bab_iirev.doc
TRANSCRIPT
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Teori Penyulingan
Minyak arsiri atau disebut juga minyak eteris adalah minyak yang terdiri
dari campuran zat yang mudah menguap. Zat-zat yang terkandung dalam minyak
arsiri mempunyai komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap zat yang
mudah menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu, hal ini dipengaruhi
oleh suhu. Untuk persenyawaan yang memiliki titik didih sangat tinggi pada
umumnya tekanan uapnya sangat rendah. Intensitas suatu bau yang dihasilkan
merupakan hasil sifat mudah menguap dari persenyawaan yang menghasilkan bau
harum tersebut pada kondisi tertentu.
Stephen Miall dalam bukunya yang berjudul “A New Dictionary of
Chemistry” menyatakan bahwa, penyulingan dapat didefinisikan sebagai
pemisahan suatu komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau
lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Secara
umum ada dua macam sistem penyulingan campuran cairan, antara lain:
1. Penyulingan dari campuran cairan yang saling tidak melarut dan
membentuk dua fase. Penyulingan tersebut dilakukan untuk memurnikan
dan memisahkan minyak atsiri dengan cara penguapan. Penyulingan
dapat dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku dalam air
mendidih pada suatu ketel penyuling. Selain itu dapat juga dilakukan
dengan memasukan bahan baku ke dalam ketel penyuling, kemudian uap
panas dialirkan masuk. Uap panas tersebut dihasilkan dari ketel uap atau
boiler yang letaknya terpisah.
2. Penyulingan dari campuran cairan yang suling melarut secara sempurna
dan hanya membentuk satu fase. Usaha tersebut dilakukan untuk
memurnikan dan memisahkan kandungan minyak yang terdapat di
dalam bahan tanpa menggunakan uap panas.
Sifat campuran satu fase dengan campuran dua fase dapat dibedakan
secara jelas jika suatu cairan menguap, terutama pada keadaan mendidih. Dalam
waktu singkat jumlah molekul yang menguap, akan sama dengan jumlah uap yang
berkondensasi dalam satuan waktu yang sama. Dengan kata lain jumlah zat
menguap sama dengan jumlah zat yang terkondensasi. Oleh karena itu
terbentuklah keseimbangan dinamis, sehingga jumlah molekul dalam keadaan uap
menjadi konstan. Jika ruangan terbuka, uap akan keluar dan digantikan dengan
molekul uap baru dalam jumlah sama dengan uap yang keluar.
Titik didih dapat didefinisikan sebagai “nilai suhu pada tekanan atmosfir
atau pada tekanan tertentu lainnya, dimana cairan akan berubah menjadi uap, atau
suhu pada saat tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap
yang berada disekitarnya” (Hackh’s Chemical Dictionary, 1944). Penyulingan
pada tekanan atmosfir mempunyai tekanan uap yang sama dengan tekanan air
raksa dalam kolom setinggi 760 mm². Berkurangnya tekanan pada ruangan di atas
cairan akan menurunkan titik didih, dan sebaliknya peningkatan tekanan di atas
permukaan cairan akan menaikan titik didih cairan tersebut. Suatu cairan yang
terdiri dari beberapa komponen yang saling bercampur dengan titik didih yang
berbeda, pada umumnya tidak berada pada suatu nilai titik didih. Campuran cairan
tersebut mempunyai nilai kisaran titik didih tertentu. Dengan penguapan
komponen yang bertitik didih rendah, maka titik didih cairan yang tertinggal akan
meningkatkan secara bertahap dan akhirnya mendekati komponen yang bertitik
didih tertinggi.
Pada cairan dua fase dalam keadaan seimbang, jumlah molekul yang
terdapat dalam fase uap lebih besar daripada jumlah molekul uap cairan murni
pada suhu yang sama. Oleh karena itu, tekanan yang dihasilkan oleh campuran
uap akan lebih besar daripada tekanan yang dihasilkan oleh uap murni itu sendiri.
Pada penyulingan uap air atau uap mendidih (hydrodistillation), tekanan pada
ruang uap akan lebih konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfir atau
ditentukan oleh alat control yang dapat menaikkan atau menurunkan tekanan.
Hukum hidrodestilasi minyak atsiri atau zat-zat menguap adalah sebagai
berikut: “perbandingan antara berat dua komponen uap dan perbandingan berat
dua macam cairan dalam destilat (kondensat), merupakan perbandingan dari
tekanan uap parsial dikalikan dengan perbandingan berat molekulnya”. Hukum
hidrodestilasi jika dituliskan dengan rumus adalah:
(Guenther E, 122, 1987)
Dimana : = berat air di dalam kondensat
= berat mimyak di dalam kondensat
= tekanan uap air pada suhu yang ditetapkan
= tekanan minyak pada suhu ketel
= berat molekul air (18)
= berat molekul minyak (dengan asumsi bahwa nilai ini
ditetapkan sebagai nilai rata-rata).
Tekanan uap parsial ialah tekanan uap dari masing-masing komponen
dalam campuran uap. Setiap sistem cairan dua fase, tekanan uap parsial sama
dengan tekanan uap masing-masing komponen.
2.2. Praktek Penyulingan
Pada bagian ini akan diuraikan tentang teori penyulingan dan teknik yang
digunakan dalam penyulingan minyak atsiri.
