bab1-dapus

Download bab1-dapus

If you can't read please download the document

Upload: alfinda-diah-ajeng

Post on 07-Dec-2014

28 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bab1-dapus

TRANSCRIPT

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah sebuah propinsi sekaligus ibukota negara Indonesia. Kedudukannya yang khas baik sebagai ibukota negara maupun sebagai ibukota daerah swantantra, menjadikan Jakarta istimewa dan berstatus sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat dari lebih dari 70% peredaran uang Indonesia, menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan sosial dan budaya dengan berbagai sarana terbaik di Indonesia dalam bidang pendidikan, budaya, kesehatan, dan olahraga. Semenjak dinyatakan sebagai ibukota DKI Jakarta pada tanggal 31 Agustus 1964, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Berbagai pusat pemukiman pun berkembang sejak tahun 1950an, seperti Kebayoran Baru (1955), Cempaka Putih, Rawamangun, dan Pejompongan (1950an) (dalam jakarta.go.id). Secara administrasi, Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kotamadya yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur. Setiap wilayah Kotamadya di Jakarta memiliki ciri fisik dan masalah sosial yang berbeda-beda. Perbedaan ini juga mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di setiap wilayah tersebut. Misalnya seperti Kotamadya Jakarta Timur yang memiliki wilayah terluas sekaligus jumlah penduduk terbanyakdibandingkan keempat Kotamadya lainnya (bps.jakarta.go.id), kemudian bencana angin puting beliung yang sering terjadi hanya pada Kepulauan Seribu dan Kotamadya Jakarta Utara akibat letaknya yang berbatasan dengan laut, ataupun Kotamadya Jakarta Pusat yang terkenal dengan kepadatan penduduknya yang tertinggi dibandingkan wilayah lainnya (www.ppk-depkes.org). Sebelum memulai penelitian, peneliti melakukan elisitasi pada 25 orang partisipan. Elisitasi dilakukan dengan memberikan kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan (Lampiran 8). Dalam elisitasi, partisipan ditanyakan mengenai kelebihan dan kekurangan daerah tempat tinggalnya. Selain itu, partisipan juga

Universitas Indonesia

2 ditanyakan mengenai kekhasan peristiwa dan karakteristik warga di kotamadya tempat tinggal mereka. Berikut ini disampaikan gambaran karakteristik kelima wilayah Jakarta berdasarkan hasil elisitasi serta data yang diperoleh dari Badan Pemerintahan masing-masing kotamadya. Jakarta Utara adalah nama sebuah kota administrasi di sebelah utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kondisi di wilayah ini merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya sembilan sungai dan dua banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena air pasang laut (utara.jakarta.go.id). Wilayah ini juga memiliki banyak pemukiman kumuh akibat tingkat kemiskinan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah Jakarta lainnya. Selain bencana dan kemiskinan, wilayah Jakarta Utara juga memiliki kekhasan, yaitu warganya dikenal sebagai orang yang terbuka dan keras. Karakteristik ini sama dengan karakteristik masyarakat pesisir. Warga Jakarta Utara memang dikenal terbuka terhadap kaum pendatang baru sehingga banyak pendatang yang menetap di wilayah ini. Sedangkan sifat yang keras terkait dengan kondisi wilayah pesisir yang kurang subur dan udara pesisir yang panas. Ciri khas lainnya dari Jakarta Utara adalah adanya tempat hiburan Ancol dan Dunia Fantasi (Dufan), serta tempat diadakannya festival seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ). Berbeda dengan Kotamadya Jakarta Utara, Wilayah Kotamadya Jakarta Timur memiliki 95 % daratan dan selebihnya rawa atau persawahan. Daerah ini juga dilewati oleh beberapa sungai kanal antara lain: Cakung Drain, Kali Ciliwung, Kali Malang, Kali Sunter, Kali Cipinang. Kondisi fisik seperti ini juga mendatangkan banjir pada beberapa wilayah di Jakarta Timur. Jakarta Timur merupakan wilayah terluas dibandingkan dengan keempat kotamadya lainnya. Sebagian besar terisi oleh pemukiman penduduk sehingga wilayah ini juga memiliki kepadatan penduduk terbesar kedua setelah Jakarta Pusat (kependudukancanpil.go.id). Tingkat kemiskinan pada wilayah Jakarta Timur adalah tertinggi kedua setelah Kotamadya Jakarta Utara. Kotamadya Jakarta Timur juga dikenal sebagai tempat bertemunya ( meltingpot) berbagai masyarakat dari berbagai daerah karena terdapat banyak terminal bus besar, seperti Terminal Kampung Rambutan, Terminal Kampung Melayu, dan Terminal Polu Gadung.

Universitas Indonesia

3 Warga Jakarta Timur sendiri dikenal sebagai masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke bawah, namun memiliki hubungan yang baik antar warganya. Kondisi yang berbeda juga akan dijumpai pada Kotamadya Jakarta Selatan. Pada masa awal kemerdekaan, bagian dari wilayah Jakarta Selatan direncanakan sebagai Kota Satelit, tepatnya daerah Kebayoran Baru. Hal ini ditandai dengan empat jalan utama yang menyebar dari satu pusat ke empat penjuru wilayah lainnya (selatan.jakarta.go.id). Selain itu, menurut hasil elistiasi, bagian wilayah ini dikenal sebagai pusat perbelanjaan, pusat bisnis, dan juga perumahan kelas atas. Hal tersebut menjadikan warga yang tinggal di wilayah ini dianggap sebagai kaum socialite dan ekslusif. Istilah anak Jaksel pun melekat sebagai istilah untuk anak muda yang memiliki pergaulan yang luas dan berasal dari keluarga kaya. Hal ini memang sesuai dengan fakta yang ada bahwa Kotamadya Jakarta Selatan memiliki jumlah keluarga miskin terkecil jika dibandingkan dengan keempat Kotamadya DKI Jakarta lainnya. Lain halnya dengan Kotamadya Jakarta Barat. Wilayah ini memiliki kekhasan sebagai tempat bermukimnya warga dengan etnis Cina atau Tionghoa sehingga terdapat anggapan bahwa penduduk pribumi yang tinggal di wilayah ini sangat sedikit (barat.jakarta.go.id). Hal ini menjadikan warga Jakarta Barat dikenal sebagai warga yang terbuka dan ramah terhadap kaum pendatang. Mereka juga dianggap sebagai pekerja yang rajin, hal ini sesuai dengan karakteristik etnis Cina yang memang dikenal sebagai orang yang ulet dalam bekerja. Selain itu, wilayah Jakarta Barat juga dikenal sebagai pusat perbelanjaan elektronik dan penjualan game komputer sehingga sebagian besar remaja yang tinggal di wilayah ini dikenal sangat menyukai game komputer. Menurut hasil elisitasi, banjir yang sering terjadi di wilayah ini mengakibatkan kegiatan sebagian besar warganya menjadi terhambat dan tidak sedikit pula dari mereka yang menjual rumahnya karena terlalu sering terkena banjir. Kotamadya selanjutnya adalah Kotamadya Jakarta Pusat yang tepat berada di jantung Ibukota Republik Indonesia, DKI Jakarta. Wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, wilayah Jakarta Pusat juga memiliki kekhasan, antara lain sebagai pusat pemerintahan dan landmark kota Jakarta (Monumen Nasional, Taman Ismail Marzuki, Istana

Universitas Indonesia

4 Negara, Museum Nasional, dan lainnya). Berdasarkan hasil dari elisitasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan bahwa karakterisik khusus warga Jakarta Pusat adalah mementingkan diri sendiri serta memiliki tingkat kecurigaan dan kecemasan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh tingginya kriminalitas pada wilayah ini, salah satunya adalah seringnya terjadi perampokan pada rumahrumah mewah. Hal tersebut juga mengakibatkan hubungan yang buruk antar kelas sosial pada warga Jakarta Pusat karena adanya kecurigaan pada kelas sosial yang lebih rendah. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa setiap wilayah memiliki kondisi dan masalah yang berbeda-beda. Permasalahan pada setiap wilayah dapat mempengaruhi karakteristik masyarakat yang tinggal di dalamnya. Perbedaan karakteristik tersebut tentunya juga akan berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat menilai kehidupan yang dijalaninya dan juga akan mempengaruhi penilaian kebahagiaan dan kepuasaan hidup. Secara umum, kebahagiaan dan kepuasaan hidup adalah dua hal yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Namun dalam pencapaiannya tiap-tiap individu menggunakan cara yang berbeda dan menemukan hambatan yang berbeda pula. Lebih lanjut peneliti perlu menekankan bahwa kebahagiaan dan kepuasaan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya berkorelasi tinggi (Gundlach & Kreiner, 2004). Kebahagiaan (happiness) menurut Diener (dalam Gelati, dkk, 2006) adalah seluruh penilaian tentang hidup beserta keseluruhannya. Sedangkan kepuasan hidup (life satisfaction) adalah derajat penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidup sebagai sesuatu yang menyenangkan; dengan kata lain adalah bagaimana seseorang menyukai hidup yang ia jalani (Veenhoven dalam Gundlach & Kreiner, 2004). Dari kedua definisi diatas dapat dibedakan bahwa kebahagiaan adalah evaluasi hidup yang sifatnya emosional, sedangkan kepuasan hidup lebih bersifat kognitif dan konkrit (Gundlach & Kreiner, 2004). Seseorang bisa saja mengatakan bahwa dirinya bahagia, namun ia merasa tidak puas dengan beberapa hal dalam hidupnya, dan begitu juga bisa sebaliknya. Penelitian mengenai kebahagiaan dan kepuasaan hidup telah banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian mencari perbedaan tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup pada budaya yang berbeda. Hal ini dilakukan karena adanya

Universitas Indonesia

5 asumsi bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berbeda di setiap budaya yang sering dikaitkan dengan adanya perbedaan kondisi ekonomi (Gelati, dkk, 2006). Seperti penelitian yang dilakukan Diener dan Suh (dalam Gelati, dkk, 2006) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tingkat kesejahteraan suatu negara dengan tingkat kebahagiaan. Semakin sejahtera suatu negara, semakin tinggi tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup masyarakatnya. Namun sebaliknya, Gundlach dan Kreiner (2004) menemukan bahwa walaupun beberapa negara memiliki tingkat kesejahteraan yang serupa, namun terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup pada masyarakatnya. Selain itu Lane dan Stutzer (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) menambahkan bahwa penelitian mereka menemukan korelasi antara Gross Domestic Product (GDP) dengan tingkat kebahagiaan pada beberapa negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang berbeda-beda. Penelitian lain yang dilakukan oleh Oliver (2003), mengenai perbedaan kepuasan hidup pada masyarakat metropolitan dan suburban, menemukan bahwa terdapat enam karakteristik internal yang dapat membedakan tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan suatu wilayah, yaitu jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasial, heterogenitas ekonomi, usia wilayah, dan penggunaan lahan. Oliver (2003) juga mengatakan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat depresi, ketidakpuasaan terhadap lingkungannnya, dan semakin tidak bahagia. Selain itu juga ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat kemakmuran suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat depresinya, tidak puas dengan hidup, merasa self-efficacy dan self-esteemnya rendah, dan semakin tidak bahagia (Oliver, 2003). Selain kepadatan dan kemakmuran suatu wilayah, faktor lain juga ditemukan dalam penelitian Luechinger dan Raschky (2006) yang mengatakan terdapat efek dari bencana alam terhadap kepuasan hidup seseorang. Luechinger dan Raschky (2006) mengemukakan bahwa ditemukan dampak negatif dari bencana banjir terhadap kepuasan hidup individu. Hal ini disebakan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh bencana itu sendiri dan kerugian yang diderita individu, terutama apabila pemerintah tidak memberikan bantuan pada para korban. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Triandis (dalam Carr, 2004)

