapannya. Fotoeksitasi Pr (menjadi Pr*) diikuti oleh pemulihan dalam kondisi gelap

melalui tiga senyawa antara menjadi Pfr. Peran senyawa antara tersebut, di luar kontribusi

untuk memahami Fotokimia, masih tidak jelas. Bagaimanapun, ketika siklus pigmen berada

di bawah penyinaran kontinyu akan ada sedikit tetapi dalam keadaan stabil untuk masing-

masing senyawa antara terebut. Selebihnya, pemulihan antara senyawa antara tersebut

merupakan proses termal. Karena pemulihan termal berikatan lebih lambat  dibandingkan

dengan eksitasi fotokimia Pr, dimungkinkan bahwa beberapa senyawa antara terakumulasi

pada tingkat signifikan secara fisiologis. Beberapa senyawa antara juga fotoreaktif dan

diyakini memiliki peran penting yang signifikan pada fenomena yang dimediasi fitokrom –

utamanya dibawah radiasi yang diperpanjang.

Gambar 18.6 Senyawa antara fotokimia pada fotokonversi fitokrom. Jangka waktu keberadaan senyawa antara diukur dalam milidetik, tetapi akan ada kedaan stabil pada konsentrasi tertentu untuk masing-masing senyawa antara.

      Kimia Fitokrom

Fitokrom merupakan kromoprotein, terdiri dari kromofor dan apoprotein, keduanya,

kromofor dan bagian protein mengalami perubahan konformasi selama konversi danri Pr

dan Pfr.

Fitokrom merupakan kromoprotein kebiru-biruan dengan penyerapan maksimal 667

nm untuk Pr dan 730 nm untuk Pfr. Ciri fotokimia unik ini berasal dari interaksi kompleks

antara kromofor dan apoprotein. Kromofornya merupakan tetrapirol rantai terbuka yang

Page 11: bahan tugas ekofistum

strukturnya mirip dengan fikosianin (Gambar 18.7). Perbedaannya dengan fikosianin terletak

pada substitusi kelompok –CH=CH2 menjadi –CH2-CH2 pada cincin D. Cincin A pada

kromofor terikat secara kovalen pada apoprotein melalui sebuah ikatan thioether pada residu

sistein.

Gambar 18.7 Kemungkinan struktur kromofor fitokrom dan ikatannya dengan apoprotein. Kromofor berikatan kovalen dengan protein pada sistein-321 melalui ikatan thioether. Pr terlihat. Fotokonversi antara Pr dan Pfr melibatkan isomerasi-cis pada C-15, C-16 jembatan methine.

Fitokrom diyakini terdapat secara in vivo sebagai dimer dengan satu kromofor per

monomer. Estimasi kelompok molecular monomer sangat bervariasi, tergantung pada tingkat

kesulitan dalam mengisolasi protein dalam bentuk tidak terdegradasi. Ditemukan bahwa

ekstrak kasar pada semua tumbuhan mengandung protease Pr spesifik yang memecah protein

menajdi beberapa fragmen. Isolasi utuh protein dapat dioptimalkan dengan mengkonversi

terlebih dahulu pigmen menjadi bentuk Pfr, menambahkan inhibitor protese dan berkerja

dengan cepat pada kondisi dingin (Viestra dan Quail, 1983). Sejumlah molecular monomer

berkisar pada 120 kDa hingga 127 kDa (pada jagung).

Kelompok molecular fitokrom oat, yang telah diteliti dengan sangat ekstensif, adalah

124 kDa. Seuntai polipeptida yang mengandung 1128 asam amino telah diketahui

berdasarkan analisis sekuen nukleotida DNA. Kromofor yang berikatan pada sistein-321,

bagian dari sekuen asam amino pada ujung akhir NH2 protein (Gambar 18.7). Data kimia

mengindikasikan bahwa kromofor terletak di dalam ruang protein, yang melindungi kromofor

dari lingkungan cairan eksternal. Ketertarikan saat ini menghasilkan penelitian mengenai

persebaran asam amino hidrofilik dan hiddrofobik pada protein, yang disebut dengan

ciri hydopathy. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pigmen tersebut sangat

berhubungan dengan membran sel. Bagaimanapun, ciri hydropathy pada fitokrom

menunjukkan bahwa terdapat protein hidrofilik, yang lebih konsisten dengan protein globular

dibandingkan dengan protein membrane intrinsic.

Page 12: bahan tugas ekofistum

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, secara umum disepakati bahwa Pr tidak

aktif secara biologis dan pembentukan Pfr merupakan bentuk aktif dalam respon fisiologis.

Pertanyaan yang muncul mengenai perbedaan structural bentuk Pr dan Pfr. Namun, kepastian

di alam terkait fotokonversi antara kedua bentuk tersebut belum jelas, baik kromofor maupun

apoprotein diyakini mengalami perubahan konformasi. Prinsip perbedaan antara kromofor Pr

dan Pfr diketahui adanya isomerisasi cis-trans pada jembatan methine antara cincin C dan D

(Rudiger, 1986). Penyerapan cahaya merah menyediakan energy yang dibutuhkan untuk

mengatasi energy aktivasi yang tinggi untuk rotasi pada ikatan rangkap, yang tidak dicapai

secara normal pada suhu kamar.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa protein juga mengalami perubahan konformasi.

Di sisi lain, pemutusan 6 kDa dan 4 kDa frgamen dari ujung  terminal NH2polipeptida secara

enzimatik (Gambar 18.8) menginduksi beberapa perubahan karakteristik molekulnya.

Diantara perubahan tersebut adalah pergantian penyerapan maksimum Pfr sebanyak 8 nm,

penurunan secara kuantum pada fotokonversi Pr menjadi Pfr.tampaknya, ujung fragmen NH2

secara structural merupakan daerah penting yang mempengaruhi ikatan kromofor Pfr dengan

protein. Daerah ini lebih rentan menjadi tempat pemutusan proteolitik dan lebih mudah

berikatan dengan antibody ketika pigmen dalam bentuk Pr dibandingkan ketika dalam bentuk

Pfr. Di sisi lain, fragmen 55 kDa pada ujung akhir karboksi lebih rentan terhadap serangan

enzim proteolitik saat pigmen dalam bentuk Pfr. Pengamatan ini dapat dijelaskan dengan

sangat baik dengan menganggap ada perubahan induksi fotokimia pada konformasi protein.

Apapun perbedaan konformasi antara Pr dan Pfr, tidak dapat diperbesar lagi mengingat tidak

ada perbedaan terdeteksi anata kedua bentuk tersebut melalui pengukuran normal yang

digunakan untuk membedakan antar proteinnya. Pengukuran tersebut  termassuk pula

sedimen Pr dan Pfr yang terbentuk saat sentrifugasi (koefisien sedimentasi) atau perpindahan

muatan listrik (mobilitas elektroforesis). Bagaimana perubahan ini mengubah konformasi

protein yang menyebabkan signifikansi aksi biologisnya masih harus dijelaskan.

 

Page 13: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.8 Sebuah skema yang menunjukkan alignment peta 124-kDa polipeptida fitokrom Avena dengan fitokrom sekuens. Apoprotein fitokrom ditunjukkan sebagai 124-kDa polipeptida (pp). Sekuen asam amino yang mengikat  kromofor terletak di dekat domain tengah 64 asam amino. Domain terminal pendek N dan 55 domain terminal-kerboksi 55 asam amino ditampilkan.

  Efek Fisiologis Fitokrom

Setidaknya tiga jenis tanggapan fitokrom diketahui, tergantung pada sejauh mana

persyaratan yang diperlukan. tanggapan klasik yang rendah termasuk berbagai fenomena

fisiologis dan perkembangan dari potensial membran melalui perkembangan perkecambahan

dan pembungaan. Reaksi radiasi nonfotoreversibel tinggi juga dimediasi oleh fitokrom.

Efek yang dimediasi fitokrom dikelompokkan dalam tiga kategori berdasarkan

kebutuhan energinya (Gambar 18.9). Merah klasikak, far-red, respon fotoreversiber

ditemukan oleh Hendricks dan Borthwick dan koleganya dikenal sebagai respon rendah

(LFRs). Kebutuhan foton untuk LFRs berada pada rentangan cahaya merah 10 -1 hingga 10-

2 μmol m-2. Respon sangat rendah (VLFRs), seperti namanya, diinduksi oleh semakin

sedikitnya tingkat pencahayaan pada tingkatan cahaya merah 10-6 hingga 10-8 μmol m-2.

Reaksi penyinaran tinggi (HIRs) membutuhkan radiasi kontinyu, biasanya dengan cahaya FR

atau biru, selama beberapa jam atau lebih dan tergantung pada tingkat pencahayaannya.

 Respon Lambat Fitokrom 

        Perkecambahan Biji

Perkecambahan pada kebanyakan biji dipengaruhi oleh cahaya seperti terlihat pada

perkecambahan yang rata (seragam) di area penanaman atau gangguan alam. Biji yang

dirangsang untuk berkecambah oleh cahaya, yang mungkin mayoritas mencakup spesies

nonpertanian, dikenal sebagai fotoblastik positif. Di mana perkecambahan yang dihambat

oleh cahaya disebut fotoblastik negatif. Beberapa benih, sebagian besar merupakan spesies

pertanian penting yang telah dipilih karena tingkat perkecambahannya yang tinggi dan tidak

dipengaruhi oleh cahaya.

Page 14: bahan tugas ekofistum

Biji, seperti selada (Lactuca sativa), mungkin membutuhkan hanya pendedahan singkat

pada cahaya, diperkirakan sekitar 1-2 menit, sementara lainnya membutuhkan sekitar

beberapa jam atau bahkan hari yang konstan atau cahaya berselang (Lythrum salicaria,

Epilobium cephalostigma). Pada semua kasus, peran pigmen muncul sebagai fitokrom. Tanah

melemahkan cahaya dengan sangat cepat; 1 mm tebal tanah, sebagai contoh, melewatkan

kurang dari 1% cahaya dan hanya panjang gelombang yang lebih dari 700 nm. Sehingga

kebanyakan biji yang membutuhkan cahaya tidak perlu ditanam sangat dalam untuk

mengetahui perkecambahannya. Bagaimanapun, beberapa biji (Sinapis arvensis)

membutuhkan sangat sedikit Pfr (ɸ=0,05) untuk menstimulasi perkecambahan dan mungkin

menghambat perkecambahan jika ditanam dalam 8 mm tanah.

Penekanan perkecambahan pada biji fotoblastik negative, seperti oat liar (Avena fatua),

umumnya membutuhkan pendedahan lebih lama pada tingkat yang lebih tinggi. Cahaya far-

red dan biru yang sangat efektiif, meskipun pada beberapa kasus (Phacelia tenacetifolia)

cahaya merah juga efektif. Fotoinhibisi perkecambahan biji muncul sebagai contoh pada

reaksi radiasi tinggi.

        Perkembangan Perkecambahan

Sebagaimana diketahui anak-anak secara virtual, tumbuhan yang tumbuh di tempat gelap

memiliki penampakan yang berbeda (Gambar 18.10). detilnya dapat bervariasi antara spesies

satu dan lainnya, tetapi umumnya perkecambahan batang dikotil lebih panjang dan lemah,

biasanya membentuk kurva yang jelas di bawah daun. Daunnya mengalami keterlambatan

perkembangan, tetap kecil dan menutup, hampir sama seperti keadaan seperti embrio. Tidak

tampak klorofil dan warnanya tampak putih atau kuning. Daun rumput-rumputan tetap

memanjang tetapi masih dalam keadaan menggulung. Internodus pertama atau mesokotil,

pada perkecambahan rumput memanjang berlebihan dalam gelap dan koleoptil, yang

merupakan modifikasi daun, tumbuh dengan lambat. Kondisi umum ini disebabkan tumbuhan

tersebut tumbuh pada kondisi gelap dan disebut etiolasi. Ciri lain etiolasi adalah

terhambatnya perkembangan kloroplas dan rendahnya aktivitas banyak enzim.

Pada perkecambahan dikotil, pemanjangan hipokotil, pembukaan kait plumula, dan

pelebaran daun mendapat perhatian lebih. Dengan radiasi cahaya putih, tingkat pertumbuhan

hipokotil lambat, kait hipokotil lurus, dan pemanjangan epikotil semakin cepat. Cahaya juga

menstimulasi daun untuk membuka, melebar, dan melengkapi perkembangannya.

Perkembangan kloroplas berjalan dan daun menjadi hijau karena akumulasi klorofil.

Page 15: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.10 fotomorfogenesis pada perkecambahan kacang hijau (Phaseolus vulgaris). Perkecambahan di kiri ditumbuhkan pada keadaan cahaya normal. Perkecambahan di kanan ditumbuhkan di tampat gelap. Perkecambahan di tengah dipaparkan pada cahaya merah lemah selama 5 menit setiap harinya.

Signifikansi ekologis respon tersebut tidak sulit untuk disusun. Ingatlah bahwa tumbuhan

merupakan organisme fotosintetik secara fundamental. Sebuah biji memiliki jaringan

nutritive yang terbatas sehingga setidaknya harus mencukupi dalam mendukung

perkecambahan hingga tumbuhan tersebut berkecambah dan mampu untuk melakukan

fotosintesis dan mensuplai energy dan karbon. Dalam kondisi gelap, cadangan makanan biji

digunakan untuk pemanjangan sumbu agar memaksimalkan kemungkinan plumula, daun

muda, mencapai cahaya dan dapat melakukan fotosintesis sebelum cadangan makanannya

habis. Sekali terpapar cahaya, sisa cadangan makanan mungkin digunakan untuk

pembentukan jaringan fotosintetik, dan lainnya. Karena itu, peran fitokrom dalam

perkembangan perkecambahan muncul sebagai penyampai informasi pada kecambah terkait

posisinya terhadap permukaan tanah.

Sebagai tambahan pada perubahan morfologis yang tampak pada perkecambahan etiolasi,

fitokrom juga mengatur variasi perubahan lain pada tingkat morfologi, biokimia, dan

biofisika (Tabel 18.3).

Tabel 18.3 Pilihan contoh terkait respon yang dimediasi fitokrom

Induksi bunga fotoperiodik

Pergerakan daun niktinasti

Seksitivitas fototrofik

Page 16: bahan tugas ekofistum

Perkecambahan biji

Pemanjangan batang

Pembukaan kait plumula

Ekspansi kotiledon dan daun

Perkembangan kloroplas

Sintesis klorofi; dan karotenoid

Sintesis antosianin

Aktivasi enzim

Sintesis protein

Transkripsi mRNA

Perpindahan fototaksis kloroplas

Potensial permukaan (ujung akar)

Potensial transmembran

Penting dimengerti bahwa penelitian LFRs dengan pengontrolan kondisi laboratorium

yang tepat dimana tempat tersebut merupakan yang paling jelas terbukti. Semua manipulasi

yang dilakukan di abwah pencahayaan cahaya hijau, yang dianggap fotokimia dalam keadaan

tidak aktif. Radiasi yang dilakukan dibatasi hanya pada cahaya merah dan far-red, yang

berlawanan dengan cahaya putih. Akhirnya, penyinaran itu sendiri terjadi singkat (sekitar 3

menit) dan tumbuhannya dikembalikan pada kondisi gelap untuk respon perkembangannya.

LFRs yang diinduksi dengan menyeimbangkan system dengan tingkat maksimum Pfr dalam

waktu yang singkat. Pfr aktif kemudian menyebabkan respon fisiologis, fotoresponsibilitas

cahaya merah dan far-red dengan penyinaran singkat, karakteristik LFRs, merupakan kunci

pengujian terhadap keterlibatan fitokrom dalam aksi fisiologis. Fitokrom hanyalah system

fotobiologis yang diketahui membuktikan resiprositas antara durasi radiasi dan tingkat

penyinarannya, tetapi hanya sampai pada tingkatan yang menunjukkan fotoekuilibrium antara

Page 17: bahan tugas ekofistum

Pr dan Pfr. LFRs tidak bergantung pada tingkat fotoekuilibrium antara Pr dan Pfr yang

ditunjukkan.

