bab viyes.doc

26
BAB VI BERBAGI INFORMASI 6.1. Pemeriksaan darah pada tuberculosis Kelainan hematologi pada seorang penderita tuberkulosis dapat disebabkan karena proses infeksi tuberkulosis, efek samping OAT atau kelainan dasar hematologis yang sudah ada sebelumnya. Tuberkulosis dapat memberikan kelainan-kelainan hematologi yang sangat bervariasi dan dapat mengenai seri eritrosit , lekosit , trombosit serta gangguan pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001) 1) Eritrosit Menurun (anemia) , disebabkan karena : a. Anemi penyakit kronis b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan pemakaian folat c. Efisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum d. Anemia hemolisis autotoimun e. Anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6 f. Fibrosis sumsum tulang g. Aplasi sumsum tulang h. Infiltrasi amiloid pada sumsum tulang i. Hipersplenisme Meningkat (polisitemi) , disebabkan karena :

Upload: anisetiyowati

Post on 29-Jan-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VIyes.doc

BAB VI

BERBAGI INFORMASI

6.1. Pemeriksaan darah pada tuberculosis

Kelainan hematologi pada seorang penderita tuberkulosis dapat disebabkan karena

proses infeksi tuberkulosis, efek samping OAT atau kelainan dasar hematologis yang

sudah ada sebelumnya. Tuberkulosis dapat memberikan kelainan-kelainan hematologi

yang sangat bervariasi dan dapat mengenai seri eritrosit , lekosit , trombosit serta

gangguan pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)

1) Eritrosit

Menurun (anemia) , disebabkan karena :

a. Anemi penyakit kronis

b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan

pemakaian folat

c. Efisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum

d. Anemia hemolisis autotoimun

e. Anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6

f. Fibrosis sumsum tulang

g. Aplasi sumsum tulang

h. Infiltrasi amiloid pada sumsum tulang

i. Hipersplenisme

Meningkat (polisitemi) , disebabkan karena :

a. Tuberculosis ginjal menyebabkan penaingkatan eritropoietin (Lichtman

A, 2001)

Anemia hemolitik

Tuberkulosis dapat menimbulkan anemi hemolitik auotoimun yang

bersifat sementara dan reaksi tes Coombs postitif. Anemia hemolitik berat

kadangkadang didapatkan pada tuberkulosis, beberapa di antaranya didapatkan

pada tuberkulosis milier atau tuberkulosis limpa.

Anemia sideroblastik

Page 2: BAB VIyes.doc

Gangguan metabolisme B6 dapat menimbulkan anemi sideroblastik dengan

pembentukan sel sideroblast bercincin. Pemberian isoniazid, sikloserin atau pirazinamide

dapat mencetuskan terjadinya anemi sideroblastik. (Lichtman A, 2001)

Polisitemia

Polisitemi ditemukan pada 8% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke sumsum

tulang

2) Trombosit

Menurun, disebabkan karena :

a. Mekanisme imunologis

b. Koagulasi intravaskuler diseminata

c. Fibrosis sumsum tulang

d. Aplasia sumsum tulang

e. Hipersplenisme

Meningkat, disebabkan karena :

a. Reaksi fase akut

Trombositosis

Trombositosis adalah jumlah trombosit di atas 450000/mm3. Pada

tuberkulosis dapat terjadi trombositosis reaktif, kadang-kadang melebihi

1.000.000/mm3. (Lichtman A, 2001)

Trombositopeni

Trombositopeni adalah jumlah trombosit di bawah 100000/mm3.

Trombositopeni ditemukan pada 52 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis

pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)

3) Limfosit

Menurun, karena :

a. Infeksi tuberculosis

Meningkat, karena :

a. Respon inflamasi

4) Leukosit

Leukositosis

Page 3: BAB VIyes.doc

5) Netrofilia

Netrofilia adalah peningkatan jumlah netrofil di atas 6000/mm3.

Netrofilia ditemukan pada 20 % penderita tuberculosis dengan infiltrasi ke

sumsum tulang. Netrofilia disebabkan karena reaksi imunologis dengan

mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan.

Pada infeksi tuberkulosis yang berat atau tuberkulosis milier , dapat

ditemukan peningkatan jumlah netrofil dengan pergeseran ke kiri dan granula

toksik (reaksi lekemoid)

6) Eosinofilia

Eosinofili adalah peningkatan jumlah eosinofil di atas 700/mm3.

Tuberkulosis dapat menimbulkan sindroma PIE (Pulmonary Infiltration with

Eosinophilia) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, demam ,berkeringat,

malaise dan eosinofili.