2.2.1. Perlakuan Terhadap Bahan
Untuk mendapatkan minyak atsiri, hendaklah dilakukan perlakuan
awal pada bahan olah yang akan disuling. Perajangan berguna untuk
membebaskan minyak atsiri yang terdapat di dalam jaringan tanaman. Selain
itu, cara penyimpanan bahan olah berperan penting sebelum melakukan
penyulingan.
2.2.1.a. Perajangan
Proses penyulingan adalah proses pemisahan minyak atsiri dan
bahan tanaman aromatik. Penanganan ini antara lain penanganan bahan
yang bersifat padat (daun, batang, akar, dan sebagainya) dan persiapan
bahan. Minyak atsiri pada bahan dikelilingi oleh kelenjar minyak,
pembuluh-pembuluh, dan kantung minyak. Kecepatan minyak yang
terekstraksi ditentukan oleh kecepatan proses difusi. Uap akan lebih
mudah menembus jaringan minyak dan menguapkan minyak pada bahan
terutama pada daun dengan perajangan dibanding tanpa perajangan.
Tujuan perajangan adalah untuk menyiapkan bahan siap disuling
dan untuk memudahkan penguapan minyak dari bahan. Bahan yang telah
dirajang harus segera disuling. Jika tidak, kandungan minyak akan
berkurang atau terbuang karena penguapan di udara bebas. Ini disebabkan
karena di dalam bahan terdapat kandungan minyak bertitik didih rendah
dan mudah menguap.
Namun dalam proses perajangan terdapat kekurangan. Kekurangan
dari perajangan adalah ; pertama, jumlah rendaman minyak akan
berkurang, seimbang dengan penguapan di udara bebas yang terjadi
selama perajangan dan sesudahnya. Kedua, komposisi minyak akan
berubah dan akan mempengaruhi baunya. Hal ini terjadi karena minyak
atsiri terdiri dari campuran berbagai komponen minyak.
Kehilangan senyawa mudah menguap jumlahnya lebih besar
daripada komponen bertitik didih tinggi dan komponen yang tidak dapat
menguap. Dalam bukunya yang berjudul “Theorie der Gewinnung der
atherischen Ole” Von Rochenberg (ilmuwan Belanda) menyatakan bahwa,
penyusutan berat akibat penguapan minyak adalah sekitar 0.5%. Bila
diinginkan kandungan minyak besar dan mutu minyak baik, maka bahan
yang telah dirajang harus segera dimasukkan ke dalam alat penyuling.
2.2.1.b. Penyimpanan Bahan Olah
Tempat penyimpanan bahan olah sebelum perajangan juga
mempengaruhi penyusutan kandungan minyak dalam bahan, namun
pengaruhnya tidak begitu besar seperti pada perajangan. Kehilangan
minyak atsiri dalam tanaman biasanya dipengaruhi oleh proses
pengeringan setelah panen. Beberapa macam bahan tanaman yang masih
segar dengan kadar air tinggi (misalnya mawar, tansi, akar kalamus) akan
kehilangan sebagian minyak atsiri selama pengeringan di udara.
Sedangkan pada beberapa jenis tanaman lainnya, besarnya minyak yang
hilang tidak begitu besar.
Jika bahan harus disimpan sebelum diproses, maka penyimpanan
dilakukan pada udara kering dan udara tidak disirkulasikan. Namun
penyimpanan dalam udara kering masih terdapat penyusutan minyak.
Penyusutan ini tergantung dari beberapa faktor yaitu: kondisi bahan,
metode penyimpanan dan lama penyimpanan, serta komposisi kimia
minyak dalam bahan. Penyimpanan bahan olah dalam waktu lebih lama
membutuhkan suhu penyimpanan yang rendah dan ruangan yang
kelembabannya dapat diatur. Jika mungkin ruang penyimpanan dilengkapi
dengan air-conditioned. Kehilangan minyak dalam bahan dapat dihindari,
jika bahan diproses dengan segera.
2.2.2. Metode Umum Penyulingan
Dalam industri minyak atsiri dikenal 3 macam metode penyulingan.
Perbedaan pokok dari ketiga tipe penyulingan teletak pada perbedaan cara
penanganan bahan olahannya. Ketiga metode in antara lain;
a. Penyulingan dengan air (water distillation);
b. Penyulingan dengan air dan uap (water and steam diatillation);
c. Penyulingan dengan uap langsung (team distillaion).
2.2.2.a. Penyulingan Dengan Air
Pada metode ini bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air
mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara
sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air
dapat dipanaskan dengan cara ; panas langsung, mantel uap, pipa uap
melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap berlingkar terbuka atau
berlubang. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dan
air mendidih. Jenis bahan yang biasa disuling dengan metode ini biasanya
berupa bubuk dan bunga, seperti bubuk buah badam, bunga mawar, dan
orange blossom. Bahan tersebut tidak dapat disuling dengan metode uap
langsung karena bahan tersebut akan melekat dan membentuk gumpalan besar
yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan. Gambar
2.2.2.a. di bawah merupakan contoh dari cara-cara pemanasan ;
(i) (ii) (iii)
Gambar 2.2.2.a. contoh pemanasan; (i) Pemanasan langsung(ii) Pemanasan dengan pipa uap(iii) Pemanasan dengan mantel uap
2.2.2.b. Penyulingan dengan Air dan uap
Pada metode penyulingan ini, bahan olah diletakan pada rak-rak atau
saringan berlubang atau bisa dinamakan dengan keranjang daun. Ketel suling
diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh di bawah saringan. Air dapat
dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap jenuh yang basah dan
bertekanan rendah. Selain itu pemanasannya dapat juga menggunakan panas
langsung seperti pada pemanasan air. Ciri khas dari metode ini adalah :
a. Uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas;
b. Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan
atau mengenai air panas;
c. Bahan olah biasanya dari jenis; daun, akar, dan batang.
