bab v. dampak perguliran dana spp terhadap umkm
DESCRIPTION
UMKM dan SPPTRANSCRIPT
65
V. DAMPAK PERGULIRAN DANA SPP TERHADAP UMKM
5.1 Keragaan Penyaluran Pinjaman Dana Bergulir SPP
Kecamatan Cimarga merupakan salah satu kecamatan yang melaksanakan
program SPP sejak diselenggarakannya PNPM Mandiri Perdesaan pada tahun
2008. Kecamatan Cimarga terdiri atas 17 desa, namun ada satu desa yang tidak
ikut berpartisipasi melaksanakan program SPP yaitu Desa Sarageni. Hal ini
disebabkan karena lokasi Desa Sarageni dari ibukota kecamatan merupakan yang
terjauh dengan jarak 37 km, sehingga warga Desa Sarageni kurang berminat untuk
mengikuti program SPP. Setiap desa yang melaksanakan program SPP, memiliki
jumlah kelompok dan besarnya nilai pinjaman yang berbeda dimana hal tersebut
tergantung pada nilai pengajuan pinjaman dari setiap anggota. Keragaan
penyaluran pinjaman SPP dapat dilihat berdasarkan indikator jumlah kelompok
dari setiap desa dan besarnya nilai pinjaman pada tahun 2010 dan 2011.
Tabel 5.1 Jumlah Kelompok dan Nilai Pinjaman SPP Tahun 2010 – 2011
No
Nama Desa Jumlah Kelompok Nilai Pinjaman (Rp.Juta) Persentase
Perubahan (%)
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2010
Tahun 2011
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Cimarga Intenjaya Jayasari Margajaya Margatirta Mekarmulya Sangkanmanik Tambak Girimukti Jayamanik Karyajaya Mekarjaya Sangiangjaya Sudamanik Margaluyu Gununganten
4 1 1 10 4 1 8 2 3 3 2 6 5 9 2 1
6 1 1 10 2 2 9 2 4 3 3 8 8 10 3 1
42,5 10 16 253 49,5 10 116 20
73,5 42 24
79,5 103,3 262 27 7
111 12 20
281,4 42 20 223 34
108,3 54 52
132,47 142,3 266 47 7
161,18 20 25
11,22 -15,15
100 92,24
70 47,35 28,57 116,67 66,63 37,75 1,53 74,07
0 TOTAL 62 73 1.135,3 1.559,47
Sumber : Data Primer UPK SPP Cimarga
66
Berdasarkan Tabel 5.1 keragaan penyaluran pinjaman bergulir SPP di
Kecamatan Cimarga menunjukkan hasil yang baik. Hal ini terlihat dari jumlah
kelompok SPP yang mengalami peningkatan dari 62 kelompok pada tahun 2010
menjadi 73 kelompok pada tahun 2011. Selain itu, besarnya jumlah pinjaman
bergulir SPP yang diperoleh tiap desa juga mengalami peningkatan pada tahun
2011. Hal ini karena jumlah kelompok yang bertambah di tiap desa dan besarnya
pinjaman tiap kelompok yang mengalami peningkatan karena tiap anggota
memperoleh pinjaman yang lebih besar pada guliran berikutnya akibat kelancaran
pengembalian pinjaman. Akan tetapi ada juga desa yang kelompoknya tidak
mengajukan pinjaman kembali pada guliran berikutnya sehingga jumlah
kelompok dan besarnya pinjaman menjadi berkurang.
Desa yang mengalami peningkatan jumlah pinjaman terbesar yaitu Desa
Cimarga dengan persentase peningkatan sebesar 161,18 persen. Sektor usaha yang
paling banyak dijalankan oleh warga Desa Cimarga yaitu perdagangan dengan
jenis usaha warung kelontongan. Omset yang diperoleh dari jenis usaha tersebut
bersifat harian sehingga kondisi keuangan usaha perdagangan cukup meyakinkan
bagi pelaku usaha untuk memperoleh pinjaman yang lebih besar. Adanya
peningkatan jumlah kelompok menunjukkan UMKM di Kecamatan Cimarga yang
memperoleh akses permodalan SPP semakin meningkat sehingga diharapkan
dapat mengembangkan usaha yang dijalani.
Kelompok SPP yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 7
kelompok yang berasal dari tiga desa yaitu Desa Margajaya sebanyak 5
kelompok, Desa Cimarga 1 kelompok dan Desa Girimukti sebanyak 1 kelompok.
Pemilihan ketiga desa tersebut dilakukan berdasarkan keragaman jenis usaha yang
67
dijalani dan tergolong sebagai desa yang sudah berkembang. Indikator keragaan
penyaluran pinjaman bergulir SPP dapat juga dilihat dari nilai Non Performing
Loan (NPL) dari pinjaman yang diberikan atau tingkat pengembalian pinjaman.
Hal ini karena tingkat pengembalian dana SPP yang lancar secara tidak langsung
dapat mempengaruhi kelancaran program PNPM Mandiri Perdesaan.
Tabel 5.2 Nilai Pinjaman dan Tingkat Pengembalian Tahun 2011 Nama Desa Nama
Kelompok Jumlah
Anggota (orang)
Nilai Pinjaman (Rupiah)
Tingkat Pengembalian
(%) Desa Margajaya Tunas Mekar 02
Tunas Mekar 03 As-Syifa Teratai Tunas Karya
20 16 9 17 12
31.300.000 27.400.000 16.000.000 30.000.000 40.000.000
76 78 76 79 82
Desa Cimarga Belimbing 10 20.000.000 80 Desa Girimukti Burung Merak 14 37.500.000 84 Sumber : Data Primer
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa banyaknya jumlah anggota kelompok tidak
selalu berbanding lurus dengan besarnya nilai pinjaman yang diperoleh. Hal ini
dapat dilihat kelompok Tunas Mekar 02 dengan jumlah anggota paling banyak
yaitu 20 orang memperoleh pinjaman sebesar 31,3 juta rupiah. Sedangkan
kelompok Tunas Karya dengan jumlah anggota 12 orang memperoleh pinjaman
paling besar yaitu 40 juta rupiah. Ini disebabkan besarnya pinjaman tiap anggota
kelompok Tunas Mekar 02 relatif kecil berkisar antara 1-2 juta rupiah. Adapun
untuk kelompok Tunas Karya besarnya pinjaman tiap anggota berkisar antara 2–5
juta rupiah. Berdasarkan hasil survei di lapangan, hal ini bukan disebabkan karena
perbedaan jenis usaha, akan tetapi ada salah satu anggota yang membutuhkan
pinjaman cukup besar melebihi batasan pinjaman yang ditentukan sehingga
menitip pinjaman pada anggota lain dan hal ini merupakan salah satu bentuk
moral hazard. Akan tetapi apabila dilihat dari data jumlah pinjaman yang ada,
68
besarnya nilai pinjaman tiap anggota sesuai dengan ketentuan yang ada dimana
besarnya nilai pinjaman setiap anggota tidak boleh lebih dari 5 juta rupiah. Hal ini
karena sebagian anggota meminjam sebesar 4-5 juta rupiah padahal kebutuhan
pinjaman mereka hanya sebesar 2 juta, dan sisanya dipinjamkan pada anggota
yang bersangkutan. Pembatasan besarnya jumlah pinjaman SPP tiap anggota
bertujuan untuk membantu pelaku usaha di perdesaan yang sulit mendapatkan
akses pinjaman pada lembaga keuangan formal. Berdasarkan tingkat
pengembalian pinjaman SPP, kelompok SPP yang dijadikan sampel tergolong
lancar dengan tingkat pengembalian pinjaman rata-rata diatas 76 persen.
