bab2.pdf

69
BAB.II TINJAUAN TEORI I. Konsep Teori A. Fraktur 1. Pengertian a. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia, A. Price, 1995). b. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia, A. Price, 1995). c. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000). d. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Burner & Suddarth, 2002).

Upload: komang-indra-widyantara

Post on 26-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: bab2.pdf

BAB.II

TINJAUAN TEORI

I. Konsep Teori

A. Fraktur

1. Pengertian

a. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi

itu lengkap atau tidak lengkap.

Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak

lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia, A. Price, 1995).

b. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak

lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia, A. Price, 1995).

c. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan

atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,

2000).

d. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang

dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya

meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem

(Burner & Suddarth, 2002).

Page 2: bab2.pdf

e. Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Lima utama klasifikasi fraktur

: incomplete, complete, tetutup, terbuka, fraktur patologis (Marilyn, 2002).

f. Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan

yang disebabkan oleh kekerasan (Oerswari, 1989).

2. Etiologi

a. Infeksi.

b. Akibat dari suatu keadaan patologis → tumor, Ca.

c. Pukulan langsung.

d. Gerakan puntir mendadak.

e. Konstraksi otot ekstrem.

f. Gaya meremuk.

3. Patofisiologi

Tulang Normal

Trauma, Penyakit patologi, Malnutrisi

Page 3: bab2.pdf

Fraktur

Rusak, terputusnya kotinuitas tulang

Kerusakan jaringan lunak sekitar

4. Manifestasi Klinik

a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang dimobilisasi.

b. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas

ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas

normal.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya dinamakan

konstraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.

Kerusakan integritas kulit

Gangguan rasa nyaman nyeri

Kerusakan mobilitas fisikResti infeksi

Periosteum terpisah dari

tulang

Gangguan rasa nyaman nyeri

Resti trauma

Perdarahan

Resti disfungsi neurovaskuler

perifer

Page 4: bab2.pdf

d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan

yang lainnya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

f. Deformitas: penonjolan yang abnormal (misalnya pada fraktur kondilus

lateralisi angulasi, rotasi, dan pemendekan.

g. Krepitasi terasa bila fraktur digerakkan.

5. Komplikasi

a. Malunion

Adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi

yang tidak seharusnya membentuk sudut atau miring.

b. Delayed Union dan Nonunion

Deleyed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan

kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Neunion dari tulang yang

patah dapat menjadi komplikasi yang membahayakan bagi penderita. (tulang

yang patah tetap tidak menyatu).

c. Syok

Syok hipovolemik atau traumatik, akibat dari perdarahan (baik kehilangan

darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel

ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, torak, pelvis

dan vertebra.

Page 5: bab2.pdf

d. Terjadi emboli lemak

e. Sindrom kompartemen

f. Infeksi

g. Tromboemboli

h. Koagulopati intravaskuler diserminate (KID).

i. Nekrosis vaskuler tulang.

6. Penatalaksanaan Medis

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan

pemeriksaan ABC, Anamnese, pemeriksaan fisis SEC – cepat, lakukan

fotoradiologi, pemasangan bidai.

Untuk fraktur tertutup bisa konservatif dan operatif

a. Terapi Konservatif.

1) Protesi saja, misal mitela untuk fraktur colium chirurgiccum humeri

dengan kedudukan baik.

2) Imobilisasi saja tanpa reposisi, ex : pemasangan gips pada fraktur

inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.

3) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Ex : pada fraktur suprakondilus,

colles, fraktur smith. Reposisi dapat dalam anastesi umum atau lokal.

4) Traksi untuk reposisi secara perlahan.

b. Terapi Operatif.

1) Reposisi terbuka, fiksasi interna.

2) Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti eksterna.

Untuk fraktur terbuka :

Page 6: bab2.pdf

1. a. Lakukan penanganan secepat mungkin, waktu optimal 6 – 7 jam.

b. Berikan analgetik.

c. Berikan antibiotik.

d. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman.

e. Teknik debridmen :

1). Lakukan narkosis namun oleh anestesi lokal bila luka ringan dan kecil

2). Bila luka cukup luas, pasang dulu torniket.

3). Cuci ekstremitas selama 5 – 10 menit lalu lakukan pencukuran. Luka

diirigasi dengan cairan Nacl stril atau air matang 5 – 10 menit sampai

bersih.

4). Lakukan tindakan desinfeksi x pasang duk.

5). Eksisi luka lapis demi lapis, mulai dari kulit, subkutis, fasia, hingga otot.

Buang – buang tulang kecil yang tidak melekat pada periosteum –

pertahankan fragmen tulang besar yang perlu untuk stabilitas.

6). Luka fraktur terbuka selalu dibiarkan terbuka dan bila perlu ditutup satu

minggu kemudian setelah edema menghilang untuk dapat juga hanya

dijahit situasi bila luka tidak terlalu lebar. (jahit luka batang).

7. Tes Diagnostik

a. X- RAY

b. MRI

c. CT – SCAN

d. Darah Lengkap

Page 7: bab2.pdf

8. Karakteristik Fraktur

A. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar

1. Tertutup.

2. Terbuka, terdiri dari 3 Derajat

a. Derajat I

1) Luka < 1 cm

2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk.

3) Fraktur sederhana, transversal, oblik untuk kumunitif ringan.

4) Kontaminasi minimal.

b. Derajat II

1) Laserasi > 1 cm

2) Kerusakan jaringan lunak tidak luas

3) Fraktur komunitif sedang.

4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III

1) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, ada laserasi

fraktur segmental / sangat komunitif yang disebabkan oleh energi

tinggi.

2) Kehilangan jaringan lunak, fraktur terpapar atau terkontaminasi.

3) Luka pada pembuluh darah arteri atau saraf perifer yang harus

diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

9. Asuhan Keperawatan Fraktur

A. Pengkajian

Page 8: bab2.pdf

Pengkajian fisik : infeksi umum tubuh akan memperlihatkan ukuran, setiap tanda

deformitas, asimetri kontur, pembengkakan, edema, memar atau luka dikulit.

Dengan mengosebvarsi postur, gerakan dan cara berjalan pasien akan diperoleh data

mengenai perubahan mobilitas pasien dan adanya rasa nyeri atau ketidak nyamanan

atau gerakan involunter.

a. Pengkajian aktivitas/istirahat.

Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,

fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan,

nyeri).

b. Kaji nyeri/Kenyamanan

Nyeri berat tiba – tiba pada saat cedera mungkin terlokalisasi pada area jaringan

atau kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi) tidak ada nyeri akibat

kerusakan saraf. Spasme / kram otot (setelah imobilisasi).

c. Neurosensori.

Hilangnya gerakan/sensasi, spasme otot. Agitasi (mungkin berhubungan dengan

nyeri/ansietas atau trauma lain).

d. Sirkulasi

Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.

e. Keamanan

Avisi jaringan, perdarahan, perubahan warna. Pembengkakan lokal ( dapat

meningkatkan secara bertahap atau tiba – tiba).

f. Penyuluhan/Pembelajaran.

Page 9: bab2.pdf

Lingkungan cedera, aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan/perawatan

tubuh.

B. Diagnosa Keperawatan.

1. Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, spasme otot dan pembedahan.

2. Resti terhadap trauma b.d kehilangan integritas tulang.

3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer b.d penurunan aliran

darah.

4. Kerusakan integritas kulit aktual b.d insisi bedah

5. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri.

6. Resti tinggi terhadap infeksi b.d kerusakan jaringan, trauma jaringan.

7. Kurang pengetahuan tentang program pengobatan b.d kurang informasi.

C. Rencana Keperawatan.

1. Diagnosa I

a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring , gips,

pembatas, traksi.

Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang /

tegangan jaringan yang cedera.

b. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.

Rasional : Meningkatkan aliran baik vena, menurunkan edema dan

menurunkan nyeri.

c. Evaluasi skala nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik,

termasuk intensitas (skala 0 = tidak nyeri, <6 = nyeri ringan, >6 = nyeri

berat).

Page 10: bab2.pdf

Rasional : Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi,

tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap

nyeri.

d. Bantu perubahan posisi sesering mungkin, setiap 15 menit sekali.

Rasional : Penggantian posisi mengurangi tekanan dan ketidaknyamanan

yang diakibatkannya.

2. Diagnosa II

a. Pertahankan tirah baring/eksremitas sesuai indikasi

Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan

posisi/penyembuhan

b. Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat

tidur ortopedi.

Rasional : Tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat informasi gips

yang masih basah, mematahkan gips yang sudah kering, atau

mempengaruhi dengan penarikan fraksi.

c. Evaluasi pembebat eksremitas terhadap resolusi edema.

Rasional : Pembebat koaptasi mungkin digunaka untuk memberikan

imobilisasi fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan.