Gambar 2.2.2.b. Penyulingan Uap dan air
2.2.2.c.Penyulingan dengan Uap
Metode ketiga disebut dengan penyulingan uap atau penyulingan uap
langsung. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas
(superheat) pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Pembentukan uap yang
digunakan untuk memanasi bahan biasanya menggunakan peralatan tersendiri
yang disebut boiler. Tipe boiler pada penyuling uap dengan panas lanjut
(superheat) bisa menggunakan boiler lorong api, boiler pipa-pipa api (fire tube
boiler), boiler pipa-pipa air (water tube boiler). Uap dialirkan melalui pipa
uap melingkar berpori yang terletak dibawah bahan, dan uap bergerak ke atas
melalui bahan yang terletak di atas saringan. Gambar 2.2.2.c merupakan
contoh peralatan penyulingan uap.
(i)
(ii)
Gambar 2.2.2.c.; (i) Industri penyulingan dengan uap(ii) Skema penyulingan uap dengan boiler lorong api
2.3. Peralatan Minyak Atsiri
Alat penyuling minyak arsiri tipe air dan uap memiliki tiga bagian utama.
Tiga bagian utama yang merupakan peralatan dasar antara lain ;
1. ketel suling (retort)
2. pendingin (kondensor)
3. penampung minyak (receiver)
Selain peralatan utama, terdapat peralatan pendukung seperti ; ketel uap
(boiler), isolasi ketel, dan peralatan pendukung lainnya.
2.3.1. Ketel Suling (retort)
Ketel suling atau biasanya disebut tangki. Tangki berfungsi sebagai
tempat air dan atau uap untuk mengadakan kontak dengan bahan (daun). Di
dalam ketel suling terjadi penguapan minyak atsiri yang terkandung dalam
bahan. Tangki tersebut dilengkapi dengan penutup yang dapat dibuka dan
diapitkan pada bagian atas penampang ketel. Pada tutup ketel dipasang pipa
berbentuk seperti leher angsa (gooseneck). Pipa ini berguna untuk
mengalirkan uap ke kondensor.
Pada penyulingan air dan uap dipasang suatu saringan (grid) atau dasar
semu di antara air dan bahan olah. Selain memisahkan antara air dan bahan,
saringan bermanfaat untuk menjaga air yang mendidih tidak kontak dengan
bahan yang disuling. Leher angsa biasanya dipasang pada bagian tengah tutup
ketel, dan dihubungkan ke kondensor. Bagian vertikal pada leher angsa harus
diisolasi dengan baik. Ini dimaksudkan untuk mengurangi panas yang terlepas
atau keluar akibat kondensasi. Pipa penghubung ini berdiameter paling kecil 4
inci dan jika diinginkan proses penyulingan yang lebih cepat, maka
diameternya harus lebih besar.
Semua sambungan pada ketel suling harus disolder dengan kuat,
karena setiap tempat yang bocor mengakibatkan hilangnya sebagian minyak
atsiri dan pemborosan bahan bakar. Supaya uap tidak menerobos keluar
melalui celah antara ketel suling dan penutup, sebaiknya antara ketel suling
dan penutup ditambahkan karet, kain, atau bahan lain yang dapat menghambat
keluarnya uap. Selain penambahan perapat pada ketel dan penutup, ketel
suling dapat dibuat dengan sistem “water seal”.
Gambar 2.3.1. “Hydraulicjoint” atau “Water seal” di antara ketel dan tutup ketel.
( Guenther E : 151, 1987 )
2.3.2. Pendingin (condenser)
Kondensor merupakan suatu perlengkapan utama dalam penyulingan.
Ukuran dan bentuk kondensor dapat bermacam-macam. Kondensor berfungsi
untuk mengubah seluruh uap air dan uap minyak menjadi fase cair. Jumlah
panas yang dikeluarkan pada peristiwa kondensasi sebanding dengan panas
yang diperlukan untuk penguapan uap minyak dan uap air. Besarnya panas
yang dapat dibebaskan oleh uap sewaktu mengembun dapat dinyatakan
dengan rumus berikut;
q = U A ∆t (Holman J.P, 481, 1994)
Dimana : q = panas yang dibebaskan per satuan waktu.
U = konstanta pada kondisi operasi
A = luas areal yang dipakai untuk membebaskan panas (ft²)
∆t = perbedaan suhu antara uap panas dan medium pendingin
(air pendingin)
Faktor-faktor di atas tidak mengakibatkan perubahan nilai U. Faktor
yang mempengaruhi nilai U pada proses kondensasi adalah kecepatan aliran
air pendingin yang melewati permukaan kondensor, kecepatan aliran uap dan
jenis bahan kondensor. Gambar 2.3.2.a memperlihatkan tipe kondensor yang
sederhana.