Indikator keragaan penyaluran pinjaman SPP selanjutnya yaitu besarnya
pinjaman yang diperoleh dilihat berdasarkan jumlah guliran seperti pada Tabel
5.3. Sebanyak 11 orang responden (36,67 %) sudah mencapai guliran keempat
atau sudah memperoleh pinjaman hingga empat kali. Jumlah responden yang baru
mencapai guliran pertama atau baru memperoleh pinjaman satu kali sebanyak 3
responden.
Tabel 5.3 Jumlah Guliran dan Besarnya Nilai Pinjaman Jumlah Guliran Pinjaman
(Frekuensi Perolehan Pinjaman) Besar Pinjaman
Rata-rata (Rupiah) Jumlah
Responden Persentase
(%) 1 2 3 4
1.500.000 2.000.000 3.500.000 4.500.000
3 9 7 11
10 30
23,33 36,67
Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat semakin tinggi jumlah guliran
semakin besar pula jumlah pinjaman rata-rata yang diperoleh. Ini menunjukkan
pada umumnya responden disiplin dalam pengembalian pinjaman dan tidak
adanya tunggakan. Berdasarkan ketentuan prosedur pelaksanaan SPP, besarnya
pinjaman yang diperoleh didasarkan pada kondisi pinjaman sebelumnya (guliran
69
sebelumnya). Apabila pada guliran sebelumnya tidak terdapat tunggakan maka
responden dapat mengajukan pinjaman pada guliran berikutnya dengan jumlah
pinjaman yang lebih besar dari pinjaman sebelumnya dengan maksimal besar
pinjaman yaitu 5 juta rupiah. Berdasarkan hasil survei ada salah satu responden
yang sudah mencapai guliran keempat meminjam dengan besar pinjaman diatas
batas maksimum pinjaman dengan cara menitip pinjaman pada anggota yang lain.
Hal ini menunjukkan adanya kasus moral hazard. Akan tetapi, karena responden
tersebut pembayarannya lancar maka tindakan tersebut tidak diketahui oleh pihak
UPK SPP.
5.2 Karakteristik Responden
Responden yang dijadikan sampel yaitu kaum perempuan (ibu-ibu) yang
memperoleh pinjaman dari program SPP di tiga desa yaitu Desa Margajaya, Desa
Cimarga dan Desa Girimukti pada tahun anggaran 2010 dan 2011. Karakteristik
responden mengenai tingkat usia, lama pendidikan dan jumlah anggota keluarga
maupun karakteristik usaha responden mengenai lama usaha disajikan dalam
bentuk statistik deskriptif pada Tabel 5.3. Statistik deskriptif bertujuan untuk
mengetahui karakteristik data berdasarkan ukuran pemusatan dan ukuran
penyebaran (variasi) data. Ukuran pemusatan data melihat karakteristik responden
yaitu tingkat usia, lama pendidikan dan jumlah anggota keluarga dari nilai rata-
rata (mean). Variasi data atau keragaman menggambarkan penyebaran data dari
nilai rata-ratanya dengan menggunakan ukuran standar deviasi.
70
Tabel 5.4 Statistik Deskriptif Karakteristik Responden Anggota SPP Variabel Mean
(Rata-rata) Nilai
Maksimum Nilai
Minimum Standar Deviasi
Tingkat Usia
Lama Pendidikan
Jumlah Anggota Keluarga
Lama Usaha
37,87
8,33
4,267
5,33
52
12
7
30
25
3
2
0,7
6,86
2,537
1,112
6,65
Hasil olahan data pada Tabel 5.4 menunjukkan rata-rata usia responden
yaitu 38 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 6,86 tahun atau dibulatkan
menjadi 7 tahun. Nilai standar deviasi tersebut menunjukkan bahwa usia
responden sangat bervariasi atau beragam dan nilainya cukup tersebar dari rata-
rata usia (38 tahun) dengan simpangan diantara 31 tahun hingga 45 tahun. Hal ini
juga ditunjukkan dengan perbedaan usia tertinggi responden yaitu 52 tahun
dengan usia terendah responden yaitu 25 tahun. Sebaran usia responden dapat
dilihat dari pembagian kelas usia pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Tingkat Usia Responden
Keragaman usia responden juga terlihat pada Gambar 5.1 yang
menunjukkan usia responden tersebar pada setiap kelas usia dengan sebagian
besar berada pada interval 30-34 tahun sebanyak 10 orang responden atau sebesar
35
10
7
32
0
2
4
6
8
10
12
25‐29 tahun 30‐34 tahun 35‐39 tahun 40‐44 tahun 45‐49 tahun 50‐54 tahun
71
33,33 persen. Rata-rata usia responden berada pada kategori usia produktif yaitu
38 tahun menunjukkan bahwa adanya program bantuan dana bergulir SPP dari
pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usaha yang dijalani. Hal
ini karena peluang untuk mengembangkan usaha relatif besar dengan usia yang
tergolong produktif.
Tingkat pendidikan responden berdasarkan Tabel 5.4 memiliki rata-rata
lama pendidikan yaitu 8 tahun atau setingkat dengan kelas 2 SMP dengan lama
pendidikan tertinggi responden yaitu 12 tahun atau setara dengan tingkat
pendidikan lulusan SMA dan lama pendidikan terendah yaitu 3 tahun atau hanya
mendapatkan pendidikan hingga kelas 3 SD. Nilai standar deviasi lama
pendidikan responden sangat berbeda dengan tingkat usia responden dimana
standar deviasi lama pendidikan responden yaitu sebesar 2,537 tahun atau
dibulatkan menjadi 2 tahun. Hal ini menunjukkan lama pendidikan responden
tidak terlalu bervariasi dan mendekati nilai rata-rata lama pendidikan responden
yaitu 8 tahun dengan simpangan diantara 6 tahun atau lulusan SD hingga 10 tahun
atau setara dengan kelas 1 SMA. Apabila dihubungkan dengan jenis usaha yang
dijalankan, pada umumnya responden dengan lama pendidikan yang realtif rendah
cenderung menjalankan usaha yang relatif tidak beresiko dan tidak memerlukan
perhitungan keuangan yang rumit seperti warung jajanan sekolah.
Karakteristik responden berikutnya yang dijelaskan dalam statistik
deskriptif pada Tabel 5.4 yaitu jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang dimaksud yaitu suami, istri (responden), anak dan orang tua atau saudara
yang tinggal dalam satu rumah. Anggota keluarga responden rata-rata berjumlah 4
orang dengan standar deviasi sebesar 1 orang. Ini menunjukkan bahwa jumlah
72
anggota keluarga dari seluruh responden tidak terlalu bervariasi dan mendekati
rata-rata jumlah anggota keluarga. Hal ini karena dengan nilai simpangan sebesar
1 orang maka sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga antara
3 orang hingga 5 orang. Ini menunjukkan peluang responen untuk memperoleh
pinjaman cukup besar karena jumlah anggota keluarga tidak terlalu banyak.