Universitas Indonesia

6 yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kondisi suatu negara dengan tingkat kebahagiaan. Negara yang memiliki kestabilan demokrasi, masyarakatnya individualis, sistem pemerintahan yang baik, tingkat kesejahteraannya tinggi, dan adanya hubungan yang baik antara warga dengan pemerintahan, maka masyarakat yang tinggal di negara tersebut akan memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Terkait dengan penjelasan di atas, peneliti ingin meneliti bagaimana perbedaan tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup pada lima wilayah di Jakarta. Alasan peneliti adalah Jakarta sebagai suatu wilayah dengan segala kompleksitasnya memiliki lima wilayah yang masing-masing juga memiliki permasalahan dan karakteristik yang berbeda-beda yang kemudian mempengaruhi kepribadian masyarakat yang tinggal di dalamnya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain seperti jumlah GDP, tingkat kemiskinan, jumlah kepadatan penduduk, bencana yang melanda daerah masing-masing, dan karakteristik khusus warga masing-masing wilayah. Peneliti ingin melihat apakah perbedaan di setiap wilayah tersebut akan membawa perbedaan pada tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup masyarakatnya. Penelitian ini akan dilakukan pada orang dewasa di lima wilayah di Jakarta, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat, dengan karakteristik subjek berusia di atas 18 tahun, pendidikan minimal adalah SMA, dan berstatus sosial menengah ke atas. Persiapan dan pengambilan data dilakukan bersama 9 rekan peneliti lainnya, karena penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang kebahagiaan. Desain penelitian yang digunakan adalah non-experimental dengan cara pengambilan data melalui household survey. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan perhitungan statistik dengan metode One-way Analysis Of Variance (ANOVA). 1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraiakan di atas, berikut ini adalah permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui penelitian ini: 1. Bagaimana tingkat kebahagiaan warga kota Jakarta? 2. Bagaimana tingkat kepuasaan hidup warga kota Jakarta?

Universitas Indonesia

7 3. Bagaimana tingkat kebahagiaan warga kota pada lima wilayah di Jakarta; yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat? 4. Bagaimana tingkat kepuasaan hidup warga kota pada lima wilayah di Jakarta; yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebahagiaan dan kepuasan hidup warga Jakarta serta gambaran perbandingan kebahagiaan dan kepuasan hidup pada lima wilayah di Jakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang gambaran kebahagiaan (happiness) dan kepuasan hidup (life satisfaction) dari warga Jakarta. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi kepada pihak-pihak yang peduli dengan kesejahteraan warga kota Jakarta. 1.5 Sistematika Penulisan Laporan penelitian Bab I. Pendahuluan Berisi latar belakang penelitian dilakukannya penelitian mengenai kebahagiaan dan kepuasan hidup pada masyarakat di lima wilayah DKI Jakarta dan menjelaskan urgensi dari penelitian yang akan dilakukan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini. ini terdiri dari enam bagian. Adapun sistematika penulisan pada laporan ini adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia

8 Bab II. Teori Penunjang Mengulas dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup , hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup, kondisi pada masingmasing 5 wilayah di DKI Jakarta, dan dinamika teori. Bab III. Permasalahan, Hipotesis, dan Variabel Penelitian Menguraikan permasalahan, hipotesis, dan variabel penelitian, baik secara konseptual maupun operasional. Bab IV. Metode Penelitian Memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari tipe dan desain penelitian, partisipan penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian, pengujian instrumen penelitian, dan prosedur pelaksanaan penelitian. Bab V. Hasil dan Analisis Hasil Merupakan bagian hasil dan analisis hasil dari data penelitian. Pada bagian ini dijelaskan mengenai gambaran umum partisipan penelitian, gambaran umum kebahagiaan dan kepuasan hidup pada penduduk DKI Jakarta, serta perbandingan kepuasan hidup diantara kelima kelompok tersebut. Selain itu juga disertakan hasil tambahan yang didapatkan dari penelitian ini. Bab VI. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Berisi kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian, diskusi yang memuat perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya serta keterbatasan penelitian, saran teoritis untuk mengembangkan penelitian, dan saran praktis yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian.

Universitas Indonesia

9 BAB 2 TEORI PENUNJANG 2.1. Kebahagiaan Studi mengenai konsep kebahagiaan telah banyak dilakukan melalui berbagai perspektif. Masing-masing perspektif menyediakan berbagai penjelasan yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri, yang pada akhirnya muncul hasil yang berbeda-beda pula mengenai bagaimana kebahagiaan itu bisa dicapai. 2.1.1. Definisi Kebahagiaan (Happiness) Para peneliti seringkali menemukan kesulitan untuk merumuskan konsep mengenai kebahagiaan. Kata kebahgiaan ini memiliki makna yang beragam. Seringkali makna dari kebahagiaan (happiness) disamakan dengan baik (the good) ataupun hidup yang bagus (the good life) (Eddington & Shuman, 2005). Namun demikian, beberapa peneliti mencoba untuk memaknai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kebahagiaan. Ed Diener (dalam Gelati, dkk, 2006) menawarkan konsep kebahagiaan sebagai sebuah penilaian individu mengenai kehidupannya, meliputi penilaian afektif maupun secara kognitif. Penilaian ini merupakan evaluasi global untuk merasakan segala sesuatu secara positif, sehingga individu tersebut menikmati hidupnya karena dia bahagia. Persepektif yang diberikan Diener ini menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan kumpulan dari berbagai kenikmatan (Diener, dalam Bekhet, dkk, 2008). Sejalan dengan Diener, peneliti lain seperti Veenhoven mengartikan kebahagiaan sebagai keseluruhan evaluasi mengenai hidup termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu, seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat dicapai, dan sebagainya (dalam Gelati, dkk, 2006). Selain itu, kebahagiaan juga dapat dikatakan sebagai pengalaman positif, kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala tingkah laku manusia (Argyle dalam Bekhet, dkk, 2008). Dari beberapa definisi di atas, maka dapat

Universitas Indonesia

10 disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah penilaian positif mengenai kehidupannya secara global sehingga individu dapat merasakan kenikmatan dalam hidupnya. Kebahagiaan sendiri sering disamakan dengan istilah subjective wellbeing (SWB). Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003), istilah subjective wellbeing merupakan istilah ilmiah dari happiness (kebahagiaan). Istilah ini lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan karena istilah happiness telah diperdebatkan definisinya selama berabad-abad. Diener sendiri mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan, dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan (Diener, dkk, 2003). Hal tersebut akhirnya oleh Diener dijadikan sebagai komponen-komponen spesifik yang dapat menentukan tingkat SWB seseorang. Komponen-komponen tersebut antara lain: emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup secara global, dan aspek-aspek kepuasan (Diener, dkk, 2003). Namun demikian Lyubomirsky dan Lepper (1997) memberikan kritik bahwa untuk menilai tingkat subjective well-being tidak cukup dengan melihat masing-masing komponen. Dibutuhkan penilaian global mengenai keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat afek, kepuasan hidup, dan aspekaspek kepuasan bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kebanyakan orang dapat menilai dirinya sebagai orang yang bahagia atau tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang lain sebagai orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah istilah mengenai kebahagiaan yang tidak sekedar menilai kebahagiaan seseorang dari komponenkomponen subjective well-being. Lyubomirsky dan Lepper (1997) menyebutnya sebagai subjective happiness. 2.1.2. Kebahagiaan Subjektif ( Subjective Happiness) Menentukan apa arti yang sebenarnya dari kata kebahagiaan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memaknai kebahagiaan. Menurut Averill dan More (dalam Gelati, dkk, 2006) konsep mengenai kebahagiaan hampir berbeda di setiap

Universitas Indonesia

11 budaya. Penyebabnya adalah adanya perbedaan nilai-nilai yang dianut setiap masyarakatnya sehingga setiap orang mampu memaknai kebahagiaan sesuai dengan nilai yang dianutnya. Beberapa orang menilai kebahagiaannya dari tingkat kesejahteraan hidupnya, sedangkan yang lainnya menilai kebahagiaannya berdasarkan hubungan sosial yang dijalinnya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep kebahagiaan itu sendiri sifatnya sangat subjektif, tergantung dari individu yang memaknainya. Sama halnya seperti yang dikatakan Drummond (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) bahwa kebahagiaan adalah tempat dimana segala ranah kehidupan dimaknai secara subjektif. Subjective happiness itu sendiri diartikan oleh Lyubomirsky dan Lepper (1997) sebagai penilaian subjektif dan global dalam menilai diri sebagai orang yang bahagia atau tidak. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki individu. Lyubomirsky dan Lepper (1997) menemukan bahwa seseorang bisa saja merasakan ketidakbahagiaan dalam hidupnya walaupun hidupnya dikelilingi oleh segala kenyamanan, cinta, dan kesejahteraan. Sebaliknya seseorang bisa saja tetap merasakan kebahagiaan walaupun hidupnya penuh dengan rintangan, tragedi, ketidaksejahteraan, dan tidak adanya cinta. Hal ini membuktikan bahwa sumbersumber kebahagiaan itu sangat personal dan bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. 2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan Berbagai penelitian telah menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan individu. Setiap peneliti menemukan faktor yang berbeda-beda. Beberapa peneliti juga mencoba menghubungkan kebahagiaan dengan faktor lingkungan dan demografi (Eddington & Shuman, 2005). Berikut akan dijelaskan beberapa faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan: 1. Gender Menurut Inglehart (dalam Eddington & Shuman, 2005), telah dilakukan penelitian dengan 170.000 responden dari 16 negara; dan hasil yang