3. Diagnosa III

a. Evaluasi adanya /kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi

Page 11: bab2.pdf

Rasional : Penurunan / tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera

vaskuler dan perlunya evaluasi medik segera terhadap status

sirkulasi.

b. Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari/sendi distal cedera ambulasi

segera mungkin

Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah

khususnya pada ekstermitas bawah.

c. Selidiki nyeri tekan,pembengkakan pada dorsofleksi kaki.

Rasional : Terdapat peningkatan potensi untuk emboflebitis dan emboli paru

pada pasien imobilisasi selama 5 hari / lebih.

d. Awasi TTV,perhatikan tanda-tanda umum sianosis,kulit dingin,perubahan

mental.

Rasional : Ketidak adekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem

perfusi jaringan.

4. Diagnosa IV

a. Pantau tanda-tanda vital

Rasional : Peningkatan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,

pernapasan) sebagai respons terhadap infeksi.

b. Lakukan penggantar balutan secara asepsis

Rasional : Menghindari masukan organisme infeksius.

c. Kaji keluhan nyeri

Rasional: Nyeri dapat juga disebabkan oleh hematoma luka, kemungkinan

tempat infeksi, yang perlu di evakuasi secara bedah.

Page 12: bab2.pdf

d. Kaji penampilan luka dan sifat cairan yang keluar

Rasional : Insisi yang bengkak, merah dan mengeluarkan cairan merupakan

indikasi adanya infeksi.

5. Diagnosa V

a. Kaji derajat imobilisasi yang di hasilkan oleh cedera / pengobatan dan

perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin di batasi oleh pandangan diri / persepsi diri

tentang keterbatasan fisik aktual.

b. Intruksikan pasien untuk bantu dalam rentang gerak pasien/ aktif pada

ektremitas yang sakit dan yang tak sakit.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang meningkatkan

tonus otot, mempertahankan gerak sendi.

c. Bantu / dorong perawatan diri / kebersihan.

Rasional : Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol

pasien dalam sirkulasi, dan meningkatkan kesadaran diri

langsung.

6. Diagnosa VI

a. Infeksi kulit untuk adanya iritasi akan robekan kontinuitas.

Rasional : Pen atau kawat tidak harus di masukkan melalui kulit yang

terinfeksi, kemerahan, atau abrasi.

b. Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci

tangan.

Page 13: bab2.pdf

Rasional : Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.

c. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam kemampuan untuk berbicara.

Rasional : Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang, dan disfagia

menunjukkan terjadinya tetanus.

d. Berikan obat sesuai indikasi cex. Antibiotik.

Rasional : Antibiotik spektrum luas dapat di gunakan secara profilaktik atau

dapat di tujukan pada mikro organisme khusus.

7. Diagnosa VII

a. Kaji ulang patologis, prognosis dan harapan yang akan datang.

Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat

pilihan informasi.

b. Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai intruksi dengan trapis

fisik bila di indikasikan.

Rasioanal : Banyak fraktur memerlukan gips, bebat tau penjepit selama

proses penyembuhan.

c. Kaji ulang perawatan pen / luka yang tepat.

Rasional : Menurunkan resiko trauma tulang / jaringan dan infeksi yang

dapat berlanjut menjadi osteomielitis.

D. Evaluasi

1. Mengalami hilangnya nyeri

2. Mengontrol ketidaknyamanan dengan obat oral yang biasa

3. Dapat bergerak dengan ketidaknyamanan minimal.

Page 14: bab2.pdf

4. Mengubah posisi untuk meningkatkan kenyamanan.

5. Mengontrol pembengkakan.

6. Memperlihatkan pengisian kapiler normal.

7. Berpindah sel mandiri atau dengan bantuan minimal.

8. Berpatisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari – hari.

9. Menggunakan alat bantu dengan aman.

10. Tampak relaks dan penuh rasa percaya diri.

11. Menggunakan strategi koping yang efektif.

12. Berpatisipasi dalam rencana tindakan.

13. Menerangkan program pengobatan terencana.

14. Menyebutkan tanda dan gejala yang perlu dilaporkan kepada dokter.

15. Mengadakan perjanjian untuk perawatan tindak lanjut.

C. Nyeri

1. Definisi

a. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

b. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan

c. Nyeri merupakan Perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat.yang hanya

dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain,

Page 15: bab2.pdf

mencakup pola fikir, aktifitas seseorang secara langsung, dan perubahan hidup

seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan

telah terjadinya gangguan fisiologikal

(http://irmanthea.blogspot.com/2007/10/konsep-nyeri.html).

d. Nyeri adalah pengalaman subjektif multifaktorial yang dapat dimodifikasi dengan

menggunakan teknik kognitif dan fisik untuk menurunkan intensitas atau persepsi

nyeri. (Mourad, 1991).

e. Nyeri adalah suatu perasaan tidak menyenangkan yang disebabkan stimulus

sfesifik, seperti: mekanik, termal, kimia, elektrik, pada ujung-ujung saraf serta

tidak bisa diserah terimakan pada orang lain (Summer, 1985).

3. Etiologi nyeri

Struktur terdalam dari otak, termasuk kedalamnya ganglia basalis, menerima darah

dari pembuluh darah kecil yaitu arteriol. Penyumbatan atau penghambatan satu atau

lebih arteriol ini dapat menyebabkan beberapa hal, menyebabkan terjadinya stroke

seperti stroke lacune, lacune berarti danau atau lubang. Stroke sering mengenai

thalamus dan menyebabkan sindroma nyeri yang khas. Tidak semua stroke

melibatkan thalamus yang menyebabkan sindroma ini, dimana gejalanya timbul

seminggu atau berbulan-bulan setelah stroke terjadi. Penyebab yang pasti mengapa

stroke thalamus menyebabkan nyeri ini masih belum begitu diketahui.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri central (thalamus) ;

a. Stroke (yang melibatkan talamus)

b. Multiple sclerosis

c. Cancer (ketika merusak serabut sensorik pada sistem saraf pusat atau thalamus)

Page 16: bab2.pdf

d. Cedera tulang belakang

e. Trauma fisik (seperti pembedahan, tembakan senjata, jatuh, kecelakaan lalu lintas.

Ada banyak hal yang dapat menyebabkan nyeri central, beberapa hal dibawah ini

sering menyebabkan nyeri sentral jika dia menyernag bagian dari system saraf sentral.

Berurutan sesuai alphabet, bukan berdasarkan yang sering menyebabkan nyeri sentral

a. Aids, terutama pada stadium akhir

b. Aneurisma

c. Arachnoiditis

d. Malformation arteriovenous

e. Cauda equina syndrome

f. Cervical myelopathy

g. Keracunan bahan kimia

h. Sakit kepala cluster (kadang disebut juga sebagai bentuk dari neri sentral)

i. Luka tembak

j. Infeksi (bacterial atau virus)

k. Lead neuropathy

l. Meralgia paresthetica

m. Mercury toxicity

n. Myelomalacia

o. Neurofibromatosis

p. Posterior myelitis

q. Post-polio syndrome

r. Radiation exposure

Page 17: bab2.pdf

s. Reflex sympathetic dystrophy syndrome

t. Spinal cord infarction

u. Stroke

v. Pembedahan

w. Syringomyelia

x. Tethered cord syndrome

y. Transverse myelitis

z. Vascular malformation

Beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri, yaitu:

1. Trauma

a. Mekanik

Rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan,

misalnya akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.

b. Thermis

Nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas,

dingin, misal karena api dan air.

c. Khemis

Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa kuat

d. Elektrik

Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri

yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.

2. Neoplasma

a. Jinak

Page 18: bab2.pdf

b. Ganas

3. Peradangan

Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya

peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Misalnya : abses

4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah

5. Trauma psikologi

4. Fisiologi nyeri

Diantara terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga timbulnya

pengalaman subyektif mengenai nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan

kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik

pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam

proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan

impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang

menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus.

Kemudian yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses

ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi

nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif

menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau

obat analgetika seperti morfin.

Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga

menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur

Page 19: bab2.pdf

otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena

nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan

keterbatasan untuk memahaminya. Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh

saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan,

kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari

daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai

impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada

spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke

thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan

sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana

intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda

dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin

dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka. Di dalam spinal cord, ada

gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat

dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan

menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga

mencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang,

misalnya perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang

dirasakan.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam

kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.

Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri

Page 20: bab2.pdf

(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf

perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga

memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub

kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan

didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab

nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor

viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal

dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif

Page 21: bab2.pdf

terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia

dan inflamasi.

5. Klasifikasi nyeri

a. Menurut Tempat

1). Periferal Pain

a) Superfisial Pain (Nyeri Permukaan)

b) Deep Pain (Nyeri Dalam)

c) Reffered Pain (Nyeri Alihan)

Nyeri yang dirasakan pada area yang bukan merupakan sumber

nyerinya.

