babii babiikajianpustaka ) sebagai persepsi individu dari ... · kehidupan dalam konteks budaya dan...

77
BAB II BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Hidup Dalam Sudut Pandang Ergonomi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup (Quality of Life/QOL) sebagai persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran (WHO, 1997). Domain utama kualitas hidup menurut WHO meliputi: a) kesehatan fisik, b) keadaan pisikologi, c) tingkat kebebasan, d) hubungan sosial, dan e) keyakinan beragama. Dengan definisi kualitas hidup yang sama Bäck-wiklund et al. (2011) membagi domain kualitas hidup menjadi dua domain yaitu domain pekerjaan dan domain kondisi rumah. Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup lebih terarah dari sudut pandang masing-masing bidang ilmu, tetapi secara umum parameter kesehatan menjadi salah satu domain utama atau sub domain dari kualitas hidup (WHO, 1997; Pukeliene dan Starkauskiene, 2011; Bäck-wiklund et al., 2011). Pengukuran kualitas hidup dilakukan secara pendekatan sistem, berdasarkan domain kualitas hidup, sudut pandang keilmuan dan juga hubungan yang akan diteliti. Setiap domain dari kualitas hidup terbagi menjadi sub-sub domain yang lebih spesifik, pembagian sub-sub domain ini tergantung dari sudut pandang masing-masing kelimuan. Sebagai contoh pembagian domain dan sub domain menurut Bäck-wiklund et al. (2011), domain pekerjaan sering juga disebut dengan kualitas pekerjaan (quality of working life/ QOWL) meliputi

Upload: others

Post on 04-Feb-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Hidup Dalam Sudut Pandang Ergonomi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup

(Quality of Life/QOL) sebagai persepsi individu dari posisi mereka dalam

kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka tinggal dan

dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran (WHO,

1997). Domain utama kualitas hidup menurut WHO meliputi: a) kesehatan fisik, b)

keadaan pisikologi, c) tingkat kebebasan, d) hubungan sosial, dan e) keyakinan

beragama. Dengan definisi kualitas hidup yang sama Bäck-wiklund et al. (2011)

membagi domain kualitas hidup menjadi dua domain yaitu domain pekerjaan dan

domain kondisi rumah. Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup lebih terarah

dari sudut pandang masing-masing bidang ilmu, tetapi secara umum parameter

kesehatan menjadi salah satu domain utama atau sub domain dari kualitas hidup

(WHO, 1997; Pukeliene dan Starkauskiene, 2011; Bäck-wiklund et al., 2011).

Pengukuran kualitas hidup dilakukan secara pendekatan sistem,

berdasarkan domain kualitas hidup, sudut pandang keilmuan dan juga hubungan

yang akan diteliti. Setiap domain dari kualitas hidup terbagi menjadi sub-sub

domain yang lebih spesifik, pembagian sub-sub domain ini tergantung dari sudut

pandang masing-masing kelimuan. Sebagai contoh pembagian domain dan sub

domain menurut Bäck-wiklund et al. (2011), domain pekerjaan sering juga

disebut dengan kualitas pekerjaan (quality of working life/ QOWL) meliputi

semua faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, meliputi: jenis pekerjaan, jam

kerja, tempat kerja, sistem kerja, lingkungan kerja, tekanan pekerjaan, lingkungan

sosial kerja, karier, kesehatan dan keselamatan bekerja, transportasi ke tempat

kerja dan kepuasan kerja. Domain rumah meliputi kegiatan sosial di tempat

tinggal, tempat tinggal, kondisi rumah, keluarga, dan juga pendapatan di rumah.

Ke-2 parameter utama ini dapat meningkatkan atau menurunkan kualitas hidup

dari pekerja, meningkatkan kualitas hidup bagi pekerja jika ke-2 atau salah satu

parameter tersebut memberikan dampak positif, tetapi menurunkan kualitas hidup

pekerja jika ke-2 atau salah satu parameter tersebut memberikan nilai negatif.

Tujuan dari kualitas hidup sebenarnya adalah bagaimana mencapai ke

kesejahteraan yang lebih baik (well-being) (WHO, 1997; Pukeliene dan

Starkauskiene, 2011; Bäck-wiklund et al., 2011). Domain-domain yang ada dalam

kualitas hidup hanyalah sebagai cara untuk menentukan faktor-faktor apa saja

dalam hidup seseorang yang dapat menjadi faktor-faktor positif atau negatif dalam

mencapai kesejahteraan yang dituju.

Karakteristik dari Human Factors/ Ergonomics (HFE) adalah berfokus pada

hasil yang dicapai, yaitu performansi (performance) dan kesejahteraan (well-being)

(Dul et al., 2012). Performansi meliputi: produktivitas, effisiensi, effektivitas,

kualitas, inovasi, fleksibilitas, kesehatan dan keamanan, reabilitas dan

keberlanjutan, sedangkan kesejahteraan meliputi: kesehatan dan keamanan,

kepuasan, kesenangan, pembelajaran, serta pengembangan diri. Ke-2 fokus

pencapaian dari human factors/ ergonomics saling terkait satu dengan yang lain,

performansi mempengaruhi kesejahteraan demikian juga sebaliknya, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang.

Kualitas hidup dan human factors/ ergonomics mempunyai karakterisik

tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan, WHO menjabarkan dan menentukan

faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan pencapaian kualitas hidup, di

mana domain kesehatan individu menjadi salah satu faktor penilaian. Domain

kesehatan meliputi: energi dan kelelahan, rasa sakit dan ketidaknyamanan, serta

tidur dan istirahat (WHO, 1997). Ke-2 faktor, yaitu: energi dan kelelahan, serta

rasa sakit dan ketidaknyamanan adalah faktor yang disebabkan dalam bekerja.

Penyebab dari ketidaknyaman, kelelahan dan rasa sakit, pada individu

yang bekerja adalah adanya stressor yang mempengaruhi tubuh sehingga tubuh

bereaksi. Stressor berasal dari luar tubuh manusia, dalam kondisi bekerja maka

jenis-jenis stressor yang ada adalah (Kroemer dan Grandjean, 2003):

a. Pengawasan pekerjaan (Job control), partisipasi tenaga kerja dalam

pengawasan pekerjaan yang dihasilkan.

b. Perhatian dari atasan (Social support), adanya perhatian dari atasan dalam

menyelesaikan pekerjaan.

c. Ketidakpuasan dalam bekerja (Job distress atau dissatisfaction),

ketidakpuasan dalam bekerja menyangkut hal yang dikerjakan dan beban

kerja.

d. Pekerjaan dan tuntutan performasi (Task dan performance demands),

karakteristik pekerjaan yang berhubungan dengan beban kerja dan juga

performasi kerja, seperti: target penyelesaian dan kualitas pekerjaan.

e. Kepastian bekerja (Job security), adanya kepastian dalam bekerja dan karier.

f. Tanggung jawab (Responsibility), adanya rasa tanggung jawab untuk

menghidupi diri sendiri dan orang lain (keluarga).

g. Masalah keadaan lingkungan kerja (Physical environmental problems),

kondisi-kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi pekerja, seperti:

bunyi-bunyian, bau, suhu lingkungan kerja, kurangnya pencahayaan, dan juga

ruang kerja yang sempit.

h. Pekerjaan yang kompleks (Complexity), banyaknya pekerjaan yang harus

diselesaikan. Pekerjaan yang repetitif dan monoton termasuk karakteristik

yang pekerjaan yang kurang kompleks, tetapi pekerjaan yang terlalu kompleks

juga tidak baik.

Reaksi tubuh terhadap stressor adalah dengan adanya stress, stress

diartikan sebagai keadaan fisiologis dari tubuh pekerja, stress terjadi sebagai

akibat adanya ransangan berlebih dari luar tubuh (stressor) (Kumar, 1999;

Kroemer dan Grandjean, 2003). Penilaian dan pengukuran stress yang terjadi

akibat adanya stressor dengan cara menilai keadaan fisiologis pekerja. Penilaian

keadaan fisiologis dapat melalui kuesioner yang ditanyakan langsung kepada

pekerja dan juga dapat diukur melalui kondisi parameter fisiologis seperti detak

jantung dan tekanan darah.

Sehingga dapat dikatakan faktor fisiologis (kesehatan fisik) seorang

pekerja merupakan salah satu faktor yang menentukan nilai kualitas hidup, yang

mana faktor fisiologis (kesehatan fisik) seseorang merupakan dampak langsung

dari kondisi lingkungan pekerjaan yang dilakukan. Perbaikan-perbaikan kondisi

lingkungan kerja dengan intervensi ergonomi akan secara langsung

mempengaruhi kualitas hidup.

2.2 Respon Fisiologis

Respon fisiologis merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk

memelihara kesimbangan homeostasis dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan

akan mengakibatkan peningkatan fungsi sistem organ vital secara umum (Pinel,

2009). Respon fisiologis terhadap suatu hal misalnya seperti beban kerja dapat

berpengaruh pada sistem organ sebagai berikut:

a. Sistem kardiovaskuler berupa perubahan denyut nadi, denyut jantung dan

tekanan darah.

b. Sistem pernapasan berupa napas cepat, terengah-engah, rasa tertekan pada

dada.

c. Sistem neuromuskuler berupa peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia,

ketakutan, gelisah, ketahanan secara umum, gerakan lambat.

d. Sistem gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman

pada perut, mual dan diare.

e. Sistem perkemihan berupa tidak dapat menahan buang air kecil, sering buang

air kecil.

f. Sistem integumen berupa berkeringat pada telapak tangan, gatal-gatal,

perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh.

Pada penelitian ini respon fisiologis yang dimaksud adalah beban kerja, kelelahan

dan keluhan muskuloskeletal.

2.3 Beban Kerja

2.3.1 Pengertian Beban Kerja

Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan, seorang pekerja akan

dihadapi dengan suatu beban kerja yang berlebih, beban kerja yang kurang dan

beban kerja yang optimal. Secara umum beban kerja yang diterima oleh seorang

pekerja dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut (Manuaba, 1998b; Adiputra,

1998):

a. External Load (stressor) adalah beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang

sedang dilakukan dan mempunyai ciri khusus yang berlaku untuk semua orang.

Misalnya pekerjaan, organisasi, dan lingkungan kerja. Beban kerja ini

merupakan rangsangan atau aksi tubuh manusia, baik berasal dari luar maupun

dari dalam tubuh manusia sendiri, yang menimbulkan bermacam-macam

dampak yang merugikan. Dampak ini merugikan, mulai dari menurunnya

kesehatan sampai dideritanya suatu penyakit, yang semuanya menjurus

kepada menurunnya efisiensi dan produktivitas kerja.

b. Internal Load (Strain) adalah segala reaksi tubuh terhadap aksi yang

diterimanya, reaksi-reaksi mana mulai dari menjadi aktif/ pasifnya

organ-organ tubuh untuk mengantisipasi stressor, sampai kepada aktivitas

yang melampui batas kemampuannya, sehingga terjadi hal-hal yang tidak

dinginkan. Strain dapat juga diartikan sebagai beban kerja yang berasal dari

dalam tubuh pekerja yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan,

kepuasan, taboo dan lain-lain.

2.2.2 Penilaian Beban Kerja

Metodologi ergonomi adalah metodologi analisis permasalahan ergonomi

dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan domain masalah tersebut dalam

lingkup ergonomi. Masalah beban kerja masuk dalam metode permasalahan

antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya, meliputi: metode

analisis beban kerja pada fisik pekerja/operator, metode analisis beban kerja pada

psychophysiological pekerja dan juga metode analisis beban kerja pada

lingkungan pekerjaannya termasuk urutan dan langkah pekerjaan.

a. Metode Psychophysiological

Metode psychophysiological adalah metode pengukuran respon tubuh (bagian

tubuh tertentu, seperti detak jantung, konsumsi oksigen dan kontraksi otot)

dalam menerima atau melakukan suatu pekerjaan dan pada lingkungan kerja

tertentu. Metode psychophysiological meliputi metode-metode (Stanton et al.,

2005): Electrodermal Measurement, Electromyography (EMG), Estimating

Mental Effort Using Heart Rate and Heart Rate Variability, Ambulatory EEG

Methods and Sleepiness, Assessing Brain Function and Mental Chronometry

with Event-Related Potentials, Magnetoencephalogram and Functional

Magnetic Resonance Imaging, Ambulatory Assessment of Blood Pressure to

Evaluate Workload, Monitoring Alertness, serta Measurement of Respiration

in Applied Human Factors and Ergonomics Research.

b. Behavioral and Cognitive Methods

Behavioral and cognitive methods adalah metode pengumpulan data mengenai

beban kerja didasarkan atas persepsi, proses kognitif, dan respon individu

terhadap informasi yang diberikan. Metode behavioral dan cognitive meliputi

metode-metode dengan cara: observasi, interview, verbal protocol analysis,

repertory grid dan focus groups. Metode behavioral dan cognitive meliputi

(Stanton et al., 2005): Observation, Applying Interviews to Usability

Assessment, Verbal Protocol Analysis, Repertory Grid for Product Evaluation,

Focus Groups, Hierarchical Task Analysis, Allocation of Functions, Critical

Decision Methods, Applied Cognitive Work Analysis, Systematic Human Error

Reduction and Prediction Approach, Task Analysis for Error Identification,

Mental Workload, Multiple Resource Time Sharing Models, Critical Path

Analysis for Multimodal Activity, dan Situation Awareness Measurement and

the Situation Awareness Global Assessment Technique.

Metodologi ergonomi ini ada yang bersifat objektif dan ada juga yang

bersifat subjektif. Analisis metodologi ergonomi yang bersifat subjektif, yang

dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya

beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau

pengalaman lain yang dirasakan, pengamatan langsung (checklist) maupun diskusi,

sedangkan analisis metodologi ergonomi yang bersifat objektif lebih mengarah

pada pengambilan data dengan peralatan yang terkalibrasi yang dapat diukur dan

dilakukan oleh pihak lain, meliputi: reaksi fisiologis, reaksi psikologi atau

perubahan tidak tanduk.