Universitas Indonesia

12 ditemukan adalah tidak terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara wanita dan pria. Walaupun demikian ditemukan juga hasil penelitian yang mengatakan bahwa wanita memiliki tingkat afek negatif yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Eddington & Shuman, 2005). Hal ini mungkin terjadi karena wanita lebih sering menunjukan perasaan ini dibandingkan dengan pria yang lebih sering menyembunyikan perasaannya. Namun demikian, tingkat kebahagiaan secara global antara pria dan wanita tetap berada pada level yang sama (Eddington & Shuman, 2005). 2. Usia Telah ditemukan hasil penelitian yang menunjukan bahwa tingkat kebahagiaan cenderung stabil sepanjang rentang kehidupan (Butt & Beiser, Inglehart, dan Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2005). Hal ini sejalan dengan tingkat kepuasan hidup yang juga stabil selama rentang kehidupan. Jika pun terjadi penurunan tingkat kebahagiaan dalam rentang usia, mungkin ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan adaptasi terhadap kondisi hidup, seperti menurunnya tingkat penghasilan, perkawinan. Namun para peneliti telah membuktikan bahwa seseorang mampu menyesuaikan goals-nya seiring dengan bertambahnya usia sehingga baik tingkat kebahagiaan maupun tingkat kepuasan hidup menjadi cenderung stabil (Eddington & Shuman, 2005). 3. Pendidikan Tingkat pendidikan memiliki korelasi yang kecil namun signifikan dengan tingkat subjective well-being (SWB). Hal ini didapat dari penelitian yang dilakukan di Amerikan. Eddington dan Shuman (2005) memiliki asumsi hal ini dapat terjadi karena pengaruh dari pendidikan yang telah melemah seiring berjalannya waktu bagi masyarakat Amerika. Tingkat pendidikan memiliki korelasi yang sedikit lebih besar pada individu dengan penghasilan yang rendah dan pada masyarakat di negara miskin (Campbell, Diener, dan Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2005). 4. Tingkat Pendapatan Diener (dalam Eddington & Shuman, 2005) telah menemukan bahwa hanya terdapat korelasi yang kecil namun signifikan antara tingkat pendapatan

Universitas Indonesia

13 seseorang dengan tingkat kebahagaian atau SWB. Secara umum, orang yang lebih kaya memiliki tigkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih miskin, namun demikian perbedaannya sangat kecil (Diener, Horwitz, & Emmons dalam Eddington & Shuman, 2005). 5. Pernikahan Pernikahan memiliki hubungan yang signifikan dengan SWB terutama pada negara Amerika, Kanada, dan Norwegia (Eddington & Shuman, 2005). Penelitian yang dilakukan Diener, Gohm, dan Suh (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, ataupun menjadi janda atau duda. Pasangan yang melakukan kohabitasi tanpa menikah juga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan orang yang tinggal sendiri (Kurdek & Mastekaasa dalam Eddington & Shuman, 2005). Penelitian tetap menunjukan hasil bahwa pernikahan dan well-being berkorelasi secara signifikan walaupun usia dan tingkat penghasilan sudah dikontrol. 6. Pekerjaan Status pekerjaan seseorang berhubungan dengan kebahagiaan. Individu yang bekerja umumnya lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja, dan individu yang bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan (skilled jobs) lebih bahagia dibandingkan pekerja pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan (unskilled jobs) (Argyle, 2001, dalam Carr, 2004). Pekerjaan memiliki korelasi yang tinggi dengan tingkat kebahagiaan dikarenakan pekerjaan mampu memberikan level stimulisasi yang optimal sehingga seseorang dapat merasakan kesenangan, kesempatan untuk memenuhi rasa ingin tahu dan pengembangan kemampuan, adanya dukungan sosial, adanya rasa aman secara finansial, serta merasa memiliki identitas dan tujuan dalam hidupnya (Csikszentmihalyi & Scitovsky dalam Eddington & Shuman, 2005). Sementara itu, individu yang tidak bekerja umumnya memiliki tingkat stres yang tinggi, kepuasan hidup yang rendah, dan memiliki tingkat kemungkinan melakukan bunuh diri yang tinggi

Universitas Indonesia

14 dibandingkan individu yang bekerja (Oswald, 1997; Platt & Kreitman, 1985; dalam Eddington & Shuman, 2005). 7. Kesehatan George dan Landerman (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara kebahagiaan dengan kesehatan. Namun kesehatan yang dimaksud adalah penilaian subjektif bahwa dirinya termasuk orang yang sehat, bukan berdasarkan penilaian ahli kesehatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang sehat adalah orang yang memiliki kecenderungan kebahagiaan yang tinggi. Individu yang memiliki kondisi kesehatan yang buruk atau memiliki penyakit kronis akan menunjukan tingkat kebahagiaan yang rendah. Namun hal ini juga terkait dengan kemampuan adaptasi individu, jika individu tersebut memiliki kemampuan adapatasi ataupun kemampuan coping yang baik, maka ia dapat menunjukan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi (Mehnert dalam Eddington & Shuman, 2005). 8. Agama Berbagai penelitian di Amerika telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kebahagiaan dengan keyakinan seseorang akan agamanya, kekuatan hubungan seseorang dengan Tuhannya, ibadah, serta partisipasi dalam kegiatan keagamaan (Eddington & Shuman, 2005). Hal ini dapat terjadi karena pengalaman religius ataupun kepercayaan yang dimiliki seseorang membuat seseorang memiliki perasaan bermakna dalam kehidupannya (Pollner, dalam Eddington & Shuman, 2005). Agama atau religi juga mampu memenuhi kebutuhan sosial seseorang melalui kegiatan agama yang dilakukan secara bersama-sama ataupun karena berbagi nilai dan kepercayaan yang sama. Misalnya kegiatan-kegiatan yang diadakan suatu gereja dapat membuat anggota gereja tersebut menjalin hubungan pertemanan dengan anggota lainnya. Ataupun dengan menganut agama tertentu dapat membuat diri seseorang merasa bahwa ia menjadi bagian kelompok orang yang memegang nilai dan kepercayaan yang sama.

Universitas Indonesia

15 9. Kejadian Penting dalam Hidup (Live Events) Menurut Kanner (dalam Eddington & Shuman, 2005) frekuensi dari kejadian yang positif memiliki korelasi dengan afek positif. Misalnya seseorang yang sering mengalami kejadian yang menurutnya menyenangkan bagi dirinya, maka orang tersebut cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Adapun contoh dari kegiatan-kegiatan yang dianggap mampu memunculkan afek positif adalah hubungan pertemanan, terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman, hubungan seksual, dan pengalaman sukses (Scherer, dalam Eddington & Shuman, 2005). Selain itu pengalaman yang terkait dengan alam juga dinilai mampu meningkatkan afek postif, seperti laut, matahari, gunung, dan hutan (Eddington & Shuman, 2005). Sebaliknya, jika seseorang sering mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, seperti bencana, maka tingkat kebahagiaan orang tersebut cenderung rendah (Luechinger & Raschky, 2006). 10. Traits Karakteristik kepribadian (traits) yang dimiliki seseorang dianggap mampu mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang. Beberapa penelitian mengkelompokan lima traits, atau yang dikenal sebagai FiveFactor Model, untuk dilihat pengaruhnya terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup. Hasil yang ditemukan antara lain: traits extroverversion memiliki korelasi dengan afek positif, neuroticism memiliki korelasi dengan afek negatif, conscientiousness dan agreebleness memiliki korelasi yang tidak terlalu tinggi dengan afek postif dan afek negatif, dan openness to experience tidak memiliki korelasi dengan kedua jenis afek maupun dengan kepuasan hidup (Eddington & Shuman, 2005). Terkait dengan penelitian ini, traits dikatakan dapat berbeda tergantung pada lokasi geografi tempat tinggalnya (Allik & McCrae, 2004; Rentfrow, dkk, 2008). Selain faktor-faktor di atas, juga terdapat faktor lain yang terkait dengan kondisi dalam suatu wilayah yang juga mampu mempengaruhi tingkat kebahagiaan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Adapun faktor-faktor tersebut, yaitu:

Universitas Indonesia

16 11. Tingkat Kesejahteraan Selain pendapatan personal, pendapatan nasional yang dipertimbangkan. Diener (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa tingkat Gross National Product (GNP) memiliki korelasi sekitar .50 dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan. Selain itu Lane dan Stutzer (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) menambahkan bahwa penelitian mereka menemukan korelasi antara Gross Domestic Product (GDP) dengan tingkat kebahagiaan pada beberapa negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang berbeda-beda. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Diener dan Suh (dalam Gelati, dkk, 2006) menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tingkat kesejahteraan suatu negara dengan tingkat kebahagiaan. Semakin sejahtera suatu negara, semakin tinggi tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup masyarakatnya. 12. Tingkat Kepadatan Penduduk Menurut Oliver (2003), luas daerah yang kecil dengan kepadatan penduduk yang kecil serta tingkat kebergaman penduduk yang kecil dipercaya memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Semakin kecil jumlah populasi dalam suatu wilayah, semakin tinggi tingkat self-efficacy dan perasaan untuk mengontrol (sense of control). Hubungan antara satu warga dengan warga lainnya ataupun antar tetangga juga lebih terjalin dibandingakan dengan wilayah yang terlalu luas dan penduduk yang terlalu banyak (Hendrix & Ahern dalam Oliver, 2003). Oliver (2003) juga menambahkan bahwa semakin padat jumlah penduduk dalam suatu wilayah, maka semakin depresi, tidak bahagia, dan tidak puas pada kehidupan di lingkungan mereka. Dari keduabelas faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan, peneliti hanya mengambil enam faktor untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat kebahagiaan pada kelima wilayah di Jakarta. Keenam faktor tersebut adalah gender, usia, pendidikan, tingkat pendapatan, pernikahan, dan pekerjaan. Alasan peneliti adalah keenam faktor tersebut merupakan faktor-faktor dasar yang dapat membedakan diri seseorang. Selain itu, keenam faktor tersebut juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Sedangkan untuk faktor

Universitas Indonesia

17 tingkat kesejahteraan (GDP) dan faktor kepadatan penduduk, nantinya akan dibandingkan dengan tingkat kebahagiaan pada masing-masing wilayah. 2.1.4. Mengukur Kebahagiaan Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Lyubomirsky dan Lepper mengatakan bahwa untuk mengukur subjective well-being dibutuhkan penilaian global mengenai keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat afek, kepuasan hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Berdasarkan hal tersebut, Lyubomirsky dan Lepper membuat alat ukur yang dianggap dapat mengukur tingkat kebahagiaan subjektif seseorang. Alat ukur tersbut dinamakan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1997). Alat ukur ini menggunakan teknik lapor diri (self-repport) dari responden. Teknik ini dipercaya dapat membantu individu untuk memberikan pendangan mereka mengenai kebahagiaan berdasarkan perspektif diri sendiri (Lyubomirsky, Sheldon, & Schkade, 2005). Di dalam alat ukur ini, individu diminta untuk melaporkan sejauh mana ia termasuk orang yang bahagia (atau tidak bahagia) dan penilaian ini tidak sama dengan penilaian individu dalam pengukuran sederhana mengenai level afek dan kepuasan hidup (Lyubomirsky & Lepper, 1997). Seseorang bisa saja menganggap dirinya sebagai orang yang sangat bahagia walaupun lingkup kehidupannya terlihat tidak menunjang kebahagiaannya, sebaliknya seseorang bisa menganggap dirinya sebagai orang yang tidak bahagia meskipun telah merasakan emosi positif (senang, bangga, dan semangat). Alat ukur ini terdiri dari empat butir soal. Setiap soal memiliki pilihan jawaban yang memiliki rentang 1-7. Skor total didapat dengan cara mencari ratarata nilai dari skor masing-masing item, sehingga kemungkinan skor total berkisar dari 1-7. Namun demikian, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang telah diadaptasi, dengan rentang skor 1-6. Kemungkinan skor total pun berkisar 1-6. (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). 2.2. Kepuasan Hidup Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Diener (dalam Diener, dkk, 2003) menyebutkan bahwa kepuasan hidup merupakan salah satu bagian dari