2). Central Pain

Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang

otak.

3). Psychogenic Pain

Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma

psikologis.

4). Phantom Pain

Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak ada

lagi, contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari stimulasi

dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh

karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah

diangkat.

5). Radiating Pain

Page 22: bab2.pdf

Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.

b. Menurut Sifat

1). Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang

2). Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama

3). Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan

biasanya menetap10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul

kembali.

4). Intractable Pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi.

Contoh pada arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan

kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan

kecanduan.

c. Menurut berat ringannya

1). Nyeri ringan : dalam intensitas rendah

2). Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis

3). Nyeri Berat : dalam intensitas tinggi

d. Menurut Waktu Serangan

Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan tipe nyeri. Pada tahun 1986,

The National Institutes of Health Concencus Conference of Pain

mengkategorikan nyeri menurut penyebabnya. Partisipan dari konferensi

tersebut mengidentifikasi 3 (tiga) tipe dari nyeri, yaitu :

1) Nyeri akut

2) Kronik Malignan

3) Kronik Nonmalignan.

Page 23: bab2.pdf

Nyeri akut timbul akibat dari cedera akut, penyakit atau pembedahan. Nyeri

Kronik Nonmalignan diasosiasikan dengan cedera jaringan yang tidak

progresif atau yang menyembuh. Nyeri yang berhubungan dengan kanker atau

penyakit progresif disebut Chronic Malignant Pain. Meskipun demikian,

perawat biasanya berpegangan terhadap dua tipe nyeri dalam prakteknya yaitu

akut dan kronis :

1. Nyeri Akut

Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.

Klien yang mengalami nyeri akut baisanya menunjukkan gejala-gejala

antara lain : perspirasi meningkat, Denyut jantung dan Tekanan darah

meningkat, dan pallor.

2. Nyeri Kronis

Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama

dan klien sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai dirasakan.

6. Respon fisiologis terhadap nyeri

a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

1) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

2) Peningkatan heart rate

3) Vasokonstriksi perifer, peningkatan broncho pulmunal

4) Peningkatan nilai gula darah

5) Diaphoresis

Page 24: bab2.pdf

6) Peningkatan kekuatan otot

7) Dilatasi pupil

8) Penurunan motilitas gastroinstestinal

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

1) Muka pucat

2) Otot mengeras

3) Penurunan heart rate dan bronchp pulmonal

4) Nafas cepat dan irreguler

5) Nausea dan vomitus

6) Kelelahan dan keletihan

7. Respon tingkah laku terhadap nyeri

a) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan

jari & tangan

e) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas

menghilangkan nyeri).

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat

berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi

Page 25: bab2.pdf

kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih

untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.

Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam

mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1). Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran

perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi

pada klien.

2). Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif,

maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi

terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang

yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh

nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya

rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan

tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,

sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya

mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Page 26: bab2.pdf

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang

yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin

berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri

dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa

mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah,

vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang

digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.

Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak

mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu

tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih

membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga

dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien

mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat

menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu

memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan

nyeri berulang.

8. Respon Psikologis

Page 27: bab2.pdf

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri

yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

a. Bahaya atau merusak

b. Komplikasi seperti infeksi

c. Penyakit yang berulang

d. Penyakit baru

e. Penyakit yang fatal

f. Peningkatan ketidakmampuan

g. Kehilangan mobilitas

h. Menjadi tua

i. Sembuh

j. Perlu untuk penyembuhan

k. Hukuman untuk berdosa

l. Tantangan

m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

n. Sesuatu yang harus ditoleransi

o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,

persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

9. Intensitas Nyeri

Page 28: bab2.pdf

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh

individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh

dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon

fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik

ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri

(Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) Skala intensitas nyeri

deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Page 29: bab2.pdf

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

Menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

Mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi

nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas

nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang

Page 30: bab2.pdf

ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan

klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak

terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien

skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia

rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala

penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti

alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala

0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan

setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah

suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi

verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan

nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada

rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Page 31: bab2.pdf

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak

mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat

membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala

deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi

juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah

terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami

penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

a. Skala Numerik Nyeri

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat ringannya rasa

sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat

subyektif nyeri. Skala numerik, dari 0 hingga 10, di bawah ini , dikenal juga

sebagai Visual Analog Scale (VAS), Nol ( 0 ) merupakan keadaan tanpa atau

bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10) , suatu nyeri yang sangat hebat.

Skala Numerik Nyeri

b. Visual Analog Scale

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus , tanpa angka. Bisa bebas

mengekspresikan nyeri , ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak

tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang.

Page 32: bab2.pdf

Visual Analog Scale (VAS)

Tidak

ada rasa

nyeri

_______________________________________________________Sangat

Nyeri

Anda diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua

nilai ekstrem . bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri

yang moderate / sedang

c. Skala Wajah

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda , menampilkan wajah

bahagia hingga wajah sedih, juga di gunakan untuk "mengekspresikan" rasa nyeri.

Skala ini dapat dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.

Skala wajah untuk nyeri

10. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Page 33: bab2.pdf

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor

dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang

mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali

nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan

Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh

mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa

impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat

sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar

teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari

otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C

melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan.

Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih

cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.

Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok

punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi

mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan

serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan

sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat korteks

yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan

opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang

Page 34: bab2.pdf

berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan

menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian

plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

11. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam

nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah

yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau

meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan

dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas

kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap

nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah

akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka

tidak mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan

bagaimana mengatasinya.

Page 35: bab2.pdf

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided

imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini

nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah

tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam

mengatasi nyeri.

h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang

mengatasi nyeri.

i. Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga

atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

12. Asuhan Keperawatan Nyeri

a. Pengkajian

Page 36: bab2.pdf

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara

menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).

Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :

a). Sirkulasi

Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular

perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).

b). Integritas ego

Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple,

misalnya financial, hubungan, gaya hidup.

Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ;

stimulasi simpatis.

c). Makanan / cairan

Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk

hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane

mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).

d). Pernapasan

Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.

e). Keamanan

Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ;

Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan

penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga

tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek

Page 37: bab2.pdf

dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat

transfuse darah / reaksi transfuse.

Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.

f). Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi,

kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan,

analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang

dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan

kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan

juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata

maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 :

17). Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur

(Wilkinson, 2006) meliputi :

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,

edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak

edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status

metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat

luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat

jaringan nekrotik.

Page 38: bab2.pdf

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan

muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,

prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.

6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah

interpretasi informasi.

C. Intervensi dan Implementasi

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan

untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,

1994). Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan

yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Intervensi dan

implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post operasi fraktur

Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :

1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan

meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan

dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari

intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat

diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.

Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil :

a). Nyeri berkurang atau hilang

b). Klien tampak tenang.

Page 39: bab2.pdf

Intervensi dan Implementasi :

a). Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga

Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif

b). Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri

Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri

c). Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri

Rasional: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang

nyeri.

d). Observasi tanda-tanda vital.

Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien

e). Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik.

Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik

berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup

mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi

kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.

Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.

Kriteria hasil :

a). Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.

b). Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa

dibantu.

c). Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

Intervensi dan Implementasi :

Page 40: bab2.pdf

a). Rencanakan periode istirahat yang cukup.

Rasional: mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul

dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.

b). Berikan latihan aktivitas secara bertahap.

Rasional: tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara

perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat,

mobilisasi dini.

c). Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.

Rasional: mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien sembuh.

d). Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.

Rasional: menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai

akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami

perubahan secara tidak diinginkan.

Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

a). luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

b). Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :

a). Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

Rasional: mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam

melakukan tindakan yang tepat.

b). Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.

Page 41: bab2.pdf

Rasional: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah

intervensi.

c). Pantau peningkatan suhu tubuh.

Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya

proses peradangan.

d). Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering

dan steril, gunakan plester kertas.

Rasional: tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan

mencegah terjadinya infeksi.

e). Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.

Rasional: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas

pada area kulit normal lainnya.

f). Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.

Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi

parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.

g). Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

Rasional: antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada

daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan

fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.

Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

Kriteria hasil :

a). Penampilan yang seimbang..

Page 42: bab2.pdf

b). Melakukan pergerakkan dan perpindahan.

c).Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik : 0

= mandiri penuh,1 = memerlukan alat Bantu, 2 = memerlukan bantuan dari orang

lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran, 3 = membutuhkan bantuan dari

orang lain dan alat Bantu, 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam

aktivitas.

Intervensi dan Implementasi :

a). Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.

Rasional: mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.

b). Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.

Rasional: mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena

ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.

c). Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.

Rasional: menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.

d). Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.

Rasional: mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.

e). Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.

Rasional: sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan

mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan

sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.

Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.

Kriteria hasil :

Page 43: bab2.pdf

a). Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

b). Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

c). Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :

a). Pantau tanda-tanda vital.

Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh

meningkat.

b). Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

Rasional: mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.

c). Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka.

Rasional: untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.

d). Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan

leukosit.

Rasional: penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi

akibat terjadinya proses infeksi.

e). Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

Rasional: antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah

interpretasi informasi.

Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses

pengobatan.

Kriteria Hasil :

Page 44: bab2.pdf

a). Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.

b). Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen

perawatan.

Intervensi dan Implementasi:

a). Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.

Rasional: mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan

keluarga tentang penyakitnya.

b). Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.

Rasional: dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan

keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.

c). Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.

Rasional: diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.

d). Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.

Rasional: mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai

keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

D. Evaluasi

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam

pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau

intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :

1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.

2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.

Page 45: bab2.pdf

3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai

4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol

6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses

pengobatan.

D. Teknik hipnotis

1. Hipnotis

Dalam tindakan keperawatan untuk meningkatkan adaptasi dan mengontrol nyeri

disamping kolaborasi terapi farmakologi juga biasa dengan terapi keperawatan pereda

nyeri non farmakologis dan non invasive, yaitu pembebatan letak insisi, pengaturan

posisi yang tepat, distraksi (musik, perbincangan), latihan nafas dalam, rangsang

kutan (massage, pemberian kompres dingin dan panas), menciptakan lingkungan

yang tenang dan nyaman, teknik relaksasi imajinasi, rangsang saraf listrik transkutan

(RSLT), dan umpan balik biologis.

Medical Interventions lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan rasa nyeri, yaitu:

a. Blok Saraf (Nerve Block)

b. Electric Stimulation

c. Acupunture

d. Hypnotis

e. Surgery/Pembedahan

f. Biofeedback

Page 46: bab2.pdf

Upaya lainnya untuk penyembuhan rasa nyeri adalah dengan metode non

farmakologi, seperti yang tertera pada enam point diatas. Salah satu cara

penangannya adalah menggunakan teknik hipnotis atau hipnoterapi.

Menurut Rafael (2005), sasaran hipnotis adalah otak kanan manusia. Orang yang

terhipnotis sekali, tidak akan terhipnotis lagi untuk kedua kalinya (Rafael 2005).

Hipnotis adalah proses yang sangat natural dalam membuka pikiran alam bawah

sadar selama periode tertentu dan dalam keadaan relaksasi, selama waktu tersebut ada

dua hal yang dapat dilakukan yaitu mengganti atau membuang nilai-nilai atau

kebiasaan yang tidak sehat dan tidak diinginkan dengan keinginan baru yang sehat

(Gustafon, 2005). Hipnotis adalah upaya membawa klien ke keadaan rileks sehingga

otak bekerja digelombang alfa (Danuatmaja & Meiliasari, 2004). Hipnotis adalah

keadaan yang alami ketika anda memfokuskan pikiran anda pada sesuatu dan tidak

menganalisa, sehingga memberikan pengaruh pada kondisi fisik anda

(http://www.fadhilza.com/2008/10/tadabbur/mengenal-hypnotis.html).

Lebih lanjut Rommy Rafael (2006) mengatakan bahwa hipnosis adalah keadaan alami

dari relaksasi total tubuh dimana kondisi kesadaran pikiran meningkat lebih tinggi

dari biasanya. Catatan sejarah diberbagai belahan dunia sudah mencatat penggunaan

teknik yang mirip dengan hypnosis pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.

Suku-suku primitif pedalaman melakukan proses penyembuhan dengan membuat

ritual-ritual dengan bacaan mantra yang dipercaya bisa meringankan bahkan

menyembuhkan sejumlah penyakit. Kesembuhan dengan cara ini mereka yakini

berasal dari kekuatan dewa ataupun roh leluhur yang membantu mereka. Sampai pada

Page 47: bab2.pdf

tahap ini untuk mempermudah penyebutannya kita sebut sebagai hypnosis primitif

(Kahija. Hipnoterapi. 2007. Jakarta: Gramedia).

Awal berkembangnya hypnosis modern adalah saat seorang murid Paracelsus

bernama Franz Anton Mezmer (1743-1815) memperkenalkan metode

penyembuhannya dengan menggunakan gosokan sebatang besi. Metode ini

berkembang dengan nama magnetisme. Mezmer meyakini bahwa ada gelombang

magnit universal (fluidum) dari alam semesta yang bisa disalurkan kedalam tubuh

manusia melalui perantaraan magnet untuk mencapai kesembuhan. Dan hal yang

paling menarik adalah Mezmer tercatat berhasil menyembuhkan ribuan pasiennya

dengan metode ini. Bahkan untuk mengatasi jumlah pasien yang semakin meningkat,

Mezmer membuat sebuah kolam magnit dimana semua klien saling berpegangan

dalam kolam tersebut dan mereka menerima “penyaluran” fluidum dari Mezmer

secara paralel.

Animal gravitation adalah gravitasi animal yang mana Mezmer mengemukakan

keyakinannya akan cairan misterus yang berasal dari bintang-bintang, yang dalam

tulisan-tulisan selanjutnya diganti dengan istilah magnetisme animal (animal

manegtisme). Konsep animal magnetisme meyakini bahwa kekuatan magnit alam

semesta bisa langsung diterima tubuh manusia dan disalurkan kepada manusia lain

tanpa bantuan batang magnit. Semua ajaran Mezmer sangat popular dan berkembang

dalam masyarakat dengan sebutan Mezmerisme. Bahkan metode Mezmer juga bisa

menciptakan keadaan mirip tidur pada pasiennya yang disebut dengan keadaan

mesmeric coma.

Page 48: bab2.pdf

Hypnosis berasal dari kata hypnose dari bahasa Yunani yang berarti tidur. Kata ini

dipopulerkan oleh Dr. James Braid (1795-1860) yang tertarik terhadap fenomena

Mezmerisme. Braid menganalisis fenomena Mezmerisme dan menyimpulkan bahwa

mezmeric coma (trance) semata-mata berasal dari kepuasan subyek oleh rangsangan

pancaindera sehingga seluruh tenaga syarafnya berkumpul pada satu titik di otak dan

jika ini terjadi maka dengan mudah tenaga syaraf tadi bisa disalurkan ke bagian tubuh

yang lain walaupun hanya dengan sugesti sederhana.

Braid yang sekarang dikenal sebagai Bapak Hypnosis Modern sempat menyesali

penggunaan kata hypnosis saat dia menyadari bahwa mezmeric coma adalah keadaan

yang sangat berbeda dengan tidur. Braid mencoba meluruskan kesalahannya dalam

menanamakan hypnosis dalam masyarakat dengan memperkenalkan istilah

monoideasme sebagai pengganti kata hypnosis tetapi dia gagal karena hypnosis sudah

terlanjur diterima oleh masyarakat luas. Penemuan Braid diteruskan oleh banyak

sekali tokoh yang mengembangkan penelitian efek sugesti dan penggunaannya dalam

dunia medis. Bahkan banyak diantaranya tersebut yang berhasil melakukan berbagai

tindakan operasi dengan menggunakan hypnosis sebagai penghilang rasa sakit.

Kepopuleran hypnosis mulai redup saat Ether (obat bius) pertama kali diperkenalkan.

Ether lebih diterima karena alasan penggunaannya yang praktis dan waktu yang

dibutuhkan untuk bereaksi terbilang cepat.

Berikut ini adalah table yang merangkum para tokoh hipnotisme.

Tabel. 1.1 Tokoh Hipnotis

Tokoh Relevansi

Page 49: bab2.pdf

Franz Anton Mesmer Memperkenalkan magnetisme dan beragumen bahwa penyakit

disebabkan oleh ketidakseimbangan energi dalam tubuh.

Mesmer juga menunjukkan beberapa factor penunjang dalam

mencapai trans, seperti kesedian klien, iringan musik dan

penataan ruangan.

Marquis de Puysegur Menunjukan perlunya eksperimen dalam mengembangkan

hipnotisme. Puysegur memperkenalakan banyak konsep baru

bagi hipnotisme, seperti somnabulisme artfisial, otomatisme

motor, katalepsi, anastesia, amnesia, perbedaan individual dan

sugestibilitas, serta halusinasi positif dan negatif.

Abbe Faria Memperkenalkan teknik induksi dengan tatapan yang sekarang

ini dikenal dengan nama fiksasi mata (eye fixation). Ia juga

menunjukkan perlunya imajinasi dan konsentrasi dalam

penca[aian trans.

John Elliotson

James Esdaile

Kedua tokoh ini menunjukkan manfaat hipnotisme bagi

anastesia dan analgesia, khususnya dalam pembedahan atau

operasi.

James Braid Menemukan istilah hipnotisme yang digunakan sampai saat ini

dengan macam-macam variasi kata. Ia juga menunjukkan

pentingnya konsentrasi, fiksasi mata dan sugesti dalam proses

hipnotik.

