bab iveprints.unram.ac.id/8580/1/muh. khairussibyan.doc · web viewfungsi hermes sangat penting...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra dan realitas kehidupan memiliki keterkaitan yang erat. Karya sastra
menurut teori mimesis adalah tiruan dari kenyataan. Dalam karya sastra, realitas
diolah dengan imajinasi dan pengetahuan pengarang sehingga karya sastra memiliki
nilai estetika atau keindahan. Sebagai hasil imajinasi, karya sastra memiliki unsur
fiksionalitas (khayalan). Namun, walaupun memiliki unsur fiksionalitas yang kuat,
sebuah karya sastra, tetap memiliki hubungan dengan kenyataan. Karena jika tidak,
pembaca tentu tidak akan bisa memahami dan menikmati karya sastra.
Berhubungan dengan kenyataan bukan berarti karya sastra merupakan hasil
dokumentasi kenyataan semata. Kenyataan hanya sebagai sumber ide pengarang.
Pengarang mengartikan sebuah kenyataan tidak sebagaimana masyarakat umum
mengartikannya. Sehingga kenyataan atau pengalaman itu menjadi suatu hal yang
mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran (Dahana, 2001: 60). Dalam karya
sastra, realitas diolah dengan imajinasi dan pengetahuan pengarang sehingga karya
sastra memiliki nilai estetika atau keindahan. Susastra sebagai seni selalu
berhubungan dengan pengalaman yang dibentuk oleh emosi dan pikiran. Pengarang
lalu melukiskan pengalaman itu dengan media bahasa, dan mengembalikannya
kepada pemahaman pembaca. Karya sastra dibedakan dari karya tulis lainnya karena
karya sastra menggunakan sistem tanda kedua. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan
dalam karya sastra bersifat metaforis dengan tujuan memperluas dan memperdalam
1
tema pada karya sastra. Karena sifatnya itulah maka untuk memahami karya sastra
kita harus menafsirkannya.
Karya sastra sebagai bagian dari kajian budaya melibatkan aspek-aspek di luar
dirinya, aspek-aspek ekstrinsik, yaitu sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan pada
umumnya (Ratna, 2007: 113). Karena itu, ia memiliki relevansi dalam kehidupan.
Relevansi itu bersifat didaktis, artinya terdapat pembelajaran tentang moral, agama,
dan kemanusiaan di dalamnya. Relevansi sebuah karya sastra sebagai karya fiksi
tentu tidak serta merta dapat terwujud dalam kenyataan tanpa proses penikmatan dan
pemahaman yang utuh tentang sebuah karya sastra.
Naskah drama merupakan salah satu jenis karya sastra. Drama dibedakan dari
karya sastra yang lain karena drama memiliki dua dimensi yakni dimensi karya sastra
dan dimensi seni pertunjukan. Pada awalnya, naskah drama ditulis untuk memenuhi
kebutuhan pementasan teater atau drama di Yunani berabad-abad sebelum masehi.
Tujuan semula itu terus menjadi dasar penciptaan naskah drama sampai sekarang
yakni untuk dipertunjukkan di panggung atau di hadapan orang banyak.
Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa
dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk
tersendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan
mempunyai kemungkinan dipentaskan (Waluyo dalam Zamroni, 2006: 1).
Mahkamah adalah judul sebuah naskah drama dan merupakan karya
monumental dari almarhum Asrul Sani. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada
tahun 80-an. Sejak itu banyak sekali kelompok kesenian yang mementaskan drama
dengan mengangkat naskah ini salah satunya pada tahun 2007 oleh Sanggar Pelakon
2
Jakarta yang dipimpin oleh Mutiara Sani, istri almarhum Asrul Sani. Bahkan pernah
dijadikan film dan ditampilkan di televisi. Di Nusa Tenggara Barat naskah ini pernah
digarap dan dipentaskan pada tahun 1999 dan kembali dipentaskan pada tahun 2009
lalu oleh Teater Putih FKIP Universitas Mataram (ulasan tentang pentas ini dimuat
dalam majalah Gong edisi 117/X/2010 terbitan Yayasan Tikar Media Budaya
Nusantara).
Sumber penceritaan naskah drama ini adalah peristiwa sejarah bangsa Indonesia
pada tahun 1948 ketika terjadi bentrokan bersenjata antara TNI dengan PKI. Peristiwa
yang terjadi di Madiun Jawa Tengah ini pada awalnya hanya disebut sebagai
Peristiwa Madiun pada zaman rezim Soeharto diubah menjadi Pemberontakan PKI di
Madiun.
Konflik sejarah di atas merupakan latar belakang dari konflik batin yang dialami
tokoh utama dalam drama ini yakni Saiful Bahri. Konflik batin yang dialami Saiful
Bahri itu merupakan endapan dari peristiwa masa lalu ketika ia menghukum mati
sahabatnya sendiri pada peristiwa Madiun 1948 itu. Konflk batin ini berupa
terusiknya hati nurani si tokoh menjelang kematiannya. Akhirnya, ia dihadapkan ke
pengadilan nurani untuk diadili. Karena bersumber pada permasalahan nurani inilah
maka naskah ini selalu mendapatkan relevansinya pada setiap masa, sehingga penting
untuk dikaji dengan teori-teori sastra termasuk teori hermeneutika agar tetap
bermakna dan kontekstual dengan masa sekarang.
Hermeneutika menekankan prinsip polisemi teks dengan menunjukkan bahwa
penafsiran tidak berhenti pada maksud pengarang, tetapi berlanjut hingga perspektif
pembaca (Haniah, 2007: 21). Akan tetapi, dalam hermeneutika Ricoeurian, seorang
3
penafsir harus berusaha semaksimal mungkin untuk objektif dalam melakukan
penafsiran. Oleh karena itu Ricoeur (Saidi, 2008: 376) mengajukan empat kategori
metodologis yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui dunia teks,
distansiasi melalui dunia tulisan, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini
disederhanakan lagi menjadi tiga tahap metodologis yakni tahap tahap distansiasi,
tahap interpretasi, dan tahap apropriasi.
Haniah (2007: vi), berdasarkan empat kategori tersebut, menyebutkan dua
tingkat penafsiran. Pada tingkat pertama, pembaca membuka dunia teks melalui
dialektika pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) untuk merekonstruksi
cerita. Konsep pemahaman (verstehen/ understanding) dan penjelasan (erklaren/
explanation) merupakan konsep hermeneutik Dilthey yang diperbarui oleh Ricoeur.
Pemahaman merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks yang
disebut sebagai makna kontekstual. Sedangkan penjelasan merupakan analisis secara
struktural (semiotis) yang dilakukan terhadap karya dengan tidak melihat
hubungannya pada dunia yang ada di luar teks.
Pada tingkat kedua, pembaca mengadakan apropriasi, yaitu membuat makna
teks yang semula “asing” itu menjadi milikinya sendiri dengan cara merefleksikan
dunia teks yang telah dibuka. Pada tahap apropriasi (Haniah menggunakan istilah
refleksi) inilah dilakukan penafsiran yang sebenarnya. Jadi, kajian hermeneutika
Ricoeur terdiri atas dua tahap berurutan, yaitu tahap rekonstruktif yang terdiri dari
tahap semantis (pemahaman/ verstehen) serta tahap semiotis (penjelasan/ erklaren)
dan tahap produksi atau refleksi yang terdiri dari tahap evaluasi dan relevansi.
4
Dalam penelitian ini, pada tahap rekonstruksi teks ditambah bagian tentang
pengkajian tema tempat perumusan tema berdasarkan rekonstruksi teks pada tahap
pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren). Pengkajian tema ini penting untuk
dilakukan mengingat tema merupakan pokok pikiran yang mendasari sistem narasi
dari naskah drama Mahkamah. Sedangkan pada tahap refleksi bagian evaluasi dan
relevansi dilakukan penafsiran yang menghubungkan naskah drama Mahkamah
dengan konteks kekinian yakni tentang masyarakat, penegakan HAM di Indonesia,
dan Sejarah Indonesia.
Penulis menggunakan teori hermeneutika ricoeurian karena teori ini berbeda
dengan hermeneutika konvensional yang mengabaikan struktur teks yang akan
ditafsirkan. Dalam teori ini terdapat tahap pemahaman (verstehen) dan tahap
penjelasan (erklaren) yang mesti dilalui penafsir sebagai bentuk objektivasi struktur
teks, kemudian berlanjut kepada penafsiran yang sebenarnya pada tahap apropriasi
(refleksi).
Berdasarkan pada seringnya naskah ini dipentaskan, kegelisahan Bahri tentang
pengadilan nurani, dan hermeneutika recoeurian yang memadukan pendekatan
struktural dan hermeneutika konvensional maka penulis tertarik untuk mengkaji
naskah drama Mahkamah tersebut menggunakan kajian hermeneutik ricoeurian untuk
mengungkap makna naskah tersebut dan agar apa yang jauh secara waktuwi, bisa
mendapatkan relevansinya pada masa sekarang. Naskah tersebut juga dirasa masih
sangat relevan dengan konteks (situasi dan kondisi) masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang muncul adalah:
1. Bagaimanakah bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan
tahap penjelasan (erklaren), serta tema naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani
menurut kajian hermeneutik Ricoeurian?
2. Bagaimanakah bentuk apropriasi atau refleksi terhadap naskah drama Mahkamah
karya Asrul Sani pada tahap evaluasi dan relevansi menurut kajian hermeneutik
Ricoeurian?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menemukan bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan
tahap penjelasan (erklaren), serta tema naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani
menurut kajian hermeneutik Ricoeurian.
2. Menemukan bentuk apropriasi atau refleksi naskah drama Mahkamah karya Asrul
Sani pada tahap evaluasi dan tahap relevansi menurut kajian hermeneutik
Ricoeurian.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Manfaat Teoretis
a. Memperkaya khazanah pengetahuan kesusastraan khususnya dalam bidang
kajian hermeneutika Ricoeurian.
6
b. Menjadi sumbangan pemikiran, ide, dan gagasan bagi kemajuan ilmu
kesusastraan khususnya dalam bidang kajian hermeneutika Ricoeurian.
c. Menambah bahan apresiasi dan pemahaman menuju analisis yang lebih
sempurna.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini semoga bisa menjadi bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya baik yang berhubungan dengan naskah drama maupun kajian
hermeneutika.
b. Penelitian ini semoga bisa dijadikan bahan rujukan bagi sutradara atau
sanggar seni yang berminat untuk mementaskan naskah drama Mahkamah
karya Asrul Sani.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Istilah
Hermeneutika Ricoeurian adalah teori penafsiran teks yang dikembangkan
oleh Paul Ricoeur. Konsep hermeneutika Ricoeurian dibuat berdasarkan kekecewan
Riocoeur terhadap teori struktural yang menganggap bahasa sebagai suatu yang
tertutup dan dangkal serta terhadap teori hermeneutika konvensional yang cenderung
menafsirkan teks dengan menghilangkan ojektivitas penafsir. Untuk mendapatkan
hasil penafsiran yang baik dan objektif, Ricoeur menawarkan empat kategori
metodologis penafsiran yaitu: objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan,
distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini
disederhanakan lagi menjadi dua tahap metodologis yakni tahap rekonstruksi teks
yang terdiri dari tahap pemahaman (verstehen) serta tahap penjelasan (erklaren) dan
tahap apropriasi atau refleksi yang terdiri dari tahap evaluasi dan relevansi.
Naskah drama adalah salah satu genre sastra selain prosa dan puisi. Naskah
drama berbentuk urutan dialog antar tokoh kadang disebutkan juga tentang petunjuk
akting dan biasanya dibuat untuk dipentaskan di atas panggung. Jadi, naskah drama
Mahkamah adalah karya sastra berbentuk drama yang diciptakan oleh Asrul Sani
pada tahun 1980-an.
8
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan baik yang berkaitan dengan naskah
drama maupun dengan kajian hermeneutik telah banyak dilakukan. Penelitian yang
mengacu pada teori hermeneutik Paul Rioceur dilakukan oleh Haniah (2007) dalam
mengkaji 12 roman Indonesia. Dalam penelitian yang berjudul Dari Dekonstruksi ke
Refleksi: Apresiasi Susastra dengan Kajian Hermeneutik itu, Haniah menganalisis 12
roman Indonesia itu dalam dua tahap yakni tahap rekonstruksi dan tahap produksi/
refleksi. Pada tahap rekonstruksi, penafsir mengkonstruksi kembali struktur dan dunia
teks kemudian ditafsirkan pada tahap refleksi.