Gambar 2.3.2.a. Bagan kondensor kuno berbentuk zigzag
( Guenther E: 158, 1987 )
Air diisikan melalui tangki yang letaknya di bagian atas dan akan
mengalir melewati saluran pipa berlubang pada bagian dasarnya. Posisi miring
ke bawah dari tabung-tabung kondensor berfungsi untuk memperlancar aliran
kondensasi minyak dan air. Untuk mencegah tekanan tidak terlalu besar di
dalam tabung, maka diperlukan tabung pendingin yang besar, untuk
mengimbangi tekanan uap yang keluar dari ketel suling. Volume dan
kecepatan uap akan berkurang dalam proses pendinginnan sebagai akibat dari
kondensasi. Untuk mengatasi hal tersebut diameter pipa pada tipe kondensor
ini mengecil secara proporsional kearah ujung pipa. Hanya saja tipe kondensor
ini sekarang jarang digunakan, karena rumit dalam rancangan dan mempunyai
efisiensi yang rendah.
Tipe kondensor dalam penyulingan yang lain adalah kondensor
berpilin (coil condenser) dan kondensor tubular. Kondensor yang paling
umum digunakan adalah kondensor berpilin. Pipa berpilin dimasukan ke
dalam tangki berisi air pendingin yang mengalir secara konstan. Untuk
menaikkan efisiensi pendinginan, arah aliran air pendingin berlawanan dengan
arah aliran uap air dan uap minyak. Untuk lebih efektif dalam pendinginan,
disisipkan 2 pipa berpilin pada tangki kondensor. Gambar 2.3.2.b menunjukan
kondensor dengan pipa berpilin.
Gambar 2.3.2.c adalah contoh gambar kondensor tubular. Jumlah dan
panjang pipa dalam tergantung dari jumlah uap yang dikondensasikan. Air
disirkulasikan di sekeliling pipa-pipa di dalam tabung. Tipe kondensor ini
lebih efisien dalam pendinginan disbanding kondensor berpilin. Nilai factor U
untuk kondensor tipe ini sekitar 200. Kondensor tubular dapat dipakai dalam
posisi vertikal maupun pada kemiringan tertentu. Pipa penghubung antara
ketel suling dan kondensor harus dengan perancangan yang matang, ini
berguna untuk menghindari tekanan balik yang terjadi dalam ketel suling. Air
pendingin untuk kondensor tersebut sebaiknya menggunakan air yang tidak
sadah (soft water), untuk mencegah pembentukan kerak pada dinding
timbang. Penimbunan kerak pada tabung akan mengurangi pertukaran panas.
Gambar 2.3.2.b. Kondensor berpilin (coil condenser).2.3.2.c. Kondensor tubular.
Seperti ditulis pada buku Minyak Atsiri (Jilid I) karangan Ernest
Guenther, efisiensi maksimum kondensor tecapai jika kondensat telah cukup
dingin (pada suhu yang cukup rendah), akibat perpindahan panas ke dalam air
pendingin. Air pendingin keluar dari kondensor pada suhu yang mendekati
suhu penguapan, namun hal ini jarang terjadi. Kondensasi telah sempurna jika
suhu air pendingin yang mengalir ke luar kondensor adalah 80ºC (175ºF), dan
suhu destilat yang dihasilkan sekitar 25ºC – 30ºC (77ºF – 86ºF).
2.3.3. Penampung Minyak (receiver)
Alat ketiga yang penting pada perlengkapan penyulingan adalah alat
penampung kondensat (receiver), pemisah minyak (decanter). Alat ini
berfungsi untuk memisahkan minyak dari air suling (condensed water).
Volume air suling selalu lebih besar dari jumlah minyak. Minyak atsiri dan air
suling tidak saling larut, karena perbedaan berat jenis. Jika bobot minyak lebih
dari 1, maka minyak akan berada pada dasar tabung pemisah. Dan sebaliknya,
jika bobot minyak kurang dari 1 minyak akan berada di permukaan tabung
atau terapung. Bentuk dari botol pemisah tergantung dari bobot jenis minyak
dan air. Botol pemisah ini dinamakan Botol Florentine.
Botol Florentine yang berukuran kecil terbuat dari gelas, sedang botol
dengan ukuran besar terbuat dari logam. Logam yang digunakan adalah;
timah, tembaga berlapis timah, alumuniun atau besi galvanized. Botol dari
timah hitam tidak dapat digunakan sebagai tabung pemisah minyak yang
mengandung asam lemak bebas. Asam lemak tersebut akan bereaksi dengan
timah hitam dan membentuk garam. Garam yang terbentuk akan
mengakibatkan keracunan jika termakan. Tabung pemisah yang terbuat dari
karet tidak dapat digunakan karena akan menimbulkan bau pada minyak arsiri.
Dibawah termasuk contoh-contoh Botol Florentine ;
Gambar 2.3.3.a. Botol-botol Florentine
Gambar 2.3.3.b. Alat Pemisah Minyak yang Lebih Berat dan atau Lebih Ringan dari Air.
2.3.4. Keranjang Daun
Pada peralatan penyulingan sederhana, pembersihan ketel suling dari
ampas bahan yang telah diolah akan susah. Bahan yang telah disuling menjadi
kering dan menempel pada dinding-dinding ketel. Jika masih ada bahan yang
masih basah atau mengandung minyak, minyak akan menempel dan akan
menimbulkan bau pada hasil suling selanjutnya. Untuk itu ketel suling harus
bersih dari bahan yang menempel maupun bau. Untuk mempermudah
pembersihan, sebaiknya dipasang keranjang daun atau rak. Keranjang daun
berfungsi sebagai tempat bahan yang akan diolah.