Penilaian beban kerja secara objektif yang paling mudah dan murah, dan

secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya adalah pengukuran frekuensi denyut

nadi. Frekuensi nadi kerja dari seluruh jam kerja, selanjutnya dipakai dasar

penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berhubungan

linier dengan konsumsi oksigen (Rodahl, 2005). Hal ini merupakan refleksi dari

proses reaksi (strain) terhadap stressor yang diberikan oleh tubuh, di mana

biasanya besar strain berbanding lurus dengan stress. Penilaian beban kerja

dengan mengukur peningkatan denyut nadi dilaksanakan saat bekerja atau segera

setelah selesai bekerja. Oleh karena itu yang paling baik diukur dengan

menggunakan alat pencatat yang ditempelkan di dada atau di lengan saat bekerja

(telemetri), kemudian hasilnya dicatat setelah selesai bekerja. Tetapi juga bisa

dengan mengukur denyut nadi segera setelah selesai kerja dengan metode sepuluh

denyut (Kilbon, 1990) Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode

sepuluh denyut adalah mengukur denyut nadi secara palpasi dengan menghitung

waktu untuk sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan bersamaan dengan denyut

kesatu dan ditekan stop pada denyut kesebelas). Denyut nadi dapat digunakan

untuk memprediksi beban kerja dengan cara mengkonvensikan dengan tabel

katagori beban kerja menurut (Christensen, 1991) dengan menghitung frekuensi

denyut nadi per menit (Tabel 2.1). Klasifikasi beban kerja juga di tunjukkan

dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.12.1 Klasifikasi beban kerja menurut Christensen

Work Load OxygenConsumption(l/min)

LungVentilation(l/min)

RectalTemperature(0C)

HeartBeats permin

Sangat ringan 0,25-0,30 6,0-7,0 37,5 60-70Ringan 0,50-1,0 15-20 37,5 75-100Sedang 1,0-1,5 20-31 37,5-38,0 100-125Berat 1,5-2,0 31-43 38,0-38,5 125-150Sangat berat 2,0-2,5 43-56 38,5-39,0 150-175Extremily 2,5-4,0 60-100 Over 39,0 Over 175Sumber: Christensen (1991)

Tabel 2.22.2 Klasifikasi beban kerja menurut denyut nadi

Tingkat beban kerja Denyut nadi (dpm)Istirahat 60 ~ 70Beban kerja sangat ringan 65 ~ 75Beban kerja ringan 75 ~ 100Beban kerja sedang 100 ~ 125Beban kerja berat 125 ~ 150Beban kerja sangat berat 150 ~ 180Beban kerja luar biasa berat >180Sumber: McCromick dan Sanders (1987)

Peningkatan denyut nadi dari istirahat sampai dengan kerja menurut

Tarwaka didefinisikan sebagai heart rate reserve (HR reserve) dengan persamaan

(Tarwaka, 2011):

��t ������� � ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 ���݊湡ݕ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 �湡��眯�ˤݕ���ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀

� �tt …...(1)

�th� � �tt����ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 ���݊湡ݕ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀ݑ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 �湡��眯�ˤݕ���ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀

…...(2)

Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220-umur) sedangkan untuk

perempuan adalah 200-umur. Berdasarkan beban cardiovaskular, beban kerja

fisik dapat diklasifikasikan sebagai klasifikasi beban kerja berdasrkan % CVL

(Tabel 2.3).

Tabel 2.3

2.3 Klasifikasi beban kerja berdasarkan % CVL

%CVL Klasifikasi Beban Kerja Keterangan< 30% Ringan Tidak terjadi kelelahan30% s/d < 60% Sedang Diperlukan perbaikan60% s/d < 80% Berat Kerja dalam waktu singkat80% s/d < 100% Sangat berat Diperlukan tindakan segera> 100% Tidak diperbolehkan beraktivitasSumber: Intaranont dan Vanwonterghem (1993)

Untuk memonitor external load yang bersumber dari suhu lingkungan

dapat pula dihitung dengan mempergunakan WBGT index (Wet Bulb Globe

Temperature), yang diperkenalkan oleh Crockford (1981). Kemudian ISO

7243-1982 merekomendasikan bahwa, pengukuran pengaruh lingkungan terhadap

pekerja berdasarkan pada WBGT Index (Person, 1991; Intaranont dan

Vanwonterghem, 1993) dengan rumus sebagai berikut (Helander, 1995; (Manuaba

dan Kamiel, 1996) :

WBGT = 0,7 Tnwb + 0,3 Tg (indoor

activity) …………………………(2)

WBGT = 0,7 Tnwb + 0,2 Tg + 0,1 Tdb (outdoor activity) ...................... (3)

Tnwb = natural wet bulb temperature

Tg = black globe temperature

Tdb = dry bulb temperature of ambient

Gambar 2.12.1 Grafik indek WBGT dan periode istirahat

Sumber: Intaranont dan Vanwonterghem (1993)

Dengan menggunakan persamaan WBGT dan berpedoman pada indek

WBGT, dapat diketahui upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk tercapainya

suatu kerja yang berkesinambungan selama 8 jam. Gambar 2.1 memperlihatkan

grafik dari indek WBGT.

External load atau beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan yang sedang

diselesaikan pekerjaannya diukur dengan metode Brouha (Kilbon, 1990;

Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) yang dilaksanakan dengan cara mengukur

denyut nadi istirahat dan denyut nadi pemulihan, diukur sesaat setelah selesai

bekerja sebanyak lima kali (P1, P2, P3, P4 dan P5) dan masing-masing diukur dalam

waktu 30 detik dan hasilnya dikalikan dua, dengan cara ini dapat diketahui

pengaruh lingkungan terhadap kondisi tubuh berupa: a) Extra cardiac pulse due to

metabolism (ECPM) dan b) Extra cardiac pulse due to heat transfer to periphery

(ECPT) menggunakan rumus sebagai berikut (Adiputra, 1998):

�th� � h��h��h��

ݕ ht ………………(3)

………………(4)

Keterangan :P0 : denyut nadi istirahatP1 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1 pada pemulihanP2 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada pemulihanP3 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada pemulihan

P4 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada pemulihanP5 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada pemulihan

Denyut nadi istirahat (P0) adalah denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai

dan P1, P2, P3, P4, P5 = denyut nadi pemulihan adalah denyut nadi yang dihitung

pada akhir 30 detik setelah pekerjaan berhenti selama 30 detik untuk P1, dan

dilanjutkan untuk P2 dihitung pada akhir 30 detik setelah P1, selama 30 detik.

Demikian seterusnya sampai P5, seperti terlihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.22.2 Denyut nadi pemulihanSumber: Letho dan Buck (2008)

a. ECPT > ECPM

Faktor external load dari lingkungan lebih dominan memberikan beban

kerja tambahan kepada subjek, sehingga perbaikan lingkungan kerja perlu

menjadi prioritas.

b. ECPM > ECPT

Kerja otot aktif subjek lebih dominan, perbaikan atas beban kerja utama

menjadi prioritas.

140

130

120

110

100

90

80

70

60

0 30 60 90 120 150 180

1

23

4 5

Pekerjaan berhenti

P1 P2 P3 P4 P5

Denyutnadi/m

enit

Nadi pemulihan

(a)

(b) (c)

c. ECPT = ECPM

Berarti bahwa beban fisik pekerjaan dan aspek lingkungan sama-sama

memberikan beban kepada tubuh, dengan demikian upaya intervensi

ditujukan ke-2nya.

Metode lain pengukuran beban kerja diberikan oleh (Dubeau et al., 2015)

yang membagi beban kerja menjadi 4 katagori: Sangat Ringan, Ringan, Moderat

dan berat. Pendekatan pengukuran beban kerja dilakukan dengan pendekatan

addative neuro-fuzzy inference systems dengan melakukan pengamatan pada

denyut nadi. Data yang digunakan adalah denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja

dan berat badan

Keuntungan penggunaan nadi kerja untuk menilai beban kerja adalah

selain prosesnya mudah, cepat, murah, tidak diperlukan peralatan yang mahal,

hasilnya juga cukup reliabel (Mansikka et al., 2016). Alat ukur denyut nadi yang

efektif adalah menggunakan alat pulse meter yaitu Heart Rate Monitor Life

Source, sehingga denyut nadi bisa terukur dengan baik selama kerja (Gungga et

al., 2015).

Gambar 2.32.3 Real time heart rate monitoring

(a) heart rate strap Garmin, b) gelang monitor kesehatan Xiomi Mi Fit, c) aplikasiNotify & Fitness for Mi Band heart rate monitoring pada tablet android.

Perkembangan teknologi mendukung perubahan peralatan pengukuran

menjadi lebih ringan, kecil dan tingkat mobilitas yang tinggi, sehingga

pengukuran respon fisiliogi tidak lagi harus dilakukan di dalam laboratorium.

Sebagai contoh pengukuran denyut nadi dapat dilakukan dengan heart rate

monitor secara real time dengan heart rate strap di pasang di dada, maupun

gelang monitor kesehatan yang dipasang dipergelangan tangan, data langsung

ditransmisikan dengan koneksi bluetooth ke perangkat komputer atau tablet

(Gambar 2.3).

Pada pekerja pasiran, penilaian beban kerja secara objektif, bisa dilakukan

dengan mengukur frekuensi denyut nadi, ECPT dan ECPM, sehingga intervensi

yang dilakukan adalah sesuai dengan kondisi yang ada pada pekerja.

2.4 Kelelahan

Kelelahan mempunyai fungsi perlindungan terhadap kerusakan fisik,

namun kebanyakan masyarakat lebih menonjolkan kelelahan sebagai faktor

pengaruh terhadap menurunnya efisiensi dan efektivitas kerja. Proses terjadinya

kelelahan fisiologis adalah: terkumpulnya produk-produk sisa metabolisme dalam

otot dan peredaran darah, sisa-sisa produk tersebut bersifat membatasi

kelangsungan aktivitas otot, sehingga orang menjadi tidak sanggup lagi

melakukan aktivitas kerja sebagaimana mestinya. Dan kelelahan fisiologis

disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan

zat-zat hasil oksida glukosa dalam otot. Oksigen yang masuk lebih kecil dari

kebutuhan dan persediaan gilkogen dalam hati menipis, sedangkan proses

terjadinya kelelahan psikologis adalah ketika sistem penggerak (formation

reticular) lebih kuat dari pada sistem penghambat (thalamus) di dalam otak.

Secara mental orang tersebut sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas

sebagaimana mestinya, walaupun sebenarnya secara fisik masih mampu (Pulat,

1992).

2.4.1 Pengertian Kelelahan

Pengertian kelelahan diartikan sebagi berikut:

a. Kelelahan kerja adalah suatu yang timbul pada saat keadaan yang tidak

sanggup lagi untuk melakukan aktivitas kerja sebagaimana mestinya (Pulat,

1992).

b. Kelelahan pada dasarnya adalah kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas

kerja dan ketahanan tubuh. Dalam kondisi lelah perasaan subjektif mengenai

kelelahan menjadi dominan. Perasaan lelah sebenarnya merupakan

perlindungan dari keterbatasan dan kemampuan fisik untuk menghidari

kerusakan fisik, ketegangan, dan gangguan-gangguan psikologis lebih lanjut

dan sekaligus member peringatan untuk instirahat, agar fisik mempunyai

kesempatan untuk memulihkan energinya kembali (Kroemer dan Grandjean,

2003).

2.4.2 Jenis Kelelahan

Pada umumnya kelelahan dibagi menjadi dua yaitu kelelahan fisiologis

dan kelelahan psikologis, dapat diuraikan sabagai berikut:

a. Kelelahan fisiologis (kelelahan fisik)

Kelelahan yang timbul karena perubahan fisiologis atau hilangnya secara

temporer kapasitas psiko-fisiologis yang disebabkan oleh perangsangan secara

terus menerus (Adiputra, 1998).

b. Kelelahan Psikologis (kelelahan mental)

Merupakan kelelahan semu, yang timbul dalam perasaan dan terlihat dalam

tingkah lakunya, atau pendapat-pendapatnya yang tidak konsisten serta

jiwanya labil.

2.4.3 Penyebab Terjadinya Kelelahan

Kelelahan kerja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai

berikut (Kroemer dan Grandjean, 2003):

a. Problem psikis, meliputi: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik

b. Kenyerian (rasa nyeri) dan kondisi kesehatan

c. Status gizi dan nutrisi

d. Intensitas dan lamanya kerja fisik maupun mental

e. Faktor lingkungan meliputi: penerangan, vibrasi mekanik, suhu udara.

Faktor-faktor yang penyebab kelelahan tersebut, dapat dicegah atau

dikurangi antara lain dengan cara berikut (Sedarmayanti, 1996):

a. Kepemimpinan yang dapat menimbulkan motivasi dan semangat kerja

b. Manajemen yang dapat meningkatkan keserasian

c. Perhatian karyawan dan keluarganya serta mengurangi permasalahan yang

potensial timbul

d. Pengorganisasian kerja yang dapat menjamin cukupnya waktu istirahat dan

rekreasi, variasi dan volume serta lingkungan kerja yang serasi dengan

kepuasan kerja

e. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan sosial termasuk gaji dan gizi (nutrisi).

2.4.4 Evaluasi Kelelahan

Kelelahan dapat diukur dengan beberapa cara atau metode, yaitu:

pengukuran kualitas dan kuantitas kerja, keluhan subjektif, tremor detector

sebagai tes psikomotor, flicker fusion test, dan test mental (Kroemer dan

Grandjean, 2003). Keluhan subjektif dapat diukur dengan kuesiomer 30 item self

rating test dengan skala lima yang direkomendasikan oleh Japan Association

Industrial Health/ JAIH dan Industrial Fatigue Committee Research of Japan.

Kuesioner tersebut memuat daftar gejala-gejala yang berhubungan dengan

kelelahan yang ditanyakan kepada subjek dan diisi secara subjektif sesuai dengan

apa yang dirasakan. Substansi dimensional dari kuesioner adalah sebagai berikut:

item 1-10 menyangkut pelemahan aktivitas, item 11-20 menyangkut pelemahan

motivasi, dan item 21-30 menyangkut kelelahan fisik akibat keadaan umum

(Yoshitake, 1971).

Secara objektif pengukuran kelelahan kerja dapat dilakukan terhadap

perubahan fisilogis tubuh seperti dengan mengukur waktu reaksi, kadar asam

laktat, temperatur tubuh dan ekstrasi ketekolamin (Christensen, 1991).

Pengukuran waktu reaksi merupakan salah satu cara dalam uji psiko-motor

(psychomotor test) yang melibatkan fungsi persepsi, interprestasi dan reaksi motor.

Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsangan tunggal

sampai timbulnya respon terhadap rangsangan tersebut. Dalam keadaan kelelahan,

waktu reaksi akan lebih lama atau memanjang. Hal ini disebabkan karena pada

keadaan kelelahan, secara neurofisiologis korteks serebri mengalami penurunan

aktivitas. Terjadi perubahan pada pengaruh pada sistem aktivasi dan sistem

inhibisi, sehingga tubuh tidak dapat secara cepat menjawab signal-signal dari luar

(Kroemer dan Grandjean, 2003). Dalam penelitian ini pengukuran kelelahan kerja

mengggunakan metode pengukuran waktu reaksi dengan menggunakan alat bantu

reaction time berupa perangkat lunak reaction time yang di install pada tablet

android.