Perbedaan antara jumlah anggota keluarga terbanyak dengan terendah cukup
besar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.4 jumlah anggota keluarga responden
terbanyak yaitu 7 orang sedangkan jumlah anggota terendah yaitu 2 orang.
5.2.1 Status Responden dalam Keluarga
Karakteristik responden lainnya yang diidentifikasi dalam penelitian ini
yaitu status responden di dalam keluarga. Status responden yang merupakan kaum
perempuan di dalam keluarga pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu status
sebagai seorang istri dan status sebagai wanita kepala keluarga.
Gambar 5.2 Status Responden dalam Keluarga
Hasil survei lapangan pada Gambar 5.2 menunjukkan ada dua orang
responden penerima pinjaman dana bergulir SPP yang berstatus sebagai wanita
kepala keluarga atau sebesar 7 persen dari total responden 30 orang kaum
perempuan (ibu-ibu). Status wanita kepala keluarga yang dimaksud yakni status
wanita sebagai kepala keluarga yang dikarenakan tidak memiliki suami (berstatus
7%
93%
Status sebagai wanita kepala keluarga
Status sebagai istri
73
janda). Adapun sisanya sebesar 93 persen atau sejumlah 28 orang responden
berstatus sebagai istri atau bukan sebagai kepala keluarga. Adanya responden
penerima pinjaman bergulir SPP yang berstatus sebagai kepala keluarga
menunjukkan bahwa program SPP yang dilakukan sesuai dengan tujuan awal
yaitu untuk memandirikan kaum perempuan.
5.2.2 Jenis Pekerjaan
Karakteristik responden untuk jenis pekerjaan dibagi menjadi dua yaitu
jenis pekerjaan responden sendiri sebagai penerima pinjaman SPP dan jenis
pekerjaan suami apabila responden berstatus sebagai istri di dalam keluarga. Hal
ini karena cakupan dalam penelitian ini yaitu rumah tangga sehingga pekerjaan
suami atau kepala keluarga juga diidentifikasi. Hasil survei menunjukkan
mayoritas jenis pekerjaan responden yaitu sebagai pedagang (60 %) dengan
mayoritas sebagai pedagang warung kelontongan.
Gambar 5.3 Jenis Pekerjaan Responden dan Suami
Jenis pekerjaan responden berikutnya yakni bekerja di sektor industri
kerajinan rumah tangga dengan jenis usaha sebagai pembuat dompet yang berada
di Desa Girimukti sebesar 16,67 persen atau sejumlah lima orang. Jenis pekerjaan
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Responden (Ibu‐ibu) Suami
Petani
Pegawai Swasta
Buruh Lepas
Pegawai Negeri
Industri Kerajinan
Jasa
Pedagang
74
responden di sektor jasa sebesar 13,33 persen dengan jenis usaha sebagian besar
yaitu penjahit, pangkas rambut dan tambal ban yang dijalankan oleh suami. Jenis
pekerjaan kepala keluarga (suami) lebih beragam daripada jenis pekerjaan
responden (kaum ibu). Suami mayoritas bekerja sebagai buruh lepas sebesar 21,43
persen atau sejumlah 6 orang dari 28 orang suami, diikuti oleh jenis pekerjaan di
sektor industri kerajinan rumah tangga yaitu sebagai pembuat dompet dan
pegawai negeri dengan persentase yang sama yaitu 17,86 persen. Gambar 5.3
menunjukkan bahwa mayoritas jenis pekerjaan antara responden (kaum ibu) dan
suami berbeda.
5.3 Karakteristik Usaha Responden
5.3.1 Jenis Usaha UMKM Responden
Hasil survei yang diperoleh dilapangan, menunjukkan bahwa adanya
PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Cimarga khususnya program SPP sangat
bermanfaat bagi pelaku usaha mikro khususnya pelaku usaha wanita dalam
mengatasi persoalan modal. Hal ini karena ada beberapa dari responden yang
memiliki jenis usaha lebih dari satu sehingga total usaha yang dijalankan dari
keseluruhan responden (30 orang) sebanyak 40 usaha. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 5.4 berikut ini.
Gambar 5.4 Jenis Usaha yang Memperoleh Pinjaman SPP
50%
20% 15% 15%0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Perdagangan Jasa Industri Makanan Industri Kerajinan
75
Berdasarkan data yang telah diolah dalam Gambar 5.4 jenis usaha rumah
tangga yang paling banyak diberikan pinjaman SPP yaitu sektor perdagangan
dengan mayoritas adalah pedagang warung kebutuhan pokok dan penjual jajanan
anak sebesar 50 persen. Hal tersebut dikarenakan mayoritas warga di lokasi
penelitian berprofesi sebagai pedagang dan berlokasi dekat dengan sekolah
sehingga sebagian besar bergerak pada usaha warungan.
5.3.2 Lama Usaha Responden
Berdasarkan survei menyatakan bahwa lama usaha dari seluruh responden
cukup beragam dengan nilai standar deviasi sebesar 6,65 tahun atau dibulatkan
menjadi 7 tahun pada Tabel 5.4. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbedaan antara
lama usaha terendah responden yaitu 8 bulan (0,7 tahun) dengan lama usaha
tertinggi responden yaitu 30 tahun. Akan tetapi pada umumnya rata-rata lama
usaha responden yaitu 5 tahun. Tabel 5.4 menunjukkan lama usaha UMKM para
responden. Sebagian besar lama usaha yang dijalankan responden berada pada
interval 2 hingga 5 tahun sebesar 50 persen. Pada ketentuan pelaksanaan program
pinjaman bergulir SPP, tidak diperlukan persyaratan minimal lama usaha yang
dijalankan. Hal ini karena program pinjaman bergulir SPP bertujuan untuk
membantu rumah tangga miskin yang membutuhkan modal untuk usaha walaupun
baru memulai usaha. Lama usaha responden yang berkisar antara 2 hingga 5 tahun
menunjukkan bahwa pelaku usaha untuk memperoleh akses pinjaman pada
lembaga formal mengalami kesulitan karena diperlukan persyaratan lama usaha
yang biasanya diatas 5 tahun. Oleh karena itu, program pinjaman bergulir SPP
berguna bagi pelaku usaha yang terkendala masalah modal dan tidak memiliki
akses pada lembaga formal.
76
Tabel 5.5 Lama Usaha UMKM Lama Usaha (Tahun) Frekuensi Persentase (%)
< 2 2-5 6-10 > 10
6 20 10 4
15 50 25 10
5.3.3 Besar Modal Awal Usaha
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa besar modal awal usaha responden
mayoritas mencapai 1 juta rupiah dengan persentase sebesar 62,86 persen. Besar
modal awal usaha diatas 5 juta rupiah hanya sebesar 5,71 persen atau dua UMKM
dengan jenis usaha yaitu industri pembuatan dompet yang memerlukan modal
awal cukup besar. Hal ini dikarenakan bahan yang diperlukan untuk membuat
dompet relatif mahal terutama untuk aksesoris dompet. Besar modal awal usaha
responden dibawah 1 juta menunjukkan bahwa pada umumnya pelaku usaha
memulai usaha dengan besaran modal yang relatif rendah dan memang untuk
skala UMKM tidak memerlukan modal awal yang cukup besar sehingga dapat
memudahkan pelaku usaha dalam menjalankan usaha.