Pada kebanyakan percobaan, tingkat respon dengan FR, baik sendiri maupun pada radiasi

akhir  dengan sekuen R, umumnya lebih tinggi dibandingkan control kondisi gelap. Sehingga

dapat dikatakan bahwa, FR tidak pernah menunjukkan fotoreversibilitas lengkap. Ini dapat

dijelaskan dengan terjadinya tumpang tindih pada penyerapan spectrum Pr dan Pfr (Gambar

18.3). Karena penyerapan spectrum Pr dan pfr tumpang tindih pada daerah far-red, Pr akan

menyerap sejumlah keci FR. Sehingga, bahkan sumber FR murni akan mengubah sejumlah

kecil, sekitar 1-3%, Pr menjadi Pfr. Jumlah Pfr biasanya cukup untuk menginisiasi respon

pada tingkat yang rendah.

        Potensial Bioelekrik dan Distribusi Ion

Waktu respon untuk efek perkembangan yang dimediasi fitokrom dihitung dalam jam atau

bahkan hari, tetapi ada beberapa respon dimana responnya dihitung dalam detik atau menit.

Kebanyakan, tapi tidak semua, respon cepat yang munculgaruhi berhubungan dengan

aktivitas membrane seperti potensial bioelektrik atau fluks ion.

Satu dari indikasi paling awal yang menunjukkan bahwa fitokrom mempengaruhi sifat

kelistrikan suatu jaringan merupakan sebuah efek yang ingin diketahui merupakan tugas

permukaan ujung akar yang dilaporkan oleh T. Tanada (1968). Dia mengamati akar

tumbuhan barley yang ditumbuhkan dalam kondisi gelap akan mengapung bebas pada beaker

glass yang memiliki muatan negative. Setelah penyinaran singkat dalam 30 detik akan

menempel di permukaan. Perlakuan cahaya far-red yang cukup akan melepaskan ujung akar

dari gelas. M. Jaffe mendemonstrasikan bahwa adhesi dan pelepasan berhubungan dengan

perubahan yang menginduksi fitokrom pada potensial permukaan ujung akar (Jaffe, 1968).

Perlakuan cahaya merah yang singkat menghasilkan potensial negative pada permukaan,

sehingga menyebabkan ujung akarnya terlepas. Efek yang serupa karena cahaya merah

dan far-red terhadap potensial permukaan koleoptil Avena telah didemonstrasikan oleh I.

Newman (1981.

Potensial transmembran yang diatur fitokrom telah dilaporkan pada berbagai jaringan dari

beberapa laboratorium. Hasilnya tidak sepenuhnya konsisten, tetapi pada banyak kasus,

cahaya merah menginduksi depolarisasi membrane antara 5-10 detik mengikuti perlakuan

cahaya merah (Gambar 18.11). Perlakuan lanjutan dengan far-redmenyebabkan

pengembalian rendah pada polaritas normal atau hiperpolarisasi rendah. Pada saat ini, tidak

diketahui efek yang disebabkan oleh aksi fitokrom secara langsung pada membrane atau

terkait keterlibatan second messenger.

Page 18: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.11 Grafik rekaman potensial membrane 6 koleoptil sel parenkim oat (Avena) selama penyinaran cahaya hijau, merah, dan far-red. Angka menunjukkan nilai potensial masing-masing perlakuan.

Salah satu penelitian tertua dan terdetail mengenai efek fitokrom pada membrane adalah

rotasi kloroplas pada Mougeotia. Setiap sel pada filament alga hijau ini memiliki kloroplas

pipih tunggal yang mampu berotasi sepanjang sumbunya sehingga muka maupun sisinya

dapat menghadap pada cahaya yang datang (Gambar 18.12). perputaran ulang kloroplas

diipengaruhi oleh fitokrom: cahaya merah paling efektif sedangkan far-red dapat

dikembalikan (kembali asal). Pada seri penelitian yang elegan, W. Haupt menggunakan

cahaya polarisasi pesawat dan mickrobeam cahaya merah dan far-red untuk meradiasi lokasi

spesifik pada sel. Dia menemukan bahwa peran fitokrom dalam rotasi kloroplas terletak pada

kloroplas itu sendiri dan bukan pada kortikal sitoplasma, yakni daerah sitoplasma yang

berada di dalam membrane plasma. Haupt juga menemukan bahwa perputaran balik kloroplas

akibat cahaya polarisasi pesawat tergantung pada arah polarisasi sepanjang sumbunya.

Cahaya merah yang dipolarisasi, sebagai contoh, sangat efektif ketika vector listriknya

parallel terhadap sumbu memanjang selnya. Far-red juga sangat efektif dalam membalikkan

efek cahaya merh ketika dipolarisasikan pada sudut yang tepat. Hasil ini menunjukkan bahwa

molekul fitokrom menganggap orientasi sitoplasma saat ini dan orientasi Pfr adalah normal

terhadap orientasi Pr.

Sebelum fitokrom berpindah dari membrane plasma ke kloroplas, yang tidak mungkin,

terdapat rantai sinyal yang menghubungkan keduanya. Satu kemungkinan dalah kalsium

Page 19: bahan tugas ekofistum

berfungsi sebgaai second messenger pada fitokrom, mungkin berinteraksi dengan sitoskeleton

untuk mengontrol orientasi kloroplas. Pengambilan Ca2+ ke dalam sel Mougeotia disstimulasi

oleh cahaya merah. Sebagai tambahan, aplikasi kalsium ionophore A23187 pada posisi

tertentu di sel akan menstimulasi perputaran balik kloroplas, tetapi hanya jika terdapat

kalsium di medium suspensinya (Serlin dan Roux, 1984). Aplikasi yang serupa menggunakan

valinomisin, ionophore K+, tidak menunjukkan pengaruh. Diketahui bahwa Pfr menstimulasi

pengambilan kalsium oleh dinding sel, yang menyebabkan perputaran balik kloroplas.

Perubahan potensial bioelektik merupakan fenomena elektrokimia, berhubungan dengan

perpindahan ion melalui membrane plasma. Pada kasus ujung akar kacang hijau, sebagai

contoh, Jaffe menemukan bahwa induksi cahaya merah positif meningkatkan potensial

permukaan bersamaan dengan penembusan ion hydrogen. Korelasi antara fitoktom dan

perpindahan ion telah didemonstrasikan melalui niktinasti atau pergerakan istirahat daun.

Pergerakan ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab 19, tetapi karena interaksinya dengan

fitokrom dan pergerakan ion maka diskusi singkat pada bab ini diperlukan. Pasangan daun

atau pucuk daun pada beberapa tumbuhan umumnya horizontal selama siang hari tetapi akan

menekuk jika keadaan gelap. Tumbuhan yang menunjukkan tingkah laku ini memiliki daerah

bonggol, yang disebut pulvinus, pada bagian basal tangkai daun. Pulvinus mengatur

pergerakan daun dengan mengubah bentuknya sebagai  akibat perbedaan volume sel pada

organ bagian atas dan bawah. Perubahan bentuk dan volume pada motor sel secara osmosis

merupakan respon resistribusi zat terlarut, biasanya K+, Cl+, dan malat. Ruth Satter dan

rekannya telah mendokumentasikan fitokrom yang mengontrol fluks K+ pada organ ini (lihat

Bab 19). Diketahui, bagaimanapun, bahwa fitokrom tidak secara langsung mengontrol K+.

K+ berpindah melalui gerbang kanal elektrik K+ yang dibuka oleh fitokrom akibat

penembusan H+. peran fitokrom mungkin untuk mengaktifkan membrane plasma yang

mengikmat pompa proton ATPase yang mendepolarisasi membrane untuk membuka kanal

K+. ada banyak indikasi bahwa CA2+ juga mungkin terlibat sebagai second messenger pada

pergerakan niktinasti. Memang, CA2+/kalmodulin telah diketahui sebagai mediator beberapa

respon fitokrom. Fitokrom-fitokrom tersebut merespon jika CA2+ telah berimplikasi sebagai

mediator yang biasanya bersamaan dengan pengambilan Ca2+ melalui induksi cahaya dan

umumnya dicegah oleh inhibitor kalmodulin. Masih perlu didemonstrasikan bahwa fitokrom

memacu peningkatan Ca2+bebas di sitoplasma sel tumbuhan.

Page 20: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.12 Diagram dari Eksperimen Haupt dengan kloroplas Mougeotia. Mougeotia merupakan alga hijau berbentuk filament dengan kloroplas tunggal seperti piring pada masing-masing sel.

      Repon yang Sangat Lambat

Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa perkecambahan dalam keadaan

gelap mampu merespon cahaya pada tingkat yang sangat rendah. Cahaya merah, sebagai

contoh, memacu peningkatan sensitivitas pada perkecambahan biji sereal menjadi sebuah

stimulus fototrofik tertentu. Tetapi, cahaya merah yang diperlukan untuk menjenuhkan

respon ditemukan paling sedikit 100 kali lebih sedikit dibandingkan dengan yang dibutuhkan

untuk menginduksi suatu konversi pengukuran Pr menjadi Pfr. Pencahayaanfar-red rendah

juga memacu sensitivitas fototrofik seperti pada cahaya merah, mengindikasikan bahwa

kurang dari 1% pigmen yang dikonversikan menjadi Pfr untuk menjenuhkan respon tersebut.

D. F. Mandoli dan W. R. Briggs (1981) menemukan bahwa pendedahan bahkan pada lampu

hijau dim tradisional dapat mengeluarkan atau menjenuhkan respon pemanjangan  pada

perkecambahan Avena di tempat gelap. Mereka memperkirakan bahwa Pfr sekecil 0,01%

diperlukan untuk mengeluarkan hambatan pemanjangan mesokotil. Sesitivitas ekstrim pada

cahaya ini menyebabkan penelitian mengenai teknik VLFRs menajdi sulit. Prinsip bahwa

respon VLF dimediasi oleh fitokrom merupakan kesamaan aksi spectrum terhadap

penyerapan Pr (Mandoli dan Briggs, 1981). Fenomena, bagaimanapun,

meningkatkan  ketertarikan terkait kebingungan pertanyaan mengenai penelitian fotokontrol

perkembangan tumbuhan.

      Reaksi Iradiasi Tinggi

Di lingkungan alam, tumbuhan terdedah sinar matahari dalam periode yang lama pada

tingkat yang cukup tinggi. Di bawah kondisi tertentu, dicirikan dengan tingginya energy

Page 21: bahan tugas ekofistum

selama beberapa periode, program fotomorfogenesis mencapai ekspresi dan respon

maksimum seperti ekspansi daun dan pemanjangan batang menjadi lebih mencolok. Seperti

respon yang bergantung pada cahaya diketahui sebagai respon radiasi tinggi (HIRs). Respon

radiasi tinggi memiliki dua ciri (Mancinelli, 1980): (a) respon ekspresi penuh yang

memerlukan pendedahan radiasi tinggi yang lebih lama; (b) besarnya respon merupakan

bentuk fungsi dari tingkat dan lama pendedahan (hukum Bunsen-Roscoe tidak digunakan);

(c) berbeda dengan LFRs, HIRs tidak sepenuhnya merah, far-red reversible.

HIRs diungkap pertama kali dalam penelitian sintesis antosianin pada kecambah kubis

merah (Siegelman dan Hendricks, 1957). Seperti halnya respon perkecambahan yang

mengalami etiolasi, inisiasi akumulasi antosianin merupakan LFR yang bergantung pada

fitokrom. Fotoreversibilitas merah dan far-red, terbatas pada radiasi singkat. Ketika radiasi

dalam waktu lama dilakukan, puncak aksi akumulasi antosianin berubah menjadi far-red,

dengan mereduksi efektivitas pada penyerapan cahaya merah. Efek perpanjangan radiasi

cahaya far-red telah diinterpretasikan sebagai cara untun memelihara tingkat Pfr agar tetap

rendah – cukup lama untuk mencegah penipisan Pfr akibat degradasi. 

Gambar 18.13 Spektrum aksi penghambatan pemanjangan batang oleh radiasi berlanjut. Grafik di atas menunjukkan perkecambahan selada yang mengalami etiolasi

HIR telah terlibat dalam respon yang sangat luas yang juga memenuhi syarat sebagai

LFRs, termasuk pertumbuhan batang, ekspansi daun, dan perkecambahan biji. HIRs mungkin

menunjukkan spectrum aksi yang amat berbeda tergantung pada kondisi pertumbuhan

spesiesnya (Gambar 18.13). perkecambahan yang mengalami etiolasi, misalnya, merespon

pada cahaya biru, emrah, dan far-red. Ketika mengalami de-etiolasi, ada pergantian dari HIR

sensitive cahaya far-red menjadi HIR sensitive cahaya merah. Tidak mengherankan jika,

perkecambahan kondisi terang, jaringan hijau lebih responsive pada cahaya merah

Page 22: bahan tugas ekofistum

dibandingkan far-red. Beberapa system seperti sintesis antosianin pada kecambah Sorghum,

hanya merespon pada cahaya UV-A biru.

Apakah fitokrom merupakan fotoreseptor untu HIRs? Meskipun keefektivan cahaya

merah dan far-red mendukung dalam hal fitokrom sebagai fotoreseptor, karakteristik unuk

reaksi fitokrom – fotoreversibilitas – secara mencolok tidak ditemukan dari reaksi radiasi

tinggi. Namun beberapa model teoretis telah dikembangkan untuk menjelaskan HIR dalam

kaitannya dengan konsentrasi fitokrom, tingkat siklus antara Pr dan Pfr, tingkat kestabilan

senyawa antara fotokimia, dan sifat lain yang diketahui pada system fitokrom. Tidak satupun

dari model yang memuaskan dan dapat menjelaskan semua karakteristik HIR, terutama aksi

pada daerah spectrum UV-A biru. Berdasarkan variasi macam aksi spectrum, setidaknya tiga

macam HIRs yang dapat dikenali: (a) aksi pada cahaya UV-A biru, merah, dan far-red; (b)

aksi pada cahaya UV-A biru dan merah; (c) aksi hanya pada cahaya UV-A biru (Mancinelli,

1980). Untuk menjelaskan perbedaan ini, umumnya diakui bahwa setidaknya dua

fotoreseptor harus terlibat pada fitokrom, dan reseptor UV-A biru.

K. M. Hartman telah menyampaikan pendapat yang sangat kuat bahwa puncak 716

nm pada spectrum aksi dalam penghambatan pertumbuhan hipokotil pada perkecambahan

selada di bawah penyinaran terus-menerus (Gambar 18.13) disebabkan oleh fitokrom. Pada

percobaan yang sangat menarik, Hatrmann menunjukkan bahwa perkecambahan dengan

cahaya 658 nm atau 766 nm (Hartmann, 1967; lihat juga Cosgrove, 1986). Panjang

gelombang ini dipilih karena mekeduanyareka diserap oleh Pr maupun Pfr, beruurtan, tetapu

mencegah sebanyak kemungkinan daerah tumpang tindih antara kedua bentuk pigmen.

Dipaparkan secara terpisah, cahaya 658 dan 766 dapat menghambat pemanjangan seefektif

cahaya 716 nm. Trik untuk mengetahui tingkat pengaruh cahaya 658 nm dan 766 nm

disesuaikan untuk memberikan tingkat senyawa antara Pfr (Pfr/TOT) yang sama sebagaimana

radiasi 716. Perkiraan Hartmann adalah bahwa cahya 766 nm kurang efektif karena

mengubah fitokrom predominan mejadi bentuk Pr.  Di sisi lain, cahaya 658 nm mengkonversi

pigmen predominan menjadi bentuk Pfr,  meskipun menghambat secara inisial, mengalami

kehilangan oleh reaksi degradasi. Cahaya 716 nm sangat efektif karena menghasilkan tingkat

senyawa antara pada Pfr orang-orang Pfr, memilih reaksi kompetisi aksi Pfr dan degradasi

Pfr. Cahaya 716 nm konsentrasi Pfr mendirikan perusal yang paling efektif  dan selama

perlakuan penyinaran berlangsung.

