bab vii analisis perbandingan usaha tani2

8

Click here to load reader

Upload: miftahol-hidayah

Post on 09-Aug-2015

53 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

EFISIENSI PRODUKSI

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

BAB VII

ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

7.1. Produktivitas Usahatani

Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari

penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran yang

optimal. Maka semakin besar nilai produktivitas yang dicapai, maka usahatani

tersebut semakin efisien. Nilai produktivitas yang tinggi akan berdampak pula

pada tingginya daya saing produk. Untuk mengetahui nilai produktivitas pada

kasus ini, maka dibutuhkan jumlah produksi per satuan luas lahan (kg/ha).

Pada penelitian ini produktivitas padi dibandingkan antara metode

konvensional dan metode SRI organik. Pada metode konvensional terdapat jenis

pemanenan dengan cara tebasan. Hasil panen dengan cara tebasan diasumsikan

sama dengan pemanenan biasa, yang disesuaikan dengan varietas padi yang

digunakan.

Tabel 15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode Konvensional dan

Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha

Metode Mean Selisih Mean p. Value N

Konvensional 4.550 kg -95,433 0,106 30

SRI Organik 4.790 kg

Tabel 15 memperlihatkan bahwa rata-rata produktivitas padi metode

konvensional adalah 4.550 kg per hektar, sedangkan metode SRI organik adalah

4.790 kg per hektar. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode

konvensional dan SRI organik adalah -95,433 kg/iring. Hasil uji statistik

menunjukkan nilai p = 0,106 (> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan antara hasil produktivitas metode konvensional dan

SRI organik.

Perbedaan yang tidak terlalu besar ini dapat disebabkan karena di Desa

Ringgit pada dasarnya hanya melakukan dua kali penanaman, yaitu MT I yang

dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II yang dilakukan pada

bulan April hingga Juli. Akan tetapi, beberapa petani konvensional ada yang

Page 2: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

56

melakukan penanaman hingga tiga kali yang dilakukan pada bulan Agustus

hingga November. Hal ini menyebabkan siklus hidup serangga tidak terputus dan

mengakibatkan populasi serangga bertambah. Dengan demikian, pada saat

penanaman musim tanam ke-2 terjadi pelonjakan jumlah serangga yang

menyerang tanaman padi. Selain itu pula, petani SRI organik pada saat itu tidak

melakukan pengamatan secara maksimal, dikarenakan oleh banyaknya kegiatan

yang harus dilakukan berkaitan dengan pemrosesan hasil panen dan pemasaran

hasil produksi.

Berdasarkan hasil uji tersebut juga dapat diketahui bahwa untuk luasan

lahan yang sama, tanaman padi metode SRI organik mampu memproduksi gabah

lebih banyak dibandingkan dengan gabah metode konvensional. Hal ini bisa

didasari karena responden petani organik yang ditentukan merupakan responden

yang sudah cukup lama (≥ 3 tahun) menerapkan metode SRI organik. Alasan

dipilihnya responden dengan penerapan metode sudah ≥ 3 tahun yaitu, karena

untuk mengkonversi lahan dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 tahun tergantung

pada kondisi lahan yang ada. Konversi lahan dilakukan untuk mengembalikan

unsur-unsur hara yang hilang akibat penggunaan bahan-bahan kimia. Meskipun

sebenarnya di awal penerapan metode SRI organik, hasil produksi mampu

melebihi produksi pada umunya. Hanya saja penerapan metode SRI harus benar-

benar dilaksanakan dengan baik.

Hasil akhir perolehan jumlah gabah untuk setiap daerah berbeda sesuai

dengan kondisi lahan dan lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian yang telah

ada menunjukkan bahwa produksi rata-rata metode SRI organik mampu mencapai

6-7 ton per hektar. Dengan demikian, produksi padi di Desa Ringgit pada musim

tanam kedua ini masih lebih rendah dari jumlah minimal produksi yang

seharusnya. Beberapa permasalahan seperti jumlah serangga perusak tanaman

lebih banyak dari musuh alami, kurangnya pengawasan dan pemeliharaan yang

dilakukan oleh para petani karena curah hujan yang tinggi, serta tingkat kesuburan

tanah yang berbeda menjadi pertimbangan atas perbedaan tingkat produktivitas

yang terjadi.