2.5 KeluhanMusculoskeletal

Manusia yang bekerja akan terjadi konstraksi dan relaksasi secara

bergantian pada otot-otot tubuhnya terlepas dari jenis pekerjaan yang dilakukan

(Astrand dan Rodahl, 1986). Hal itu terjadi sebagai akibat dari aktivitas anggota

gerak dalam menjaga posisi tubuh agar stabil, atau gerakan tertentu dalam

pelaksanan tugas. Semakin banyak gerakan yang berlawanan dengan kaidah faal

yang dilakukan, semakin banyak energi yang digunakan (Astrand dan Rodahl,

1986; Kroemer dan Grandjean, 2003). Semakin banyak sikap tubuh melawan

sikap netral tubuh maka semakin banyak otot-otot yang bekerja. Demikian pula

kalau tubuh semakin terporsir dalam suatu posisi kerja tertentu, akan semakin

lama kelompok otot-otot tertentu berkontraksi. Terlebih lagi kalau hal itu

dilakukan secara berulang-ulang, maka akan terjadinya kelelahan otot (Astrand

dan Rodahl, 1986; Kroemer dan Grandjean, 2003). Bentuk dari kelelahan otot

disertai dengan sensasi sakit yang terjadi pada otot. Semuanya itu dapat dideteksi

dengan adanya keluhan otot-otot. Jenis otot mana yang terpengaruh tergantung

kepada beratnya tugas dan tingkat monotonnya gerakan.

Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua

(Tarwaka, 2011), yaitu:

a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, tetapi keluhan tersebut akan segera hilang apabila

pemberian beban tersebut dihentikan.

b. Keluhan menentap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.

Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan tetapi rasa sakit pada otot

masih terus berlanjut.

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang

berlebih akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi

pembebanan yang panjang. Keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila

kontraksi otot hanya berkisar 15 ~ 20% dari kekuatan otot maksimum, sedangkan

apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang

menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan

(Kroemer dan Grandjean, 2003).

Peralatan kerja dan aktivitas fisik yang dilakukan di tempat kerja yang

tidak ergonomis dapat menimbulkan cedera atau keluhan pada otot dan persendian.

Terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal dapat disebabkan oleh beberapa faktor

(Tarwaka, 2011), yaitu:

a. Peregangan otot yang berlebih, pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja

yang aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti:

mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat.

b. Aktivitas berulang, yaitu pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus

seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut, dan lain-lain. Keluhan

otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus

menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

c. Sikap kerja tidak alamiah, yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi

bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah seperti tangan

terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan lain-lain.

Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh semakin tinggi

resiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja yang tidak alamiah

pada umumnya karena karaktersitik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja

tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Manuaba, 1998;

Kroemer dan Grandjean, 2003).

d. Penyebab sekunder, seperti: getaran dan mikroklimat.

e. Penyebab kombinasi, dengan resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan

semakin meningkat apabila pekerja dalam melakukan tugasnya dihadapkan

pada beberapa faktor resiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja

harus melakukan aktivitas angkat angkut di bawah tekanan panas matahari.

2.5.1 Evaluasi Keluhan Sistem Muskuloskeletal

Keluhan sistem muskuloskeletal dapat dievaluasi dengan beberapa metode,

degan tujuan mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan

otot skeletal. Beberapa evaluasi ergonomi untuk mengetahui keluhan sistem

muskuloskeletal, yaitu:

1) Physical Methods

Physical methods adalah masalah beban kerja yang cendrung mengakibatkan

masalah-masalah keluhan muskuloskeletal (MSDs), repetitive strain injuries

(RSIs) atau work-related upper extremity disorders (WUEDs) yang artinya

keluhan nyeri atau sakit yang dirasakan pada sistem otot rangka. Penyebab

keluhan ini sangat beragam, mulai dari beban yang berlebih, salah posisi,

salah duduk, lingkungan tidak mendukung dan lainnya.

Metode ergonomi untuk menganalisis masalah ini (Stanton et al., 2005),

meliputi: A Method Assigned for Identification of Egonomics Hazard,

Musculoskeletal Discomfort Surveys Used at NIOSH, The Dutch

Musculoskeletal Questionnaire, Quick Exposure Checklist for the assessment

of workplace Risk for Work-Related Musculoskeletal Disorders (WMSDs),

Rapid Upper Limb Assessment (RULA), Rapid Entire Body Assessment, The

Strain Index, Posture Checklist Using Personal Digital Assistant Technology,

Scaling Experiences during Work: Perceived Exertion and Difficulty, Muscle

Fatigue Assessment: Functional Job Analysis Technique, Psychophysical

Tables: Lifting, Lowering, Pushing, Pulling, and Carrying, Lumbar Motion

Monitor, The Occupational Repetitive Action (OCRA) Methods: OCRA index

and OCRA Checklist, Assessment of Exposure to Manual Patient Handling in

Hospital Wards: Index for Risk Assessment of Patient Manual Handling in

Hospital.

2) EMG (Electromyography)

Alat ini mengevaluasi dan mencatat aktivitas otot. EMG digunakan untuk

membandingkan tegangan otot skeletal dengan berbagai variasi posisi kerja

atau kegiatan untuk validasi prinsip ergonomi.

3) OWAS (Owako Working Analysis System)

Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai sikap

kerja pada saat bekerja. Aplikasi OWAS didasarkan pada pengamatan dari

berbagai posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaannya

dan digunakan untuk mengidentifikasi sampai 252 posisi yang berbeda

sebagai hasil dari kemungkinan kombinasi sikap kerja tubuh bagian belakang,

lengan, kaki dan pembebanan. Metode OWAS dapat diterapkan untuk

memperbaiki tempat kerja, merancang tempat kerja baru dan survei ergonomi

(Corlett, 2005). Metode OWAS memiliki keterbatasan yaitu tidak menilai

secara detail tingkat keparahan pada masing-masing posisi.

4) RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target sikap

kerja untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot skeletal, khususnya

pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorder)

5) NBM (Nordic Body Map)

Salah satu metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah

penilaian keluhan otot skeletal pada bagian tubuh tertentu dengan

menggunakan Nordic Body Map baik dengan rating maupun rangking (Corlett,

2005). Pada subjek ditanyakan mengenai bagian-bagian anggota tubuh yang

mengalami kenyerian, sakit atau ketidaknyamanan.

Kelelahan otot sesuai dengan Mordic Body Map dapat dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu: bagian otot trunkus, bagian otot ekstremitas bagian atas (upper

extrimities) dan bagian otot ekstremitas bagian bawah (lower extrimities).

a) Bagian otot trunkus terdiri dari: leher bagian atas, leher bagian bawah,

punggung, pinggang, bokong dan pantat.

b) Bagian otot ekstremitas bagian atas terdiri dari: bahu kiri, bahu kanan,

lengan atas kiri, lengan atas kanan, siku kiri, siku kanan, lengan bawah kiri,

lengan bawah kanan, pergelangan tangan kiri, pergelangan tangan kanan,

tangan kiri dan tangan kanan.

c) Bagian otot ekstremitas bagian bawah terdiri dari: paha kiri, paha kanan,

lutut kiri, lutut kanan, betis kiri, betis kanan, pergelangan kaki kiri,

pergelangan kaki kanan, kaki kiri dan kaki kanan.

Dalam penelitian ini, pengukuran keluhan muskuloskeletal menggunakan

kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map merupakan kuesioner

yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyaman atau kesakitan

pada 28 bagian otot skeletal yang diobservasi, yang sudah cukup terstandarisasi

dan tersusun rapi (Kroemer et al., 2010). Dalam banyak penelitian ergonomi,

penggunaan kuesioner Nordic Body Map dimodifikasi dengan empat skala Likert.

Nilai setiap bagian otot skeletal yang diobservasi kemudian dijumlahkan untuk

mendapatkan total skor individu. Selanjutnya dengan desain empat skala Likert

diperoleh skor individu sebagai berikut: Tidak sakit (skor 28-49), Agak sakit (skor

50-70), Sakit (71-91) dan Sangat sakit (92-112). Pengukuran keluhan

muskuloskeletal dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan. Perbedaan

skor sebelum dan sesudah kerja merupakan nilai keluhan otot akibat kerja.

2.6 Gaya-Gaya Pada Low Back Disc L4/L5

Aktivitas angkat angkut manual yang tidak tepat dapat menimbulkan

kerugian bahkan kecelakaan kerja. Tingginya tingkat cidera atau kecelakaan kerja

selain merugikan secara langsung yaitu sakit yang diderita oleh pekerja,

kecelakaan tersebut juga berdampak buruk terhadap kinerja perusahaan yaitu

berupa penurunan produktivitas perusahaan, baik melalui beban biaya pengobatan

yang cukup tinggi dan juga ketidakhadiran pekerja serta penurunan dalam kualitas

kerja.

Khusus saat melakukan angkat angkut manual jenis pengangkatan, organ

tubuh yang mendapatkan pengaruh paling besar adalah pada bagian tulang

belakang. Pengangkatan manual yang dilakukan oleh pekerja membuat struktur

tulang belakang mengalami tekanan yang berlebihan, meskipun pengangkatan

manual tersebut dilakukan tidak terlalu sering atau dengan kata lain frekuensinya

jarang. Namun demikian, hal tersebut tetap saja memberikan pengaruh buruk

terhadap struktur tulang belakang.

Gambar 2.42.4 Struktur low back disc

Sumber: Kumar, S. (1999)

Ketika manusia/ pekerja melakukan aktivitas dengan berbagai sikap kerja

saat bekerja, maka berat beban pekerjaan yang diangkat dan berat badan bagian

atas tubuh terakumulasi pada lempengan (disc) tulang belakang/ diskus

intervertebralis yang berupa ‘jelly-like structure’, khususnya pada tulang belakang

(lumbar). Tekanan berlebih dan terjadi berulangkali pada disk dapat menyebabkan

terjadinya hernia/ slliped disc/ ruptured disc/ proptased intervetebral disc, yaitu

keluarnya disk dari tempatnya dan menekan urat saraf pada saraf tunjang (Gambar

2.4). Akibat hernia disc yang menekan urat sarat, mengakibatkan timbulnya

keluhan rasa sakit pada punggung bawah (low back pain) saat tubuh digerakan

atau melakukan aktivitas. Selain perasaan rasa sakit di area punggung bawah

(lower back), rasa sakit juga dapat terjadi bokong (buttocks) atau kaki. Potensi

terjadinya low back disorder dapat terjadi jika keluhan rasa sakit terjadi terius

menerus. Low back disorder diartikan sebagai keluhan perasaan sakit pada lower

back, buttocks atau legs/ sciatica, yang dapat berakibat pada kehilangan

kesempatan bekerja atau kegiatan lainnya dikarenakan keluhan perasaan sakit

(Violante et al., 2003).

Gaya-gaya terbesar terjadi di antara tulang belakang (disc) pada disc

Lumbar No. 5 yang ditekan oleh disc Lumbar No. 4 atau sering disingkat dengan

gaya tekan disc L4/L5 (low back compression L4/L5) (Violante et al., 2003; Letho

dan Buck, 2008). Gaya-gaya yang bekerja pada low back disc meliputi gaya

compression, gaya anterior/ posterior shear dan gaya lateral shear (Gambar

2.5).

Gambar 2.52.5 Gaya-gaya tekan yang bekerja pada low back disc L4/L5

Sumber : Karwowski (2006)

Gaya compression merupakan gaya yang menekan disc dari atas ke bawah.

Nilai ambang batas yang ditetapkan untuk gaya compression pada L4/L5 atau

L5/S1 adalah sebesar 3400 N (Karwowski, 2006). Nilai ambang batas untuk

gaya compression pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 sebesar 3400 N

merupakan nilai ambang batas untuk proses angkat angkut dalam penerapannya di

dunia industri.

Gaya anterior/ posterior shear adalah gaya geser yang menekan disc ke

arah depan atau belakang. Karena proses mengangkat beban biasanya berada di

depan badan pekerja, gaya anterior/ posterior shear juga menjadi gaya

mempunyai nilai batasan walaupun belum menjadi konsensus internasional.

Gallagar dan Marras (2012) memberikan batasan untuk nilai besaran gaya

anterior/ posterior shear pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 adalah sebesar

1000 N untuk proses angkat angkut non repetitif dan 700 N untuk proses angkat

angkut repetitif. Sedangkan untuk pekerjaan menarik datau mendorong, batasan

gaya anterior/ posterior shear pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 adalah

sebesar 500 N (Harris-Adamson et al, 2016).

Gaya lateral shear adalah gaya geser yang menekan disc ke arah kanan

atau kiri. Sampai saat ini belum ada batasan nilai untuk besaran gaya lateral shear.

Gaya lateral shear muncul jika analisis proses angkat angkut merupakan proses

angkat angkut asimetrik dengan analisis 3 dimensi (3 sumbu/ axis). Penelitian

penelitian angkat angkut asimetrik dengan analisis 3 dimensi masih belum banyak

dan belum menganalisis dampak besaran gaya lateral shear pada low back pain.

Pada penelitian ini perhitungan biomekanika gaya-gaya (compression,

anterior/posterior shear dan lateral shear) pada low back disc L4/L5, dilakukan

dengan program bantu Siemen Jack 8.2 win-64. Analisis dilakukan berdasarkan

sikap-sikap pekerja saat melakukan pekerjaan baik pada saat melakukan pekerjaan

dengan alat bantu enggrong maupun dengan enggrong yang telah dimodifikasi.

Analisis virtual juga memasukan data anthropometri pekerja, berat rata-rata satu

sekopan enggrong, frekuensi siklus gerakan, dan lama pekerjaan dilakukan.

2.6.1 Postur Badan

Secara umum, postur badan (trunk) dapat didefinisikan sebagai orientasi

segmen badan dalam ruang dan hubungannya dengan satu sama lain. Definisi ini

mengasumsikan segmen badan menjadi segmen-segmen terhubung, yang terkait

dengan segmen selanjutnya ditentukan oleh rotasi sambungan dalam tiga sumbu/

axis. Berdasarkan ISO 11226 orientasi badan terbagi menjadi 3 arah gerakan,

yaitu flexion atau forward/ backward bending, lateral bending, dan twisting

(Kroemer et al., 1997) (Gambar 2.6). Berdasarkan ISO 11226 orientasi badan di

ukur dari pinggang, yang mana arah sumbu vertikal pinggang bisa tidak sama

dengan arah sumbu vertikal gravitasi bumi.