Peneliti yang sama juga pernah meneliti prosa lirik karya Linus Suryadi AG
berjudul Pengakuan Pariyem. Tesisnya di Universitas Indonesia itu berjudul Metode
Hermeneutik Ricoeur: Kajian dan Penerapannya pada Novel Pengakuan Pariyem.
Dalam tesis itu Haniah menyebutkan bahwa hermeneutik Ricoeur tidak terlepas dari
tujuan Ricoeur berfilsafat, yaitu memahami eksistensi manusia.
Penelitian terhadap naskah drama pernah dilakukan oleh Moch. Zamroni
(2006) berjudul Konflik dalam Naskah Drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya.
Dalam penelitian itu Zamroni mengatakan bahwa hal yang membedakan naskah
drama dengan prosa dan puisi adalah teknik analisis unit motivasional dalam drama.
Petunjuk mengenai teknik dan maksud penulis naskah dapat selalu ditemukan dengan
menganalisis unit motivasional. Apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik
bergerak dan berkembang, dan apa efek-efek dari konflik bergantung pada jenis dan
fungsi setiap unit motivasional. Unit motivasional didefinisikan sebagai bagian
9
terkecil integral yang melengkapi adegan dalam lakon/ drama, yang mana pola
motivasional tetap tidak berubah.
Hasil penelitian yang lain adalah skripsi yang disusun oleh Soni Farid
Maulana (1986) berjudul, Sikap Terhadap Modernisasi, Antara Saini K.M. dan Arifin
C. Noer, Lewat Kapai-Kapai dan Amat Jaga, Sebuah Pendekatan Sosiologis. Dalam
skripsi tersebut, Maulana meneliti tentang sikap pengarang dua naskah drama yaitu
Saini K.M. dan Arifin C. Noer dalam merespon perkembangan zaman dalam bentuk
arus pembaruan yang dikenal sebagai modernisasi, dengan cara menganalisis secara
sosiologis dua naskah drama yakni Kapai-Kapai dan Amat Jaga.
Penelitian lain yang relevan adalah skripsi oleh Farmiatun (2009) di jurusan
PBS Universitas Mataram berjudul Kajian Konflik Psikologi Tokoh Atma dalam
Cerpen Paku dan Palu Karya Utuy Tatang Sontani. Dalam penelitian itu, Farmiatun
menganalisis psikologis tokoh utama. Penelitian ini dijadikan sebagai bahan rujukan
karena sama-sama menganalisis motif-motif lakuan tokoh dalam karya sastra.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikemukakan di atas, ternyata Kajian
Hermeneutik terhadap Naskah Drama Mahkamah belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu, penelitian ini sangat penting dilakukan guna menambah khazanah
pengetahuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya bidang kajian
hermeneutik yang menggunakan teori hermeneutik ricoeurian.
10
C. Kerangka Teori
1. Drama sebagai Karya Sastra
Sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, ini merupakan prinsip sastra
yang tidak terbantahkan. Karya sastra menjadi bagian dari budaya karena berupa
hasil penciptaan pengarang yang hidup sebagai anggota masyarakat. Karena itu
pengarang tidak pernah bisa melepaskan diri dari persoalan kehidupan sewaktu
melahirkan karya sastra.
Begitu pula drama, sebagai salah satu genre sastra yang menyajikan
peristiwa dramatik yang diangkat secara sastrawi dan bisa berdialog dengan
masyarakatnya, tentunya sastra tersebut adalah sastra kontekstual atau kedudukan
sastra tersebut sangat terlibat dengan persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakatnya (Maulana, 1986:9). Dengan demikian, tokoh-tokoh yang hadir
dalam peristiwa sastra tersebut merupakan suatu gambaran tertentu dari situasi
tertentu pula yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya.
Karya-karya drama, meskipun tercipta oleh pengarang yang berhubungan
dengan kenyataan, tetaplah harus diperlakukan sebagai suatu karya yang otonom.
Hasanuddin (1996: 63) menegaskan bahwa pengertian otonom menurut para
strukturalis adalah bahwa karya sastra hanya patuh pada dirinya sendiri. Artinya,
kita harus menganalisis atau meneliti drama dengan menggunakan teori,
pendekatan, metode, dan teknik yang sesuai dengan karakteristik drama. Menurut
Hasanudin (1996: 7), drama memiliki karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra
pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi lain.
11
Dalam bagian penegasan istilah di atas, drama diartikan sebagai seni
pertunjukan atau disamakan dengan teater. Namun ada juga ahli yang menyatakan
bahwa drama tidak mengacu kepada seni pertunjukan teater, tapi mengacu kepada
naskah yang dijadikan pedoman bermain dalam pementasan teater. Seperti yang
dinyatakan oleh Hasanuddin (1996), bahwa drama merupakan suatu genre sastra
yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai
suatu seni pertunjukan.
Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibandingkan
dengan genre puisi atau genre prosa lainnya. Drama tidak dapat diperlakukan
sebagai puisi ketika mendekatinya, karena puisi merupakan karya sastra yang
memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan drama, seperti unsur diksi, bunyi,
persajakan dan sebagainya, namun drama juga tidak bisa disamakan dengan prosa
jenis lain seperti cerpen dan novel. Setidaknya terdapat tiga ciri yang
membedakannya pertama, naskah drama tidak memiliki sudut pandang penceritaan.
kedua, naskah drama hanya berisi dialog para tokoh, dan ketiga, naskah drama
disertai pula dengan petunjuk pemanggungan dan akting di atas panggung.
Drama berasal dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti berbuat, berlaku,
bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Menurut Haryaman (Haryaman: 1993),
terdapat tiga arti drama. Pertama, drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action,
(segala apa yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan
(exciting), dan ketegangan pada pendengar/ penonton. Kedua, seperti yang
diungkapkan oleh Moulton, drama adalah “hidup yang dilukiskan dengan gerakan.”
Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat
12
kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri. Pengertian
ini ditegaskan oleh Balthazar Verhagen bahwa drama adalah kesenian melukiskan
sifat dan sikap manusia dengan gerak. Ketiga, drama adalah cerita konflik manusia
dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan
percakapan dan action di hadapan penonton.
Haryaman sendiri menyamakan pengertian drama dengan teater yakni,
kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh
orang banyak, dengan media: percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor,
dan didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra). Dalam hal ini, yang
saya maksud dengan drama adalah pengertian menurut Haryaman ini. Di dalam
pertunjukan drama, pemain berakting sesuai dengan peran yang terdapat dalam teks
cerita. Teks tertulis yang berisi rancangan laku itu disebut lakon kemudian lebih
dikenal dengan nama naskah drama.
Namun, drama juga memiliki unsur-unsur seperti yang dimiliki prosa
lainnya. Unsur-unsur penokohan, alur, tema, dan setting juga terdapat dalam drama.
Untuk keperluan penelitian, kita hanya akan membahas tentang tema serta motif
dan peristiwa dalam drama.
a. Tema
Menurut Budi Darma (Mar’i, 1991: 13), tema adalah masalah hakiki
manusia seperti cinta kasih, kasih sayang, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan
dan sebagainya. Sedangkan menurut Mar’i (1991: 13) tema adalah pokok
persoalan yang tersusun di dalam sebuah fiksi, merupakan sebuah ide yang
penting dari interpretasi manusia.
13
Tema sering pula diartikan sebagai sumber atau ide cerita. Tema menjadi
sumber ilham penceritaan dalam sebuah karya sastra. Tema adalah pikiran pokok
yang mendasari sebuah karya sastra termasuk drama. Pikiran pokok ini
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang menarik.
b. Motif dan Peristiwa
Peristiwa dalam teater adalah unsur pembangun alur dan suspense. Dalam
drama setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu mempunyai
hubungan sebab-akibat. Peristiwa di dalam drama terjadi karena adanya perbuatan
atau laku-laku yang dilakukan oleh para tokoh. Hasanuddin (86:1996)
menyatakan bahwa usaha memahami peristiwa di dalam drama adalah dengan
memperhatikan tindakan-tindakan dan perbuatan para tokoh.
Untuk memenuhi unsur sebab-akibat, laku-laku dalam drama harus memiliki alasan yang jelas. Harus ada alasan tentang mengapa laku tersebut dilakukan oleh tokoh. Alasan tentang mengapa laku atau peristiwa itu terjadi disebut dengan motif. Oleh Sebab itu, motif merupakan dasar laku, keseluruhan stimulus dinamis yang menjadi sebab pelaku (seseorang atau sekelompok orang) mengadakan respon-respon (Hasanuddin, 88:1996).
Menurut Oemarjati (Hasanuddin, 1996:88) motif dapat muncul dari
berbagai sumber, antara lain:
1) kecenderungan-kecenderungan dasar yang dimiliki manusia;
2) situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan sosial;
3) interaksi sosial; dan
4) watak manusia itu sendiri.
14
2. Hermeneutika Ricoeurian
a. Hakikat Hermeneutika
Secara etimologis hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,
hermeneuiein, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan (Ratna,
2008: 45). Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Dewa
Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa Hermes
berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk
yang dimengerti manusia. Fungsi Hermes sangat penting sebab bila tejadi
kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh
manusia. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan
umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik
maupun dalam pandangan modern (Palmer dalam Sumoryono, 1999: 24).
Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika untuk memahami
agama, Ratna (2008: 45) mengatakan bahwa metode ini dianggap tepat untuk
memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa karya sastra merupakan
karya tulis yang terdekat dengan agama. Ratna kemudian menegaskan bahwa
teori hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang
paling optimal.
Gadamer berpendapat (Sumaryono, 1999: 77) bahwa hermeneutik
adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari
hermeneutik, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses
mekanis. Menurutnya, hermeneutik harus menghasilkan suatu esensi dalam
15
atau hal batiniah yang merupakan realitas utama. Pendapat Gadamer ini
senada dengan pendapat Ricoeur. Menurut Ricoeur (Sumaryono dalam
Endraswara, 2003: 42), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang
ada di balik struktur. Di dalam teks (karya sastra) ada konteks yang bersifat
polisemi maka peneliti harus menukik ke arah teks dan konteks sehingga
ditemukan makna utuh.
Menurut Palmer (2003: 15), ada tiga makna dasar hermeneutika,
yaitu: mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say” ; menjelaskan, seperti
menjelaskan sebuah situasi dan; menterjemahkan, seperti di dalam
transliterasi bahasa asing.
Palmer juga menyebutkan bahwa hermeneutika adalah proses
penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna
terpendam atau tersembunyi. Objek interpretasi dalam pengertian yang luas,
bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam
masyarakat atau sastra (2003: 48). Sedangkan menurut Ricoeur (Poesporodjo,
2004: 113), hermeneutika adalah teori pengoperasian pemahaman dalam
kaitannya dengan interpretasi kebudayaan sebagai teks. Interpretasi ditegaskan
sebagai pembedaan suatu arti yang tersembunyi di dalam arti yang tampak.
Menurutnya, apa yang diucapkan atau ditulis oleh manusia mempunyai makna
yang lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda-beda.
16
b. Hermeneutika Ricoeurian
Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan, pada tahun 1913. Ia
berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai
cendikiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia berkenalan dengan
filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filusuf yang
menganut aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 ia memperoleh
‘licence de philosophie’. Pada akhir tahun 1930 ia mendaftarkan diri sebagai
mahasiswa S-2 di Universitas Sorbonne, dan pada tahun 1935 memperoleh
‘agregation de philosophie’ (keanggotaan atau ijin menjadi anggota suatu
organisasi dalam bidang filsafat).
Pada tahun 1950 ia memperoleh gelar “docteur des letters” (doctor
bidang Kesusastraan) melalu tesisnya yang berjudul Philosophie de la Volonte
(Filsafat Kehendak). Pada tahun 1956 Ricoeur diangkat menjadi professor
filsafat di Universitas Sorbonne. Namun pada tahun 1966 ia memilih
mengajar di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne, di pinggiran kota
Paris.
