bab_iirev.doc

55
BAB II DASAR TEORI 2.1. Teori Penyulingan Minyak arsiri atau disebut juga minyak eteris adalah minyak yang terdiri dari campuran zat yang mudah menguap. Zat-zat yang terkandung dalam minyak arsiri mempunyai komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap zat yang mudah menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu, hal ini dipengaruhi oleh suhu. Untuk persenyawaan yang memiliki titik didih sangat tinggi pada umumnya tekanan uapnya sangat rendah. Intensitas suatu bau yang dihasilkan merupakan hasil sifat mudah menguap dari persenyawaan yang menghasilkan bau harum tersebut pada kondisi tertentu. Stephen Miall dalam bukunya yang berjudul “A New Dictionary of Chemistry” menyatakan bahwa, penyulingan dapat didefinisikan sebagai pemisahan suatu komponen-komponen

Upload: hendi-saputra

Post on 03-Jan-2016

29 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB_IIrev.doc

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Teori Penyulingan

Minyak arsiri atau disebut juga minyak eteris adalah minyak yang terdiri

dari campuran zat yang mudah menguap. Zat-zat yang terkandung dalam minyak

arsiri mempunyai komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap zat yang

mudah menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu, hal ini dipengaruhi

oleh suhu. Untuk persenyawaan yang memiliki titik didih sangat tinggi pada

umumnya tekanan uapnya sangat rendah. Intensitas suatu bau yang dihasilkan

merupakan hasil sifat mudah menguap dari persenyawaan yang menghasilkan bau

harum tersebut pada kondisi tertentu.

Stephen Miall dalam bukunya yang berjudul “A New Dictionary of

Chemistry” menyatakan bahwa, penyulingan dapat didefinisikan sebagai

pemisahan suatu komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau

lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Secara

umum ada dua macam sistem penyulingan campuran cairan, antara lain:

1. Penyulingan dari campuran cairan yang saling tidak melarut dan

membentuk dua fase. Penyulingan tersebut dilakukan untuk memurnikan

dan memisahkan minyak atsiri dengan cara penguapan. Penyulingan

dapat dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku dalam air

Page 2: BAB_IIrev.doc

mendidih pada suatu ketel penyuling. Selain itu dapat juga dilakukan

dengan memasukan bahan baku ke dalam ketel penyuling, kemudian uap

panas dialirkan masuk. Uap panas tersebut dihasilkan dari ketel uap atau

boiler yang letaknya terpisah.

2. Penyulingan dari campuran cairan yang suling melarut secara sempurna

dan hanya membentuk satu fase. Usaha tersebut dilakukan untuk

memurnikan dan memisahkan kandungan minyak yang terdapat di

dalam bahan tanpa menggunakan uap panas.

Sifat campuran satu fase dengan campuran dua fase dapat dibedakan

secara jelas jika suatu cairan menguap, terutama pada keadaan mendidih. Dalam

waktu singkat jumlah molekul yang menguap, akan sama dengan jumlah uap yang

berkondensasi dalam satuan waktu yang sama. Dengan kata lain jumlah zat

menguap sama dengan jumlah zat yang terkondensasi. Oleh karena itu

terbentuklah keseimbangan dinamis, sehingga jumlah molekul dalam keadaan uap

menjadi konstan. Jika ruangan terbuka, uap akan keluar dan digantikan dengan

molekul uap baru dalam jumlah sama dengan uap yang keluar.

Titik didih dapat didefinisikan sebagai “nilai suhu pada tekanan atmosfir

atau pada tekanan tertentu lainnya, dimana cairan akan berubah menjadi uap, atau

suhu pada saat tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap

yang berada disekitarnya” (Hackh’s Chemical Dictionary, 1944). Penyulingan

pada tekanan atmosfir mempunyai tekanan uap yang sama dengan tekanan air

raksa dalam kolom setinggi 760 mm². Berkurangnya tekanan pada ruangan di atas

Page 3: BAB_IIrev.doc

cairan akan menurunkan titik didih, dan sebaliknya peningkatan tekanan di atas

permukaan cairan akan menaikan titik didih cairan tersebut. Suatu cairan yang

terdiri dari beberapa komponen yang saling bercampur dengan titik didih yang

berbeda, pada umumnya tidak berada pada suatu nilai titik didih. Campuran cairan

tersebut mempunyai nilai kisaran titik didih tertentu. Dengan penguapan

komponen yang bertitik didih rendah, maka titik didih cairan yang tertinggal akan

meningkatkan secara bertahap dan akhirnya mendekati komponen yang bertitik

didih tertinggi.

Pada cairan dua fase dalam keadaan seimbang, jumlah molekul yang

terdapat dalam fase uap lebih besar daripada jumlah molekul uap cairan murni

pada suhu yang sama. Oleh karena itu, tekanan yang dihasilkan oleh campuran

uap akan lebih besar daripada tekanan yang dihasilkan oleh uap murni itu sendiri.

Pada penyulingan uap air atau uap mendidih (hydrodistillation), tekanan pada

ruang uap akan lebih konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfir atau

ditentukan oleh alat control yang dapat menaikkan atau menurunkan tekanan.

Hukum hidrodestilasi minyak atsiri atau zat-zat menguap adalah sebagai

berikut: “perbandingan antara berat dua komponen uap dan perbandingan berat

dua macam cairan dalam destilat (kondensat), merupakan perbandingan dari

tekanan uap parsial dikalikan dengan perbandingan berat molekulnya”. Hukum

hidrodestilasi jika dituliskan dengan rumus adalah:

(Guenther E, 122, 1987)

Page 4: BAB_IIrev.doc

Dimana : = berat air di dalam kondensat

= berat mimyak di dalam kondensat

= tekanan uap air pada suhu yang ditetapkan

= tekanan minyak pada suhu ketel

= berat molekul air (18)

= berat molekul minyak (dengan asumsi bahwa nilai ini

ditetapkan sebagai nilai rata-rata).