Ambroise Auguste

Liebeault

Memperkenalkan secara khusus kekuatan sugesti dalam

hipnoterapi. Sugestibilitas dan imajinasi klien dipandang

sebagai kunci keberhasilan hipnoterapi.

Jean Martin Charcot Menunjukkan korelasi atau keterkaitan antara histeri dan

hipnotisme dan membuat hipnotisme bisa diterima dikalangan

akademis dan dokter.

Pierre Janet Memperkenalkan konsep disosiasi hipnotik dalam memahami

fenomena hipnotik, seperti halusinasi atau anastesia dalam

hipnotisme.

Page 50: bab2.pdf

Emile Coue Memperkenalkan kekuatan otosugesti dan imajinasi dalam

hinotisme.

Sigmund Freud Memperkenalkan secara sistematis tentang dunia

ketidaksadaran, cara kerja kesadaran dan ketidaksadaran, dan

teknik asosiasi bebas dalam mengeksplorasi ketidaksadaran.

Milton Hyland

Erickson

Mengembangkan secara kreatif tentang hipnotisme tidak

langsung lewat penggunaan bahasa yang permisif, metafora

atau analogi dan teknik induksi yang lebih bervariasi.

Dave Elman Memperkenalkan baik induksi yang lebih sistematis maupun

induksi cepat bagi hipnoterapi dan hipnoanalisa.

Ormond McGill Mengembangkan induksi cepat (rapid induction) yang saat ini

banyak digunakan untuk hipnotisma hiburan atau panggung.

2. Tahap-tahap hipnotis

Secara sederhana, dengan memiliki dasar ilmu hipnotis seorang Hypnotist dapat

membuat seseorang (Subjek) sangat relaks dan tenang. Bahkan pada orang-orang

tertentu dan dalam situasi tertentu, seorang Hypnotist dapat membuat Subjek sangat

tenang secara ekstrim, sehingga masuk ke suatu tahapan yang dikenal sebagai kondisi

"Hypnotic" atau "Tertidur Hypnosis" atau “trans hipnosis”. Pada saat Subjek sudah

dalam kondisi sangat rileks, atau dalam kondisi "Hypnos", maka Hypnotist dapat

memberikan sugesti-sugesti yang relatif lebih mudah diterima oleh subjek

dibandingkan dalam kondisi biasa.

Untuk memberikan sugesti seorang penghipnotis harus memiliki kekuatan mental

seperti percaya diri, kemampuanya mensugesti dengan meyakinkan. Keberhasilan

praktik hipnotis adalah ketika subjek sudah berada pada situasi deep trance. Namun,

Page 51: bab2.pdf

untuk mencapat tingkat ini, ada faktor yang mempengaruhinya. Yakni, kondisi

psikologis (Kejiwaan) subjek, tingkat keaktifan berpikir subjek, suasana dan kondisi

lingkungan, keterampilan seorang hypnotist, waktu, serta tingkat kepercayaan subjek

terhadap seorang hypnotist.

a. Tahap pre-induction

Pre-Induction (pra-induksi) merupakan suatu proses untuk mempersiapkan suatu

situasi dan kondisi yang bersifat kondusif antara seorang penghipnosis dan

Subjek. Agar proses Pre-Induction berlangsung dengan baik, maka sebelumnya

Hypnotist harus dapat mengenali aspek-aspek psikologis dari Subjek, antara lain :

hal yang diminati, hal yang tidak diminati, apa yang diketahui subjek terhadap

Hypnosis, dan seterusnya. Pre-Induction dapat berupa percakapan ringan, saling

berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang Hypnotist secara

mental terhadap seorang Subjek. Pre-Induction merupakan tahapan yang bersifat

kritis. Seringkali kegagalan proses hipnotis diawali dari proses Pre-Induction yang

tidak tepat. Tahap ini juga untuk menguji apakah klien cocok diterapi dengan

menggunakan hipnotis atau tidak, klien mudah dihipnotis atau tidak sebab

hipnotis membutuhkan keadaan psikis tertentu dimana klien harus mau bekerja

sama dengan suka rela untuk mengikuti instruksi hipnotis yang diberikan.

b. Tahap induction

Langkah berikutnya adalah Induction (induksi). Merupakan kunci utama dalam

proses hipnotis, karena proses inilah yang akan membawa Subjek dari kondisi

"Beta" ke kondisi "Alpha" bahkan "Theta" dengan kondisi sepenuhnya di bawah

Page 52: bab2.pdf

kendali seorang Hypnotist. Bagian utama dari induction adalah "kalimat kunci"

dari seorang Hypnotist, ketika memerintahkan seorang Subjek untuk tidur

"Hypnotic", di mana selanjutnya Hypnotist akan mengambil alih kendali atas

Sub-Conscious Subjek. Secara utuh, proses induction terdiri dari 3 bagian, yaitu:

Relaxation, adalah proses untuk mengurangi keaktifan BrainWave Subjek (High

Beta to Low Beta). Induction, adalah proses untuk membawa subjek ke

Brainwave Alpha, untuk selanjutnya siap di-sugesti dengan "kalimat kunci".

Deepining adalah proses untuk membawa Subjek ke "Trance Level" yang lebih

dalam (Theta).

c. Pengujian trans hipnotis

Proses Dept Level Test. Seringkali diistilahkan dengan "Trance Level Test" atau

pengujian tingkat kedalaman "Hypnotic" seorang subjek bagi seorang Stage

hypnotist, perlu memperoleh seorang Subjek dengan tingkat kedalaman "Trance"

tertentu. Minimal : Medium Trance. Bagi seorang Hypnotherapist, tingkat

kedalaman "Trance" akan berkaitan dengan efektivitas pengaruh Sugesti Therapi

yang akan diberikan kepada Subjek. Depth Level Test dilakukan dengan cara

memberikan perintah sederhana yang berlawanan dengan logika kesadaran biasa

(Conscious). Jika tingkat kedalaman "Trance" yang dimaksud belum dicapai,

maka Hypnotist harus melakukan "induction" kembali. Seringkali diikuti dengan

segesti yang bersifat "provokatif". Tidak setiap orang dapat mencapai tingkat

"Trance" yang dalam. Hal ini tidak menjadi masalah dalam Hypnotherapy.

d. Suggestion

Page 53: bab2.pdf

Suggestion atau Sugesti. Merupakan tahapan inti dari maksud dan tujuan proses

hipnotis. Pada tahapan ini seorang Hypnotist mulai dapat memasukkan kalimat-

kalimat sugesti ke Sub-Conscious Subjek.

e. Post Hypnotic suggestion

Setelah itu, kita menuju tahapan Post Hypnotic Suggestion. Yakni, suatu Sugesti

yang tetap "bekerja" walaupun seorang telah berada dalam kondisi pasca-hipnotis

(normal). Post Hypnotic Suggestion merupakan hal penting yang mendasari

proses Clinical Hypnotherapy. Apabila hypnotist ingin mengendalikan Subjek, ia

bisa menggunakan simbol bunyi atau tindakan. Inilah yang disebut Anchor. Yakni

sugesti berupa simbol-simbol yang akan menghasilkan reaksi pemikiran,

emosional, atau perilaku tertentu disebut juga dengan "Anchor".

f. Termination

Termination, yakni suatu tahapan untuk mengakhiri proses hipnotis. Konsep

termination adalah agar seorang subjek tidak mengalami kejutan psikologis ketika

terbangun dari "tidur hipnotis". Standar dari proses termination adalah

membangun sugesti positif yang akan membuat tubuh seorang subjek lebih segar

dan relaks, kemudian diikuti dengan regresi beberapa detik untuk membawa

subjek ke kondisi normal kembali.

3. Hipnoterapi

Terapi hipnotis adalah terapi yang menggunakan hipnosis untuk memfasilitasi

perubahan, sugesti yang telah disetujui sebelumnya ditanamkan ke dalam alam bawah

sadar, sementara individu berada dalam keadaan rileks terhipnotis selama proses

Page 54: bab2.pdf

hipnosis tersebut berlangsung individu tidak dapat dan tidak akan melakukan sesuatu

yang tidak dikehendaki (Rafael, 2006).

Hypnotherapy adalah suatu metode dimana pasien dibimbing untuk melakukan

relaksasi, dimana setelah kondisi relaksasi dalam ini tercapai maka secara alamiah

gerbang pikiran bawah sadar sesesorang akan terbuka lebar, sehingga yang

bersangkutan cenderung lebih mudah untuk menerima sugesti penyembuhan yang

diberikan. Hipnoterapi merupakan sebuah usaha untuk memulihkan kesehatan dengan

menggunakan metode hipnosis (Rafael, 2006). Pada proses hipnoterapi, anda akan

diberikan sugesti yang telah anda setujui sebelumnya untuk kemudian ditanamkan

pada pikiran bawah sadar anda. Sugesti yang diberikan berupa kata-kata positif yang

akan memfasilitasi anda menuju perubahan.