Dengan mengutip Niezstche, Ricoeur menyatakan bahwa hidup itu
sendiri adalah interpretasi. Bilamana terdapat pluralitas makna, maka di situ
interpretasi dibutuhkan (Sumaryono, 1999: 105). Apa yang diucapkan atau
ditulis manusia mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan
konteks yang berbeda. Karakteristik yang menyebabkan kata-kata memiliki
makna lebih dari satu bila digunakan dalam konteks-konteks yang berbeda
17
oleh Ricoeur dinamakan ‘polisemi’. Karakteristik inilah yang menjadikan
hermeneutik diperlukan dalam memahami manusia.
Seperti yang sudah dikemukan sebelumnya bahwa pengertian
hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya
dengan interpretasi terhadap teks. Interpretasi terhadap teks perlu dilakukan
mengingat sifat “polisemi” teks di mana teks memiliki makna yang berbeda-
beda tergantung pada konteks penafsirannya.
Wacana (termasuk karya sastra) adalah tempat pembicara
mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Atas dasar itu, memahami teks adalah
gerak dari “apa” yang dikatakan (sense) ke “tentang apa” yang dikatakan
(reference) (Haniah, 2007: 22). Sense atau makna tekstual adalah makna yang
terbangun dari hubungan antartanda yang ada dalam teks itu sendiri.
Sedangkan reference atau makna kontekstual adalah makna yang diproduksi
antara hubungan teks dengan dunia luar teks (Banita, 7 Mei 2010).
Mengenai tuga hermeneutik, Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik adalah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”nya teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono, 1999: 107).
Pandangan ini bersumber dari kekecewaannya terhadap pendekatan
hemeneutik konvensional yang dianggapnya subjektif dalam memaknai teks
dan terhadap pendekatan struktural yang menganggap bahasa sebagai suatu
sistem tertutup sehingga kurang memberikan ruang bagi pemaknaan yang
variatif dan mendalam terhadap teks. Penjelasan Struktural cenderung untuk
18
bersifat objektif yang dangkal, sedang pemahaman hermeneutik konvensional
memberi kita kesan subjektif. Jadi, di sini kita dapati dikhotomi antara
objektivitas dan subjektivitas yang menimbulkan problem. Kesenjangan kedua
pendekatan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya
sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan
pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lainnya
(Sumaryono, 1999: 108).
Terkait dengan pandangan tersebut, ia juga menekankan pentingnya
pemahaman tentang dinstanciation (pengambilan jarak). Karena salah satu
sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah
“perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak
supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik (Sumaryono, 1999: 106).
Distansiasi di satu sisi mengasingkan teks baik secara kultural
maupun eksistensial yakni terlepas dari penulis dan konteks historis dan
kulutral penciptaannya. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran
melibatkan saat pengambilan jarak dari obyek yang diberi makna. Namun di
sisi lain distansiasi membuat sebuah teks jadi produktif karena ia membuka
diri secara tak terbatas bagi kemungkinan-kemungkinan produksi makna.
Tugas hermeneutik menjadi sangat berat, sebab hermeneut harus membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi asing, harus dapat mengatasi situasi dikhotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif (Sumaryono, 1999: 109).
19
Dalam usahanya menjelaskan bagaimana proses pemahaman terhadap
teks mesti dijalankan, Ricoeur mengajukan empat kategori metodologis yakni
objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui dunia teks, distansiasi melalui
dunia tulisan, dan apropriasi (pemahaman diri). Empat kategori ini
disederhanakan lagi menjadi tiga tahap metodologis yakni tahap distansiasi,
tahap interpretasi, dan tahap apropriasi.
Haniah (2007: vi) menyebutkan bahwa momen distansiasi memberi
otonomi semantik teks, yang meliputi otonomi makna teks dari intensi
penulisnya, dari pembaca awal, dan dari situasi budayanya. Hal ini
menunjukkan bahwa pendekatan objektif sangat diutamakan. Dengan
pemberian otonomi itu, makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut
hubungan internalnya. Tahap berikutnya adalah pemahaman kritis yang
diawali dengan eksplanasi, yaitu menjelaskan teks melalui analisis struktur
teks (semiotik) untuk meradikalkan apa yang dicapai dalam pemahaman naif,
dan diakhiri dengan apropriasi, yaitu mengembalikan apa yang semula
diasingkan. Dengan apropriasi, pemahaman diri (katarsis) tercapai karena
pembaca memperoleh makna berkat teks yang dibacanya.
Haniah (2007) menyebut tahap distansiasi dan interpretasi dengan
istilah rekonstruksi teks yang terdiri dari pemahaman (verstehen) serta
penjelasan (erklaren) serta istilah refleksi untuk tahap apropriasi. Rekonstruksi
bersifat reproduktif, sedangkan refleksi bersifat produktif. Melalui
rekonstruksi pembaca menemukan makna/ kebenaran teks (sense), sedangkan
melalui refleksi pembaca menemukan amanat/ pesan teks yang akan
20
mengantarkannya untuk memahami diri. Pada penelitian ini, digunakan istilah
rekonstruksi teks dan refleksi tersebut.
1) Rekonstruksi Teks
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa rekonstruksi teks terdiri
dari dua tahap rekonstruksi yaitu tahap pemahaman (verstehen) dan tahap
penjelasan (erklaren). Di dalam penelitian ini sengaja ditambahkan tahap
pengkajian tema sebagai pelengkap dari tahap rekonstruksi teks dan agar
didapatkan struktur yang utuh dari naskah Mahkamah karya Asrul Sani.
a) Pemahaman Teks Secara Naif (Verstehen)
Memahami suatu novel/ cerpen/ drama, yang berarti
menemukan makna atau kebenaran performatif teks, dapat dicapai
hanya melalui lakuan tokohnya (Haniah, 2007: 17), untuk itu perlu
dipahami hubungan antara pelaku dan lakuannya. Di sini kita sampai
pada motivasi yang mendorong pelaku melakukan tindakannya. Tugas
pembaca adalah memahami lakuan tokoh yang ditimbulkan oleh
kendalanya. Kendala dapat dipahami secara kontekstual, entah konteks
budaya, konteks psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Oleh karena itu,
penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu
yang dimungkinkan ikut membentuknya.
b) Pemahaman Teks Secara Kritis (Erklaren)
Penafsiran seperti di atas disebut pemahaman naif yang
keilmiahannya belum teruji, sehingga masih diperlukan pemahaman
kritis atau penjelasan (erklaren). Ini berarti penafsiran harus begerak
21
dari semantik ke semiotik atau dari fenomena ke sistem yang
mengaturnya. (Haniah, 2007:18).
Dalam tahap ini pemahaman dirumuskan dalam suatu model
struktur peran. Model yang dibangun oleh Greimas ini disebut model
aktan (peran) (Selden dalam Kullsum, 2006: 31). Model ini untuk
mengungkapkan keterpaduan teks. Greimas mengajukan enam buah
aktan dalam oposisi biner di dalam karya sastra naratif yaitu hubungan
subjek/ objek, pengirim/ penerima, penolong/penentang. Ketiga
hubungan itu menguraikan tiga pola dasar yang berulang dalam semua
teks naratif: kehendak, hasrat, atau tujuan (subjek/objek), komunikasi
(pengirim/ penerima), dan tindakan (penolong/ penentang.
Selanjutnya, Greimas menerapkan hukum tranformasi terhadap ketiga
hubungan dalam model aktan itu yang disebut model fungsional, yaitu
berupa tiga tahap perkembangan: tahap kecakapan, tahap utama, dan
tahap gemilang.
c) Pengkajian Tema
Tahap ini dijadikan bagian dari tahap rekonstruksi teks karena
tema merupakan salah satu dari unsur internal dari teks naskah
Mahkamah. Tema dikaji dengan memperhatikan hasil dari
rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan tahap
penjelasan (erklaren), karena dari kedua tahap itulah diketahui susunan
dan system narasi dari naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.
22
3) Refleksi (Apropriasi)
Tingkat rekonstruksi teks berupa pemahaman (verstehen) dan
penjelasan (erklaren) di atas belum memahami obyek penelitian (dalam
hal ini naskah drama Mahkamah) secara mendalam dan menyeluruh,
terutama dalam memahami manusia. Ricoeur mengingatkan bahwa
hermeneutika mulai ketika dialog berakhir. Ini berarti hermeneutika baru
bekerja dalam tahap refleksi karena tujuannya adalah memahami dengan
lebih baik daripada pengarangnya.
Jadi, hermeneutika mengacu pada aktivitas penafsir dalam
mengangkat proses yang tidak disadari ke kesadaran atau menjernihkan
yang samar di dalam teks. Usaha itu menghasilkan transformasi diri atau
refleksi, yaitu dunia pembaca ditransformasi oleh dunia teks yang oleh
Ricoeur disebut apropriasi, dengan begitu pembaca diharapkan mencapai
pemahaman diri.
Pada tahap refleksi ini, dilakukan dua tahap penafsiran yakni tahap
evaluasi dan tahap relevansi.
a) Evaluasi
Pada tahap ini dilakukan pemaknaan atas teks berdasarkan pada
hasil dari tahap rekonstruksi teks. Pada tahap ini penafsir
mengungkapkan makna tersembunyi dari makna tampak. Penafsir
berusaha memaknai teks dengan lebih baik daripada pengarang teks itu
sendiri. Sehingga tujuan hermeneutika ricoeurian tercapai yakni
23
menjadikan dekat dan bermakna apa yang jauh secara waktuwi dan
budaya.
b) Relevansi
Pada tahap ini dilakukan pemaknaan terhadap teks dengan
mencari relevansi makna yang ditemukan dalam tahap evaluasi dengan
konteks ketika penafsiran itu dilakukan. Tahap ini penting dilakukan
karena teks baru akan bermakna apabila memiliki relevansi dengak
kekinian. Sehingga penafsir tidak hanya menafsirkan teks tetapi juga
mengubah realitas (Haniah, 2007: 25).
Agar lebih jelas, tahap di atas kami visualisasikan melalui bagan
berikut:
Gambar 1: Diagram Tahapan Hermeneutika Ricoeurian
Pada diagram di atas, terdapat tahapan penafsiran sebagai berikut:
a) Tahap rekonstruksi teks yang terdiri dari tahap Pemahaman (verstehen)
dan tahap penjelasan (erklaren)
24
TAHAP REKONSTRUKSI TEKS
TahapPemahaman (verstehen)
TahapPenjelasan (erklaren)
TAHAP REFLEKSI
Pengka-jian Tema
Evaluasi Relevansi
(1) Tahap pemahaman (verstehen) merupakan tahap di mana karya
naskah drama Mahkamah disusun struktur naratifnya melalui
pemahaman terhadap lakuan tokoh utamanya yaitu Bahri, Murni
dan Anwar.
(2) Tahap penjelasan (erklaren) merupakan tahap radikalisasi dari
tahap pemahaman. Pada tahap ini lakuan tokoh Bahri dikonstruksi
dengan model aktan dan fungsional.
(3) Pengkajian Tema merupakan tahap perumusan tema naskah yang
menjadi sumber pokok dari narasi teks naskah drama Mahkamah..
b) Tahap Refleksi (Apropriasi) merupakan tahap inti karena pada tahap
inilah penafsiran yang sebenarnya dilakukan.
(1) Tahap evaluasi merupakan pengungkapan makna tersembunyi dari
makna yang yang tampak.
(2) Tahap relevansi merupakan tahap di mana teks dimaknai sesuai
dengan konteks kekinian untuk mencapai pemahaman diri.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif karena dalam penelitian ini temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Jenis penelitian ini bersifat interpretatif karena data yang ditemukan diinterpretasi
untuk menemukan hasil penelitian. Penelitian kualitatif menurut John W. Creswell
(Patilima, 2005: 3) adalah sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah
sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang
dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan
disusun dalam sebuah latar ilmiah. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan
adalah data dalam bentuk narasi dari naskah drama Mahkamah yang kemudian
dianalisis untuk dijadikan bukti-bukti yang perlu untuk mendukung kebenaran dalam
proses rekonstruksi teks naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.
B. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah naskah drama dengan judul Mahkamah karya
Asrul Sani. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahu 1980-an dan beberapa
kali telah dipentaskan. Naskah yang dipegang oleh peneliti adalah naskah hasil
dokumentasi Teater Putih FKIP Universitas Mataram yang diketik rapi pada tahun
1998.