Tekanan uap parsial ialah tekanan uap dari masing-masing komponen

dalam campuran uap. Setiap sistem cairan dua fase, tekanan uap parsial sama

dengan tekanan uap masing-masing komponen.

2.2. Praktek Penyulingan

Pada bagian ini akan diuraikan tentang teori penyulingan dan teknik yang

digunakan dalam penyulingan minyak atsiri.

2.2.1. Perlakuan Terhadap Bahan

Untuk mendapatkan minyak atsiri, hendaklah dilakukan perlakuan

awal pada bahan olah yang akan disuling. Perajangan berguna untuk

membebaskan minyak atsiri yang terdapat di dalam jaringan tanaman. Selain

itu, cara penyimpanan bahan olah berperan penting sebelum melakukan

penyulingan.

Page 5: BAB_IIrev.doc

2.2.1.a. Perajangan

Proses penyulingan adalah proses pemisahan minyak atsiri dan

bahan tanaman aromatik. Penanganan ini antara lain penanganan bahan

yang bersifat padat (daun, batang, akar, dan sebagainya) dan persiapan

bahan. Minyak atsiri pada bahan dikelilingi oleh kelenjar minyak,

pembuluh-pembuluh, dan kantung minyak. Kecepatan minyak yang

terekstraksi ditentukan oleh kecepatan proses difusi. Uap akan lebih

mudah menembus jaringan minyak dan menguapkan minyak pada bahan

terutama pada daun dengan perajangan dibanding tanpa perajangan.

Tujuan perajangan adalah untuk menyiapkan bahan siap disuling

dan untuk memudahkan penguapan minyak dari bahan. Bahan yang telah

dirajang harus segera disuling. Jika tidak, kandungan minyak akan

berkurang atau terbuang karena penguapan di udara bebas. Ini disebabkan

karena di dalam bahan terdapat kandungan minyak bertitik didih rendah

dan mudah menguap.

Namun dalam proses perajangan terdapat kekurangan. Kekurangan

dari perajangan adalah ; pertama, jumlah rendaman minyak akan

berkurang, seimbang dengan penguapan di udara bebas yang terjadi

selama perajangan dan sesudahnya. Kedua, komposisi minyak akan

berubah dan akan mempengaruhi baunya. Hal ini terjadi karena minyak

atsiri terdiri dari campuran berbagai komponen minyak.

Page 6: BAB_IIrev.doc

Kehilangan senyawa mudah menguap jumlahnya lebih besar

daripada komponen bertitik didih tinggi dan komponen yang tidak dapat

menguap. Dalam bukunya yang berjudul “Theorie der Gewinnung der

atherischen Ole” Von Rochenberg (ilmuwan Belanda) menyatakan bahwa,

penyusutan berat akibat penguapan minyak adalah sekitar 0.5%. Bila

diinginkan kandungan minyak besar dan mutu minyak baik, maka bahan

yang telah dirajang harus segera dimasukkan ke dalam alat penyuling.

2.2.1.b. Penyimpanan Bahan Olah

Tempat penyimpanan bahan olah sebelum perajangan juga

mempengaruhi penyusutan kandungan minyak dalam bahan, namun

pengaruhnya tidak begitu besar seperti pada perajangan. Kehilangan

minyak atsiri dalam tanaman biasanya dipengaruhi oleh proses

pengeringan setelah panen. Beberapa macam bahan tanaman yang masih

segar dengan kadar air tinggi (misalnya mawar, tansi, akar kalamus) akan

kehilangan sebagian minyak atsiri selama pengeringan di udara.

Sedangkan pada beberapa jenis tanaman lainnya, besarnya minyak yang

hilang tidak begitu besar.

Jika bahan harus disimpan sebelum diproses, maka penyimpanan

dilakukan pada udara kering dan udara tidak disirkulasikan. Namun

penyimpanan dalam udara kering masih terdapat penyusutan minyak.

Penyusutan ini tergantung dari beberapa faktor yaitu: kondisi bahan,

metode penyimpanan dan lama penyimpanan, serta komposisi kimia

Page 7: BAB_IIrev.doc

minyak dalam bahan. Penyimpanan bahan olah dalam waktu lebih lama

membutuhkan suhu penyimpanan yang rendah dan ruangan yang

kelembabannya dapat diatur. Jika mungkin ruang penyimpanan dilengkapi

dengan air-conditioned. Kehilangan minyak dalam bahan dapat dihindari,

jika bahan diproses dengan segera.

2.2.2. Metode Umum Penyulingan

Dalam industri minyak atsiri dikenal 3 macam metode penyulingan.

Perbedaan pokok dari ketiga tipe penyulingan teletak pada perbedaan cara

penanganan bahan olahannya. Ketiga metode in antara lain;

a. Penyulingan dengan air (water distillation);

b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam diatillation);

c. Penyulingan dengan uap langsung (team distillaion).