Di dalam ketel suling tipe air dan uap dipasang suatu saringan (grid)
atau dasar semu di atas dasar ketel suling, bisa disebut juga dengan nama
keranjang daun. Keranjang daun berfungsi sebagai tempat bahan suling, agar
air yang mendidih tidak kontak dengan bahan suling. Saringan sebagai
penyangga dan tempat bahan dalam ketel dapat terbuat dari jaring kawat yang
kasar, merupakan rak berlubang, atau terbuat dari kayu yang disusun sehingga
membentuk kisi-kisi.
Pada penyulingan bahan berupa biji, terutama biji yang hancur,
saringan tempat bahan perlu dilapisi dengan karung atau bahan lain yang
sesuai. Penggunaan karung berfungsi untuk menghindari jatuhnya partikel
bahan ke dasar ketel. Jika digunakan system penyulingan air dan uap, maka
saringan tersebut harus dipasang dengan jarak 2 ft diatas dasar ketel. Pada
penyulingan uap langsung jarak saringan dari dasar ketel jaraknya harus lebih
jauh, untuk memudahkan penetrasi uap ke dalam bahan olah.
Jika bahan suling mempunyai berat lebih dari 200-300 lb, maka bahan
diletakan di atas saringan yang disusun secara bertingkat. Penyusunan rak
bertingkat ini bertujuan untuk menjaga agar distribusi uap merata dan
mengeluarkan ampas (sisa bahan hasil penyulingan). Bahan yang lebih kasar
dan lebih ringan diisikan pada saringan yang letaknya lebih tinggi.
Pemasangan keranjang daun dalam ketel bersifat tidak permanen, sehingga
dapat diangkat untuk mengganti atau mengisi bahan yang akan disuling. Jarak
antar saringan 2 – 3 atau 3 – 4 ft sesuai ukuran ketel. Gambar 2.3.4 dibawah
adalah contoh dari dua tipe ketel suling yang dilengkapi rak bertingkat.
Gambar 2.3.4. Ketel dengan rak bertingkat
2.3.5. Isolasi Ketel
Panas di dalam ketel akan berkurang akibat terkondensasi dengan
udara luar yang lebih rendah suhunya. Ini disebabkan karena lapisan luar ketel
suling dan penutup kontak langsung dengan udara luar. Jika dibiarkan, bahan
menjadi lembab, partikel bahan akan menggumpal dan melekat. Penyulingan
akan lebih lama, dan menghasilkan randemen (yield) minyak yang rendah.
Maka untuk menanggulanginya ketel suling, saluran uap dan bagian-bagian
yang dipanaskan sebaiknya dilapisi dengan bahan isolasi.
Untuk ketel berukuran kecil, isolasi dapat dilakukan dengan
membungkus ketel dengan kulit kayu yang diikat dengan kawat. Ruang
antaranya dapat diisi dengan serbuk gabus atau serbuk gergaji. Isolasi yang
lebih baik terbuat dari asbestos dan magnesia.
2.3.6. Ketel Uap (boiler)
Ukuran ketel uap tergantung pada jumlah uap yang dibutuhkan. Ketel
uap biasanya digunakan pada penyulingan uap dan penyulingan air dan uap
dengan suhu diatas 100ºC, bahkan suhu uap mencapai superheat. Untuk
mengurangi bahaya yang bisa timbul karena digunakannya uap super panas,
ketel harus memiliki perlengkapan yang memadai. Selain kotak pemanas dan
tabung pemanas ketel uap harus dilengkapi dengan alat pengukur jumlah air
dan tekanan, katup pengaman pada tekanan tinggi, pompa atau injektor untuk
mensirkulasikan air, dan pipa-pipa yang dapat diamati secara manual.
Ada dua macam ketel uap, yaitu ketel uap bertekanan tinggi (≥100 lb)
dan ketel uap bertekanan rendah (40 – 45 lb). Suhu uap jenuh merupakan
fungsi dari tekanan uap. Karena uap merupakan kelanjutan wujud dari air
mendidih (pada tekanan gauge = 0) dengan suhu 212ºF (100ºC), maka pada
tekanan 40 lb, ketel suling mempunyai suhu 287ºF (141,7ºC). Pada tekanan
100 lb, ketel suling suhunya sekitar 338ºF (170ºC). Uap bertekanan rendah
dan bersuhu rendah akan terkondensasi kembali menjadi air dan jatuh pada
tumpukan bahan. Tumpukan bahan yang terkena air akan menambah waktu
penguapan minyak. Peristiwa kondensasi dalam ketel suling akan berkurang,
pada uap yang bertekanan lebih tinggi dan bersuhu tinggi. Uap bertekanan
tinggi akan berpenetrasi ke dalam bahan secara lebih efektif dan akan
mempersingkat proses penyulingan.
Ketel uap bertekanan rendah menghasilkan tekanan yang kecil, tetapi
volume uap cukup besar. Dalam beberapa hal, dikehendaki uap bertekanan
rendah, sehingga minyak yang dihasilkan bersifat lebih larut dalam alkohol,
dan tidak mengandung resin. Ketel uap tersebut biasanya terbuat dari besi
tuang, dan corong asapnya terbuat dari logam yang digalvanisir. Biasanya
tekanan dalam ketel uap sekitar 30 – 100 lb. hal ini tergantung pada jumlah
uap yang dibutuhkan. Dalam ketel uap, suhu uap akan berkurang sehingga
sama dengan suhu alat penyuling, tanpa merubah tekanan. Uap yang masuk ke
dalam ketel suling dengan dorongan besar, akan mengakibatkan tekanan balik.
