bab iveprints.unram.ac.id/8580/1/muh. khairussibyan.doc · web viewfungsi hermes sangat penting...

101
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra dan realitas kehidupan memiliki keterkaitan yang erat. Karya sastra menurut teori mimesis adalah tiruan dari kenyataan. Dalam karya sastra, realitas diolah dengan imajinasi dan pengetahuan pengarang sehingga karya sastra memiliki nilai estetika atau keindahan. Sebagai hasil imajinasi, karya sastra memiliki unsur fiksionalitas (khayalan). Namun, walaupun memiliki unsur fiksionalitas yang kuat, sebuah karya sastra, tetap memiliki hubungan dengan kenyataan. Karena jika tidak, pembaca tentu tidak akan bisa memahami dan menikmati karya sastra. Berhubungan dengan kenyataan bukan berarti karya sastra merupakan hasil dokumentasi kenyataan semata. Kenyataan hanya sebagai sumber ide pengarang. Pengarang mengartikan sebuah kenyataan tidak sebagaimana masyarakat umum mengartikannya. Sehingga kenyataan atau pengalaman 1

Upload: lamthu

Post on 13-Jun-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra dan realitas kehidupan memiliki keterkaitan yang erat. Karya sastra

menurut teori mimesis adalah tiruan dari kenyataan. Dalam karya sastra, realitas

diolah dengan imajinasi dan pengetahuan pengarang sehingga karya sastra memiliki

nilai estetika atau keindahan. Sebagai hasil imajinasi, karya sastra memiliki unsur

fiksionalitas (khayalan). Namun, walaupun memiliki unsur fiksionalitas yang kuat,

sebuah karya sastra, tetap memiliki hubungan dengan kenyataan. Karena jika tidak,

pembaca tentu tidak akan bisa memahami dan menikmati karya sastra.

Berhubungan dengan kenyataan bukan berarti karya sastra merupakan hasil

dokumentasi kenyataan semata. Kenyataan hanya sebagai sumber ide pengarang.

Pengarang mengartikan sebuah kenyataan tidak sebagaimana masyarakat umum

mengartikannya. Sehingga kenyataan atau pengalaman itu menjadi suatu hal yang

mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran (Dahana, 2001: 60). Dalam karya

sastra, realitas diolah dengan imajinasi dan pengetahuan pengarang sehingga karya

sastra memiliki nilai estetika atau keindahan. Susastra sebagai seni selalu

berhubungan dengan pengalaman yang dibentuk oleh emosi dan pikiran. Pengarang

lalu melukiskan pengalaman itu dengan media bahasa, dan mengembalikannya

kepada pemahaman pembaca. Karya sastra dibedakan dari karya tulis lainnya karena

karya sastra menggunakan sistem tanda kedua. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan

dalam karya sastra bersifat metaforis dengan tujuan memperluas dan memperdalam

1

tema pada karya sastra. Karena sifatnya itulah maka untuk memahami karya sastra

kita harus menafsirkannya.

Karya sastra sebagai bagian dari kajian budaya melibatkan aspek-aspek di luar

dirinya, aspek-aspek ekstrinsik, yaitu sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada

umumnya (Ratna, 2007: 113). Karena itu, ia memiliki relevansi dalam kehidupan.

Relevansi itu bersifat didaktis, artinya terdapat pembelajaran tentang moral, agama,

dan kemanusiaan di dalamnya. Relevansi sebuah karya sastra sebagai karya fiksi

tentu tidak serta merta dapat terwujud dalam kenyataan tanpa proses penikmatan dan

pemahaman yang utuh tentang sebuah karya sastra.

Naskah drama merupakan salah satu jenis karya sastra. Drama dibedakan dari

karya sastra yang lain karena drama memiliki dua dimensi yakni dimensi karya sastra

dan dimensi seni pertunjukan. Pada awalnya, naskah drama ditulis untuk memenuhi

kebutuhan pementasan teater atau drama di Yunani berabad-abad sebelum masehi.

Tujuan semula itu terus menjadi dasar penciptaan naskah drama sampai sekarang

yakni untuk dipertunjukkan di panggung atau di hadapan orang banyak.

Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa

dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk

tersendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan

mempunyai kemungkinan dipentaskan (Waluyo dalam Zamroni, 2006: 1).

Mahkamah adalah judul sebuah naskah drama dan merupakan karya

monumental dari almarhum Asrul Sani. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada

tahun 80-an. Sejak itu banyak sekali kelompok kesenian yang mementaskan drama

dengan mengangkat naskah ini salah satunya pada tahun 2007 oleh Sanggar Pelakon

2

Jakarta yang dipimpin oleh Mutiara Sani, istri almarhum Asrul Sani. Bahkan pernah

dijadikan film dan ditampilkan di televisi. Di Nusa Tenggara Barat naskah ini pernah

digarap dan dipentaskan pada tahun 1999 dan kembali dipentaskan pada tahun 2009

lalu oleh Teater Putih FKIP Universitas Mataram (ulasan tentang pentas ini dimuat

dalam majalah Gong edisi 117/X/2010 terbitan Yayasan Tikar Media Budaya

Nusantara).

Sumber penceritaan naskah drama ini adalah peristiwa sejarah bangsa Indonesia

pada tahun 1948 ketika terjadi bentrokan bersenjata antara TNI dengan PKI. Peristiwa

yang terjadi di Madiun Jawa Tengah ini pada awalnya hanya disebut sebagai

Peristiwa Madiun pada zaman rezim Soeharto diubah menjadi Pemberontakan PKI di

Madiun.

Konflik sejarah di atas merupakan latar belakang dari konflik batin yang dialami

tokoh utama dalam drama ini yakni Saiful Bahri. Konflik batin yang dialami Saiful

Bahri itu merupakan endapan dari peristiwa masa lalu ketika ia menghukum mati

sahabatnya sendiri pada peristiwa Madiun 1948 itu. Konflk batin ini berupa

terusiknya hati nurani si tokoh menjelang kematiannya. Akhirnya, ia dihadapkan ke

pengadilan nurani untuk diadili. Karena bersumber pada permasalahan nurani inilah

maka naskah ini selalu mendapatkan relevansinya pada setiap masa, sehingga penting

untuk dikaji dengan teori-teori sastra termasuk teori hermeneutika agar tetap

bermakna dan kontekstual dengan masa sekarang.

Hermeneutika menekankan prinsip polisemi teks dengan menunjukkan bahwa

penafsiran tidak berhenti pada maksud pengarang, tetapi berlanjut hingga perspektif

pembaca (Haniah, 2007: 21). Akan tetapi, dalam hermeneutika Ricoeurian, seorang

3

penafsir harus berusaha semaksimal mungkin untuk objektif dalam melakukan

penafsiran. Oleh karena itu Ricoeur (Saidi, 2008: 376) mengajukan empat kategori

metodologis yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui dunia teks,

distansiasi melalui dunia tulisan, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini

disederhanakan lagi menjadi tiga tahap metodologis yakni tahap tahap distansiasi,

tahap interpretasi, dan tahap apropriasi.

Haniah (2007: vi), berdasarkan empat kategori tersebut, menyebutkan dua

tingkat penafsiran. Pada tingkat pertama, pembaca membuka dunia teks melalui

dialektika pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) untuk merekonstruksi

cerita. Konsep pemahaman (verstehen/ understanding) dan penjelasan (erklaren/

explanation) merupakan konsep hermeneutik Dilthey yang diperbarui oleh Ricoeur.

Pemahaman merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks yang

disebut sebagai makna kontekstual. Sedangkan penjelasan merupakan analisis secara

struktural (semiotis) yang dilakukan terhadap karya dengan tidak melihat

hubungannya pada dunia yang ada di luar teks.

Pada tingkat kedua, pembaca mengadakan apropriasi, yaitu membuat makna

teks yang semula “asing” itu menjadi milikinya sendiri dengan cara merefleksikan

dunia teks yang telah dibuka. Pada tahap apropriasi (Haniah menggunakan istilah

refleksi) inilah dilakukan penafsiran yang sebenarnya. Jadi, kajian hermeneutika

Ricoeur terdiri atas dua tahap berurutan, yaitu tahap rekonstruktif yang terdiri dari

tahap semantis (pemahaman/ verstehen) serta tahap semiotis (penjelasan/ erklaren)

dan tahap produksi atau refleksi yang terdiri dari tahap evaluasi dan relevansi.

4

Dalam penelitian ini, pada tahap rekonstruksi teks ditambah bagian tentang

pengkajian tema tempat perumusan tema berdasarkan rekonstruksi teks pada tahap

pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren). Pengkajian tema ini penting untuk

dilakukan mengingat tema merupakan pokok pikiran yang mendasari sistem narasi

dari naskah drama Mahkamah. Sedangkan pada tahap refleksi bagian evaluasi dan

relevansi dilakukan penafsiran yang menghubungkan naskah drama Mahkamah

dengan konteks kekinian yakni tentang masyarakat, penegakan HAM di Indonesia,

dan Sejarah Indonesia.

Penulis menggunakan teori hermeneutika ricoeurian karena teori ini berbeda

dengan hermeneutika konvensional yang mengabaikan struktur teks yang akan

ditafsirkan. Dalam teori ini terdapat tahap pemahaman (verstehen) dan tahap

penjelasan (erklaren) yang mesti dilalui penafsir sebagai bentuk objektivasi struktur

teks, kemudian berlanjut kepada penafsiran yang sebenarnya pada tahap apropriasi

(refleksi).

Berdasarkan pada seringnya naskah ini dipentaskan, kegelisahan Bahri tentang

pengadilan nurani, dan hermeneutika recoeurian yang memadukan pendekatan

struktural dan hermeneutika konvensional maka penulis tertarik untuk mengkaji

naskah drama Mahkamah tersebut menggunakan kajian hermeneutik ricoeurian untuk

mengungkap makna naskah tersebut dan agar apa yang jauh secara waktuwi, bisa

mendapatkan relevansinya pada masa sekarang. Naskah tersebut juga dirasa masih

sangat relevan dengan konteks (situasi dan kondisi) masyarakat, bangsa dan negara

Indonesia.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang muncul adalah:

1. Bagaimanakah bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan

tahap penjelasan (erklaren), serta tema naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani

menurut kajian hermeneutik Ricoeurian?

2. Bagaimanakah bentuk apropriasi atau refleksi terhadap naskah drama Mahkamah

karya Asrul Sani pada tahap evaluasi dan relevansi menurut kajian hermeneutik

Ricoeurian?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Menemukan bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan

tahap penjelasan (erklaren), serta tema naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani

menurut kajian hermeneutik Ricoeurian.

2. Menemukan bentuk apropriasi atau refleksi naskah drama Mahkamah karya Asrul

Sani pada tahap evaluasi dan tahap relevansi menurut kajian hermeneutik

Ricoeurian.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Manfaat Teoretis

a. Memperkaya khazanah pengetahuan kesusastraan khususnya dalam bidang

kajian hermeneutika Ricoeurian.

6

b. Menjadi sumbangan pemikiran, ide, dan gagasan bagi kemajuan ilmu

kesusastraan khususnya dalam bidang kajian hermeneutika Ricoeurian.

c. Menambah bahan apresiasi dan pemahaman menuju analisis yang lebih

sempurna.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini semoga bisa menjadi bahan rujukan bagi penelitian

selanjutnya baik yang berhubungan dengan naskah drama maupun kajian

hermeneutika.

b. Penelitian ini semoga bisa dijadikan bahan rujukan bagi sutradara atau

sanggar seni yang berminat untuk mementaskan naskah drama Mahkamah

karya Asrul Sani.

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Istilah

Hermeneutika Ricoeurian adalah teori penafsiran teks yang dikembangkan

oleh Paul Ricoeur. Konsep hermeneutika Ricoeurian dibuat berdasarkan kekecewan

Riocoeur terhadap teori struktural yang menganggap bahasa sebagai suatu yang

tertutup dan dangkal serta terhadap teori hermeneutika konvensional yang cenderung

menafsirkan teks dengan menghilangkan ojektivitas penafsir. Untuk mendapatkan

hasil penafsiran yang baik dan objektif, Ricoeur menawarkan empat kategori

metodologis penafsiran yaitu: objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan,

distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini

disederhanakan lagi menjadi dua tahap metodologis yakni tahap rekonstruksi teks

yang terdiri dari tahap pemahaman (verstehen) serta tahap penjelasan (erklaren) dan

tahap apropriasi atau refleksi yang terdiri dari tahap evaluasi dan relevansi.