Universitas Indonesia

18 empat komponen subjective well-being (SWB) yang dapat digunakan untuk menilai tingkat SWB atau kebahagiaan seseorang. Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003), Subjective Well-Being (SWB) atau kebahagiaan memiliki dua jenis penilaian, yaitu penilaian secara afektif dan penilaian secara kognitif. Aspek afektif dari kebahagiaan meliputi seberapa sering individu merasakan emosi positif dan emosi negatif. Sedangkan kepuasan hidup dianggap sebagai aspek kognitifnya (Sousa & Lyubomirsky, 2001), dimana individu dapat menilai kondisi hidupnya, menimbang kondisi mana yang paling penting dalam hidupnya, sehingga mereka dapat mengevaluasi bagaiamana hidup mereka, apakah hidup mereka memuaskan atau tidak (Diener, dkk, 2003). 2.2.1. Definisi Kepuasan Hidup Menurut Sousa dan Lyubomirsky (2001), kepuasan terhadap hidup berarti penerimaan terhadap situasi hidup, atau terpenuhinya keinginan dan kebutuhuan hidup seseorang secara menyeluruh. Sedangkan menurut Veenhoven (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) kepuasan hidup merupakan derajat penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidupnya sebagai sesuatu yang menyenangkan; dengan kata lain adalah bagaimana seseorang menyukai hidup yang ia jalani. Campbell (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) menambahkan bahwa arti dari kepuasan itu sendiri adalah diskrepansi yang dirasakan antara aspirasi dengan pencapaian. Misalnya seseorang dapat dikatakan puas dengan hidupnya ia merasa bahwa kondisi dirinya secara aktual tidak jauh berbeda dengan kondisi dirinya yang ia inginkan (ideal self). Beberapa peneliti juga menambahkan bahwa penilaian seseorang mengenai kepuasan hidupnya merupakan evaluasi kognitif (Sousa & Lyubomirsky, 2001) dan sifatnya konkrit (Gundlach & Kreiner, 2004). Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan hidup adalah evaluasi kognitif individu mengenai kualitas hidupnya serta terpenuhinya segala keinginan dan kebutuhan hidupnya sehingga jarak antara aspirasi dan pencapaiannya kecil. Evaluasi kognitif yang diberikan individu mengenai kualitas hidupnya bersifat subjektif. Hal ini diungkapkan oleh Shin dan Johnson (dalam Diener, Emons, Larsen, & Griffin, 1985) yang menilai bahwa kepuasan hidup adalah penilaian global mengenai kualitas hidup seseorang berdasarkan kriterianya

Universitas Indonesia

19 sendiri. Begitu dengan yang dikatakan oleh Pavot dan Diener (1993) bahwa kepuasan hidup adalah proses penilaian kognitif mengenai hidupnya berdasarkan kriteria pribadinya. Penilaian seberapa puas hidup yang dirasakan oleh individu harus berdasarkan standard yang dianggap sesuai oleh individu itu sendiri, bukan berdasarkan standard yang dibuat oleh orang lain ataupun peneliti. Hal ini berarti bahwa penilaian akan kepuasan hidup seseorang sifatnya sangat subjektif. Contohnya adalah seberapa banyak uang yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia puas dalam hidupnya tidak dapat ditentukan oleh siapapun. Jumlahnya pasti akan berbeda bagi setiap orang. Begitu juga dalam menilai kepuasan hidup. Peneliti tidak dapat memberikan batasan kapan seseorang harus sudah puas dengan hidupnya, hanya diri sendiri yang bisa menentukannya. Oleh karena itu, tingkat kepuasan hidup yang dirasakan individu harus benar-benar bersumber dari perspektif individu itu sendiri (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Dalam membuat penilaian mengenai kepuasan hidup, seseorang cenderung akan melihat kembali kondisi hidup yang sedang dijalaninya, kemudian menimbang kembali segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Oleh karena itu penilaian ini bisa tergantung oleh mood yang dirasakan saat memberikan penilaian ataupun informasi yang tersedia saat ia membuat penilaiannya (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Campbell et al (dalam (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003) juga mengatakan bahwa individu akan melihat kembali segala aspek penting dalam hidupnya dan akan membandingkannya dengan kondisinya saat itu. Misalnya, individu akan membandingkan tingkat penghasilannya dengan penghasilan orangorang di sekitarnya, kemudian membandingkan dengan penghasilannya di masa yang lalu, dan membandingkannya dengan penghasilan yang ia cita-citakan. Individu tampaknya sangat fleksibel dalam menggali informasi yang ia butuhkan untuk memberikan penilaian mengenai kepuasan hidupnya (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Menurut Diener, Scollon, dan Lucas (2003), keuntungan yang didapat dari pengukuran kepuasan hidup seseorang adalah pengukuran ini dapat menangkap secara global gambaran kepuasan hidup seseorang dari kriteria mereka sendiri, sehingga dapat diidentifikasi kriteria apa saja yang berpengaruh bagi individu dalam memberikan penilaian mengenai kepuasan hidup mereka.

Universitas Indonesia

20 2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Hidup Sama halnya dengan kebahagiaan, kepuasan hidup juga memiliki berbagai faktor yang mempengaruhinya. Berbagai penelitian menemukan faktor yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Seperti diantaranya pendapatan, pendidikan, kesehatan, pernikahan (Sousa & Lyubomirsky, 2001), tingkat kesejahteraan suatu negara (Diener&Suh dalam Gelati, dkk, 2006), jumlah penduduk, kepadatan penduduk, ras, heterogenitas ekonomi, usia wilayah, dan penggunaan lahan (Oliver, 2003), dan bencana alam (Luechinger & Raschky, 2006). 1. Gender Ed Diener dan Frank Fujita (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001), menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kepuasan hidup dalam gender. Diener dan Fujita hanya menemukan bahwa perbedaan hanya ditemukan pada sumber-sumber yang mempengaruhi tingkat kepuasan hidup. Pada wanita prediksi kepuasan hidup dapat ditemukan pada sumber-sumber sosial seperti keluarga, teman, dan akses hubungan sosial, sedangkan pada pria sumbersumber kepuasan hidupnya berupa tujuan pribadinya seperti kemampuan atletik, otoritas, pengaruh diri, pekerjaan, dan pendapatan. 2. Usia Selain itu Diener dan Suh (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) juga menemukan bahwa tingkat kepuasan hidup tidak menurun dengan bertambahnya usia, melainkan cenderung stabil selama rentang kehidupan, dan sedikit meningkat pada usai 20 dan 80 tahun. Hal ini dapat disebabkan kemampuan manusia untuk beradaptasi dalam mengahadapi perubahanperubahan yang terjadi dalam hidupnya. Carol Ryff (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) menambahkan bahwa orang yang lebih tua memiliki dikrepansi yang lebih kecil antara keadaan diri faktual dengan diri idealnya dibandingkan dengan orang yang berumur lebih muda. 3. Hubungan Sosial Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup adalah hubungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Francis Bacon (dalam Sousa

Universitas Indonesia

21 & Lyubomirsky, 2001) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang dimiliki, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya. Bacon menemukan hasil penelitian bahwa orang yang mampu menyebutkan lima nama temannya atau lebih memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada orang yang sulit menyebutkan nama teman-temannya. Diener menambahkan bahwa dalam budaya barat, orang yang tidak menikah namun melakukan kohabitasi lebih tidak puas dibandingkan dengan orang yang menikah. Memiliki anak tidak menambah tingkat kepuasan hidup seseorang. Namun, Diener menemukan bahwa semakin besar jumlah anak, semakin menurun tingkat kepuasan hidup seseorang (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). 4. Pendidikan Pada penelitian yang dilakukan oleh Sousa & Lyubomirsky (2001) ditemukan hubungan yang rendah antara pendidikan dan kepuasan hidup. Hubungan antara pendidikan dan kepuasan hidup mungkin disebabkan adanya fakta bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan pendapatan yang juga lebih tinggi. Pendidikan juga terlihat memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan kepuasan hidup pada individu dengan pendapatan yang rendah dan di negara miskin.Umumnya, pendidikan memberikan akses yang lebih baik akan adanya kesempatan kerja dan pendapatan, yang pada akhirnya mempengaruhi kepuasan hidup. 5. Pekerjaan Status pekerjaan individu mampu untuk meramalkan kepuasan hidup seseorang. Sebaliknya, individu yang tidak bekerja menunjukkan penurunan kepuasan hidupnya secara signifikan dibandingkan dengan individu yang bekerja (Sousa & Lyubomirsky, 2001). 6. Tingkat Kesejahteraan Sousa dan Lyubomirsky (2001) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan hidup seseorang (salah satunya dilihat dari tingkat pendapatan), maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya. Sejalan dengan hal tersebut, juga dikatakan bahwa semakin sejahtera suatu negara, maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan hidupnya. Sousa dan Lyubomirsky (2001) juga

Universitas Indonesia

22 menemukan bahwa semakin besar perbedaan pendapatan ekonomi antara daerah dalam suatu negara, semakin rendah tingkat kepuasan masyarakat negara tersebut secara keseluruhan dan semakin besar perbedaan tingkat kepuasan hidup antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin dalam negara tersebut. Selain tingkat pendapatan, ditemukan pula bahwa kepemilikan status sebagai pekerja dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Selain faktor-faktor di atas, juga terdapat faktor lain yang terkait dengan kondisi dalam suatu wilayah yang juga mampu mempengaruhi tingkat kepuasan hidup masyarakat yang tinggal di dalamnya. Adapun faktor-faktor tersebut, yaitu: 7. Budaya Sousa dan Lyubomirsky (2001) mengatakan bahwa konsep kepuasan hidup lebih universal dibandingkan konsep kebahagiaan sehingga ketika dilakukan penelitian mengenai tingkat kepuasan hidup antar budaya tidak ditemukan kesulitan dalam menerjemahkan arti kepuasan hidup itu sendiri. Namun tetap terdapat perbedaan tingkat kepuasan hidup antar budaya. Misalnya ditemukan hasil penelitian bahwa negara individualis (seperti Amerika, Inggris, dan Australia) memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara kolektivis (seperti Jepang, India, dan China) (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). Sousa dan Lyubomirsky (2001) juga mengemukakan bahwa negara industri dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi secara menyeluruh dibandingkan dengan negara dunia-ketiga yang masyarakatnya miskin. Sousa dan Lyubomirsky (2001) menambahkan bahwa tingkat kepuasan hidup yang tinggi juga akan ditemukan pada negara yang memiliki kesetaraan gender, memiliki kepedulian dengan hak manusia, memiliki kebebasan politik, dan memiliki akses pengetahuan yang baik. 8. Bencana Alam Dalam penelitiannya, Luechinger & Raschky (2006) menemukan bahwa terdapat efek dari bencana alam terhadap kepuasan hidup dan kebahagiaan seseorang. Mereka mengemukakan bahwa ditemukan dampak negatif dari