Page 3: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

57

7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani

Untuk penerimaan dan pendapatan usahatani diasumsikan bahwa seluruh

petani baik konvensional maupun organik memiliki lahan sendiri. Hal ini

dilakukan untuk mempermudah dalam membandingkan dengan menggunakan uji

t. Penerimaan dan pendapatan masing-masing petani dapat dilihat pada Lampiran

2. Berikut hasil perhitungan dengan uji t dan analisis usahatani untuk mengetahui

jumlah penerimaan antara metode konvensional dan SRI organik.

Tabel 16. Distribusi Rata-Rata Penerimaan dengan Metode Konvensional dan

Metode SRI Organik 1 Ha

Metode Volume (kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp) p. Value

Konvensional 2.189 5.000 10.928.664 0,023

SRI Organik 2.306 8.000 18.453.495

Tabel 16 memperlihatkan bahwa rata-rata penerimaan metode

konvensional adalah Rp 10.928.644, sedangkan metode SRI organik adalah Rp

18.453.495. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode

konvensional dan SRI organik adalah Rp 466.109,700. Hasil uji statistik

menunjukkan nilai p = 0,023 (< 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara penerimaan petani menggunakan metode

konvensional dan SRI organik.

Output akhir produk yang dijual pada kenyataannya berbeda, yaitu petani

konvensional menjual produk akhirnya berupa gabah, sedangkan petani SRI

organik berupa beras. Dengan demikian, perlu adanya penyetaraan hasil produk

akhir yang dijual yaitu beras. Pemilihan produk beras yang dijadikan

perbandingan kedua metode tersebut didasarkan untuk menghindari kemungkinan

terjadinya bias dalam perhitungan. Sebab, petani SRI organik Desa Ringgit tidak

pernah menjual hasil produksinya berupa gabah. Dengan demikian, tidak ada

harga jual gabah untuk padi organik.

Untuk pertanian konvensional, petani lebih sering menjual hasil panennya

berupa gabah kering panen (GKP) kepada tengkulak dengan kisaran harga antara

Rp 330.000 – Rp 465.000 per kwintal gabah kering sesuai dengan harga yang

berlaku saat itu. Selain itu pula sebagian petani juga ada yang menjual hasil

Page 4: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

58

panennya dengan cara tebasan (ditebas di sawah) dengan harga yang telah

disepakati bersama. Kisaran harga tebasan yaitu Rp 2.500.000 – Rp 3.750.000 per

iring (2000 m2) berdasarkan pada varietas padi yang ditanam, kondisi lahan

banyak gulma atau tidak terawat akan menyebabkan harga yang diberikan rendah.

Petani organik menjual hasil panennya berupa beras yang dikumpulkan di

kelompok, walaupun yang diberikan kepada kelompok juga berupa GKP yang

nantinya diproses lebih lanjut oleh kelompok dari mulai penggilingan hingga

pengemasan. Harga jual beras organik yang di tawarkan yaitu Rp 9.100 per kg,

namun harga yang diterima oleh petani dari kelompok yaitu Rp 8.000 per kg.

Selisih harga Rp 1.100 merupakan biaya yang dikeluarkan kelompok untuk biaya

penggilingan, biaya pensortiran beras, biaya kemasan, serta kas yang digunakan

untuk pemasukan kelompok.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan petani SRI

organik lebih tinggi dari petani konvensional yang disebabkan oleh tingginya

harga jual beras organik yaitu Rp 8.000,- dan jumlah beras yang dihasilkan

metode SRI organik lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional.

Pada perhitungan pendapatan usahatani, antara petani pemilik dan petani

penggarap terdapat perbedaan sebesar 50 persen. Persentase tersebut didasarkan

atas kesepakatan bersama antara pemilik lahan dengan penggarap lahannya. Oleh

karena jumlah responden sebagai petani penggarap tidak banyak, maka dalam

perhitungan uji beda t diasumsikan bahwa seluruh petani responden merupakan

petani pemilik. Hal lain yang menjadi alasan untuk tidak dibedakannya antara

petani penggarap dan petani pemilik yaitu, biaya pajak dan biaya sewa

dikeluarkan pada MT I, sedangkan penelitian dilakukan pada MT II. Dengan

demikian, kedua biaya tersebut termasuk ke dalam biaya diperhitungkan.