Gambar 2.62.6 Flexion/ forward bending, lateral bending, dan twisting (ISO 11226)

Sumber: Delleman et al. (2004)

Selain berdasarkan ISO 11226, orientasi badan ditentukan juga

berdasarkan sistem gravitasi bumi. Berdasarkan arah vertikal grafitasi bumi,

orientasi badan disebut dengan kemiringan tubuh ke depan (forward inclination)

dan kemiringan tubuh ke samping (sideward inclination) (Gambar 2.7). Pada

metode pengukuran orientasi badan ini sudut yang diperoleh merupakan gabungan

gerakan segmen tulang belakang, pinggang dan pinggul.

Gambar 2.72.7 Kemiringan tubuh ke depan (forward inclination) dan kemiringan tubuh ke

samping (sideward inclination).Sumber: Delleman et al. (2004)

Penelitian ini, orientasi badan pekerja di hitung berdasarkan sudut

kemiringan badan dari pinggang, mengikuti pengertian orientasi badan

berdasarkan ISO 11226, meliputi: flexion atau forward/ backward bending, lateral

bending, dan twisting. sikap dalam proses angkat angkut mempengaruhi besarnya

gaya-gaya pada low back disc L4/L5. Faktor yang mempengaruhi besarnya

gaya-gaya pada low back disc L4/L5 adalah momen gaya dan besarnya sudut

sikap tubuh. Sampai sekarang belum ada batasan-batasan seberapa nilai momen

gaya dan sudut sikap tubuh untuk proses angkat angkut yang diijinkan atau

direkomendasikan sebagai batasan nilai keselamatan pekerja. Beberapa penelitian

sikap tubuh menunjukkan seberapa besar momen gaya dan sudut badan

maksimum yang dapat dilakukan atau ditahan oleh manusia.

Nilai maksimum momen gaya dengan sikap tubuh flexion atau forward

bending adalah sebesar 247 Mm untuk pekerja laki-laki (Kumar, 1996) dengan

sudut maksimum sebesar 700 (Delleman et al., 2004). Nilai maksimum momen

gaya dengan sikap tubuh lateral bending adalah sebesar 121 Nm untuk pekerja

laki-laki (Kumar, 1996) dan sudut maksimum sebesar 300 (Delleman et al., 2004).

Nilai maksimum momen gaya dengan sikap tubuh twisting adalah sebesar 52 Nm

(Kumar, 1997) dan sudut maksimum sebesar 600 (Delleman et al., 2004).

2.6.1 Biomekanika

Biomekanika didefinisikan sebagai ilmu aplikasi mekanika pada sistem

biologi. Biomekanika merupakan kombinasi antara disiplin ilmu mekanika

terapan, ilmu-ilmu biologi dan fisiologi. Pendekatan biomekanika dalam proses

angkat angkut menitik beratkan pada struktur tulang dan posisi pengangkatan, di

mana struktur tulang terutama tulang belakang mengalami tekanan yang

berlebihan ketika melakukan pengangkatan meskipun dengan frekuensi jarang.

Struktur tulang belakang manusia terdiri dari 24 ruas tulang dibagi menjadi 4

bagian, meliputi: Cervical (C1-C7), Thoaric (T1-T12), Lumbar (L1-L5) dan

Sacro-illiac (Sacral). Tulang belakang manusia tidaklah tegak lurus, namun

membentuk kurva. Kurva tulang belakang yang cembung disebut kyphosis dan

yang cekung disebut lordosis. Pada susunan tulang belakang, setiap tulang

belakang terdapat lempengan (disc) tulang belakang/ diskus intervertebralis.

Dengan adanya ruas-ruas beserta lempengan tersebut, maka tulang belakang dapat

menekuk. Dari bagian-bagian tulang belakang tadi, maka bagian lumbar adalah

yang terpenting (Letho dan Buck, 2008).

Model biomekanika sederhana 2 derajat kebebasan/ axis untuk proses

angkat angkut simetri ditunjukkan pada Gambar 2.8 (Kroemer et al., 2010).

Model biomekanika sederhana ini menunjukkan beban pada tulang belakang

berdasarkan atas beban yang diangkat dan jarak titik pusat beban dengan titik

tulang belakang. Beban pada tulang belakang adalah perkalian antara berat beban

yang diangkat dengan jarak antar pusat massa beban dengan titik pusat masa

tubuh.

Gambar 2.82.8 Model biomekanika sederhana 2 derajat kebebasan/ axis untuk proses angkat

angkut simetrisSumber: Karwowski (2006)

Model biomekanika sederhana dua derajat kebebasan/ axis memodelkan

tubuh manusia sebagai satu segmen/ bagian dalam satu bidang. Tubuh manusia

dapat dimodelkan secara mekanika sebagai rangkaian segmen-segmen/

bagian-bagian yang tersambung dengan beberapa jenis sambungan (joint)

(Gambar 2.8) (Kroemer et al., 2010). Pemodelan tubuh manusia sebagai

rangkaian segmen-segmen/ bagian-bagian dengan beberapa jenis sambungan

memungkinkan analisis gaya akibat proses angkat angkut dan sikap tubuh simetris

atau tidak simetris (asimetris) saat mengangkat beban dapat dilakukan.

Perhitungan gaya dan momen gaya dapat dihitung pada setiap sambungan segmen

tubuh sesuai dengan jenis sambungan segmen tersebut. Model perhitungan gaya

dan momen gaya dapat dilakukan baik secara 2 atau 3 derajat kebebasan (2 axis /

3 axis).

Gambar 2.92.9 Sistem rangkaian segmen tubuh

Sumber: Kroemer el al. (2010)

Gambar 2.10 menunjukkan model batang dari tubuh manusia sebagai

rangkaian segmen-segmen/ bagian-bagian yang tersambung. Gambar 2.10

merupakan Free-body diagram dengan 3 derajat kebebasan/ axis untuk gaya dan

momen gaya. Beban terletak pada ke-2 tangan untuk objek di luar atau torsi

dihasilkan di tangan ditransmisikan sepanjang batang/ link. Pertama, gaya yang

diberikan dengan tangan kanan, dimodifikasi oleh keuntungan mekanis yang ada,

harus diteruskan di seluruh siku. Siku tambahan memaksa atau torsi harus

dihasilkan untuk mendukung massa lengan. Namun, untuk saat ini, model

dianggap tak bermassa. Demikian pula, bahu harus mengirimkan upaya yang

sama, lagi diubah oleh kondisi mekanis yang ada. Dengan cara ini, semua sendi

berikutnya mengirimkan usaha yang diberikan dengan tangan seluruh batang,

pinggul, dan kaki dan akhirnya dari kaki ke lantai. Di sini, satu kaki berdiri di

bidang cenderung oleh sudut α melawan semua usaha tangan. Pada titik ini,

ortogonal kekuatan dan torsi vektor dapat dipisahkan lagi, demikian pula untuk

vektor analisis di tangan. Dalam tubuh tak bermassa, jumlah yang sama dari

vektor harus ada pada kaki ketika mulai di tangan.

Gambar 2.102.10 Free-body diagram 3 derajat kebebasan/ axis untuk gaya dan momen gaya pada

link-joint tubuh manusiaSumber: Kroemer et al. (2010)

Beberapa cara dikembangkan untuk dapat menghitung besar gaya-gaya

pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 berdasarkan sistem biomekanika.

Persamaan The Hand-Calculation Back Compression Force dari Merryweather,

Simple Polynomial dari McGill, The University of Michigan’s 3D Static Strength

Prediction ProgramTM (3DSSPP), Anybody Modelling System, Regression Model

dari Arman N dan Linked-Segment Biomechanical Model dari Potvin adalah

beberapa metode untuk perhitungan gaya-gaya pada L4/L5 atau L5/S1 (Rajaee et

al., 2015). Tidak semua metode dapat menghitung gaya-gaya pada L4/L5 atau

L5/S1 dengan kondisi kondisi angkat angkut asimetris. Metode 3DSSPP dari

Univesitas Michigan dapat memprediksi gaya-gaya pada L4/L5 dengan kondisi

proses angkat angkut asimetris serta beban pada tangan, lengan, badan, pinggul

dan kaki dalam analisis 3 derajat kebebasan/ 3 axis.

Pada penelitian ini perhitungan biomekanika gaya-gaya (compression,

anterior/posterior shear dan lateral shear) pada low back disc L4/L5, dilakukan

dengan program bantu Siemen Jack 8.2 win-64 Jack ForceSolver dengan metode

3DSSPP.

2.7 Produktivitas

Produktivitas pada dasarnya menciptakan lebih banyak barang dan jasa

bagi kebutuhan manusia dengan menggunakan sumber daya yang serba terbatas.

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas kerja antara lain beban

kerja, ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, kelelahan, penyakit akibat kerja,

cedera dan kecelakaan akibat kerja (Tarwaka, 2011). Cara mengangkat barang

yang salah, beban terlalu berat, sikap tubuh yang statis, kegiatan yang berulang

atau repetitif, semuanya dapat mengakibatkan cedera yang berpengaruh terhadap

menurunnya produktivitas kerja (Salvendy, 2001).

Produktivitas merupakan alat untuk, mengukur tingkat efektivitas dan

sekaligus efisiensi dalam hal menghasilkan barang dan jasa (Wignjosoebroto,

1995). Seberapa besar nilai tambah yang telah dihasilkan diukur berdasarkan

besaran keluaran (output) relatif terhadap masukan (input). Indeks produktivitas

dihitung berdasarkan perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input)

kali waktu. Hasil kerja (output) diukur dari jumlah rata-rata produksi yang

dihasilkan oleh setiap pekerja per hari, dan masukan (input) diukur berdasarkan

peningkatan denyut nadi akibat kerja per hari (Sutjana, 2000).

Faktor-faktor yang secara umum dapat mempengaruhi produktivitas kerja

(Tarwaka, 2011), adalah:

1. Motivasi

Merupakan kekuatan atau motor pendorong kegiatan seseorang ke arah tujuan

tertentu dan melibatkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapainya.

2. Kedisplinan

Displin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbutan tingkah laku

perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan

terhadap peraturan, ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku.

3. Etos Kerja

Merupakan salah satu faktor penentu produktivitas, karena etos kerja

merupakan pandangan untuk menilai sejauh mana melakukan suatu pekerjaan

dan terus berupaya mencapai hasil yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang

dilakukan.

4. Ketrampilan

Baik ketrampilan teknik maupun manajerial sangat menentukan tingkat

pencapaian produktivitas. Dengan demikian setiap individu dituntut untuk

terampil dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur pendidikan

formal maupun informal.

Produktivitas dirumuskan sebagai berikut:

h좀 �������

………..(5)

Di mana Pt adalah Produktivitas, Op adalah Output atau hasil, Ip adalah Input atau

masukan dan T adalah waktu. Ukuran output dan input dapat dinyatakan dalam

bentuk: a) ukuran output dinyatakan dengan jumlah satuan fisik produk atau jasa,

nilai rupiah produk/ jasa, nilai tambah, jumlah pekerja atau kerja, jumlah laba

kotor, b) ukuran input dinyatakan dengan jumlah waktu, jumlah tenaga kerja,

jumlah jam orang, jumlah biaya tenaga kerja, jumlah jam mesin, jumlah biaya

penyusutan dan perawatan mesin, jumlah material, jumlah seluruh biaya

pengusahaan, jumlah luas tanah. Sedangkan Waktu adalah waktu yang dibutuhkan

untuk melaksanakan proses produksi, termasuk juga pengelolaan waktu kerja dari

tenaga kerja manusia.

Ada 4 cara dalam meningkatkan produktivitas yaitu: a) meningkatkan

keluaran sedangkan masukan dipertahankan atau tetap, b) keluaran tetap tetapi

masukan diturunkan, c) keluaran naik besar masukan naik kecil, d) keluaran turun,

masukan turun lebih besar. Pengukuran produktivitas digunakan untuk

memberikan informasi yang bermanfaat dari perbaikan yang telah dilaksanakan,

sehingga dapat diambil suatu langkah-langkah yang tepat bagi perbaikan yang

akan dilaksanakan ke depan. Manfaat pengukuran produktivitas antara lain: a)

nilai-nilai produktivitas yang dihasilkan dari suatu pengukuran dapat menjadi

informasi yang berguna untuk merencanakan tingkat keuntungan dari suatu usaha,

b) pengukuran produktivitas secara terus menerus akan memberikan informasi

yang bermanfaat untuk menentukan dan mengevaluasi kecendrungan

perkembangan produktivitas usaha dari waktu ke waktu, c) memberikan

informasi yang bermanfaat dalam mengevaluasi perkembangan dan efektifitas

dari perbaikan terus menerus yang dilakukan dalam suatu usaha, d) memberikan

motivasi kepada orang-orang untuk terus menerus melakukan perbaikan dan juga

meningkatkan kepuasan kerja.

Untuk mencapai produktivitas yang setinggi-tingginya, banyak faktor yang

harus diperhatikan, sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk

mencapainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dalam tingkat

individu atau perseorangan adalah: a) faktor pendidikan, b) pelatihan dan

ketrampilan, c) displin, d) sikap dan etika kerja, e) motivasi, f) gizi dan kesehatan,

g) jaminan sosial, h) lingkungan dan iklim kerja, i) hubungan antar pekerja,

pekerja dan perusahaan, j) peralatan dan teknologi, k) kesempatan kerja, dan l)

kesempatan berprestasi.

Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah

sesuai dengan faktor-faktor yang digarap dalam ergonomi untuk menigkatkan

kualitas hidup saat kerja, yaitu a) meningkatkan kesehatan fisik dan mental, b)

meningkatkan kesejahteraan sosial, c) keseimbangan rasional antara sistem

manusia dan manusia-mesin dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi, budaya.

Pendekatan ergonomi dalam sistem produksi menyebabkan adanya pergeseran

rangcangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik

menjadi tampak lebih manusiawi. Faktor-faktor yang terkait dengan fisik

(fisiologis) maupun prilaku (psikologi) manusia baik secara individu pada saat

berinteraksi dengan mesin dalam rancangan sistem manusia-mesin dan

lingkungan kerja akan menjadi pertimbangan utama.