26
C. Prosedur Penelitian
Di dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan metode yakni tahap
pengumpulan data dan tahap analisis data. Pada tahap pengumpulan data dilakukan
studi pustaka, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya pada tahap analisis data
dilakukan analisis dengan pendekatan deskriptif analisis, psikologis, dan sosiologis.
1. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan
dengan menelaah buku-buku yang relevan untuk mencapai tujuan penelitian.
Metode ini dilakukan dengan mencari data-data pustaka yang terdapat di
berbagai tempat seperti di perpustakaan, toko buku, internet dan lain-lain.
Metode ini penting digunakan untuk mengetahui secara baik hal-hal yang
berkaitan untuk mencapai tujuan penelitian atau untuk mendapatkan
penafsiran yang utuh tentang naskah drama Mahkamah. Pustaka yang diteliti
adalah pustaka yang berkaitan dengan naskah drama Mahkamah, drama,
hermeneutika, dan hermeneutika ricoeurian.
b. Observasi
Metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data yang terdapat di
dalam objek atau sasaran penelitian dalam hal ini naskah drama Mahkamah
karya Asrul Sani. Metode ini berguna untuk mengumpulkan data berupa
dialog-dialog tokoh dalam drama Mahkamah untuk memperkuat penafsiran
atas naskah drama itu. Data yang diambil adalah dialog-dialog yang
membangun struktur naratif naskah Mahkamah yang berpusat pada tokoh
27
Bahri sebagai tokoh utama. Oleh karena itu, dialog-dialog yang dijadikan
kutipan adalah dialog pada bagian awal, tengah, dan akhir naskah drama
Mahkamah.
c. Dokumentasi
Metode ini berupa perekaman dengan mencatat semua data yang
dikumpulkan dengan metode studi pustaka dan metode observasi. Metode ini
berupa pencatatan hasil studi pustaka yang berkaitan dengan naskah drama
Mahkamah, drama, dan hermeneutika ricoeurian. Metode ini juga digunakan
untuk merekam data hasil observasi berupa dialog-dialog yang akan dijadikan
sebagai bukti ilmiah tentang struktur naratif teks naskah Mahkamah.
2. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan tiga pendekatan yang relevan untuk
menganalisis naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani yaitu pendekatan
deskriptif analisis, pendekatan psikologis, dan pendekatan sosiologis.
a. Pendekatan Deskriptif Analisis
Pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah pendekatan
deskriptif analisis. Pendekatan deskriptif analisis ini merupakan pendekatan
yang menguraikan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu data. Pendekatan ini
digunakan untuk mencapai tujuan pertama dan kedua dari penelitian ini yakni
menemukan bentuk rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) dan
tahap penjelasan (erklaren). Prinsip kerja dalam pendekatan ini adalah dengan
cara mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis,
serta secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dalam naskah Mahkamah
28
yang kemudian disusul dengan analisis. Pendekatan ini juga digunakan untuk
meneliti sistem teks naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah:
1) Membaca secara keseluruhan naskah drama Mahkamah;
2) Mengkonstruksi cerita/ isi teks drama Mahkamah melalui lakuan dan
psikologis tokoh,
3) Mengutip bagian naskah yang berkaitan dengan psikologis dan lakuan
tokoh,
4) Menyusun sistem teks dengan model aktan dari Greimas dalam bentuk
diagram berikut
c) Pengirim b) Objek d) Penerima
e) Penolong a) Subjek f) Penentang
Gambar 2: Diagram Model Aktan
Diagram di atas merupakan model aktan (peran) yang terdiri dari beberapa
peran sebagai berikut:
a) Subjek adalah tokoh utama yang memiliki
kehendak untuk mencapai objek.
b) Objek adalah tujuan dari lakuan subjek.
c) Pengirim adalah hal yang mendorong
subjek untuk menggapai objek
29
d) Penerima adalah subjek sendiri sebagai
penerima dorongan dan hasil penggapaian tujuan/ objek.
e) Penolong adalah hal/ tokoh yang
menolong tokoh utama menggapai tujuan/ objek.
f) Penentang adalah hal/ tokoh yang
menghalangi subjek menggapai tujuan/objek.
5) Merekonstruksi sistem narasi teks dengan model fungsional Greimas.
Gambar 3: Tabel Model Fungsional Greimas
6) Menentukan tema berdasarkan struktur naratif naskah Mahkamah.
b. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis ini digunakan pada tahap rekonstruksi teks
dengan mengkaji karakteristik dan motif lakuan tokoh-tokoh dalam naskah
drama Mahkamah karya Asrul Sani. Pendekatan ini bertolak dari asumsi
bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan
manusia yang selalu saja memperlihatkan perilaku yang beragam. Dalam
Situasi Awal
Transformasi SituasiAkhirKecakapan Utama Gemilang
30
penelitian ini, dikaji psikologis atau motif lakuan tiga tokoh utama yang
membentuk alur dan sistem narasi, yakni lakuan Saiful Bahri, Anwar, dan
Murni. Misalnya, pendekatan ini digunakan untuk mengetahui penyebab
kegelisahan tokoh Bahri di masa tuanya.
c. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini digunakan pada bagian refleksi (apropriasi) untuk
menemukan penafsiran untuk mencapai pemahaman diri agar naskah
Mahkamah tetap relevan bagi kehidupan pribadi dan kehidupan sosial
masyarakat. Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang
pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut
berada di dalamnya. Dalam penelitian ini, pendekatan sosiologi digunakan
untuk melihat kemungkinan kaitan internal naskah Mahkamah dengan
peristiwa lain dalam kenyataan serta untuk menemukan relevansi sosial
naskah drama Mahkamah. Misalnya, relevansi antara pengadilan nurani yang
terdapat dalam naskah Mahkamah dengan proses penegakan HAM di
Indonesia.
31
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Asrul Sani sebagai Sastrawan
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 dan meninggal di
Jakarta, 11 Januari 2004. Semasa hidupnya ia adalah seorang sastrawan dan sutradara
film sukses dan diidolakan, baik pribadinya maupun karya-karyanya hingga kini. Dia
adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih
mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa maka adalah
Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-
sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku
di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman
Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di
desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada diri Asrul Sani
setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya
sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan
banyak sineas maupun seniman teater.
32
Karyanya di antaranya kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai
Avin Tiga Menguak Takdir (1950), kumpulan cerpen Dari Suatu Masa dari Suatu
Tempat (1972), kumpulan sajak Mantera (1975), skenario film Jenderal Nagabonar
(1988), dan kumpulan esai Surat-Surat Kepercayaan (1997). Sedangkan Mahkamah
yang dikaji dalam penelitian ini ia tulis pada tahun 1988. Mahkamah merupakan
karya dramanya yang dianggap paling monumental oleh para kritikus sastra. Sejak
dipublikasikan sampai saat ini telah banyak sekali kelompok teater tanah air yang
mementaskan naskah Mahkamah ini.
B. Rekonstruksi Teks Naskah Drama Mahkamah
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian kajian pustaka bahwa langkah
pertama dalam hermeneutika Riceourian adalah rekonstruksi teks. Bagian ini terdiri
dari tahap pemahaman (verstehen) berupa objektivasi melalui struktur teks dan
distansiasi. Momen distansiasi ini memberi otonomi semantik teks yang meliputi
otonomi makna teks dan intensi pengarangnya. Dengan pemberian otonomi itu,
makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut hubungan internalnya. Tahap
berikutnya dalam bagian rekonstruksi teks ini adalah tahap penjelasan (erklaren) yaitu
menjelaskan teks melalui analisis struktur teks (semiotik).
1. Pemahaman (verstehen) lakuan tiga tokoh: Bahri-Anwar-Murni
a. Saiful Bahri dan Kegelisahan Batinnya
Naskah drama karya Asrul Sani ini mengisahkan lelaki tua pensiunan
mayor jenderal bernama Saiful Bahri. Saiful Bahri bersama rekan-rekannya
mendirikan dan memimpin koperasi Pejuang Semesta yang bertujuan untuk
33
memperjuangkan kehidupan para pensiunan prajurit. Saat menjelang ajal, karena
penyakit lever, Bahri merasa semua yang dikerjakannya tidak berarti apa-apa.
Walaupun sudah dihibur istrinya, dia tetap menemukan hidupnya yang hampa.
Pada usia tua, Saiful Bahri kehilangan integritas diri berupa rasa kesia-
siaan. Kesia-siaan itu berupa perasaan bahwa sisa hidupnya terlalu singkat untuk
digunakan berusaha memperbaiki dan memberi arti bagi kehidupannya. Setelah
melakukan perenungan atas kehidupan masa lalunya, Bahri sampai pada suatu
kesimpulan yang mencengangkan karena itu menyiratkan kesia-siaan. Hal ini
ditunjukkan dalam dialog nomor 9--11 berikut ini:
9. Bahri : Berapa hari lagi umurku lima puluh tahun, setengah abad. Waktu begitu cepat berlalu. Masa kanakku terasa masih seperti terjadi kemarin. Lima puluh kalau kurenungkan apa yang sudah kulakukan dan capai dalam setngah abad, aku sendiri kaget akan kesimpulannya.
10. Murni : Kenapa?11. Bahri : Masa lima puluh tahun itu begitu kacau, begitu rumit. Tapi,
kesimpulan yang kuperoleh sederhana sekali. Hanya tiga kata. Tidak apa-apa. Itulah yang kukerjakan dan kucapai setelah hidup lima puluh tahun. Tidak apa-apa.
Kesia-siaan yang dirasakan oleh Bahri ditimbulkan oleh memori-memori
perisiwa masa lalunya yang berusaha dilupakannya. Memori itu kemudian
mengendap di alam bawah sadarnya yang kemudian muncul lagi dan menuntut
untuk untuk ditelaah kembali. Hal ini tampak pada dialog di bawah ini:
27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa
yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis
34
pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.
Ketentraman hati yang diinginkan oleh setiap orang tua menjelang ajalnya
justru belum didaptkan oleh Bahri walaupun Bahri menginginkan ketentraman
hati itu. Ketentraman ketika manusia mengalami kenikmatan yang dicapai melalui
keseimbangan yang sempurna antara dirinya dan sekitarnya. Ketentraman seperti
itu tidak dia dapatkan karena dia terus saja memikirkan begitu banyak hal dalam
hidupnya yang belum selesai seperti pekerjaan, keluarga, dan terutama masa
lalunya.
Kegelisahan tentang masa lalunya semakin kuat setelah Bahri mengetahui
adanya persekongkolan untuk menjatuhkannya dari kursi pimpinan Koperasi para
mantan pejuang. Tangan kanannya yang selama ini dipercaya untuk menjalankan
koperasi telah menghianatinya ketika ia dalam keadaan sakit parah. Hal ini,
semakin membuatnya berpikir bahwa begitu banyak hal yang belum tuntas dalam
hidupnya dan menuntut untuk diselesaikan.
Ada satu perkara yang paling menggelisahkan Bahri, yakni pengalaman
pahit semasa berjuang menumpas pemberontakan di Madiun pada tahun 1948.
Dalam pengadilan perang saat itu, Bahri menjatuhkan hukuman mati atas teman
karibnya, Kapten Anwar. Lelaki yang dituduh berhianat dan menolak tugas itu
akhirnya tewas diberondong peluru regu tembak. Hal tersebut terungkap pada
jawaban Bahri ketika ia mengelak untuk dicabut nyawanya oleh citra I & II
berikut ini:
35
133. Bahri : disamping itu…begini…ada yang saya risaukan …saya pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap sahabat saya. Ini beban yang berat sekali. Saya tidak ingin orang beranggapan bahwa saya seorang yang membunuh sahabatnya sendiri. Saya bukan pembunuh…
Perkara itu dipersoalkan oleh dua “malaikat”, disebut Citra I dan Citra II,
yang menjemput Bahri beberapa jam sebelum dicabut nyawanya. Dua malaikat
itu berdebat, apakah hukuman mati yang diputuskan Bahri terhadap teman karib
Bahri itu benar atau salah. Bahri kemudian dibawa ke dalam pengadilan
imajinatif yang menghadirkan saksi orang hidup dan yang mati, termasuk Anwar
dan Murni.