Naskah drama adalah salah satu genre sastra selain prosa dan puisi. Naskah

drama berbentuk urutan dialog antar tokoh kadang disebutkan juga tentang petunjuk

akting dan biasanya dibuat untuk dipentaskan di atas panggung. Jadi, naskah drama

Mahkamah adalah karya sastra berbentuk drama yang diciptakan oleh Asrul Sani

pada tahun 1980-an.

8

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang telah dilakukan baik yang berkaitan dengan naskah

drama maupun dengan kajian hermeneutik telah banyak dilakukan. Penelitian yang

mengacu pada teori hermeneutik Paul Rioceur dilakukan oleh Haniah (2007) dalam

mengkaji 12 roman Indonesia. Dalam penelitian yang berjudul Dari Dekonstruksi ke

Refleksi: Apresiasi Susastra dengan Kajian Hermeneutik itu, Haniah menganalisis 12

roman Indonesia itu dalam dua tahap yakni tahap rekonstruksi dan tahap produksi/

refleksi. Pada tahap rekonstruksi, penafsir mengkonstruksi kembali struktur dan dunia

teks kemudian ditafsirkan pada tahap refleksi.

Peneliti yang sama juga pernah meneliti prosa lirik karya Linus Suryadi AG

berjudul Pengakuan Pariyem. Tesisnya di Universitas Indonesia itu berjudul Metode

Hermeneutik Ricoeur: Kajian dan Penerapannya pada Novel Pengakuan Pariyem.

Dalam tesis itu Haniah menyebutkan bahwa hermeneutik Ricoeur tidak terlepas dari

tujuan Ricoeur berfilsafat, yaitu memahami eksistensi manusia.

Penelitian terhadap naskah drama pernah dilakukan oleh Moch. Zamroni

(2006) berjudul Konflik dalam Naskah Drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya.

Dalam penelitian itu Zamroni mengatakan bahwa hal yang membedakan naskah

drama dengan prosa dan puisi adalah teknik analisis unit motivasional dalam drama.

Petunjuk mengenai teknik dan maksud penulis naskah dapat selalu ditemukan dengan

menganalisis unit motivasional. Apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik

bergerak dan berkembang, dan apa efek-efek dari konflik bergantung pada jenis dan

fungsi setiap unit motivasional. Unit motivasional didefinisikan sebagai bagian

9

terkecil integral yang melengkapi adegan dalam lakon/ drama, yang mana pola

motivasional tetap tidak berubah.

Hasil penelitian yang lain adalah skripsi yang disusun oleh Soni Farid

Maulana (1986) berjudul, Sikap Terhadap Modernisasi, Antara Saini K.M. dan Arifin

C. Noer, Lewat Kapai-Kapai dan Amat Jaga, Sebuah Pendekatan Sosiologis. Dalam

skripsi tersebut, Maulana meneliti tentang sikap pengarang dua naskah drama yaitu

Saini K.M. dan Arifin C. Noer dalam merespon perkembangan zaman dalam bentuk

arus pembaruan yang dikenal sebagai modernisasi, dengan cara menganalisis secara

sosiologis dua naskah drama yakni Kapai-Kapai dan Amat Jaga.

Penelitian lain yang relevan adalah skripsi oleh Farmiatun (2009) di jurusan

PBS Universitas Mataram berjudul Kajian Konflik Psikologi Tokoh Atma dalam

Cerpen Paku dan Palu Karya Utuy Tatang Sontani. Dalam penelitian itu, Farmiatun

menganalisis psikologis tokoh utama. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan rujukan

karena sama-sama menganalisis motif-motif lakuan tokoh dalam karya sastra.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan di atas, ternyata Kajian

Hermeneutik terhadap Naskah Drama Mahkamah belum pernah dilakukan. Oleh

karena itu, penelitian ini sangat penting dilakukan guna menambah khazanah

pengetahuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya bidang kajian

hermeneutik yang menggunakan teori hermeneutik ricoeurian.

10

C. Kerangka Teori

1. Drama sebagai Karya Sastra

Sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, ini merupakan prinsip sastra

yang tidak terbantahkan. Karya sastra menjadi bagian dari budaya karena berupa

hasil penciptaan pengarang yang hidup sebagai anggota masyarakat. Karena itu

pengarang tidak pernah bisa melepaskan diri dari persoalan kehidupan sewaktu

melahirkan karya sastra.

Begitu pula drama, sebagai salah satu genre sastra yang menyajikan

peristiwa dramatik yang diangkat secara sastrawi dan bisa berdialog dengan

masyarakatnya, tentunya sastra tersebut adalah sastra kontekstual atau kedudukan

sastra tersebut sangat terlibat dengan persoalan-persoalan yang terjadi di

masyarakatnya (Maulana, 1986:9). Dengan demikian, tokoh-tokoh yang hadir

dalam peristiwa sastra tersebut merupakan suatu gambaran tertentu dari situasi

tertentu pula yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya.

Karya-karya drama, meskipun tercipta oleh pengarang yang berhubungan

dengan kenyataan, tetaplah harus diperlakukan sebagai suatu karya yang otonom.

Hasanuddin (1996: 63) menegaskan bahwa pengertian otonom menurut para

strukturalis adalah bahwa karya sastra hanya patuh pada dirinya sendiri. Artinya,

kita harus menganalisis atau meneliti drama dengan menggunakan teori,

pendekatan, metode, dan teknik yang sesuai dengan karakteristik drama. Menurut

Hasanudin (1996: 7), drama memiliki karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra

pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi lain.

11

Dalam bagian penegasan istilah di atas, drama diartikan sebagai seni

pertunjukan atau disamakan dengan teater. Namun ada juga ahli yang menyatakan

bahwa drama tidak mengacu kepada seni pertunjukan teater, tapi mengacu kepada

naskah yang dijadikan pedoman bermain dalam pementasan teater. Seperti yang

dinyatakan oleh Hasanuddin (1996), bahwa drama merupakan suatu genre sastra

yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai

suatu seni pertunjukan.

Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibandingkan

dengan genre puisi atau genre prosa lainnya. Drama tidak dapat diperlakukan

sebagai puisi ketika mendekatinya, karena puisi merupakan karya sastra yang

memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan drama, seperti unsur diksi, bunyi,

persajakan dan sebagainya, namun drama juga tidak bisa disamakan dengan prosa

jenis lain seperti cerpen dan novel. Setidaknya terdapat tiga ciri yang

membedakannya pertama, naskah drama tidak memiliki sudut pandang penceritaan.

kedua, naskah drama hanya berisi dialog para tokoh, dan ketiga, naskah drama

disertai pula dengan petunjuk pemanggungan dan akting di atas panggung.

Drama berasal dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti berbuat, berlaku,

bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Menurut Haryaman (Haryaman: 1993),

terdapat tiga arti drama. Pertama, drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action,

(segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan

(exciting), dan ketegangan pada pendengar/ penonton. Kedua, seperti yang

diungkapkan oleh Moulton, drama adalah “hidup yang dilukiskan dengan gerakan.”

Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat

12

kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri. Pengertian

ini ditegaskan oleh Balthazar Verhagen bahwa drama adalah kesenian melukiskan

sifat dan sikap manusia dengan gerak. Ketiga, drama adalah cerita konflik manusia

dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan

percakapan dan action di hadapan penonton.

Haryaman sendiri menyamakan pengertian drama dengan teater yakni,

kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh

orang banyak, dengan media: percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor,

dan didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra). Dalam hal ini, yang

saya maksud dengan drama adalah pengertian menurut Haryaman ini. Di dalam

pertunjukan drama, pemain berakting sesuai dengan peran yang terdapat dalam teks

cerita. Teks tertulis yang berisi rancangan laku itu disebut lakon kemudian lebih

dikenal dengan nama naskah drama.

Namun, drama juga memiliki unsur-unsur seperti yang dimiliki prosa

lainnya. Unsur-unsur penokohan, alur, tema, dan setting juga terdapat dalam drama.

Untuk keperluan penelitian, kita hanya akan membahas tentang tema serta motif

dan peristiwa dalam drama.

a. Tema

Menurut Budi Darma (Mar’i, 1991: 13), tema adalah masalah hakiki

manusia seperti cinta kasih, kasih sayang, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan

dan sebagainya. Sedangkan menurut Mar’i (1991: 13) tema adalah pokok

persoalan yang tersusun di dalam sebuah fiksi, merupakan sebuah ide yang

penting dari interpretasi manusia.

13

Tema sering pula diartikan sebagai sumber atau ide cerita. Tema menjadi

sumber ilham penceritaan dalam sebuah karya sastra. Tema adalah pikiran pokok

yang mendasari sebuah karya sastra termasuk drama. Pikiran pokok ini

dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik.

b. Motif dan Peristiwa

Peristiwa dalam teater adalah unsur pembangun alur dan suspense. Dalam

drama setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai

hubungan sebab-akibat. Peristiwa di dalam drama terjadi karena adanya perbuatan

atau laku-laku yang dilakukan oleh para tokoh. Hasanuddin (86:1996)

menyatakan bahwa usaha memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan

memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh.

Untuk memenuhi unsur sebab-akibat, laku-laku dalam drama harus memiliki alasan yang jelas. Harus ada alasan tentang mengapa laku tersebut dilakukan oleh tokoh. Alasan tentang mengapa laku atau peristiwa itu terjadi disebut dengan motif. Oleh Sebab itu, motif merupakan dasar laku, keseluruhan stimulus dinamis yang menjadi sebab pelaku (seseorang atau sekelompok orang) mengadakan respon-respon (Hasanuddin, 88:1996).

Menurut Oemarjati (Hasanuddin, 1996:88) motif dapat muncul dari

berbagai sumber, antara lain:

1) kecenderungan-kecenderungan dasar yang dimiliki manusia;

2) situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan sosial;

3) interaksi sosial; dan

4) watak manusia itu sendiri.

14

2. Hermeneutika Ricoeurian

a. Hakikat Hermeneutika

Secara etimologis hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,

hermeneuiein, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan (Ratna,

2008: 45). Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa

Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes

berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk

yang dimengerti manusia. Fungsi Hermes sangat penting sebab bila tejadi

kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh

manusia. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses

mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan

umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik

maupun dalam pandangan modern (Palmer dalam Sumoryono, 1999: 24).

Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika untuk memahami

agama, Ratna (2008: 45) mengatakan bahwa metode ini dianggap tepat untuk

memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa karya sastra merupakan

karya tulis yang terdekat dengan agama. Ratna kemudian menegaskan bahwa

teori hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang

paling optimal.

Gadamer berpendapat (Sumaryono, 1999: 77) bahwa hermeneutik

adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari

hermeneutik, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses

mekanis. Menurutnya, hermeneutik harus menghasilkan suatu esensi dalam

15

atau hal batiniah yang merupakan realitas utama. Pendapat Gadamer ini

senada dengan pendapat Ricoeur. Menurut Ricoeur (Sumaryono dalam

Endraswara, 2003: 42), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang

ada di balik struktur. Di dalam teks (karya sastra) ada konteks yang bersifat

polisemi maka peneliti harus menukik ke arah teks dan konteks sehingga

ditemukan makna utuh.

Menurut Palmer (2003: 15), ada tiga makna dasar hermeneutika,

yaitu: mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say” ; menjelaskan, seperti

menjelaskan sebuah situasi dan; menterjemahkan, seperti di dalam

transliterasi bahasa asing.

Palmer juga menyebutkan bahwa hermeneutika adalah proses

penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna

terpendam atau tersembunyi. Objek interpretasi dalam pengertian yang luas,

bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam

masyarakat atau sastra (2003: 48). Sedangkan menurut Ricoeur (Poesporodjo,

2004: 113), hermeneutika adalah teori pengoperasian pemahaman dalam

kaitannya dengan interpretasi kebudayaan sebagai teks. Interpretasi ditegaskan

sebagai pembedaan suatu arti yang tersembunyi di dalam arti yang tampak.

Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis oleh manusia mempunyai makna

yang lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda-beda.

16

b. Hermeneutika Ricoeurian

Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan, pada tahun 1913. Ia

berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai

cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia berkenalan dengan

filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filusuf yang

menganut aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 ia memperoleh

‘licence de philosophie’. Pada akhir tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai

mahasiswa S-2 di Universitas Sorbonne, dan pada tahun 1935 memperoleh

‘agregation de philosophie’ (keanggotaan atau ijin menjadi anggota suatu

organisasi dalam bidang filsafat).

Pada tahun 1950 ia memperoleh gelar “docteur des letters” (doctor

bidang Kesusastraan) melalu tesisnya yang berjudul Philosophie de la Volonte

(Filsafat Kehendak). Pada tahun 1956 Ricoeur diangkat menjadi professor

filsafat di Universitas Sorbonne. Namun pada tahun 1966 ia memilih

mengajar di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne, di pinggiran kota

Paris.

Dengan mengutip Niezstche, Ricoeur menyatakan bahwa hidup itu

sendiri adalah interpretasi. Bilamana terdapat pluralitas makna, maka di situ

interpretasi dibutuhkan (Sumaryono, 1999: 105). Apa yang diucapkan atau

ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan

konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki

makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda

17

oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’. Karakteristik inilah yang menjadikan

hermeneutik diperlukan dalam memahami manusia.

Seperti yang sudah dikemukan sebelumnya bahwa pengertian

hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya

dengan interpretasi terhadap teks. Interpretasi terhadap teks perlu dilakukan

mengingat sifat “polisemi” teks di mana teks memiliki makna yang berbeda-

beda tergantung pada konteks penafsirannya.

Wacana (termasuk karya sastra) adalah tempat pembicara

mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Atas dasar itu, memahami teks adalah

gerak dari “apa” yang dikatakan (sense) ke “tentang apa” yang dikatakan

(reference) (Haniah, 2007: 22). Sense atau makna tekstual adalah makna yang

terbangun dari hubungan antartanda yang ada dalam teks itu sendiri.

Sedangkan reference atau makna kontekstual adalah makna yang diproduksi

antara hubungan teks dengan dunia luar teks (Banita, 7 Mei 2010).

Mengenai tuga hermeneutik, Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik adalah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”nya teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono, 1999: 107).

Pandangan ini bersumber dari kekecewaannya terhadap pendekatan

hemeneutik konvensional yang dianggapnya subjektif dalam memaknai teks

dan terhadap pendekatan struktural yang menganggap bahasa sebagai suatu

sistem tertutup sehingga kurang memberikan ruang bagi pemaknaan yang

variatif dan mendalam terhadap teks. Penjelasan Struktural cenderung untuk

18

bersifat objektif yang dangkal, sedang pemahaman hermeneutik konvensional

memberi kita kesan subjektif. Jadi, di sini kita dapati dikhotomi antara

objektivitas dan subjektivitas yang menimbulkan problem. Kesenjangan kedua

pendekatan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya

sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan

pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lainnya

(Sumaryono, 1999: 108).

Terkait dengan pandangan tersebut, ia juga menekankan pentingnya

pemahaman tentang dinstanciation (pengambilan jarak). Karena salah satu

sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah

“perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak

supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik (Sumaryono, 1999: 106).

Distansiasi di satu sisi mengasingkan teks baik secara kultural

maupun eksistensial yakni terlepas dari penulis dan konteks historis dan

kulutral penciptaannya. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran

melibatkan saat pengambilan jarak dari obyek yang diberi makna. Namun di

sisi lain distansiasi membuat sebuah teks jadi produktif karena ia membuka

diri secara tak terbatas bagi kemungkinan-kemungkinan produksi makna.

Tugas hermeneutik menjadi sangat berat, sebab hermeneut harus membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi asing, harus dapat mengatasi situasi dikhotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif (Sumaryono, 1999: 109).

19

Dalam usahanya menjelaskan bagaimana proses pemahaman terhadap

teks mesti dijalankan, Ricoeur mengajukan empat kategori metodologis yakni

objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui dunia teks, distansiasi melalui

dunia tulisan, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini

disederhanakan lagi menjadi tiga tahap metodologis yakni tahap distansiasi,

tahap interpretasi, dan tahap apropriasi.

Haniah (2007: vi) menyebutkan bahwa momen distansiasi memberi

otonomi semantik teks, yang meliputi otonomi makna teks dari intensi

penulisnya, dari pembaca awal, dan dari situasi budayanya. Hal ini

menunjukkan bahwa pendekatan objektif sangat diutamakan. Dengan

pemberian otonomi itu, makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut

hubungan internalnya. Tahap berikutnya adalah pemahaman kritis yang

diawali dengan eksplanasi, yaitu menjelaskan teks melalui analisis struktur

teks (semiotik) untuk meradikalkan apa yang dicapai dalam pemahaman naif,

dan diakhiri dengan apropriasi, yaitu mengembalikan apa yang semula

diasingkan. Dengan apropriasi, pemahaman diri (katarsis) tercapai karena

pembaca memperoleh makna berkat teks yang dibacanya.

Haniah (2007) menyebut tahap distansiasi dan interpretasi dengan

istilah rekonstruksi teks yang terdiri dari pemahaman (verstehen) serta

penjelasan (erklaren) serta istilah refleksi untuk tahap apropriasi. Rekonstruksi

bersifat reproduktif, sedangkan refleksi bersifat produktif. Melalui

rekonstruksi pembaca menemukan makna/ kebenaran teks (sense), sedangkan

melalui refleksi pembaca menemukan amanat/ pesan teks yang akan

20

mengantarkannya untuk memahami diri. Pada penelitian ini, digunakan istilah

rekonstruksi teks dan refleksi tersebut.

1) Rekonstruksi Teks

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa rekonstruksi teks terdiri

dari dua tahap rekonstruksi yaitu tahap pemahaman (verstehen) dan tahap

penjelasan (erklaren). Di dalam penelitian ini sengaja ditambahkan tahap

pengkajian tema sebagai pelengkap dari tahap rekonstruksi teks dan agar

didapatkan struktur yang utuh dari naskah Mahkamah karya Asrul Sani.

a) Pemahaman Teks Secara Naif (Verstehen)

Memahami suatu novel/ cerpen/ drama, yang berarti

menemukan makna atau kebenaran performatif teks, dapat dicapai

hanya melalui lakuan tokohnya (Haniah, 2007: 17), untuk itu perlu

dipahami hubungan antara pelaku dan lakuannya. Di sini kita sampai

pada motivasi yang mendorong pelaku melakukan tindakannya. Tugas

pembaca adalah memahami lakuan tokoh yang ditimbulkan oleh

kendalanya. Kendala dapat dipahami secara kontekstual, entah konteks

budaya, konteks psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Oleh karena itu,

penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu

yang dimungkinkan ikut membentuknya.

b) Pemahaman Teks Secara Kritis (Erklaren)

Penafsiran seperti di atas disebut pemahaman naif yang

keilmiahannya belum teruji, sehingga masih diperlukan pemahaman

kritis atau penjelasan (erklaren). Ini berarti penafsiran harus begerak

21

dari semantik ke semiotik atau dari fenomena ke sistem yang

mengaturnya. (Haniah, 2007:18).

Dalam tahap ini pemahaman dirumuskan dalam suatu model

struktur peran. Model yang dibangun oleh Greimas ini disebut model

aktan (peran) (Selden dalam Kullsum, 2006: 31). Model ini untuk

mengungkapkan keterpaduan teks. Greimas mengajukan enam buah

aktan dalam oposisi biner di dalam karya sastra naratif yaitu hubungan

subjek/ objek, pengirim/ penerima, penolong/penentang. Ketiga

hubungan itu menguraikan tiga pola dasar yang berulang dalam semua

teks naratif: kehendak, hasrat, atau tujuan (subjek/objek), komunikasi

(pengirim/ penerima), dan tindakan (penolong/ penentang.

Selanjutnya, Greimas menerapkan hukum tranformasi terhadap ketiga

hubungan dalam model aktan itu yang disebut model fungsional, yaitu

berupa tiga tahap perkembangan: tahap kecakapan, tahap utama, dan

tahap gemilang.

c) Pengkajian Tema

Tahap ini dijadikan bagian dari tahap rekonstruksi teks karena

tema merupakan salah satu dari unsur internal dari teks naskah

Mahkamah. Tema dikaji dengan memperhatikan hasil dari

rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan tahap

penjelasan (erklaren), karena dari kedua tahap itulah diketahui susunan

dan system narasi dari naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.

22

3) Refleksi (Apropriasi)

Tingkat rekonstruksi teks berupa pemahaman (verstehen) dan

penjelasan (erklaren) di atas belum memahami obyek penelitian (dalam

hal ini naskah drama Mahkamah) secara mendalam dan menyeluruh,

terutama dalam memahami manusia. Ricoeur mengingatkan bahwa

hermeneutika mulai ketika dialog berakhir. Ini berarti hermeneutika baru

bekerja dalam tahap refleksi karena tujuannya adalah memahami dengan

lebih baik daripada pengarangnya.

Jadi, hermeneutika mengacu pada aktivitas penafsir dalam

mengangkat proses yang tidak disadari ke kesadaran atau menjernihkan

yang samar di dalam teks. Usaha itu menghasilkan transformasi diri atau

refleksi, yaitu dunia pembaca ditransformasi oleh dunia teks yang oleh

Ricoeur disebut apropriasi, dengan begitu pembaca diharapkan mencapai

pemahaman diri.

Pada tahap refleksi ini, dilakukan dua tahap penafsiran yakni tahap

evaluasi dan tahap relevansi.

a) Evaluasi

Pada tahap ini dilakukan pemaknaan atas teks berdasarkan pada

hasil dari tahap rekonstruksi teks. Pada tahap ini penafsir

mengungkapkan makna tersembunyi dari makna tampak. Penafsir

berusaha memaknai teks dengan lebih baik daripada pengarang teks itu

sendiri. Sehingga tujuan hermeneutika ricoeurian tercapai yakni

23

menjadikan dekat dan bermakna apa yang jauh secara waktuwi dan

budaya.

b) Relevansi

Pada tahap ini dilakukan pemaknaan terhadap teks dengan

mencari relevansi makna yang ditemukan dalam tahap evaluasi dengan

konteks ketika penafsiran itu dilakukan. Tahap ini penting dilakukan

karena teks baru akan bermakna apabila memiliki relevansi dengak

kekinian. Sehingga penafsir tidak hanya menafsirkan teks tetapi juga

mengubah realitas (Haniah, 2007: 25).

Agar lebih jelas, tahap di atas kami visualisasikan melalui bagan

berikut:

Gambar 1: Diagram Tahapan Hermeneutika Ricoeurian

Pada diagram di atas, terdapat tahapan penafsiran sebagai berikut:

a) Tahap rekonstruksi teks yang terdiri dari tahap Pemahaman (verstehen)

dan tahap penjelasan (erklaren)

24

TAHAP REKONSTRUKSI TEKS

TahapPemahaman (verstehen)

TahapPenjelasan (erklaren)

TAHAP REFLEKSI

Pengka-jian Tema

Evaluasi Relevansi

(1) Tahap pemahaman (verstehen) merupakan tahap di mana karya

naskah drama Mahkamah disusun struktur naratifnya melalui

pemahaman terhadap lakuan tokoh utamanya yaitu Bahri, Murni

dan Anwar.

(2) Tahap penjelasan (erklaren) merupakan tahap radikalisasi dari

tahap pemahaman. Pada tahap ini lakuan tokoh Bahri dikonstruksi

dengan model aktan dan fungsional.

(3) Pengkajian Tema merupakan tahap perumusan tema naskah yang

menjadi sumber pokok dari narasi teks naskah drama Mahkamah..

b) Tahap Refleksi (Apropriasi) merupakan tahap inti karena pada tahap

inilah penafsiran yang sebenarnya dilakukan.

(1) Tahap evaluasi merupakan pengungkapan makna tersembunyi dari

makna yang yang tampak.

(2) Tahap relevansi merupakan tahap di mana teks dimaknai sesuai

dengan konteks kekinian untuk mencapai pemahaman diri.