Universitas Indonesia

23 bencana banjir terhadap kepuasan hidup individu yang signifikan. Hal ini disebakan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh bencana itu sendiri dan kerugian yang diderita individu. 9. Kondisi Masyarakat dalam suatu Wilayah Penelitian lain yang dilakukan oleh Oliver (2003), mengenai perbedaan kepuasan hidup pada masyarakat metropolitan dan suburban, menemukan bahwa terdapat enam karakteristik internal yang dapat membedakan tingkat kepuasan hidup dan kebahagaiaan suatu wilayah, yaitu jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasial, heterogenitas ekonomi, usia wilayah, dan penggunaan lahan. Oliver (2003) juga mengatakan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat depresi, ketidakpuasaan terhadap lingkungannnya, dan semakin tidak bahagia. Selain itu juga ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat kemakmuran suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat depresinya, tidak puas dengan hidup, merasa self-efficacy dan self-esteemnya rendah, dan semakin tidak bahagia. Dari kesembilan faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan hidup, peneliti hanya mengambil enam faktor untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat kebahagiaan pada kelima wilayah di Jakarta. Keenam faktor tersebut adalah gender, usia, hubungan sosial, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat kesejahteraan. Hal ini dilakukan karena hanya keenam faktor tersebut yang terdapat dalam data demografi reponden. Sedangkan untuk faktor bencana alam, nantinya akan dibandingkan dengan tingkat kepuasan hidup pada masing-masing wilayah. 2.2.3. Mengukur Kepuasan Hidup Diener (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) membuat alat ukur yang dapat mengukur kepuasan hidup secara global yang dinamakan Satisfaction With Life Scale (SWLS). Alat ukur ini didesain pada tahun 1985 oleh Ed Diener dan terdiri dari lima butir soal di mana individu diminta untuk menilai hidupnya secara global. Setiap soal dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada soal yang terkait penilaian secara afektif. Hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa

Universitas Indonesia

24 kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari SWB (Diener dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). 2.3. Hubungan Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup Kebahagiaan dan kepuasan hidup merupakan dua hal yang berbeda. Kebahagiaan adalah penilaian keseluruhan mengenai hidup yang dimaknai secara subjektif oleh individu, sedangkan kepuasan hidup adalah evaluasi kognitif individu mengenai kualitas hidupnya serta terpenuhinya segala keinginan dan kebutuhan hidupnya. Kebahagiaan sendiri dinilai oleh Diener, Scollon dan Lucas (2003) sebagai istilah ilmiah dari Subjective Well-Being dan kepuasan hidup merupakan salah satu dari empat komponen di dalamnya yang dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kebahagiaan seseorang. Dengan kata lain, sesuai dengan teori Diener, berarti bahwa kepuasan hidup merupakan bagian dari kebahagiaan. Oleh karena itu jika ingin mengukur tingkat kebahagiaan, peneliti harus mengukur tingkat kepuasan hidup sebagai salah satu komponennya. Peneliti lain seperti Campbell (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) membedakan kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan lebih jelas. Menurut Campbell, kepuasan hidup merupakan penilaian secara kognitif, sedangkan kebahagiaan lebih terkait dengan penilaian menggunakan perasaan atau afek. Lebih lanjut Lane (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) juga mengatakan hal yang sama bahwa kebahagiaan adalah suasana hati (mood) dan kepuasan hidup adalah penilaian kognitif. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan penilaian secara afektif terhadap kehidupan seseorang dan kepuasan hidup merupakan penilaian secara koginitif terhadap kehidupan seseorang. Menurut Gundlach dan Kreiner (2004), beberapa peneliti menganggap kepuasan hidup dan kebahagiaan adalah hal sama dan tidak ada konsekuensi tertentu jika memperlakukan kedua konsep tersebut secara identik. Namun kemudian Gundlach dan Kreiner memberi penjelasan bahwa kedua konsep ini tidak bisa dianggap sama dan tidak bisa diperlakukan secara identik. Penelitian mereka menemukan bahwa kepuasan hidup dan kebahagiaan adalah dua variabel yang berbeda dan tidak berasal dari variabel laten yang sama. Mereka juga menemukan bahwa kedua variabel ini memiliki korelasi yang sangat tinggi, tetapi

Universitas Indonesia

25 keduanya dipengaruhi oleh independen variabel yang berbeda. Hal ini diperoleh dari hasil penelitian mereka mengenai tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan pada suatu negara. Hasil yang didapat adalah tingkat kepuasan hidup mirip dengan tingkat kebahagiaan, namun tidak identik. Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup memiliki hubungan, namun merupakan fenomena yang berbeda (Gundlach & Kreiner, 2004). Seseorang bisa saja bahagia dengan hidupnya, tetapi tidak puas pada beberapa aspek dalam hidupnya. Dari perbedaan ini, dapat dilihat bahwa kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi yang dirasakan seseorang terlepas dari kultur manapun, sedangkan kepuasan hidup sangat terkait dengan pengalaman spesifik dalam situasi kehidupan seseorang (Campbell, Converse, & Rodgers dalam Gundlach & Kreiner, 2004). Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti ingin melihat bagaimana tingkat kebahagiaan dan tingkat kepuasan hidup pada lima wilayah di Jakata. Sesuai dengan pendapat Gundlach dan Kreiner (2004) bahwa kedua variabel ini tidak bisa diperlakukan dengan indentik, maka peneliti menggunakan dua alat ukur yang berbeda, yaitu Subjective Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale (SWLS). Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa tingkat kebahagiaan dan tingkat kepuasan hidup yang akan didapatkan tidak sama namun masih berkorelasi. 2.4. Daerah Khusus Ibukota Jakarta Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah sebuah provinsi sekaligus ibukota negara Indonesia. Jumlah penduduk di Jakarta berdasarkan data bulan Februari 2008 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berjumlah 8.492.832 jiwa yang terdiri dari 8.490.160 WNI dan 2.672 WNA (kependudukancanpil.go.id). Kepadatan penduduk Jakarta mencapai 13,014/Km2 (kependudukancanpil.go.id). Namun pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Provinsi DKI Jakarta mempunyai luas daratan 661,52 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2 serta tercatat 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu.

Universitas Indonesia

26 2.4.1. Perbedaan Masing-Masing 5 Wilayah di DKI Jakarta Secara administrasi, Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kotamadya dan 1 Kabupaten Administrasi yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Setiap wilayah Kotamadya di Jakarta memiliki ciri fisik dan masalah sosial yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi pada 5 wilayah Kotamadya saja, tanpa mengikutsertakan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Adapun masing-masing perbedaannya: 1. Tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah Kotamadya Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta PusatJumlah Pendapatan Rupiah (Juta) Tahun 2006

59,105,202 53,489,026 58,900,107 46,798,827 80,548,604

Sumber Data: Badan Pusat Statistik Jakarta (2007) Tabel 2.1 Tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah

2. Tingkat Kemiskinan Kotamadya Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta PusatSumber : Sudin Bintal Kesos Jakarta Timur Tabel 2.2 Data Rumah Tangga Miskin (RTM)

Jumlah Rumah Tangga Miskin Tahun 2008

55,249 39,768 11,377 30,320 22,723

3. Tingkat Kepadatan PendudukKotamadya Jumlah Penduduk Luas Wilayah (Km2) Kepadatan Penduduk / Km2 Februari 2008

Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat

1.421.338 2.596.717 1.888.119 1.634.537 930.649

137,39 187,36 145,73 125,25 48,15

10,345 13,860 12,956 13,050 19,328

Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Tabel 2. 3 Jumlah Kepadatan Penduduk per Wilayah Kotamadya

Universitas Indonesia

27 4. Bencana yang Melanda Kotamadya Jakarta Utara Jenis Bencana AnginPutting Beliung Gelombang Pasang Banjir

Frekuensi1 kali (2008) 1 kali (2007) 1 kali (2008)7 kali (2006-2007) 4 kali (2007-2008) 2 kali (2007-2008) 3 kali (2006-2008) 2 kali (2006, 2009)

Jumlah Korban 0 4300 mengungsi 1 meninggal 4922 mengungsi 205 mengungsi 9254 mengungsi 0 3 meninggal

Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat

Banjir Banjir Banjir Banjir Kebakaran

Sumber : Departemen Kesehatan Tabel 2. 4 Data Bencana

2.5. Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup Warga Jakarta Peneliti ingin mengukur tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup pada masyarakat di lima wilayah di Jakarta karena setiap wilayah memiliki kondisi dan karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut sekaligus merupakan faktorfaktor yang menurut teori dapat mempengaruhi baik kebahagiaan maupun kepuasan hidup. Faktor-faktor tersebut antara lain: tingkat GDP, dimana semakin sejahtera suatu negara maka semakin tinggi tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup masyarakatnya (Diener & Suh dalam Gelati, Manzano, & Satgiu, 2006); Jumlah kepadatan penduduk, semakin padat jumlah penduduk dalam suatu wilayah, maka semakin depresi, tidak bahagia, dan tidak puas pada kehidupan di lingkungan mereka. (Oliver, 2003); Bencana alam, yang ditemukan membawa efek negatif terhadap kepuasan hidup dan kebahagiaan seseorang (Luechinger & Raschky, 2006); dan karakteristik khusus atau traits yang dimiliki seseorang, yang menurut teori dianggap mampu mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang (Eddington & Shuman, 2005). Penelitian Rentfrow, Gosling, dan Potter juga mengatakan bahwa letak geografis dapat mempengaruhi kepribadian dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya (Allik & McCrae, 2004; Rentfrow, Gosling, & Potter, 2008). Berangkat dari teori-teori tersebut, maka peneliti memiliki asumsi bahwa tingkat kepuasan hidup dan

Universitas Indonesia

28 tingkat kebahagiaan yang akan didapatkan tentunya juga akan berbeda pada setiap wilayah karena adanya perbedaan kondisi dan karakteristik di kelima wilayah DKI Jakarta.

Universitas Indonesia

29 BAB 3 PERMASALAHAN, HIPOTESIS DAN VARIABEL PENELITIAN Pada bab ini, peneliti akan menjabarkan permasalahan penelitian yang disusun berdasarkan latar belakang pemikiran dari penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan permasalahan yang telah disusun sebelumnya. Di bagian akhir dari bab ini, peneliti akan memaparkan definisi konseptual dan definisi operasional dari masing-masing variabel yang dibahas dalam penelitian ini.

3.1 Permasalahan 1. Bagaimana tingkat kebahagiaan warga kota Jakarta? 2. Bagaimana tingkat kepuasaan hidup warga kota Jakarta? 3. Bagaimana tingkat kebahagiaan warga kota pada lima wilayah di Jakarta; yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat? 4. Bagaimana tingkat kepuasaan hidup warga kota pada lima wilayah di Jakarta; yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat? 3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis dibagi menjadi hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis null (H0). Hipotesis alternatif adalah kalimat dugaan dari hubungan antara dua variabel atau lebih (Kerlinger & Lee, 2000). Sementara hipotesis null adalah kalimat yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara dua variabel atau lebih (Kerlinger & Lee, 2000). Berikut ini adalah hipotesis dalam penelitian ini:

3.2.1 Hipotesis Ilmiah 1. Terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat.

Universitas Indonesia

30 2. Terdapat perbedaan tingkat kepuasan hidup pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. 3.2.2 Hipotesis Statistik Hipotesis Alternatif (Ha): 1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal skor rata-rata tingkat kebahagiaan pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal skor rata-rata tingkat kepuasan hidup pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat.