2.8 Pengertian dan Ruang Lingkup Ergonomi

Human factors, ergonomics, human engineering, human factors

psychology, applied ergonomics dan industrial engineering/ ergonomics adalah

istilah-istilah maupun definisi mengenai pengertian akan ergonomi

(Wignjosoebroto, 1995). Istilah human factors dan ergonomics adalah istilah yang

paling sering digunakan untuk pengertian ergonomi. Pemahaman mengenai

human factors biasanya dikaitkan dengan problematik psikologi kerja (mental

workloads dan cognitives issues), sedangkan ergonomi sendiri dikaitkan dengan

physical works. Human engineering atau paling sering disebut dengan istilah

ergonomi didefinisikan sebagai perancangan man-machine interface sehingga

pekerja dan mesin atau produk lainnya bisa berfungsi lebih efektif dan efisien

sebagai sistem manusia mesin yang terpadu.

Ergonomi secara umum diartikan sebagai the study of work telah mampu

membawa perubahan yang signifikan dalam mengimplemetasikan konsep

peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja dan

pembagian kerja berdasarkan spesialisasi-keahlian kerja manusia (Bridger, 2005).

Ergonomi adalah ilmu tentang manusia untuk meningkatkan kenyamanan saat

melakukan aktivitas kerja. Istilah ergonomi berasal dari Bahasa Latin yaitu ergon

dan nomos. Ergon berarti kerja dan nomos berarti hukum atau aturan, sehingga

ergonomi diartikan sebagai aturan dalam bekerja. Ilmu ergonomi berfokus pada

manusia dan merupakan multidisiplin ilmu yang berorientasi pada aplikasi (Pulat,

1992). Prinsip dasar dalam ergonomi adalah menyesuaikan manusia dengan

pekerjaanya. Kalau hal ini tidak dapat dipenuhi barulah menyesuaikan pekerjaan

dengan manusia.

Definisi yang dikemukan oleh Manuaba (1992), yang menyebutkan bahwa

ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menserasikan alat, cara

dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk

terwujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyama dan efisien

setinggi-tingginya. Sebelumnya ergonomi didefinisikan sebagai ilmu, seni dan

penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala

fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas dengan kemampuan dan

keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga orang dapat bekerja

dengan baik yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui kerja tersebut dengan

efektif dan efisien, aman dan nyaman. Dengan ergonomi tuntutan tugas, peralatan,

cara kerja dan lingkungan diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan

keterbatasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat,

aman, nyaman dan efisien.

Ilmu ergonomi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik

(kemampuan/kapabilitas, keterbatasan, motivasi dan tujuan) manusia dalam

mementukan desain yang tepat bagi lingkungan kerja dan kehidupan pekerja

sehari-hari. Ergonomi merupakan pendekatan multi dan interdisiplin yang

berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,

kebolehan dan batasan pekerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat, selamat,

aman, nyaman dan efisien (Kroemer dan Grandjean, 2003). Hal ini meliputi

manusia yang melakukan pekerjaan dan cara melakukan pekerjaan tersebut,

peralatan dan perlengkapan yang digunakan, tempat kerja dan aspek psikososial

dari situasi lingkungan kerja. Jadi ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari

keserasian kerja dalam suatu sistem (work system). Sistem ini terdiri dari manusia,

alat/ mesin dan lingkungan (Bridger, 2005).

Penerapan ergonomi selain meningkatkan kesehatan dan keselamatan

kerja juga mampu meningkatkan produktivitas kerja (Sutjana et al., 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha perbaikan produktivitas untuk mencapai

tujuan ergonomi adalah sebagai berikut (Manuaba, 1992):

1. Manusia sebagai acuan atau masalah kekuatan otot

Berkaitan dengan kemampuan, kebolehan dan batasannya. Manusia sebagai

mahluk hidup dalam bekerja agar pemamfaatan tenaga otot dapat diwujudkan

secara maksimal dan efisien.

2. Energi atau gizi

Manusia sebagai penghasil energi untuk segala macam aktivitas memerlukan

kalori yang memadai sebagai pengganti tenaga yang harus dikeluarkan.

3. Kondisi sosial

Alat kerja dirancang sesuai dengan anthropometri dan geometri pekerja serta

memperhatikan kebiasaan, norma, nilai dan adat istiadat pemakai. Disesuaikan

dengan kemampuan ekonomi dan pendidikan sehingga tidak menimbulkan

dampak negatif dalam penggunaannya dan sekaligus terjalin interaksi sosial

sesama pekerja.

4. Sikap kerja

Dengan menggunakan alat baru tidak menimbulkan sikap paksa dalam bekerja.

Anggota gerak tidak bekerja dalam sikap statis tetapi dinamis, sehingga tidak

menimbulkan keluhan, kelelahan, rasa sakit dan penyakit.

5. Kondisi waktu

Waktu kerja perlu dikaji untuk mencegah adanya kelelahan berlebihan.

Mengatur waktu kerja, istirahat dan rekreasi akan berpengaruh terhadap

kesehatan pekerja dan kenyamanan dalam melakukan pekerjaan.

6. Kondisi informasi

Alat yang dibuat diikuti dengan informasi yang memadai, baik untuk

keperluan mengoperasikan alat dan juga untuk lingkungan. Informasi

dibutuhkan pekerja agar mampu bekerja seoptimal. Informasi menyangkut apa

dan bagaimana harus bekerja dan berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan

kerja.

7. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan diperlukan agar pekerja bisa bekerja dalam batas-batas

nyaman dan paling sedikit masih bisa ditoleransi. Pembuatan alat juga

memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan.

8. Interaksi manusia-mesin/ alat

Hubungan antara manusia dengan mesin/ alat harus benar-benar serasi dengan

memperhitungkan segala aspek manusia atau pekerja yang akan

mengoprasikannya. Ini dilakukan melalui pendekatan teknis, ekonomi,

ergonomi, sosio budaya, hemat energi, ramah lingkungan dan trendi.

Fokus dari perbaikan human factors/ ergonomics (HFE) adalah

performansi (performace) dan kesejahteraan (well-being), performansi meliputi:

produktivitas, effisiensi, effektivitas, kualitas, inovasi, fleksibilitas, kesehatan dan

keamanan, reabilitas dan keberlanjutan, sedangkan kesejahteraan meliputi:

kesehatan dan keamanan, kepuasan, kesenangan, pembelajaran, serta

pengembangan diri (Dul et al., 2012). Sehingga intervensi ergonomi membuat

kondisi pekerja lebih baik dari segi fisik dan mental, meningkatkan produktivitas

pekerja, meningkatkan kesejahteraan dan juga membuat sistem manusia dengan

alat lebih efisien.

Peran ergonomi dalam dunia kerja tidak terbatas pada bidang tertentu,

melainkan mencakup bidang-bidang yang sangat luas, antara lain dalam

perancangan alat kerja, evaluasi proses dan produk kerja, perancangan

bangunan/arsitektur, serta digunakan oleh ahli fisika, anatomi, fisioterapi,

psikologi, kesehatan dan keselamatan kerja serta kaum profesional lainnya. Untuk

mendapatkan hasil kerja yang optimal dengan produktivitas yang tinggi maka

setiap aktivitas kerja memerlukan suasana yang nyaman, aman, sehat, terbebas

dari rasa lelah, nyeri otot, cedera, sakit atau cacat tubuh. Dengan kata lain

ergonomi memiliki peran dalam meningkatan kesehatan dan keselamatan kerja

melalui pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja.

Penerapan ergonomi secara umum memiliki beberapa tujuan yaitu antara

lain: 1) Menciptakan keadaan fisik dan mental pekerja yang sehat, dengan upaya

menciptakan rancangan peralatan, fasilitas, organisasi, sistem kerja, sistem kerja,

lingkungan kerja yang bebas dari kecelakaan maupun penyakit akibat kerja; 2)

Meningkatkan kualitas kerja dan kualitas hidup dengan meningkatkan

kesimbangan beberapa aspek seperti aspek teknis dan ekonomi; 3) Memberikan

jaminan sosial bagi pekerja baik selama masih bekerja (usia produktif) maupun

ketika memasuki usia pasca produktif (Manuaba, 1998a). Dengan terciptanya

keadaan fisik dan psikis yang sehat, dan adanya jaminan sosial maka produktivitas

kerja akan meningkat. Secara khusus ergonomi memberikan beberapa manfaat

antara lain: a) Pemakaian otot dan energi lebih efisien, b) Pemakaian waktu lebih

efisien, c) Kelelahan berkurang, d) Kecelakaan kerja berkurang, e) Penyakit akibat

kerja, f) Kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) Efisiensi kerja meningkat,

h) Mutu produk dan produktivitas kerja meningkat, i) Kesalahan kerja berkurang

dan kerusakan dapat diminimalkan, dan j) Pengeluaran atau biaya untuk

mengatasi akibat dari keadaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi sehingga

biaya operasional dapat ditekan.

Problematika kerja yang sering dialami manusia seperti kelelahan mata,

sakit kepala, keluhan musculoskeletal dapat dicegah melalui pendekatan ergonomi

(Salvendy, 2001; Wignjosoebroto, 1995). Pendekatan ergonomi yang bertujuan

untuk merealisasikan konsep tentang efektivitas, efisien, kenyamanan,

keselamatan dan kesehatan bagi pekerja serta produktivitas kerja adalah

merupakan solusi yang sangat relevan dan signifikan untuk merespon setiap

tantangan dan tuntutan globalisasi yang sedang terjadi (Tarwaka, 2011). Kinerja

optimal dapat dipenuhi apabila peralatan atau fasilitas kerja, stasiun kerja, produk

dan tata cara kerja bisa dirancang dan disesuaikan dengan pendekatan dan

prinsip-prinsip ergonomi.

2.9 Pendekatan Ergonomi Pada Pekerjaan Pasiran

Pendekatan ergonomi pada pekerja pasiran yang bekerja menurunkan pasir

dari atas truk menggunakan metode total ergonomi (total ergonomic aproach),

yaitu ditinjau secara sistemic, holistic, interdicipliner, dan participatory. Dari segi

sistem bahwa permasalah pekerja pasiran terkait dengan sistem kerjanya, interaksi

manusia mesin, sistem organisasi, sistem lingkungan yang ada. Dari aspek holistic,

menekankan bahwa semua faktor yang terkait atau diperkirakan terkait dengan

masalah yang ada harus dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh, baik dari

segi internal dan eksternal pekerja dan lingkungan kerjanya. Dari aspek

interdicipliner, menekankan bahwa proses pemecahan masalah dalam suatu

sistem dibutuhkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dari aspek participatory,

menekankan bahwa perlu ada keterlibatan semua pihak yang berkepentingan

dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pendekatan tersebut dikenal sebagai SHIP

approach (Manuaba, 2005). Dengan SHIP approach ini, permasalahan pekerja

secara khusus bisa ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu aspek task, organization,

dan environment.

1. Aspek task, permasalahan yang terjadi pada proses pasir dari atas truk dengan

enggrong adalah sikap tubuh pekerja yang bekerja membungkuk selama

proses bekerja, kondisi ini berlangsung terus sampai seluruh pasir selesai

diturunkan dari atas truk. Sikap bekerja membungkuk pada waktu yang lama

dengan beban yang diayunkan mempunyai risiko sakit pada sistem otot

skeletal, kelelahan, serta dapat mengakumulasi menjadi suatu penyakit

traumatik. Dampak lain yang terjadi ketika pekerja mencapai tingkat kelelahan

adalah menurunnya produktivitas ditandai dengan seringnya pekerja

beristirahat secara sengaja

2. Aspek organization, permasalahan yang terjadi adalah tidak adanya waktu

sela istirahat ketika pekerja menurunkan pasir dari atas truk, tuntutan dari

sopir truk agar pekerjaan cepat selesai, sehingga truk dapat kembali

mengambil pasir, sehingga pekerja menurunkan pasir satu truk tanpa istirahat.

Sehingga dalam proses menurunkan pasir dari atas truk pekerja harus bekerja

terus menerus dengan cepat tanpa istirahat. Organisasi kerja yang terus

menerus dan pola kerja yang berulang-ulang (repentitive) memberikan

kontribusi kepada beban kerja, tingkat kelelahan pekerja, menurunnya

produktivitas dan secara tidak langsung meningkatnya risiko penyakit akibat

kerja.

3. Aspek environment, pekerja bekerja dalam berbagai kondisi dan waktu, baik

siang atau malam, baik keadaan panas maupun hujan. Pekerja biasanya

bekerja pada kondisi terbuka dalam arti dapat terpapar sinar matahari langsung

atau tidak tergantung dari tempat kerjanya.

Ditinjau dari delapan kondisi ergonomi, meliputi: 1) kondisi gizi dan

kalori pekerja, 2) sikap tubuh dalam bekerja, 3) pemamfaatan tenaga otot, 4)

kondisi lingkungan, 5) kondisi waktu, 6) kondisi sosial, 7) kondisi informasi, dan

8) interaksi manusia dengan alat/mesin, maka masalah terbesar adalah

penggunaan alat bantu enggrong (interaksi manusia dengan alat/ mesin) yang

memaksa pekerja bekerja dengan sikap tubuh membungkuk (sikap tubuh dalam

bekerja) dilakukan secara berulang ulang tanpa jeda istirahat (pemamfaatan tenaga

otot) sampai seluruh muatan pasir selesai diturunkan, yang mana pekerjaan ini

dilakukan pada keadaan lingkungan terbuka (kondisi lingkungan dan kondisi

waktu).

Akibat beban kerja yang berlebih dari penggunaan alat bantu (enggrong)

yang tidak sesuai, pekerja mengalami faktor kelelahan yang sangat tinggi dan juga

munculnya masalah-masalah muskuloskeletal, low back pain dan produktivitas

dikarenakan sikap bekerja yang salah. Pendekatan ergonomi total yang merupakan

gabungan antara konsep konsep pendekatan SHIP dan Teknologi Tepat Guna

(TTG), diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah timbul dari proses

pekerjaan menurunkan pasir dari atas truk. Penerapan konsep ergonomi total

diawali dengan penjelasan ergonomi dan tata cara kerja yang baik dan nyaman,

serta mendapatkan masukan-masukan dari pekerja untuk hal-hal yang mungkin

dilaksanakan dan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Diskusi dimaksudkan untuk

mendapatkan apa yang menjadi permasalahan utama dan apa yang menjadi

penyebab, kemudian dipilah mana yang menjadi skala prioritas dan mana yang

tidak diprioritaskan.

