bab viyes.doc
TRANSCRIPT
BAB VI
BERBAGI INFORMASI
6.1. Pemeriksaan darah pada tuberculosis
Kelainan hematologi pada seorang penderita tuberkulosis dapat disebabkan karena
proses infeksi tuberkulosis, efek samping OAT atau kelainan dasar hematologis yang
sudah ada sebelumnya. Tuberkulosis dapat memberikan kelainan-kelainan hematologi
yang sangat bervariasi dan dapat mengenai seri eritrosit , lekosit , trombosit serta
gangguan pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)
1) Eritrosit
Menurun (anemia) , disebabkan karena :
a. Anemi penyakit kronis
b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan
pemakaian folat
c. Efisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum
d. Anemia hemolisis autotoimun
e. Anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6
f. Fibrosis sumsum tulang
g. Aplasi sumsum tulang
h. Infiltrasi amiloid pada sumsum tulang
i. Hipersplenisme
Meningkat (polisitemi) , disebabkan karena :
a. Tuberculosis ginjal menyebabkan penaingkatan eritropoietin (Lichtman
A, 2001)
Anemia hemolitik
Tuberkulosis dapat menimbulkan anemi hemolitik auotoimun yang
bersifat sementara dan reaksi tes Coombs postitif. Anemia hemolitik berat
kadangkadang didapatkan pada tuberkulosis, beberapa di antaranya didapatkan
pada tuberkulosis milier atau tuberkulosis limpa.
Anemia sideroblastik
Gangguan metabolisme B6 dapat menimbulkan anemi sideroblastik dengan
pembentukan sel sideroblast bercincin. Pemberian isoniazid, sikloserin atau pirazinamide
dapat mencetuskan terjadinya anemi sideroblastik. (Lichtman A, 2001)
Polisitemia
Polisitemi ditemukan pada 8% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke sumsum
tulang
2) Trombosit
Menurun, disebabkan karena :
a. Mekanisme imunologis
b. Koagulasi intravaskuler diseminata
c. Fibrosis sumsum tulang
d. Aplasia sumsum tulang
e. Hipersplenisme
Meningkat, disebabkan karena :
a. Reaksi fase akut
Trombositosis
Trombositosis adalah jumlah trombosit di atas 450000/mm3. Pada
tuberkulosis dapat terjadi trombositosis reaktif, kadang-kadang melebihi
1.000.000/mm3. (Lichtman A, 2001)
Trombositopeni
Trombositopeni adalah jumlah trombosit di bawah 100000/mm3.
Trombositopeni ditemukan pada 52 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis
pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)
3) Limfosit
Menurun, karena :
a. Infeksi tuberculosis
Meningkat, karena :
a. Respon inflamasi
4) Leukosit
Leukositosis
5) Netrofilia
Netrofilia adalah peningkatan jumlah netrofil di atas 6000/mm3.
Netrofilia ditemukan pada 20 % penderita tuberculosis dengan infiltrasi ke
sumsum tulang. Netrofilia disebabkan karena reaksi imunologis dengan
mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan.
Pada infeksi tuberkulosis yang berat atau tuberkulosis milier , dapat
ditemukan peningkatan jumlah netrofil dengan pergeseran ke kiri dan granula
toksik (reaksi lekemoid)
6) Eosinofilia
Eosinofili adalah peningkatan jumlah eosinofil di atas 700/mm3.
Tuberkulosis dapat menimbulkan sindroma PIE (Pulmonary Infiltration with
Eosinophilia) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, demam ,berkeringat,
malaise dan eosinofili.
7) Basofilia
Basofili adalah peningkatan jumlah basofil di atas 150/mm3. Merupakan
respon terhadap inflamasi serta menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
dasar penyakit mieloproliferatif.
8) Monositosis
Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit di atas 950/mm3.
Monosit berperan penting dalan respon imun pada infeksi tuberkulosis.
Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri tuberkulosis. Monosit
merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan
tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis dalam darah.
Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran tuberkulosis.
Adanya monositosis menunjukkan prognosis yang kurang baik. (Lichtman A,
2001)
9) Limfositosis
Limfositosis adalah peningkatan jumlah limfosit di atas 4000/mm3.
Limfositosis merupakan respon imun normal di dalam darah dan jaringan
limfoid terhadap tuberkulosis . Limfositosis menunjukkan proses
penyembuhan tuberculosis
Leukopeni
Lekopeni adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4000/mm3. Pada
umumnya lekopeni disebabkan karena penurunan jumlah netrofil (netropeni).
Infeksi mikobakterium tuberculosis dapat menimbulkan pansitopeni (anemi,
lekopeni, trombositopenia.
Netropeni
Netropeni adalah penurunan netrofil di bawah 2000 /mm3. Netropeni
biasanya merupakan bagian dari anemi dan disebabkan karena fibrosis atau
disfungsi sumsum tulang atau sekuestrasi di limpa. Defisiensi folat dan vitamin
B12 dapat menyebabkan netropeni.
Limfopeni
Limfopeni adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500 /mm3.
Limfopeni menunjukkan proses tuberculosis aktif. Tuberkulosis yang aktif
menyebabkan penurunan total limfosit T sebagai akibat penurunan sel T4.
Limfopeni ditemukan pada 100 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis pada
sumsum tulang .
Monositopeni
Monositopeni adalah penurunan jumlah monosit di bawah 200/mm3.