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif karena dalam penelitian ini temuan-

temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Jenis penelitian ini bersifat interpretatif karena data yang ditemukan diinterpretasi

untuk menemukan hasil penelitian. Penelitian kualitatif menurut John W. Creswell

(Patilima, 2005: 3) adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah

sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang

dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan

disusun dalam sebuah latar ilmiah. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan

adalah data dalam bentuk narasi dari naskah drama Mahkamah yang kemudian

dianalisis untuk dijadikan bukti-bukti yang perlu untuk mendukung kebenaran dalam

proses rekonstruksi teks naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.

B. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah naskah drama dengan judul Mahkamah karya

Asrul Sani. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahu 1980-an dan beberapa

kali telah dipentaskan. Naskah yang dipegang oleh peneliti adalah naskah hasil

dokumentasi Teater Putih FKIP Universitas Mataram yang diketik rapi pada tahun

1998.

26

C. Prosedur Penelitian

Di dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan metode yakni tahap

pengumpulan data dan tahap analisis data. Pada tahap pengumpulan data dilakukan

studi pustaka, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya pada tahap analisis data

dilakukan analisis dengan pendekatan deskriptif analisis, psikologis, dan sosiologis.

1. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan

dengan menelaah buku-buku yang relevan untuk mencapai tujuan penelitian.

Metode ini dilakukan dengan mencari data-data pustaka yang terdapat di

berbagai tempat seperti di perpustakaan, toko buku, internet dan lain-lain.

Metode ini penting digunakan untuk mengetahui secara baik hal-hal yang

berkaitan untuk mencapai tujuan penelitian atau untuk mendapatkan

penafsiran yang utuh tentang naskah drama Mahkamah. Pustaka yang diteliti

adalah pustaka yang berkaitan dengan naskah drama Mahkamah, drama,

hermeneutika, dan hermeneutika ricoeurian.

b. Observasi

Metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat di

dalam objek atau sasaran penelitian dalam hal ini naskah drama Mahkamah

karya Asrul Sani. Metode ini berguna untuk mengumpulkan data berupa

dialog-dialog tokoh dalam drama Mahkamah untuk memperkuat penafsiran

atas naskah drama itu. Data yang diambil adalah dialog-dialog yang

membangun struktur naratif naskah Mahkamah yang berpusat pada tokoh

27

Bahri sebagai tokoh utama. Oleh karena itu, dialog-dialog yang dijadikan

kutipan adalah dialog pada bagian awal, tengah, dan akhir naskah drama

Mahkamah.

c. Dokumentasi

Metode ini berupa perekaman dengan mencatat semua data yang

dikumpulkan dengan metode studi pustaka dan metode observasi. Metode ini

berupa pencatatan hasil studi pustaka yang berkaitan dengan naskah drama

Mahkamah, drama, dan hermeneutika ricoeurian. Metode ini juga digunakan

untuk merekam data hasil observasi berupa dialog-dialog yang akan dijadikan

sebagai bukti ilmiah tentang struktur naratif teks naskah Mahkamah.

2. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan tiga pendekatan yang relevan untuk

menganalisis naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani yaitu pendekatan

deskriptif analisis, pendekatan psikologis, dan pendekatan sosiologis.

a. Pendekatan Deskriptif Analisis

Pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah pendekatan

deskriptif analisis. Pendekatan deskriptif analisis ini merupakan pendekatan

yang menguraikan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu data. Pendekatan ini

digunakan untuk mencapai tujuan pertama dan kedua dari penelitian ini yakni

menemukan bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan

tahap penjelasan (erklaren). Prinsip kerja dalam pendekatan ini adalah dengan

cara mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis,

serta secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dalam naskah Mahkamah

28

yang kemudian disusul dengan analisis. Pendekatan ini juga digunakan untuk

meneliti sistem teks naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah:

1) Membaca secara keseluruhan naskah drama Mahkamah;

2) Mengkonstruksi cerita/ isi teks drama Mahkamah melalui lakuan dan

psikologis tokoh,

3) Mengutip bagian naskah yang berkaitan dengan psikologis dan lakuan

tokoh,

4) Menyusun sistem teks dengan model aktan dari Greimas dalam bentuk

diagram berikut

c) Pengirim b) Objek d) Penerima

e) Penolong a) Subjek f) Penentang

Gambar 2: Diagram Model Aktan

Diagram di atas merupakan model aktan (peran) yang terdiri dari beberapa

peran sebagai berikut:

a) Subjek adalah tokoh utama yang memiliki

kehendak untuk mencapai objek.

b) Objek adalah tujuan dari lakuan subjek.

c) Pengirim adalah hal yang mendorong

subjek untuk menggapai objek

29

d) Penerima adalah subjek sendiri sebagai

penerima dorongan dan hasil penggapaian tujuan/ objek.

e) Penolong adalah hal/ tokoh yang

menolong tokoh utama menggapai tujuan/ objek.

f) Penentang adalah hal/ tokoh yang

menghalangi subjek menggapai tujuan/objek.

5) Merekonstruksi sistem narasi teks dengan model fungsional Greimas.

Gambar 3: Tabel Model Fungsional Greimas

6) Menentukan tema berdasarkan struktur naratif naskah Mahkamah.

b. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis ini digunakan pada tahap rekonstruksi teks

dengan mengkaji karakteristik dan motif lakuan tokoh-tokoh dalam naskah

drama Mahkamah karya Asrul Sani. Pendekatan ini bertolak dari asumsi

bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan

manusia yang selalu saja memperlihatkan perilaku yang beragam. Dalam

Situasi Awal

Transformasi SituasiAkhirKecakapan Utama Gemilang

30

penelitian ini, dikaji psikologis atau motif lakuan tiga tokoh utama yang

membentuk alur dan sistem narasi, yakni lakuan Saiful Bahri, Anwar, dan

Murni. Misalnya, pendekatan ini digunakan untuk mengetahui penyebab

kegelisahan tokoh Bahri di masa tuanya.

c. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini digunakan pada bagian refleksi (apropriasi) untuk

menemukan penafsiran untuk mencapai pemahaman diri agar naskah

Mahkamah tetap relevan bagi kehidupan pribadi dan kehidupan sosial

masyarakat. Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra

merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang

pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut

berada di dalamnya. Dalam penelitian ini, pendekatan sosiologi digunakan

untuk melihat kemungkinan kaitan internal naskah Mahkamah dengan

peristiwa lain dalam kenyataan serta untuk menemukan relevansi sosial

naskah drama Mahkamah. Misalnya, relevansi antara pengadilan nurani yang

terdapat dalam naskah Mahkamah dengan proses penegakan HAM di

Indonesia.

31

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Asrul Sani sebagai Sastrawan

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 dan meninggal di

Jakarta, 11 Januari 2004. Semasa hidupnya ia adalah seorang sastrawan dan sutradara

film sukses dan diidolakan, baik pribadinya maupun karya-karyanya hingga kini. Dia

adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih

mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa maka adalah

Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-

sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku

di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman

Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di

desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada diri Asrul Sani

setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya

sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan

banyak sineas maupun seniman teater.

32

Karyanya di antaranya kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai

Avin Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan cerpen Dari Suatu Masa dari Suatu

Tempat (1972), kumpulan sajak Mantera (1975), skenario film Jenderal Nagabonar

(1988), dan kumpulan esai Surat-Surat Kepercayaan (1997). Sedangkan Mahkamah

yang dikaji dalam penelitian ini ia tulis pada tahun 1988. Mahkamah merupakan

karya dramanya yang dianggap paling monumental oleh para kritikus sastra. Sejak

dipublikasikan sampai saat ini telah banyak sekali kelompok teater tanah air yang

mementaskan naskah Mahkamah ini.

B. Rekonstruksi Teks Naskah Drama Mahkamah

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian kajian pustaka bahwa langkah

pertama dalam hermeneutika Riceourian adalah rekonstruksi teks. Bagian ini terdiri

dari tahap pemahaman (verstehen) berupa objektivasi melalui struktur teks dan

distansiasi. Momen distansiasi ini memberi otonomi semantik teks yang meliputi

otonomi makna teks dan intensi pengarangnya. Dengan pemberian otonomi itu,

makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut hubungan internalnya. Tahap

berikutnya dalam bagian rekonstruksi teks ini adalah tahap penjelasan (erklaren) yaitu

menjelaskan teks melalui analisis struktur teks (semiotik).

1. Pemahaman (verstehen) lakuan tiga tokoh: Bahri-Anwar-Murni

a. Saiful Bahri dan Kegelisahan Batinnya

Naskah drama karya Asrul Sani ini mengisahkan lelaki tua pensiunan

mayor jenderal bernama Saiful Bahri. Saiful Bahri bersama rekan-rekannya

mendirikan dan memimpin koperasi Pejuang Semesta yang bertujuan untuk

33

memperjuangkan kehidupan para pensiunan prajurit. Saat menjelang ajal, karena

penyakit lever, Bahri merasa semua yang dikerjakannya tidak berarti apa-apa.

Walaupun sudah dihibur istrinya, dia tetap menemukan hidupnya yang hampa.

Pada usia tua, Saiful Bahri kehilangan integritas diri berupa rasa kesia-

siaan. Kesia-siaan itu berupa perasaan bahwa sisa hidupnya terlalu singkat untuk

digunakan berusaha memperbaiki dan memberi arti bagi kehidupannya. Setelah

melakukan perenungan atas kehidupan masa lalunya, Bahri sampai pada suatu

kesimpulan yang mencengangkan karena itu menyiratkan kesia-siaan. Hal ini

ditunjukkan dalam dialog nomor 9--11 berikut ini:

9. Bahri : Berapa hari lagi umurku lima puluh tahun, setengah abad. Waktu begitu cepat berlalu. Masa kanakku terasa masih seperti terjadi kemarin. Lima puluh kalau kurenungkan apa yang sudah kulakukan dan capai dalam setngah abad, aku sendiri kaget akan kesimpulannya.

10. Murni : Kenapa?11. Bahri : Masa lima puluh tahun itu begitu kacau, begitu rumit. Tapi,

kesimpulan yang kuperoleh sederhana sekali. Hanya tiga kata. Tidak apa-apa. Itulah yang kukerjakan dan kucapai setelah hidup lima puluh tahun. Tidak apa-apa.

Kesia-siaan yang dirasakan oleh Bahri ditimbulkan oleh memori-memori

perisiwa masa lalunya yang berusaha dilupakannya. Memori itu kemudian

mengendap di alam bawah sadarnya yang kemudian muncul lagi dan menuntut

untuk untuk ditelaah kembali. Hal ini tampak pada dialog di bawah ini:

27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa

yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis

34

pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.

Ketentraman hati yang diinginkan oleh setiap orang tua menjelang ajalnya

justru belum didaptkan oleh Bahri walaupun Bahri menginginkan ketentraman

hati itu. Ketentraman ketika manusia mengalami kenikmatan yang dicapai melalui

keseimbangan yang sempurna antara dirinya dan sekitarnya. Ketentraman seperti

itu tidak dia dapatkan karena dia terus saja memikirkan begitu banyak hal dalam

hidupnya yang belum selesai seperti pekerjaan, keluarga, dan terutama masa

lalunya.

Kegelisahan tentang masa lalunya semakin kuat setelah Bahri mengetahui

adanya persekongkolan untuk menjatuhkannya dari kursi pimpinan Koperasi para

mantan pejuang. Tangan kanannya yang selama ini dipercaya untuk menjalankan

koperasi telah menghianatinya ketika ia dalam keadaan sakit parah. Hal ini,

semakin membuatnya berpikir bahwa begitu banyak hal yang belum tuntas dalam

hidupnya dan menuntut untuk diselesaikan.

Ada satu perkara yang paling menggelisahkan Bahri, yakni pengalaman

pahit semasa berjuang menumpas pemberontakan di Madiun pada tahun 1948.