Hipnotis medis kini terbagi atas hipnopromosi (meningkatkan kesehatan dengan

hipnotis bagi orang sehat), hipnoprevensi (mencegah gangguan kesehatan dengan

hipnotis bagi orang sehat), hipnoterapi (penyehatan dengan hipnotis bagi orang sakit),

serta masih ada hipnotis untuk rehabilitasi bagi orang cacat. Hipnotis juga digunakan

di bidang kebidanan (hypnobirthing) dan kedokteran gigi (hypnodontics). Hipnotis

merupakan salah satu bentuk psikoterapi dalam dunia psikiatri. Namun demikian,

hipnotis juga bisa digunakan pada pasien nonpsikiatrik. Pengobatan model ini bisa

digabungkan dengan jenis pengobatan lainnya. Banyak dokter terutama ahli bedah

dan anestesi yang terlatih dalam melakukan hipnoterapi, demikian pula dokter gigi.

4. Dasar-dasar hipnoterapy

Page 55: bab2.pdf

Pikiran bawah sadar manusia menyimpan misteri yang luar biasa. Banyak hal yang

menyangkut manusia bersumber dari berbagai data dan nilai yang tersimpan di

pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar tidak saja terkait dengan perilaku dan

mental, tetapi lebih jauh lagi pikiran bawah sadar dapat merubah metabolisme,

mempercepat penyembuhan, atau bahkan memperburuk suatu kondisi penyakit.

Secara konvensional, Hypnotherapy dapat diterapkan kepada mereka yang memenuhi

persyaratan dasar, yaitu :

a). Bersedia dengan sukarela

b). Memiliki kemampuan untuk fokus

c). Memahami komunikasi verbal.

Untuk memahami Hypnosis atau Hypnotherapy secara mudah dan benar, sebelumnya

kita harus memahami bahwa aktivitas pikiran manusia secara sederhana

dikelompokkan dalam 4 wilayah yang dikenal dengan istilah Brainwave, yaitu :

a. Beta adalah kondisi pikiran pada saat sesorang sangat aktif dan waspada. Kondisi

ini adalah kondisi umum ketika seseorang tengah beraktivitas normal. Frekwensi

pikiran pada kondisi ini sekitar 14 – 24 Cps (diukur dengan perangkat EEG)

b. Alpha adalah kondisi ketika seseorang tengah fokus pada suatu hal (belajar,

mengerjakan suatu kegiatan teknis, menonton televisi), atau pada saat seseorang

dalam kondisi relaksasi. Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 7 – 14 Cps.

c. Theta adalah kondisi relaksasi yang sangat ekstrim, sehingga seakan-akan yang

bersangkutan merasa “tertidur”, kondisi ini seperti halnya pada saat seseorang

melakukan meditasi yang sangat dalam. Theta juga gelombang pikiran ketika

Page 56: bab2.pdf

seseorang tertidur dengan bermimpi, atau kondisi REM (Rapid Eye Movement).

Frekwensi pikiran pada kondisi ini sekitar 3.5 – 7 Cps

d. Delta adalah kondisi tidur normal (tanpa mimpi). Frekwensi pikiran pada kondisi

ini sekitar 0.5 – 3.5 Cps

Kondisi Hypnosis sangat mirip dengan kondisi gelombang pikiran Alpha dan Theta.

Yang sangat menarik, bahwa kondisi Beta, Alpha, dan Theta, merupakan kondisi

umum yang berlangsung secara bergantian dalam diri kita. Suatu saat kita di kondisi

Beta, kemudian sekian detik kita berpindah ke Alpha, sekian detik berpindah ke

Theta, dan kembali lagi ke Beta, dan seterusnya.

Pada saat setiap orang menuju proses tidur alami, maka yang terjadi adalah

gelombang pikiran ini secara perlahan-lahan akan menurun mulai dari Beta, Alpha,

Theta, kemudian Delta dimana kita benar-benar mulai tertidur. Perpindahan wilayah

ini tidak berlangsung dengan cepat, sehingga sebetulnya walaupun seakan-akan

seseorang sudah tampak tertidur, mungkin saja ia masih berada di wilayah Theta.

Pada wilayah Theta seseorang akan merasa tertidur, suara-suara luar tidak dapat

didengarkan dengan baik, tetapi justru suara-suara ini didengar dengan sngat baik

oleh pikiran bawah sadarnya, dan cenderung menjadi nilai yang permanen, karena

tidak disadari oleh “pikiran sadar” yang bersangkutan.

5. Mekanisme Fisiologi Hipnotis

Adanya penurunan aktivitas di daerah jaringan nyeri (pusat persepsi nyeri) dan

peningkatan aktivitas pada area otak lainnya saat hypnosis. Peningkatan tersebut bisa

Page 57: bab2.pdf

spesifik bisa juga tidak tetapi jelas melakukan sesuatu hal yang menurunkan atau

menghambat signal nyeri masuk ke struktur kortikal. Jaringan nyeri berfungsi seperti

system relay. Input signal nyeri berasal dari saraf perifer di daerah dimana rangsang

nyeri diberikan, kemudian masuk ke dalam spinal cord dimana informasi diproses dan

disalurkan ke dalam batang otak. Dari sini signal menuju area otak tengah dan

akhirnya masuk ke dalam korteks otak yang berkaitan dengan persepsi sadar terhadap

stimulus eksternal seperti nyeri. Proses yang terjadi pada jaringan nyeri bagian bawah

gambarannya terlihat sama antara saat kondisi hypnosis ataupun tidak, namun pada

kondisi hypnosis aktivitasnya menurun pada daerah atas (korteks) yang berperan

terhadap persepsi nyeri.

Saat kondisi hypnosi, aktivitas otak menurun pada area persepsi nyeri yang meliputi

daerah korteks ( primary sensory cortex). Pada dua struktur otak yang lain : korteks

cingulated anterior kiri dan basal ganglia terlihat gambaran yang berbeda dengan

adanya peningkatan aktivitas otak. Peningkatan aktivitas pada dua area otak tersebut

merupakan bagian dari jalur penghambat yang memutus signal agar tidak ditangkap

oleh struktur kortikal yang lebih tinggi yang bertugas mempersepsikan nyeri.

6. Cara sugesti hipnotis

Sugesti untuk relaksasi ini dimaksudkan untuk menbuat klien berada dalam keadaan

reseptif dan mampu mengarahkan konsentrasinya pada bagian-bagian tubuh tertentu,

dengan cara ini klien masuk kedalam proses mentalnya sendiri sembari mengabaikan

situasi luar. Sugesti ini sangat perlu dipahami oleh terapis karena menjadi dasar bagi

sugesti-sugesti lain.

Page 58: bab2.pdf

Misalnya:

Santaikan badan Anda. Buat seluruh badan menjadi santai dan semakin santai.

Setiap kali Anda menarik napas, rasa santai akan mengalir semakin kuat dalam

tubuh dan pikiran Anda. Otot-otot pada leher dan bahu Anda menjadi santai.

Rasa santai itu masuk lebih dalam ke pikiran Anda dan terus menyebar ke

seluruh tubuh Anda. Resapi dan terus resapi sambil melupakan apa yang terjadi

di sekitar Anda.

Selanjutnya, klien diajak masuk lebih dalam lagi ke bawah sadarnya. Perhatian klien

dibuat semakin terfokus pada dunia batinnya dan perlahan-lahan digiring kedalam

tidur hipnotik.

Misalnya:

Anda selalu merasa nyaman dalam keadaan santai ini. Anda menjadi semakin

santai sekarang. Sesaat lagi saya akan menghitung mundur dari 10 sampai 1.

setiap hitungan mundur akan membuat Anda santai semakin dalam.

Sepuluh...santai dan semakin santai...

sembilan...delapan...tujuh...enam...lima...empat...tiga...dua..satu. mata Anda

tertutup rapat sekali. Dalam hati, hitung mundur dari tiga sampai satu. Setiap

hitungan mundur akan membuat kelopak mata Anda tertutup semakin rapat.

Kemudian, klien cukup diminta merespons kata-kata yang diucapkan terapis. Tidak

dibutuhkan gambaran mental yang hidup dalam sugesti ini.

Misalnya:

Page 59: bab2.pdf

Sekarang, lepaskan sejenak beban Anda. Biarkan seluruh badan Anda menjadi

santai...Anda mulai merasa ngantuk. Biarkan rasa kantuk itu membuat Anda

menjadi santai dan semakin santai.

Selanjutnya, buatlah gambaran mental klien menjadi lebih hidup. Ini bisa dicapai bila

klien sudah berada dalam keadaan santai karena gambaran mental sangat baik untuk

membawa klien ke tempat yang aman dan nyaman. Tempat seperti ini sangat

dibutuhkan klien ketika terapis ingin membawanya menemui isi-isi ketidaksadaran.