2.2.2.a. Penyulingan Dengan Air

Pada metode ini bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air

mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara

sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air

dapat dipanaskan dengan cara ; panas langsung, mantel uap, pipa uap

melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap berlingkar terbuka atau

berlubang. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dan

air mendidih. Jenis bahan yang biasa disuling dengan metode ini biasanya

Page 8: BAB_IIrev.doc

berupa bubuk dan bunga, seperti bubuk buah badam, bunga mawar, dan

orange blossom. Bahan tersebut tidak dapat disuling dengan metode uap

langsung karena bahan tersebut akan melekat dan membentuk gumpalan besar

yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan. Gambar

2.2.2.a. di bawah merupakan contoh dari cara-cara pemanasan ;

(i) (ii) (iii)

Gambar 2.2.2.a. contoh pemanasan; (i) Pemanasan langsung(ii) Pemanasan dengan pipa uap(iii) Pemanasan dengan mantel uap

2.2.2.b. Penyulingan dengan Air dan uap

Pada metode penyulingan ini, bahan olah diletakan pada rak-rak atau

saringan berlubang atau bisa dinamakan dengan keranjang daun. Ketel suling

diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh di bawah saringan. Air dapat

dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap jenuh yang basah dan

bertekanan rendah. Selain itu pemanasannya dapat juga menggunakan panas

langsung seperti pada pemanasan air. Ciri khas dari metode ini adalah :

Page 9: BAB_IIrev.doc

a. Uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas;

b. Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan

atau mengenai air panas;

c. Bahan olah biasanya dari jenis; daun, akar, dan batang.

Gambar 2.2.2.b. Penyulingan Uap dan air

2.2.2.c.Penyulingan dengan Uap

Metode ketiga disebut dengan penyulingan uap atau penyulingan uap

langsung. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas

(superheat) pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Pembentukan uap yang

digunakan untuk memanasi bahan biasanya menggunakan peralatan tersendiri

yang disebut boiler. Tipe boiler pada penyuling uap dengan panas lanjut

(superheat) bisa menggunakan boiler lorong api, boiler pipa-pipa api (fire tube

boiler), boiler pipa-pipa air (water tube boiler). Uap dialirkan melalui pipa

Page 10: BAB_IIrev.doc

uap melingkar berpori yang terletak dibawah bahan, dan uap bergerak ke atas

melalui bahan yang terletak di atas saringan. Gambar 2.2.2.c merupakan

contoh peralatan penyulingan uap.

(i)

(ii)

Gambar 2.2.2.c.; (i) Industri penyulingan dengan uap(ii) Skema penyulingan uap dengan boiler lorong api

Page 11: BAB_IIrev.doc

2.3. Peralatan Minyak Atsiri

Alat penyuling minyak arsiri tipe air dan uap memiliki tiga bagian utama.

Tiga bagian utama yang merupakan peralatan dasar antara lain ;

1. ketel suling (retort)

2. pendingin (kondensor)

3. penampung minyak (receiver)

Selain peralatan utama, terdapat peralatan pendukung seperti ; ketel uap

(boiler), isolasi ketel, dan peralatan pendukung lainnya.

2.3.1. Ketel Suling (retort)

Ketel suling atau biasanya disebut tangki. Tangki berfungsi sebagai

tempat air dan atau uap untuk mengadakan kontak dengan bahan (daun). Di

dalam ketel suling terjadi penguapan minyak atsiri yang terkandung dalam

bahan. Tangki tersebut dilengkapi dengan penutup yang dapat dibuka dan

diapitkan pada bagian atas penampang ketel. Pada tutup ketel dipasang pipa

berbentuk seperti leher angsa (gooseneck). Pipa ini berguna untuk

mengalirkan uap ke kondensor.

Pada penyulingan air dan uap dipasang suatu saringan (grid) atau dasar

semu di antara air dan bahan olah. Selain memisahkan antara air dan bahan,

saringan bermanfaat untuk menjaga air yang mendidih tidak kontak dengan

bahan yang disuling. Leher angsa biasanya dipasang pada bagian tengah tutup

ketel, dan dihubungkan ke kondensor. Bagian vertikal pada leher angsa harus

Page 12: BAB_IIrev.doc

diisolasi dengan baik. Ini dimaksudkan untuk mengurangi panas yang terlepas

atau keluar akibat kondensasi. Pipa penghubung ini berdiameter paling kecil 4

inci dan jika diinginkan proses penyulingan yang lebih cepat, maka

diameternya harus lebih besar.

Semua sambungan pada ketel suling harus disolder dengan kuat,

karena setiap tempat yang bocor mengakibatkan hilangnya sebagian minyak

atsiri dan pemborosan bahan bakar. Supaya uap tidak menerobos keluar

melalui celah antara ketel suling dan penutup, sebaiknya antara ketel suling

dan penutup ditambahkan karet, kain, atau bahan lain yang dapat menghambat

keluarnya uap. Selain penambahan perapat pada ketel dan penutup, ketel

suling dapat dibuat dengan sistem “water seal”.

Gambar 2.3.1. “Hydraulicjoint” atau “Water seal” di antara ketel dan tutup ketel.

( Guenther E : 151, 1987 )

Page 13: BAB_IIrev.doc

2.3.2. Pendingin (condenser)

Kondensor merupakan suatu perlengkapan utama dalam penyulingan.

Ukuran dan bentuk kondensor dapat bermacam-macam. Kondensor berfungsi

untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair. Jumlah

panas yang dikeluarkan pada peristiwa kondensasi sebanding dengan panas

yang diperlukan untuk penguapan uap minyak dan uap air. Besarnya panas

yang dapat dibebaskan oleh uap sewaktu mengembun dapat dinyatakan

dengan rumus berikut;

q = U A ∆t (Holman J.P, 481, 1994)

Dimana : q = panas yang dibebaskan per satuan waktu.

U = konstanta pada kondisi operasi

A = luas areal yang dipakai untuk membebaskan panas (ft²)

∆t = perbedaan suhu antara uap panas dan medium pendingin

(air pendingin)

Faktor-faktor di atas tidak mengakibatkan perubahan nilai U. Faktor

yang mempengaruhi nilai U pada proses kondensasi adalah kecepatan aliran

air pendingin yang melewati permukaan kondensor, kecepatan aliran uap dan

jenis bahan kondensor. Gambar 2.3.2.a memperlihatkan tipe kondensor yang

sederhana.