Bahri dihadapkan pada sebuah mahkamah di mana hakimnya adalah hati
nurani dari Bahri sendiri. Hati nurani Bahri dilambangkan dengan tiga orang
hakim, pertama guru agamanya waktu kecil. Kedua, guru Bahri yang telah
mengajarnya untuk memahami semua peristiwa alam berdasarkan hukum sebab-
akibat. Ketiga, seorang ahli politik dan seorang seniman, sebagai wakil dari
manusia yang karangannya telah dibaca, dpelajari, dan dikagumi Bahri.
Sidang berhasil mengungkap sudut-sudut kenyataan yang tersembunyi.
Hukuman mati yang dijatuhkan Bahri bisa saja dipengaruhi konflik cinta segitiga,
karena Anwar dan Bahri sama-sama mencintai Murni, istri Bahri sekarang. Dalam
persidangan itu, Bahri dituduh oleh penuntut umum telah melakukan pembunuhan
atas Anwar agar Bahri tidak lagi memiliki saingan dalam mendapatkan Murni,
tetapi tuduhan itu ditampiknya. Hal ini ditunjukkan dalam dialog 162--166
berikut:
36
162. Bahri : Yang Mulia, semua tuduhan itu tidak benar. Hukuman itu saya putuskan sebagai seorang perwira yang bertugas sebagai seorang pejuang untuk kemerdekaan tanah air saya. Bukan karena didorong oleh kepentingan pribadi – yang dimata Penuntut Umum membuat saya menjadi seorang pembunuh sahabatnya sendiri.
163. Hakim : Apa betul saudara Anwar sahabat karib Saudara?164. Bahri : Betul, Yang Mulia. Sahabat yang paling saya cintai.165. Hakim : Tapi cinta Saudara padanya tidak melebihi cinta Saudara
pada perempuan tadi yang disebut-sebut Penuntut Umum, kan?
166. Bahri : Kedua cinta itu tidak dapat dibandingkan, Yang Mulia. Karena sifatnya berbeda.
Bagaimanapun dia berusaha mengelak dari tuduhan, Penuntut Umum
terus mencecarnya dengan mendatangkan saksi langsung, yaitu Murni dan Anwar.
Penuntut Umum mendesak Murni untuk bersaksi bahwa Bahri pernah
mengancam Murni karena cintanya ditolak. Dalam pengakuannya, Murni
menyatakan bahwa bahwa Bahri pernah mengancam Murni karena cintanya
ditolak oleh Murni. Hal ini terdapat dalam dialog nomor 303--307 berikut ini:
303. P. Umum : ada, Yang Mulia. Nyonya , waktu saudara Bahri melamar nyonya dan nyonya menolak lamarannya, apa yang di ucapkan saudara Bahri ?
304. Murni : saya sudah lupa.305. P. Umum : ayolah yonya. Nyonya tidak lupa …MURNI MEMANDANG BAHRI. BAHRI BERDIRI306. Bahri : Murni, katakan yang sebenarnya. Hanya kebenaran yang
bisa menyelamatkan saya.307. Murni : (menunduk) Ia berkata… Kalau begitu tidak ada jalan
lain. Salah satu diantara kami berdua harus mati, dia atau saya.
Tetapi di sisi lain, Anwar memang menolak tugas bertempur yang
termasuk pelanggaran berat dalam medan perang. Sebagai pemimpin, Bahri
37
dituntut bertindak tegas demi menegakkan patriotisme pada negara. Anwar,
sendiri menyatakan bahwa Bahri menjatuhkan hukuman itu atas dasar kewajiban
sebagai komandan bukan atas kepentingan pribadi. Jadi, di sini kita temukan
Bahri adalah seorang komandan pasukan yang memiliki rasa nasionallisme yang
kuat sehingga setiap prajurit di pasukannya yang menolak bertempur akan
dihukum walaupun prajurit itu adalah sahabatnya sendiri. Ini terungkap dalam
dialog berikut ini:
197. Pembela : apakah saudara percaya bahwa hukuman mati yang dijatuhkan atas diri saudara berlandaskan kepentingan pribadi ?
198. Anwar : tidak. Mayor Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian. Mayor Bahri hanya melakukan kewajiban seorang komandan.
Tetapi interogasi yang dilakukan oleh Penuntut Umum kepada Anwar
membuat Anwar mengubah pandangannya itu, bahwa Bahri mungkin saja
memiliki niat tersembunyi ketika menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Ini
tampak dalam dialog berikut:
222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara jadi dengan demikian, dia seorang pembunuh ! ya, kan ?
223. Anwar : saya tidak tahu….saya tidak tahu….224. P. Umum :ayolah saudara Anwar.Mungkinkan ?…..mungkinkan.!225. Anwar : ( melirik ) mungkin ….
Begitupula dengan kesaksian saksi Somad dan Murni, keduanya sama-
sama meringankan dan memberatkan dakwaan terhadap Bahri. Sampai
38
pengadilan selesaipun tidak ada kejelasan tentang status Bahri sebagai pembunuh
atau pahlawan. Begitulah, penilaian apakah Bahri pembunuh atau pahlawan,
ternyata sangat pelik. Hakim ketua akhirnya menyerahkan sidang pada Bahri
untuk menghakimi dirinya sendiri. Keputusan yang Bahri dapatkan juga tidak
menyelesaikan masalah yang menjadi sengketa dalam pengadilan itu. Status bahri
sebagai pahlawan atau sebagai pembunuh tetap menjadi abu-abu. Ini ditunjukkan
dalam dialog berikut:
321. Bahri : sidang untuk mengadili perkara bekas mayor Saiful Bahri dibuka. (mengetukkan palu). Dengan ini, lengkaplah perjalanan saya. Kini saya kembali kepada permulaan tatkala saya dilahirkan sendiri, dan kini bertangggung jawab juga sendiri. (Tersedu) saudara Bahri. Saudara sudah sampai ke batas perjalanan saudara, tapi urusan manusia yang Saudara tinggalkan. Ikhlaskanlah segalanya. Yang bisa Saudara bawa hanya amal ibadah saudara. Ajukanlah perkara saudara pada hakim tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutlah namanya. Hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaan, dan memberikan keadilan. Pintu taubat masih terbuka. Tuhan telah berkata, pintalah pada-Ku dan Aku akan memberikan. (mengetukkan palu).
Pengadilan imajinatif yang dilakukan untuk mencari kebenaran hanya
mendapatkan keputusan yang abu-abu, tidak ada hasil yang final. Pengadilan
dalam Mahkamah menyuguhkan drama kehidupan yang pelik dan berlapis-lapis.
Setiap tindakan seseorang menyimpan banyak sudut tafsir, dan penilaian benar-
salah menjadi begitu abu-abu. Cap sebagai pembunuh atau pahlawan seperti
bandul yang bisa cepat bergeser, tergantung darimana memandangnya.
b. Anwar Bertindak Menurut Prinsip
39
Kapten Anwar seorang sahabat, bawahan, sekaligus saingan cinta Saiful
Bahri. Dia tahu bahwa Saiful Bahri juga mencintai Murni, tetapi mereka tetap
bersahabat. Bahkan Anwar pernah menyelamatkan nyawa Bahri, seperti
ditunjukkan dialog nomor 191—194:
191. P. Umum : Dan, ini telah Saudara buktikan. Saudara pernah menyelamatkan jiwanya.
192. Anwar : Ya, tapi barangkali lebih tepat, kalau dikatakan bahwa yang menyelamatkan dia Tuhan. Ketika itu saya menutupi badannya dengan tubuh saya supaya ia tidak kena pecahan mortir. Itu wajar. Di harus diselamatkan, karena dia pemimpin kami.
193. Pembela : Saudara Anwar, apa Saudara benci pada tertuduh karena telah menjatuhkan hukuman mati atas diri Saudara.?
194. Anwar : Tidak.
Anwar adalah seorang pejuang yang mencintai bangsa dan rakyatnya.
Itulah sebabnya, dia tidak mau mengikuti perintah atasan untuk menumpas PKI di
Madiun. Karena dia menganggap itu sebagai tindakan memerangi bangsa sendiri.
Dari sudut pandang Kapten Anwar, kasus Madiun diletakkan dalam kerangka
lebih besar yaitu persatuan RI dan menolak keharusan sesama bangsa untuk
berperang. Seperti yang diungkapkan pada dialog berikut ini:
201. Pembela : Kenapa Saudara Anwar? Apa karena Saudara takut?202. Anwar : Tidak. Bukan karena takut. Tapi karena sebab yang sama,
seperti yang dimiliki Mayor Bahri, karena prinsip. Perang yang paling kejam adalah perang saudara. Perang, di mana pertempuran telah berubah menjadi medan pembantaian tanpa pilih bulu. Banyak sekali yang menjadi korban. Tidak lagi bisa dibedakan mana orang yang salah mana yang tidak. Saya merasa, saya berhak untuk menyelamatkan keutuhan nurani saya. Pada waktu itu saya tidak lagi yakin bahwa yang saya lakukan sebagai perwira benar. Saya membangkang dengan menyadari semua resiko. Apapun resiko itu akan saya pikul dengan hati yang bulat.
40
Prinsip adalah idealisme dan pegangan hidup yang membimbing orang
dalam mengambil keputusan penting dalam hidupnya karena itu prinsip sangat
penting bagi siapa saja. Orang yang kehilangan prinsip akan menjadi pragmatis
dan akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya. Anwar,
dengan keyakinan teguh berani menghadapi kematian demi prinsipnya, yakni
membunuh sesama bangsa sendiri adalah sebuah kejahatan. Bentrok antara militer
dan PKI pada perstiwa Madiun baginya adalah sebuah perang saudara. Pada titik
ini terjadi pertentangan antara prinsipnya dengan prinsip komandannya, Bahri
yang menganggap penumpasan PKI di Madiun adalah upaya penyelamatan
kehidupan negara dan pemerintahan.
c. Murni Wanita yang Berani Mengambil Keputusan.
Wanita adalah makhluk yang dianugerahi Tuhan kelembutan perasaan.
Kelembutan wanita bukan berarti kelemahannya. Sebaliknya merupakan daya
tarik yang memberinya kekuatan dalam interaksi dengan sekitarnya. Murni adalah
seorang wanita anggota palang merah pada masa perjuangan dan kemudian
menjadi istri Saiful Bahri.
Sebelum menjadi istri Bahri, dia adalah pacar Anwar karena dia
mencintai Anwar. Dia tahu bahwa Bahri juga mencintainya, tetapi dia
menolaknya karena sudah terikat janji dengan Anwar. Sebagaimana kebanyakan
wanita waktu itu, dia tidak memprotes atas sikap laki-laki yang menjadikannya
bahan rebutan. Dia juga diam saja ketika Bahri menghukum mati kekasihnya.
Begitu pula, waktu Anwar telah meninggal, dia pasrah menerima lamaran Bahri
41
walaupun tanpa rasa cinta. Dia tidak pernah memprotes lingkungan maskulin
yang mencitrakan wanita sebagai makhluk lemah. Akan tetapi, hal lain yang patut
dikaji dari diri Murni adalah keberaniannya untuk mengambil keputusan untuk
memilih Bahri walaupun tanpa rasa cinta, seperti ditunjukkan dalam dialog
berikut:
297. Pembela : Nyonya. katanya Nyonya kawin dua bulan setelah kekasih Nyonya meninggal. Nyonya tentu punya alasan. Apa bisa Nyonya jelaskan?
298. Murni : Setelah Anwar meninggal saya hancur luluh. Saya hampir sesat dan ingin bunuh diri. Tapi, Tuhan melindungi saya. Bermalam-malam saya berjuang melawan keinginan itu. Saya berhasil mengambil keputusan. Saya harus tetap hidup. Tapi saya perempuan, sendiri, memerlukan perlindungan. Tidak ada gunanya merindukan perlindungan seseorang yang sudah tidak ada. Satu-satunya orang yang mencintai saya, kecuali Anwar, ialah Bahri. Lalu saya membulatkan hati. Siapa tahu saya dapat belajar mencintai dia. Karena dia lelaki yang baik, setia. Ia juga mencintai Anwar. Tidak pernah satu katapun keluar dari mulutnya untuk memburukkan Anwar. Setelah kami menikah, setiap tahun ia membawa saya ziarah ke makam Anwar. Mulanya saya mengira, saya sudah mencintai dua lelaki sekaligus. Tapi, kenyataannya, saya hanya mencintai seorang – Bahri.