Page 5: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

59

Tabel 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional (ha)

Metode Konvensional

Volume Harga

(Rp/vol) Nilai (Rp)

A. Penerimaan 2.189 kg 5.000 10.928.664

B. Biaya Tunai :

1. Pajak

2. Bensin

3. Pupuk Kimia

4. Benih

5. Pestisida

6. Tenaga Kerja Luar Keluarga

7. Panen

3 L

521,33 kg

14,18 kg

679,33 L

385,22 HOK

2.972 kg

5.000

1.799

7.759

799,95

7.663,45

320

4.583

15.000

937.872

100.467

749.023

2.892.014

951.343

C. Biaya diperhitungkan :

1. Pajak

2. Sewa Lahan

3. Penyusutan

4. Benih

5. Tenaga Kerja Dalam Keluarga

14,18 kg

72,03 HOK

7.945

7.864,49

74.350

212.500

1.123.415

32.867

564.895

D. Total Biaya 7.587.505

E. Pendapatan 3.341.159

Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan petani konvensional sebesar Rp

3.341.159, dengan penerimaan sebesar Rp 10.928.664. Bentuk ouput produk yang

digunakan dalam perhitungan ini yaitu beras. Hal tersebut dilakukan untuk

menyetarakan perbandingan yang dilakukan. Volume beras yang dihitung telah

dikurangi dengan biaya panen, penyusutan yang terjadi pada saat proses

penjemuran gabah yaitu sebesar 15 persen, serta nilai rendemen sebesar 35 persen

karena adanya proses penggilingan gabah menjadi beras.

Pada biaya yang dikeluarkan, biaya tunai memiliki nilai lebih besar yaitu

sebesar Rp 5.650.302, sedangkan untuk biaya diperhitungkan sebesar Rp

2.008.027. Besarnya jumlah biaya tunai yang dikeluarkan dikarenakan adanya

penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan untuk kegiatan budidaya

seperti menanam dan matun. Kegiatan menanam padi di Desa Ringgit dilakukan

oleh wanita dengan sistem borongan. Sistem borongan yang diterapkan yaitu

pembayaran dilakukan setara dengan upah 12-24 hari kerja wanita (HKW),

walaupun jumlah tenaga kerja dapat berjumlah < 12 orang setiap iringnya.

Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menanam padi

dengan lahan seluas satu hektar yaitu 62,82 HKW.

Page 6: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

60

Matun merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada proses

budidaya seperti membersihkan gulma atau menyiangi, membersihkan pematang,

dan melakukan penyulaman. Kegiatan matun pada pertanian konvensional hanya

dilakukan 2-3 kali, bahkan terdapat beberapa petani yang tidak melakukan

kegiatan matun tersebut. Matun dalam pertanian konvensional dapat dilakukan

dalam tiga cara yaitu menggunakan alat yang disebut dengan gosrok,

menggunakan tangan dengan mencabut gulma, dan dengan menggunakan

pestisida atau obat penghilang gulma. Matun dengan menggunakan gosrok biasa

dilakukan oleh tenaga kerja pria, karena alat tersebut cukup berat digunakan oleh

wanita. Jumlah penggunaan tenaga kerja pria yang digunakan untuk lahan seluas

satu hektar yaitu 53,50 HKP dan tenaga kerja wanita yaitu 49,67 HKW. Untuk

perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Tabel 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik (ha)

Metode SRI Organik

Volume Harga

(Rp/vol) Nilai (Rp)

A. Penerimaan 2.306kg 8.000 18.453.494

B. Biaya Tunai :

1. Pajak

2. Bensin

3. Pupuk Kandang

4. Benih

5. Tenaga Kerja Luar Keluarga

6. Panen

0,33 L

4.543,05 kg

1,04 kg

679,33 L

289,29 HOK

3.075,41 kg

5.000

199

7.933,33

799,95

7.663,45

320

5.833

1.667

872.413

8.226,67

749.023

2.892.014

984.130

C. Biaya diperhitungkan :

1. Pajak

2. Sewa Lahan

3. Penyusutan

4. Benih

5. Pupuk Kandang

6. MOL

7. Tenaga Kerja Dalam Keluarga

5,11 kg

7.466 kg

88,33L

131HOK

7.669

166

2.280

7.735,63

40.343

212.500

1.040.733

39.787

1.091.087

201.400

1.040.582

D. Total Biaya 7.894.219

E. Pendapatan 10.559.276

Pendapatan petani SRI organik pada lahan seluas satu hektar sebesar Rp

10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494. Perbedaan pendapatan

antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu sebesar Rp 7.218.117.