Ada juga kejadian yang mendukung pemisahan reseptor UV-A bitu yang mungkin,

pada beberapa system, berinteraksi dengan fitokrom dalam mengontrol reaksi radiasi tinggi.

Penghambatan pemanjangan hipokotil yang tergantung pada cahaya biru pada timun, selada,

dan tomat yang ditumbuhkan pada kondisi terang, dapat didemonstrasikan oleh radiasi

simultan menggunakan cahaya biru dan putih. Kondisi tersebut tidak begitu mengubah rasio

Page 23: bahan tugas ekofistum

Pfr pada keseluruhan total fitokrom, tetapi menyebabkan penghambatan pemanjangan batang

dibandingkan dengan control yang hanya disinari cahaya putih. Pada system lain, fitokrom

(fotoreversibel merah dan far-red) mengontrol biosintesis antosianin pada kecambah

Sorghum dan menjadi semakin efektif setelah penyinaran menggunakan cahaya biru dan

putih yang diperlama.

Masih pada system lain, pemanjangan hipokotil pada Arabidopsis tipe liar dihambat

oleh pemaparan Fr, cahaya biru, UV-A, dan merah. Terdapat dua mutan Arabidopsis, dikenal

sebagai by-1 dan by-2, yang telah mengalami mereduksi jumlah fitokrom. Pada kedua mutan

tersebut diketahui tidak ada Fr dan merah untuk penghambatan pemanjangan hipokotil,

dengan tanpa perubahan terhadap cahaya biru dan UV-A. akhirnya, fitokrom tidak

menginduksi biosintesis antosianin pada perkecambahan dalam keadaan gelap total.

Bagaimanapun, control fotoreversibel merah dan far-red yang secara nyata mengikuti

perlakuan cahaya biru yang diperpanjang. Hasil ini mendukung dengan kuat hipotesis

mengenai fotoreseptor UV-A biru yang mungkin beroperasi pada beberapa HIRs dana yang

mungkin bertindak kooperatif dengan fitokrom.

      Fitokrom pada Tumbuhan Hijau

Fitokrom pada tumbuhan hijau berbeda dengan fitokrom pada jaringan yang

mengalami etiolasi. Bentuk fitokrom diekspresikan pada jaringan yang mengalami etiolasi

hanya merupaka satu dari lima produk gen. Empat produk gen lainnya diekspresikan pada

tingkat yang sangat rendah baik pada jaringan yang tumbuh dalam kondisi gelap atau

terang.

Asumsi bahwa fitokrom memiliki peran aktif secara langsung dalam morfogenesis

dibawah kondisi radiasi alammi menambahkan pertanyaan yang menarik. Apakah Pfr

didegradasi dengan cepat pada tumbuhan hijau sebagaimana pada jaringan yang mengalami

etiolasi, bagaimana tumbuhan di bawah penyinaran kontinyu mempertahankan tingkat

fitokrom aktif yang memadai? Ini telah lama diargumentasikan, berdasarkan pada penelitian

spektrofotometri fisiologis dan in vivo, bahwa beberapa kondisi fitokrom pada tumbuhan

hijau dalam kondisi terang berbeda dengan yang mengalami etiolasi. Baru-baru ini baru ada

dukungan secara langsung dari molecular yang mendukung pendapat ini.

Secara tradisional sulit mempelajari fitokrom pada tumbuhan hijau karena rendahnya

konsentrasi dan gangguan yang intens oleh penyerapan klorofil fan fluoresensi pada daerah

cahaya merah dan far-red. Gangguan klorofil saat ini dapat dipisahkan sebagian melalui

teknik penghilangan klorofil secara cepat dari ekstrak, sehingga menyebabkan analisis

spectrum secara in vitro. Kalau tidak, kecambah yang ditumbuhkan dalan kondisi terang

mungkin diberi Nonflurazon, herbisida yang menghambat biosintesis karotenoid, dan

Page 24: bahan tugas ekofistum

hasilnya menginduksi foto-bleaching klorofil. Hasil tersebut dapat digunakan dalam analisis

spektrofotometri secara in vivo.

Beberapa kejadian saat ini mengkonfirmasi kecurigaan yang ada sebelumnya bahwa

fitokrom pada jaringan hijau berbeda dengan pada yang mengalami etiolasi. Fitokrom pada

kecambah Avena yang ditumbuhkan pada kondisi terang lebih kecil (berat molekulnya=1118

kDa) dan memiliki tingkat penyerapan maksimum Pr lebih rendah (652 nm) dibandingkan

dengan pigmen dari jaringan yang mengalami etiolasi (124 kDa; 666 nm). Sebagai tambahan,

fitokrom kecambah pada kondisi terang tidak bersifatimmunoprecipitated atau dikenal

pada immunoblots oleh antibodi yang terdapat pada fitokrom dari kecambah yang mengalami

etiolasi. Kinetic fotokonversi (Pr ke Pfr dan kembali ke Pr) tampaknya serupa, tetapi Pfr pada

jaringan yang tumbuh pada kondisi terang memiliki ketahanan hidup setngah kali lebih lama.

Sebagai contoh, M. Jabben telah mengukur  transformasi aksi fitokrom pada kecambah

jagung yang diberi perlakuan dengan herbisida SAN 9789, yang menghambat akumulasi

klorofil pada keadaan terang. Pfr setengah hidup pada kecambah tersebut tumbuh di  bawah

penyinaran kontinyu 8 jam. Serupa dengan Pfr yang kuat setengah kali lebih lama, telah

diamati pada Avena dan beberapa kecambah yang tumbuh pada kondisi terang.

Bentuk labil fitokrom yang terakumulasi pada perkecambahan kondisi gelap disebut

sebagai fitokrom tipe 1, sedangkan bentuk stabil lain yang ada pada jaringan hijau disebut

tipe II (Furuya 1989; Vince-Prue, 1991). Penelitian saat ini menggunakan teknik rekombinan

DNA yang menunjukkan ada bentuk multi fitokrom tipe II, yang dikode oleh sekelompok

kecil gen yang berbeda (Vierstra 1993; Chory, 1997). Kelompok gen yang paling baik

dikarakteristikkan telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana, dimana terdapat 5 gen fitokrom

(disebut phyA, phyB, phyC, phyD, phyE). Gen phyA diekspresikan pada jaringan yang

tumbuh dalam kondisi gelap dan mengkode fitokrom tipe I yang labil (PHYA), yang

terakumulasi dalam kondisi gelap. PHYA tidak terakumulasi dalam kondisi terang karena

transkripsi phyA dihambat oleh PfrA (bentuk penyerap warna merah PHYA). Sebagai

tambahan, protein PHYA dengan cepat didegradasi. Gen fitokrom tipe II yang tersisa (phyB,

phyC, phyD, phyE) diekspresikan pada tingkat yang rendah dalam kondisi terang maupun

gelap. Produknya (PHYB-F) stabil.

Keberadaan fitokrom yang berbeda bentuk pada tumbuhan hijau dengan Pfr yang

lebih stabil terlihat mulai menajwab sebagian pertanyaan yang ada di awal. Sangat

dimungkinkan bahwa degradasi Pfr pada jaringan hijau cukup lambat untuk diseimbangkan

dengan sintesis Pr, sehingga memelihara sejumlah fitokrom stabil pada penyinaran kontinyu.

Tetapi mengapa tumbuhan memerlukan banyak bentuk fitokrom? Di sisi lain, mengapa

jaringan yang mengalami etiolasi lebih banyak mengakumulasi fitokrom A yang labil? Belum

ada jawaban untuk pertanyaan ini, tetaoi H. Smith memiliki pendapat yang menarik (Vince-

Page 25: bahan tugas ekofistum

Prue, 1991). Smith menyebutkan bahwa akumulasi fitokrom A dalam dua situasi: (1) biji

yang memerlukan cahaya merah untuk berkecambah dan tidak berkecambah karena terkubur

terlalu dalam di tanah dan (2) kecambah yang fitokromnya digunakan untuk mendeteksi

cahaya ketika mencapai permukaan tanah. Sehingga sejumlah besar fitokrom A yang

terakumulasi di bawah kondisi tersebut muncul sebagai antenna sensitive, yang utamanya

mendeteksi kehadiran cahaya dibandingkan dengan kualitas cahaya. Sekali biji terpapar

cahaya yang memadai, sejumlah fitokrom yang labil menghilang. Hal ini menyebabkan

fitokrom tipe II mampu memonitor rasio R-FR dan perkembangan langsung yang sesuai.

Mungkin sulit untuk mendapatkan bukti secara langsung yang mendukung kejadian tersebut,

tetapi langkah awal penting dalam mempelajari fitokrom diluar laboratorium adalah di dunia

nyata.

Akhirnya, dogma yang diterima mengenai fitokrom adalah Pr secara biologis inaktif

dan pembentukan Pfr menginisiasi respon perkembangan aktif. Bagaimanapu, beberapa

peneliti memiliki pertanyaan terkait Pr yang mungkin memiliki peran aktif lebih, yang

bertanggung jawab dalam pemanjagan batang pada tumbuhan yang tumbuh dalam kondisi

terang (Smith, 1983). Saat ini, telah disampaikan bahwa pertumbuhan vertical normal

kecambah Arabidopsis secara nyata berkurang ketika ditumbuhkan pada kondisi cahaya

merah (Liscum dan Hangarter, 1993). Kecambah yang tumbuh pada cahaya merah

menganggap orientasi acak yang lebih jauh. (Pertumbuhan memanjang normal merupakan

contoh gravitropisme negative – lihat bab 19). Di sisi lain, mutan yang kekurangan fungsi

fotokimia fitokrom dan tidak mampu menghasilkan Pfr, menunjukkan pertumbuhan

memanjang normal karena penyinaran. Berdaarkan analisis genetis, Liscum dan Hangarter

menyimpulkan bahwa pertumbuhan memanjang yang normal terjadi ketika fitokrom B dalam

keadaan Pr. Hal ini tentu saja dianggap bahwa pemanjangan dan bukan pertumbuhan acak

merupakan respon aktif. Apakah control respon pada tumbuhan lain mungkin disebabkan Pr

yang terlihat dengan cara yang sama.

      Fitokrom pada Kondisi Alami

Salah satu pertanyaan yang paling menantang mengenai fitokrom adalah mengenai

fungsinya pada lingkungan alami, di bawah penyinaran yang diperpanjang pada variasi

tingkat penyinaran dan variasi waktu. Adakah informasi pada cahaya alam dari lingkungan

yang dapat diinterpretasikan oleh fitokrom?

Informasi terbesar mengenai fitokrom berasal dari penelitan kecambah yang

mengalami etiolasi karena radiasi singkat, yakni LFRs. Tetapi selain di laboratorium,

tumbuhan tidak tumbuh di dalam kotak gelap dengan penyinaran cahaya merah dan far-red.

Cahaya awalnya dirasakan oleh kecambah ketika mencapai permukaan yang tidak diragukan

Page 26: bahan tugas ekofistum

lagi bekerja sebagai LFRs klasik, menyebabkan konversi sejumlah besar Pr yang ada menjadi

Pfr dan menginisasi proses de-etiolasi. Tetapi juga menyebabkan stimulasi kehilangan Pfr

dan penurunan kandungan total fitokrom. Hal ini menambah pertanyaan mengenai fungsi

fitokrom pada tumbuhan yang dipaparkan pada sinar paa tingkat yang tinggi secara terus-

menerus.

Respon tumbuhan hijau yang berbeda mencolok pada kecambah yang mengalami

etiolasi. secara kuantitatif, tumbuhan hijau lebih sensitive pada cahaya merah. Penghambatan

pemanjangan hipokotil pada kecambah sawi dalam kondisi terang, membutuhkan tingkat

yang lebih rendah dibandingkan dengan kecambah dalam kondisi gelap. Di awal diskusi kita

mengenai respon radiasi tinggi, diketahui bahwa de-etiolasi bersamaan dengan pergantian

dari fitokrom sensitive cahaya far-red ke merah. Memang, cahaya far-red tingkat tinggi

secara actual menstimulasi pertumbuhan pada kebanyakan tumbuhan hijau.

Banyak penelitian pada tumbuhan yang tumbuh dalam kondisi terang

mengindikasikan pertumbuhan ditentukan setidaknya oleh konsentrasi Pfr atau rasio Pfr/P

(symbol = ɸ). Satu indikasi paling awal diberikan oleh penelitian perlakuan manipulasi

“pengakhiran hari” (Downs et al, 1957). Beberapa varietas kacang hijau, matahari, dan

krangkong dipaparkan pada Fra tau FR yang disusul R diakhir fotoperiodisme 8 jam

menggunakan cahaya fluoresen putih yang dingin (Gambar 18.15). Cahaya merah diberikan

di akhir fotoperiodisme yang menunjukkan bahwa proporsi tinggi Pfr di awal periode gelap,

menghasilkan penghambatan kuat pada pemanjangan batang. Cahaya yang mereduksi tingkat

Pfr menyebabkan reduksi bersamaan dengan efek penghambatan. Dengan kata lain, taraf

pemanjangan internodus kedua ditentukan oleh proporsi Pfr yang ada di awal  periode gelap.

Control pemanjangan batang adalah R, FR reversible. Percobaan lain  dengan Synningia dan

Fuchsia telah menunjukkan ketergantungan serupa dalam pemanjangan batang pada kondisi

yang terdapat sedikit pfr pada akhir fotoperiodisme normal. 

Page 27: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.15 efek perlakuan pengakhiran hari dengan far-red (hijau) atau far-red, merah (abu-abu) pada panjang internodus Helianthus (A), Phaseoolus (B) danPharbitus (C). Perlakuan diberikan dengan durasi 5 menit di akhir 8 jam fotoperiodisme cahaya fluoresen putih. Panjang internodus diplotkan relative sebagai kontrol (putih) yang tidak mendapatkan perlakuan pengakhiran hari.

Percobaan seperti ini telah membantu memfokuskan perhatian terhadap perilaku

fitokrom pada tumbuhan hijau dan meskipun fitokrom memiliki peran signifikan dalam hal

keberhasilan strategi tumbuhan. Banayk perhatian telah difokuskan pada tumbuhan yang

tumbuh di bawah kanopi, sejak terjadi perubahan distribusi spectrum cahaya alami yang

dramatic. Radiasi dibawah kanopi diketahui kekurangan cahaya biru dan merah, yang

kebanyakan diserap oleh daun di atasnya. Sebaliknya, klorofil bersifat transparan pada

cahaya far-red; atenuasi far-red terbatas hampir semata-mata untuk dipantulkan. Efek

penutupan oleh kakopi dapat dideskripsikan dengan menukur rasio cahaya merah

terhadap far-red (R/FR, atau ζ; Gr. Zeta). Nilai ζ pada cahaya yang tidak terhalangi memiliki

rentangan 1,05 hingga 1,25. Nilai penghalangan pada kanopi bervariasi tergantung pada

vegetasi dan densitas kanopi. Beberapa nilai tercantum pada tabel 18.4. nilai ini berada dalam

rentangan dimana perubahan kecil ζ dapat menyebabkan perubaha  besar terhadap proporsi

(Gambar 18.16). Oleh sebab itu, fitokrom harus merupakan sebuah sensor yang sangat baik

dalam menentukan kualitas penghalangan cahaya.

Tabel 18.4 perkiraan hasil R/Fr (ζ) untuk cahaya terhalang kanopi

Kanopi R/Fr

Gandum

Jagung

0,5

0,20

Page 28: bahan tugas ekofistum

Oak woodland

Maple woodland

Spruce forest

Tropical rainforest

0,12-0,17

0,14-0,28

0,15-0,33

0,22-0,30

Gambar 18.16 hubungan anatra rasio R:Fr dan fotoekuilibrium fitokrom. Area yang diarsis mengindikasikan daerah hasil untuk ζ yang teramati

dibawah indikasi kondisi ekologis.