Setelah menjadi istri Bahri, Murni jarang mendapatkan kasih sayang dari
suaminya. Bahri sibuk dengan pekerjaannya sebagai pemimpin koperasi pejuang.
Ketika suaminya sakit dialah yang selalu menemaninya. Dia tidak pernah
memprotes perlakuan suaminya itu walaupun ia merasa tidak diperhatikan lagi
oleh Bahri karena Bahri sibuk dengan pekerjaannya. Dialog berikut ini
menunjukkan hal tersebut.
78. Bahri : Lalu apa yang kau minta?
42
79. Murni : Yang kuminta saat yang paling berharga dari kehidupan kakak. Saat, dimana aku merasa kakak milikku.
80. Bahri : (diam sejenak)81. Murni : Semenjak kita menikah, aku melihat, lambat laun Kakak
semakin menjauh dari aku. Akhirnya, yang akrab dengan Kakak adalah pekerjaan, bukan lagi aku. Terus terang aku cemburu.
82. Bahri : ( terpana/kaget sesaat) aku kira telah memberikan sesuatu, nyatanya yang sampai ke tangan ku tidak apa-apa. Hh, aku lelah sekali. Aku ingin istirahat.
Di sini kita temukan lagi motif atau penyebab dari kegelisahan Bahri
untuk segera mengadili dirinya sendiri. Murni, istrinya sendiri telah mengakui
ketidakbahagiaannya. Peristiwa masa lalu, masalah pekerjaan, dan masalah
keluarganya mendorong Bahri untuk mencari kebenaran agar hatinya tentram
ketika menghadapi ajalnya. Akan tetapi, mahkamah imajinatif yang diadakan
untuk mengadili dirinya juga tidak bisa memberikannya kebenaran dan
ketentraman hati. Sehingga Bahri menyerahkan keputusan kepada Yang Maha
Mengetahui. Akhir cerita seperti itu sepertinya sengaja diciptakan oleh pengarang
agar pembaca dan penonton drama Mahkamah itu sendiri yang menyimpulkan
apakah Bahri seorang pembunuh atau pahlawan.
2. Penjelasan dengan Model Generatif Narasi
a. Model Aktan Lakuan Saiful Bahri
Pengirim Objek PenerimaKebenaran dan
ketentraman batinHukuman mati Anwar Penerima: Saiful Bahri.Ketidakbahagiaan Murni Kebenaran dan ketentraman batin tidak didapatkan Bahri
Penolong Subjek Penentang
43
Kesaksian Anwar Saiful Bahri Kesaksian AnwarKesaksian Somad Kesaksian SomadKesaksian Murni Kesaksian MurniPembelaan Citra I/ Pembela Dakwaan Citra II/ Penuntut Umum
Gambar 4: Diagram Model Aktan Lakuan Saiful Bahri
1) Subjek dan Objek
Subjek adalah tokoh utama yang berkehendak untuk menggapai objek
yang menjadi tujuan lakuan subjek. Dalam naskah ini yang menjadi subjek
adalah tokoh Bahri yang seluruh lakuannya dalam naskah ini bertujuan
untuk meraih kebenaran dan ketentraman batin. Kebenaran yang dituju
adalah kebenaran tentang status dirinya dalam menjatuhkan hukuman mati
terhadap Anwar, apakah sebagai komandan atau pembunuh. Ketentraman
batin adalah ketentraman dalam menghadapi kematiannya. Hal ini
diungkapkan dalam dialog 27—28:
27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa
yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.
2) Pengirim
44
Pengirim adalah hal yang mendorong subjek (Bahri) untuk
menggapai objek (kebenaran dan ketentraman batin). Dalam naskah
Mahkamah ini, ditemukan dua pengirim yang dinilai berperan dalam
mendorong Bahri untuk mencari kebenaran dan ketentraman batin. Dua
pengirim itu adalah hukuman mati kepada Anwar dan ketidakbahagiaan
Murni.
a) Hukuman mati Anwar
Pengirim Bahri kepada kebenaran dan ketentraman batin adalah
hukuman mati terhadap Anwar. Hukuman mati yang dijatuhkan karena
Anwar sebagai prajurit menolak perintah perang dalam peristiwa
Madiun. Bahri sebagai komandan pasukan berkewajiban untuk
menghukum Anwar. Akan tetapi, hukuman mati itu menjadi
kontroversial bahkan bagi diri Bahri sendiri, karena hukuman mati itu
dijatuhkan ketika Bahri dan Anwar dan Bahri menjalani konflik pribadi
yaitu sama-sama mencintai seorang wanita. Terungkap dalam diaolog
133 berikut
133. Bahri : disamping itu…begini…ada yang saya risaukan …saya pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap sahabat saya. Ini beban yang berat sekali. Saya tidak ingin orang beranggapan bahwa saya seorang yang membunuh sahabatnya sendiri. Saya bukan pembunuh…
b) Ketidakbahagiaan Murni
Murni mengungkapkan kepada Bahri bahwa Murni selama ini
merasa cemburu. Dia bilang bahwa selama ini belum merasa Bahri
45
benar-benar adalah miliknya. Semenjak mereka menikah, Bahri hanya
sibuk dengan pekerjaannya. Ini terungkap dalam dialog 79—81:
79. Murni : Yang kuminta saat yang paling berharga dari kehidupan kakak. Saat, dimana aku merasa kakak milikku.
80. Bahri : (diam sejenak)81. Murni : Semenjak kita menikah, aku melihat, lambat laun
Kakak semakin menjauh dari aku. Akhirnya, yang akrab dengan Kakak adalah pekerjaan, bukan lagi aku. Terus terang aku cemburu.
3) Penerima
Penerima adalah subjek itu sendiri sebagai tokoh yang menerima
dorongan dari pengirim dan penerima dari hasil lakuannya sendiri. Di dalam
naskah ini Bahri sebagai penerima harus menghadapi pengadilan nurani
untuk menggapai kebenaran dan ketentraman batin yang diharapkan.
Pengadilan yang dijalankan terhadap Bahri dengan tujuan menemukan
kebenaran, berakhir tanpa hasil final; kebenaran dan ketentraman batin yang
diharapkan oleh Bahri tidak ditemukan, semuanya masih abu-abu. Setiap
dalil dan fakta yang diajukan selalu dapat dibantah dengan dalil dan fakta
yang lain, keputusan hukum tidak bisa ditetapkan atau menemui jalan buntu.
Akhirnya, Bahri menghakimi dirinya sendiri dengan menyerahkan
keputusan kepada Yang Maha Mengetahui.
4) Penolong
Penolong adalah hal atau tokoh yang menolong tokoh utama untuk
menggapai tujuannya. Dalam mahkamah nurani, yang menjadi penolong
46
Bahri dalam menemukan kebenaran dan ketentraman batin adalah kesaksian
Anwar, Somad, Murni, dan pembelaan Citra I/ Pembela.
a) Kesaksian Anwar
Di dalam pengadilan itu saksi Anwar ketika ditanya tentang
pribadi Bahri dan hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya, ia
menyatakan bahwa Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian.
Anwar menyebutkan bahwa Bahri menjatuhkan hukuman mati itu
semata karena menjalankan kewajiban sebagai seorang komandan. Ini
ditunjukkan dalam dialog 197--198 berikut:
197. Pembela : apakah saudara percaya bahwa hukuman mati yang dijatuhkan atas diri saudara berlandaskan kepentingan pribadi ?
198. Anwar : tidak. Mayor Bahri seorang yang teguh berpegang pada pendirian. Mayor Bahri hanya melakukan kewajiban seorang komandan.
b) Kesaksian Somad
Somad seorang prajurit berpangkat kopral dan merupakan
bawahan dari Anwar dan Bahri. Pada pengadilan itu ia diminta
kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa Anwar memang layak untuk
dihukum mati karena Anwar menolak untuk ikut dalam bertempur.
Menurut Somad dan kawan-kawannya sesama prajurit, penolakan
Anwar itu didorong oleh rasa takut bertempur, seperti diungkapkan pada
dialog berikut:
47
260. Pembela : saudara Somad. Saya yakin saudara belum menceritakan seluruhnya. Apa Cuma itu yang dikatakan anak-anak ? apa tidak ada yang lain ?
261. Somad : ada juga. Ada yang bilang, pak Anwar takut bertempur-maaf ye, pak Anwar. Ini anak-anak yang bilang-jadi di hukum tembak.
c) Kesaksian Murni
Murni sebagai wanita yang diperebutkan oleh Anwar dan Bahri
sangat penting untuk diminta kesaksiannya. Dalam pengadilan itu Murni
menyatakan kepada pembela dan majelis hakim bahwa suaminya, Bahri,
adalah seorang pejuang, seorang yang menghargai persahabatan dan
seorang prajurit yang setia. Baginya Bahri bukan pembunuh, seperti
yang terungkap dalam dialog berikut:
275. Pembela : waktu yang cukup panjang untuk mengenali pribadi seseorang. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan nyonya, apa mungkin saudara Bahri menjatuhkan hukuman mati pada sahabat karibnya, Anwar, dengan maksud membunhnya supaya dapat mengawini nyonya.?
276. Murni : suami saya seorang pejuang, seorang yang menghargai persahabatan, seorang prajurit yang setia. Dia bukan pembunuh !
d) Pembelaan Pembela
Dalam mahkamah itu, Pembela melakukan pembelaan dengan
mementahkan semua dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum.
Pada bagian akhir persidangan Pembela mengajukan barang bukti
berupa sebuah surat dari Bahri yang gagal sampai ke tangan Murni
karena prajurit yang membawa surat itu tewas terbunuh dalam
peperangan. Di dalam surat itu diungkapkan tentang penyesalan Bahri
48
terhadap ancaman yang Bahri ucapkan kepada Murni ketika Murni
menolak cintanya.
314. Hakim : ( membaca suratnya) Adinda Murni yang tercinta. Kakanda minta maaf atasa ucapan yang kakanda lontarkan dihadapan adinda. Saat itu kakanda begitu kecewa dan sedih, hingga kehilangan kendali atas diri kakanda. Kakanda menyesal sedalam-dalamnya. Kakanda malu. Adinda bebas menentukan pilihan. Jika adinda memilih Anwar, maka kakanda mengucapkan syukur dan berdoa pada Tuhan supaya kalian bahagia dia orang baik, jujur, dan setia. Anwar sahabat karib kakanda. Kalau dia bahagia maka kakanda ikut bahagia. Salam kakanda, Syaiful Bahri.
5) Penentang
Penentang adalah hal atau tokoh yang menghalangi subjek (Bahri)
untuk menggapai tujuannya. Dalam naskah Mahkamah, penghalang Bahri
dalam menggapai kebenaran dan ketentraman nurani adalah kesaksian
Anwar, Somad, Murni, dan dakwaan Penuntut Umum.
a) Kesaksian Anwar
Pada awal kesaksian, kesaksian Anwar menolong Bahri. Tetapi
setelah diinterogasi dan diprovokasi oleh Penuntut Umum, kesaksian
awal itu goyah. Anwar menyatakan bahwa ada kemungkinan Bahri
menjatuhkan hukuman mati itu atas dasar kepentingan pribadi atau
untuk menyingkirkan Anwar, karena mereka berdua sama-sama
mencintai Murni. Ini ditunjukkan dalam dialog 222—225:
49
222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara jadi dengan demikian, dia seorang pembunuh ! ya, kan ?
223. Anwar : saya tidak tahu….saya tidak tahu….224. P. Umum :ayolah saudara Anwar.Mungkinkan ?
…..mungkinkan.!225. Anwar : ( melirik ) mungkin ….
b) Kesaksian Somad
Somad dalam persidangan itu menyampaikan pandangan dia dan
teman-temannya sesama prajurit tentang hukuman mati yang dijatuhkan.
Dia memandang bahwa hukuman mati yang dijatuhkan memiliki unsur
kepentingan pribadi dari Bahri yaitu ingin merebut Murni dari Anwar.