Tabel 5.6 Besar Modal Awal Usaha Responden Besar Modal Awal (Rupiah) Frekuensi Persentase (%)
0 – 1.000.000 >1.000.000 – 5.000.000
>5.000.000
22 11 2
62,86 31,43 5,71
5.3.4 Sumber Modal Awal Usaha
Hasil lapangan berdasarkan Gambar 5.5 menunjukan bahwa sebagian
besar modal awal yang digunakan oleh pelaku usaha dalam memulai usahanya
bersumber dari diri sendiri yaitu sebesar 70 persen. Sedangkan sumber modal
awal usaha yang berasal dari pinjaman informal diantaranya pinjaman dari
77
program SPP dan pinjaman dari saudara sebesar 21 persen. Hal ini dikarenakan
ada dari sebagian responden yang baru memulai usaha kembali dengan modal
awal berasal dari pinjaman SPP. Sisanya bersumber dari gabungan modal sendiri
dan pinjaman dan ada juga yang berasal dari pemberian desa. Data ini
menunjukkan bahwa pelaku usaha mikro mampu memulai usahanya secara
mandiri. Oleh karena itu, dengan adanya program-program bantuan pinjaman
modal dari pemerintah seperti program SPP ini diharapkan dapat mengembangkan
UMKM yang telah ada bahkan memunculkan UMKM baru.
Gambar 5.5 Sumber Modal Awal Usaha
5.4 Penguasaan Aset Responden
Aset responden yang diteliti dibagi menjadi dua yaitu penguasaan aset
lahan dan non lahan yang dimiliki oleh responden diluar aset usaha. Aset lahan
dibedakan menjadi tiga yaitu rumah, sawah, dan lahan kering. Aset non lahan juga
dibedakan menjadi tiga yaitu kendaraan, perhiasan dan tabungan.
70%
3%
21%
6%
Sendiri
Pemberian Desa
Pinjaman Informal
Sendiri + Pinjaman
78
Tabel 5.7 Penguasaan Aset Lahan dan Non Lahan Aset Nilai Rata-rata (Rupiah) Persentase (%)
Rumah Sawah Lahan Kering
17.605.000 11.800.000
5.991.666,67
28,62 19,18 9,74
Total Aset Lahan 35.396.666,67 57,54 Kendaraan Perhiasan Tabungan
18.519.333,33 2.870.400
4.725.333,33
30,11 4,67 7,68
Total Aset Non Lahan 26.115.066,67 42,46
Hasil survei yang ditunjukkan pada Tabel 5.7 dengan data aset yang telah
diolah, memperlihatkan bahwa jenis aset yang paling banyak dimiliki oleh
responden yaitu aset lahan dengan jenis aset lahan rumah sebesar 28,62 persen
dengan nilai rata-rata sebesar 17,6 juta rupiah. Total nilai aset lahan yang dimiliki
responden lebih besar dibandingkan total nilai aset non lahan yaitu sebesar 35,39
juta rupiah atau 57,54 persen dari total aset secara keseluruhan. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar aset yang dimiliki merupakan aset lahan yang
bersifat non-liquid sehingga lebih sulit untuk dicairkan menjadi uang
dibandingkan aset non lahan yang lebih mudah dicairkan menjadi uang sehingga
dapat memberikan kemudahan untuk tambahan modal usaha. Oleh karena itu,
adanya program SPP diharapkan dapat membantu pelaku usaha dalam mengatasi
persoalan modal usaha.
5.5 Akses Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan
5.5.1 Akses Simpanan Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan
Studi menunjukkan rendahnya akses tabungan rumah tangga terhadap
lembaga keuangan formal dan semi formal. Hal ini karena pada umumnya rumah
tangga yang memiliki akses pada lembaga keuangan formal khususnya bank yaitu
79
rumah tangga yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan swasta dimana
pengambilan gaji dilakukan melalui bank dan juga kepentingan transaksi.
Tabel 5.8 Akses Simpanan pada Lembaga Keuangan Akses Simpanan Nilai Rata-rata (Rupiah) Partisipasi
Formal Bank
9.055.556
n = 9 (30 %)
Semi Formal Koperasi Simpan Pinjam
238.888,9
n = 9 (30 %)
Informal SPP Sekolah Majelis
363.333,3 200.000 550.000
n = 30 (100 %) n = 1 (3,33 %) n = 1 (3,33 %)
Berdasarkan hasil survei, sebagian besar rumah tangga hanya memiliki
akses tabungan atau simpanan pada lembaga informal khususnya SPP dengan
nilai partisipasi sebesar 100 persen. Hal ini dikarenakan dalam prosedur
pelaksanaan pinjaman program SPP, terdapat kebijakan yaitu setiap anggota yang
meminjam diwajibkan untuk menabung sebesar 10 persen dari total pinjaman.
Tabungan tersebut berfungsi sebagai dana talangan bagi anggota yang tidak
mampu membayar angsuran dan sistem tersebut dinamakan tanggung renteng atau
disebut tabungan tanggung renteng. Dengan demikian, adanya SPP ini dapat
meningkatkan akses simpanan pada lembaga keuangan. Sedangkan akses rumah
tangga terhadap simpanan pada lembaga keuangan formal masih relatif sedikit
karena jarak yang cukup jauh dengan lokasi lembaga keuangan formal. Selain itu,
relatif sedikit responden yang memiliki uang berlebih untuk ditabung, hanya
responden rumah tangga yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang memiliki
akses tabungan cukup besar pada lembaga keuangan formal.
80
5.5.2 Akses Pinjaman Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan
Tabel 5.9 memperlihatkan mengenai akses pinjaman rumah tangga pada
tiga jenis lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan formal, semi formal dan
lembaga keuangan informal. Akses simpanan rumah tangga pada lembaga formal
khususnya bank tidak menentukan akses pinjaman rumah tangga pada lembaga
formal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.8 dan Tabel 5.9, sebanyak 30 persen
rumah tangga memiliki akses simpanan pada bank, akan tetapi hanya 23,33 persen
rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada bank. Akses rumah tangga
terhadap pinjaman pada lembaga formal tidak terlepas dari penguasaan aset yang
dimiliki rumah tangga. Hal ini dikarenakan pinjaman pada bank umumnya
mengharuskan adanya jaminan atau agunan berupa kepemilikan aset.
Tabel 5.9 Akses Pinjaman Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan Akses Pinjaman Nilai Rata-rata (Rupiah) Partisipasi
Formal Bank
- BJB - BTPN Syariah - BCA - BRI
19.971.428 32.666.667
900.000 20.000.000 10.000.000
n = 7 (23,33 %)
Semi Formal Koperasi Simpan Pinjam
649.500
n = 10 (33,33 %)
Informal SPP Saudara
3.541.333 3.500.000
n = 30 (100 %) n = 3 (10 %)
Hasil survei seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.9 memperlihatkan
bahwa rumah tangga memiliki akses pinjaman pada setiap jenis lembaga
keuangan. Akses pinjaman rumah tangga pada lembaga formal khususnya bank
sebesar 23,33 persen dengan bank yang dituju yaitu BJB, BTPN Syariah, BCA
dan BRI. Responden rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada lembaga
81
formal khususnya bank sebagian besar merupakan pegawai negeri dengan
pengambilan gaji di BJB berjumlah 3 orang responden sehingga nilai rata-rata
pinjaman pada BJB relatif lebih besar dibandingkan bank lainnya dan biasanya
termasuk jenis kredit konsumsi. Pemilihan akses pada BRI dan BCA dikarenakan
kepentingan transaksi usaha dan fasilitas yang memadai. Pemilihan akses
pinjaman pada BTPN Syariah dikarenakan pada tahun 2011 bank tersebut
mengadakan program pemberian pinjaman dengan berbasis pinjaman kelompok
seperti halnya pinjaman program pemerintah yakni SPP.