Hipotesis Null (Ho): 1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal skor rata-rata tingkat kebahagiaan pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. 2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal skor rata-rata tingkat kepuasan hidup pada masing-masing wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat. 3.3 Variabel Penelitian Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini ada dua, yaitu kebahagiaan dan kepuasan hidup. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut dari kedua variabel tersebut: 3.3.1 Variabel 1 : Kebahagiaan Definisi operasional dari subjective happiness adalah skor total dari alat ukur Subjective Happiness Scale. Hal ini didapat dari mencari rata-rata masingmasing skor item yang memiliki rentang 1-6. Skor total yang didapatkan pun memiliki rentang 1-6.

Universitas Indonesia

31 3.3.2 Variabel 2 : Kepuasan Hidup Definisi operasional dari kepuasan hidup adalah skor total dari alat ukur SWLS. Skor dari masing-masing item memiliki rentang 1-6. Skor total didapatkannya dengan menjumlahkan skor pada masing-masing item. 3.3.3 Variabel 3 : Kondisi Masyarakat DKI Jakarta Dalam hal ini, variabel DKI Jakarta adalah data-data mengenai tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah, tingkat kemiskinan, tingkat kepadatan penduduk, dan data mengenai bencana yang melanda pada masingmasing lima wilayah di DKI Jakarta.

Universitas Indonesia

32 BAB 4 METODE PENELITIAN Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Metode penelitian yang akan dijelaskan adalah tipe dan desain penelitian yang digunakan, karakteristik dari partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini, teknik pemilihan partisipan, dan jumlah partisipan. Selanjutnya, peneliti juga akan membahas mengenai alat ukur yang digunakan, yaitu alat ukur kebahagiaan dan alat ukur kepuasan hidup. Pada akhirnya, peneliti akan menjabarkan tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian dan metode pengolahan data dari hasil yang telah diperoleh. 4.1 Tipe/ Desain Penelitian Kumar (1999) membagi penelitian berdasarkan frekuensi pengambilan data (number of contacts), waktu terjadinya gejala (reference of period), dan nature of investigation. Mengacu pada pembagian tersebut, maka berdasarkan number of contacts, penelitian ini tergolong sebagai penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan sekali pengambilan data. Desain penelitian ini digunakan ketika ingin melihat gambaran mengenai suatu fenomena di saat penelitian dilakukan. Berdasarkan reference of period, penelitian ini tergolong sebagai penelitian retrospective karena penelitian ini ingin melihat fenomena yang terjadi saat ini dengan mempertimbangkan pengaruh pengalaman/masa lalu. Data yang digunakan pun merupakan data yang tersedia hanya pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan nature of investigation, penelitian ini tergolong sebagai penelitian non-experimental, karena tidak adanya treatment pada data yang digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu variabel. Sementara itu, berdasarkan informasi yang dibutuhkan, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif. Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dalam penelitian agar dapat mengetahui hubungan atau pengaruh antar variabel, dapat menjawab beberapa masalah, dapat membuat kesimpulan akan sebuah masalah, dan dapat digeneralisasikan ke populasi (Kerlinger & Lee, 2000).

Universitas Indonesia

33 4.2 Pengumpulan Data 4.2.1. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian household survey yang menggunakan kuesioner sebagai metode untuk mengumpulkan data. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh subjek dengan menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih kuesioner sebagai alat pengumpul data karena biayanya relatif murah, tetapi dapat menjangkau subjek yang banyak dalam waktu singkat. Kuesioner juga memungkinkan peneliti untuk menjaga anonimitas subjek. Tidak semua subjek merasa aman dan nyaman untuk membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu, kuesioner dapat menghindari interviewer bias, seperti kualitas interviewer, kualitas interaksi, dan lain-lain (Kumar, 1999). 4.2.2. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dua buah kuesioner yang mengukur kebahagiaan (Subjective Happiness Scale) dan kepuasan hidup (Satisfaction With Life Scale). Di bawah ini akan dijabarkan mengenai masing-masing kuesioner tersebut. 4.2.2.1 Alat Ukur Subjective Happiness Scale Subjective Happiness Scale dikembangkan berdasarkan teori dari subjective well-being, bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumbersumber kebahagiaan bervariasi dari individu ke individu lain (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). Lyubomirsky dan Lepper mengatakan bahwa untuk mengukur subjective well-being dibutuhkan penilaian global mengenai keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat afek, kepuasan hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Berdasarkan hal tersebut, Lyubomirsky dan Lepper membuat alat ukur yang dianggap dapat mengukur tingkat kebahagiaan subjektif seseorang. Alat ukur tersbut dinamakan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1997).

Universitas Indonesia

34 Di dalam alat ukur ini, individu dapat melaporkan sejauh mana ia termasuk orang yang bahagia (atau tidak bahagia) dan penilaian ini tidak sama dengan penilaian individu dalam pengukuran sederhana mengenai level afek dan kepuasan hidup (Lyubomirsky & Lepper, 1997). Seseorang bisa saja menganggap dirinya sebagai orang yang sangat bahagia walaupun lingkup kehidupannya terlihat tidak menunjang kebahagiaannya, sebaliknya seseorang bisa menganggap dirinya sebagai orang yang tidak bahagia meskipun telah merasakan emosi positif (senang, bangga, dan semangat). Alat ukur ini terdiri dari empat item dengan pilihan jawaban yang memiliki rentang 1-7. Namun dalam penelitian ini digunakan alat ukur yang telah diadaptasi, sehingga rentang jawaban adalah 1-6. Skor total didapat dengan cara mencari rata-rata nilai dari skor masing-masing item, sehingga kemungkinan skor total berkisar dari 1-6. Semakin besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang semakin besar pula (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). 4.2.2.2 Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS) Alat ukur ini didesain pada tahun 1985 oleh Ed Diener yang bertujuan untuk melihat bagaiamana individu dapat menilai kondisi hidupnya, menimbang kondisi mana yang paling penting dalam hidupnya, sehingga mereka dapat mengevaluasi bagaiamana hidup mereka, apakah hidup mereka memuaskan atau tidak (Diener, dkk, 2003). Alat ukur ini terdiri dari lima item di mana individu diminta untuk menilai hidupnya secara global. Setiap soal dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada soal yang terkait penilaian secara afektif. Hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari SWB (Diener dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). Alat ukur ini terdiri dari lima item dengan pilihan jawaban politomi (yang terdiri lebih dari 2 pilihan jawaban) yang memiliki rentang 1-7. Setelah diadaptasi, alat ukur yang digunakan dalam penelitian memiliki rentang 1-6. Skor total didapat dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing item. Semakin besar skor, menunjukkan kepuasan yang semakin besar pula

Universitas Indonesia

35 4.2.3. Adaptasi dan Ujicoba Alat Ukur Proses adaptasi terhadap alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti bersama dengan rekan peneliti lain yang tergabung dalam payung penelitian Kebahagiaan dan Kualitas Hidup Masyarakat Jakarta. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses adaptasi alat ukur ini, antara lain: 1) Meminta pendapat dari ahli (expert judgement) untuk membantu menentukan apakah alat ukur yang akan digunakan sesuai budaya dimana penelitian akan dilakukan. 2) Menerjemahkan bahasa yang digunakan alat ukur, yaitu bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini disesuaikan dengan bahasa yang umum digunakan oleh responden penelitian 3) Melakukan back translation. Hal ini dilakukan untuk memeriksa apakah hasil terjemahan tidak mengubah makna atau isi dari kalimat aslinya. 4) Melakukan uji keterbacaan kepada terhadap 30 orang mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia yang memenuhi kriteria sampel pada lima kelompok yang berbeda (masing-masing 6 orang) dan pada waktu yang berbeda. Dalam setiap kelompok dilakukan focus group discussion untuk mendapatkan masukan-masukan mengenai alat ukur. 5) Merevisi alat ukur berdasarkan hasil uji keterbacaan. Revisi yang dilakukan antara lain adalah mengubah skala pada alat ukur Subjective Happiness Scale dan SWLS. Dari skala 1-7 menjadi skala 1-6. Hal ini dilakukan karena menurut hasil uji keterbacaan dan expert judgement adanya skala tengah atau netral akan membuat responden cenderung memilih pilihan tersebut. Selain itu juga dilakukan perubahan pada item 3 dan item 4 Subjective happiness scale, karena sebagian besar subjek merasa kesulitan memahami kalimat pada item 3 dan 4. 6) Melakukan uji coba alat ukur. Uji coba ini dilakukan kepada 89 responden yang sesuai dengan karakteristik umum dari responden yang telah ditentukan sebelumnya.. Pada uji coba ini, selain alat ukur Subjective Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale (SWLS), diberikan pula alat ukur Iventori Karakteristik Aktualisasi Diri (IKAD) dan Beck

Universitas Indonesia

36 Depression Inventory (BDI). Hal ini dilakukan untuk mengecek validitas alat ukur Subjective Happiness Scale dan SWLS. 7) Menguji reliabilitas, validitas, dan analisis item alat ukur. Untuk hasil reliabilitas, didapatkan hasil koefisien Cronbach Alpha sebesar 0.640 untuk Subjective happiness scale dan untuk alat ukur SWLS didapatkan nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar 0.760. Menurut Nunnally (1996), nilai minimum reliabilitas adalah sebesar 0,6 yang berarti, nilai di atas 0,6 merupakan nilai reliabilitas yang baik. Dengan demikian, Subjective happiness scale dan SWLS merupakan alat ukur yang reliabel. Sedangkan untuk uji validitas dilakukan dengan correlation with other tests. Tes yang digunakan untuk menguji validitasnya adalah tes Inventori Karkteristik Aktualisasi Diri (IKAD) dan Beck Depression Inventory (BDI). Alat tes IKAD dipilih karena terdapat teori yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat aktualisasi seseorang, maka semakin bahagia dan puas orang tersebut (Eddington & Shuman, 2005). Sedangkan, alat ukur BDI digunakan karena teori yang mengatakan bahwa semakin bahagia dan puas diri seseorang, maka semakin jarang afek negatif yang dirasakan (Diener, dkk., 2003). Oleh karena itu diharapkan korelasi yang didapatkan adalah korelasi postif antara skor Subjective happiness scale dan skor SWLS dengan skor IKAD, serta korelasi negatif dengan skor BDI. Adapun hasil yang didapatkan adalah koefisien korelasi antara skor Subjective happiness scale dengan skor IKAD sebesar 0.310 dengan signifikansi pada LoS 0.05 (p= 0.003) dan koefisien korelasi antara skor Subjective happiness scale dengan skor BDI. sebesar -0,318 dengan signifikansi pada LoS 0.05 (p= 0,002). Uji validitas terhadap alat ukur SWLS dengan BDI didapatkan hasil sebesar -0,399 dengan signifikansi pada LoS 0.05 (p= 0,000) dan koefisien korelasi antara skor SWLS dengan skor IKAD sebesar 0.368 dengan signifikansi pada LoS 0.05 (p=0.006). Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa SWLS dan Subjective happiness scale berkorelasi positif dengan IKAD dan