Terdapat berita baik bahwa tumbuhan memang dapat mendeteksi perbedaan karakter

antara ternaungi ataupun tidak. Cahaya ternaungi dapat ditiru di laboratorium atau ruang

pertumbuhan menggunakan pengganti cahaya fluoresen putih (ζ=2,28) dengan berbagai

jumlah cahaya far-red sepanjang fotoperiodismenya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

radiasi aktif fotosintesis (PAR) tetap konstan dari satu perlakuan cara hidup satu dan lainnya.

Perbedaan pada pertumbuhan dan morfogenesis disebabkan nilai fotoekuilibrium fitokrom

(ɸ), yang dapat diestimasi dari rasio R/FR yang terhitung untuk masing-masing cara hidup.

Ketika tumbuhan muda Chenopodium album ditumbuhkan dengan cara ini, tingkat

pemanjangan batang logaritmik ditemukan berhubungan dengan ɸ(Gambar 18.17). Respon

pada kualitas cahaya dapat diamati dalam 7 menit dengan penambahan cahaya FR pada

sumber fluoresen.

Page 29: bahan tugas ekofistum

 Gambar 18.17 fotomorfogenesis pada perkecambahan dalam keadaan gelap. (A-kiri) hubungan natara proporsi Pfr (ɸ) dan laju ekstensi batang Chenopodium album yang tumbuh selama 9 hari pada pengurangan cahaya secara simulasi. (B-kanan) perkecambahan Chenopodium album yang tumbuh selama 14 hari pada pengurangan cahaya secara simulasi. Pengurangan cahaya secara simulasi dilakukan dengan menyediakan penambahan cahaya far-red yang cukup untuk mendukung indikasi rasio R:FR (ζ).

Juga terdapat perubahan substansial dalam distribusi energy spectrum cahaya alami

sehari-hari (Holmes dan Smith, 1977; Hughes et al, 1984). Pada kedua keadaan (pagi dan

sore), ketika matahari berada pada garis horizon yang rendah, ada penurunan nilai ζ yang

relative signifikan dibandingkan dengan keseluruhan hari. Pada suatu penelitian, sebagai

contoh, nilai ζ saat sore berkurang sebanyak 14% dari 44% saat siang hari. (Holmes dan

Smith, 1977). Pada pengujian secara detail mengenai respon timun.yang diberi perlakuan

pengakhiran hari dengan cahaya merah atau far-red menunjukkan bahwa reaksi proporsi

fitokrom tetap pada Pfr di akhir fotoperiodisme yang berhubungan dengan perubahan drastis

dalam pola perkembangan. Penurunan nilai ɸ dari tinggi (ca 0,65 hingga 0,75) menjadi

rendah (ca 0,03) menyebabkan adanya penggemukan batang dan ekstensi tangkai daun,

mengurangi pelebaran daun dan percabangan, dan menurunkan kandungan klorofil.

Percobaan ini membuktikan hubungan sebab akibat antara fotoekuilibrium fitokrom dan

respon morfogenik. Mereka mendemonstrasikan bahwa tumbuhan memiliki kapasitas untuk

merespon perubahan dalam distribusi energy spectrum yang serupa dengan yang terjadi

secara alami di lingkungan. Kelihatannya bahwa fitokrom merupakan fotoreseptor yang

mendeteksi sinyal dan penghalangan dalam pengakhiran hari.

      Mekanisme Aksi Fitokrom

Fitokrom muncul untuk mengatur lebih dari satu tingkatan. Dokumentasi terbaik ini

berhubungan dengan fungsi membrane dalam regulasi transkripsi mRNA.

Mengartikan hubungan sebab akibat pada tingkat selular atau subselular merupakan

pekerjaan yang cukup berat. Pada keadaan dimana stimulus menginduksi efek yang tersusun

kompleks, jika pada kasusnya dengan fitokrom, tugas yang dilakukan adalah

mengidentifikasi aksi primer yang menjadi semakin menakutkan. Meskipun Pfr merupakan

pemula yang umum pada berbagai perkembangan, rantai metabolisme atau biokimia

berikutnya dapat bervariasi antar respon atau antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya

Page 30: bahan tugas ekofistum

atau bahkan pada umur perkembangan. Sebagai contoh, adakah aksi primer Pfr yang sama

dengan LFRs jika untuk HIRs atau fitokrom menginduksi respon serupa melalui jalan

berbeda?

Komplikasi tambahan dikenali oleh waktu respon yang bervariasi. Beberapa efek

dapat diamati dalam detik sementara yang lainnya berjalan dalam waktu jam atau hari.

Meskipun adanya kompleksitas ini, bagaimanapun, dua tema konsisten telah muncul. Satu

adalah banyaknya efek Pfr yang dapat dijelaskan sebagai perubahan sifar membrane selular.

Penelitian awal mengenai fitokrom yang menginduksi pergerakan pucuk daun muda pada

Mimosa dan Abizzinia dan percobaan Tanada yang mendemonstrasikan pengaturan

perubahan permukaan ujung akar dimana keduanya menunjukkan perubahan distribusi ion

yang cepat melalui membrane sel.  Memberikan gambaran peran membrane dalam

memediasi aksi pengaturan hormone, terkadang melalui pengontrolan kanal ion, mungkin

akan mengherankan jika fitokrom juga tidak memiliki pengaruh terhadap aktivitas

membrane.

Tema umum kedua adalah bahwa Pfr meregulasi ekspresi gen. memberikan diversitas

luas dalam perubahan perkembangan yang diinduksi fitokrom, diharapkan bahwa di beberapa

titik transkripsi informasi genetik baru harus ikut berperan. Awalnya diajukan oleh H. Mohr

pada pertengahan 1960an, hanya dengan perkembanaan teknik molekuler modern sehingga

hipotesis aktivasi gen dapat diuji. Antara 1993 dan 1997, mutasi telah diuji setidaknya 3 dari

5 gen Arabidopsis yang mengkode protein fitokrom (phyA, phyB, phyD) dan dua yang terlibat

dalam biosintesis kromofor (by1, by2) (lihat Chory, 1997). Pembagian efek mutan-mutan

tesebut pada fenomena mediasi fitokrom yang bervariasi akan menjadi langkah pertama yang

penting dalam mengelusidasi jalur sinyal transduksi fitokrom.

      Fitokrom dan Membran

Sejak kebanyakan fenomena singkat yang diinduksi fitokrom dapat dengan sangat

mudah diinterpretasikan sebagai efek pada fungsi membrane, pertanyaan pertama yang

disadari untuk diajukan apakah molekul fitokrom berhubungan dengan membrane pada sel.

Ada dua cara untuk menjawab pertanyaan ini. Cara pertama adalah dengan membuat fraksi

sel menggunakan spektrofotoeter dengan dua gelombang berbeda, untun mengetahui

fitokrom pada berbagai fraksi. Jika sfitokrom dilokalisasikan pada satu atau lebih system

membrane, diharapkan adanya aktivitas spesifik yang tinggi pada fraksi tersebut.

Menggunakan pendekatan ini, fitokrom telah dilaporkan berhubungan dengan setiap fraksi

setiap sel, termasuk plastid (membrane etioplas dan kloroplas), mitokondria, reticulum

endoplasma, nucleus, dan membrane plasma, dalam fraksi larutan.

Page 31: bahan tugas ekofistum

Hasil penelitian fraksinasi menjadi permasalahan. Sebagai contoh, kebanyakan

fitokrom yang terekstrak dari tumbuhan yang tumbuh pada kondisi gelap bersifat larut

sementara lebih dari setengah fitokrom dari tumbuhan yang diradiasi cahaya merah dapat

menjadi pellet dalam fraksi tersebut. Masih belum ada hubungan yang istimewa dengan

fraksi membrane-membran tersebut. Pada banyak kejadian, aktivitas spesifik fitokrom pada

fraksi tersebut kurang lebih sama dengan jumlah kotor yang dihomogenkan dari bahan fraksi

itu berasal. Hasil ini apat diharapkan jika ikatan fitokrom-organel secara sederhana

berhubungan dengan permukaan yang tidak spesifik karena disrupsi sel. Mereka juga

konsisten dengan keadaan hidropati fitokrom, yang merupakan protn terlarut. Di sisi lain,

settidaknya 75% fitokrom yang berhubungan dengan mitokondria dapat doperoleh melalui

enzim proteolitik yang mengindikasikan bahwa ada hubungan lebih mendalam dengan

membrane.

Distribusi fitokrom subselular telah dipelajari melalui immunocytochemistry. Pada

teknik ini, bahan difiksasi untuk diuji menggunakan cahaya atau mikroskop electron untuk

menyelidiki keterkaitan antibody dengan fitokrom. Antibodinya dilabeli dengan enzim

peroksidase atau penanda lain sehingga dimungkinkan pengamatan kompleks antigen-

antibodi secara langsung. Pada sel parenkima oat yang tumbuh dalam kondisi gelap, fitokrom

ditemukan tersebar di sitosol, meskipun beberapa pigmen juga ditemukan berhubungan

dnegan membrane plasma, reticulum endoplasma, dan selubung inti (membrane inti).

Sementara ada kesulitan teknis dalam pendekatan ini, tidak sedikit yang berasumsi  bahwa

lokalisasi fitokrom di dalam sel tidak terkena dampak oleh proses fiksasi, hasil ini secara

umum konsisten (tetap) dengan penelitian fraksionasi.

Satu hasil menarik dari penelitian immunocytodhemical adalah pengamatan distribusi

fitokrom yang terbagi berdasarkan bentuknya. Sel koleoptil yang tidak disinari Pr tersebar

tetapi Pfr tidak! Pembentukannya dalam hitungan detik melalui radiasi, Pfr menjadi terasing.

Sehingga, aggregate Pfr berada pada lokus yang berlainan di dalam sel. Kejadian serupa telah

diamati pada jaringan epikotil ercis. Percobaan untuk mengidentifikasi lokasi dan fungsi dari

fitokrom yang terasing ini masih belum berhasil – tidak berhubungan dengan membrane atau

organel lain yang bisa diidentifikasi. Pengasingan Pfr di dalam sel, tidak berhubungan dengan

meningkatnya peletabilitas (kemampuan membuat/ membentuk pellet) pada pengamatan Pfr

secara in vitro. Keduanya bersifat fotoreversibel dan merupakan perwujudan dari proses

biokimia yang sama.

Sejak organel yang diisolasi memiliki keterkaitan dengan fitokrom di dalam

selnya, hal ini merupakan bahan yang sederhana untuk menguji organel dalam fungsi

fotoreversibel R/FR. Penelitian tersebut telah berhasil dilakukan dengan mengisolasi

mitokondria, plastid, peroksisom dan inti sel. Mitokondria yang diisolasi telah

Page 32: bahan tugas ekofistum

didokumentasikan dan menunjukkan aktivitas reduksi fotoreversibel NADP, fluks kalsium,

dan ATPase. Fungsi ini telah didemonstrasikan menggunakan fitokrom endogen yang

diekstrak dari organel atau secara eksogen dengan penambahan fitokrom.

Pada keadaan seimbang, kejadian tersebut menunjukkan indikasi bahwa fitokrom

bukan merupakan protein membrane intrinsic. Secara luas bahwa kemungkinan perubahan

induksi pada sifat membrane, harus dilakukan dengan menghilangkan hubungan dengan

membrane atau rantai sinyal senyawa antaranya tetapi masih belum teridentifikasi.

      Fitokrom dan Aksi Gen

Harapan yang muncul dalam biologi adalah perubahan ekspresi gen yang berada jelas

di bawah control perkembangan. Keikutsertaan fitokrom yang tampak pada mayoritas

perkembangan seperti perkecambahan biji, de-etiolasi, dan konversi pucuk vegetative

menjadi pucuk berbunga secara alami menunjukkan bahwa ada keterlibatan perubahan

ekspresi gen. Hal ini menimbulkan harapan bahwa perubahan pada tingkatproduk gen

spesifik (misal protein) dan akhirnya pada tingkat mRNA merupakan persoalan pokok dalam

regulasi oleh fitokrom.

Regulasi fitokrom pada tingkat protein pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 oleh

A. Marcus, yang melaporkan bahwa reversible fitokrom merah dan far-red mengontrol

aktivitas gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase pada perkecambahan kacang hijau. Setelah itu,

daftar enzim dan protein lain yang aktivitasnya diatur oleh cahaya, pada banyak kasus adalah

fitokrom, mencapai lebih dari 60. Sembilan tahun kemudian, m. jaffe melaporkan bahwa

ketergantungan pada fitokrom meningkatkan kandungan RNA pada tunas kacang hijau

setelah 24 jam perlakuan penyinaran cahaya merah. Peneliti lain melaporkan bahwa

perubahan tingkat variasi RNAs atau efek penghambatan oleh cahaya akibat D-aktinomisin,

sebuah inhibitor transkripsi. Bagaimanapun, kejadian terkait fotoregulasi gen pada tumbuhan

tingkat tinggi menunggu berkembangnya teknologi untuk isolasi dan translasi mRNA

secara in vitro pada akhir tahun 1970an. Tahun 1985, E. M. Tobindan J. Silverthorne mampu

mendaftar sejumlah Sembilan protein yang teridentifikasi dan banyak protein yang belum

teridentifikasi yang gennya diekspresikan secara berbeda pada tumbuhan yang ditumbuhkan

dalam keadaan terang dan gelap. Tujuh dari gen tersebut diketahui diregulasi oleh fitokrom.

Menjadi sebuah keingintuan yang cukup besar mengingat bahwa kebanyakan gen

yang diregulasi fiitokrom merupakan gen nuclear yang mengode mRNAs protein kloroplas.

Dua telah diteliti secara ekstensif: sub-unit kecil ribulosa-1,5-bifosfat

karboksilase/oksigenase (Rubisko) dan penyerap cahaya – protein pengikat klorofil a/b

(LHCP). Rubisko merupakan enzim terlarut yang terdapat banyak pada kloroplas yang

mengkatalisis tahap karboksilase pada fotosintresis (Bab 10). Merupakan protein multimerik,

Page 33: bahan tugas ekofistum

yang terdiri dari delapan sub-unit besar (LSU) dan delapan sub-unit kecil yang identic. LSU

dikodekan oleh genom kloroplas dan disintesis di kloroplas. SSu yang dikodekan oleh gen

inti dan disintesis di sitoplasma sebagai precursor polipeptida. LHCP merupakan komponen

utama pada kompleks antenna yang mengumpulkan cahaya untuk fotosintesis (Bab 9).

Seperti SSU,  polipeptida apoprotein LHCP (juga dikenal sebagai protein pengikat klorofil

a/b) dikodekan oleh nucleus dan ditrasnpor ke kloroplas.

Penelitian awal menunjukkan bahwa cahaya menstimulasi peningkatan protein

Rubisko pada kecambah Barley. Menggunakan translasi poly(A) RNA secara in vitro yang

diisolasi dari duckweed (Lemna gibba), E. M. Tobin menunjukkan bahwa perubahan yang

terjadi merupakan akibat  peningkatan ketergantungan fitokrom pada tingkat Tobin di

Amerika dan K. Apel dan rekannya di Jerman mengenai protein pengikat klorofil a/b pada

Lemma dan Barley. Percobaan nuclear ini telah menunjukkan bahwa fitokrom meregulasi

gen pada tingkat protin maupun traskripsinya. Pada percobaan tersebut, inti sel diisolasi

kemudian diikuti dengan perlakuan penyinaran diinkubasi terkait munculnya precursor RNA

yang dialbeli radio aktif (32P uridin-trifosfat). Kondisi tersebut menunjukkan hanya

transkripsi yang diinisiasi pada isolasi sebelumnya akan menunjukkan label tersebut. Jumlah

RNA yang ditranskripsikan dari gen cDNA yang diketahui mengandung gen tersebut. Hasil

percobaan ini menunjukkan bahwa Pfr bertindak meningkatkan tingkat transkripsi dua gen

tersebut.