Akses pinjaman rumah tangga pada lembaga keuangan pun mayoritas pada
lembaga keuangan informal khususnya SPP dengan partisipasi sebesar 100
persen. Hal ini menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP dapat diakses oleh
semua rumah tangga karena mudahnya persyaratan pengajuan pinjaman SPP dan
tidak adanya jaminan atau agunan yang diperlukan hanya berupa simpanan yang
disebut tabungan tanggung renteng sebesar 10 persen dari jumlah pinjaman.
Berdasarkan survei sebagian besar responden (36,67 %) tetap memilih untuk
meminjam pada SPP karena alasan tidak adanya jaminan dan persyaratan
pengajuan yang mudah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10 Alasan Mengajukan Pinjaman pada SPP Alasan Meminjam pada SPP Persentase (%)
Persyaratan yang mudah dan jangka waktu pembayaran lama 30 Jangka waktu pembayaran yang lama 13,33 Tidak adanya jaminan/agunan dan persyaratan pengajuan mudah 36,67 Tidak adanya jaminan/agunan dan sistem tanggung renteng 13,33 Sistem tanggung renteng dan jangka waktu pembayaran lama 6,67 TOTAL 100
Rumah tangga dapat memperoleh jumlah pinjaman yang jauh lebih besar
jika mendapatkan akses pinjaman pada lembaga formal (bank) dibandingkan
82
dengan mengajukan pinjaman pada lembaga informal (SPP). Namun, karena akses
pinjaman pada bank mensyaratkan adanya jaminan yang dirasakan berat untuk
dipenuhi oleh rumah tangga, maka rumah tangga lebih memilih mengajukan
pinjaman pada SPP. Hal ini dikarenakan tidak memerlukan adanya jaminan
walaupun jumlah pinjaman yang diperoleh tidak sebesar jika dibandingkan
meminjam pada bank. Penggunaan pinjaman oleh rumah tangga dari tiap lembaga
keuangan dapat dilihat pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Penggunaan Pinjaman pada setiap Lembaga Keuangan
Berdasarkan hasil survei seperti yang terlihat pada Gambar 5.6 sebagian
besar rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada lembaga formal
menggunakan dana pinjaman untuk kebutuhan konsumtif sebesar 57,14 persen.
Pinjaman yang diperoleh dari lembaga formal (bank) relatif besar sehingga pada
umumnya merupakan jenis kredit konsumsi yang digunakan untuk membangun
rumah atau membeli kendaraan. Adapun untuk akses pinjaman dari lembaga
keuangan informal, mayoritas rumah tangga menggunakan dana pinjaman untuk
kebutuhan usaha yaitu sebesar 57,57 persen. Hal ini menunjukkan lembaga
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Formal (Bank) Semi Formal Informal
Gabungan
Konsumsi
Produksi
83
keuangan informal seperti SPP dengan jumlah pinjaman yang jauh lebih kecil
dibandingkan lembaga keuangan formal (bank) justru mampu mengembangkan
usaha. Hal ini dikarenakan jumlah pinjaman yang relatif kecil sehingga rumah
tangga mengalokasikan hanya untuk kepentingan usaha. Oleh karena itu, adanya
pinjaman bergulir SPP program pemerintah dapat membantu mendorong
perkembangan UMKM.
Dalam pelaksanaan penyaluran pinjaman bergulir SPP, tidak semua
anggota SPP memperoleh pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman yang diajukan
atau disebut dengan istilah credit rationing. Credit rationing juga merupakan
indikator keragaan penyaluran pinjaman, yaitu suatu kondisi adanya perbedaan
antara nilai pinjaman yang diinginkan (pengajuan) dengan nilai pinjaman yang
terealisasi. Hasil survei terdapat 23 persen responden memperoleh pinjaman
dengan jumlah yang lebih rendah dari jumlah pengajuan pinjaman. Ini disebabkan
karena adanya kemacetan pengembalian pinjaman pada guliran pinjaman
sebelumnya. Jumlah pinjaman yang diperoleh 25 persen lebih rendah dari
pinjaman yang diajukan oleh responden yang mengalami credit rationing.
Gambar 5.7 Credit Rationing dalam Penyaluran Pinjaman SPP
23%
77%
Mengalami Credit Rationing
Tidak Mengalami Credit Rationing
84
5.6 Pendapatan Rumah Tangga
5.6.1 Struktur Pendapatan Rumah Tangga
Karakteristik struktur pendapatan rumah tangga merupakan struktur
pendapatan rumah tangga yang diperoleh responden dari usaha tani dan non usaha
tani maupun diluar usaha rumah tangga seperti kiriman yang diperoleh dari salah
satu anggota keluarga (anak).
Tabel 5.11 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan Rata-rata per Tahun (Rupiah) Persentase (%)
Pendapatan Usaha Tani Industri Rumah Tangga Dagang Jasa Buruh Gaji Pensiunan Kiriman
6.771.500 8.261.333,33 8.557.966,67
4.361.000 1.692.000 5.960.000
- 2.688.000
17,70 21,6 22,37 11,28 4,42 15,5
- 7,03
Total 38.246.800 100
Berdasarkan hasil data survei pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa
struktur pendapatan terbesar yang diperoleh responden yaitu berasal dari sektor
perdagangan yang merupakan bagian dari pendapatan non usaha tani sebesar
22,37 persen. Hal ini dikarenakan pada umumnya responden rumah tangga
berprofesi sebagai pedagang. Pendapatan dari sektor perdagangan sebagian besar
merupakan usaha warung kelontongan. Selanjutnya diikuti oleh pendapatan yang
berasal dari industri rumah tangga sebesar 21,6 persen. Pendapatan untuk sektor
industri rumah tangga ini dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu industri
makanan olahan dan industri kerajinan rumah tangga dalam hal ini adalah
pembuatan dompet. Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga yang berasal
dari usaha tani padi yaitu sebesar 17,70 persen. Hal ini disebabkan lahan sawah
85
yang dimilki sebagian besar rumah tangga rata-rata hanya seluas 1.475 m2 (0,14
ha), sehingga kontribusi struktur pendapatan rumah tangga dari usaha tani
tergolong rendah.
Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga dari gaji yaitu sebesar 15,5
persen. Pendapatan gaji tersebut berasal dari rumah tangga yang bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mayoritas berprofesi guru. Adapun untuk
pendapatan yang berasal dari sektor jasa dengan jenis usaha sebagian besar adalah
penjahit, pangkas rambut dan tambal ban yaitu hanya sebesar 11,28 persen dari
total pendapatan. Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga terendah berasal
dari pendapatan buruh yaitu sebesar 4,42 persen.