Universitas Indonesia

37 berkorelasi negatif dengan BDI. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa SWLS dapat secara tepat mengukur konstruk kepuasan hidup dan subjective happiness scale dapat secara tepat mengukur konstruk kebahagiaan subjektif. Untuk hasil analisis item, didapatkan hasil bahwa seluruh item memperoleh koefisien corrected item-total correlation lebih dari 0,2. Hal ini berarti seluruh item pada alat ukur ini telah memiliki daya beda item yang baik, yang menunjukan bahwa seluruh item sudah dapat membedakan individu dengan dengan atribut yang tinggi dengan individu dengan atribut yang rendah. 4.3 Partisipan Penelitian 4.3.1 Kriteria Partisipan Populasi dari penelitian ini adalah penduduk kota DKI Jakarta yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Berusia di atas 18 tahun Rentang usia dewasa dipilih karena dianggap telah melewati konflik identity versus identity confusion, sehingga dapat mengevaluasi diri dengan lebih mantap (Miller, 1993). b. Tingkat Sosial Ekonomi Menengah keatas dengan pengeluaran keluarga lebih dari tiga juta rupiah perbulannya (berdasarkan kriteria kelas menengah dari Harinowo, Bury, OBoyle, 2008). Karakterisitik kelas menengah dipilih karena orang yang berada pada kelas menengah dianggap sudah memenuhi kebutuhan dasar physiological dan safety pada teori hirarki kebutuhan Maslow. Ketika kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi, maka kebahagiaan individu cenderung dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya materialistis (seperti uang untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan) (Izawa, 2005). c. Pendidikan minimal SMU Pendidikan minimal SMU dipilih dengan harapan bahwa individu yang telah mengemban pendidikan tersebut lebih memiliki pemahaman

Universitas Indonesia

38 mengenai berbagai hal, termasuk memahami dan mengisi kuesioner yang berupa self-repport. d. Berdomisili di wilayah DKI Jakarta: Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan terkait dengan perbandingan masing-masing kondisi di kelima Kotamdya DKI Jakarta. 4.3.2 Teknik Pemilihan Partisipan Sampel diambil dari 150 rumah yang tersebar di kelima Kotamadya DKI Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan termasuk dalam nonprobability sampling di mana seluruh individu di dalam populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Kerlinger dan Lee, 2000). Hal ini dilakukan karena besarnya jumlah populasi masyarakat Jakarta, sehingga sampel yang dapat menjadi partisipan dalam penelitian ini hanya yang dapat dijangkau oleh peneliti saja. Jenis non-probability sampling yang dipilih dalam penelitian ini adalah accidental sampling, dimana pemilihan partisipan didasarkan pada ketersediaan dan kemudahan dalam mengakses populasi partisipan penelitian (Kumar, 1999). Kelebihan teknik sampling ini yaitu, teknik tersebut merupakan cara yang lebih murah dalam menyeleksi partisipan dan menjamin didapatkannya karakteristik partisipan yang dibutuhkan (Kumar, 1999). Sementara itu, kelemahannya adalah hasil yang diperoleh dari partisipan penelitian tidak dapat digeneralisir pada populasi secara keseluruhan, dan orang yang paling mudah dijangkau mungkin tidak benar-benar representatif untuk populasi (Kumar, 1999). 4.3.3 Jumlah Partisipan Kerlinger dan Lee (2000) menyatakan bahwa semakin besar jumlah sampel yang digunakan, maka kesalahan (error) statistik yang terjadi akan lebih kecil. Tidak disebutkan dengan jelas berapa jumlah minimal dari sampel, namun Kerlinger & Lee (2000) menyatakan bahwa paling tidak terdapat 30 sampel atau lebih yang didapatkan untuk memperkecil bahaya ketidakrepresentasian sampel. Oleh karena itu, peneliti menyebarkan kuesioner dalam jumlah yang banyak. Secara keseluruhan, jumlah partisipan yang diharapkan memenuhi kriteria yang telah ditentukan dalam penelitian ini adalah sekitar 150 partisipan dengan

Universitas Indonesia

39 perkiraan 30 partisipan per masing-masing lima wilayah di DKI Jakarta. Jumlah ini telah memenuhi batas minimum yang dapat menyebabkan penyebaran data mendekati penyebaran normal, yaitu tiga puluh orang sampel (Guilford & Fructher, 1981). 4.4. Metode Pengolahan Data Dalam mengoleh data mentah yang diperoleh dari hasil alat ukur, peneliti melakukan pengolah data dengan beberapa metode, yaitu: 1. Metode Analisis deskriptif Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik yang digunakan untuk merangkum, mengorganisasi, dan menyederhanakan data (Gravetter & Wallnau, 2007). Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui frekuensi; persentase, mean, skor maksimum partisipan, skor minimum partisipan, dan standard deviation. Hasil tersebut digunakan untuk memberikan gambaran data demografi dari responden. Untuk data yang sifatnya nominal, hanya dilakukan perhitungan frekuensi dan persentase. Sementara untuk data yang sifatnya numerik, dilakukan perhitungan mean, skor maksimum dan minimum partisipan, serta standard deviation. Agar frekuensi dari data numerik yang didapatkan lebih ringkas untuk dilihat, peneliti mengklasifikasikan data yang ada menjadi beberapa kelompok. Klasifikasi data dilakukan dengan cara meng-coding data yang ada. 2. Pearson Correlation Perhitungan dengan menggunakan metode korelasi Pearson digunakan untuk melihat apakah ada hubungan antara dua variabel. Dalam penelitian ini hubungan antara skor total Subjective Happiness Scale dan skor total SWLS. Selanjutnya, peneliti akan melihat signifikansi (p) dari hasil korelasi yang didapat dengan melakukan penghitungan korelasi pada SPSS 11.0. Apabila p pada tabel sama dengan atau lebih kecil dari 0.05, maka dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut berhubungan secara signifikan pada los 0.05. 3. Analysis Of Variance (ANOVA)

Universitas Indonesia

40 Dalam penelitian ini digunakan perhitungan statistik anova satu arah. Perhitungan dengan menggunakan anova satu arah digunakan untuk melihat perbandingan skor nilai rata-rata (mean) diantara 2 kelompok atau lebih (Cohen, 1988). Perhitungan anova digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perbandingan mean dari Subjective Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale (SWLS). Dalam anova harus terdapat satu variabel bebas yang memiliki banyak tingkatan. Dalam hal ini variabel bebasnya adalah wilayah di Jakarta dengan perbedaan tingkatan yang dimaksud adalah kelima wilayahnya (Jakarta Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Pusat). Sedangkan variabel terikatnya harus berupa data kontinu, yang dalam peneltian ini adalah skor dari Subjective Happiness Scale dan SWLS. Dari hasil perhitungan, peneliti melihat signifikansi (p) dari nilai F yang didapatkan, yang selanjutnya dapat diketahui apakah terdapat perbedaan mean dari kelompok-kelompok tersebut. 4. Multiple Regression Teknik perhitungan statistik Multiple Regression digunakan untuk melihat hubungan antara satu variabel terikat dengan data kontinu dengan sejumlah variabel bebas atau prediktor (Cohen&Cohen, 1983). Dengan Multiple Regression dapat diketahui sejauh mana sebuah variabel mampu memprediksikan hasil tertentu dan juga berfungsi untuk mengetahui variabel mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil. Dalam penelitian ini, perhitungan menggunakan Multiple Regression digunakan untuk melihat faktor-faktor mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil skor Subjective Happiness Scale dan SWLS. 4.5 Data Kontrol Pada data partisipan, peneliti memuat pertanyaan-pertanyaan untuk mengontrol partisipan penelitian berdasarkan karakteristik yang sudah ditetapkan sebelumnya dan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai demografi partisipan penelitian secara jelas. Terdapat dua data yang akan diisi oleh partisipan, yaitu data keluarga dan data individu. Untuk data keluarga, peneliti akan memberikan satu lembar isian data keluarga pada satu rumah. Oleh karena

Universitas Indonesia

41 itu, data keluarga hanya akan diisi oleh satu partisipan saja dalam satu rumah. Data keluarga tersebut berisikan jumlah anggota keluarga, sumber penghasilan keluarga, jumlah pengeluaran rutin perbulan, dan jumlah pengeluaran tidak rutin perbulan. Sementara untuk data individu, masing-masing partisipan penelitian akan diminta untuk mengisi data individu yang diberikan. Pada lembar isian data individu berisi beberapa pertanyaan, yaitu: tanggal lahir untuk mengetahui usia, jenis kelamin, status pernikahan, kedudukan dalam keluarga, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan penghasilan perbulan. Khusus untuk pengeluaran per bulan, pengkategorisasiannya didasarkan pada pembagian Status Sosial Ekonomi ( SocioEconomic Status) menurut Harinowo, Bury, OBoyle (2008). Kesemua hal tersebut digunakan untuk melihat gambaran demografi dari populasi yang dituju. 4.6. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu, tahap persiapan, pelaksanaan, dan akhir.

4.6.1. Tahap Persiapan Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan antara lain : Tahap persiapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan topik atau permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian. 2. Mencari informasi mengenai fenomena yang akan diteliti melalui studi kepustakaan serta internet. 3. Merumuskan permasalahan penelitian. 4. Merumuskan hipotesis penelitian. 5. Mengadaptasi alat ukur 6. Memperbanyak jumlah alat ukur yang berupa kuesioner subjective happiness scale dan satisfaction with life scale yang akan disebarkan pada partisipan penelitian.

Universitas Indonesia

42 7. Melakukan pelatihan pengambilan data pada lingkungan sekitar tempat tinggal peneliti. 8. Memilih dan membeli reward yang akan diberikan pada partisipan penelitian sebagai ucapan tanda terima kasih. 9. Membuat dan mengurus surat perizinan dari pihak Fakultas yang dilanjutkan kepada pengurus RT/RW dari sembilan wilayah Jabodetabek untuk melakukan pengambilan data wilayah tersebut.