Kejadian ini mengakibatkan naiknya suhu ketel suling lebih dari 10ºF (5ºC) di
atas suhu 212ºF (100ºC).
2.4. Laju Penyulingan
Laju penyulingan adalah nilai perbandingan antara jumlah air suling dan
waktu atau dengan kata lain jumlah air yang disuling per jam. Kecepatan ini harus
diatur sesuai dengan diameter alat dan volume antar ruang dari bahan atau derajad
perajangan. Proses ekstraksi tidak berlangsung dengan sempurna pada kecepatan
uap yang terlalu rendah. Laju uap akan berhenti pada bahan yang padat.
Sebaliknya, kecepatan uap yang terlalu tinggi akan memecahkan bahan dan
membentuk jalur uap (rat holes). Ini akan menghambat aliran uap di dalam
kondensor, karena partikel bahan masuk ke kondensor.
Untuk mengontrol laju penyulingan dilakukan dengan menampung dan
menimbang air suling yang mengalir dari kondensor. Jumlah air suling dihitung
dalam kg/jam/m².
2.5. Ketel Suling Penyulingan Minyak Atsiri
Proses pada ketel suling berkaitan erat dengan panas. Energi-energi kalor
dan besaran-besaran yang bekerja pada ketel suling peralatan penyulingan minyak
atsiri antara lain suhu dan perpindahan kalor.
2.5.1. Kalor
Kalor adalah suatu bentuk energi yang diterima oleh suatu benda yang
menyebabkan benda tersebut berubah suhu atau wujud bentuknya. Kalor
berbeda dengan suhu. Kalor merupakan suatu kuantitas atau jumlah panas
baik yang diserap maupun dilepaskan oleh suatu benda.
Kalor merupakan asal kata dari caloric, ditemukan oleh ahli kimia
perancis yang bernama Antonnie laurent lavoiser (1743 - 1794). Kalor
memiliki satuan Kalori (kal) dan Kilokalori (Kkal). Dalam SI, satuan kalor
adalah joule. Satu kalori (kal) sama dengan kalor yang dibutuhkan untuk
menaikkan temperatur 1 gr air sebesar 1ºC (menaikan suhu dari 14,5ºC
menjadi 15,5ºC). Dalam sistem British, 1 Btu (British Thermal Unit) adalah
kalor untuk menaikkan temperatur 1 lb air dari 63 F menjadi 64 F. Jika satuan
kalor dikonversikan, akan menghasilkan;
1 kal = 4,186 J = 3,968 x 10-3 Btu
1 J = 0,2389 kal = 9,478 x 10-4 Btu
1 Btu = 1055 J = 252,0 kal.
Besar kecilnya kalor yang dibutuhkan suatu benda (zat) bergantung
pada 3 faktor antara lain; massa zat, jenis zat (kalor jenis), dan perubahan
suhu. Sehingga secara matematis dapat dirumuskan;
Q = m c ΔT
Dimana : m = massa (gr)
c = kalor jenis (kg/gºC)
∆T = (t1-t2) = Perubahan suhu (ºC)
Dalam pembahasan kalor ada dua kosep yaitu kapasitas kalor (H) dan
kalor jenis (c). Kapasitas kalor (H) adalah banyaknya kalor yang diperlukan
untuk menaikkan suhu benda sebesar 1 derajat celcius.
H = Q/(t2-t1)
Kalor jenis adalah banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan
suhu 1 kg zat sebesar 1 derajat celcius. Alat yang digunakan untuk
menentukan besar kalor jenis adalah kalorimeter.
c = Q/m.(t2-t1)
Analisis grafik perubahan wujud pada es yang dipanaskan sampai
menjadi uap. Dalam grafik 2.5.1 dapat dilihat semua persamaan kalor yang
digunakan.
Gambar 2.5.1. grafik perubahan wujud
Keterangan :
Pada Q1 es mendapat kalor dan digunakan menaikkan suhu es, setelah
suhu sampai pada 0 C kalor yang diterima digunakan untuk melebur (Q2),
setelah semua menjadi air barulah terjadi kenaikan suhu air (Q3), setelah
suhunya mencapai suhu 100 C maka kalor yang diterima digunakan untuk
berubah wujud menjadi uap (Q4), kemudian setelah berubah menjadi uap
semua maka akan kembali terjadi kenaikan suhu kembali (Q5).
2.5.2. Suhu
Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas, dingin suatu
benda. Alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer.