5.6.2 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Pendapatan
Pinjaman bergulir program SPP bertujuan untuk memudahkan akses
masyarakat khususnya pelaku usaha anggota SPP terhadap permodalan usaha
sehingga usaha yang dijalankan dapat lebih berkembang. Dampak pinjaman
bergulir SPP terhadap perkembangan usaha, selanjutnya akan berdampak juga
terhadap pendapatan pelaku usaha anggota SPP. Dampak pinjaman terhadap
pendapatan dilihat dengan cara membandingkan omset dan laba (keuntungan)
yang diperoleh responden sebelum memperoleh pinjaman bergulir SPP dengan
kondisi setelah memperoleh pinjaman berdasarkan jenis usaha yang dijalankan.
Pelaku usaha anggota SPP pada umumnya tidak hanya menjalankan satu jenis
sektor usaha tetapi juga melakukan diversifikasi usaha. Nilai omset usaha saat
sebelum dan sesudah memperoleh pinjaman dapat dilihat pada Tabel 5.12
86
Tabel 5.12 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Nilai Omset Usaha
Jenis Sektor Usaha
Frekuensi
Omset Rata-rata per Tahun (Rupiah)
Perkembangan Omset Usaha
Sebelum Mendapat Pinjaman
Setelah Mendapat Pinjaman
Jumlah (Rupiah)
Persentase (%)
Perdagangan 12 51.708.533 74.684.600 22.976.067 44,43 Jasa 6 26.298.333 33.024.170 6.725.837 25,57 Industri Rumah Tangga
5 79.610.700 107.223.400 27.612.700 34,68
Perdagangan + Industri
6 41.106.700 59.150.000 19.043.300 47,48
Jasa + Industri
1 20.504.000 26.260.800 5.756.800 28,07
Berdasarkan Tabel 5.12 jenis usaha yang dijalankan oleh responden
terbagi dalam lima sektor usaha yaitu sektor perdagangan, jasa, industri rumah
tangga yang mencakup industri makanan olahan dan industri kerajinan pembuatan
dompet, gabungan perdagangan dan industri serta gabungan jasa dan industri.
Pemberian pinjaman bergulir SPP memberikan dampak positif terhadap
pendapatan di semua jenis sektor usaha. Sektor perdagangan merupakan jenis
usaha yang dominan dijalankan oleh sebagian besar responden yaitu sebanyak 12
responden. Peningkatan omset pada sektor gabungan perdagangan dan industri
merupakan yang terbesar diantara yang lainnya yaitu sebesar 47,48 persen. Hal ini
disebabkan sebagian responden membuka usaha baru di sektor lain setelah
memperoleh pinjaman bergulir SPP sehingga usaha yang dijalankan lebih
beragam. Kemudian dilanjutkan peningkatan omset pada sektor perdagangan
sebesar 44,43 persen. Hal ini dikarenakan untuk sektor perdagangan omset yang
diterima bersifat harian (tiap hari) sehingga perputaran pendapatannya lebih cepat
dibandingkan sektor industri rumah tangga dan jasa, yang omsetnya bersifat
87
mingguan. Dampak pinjaman terhadap pendapatan dapat juga dilihat dari
keuntungan yang diperoleh pada saat sebelum dan setelah memperoleh pinjaman
bergulir SPP. Tabel 5.13 menunjukkan dampak pinjaman bergulir SPP terhadap
keuntungan yang diperoleh UMKM.
Tabel 5.13 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Keuntungan
Jenis Sektor Usaha
Frekuensi
Keuntungan Rata-rata per Tahun
Perkembangan Keuntungan Usaha
Sebelum Mendapat Pinjaman
Setelah Mendapat Pinjaman
Jumlah (Rupiah)
Persentase (%)
Perdagangan 12 10.557.970 15.219.800 4.661.830 44,15 Jasa 6 5.304.700 6.653.240 1.348.540 25,42 Industri Rumah Tangga
5 9.261.300 12.426.100 3.164.800 34,17
Perdagangan + Industri
6 8.382.500 12.355.700 3.973.200 47,40
Jasa + Industri
1 6.080.000 7.860.000 1.780.000 29,27
Peningkatan keuntungan pada sektor gabungan perdagangan dan industri
juga merupakan yang terbesar yaitu mengalami peningkatan sebesar 47,40 persen.
Berdasarkan hasil survei di lapangan, responden merasakan adanya dampak
positif dari pemberian pinjaman bergulir SPP ini, dimana ada dari responden yang
awalnya sudah memiliki usaha namun sudah beberapa tahun tidak beroperasi
karena terkena musibah. Akan tetapi, setelah menerima pinjaman bergulir SPP
akhirnya dapat membuka usaha kembali sehingga ada tambahan sumber
pendapatan. Oleh karena itu, pinjaman bergulir SPP ini sangat dirasakan
manfaatnya oleh responden karena setelah memperoleh pinjaman SPP, responden
dapat memiliki usaha yang sebelumnya justru tidak mempunyai usaha. Selain itu,
dampak positif dari pinjaman bergulir SPP yang dirasakan responden yaitu jenis
88
usaha yang dijalankan responden menjadi beragam setelah memperoleh pinjaman
SPP. Contohnya, usaha yang dijalankan awalnya hanya warungan akan tetapi
setelah memperoleh pinjaman usahanya tidak hanya warungan tetapi juga usaha
industri makanan olahan. Hal ini menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP
dapat menjadikan responden melakukan diversifikasi (keragaman) usaha atau
produk yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha.
Dampak pinjaman SPP terhadap peningkatan pendapatan juga disebabkan
karena responden anggota SPP pada umumnya memang mengalokasikan dana
pinjaman SPP untuk menambah modal usaha.
Gambar 5.8 Penggunaan Dana Pinjaman SPP oleh Pelaku Usaha
Berdasarkan Gambar 5.8 sebagian besar pelaku usaha menggunakan dana
pinjaman dari SPP untuk keperluan modal usaha saja yaitu sebesar 57 persen atau
sebanyak 17 responden pelaku usaha dari total responden. Adapun penggunaan
dana pinjaman SPP selanjutnya dialokasikan untuk gabungan modal usaha dan
keperluan kebutuhan rumah tangga yaitu sebesar 30 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa responden SPP sebagai pelaku usaha terbilang disiplin dalam
menggunakan dana pinjaman SPP. Ini dikarenakan mayoritas responden
57%
13%
30%Murni untuk Modal
Modal + Konsumsi Pendidikan
Modal + Konsumsi Sehari‐hari
89
menggunakan dana pinjaman untuk kegiatan yang produktif yaitu untuk modal
usaha sehingga dampak yang dirasakan cukup besar terhadap peningkatan
pendapatan.
5.7 Dampak Perguliran SPP terhadap UMKM dengan Persamaan Simultan
Simpan Pinjam Perempuan (SPP) sebagai salah satu skim kredit program
pemerintah harus dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan
usaha yang dijalankan oleh anggota kelompok SPP. Untuk melihat pengaruh
pinjaman bergulir SPP terhadap perkembangan UMKM, dilakukan analisis
dengan menggunakan model persamaan simultan dan diuji signifikansinya dengan
menggunakan aplikasi software SAS 9.1. Hasil pengolahan data menunjukkan
bahwa nilai R2 dari keempat persamaan berada diantara 0,43079 hingga 0,63042.