4.6.2. Tahap Pelaksanaan Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan antara lain : 1. Melakukan pengambilan data Pengambilan data dilakukan dilakukan pada rentang waktu tanggal 27 Maret 2009 hingga 17 April 2009 dengan metode survei, yaitu household survei. Peneliti memilih 30 rumah dari lima daerah di Jakarta yang telah mendapatkan izin dari pengurus RT/RW. Wilayah yang dipilih adalah daerah tempat tinggal masing-masing peneliti yang tergabung dalam payung penelitian Kebahagiaan dan Kualitas Hidup Masyarakat Jakarta. Namun demikian peneliti tidak boleh mengambil data di daerah tempat tinggalnya sendiri. Hal ini merupakan upaya untuk menghidari bias dan subjektivitas peneliti dengan orang-orang yang dikenalnya. Di setiap rumah, data diambil dari seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut yang memenuhi karakteristik subjek penelitian. Kuesioner yang diberikan disesuaikan dengan jumlah partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya dan bersedia untuk mengisi kuesioner tersebut. Pada masing-masing rumah yang diberikan kuesioner, peneliti juga meminta mereka untuk mengisi satu lembar isian data keluarga. 2. Mengumpulkan dan menyiapkan data untuk diolah. Peneliti melakukan pengumpulan data kuesioner yang sebelumnya ditinggal di masing-masing rumah partisipan. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data dan isian dari kuesioner yang telah dikembalikan. Apabila

Universitas Indonesia

43 ada data yang tidak lengkap dan tidak sesuai dengan kriteria karakteristik partisipan yang telah ditentukan sebelumnya, maka data tersebut akan dipisahkan oleh peneliti. 3. Melakukan proses entry data dan pengecekan kembali antara data yang tertulis di lembar kuesioner dengan data yang telah dimasukkan ke dalam software di komputer. Peneliti mendapatkan bantuan dari rekan peneliti untuk memeriksa kembali kesesuaian data pada setiap data kuesioner kelima.

4.6.3. Tahap Akhir Hal-hal yang dilakukan dalam tahap akhir antara lain : 1. Melakukan pemilihan data Peneliti memilih data-data yang diolah sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti pada penelitian ini. 2. Melakukan skoring terhadap data dari alat ukur. 3. Menginterpretasikan hasil analisis statistik berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang telah disusun sebelumnya. 4. Melakukan analisa dan pembahasan berdasarkan data yang diperoleh. 5. Menarik kesimpulan. 6. Mengajukan saran tindak lanjut. 7. Menyusun dan melakukan perbaikan terhadap laporan penelitian.

Universitas Indonesia

44 BAB 5 HASIL DAN ANALISIS Dari sejumlah kuesioner yang disebarkan pada responden yang berdomisili di lima wilayah di DKI Jakarta, terkumpul sebanyak 307 kuesioner. Adapun penyebaran kuesioner pada masing-masing wilayah adalah: Jakarta Utara 74 responden, Jakarta Timur 53 responden, Jakarta Selatang 64 responden, Jakarta Barat 59 responden, dan Jakarta Pusat 57 responden. 5.1. Gambaran Umum Subjek Berikut ini adalah uraian gambaran umum subjek berdasarkan faktorfaktor demografi. Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa subjek yang terbanyak pada masing-masing kategori adalah berjenis kelamin perempuan, berusia 21-25, status sudah menikah, memiliki pendidikan terkahir S1, memiliki pekerjaan swasta, dan tidak menuliskan jumlah penghasilan. Tabel 5.1 Frekuensi Subjek Berdasarkan Demografi Utara Jenis KelaminLaki-Laki 41 Perempuan 33 Usia 20 9 21-25 23 26-30 7 31-35 2 36-40 2 41-45 3 46-50 8 51-55 14 56-60 5 60 1 Status Pernikahan Lajang 37 Menikah 33 Bercerai 2 Meninggal 2

Timur20 33 1 11 6 4 1 5 3 4 9 9 21 26 1 5

Selatan23 41 5 20 8 6 1 7 6 2 9 0 29 34 1 0

Barat24 35 6 8 10 5 1 0 5 10 5 9 20 39 0 0

Pusat25 32 5 12 5 4 7 5 8 6 1 4 26 29 0 2

Total133 174 26 74 36 21 12 20 30 36 29 23 133 161 4 9

%43.3 56.7 8,5 24,1 11,7 6,8 3,9 6,5 9,8 11,7 9,4 7,5 43,3 52,4 1,3 2,9

Universitas Indonesia

45Pendidikan SMA D3 S1 S2 S3 D1 Pekerjaan Negeri Swasta BHMN Honorer Wiraswasta IRT Tdk Kerja Pelajar Pensiunan Profesional Penghasilan Tidak diisi < 1.000.000 1.000.0012.500.000 2.500.0015.000.000 5.000.0017.500.000 7.500.00110.000.001 >10.000.000 33 6 31 3 0 1 0 20 2 0 16 6 6 22 1 1 11 14 7 16 10 7 9 17 10 22 3 1 0 2 15 1 1 3 10 2 10 8 1 17 5 7 12 6 3 3 22 7 29 4 1 1 6 16 0 2 6 10 2 18 1 3 29 2 8 10 6 4 5 8 7 37 7 0 0 7 18 0 1 4 10 0 12 5 2 3 18 9 9 6 5 9 15 4 28 9 0 1 5 17 2 4 6 8 0 10 5 0 9 8 10 12 4 4 10 95 34 147 26 2 3 20 86 5 8 35 44 10 72 20 7 69 47 41 59 32 23 36 30,9 11,1 47,9 8,5 0,7 1,0 6,5 28,0 1,6 2,6 11,4 14,3 3,3 23,5 6,5 2,3 22,5 15,3 13,4 19,2 10,4 7,5 11,7

5.2. Gambaran Kebahagiaan Subjektif Subjek Interpretasi terhadap skor kebahagiaan yang diperoleh dari alat ukur Subjective happiness scale adalah dengan melihat skor total dari individu dan membandingkannya pada kontinum respon jawaban. Kontinum respon jawaban pada Subjective happiness scale terentang dari: (1) sangat tidak bahagia, sampai dengan (6) sangat bahagia. Berdasarkan hal tersebut, norma yang dibuat peneliti untuk menginterpretasi skor yang diperoleh sebagai berikut:

Universitas Indonesia

46 Tabel 5.2 Norma Subjective happiness scale Skor Total Subjective happiness scale Skor 1,0-2,0 Skor 2,1-3,0 Skor 3,1-4,0 Skor 4,1-5,0 Skor 5,1-6,0 Interpretasi Sangat Tidak Bahagia Tidak Bahagia Netral Bahagia Sangat Bahagia

Berdasarkan norma yang telah dibuat, maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 5.3 Frekuensi Kebahagiaan Subjektif Subjek Utara Sangat Tidak Bahagia Tidak Bahagia Netral Bahagia Sangat Bahagia 1 2 9 40 22 Timur Selatan Barat Pusat 0 2 9 31 1115 0 1 14 34 12 0 0 9 38 10 0 1 13 33 70 Total %

1 0,3 6 2,0 54 17,6 176 57,3 22,8

Berdasarkan tabel 5.7 di atas, sebagian besar subjek (N=176) memandang diri mereka sebagai orang yang bahagia berdasarkan norma yang telah dibuat oleh peneliti. Sedangkan jika dilihat nilai rata-rata skor kebahagiaan subjektif dari masing-masing wilayah sesuai dengan norma yang dibuat, maka hasilnya adalah: Tabel 5.4 Mean Skor Kebahagiaan Subjekif per Wilayah Mean Jakarta Utara Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Pusat Total Mean 4.7196 4.7148 4.7119 4.6132 4.5789 4.6726 Keterangan Bahagia Bahagia Bahagia Bahagia Bahagia Bahagia

Berdasarkan tabel di atas, wilayah yang memiliki nilai rata-rata tertinggi dari skor kebahagiaan subjektif adalah wilayah Jakarta utara dengan mean sebesar

Universitas Indonesia

47 4.7196 dan wilayah yang memiliki nilai rata-rata terkecil adalah wilayah Jakarta Pusat dengan mean 4.5789. Namun demikian kelima wilayah tersebut dapat digolongkan kedalam kelompok norma Bahagia, yang berarti bahwa sebagian besar sampel menganggap diri mereka sebagai orang yang bahagia. Total nilai rata-rata kelima wilayah di Jakarta dengan nilai 4.6726 menunjukan bahwa 307 responden yang mengikuti penelitian ini memandang diri mereka sebagai orang yang bahagia. 5.3. Gambaran Kepuasan Hidup Subjek Interpretasi terhadap skor kepuasan hidup yang diperoleh dari alat ukur Satisfaction with life scale (SWLS) adalah dengan melihat skor total dari individu dan membandingkannya pada kontinum respon jawaban. Kontinum respon jawaban pada SWLS terentang dari: (1) sangat tidak sesuai, sampai dengan (6) sangat sesuai. Berdasarkan hal tersebut, norma yang dibuat peneliti untuk menginterpretasi skor yang diperoleh sebagai berikut: Tabel 5.5 Norma Satisfaction with life scale Skor Total Satisfaction with life scale Skor 1,0-2,0 Skor 2,1-3,0 Skor 3,1-4,0 Skor 4,1-5,0 Skor 5,1-6,0 Interpretasi Sangat Tidak Puas Tidak Puas Netral Puas Sangat Puas

Berdasarkan norma yang telah dibuat, maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 5.6 Gambaran Kepuasan Hidup Subjek Utara Sangat Tidak Puas Tidak Puas Netral Puas Sangat Puas 0 3 7 30 34 Timur Selatan Barat Pusat 0 1 12 33 7 0 2 13 32 17 0 0 7 41 11 0 1 17 31 8 Total 0 7 56 167 77 % 0 2,3 18,2 54,4 25,1

Universitas Indonesia

48 Berdasarkan tabel 5.9 di atas, sebagian besar subjek (N=167) merasa puas dengan hidupnya berdasarkan norma yang telah dibuat oleh peneliti. Sedangkan jika dilihat nilai rata-rata skor SWLS dari masing-masing wilayah sesuai dengan norma yang dibuat, maka hasilnya adalah: Tabel 5.7 Mean Skor SWLS per Wilayah Mean Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Total Mean 4.0811 4.0508 3.9844 3.9623 3.9123 4.0033 Keterangan Puas Puas Netral Netral Netral Puas

Berdasarkan tabel di atas, wilayah yang memiliki nilai rata-rata tertinggi dari skor SWLS adalah wilayah Jakarta utara dengan mean sebesar 4.0811 dan wilayah yang memiliki nilai rata-rata terkecil adalah wilayah Jakarta Pusat dengan mean 3.9123. Namun demikian, mengacu pada norma di atas, kelima wilayah tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok Puas. Artinya sebagian besar sampel menganggap diri mereka sebagai orang yang puas dengan kehidupannya. Total nilai rata-rata kelima wilayah di Jakarta dengan nilai 4.0033 menunjukan bahwa 307 responden yang mengikuti penelitian ini mereka sebagai orang yang puas dengan kehidupannya. 5.4 Gambaran Perbandingan Kebahagiaan Subjek Antar Wilayah Dalam analisis ini, peneliti menggunakan teknik perhitungan statistik ANOVA satu arah untuk melihat perbandingan nilai rata-rata kebahagiaan subjektif antar kelompok berdasarkan wilayah. Hasil perhitungan statistik tersebut akan ditunjukan pada tabel berikut ini:

Universitas Indonesia

49 Tabel 5.8 Perbandingan Kebahagiaan Subjektif Berdasarkan Wilayah F .520 Signifikansi .721 Keterangan Tidak Signifikan

Berdasarkan perhitungan anova skor kebahagiaan dengan membandingan nilai rata-rata yang diperoleh dari lima kelompok subjek berdasarkan wilayah pada LoS 0.05, diperoleh hasil nilai F sebesar 0.520 dengan nilai signifikansi sebesar 0.721. Nilai signifikansi t