Dalam pengadilan perang saat itu, Bahri menjatuhkan hukuman mati atas teman

karibnya, Kapten Anwar. Lelaki yang dituduh berhianat dan menolak tugas itu

akhirnya tewas diberondong peluru regu tembak. Hal tersebut terungkap pada

jawaban Bahri ketika ia mengelak untuk dicabut nyawanya oleh citra I & II

berikut ini:

35

133. Bahri : disamping itu…begini…ada yang saya risaukan …saya pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap sahabat saya. Ini beban yang berat sekali. Saya tidak ingin orang beranggapan bahwa saya seorang yang membunuh sahabatnya sendiri. Saya bukan pembunuh…

Perkara itu dipersoalkan oleh dua “malaikat”, disebut Citra I dan Citra II,

yang menjemput Bahri beberapa jam sebelum dicabut nyawanya. Dua malaikat

itu berdebat, apakah hukuman mati yang diputuskan Bahri terhadap teman karib

Bahri itu benar atau salah. Bahri kemudian dibawa ke dalam pengadilan

imajinatif yang menghadirkan saksi orang hidup dan yang mati, termasuk Anwar

dan Murni.

Bahri dihadapkan pada sebuah mahkamah di mana hakimnya adalah hati

nurani dari Bahri sendiri. Hati nurani Bahri dilambangkan dengan tiga orang

hakim, pertama guru agamanya waktu kecil. Kedua, guru Bahri yang telah

mengajarnya untuk memahami semua peristiwa alam berdasarkan hukum sebab-

akibat. Ketiga, seorang ahli politik dan seorang seniman, sebagai wakil dari

manusia yang karangannya telah dibaca, dpelajari, dan dikagumi Bahri.

Sidang berhasil mengungkap sudut-sudut kenyataan yang tersembunyi.

Hukuman mati yang dijatuhkan Bahri bisa saja dipengaruhi konflik cinta segitiga,

karena Anwar dan Bahri sama-sama mencintai Murni, istri Bahri sekarang. Dalam

persidangan itu, Bahri dituduh oleh penuntut umum telah melakukan pembunuhan

atas Anwar agar Bahri tidak lagi memiliki saingan dalam mendapatkan Murni,

tetapi tuduhan itu ditampiknya. Hal ini ditunjukkan dalam dialog 162--166

berikut:

36

162. Bahri : Yang Mulia, semua tuduhan itu tidak benar. Hukuman itu saya putuskan sebagai seorang perwira yang bertugas sebagai seorang pejuang untuk kemerdekaan tanah air saya. Bukan karena didorong oleh kepentingan pribadi – yang dimata Penuntut Umum membuat saya menjadi seorang pembunuh sahabatnya sendiri.

163. Hakim : Apa betul saudara Anwar sahabat karib Saudara?164. Bahri : Betul, Yang Mulia. Sahabat yang paling saya cintai.165. Hakim : Tapi cinta Saudara padanya tidak melebihi cinta Saudara

pada perempuan tadi yang disebut-sebut Penuntut Umum, kan?

166. Bahri : Kedua cinta itu tidak dapat dibandingkan, Yang Mulia. Karena sifatnya berbeda.

Bagaimanapun dia berusaha mengelak dari tuduhan, Penuntut Umum

terus mencecarnya dengan mendatangkan saksi langsung, yaitu Murni dan Anwar.

Penuntut Umum mendesak Murni untuk bersaksi bahwa Bahri pernah

mengancam Murni karena cintanya ditolak. Dalam pengakuannya, Murni

menyatakan bahwa bahwa Bahri pernah mengancam Murni karena cintanya

ditolak oleh Murni. Hal ini terdapat dalam dialog nomor 303--307 berikut ini:

303. P. Umum : ada, Yang Mulia. Nyonya , waktu saudara Bahri melamar nyonya dan nyonya menolak lamarannya, apa yang di ucapkan saudara Bahri ?

304. Murni : saya sudah lupa.305. P. Umum : ayolah yonya. Nyonya tidak lupa …MURNI MEMANDANG BAHRI. BAHRI BERDIRI306. Bahri : Murni, katakan yang sebenarnya. Hanya kebenaran yang

bisa menyelamatkan saya.307. Murni : (menunduk) Ia berkata… Kalau begitu tidak ada jalan

lain. Salah satu diantara kami berdua harus mati, dia atau saya.

Tetapi di sisi lain, Anwar memang menolak tugas bertempur yang

termasuk pelanggaran berat dalam medan perang. Sebagai pemimpin, Bahri

37

dituntut bertindak tegas demi menegakkan patriotisme pada negara. Anwar,

sendiri menyatakan bahwa Bahri menjatuhkan hukuman itu atas dasar kewajiban

sebagai komandan bukan atas kepentingan pribadi. Jadi, di sini kita temukan

Bahri adalah seorang komandan pasukan yang memiliki rasa nasionallisme yang

kuat sehingga setiap prajurit di pasukannya yang menolak bertempur akan

dihukum walaupun prajurit itu adalah sahabatnya sendiri. Ini terungkap dalam

dialog berikut ini:

197. Pembela : apakah saudara percaya bahwa hukuman mati yang dijatuhkan atas diri saudara berlandaskan kepentingan pribadi ?

198. Anwar : tidak. Mayor Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian. Mayor Bahri hanya melakukan kewajiban seorang komandan.

Tetapi interogasi yang dilakukan oleh Penuntut Umum kepada Anwar

membuat Anwar mengubah pandangannya itu, bahwa Bahri mungkin saja

memiliki niat tersembunyi ketika menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Ini

tampak dalam dialog berikut:

222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara jadi dengan demikian, dia seorang pembunuh ! ya, kan ?

223. Anwar : saya tidak tahu….saya tidak tahu….224. P. Umum :ayolah saudara Anwar.Mungkinkan ?…..mungkinkan.!225. Anwar : ( melirik ) mungkin ….

Begitupula dengan kesaksian saksi Somad dan Murni, keduanya sama-

sama meringankan dan memberatkan dakwaan terhadap Bahri. Sampai

38

pengadilan selesaipun tidak ada kejelasan tentang status Bahri sebagai pembunuh

atau pahlawan. Begitulah, penilaian apakah Bahri pembunuh atau pahlawan,

ternyata sangat pelik. Hakim ketua akhirnya menyerahkan sidang pada Bahri

untuk menghakimi dirinya sendiri. Keputusan yang Bahri dapatkan juga tidak

menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa dalam pengadilan itu. Status bahri

sebagai pahlawan atau sebagai pembunuh tetap menjadi abu-abu. Ini ditunjukkan

dalam dialog berikut:

321. Bahri : sidang untuk mengadili perkara bekas mayor Saiful Bahri dibuka. (mengetukkan palu). Dengan ini, lengkaplah perjalanan saya. Kini saya kembali kepada permulaan tatkala saya dilahirkan sendiri, dan kini bertangggung jawab juga sendiri. (Tersedu) saudara Bahri. Saudara sudah sampai ke batas perjalanan saudara, tapi urusan manusia yang Saudara tinggalkan. Ikhlaskanlah segalanya. Yang bisa Saudara bawa hanya amal ibadah saudara. Ajukanlah perkara saudara pada hakim tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutlah namanya. Hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaan, dan memberikan keadilan. Pintu taubat masih terbuka. Tuhan telah berkata, pintalah pada-Ku dan Aku akan memberikan. (mengetukkan palu).

Pengadilan imajinatif yang dilakukan untuk mencari kebenaran hanya

mendapatkan keputusan yang abu-abu, tidak ada hasil yang final. Pengadilan

dalam Mahkamah menyuguhkan drama kehidupan yang pelik dan berlapis-lapis.

Setiap tindakan seseorang menyimpan banyak sudut tafsir, dan penilaian benar-

salah menjadi begitu abu-abu. Cap sebagai pembunuh atau pahlawan seperti

bandul yang bisa cepat bergeser, tergantung darimana memandangnya.

b. Anwar Bertindak Menurut Prinsip

39

Kapten Anwar seorang sahabat, bawahan, sekaligus saingan cinta Saiful

Bahri. Dia tahu bahwa Saiful Bahri juga mencintai Murni, tetapi mereka tetap

bersahabat. Bahkan Anwar pernah menyelamatkan nyawa Bahri, seperti

ditunjukkan dialog nomor 191—194:

191. P. Umum : Dan, ini telah Saudara buktikan. Saudara pernah menyelamatkan jiwanya.

192. Anwar : Ya, tapi barangkali lebih tepat, kalau dikatakan bahwa yang menyelamatkan dia Tuhan. Ketika itu saya menutupi badannya dengan tubuh saya supaya ia tidak kena pecahan mortir. Itu wajar. Di harus diselamatkan, karena dia pemimpin kami.

193. Pembela : Saudara Anwar, apa Saudara benci pada tertuduh karena telah menjatuhkan hukuman mati atas diri Saudara.?

194. Anwar : Tidak.

Anwar adalah seorang pejuang yang mencintai bangsa dan rakyatnya.

Itulah sebabnya, dia tidak mau mengikuti perintah atasan untuk menumpas PKI di

Madiun. Karena dia menganggap itu sebagai tindakan memerangi bangsa sendiri.

Dari sudut pandang Kapten Anwar, kasus Madiun diletakkan dalam kerangka

lebih besar yaitu persatuan RI dan menolak keharusan sesama bangsa untuk

berperang. Seperti yang diungkapkan pada dialog berikut ini:

201. Pembela : Kenapa Saudara Anwar? Apa karena Saudara takut?202. Anwar : Tidak. Bukan karena takut. Tapi karena sebab yang sama,

seperti yang dimiliki Mayor Bahri, karena prinsip. Perang yang paling kejam adalah perang saudara. Perang, di mana pertempuran telah berubah menjadi medan pembantaian tanpa pilih bulu. Banyak sekali yang menjadi korban. Tidak lagi bisa dibedakan mana orang yang salah mana yang tidak. Saya merasa, saya berhak untuk menyelamatkan keutuhan nurani saya. Pada waktu itu saya tidak lagi yakin bahwa yang saya lakukan sebagai perwira benar. Saya membangkang dengan menyadari semua resiko. Apapun resiko itu akan saya pikul dengan hati yang bulat.

40

Prinsip adalah idealisme dan pegangan hidup yang membimbing orang

dalam mengambil keputusan penting dalam hidupnya karena itu prinsip sangat

penting bagi siapa saja. Orang yang kehilangan prinsip akan menjadi pragmatis

dan akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya. Anwar,

dengan keyakinan teguh berani menghadapi kematian demi prinsipnya, yakni

membunuh sesama bangsa sendiri adalah sebuah kejahatan. Bentrok antara militer

dan PKI pada perstiwa Madiun baginya adalah sebuah perang saudara. Pada titik

ini terjadi pertentangan antara prinsipnya dengan prinsip komandannya, Bahri

yang menganggap penumpasan PKI di Madiun adalah upaya penyelamatan

kehidupan negara dan pemerintahan.

c. Murni Wanita yang Berani Mengambil Keputusan.

Wanita adalah makhluk yang dianugerahi Tuhan kelembutan perasaan.

Kelembutan wanita bukan berarti kelemahannya. Sebaliknya merupakan daya

tarik yang memberinya kekuatan dalam interaksi dengan sekitarnya. Murni adalah

seorang wanita anggota palang merah pada masa perjuangan dan kemudian

menjadi istri Saiful Bahri.

Sebelum menjadi istri Bahri, dia adalah pacar Anwar karena dia

mencintai Anwar. Dia tahu bahwa Bahri juga mencintainya, tetapi dia

menolaknya karena sudah terikat janji dengan Anwar. Sebagaimana kebanyakan

wanita waktu itu, dia tidak memprotes atas sikap laki-laki yang menjadikannya

bahan rebutan. Dia juga diam saja ketika Bahri menghukum mati kekasihnya.

Begitu pula, waktu Anwar telah meninggal, dia pasrah menerima lamaran Bahri

41

walaupun tanpa rasa cinta. Dia tidak pernah memprotes lingkungan maskulin

yang mencitrakan wanita sebagai makhluk lemah. Akan tetapi, hal lain yang patut

dikaji dari diri Murni adalah keberaniannya untuk mengambil keputusan untuk

memilih Bahri walaupun tanpa rasa cinta, seperti ditunjukkan dalam dialog

berikut:

297. Pembela : Nyonya. katanya Nyonya kawin dua bulan setelah kekasih Nyonya meninggal. Nyonya tentu punya alasan. Apa bisa Nyonya jelaskan?