Tidak semua gen distimulasi oleh fitokrom. Setidaknya terdapat dua contoh gen

penting yang transkripsinya diregulasi secara negatif oleh fitokrom. Untuk gen ini Pfr

menyebabkan penurunan dalam transkripsi. Gen yang diregulasi secara negative

mengkodekan NADPH-protoklorofilida oksireduktase, enzim yang mengkatalisis reduksi

protoklorofil menajdi klorofil. Pada kejadian ini, tingkat mRNA yang dapat ditranslasi

menurun dalam 1 jam setelah disinari dnegan gelombang merah singkat dan tetap dalam

kadar rendah selama penyinaran kontinyu. Efek gelombang merah  bersifar reversible

dengan far-red. Penurunan mRNA secara bertahap menunjukkan penurunan aktivitas enzim

ini ketika terpapar cahaya.

Contoh kedua transkripsi negative adalah gen fitokrom itu sendiri (Colbert et al,

1983). Dalam waktu pencahayaan sinar merah yang singkat yakni 5 detik, menyebabkan

penurunan yang sangat mRNA yang dapat ditranslasi dnegan cepat pada kecambah yang

mengalami etiolasi. setelah periode lag selama 15 menit, tingkat mRNA menurun 50% dalam

waktu satu jam pertama dan lebih dari 95% dalam waktu 2 jam (Gambar 18.18a). Penurunan

mRNA pada ketika reversible far-red meskipun tingkat Pfr ditentukan oleh cahaya far-

red sendiri cukup untuk menginduksi kehilangan mRNA yang signifikan. Sehingga diketahui

Page 34: bahan tugas ekofistum

bahwa fitokrom melakukan autoregulasi transkripsi menggunakan mRNA-nya sendiri melalui

bentuk penghambatan umpan balik (Gambar 18.18b).

Gambar 18.18 penurunan fitokrom terinduksi pada mRNA fitokrom. (A) kinetic mRNA fitokrom pada perkecambahan dalam keadaan gelap dengan diberikan pencahayaan merah 5 detik yang dibandingkan dengan kehilangan Pfr dan keseluruhan fitokrom. (B) interpretasi skematis dari (A), menunjukkan umpan balik penghambata mRNA fitokrom oleh Pfr.

Dengan bantuan teknik molecular biologi modern, telah dibuktikan dengan jelas

bahwa fitokrom mengontrol ekspresi gen dan pengaruhnya hingga pada tingkat transkripsi.

Bagaimana Pfr meregulasi transkripsi gen masih belum jelas. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa Pfr mungkin mengaktifkan protein lain (mungkin second messenger)

yang berikatan pada sekuens DNA tertentu yang disebut elemen yang diregulasi cahaya

(LREs) (Gambar 18.19). LREs merupakan sekuens DNA pendek yang terletak pada daerah

promoter bagian downstream dari gen itu sendiri. Pengikatan terhadap protein regulatori pada

LRE menstimulasi transkripsi gen; transkripsi tidak akan berjalan jika tidak ada fitokrom

(lihat Mosses dan Chua, 1988). LREs telah diidentifikasi memiliki 2 gen – yang mengkode

sub-unit kecil Rubisko (rbcS) dan apoprotein LHCP (cab). Menarik untuk diperhatikan

bahwa rbcS LRE mungkin juga meregulasi gen lain yang berada dibawah kontrolnya. LRE

untuk gen rbcS akan menentukan sensitivitas cahaya pada gen reporter yang diinsersikan

pada kromosom di daerah LRE.

Page 35: bahan tugas ekofistum

Gambar 18.19 model skematis untuk regulasi fitokrom pada gen sub unit kecil Rubisko (rbcS). Pfr mengaktifkan protein regulator (RP) yang berpindah ke nucleus dan berikatan dengan elemen regulator cahaya (LRE). LREs terletak pada daerah downstream promoter yang tidak dikodekan (sepanjang akhir-5’) pada gen rbcS. LRE menstimulasi transkripsi gen dan menghasilkan mRNA yang dikeluarkan ke sitosol dimana terjadi translasi sub unit kecil (SSU) protein precursor secara langsung. Protein precursor SSU kemudian ditransporkan ke kloroplas, diproses, dan dikombinasikan dengan sub unit besar untuk membentuk Rubisko aktif.

Pada penelitian menarik lainnya, D. Ernst dan D. Oesterheldt (1984) melaporkan

bahwa terjadi peningkatan transkripsi secara in vitro ketika fitokrom ditambahkan untuk

mengisolasi initi rye. Pengamatan ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan dalam interaksi

secara langsung antara fitokrom dan nucleus, tanpa membutuhkan intervensi protein antara

atau second messenger.

Meskipun penemuan ini menarik, uraian aksi molekular fitokrom pada regulasi gen

hanyalah langkah awal menuju perjalanan yang panjang. Masih banyak yang harus dipelajari

terkait perkembangan biologi molecular. Tidak ada gen tunggal untuk ekspansi daun atau

pemanjangan batang. Hal ini dan perkembangan kompleks lainnya bahkan membutuhkan

masukan terkoordinasi mengenai banyak produk gen yang harus diekspresikan pada jaringan

dan waktu yang tepat. Hanya ketika kita mengerti kompleksitas interaksi spasial dan temporal

ini maka kita akan mulai memahami dan tertarik akan peran fitokrom sebenarnya dalam

mengatur respon tumbuhan pada radiasi lingkungan alami.

      Respon Cahaya Biru

Sebagai tambahan pada cahaya UV-A dan biru yang meregulasi HIRs pada deskripsi

di atas, ada respon-respon lain yang diaktifkan secara spesifik oleh cahaya UV-A atau biru

(lihat Senger, 1987).

Sensitifitas terhadap cahay biru dan UV-A dicirikan secara khusus oleh tumbuhan

tingkat rendah dan jamur, yang menunjukkan bahwa fotoreseptor cahaya biru mungkin

merupakan evolusioner yang lebih primitive. Hal ini telah ada pada tumbuhan tingkat tinggi

dalam mengontrol sejumlah respon tumbuhan tersebut termasuk fototropisme (termasuk juga

respon yang mencolok pada tumbuhan tingkat rendah dan jamur), pemanjangan batang,

pembukaan stomata, dan aktivasi flavoenzim.

Page 36: bahan tugas ekofistum

Dulu diargumentasikan bahwa, karena Pr dan Pfr menyerap cahay biru yang berbeda,

control respon seperti pemanjangan batang oleh cahaya biru mungkin juga dapat dijelaskan

melalui fitokrom. Bagaimanapun, seperti pada kasus respon energi yang tinggi, beberapa

bukti menunjuk pada fotoreseptor yang terpisah (berbeda). (1) pada beberapa

perkecambahan, cahaya merah dan biru dirasakan oleh organ yang berbeda sementara

sensitivitas organ lain menjadi hilang selama perkembangan tetapi sensitivitas terhadap

cahaya merah tidak. (2) ada juga perbedaan kinetic. Menggunakan transduser sensitive untuk

mengukur respon pertumbuhan yang cepat, Cosgrove (1981) telah menunjukkan bahwa

penghambatan cahaya biru pada pertumbuhan batang dapat diketahui dalam 60 detik

sementara cahaya respon merah tidak terjadi selama 15-90 menit. (3) pemanjangan dalam

pertumbuhan hipokotil dapat dihambat oleh keberlangsungan paparan cahaya biru yang

rendah dengan menggunakan background (latar belakang) tingkat paparan cahaya kuning

yang tinggi (ɸ=0,74) yang mengesampingkan pengaruh dari cahaya biru pada

photoequilibrium fitokrom (Thomas dan Dickinson, 1979).

Tabel 18.5 ko-aksi fitokrom dan sebuah reseptor cahaya biru dalam fotokontrol biosintesis antosianin pada perkecambahan milo (Surghum vulgare). Perlakuan dimulai pada hari kelima setelah penanaman. Kandungan antosianin diekspresikan dengan absorbansi pada 510 nm.

Perlakuan Kandungan antosianinn

27 hrs R

27 hrs Fr

3 hrs B + 24 hrs dark

3 hrs B + 5 min R + 24 hrs dark

3 hrs B + 5 min Fr + 24 hrs dark

3 hrs B + 5 min Fr + 5 min R + 24 hrs dark

0,0

0,0

0,19

0,19

0,05

0,19

Akhirnya, control biosintesis antosianin, sebuah cahaya biru yang dominan,

mengindikasikan sebuah ko-aksi antara reseptor biri dan fitokrom. Secara khusus, control

oleh fitokrom tidak menjadi begitu efektif sebelum diberi perlakuan dengan cahaya biru

Page 37: bahan tugas ekofistum

dalam waktu yang cukup lama (tabel 18.5). identitas fotooreseptor cahaya biru yang

berinteraksi dengan fitokrom masih belum diketahui. Dimungkinkan merupakan kriptokrom

flavoprotein (Bab 7) atau fotoreseptor UVA-biru yang terlibat dalam fototropisme (Bab 19).

      Respon UV-B

Dampak positif cahaya ultraviolet terhadap akumulasi antosianin telah diketahui sejak

pertengahan tahun 1930an. Kemudian, diketahui bahwa cahaya yang menembus dan disaring

kaca jendela, yang menyerap sinar ultraviolet, kurang efektif daripada sinar matahari yang

tidak disaring. Efek ini akhirnya dikarakterisasi oleh Wellman pada tahun 1971 ketika dia

menunjukkan bahwa biosintesis flavonoid pada kultur suspensi sel peterseli (Petroselinum

crispum) dan perkecambahan yang diinduksi oleh radiasi UV-B (280-320 nm) (Begss dkk,

1986). Efektivitas maksimum berada pada panjang gelombang 290-300 nm dengan sedikit

atau tidak ada pengaruh pada panjang gelombang 320 nm. Pada tahun 1986, Begss dkk

mendaftar sebelas spesies tumbuhan tingkat tinggi yang telah diberi perlakuan UV-B

menginduksi biosintesis antosianin dan flavonoid pada koleoptil, hipokotil, akar

perkecambahan, dan kultur sel.

Pada Sorgburn bicolor, spectrum aksi menunjukkan tiga  puncak yakni 290, 385, dan

650 nm. Aksi pada 385 dan 650 nm dapat dibalik (dikembalikan) setelah pemaparan pada

cahaya far-red, tetapi panjang gelombang 290 tidak bisa. Yatsuhashi dkk (1982) menandai

puncak 385 dan 650 sebagai fitokrom, tannpa puncak 290 karena merupakan reseptor UV-B.

pada peterseli terlihat bahwa hasil biosintesis flavonoid berasal dari tiga ko-aksi pigmen,

yakni fitokrom, resptor biru yang terpisah, dan resptor UV-B. System UV-B merupakan

prasyarat yang diperlukan dalam biosintesis flavonoid sejak reseptor biru ataupun fitookrom

efektif kecuali didahului dengan perlakuan cahaya UV-B.

Identitas reseptor UV-B tidak diketahui. Fitokrom telah dipercaya - terikat pada

molekul protein yang menyerap sinar UV-B – tetapi hasilseperti yang dijelaskan di atas

sependapat menentangnya. Pada family Leguminosae, sintesis flavonoid akibat induksi

ultraviolet dapat dibalik (dikembalikan) dengan cahaya biru melalui cara yang mirip dengan

fotoreaktivasi kerusakan ultraviolet pada mikroorganisme. Dalam hal ini bisa melibatkan

DNAnya sendiri sebagai fotoreseptor UV, tapi puncak aksi digeser pada panjang gelombang

yang lebih pendek daripada karakteristik aksi UVB normal. Identitas dari reseptor UVB

masih harus diselesaikan.

Page 38: bahan tugas ekofistum

Kanopi suatu vegetasi akan menahan dann mengabsorpsi sejumlah cahaya sehingga ini akan menentukan jumlah cahaya yang mampu menembus dan merupakan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dasar. Intensitas cahaya yang berlebihan dapat berperan sebagai faktor pembatas. Cahaya yang kuat sekali dapat merusak enzim akibat foto- oksidasi, ini menganggu metabolisme organisme terutama kemampuan di dalam mensisntesis protein.

Cahaya matahari langsung nampak menjadi berkurang nilainya pada sebagian besar di bawah kanopi.

Cahaya Optimal Bagi Tumbuhan

Proses pertumbuhan dari tumbuhan membutuhkan hasil fotosintesis yang melebihi kebutuhan

respirasi. Jadi kebutuhan minimum cahaya untuk proses pertumbuhan ini baru terpenuhi apabila

cahaya melebihi titik kompensasinya. Bagi umumnya tumbuhan intensitas cahaya optimum untuk

fotosintesis haruslah lebih kecil dari intensitas cahaya matahari penuh apabila ditinjau dari sudut

kebutuhan daun secara individual. Meskipun demikian bila suatu tumbuhan besar hidup pada

cahaya yang penuh sebagian besar dari dedaunannya tidak dapat menerima cukup cahaya

matahari untuk fotosintesis secara maksimal akibat tertutup dedaunan di permukaan kanopinya.

Dengan demikian cahaya matahari penuh akan menguntungkan bagi daun-daun di dalam kanopi

untuk mencapai efektifitas fotosintesis secara total bagi tumbuhan untuk mengimbangi

kekurangan dari daun-daun yang berada dalam cahaya supra-optimal. Intensitas cahaya optimum

bagi tumbuhan yang hidup di habitat alami janganlah diartikan betul-betul cahaya optimal untuk

difotosintesis. Pada umumnya cahaya matahari itu terlalu kuat atau terlalu lemah bagi organ-organ

fotosintesis. Optimum haruslah diartikan bahwa kombinasi tertentu dari faktor-faktor lingkungan

lainnya, ingat konsep holosinotik, akan memberikan pengaruh bersih dari kondisi cahaya dalam

suatu perioda tertentu lebih baik untuk proses fotosintesis dibandingkan dengan keadaan lainnya.

Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cahaya Kuat

Beberapa tumbuhan mempunyai karakteristik yang dianggap sebagai adaptasinya dalam

mereduksi kerusakan akibat cahaya yang terlalu kuat atau supra-optimal. Dedaunan yang

mendapat cahaya dengan intensitas yang tinggi kloroplast berbentuk cakram, posisinya

sedemikian rupa sehingga cahaya yang diterima hanya oleh dinding vertikalnya. Bahkan pada

beberapa jenis tertentu letak daun secara keseluruhan sering tidak berada dalam keadaan

horisontal, hal ini untuk menghindar dari arah cahaya yang tegak lurus pada permukaan daun dan

ini berarti mengurangi kuat cahaya yang masuk. Berkurangnya kadar klorofil pada intensitas

cahaya yang tinggi mengandung aspek yang menguntungkan, cahaya yang diserap atau

diabsorpsi akan mempertinggi energi ayng diubah menjadi panas akibat efisiensi ekologi yang

Page 39: bahan tugas ekofistum

rendah. Hal ini akan tidak saja menggenggui keseimbangan air tetapi juga akan mengganggu

keseimbangan fotosintesis dengan respirasi dalam tumbuhan.

Telah banyak dipelajari bahwa umumnya tumbuhan tropika intensitas cahaya yang diterima

mempunyai hubungan langsung dengan kadar anthocyanin. Pigmen ini yang biasanya terletak

pada lapisan permukaan dari sel berperan sebagai pemantul cahaya sehingga menghambat atau

mengurangi penembusan cahaya ke jaringan yang lebih dalam. Pigmen-pigmen yang berwarna

merah ini akan memantulkan terutama cahaya merah yang berkadar panas. Dengan

dipantulkannya cahaya merah ini maka akan mereduksi kemungkinan kerusakan-kerusakan sel

sebagai akibat pemanasan. Ternyata suhu di bawah lapisan berwarna merah dari suatu buah

mempunyai suhu lebih rendah jika dibandingkan dengan bagian lainnya yang berwarna hijau.

Beberapa ganggang yang bebas bergerak akan menghindar dari cahaya yang terlalu kuat dengan

jalan pergerakan secara vertikal, bermigrasi ke kedalaman air.