Hal ini ditunjukkan dalam dialog berikut:
256. P. Umum : jadi soal perempuan “? Siapa, Mad ?257. Somad : ade perempuan namanya Murni, anak palang
merah. Orangnya cakep. Ibarat mangga lagi mengkal-mengkalnya. Dimakan pagi juga enak. Dan tidak enak kalau tidak dimakan. Anak-anak bilang, pak Bahri kepingin rebut. Biasa dah lelaki. Maaf, ya pak Bahri, ini anak-anak yang bilang. Si Murni senangnya sama pak Anwar, jadi pak Anwar musti dihabisin. Ini menurut anak-anak pak.
c) Kesaksian Murni
Murni secara pribadi mengatakan bahwa Bahri tidak bersalah.
Akan tetapi, Penuntut Umum mendesaknya untuk mengungkapkan
ancaman yang sempat disampaikan Bahri kepadanya ketika ia menolak
50
cinta Bahri. Pada saat itu Bahri mengancam bahwa salah satu di antara
Bahri dan anwar harus mati untuk memperebutkan cinta Murni. Dalam
dialog 306—307 berikut
306. Bahri : Murni, katakan yang sebenarnya. Hanya kebenaran yang bisa menyelamatkan saya.
307. Murni : (menunduk) Ia berkata… Kalau begitu tidak ada jalan lain. Salah satu diantara kami berdua harus mati, dia atau saya.
d) Dakwaan Penuntut Umum/ Citra II
Penuntut Umum dalam persidangan menyatakan bahwa Bahri
sebenarnya menjatuhkan hukuman mati kepada Anwar atas dasar
kepentingan pribadi. Tugas dan kewajiban sebagai komandan pasukan
sebenarnya hanyalah dalih untuk untuk menyingkirkan Anwar. Tetapi,
jauh dalam hati Bahri memang memiliki niat untuk membunuh Anwar.
Jadi, bagi Penuntut Umum, Bahri adalah seorang pembunuh. Tampak
dalam dialog 222:
222. P. Umum : saudara sebetulnya tahu, tapi tidak mau mengakui. Jalan peristiwa jelas tugas dan kewajiban sebetulnya hanyalah dalih untuk menyingkirkan saudara. Jauh dalam hatinya ia memang berkeinginan untuk membunuh saudara
51
b. Model Fungsional Lakuan Saiful Bahri
Gambar 5: Tabel Model Fungsional Lakuan Saiful Bahri
Dalam tabel di atas terdapat beberapa tahapan narasi yang membentuk alur
sebagai berikut:
1) Situasi awal: Bahri berkesimpulan bahwa hidup yang dijalaninya tidak
memberikannya sesuatu yang berarti. Ia merasa segala yang telah
dilakukannya dalam hidupnya tidak ada apa-apanya atau tidak berarti sepeti
ditunjukkan oleh dialog 9—11:
9. Bahri : Berapa hari lagi umurku lima puluh tahun, setengah abad. Waktu begitu cepat berlalu. Masa kanakku terasa masih seperti terjadi kemarin. Lima puluh kalau kurenungkan apa yang sudah kulakukan dan capai dalam setngah abad, aku sendiri kaget akan kesimpulannya.
10. Murni : Kenapa?11. Bahri : Masa lima puluh tahun itu begitu kacau, begitu rumit.
Tapi, kesimpulan yang kuperoleh sederhana sekali. Hanya tiga kata. Tidak apa-apa. Itulah yang kukerjakan dan kucapai setelah hidup lima puluh tahun. Tidak apa-apa.
Situasi Awal
Transformasi SituasiAkhirKecakapan Utama Gemilang
Merasa hidupnya tidak berarti apa-apa
Gelisah dengan peristiwa masa lalu
Ingin dihadapkan pada pengadilan
Menampik segala tuduhan Penuntut Umum
Mengadili diri sendiri dengan menyerahkan keputusan kepada Yang Maha Mengetahui
52
2) Tahap kecakapan: pada tahap ini Bahri mulai merasa gelisah oleh peritiwa
masa lalunya. Murni, istrinya sekarang, adalah mantan pacar sahabatnya
sendiri (Anwar). Sebagai atasan, Bahri telah menjatuhkan hukuman mati
kepada sahabatnya itu dengan alasan penghianatan kepada bangsa. Nurani
Bahri terusik, apakah benar ia menjatuhkan hukuman mati itu atas dasar
kewajiban atau atas dasar kepentingan pribadi. Tampak di dialog 27—28:
27. Murni : Kak! Apa ada sesuatu yang mengganjal perasaan kakak?28. Bahri : Murni, Kau seorang perempuan yang polos dan baik. Apa
yang kukatakan hal yang biasa sekali. Banyak hal yang kita pendam dan yang kita kira sudah hilang. Nyatanya ia tetap hidup dengan suburnya. Lalu pada suatu saat yang tidak kita sangka ia muncul ke permukaan sebagai serentetan pertanyaan besar yang harus kita jawab, saat kita menghadapi maut – dimana kita harus menarik garis pemisah dan menjawab pertanya, “ siapakah kita yang sebenarnya? Apa yang sudah kita lakukan? Perbuatan itu satu-satunya yang menjadi ukuran untuk menentukan siapa kita sebenarnya- orang baik atau buruk.
3) Tahap utama: pada tahap ini Bahri ditemui oleh dua malaikat yakni Citra I dan
Citra II. Citra I menuduh Bahri sebagai pembunuh sedangkan Citra II
menganggap Bahri sebagai pahlawan. Akhirnya, Bahri memberi solusi atas
polemik itu yakni ia mesti dihadapkan kepada mahkamah nurani. Tampak
dalam dialog 152--153:
152. Bahri : (berdiri) siapa tuan-tuan ?! saya ragu, memang. Tapi hanya satu pengadilan yang berhak menentukan siapa saya sebenarnya, apakah saya pembunuh…
153. Citra I : …atau seorang prajurit yang melakukan kewajiban. Pendapat saudara itu benar. Dan kalau itu yang saudara ingin, saya kira keinginan itu adil.
53
4) Tahap gemilang: pada tahap ini persidangan dilangsungkan yang dihadiri oleh
3 orang hakim, penunutut umum, pembela, Bahri sebagai terdakwa, dan 3
saksi. Dalam persidangan terungkap fakta-fakta tersembunyi mengenai
hukuman mati yang dijatuhkan dan hubungan antara Bahri dengan Anwar dan
Murni. Penuntut Umum memberikan tuntutan-tuntutan yang faktual, tetapi
selalu dapat dimentahkan oleh pembela dan begitu pula sebaliknya. Sehingga
majelis hakim menyerahkan keputusannya kepada Bahri sendiri. Diungkapkan
dalam dialog 311--312:
311. Pembela : majelis hakim, Yang Mulia. Siapakah yang dapat
mengetahui niat seseorang ? air laut dapat diukur hati.
Orang siapa tahu, kata pepatah. Oleh sebab itu, satu-
satunya majelis hakim yang dapat menghakimi ialah
pelaku perbuatan itu sendiri. Ini pun hanya akan terjadi,
jika hati sanubari yang bersangkutan masih berfungsi
sebagaimana mestinya. Jadi, Yang Mulia, saudara
Saiful Bahri harus menghakimi perbuatan Saiful Bahri.
Terima kasih.
312. Hakim : majelis hakim akan mengundurkan diri untuk
bermusyawarah dan mengambil keputusan. Dengan ini
sidang saya undur beberapa saat.
5) Situasi Akhir: Bahri menghakimi diri sendiri tetapi dengan menyerahkan
keputusannya kepada Yang Maha Mengetahui. Tampak dalam dialog 321:
54
321. Bahri : sidang untuk mengadili perkara bekas mayor Saiful Bahri dibuka. (mengetukkan palu). Dengan ini, lengkaplah perjalanan saya. Kini saya kembali kepada permulaan tatkala saya dilahirkan sendiri, dan kini bertangggung jawab juga sendiri. (Tersedu) saudara Bahri. Saudara sudah sampai ke batas perjalanan saudara, tapi urusan manusia yang Saudara tinggalkan. Ikhlaskanlah segalanya. Yang bisa Saudara bawa hanya amal ibadah saudara. Ajukanlah perkara saudara pada hakim tertinggi Yang Maha Mengetahui. Sebutlah namanya. Hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaan, dan memberikan keadilan. Pintu taubat masih terbuka. Tuhan telah berkata, pintalah pada-Ku dan Aku akan memberikan. (mengetukkan palu).
3. Pengkajian Tema
Tema adalah ide dasar dari sebuah karya sastra, adapun ide dasar dalam
sebuah karya naratif seperti naskah drama Mahkamah dapat ditelusuri melalui
unsur-unsur strukturnya. Alur Mahkamah dibangun oleh serangkaian konflik dan
peristiwa yang berasal dari pertanyaan tentang kebenaran hukuman mati yang
dijatuhkan oleh Mayor Bahri kepada Kapten Anwar.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan hukuman mati itu sudah
tepat karena Kapten Anwar telah menolak perintah komandan pasukan untuk
bertempur. Tetapi, masalah cinta segi tiga yang melibatkan keduanya menimbulkan
keraguan, apakah benar Bahri menjatuhkan hukuman itu atas dasar kewajiban
sebagai komandan atau atas dasar kepentingan pribadi. Hanya hati nurani Bahri
yang bisa menjawabnya. Oleh karena itu, Bahri dihadapkan pada sebuah mahkamah
yang dipimpin oleh tiga orang hakim. Ketiga hakim itu merupakan wakil dari
orang-orang yang selama hidup Bahri ikut membentuk kepribadian dan ikut
55
membentuk pengertian baik-buruk dalam diri Bahri. Dalam persidangan itu, benar
dan salah diukur menurut hati nurani Bahri.
Karena ukurannya adalah nurani, maka sebenarnya persidangan itu
merupakan representasi dari pertarungan dalam diri Bahri sendiri. Kegelisahan
Bahri yang mencari kebenaran menjadi pokok permasalahan atau merupakan
sumber konflik dalam persidangan atau mahkamah itu. Dengan demikian, naskah
Mahkamah karya Asrul Sani ini bertema kegelisahan Bahri untuk menggapai
kebenaran dan ketentraman batin.
C. Refleksi
Kenyataan selalu menawarkan wajah beragam. Benar-salah kerap kali
tersembunyi di balik lapisan-lapisan tafsir yang bisa dikupas dari berbagai sudut
pandang. Di tengah relativitas itu, perilaku seseorang akhirnya hanya dapat dihakimi
oleh hati nuraninya sendiri.
Pesan itu kental terasa dalam naskah Mahkamah karya Asrul Sani ini.
Pengadilan nurani yang menjadi tema naskah ini menjadikan naskah ini tetap aktual
untuk menilai kehidupan di zaman sekarang. Pada tahap refleksi ini kita akan
menafsirkan naskah Mahkamah sesuai dengan situasi sosial saat ini, tetapi tetap
mengacu pada struktur internal naskah seperti yang dipaparkan pada bagian
rekonstruksi teks di atas.
1. Evaluasi
Tema yang diangkat di dalam naskah ini merupakan masalah universal yang
bisa dialami oleh siapa saja. Bahri merasakan rasa bersalah atas kematian Anwar
56
karena Bahrilah yang menjatuhkan hukuman mati itu. Situasi dilematis yang
dialami Bahri yang berperan sebagai komandan pasukan sekaligus saingan bercinta
Anwar menciptakan pula perasaan yang dilematis dalam diri Bahri. Menjelang
kematiannya, perasaan itu muncul lagi sehingga ia meminta untuk mengkaji
kembali peristiwa masa lalu itu dalam sebuah pengadilan. Tujuan Bahri adalah
untuk mendapatkan kebenaran serta ketentraman batin saat menghadapi kematian
yang dalam agama Islam disebut sebagai kematian yang khusnul khatimah. Di sini
ditemukan Bahri sebagai orang yang pemberani untuk mengungkap selubung-
selubung peristiwa masa lalunya yang kontroversial.
Pengadilan imajinatif yang dihadapi Bahri sebenarnya merupakan
pengadilan simbolik yang menggambarkan konflik dalam batin Bahri sendiri.
Hakim yang dihadirkan juga adalah hakim simbolik yang merupakan wakil dari
orang-orang atau hal-hal yang membentuk konsep benar-salah dalam diri Bahri. Ini
menunjukkan bahwa pengadilan ini adalah pengadilan yang didasarkan atas
pertimbangan nurani sebagai suara kebenaran.