Page 14: BAB_IIrev.doc

Gambar 2.3.2.a. Bagan kondensor kuno berbentuk zigzag

( Guenther E: 158, 1987 )

Air diisikan melalui tangki yang letaknya di bagian atas dan akan

mengalir melewati saluran pipa berlubang pada bagian dasarnya. Posisi miring

ke bawah dari tabung-tabung kondensor berfungsi untuk memperlancar aliran

kondensasi minyak dan air. Untuk mencegah tekanan tidak terlalu besar di

dalam tabung, maka diperlukan tabung pendingin yang besar, untuk

mengimbangi tekanan uap yang keluar dari ketel suling. Volume dan

kecepatan uap akan berkurang dalam proses pendinginnan sebagai akibat dari

kondensasi. Untuk mengatasi hal tersebut diameter pipa pada tipe kondensor

ini mengecil secara proporsional kearah ujung pipa. Hanya saja tipe kondensor

ini sekarang jarang digunakan, karena rumit dalam rancangan dan mempunyai

efisiensi yang rendah.

Page 15: BAB_IIrev.doc

Tipe kondensor dalam penyulingan yang lain adalah kondensor

berpilin (coil condenser) dan kondensor tubular. Kondensor yang paling

umum digunakan adalah kondensor berpilin. Pipa berpilin dimasukan ke

dalam tangki berisi air pendingin yang mengalir secara konstan. Untuk

menaikkan efisiensi pendinginan, arah aliran air pendingin berlawanan dengan

arah aliran uap air dan uap minyak. Untuk lebih efektif dalam pendinginan,

disisipkan 2 pipa berpilin pada tangki kondensor. Gambar 2.3.2.b menunjukan

kondensor dengan pipa berpilin.

Gambar 2.3.2.c adalah contoh gambar kondensor tubular. Jumlah dan

panjang pipa dalam tergantung dari jumlah uap yang dikondensasikan. Air

disirkulasikan di sekeliling pipa-pipa di dalam tabung. Tipe kondensor ini

lebih efisien dalam pendinginan disbanding kondensor berpilin. Nilai factor U

untuk kondensor tipe ini sekitar 200. Kondensor tubular dapat dipakai dalam

posisi vertikal maupun pada kemiringan tertentu. Pipa penghubung antara

ketel suling dan kondensor harus dengan perancangan yang matang, ini

berguna untuk menghindari tekanan balik yang terjadi dalam ketel suling. Air

pendingin untuk kondensor tersebut sebaiknya menggunakan air yang tidak

sadah (soft water), untuk mencegah pembentukan kerak pada dinding

timbang. Penimbunan kerak pada tabung akan mengurangi pertukaran panas.

Page 16: BAB_IIrev.doc

Gambar 2.3.2.b. Kondensor berpilin (coil condenser).2.3.2.c. Kondensor tubular.

Seperti ditulis pada buku Minyak Atsiri (Jilid I) karangan Ernest

Guenther, efisiensi maksimum kondensor tecapai jika kondensat telah cukup

dingin (pada suhu yang cukup rendah), akibat perpindahan panas ke dalam air

pendingin. Air pendingin keluar dari kondensor pada suhu yang mendekati

suhu penguapan, namun hal ini jarang terjadi. Kondensasi telah sempurna jika

suhu air pendingin yang mengalir ke luar kondensor adalah 80ºC (175ºF), dan

suhu destilat yang dihasilkan sekitar 25ºC – 30ºC (77ºF – 86ºF).

2.3.3. Penampung Minyak (receiver)

Alat ketiga yang penting pada perlengkapan penyulingan adalah alat

penampung kondensat (receiver), pemisah minyak (decanter). Alat ini

Page 17: BAB_IIrev.doc

berfungsi untuk memisahkan minyak dari air suling (condensed water).

Volume air suling selalu lebih besar dari jumlah minyak. Minyak atsiri dan air

suling tidak saling larut, karena perbedaan berat jenis. Jika bobot minyak lebih

dari 1, maka minyak akan berada pada dasar tabung pemisah. Dan sebaliknya,

jika bobot minyak kurang dari 1 minyak akan berada di permukaan tabung

atau terapung. Bentuk dari botol pemisah tergantung dari bobot jenis minyak

dan air. Botol pemisah ini dinamakan Botol Florentine.

Botol Florentine yang berukuran kecil terbuat dari gelas, sedang botol

dengan ukuran besar terbuat dari logam. Logam yang digunakan adalah;

timah, tembaga berlapis timah, alumuniun atau besi galvanized. Botol dari

timah hitam tidak dapat digunakan sebagai tabung pemisah minyak yang

mengandung asam lemak bebas. Asam lemak tersebut akan bereaksi dengan

timah hitam dan membentuk garam. Garam yang terbentuk akan

mengakibatkan keracunan jika termakan. Tabung pemisah yang terbuat dari

karet tidak dapat digunakan karena akan menimbulkan bau pada minyak arsiri.

Dibawah termasuk contoh-contoh Botol Florentine ;

Page 18: BAB_IIrev.doc

Gambar 2.3.3.a. Botol-botol Florentine

Gambar 2.3.3.b. Alat Pemisah Minyak yang Lebih Berat dan atau Lebih Ringan dari Air.