Page 7: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

61

Perbedaan jumlah pendapatan tersebut dikarenakan harga jual beras organik lebih

tinggi Rp 3.000 dibandingkan dengan harga beras konvensional sebesar Rp 5.000

per kilogram.

Pada Tabel 18 dapat diketahui pula bahwa pengeluaran dari biaya tunai

lebih tinggi dibandingkan biaya diperhitungkan, dengan total biaya tunai sebesar

Rp 4.227.288 serta biaya diperhitungkan sebesar Rp 3.666.431. Penyumbang

besar pada komponen biaya tunai yaitu tenaga kerja luar keluarga yang berada

pada kegiatan tanam dan matun. Matun pada pertanian SRI organik dilakukan 3-4

kali. Walaupun pada setiap pelaksanaannya rata-rata hanya membutuhkan 23,88

HOK, lebih sedikit dari pertanian konvensional dengan 26,88 HOK, pertanian SRI

organik membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan.

Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

7.3. Efisiensi Usahatani

Efisiensi usahatani menunjukkan apakah usahatani tersebut layak untuk

dijalankan. Pengertian layak dalam konteks ini yaitu apabila penerimaan yang

diperoleh memiliki nilai lebih besar dari pengeluaran atau biaya-biaya yang

dikeluarkan selama menjalankan usahatani baik dengan metode konvensional

maupun SRI organik. Efisiensi yang dihitung dalam penelitian ini yaitu efisiensi

atas biaya total.

Tabel 19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total dengan

Metode Konvensional dan Metode SRI Organik

Metode

Konvensional Metode SRI

Organik p.

value A. Produktivitas 4.550 kilogram 4.790 kiligram 0,106

B. Penerimaan Rp 10.928.664 Rp 18.453.495 0,023

C. Biaya Tunai Rp 4.940.603 Rp 13.084961

D. Biaya diperhitungkan Rp 1.928.892 Rp 3.666.431

E. Total Biaya Rp 6.869.495 Rp 16.751.392

F. Pendapatan Rp 4.059.169 Rp 1.702.103 0,823

G. Efisiensi Usahatani Atas Biaya

Total 1,65 2,55 0,019

Tabel 19 memperlihatkan bahwa rata-rata efisiensi usahatani metode

konvensional adalah 1,65, sedangkan metode SRI organik adalah 2,55. Diketahui

Page 8: BAB VII Analisis Perbandingan Usaha Tani2

62

bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik

adalah 0,268200. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,019 ( < 0,05), maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi

usahatani padi atas biaya total yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan

metode konvensional dan SRI organik.

Efisiensi usahatani atas biaya total mengandung arti bahwa setiap satu

rupiah total biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan satu rupiah penerimaan

yang diterima petani. Dengan demikian, semakin besar nilai efisiensi maka

semakin bagus suatu usaha untuk dijalankan, sehingga berdasarkan hasil uji dan

perhitungan yang telah ada menunjukkan bahwa pertanian SRI organik lebih

efisien dibandingkan dengan pertanian konvensional berdasarkan efisiensi atas

biaya total.

Nilai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian

konvensional menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Rachmiyanti pada tahun 2009 di Desa Bobojong, Kecamatan

Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa efisiensi atas biaya total dan biaya tunai memiliki nilai lebih besar untuk

pertanian konvensional yaitu sebesar 2,46 dan 2,16, sedangkan untuk pertanian

SRI organik memiliki nilai sebesar 1,98 dan 1,54. Berdasarkan hasil penelitian

yang diperoleh menyatakan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pada pertanian SRI

organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja luar keluarga dan pengadaan pupuk

yang tinggi.

Perbedaan hasil penelitian yang terjadi dilihat dari produktivitas dan

efisiensi antara penelitian Rachmiyanti dan penelitian ini dapat didasarkan pada

beberapa faktor, seperti letak geografis daerah, periode waktu tanam yang

digunakan untuk dijadikan sumber data, keragaan usahatani yang dimiliki oleh

desa tersebut, serta bentuk output yang dijadikan perhitungan perbandingan. Pada

penelitian ini, output yang diperbandingkan sudah berbentuk beras, sedangkan

penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti masih berupa gabah kering

panen (GKP), sehingga nilai jual lebih rendah dan mempengaruhi penerimaan dan

pendapatan yang diterima.