Monositosis ditemukan pada 40% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke
sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)
6.2. Gambaran radiologis tuberculosis
Foto toraks menunjukkan gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru kanan serta
gambaran sarang tawon di apeks paru kiri. Gambaran radiologis beranekaragam ini semakin
menguatkan diagnosis tuberkulosis, namun untuk memastikan diagnosis melalui gambaran
radiologis selain gambaran posterior anterior dan lateral seharusnya dilakukan foto toraks
top lordotik, oblik, dan tomografi dengan densitas keras karena masing-masing gambaran
yang beranekaragam ini menggambarkan juga proses penyakit lain seperti kavitas pada
abses paru dan infiltrat pada kanker paru. (Zulkifli, 2006)
Sedangkan gambaran radiologis pada pasien skenario kemungkinan dimulai dengan
proses TB primer dimulai di paru kanan yang membuat banyak lesi dan kavitas sehingga
memungkinkan relaps menjadi TB pascaprimer yang menyebar ke paru kiri serta akibat
terbentuknya banyak kavitas menyebabkan juga bronkiektasis di apeks paru kiri karena
tingginya tekanan oksigen di daerah tersebut dibandingkan daerah lain membuat kuman
tumbuh dengan baik.
Pemeriksaan radiologis seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir tidak dapat
membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena hampir semua manifestasi TB
dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya. (Price, 2006)
Secara patologis, manifestasi TB paru biasanya berupa suatu kompleks kelenjar getah
bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen
superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat
homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas
dan gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral. Ketidaknormalan apapun
pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan adanya penyakit TB.
Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan penyakit TB dapat memiliki foto dada yang
normal. (CDC, 2000)
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menentukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal memberikan keuntungan
seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis
dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum
hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau
daerah hillus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis endokondrial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila
lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang
tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberculoma.
Gambar 1 : Bayangan berawan pada lapang paru
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama
dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang
bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambar 2 : Cavitas pada apex paru dextra
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambar 3 : Gambaran TB milier
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan
pleura /(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan
hitam radio-lusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks).
Gambar 4 : Gambaran efusi pleura pada cavum pleura sinistra
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
(pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.
Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran
radiologis sehingga dikatakan tuberculosis is the great imitator. Gambaran infiltrasi dan
tuberculoma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau
karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping
itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam mebaca foto. Faktor kesalahan ini dapat
mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnosisd radiologi sering dilakukan juga foto
dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas
penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-
aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas,
schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oelh tuberculosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan mengalami pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan).
Pemeriksaan ini lebih superior dibanding lebih superior dibanding radiologis biasa.
Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-
proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bisa dibuat
transversal, sagital dan koronal. (Amin, 2007)
6.3. Komplikasi tuberculosis
Menurut PDPI (2006) komplikasi tuberculosis adalah :
a) Batuk darah
b) Pneumotorax
c) Luluh paru
d) Gagal napas
e) Gagal jantung
f) Efusi pleura
6.4. Penatalaksanaan Tuberculosis
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti
infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas
tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah
resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid (H), Etambutol (E), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), dan Streptomisin (S). (PDPI, 2006)
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-
prinsip yang dipakai yaitu :
a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan
dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
kekebalan terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan
dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan :
a) Tahap Intensif ƒ
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. ƒ
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
b) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama ƒ Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB
oleh Pemerintah Indonesia :
(PDPI,
2006)
1) KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu
selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TB Paru BTA Positif
b. Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
c. Penderita TB Ekstra Paru berat
(PDPI, 2006)
2) KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu :
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
(PDPI, 2006)
3) KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan
b. Penderita TB ekstra paru ringan
\
(PDPI, 2006)
4) OAT SISIPAN (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama
1 bulan. Paduan OAT sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg yaitu
1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3
tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas
dalam 1 dos kecil.
OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI TETAP
Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose
Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu rejimen
dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4
campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC
karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam
bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC yaitu :
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita
tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah
pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya.
PERHATIAN KHUSUS UNTUK PENGOBATAN
Beberapa kondisi berikut ini perlu perhatian khusus yaitu :
a. Wanita hamil Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita
hamil tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya.
Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin
karena dapat menembus barier placenta dan dapat menyebabkan
permanent ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada
janin tersebut. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses
kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya
terhindar dari kemungkinan penularan TB. (PDPI, 2006)
b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya paduan pengobatan TB
pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik
untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan
bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusu.
Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG
diberikan setelah pengobatan pencegahan. (PDPI, 2006)
c. Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi. Rifampisin
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang wanita penderita TB seyogyanya mengggunakan
kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg). (PDPI, 2006)
d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS Prosedur pengobatan TB
pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama
efektifnya. (PDPI, 2006)
e. Penderita TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita
TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan RH
selama 6 bulan, bila hepatitisnya tidak menyembuh seharus
dilanjutkan sampai 12 bulan. (PDPI, 2006)
f. Penderita TB dengan penyakit hati kronik Bila ada kecurigaan
gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3
kali OAT harus dihentikan. Pirazinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE. (PDPI, 2006)
g. Penderita TB dengan gangguan ginjal Isoniazid, Rifampisin dan
Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-
penderita dengan gangguan ginjal. Hindari penggunaan
Streptomisin dan Etambutol kecuali dapat dilakukan pengawasan
fungsi ginjal dan dengan dosis diturunkan atau interval pemberian
yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita
dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR. (PDPI, 2006)
h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus Diabetesnya harus
dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan
penggunaan etambutol, karena mempunyai komplikasi terhadap
mata. (PDPI, 2006)
EFEK SAMPING
1) Efek samping ringan
(PDPI, 2006)
2) Efek samping berat
(PDPI, 2006)