Page 19: BAB_IIrev.doc

2.3.4. Keranjang Daun

Pada peralatan penyulingan sederhana, pembersihan ketel suling dari

ampas bahan yang telah diolah akan susah. Bahan yang telah disuling menjadi

kering dan menempel pada dinding-dinding ketel. Jika masih ada bahan yang

masih basah atau mengandung minyak, minyak akan menempel dan akan

menimbulkan bau pada hasil suling selanjutnya. Untuk itu ketel suling harus

bersih dari bahan yang menempel maupun bau. Untuk mempermudah

pembersihan, sebaiknya dipasang keranjang daun atau rak. Keranjang daun

berfungsi sebagai tempat bahan yang akan diolah.

Di dalam ketel suling tipe air dan uap dipasang suatu saringan (grid)

atau dasar semu di atas dasar ketel suling, bisa disebut juga dengan nama

keranjang daun. Keranjang daun berfungsi sebagai tempat bahan suling, agar

air yang mendidih tidak kontak dengan bahan suling. Saringan sebagai

penyangga dan tempat bahan dalam ketel dapat terbuat dari jaring kawat yang

kasar, merupakan rak berlubang, atau terbuat dari kayu yang disusun sehingga

membentuk kisi-kisi.

Pada penyulingan bahan berupa biji, terutama biji yang hancur,

saringan tempat bahan perlu dilapisi dengan karung atau bahan lain yang

sesuai. Penggunaan karung berfungsi untuk menghindari jatuhnya partikel

bahan ke dasar ketel. Jika digunakan system penyulingan air dan uap, maka

saringan tersebut harus dipasang dengan jarak 2 ft diatas dasar ketel. Pada

Page 20: BAB_IIrev.doc

penyulingan uap langsung jarak saringan dari dasar ketel jaraknya harus lebih

jauh, untuk memudahkan penetrasi uap ke dalam bahan olah.

Jika bahan suling mempunyai berat lebih dari 200-300 lb, maka bahan

diletakan di atas saringan yang disusun secara bertingkat. Penyusunan rak

bertingkat ini bertujuan untuk menjaga agar distribusi uap merata dan

mengeluarkan ampas (sisa bahan hasil penyulingan). Bahan yang lebih kasar

dan lebih ringan diisikan pada saringan yang letaknya lebih tinggi.

Pemasangan keranjang daun dalam ketel bersifat tidak permanen, sehingga

dapat diangkat untuk mengganti atau mengisi bahan yang akan disuling. Jarak

antar saringan 2 – 3 atau 3 – 4 ft sesuai ukuran ketel. Gambar 2.3.4 dibawah

adalah contoh dari dua tipe ketel suling yang dilengkapi rak bertingkat.

Gambar 2.3.4. Ketel dengan rak bertingkat

Page 21: BAB_IIrev.doc

2.3.5. Isolasi Ketel

Panas di dalam ketel akan berkurang akibat terkondensasi dengan

udara luar yang lebih rendah suhunya. Ini disebabkan karena lapisan luar ketel

suling dan penutup kontak langsung dengan udara luar. Jika dibiarkan, bahan

menjadi lembab, partikel bahan akan menggumpal dan melekat. Penyulingan

akan lebih lama, dan menghasilkan randemen (yield) minyak yang rendah.

Maka untuk menanggulanginya ketel suling, saluran uap dan bagian-bagian

yang dipanaskan sebaiknya dilapisi dengan bahan isolasi.

Untuk ketel berukuran kecil, isolasi dapat dilakukan dengan

membungkus ketel dengan kulit kayu yang diikat dengan kawat. Ruang

antaranya dapat diisi dengan serbuk gabus atau serbuk gergaji. Isolasi yang

lebih baik terbuat dari asbestos dan magnesia.

2.3.6. Ketel Uap (boiler)

Ukuran ketel uap tergantung pada jumlah uap yang dibutuhkan. Ketel

uap biasanya digunakan pada penyulingan uap dan penyulingan air dan uap

dengan suhu diatas 100ºC, bahkan suhu uap mencapai superheat. Untuk

mengurangi bahaya yang bisa timbul karena digunakannya uap super panas,

ketel harus memiliki perlengkapan yang memadai. Selain kotak pemanas dan

tabung pemanas ketel uap harus dilengkapi dengan alat pengukur jumlah air

dan tekanan, katup pengaman pada tekanan tinggi, pompa atau injektor untuk

mensirkulasikan air, dan pipa-pipa yang dapat diamati secara manual.

Page 22: BAB_IIrev.doc

Ada dua macam ketel uap, yaitu ketel uap bertekanan tinggi (≥100 lb)

dan ketel uap bertekanan rendah (40 – 45 lb). Suhu uap jenuh merupakan

fungsi dari tekanan uap. Karena uap merupakan kelanjutan wujud dari air

mendidih (pada tekanan gauge = 0) dengan suhu 212ºF (100ºC), maka pada

tekanan 40 lb, ketel suling mempunyai suhu 287ºF (141,7ºC). Pada tekanan

100 lb, ketel suling suhunya sekitar 338ºF (170ºC). Uap bertekanan rendah

dan bersuhu rendah akan terkondensasi kembali menjadi air dan jatuh pada

tumpukan bahan. Tumpukan bahan yang terkena air akan menambah waktu

penguapan minyak. Peristiwa kondensasi dalam ketel suling akan berkurang,

pada uap yang bertekanan lebih tinggi dan bersuhu tinggi. Uap bertekanan

tinggi akan berpenetrasi ke dalam bahan secara lebih efektif dan akan

mempersingkat proses penyulingan.