Konsep yang dapat diterapkan adalah menggunakan model pendekatan

ergonomi total dengan harapan setiap intervensi ergonomi dapat diterima dan

diterapkan secara berkelanjutan tanpa menimbulkan masalah yang berarti

(Manuaba, 2003). Model pendekatan ergonomi total yang diterapkan melalui

pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi (SHIP approach)

hendaknya diterapkan secara ’built-in’ dalam setiap intervensi dengan memilih

teknologi berdasarkan konsep teknologi tepat guna (Manuaba, 2005). Pendekatan

SHIP merupakan pendekatan secara Systemics, Holistic, Interdiciplinary, dan

Participatory untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul termasuk

permasalahan pada pekerja pasirasn dalam menurunkan pasir. Kajian pendekatan

SHIP dilakukan baik pada task, organization, maupun environment pada proses

menurunkan pasir. Model ini juga mendorong partisipasi aktif semua pihak untuk

memilih prioritas masalah yang diperbaiki sekaligus menentukan teknologi yang

sesuai untuk perbaikan.

Dengan pendekatan ergonomi total dan kajian SHIP tersebut, prioritas

masalah yang perlu diselesaikan adalah masalah sikap kerja membungkuk dalam

waktu yang lama, alat kerja yang menyebabkan sikap tubuh tidak natural, dan

paparan suhu dingin atau panas lingkungan. Oleh karena itu alternatif solusi dari

permasalahan tersebut adalah dengan cara memperbaiki alat kerja dan sistem kerja

sehingga sikap kerja menjadi lebih alamiah/ fisiologis dan mengurangi dampak

risiko dari alat kerja dan lingkungan kerja. Perbaikan alat kerja dan sistem kerja

ini adalah dalam bentuk modifikasi enggrong sebagai alat bantu kerja dengan

memperhatikan kaidah ergonomi dan redesain sistem kerja pada proses

menurunkan pasir dari atas truk. Modifikasi sama halnya dengan rekayasa ulang

(redesain). Rekayasa yang dilakukan terhadap alat dan sistem kerja diharapkan

mampu (1) memperbaiki performansi kerja seperti menambah kecepatan kerja,

ketelitian, keselamatan, kenyamanan, mengurangi penggunaan energi kerja yang

berlebihan dan mengurangi kelelahan, (2) mengurangi waktu yang terbuang

sia-sia untuk pelatihan dan meminimalkan kerusakan fasilitas kerja karena human

errors; dan (3) meningkatkan functional effectiveness dan produktivitas kerja

dengan memperhatikan karakteristik pekerja dalam desain sistem kerja

(Wignjosoebroto, 2005).

Modifikasi enggrong dirancang dengan memperhatikan data antropometri

pekerja dan kajian teknologi tepat guna dengan kriteria: (1) secara teknis

penerapan alat tersebut bertujuan mempermudah dan mempercepat pekerjaan, (2)

secara ekonomis alat tersebut harganya terjangkau pekerja, bisa memanfaatkan

sumber daya alam dan manusia setempat, (3) secara ergonomis alat tersebut

mampu meningkatkan kesehatan pekerja secara fisik dan mental, mencegah

timbulnya penyakit dan cedera akibat kerja, (4) secara sosial budaya alat tersebut

memperhatikan sikap pekerja terhadap organisasi kerja, kebiasaan kerja, dinamika

kerja, norma, nilai, keinginan, dan kepercayaan masyarakat sekitarnya, (5) secara

penggunaan energi, alat tersebut dapat memanfaatkan energi sehemat mungkin

dan memberikan manfaat secara signifikan kepada penggunanya, (6) ramah

lingkungan yang berarti penggunaan alat tersebut tidak menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan, menjaga keserasian dan keseimbangan alam.

Pembenahan yang meliputi: a) modifikasi enggrong, b) perbaikan tata cara

kerja menggunakan enggrong modifikasi (sikap tubuh), c) perbaikan prosedur

kerja (pola istirahat dan peregangan), d) pemakaian alat pelindung diri yaitu

sepatu boot dan sarung tangan, e) pemasangan pelindung dari senggatan matahari

langsung, dan f) penyuluhan kerja yang sehat dan nyaman, inilah yang menjadi

intervensi ergonomi dengan pendekatan konsep ergonomi pada proses penurunan

pasir dari atas truk secara manual dalam menggurangi dampak respon fisiologis

serta meningkatkan produktivitas pekerja.

2.10 Prinsip Umum dalam Perancangan

Perancangan perkakas tangan tidak terlepas dari 3 faktor utama dalam

proses perancangan, yaitu: pengguna (pekerja/ user), alat bantu kerja (perkakas

tangan yang dirancang/ tool), dan tempat kerja (work place) (Karwowski, 2006).

Ketiga faktor ini mempunyai kaidah proses perancangan tersendiri dan

mempunyai hubungan seperti tergambar dalam Gambar 2.11.

Setiap faktor alat bantu kerja mempunyai karakteristik tersendiri, dengan

tujuan untuk meningkatkan kenyaman pengguna dalam bekerja dengan alat batu

kerja tersebut. Karakteristik ini merupakan persyaratan yang menjadi

pertimbangan dalam proses perancangan alat bantu kerja.

Gambar 2.112.11 Hubungan antara pengguna, alat bantu dan tempat kerja

Sumber: Karwowski (2006)

2.10.1 Desain Alat Bantu Kerja

Karaktersitik persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain alat

bantu kerja dari spesifikasi alat bantu kerja adalah sebagai berikut:

1. Berat alat bantu kerja, berat dari alat bantu kerja langsung menjadi beban kerja

tersendiri bagi pengguna, sehingga semakin ringan alat bantukerja dapat

mengurangi beban kerja pengguna.

2. Titik pusat berat alat bantu kerja, titik pusat berat alat bantu juga menjadi

beban kerja, jika titik berat ini tidak berada pada pusat kesimbangan ketika

digunakan

3. Karakteristik pegangan dan ukuran pegangan, karakteristik pegangan yang

sesuai dengan tujuan alat bantu kerja akan mengurangi beban kerja pengguna,

apakah pegangan tersebut merupakan power grip atau precision grip.

4. Panjang pegangan, panjang pegangan harus lebih panjang dari ukuran tangan

pengguna, sehingga tangan dapat memegang pegangan dengan baik.

5. Jenis material pegangan dan tekstur pegangan, material dan tekstur pegangan

disesuaikan dengan jenis alat bantu kerja yang dirancang, apakah alat tersebut

menimbulkan getaran, tekanan, perlu pegangan yang kuat dan juga tidak

meminbulkan lecet dan cidera pada tangan.

6. Trigger, jika alat bantu kerja merupakan perkakas tangan dengan tenaga luar

(listrik atau angin) maka tombol aktivasi harus menjadi perhatian dalam

proses perancangan, karena tombol ini diaktivasi oleh jempol pengguna.

7. Pelindung, pelindung dipertimbangan dalam proses perancangan untuk

mencegah terjadi kecelakaan.

8. Getaran dan torsi reaksi, adanya getaran dan torsi reaksi dari alat bantu kerja

menjadi pertimbangan untuk penggunaan material yang dapat meredam

getaran dan trosi reaksi pada desain alat bantu kerja.

9. Faktor lain, faktor lain yang juga menjadi pertimbangan adalah faktor bunyi

yang dihasilkan alat bantu kerja, panas yang terjadi dan sesuatu yang menjadi

faktor spesifik alat bantu kerja.

2.10.2 Kenyaman Pengguna

Karaktersitik persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain

alat bantu kerja dari spesifikasi pengguna adalah sebagai berikut:

1. Pentimbangan anthropometri, penggunaan data anthropometri disesuaikan

dengan anthropometri pengguna, seperti: panjang pegangan dan diameter

pegangan.

2. Umur pengguna, perancangan disesuaikan dengan usia pengguna, apakah alat

bantu kerja tersebut dirancang untuk pengguna usia tua, usia kerja atau

anak-anak.

3. Jenis kelamin, desain alat bantu kerja akan berbeda jika pengguna pria atau

wanita, baik dari ukuran maupun tenaga yang digunakan.

4. Penggunaan tangan kiri atau tangan kanan, tidak semua alat bantu tangan

dapat digunakan tangan kiri dan tangan kanan, pertimbangan penggunaan

tangan juga menjadi alternatif perancangan.

5. Pengalaman dan teknik, desain alat bantu kerja mempertimbangkan pada

kondisi pengguna, apakah pengguna tersebut adalah pengguna yang bisa

menggunakan alat bantu kerja atau tidak, mengerti teknik menggunakan alat

bantu kerja tersebut atau tidak.

2.10.3 Faktor Tempat Kerja

Faktor tempat kerja meliputi faktor kondisi lingkungan kerja (kondisi

lingkungan fisik: suhu, kelembaban, pencahayaan, getaran tempat kerja,

kebisingan, bau-bau dan polutan), prosedur kerja dan stasiun kerja. Karaktersitik

persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain alat bantu kerja dari

spesifikasi tempat kerja adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan alat bantu kerja yang tepat, alat bantu kerja di desain sesuai

dengan fungsi dan peruntukannya, sebagai contoh obeng mempunyai berbagai

macam bentuk dan ukuran, penggunaan obeng yang tepat dapat mengurangi

beban kerja pada pengguna.

2. Sikap kerja, sikap kerja yang benar dalam hal ini sikap kerja yang natural akan

mengurangi beban kerja yang terjadi ketika bekerja. Perancangan alat bantu

kerja harus mempertimbangkan sikap ketika bekerja dengan alat bantu kerja

yang dirancang.

3. Kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan fisik seperti panas, pencahayaan,

dan kebisingan, menjadi pertimbangan dalam perancangan alat bantu kerja.

Jangan sampai kondisi lingkungan fisik menjadi beban kerja ketika bekerja.

4. Sarung tangan, sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung diri dalam

bekerja. Tetapi pemakaian sarung tangan juga menjadi pertimbangan dalam

proses perancangan alat bantu kerja, karena dengan penggunaan sarung tangan

dimensi atau ukuran anthropometri tangan menjadi lebih besar.

5. Penyangga alat, untuk mengurangi beban kerja akibat berat dari alat bantu

kerja yang digunakan, perancangan alat bantu kerja juga harus merancang alat

penyangga yang fungsinya mengurangi beban kerja pengguna akibat berat dari

alat bantu kerja.

2.11 Antropometri Dalam Desain

Anthropometri adalah pengukuran dimensi tubuh atau karakteristik fisik

tubuh lainnya yang relevan dengan desain tentang sesuatu yang dipakai orang.

Prinsip aplikasi data anthropometri dalam desain produk meliputi; desain untuk

orang ekstrim, desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat

diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari

populasi, dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan persentil-50 (Pulat,

1992; Salvendy, 2001; Pheasant, 2003).

Setiap desain atau redesain produk, baik sederhana maupun yang

kompleks, harus berpedoman kepada anthropometri pemakainya. Dengan

mengetahui ukuran anthropometri tenaga kerja dapat dibuat suatu desain alat-alat

kerja yang sesuai bagi tenaga kerja yang menggunakannya, dengan harapan dapat

menciptakan kenyamanan, kesehatan, keselamatan, dan estetika kerja.

Tujuan pendekatan anthropometri dalam perancangan alat dan perlengkapan

adalah agar terjadi keserasian antara manusia dengan sistem kerja (man-machine

system), sehingga manusia dapat bekerja secara nyaman, dan efisien. Pemakaian

data anthropometri mengusahakan semua alat disesuaikan dengan kemampuan

manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Rancangan yang mempunyai

kompatibilitas tinggi dengan manusia yang memakainya sangat penting untuk

mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja dan akibat adanya

kesalahan desain (Liliana et al., 2007). Untuk mengatasi sikap dan posisi kerja

yang tidak fisiologis dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan anthropometri

pekerja dengan bidang kerja pada saat mendesain tempat kerja (Sutajaya, 2003;

Salvendy, 2001).

Gambar 2.12

persentil 5 persentil 95

-1,645

2.12 Kurva distribusi normalSumber: Karwowski (2006)

Data anthropometri untuk penggunaan dalam desain paling baik

dipresentasikan dalam bentuk persentil (Pulat, 1992). Perhitungan persentil data

antropometri dimulai dari menghitung nilai rerata/mean (ẍ), dan simpang

baku/standar deviasi ( ) dari data pengukuran (Karwowski, 2006). Dalam

menentukan batas kemaknaan dan nilai α dari tabel berdistribusi normal, seperti

Gambar 2.12.

Kurva distribusi normal pada Gambar 2.12 tersebut menggambarkan batas

kemaknaan tingkat kepercayaan 95%, dengan nilai taraf signifikasi (α) = 1,645.

Penerapan data anthropometri menyatakan persentase tertentu dari kelompok data

≤ nilai tersebut. Nilai itulah disebut persentil, yang disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.42.4 Perhitungan nilai persentil

Nilai Persentil Rumus Estimasi99,5 ẍ + (2,58 x )99 ẍ + (2,32 x )97,5 ẍ + (1,95 x )97 ẍ + (1,88 x )95 ẍ + (1,65 x )90 ẍ + (1,28 x )80 ẍ + (0,84 x )75 ẍ + (0,67 x )70 ẍ + (0,52 x )50 ẍ30 ẍ - (0,52 x )25 ẍ - (0,67 x )20 ẍ - (0,84 x )10 ẍ - (1,28 x )5 ẍ - (1,65 x )3 ẍ - (1,88 x )2,5 ẍ - (1,95 x )1 ẍ - (2,32 x )0,5 ẍ - (2,58 x )

Keterangan: ẍ = mean, = standar deviasi (Sumber: Tarwaka, 2011)

Penerapan data anthropometri dalam desain mengikuti prosedur sebagai

berikut: (a) tentukan dimensi tubuh yang penting dalam desain, (b) tetapkan

populasi pengguna, (c) untuk setiap dimensi tubuh dihitung nilai persentil, dan (d)

terapkan untuk desain alat/produk.Dalam penelitian ini, desain modifikasi

enggrong disesuaikan dengan data anthropometri pekerja, meliputi tinggi badan

pekerja dengan persentil 95, sedangkan untuk desain lebar dan diameter

genggaman adalah anthropometri genggaman dan lebar telapak tangan dengan

persentil 99 dengan asumsi nantinya pekerja bekerja dengan menggunakan sarung

tangan.

2.12 Sikap Kerja

Sikap tubuh ketika melakukan pekerjaan diakibatkan oleh hubungan antara

dimensi pekerja dengan dimensi variasi dari tempat kerjanya dan alat kerja

(perkakas tangan) yang digunakannya. Secara mendasar sikap tubuh dalam

keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring,

jongkok dan duduk. Sikap-sikap tubuh yang diaplikasikan pada pekerjaan disebut

sikap kerja (Pheasant, 2003).

