bahan forensik

9
Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama, Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan dokter.1 Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan jenis kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang pasien yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien yang tidak sadarkan diri selama berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun sehingga keluarganya tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Baik itu dengan cara menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis yang berlebihan (over dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya. Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Euthanatos.” Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan Thanatos berarti mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa Euthanasia artinya mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Menurut kamus hukum, Euthanasia adalah menghilangkan nyawa tanpa rasa sakit untuk meringankan sakaratul maut seorang penderita yang tak ada kemungkinan sembuh lagi. Menurut pandangan dokter, Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan penguguran kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia). Euthanasia dalam Oxford English Dictionary

Upload: adela-brilian

Post on 18-Feb-2016

4 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jfkriuyhkhktigjb

TRANSCRIPT

Page 1: bahan forensik

Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama, Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan dokter.1 Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan jenis kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang pasien yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien yang tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga keluarganya tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Baik itu dengan cara menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis yang berlebihan (over dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya.

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Euthanatos.” Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan Thanatos berarti mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa Euthanasia artinya mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Menurut kamus hukum, Euthanasia adalah menghilangkan nyawa tanpa rasa sakit untuk meringankan sakaratul maut seorang penderita yang tak ada kemungkinan sembuh lagi. Menurut pandangan dokter, Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan penguguran kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia). Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi aparat penegak hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum positif mengatur persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua

Page 2: bahan forensik

belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan melihat konteks hukum positif di Indonesia maka tidak memungkinkan untuk melakukan euthanasia bahkan adanya larangan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu KUHP.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja untuk mempermudah atau meringankan kematian seseorang pasien yang tingkat kesembuhannya kecil agar tidak merasakan penderitaan yang berkepanjangan atau untuk memperpanjang hidupnya dan hal ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri. Akan tetapi menurut Dr. Richard Lamerton, mantan direktur St. Joseph’s Hospice Home Care Service, London, Inggris, istilah Euthanasia tersebut ditafsirkan pada abad ke-20 sebagai “pembunuhan belas kasihan” (mercy killing) yang berasal dari pembunuhan yang didasarkan hukum.2 Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :

1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

2) Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.

3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

4) Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

5) Demi kepentingan pasien dan keluarganya.3

1.Bajang Tukul, 2008, Perdebatan Etis atas Euthanasia (Perspektif Filsafat Moral), Yogyakarta, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 4

2.Soerjono Soekanto, 1990, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm. 44

3.Muh. Rofiq Nasihudin, Euthanasia Dalam Hukum Pidana, 8 September 2013, http://pendidikan-hukum.blogspot.com/2010/10/euthanasia-dalam-hukum-pidana_25.html, (11.28).

2.2 Jenis-Jenis Euthanasia

Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut pandangnya atau cara melihatnya.

Page 3: bahan forensik

a. Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya

Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :

1) Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat yang diberikan kepada pasien, kecuali obat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien. Berdasarkan kedua pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia pasif adalah tindakan mempercepat kematian pasien dengan cara menolak memberikan pertolongan seperti menghentikan atau mencabut segala pengobatan yang menunjang hidup si pasien. Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang sedang menjalani perawatan pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah satu tindakan medis yang dilakukan oleh petugas medis atau dokter demi kesembuhan pasien. Apabila petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal atau pasien menolak untuk diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara menghentikan pemberian obat-obatan bagi pasien, misalnya seperti memberhentikan alat bantu pernapasan (alat respirator) maka secara otomatis pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan euthanasia pasif.

2) Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter), bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian.

Euthanasia dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera mematikan pasien. Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk mengakhiri hidup pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.4

b. Ditinjau dari permintaan

Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut tidak mengalami

Page 4: bahan forensik

penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka Euthanasia dapat dibedakan menjadi :

1) Euthanasia voluntir

Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.5

Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono,6 terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :

1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.

2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.

3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).

4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.

2) Euthanasia involuntir

Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.5

Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono,6 terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :

1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.

2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.

3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).

Page 5: bahan forensik

4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.

2.4 Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran

Bartens8 menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut, Poerwadarminta menyimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan akhlak, yaitu pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap makhluk lain dan sesama manusia.9 James J. Spillane SJ10 mengungkapkan bahwa etika atau ethic memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku dalam bermasyarakat sehingga bisa menmbedakan apa yang baik dan apa yang buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.

Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang menjadi etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok profesi.11 Tujuan dari etika profesi ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi. Oleh karena itu, etika profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang menjalankan profesi tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kode Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.”

Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus

Page 6: bahan forensik

menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang dimaksud pada Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri.12 Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien yang ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas hidup dan tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya, dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien salah satunya adalah Euthanasia.

Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan Euthanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut Pasal 7d seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang pasien.

Menurut Frans13, beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan norma-norma etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia. Mengenai kasus euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode Etik Kedokteran Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah Hipocrates (460-377 SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah dokter, International Code of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960), Deklarasi Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi Sydney (1968) mengenai saat kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai pengguguran kandungan atas indikasi medik dan Deklarasi Tokyo (1975) mengenai penyiksaan.14