Ketel uap bertekanan rendah menghasilkan tekanan yang kecil, tetapi

volume uap cukup besar. Dalam beberapa hal, dikehendaki uap bertekanan

rendah, sehingga minyak yang dihasilkan bersifat lebih larut dalam alkohol,

dan tidak mengandung resin. Ketel uap tersebut biasanya terbuat dari besi

tuang, dan corong asapnya terbuat dari logam yang digalvanisir. Biasanya

tekanan dalam ketel uap sekitar 30 – 100 lb. hal ini tergantung pada jumlah

uap yang dibutuhkan. Dalam ketel uap, suhu uap akan berkurang sehingga

sama dengan suhu alat penyuling, tanpa merubah tekanan. Uap yang masuk ke

dalam ketel suling dengan dorongan besar, akan mengakibatkan tekanan balik.

Kejadian ini mengakibatkan naiknya suhu ketel suling lebih dari 10ºF (5ºC) di

atas suhu 212ºF (100ºC).

Page 23: BAB_IIrev.doc

2.4. Laju Penyulingan

Laju penyulingan adalah nilai perbandingan antara jumlah air suling dan

waktu atau dengan kata lain jumlah air yang disuling per jam. Kecepatan ini harus

diatur sesuai dengan diameter alat dan volume antar ruang dari bahan atau derajad

perajangan. Proses ekstraksi tidak berlangsung dengan sempurna pada kecepatan

uap yang terlalu rendah. Laju uap akan berhenti pada bahan yang padat.

Sebaliknya, kecepatan uap yang terlalu tinggi akan memecahkan bahan dan

membentuk jalur uap (rat holes). Ini akan menghambat aliran uap di dalam

kondensor, karena partikel bahan masuk ke kondensor.

Untuk mengontrol laju penyulingan dilakukan dengan menampung dan

menimbang air suling yang mengalir dari kondensor. Jumlah air suling dihitung

dalam kg/jam/m².

2.5. Ketel Suling Penyulingan Minyak Atsiri

Proses pada ketel suling berkaitan erat dengan panas. Energi-energi kalor

dan besaran-besaran yang bekerja pada ketel suling peralatan penyulingan minyak

atsiri antara lain suhu dan perpindahan kalor.

2.5.1. Kalor

Kalor adalah suatu bentuk energi yang diterima oleh suatu benda yang

menyebabkan benda tersebut berubah suhu atau wujud bentuknya. Kalor

Page 24: BAB_IIrev.doc

berbeda dengan suhu. Kalor merupakan suatu kuantitas atau jumlah panas

baik yang diserap maupun dilepaskan oleh suatu benda.

Kalor merupakan asal kata dari caloric, ditemukan oleh ahli kimia

perancis yang bernama Antonnie laurent lavoiser (1743 - 1794). Kalor

memiliki satuan Kalori (kal) dan Kilokalori (Kkal). Dalam SI, satuan kalor

adalah joule. Satu kalori (kal) sama dengan kalor yang dibutuhkan untuk

menaikkan temperatur 1 gr air sebesar 1ºC (menaikan suhu dari 14,5ºC

menjadi 15,5ºC). Dalam sistem British, 1 Btu (British Thermal Unit) adalah

kalor untuk menaikkan temperatur 1 lb air dari 63 F menjadi 64 F. Jika satuan

kalor dikonversikan, akan menghasilkan;

1 kal = 4,186 J = 3,968 x 10-3 Btu

1 J = 0,2389 kal = 9,478 x 10-4 Btu

1 Btu = 1055 J = 252,0 kal.

Besar kecilnya kalor yang dibutuhkan suatu benda (zat) bergantung

pada 3 faktor antara lain; massa zat, jenis zat (kalor jenis), dan perubahan

suhu. Sehingga secara matematis dapat dirumuskan;

Q = m c ΔT

Dimana : m = massa (gr)

c = kalor jenis (kg/gºC)

∆T = (t1-t2) = Perubahan suhu (ºC)

Page 25: BAB_IIrev.doc

Dalam pembahasan kalor ada dua kosep yaitu kapasitas kalor (H) dan

kalor jenis (c). Kapasitas kalor (H) adalah banyaknya kalor yang diperlukan

untuk menaikkan suhu benda sebesar 1 derajat celcius.

H = Q/(t2-t1)

Kalor jenis adalah banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan

suhu 1 kg zat sebesar 1 derajat celcius. Alat yang digunakan untuk

menentukan besar kalor jenis adalah kalorimeter.

c = Q/m.(t2-t1)

Analisis grafik perubahan wujud pada es yang dipanaskan sampai

menjadi uap. Dalam grafik 2.5.1 dapat dilihat semua persamaan kalor yang

digunakan.

Gambar 2.5.1. grafik perubahan wujud

Keterangan :

Pada Q1 es mendapat kalor dan digunakan menaikkan suhu es, setelah

suhu sampai pada 0 C kalor yang diterima digunakan untuk melebur (Q2),

Page 26: BAB_IIrev.doc

setelah semua menjadi air barulah terjadi kenaikan suhu air (Q3), setelah

suhunya mencapai suhu 100 C maka kalor yang diterima digunakan untuk

berubah wujud menjadi uap (Q4), kemudian setelah berubah menjadi uap

semua maka akan kembali terjadi kenaikan suhu kembali (Q5).

2.5.2. Suhu

Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas, dingin suatu

benda. Alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer.

Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengukur suhu cenderung digunakan

indera peraba. Skala suhu yang digunakan di Indonesia secara umum ada 4

macam yaitu : Celcius, Fahrenheit, Kelvin, dan Reamur. Tetapi yang paling

umum dan sering digunakan adalah Celcius. Gambar 2.5.2 merupakan

perbandingan skala dari termometer ;

Page 27: BAB_IIrev.doc

Gambar 2.5.2 Perbandingan skala

Berikut ini adalah contoh mengubah dari skala celcius ke skala fahrenheit;

(2.5.2.a)

(2.5.2.b)

(2.5.2.c)

(2.5.2.d)

2.5.3. Asas Black

Penemu adalah Joseph Black (1720 - 1799) dari Inggris. Menurut Asas

Black apabila ada dua benda yang suhunya berbeda kemudian disatukan atau

dicampur maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bersuhu tinggi

menuju benda yang bersuhu rendah. Aliran ini akan berhenti sampai terjadi

keseimbangan termal (suhu kedua benda sama). Kalor akan dilepas benda

yang bersuhu tinggi, dan kalor diterima oleh benda bersuhu rendah. Bila

persamaan tersebut dijabarkan maka akan diperoleh :

Page 28: BAB_IIrev.doc

Q lepas = Q terima (2.5.3.a)

m1.c1.(t1 - ta) = m2.c2.(ta-t2) (2.5.3.b)

dimana ; Q = kalor

m1, c1, t1 = massa benda bersuhu tinggi, kalor jenis bersuhu tinggi, suhu

tinggi;

m2, c2, t2 = massa benda bersuhu rendah, kalor jenis bersuhu rendah, suhu

rendah;

ta = suhu lingkungan

Catatan yang harus selalu diingat jika menggunakan Asas Black adalah

pada benda yang bersuhu tinggi digunakan (t1-ta) dan untuk benda yang

bersuhu rendah digunakan (ta-t2).

2.5.4. Perpindahan Kalor

Kalor dapat merambat melalui tiga macam cara yaitu:

a. konduksi

b. konveksi

c. radiasi

2.5.4.a. Konduksi

Konduksi adalah perambatan kalor tanpa disertai perpindahan

bagian-bagian zat perantaranya. Konduksi biasanya terjadi pada benda

Page 29: BAB_IIrev.doc

padat. Proses perpindahan kalor secara konduksi bila dilihat secara atomik

merupakan pertukaran energi kinetik antar molekul (atom), dimana

partikel yang energinya rendah dapat meningkat dengan menumbuk

partikel dengan energi yang lebih tinggi.

T2 T1

Aliran kalor

A

L

Gambar 2.5.4.a. Aliran Kalor

Bila T2 dan T1 dipertahankan terus besarnya, maka kesetimbangan

termal tidak akan pernah tercapai. Dalam keadaan mantap/tunak (stedy

state), kalor yang mengalir persatuan waktu sebanding dengan luas

penampang A, sebanding dengan perbedaan temperatur T dan

berbanding terbalik dengan lebar bidang l.

(2.5.4.a)

Dimana : K = Konduktivitas termal (J/s.m.ºC)

A = Luas penampang (m²)

T = Suhu (ºC)

Page 30: BAB_IIrev.doc

H = jumlah kalor yang merambat per satuan waktu

L = panjang benda (m)

Gambar 2.5.4.a merupakan hubungan antara temperatur dan tebal bahan.

Gambar 2.5.4.a. Hubungan antara temperatur dan tebal untuk bahan – bahan dengan konduktivitas termal k yang berbeda

Tabel 2.5.4.a. Konduktivitas termal, k, dari beberapa material

Bahank

(W/m.Co)Bahan k (W/m.Co)

Aluminium 238 Asbestos 0,08

Tembaga 397 Concrete 0,8

Emas 314 Gelas 0,8

Besi 79,5 Karet 0,2

Timbal 34,7 air 0,6

Perak 427 kayu 0,08

udara 0,0234

Page 31: BAB_IIrev.doc

2.5.4.b. Konveksi

Konveksi adalah perambatan kalor yang disertai perpindahan

bagian-bagian zat, karena perbedaan massa jenis. Kalor ditransfer dari satu

tempat ke tempat yang lain dengan pergerakan molekul, zat atau materi.

Rumus mengenai konveksi dapat dilihat pada persamaan berikut;

H = k . A . DT (2.5.4.b)

Dimana; H = jumlah kalor yang merambat per satuan waktu

k = koefisien konveksi

DT = kenaikan suhu (ºK)

Perpindahan kalor konveksi memiliki dua cara pada perpindahan

panasnya yaitu; konveksi alami dan konveksi paksa. Gambar 2.5.4.b

menunjukan dua cara perpindahan panas konveksi. Selain itu, perpindahan

kalor konveksi mempunyai koefisien termal. Koefisien perpindahan kalor

konveksi dapat dilihat pada tabel 2.5.4.b.

Page 32: BAB_IIrev.doc

Gambar 2.5.4.b. Konveksi alam dan paksa

Keterangan :

Atas : lapis batas pada pelat vertical

Bawah : profil kecepatan untuk lapis batas laminar dan turbulen pada

aliran melalui pelat rata

Tabel 4.2 Koefesiensi perpindahan kalor konveksi, h

Page 33: BAB_IIrev.doc

2.5.4.c.Radiasi

Radiasi adalah perambatan kalor dengan pancaran berupa

gelombang-gelombang elektromagnetik. Pancaran kalor secara radiasi

mengikuti Hukum Stefan Boltzmann:

Gambar 2.5.4.c. Bagan pengaruh radiasi datang

Kecepatan sebuah benda meradiasikan energi/persamaan stefan-

Boltzmann;

W = e . s . T4

Dimana; W = intensitas/energi radiasi yang dipancarkan per satuan luas

per satuan waktu

s = konstanta Boltzman =5,672 x 10-8 watt/cm2.ºK4

e = emisivitas (o < e < 1) T = suhu mutlak (ºK)

e = koefisien pemancaran

T = suhu

Page 34: BAB_IIrev.doc

Tabel 2.5.4.c. Emisivitas bahan

Benda yang dipanaskan sampai pijar, selain memancarkan radiasi

kalor juga memancarkan energi radiasi dalam bentuk gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang 10-6 s/d 10-5 m. Untuk benda

ini berlaku hukum Pergeseran Wien, yaitu:

max . T = C

C = konstanta Wien = 2.9 x 10-3m ºK

Kesimpulan:

1. Semua benda (panas/dingin) memancarkan energi radiasi/kalor;

2. Semakin tinggi suhu benda. semakin besar radiasinya dan semakin

pendek panjang gelombangnya;

3. Koefisien emisivitas benda tergantung pada sifat

permukaannya.Benda hitam sempurna mempunyai nilai e = 1

merupakan pemancar dan penyerap kalor yang paling baik.