Hal ini dikarenakan data yang digunakan merupakan data primer dengan
keragaman yang cukup besar. Selain itu, tidak ada pelanggaran asumsi
autokorelasi yang terjadi pada setiap persamaan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
Durbin-Watson dari keempat persamaan yang terletak di daerah tidak adanya
autokorelasi.
5.7.1 Besar Pinjaman UMKM
Besar pinjaman UMKM merupakan besarnya jumlah pinjaman dua tahun
terakhir yang diperoleh pemilik UMKM dari Simpan Pinjam Perempuan (SPP).
Tabel 5.14 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi besar pinjaman yang
diperoleh pemilik usaha anggota SPP.
90
Tabel 5.14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besar Pinjaman UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas
Intersep 111388,9 0,12 0,9042 Aset -0,00028 -0,23 0,8206 Omset sebelum pinjaman 0,002961 1,75 0,0930** 0,13308 Jumlah Guliran 1034909 3,57 0,0015* 1,08914 Lama Usaha 11446,17 0,25 0,8065 R2 = 0,43079 F hitung = 4,73* Durbin-Watson = 1,71033 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen ** signifikan pada taraf nyata 10 persen.
Berdasarkan hasil pendugaan, besar pinjaman UMKM memiliki nilai R2
sebesar 0,43079 yang artinya 43,07 persen keragaman besar pinjaman UMKM
dapat dijelaskan oleh setiap variabel penjelas yang ada dalam model. Variabel
yang berpengaruh nyata terhadap besar pinjaman UMKM yaitu omset usaha
sebelum memperoleh pinjaman dan jumlah guliran pinjaman. Omset usaha
memiliki pengaruh positif terhadap besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh
UMKM dengan koefisien sebesar 0,002961. Ini berarti apabila omset usaha
meningkat 100 ribu rupiah maka besar pinjaman yang akan diperoleh UMKM
akan meningkat sebesar 296,1 rupiah cateris paribus.
Secara statistik, omset usaha signifikan pada taraf nyata 10 persen
terhadap besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh UMKM dengan nilai t-statistik
sebesar 1,75. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar omset usaha maka
semakin besar peluang UMKM untuk memperoleh jumlah pinjaman yang lebih
besar. Berdasarkan survei, jenis usaha pembuatan dompet yang termasuk sektor
industri rumah tangga dengan omset paling besar seperti pada Tabel 5.12
memperoleh jumlah pinjaman yang relatif besar juga dibandingkan sektor usaha
lainnya yaitu berkisar antara 4-5 juta rupiah. Nilai elastisitas variabel omset usaha
adalah 0,13308 yang berarti bahwa besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh
UMKM tidak elastis terhadap nilai omset usaha. Nilai elastisitas tersebut memiliki
91
arti apabila terjadi perubahan pada omset usaha sebesar 10 persen, maka besar
pinjaman yang akan diperoleh hanya akan berubah sebesar 1,33 persen.
Jumlah guliran berpengaruh positif terhadap besarnya jumlah pinjaman
yang diperoleh UMKM dengan nilai t statistik 3,57 dan signifikan pada taraf
nyata 5 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah guliran
yang telah ditempuh maka semakin besar jumlah pinjaman yang diperoleh.
Berdasarkan hasil survei seperti pada bagian sebelumnya pada Tabel 5.10
responden yang telah mencapai guliran keempat, memperoleh pinjaman dengan
jumlah yang lebih besar yaitu sekitar 4,5 juta rupiah. Hal ini juga menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengembalian yang lancar
sehingga jumlah pinjaman yang diperoleh semakin besar dengan semakin
tingginya jumlah guliran.
Hasil pendugaan aset dan lama usaha secara statistik tidak berpengaruh
nyata terhadap besarnya jumlah pinjaman. Hal ini dikarenakan memang pada
dasarnya, skim kredit program pemerintah khususnya pinjaman bergulir SPP ini
tidak membutuhkan adanya jaminan yang biasanya berupa aset sehingga nilai aset
yang dimiliki responden tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya pinjaman.
Selain itu, kredit program pemerintah pada umumnya bertujuan untuk membantu
mengembangkan usaha yang baru dijalankan sehingga lama usaha tidak
berpengaruh nyata terhadap besar pinjaman.
5.7.2 Nilai Penjualan (Omset) UMKM
Omset UMKM merupakan nilai total penjualan dari output yang
dihasilkan atau diproduksi dan dijual dalam satuan rupiah per tahun. Faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai omset UMKM dapat dilihat pada Tabel 5.15
92
Tabel 5.15 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Omset UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas
Intersep -1,027E8 -0,77 0,4503 Aset Usaha 0,702659 4,34 0,0002* 0,25370 Besar Pinjaman 89,09874 2,32 0,0288* 1,13032 Lama Usaha -1713949 -0,23 0,8190 Modal Awal Usaha 13,39023 0,69 0,4984 R2 = 0,63042 F hitung = 10,66 Durbin-Watson = 1,916734 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen
Berdasarkan hasil pendugaan, nilai omset usaha memiliki nilai R2 sebesar
0,63042 yang artinya 63,04 persen keragaman nilai omset dapat dijelaskan oleh
masing-masing variabel penjelas yang ada dalam model. Variabel yang
berpengaruh nyata terhadap nilai omset UMKM yaitu aset usaha dan besar
pinjaman. Aset usaha memiliki pengaruh positif terhadap omset usaha dengan
koefisien sebesar 0,7026. Ini berarti apabila aset yang dimiliki pelaku usaha
meningkat sebesar 100 rupiah maka omset usaha akan meningkat sebesar 70,26
rupiah cateris paribus. Aset usaha secara statistik signifikan pada taraf 5 persen.
Nilai elastisitas variabel aset usaha adalah 0,25370. Hal tersebut menunjukkan
bahwa omset UMKM tergolong tidak elastis terhadap nilai aset usaha yang
dimiliki. Artinya, setiap nilai aset usaha mengalami perubahan sebesar 10 persen,
maka omset yang diperoleh hanya akan berubah sebesar 2,53 persen.
Besar pinjaman berpengaruh positif terhadap omset yang diperoleh
UMKM dengan koefisien sebesar 89,09874 dan signifikan pada taraf nyata 5
persen. Omset usaha responden mengalami peningkatan sebesar 36,05 persen
setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP yaitu dari 43,64 juta rupiah per tahun
menjadi 60,06 juta rupiah per tahun. Ini dikarenakan dana pinjaman memang
digunakan untuk modal usaha. Nilai elastisitas variabel besar pinjaman yaitu
sebesar 1,13032 yang berarti omset usaha elastis terhadap besarnya jumlah
93
pinjaman yang diperoleh. Nilai ini memiliki arti apabila besar pinjaman
mengalami peningkatan 10 persen, maka akan meningkatkan omset usaha sebesar
11,30 persen. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Osa
(2010) mengenai dampak keberadaan LKM terhadap perkembangan UMKM di
DKI Jakarta yang hasilnya bahwa besar pinjaman berpengaruh positif terhadap
omset usaha dan signifikan pada taraf nyata 5 persen.