Dengan demikian, terapis bisa bekerja lebih tenang mengangkat segala pengalaman

dan pikiran negatif ke kesadarn klien.

Misalnya:

Anda sekarang ada di taman yang paling andai sukai. Anda duduk santai di

bangku taman. Anda merasa sangat nyaman disitu dan anda bisa menikmati

sentuhan angin dan sedikit sinar matahari yang menembus daun-daun pohon.

Anda juga merasakan udara yang sejuk dan suasana yang sangat tenang bagi

hati dan pikiran anda. Sekarang, beban yang Anda rasakan perlahan-lahan

hilang bersama dengan angin yang membelai wajah Anda. Semakin lama,

semakin enteng dan ringan.

Dan bila proses ini berjalan baik, klien akan menunjukkan perubahan dalam sesi-sesi

berikutnya.

Misalnya:

Page 60: bab2.pdf

Mulai saat in, setiap Anda belajar, Anda selalu merasakan motivasi yang semakin

kuat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Anda akan membaca buku dengan

perasaan santai karena mulai sekarang Anda menjadi yakin dan mau

berusaha memahami apa pun yang anda baca. Setiap kesulitan membuat anda

ingin mengetahui lebih banyak.

Sesudah memberikan sugesti, terapis membangunkan klien dari trans. Kinilah saatnya

bagi terapis untuk mengaktifkan kembali kesadaran klien.

Misalnya:

Saya membiarkan Anda sendiri. Nikmati rasa segar dan rasa santai yang Anda

rasakan saat ini...Sebentar lagi, saya menghitung dari satu samapi lima dan pada

hitungan lima, Anda bangun dan merasa segar sekali. Tetap nikmati rasa tenang

dan damai di hati dan pikiran anda... (biarkan sesaat). Sekarang saya hitung satu

sampai lima, pada hitungan lima bangun dan rasakan kenyamanannya,

ketenangannya dan kesegarannya. Satu...segar...dua...semakin

segar...tiga...empat...lima. selamat datang.

7. Level hipnotis dan manfaatnya

Sebenarnya ada banyak level relaksasi yang bisa kita capai. Relaksasi ada 2 macam

yaitu relaksasi fisik dan relaksasi mental. Pada umumnya kita berpikir bahwa saat kita

mengalami relaksasi fisik maka hal ini sama dengan kondisi trance. Pemahaman ini

sama sekali tidak tepat. Hal ini diperkuat dengan definisi hipnosis yang dikeluarkan

oleh US. Dept. of Education, Human Services Devision yang menyatakan bahwa

hypnosis is the bypass of the critical factor of the conscious mind followed by the

Page 61: bab2.pdf

establishment of acceptable selective thinking atau hipnosis adalah penembusan

faktor kritis pikiran sadar dan diikuti dengan diterimanya suatu sugesti/ide atau

pemikiran.

Definisi ini secara jelas, lugas, dan gamblang sama sekali tidak menyebutkan

hubungan antara kondisi hipnosis dan relaksasi fisik. Ternyata kondisi hipnosis

adalah relaksasi pikiran atau mental. Pakar ini menyebutkan bahwa semakin dalam

level hipnosis, saat terapi dilakukan, maka akan semakin efektif dan permanen hasil

terapi. Bila terapi dilakukan pada level light trance maka efeknya hanya akan

bertahan antara 2 jam hingga 2 hari. Bila dilakukan pada level medium trance efeknya

bertahan antara 2 hingga 5 minggu. Sedangkan bila dilakukan pada deep trance maka

efeknya permanen.

Batas atas adalah kondisi saat kita sadar, kondisi saat kita berpikir dan fokus. Kita

sadar sesadar-sadarnya apa yang kita rasakan, lakukan, alami, atau pikirkan. Batas ini

dikenal dengan nama normal waking consciousness atau kesadaran bangun normal.

Sedangkan yang menjadi batas bawah adalah kondisi saat kita “tidak sadar” atau saat

kita tidur. Di antara batas atas dan bawah terdapat begitu banyak level kesadaran

“khusus” yang dikenal sebagai “altered state of consciousness” (ASC). ASC terdapat

tidak hanya di antara dua batas ini tapi juga terdapat di bawah batas bawah dan juga

di atas batas atas.

Teknik induksi progressive relaxation, yang seharusnya lebih tepat disebut dengan

fractional relaxation, justru merupakan teknik yang paling tidak efektif untuk

membawa seseorang masuk kondisi deep trance. Dan teknik ini yang paling banyak

Page 62: bab2.pdf

digunakan di dalam dunia hipnoterapi. Beberapa skala kedalaman trance yang

umumnya dikenal di dunia hipnoterapi. Salah satu skala kedalaman yang populer

adalah skala Elman. Elman membagi level kedalaman hipnosis/trance menjadi 4 level

yaitu light trance, medium trance, somnambulism, Esdaile, dan hypnosleep. Menurut

Elman, 2 level pertama yaitu light dan medium trance adalah level yang sama sekali

tidak bermanfaat untuk terapi. Terapi hanya bisa dilakukan efektif pada level

somnambulism. Sedangkan level Esdaile dan hypnosleep mempunyai manfaat

terapeutik yang agak berbeda.

Menurut Harry Arons membagi level relaksasi mental menjadi 6 level. Persis di

bawah batas atas, normal waking consciousness terdapat kondisi relaksasi yang

dikenal dengan nama hypnoidal. Ini adalah kondisi relaksasi yang paling mudah

dicapai. Kondisinya mirip dengan orang yang sedang melamun. Salah satu ciri

kondisi hypnoidal adalah eye catalepsy atau mata yang tidak bisa dibuka walaupun

kita ingin membukanya.

Di bawah hypnoidal terdapat level light trance yang bercirikan kondisi sugestibilitas

meningkat karena kelompok otot yang mengalami catalepsy menjadi meluas ke

bagian tubuh yang lain. Di bawah lagi ada level medium trance dengan ciri atau

karakteristik berupa catalepsy pada kelompok otot besar yang mengakibatkan

seseorang tidak bisa bergerak, tidak bisa bangkit dari kursi, atau tidak bisa jalan. Pada

level ini seseorang juga bisa mengalami aphasia atau kesulitan berbicara karena

mendapat sugesti demikian.

Page 63: bab2.pdf

Di bawah medium trance terdapat level threshold of somnambulism yang merupakan

level kedalaman minimal untuk melakukan hipnoterapi yang efektif. Kedalaman ini

minimal harus dicapai agar teknik advanced seperti hypno analysis, age regression,

ego state therapy, dan forgiveness therapy dapat dilakukan secara efektif dan mudah.

Ciri utama pada level ini adalah terjadinya amnesia (klien menjadi lupa sesuatu) dan

analgesia (berkurangnya intensitas rasa sakit). Di bawah lagi terdapat level full

somnambulim. Pada level ini klien menjadi sangat sugestif dan bila diberikan suatu

sugesti maka pengaruh sugesti akan bertahan (sangat) lama.

Kedalaman ini mutlak dibutuhkan untuk melakukan anestesi (untuk operasi dan

melahirkan) atau untuk age regression. Level ini tidak cocok untuk teknik direct

suggestion yang bertujuan melakukan perubahan perilaku seperti menghentikan

kebiasaan merokok, atau menggigit jari. Satu ciri utama pada level ini adalah

possitivie hallucination. Level paling dalam pada skala Harry Arons adalah profound

somnambulism. Level ini mencakup semua hal positif dari level full somnambulim

dan ditambah dengan kemampuan negative hallucination.

Level profound somnambulism ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih menarik

dan dahsyat. Namun untuk kebutuhan terapi kita, hipnoterapis, hanya perlu membawa

klien maksimal mencapai level ini. Tepat di bawah profound somnambulism terdapat

level Esdaile atau yang juga dikenal dengan hypnotic coma. Satu hal yang perlu

dipahami yaitu kondisi hypnotic coma ini tidak sama dengan kondisi medical coma.

Kondisi Esdaile ini adalah kondisi di mana seseorang merasa begitu senang dan

bahagia. Ini adalah kondisi euphoria. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini

Page 64: bab2.pdf

biasanya tidak mau keluar dari kondisi ini karena begitu “enak” dan “nikmat”nya

kondisi ini, semua masalahnya hilang, semua sempurna adanya. Jika seorang klien

atau subjek masuk ke kondisi ini maka dibutuhkan keahlian khusus untuk bisa

membawa klien keluar. Jika tidak, maka klien akan terus berada di level ini.