298. Murni : Setelah Anwar meninggal saya hancur luluh. Saya hampir sesat dan ingin bunuh diri. Tapi, Tuhan melindungi saya. Bermalam-malam saya berjuang melawan keinginan itu. Saya berhasil mengambil keputusan. Saya harus tetap hidup. Tapi saya perempuan, sendiri, memerlukan perlindungan. Tidak ada gunanya merindukan perlindungan seseorang yang sudah tidak ada. Satu-satunya orang yang mencintai saya, kecuali Anwar, ialah Bahri. Lalu saya membulatkan hati. Siapa tahu saya dapat belajar mencintai dia. Karena dia lelaki yang baik, setia. Ia juga mencintai Anwar. Tidak pernah satu katapun keluar dari mulutnya untuk memburukkan Anwar. Setelah kami menikah, setiap tahun ia membawa saya ziarah ke makam Anwar. Mulanya saya mengira, saya sudah mencintai dua lelaki sekaligus. Tapi, kenyataannya, saya hanya mencintai seorang – Bahri.

Setelah menjadi istri Bahri, Murni jarang mendapatkan kasih sayang dari

suaminya. Bahri sibuk dengan pekerjaannya sebagai pemimpin koperasi pejuang.

Ketika suaminya sakit dialah yang selalu menemaninya. Dia tidak pernah

memprotes perlakuan suaminya itu walaupun ia merasa tidak diperhatikan lagi

oleh Bahri karena Bahri sibuk dengan pekerjaannya. Dialog berikut ini

menunjukkan hal tersebut.

78. Bahri : Lalu apa yang kau minta?

42

79. Murni : Yang kuminta saat yang paling berharga dari kehidupan kakak. Saat, dimana aku merasa kakak milikku.

80. Bahri : (diam sejenak)81. Murni : Semenjak kita menikah, aku melihat, lambat laun Kakak

semakin menjauh dari aku. Akhirnya, yang akrab dengan Kakak adalah pekerjaan, bukan lagi aku. Terus terang aku cemburu.

82. Bahri : ( terpana/kaget sesaat) aku kira telah memberikan sesuatu, nyatanya yang sampai ke tangan ku tidak apa-apa. Hh, aku lelah sekali. Aku ingin istirahat.

Di sini kita temukan lagi motif atau penyebab dari kegelisahan Bahri

untuk segera mengadili dirinya sendiri. Murni, istrinya sendiri telah mengakui

ketidakbahagiaannya. Peristiwa masa lalu, masalah pekerjaan, dan masalah

keluarganya mendorong Bahri untuk mencari kebenaran agar hatinya tentram

ketika menghadapi ajalnya. Akan tetapi, mahkamah imajinatif yang diadakan

untuk mengadili dirinya juga tidak bisa memberikannya kebenaran dan

ketentraman hati. Sehingga Bahri menyerahkan keputusan kepada Yang Maha

Mengetahui. Akhir cerita seperti itu sepertinya sengaja diciptakan oleh pengarang

agar pembaca dan penonton drama Mahkamah itu sendiri yang menyimpulkan

apakah Bahri seorang pembunuh atau pahlawan.

2. Penjelasan dengan Model Generatif Narasi

a. Model Aktan Lakuan Saiful Bahri

Pengirim Objek PenerimaKebenaran dan

ketentraman batinHukuman mati Anwar Penerima: Saiful Bahri.Ketidakbahagiaan Murni Kebenaran dan ketentraman batin tidak didapatkan Bahri

Penolong Subjek Penentang

43

Kesaksian Anwar Saiful Bahri Kesaksian AnwarKesaksian Somad Kesaksian SomadKesaksian Murni Kesaksian MurniPembelaan Citra I/ Pembela Dakwaan Citra II/ Penuntut Umum

Gambar 4: Diagram Model Aktan Lakuan Saiful Bahri

1) Subjek dan Objek

Subjek adalah tokoh utama yang berkehendak untuk menggapai objek

yang menjadi tujuan lakuan subjek. Dalam naskah ini yang menjadi subjek

adalah tokoh Bahri yang seluruh lakuannya dalam naskah ini bertujuan

untuk meraih kebenaran dan ketentraman batin. Kebenaran yang dituju

adalah kebenaran tentang status dirinya dalam menjatuhkan hukuman mati

terhadap Anwar, apakah sebagai komandan atau pembunuh. Ketentraman

batin adalah ketentraman dalam menghadapi kematiannya. Hal ini

diungkapkan dalam dialog 27—28:

27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa

yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.

2) Pengirim

44

Pengirim adalah hal yang mendorong subjek (Bahri) untuk

menggapai objek (kebenaran dan ketentraman batin). Dalam naskah

Mahkamah ini, ditemukan dua pengirim yang dinilai berperan dalam

mendorong Bahri untuk mencari kebenaran dan ketentraman batin. Dua

pengirim itu adalah hukuman mati kepada Anwar dan ketidakbahagiaan

Murni.

a) Hukuman mati Anwar

Pengirim Bahri kepada kebenaran dan ketentraman batin adalah

hukuman mati terhadap Anwar. Hukuman mati yang dijatuhkan karena

Anwar sebagai prajurit menolak perintah perang dalam peristiwa

Madiun. Bahri sebagai komandan pasukan berkewajiban untuk

menghukum Anwar. Akan tetapi, hukuman mati itu menjadi

kontroversial bahkan bagi diri Bahri sendiri, karena hukuman mati itu

dijatuhkan ketika Bahri dan Anwar dan Bahri menjalani konflik pribadi

yaitu sama-sama mencintai seorang wanita. Terungkap dalam diaolog

133 berikut

133. Bahri : disamping itu…begini…ada yang saya risaukan …saya pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap sahabat saya. Ini beban yang berat sekali. Saya tidak ingin orang beranggapan bahwa saya seorang yang membunuh sahabatnya sendiri. Saya bukan pembunuh…

b) Ketidakbahagiaan Murni

Murni mengungkapkan kepada Bahri bahwa Murni selama ini

merasa cemburu. Dia bilang bahwa selama ini belum merasa Bahri

45

benar-benar adalah miliknya. Semenjak mereka menikah, Bahri hanya

sibuk dengan pekerjaannya. Ini terungkap dalam dialog 79—81:

79. Murni : Yang kuminta saat yang paling berharga dari kehidupan kakak. Saat, dimana aku merasa kakak milikku.

80. Bahri : (diam sejenak)81. Murni : Semenjak kita menikah, aku melihat, lambat laun

Kakak semakin menjauh dari aku. Akhirnya, yang akrab dengan Kakak adalah pekerjaan, bukan lagi aku. Terus terang aku cemburu.

3) Penerima

Penerima adalah subjek itu sendiri sebagai tokoh yang menerima

dorongan dari pengirim dan penerima dari hasil lakuannya sendiri. Di dalam

naskah ini Bahri sebagai penerima harus menghadapi pengadilan nurani

untuk menggapai kebenaran dan ketentraman batin yang diharapkan.

Pengadilan yang dijalankan terhadap Bahri dengan tujuan menemukan

kebenaran, berakhir tanpa hasil final; kebenaran dan ketentraman batin yang

diharapkan oleh Bahri tidak ditemukan, semuanya masih abu-abu. Setiap

dalil dan fakta yang diajukan selalu dapat dibantah dengan dalil dan fakta

yang lain, keputusan hukum tidak bisa ditetapkan atau menemui jalan buntu.

Akhirnya, Bahri menghakimi dirinya sendiri dengan menyerahkan

keputusan kepada Yang Maha Mengetahui.

4) Penolong

Penolong adalah hal atau tokoh yang menolong tokoh utama untuk

menggapai tujuannya. Dalam mahkamah nurani, yang menjadi penolong

46

Bahri dalam menemukan kebenaran dan ketentraman batin adalah kesaksian

Anwar, Somad, Murni, dan pembelaan Citra I/ Pembela.

a) Kesaksian Anwar

Di dalam pengadilan itu saksi Anwar ketika ditanya tentang

pribadi Bahri dan hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya, ia

menyatakan bahwa Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian.

Anwar menyebutkan bahwa Bahri menjatuhkan hukuman mati itu

semata karena menjalankan kewajiban sebagai seorang komandan. Ini

ditunjukkan dalam dialog 197--198 berikut:

197. Pembela : apakah saudara percaya bahwa hukuman mati yang dijatuhkan atas diri saudara berlandaskan kepentingan pribadi ?

198. Anwar : tidak. Mayor Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian. Mayor Bahri hanya melakukan kewajiban seorang komandan.

b) Kesaksian Somad

Somad seorang prajurit berpangkat kopral dan merupakan

bawahan dari Anwar dan Bahri. Pada pengadilan itu ia diminta

kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa Anwar memang layak untuk

dihukum mati karena Anwar menolak untuk ikut dalam bertempur.

Menurut Somad dan kawan-kawannya sesama prajurit, penolakan

Anwar itu didorong oleh rasa takut bertempur, seperti diungkapkan pada

dialog berikut:

47

260. Pembela : saudara Somad. Saya yakin saudara belum menceritakan seluruhnya. Apa Cuma itu yang dikatakan anak-anak ? apa tidak ada yang lain ?

261. Somad : ada juga. Ada yang bilang, pak Anwar takut bertempur-maaf ye, pak Anwar. Ini anak-anak yang bilang-jadi di hukum tembak.

c) Kesaksian Murni

Murni sebagai wanita yang diperebutkan oleh Anwar dan Bahri

sangat penting untuk diminta kesaksiannya. Dalam pengadilan itu Murni

menyatakan kepada pembela dan majelis hakim bahwa suaminya, Bahri,

adalah seorang pejuang, seorang yang menghargai persahabatan dan

seorang prajurit yang setia. Baginya Bahri bukan pembunuh, seperti

yang terungkap dalam dialog berikut:

275. Pembela : waktu yang cukup panjang untuk mengenali pribadi seseorang. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan nyonya, apa mungkin saudara Bahri menjatuhkan hukuman mati pada sahabat karibnya, Anwar, dengan maksud membunhnya supaya dapat mengawini nyonya.?

276. Murni : suami saya seorang pejuang, seorang yang menghargai persahabatan, seorang prajurit yang setia. Dia bukan pembunuh !

d) Pembelaan Pembela

Dalam mahkamah itu, Pembela melakukan pembelaan dengan

mementahkan semua dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum.

Pada bagian akhir persidangan Pembela mengajukan barang bukti

berupa sebuah surat dari Bahri yang gagal sampai ke tangan Murni

karena prajurit yang membawa surat itu tewas terbunuh dalam

peperangan. Di dalam surat itu diungkapkan tentang penyesalan Bahri

48

terhadap ancaman yang Bahri ucapkan kepada Murni ketika Murni

menolak cintanya.

314. Hakim : ( membaca suratnya) Adinda Murni yang tercinta. Kakanda minta maaf atasa ucapan yang kakanda lontarkan dihadapan adinda. Saat itu kakanda begitu kecewa dan sedih, hingga kehilangan kendali atas diri kakanda. Kakanda menyesal sedalam-dalamnya. Kakanda malu. Adinda bebas menentukan pilihan. Jika adinda memilih Anwar, maka kakanda mengucapkan syukur dan berdoa pada Tuhan supaya kalian bahagia dia orang baik, jujur, dan setia. Anwar sahabat karib kakanda. Kalau dia bahagia maka kakanda ikut bahagia. Salam kakanda, Syaiful Bahri.

5) Penentang

Penentang adalah hal atau tokoh yang menghalangi subjek (Bahri)

untuk menggapai tujuannya. Dalam naskah Mahkamah, penghalang Bahri

dalam menggapai kebenaran dan ketentraman nurani adalah kesaksian

Anwar, Somad, Murni, dan dakwaan Penuntut Umum.

a) Kesaksian Anwar

Pada awal kesaksian, kesaksian Anwar menolong Bahri. Tetapi

setelah diinterogasi dan diprovokasi oleh Penuntut Umum, kesaksian

awal itu goyah. Anwar menyatakan bahwa ada kemungkinan Bahri

menjatuhkan hukuman mati itu atas dasar kepentingan pribadi atau

untuk menyingkirkan Anwar, karena mereka berdua sama-sama

mencintai Murni. Ini ditunjukkan dalam dialog 222—225:

49

222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara jadi dengan demikian, dia seorang pembunuh ! ya, kan ?