1. LAPORAN HASIL KEGIATAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN FISIOLOGI PENGAMATAN STRUKTUR ANATOMI (MESOFIL) DAUN RUMPUT GAJAH (Panicum maximum) DI TEMPAT NAUNGAN DAN TIDAK TERNAUNGI DI SUSUN OLEH : KELOMPOK II JUMIATI RENI ASMARANY SYAWALINA FITRIA P2BA11034 P2BA11051 P2BA11053 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 PENGAMATAN STRUKTUR ANATOMI (MESOFIL) DAUN RUMPUT GAJAH (Panicum maximum) DI TEMPAT NAUNGAN DAN TIDAK TERNAUNGI

2. I. I.1. Latar Belakang I.1.1. PENDAHULUAN Fungsi dan Struktur Daun Daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau (mengandung klorofil) dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari untuk fotosintesis. Daun adalah organ terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena merupakan organisme autotrof obligat, sehinga harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Terganggunya proses penangkapan cahaya matahari akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Gardner et al., 1991). Daun mempunyai bentuk yang sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstrimnya bisa meruncing panjang. Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri (misalnya pada kaktus), sehingga daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air. Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil dalam fotosintesis. Sebenarnya daun juga memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan

3. klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah (dapat dilihat dengan jelas pada daun yang gugur). Daun mempunyai beberpa fungsi, yaitu sebagai berikut : Tempat terjadinya fotosintesis. pada tumbuhan dikotil, terjadinya fotosintesis di jaringan parenkim palisade. sedangkan pada tumbuhan monokotil, fotosintesis terjadi pada jaringan spons. Sebagai organ pernapasan. Di daun terdapat stomata yang befungsi sebagai organ respirasi (lihat keterangan di bawah pada Anatomi Daun). Tempat terjadinya transpirasi. Tempat terjadinya gutasi. Alat perkembangbiakkan vegetatif. Misalnya pada tanaman cocor bebek (tunas daun). Daun mempunyai struktur anatomi sebagai berikut : i. Epidermis Epidermis pada daun merupakan lapisan sel hidup terluar. Jaringan ini terbagi menjadi epidermis atas dan epidermis bawah, berfungsi melindungi jaringan yang terdapat di bawahnya. ii. Jaringan mesofil Mesofil merupakan

Page 40: bahan tugas ekofistum

jaringan parenkimatis yang terdapat di antara epidermis yang berdiferensiasi membentuk jaringan fotosintetik yang banyak mengandung klorofil, yang berfungsi dalam proses pembuatan makanan. Mesofil disebut juga jaringan tiang. Mesofil terbagi atas : 1) Palisade/ jaringan tiang :

4. Merupakan sel memanjang berbentuk batang, tersusun dalam barisan, tegak lurus permukaan daun. Terdiri dari satu atau beberapa lapis sel yang mengandung kloroplas. terspesialisasi untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis. terdapat tepat di bawah epidermis, umumnya pada sisi adaksial daun dorsiventral/bifacial. Pada tumbuhan xerofit (hidup pada kondisi kering), palisade terdapat pada kedua sisi /permukaan daun- daun isolateral/ isobilateral. Bentuk dan susunan sel pada palisade memungkinkan kloroplas terlokalisasi pada posisi yang paling strategis untuk menyerap cahaya matahari secara maksimum. Peningkatan efisiensi fotosintesis juga ditentukan oleh adanya ruang antar sel pada mesofil, yang akan memfasilitasi pertukaran gas yang cepat. Area permukaan sel yang bebas dari kontak dengan sel lain pada sel-sel palisade juga merupakan faktor yang menentukan tingginya efisiensi fotosintesis pada jaringan ini. 2) Jaringan bunga karang Disebut juga jaringan spons karena lebih berongga bila dibandingkan dengan jaringan palisade. Bentuknya isodiametris atau memanjang sejajar permukaan daun. Terletak di bawah palisade Fungsi utama penyimpanan gula dan asam amino yang disintesis di lapisan palisade. Membantu proses pertukaran gas

5. Pada siang hari sel-sel bunga karang mengeluarkan O2 dan uap air ke lingkungan dan mengambil CO2 dari lingkungan iii. Berkas pembuluh angkut Terdiri dari xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis, pada tumbuhan dikotil keduanya dipisahkan oleh kambium. Pada akar, Xilem berfungsi mengangkut air dan mineral menuju daun. Pada batang, xilem berfungsi sebagai sponsor penegak tumbuhan, sedangkan floem berfungsi mentransfor hasil fotosintesis dari daun ke seluruh bagian tumbuhan iv. Stomata Stoma atau stomata berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O 2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO 2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah. Selain stoma, tumbuhan tingkat tinggi juga bernafas melalui lentisel yang terletak pada batang. I.1.2. Rumput Gajah Rumput Gajah (P. purpureum Schum.) adalah salah satu jenis hijauan unggul untuk makanan ternak karena berproduksi tinggi, kualitasnya baik, dan daya adaptasinya tinggi (Reksohadiprojo, 1985). Rumput gajah berasal dari Afrika tropika, kemudian menyebar dan diperkenalkan ke daerah daerah tropika di dunia, dan tumbuh alami di seluruh Asia Tenggara yang bercurah hujan melebihi 1.000 mm dan tidak ada musim panas yang panjang. Rumput ini dikembangkan secara terus-menerus dengan berbagai silangan sehingga menghasilkan banyak kultivar, terutama di Amerika, Philippine dan India (Whiteman et al,. 1974).

6. Rumput gajah merupakan keluarga rumput rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak pemamah biak (Ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen dengan cara membabat seluruh pohonnya lalu diberikan langsung (cut and carry) sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan hay (Siregar, 1970). Selain itu, rumput gajah juga bisa dimanfaatkan sebagai mulsa tanah yang baik. Di Indonesia sendiri, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak (Reksohadiprojo, 1985). Rumput ini secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang dapat mencapai 2-4 meter (bahkan mencapai 6-7 meter), dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas/buku. Tumbuh berbentuk rumpun dengan lebar rumpun hingga 1 meter. Pelepah daun gundul hingga berbulu pendek; helai daun bergaris dengan dasar yang lebar, ujungnya runcing (Hughes et al,. 1976). Gambar 1. Rumput gajah berusia 2 (dua) minggu Rumput gajah merupakan tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan fotoperiode kritis antara 13-12 jam. Namun kelangsungan

7. hidup serbuk sari sangat kurang sehingga menjadi penyebab utama dari penentuan biji yang lazimnya buruk (Whiteman et al,. 1974). Disamping itu, kecambahnya lemah dan lambat. Oleh karenanya rumput ini secara umum ditanam dan diperbanyak secara vegetatif. Bila ditanam

Page 41: bahan tugas ekofistum

pada kondisi yang baik, bibit vegetatif tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ketinggian sampai 2-3 meter dalam waktu 2 bulan (Hughes et al,. 1976). Rumput gajah ditanam pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap musim panas yang cukup tinggi dan dapat tumbuh dalam keadaan yang tidak seberapa dingin. Rumput ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada berbagai macam tanah meskipun hasilnya akan berbeda. Akan tetapi rumput ini tidak tahan hidup di daerah hujan yang terus menerus. Secara alamiah rumput ini dapat dijumpai terutama di sepanjang pinggiran hutan. Di Indonesia, produksi segar rumput Gajah jenis Hawaii berbulu mencapai 277 ton/ha/tahun (36 ton/ha/tahun bahan kering) (Reksohadiprojo, 1985). I.1.3. Cahaya dan Fotosintesis Fotosintesis terjadi pada semua bagian berwarna hijau pada tumbuhan karena memiliki kloroplas, tetapi tempat utama berlangsungnya fotosintesis adalah daun. Pigmen warna hijau yang terdapat pada kloroplas disebut dengan klorofil, dan dari zat inilah warna daun berasal. Klorofil menyerap energi cahaya yang menggerakkan sintesis molekul makanan dalam kloroplas untuk menghasilkan energi (Campbell, 2002). Selain klorofil tumbuhan juga membutuhkan cahaya untuk perkembangannya. Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan ( mampu tumbuh ) dalam kondisi cahaya yang terbatas atau sering disebut tanaman toleran dan

8. ada tanaman yang tidak mampu tumbuh dalam kondisi cahaya terbatas atau tanaman intoleran. Kedua kondisi cahaya tersebut memberikan respon yang berbeda-beda terhadap tanaman, baik secara anatomis maupun secara morfologis (Morais et al,. 2004). Tanaman yang tahan dalam kondisi cahaya terbatas secara umum mempunyai ciri morfologis yaitu daun lebar dan tipis, sedangkan pada tanaman yang intoleran akan mempunyai ciri morfologis daun kecil dan tebal. Kedua kondisi tersebut akan dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman apabila pemilihan jenis tidak sesuai dengan kondisi lahan, artinya tanaman yang toleran ketika ditanam diareal yang cukup cahaya justru akan mengalami pertumbuhan yang kurang baik, begitu juga dengan tanaman intolean apabila di tanam pada areal yang kondisi cahaya terbatas pertumbuhan akan mengalami ketidak normalan (Darmawan dan Baharsyah, 1983). Dengan demikian pemilihan jenis berdasarkan pada sifat dasar tanaman akan menjadi kunci penentu dalam keberhasilan pembuatan tanaman. Berikut ini adalah perbedaan Tanaman Toleran ( Shade leaf) Vs Intoleran ( Sun Leaf) menurut Silvika (2009) : 1. Tumbuhan cocok ternaungI menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka. 2. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. 3. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung lebih tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka pada intensitas cahaya yang sangat rendah. 4. Titik kompensasi cahaya untuk tumbuhan cocok ternaung lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. Terdapat empat macam penerima cahaya yang dikenal dalam mempengaruhi fotomorfogenesis pada tumbuhan. Pertama, fitokrom yaitu diketahui paling kuat menyerap cahaya merah dan juga mampu menyerap cahaya biru. Kedua adalah

9. kriptoksom, yaitu kelompok sejumlah pigmen yang serupa menyerap cahaya biru dan gelombang ultraviolet. Ketiga, penerima cahaya UV yaitu satu atau beberapa senyawa yang tidak dikenal yang menyerap radiasi ultraviolet antara kurang lebih 280-320 nm. Keempat ialah protoklorofilida, yaitu pigmen yang menyerap cahaya merah dan biru, bias tereduksi menjadi klorofil (Sasmitamiharja, 1990). Telah diketahui bahwa beberapa enzim fotosintetik memegang peranan yang sangat penting di dalam proses fotosintesis pada tanaman tingkat tinggi. Fotosintesis yang diregulasi oleh cahaya merupakan suatu fenomena yang kornpleks, berpusat pada aktivitas enzim ribulosa bifosfat karboksilasel oksigenase (Rubisco) yang rnerupakan enzim utama untuk fiksasi karbon. Enzim Rubisco telah menjadi subyek penting untuk fotosintesis diteliti karena fungsi kontrolnya yang tinggi terhadap pada berbagai kondisi cahaya (Gardner et al., 1992). Dalam kondisi naungan, penurunan aktivitas enzim fotosintetik Rubisco rnenyebabkan turunnya hasil biji, karena intensitas cahaya yang rendah rnenyebabkan rendahnya pembentukan 3fosfogliserat (3-PGA) (Dwijoseputro,1980). I.2. Tujuan 1. Mengetahui prosedur kerja pengamatan terhadap struktur dan anatomi tumbuhan, terutama daun yang

Page 42: bahan tugas ekofistum

memiliki khloroplas. 2. Mengetahui pengaruh cahaya terhadap struktur dan anatomi daun rumput gajah.

10. II. II.1. PROSEDUR KERJA Alat dan Bahan Alat-alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan praktikum ini adalah sebagai berikut : Peralatan : Mikroskop Kaca preparat Kaca objek (penutup) Pisau silet Pipet tetes Alat pengait Bahan –bahan : Daun rumput gajah dari tempat yang ternaungi Daun rumput gajah dari tempat yang tidak ternaungi akuades II.2. Waktu dan Tempat

11. Kegiatan praktikum dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2012 dan bertempat di laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. II.3. Cara Kerja Alat dan bahan disiapkan Daun rumput gajah dari tempat yang ada naungan dan tidak ada naungan (terkena cahaya matahari langsung) dipotong melintang setipis mungkin Dengan menggunakan alat pengait, daun diletakkan pada preparat yang sudah ditetesi aquabides sebanyak 1-2 tetes Tutup kaca preparat dengan objek glass (kaca objek), lalu letakkan di mikroskop dan amati struktur anatomi kedua sampel daun tersebut secara bergantian. Perhatikan susunan dan letak setiap macam jaringan yang menyusun organorgan tersebut Gambar dan tunjukkan bagian-bagian setiap organ secara lengkap dan jelas Pengamatan dilakukan dengan perbesaran awal 4 hingga 40

12. III. III.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Beradasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat ternaungi memiliki jumlah mesofil yang lebih sedikit

13. dibandingkan dengan daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat yang terkena cahaya matahari secara langsung. Kondisi tersebut menyebabkan daun rumput gajah pada tempat ternaungi mempunyai ukuran (ketebalan daun) yang lebih tipis dibandingkan dengan daun rumput gajah yang dipelihara pada tempat yang terkena cahaya matahari langsung (tidak ternaungi). Perbedaan ini secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut ini. III.2.

14. Pembahasan III.

15. 2.1. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Proses Perkembangan Daun. Proses fotosintesis tidak lepas dari peran cahaya matahari. Respon tanaman terhadap intensitas cahaya yang berbeda tergantung dari sifat adaptif tanaman tersebut. Respon terhadap intensitas cahaya tinggi dapat menguntungkan atau merugikan. Hal ini karena tanaman memiliki ambang batas terhadap intensitas cahaya yang harus diterima. Intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan rusaknya struktur kloroplas yang membantu proses metabolisme tanaman, sehingga menyebabkan produktifitas tanaman menurun (Salisbury dan Ross, l992). Tanaman yang tumbuh pada intensitas cahaya yang rendah sampai cukup, menunjukkan ukuran luas daun lebih besar namun ketebalannya lebih tipis. Menurut Fahn (l992), pertumbuhan awal daun terjadi karena meristem apikal dan marginal, yang keduanya mempunyai pola pembelahan. Pada tanaman dikotil, lapisan terluar meristem marginal membelah antiklinal dan tidak tergantung pada lapisan sel di bawahnya. Perluasan dalam permukaan daun berasosiasi dengan peningkatan jumlah dan ukuran kloroplas serta jumlah klorofil yang terdapat pada palisade dan spons parenkim. Susunan sel-sel jaringan palisade saling melekat, tetapi beberapa bagian terpisah sehingga udara dalam ruang antar sel tetap mencapai sisi panjang dengan kloroplas melekat tepi dinding. Hal ini terspesialisasi untuk efisiensi fotosintesis atau dimensi daerah permukaan bebas Disamping itu, adanya tulang-tulang daun kecil sangat berperan dalam penyebaran arus transpirasi melalui mesofil dan berperan sebagai titik awal penyerapan hasil fotosintesis dan translokasinya ke luar daun. Sel penengah (sel antara mesofil dan unsur tapis) dalam tulang daun minor sesuai dengan konsep bahwa sel mentransfer karbohidrat ke aliran (konduit) dalam floem memerlukan energi, untuk dipakai dalam pertumbuhan dan penyimpanan. Daun ternaungi lebih tampak berwarna hijau, merupakan adaptasi daun agar menyerap cahaya lebih efektif (Lakitan, 200l), sedangkan daun terkena sinar matahari langsung berwarna hijau keunguan. Pigmen ini diduga merupakan antosianin yang berfungsi melindungi klorofil dan protoklorofil dari kerusakannya akibat fotooksidasi. Jumlah daun lebih banyak, namun luasnya kecil-kecil. Pigmen ini juga berfungsi membantu klorofil dalam menangkap cahaya dalam proses