Dalam kehidupan sehari-hari untuk mengukur suhu cenderung digunakan
indera peraba. Skala suhu yang digunakan di Indonesia secara umum ada 4
macam yaitu : Celcius, Fahrenheit, Kelvin, dan Reamur. Tetapi yang paling
umum dan sering digunakan adalah Celcius. Gambar 2.5.2 merupakan
perbandingan skala dari termometer ;
Gambar 2.5.2 Perbandingan skala
Berikut ini adalah contoh mengubah dari skala celcius ke skala fahrenheit;
(2.5.2.a)
(2.5.2.b)
(2.5.2.c)
(2.5.2.d)
2.5.3. Asas Black
Penemu adalah Joseph Black (1720 - 1799) dari Inggris. Menurut Asas
Black apabila ada dua benda yang suhunya berbeda kemudian disatukan atau
dicampur maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bersuhu tinggi
menuju benda yang bersuhu rendah. Aliran ini akan berhenti sampai terjadi
keseimbangan termal (suhu kedua benda sama). Kalor akan dilepas benda
yang bersuhu tinggi, dan kalor diterima oleh benda bersuhu rendah. Bila
persamaan tersebut dijabarkan maka akan diperoleh :
Q lepas = Q terima (2.5.3.a)
m1.c1.(t1 - ta) = m2.c2.(ta-t2) (2.5.3.b)
dimana ; Q = kalor
m1, c1, t1 = massa benda bersuhu tinggi, kalor jenis bersuhu tinggi, suhu
tinggi;
m2, c2, t2 = massa benda bersuhu rendah, kalor jenis bersuhu rendah, suhu
rendah;
ta = suhu lingkungan
Catatan yang harus selalu diingat jika menggunakan Asas Black adalah
pada benda yang bersuhu tinggi digunakan (t1-ta) dan untuk benda yang
bersuhu rendah digunakan (ta-t2).
2.5.4. Perpindahan Kalor
Kalor dapat merambat melalui tiga macam cara yaitu:
a. konduksi
b. konveksi
c. radiasi
2.5.4.a. Konduksi
Konduksi adalah perambatan kalor tanpa disertai perpindahan
bagian-bagian zat perantaranya. Konduksi biasanya terjadi pada benda
padat. Proses perpindahan kalor secara konduksi bila dilihat secara atomik
merupakan pertukaran energi kinetik antar molekul (atom), dimana
partikel yang energinya rendah dapat meningkat dengan menumbuk
partikel dengan energi yang lebih tinggi.
T2 T1
Aliran kalor
A
L
Gambar 2.5.4.a. Aliran Kalor
Bila T2 dan T1 dipertahankan terus besarnya, maka kesetimbangan
termal tidak akan pernah tercapai. Dalam keadaan mantap/tunak (stedy
state), kalor yang mengalir persatuan waktu sebanding dengan luas
penampang A, sebanding dengan perbedaan temperatur T dan
berbanding terbalik dengan lebar bidang l.
(2.5.4.a)
Dimana : K = Konduktivitas termal (J/s.m.ºC)
A = Luas penampang (m²)
T = Suhu (ºC)
H = jumlah kalor yang merambat per satuan waktu
L = panjang benda (m)
Gambar 2.5.4.a merupakan hubungan antara temperatur dan tebal bahan.
Gambar 2.5.4.a. Hubungan antara temperatur dan tebal untuk bahan – bahan dengan konduktivitas termal k yang berbeda
Tabel 2.5.4.a. Konduktivitas termal, k, dari beberapa material
Bahank
(W/m.Co)Bahan k (W/m.Co)
Aluminium 238 Asbestos 0,08
Tembaga 397 Concrete 0,8
Emas 314 Gelas 0,8
Besi 79,5 Karet 0,2
Timbal 34,7 air 0,6
Perak 427 kayu 0,08
udara 0,0234
2.5.4.b. Konveksi
Konveksi adalah perambatan kalor yang disertai perpindahan
bagian-bagian zat, karena perbedaan massa jenis. Kalor ditransfer dari satu
tempat ke tempat yang lain dengan pergerakan molekul, zat atau materi.
Rumus mengenai konveksi dapat dilihat pada persamaan berikut;
H = k . A . DT (2.5.4.b)
Dimana; H = jumlah kalor yang merambat per satuan waktu
k = koefisien konveksi
DT = kenaikan suhu (ºK)
Perpindahan kalor konveksi memiliki dua cara pada perpindahan
panasnya yaitu; konveksi alami dan konveksi paksa. Gambar 2.5.4.b
menunjukan dua cara perpindahan panas konveksi. Selain itu, perpindahan
kalor konveksi mempunyai koefisien termal. Koefisien perpindahan kalor
konveksi dapat dilihat pada tabel 2.5.4.b.
Gambar 2.5.4.b. Konveksi alam dan paksa
Keterangan :
Atas : lapis batas pada pelat vertical
Bawah : profil kecepatan untuk lapis batas laminar dan turbulen pada
aliran melalui pelat rata
Tabel 4.2 Koefesiensi perpindahan kalor konveksi, h
2.5.4.c.Radiasi
Radiasi adalah perambatan kalor dengan pancaran berupa
gelombang-gelombang elektromagnetik. Pancaran kalor secara radiasi
mengikuti Hukum Stefan Boltzmann:
Gambar 2.5.4.c. Bagan pengaruh radiasi datang
Kecepatan sebuah benda meradiasikan energi/persamaan stefan-
Boltzmann;
W = e . s . T4
Dimana; W = intensitas/energi radiasi yang dipancarkan per satuan luas
per satuan waktu
s = konstanta Boltzman =5,672 x 10-8 watt/cm2.ºK4
e = emisivitas (o < e < 1) T = suhu mutlak (ºK)
e = koefisien pemancaran
T = suhu
Tabel 2.5.4.c. Emisivitas bahan
Benda yang dipanaskan sampai pijar, selain memancarkan radiasi
kalor juga memancarkan energi radiasi dalam bentuk gelombang
elektromagnetik dengan panjang gelombang 10-6 s/d 10-5 m. Untuk benda
ini berlaku hukum Pergeseran Wien, yaitu:
max . T = C
C = konstanta Wien = 2.9 x 10-3m ºK
Kesimpulan:
1. Semua benda (panas/dingin) memancarkan energi radiasi/kalor;
2. Semakin tinggi suhu benda. semakin besar radiasinya dan semakin
pendek panjang gelombangnya;
3. Koefisien emisivitas benda tergantung pada sifat
permukaannya.Benda hitam sempurna mempunyai nilai e = 1
merupakan pemancar dan penyerap kalor yang paling baik.