Page 35: BAB_IIrev.doc

2.5.5. Perpindahan Kalor Kondensasi Dan Didih

Dalam penyulingan terdapat fenomena kalor yang berkaitan dengan

perubahan fase fluida. Dua buah contohnya yang penting ialah fenomena

pengembunan atau kondensasi (condensation) dan fenomena didih (boiling).

Sebagaimana dalam konveksi sederhana, di sini akan digunakan koefisien

perpindahan kalor h untuk menghubungkan fluks kalor dengan beda suhu

antara permukaan pemanas dengan zat cair jenuh (saturated).

q = hA (T1 – Tjenuh) (Pitts D.R : 211, 1987)

2.5.5.a. Perpindahan Kalor Kondensasi

Plat vertikal akan terjadi kondensasi, jika suhu plat lebih rendah

dari suhu uap jenuh ketika menyentuh dengan uap yang mengembun.

Karena pengaruh gravitasi, embun akan mengalir kebawah. Jika

permukaan itu basah karena zat cair, akan terbentuklah suatu film yang

halus. Proses ini disebut kondensasi film (film condensation). Jika zat cair

itu tidak membasahi permukaan, maka yang terbentuk ialah tetesan-tetesan

yang jatuh dari permukaan itu secara rambang (random). Proses ini

disebut kondensasi tetes (dropwise condensation).

Kondensasi dapat berlangsung menurut dua cara (kondensasi film

dan kondensasi tetes), dan kedua cara ini dapat berlangsung bersama-

sama. Dalam proses kondensasi film, permukaan tertutup oleh film yang

semakin tebal pada waktu mengalir ke bawah. Pada film itu terdapat

gradien suhu (temperature gradient), dan film ini merupakan tahanan

Page 36: BAB_IIrev.doc

termal (thermal resistance) terhadap perpindahan kalor. Dalam hal

kondensasi tetes, sebagian permukaan terbuka terhadap uap, tidak ada

rintangan film terhadap aliran kalor, dan laju perpindahan kalor pun lebih

tinggi. Oleh karena laju prpndh kalornya yang lebih tinggi, kondensasi

titik lebih dikehendaki daripada kondensasi film. Hanya saja kondensasi

titik sangat sulit dicapai karena kebanyakan permukaan menjadi basah bila

agak lama terkena uap yang mengembun. Laju perpindahan kalor

bergantung pada tebal film, seperti pada gambar 2.5.5.a untuk permukaan

vertikal.

Gambar 2.5.5.a. Kondensasi pada permukaan vertical

(Pitts D.R : 218, 1987)

2.5.5.b. Didih

Proses pendidihan akan terjadi bila suatu permukaan bersentuhan

dengan zat cair dan dipelihara pada suhu lebih tinggi dari zat cair itu.

Page 37: BAB_IIrev.doc

Fluks kalor yang berlangsung bergantung pada perbedaan antara suhu

permukaan dan suhu jenuh. Bila permukaan yang dipanaskan berada atau

terbenam di bawah permukaan bebas zat cair, proses itu disebut didih

kolam (pool boiling). Jika suhu zat cair berada dibawah suhu jenuh, proses

itu disebut didih dengan lanjut (subcooled boiling) atau didih local (local

boiling). Jika zat cair dipelihara pada suhu jenuh, proses ini disebut didih

jenuh (saturated boiling) atau didih limbak (bulk boiling). Gambar 2.5.5.b

adalah data fluks kalor dari kawat platina yang dipanaskan dengan listrik

dan dibenamkan di dalam air.

Gambar 2.5.5.b. Grafik kelebihan suhu Tw – Tjenuh, dari Farber dan Scorah

(Holman J.P :460, 1994)

Dalam daerah I terdapat arus konveksi-bebas yang menyebabkan

gerakan sluida di dekat permukaan. Pada daerah ini, zat cair di dekat

permukaan mengalami pemanasan sampai agak panas lanjut, dan menguap

Page 38: BAB_IIrev.doc

dalam perjalanan ke permukaan. Dalam daerah II terbentuk gelembung-

gelembung pada permukaan itu. Daerah ini menandai permulaan dari didih

nukleat (nucleate boiling). Jika suhu ditingkatkan, gelembung-gelembung

akan terbentuk lebih cepat. Gelembung-gelembung ini akan menutupi

seluruh permukaan pemanas, dan menghalangi masuknya aliran zat cair

baru yang masuk. Ini terlihat dalam daerah III. Pada saat gelembung-

gelembung bergabung dan membentuk film uap yang menutupi seluruh

permukaan. Fenomena pada daerah IV (film boiling), terjadi tahanan

termal film dan akan menyebabkan berkurangnya fluks kalor. Di sini

perpindahan kalor konduksi berperan untuk melangsungkan proses didih.

Daerah ini menunjukan terjadinya transisi dari didih nukleat ke didih film,

dan tidak stabil. Didih film stabil tercapai pada daerah V. Untuk

memelihara didih film yang stabil memerlukan suhu tinggi. Jika kondisi

ini tercapai, sebagian besar rugi kalor dari permukaan mungkin disebabkan

oleh radiasi termal (daerah VI).