Page 43: bahan tugas ekofistum

fotosintesis. Menurut Inaba (1984), ketebalan sel epidermis atas dan bawah, jaringan palisade serta jaringan bunga karang daun berkurang dengan berkurangnya intensitas cahaya yang diterima tanaman. Jumlah lapisan sel palisade dan jaringan bunga karang juga berkurang dengan adanya naungan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Callan dan Kennedy (1995), yang menyatakan bahwa daun tanaman yang mendapat cahaya matahari penuh jumlah mesofilnya lebih banyak, sehingga ukuran daun lebih tebal dan kadang-kadang lebih berbulu dibandingkan dengan perlakuan naungan, karena daun mempunyai sel parenkim berbentuk batang dan sel epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daun tanaman yang dinaungi. Pengurangan intensitas cahaya yang diterima oleh daun mengakibatkan pengurangan tingkat ketebalan daun . Hal tersebut disebabkan perkembangan sel parenkim yang terganggu (Oguchi et al., 2005). Menurut Weaver dan Clements (1986), pada intensitas cahaya rendah tanaman hanya mampu mengembangkan satu lapisan jaringan palisade sedangkan pada intensitas cahaya tinggi tanaman mampu mengembangkan dua lapisan jaringan palisade. Jaringan palisade banyak mengandung kloroplas yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi fotosintesis (Bolhar dan Draxler, 1993). Ruang antar sel daun rumput gajah yang ditanam pada intensitas cahaya penuh lebih kecil

16. dibandingkan dengan ruang antar sel pada daun yang dinaungi. Menurut Morais et al. (2004), daun di bawah naungan mempunyai kutikula dan dinding sel yang tipis, jumlah stomata sedikit, volume mesofil lebih kecil, tetapi ruang antar selnya lebih besar. Menurut Gregoriou et al. (2007), tanaman yang beradaptasi baik terhadap naungan, apabila dipaparkan dibawah naungan akan mengalami pengurangan terhadap kepadatan stomata, trikoma, dan parenkim palisade lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang sensitif terhadap naungan. Menurut Salisbury dan Ross (1991), tanaman dikotil yang berkembang di bawah naungan mempunyai ukuran daun yang lebih tipis dibandingkan dengan daun yang berkembang pada kondisi tanpa naungan. Hal tersebut dikarenakan berkurangnya distribusi fotosintat ke masing-masing sel, sehingga sel penyusun helaian daun mengalami pengurangan ketebalan daun (Maghfiroh, 2006). Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan bergantung pada kemampuannya untuk melanjutkan fotosintesis dalarn kondisi defisit cahaya, yang dapat dicapai apabila respirasi juga efisien. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui : (i) mekanisme penghindaran (avoid- ance) yang berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien, serta (ii) mekanisrne toleran (toleransi) yang berkaitan dengan penurunan titik kornpensasi cahaya serta respirasi yang efisien. Berdasarkan hasil tersebut di atas, tampak jelas bahwa pengurangan ketebalan daun disebabkan oleh berkurangnya ketebalan sel epidermis atas dan bawah, serta jaringan palisade. III.2.2. Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Tinggi Energi cahaya yang diserap oleh tanaman dirubah ke dalam bentuk panas, untuk melindungi tanaman dari intensitas cahaya dan suhu tinggi. Dedaunan tanaman heliophytes yang tidak tepat menerima cahaya matahari, akan mengurangi jumlah cahaya langsung yang jatuh pada permukaannya. Tanggapan terhadap peningkatan intensitas cahaya berbeda antara tumbuhan yang cocok untuk kondisi ternaungi

17. dengan tumbuhan yang bisa tumbuh pada kondisi tidak ternaungi. Tumbuhan cocok ternaungi menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaungi mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah, laju fotosintesis lebih tinggi pada intensitas cahaya yang sangat rendah, titik kompensasi cahaya lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka (Lakitan, l993). Tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh dapat beradaptasi dari pengaruh radiasi tinggi dengan beberapa cara (Gardner et al., 1991), yaitu sebagai berikut : 1. Beberapa spesies membentuk arah tumbuh daun secara vertikal. 2. Membentuk bulu-bulu putih atau permukaaan yang mengkilap pada daun untuk memantulkan kembali banyak radiasi yang diterima. 3. Membentuk lapisan tipis pada daun untuk melindungi selnya. 4. Kecepatan transprasi yang tinggi pada tanaman heliophytes menjamin dedaunannya akan tetap dingin. 5. Adanya lapisan kutikula pada daun dan adanya jaringan gabus pada kulit kayu akan membantu mengisolasi tanaman dari radiasi matahari. Menurut Levitt (1980), terdapat dua mekanisme yang dapat menggambarkan toleransi tanaman terhadap suatu cekaman, yaitu : penghindaran dan toleransi. Mekanisme adaptasi terhadap kekurangan cahaya dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi penangkapan cahaya, berupa (1) Peningkatan penangkapan cahaya secara total melalui peningkatan luas daun, peningkatan

Page 44: bahan tugas ekofistum

proporsi luas daun per unit jaringan tanaman. Efisiensi maksimum dapat dicapai melalui peningkatan luas daun dan pengurangan penggunaan energi. Oleh karena itu, daun-daun yang ternaungi memiliki ketebalan daun yang tipis dan kadar bahan keringnya rendah, hasil

18. fotosintesis per unit bahan kering maksimum juga rendah. (2) Peningkatan persentase cahaya terserap untuk proses fotosintesis, melalui pengurangan proporsi cahaya yang dipantulkan dan ditransmisikan. Mekanisme tersebut digambarkan oleh peningkatan kandungan kloroplas dan pigmen-pigmen yang ada di dalamnya serta susunan grana, terhambatnya perkembangan kutikula, lapisan lilin, dan bulu daun. IV. KESIMPULAN Daun tanaman rumput gajah yang mendapat cahaya matahari penuh jumlah mesofilnya lebih banyak, sehingga ukuran daun lebih tebal dan lebih berbulu dibandingkan dengan perlakuan naungan, karena daun gajah tersebut mempunyai sel parenkim berbentuk batang dan sel epidermis lebih tebal dibandingkan dengan daun tanaman rumput gajah yang dipelihara pada naungan. Pengurangan intensitas cahaya yang diterima oleh daun mengakibatkan pengurangan tingkat daun. Hal tersebut disebabkan perkembangan sel parenkim yang terganggu. ketebalan

19. DAFTAR PUSTAKA Bolhar-Nordenkampf, H.R., G. Draxler. 1993. Functional leaf anatomy. In: D.O. Hall, J.M.O. Scurlock, H.R. Bolhar – Nordenkampf, R.C. Leegood, S.P. Long (eds.) Photosynthesis and Production in a Changing Environment. A Field and Laboratory Manual. Chapman & Hall. London. Glasgow. New York. Tokyo. Melbourne. Madras. p. 91-112. Callan, E. J., C. W. Kennedy. 1995. Intercropping stokes aster: Effect of shade on photosynthesis and plant morphology. Crop Sci. 35: 1110-1115. Campbell, N. A. 2002. Biologi Jilid I. Erlangga. Jakarta. Darmawan dan Baharsyah. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. PT Suryani Utama. Semarang. Dwijoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta. Gardner, P. F., Pearce, R. B. and Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

20. Gregoriou, K., K. Pontikis, S. Vemmos. 2007. Effects of reduced irradiance on leaf morphology, photosynthetic capacity, and fruit yield in olive (Olea europaea L.). Photosynthica 45(2) : 172-181. Hughes, HD., Heath, ME., Metcafe, DS. 1976. Forages The Science of Grassland Agriculture. The Lowa State University Press. USA. Inaba, K. 1984. Effect of shading on leaf anatomy in Konjak plants (Amorphophallus konjac). Japanese J. Crop Sci. 53(3): 243-248. Lakitan, Benyamin. l993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lakitan, Benyamin. 2001. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Vol. II. Academic Press, Inc. (London) LTD. Maghfiroh, L. 2006. Identifikasi genotip kedelai (Glycine max L.) tahan naungan. (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Morais, H., M.E. Medri, C.J. Marur, P.H. Caramori, A. M. de Arrura Ribeiro, J.C. Gomes. 2004. Modifications on leaf anatomy of Coffea arabica caused by shade of pigeonpea (Cajanus cajan). Brazilian Archives of Biology and Technology. 47(6): 863-871. Oguchi, R., K. Hirokas, T. Hirose. 2005. Leaf anatomy as a constraint for photosynthetic acclimation: differential responses in leaf anatomy to increasing growth irradiance among three deciduous trees. Plant, Cell & Environment 28(7) : 916-927. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Sallisbury, F. B. And Ross, C. W. l992. Plant Physiologi. Wadsworth Publishing Company Belmont, California. Sasmitamiharjdo, D. Siregar. 1990. Dasar- dasar Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung Silvika. 2009. Cekaman Cahaya. http://silvika.atspace.com/acara3.htm. Diakses pada tanggal 23 Januari 2012.

21. Siregar, M.E. 1970. Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Hasil dan Mutu Rumput Gajah Varietas Hawaii. Lembaga Penelitian Pertanian Bogor. Bogor. Weaver, J.E., and F.E. Clements. 1986. Plant Ecology. 2nd Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Company, Ltd. New Delhi. Whiteman, PC., Humpreys, LR., Monteith, H., Howth, EH., Bryant, PM., Slater, JE. 1974. A Course Manual in Tropical Pasture Science. Australian Vice-Chancellor Committee Brisbance. Watson Ferguson & Co. Ltd.

Page 45: bahan tugas ekofistum

cahaya pada tumbuhanBAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh

makhluk hidup di dunia. Bagi manusia dan hewan cahaya matahari adalah

penerang dunia ini. Selain itu , bagi tumbuhan khususnya yang berklorofil cahaya

matahari sangat menentukan proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses dasar

pada tumbuhan untuk menghasilkan makanan. Makanan yang dihasilkan akan

menentukan ketersediaan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan

tumbuhan. Kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan

pertumbuhan, meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan.

Misalnya saja pada tanaman anggrek. Tanaman anggrek dalam istilah

ilmiahnya disebut Orchidaceae. Anggrek disukai oleh para penggemarnya karena

bunganya yang indah warna warni beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet,

ungu tua, merah cabai, coklat tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena

bunganya tahan lama, untuk anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan

5 bulan.

Di Indonesia yang beriklim tropis ini, mempunyai ekologi yang istimewa, dari

iklim hangat seperti dekat pantai, iklim sedng seperti dikaki gunung, dan iklim

sejuk diatas gunung. Dengan demikian, Indonesia dapat menanam segala jenis

angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub tropis.

Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga maka

kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum.

Page 46: bahan tugas ekofistum

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1.      Bagaimanakah pengaruh cahaya dalam proses fotosintesis?

1.2.2.      Bagaimanakah pengaruh cahaya matahari terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman anggrek?

1.2.3.      Bagaimanakah perbedaan pertumbuhan tanaman anggrek yang diberi naungan

dan tanpa naungan?

1.3. Tujuan

1.3.1.      Untuk mengetahui pengaruh cahaya dalam proses fotosintesis.

1.3.2.      Untuk mengetahui pengaruh cahaya matahari terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman anggrek.

1.3.3.      Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan tanaman anggrek yang diberi naungan

dan tanpa naungan.

1.4.  Manfaat

Manfaat yang kita ambil adalah kita dapat mengetahui pengaruh cahaya

matahari terhadap pertumbuhan tanaman.

Page 47: bahan tugas ekofistum

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A.  Proses Fotosintesis

Proses fotosintesis adalah proses pengolahan bahan dari luar tanamanseperti

air, CO2, nutrisi,  yang akan digunakan untuk kebutuhan hidup, memperbaiki

kerusakan sel, dan sebagai sumber energi serta untuk membentuk cadangan

makanan bagi tanaman.

Pada siang hari apabila mendung maka proses asimilasi akan berkurang.

Dan bila temperatur tinggi, maka tanaman akan kehilangan cadangan makanan,

karena proses disimilasi juga tinggi. Proses disimilasi adalah proses membongkar

dan menguraikan zat-zat cadangan makanan yang akan dijadikan energi panas atau

energi lainnya. Proses disimilasi akan terjadi lebih giat apabila temperatur

lingkungannya panas.

Sebaliknya bila cahaya cerah dan temperatur agak rendah, maka tanaman

akan terjadi pertumbuhan.

B.  Tanaman Anggrek

Tanaman anggrek dalam istilah ilmiahnya disebut Orchidaceae. Anggrek

disukai oleh para penggemarnya karena bunganya yang indah warna warni

beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet, ungu tua, merah cabai, coklat

tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena bunganya tahan lama, untuk

anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan 5 bulan.

Indonesia beriklim tropis, mempunyai ekologi yang istimewa, dari iklim

hangat seperti dekat pantai, iklim sedang seperti dikaki gunung, dan iklim sejuk

diatas gunung. Dengan demikian sebenarnya Indonesia dapat ,menanam segala

jenis angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub

tropis. Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga

maka kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anggrek yaitu faktor

makro dan faktor mikro.

Faktor makro meliputi:

Page 48: bahan tugas ekofistum

1.    Cahaya matahari

2.    Suhu udara

3.    Kelembaban

4.    Awan

5.    Angin

6.    O2 dan CO2

7.    Pencemaran udara

Faktor mikro (faktor edatif) yaitu media tumbuh yang meliputi:

1.    Unsur hara

2.    Tekstur

3.    Struktur media

4.    Komposisi larutan

5.    Komposisi udara media terutama O2 dn CO2

C.  Anggrek dan Kebutuhan Cahaya Matahari

Anggrek untuk hidupnya mutlak membutuhkan cahaya matahari. Kebutuhan

tanaman anggrek terhadp intensitas cahaya matahari berbeda-beda tergantung

pada jenisnya, ada yang membutuhkan cahaya matahari yang banyak, tetapi ada

pula jenis yang membutuhkan hanya sedikit. Menurut Simon & Schusters (19)

mengemukakan bahwa anggrek Dendrobium memerlukan cahaya matahari penuh

(full sun) sedang Cattleya labiata, Cymbidium sp., Cypridium calceolus, dan

Phalaenopsis sp memerlukan cahaya matahari sebagian di naungi (semishade).

Menurut S.M. latif (1960) mengemukakan bahwa untuk anggrek Arachnis

(anggrek laba-laba = kalajengking) dapat tumbuh di tanah dan dalam panas

matahari langsung (full sun), untuk di pegunungan tinggi hidupnya cukup baik asal

mendapatkan panas matahari. Anggrek Dendrobium hampir semuanya

menghendaki udara yang panas dan mendapatkan panas pada siang hari. Anggrek

Paphiopedilum habitat aslinya tumbuh berada terlindungi di bawah pohon. Anggrek

Phalaenopsis semua jenisnya menyukai terang. Dan anggrek Vanda ditanam pada

tempat panas.

Menurut Yos Sutiyono (19) mengemukakan bahwa anggrek Cattleya,

Oncidium, Vanda pada umumnya hidup ditempat yang ternaungi. Sebaiknya

anggrek Vanda terete (Vanda pensil), Arachnis, Aranda, Renanthera, Renanthanda,

dan Aeridachnis memerlukan cahaya matahari dalam jumlah yang lebih banyak.

Menurut Sugeng Sri Lestari (1985) mengemukakan bahwa anggrek

Phalaenopsis membutuhkan banyak sinar matahari tetapi memerlukan juga peredah

yang agak lembab, terutama ia hanya memerlukan sedikit saja sinar yang secara

langsung mengenainya. Anggrek Cattleya menyukai sinar matahari yang cerah,

tetapi tidak dapat menerima sepenuhnya sinar matahari, maksimum 60 % dapat

menerima sinar matahari pada tanaman dewasa. Dan anggrek Vanda teres ditanam

ditanah pada tempat yang terkena sinar matahari penuh dan juga tahan sengatan

matahari.