2.5.5. Perpindahan Kalor Kondensasi Dan Didih
Dalam penyulingan terdapat fenomena kalor yang berkaitan dengan
perubahan fase fluida. Dua buah contohnya yang penting ialah fenomena
pengembunan atau kondensasi (condensation) dan fenomena didih (boiling).
Sebagaimana dalam konveksi sederhana, di sini akan digunakan koefisien
perpindahan kalor h untuk menghubungkan fluks kalor dengan beda suhu
antara permukaan pemanas dengan zat cair jenuh (saturated).
q = hA (T1 – Tjenuh) (Pitts D.R : 211, 1987)
2.5.5.a. Perpindahan Kalor Kondensasi
Plat vertikal akan terjadi kondensasi, jika suhu plat lebih rendah
dari suhu uap jenuh ketika menyentuh dengan uap yang mengembun.
Karena pengaruh gravitasi, embun akan mengalir kebawah. Jika
permukaan itu basah karena zat cair, akan terbentuklah suatu film yang
halus. Proses ini disebut kondensasi film (film condensation). Jika zat cair
itu tidak membasahi permukaan, maka yang terbentuk ialah tetesan-tetesan
yang jatuh dari permukaan itu secara rambang (random). Proses ini
disebut kondensasi tetes (dropwise condensation).
Kondensasi dapat berlangsung menurut dua cara (kondensasi film
dan kondensasi tetes), dan kedua cara ini dapat berlangsung bersama-
sama. Dalam proses kondensasi film, permukaan tertutup oleh film yang
semakin tebal pada waktu mengalir ke bawah. Pada film itu terdapat
gradien suhu (temperature gradient), dan film ini merupakan tahanan
termal (thermal resistance) terhadap perpindahan kalor. Dalam hal
kondensasi tetes, sebagian permukaan terbuka terhadap uap, tidak ada
rintangan film terhadap aliran kalor, dan laju perpindahan kalor pun lebih
tinggi. Oleh karena laju prpndh kalornya yang lebih tinggi, kondensasi
titik lebih dikehendaki daripada kondensasi film. Hanya saja kondensasi
titik sangat sulit dicapai karena kebanyakan permukaan menjadi basah bila
agak lama terkena uap yang mengembun. Laju perpindahan kalor
bergantung pada tebal film, seperti pada gambar 2.5.5.a untuk permukaan
vertikal.
Gambar 2.5.5.a. Kondensasi pada permukaan vertical
(Pitts D.R : 218, 1987)
2.5.5.b. Didih
Proses pendidihan akan terjadi bila suatu permukaan bersentuhan
dengan zat cair dan dipelihara pada suhu lebih tinggi dari zat cair itu.
Fluks kalor yang berlangsung bergantung pada perbedaan antara suhu
permukaan dan suhu jenuh. Bila permukaan yang dipanaskan berada atau
terbenam di bawah permukaan bebas zat cair, proses itu disebut didih
kolam (pool boiling). Jika suhu zat cair berada dibawah suhu jenuh, proses
itu disebut didih dengan lanjut (subcooled boiling) atau didih local (local
boiling). Jika zat cair dipelihara pada suhu jenuh, proses ini disebut didih
jenuh (saturated boiling) atau didih limbak (bulk boiling). Gambar 2.5.5.b
adalah data fluks kalor dari kawat platina yang dipanaskan dengan listrik
dan dibenamkan di dalam air.
Gambar 2.5.5.b. Grafik kelebihan suhu Tw – Tjenuh, dari Farber dan Scorah
(Holman J.P :460, 1994)
Dalam daerah I terdapat arus konveksi-bebas yang menyebabkan
gerakan sluida di dekat permukaan. Pada daerah ini, zat cair di dekat
permukaan mengalami pemanasan sampai agak panas lanjut, dan menguap
dalam perjalanan ke permukaan. Dalam daerah II terbentuk gelembung-
gelembung pada permukaan itu. Daerah ini menandai permulaan dari didih
nukleat (nucleate boiling). Jika suhu ditingkatkan, gelembung-gelembung
akan terbentuk lebih cepat. Gelembung-gelembung ini akan menutupi
seluruh permukaan pemanas, dan menghalangi masuknya aliran zat cair
baru yang masuk. Ini terlihat dalam daerah III. Pada saat gelembung-
gelembung bergabung dan membentuk film uap yang menutupi seluruh
permukaan. Fenomena pada daerah IV (film boiling), terjadi tahanan
termal film dan akan menyebabkan berkurangnya fluks kalor. Di sini
perpindahan kalor konduksi berperan untuk melangsungkan proses didih.
Daerah ini menunjukan terjadinya transisi dari didih nukleat ke didih film,
dan tidak stabil. Didih film stabil tercapai pada daerah V. Untuk
memelihara didih film yang stabil memerlukan suhu tinggi. Jika kondisi
ini tercapai, sebagian besar rugi kalor dari permukaan mungkin disebabkan
oleh radiasi termal (daerah VI).