Selain dari masalah persaingan cinta tersebut, hukuman mati yang
dijatuhkan kepada Anwar oleh Bahri juga dipicu oleh perbedaan prinsip antara
keduanya dalam memandang peristiwa Madiun 1948. Anwar berprinsip bahwa
peristiwa Madiun merupakan sebuah perang saudara antara sesama bangsa
Indonesia. Sedangkan Bahri berprinsip bahwa peristiwa Madiun merupakan sebuah
upaya penyelamatan kehidupan negara dan pemerintahan. Di sini ditemukan tiga
pokok penafsiran yang berkaitan tentang nurani, pengadilan, dan sejarah yang
ditafsirkan lebih lanjut dalam bagian relevansi.
57
2. Relevansi
Sesuai dengan apa yang dikemukakan pada bagian evaluasi bahwa naskah
ini berkaitan dengan masalah nurani, pengadilan, dan perbedaan dalam memandang
peristiwa sejarah antara Bahri dan Anwar. Dalam bagian ini ditemukan beberapa
hubungan relevansi hal-hal tersebut dengan keadaan sosial di Indonesia saat ini.
a. Mahkamah dan Masyarakat
Mahkamah berhasil menyuguhkan drama kehidupan yang pelik dan
berlapis-lapis. Setiap tindakan seseorang menyimpan banyak sudut tafsir, dan
penilaian benar-salah menjadi begitu abu-abu. Cap sebagai pembunuh atau
pahlawan (seperti dalam kisah Bahri) seperti bandul yang bisa cepat bergeser,
tergantung dari mana memandangnya.
Pesan seperti itu juga menyentil kenyataan sosial di masyarakat yang gemar
memojokkan tindakan seseorang dengan kacamata hitam-putih. Seringkali,
kategori benar-salah hanya didasari satu sudut pandang yang sempit. Padahal,
kebenaran tak pernah bulat, dan seperti apa yang diungkapkan oleh tokoh
Pembela bahwa kebenaran tidak selalu tampil dalam bentuk bersahaja. Kebenaran
memiliki wajah yang banyak dan segi yang tidak terhitung. Kita tentunya tidak
bisa menentukan kebenaran hanya dengan prasangka-prasangka.
Naskah ini mengajak pembaca untuk merenungkan paradoks manusia
zaman sekarang yang mempertontonkan berbagai tindakan yang saling
bertentangan. Seseorang meneriakkan kemanusiaan, misalnya, tetapi dilakukan
dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Saat tindakan manusia begitu kompleks,
pengadilan terakhir berpulang pada hati nurani sendiri. Nurani yang jujur bisa
58
menggugah seseorang untuk tetap berperilaku lurus. Tapi, begitu hati nurani itu
mati, maka semua perilaku akan didasari oleh hawa nafsu yang pandai
bersembunyi di balik dalih-dalih.
Agama mengajarkan bahwa nilai segala tindakan manusia itu tergantung
pada niatnya. Yang akan dihukum pada pengadilan akhirat, bukan hanya lahiriah
manusia, tetapi juga batiniah. Ketika kita melakukan ibadah, baik ibadah maddah
(murni) maupun ibadah sosial, nilainya tergantung pada seberapa ikhlas kita
dalam melaksanakannya.
Saiful Bahri yang secara lahiriah sudah jelas menghukum mati Anwar atas
dasar ketentuan hukum, tetap harus menghadapi persidangan dalam Mahkamah
nurani. Karena perkara nurani adalah perkara kejujuran. Dan kejujuran adalah
suatu yang sangat mahal, apalagi pada masa sekarang ini.
Tentang hati nurani ini, perlu kita renungkan dalam kerangka pergaulan atau
interaksi sosial kita. Karena akhir-akhir ini, suara hati nurani hampir lenyap, tidak
lagi menjadi pertimbangan dalam bertindak. Masyarakat kita mengalami sakit
dalam berbagai bidang kehidupan. Sebenarnya penyakit-penyakit itu bermula dari
ketidaksetiaan masyarakat kita terhadap suara nurani. Setia pada nurani adalah
penting karena segala tindakan akan kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Nurani adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua orang
dari semua bangsa. Nurani adalah suara kebenaran yang ada di dalam diri setiap
manusia. Tidak akan mati sepanjang hidup manusia. Nurani juga merupakan
sumber rasa kemanusiaan dan moral universal. Oleh karena itu, sakit yang diidap
59
oleh masyarakat kita akan sembuh jika masyarakat kita, terutama para pemegang
kekuasaan, bertindak dan mengambil keputusan menurut hati nurani.
b. Mahkamah dan Penegakan HAM di Indonesia
Tokoh Saiful Bahri seharusnya menjadi teladan bagi para pemegang
kekuasaan di negeri ini untuk berani membuka kembali kasus-kasus pelanggaran
HAM. Sehingga perjalanan bangsa tidak lagi terbebani dengan kesalahan masa
lalu. Saiful Bahri di ujung hidupnya bersedia untuk diadili di mahkamah nurani.
Begitu pula seharusnya sikap kita terhadap masa lalu yang sudah terlanjur
tercoreng. Jangan sampai kita terus menerus menjadi bangsa pelupa dan naif
dalam menyikapi kasus-kasus hukum yang melibatkan para pemegang wewenang.
Menurut catatan Kontras (http://www.kontras.org/data diungguh pada
tanggal 20 Mei 2010/), antara tahun 1965 sampai tahun 2003, terdapat sebanyak
36 kasus pelanggaran HAM yang tidak tersentuh hukum. Dari kasus pembantaian
massal 1965 yang menelan korban sebanyak 1.500.000 jiwa di mana korban
sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi
dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dan lain-lain. Hingga
kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap masyarakat Wamena pada
tahun 2003. Dan belum lama ini, kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir, yang
proses penyelidikannya belum tuntas sampai sekarang. Contoh lain, terbunuhnya
Marsinah pada tahun 1991, seorang buruh di pabrik sepatu yang memimpin
teman-temannya memprotes kebijakan pimpinan pabrik. Kasus Marsinah ini
60
sudah ditutup sejak beberapa tahun yang lalu. Semua kasus itu, sampai sekarang
masih menjadi pertanyaan yang menggantung. Mengambangnya kasus-kasus
HAM itu disebabkan oleh banyaknya kepentingan terselubung dan kejahatan
penguasa dan pemilik modal yang akan terbongkar jika kasus itu dituntaskan.
Bagi para pemegang kekuasaan, naskah ini adalah inspirasi untuk bertindak
benar dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Dalam
penyelenggaran pemerintahan dan penegakan hukum, hati nurani jangan sampai
diabaikan. Karena suara nurani adalah sebuah kebenaran universal. Hendaknya
orang-orang yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak
menutup telinganya dari suara kebenaran ini, hati nurani.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anggota masyarakat.
Dalam berinteraksi sosial, kita seringkali dihadapkan pada dilema untuk memilih
antara bertindak benar menurut nurani atau bertindak menurut selera pribadi. Hati
nurani adalah bahasa dunia yang akan mengantarkan kita pada perdamaian dalam
menjalani kehidupan.
c. Mahkamah dan Sejarah Kita
Naskah ini juga memiliki muatan sejarah yang penting dari bangunan
sejarah Indonesia. Peristiwa Madiun 1948 adalah peristiwa bentrok antara
angkatan bersenjata pemerintah RI dengan angkatan bersenjata PKI. Dalam
naskah Mahkamah, persitiwa ini tidak bisa kita abaikan karena merupakan latar
belakang peristiwa penjatuhan hukuman mati oleh Bahri kepada Anwar yang
kemudian menjadi kontroversial.
61
Bagi Mayor Bahri, perlawanan terhadap PKI ketika itu adalah bagian dari
perjuangan untuk menegakkan kehormatan dan stabilitas negara dan bangsa.
Sedangkah bagi Anwar, peristiwa itu adalah sebuah perang saudara. Ia berprinsip
bahwa ikatan kebangsaan harus lebih diutamakan daripada perintah komandan
dan kewajiban sebagai prajurit.
Dua sudut pandang yang berbeda antara Bahri dan Anwar inilah yang
menjadi menarik. Selama ini kita didoktrin melihat secara hitam-putih terhadap
peritiwa 1965 itu. Di dalam buku-buku pelajaran disebutkan bahwa perisitwa
Madiun itu merupakan peristiwa penumpasan terhadap pemberontakan yang
dilakukan oleh PKI. Padahal, sebelum Orde Baru berkuasa, peristiwa itu disebut
Peristiwa Madiun 1948. Penamaannya menjadi berbeda ketika Orde Baru
berkuasa yaitu Pemberontakan PKI di Madiun 1948.
Pada titik ini kita temukan rekayasa dan subjektivitas dalam penulisan
sejarah bangsa. Sejarah kita sebagaimana sejarah pada umumnya tidaklah
memiliki penafsiran tunggal. Selama ini sejarah kita direkonstruksi oleh penguasa
sehingga sejarah yang hidup di tengah masyarakat adalah sejarah yang
mencitrakan penguasa sebagai pihak yang benar. Begitu bula dengan kasus
pemberontakan PKI di Madiun dan G 30 S. Bukti-bukti ilmiah ditemukan bahwa
PKI bukan pelaku tunggal, tetapi pemerintah pun sebelum pemilu tahun 2004
tidak mengubah posisinya untuk memberikan hak demokratik bagi para korban
1948 dan 1965.
62
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dalam bagian rekonstruksi teks pada tahap pemahaman (verstehen) ditemukan
sistem internal naratif dan dramatik yang membangun sistem internal naskah
drama Mahkamah. Bahri sebagai tokoh utama mengalami kegelisahan batin atas
persitriwa masa lalu ketika Bahri menghukum mati sahabatnya, Anwar, dengan
tuduhan berhianat kepada bangsa, sedangkan Bahri dan Anwar sendiri sedang
terlibat dalam hubungan cinta segitiga. Rekonstruksi teks tahap penjelasan
(erklaren) model aktan (peran) ditemukan 6 peran yakni: Bahri sebagai subjek,
kebenaran dan ketentraman batin sebagi objek, hukuman mati kepada Anwar dan
ketidak bahagiaan murni sebagai pengirim, Bahri sebagai penerima, kesaksian
semua saksi sebagai penentang, dan kesaksian semua saksi sebagai penolong.
Dalam model fungsional ditemukan 3 tahap perkembangan naratif, yaitu: pada
tahap situasi awal Bahri merasakan hidup yang sia-sia, pada tahap transformasi
Bahri mengalami kegelisahan batin sehingga dihadapkan kepada mahkamah
nurani, dan pada tahap situasi akhir Bahri menghukum dirinya sendiri. Melalui
63
rekonstruksi teks di atas maka disimpulkan tema naskah yang menjadi sumber
pokok sistem narasi naskah drama Mahkamah karya Asrul Sani ini yakni bertema
tentang kegelisahan Bahri untuk menggapai kebenaran dan ketentraman batin.
2. Dalam bagian refleksi pada tahap evaluasi terungkap tiga hal penting dari naskah
drama Mahkamah yakni tentang nurani, pengadilan, dan sejarah. Refleksi pada
tahap relevansi ditemukan tiga pokok penafsiran terhadap naskah drama
Mahkamah karya Asrul Sani. Hubungan Mahkamah dan masyarakat, relevansinya
menyangkut tema sentral dari naskah ini yaitu tentang nurani. Naskah ini juga
memiliki relevansi dengan penegakan HAM di Indonesia, Bahri berani
menghadapkan dirinya kepada pengadilan nurani. Begitu pula seharusnya para
pemegang wewenang untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM
di Indonesia. Relevansi lainnya berkaitan dengan sejarah kita kita yang memiliki
banyak versi. Seperti Bahri yang menganggap peristiwa Madiun sebagai
penyelamatan kedaulatan negara, sedangkan Anwar menganggapnya sebagai
sebuah perang saudara.
B. Saran
Pada dasarnya suatu kegiatan yang bersifat ilmiah harus memberikan dampak
positif. Begitupula halnya dengan hasil penelitian ini. Ada beberapa saran dari penulis,
yakni:
1. penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran, khususnya pada kajian
hermeneutika sastra,
64