Page 49: bahan tugas ekofistum

Menurut Susiani Purbaningsih (1988) mengemukakan bahwa anggrek

komunitas pot (pembibitan) tidak terkena cahaya matahari secara langsung dan

kebutuhannya berkisar antara 800-1.500 f.c. Menurut Moeso Suryowinoto (1988)

mengemukakan bahwa kebutuhan jenis anggrek terhadap sinar matahari berbeda-

beda tergantung jenisnya:

Jenis anggrek menurut intensitas cahaya:

a.    Paphiopedilum 10 – 15 %

b.    Aerides 15 – 30 %

c.    Vanda 20 - 30 %

d.   Phalaenopsis 10 – 40 %

e.    Cattlleya 20 – 40 %

f.     Dendrobium 50 – 65 %

g.    Oncidium 60 - 75 %

Secara garis besar dibedakan kreteria penyinaran cahaya matahari kedalam

empat kelompok:

1.    Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang /

peneduh, ini ada di daerah tropis.

2.    Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau berupa

tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup. Peneduh yang

berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tips seperti :

Flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain.

3.    Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh

menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %. Biasanya

digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai

tirai bambu.

4.    Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh

tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi / pemancaran diffuse. Disini intesitas

cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.

Berdasarkan ekologinya terhadap penerimmaan cahaya, tanaman

diklasifikasikan sebagai berikut:

1.    Heliofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik jika kena cahaya matahari penuh.

2.    Skiofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik di intensitas cahaya yang lebih rendah.

Tanaman anggrek termasuk golongan heliofit sekaligus skioit tergantung

jenis anggreknya. Skiofit berbeda dengan helioffit dalam kemampuannya untuk

menambah kadar klorofil pada intensitas cahaya yang rendah. Skiofit kemungkinan

tidak dapat membentuk klorofil dengan cepat, jika tanaman tersebut terkena

cahaya matahari penuh. Cahaya yang terus menerus akan merusak klorofil

sehingga akan menghalangi fotosistesis.

Page 50: bahan tugas ekofistum
Page 51: bahan tugas ekofistum

BAB 3

PEMBAHASAN

1.    Pengaruh cahaya dalam Proses Fotosintesis

Dalam proses fotosintesis, cahaya berpengaruh melalui intensitas, kualitas

dan lamanya penyinaran, tetapi yang terpenting adalah intensitasnya. Intensitas

cahaya berpengaruh terhadap pembesaran dan differensiasi sel. Sehubungan

dengan laju fotosintesis, intensitas cahaya yang semakin tinggi mengakibatkan lalu

fotosisntesis semakin tidak bertambah lagi walaupun intensitas cahaya terus

bertambah. Batas ini disebut titik saturasi cahaya atau titik jenuh cahaya (ligh

saturation point). Pada keadaan ini, cahaya bukan sebagai sumber energi maupun

sebagai bentuk, tetapi cahaya mengakibatkan temperatur daun meningkat, sebagai

akibat menutupnya stomata, sehingga sebagaian klorofil menjadi pecah dan rusak

(fotodestruktif).

Pada intensitas cahaya yang semakin menurun sampai batas tertentu jumlah

O2 yang dikeluarkan oleh proses fotosintesis sama dengan jumlah O2yang

diperlukan oleh proses respirasi. Batas ini disebut titik kompensasi cahaya (light

compensation point). Oleh karena itu setiap jenis tanaman mempunyai batas titik

kompensasi cahaya dan titik saturasi cahaya yang tidak sama. Tanaman yang

menerima cahaya diatas intensitas cahaya yang optimal daunnya menunjukkan

lebih tebal dengan jumlah klorofil lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat

Kramer dan Kozlowneski (1979) bahwa kandungan klorofil tanaman di bawah

naungan lebih besar per satuan berat kering dibandingkan dengan tanaman yang

terbuka, mampunyai daun yang lebih tebal, sehingga volumenya lebih besar per

satuan luas.

2.    Pengaruh Cahaya Matahari Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan

Tanaman Anggrek

Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa

adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada. Bagi pertumbuhan tanaman

ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan

intensitasnya. Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi

tanaman. Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang

tinggi menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih

sempurna, internodianya lebih pendek, daun lebih tebal, tetapi ukurannya lebih

kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung.

Beberapa efek dari cahaya matahari yang penuh (yang melebihi) kebutuhan

optimum dapat menyebabkan layu, fotosistesis lambat, laju respirasi meningkat

tetapi cenderung mempertinggi daya tahan tanaman. Intensitas cahaya yang tinggi

di daerah tropis tidak seluruhnya dapat digunakan oleh tanaman. Energi cahaya

matahari yang digunakan oleh tanaman dalam proses fotosintesis berkisar antar 0,5

– 2,0 % dari jumlah total energi yang tersedia. Sehingga hasil fotosintesis

Page 52: bahan tugas ekofistum

berkurang apabila intensitas cahaya kurang dari batas optimum yang dibutuhkan

oleh tanaman, yang tergantung pada jenis tanaman. Hal ini juga berlaku terhadap

jenis-jenis anggrek.

Bila cahaya matahari kurang, karena tanaman anggrek berada dalam

keadaan terlalu teduh, maka proses fotosintesis akan berkurang, sehingga hidrat

arang sebagai hasil proses tersebut juga kurang jumlahnya. Bila tanaman kurang

dapat menghasilkan hidrat arang maka energipun hanya dihasilkan sedikit saja,

sedangkan energi perlu untuk akar menyerap air berikut zat hara dan mendorong

ke bagian tanaman lainnya.

Dalam keteduhan, sel dibentuk oleh tanaman anggrek adalah sel yang besar,

tetapi gembos, karena encernya protoplasma didalam sel tanamannya. Tanaman

akan panjang ruas-ruasnya (karena beretilasi) karena tanaman ingin mengejar

matahari dengan cepat, tanaman anggrek terlihat pucat, lemah. Tanaman akan

lebih mudah menguapkan air karena kutikula/lapisan lilin pada permukaan daun

sangat tipis.

Di dalam ruangan yang mempunyai intensitas cahaya sangat rendah,

pertumbuhan ruas (internodia) menjadi sangat lambat dan perkembangan daun

menjadi tertekan secara lemah dan pucat (etiolasi). Cahaya matahari dengan

assimilasinya akan menyebabkan hidrat arang pada suatu waktu mencapai nilai

ambang yang merupakan rangasan untuk tanaman anggrek berbunga. Dengan

keteduhan yang berlebihan, maka nilai ambang ini tidak akan tercapai, sehingga

bungapun tidak dihasilkan.

Disamping itu intensitas cahaya matahari mempengaruhi kualitas bunga.

Intensitas cahaya kurang warna bunganya tidak secerah bunga yang cukup cahaya

matahari. Tekstur / ketebalan bunga tidak seberapa sehingga bunga mudah sekali

layu dan cepat gugur. Pengurangan sinar dari suatu tanaman yang telah optimal

sinarnya, suhunya dan kelembabannya akan menyebabkan pengurangan

pertumbuhan akar dan tanaman menunjukkan gejala etiolasi. Kebutuhan cahaya

matahari dan temperatur berbeda untuk setiap jenis tanaman anggrek. Ada jenis

anggrek yang tidak tahan terhadap cahaya matahari langsung, misalnya Cattleya,

Dendrobium atau Phalaenopsis. Bila cahaya matahari kurang, daun tanaman

menjadi berwarna hijau tua, bunga tidak mau keluar, rentan terhadap serangan

hama dan penyakit, serta pertumbuhan tanaman kurang baik. Sedangkan bila

cahaya matahari berlebih, tanaman menjadi kekuning-kuningan, dan kadang-

kadang sampai terbakar. Terjadi pembongkaran cadangan makanan yang berlebih,

pertumbuhan terhambat, dan bila berlanjut tanaman akan mati.

Kebutuhan cahaya matahari (%) dan temperatur (OC) untuk beberapa jenis

tanaman anggrek (Tom Gunadi, 1979):

Jenis Anggrek % cahaya matahariTemperatur (OC)

Malam Siang

Cattleya 50 ~ 60 13 ~ 16 19 ~ 24

Dendrobium 50 ~ 60 15 ~ 16 25 ~ 27

Page 53: bahan tugas ekofistum

Oncidium 60 15 ~ 18 27

Paphiopedilum(daun hijau)

10 ~ 15 13 21 ~ 25

Paphiopedilum(daun lurik)

20 ~ 30 15 ~ 19 27

Phalaenopsis 15 ~ 30 19 27

Vanda (pensil) 100 21 28

Vanda (sabuk) 30 ~ 50 21 28

3.    Perbedaan Pertumbuhan Tanaman Anggrek yang Diberi Naungan dan

Tanpa Naungan

Tanaman anggrek yang menerima intensitas cahaya yang semakin tinggi,

jumlah daunnya semakin sedikit. Pertambahan jumlah daun maksimum dicapai

pada intensitas kira-kira 50 % terhadap cahaya penuh. Dan menunjukkan bahwa

jumlah klorofil daun mempunyai kecenderungan untuk menurun dengan menaiknya

intensitas cahaya. Jumlah klorofil daun erat hubungannya dengan proses

fotosintesis, sebab secara langsung akan mempengaruhi laju fotosintesiss. Laju

fotosintesis menunjukkan kenaikan dengan naiknya intensitas cahaya, tetapi laju

fotosintesis akan menurun setelah melewati titik saturasi cahaya.

Pengaturan cahaya matahari yang sesuai dengan kebutuhannya akan

membuat kehidupannya lebih baik, tumbuhan subur, warna daun hijau sehat,

berbunga pada waktunya, dan juga tidak mudah terserang hama dan penyakit.

Untuk mengatur kebutuhan cahaya matahari bisa digunakan naungan. Naungan

digunakan untuk menciptkan iklim mikro. Pemberian naungan akan mengurangi

radiasi yang diterima tanaman dan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan

unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan kelembaban udara di sekitar daerah

pertanaman.

Pengaruh yang nyata dari penggunaan naungan baru dapat terlihat pada

tanaman berbunga. Pemberian naungan 55% memberikan hasil yang terbaik pada

pertumbuhan / penambahan jumlah tangkai bunga per pot bila dibandingkan

dengan tanaman yang diberi naungan 65% dan 75%. Begitupun, untuk jumlah

kuntum bunga per tangkai, tanaman yang diberikan naungan 55% memberikan

hasil paling baik (paling banyak kuntum bunga per tangkai). Dengan kata lain,

untuk menumbuhkan bunga pada anggrek maka paling baik digunakan naungan

yang memberikan intensitas cahaya sebesar 55%.

Penggunaan naungan dalam budidaya anggrek sangat penting. Cahaya

matahari sangat penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis yang akan

menghasilkan energi untuk tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik. Oleh karena itu, bila kekurangan cahaya maka pertumbuhan akan terhambat

namun di sisi lain jika kelebihan cahaya maka akan mengakibatkan kerusakan pada

tanaman, seperti klorosis dengan gejala ujung tanaman mengering. Pemilihan

naungan yang tepat agar memberikan cahaya pada tingkat optimum sangat

diperlukan untuk menghasilkan anggrek yang berkualitas.

Page 54: bahan tugas ekofistum

Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami & buatan, akan berarti

mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan

mempengaruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman. Tanaman yang kurang

mendapatkan cahaya matahari akan mempunyai akar yang pendek. Cahaya

matahari penuh menghasilkan akar lebih panjang dan lebih bercabang. Tanaman

anggrek yang cukup sinar matahari perakaran akan berkembang lebih baik, jumlah

akar akan banyak, ukurannya besar dan banyak bercabang.

Page 55: bahan tugas ekofistum

BAB 4

KESIMPULAN

Setiap jenis anggrek membutuhkan intensitas cahaya matahari yang

berbeda-beda. Pertumbuhan tanaman anggrek yang optimal, salah satu faktornya

adalah apabila diberikan kebutuhan intensitas cahaya mahatari secara optimal.

Intensitas cahaya matahari yang melebihi kebutuhan optimal tanaman anggrek,

menyebabkan pertumbuhannya terhambat, ukuran daun lebih kecil, klorofil daun

akan menjadi rusak, kemudian daun menjadi kekuningan = klorosis, dan meningkat

daun menunjukkan gejala terbakar. Sedangkan intensitas cahaya matahari yang

lebih rendah dari kebutuhan optimal tanaman anggrek akan menunjukkan bahwa

daunnya tidak tebal, lebih hijau daunnya, peerakarannya berkurang, ruas-ruasnya

lebih panjang (gejala etiolasi), bunganya berukang dan warna bunganya tidak

cerah.

Naungan digunakan untuk mengatur kebutuhan cahaya matahari.

Pengaturan cahaya matahari yang sesuai dengan kebutuhannya akan membuat

kehidupannya lebih baik, tumbuhan subur, warna daun hijau sehat, berbunga pada

waktunya, dan juga tidak mudah terserang hama dan penyakit.

Page 56: bahan tugas ekofistum

DAFTAR PUSTAKA

Kimball JW. 1992. Biologi Jilid 1. Erlangga, Jakarta.

http://www.biologycorner.com/resources/photosynthesis-overview.gif

http://harikuyangcerah.blogspot.com/2008/12/bab-i-pendahuluan-1.html

http://cfs.nrcan.gc.ca/images/6240

IV. ADAPTASI TANAMAN TERHADAP INTENSITAS CAHAYA TINGGI

            Energi cahaya yang diserap oleh tanaman dirubah ke dalam bentuk panas, untuk melindungi tanaman dari intensitas cahaya dan suhu tinggi. Dedaunan tanaman heliophytes yang tidak tepat menerima cahaya matahari, akan mengurangi jumlah cahaya langsung yang jatuh pada permukaannya.         Tanggapan terhadap peningkatan intensitas cahaya berbeda antara tumbuhan yang cocok untuk kondisi ternaungi dengan tumbuhan yang bisa tumbuh pada kondisi tidak ternaungi. Tumbuhan cocok ternaungi menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada intensitas cahaya tinggi. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaungi mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya yang lebih rendah, laju fotosintesis lebih tinggi pada intensitas cahaya yang sangat rendah, titik kompensasi cahaya lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka. (Lakitan, l993).        Tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh dapat beradaptasi dari pengaruh radiasi tinggi dengan beberapa faktor (Gardner et al., 1991).

1. Beberapa spesies membentuk arah tumbuh daun secara vertikal.2. Membentuk bulu-bulu putih atau permukaaan yang mengkilap pada daun untuk memantulkan kembali        banyak radiasi yang diterima.3. Membentuk lapisan tipis pada daun untuk melindungi selnya.4. Kecepatan transprasi yang tinggi pada tanaman heliophytes menjamin dedaunannya akan tetap dingin.5. Adanya lapisan kutikula pada daun dan adanya jaringan gabus pada kulit kayu akan membantu       mengisolasi tanaman dari radiasi matahari.

DAFTAR PUSTAKA

Gardner, P. F., Pearce, R. B. and Mitchell, R. L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit                  Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 57: bahan tugas ekofistum

Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta.

Fitter, A. H. and Hay, R. K. M. l99l. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Diterjemahkan oleh Sri Andani dan             Purbayanti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haryanti, S. ..... Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam (Pogostemon cablin Benth.) pada           Tingkat Naungan yang Berbeda. Labarotorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan Jurusan            Biologi FMIPA UNDIP.

Hendalastuti, H. R., Hidayat, A. Dan Frianto, D. 2006. Pengaruh Naungan dan Pupuk Kandang Terhadap           Pertumbuhan Tanaman Serta Jumlah dan Mutu Daun Nilam. Draft tulisan ilmiah dikoreksi oleh dewan           redaksi Jurnal Hutan dan Konservasi Alam. Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Imran. 1994. Pengaruh Peubah Lingkungan Fisik Terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kandungan Minyak           Nilam. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Lakitan. l993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Nuryani, Y., Emmyzar. dan Wiratno. 2005. Budidaya Tanaman Nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan           Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Bogor.

Nuryani, Y. 2006. Karakteristik Empat Aksesi Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Buletin            Plasma Nutfah. Bogor.

Sallisbury, F. B. And Ross, C. W. l992. Plant Physiologi. Wadsworth Publishing Company Belmont,              California.

Sudaryani, T. dan Sugiharti, E. 1989. Budidaya dan Penyulingan Tanaman Nilam, Penebar Swadaya,               Jakarta.