7) Basofilia

Basofili adalah peningkatan jumlah basofil di atas 150/mm3. Merupakan

respon terhadap inflamasi serta menunjukkan kemungkinan adanya kelainan

dasar penyakit mieloproliferatif.

8) Monositosis

Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit di atas 950/mm3.

Monosit berperan penting dalan respon imun pada infeksi tuberkulosis.

Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri tuberkulosis. Monosit

merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan

tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis dalam darah.

Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran tuberkulosis.

Adanya monositosis menunjukkan prognosis yang kurang baik. (Lichtman A,

2001)

9) Limfositosis

Limfositosis adalah peningkatan jumlah limfosit di atas 4000/mm3.

Limfositosis merupakan respon imun normal di dalam darah dan jaringan

limfoid terhadap tuberkulosis . Limfositosis menunjukkan proses

penyembuhan tuberculosis

Page 4: BAB VIyes.doc

Leukopeni

Lekopeni adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4000/mm3. Pada

umumnya lekopeni disebabkan karena penurunan jumlah netrofil (netropeni).

Infeksi mikobakterium tuberculosis dapat menimbulkan pansitopeni (anemi,

lekopeni, trombositopenia.

Netropeni

Netropeni adalah penurunan netrofil di bawah 2000 /mm3. Netropeni

biasanya merupakan bagian dari anemi dan disebabkan karena fibrosis atau

disfungsi sumsum tulang atau sekuestrasi di limpa. Defisiensi folat dan vitamin

B12 dapat menyebabkan netropeni.

Limfopeni

Limfopeni adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500 /mm3.

Limfopeni menunjukkan proses tuberculosis aktif. Tuberkulosis yang aktif

menyebabkan penurunan total limfosit T sebagai akibat penurunan sel T4.

Limfopeni ditemukan pada 100 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis pada

sumsum tulang .

Monositopeni

Monositopeni adalah penurunan jumlah monosit di bawah 200/mm3.

Monositosis ditemukan pada 40% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke

sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)

6.2. Gambaran radiologis tuberculosis

Foto toraks menunjukkan gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan serta

gambaran sarang tawon di apeks paru kiri. Gambaran radiologis beranekaragam ini semakin

menguatkan diagnosis tuberkulosis, namun untuk memastikan diagnosis melalui gambaran

radiologis selain gambaran posterior anterior dan lateral seharusnya dilakukan foto toraks

top lordotik, oblik, dan tomografi dengan densitas keras karena masing-masing gambaran

yang beranekaragam ini menggambarkan juga proses penyakit lain seperti kavitas pada

abses paru dan infiltrat pada kanker paru. (Zulkifli, 2006)

Page 5: BAB VIyes.doc

Sedangkan gambaran radiologis pada pasien skenario kemungkinan dimulai dengan

proses TB primer dimulai di paru kanan yang membuat banyak lesi dan kavitas sehingga

memungkinkan relaps menjadi TB pascaprimer yang menyebar ke paru kiri serta akibat

terbentuknya banyak kavitas menyebabkan juga bronkiektasis di apeks paru kiri karena

tingginya tekanan oksigen di daerah tersebut dibandingkan daerah lain membuat kuman

tumbuh dengan baik.

Pemeriksaan radiologis seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir tidak dapat

membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena hampir semua manifestasi TB

dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya. (Price, 2006)

Secara patologis, manifestasi TB paru biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah

bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen

superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat

homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas

dan gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral. Ketidaknormalan apapun

pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan adanya penyakit TB.

Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB dapat memiliki foto dada yang

normal. (CDC, 2000)

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk

menentukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih

dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal memberikan keuntungan

seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis

dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum

hampir selalu negatif.

Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau

segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau

daerah hillus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis endokondrial).

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran

radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila

lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang

tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberculoma.

Page 6: BAB VIyes.doc

Gambar 1 : Bayangan berawan pada lapang paru

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama

dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang

bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan

densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang

dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

Gambar 2 : Cavitas pada apex paru dextra

Page 7: BAB VIyes.doc

Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya

tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

Gambar 3 : Gambaran TB milier

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan

pleura /(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan

hitam radio-lusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks).

Gambar 4 : Gambaran efusi pleura pada cavum pleura sinistra

Page 8: BAB VIyes.doc

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus

(pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,

kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.

Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran

radiologis sehingga dikatakan tuberculosis is the great imitator. Gambaran infiltrasi dan

tuberculoma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau

karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping

itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam mebaca foto. Faktor kesalahan ini dapat

mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnosisd radiologi sering dilakukan juga foto

dengan proyeksi densitas keras.