223. Anwar : saya tidak tahu….saya tidak tahu….224. P. Umum :ayolah saudara Anwar.Mungkinkan ?

…..mungkinkan.!225. Anwar : ( melirik ) mungkin ….

b) Kesaksian Somad

Somad dalam persidangan itu menyampaikan pandangan dia dan

teman-temannya sesama prajurit tentang hukuman mati yang dijatuhkan.

Dia memandang bahwa hukuman mati yang dijatuhkan memiliki unsur

kepentingan pribadi dari Bahri yaitu ingin merebut Murni dari Anwar.

Hal ini ditunjukkan dalam dialog berikut:

256. P. Umum : jadi soal perempuan “? Siapa, Mad ?257. Somad : ade perempuan namanya Murni, anak palang

merah. Orangnya cakep. Ibarat mangga lagi mengkal-mengkalnya. Dimakan pagi juga enak. Dan tidak enak kalau tidak dimakan. Anak-anak bilang, pak Bahri kepingin rebut. Biasa dah lelaki. Maaf, ya pak Bahri, ini anak-anak yang bilang. Si Murni senangnya sama pak Anwar, jadi pak Anwar musti dihabisin. Ini menurut anak-anak pak.

c) Kesaksian Murni

Murni secara pribadi mengatakan bahwa Bahri tidak bersalah.

Akan tetapi, Penuntut Umum mendesaknya untuk mengungkapkan

ancaman yang sempat disampaikan Bahri kepadanya ketika ia menolak

50

cinta Bahri. Pada saat itu Bahri mengancam bahwa salah satu di antara

Bahri dan anwar harus mati untuk memperebutkan cinta Murni. Dalam

dialog 306—307 berikut

306. Bahri : Murni, katakan yang sebenarnya. Hanya kebenaran yang bisa menyelamatkan saya.

307. Murni : (menunduk) Ia berkata… Kalau begitu tidak ada jalan lain. Salah satu diantara kami berdua harus mati, dia atau saya.

d) Dakwaan Penuntut Umum/ Citra II

Penuntut Umum dalam persidangan menyatakan bahwa Bahri

sebenarnya menjatuhkan hukuman mati kepada Anwar atas dasar

kepentingan pribadi. Tugas dan kewajiban sebagai komandan pasukan

sebenarnya hanyalah dalih untuk untuk menyingkirkan Anwar. Tetapi,

jauh dalam hati Bahri memang memiliki niat untuk membunuh Anwar.

Jadi, bagi Penuntut Umum, Bahri adalah seorang pembunuh. Tampak

dalam dialog 222:

222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara

51

b. Model Fungsional Lakuan Saiful Bahri

Gambar 5: Tabel Model Fungsional Lakuan Saiful Bahri

Dalam tabel di atas terdapat beberapa tahapan narasi yang membentuk alur

sebagai berikut:

1) Situasi awal: Bahri berkesimpulan bahwa hidup yang dijalaninya tidak

memberikannya sesuatu yang berarti. Ia merasa segala yang telah

dilakukannya dalam hidupnya tidak ada apa-apanya atau tidak berarti sepeti

ditunjukkan oleh dialog 9—11:

9. Bahri : Berapa hari lagi umurku lima puluh tahun, setengah abad. Waktu begitu cepat berlalu. Masa kanakku terasa masih seperti terjadi kemarin. Lima puluh kalau kurenungkan apa yang sudah kulakukan dan capai dalam setngah abad, aku sendiri kaget akan kesimpulannya.

10. Murni : Kenapa?11. Bahri : Masa lima puluh tahun itu begitu kacau, begitu rumit.

Tapi, kesimpulan yang kuperoleh sederhana sekali. Hanya tiga kata. Tidak apa-apa. Itulah yang kukerjakan dan kucapai setelah hidup lima puluh tahun. Tidak apa-apa.

Situasi Awal

Transformasi SituasiAkhirKecakapan Utama Gemilang

Merasa hidupnya tidak berarti apa-apa

Gelisah dengan peristiwa masa lalu

Ingin dihadapkan pada pengadilan

Menampik segala tuduhan Penuntut Umum

Mengadili diri sendiri dengan menyerahkan keputusan kepada Yang Maha Mengetahui

52

2) Tahap kecakapan: pada tahap ini Bahri mulai merasa gelisah oleh peritiwa

masa lalunya. Murni, istrinya sekarang, adalah mantan pacar sahabatnya

sendiri (Anwar). Sebagai atasan, Bahri telah menjatuhkan hukuman mati

kepada sahabatnya itu dengan alasan penghianatan kepada bangsa. Nurani

Bahri terusik, apakah benar ia menjatuhkan hukuman mati itu atas dasar

kewajiban atau atas dasar kepentingan pribadi. Tampak di dialog 27—28:

27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa

yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.

3) Tahap utama: pada tahap ini Bahri ditemui oleh dua malaikat yakni Citra I dan

Citra II. Citra I menuduh Bahri sebagai pembunuh sedangkan Citra II

menganggap Bahri sebagai pahlawan. Akhirnya, Bahri memberi solusi atas

polemik itu yakni ia mesti dihadapkan kepada mahkamah nurani. Tampak

dalam dialog 152--153:

152. Bahri : (berdiri) siapa tuan-tuan ?! saya ragu, memang. Tapi hanya satu pengadilan yang berhak menentukan siapa saya sebenarnya, apakah saya pembunuh…

153. Citra I : …atau seorang prajurit yang melakukan kewajiban. Pendapat saudara itu benar. Dan kalau itu yang saudara ingin, saya kira keinginan itu adil.

53

4) Tahap gemilang: pada tahap ini persidangan dilangsungkan yang dihadiri oleh

3 orang hakim, penunutut umum, pembela, Bahri sebagai terdakwa, dan 3

saksi. Dalam persidangan terungkap fakta-fakta tersembunyi mengenai

hukuman mati yang dijatuhkan dan hubungan antara Bahri dengan Anwar dan

Murni. Penuntut Umum memberikan tuntutan-tuntutan yang faktual, tetapi

selalu dapat dimentahkan oleh pembela dan begitu pula sebaliknya. Sehingga

majelis hakim menyerahkan keputusannya kepada Bahri sendiri. Diungkapkan

dalam dialog 311--312:

311. Pembela : majelis hakim, Yang Mulia. Siapakah yang dapat

mengetahui niat seseorang ? air laut dapat diukur hati.

Orang siapa tahu, kata pepatah. Oleh sebab itu, satu-

satunya majelis hakim yang dapat menghakimi ialah

pelaku perbuatan itu sendiri. Ini pun hanya akan terjadi,

jika hati sanubari yang bersangkutan masih berfungsi

sebagaimana mestinya. Jadi, Yang Mulia, saudara

Saiful Bahri harus menghakimi perbuatan Saiful Bahri.

Terima kasih.

312. Hakim : majelis hakim akan mengundurkan diri untuk

bermusyawarah dan mengambil keputusan. Dengan ini

sidang saya undur beberapa saat.

5) Situasi Akhir: Bahri menghakimi diri sendiri tetapi dengan menyerahkan

keputusannya kepada Yang Maha Mengetahui. Tampak dalam dialog 321:

54

321. Bahri : sidang untuk mengadili perkara bekas mayor Saiful Bahri dibuka. (mengetukkan palu). Dengan ini, lengkaplah perjalanan saya. Kini saya kembali kepada permulaan tatkala saya dilahirkan sendiri, dan kini bertangggung jawab juga sendiri. (Tersedu) saudara Bahri. Saudara sudah sampai ke batas perjalanan saudara, tapi urusan manusia yang Saudara tinggalkan. Ikhlaskanlah segalanya. Yang bisa Saudara bawa hanya amal ibadah saudara. Ajukanlah perkara saudara pada hakim tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutlah namanya. Hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaan, dan memberikan keadilan. Pintu taubat masih terbuka. Tuhan telah berkata, pintalah pada-Ku dan Aku akan memberikan. (mengetukkan palu).

3. Pengkajian Tema

Tema adalah ide dasar dari sebuah karya sastra, adapun ide dasar dalam

sebuah karya naratif seperti naskah drama Mahkamah dapat ditelusuri melalui

unsur-unsur strukturnya. Alur Mahkamah dibangun oleh serangkaian konflik dan

peristiwa yang berasal dari pertanyaan tentang kebenaran hukuman mati yang

dijatuhkan oleh Mayor Bahri kepada Kapten Anwar.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan hukuman mati itu sudah

tepat karena Kapten Anwar telah menolak perintah komandan pasukan untuk

bertempur. Tetapi, masalah cinta segi tiga yang melibatkan keduanya menimbulkan

keraguan, apakah benar Bahri menjatuhkan hukuman itu atas dasar kewajiban

sebagai komandan atau atas dasar kepentingan pribadi. Hanya hati nurani Bahri

yang bisa menjawabnya. Oleh karena itu, Bahri dihadapkan pada sebuah mahkamah

yang dipimpin oleh tiga orang hakim. Ketiga hakim itu merupakan wakil dari

orang-orang yang selama hidup Bahri ikut membentuk kepribadian dan ikut

55

membentuk pengertian baik-buruk dalam diri Bahri. Dalam persidangan itu, benar

dan salah diukur menurut hati nurani Bahri.

Karena ukurannya adalah nurani, maka sebenarnya persidangan itu

merupakan representasi dari pertarungan dalam diri Bahri sendiri. Kegelisahan

Bahri yang mencari kebenaran menjadi pokok permasalahan atau merupakan

sumber konflik dalam persidangan atau mahkamah itu. Dengan demikian, naskah

Mahkamah karya Asrul Sani ini bertema kegelisahan Bahri untuk menggapai

kebenaran dan ketentraman batin.

C. Refleksi

Kenyataan selalu menawarkan wajah beragam. Benar-salah kerap kali

tersembunyi di balik lapisan-lapisan tafsir yang bisa dikupas dari berbagai sudut

pandang. Di tengah relativitas itu, perilaku seseorang akhirnya hanya dapat dihakimi

oleh hati nuraninya sendiri.

Pesan itu kental terasa dalam naskah Mahkamah karya Asrul Sani ini.

Pengadilan nurani yang menjadi tema naskah ini menjadikan naskah ini tetap aktual

untuk menilai kehidupan di zaman sekarang. Pada tahap refleksi ini kita akan

menafsirkan naskah Mahkamah sesuai dengan situasi sosial saat ini, tetapi tetap

mengacu pada struktur internal naskah seperti yang dipaparkan pada bagian

rekonstruksi teks di atas.

1. Evaluasi

Tema yang diangkat di dalam naskah ini merupakan masalah universal yang

bisa dialami oleh siapa saja. Bahri merasakan rasa bersalah atas kematian Anwar

56

karena Bahrilah yang menjatuhkan hukuman mati itu. Situasi dilematis yang

dialami Bahri yang berperan sebagai komandan pasukan sekaligus saingan bercinta

Anwar menciptakan pula perasaan yang dilematis dalam diri Bahri. Menjelang

kematiannya, perasaan itu muncul lagi sehingga ia meminta untuk mengkaji

kembali peristiwa masa lalu itu dalam sebuah pengadilan. Tujuan Bahri adalah

untuk mendapatkan kebenaran serta ketentraman batin saat menghadapi kematian

yang dalam agama Islam disebut sebagai kematian yang khusnul khatimah. Di sini

ditemukan Bahri sebagai orang yang pemberani untuk mengungkap selubung-

selubung peristiwa masa lalunya yang kontroversial.

Pengadilan imajinatif yang dihadapi Bahri sebenarnya merupakan

pengadilan simbolik yang menggambarkan konflik dalam batin Bahri sendiri.

Hakim yang dihadirkan juga adalah hakim simbolik yang merupakan wakil dari

orang-orang atau hal-hal yang membentuk konsep benar-salah dalam diri Bahri. Ini

menunjukkan bahwa pengadilan ini adalah pengadilan yang didasarkan atas

pertimbangan nurani sebagai suara kebenaran.