Sikap kerja seseorang dipengaruhi oleh empat faktor (Bridger, 2005)

yaitu:

1. Karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran anthropometri, berat

badan, kesegaran jasmani, kemampuan gerakan sendi, sistem muskuloskeletal,

tajam penglihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit, dan lain-lain.

2. Jenis keperluan tugas, seperti pekerjaan yang memerlukan ketelitian,

memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu istirahat, dan lain-lain.

3. Desain stasiun kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja,

kondisi permukaan atau bidang kerja, dan faktor-fakator lingkungan kerja.

4. Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,

kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu dan vibrasi.

Terdapat banyak masalah ergonomi pada tempat kerja terutama di

Indonesia. Biasanya masalah yang sering dihadapi oleh para pekerja di tempat

kerja adalah stasiun kerja dan alat kerja yang tidak ergonomis (Anityasari, 2001).

Salah satu akibat dari stasiun kerja dan alat kerja yang tidak ergonomis ini dapat

muncul sikap kerja yang tidak alamiah seperti jongkok, duduk membungkuk,

berdiri membungkuk, dan sebagainya. Sikap kerja tersebut jelas menyebabkan

beban postural yang berat. Jika beban postural ini terjadi dalam jangka waktu

yang lama, maka dapat menimbulkan postural strain yang merupakan beban

mekanik statis bagi otot. Kondisi ini akan mengurangi aliran darah ke otot

sehingga terjadi gangguan keseimbangan kimia di otot yang bermuara kepada

terjadinya kelelahan otot (Pheasant, 2003).

Sikap kerja yang tidak fisiologis menyebabkan terjadinya cedera, waktu

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih lama, kerugian material,

dan menurunkan produktivitas kerja. Sikap kerja tidak alamiah seperti

membungkuk, memutar badan, mengangkat lengan merupakan sikap kerja tidak

alamiah yang dapat menimbulkan beban mekanis lokal pada otot, ligamen dan

sendi tubuh (Dul dan Weerdmeester, 2008). Bila keluhan sakit yang diakibatkan

oleh sikap kerja yang tidak fisiologis tersebut tidak ditangani dengan baik maka

dapat menimbulkan dampak-dampak yang merugikan baik jangka pendek maupun

jangka panjang. Dampak yang bisa timbul dalam jangka pendek adalah

meningkatnya tingkat kesalahan kerja, berkurangnya hasil kerja, timbulnya

keluhan subjektif, dan sebagainya. Sedangkan dampak jangka panjangnya dapat

terjadi perubahan patologis pada jaringan otot yaitu rasa sakit cepat muncul

walaupun bekerja sebentar, membungkuknya badan, dan sebagainya (Kroemer

dan Grandjean, 2003).

Pekerja yang bekerja dengan sikap kerja tidak alamiah mengalami

gangguan otot skeletal dan kelelahan otot setelah bekerja. Gangguan ini muncul

pada pekerja berupa keluhan-keluhan. Baik keluhan berupa kelelahan maupun

keluhan sakit pada otot skeletal. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu

diperhatikan kriteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu pekerjaan atau

kegiatan (Pheasant, 2003; Sutajaya, 2003) yaitu :

1. Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit

2. Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan

alamiah.

3. Muscular effort yang relatif kecil dapat dipertahankan.

4. Sikap kerja yang berubah-ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja

statis rileks.

5. Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang.

Tujuh prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh dalam bekerja adalah sebagai

berikut (Pheasant, 2003):

1. Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala.

2. Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.

3. Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.

4. Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).

5. Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.

6. Sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat duduk.

7. Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan

kekuatan maksimum.

2.13 Perancangan EnggrongModifikasi

Proses perancangan alat bantu enggrong modifikasi yang ergonomis

dilakukan dengan metodologi proses perancangan yang dikemukakan oleh

Bullinger dan Solt (Karwowski, 2006). Metodologi proses perancangan ini

melalui lima langkah proses perancangan, yaitu:

1. Target dan definisi dari proses perancangan

2. Analisis dari alat bantu yang dirancang

3. Membangun desain alternatif solusi

4. Evaluasi dan seleksi desain alternatif

5. Realisasi desain alternatif terpilih

Pada setiap langkah proses perancangan dilakukan dengan menerapkan

konsep ergonomi total (SHIP dan TTG), setiap stakeholder yang berhubungan

dengan proses perancangan dan penggunaan alat bantu dilibatkan dalam setiap

langkah proses perancangan. Dari aspek sistemic bahwa dalam proses

perancangan modifikasi enggrong, penggunaan alat bantu ini harus ditinjau secara

systemic. Analisis interaksi pekerja dan alat bantu ketika pekerja menyelesaian

pekerjaannya ditinjau secara menyeluruh, bagaimana pekerja menggunakan alat

bantu dan juga bagaimana pekerja menghadapi kondisi lingkungan kerja yang ada.

Dari aspek holistic, menekankan bahwa semua faktor dalam yang terkait atau

diperkirakan terkait dengan masalah yang ada harus dipecahkan secara proaktif

dan menyeluruh, baik dari segi internal dan eksternal pekerja dan lingkungan

kerjanya. Dari aspek interdicipliner, dalam proses perancangan modifikasi

enggrong peran serta pekerja, ahli desain, ahli proses produksi dari berbagai

disiplin ilmu. Dari aspek participatory, menekankan bahwa perlu ada keterlibatan

semua pihak yang berkepentingan dalam proses perancangan modifikasi enggrong,

pekerja sebagai pihak yang sangat berkepentingan juga dilibatkan.

Konsep teknologi tepat guna juga menjadi pertimbangan dalam mendesain

alat bantu enggrong yang baru, penggunaan material yang mudah di dapat dan

konstruksi alat bantu yang sederhana menjadi pertimbangan serta masukan dari

para ahli produksi.

Ergonomi partisipatori adalah proses perencanaan dan pengendalian dari

sejumlah aktivitas yang melibatkan operator dengan pengetahuan dan kemampuan

yang memadai dalam mempengaruhi proses dan hasil untuk mencapai tujuan

tertentu (Wilson dan Haines, 1998). Ergonomi partisipasi juga diartikan sebagai

keterlibatan semua stakeholders terhadap pemecahan masalah atau

terlaksananya satu gagasan harus dilibatkan sedini mungkin (Manuaba, 1998c).

2.13.1 Target dan Definisi dari Proses Perancangan

Pada tahap ini, keterlibatan pekerja sangat diperlukan. Pekerja diperlukan

untuk mempraktekkan proses menurunkan pasir dari atas truk menggunakan alat

bantu enggrong dengan berbagai cara dan sistem kerja yang biasa pekerja lakukan.

Hasil berbagai masukan dan teknik/ cara/ sistem kerja yang diperoleh menjadi

bahan kajian untuk mendeskripsikan cara kerja pekerja bekerja, baik kelebihan

maupun kekurangannya. Sehingga target dan definisi dari proses perancangan

tidak terlapas dari apa yang pekerja harapkan dan sesuai dengan pekerjaannya.

Cara atau sistem kerja pekerja bekerja dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pekerja pasiran bekerja dalam menurunkan pasir dari atas truk dengan bantuan

alat bantu enggrong. Enggrong berbentuk seperti sekop tetapi mempunyai gagang

yang pendek, enggrong juga mempunyai pegangan lain seperti pegangan ember

air yang letak di bagian depan sekop (Gambar 2.13). Cara menggunakan

enggrong adalah dengan cara tangan yang satu memegang gagang enggrong yang

berfungsi untuk mengarahkan, menekan, menyerok dan menyeimbangkan

enggrong. Tangan yang lain memegang pegangan di bagian depan enggrong yang

berfungsi untuk menarik enggrong ketika mengayunkan enggrong untuk

melempar pasir. Ketika pekerja pasiran bekerja menurunkan pasir dari atas truk,

pola task siklus gerakan adalah:

a. mengarahkan enggrong kebagian pasir yang akan diserok/ dituju/

dipindahkan

b. menyerok pasir dengan enggrong dengan menekan kuat pada gagang

enggrong

c. menarik pegangan depan enggrong agar enggrong tertarik ke depan dan

terayun ke depan

d. ketika mengayunkan enggrong, tangan yang memegang gagang belakang

enggrong mengikuti dan menyeimbangkan gerakan ayunan.

e. Setelah pasir terlempar, pola gerakan kembali kegerakan awal

Sehingga dalam satu siklus gerakan, menyerok dan melempar pasir terjadi dalam

satu siklus, tanpa ada gerakan ancang-ancang untuk mengayunkan enggrong.

Gambar 2.132.13 Enggrong

Penggunaan enggrong pada proses menurunkan pasir dari atas truk berakibat

sikap tubuh pekerja ketika bekerja dalam posisi membungkuk kedepan lebih dari

900 (sikap tubuh tidak natural) (Gambar 2.14). kondisi ini berlangsung terus

sampai seluruh pasir selesai diturunkan dari atas truk. Sikap bekerja membungkuk

pada waktu yang lama dengan beban yang diayunkan mempunyai risiko sakit

pada sistem otot skeletal, kondisi sikap kerja yang tidak fisiologis dan natural

menyebabkan pekerja mengalami kelelahan dan keluhan otot skeletal (Manuaba,

1992a; Meyer, 1998; Helander, 2006; Earle-Richardson et al., 2006; Dul dan

Weerdmeester, 2008; Milosavljevic et al., 2011; Dutta et al., 2011; Davis dan

Orta, 2014; Salas et al., 2016) serta dapat mengakumulasi menjadi suatu penyakit

traumatik (Zandin, 2004). Dampak lain yang terjadi ketika pekerja mencapai

tingkat kelelahan adalah menurunnya produktivitas (Manuaba, 1992b; Salvendy,

2001).

Perubahan sikap kerja bisa terjadi jika alat bantu yang digunakan diubah

atau dilakukan modifikasi. Sehingga target perancangan adalah alat bantu baru

hasil modifikasi yang ketika digunakan sikap tubuh pekerja dalam posisi sikap

tubuh alamiah. Target dan definisi dari proses perangan alat bantu ini adalah

sebagai berikut:

Gambar 2.142.14 Aktivitas pekerja pasiran

A. Target Proses Perancangan

Target proses perancangan adalah merancang/ modifikasi alat bantu yang ada

sehingga pekerja dapat bekerja dengan sikap tubuh yang natural, ketika bekerja

menurunkan pasir dari atas truk.

B. Definisi Proses Perancangan

Alat bantu yang dirancang/ dimodifikasi mempunyai fungsi sebagai alat untuk

memindahkan pasir dengan cara menyerok dan mengayunkan alat bantu sehingga

pasir terlempar ke tempat yang dituju. Pengoperasian alat bantu dengan

menggunakan ke-2 tangan.

2.13.2 Analisis Dari Alat Bantu Yang Dirancang

Analisis dilakukan setelah melihat cara/ teknik/ sistem kerja dari para

pekerja bekerja menurunkan pasir dari atas truk. Tentunya juga dengan

masukan-masukan pekerja menggapa pekerja bekerja dengan teknik/ sistem kerja

yang mereka lakukan. Hasil dari wawancara dengan pekerja, pengamatan cara

kerja pekerja dan mempelajari tata cara penggunaan berbagai jenis alat bantu

pemindah barang jenis sekop yang ada melalui internet (media YouTube),

menunjukkan adanya perbedaan cara kerja penggunaan enggrong sebagai alat

bantu menurunkan pasir dengan yang lain. Dalam proses perancangan alat bantu

yang dilakukan, banyak pekerja menginginkan perubahan yang terjadi pada alat

bantu tidak membuat lama perkerjaan mereka. Sehingga dapat disimpulkan

perancangan alat bantu yang baru tidak mengubah sistem kerja yang telah ada.

Alat bantu yang dirancang/ dimodifikasi mempunyai fungsi sebagai alat

untuk memindahkan pasir, teknik atau cara memindahkan pasir adalah dengan

cara menyerok terlebih dahulu pasir baru kemudian mengayunkan alat bantu

sehingga pasir terlempar ke tempat yang dituju. Pengoperasian alat bantu dengan

menggunakan ke-2 tangan, bisa tangan kanan di depan dan tangan kiri di bagian

belakang bisa juga sebaliknya. Pengoperasian dengan dua tangan bertujuan untuk

memudahkan penyeimbangan alat bantu ketika mengayun untuk melempar pasir.

Teknik pengoperasian alat bantu yang dirancang tidak berbeda dengan

pengoperasian alat bantu yang lama, hal ini untuk memudahkan pekerja dalam

proses adaptasi dalam pengoperasian alat bantu yang baru, menghilangkan

perasaan canggung dan penolakan karena telah terbiasa dengan alat bantu yang

lama.

Bagian utama dari alat bantu ini meliputi 3 bagian utama, yaitu: 1) serok,

berfungsi untuk menyerok pasir dan mengangkat pasir, 2) Gagang bagian

belakang, berfungsi untuk mengarahkan, mendorong serok ketika menyerok pasir

dan juga menjaga keseimbangan alat bantu secara keseluruhan, 3) Gagang bagian

depan, berfungsi untuk menarik serok ketika mengayunkan serok dan melempar

pasir serta berfungsi untuk menyeimbangkan gerakan ketika mengayun alat bantu.

Kapasitas pasir terangkat/ terpindahkan oleh alat bantu yang dirancang

mempunyai kapasitas yang sama dengan alat bantu enggrong yang lama, sekitar

5,963 ± 0,678 kg. Pemilihan kapasiats pasir terangkat/ terpindahkan didasarkan

pada keinginan pekerja yang menginginkan alat baru tidak membuat pekerjaan

menjadi lebih lama dan kebisaan sistem kerja pekerja, dapat menghilangkan kesan

alat bantu yang baru membuat pekerjaan menjadi lebih lama dikarenakan

kapasitas alat bantu yang kecil atau menjadi terlalu berat.

2.13.3 Membangun Desain Alternatif Solusi

Alternatif-alternatif solusi desain didapatkan dari berbagai cara dan

metode, misalnya metodologi TRIZ (Theory of Inventive Problem Solving) yang

mengasumsikan alternatif-alternatif solusi yang mungkin dapat digunakan telah

ada dan ditemukan dalam perancangan-perancangan yang telah ada di tempat lain

atau dalam bentuk paten. Penggunaan metodologi TRIZ sama halnya dengan

mendapatkan masukan-masukan dari para ahli, masukan-masukan yang

digunakan dari bentuk hak paten tentunya telah teruji sesuai dengan tujuan

penggunaannya. Teknik pengembangan alternatif-alternatif solusi dengan

mengambil dari perancangan sebelumnya adalah tidak salah selama yang dicontoh

adalah bentuk dari part/ komponen penyusun dari alat bantu yang di buat, bukan

mencontoh secara total.

Alternatif-alternatif solusi desain untuk perancangan alat bantu

menurunkan pasir dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan 3 komponen

utama dari alat bantu yang dirancang, meliputi:

1. Serok

Desain alternatif yang mungkin dapat digunakan adalah alternatif – alternatif

desain yang yang memiliki ujung rata, sesuai dengan fungsi alat bantu ini

untuk dapat menyapu bagian dasar truk dengan ujung serok.

Alternatif-alternatif solusi desain yang mungkin dapat digunakan dapat lihat

pada Tabel 2.5.

2. Gagang belakang

Gagang belakang merupakan gagang/ pegangan utama dari alat bantu untuk

menurunkan pasir. Fungsi gagang ini adalah untuk meneruskan gaya dari

tangan ketika mendorong serok menyerok pasir. Desain gagang belakang

harus bersifat kaku dan kokoh untuk menyalurkan gaya dorong dari tangan.

Ukuran panjang gagang belakang disesuaikan dengan bentuk gagang dan juga

anthropometri tinggi pengguna. Solusi desain alternatif pegangan gagang

belakang alat bantu, dapat digambarkan dalam Tabel 2.5.

3. Gagang depan

Gagang depan merupakan gagang/ pegangan ke-2 dari alat bantu untuk

menurunkan pasir. Fungsi gagang ini adalah untuk mengangkat dan menarik

serok setelah menyerok pasir. Desain gagang depan harus bersifat kaku dan

mampu menahan beban penuh serok. Desain gagang depan terdiri dari dua

bagian desain, yaitu: letak gagang depan dan bentuk pegangan gagang depan.

Tabel 2.52.5 Alternatif-alternatif solusi desain

Desain serok Desain pegangangagang belakang

Desain letak gagangdepan

Desain pegangangagang depan

1. 1. Staf/ Tongkat 1. Tanpa pegangan tambahan 1. Staf/ Tongkat

2. 2. Bentuk T 2. Pegangan ditengah model 1 2. Bentuk T

3. 3. Bentuk D 3. Pegangan ditengah model 2 3. Bentuk D

4. 4. Bentuk DErgonomis

4. Pegangan ditengah model 3 4. Bentuk DErgonomis

5. 5. Bentuk D lengkung 5. Pegangan di ujung bawahgagang utama

5. Bentuk D lengkung

6. Bentuk O(lingkaran)

6. Pegangan di bagian serok 6. Bentuk O(lingkaran)

Ukuran panjang gagang depan disesuaikan dengan bentuk gagang dan juga

anthropometri tinggi pengguna.

a. Desain letak gagang depan

Solusi desain alternatif untuk letak pegangan gagang depan alat bantu,

dapat digambarkan dalam Tabel 2.5.

b. Desain pegangan gagang depan

Solusi desain alternatif untuk pegangan gagang depan alat bantu, dapat

digambarkan dalam Tabel 2.5.

2.13.4 Evaluasi dan Seleksi Desain Alternatif

Evaluasi dan seleksi desain alternatif adalah tahap pemilihan alternatif

desain berdasarkan keinginan pengguna, kemampuan produksi, kesesuaian antara

alat dan pengguna, hasil penelitian dan pendapat para ahli. Dalam proses evaluasi

dan seleksi desain alternatif, para pekerja diminta masukannya tentang

alternatif-alternatif setiap bagian dari desain enggrong modifikasi meliputi:

bentuk serok, bentuk pegangan belakang, letak pegangan depan, dan bentuk

pegangan depan. Masukan dari para pekerja juga dibandingkan dengan pendapat

para ahli yang menyatakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dikatakan memiliki

kondisi ergonomis. Partisipasi pekerja dalam ikut menentukan pemilihan alternatif

desain merupakan bentuk ergonomi partisipasi di mana pekerja aktif terlibat

dalam mengimplementasikan pengetahuan dan prosedur ergonomi di tempat kerja

(Nagamachi, 1995).

Evaluasi alternatif-alternatif solusi desain dalam perancangan alat bantu

menurunkan pasir yang dirancang, meliputi:

1. Serok

Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 5, yaitu bentuk serok

yang sama dengan alat bantu yang lama (enggrong yang lama). Hal ini

dikarenakan kapasitas pasir terangkat/ terpindahkan oleh alat bantu yang

dirancang mempunyai kapasitas yang sama dengan alat bantu enggrong yang

lama, sekitar 5,9636 ± 0,678 kg.

Pemilihan kapasiats pasir terangkat/ terpindahkan didasarkan pada keinginan

pekerja yang menginginkan alat baru tidak membuat pekerjaan menjadi lebih

lama dan kebisaan sistem kerja pekerja, dapat menghilangkan kesan alat bantu

yang baru membuat pekerjaan menjadi lebih lama dikarenakan kapasitas alat

bantu yang kecil atau menjadi terlalu berat.

2. Gagang belakang

Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 4, yaitu bentuk D

ergonomis dengan sudut 70. Desain alternatif bentuk D ergonomis dipilih

karena bentuk D ergonomis lebih ergonomi ketika pengguna bekerja, tetapi

bentuk D ergonomis menuntut pegangan dapat diputar agar dapat digunakan

berganti ganti tangan, memegang gagang belakang dengan tangan kanan atau

dengan tangan kiri. Desain alternatif bentuk D, dapat digunakan oleh tangan

kiri atau kanan, tetapi mengabaikan posisi netral telapak tangan ketika

mengengam. Desain alternatif bentuk D lengkung, bentuk T dan O akan baik

jika pegangan tersebut di peruntukkan dua tangan, seperti untuk pekerjaan

yang perlu gaya dorong oleh dua tangan. Desain alternatik bentuk staff

merupakan bentuk desain lama dari sekop.

3. Gagang depan

a. Desain letak gagang depan

Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 6, yaitu letak

gagang depan seperti pada alat bantu yang lama. Alasan pemilihan

desain alternatif ini adalah pada desain ini beban berat alat bantu dan

pasir ketika diangkat menjadi beban ke-2 tangan, sedangkan pada

desain alternatif yang lain beban alat bantu dan pasir ketika diangkat

menjadi beban tangan yang memegang gagang bagian depan sementara

tangan yang memegang gagang belakang hanya menjadi penyeimbang

dan cenderung untuk menekan ke bawah. Selain alasan beban yang

ditanggung oleh tangan, alasan yang lain adalah keseimbangan alat

bantu ketika diangkat. Ketika diangkat alat bantu terisi pasir dengan

bentuk dan letak pasir yang tidak mementu/beraturan, sehingga titik

berat alat bantu dan pasir terangkat tidak selalu berada pada titik yang

tetap. Alternatif solusi desain No. 1 sampai No. 5 mempunyai titik

letak gagang depan pada bagian gagang belakang dan terletak pada

sumbu utama dari gagang belakang, ketika titk berat beban pada serok

tidak berada pada satu garis dengan garis sumbu, maka ada gaya

tambahan berupa gaya puntir ke kanan atau ke kiri yang harus di tahan

oleh tangan. Sedangkan pada desain alternatif No. 6, karena letak

pegangan gagang depan berada pada sisi luar dekat ujung serok, gaya

puntir akibat titik berat alat bantu dan beban tidak akan terjadi.

b. Desain pegangan gagang depan

Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 3, yaitu bentuk D.

Desain alternatif bentuk D dipilih karena bentuk D lebih ergonomi

ketika pengguna bekerja berganti ganti tangan, memegang gagang

belakang dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Desain

alternatif bentuk D ergonomis, hanya akan baik jika pekerja bekerja

hanya dengan tangan kanan saja atau kiri saja tergantung desain apakah

digunakan tangan kanan atau kiri. Desain alternatif bentuk D lengkung,

bentuk T dan O akan baik jika pegangan tersebut di peruntukkan dua

tangan, seperti untuk pekerjaan yang perlu gaya dorong oleh dua

tangan. Desain alternatif bentuk staff merupakan bentuk desain lama

dari sekop.

2.13.5 Realisasi Desain Alternatif Terpilih

Berdasarkan hasil evaluasi dan seleksi alternatif-alternatif solusi desain

terpilih alternatif desain untuk setiap bagian alat bantu yang dirancang. Tetapi

hasil evaluasi dan seleksi alternatif ini baru berupa bentuk penyusun alat bantu

yang dirancang, untuk realisasi desain alternatif yang terpilih harus dimasukan

parameter dimensi. Parameter dimensi desain sangat tergantung dari data

anthropometri dari penguna khusus atau orang Indonesia secara umum. Parameter

dimensi anthropometri yang diperlukan adalah:

1. Tinggi tubuh

Untuk mendapatkan tinggi pegangan tangan diperlukan tinggi badan di

kali dengan 0,37 (Tinggi ujung jari (standar Nordic)) ditambah dengan 9

cm (Letho dan Buck, 2008).

Tinggi badan pekerja dengan presentil 95 adalah 168 cm, sehingga tinggi

pegangan tangan adalah (168 cm x 0,37) + 9 cm =70 cm.

2. Lebar tangan dalam keadaan tertutup

Untuk mendesain panjang pegangan pada ke-2 gagang alat bantu, lebar

tangan dalam keadaan tertutup adalah dimensi minimal ketika mendesain.

Ukuran panjang pegangan adalah persentil 99 baik untuk laki-laki maupun

wanita, maka panjang pegangan tangan untuk orang Eropa adalah

minimum 99 mm dan pegangan yang baik adalah 125 mm (Garrett dalam

Kumar, 1999). Untuk orang Indonesia khususnya pekerja pasiran yang

memiliki lebar tangan tertutup persentil 99 dan bernilai 75 mm, maka

desain panjang pegangan pada ke-2 gagang alat bantu, dimensi panjang

sepanjang 100 mm dapat diterima dan juga mempertimbangkan

penggunaan sarung tangan sebagai alat pelindung diri.

3. Diameter maksimum genggaman tangan

Untuk mendesain diameter genggaman tangan pada ke-2 gagang alat bantu

diperlukan data anthropometri diameter maksimum gengganan tangan.

Dari penelitian, diameter genggaman yang baik berkisar 30 mm sampai

dengan 40 mm untuk menggengam benda berbentuk silinder dan

menerapkan gaya maksimum pada benda tersebut (power grip) (Yakao, et

al. dalam Kumar, 1999). Penelitian yang lain, menerapkan nilai diameter

genggaman sebesar 41,8 mm tanpa menerapkan gaya maksimum tetapi

merupakan persentil 95 dari data anthropometri petani bali. Penerapan

diameter 40 mm untuk diameter genggaman tangan pada ke-2 gagang alat

bantu dapat diterapkan berdasarkan ke-2 penelitian sebelumnya.

Tabel 2.6 menunjukkan bagian anthropomentri pekerja yang digunakan untuk

mendesain alat bantu enggrong modifikasi.

Tabel 2.62.6 Anthropometri pekerja pada desain enggrong modifikasi

Variabel desainenggrong modifikasi

Anthropometripekerja

Nilai

1. Tinggi alat (0,37 x Tinggi Badan) +panjang jari telunjukPresentil 95 pekerja

(0,37 x 168) + 9 = 70 cm

2. Panjang pegangan Lebar telapak tangan +allowance untuk sarung tanganPresentil 99 pekerja

75 cm untuk lebartelapak tangan25 cm untuk allowance

3. Diameter pegangan Diameter maksimum genggaman+ allowance untuk sarungtanganPresentil 95 pekerja

39,5 cm untuk diametermaksimum genggaman0,5 cm untuk allowance

Gambar 2.152.15 Realisasi bentuk desain alat bantu

Realisasi bentuk desain alat bantu yang baru dapat di gambar pada

Gambar 2.15. Bentuk akhir ini merupakan kombinasi dari alternatif-alternatif

solusi yang terpilih dan merupakan pilihan dari pekerja. Dilengkapi dengan data

anthropometri para pekerja untuk membentuk realisasi bentuk akhir agar pekerja

dapat bekerja dengan ergonomis.

Pemodelan penggunaan alat bantu baru oleh pekerja pasiran disimulasikan

menggunakan program bantu Siemen Jack untuk melihat sikap-sikap tubuh

pekerja ketika bekerja. Hasil simulasi dalam Gambar 2.16 memperlihatkan

sikap-sikap kerja pekerja tidak lagi memperlihatkan sikap tubuh tidak alamiah

atau membungkuk dalam beberapa simulasi kerja.

Gambar 2.162.16 Simulasi penggunaan alat bantu baru

Berdasarkan simulasi penggunaan alat bantu bantu baru hasil rancangan,

target proses perancangan adalah merancang/ modifikasi alat bantu yang ada

sehingga pekerja dapat bekerja dengan sikap tubuh yang natural, ketika bekerja

menurunkan pasir dari atas truk tercapai. Dari hasil rancangan terlihat bahwa

hanya dengan menambah panjang gagang pegangan pada ke-2 pegangan sikap

tubuh pekerja ketika bekerja dapat dibuat menjadi sikap tubuh yang alamiah atau

ergonomis.

Hasil rancangan menunjukan rancangan alat bantu baru merupakan

modifikasi dari alat bantu yang lama, yaitu enggrong, sehingga dapat dikatakan

rangcangan alat yang baru merupakan hasil modifikasi enggrong dengan tujuan

mengubah sikap kerja pekerja ketika bekerja.

Keunggulan rancangan alat ini antara lain adalah :

1. Dari segi teknis, sesuai dengan fungsinya menurunkan pasir dari atas truk.

2. Dari segi ekonomi, biaya pembuatan dan perawatan relatif murah.

3. Hemat energi (tidak perlu listrik atau bahan bakar), ramah lingkungan, tidak

bermasalah dari segi budaya.

4. Mudah dibawa ke mana-mana, cukup diletakan di atas truk ketika di bawa.

5. Mudah diperbaiki jika mengalami kerusakan sehingga bisa dilakukan sendiri

oleh pekerja.

Pada dasarnya, setiap tenaga kerja sebaiknya mengetahui dan mengerti

peralatan kerja yang sesuai dengan persyaratan ergonomi agar nyaman dipakai

dan efisien. Bila peralatan kerja tersebut belum sesuai dengan pemakainya perlu

dilakukan perbaikkan dan dimodifikasi. Dengan demikian, setiap usaha perbaikan

peralatan kerja hendaknya bersifat sederhana serta murah biayanya, bisa dan

mudah dilakukan, dan dapat memberikan keuntungan secara ekonomi (Manuaba

1998b). setiap pekerjaan membutuhkan peralatan kerja yang tentunya telah teruji

keserasiannya terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan pemakainya

(Manuaba, 1989; Kroemer dan Grandjean, 2003).