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas

penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-

aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas,

schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,

yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oelh tuberculosis.

Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan mengalami pembedahan paru.

Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak

dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).

Pemeriksaan ini lebih superior dibanding lebih superior dibanding radiologis biasa.

Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.

Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging

(MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-

proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat

transversal, sagital dan koronal. (Amin, 2007)

6.3. Komplikasi tuberculosis

Menurut PDPI (2006) komplikasi tuberculosis adalah :

a) Batuk darah

Page 9: BAB VIyes.doc

b) Pneumotorax

c) Luluh paru

d) Gagal napas

e) Gagal jantung

f) Efusi pleura

6.4. Penatalaksanaan Tuberculosis

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti

infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas

tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah

resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid (H), Etambutol (E), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), dan Streptomisin (S). (PDPI, 2006)

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-

prinsip yang dipakai yaitu :

a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan

dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis

tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya

kekebalan terhadap OAT.

b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan

dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan :

a) Tahap Intensif ƒ

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. ƒ

Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan.

b) Tahap Lanjutan

Page 10: BAB VIyes.doc

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama ƒ Tahap lanjutan penting

untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan

Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB

oleh Pemerintah Indonesia :

(PDPI,

2006)

1) KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian

diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu

selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk :

a. Penderita baru TB Paru BTA Positif

b. Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”

c. Penderita TB Ekstra Paru berat

Page 11: BAB VIyes.doc
Page 12: BAB VIyes.doc

(PDPI, 2006)

2) KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES

setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan

tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah

diobati, yaitu :

a. Penderita kambuh (relaps)

b. Penderita gagal (failure)

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

Page 13: BAB VIyes.doc

(PDPI, 2006)

3) KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu. Obat ini diberikan untuk :

a. Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan

b. Penderita TB ekstra paru ringan

Page 14: BAB VIyes.doc

\

Page 15: BAB VIyes.doc

(PDPI, 2006)

4) OAT SISIPAN (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama

1 bulan. Paduan OAT sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg yaitu

1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3

tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas

dalam 1 dos kecil.

OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI TETAP

Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose

Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu rejimen

dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4

campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC

karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam

bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.

Keuntungan penggunaan OAT FDC yaitu :

a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu

kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan

penderita

b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah

pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat

meningkatkan kepatuhan penderita.

Page 16: BAB VIyes.doc

c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita

tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.

d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah

pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya.

PERHATIAN KHUSUS UNTUK PENGOBATAN

Beberapa kondisi berikut ini perlu perhatian khusus yaitu :

a. Wanita hamil Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita

hamil tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya.

Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin

Page 17: BAB VIyes.doc

karena dapat menembus barier placenta dan dapat menyebabkan

permanent ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya

gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada

janin tersebut. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa

keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses

kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya

terhindar dari kemungkinan penularan TB. (PDPI, 2006)

b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya paduan pengobatan TB

pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada

umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang

ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT

secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik

untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan

bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusu.

Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan kepada bayi

tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG

diberikan setelah pengobatan pencegahan. (PDPI, 2006)

c. Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi. Rifampisin

berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,

susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi

tersebut. Seorang wanita penderita TB seyogyanya mengggunakan

kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung

estrogen dosis tinggi (50 mcg). (PDPI, 2006)

d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS Prosedur pengobatan TB

pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti

penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama

efektifnya. (PDPI, 2006)

e. Penderita TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita

TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai

Page 18: BAB VIyes.doc

hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana

pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3

bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan RH

selama 6 bulan, bila hepatitisnya tidak menyembuh seharus

dilanjutkan sampai 12 bulan. (PDPI, 2006)

f. Penderita TB dengan penyakit hati kronik Bila ada kecurigaan

gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum

pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3

kali OAT harus dihentikan. Pirazinamid (Z) tidak boleh

digunakan. Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah

2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE. (PDPI, 2006)

g. Penderita TB dengan gangguan ginjal Isoniazid, Rifampisin dan

Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-

penderita dengan gangguan ginjal. Hindari penggunaan

Streptomisin dan Etambutol kecuali dapat dilakukan pengawasan

fungsi ginjal dan dengan dosis diturunkan atau interval pemberian

yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita

dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR. (PDPI, 2006)

h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus Diabetesnya harus

dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan

mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)

sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan

penggunaan etambutol, karena mempunyai komplikasi terhadap

mata. (PDPI, 2006)

EFEK SAMPING

1) Efek samping ringan

Page 19: BAB VIyes.doc

(PDPI, 2006)

2) Efek samping berat

Page 20: BAB VIyes.doc

(PDPI, 2006)