Selain dari masalah persaingan cinta tersebut, hukuman mati yang

dijatuhkan kepada Anwar oleh Bahri juga dipicu oleh perbedaan prinsip antara

keduanya dalam memandang peristiwa Madiun 1948. Anwar berprinsip bahwa

peristiwa Madiun merupakan sebuah perang saudara antara sesama bangsa

Indonesia. Sedangkan Bahri berprinsip bahwa peristiwa Madiun merupakan sebuah

upaya penyelamatan kehidupan negara dan pemerintahan. Di sini ditemukan tiga

pokok penafsiran yang berkaitan tentang nurani, pengadilan, dan sejarah yang

ditafsirkan lebih lanjut dalam bagian relevansi.

57

2. Relevansi

Sesuai dengan apa yang dikemukakan pada bagian evaluasi bahwa naskah

ini berkaitan dengan masalah nurani, pengadilan, dan perbedaan dalam memandang

peristiwa sejarah antara Bahri dan Anwar. Dalam bagian ini ditemukan beberapa

hubungan relevansi hal-hal tersebut dengan keadaan sosial di Indonesia saat ini.

a. Mahkamah dan Masyarakat

Mahkamah berhasil menyuguhkan drama kehidupan yang pelik dan

berlapis-lapis. Setiap tindakan seseorang menyimpan banyak sudut tafsir, dan

penilaian benar-salah menjadi begitu abu-abu. Cap sebagai pembunuh atau

pahlawan (seperti dalam kisah Bahri) seperti bandul yang bisa cepat bergeser,

tergantung dari mana memandangnya.

Pesan seperti itu juga menyentil kenyataan sosial di masyarakat yang gemar

memojokkan tindakan seseorang dengan kacamata hitam-putih. Seringkali,

kategori benar-salah hanya didasari satu sudut pandang yang sempit. Padahal,

kebenaran tak pernah bulat, dan seperti apa yang diungkapkan oleh tokoh

Pembela bahwa kebenaran tidak selalu tampil dalam bentuk bersahaja. Kebenaran

memiliki wajah yang banyak dan segi yang tidak terhitung. Kita tentunya tidak

bisa menentukan kebenaran hanya dengan prasangka-prasangka.

Naskah ini mengajak pembaca untuk merenungkan paradoks manusia

zaman sekarang yang mempertontonkan berbagai tindakan yang saling

bertentangan. Seseorang meneriakkan kemanusiaan, misalnya, tetapi dilakukan

dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Saat tindakan manusia begitu kompleks,

pengadilan terakhir berpulang pada hati nurani sendiri. Nurani yang jujur bisa

58

menggugah seseorang untuk tetap berperilaku lurus. Tapi, begitu hati nurani itu

mati, maka semua perilaku akan didasari oleh hawa nafsu yang pandai

bersembunyi di balik dalih-dalih.

Agama mengajarkan bahwa nilai segala tindakan manusia itu tergantung

pada niatnya. Yang akan dihukum pada pengadilan akhirat, bukan hanya lahiriah

manusia, tetapi juga batiniah. Ketika kita melakukan ibadah, baik ibadah maddah

(murni) maupun ibadah sosial, nilainya tergantung pada seberapa ikhlas kita

dalam melaksanakannya.

Saiful Bahri yang secara lahiriah sudah jelas menghukum mati Anwar atas

dasar ketentuan hukum, tetap harus menghadapi persidangan dalam Mahkamah

nurani. Karena perkara nurani adalah perkara kejujuran. Dan kejujuran adalah

suatu yang sangat mahal, apalagi pada masa sekarang ini.

Tentang hati nurani ini, perlu kita renungkan dalam kerangka pergaulan atau

interaksi sosial kita. Karena akhir-akhir ini, suara hati nurani hampir lenyap, tidak

lagi menjadi pertimbangan dalam bertindak. Masyarakat kita mengalami sakit

dalam berbagai bidang kehidupan. Sebenarnya penyakit-penyakit itu bermula dari

ketidaksetiaan masyarakat kita terhadap suara nurani. Setia pada nurani adalah

penting karena segala tindakan akan kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Nurani adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua orang

dari semua bangsa. Nurani adalah suara kebenaran yang ada di dalam diri setiap

manusia. Tidak akan mati sepanjang hidup manusia. Nurani juga merupakan

sumber rasa kemanusiaan dan moral universal. Oleh karena itu, sakit yang diidap

59

oleh masyarakat kita akan sembuh jika masyarakat kita, terutama para pemegang

kekuasaan, bertindak dan mengambil keputusan menurut hati nurani.

b. Mahkamah dan Penegakan HAM di Indonesia

Tokoh Saiful Bahri seharusnya menjadi teladan bagi para pemegang

kekuasaan di negeri ini untuk berani membuka kembali kasus-kasus pelanggaran

HAM. Sehingga perjalanan bangsa tidak lagi terbebani dengan kesalahan masa

lalu. Saiful Bahri di ujung hidupnya bersedia untuk diadili di mahkamah nurani.

Begitu pula seharusnya sikap kita terhadap masa lalu yang sudah terlanjur

tercoreng. Jangan sampai kita terus menerus menjadi bangsa pelupa dan naif

dalam menyikapi kasus-kasus hukum yang melibatkan para pemegang wewenang.

Menurut catatan Kontras (http://www.kontras.org/data diungguh pada

tanggal 20 Mei 2010/), antara tahun 1965 sampai tahun 2003, terdapat sebanyak

36 kasus pelanggaran HAM yang tidak tersentuh hukum. Dari kasus pembantaian

massal 1965 yang menelan korban sebanyak 1.500.000 jiwa di mana korban

sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi

dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dan lain-lain. Hingga

kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap masyarakat Wamena pada

tahun 2003. Dan belum lama ini, kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir, yang

proses penyelidikannya belum tuntas sampai sekarang. Contoh lain, terbunuhnya

Marsinah pada tahun 1991, seorang buruh di pabrik sepatu yang memimpin

teman-temannya memprotes kebijakan pimpinan pabrik. Kasus Marsinah ini

60

sudah ditutup sejak beberapa tahun yang lalu. Semua kasus itu, sampai sekarang

masih menjadi pertanyaan yang menggantung. Mengambangnya kasus-kasus

HAM itu disebabkan oleh banyaknya kepentingan terselubung dan kejahatan

penguasa dan pemilik modal yang akan terbongkar jika kasus itu dituntaskan.

Bagi para pemegang kekuasaan, naskah ini adalah inspirasi untuk bertindak

benar dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam

penyelenggaran pemerintahan dan penegakan hukum, hati nurani jangan sampai

diabaikan. Karena suara nurani adalah sebuah kebenaran universal. Hendaknya

orang-orang yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak

menutup telinganya dari suara kebenaran ini, hati nurani.

Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anggota masyarakat.

Dalam berinteraksi sosial, kita seringkali dihadapkan pada dilema untuk memilih

antara bertindak benar menurut nurani atau bertindak menurut selera pribadi. Hati

nurani adalah bahasa dunia yang akan mengantarkan kita pada perdamaian dalam

menjalani kehidupan.

c. Mahkamah dan Sejarah Kita

Naskah ini juga memiliki muatan sejarah yang penting dari bangunan

sejarah Indonesia. Peristiwa Madiun 1948 adalah peristiwa bentrok antara

angkatan bersenjata pemerintah RI dengan angkatan bersenjata PKI. Dalam

naskah Mahkamah, persitiwa ini tidak bisa kita abaikan karena merupakan latar

belakang peristiwa penjatuhan hukuman mati oleh Bahri kepada Anwar yang

kemudian menjadi kontroversial.

61

Bagi Mayor Bahri, perlawanan terhadap PKI ketika itu adalah bagian dari

perjuangan untuk menegakkan kehormatan dan stabilitas negara dan bangsa.

Sedangkah bagi Anwar, peristiwa itu adalah sebuah perang saudara. Ia berprinsip

bahwa ikatan kebangsaan harus lebih diutamakan daripada perintah komandan

dan kewajiban sebagai prajurit.

Dua sudut pandang yang berbeda antara Bahri dan Anwar inilah yang

menjadi menarik. Selama ini kita didoktrin melihat secara hitam-putih terhadap

peritiwa 1965 itu. Di dalam buku-buku pelajaran disebutkan bahwa perisitwa

Madiun itu merupakan peristiwa penumpasan terhadap pemberontakan yang

dilakukan oleh PKI. Padahal, sebelum Orde Baru berkuasa, peristiwa itu disebut

Peristiwa Madiun 1948. Penamaannya menjadi berbeda ketika Orde Baru

berkuasa yaitu Pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Pada titik ini kita temukan rekayasa dan subjektivitas dalam penulisan

sejarah bangsa. Sejarah kita sebagaimana sejarah pada umumnya tidaklah

memiliki penafsiran tunggal. Selama ini sejarah kita direkonstruksi oleh penguasa

sehingga sejarah yang hidup di tengah masyarakat adalah sejarah yang

mencitrakan penguasa sebagai pihak yang benar. Begitu bula dengan kasus

pemberontakan PKI di Madiun dan G 30 S. Bukti-bukti ilmiah ditemukan bahwa

PKI bukan pelaku tunggal, tetapi pemerintah pun sebelum pemilu tahun 2004

tidak mengubah posisinya untuk memberikan hak demokratik bagi para korban

1948 dan 1965.

62

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Dalam bagian rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) ditemukan

sistem internal naratif dan dramatik yang membangun sistem internal naskah

drama Mahkamah. Bahri sebagai tokoh utama mengalami kegelisahan batin atas

persitriwa masa lalu ketika Bahri menghukum mati sahabatnya, Anwar, dengan

tuduhan berhianat kepada bangsa, sedangkan Bahri dan Anwar sendiri sedang

terlibat dalam hubungan cinta segitiga. Rekonstruksi teks tahap penjelasan

(erklaren) model aktan (peran) ditemukan 6 peran yakni: Bahri sebagai subjek,

kebenaran dan ketentraman batin sebagi objek, hukuman mati kepada Anwar dan

ketidak bahagiaan murni sebagai pengirim, Bahri sebagai penerima, kesaksian

semua saksi sebagai penentang, dan kesaksian semua saksi sebagai penolong.

Dalam model fungsional ditemukan 3 tahap perkembangan naratif, yaitu: pada

tahap situasi awal Bahri merasakan hidup yang sia-sia, pada tahap transformasi

Bahri mengalami kegelisahan batin sehingga dihadapkan kepada mahkamah

nurani, dan pada tahap situasi akhir Bahri menghukum dirinya sendiri. Melalui

63

rekonstruksi teks di atas maka disimpulkan tema naskah yang menjadi sumber

pokok sistem narasi naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani ini yakni bertema

tentang kegelisahan Bahri untuk menggapai kebenaran dan ketentraman batin.

2. Dalam bagian refleksi pada tahap evaluasi terungkap tiga hal penting dari naskah

drama Mahkamah yakni tentang nurani, pengadilan, dan sejarah. Refleksi pada

tahap relevansi ditemukan tiga pokok penafsiran terhadap naskah drama

Mahkamah karya Asrul Sani. Hubungan Mahkamah dan masyarakat, relevansinya

menyangkut tema sentral dari naskah ini yaitu tentang nurani. Naskah ini juga

memiliki relevansi dengan penegakan HAM di Indonesia, Bahri berani

menghadapkan dirinya kepada pengadilan nurani. Begitu pula seharusnya para

pemegang wewenang untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM

di Indonesia. Relevansi lainnya berkaitan dengan sejarah kita kita yang memiliki

banyak versi. Seperti Bahri yang menganggap peristiwa Madiun sebagai

penyelamatan kedaulatan negara, sedangkan Anwar menganggapnya sebagai

sebuah perang saudara.

B. Saran

Pada dasarnya suatu kegiatan yang bersifat ilmiah harus memberikan dampak

positif. Begitupula halnya dengan hasil penelitian ini. Ada beberapa saran dari penulis,

yakni:

1. penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran, khususnya pada kajian

hermeneutika sastra,

64

2. hasil penelitian ini hendaknya terus dikembangkan ke ranah-ranah kajian

hermeneutika yang lain sehingga dapat meningkatkan keragaman ilmu

hermeneutika sastra yang ada, dan

3. hendaknya ada penelitian lebih lanjut terhadap naskah Mahkamah ini dengan

menggunakan teori dan pendekatan yang lain.

65