Level Esdaile tidak cocok untuk terapi karena pada kondisi ini pikiran kita tidak bisa

menerima sugesti apapun. Level ini digunakan untuk total anestesia, untuk painless

childbirthing atau melahirkan tanpa rasa sakit, stress management, dan bisa

digunakan oleh dokter untuk membantu mengembalikan posisi tulang atau otot

pasiennya, dengan cara mengurut bagian yang dislokasi, saat pasien berada di kondisi

Esdaile. Dari level profound somnambulism subjek/klien dapat dibawa turun ke level

Esdaile dengan cepat dan mudah, hanya membutuhkan waktu sekitar 4 menit saja. Di

bawah level Esdaile terdapat level catatonic. Ini adalah kondisi di mana tubuh subjek

atau klien menjadi plastis tapi kaku/terkunci, tanpa pemberian sugesti, dan bisa

diposisikan pada posisi/postur tertentu dalam waktu yang lama dan postur itu sama

sekali tidak akan berubah. Level ini tidak digunakan dalam terapi.

Lebih dalam lagi terdapat level hypnosleep. Level kedalaman ini pertama kali

diungkapkan oleh Hyppolite Bernheim di bukunya yang mashyur “Hypnosis And

Suggestion In Psychotherapy” yang ditulis pada tahun 1884. Walaupun Bernheim

mengungkapkan level hypnosleep ia tidak menjelaskan teknik untuk mencapai level

ini. Dave Elman adalah hipnoterapis jenius yang menemukan teknik yang efektif

untuk membawa seseorang masuk ke level ini dan melakukan terapinya. Pada level

hypnosleep semua filter mental yang ada di pikiran bawah sadar tidak bekerja.

Page 65: bab2.pdf

Sugesti apapun yang diberikan pada level ini akan diterima sepenuhnya oleh pikiran

bawah sadar.

Level relaksasi pikiran paling dalam, hingga saat ini, yang bisa dicapai seseorang

adalah level Sichort atau juga dikenal dengan nama ultra depth. Level ini ditemukan

oleh Walter Sichort dan mempunyai manfaat yang berbeda dengan kondisi relaksasi

mental di atasnya. Saat seseorang berhasil mencapai level Sichort maka ia dapat

membantu orang lain melalukan self healing melalui penggunaan teknik Mind-To-

Mind Healing. Pada teknik ini terapi terjadi secara otomatis di antara dua pikiran

bawah sadar. Terapis sama sekali tidak bisa mempengaruhi atau mengarahkan proses

terapi. Terapi terjadi, diarahkan,dan dilakukan hanya oleh pikiran bawah sadar.

Sejauh ini, dalam dunia hipnoterapi, dan masih dalam tahap eksperimen, terdapat 3

(tiga) level di atas NWC yaitu

a). Level higher self consciousness,

b). Super consciousness, dan

c). Level ultra height.

8. Cara kerja hipnotis

Hipnosis murni merupakan kekuatan pasien untuk memfokuskan perhatian pada

sesuatu. Sehingga hipnosis, apapun peruntukannya, akan dapat bekerja jika pasien

menghendakinya. Jika pasien tidak menghendaki untuk di-hipnosis, maka sehebat

apapun hipnotis yang meng-hipnosis pasien, tidak akan berhasil. Semua tergantung

kesediaan pasien.

Page 66: bab2.pdf

9. Efek negatif dan efek positif hipnoterapi

Kelebihan hipnoterapi adalah murah, karena bisa dilakukan sendiri. Hipnoterapi juga

relatif lebih efektif menghilangkan rasa nyeri dibandingkan pengobatan analgesik,

termasuk morfin sekalipun. Hipnoterapi juga aman tanpa efek negatif seperti efek

ketergantungan. Walaupun relatif aman, hipnoterapi mempunyai efek samping. Pada

beberapa pasien bia menimbulkan abreaksi. Suatu keadaan dimana pasien keluar dari

rekaman bawah sadarnya secara serentak. Akibatnya bisa menimbulkan rasa

kekesalan atau kesedihan secara berlebihan, reaksinya pasien bisa tidak terkendali,

namun kondisi biasanya tidak berlangsung lama dan bisa dikendalikan oleh terapis.

E. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang dilakukan oleh Subiyanto,2007. yakni pengaruh terapi hipnotis

untuk menurunkan sensasi nyeri dalam asuhan keperawatan pasien pasca bedah

oerthopedi, yang mengidentifikasi beberapa karakteristik dari 30 responden, 15

kelompok intervensi dan 15 kelompok kontrol. Hasil analisis terhadap 15

responden intervensi menunjukkan bahwa telah didapatkan rata-rata penurunan

tingkat sensasi nyeri setelah diberikan terapi kombinasi antara analgetik dan

hipnosis p= 0,63 dengan standar deviasi 0,719 dengan 12 orang yang mengalami

penurunan tingkat nyeri pada kelompok intervensi adalah 0,80 (80%). Sedangkan

pada kelompok kontrol dari 15 responden, 8 diantaranya mengalami penurunan

frekwensi nyeri 0,53 (53%). Maka pada kelompok intervensi lebih efektif

daripada kelompok kontrol setelah diberikan kombinasi terapi analgetik dan

Page 67: bab2.pdf

hipnosis jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan

terapi analgetik sebagai terapi tunggal untuk mengatasi nyeri.

2. Abidin (2001) pada penelitiannya tentang pengaruh teknik relaksasi imajinasi

terhadap pengurangan tingkat nyeri pada klien post operasi fraktur dengan

menggunakan desain Quasi Eksperiment yang dilakukan terhadap klien

dengan post operasi fraktur yang hasilnya : relaksasi otot dan teknik relaksasi

imajinasi dapat menurunkan nyeri dan membuat rasa nyaman p= 0,448 dengan

standar deviasi 0,971 dengan penurunan intensitas nyeri pada kelompok intervensi

adalah 0,50 (50%) pada 10 responden pada kelompok intervensi. Sedangkan pada

kelompok kontrol hanya 1 responden (10%) yang mengalami penurunan

intensitas nyeri dari 10 responden. Maka dari penelitian yang telah dilakukan

terbukti terdapat pengaruh teknik relaksasi imajinasi dan relaksasi otot terhadap

pengurangn tingkat nyeri antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

3. Waluyo (2004) pada penelitiannya tentang Efektifitas Imajinasi Terbimbing

Terhadap persepsi Nyeri Pasien Post Operasi Mayor Hari Pertama, yang

mengidentifikasi 10 responden yang diberikan imajinasi terbimbing, 9

diantaranya menunjukan ada penurunan persepsi nyeri yang significant (90%)

pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol 6 dari 10 responden

yang mengalami penurunan nyeri dengan relaksasi otot (60%).

4. Solehati (2008) pada penelitiannya tentang Pengaruh Teknik Benzon Relaksasi

terhadap Intensitas nyeri dan kecemasan klien post seksio sesaria. Hasilnya dari

Page 68: bab2.pdf

30 responden pada kelompok intervensi, 20 diantaranya mengalami penurunan

nyeri dan kecemasan berkurang (66,7%). Sedangkan pada kelompok kontrol dari

30 responden, hanya 12 responden yang kecemasannya berkurang (40%) dan

hanya 5 orang yang mengalami penurunan nyeri (16,7%).

F. Kerangka teori

Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian

dan hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian, maka susunan kerangka

teori adalah sebagai berikut:

Trauma

Fraktur tulang

Terputusnya kontuinitas jaringan antar tulang

Respon pasien terhadap nyeri:

1. Respon Fisiologi

2. Respon Perilaku

3. Upaya Kognitif Untuk me- Ngelolah Nyeri.

Persepsi nyeri

Intervensi medik dan keperawatan

Farmakologi1. Analgetik2. Antibiotik

Non farmakologi1. Accupuntur2. Block nervus3. Elektrik stimulation4. Pembedahan 5. Biofedback6. HipnotisTransduksi

Transmisi Nyeri Modulasi

1. Nyeri ringan2. Nyeri berat

Page 69: bab2.pdf

Trauma akibat dari suatu keadaan seperti infeksi, tumor, cancer, pukulan langsung,

gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrem dan gaya meremuk bisa menyebabkan

fraktur dan terjadi terputusnya kontuinitas jaringan antar tulang, sehingga mengakibatkan

timbulnya nyeri. Nyeri dibentuk melalui tiga proses yaitu transduksi (pembentukan

reseptor nyeri), transmisi (pembentukan zat penghasil nyeri yaitu bradikinin dan subtansi

P dari serabut delta-a dan delta-c). Tindakan medis atau keperawatan dalam mengatasi

nyeri adalah teknik farmakologi dan non farmakologi salah satunya teknik hipnotis, yang

mengaktifkan proses modulasi (stimulus pengontrol nyeri) yang akan membentuk

mekanoreseptor untuk merangsang neuron beta-a untuk melepaskan neurotransmiter

penghambat yaitu endorfin dan dinorfin (zat pembunuh nyeri) yang berperan menutup

mekanisme gerbang pertahanan nyeri dengan menghambat pelepasan zat substansi-P,

sehingga nyeri dapat berkurang.