Tabel 5.16 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap UMKM Berkembang atau Tidak Alasan Persentase (%)
Usaha Berkembang Memberikan/menambah modal Jumlah produk semakin banyak Jenis usaha yang dijalankan menjadi beragam atau bertambah Menambah asset usaha
10 20 40
13,33 Total Usaha Berkembang 83,33 Usaha Tidak Berkembang atau tetap
Kurangnya pembeli atau permintaan Pinjaman digunakan untuk konsumsi Pengelolaan usaha yang kurang baik
3,33 10
3,33 Total Usaha Tidak Berkembang atau Tetap 16,67
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP berdampak positif
terhadap perkembangan UMKM. Sebesar 40 persen responden mengakui bahwa
jenis usaha yang dijalankan menjadi beragam atau bertambah setelah
mendapatkan pinjaman bergulir dari SPP. Akan tetapi, berdasarkan survei di
lapangan ada juga UMKM yang tidak berkembang setelah memperoleh pinjaman
bergulir dari SPP. Hal ini dikarenakan sebesar 10 persen responden menggunakan
pinjaman bergulir SPP untuk kebutuhan konsumsi bukan untuk kepentingan
usaha. Selain itu, tidak berkembangnya usaha juga dikarenakan kurangnya
pembeli atau permintaan dan pengelolaan usaha yang kurang baik sehingga
dampak dari pinjaman bergulir SPP tidak meningkatkan perkembangan usaha.
94
5.7.3 Nilai Keuntungan UMKM
Keuntungan adalah selisih antara total pendapatan dengan total biaya atau
jumlah pendapatan bersih yang diperoleh dalam satuan rupiah per tahun. Tabel
5.17 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai keuntungan UMKM.
Tabel 5.17 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Keuntungan UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas
Intersep 18360440 1,03 0,3118 Total Biaya 0,028697 1,41 0,1717 Omset setelah pinjaman 0,041134 3,07 0,0051* 0,31417 Tingkat Pendidikan 381127,3 0,23 0,8218 Lama Usaha -415973 -0,64 0,5285 R2 = 0,47173 F hitung = 5,58 Durbin-Watson = 1,886591 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen
Hasil pendugaan menunjukkan bahwa nilai keuntungan UMKM memiliki
nilai R2 = 0,47173 yang artinya keragaman nilai keuntungan UMKM yang dapat
dijelaskan dengan baik oleh masing-masing variabel penjelas yang terdapat dalam
persamaan yaitu sebesar 47,17 persen. Nilai omset usaha setelah memperoleh
pinjaman berpengaruh positif dengan koefisien sebesar 0,041134 terhadap nilai
keuntungan UMKM. Ini berarti setiap peningkatan omset usaha sebesar 100 ribu
rupiah maka akan meningkatkan keuntungan usaha sebesar 4.113,4 rupiah. Omset
usaha signifikan pada taraf 5 persen, yang menunjukkan semakin besar nilai
omset, maka semakin besar pula keuntungan usaha yang diperoleh.
Keuntungan usaha responden sebelum memperoleh pinjaman rata-rata
mencapai 7,91 juta rupiah per tahun. Setelah memperoleh pinjaman keuntungan
usaha responden mengalami peningkatan sebesar 36,08 persen menjadi 10,90 juta
rupiah per tahun. Nilai elastisitas variabel omset usaha adalah 0,31417 yang
menunjukkan bahwa nilai keuntungan UMKM tidak elastis (tidak peka) terhadap
perubahan nilai omset usaha. Nilai tersebut memiliki arti setiap nilai omset usaha
95
mengalami perubahan sebesar 10 persen, maka nilai keuntungan hanya akan
berubah sebesar 3,14 persen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Osa (2010) mengenai dampak keberadaan LKM terhadap perkembangan
UMKM di DKI Jakarta yang hasilnya bahwa nilai omset usaha berpengaruh
positif terhadap keuntungan usaha dan signifikan pada taraf nyata 5 persen.
Lama usaha tidak signifikan secara statistik terhadap keuntungan usaha
yang diperoleh. Hal ini berarti lama usaha responden tidak berpengaruh terhadap
besarnya keuntungan UMKM. Berdasarkan hasil survei banyak responden dengan
lama usaha lebih dari 10 tahun tetapi justru keuntungan yang diperoleh semakin
berkurang bukan semakin meningkat, karena banyaknya persaingan usaha
sehingga keuntungan usaha yang diperoleh pun berkurang.
5.7.4 Penyerapan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan penggunaan input berupa tenaga manusia dalam
kegiatan usaha dalam satuan jumlah orang yang bekerja. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyerapan tenaga kerja ditunjukkan pada Tabel 5.18
Tabel 5.18 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja UMKM
Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas Intersep -0,48099 -0,20 0,8468 Besar Pinjaman 9,771E-7 1,82 0,0796** 1,14255 Keuntungan Usaha 1,068E-7 2,68 0,0126* 1,28887 Jumlah Anggota Keluarga -0,70563 -1,19 0,2453 R2 = 0,47418 F hitung = 7,82 Durbin-Watson = 1,946973 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen ** signifikan pada taraf nyata 10 persen
Berdasarkan pendugaan, nilai R2 yang dihasilkan yaitu sebesar 0,47418
yang artinya keragaman penyerapan tenaga kerja yang dapat dijelaskan dengan
baik oleh masing-masing variabel penjelas yang terdapat dalam persamaan yaitu
sebesar 47,42 persen. Penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh besarnya
96
pinjaman dan keuntungan usaha yang diperoleh. Besar pinjaman berpengaruh
positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan signifikan pada taraf nyata 10
persen. Hal tersebut berarti semakin besar jumlah pinjaman maka semakin besar
kemungkinan untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak. Ini sesuai dengan hasil
survei, khususnya untuk usaha industri pembuatan dompet setelah memperoleh
pinjaman, jumlah dompet yang dapat dihasilkan semakin banyak sehingga
menambah jumlah tenaga kerja. Nilai elastisitas variabel besar pinjaman adalah
1,14255 yang berarti penyerapan tenaga kerja elastis atau peka terhadap besar
pinjaman yang diperoleh. Artinya, jika terjadi perubahan besar pinjaman sebesar
10 persen, maka akan meningkatkan peyerapan tenaga kerja sebesar 11,42 persen.
Keuntungan usaha secara statistik berpengaruh nyata dan signifikan pada
taraf nyata 5 persen. Ini menunjukkan apabila keuntungan usaha yang diperoleh
semakin tinggi maka pelaku usaha cenderung untuk menambah atau menyerap
tenaga kerja. Nilai elastisitas keuntungan usaha adalah 1,28887. Hal tersebut
berarti bahwa penyerapan tenaga kerja elastis (peka) terhadap besarnya
keuntungan usaha yang diperoleh. Berdasarkan survei, sektor usaha yang paling
banyak menyerap tenaga kerja yaitu sektor industri rumah tangga dengan jenis
usaha pembuatan dompet. Adapun untuk sektor perdagangan pada umumnya
merupakan unit usaha sendiri tanpa pekerja (self-employment). Secara
keseluruhan, jika dilihat dari keterkaitan antar variabel maka besarnya pinjaman
berpengaruh positif terhadap omset usaha. Omset usaha selanjutnya berpengaruh
terhadap keuntungan yang diperoleh dan keuntungan usaha berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, usaha responden anggota SPP
mengalami perkembangan setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP.