bab iv tunjuitam sebagai budaya kumpul keluarga dan … · 2017. 12. 18. · 86 bab iv tunjuitam...

36
86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN Bab ini berisikan pembahasan yang meliputi kajian asal usul, tujuan, dan pemaknaan Tunjuitam dari perspektif pastoral budaya, kajian kumpul keluarga dalam tradisi Tunjuitam sebagai solidaritas sosial dalam kedukaan. A. Tunjuitam Dari Perspektif Pastoral Budaya Falsafah orang Maluku, ”ale rasa beta rasa” dan “potong di kuku rasa di daging,sebenarnya juga memiliki dasar refleksi suatu kultur kedukaan, “ale pung susah, beta pung susah” (kamu rasa, saya juga rasa). Falsafah ini membentuk pemahaman orang di Maluku dalam suka dan duka sehingga terkait dengan kematian yang dialami oleh salah seorang anggota keluarga atau kerabat dekat berarti ”kematian separuh tubuh mereka.Pemahaman ini muncul sebagai bentuk ikatan emosional orang basudara (klan/marga) yang kemudian menimbulkan reaksi kepedulian, keprihatinan terhadap suatu peristiwa yang tidak pernah diharapkan yaitu kematian. Ketika keluarga yang berduka merasakan krisis, maka secara bersama-sama sedang mengalami krisis. Hal ini terlihat lewat kebersamaan dengan keluarga yang berduka, mulai ketika berita kematian itu terdengar, proses pemakaman hingga pelaksanaan Tunjuitam. Koenjaraningrat 1 mengatakan bahwa nilai budaya memiliki nilai paling tinggi dari adat istiadat, sebab nilai ini ada dalam hidup dan pikiran manusia. Tunjuitam memiliki nilai budaya melalui sesuatu yang hidup dalam pikiran manusia yang dilakukan saat ada kematian dan merupakan karya manusia yang bernilai serta mengalami proses sampai kepada menghasilkan suatu budaya, yang mencakup nilai, kultur, norma dan hasil cipta manusia. Nilai budaya itu terlihat dalam asal usul Tunjuitam yang dipahami dalam 1 Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

86

BAB IV

TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA

DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

Bab ini berisikan pembahasan yang meliputi kajian asal usul, tujuan, dan

pemaknaan Tunjuitam dari perspektif pastoral budaya, kajian kumpul keluarga

dalam tradisi Tunjuitam sebagai solidaritas sosial dalam kedukaan.

A. Tunjuitam Dari Perspektif Pastoral Budaya

Falsafah orang Maluku, ”ale rasa beta rasa” dan “potong di kuku

rasa di daging,” sebenarnya juga memiliki dasar refleksi suatu kultur

kedukaan, “ale pung susah, beta pung susah” (kamu rasa, saya juga rasa).

Falsafah ini membentuk pemahaman orang di Maluku dalam suka dan duka

sehingga terkait dengan kematian yang dialami oleh salah seorang anggota

keluarga atau kerabat dekat berarti ”kematian separuh tubuh mereka.”

Pemahaman ini muncul sebagai bentuk ikatan emosional orang basudara

(klan/marga) yang kemudian menimbulkan reaksi kepedulian, keprihatinan

terhadap suatu peristiwa yang tidak pernah diharapkan yaitu kematian. Ketika

keluarga yang berduka merasakan krisis, maka secara bersama-sama sedang

mengalami krisis. Hal ini terlihat lewat kebersamaan dengan keluarga yang

berduka, mulai ketika berita kematian itu terdengar, proses pemakaman hingga

pelaksanaan Tunjuitam.

Koenjaraningrat1 mengatakan bahwa nilai budaya memiliki nilai

paling tinggi dari adat istiadat, sebab nilai ini ada dalam hidup dan pikiran

manusia. Tunjuitam memiliki nilai budaya melalui sesuatu yang hidup dalam

pikiran manusia yang dilakukan saat ada kematian dan merupakan karya

manusia yang bernilai serta mengalami proses sampai kepada menghasilkan

suatu budaya, yang mencakup nilai, kultur, norma dan hasil cipta manusia.

Nilai budaya itu terlihat dalam asal usul Tunjuitam yang dipahami dalam

1Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3

Page 2: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

87

tujuan menyatukan “keluarga besar” yang terikat sistim kekeluargaan

berdasarkan hubungan darah. Tunjuitam dipahami sebagai instrumen untuk

menjaga tradisi „kumpul keluarga” sehingga ada kesadaran terhadap tindakan

kolektif.

Ketika bangsa Barat menjajah Indonesia dengan misi Pekabaran Injil,

maka kekristenan memberikan nilai baru bagi orang-orang di GATIK. Dalam

penyebaran agama Kristen, para misionaris Barat memilih beberapa metode,

salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan agama Kristen dengan

dengan budaya yang ada. Hasil alkulturasi itu, salah satunya adalah peringatan

kematian seperti 3,7,40 dan 100 hari kematian, yang bertujuan mendoakan

arwah almarhum. Tunjuitam pun dimaknai dalam bingkai pemahaman agama

suku/lokal sebagai tujuh hari masa hitam. Angka tujuh dimaknai sebagai angka

kesempurnaan dan hari ketujuh dimaknai sebagai hari di mana Allah berhenti

bekerja dan beristirahat. Saat orang di GATIK melakukan Tunjuitam dihari

yang ketujuh, lewat akta syukur (doa), maka mereka yakin bahwa doa mereka

mengiring almarhum untuk berjumpa dengan Allah, PenciptaNya. Ketika GPM

melakukan deregulasi terhadap peringatan hari-hari kematian sebagai upaya

kristalisasi pemahaman agama lokal/suku maka GPM menciptakan sebuah

teologi baru bahwa “kematian orang Kristen adalah kematian bersama Kristus”

artinya, siapa yang percaya kepada Kristus, ketika ia mengalami kematian

maka di hari itu juga ia telah mati bersama Kristus. Teologi gereja ini

kemudian merubah cara pikir dan pelayanan gereja sehingga tidak ada lagi

peringatan-peringatan kematian tersebut dan kalaupun masih dilakukan hanya

sebuah syukur keluarga. Secara teologis, dengan adanya deregulasi GPM

terhadap peringatan hari-hari kematian ini, menyatakan bahwa GPM telah

menghilangkan pemahaman agama suku/lokal yang dibawah masuk dalam

teologi Kristen. Namun, pada sisi yang lain deregulasi GPM ini, serentak

menghilangkan hasil cipta manusia lewat para leluhur/orang totua yang belum

menerima kekristenan dan sekaligus juga menghilangkan berbagai “perangkat

Page 3: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

88

dan kebijaksanaan lokal”2 (cultural means and wisdom) untuk membantu umat

dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia, yakni

kematian dan kedukaan.

Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal itu diharapkan bisa

menolong umat tertentu menjalani masa-masa sulit. Dengan perangkat dan

kebijaksanaan lokal, umat bisa ditolong secara kultural sehingga mereka yang

mengalami kehilangan dan kedukaan tidak merasa sendiri menjalani masa-

masa sulit itu. Peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian mungkin dianggap

“kafir” dan membawa beban komersial secara ekonomi tetapi dalam praktek

pastoral dapat dikatakan sebagai bentuk perjumpaan bukan hanya sekedar

perjumpaan yang bersifat hura-hura, tetapi perjumpaan atas dasar solidaritas

antar sesama dengan orang yang berduka, yang membawa topangan dan

pemulihan. Kenapa? Karena perjumpaan kita dengan keluarga yang berduka

hanya akan sampai saat jenazah dimakamkan, setelah itu keluarga yang

berduka akan dibiarkan seorang diri menjalani masa-masa krisisnya. Erick

Lindeman dalam artikelnya yang diterbitkan pada tahun 1944,

“Symptomatology and Management of Acute Grief”, menemukan berbagai

gejala gangguan kejiwaan yang dialami oleh orang yang mengalami kedukaan,

dan itu berlangsung 10-14 hari (shock awal). Setelah shock awal ini, datang

kesedihan yang intens yang menyebabkan orang yang berduka mengasingkan

diri dari kontak sosial.3 Pikiran Lideman ini, jika dikaji dalam realitas waktu,

maka shock awal itu akan muncul saat orang yang berduka kembali

ditinggalkan oleh kaum keluarga karena harus kembali ke tempat mereka

semula. Jika, peringatan 3,7,40 dan 100 hari masih diberlakukan, maka

perjumpaan ulang antara keluarga/tetangga/jemaat masih akan terjadi. Shock

awal seperti yang dikatakan oleh Lindeman pasca kematian tidak akan terjadi

2Totot S. Wiryasyaputra, Mengapa Berduka; Kreatif Mengelolah Perasaan Duka,

(Yogyakarta: Kanisius,2003), 28-29.

3Eric Lindeman, “Symptomatology and Management of Acute Grief”. (American Journal of

Psychiatry, 1944),2-3

Page 4: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

89

karena ada kaum keluarga/tetangga/jemaat yang mengunjungi dan menemani

orang yang berduka.

Pikiran ini, bukan berarti mau menolak apa yang sudah dilakukan oleh

gereja dan dijalankan selama bertahun tahun dalam pelayanan GPM. Namun,

deregulasi GPM terhadap peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian membuat

sempitnya ruang perjumpaan pelayanan gereja, melemahnya perjumpaan antara

keluarga dengan keluarga, pelayan dan umat padahal ini sangat dibutuhkan

oleh keluarga yang berduka. Kalau gereja melakukan deregulasi terhadap

ruang-ruang perjumpaan, berarti gereja harus memiliki alternatif yang lain bagi

pendampingan orang yang berduka supaya tidak terkesan bahwa mereka

diabaikan dan dibiarkan sendiri menjalani masa-masa krisis. Apakah orang

berduka tidak perlu mendapat pelayanan dari gereja? Apakah pelayanan gereja

hanya berakhir pada saat jenazah dimakamkan? Hal positif, justru muncul dari

kesadaran jemaat sebagai bentuk persaudaraan, bahwa walaupun gereja telah

melakukan deregulasi terhadap peringatan-peringatan kematian tetapi ada

inisiatif keluarga untuk melakukan ibadah syukur pada hari-hari kematian

tersebut. Di ibadah syukur ini, ada perjumpaan antara orang berduka dengan

kaum keluarga/tetangga/kerabat/ dan pelayan. Bagi saya, apa bedanya

peringatan syukur yang dilakukan oleh keluarga dengan peringatan 3,7,40 dan

100 hari yang dulu diberlakukan? Mungkin, namanya saja yang berbeda tetapi

isi/muatan dari syukur kematian itu, sama dengan peringatan 3,7,40 dan 100.

Begitu juga cara dan bentuk pelayanan gereja, sama seperti pelaksanaan proses

pemakaman jenazah. Ada nyanyian, ada khotbah, ada doa, ada nasihat dan

kalimat-kalimat penguatan. Normatif dan tradisonal.

GPM sebagai institusi keagamaan yang besar di Maluku bersama

dengan lembaga sosial masyarakat sudah melihat hal ini sebagai suatu upaya

untuk menjawab persoalan manusia atas persitiwa kematian dan kedukaan.

Alasan kemanusian dan menghadirkan syalom Allah memaksa untuk

menemukan solusi bagi orang yang mengalami kedukaan. Lembaga sosial

masyarakat, dalam hal ini memberikan solusi melalui “Muhabeth,” suatu

lembaga yang mengurusi aktivitas menyangkut kematian dalam suatu

Page 5: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

90

kelompok masyarakat. Melalui kehadiran anggota masyarakat dalam kedukaan

suatu keluarga bertujuan untuk menghibur, menguatkan serta empati dan

solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang berduka. Sementara itu, lembaga

agama dalam hal ini gereja telah memberikan sebuah anjuran lewat liturgi

pemakaman GPM untuk melanjutkan tindakan pastoral kepada keluarga yang

berduka. Ini bertujuan untuk melakukan pendampingan agar orang berduka

bisa menjalani masa kedukaannya dengan normal. Persoalannya, apakah

lembaga sosial masyarakat dan gereja sudah dengan sungguh melakukan peran

mereka untuk menjawab persoalan manusia terkait dengan krisis situasional

akibat kematian orang-orang kekasih mereka? Upaya gereja (GPM) mengarah

ke hal itu, tetapi selalu diperhadapkan dengan kemampuan pelayan, jumlah

pelayan yang tidak seimbang dengan jumlah warga jemaat dan tekniks

pelayanan gereja yang terfokus pada program pelayanan hasil sidang jemaat.

Tindakan pastoral yang umum terjadi di GPM, hanya dilakukan

berdasarkan program pelayanan hasil sidang, empat kali setahun, yaitu

perkunjungan awal tahun, menjelang Paskah, perkunjugan tengah tahun dan

perkunjungan akhir tahun. Perkunjungan cenderung dipahami sebatas

pemenuhan program pelayanan dan terbingkai dalam konsep ritual saja,

misalnya: ada ibadah bersama keluarga, memberi nasihat, lalu berdoa tanpa

disertai percakapan yang mendalam dengan jemaat seputar masalah-masalah

yang dihadapi. Ini menggambarkan bahwa perkunjungan pastoral gereja hanya

di kulit saja dan tidak menyentuh pergumulan riil jemaat. Kendala yang kedua,

yang dihadapi oleh GPM terkait dengan ketrampilan pelayan menggunakan

terkni-teknik pastoral. Ini disebabkan karena keterbatasan akademik dan

pelayan tidak diperlengkapi dengan pelatihan-pelatihan penunjang lainnya

seperti konseling, cara melakukan percakapan, psikologi, sosial, menajemen

dan lain-lain serta buku-buku pengembalaan yang dipakai cenderung

konvensional.

Hal lain juga bahwa, gereja cenderung melihat perkembangan

pelayanan terhadap seseorang melalui aspek fisik, yakni ketika orang itu

terlihat melakukan aktifitas sehari-hari, maka dikatakan bahwa ia sehat. Orang

Page 6: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

91

disebut sehat bukan karena “tidak ada penyakit tertentu” atau terlihat secara

fisik baik adanya, melainkan mampu hidup sehat secara utuh: fisik, mental,

spiritual dan sosial, atau yang dikatakan Van Beek4, melihat manusia secara

holistik, dan prespektif Integratis, seperti pendekatan Daan Engel5, maka

manusia tidak bisa direduksi menjadi kasus dari satu aspek tertentu secara

parsialistik, misalnya hanya melihat aspek fisik tanpa melihat aspek kehidupan

yang lainnya seperti mental, spiritual dan sosial. Hal ini pun sama dengan

ukuran umum yang berlaku dalam penilaian keberhasilan pelayan gereja, yang

hanya dilihat dari kinerja pembangunan secara fisik. Memiliki gereja dan

pastori yang megah, memperoleh pendapatan jemaat yang lebih dari anggaran

yang dirancangkan, menjadi ukuran keberhasilan seorang pelayan. Tetapi,

cobalah untuk di verifikasi. Pendapatan terbesar jemaat ada dalam pos

pendapatan syukur jemaat. Syukur ini berupa syukur HUT pribadi, pernikahan

dan keberhasilan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa, orientasi pelayanan

Gereja lebih banyak di perayaan-perayaan ini dan mengabaikan unsur

pelayanan pendampingan dan konseling pastoral kepada umat. Pelayan gereja

(Pendeta/ Penatua/Diaken) lebih berenergi ada di pelayanan ini sebab

bernuansa sukacita, dijamu dengan makanan yang istimewa daripada

melakukan pendampingan kepada orang yang berduka.

Selanjutnya, warga jemaat bukan lagi dilihat sebagai objek pelayanan

gereja semata, melainkan sekaligus juga sebagai subjek dari pelayanan

sehingga untuk jumlah jemaat yang besar seperti jemaat GATIK

memperlihatkan ketidakseimbangan jumlah anggota jemaat dengan

ketersediaannya tenaga pendeta. Akhirnya pelayanan dinilai tidak efektif dan

efisien. Idealnya dalam sebuah jemaat 1 pendeta berbanding 500 jiwa jemaat.

Tetapi, kenyataan di GATIK menunjukkan sebuah angka yang tidak sesuai,

yakni seorang pendeta harus menjangkau tiga-empat unit pelayanan, dengan

1:1000 jiwa. Suatu kebijakan yang hasilnya tidak maksimal.

4Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),15-16.

5Jacob D. Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta; BPK. Gunung Mulia,

2016), 18-19.

Page 7: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

92

Di sisi yang lain, peristiwa kematian pada orang di GATIK yang

dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa kematian

dalam setiap budaya selalu disikapi dengan cara/ritualisasi tersendiri dengan

berbagai alasan. Tunjuitam adalah sebuah ritual dari kematian yang terlihat

pada akta syukur (doa) sehingga Tunjuitam dimaknai sebagai konsensus nilai

yang berfungsi sebagai “pengucapan syukur”. Cara mengucap syukur itu sudah

ada sejak para leluhur sehingga kesadaran untuk mengucap syukur sudah

menggenerasi di GATIK. Di era kemajuan dan globalisasi, cara mengucap

syukur ini tetap dipahami sebagai suatu bentuk kesadaran diri atas karya Allah,

yang telah membebaskan dari penderitaan tetapi dilain sisi pengucapan syyukr

ini dilihat sebagai cara menunjukkan kekayaan yang dimiliki. Sebab, orang di

GATIK merangkaikan cara mengucap syukur mereka dengan makan bersama

yang dipahami sebagai ungkapan terima kasih kepada kaum keluarga/

tetangga/kerabat yang telah bersama mereka melewati masa-masa krisisi. Cara

ini yang kemudian menjadi polimik di antara orang tua dan orang muda. Bagi

Clinbell,6 salah satu tugas dalam kedukaan adalah sentuhan fisik dan

pemberian makanan, yang merupakan sentuhan simbolik untuk berkomunikasi.

Hal inipun terjadi saat pelaksanaan Tunjuitam yakni makan sesudah suatu acara

(ibadah), menandakan adanya keberlangsungan hidup. Itu artinya, orang

GATIK tidak perlu mempersoalkan berat atau ringan memberi makan kaum

keluarga sebab makan adalah simbol keberlangsungan hidup yang bisa

diciptakan dalam hal yang sederhana. Terpenting adalah, di moment ini ada

sebuah ruang guna terciptanya suatu komunikasi antara kaum

keluarga/tetangga/pelayan dengan orang yang berduka. Kalau Tunjuitam

dipahami sebagai moment “pengucapan syukur” yang dilakukan secara vertikal

maupun horisontal, maka soal memberi makan bukanlah sesuatu yang

diperdebatkan. Ini adalah bentuk pengucapan syukur kepada Allah yang

dibagikan kepada sesama.

6Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:

Kanisius,2002),289

Page 8: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

93

Terhadap fungsi-fungsi pastoral yang ditawarkan oleh para ahli,

sebetulnya menyatakan tanggung jawab pelayan dalam seluruh realitas

pelayanan. Persoalan dalam konteks di GATIK adalah apakah fungsi-fungsi itu

teraktualisasi secara konkrit di dalam dinamika pelayanan pastoral kedukaan?

Pertanyaan ini sangat penting, sebab dari sisi anggota jemaat, pelayan

(pendeta), hanya terlihat jelas ketika ia melakukan fungsi-fungsi pastoral itu

secara bertanggung jawab. Selain itu, usaha pelayan untuk memenuhi fungsi

pastoral dimaksud, sangat terkait dengan harapan dan kebutuhan warga jemaat.

Sering, warga jemaat menuntut pelayanan yang lebih dari seorang pelayan

tanpa memikirkan bahwa pelayan juga manusia biasa. Penghargaan yang

diberikan warga jemaat kepada pelayan dipengaruhi oleh persepsi jemaat

tentang pelayan yang “serba tahu”, tahu banyak hal dan pastinya juga

menguasai cara-cara melakukan pastoral. Hal ini menyebabkan, semua hal

harus dilakukan oleh pelayan (pendeta), akhirnya pelayan tidak dapat berfungsi

dengan baik, sesuai kemampuannya. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung

jawab yang merata di jemaat yang memiliki 2-3 pelayan (pendeta). Semua ini

karena pengaruh pola kepimpinan tradisional budaya Maluku sebagai warisan

pola kepemimpinan zending dan pandangan teologis yang hidup dalam jemaat.

Tunjuitam, memberi ruang untuk mensinergiskan warga jemaat

sebagai subjek dan objek pelayanan. Sudah waktunya, GPM berhenti

menerapkan pastoral ala barat yang individual, yang hanya menekankan

pelayan sebagai konselor. Saatnya GPM membuka diri untuk menerima budaya

sendiri sebagai konstruk individu dan sosial sehingga budaya bisa menjadi

otorisator dari pastoral lokal dengan melibatkan pelayan dan warga jemaat di

ruang dan waktu kini untuk sama-sama produktif menolong dan

memberdayakan sesamanya. Dalam konteks Tunjuitam, semua orang baik

keluarga, tetangga, pelayan gereja maupun komunitas jemaat bisa menjadi

konselor. Bahkan, di zaman modern dengan kemajuan sarana berkomunikasi

melalui media sosial seperti facebook, Twiiter, BBM, Path, line, whatsap, dan

lain-lain membuka ruang bagi sesama untuk menyampai tanda bela sungkawa

maupun menyampaikan berita kematian kepada kaum keluarga dan kerabat. Di

Page 9: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

94

sini, Tunjuitam mengalami perkembangan zaman, bahwa kehadiran kaum

keluarga/ kerabat adalah juga bagian dari informasi di media sosial.

Lebih lanjut, kumpul keluarga bukanlah persoalan yang muncul pada

saat ini. Sejak dahulu orang di GATIK sudah melihatnya sebagai proses hidup

dimana tiap individu dan keluarga berintekasi secara personal dengan orang

lain. Adanya Tunjuitam merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan

orang yang mengalami kedukaan akibat kematian anggota keluarga yang

dikasihi. Orang di GATIK melakukannya sebagai bagian dari pewarisan nilai

leluhur yang perlu dihormati, tetapi tanpa disadari bahwa Tunjuitam

menanamkan nilai-nilai luhur yang kalau dipraktekkan akan memunculkan

sebuah tanggungjawab bersama untuk menopang kehidupan orang yang

berduka.

Sanchez mengatakan bahwa keluarga yang melupakan atau

meninggalkan budaya seperti kapal yang kehilangan kompas. Dalam

penyelesaian persoalan keluarga, jangan melepaskan budaya karena melalui

budaya termanisfestasi fungsi dari suatu perilaku manusia. Melalui perilaku

manusia yang dimunculkan, maka akan terlihat gambaran yang mengancam

keutuhan keluarga.7 Tunjuitam menjadi cara bagi orang GATIK untuk berelasi

dan menujukan sikap care community. Namun, seriring perkembangan zaman

menyebabkan jemaat ini dihadapkan dengan maraknya nilai-nilai baru secara

ekonomi, politik, budaya yang berakibat langsung bagi berubahnya orientasi

dan perilaku warga jemaat serta penilaian terhadap tradisi/kebiasaan. Dulu,

tradisi dipandang sebagai hal yang penting dan memiliki nilai untuk mengatur

manusia supaya hidup tertib dan baik. Dalam tradisi yang terus menerus

dilakukan dari satu generasi ke generasi yang lain, termuat nilai-nilai

kemanusiaan yang luhur. Saat ini, nilai-nilai kemanusiaan, mengalami

pergeseran karena harta, jabatan sosial, pendidikan yang telah menjadi ukuran

bagi hidup yang baik dan sukses. Orang lebih suka menghabiskan waktu untuk

bekerja menghasilkan uang untuk meraih kehidupan yang dianggap baik dan

7Arthur R.Sanchez, “Multicultural Family Counseling”, dalam buku Handbook Of

Multicultural Counseling, (Sage Publication,Inc,2001),674-676

Page 10: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

95

mapan. Seiring waktu pula, kebiasaan sebagai tradisi turun temurun

ditinggalkan diganti dengan nilai material. Misalnya, kebiasaan menyuguhkan

snack (roti dan teh) sewaktu selesai proses pemakaman di gantikan dengan

snack yang di hidangkan di dalam kotak snack. Dengan langsung

menyuguhkan snack, berarti menciptakan ruang dan waktu yang lama antar

kaum pelayat dengan keluarga yang berduka, dibandingkan dengan pemberian

snack di kotak. Secara perlahan kebiasaan ini ditinggalkan dengan alasan tidak

mau repot dan tidak mengikuti perkembangan zaman atau kuno.

Jemaat GATIK cenderung berpikir bahwa tindakan mereka dalam

peristiwa kedukaan merupakan suatu rutinitas sebagai tradisi yang dilakukan

secara turun temurun dari orang totua/ leluhur sehingga makna dan nilai luhur

dalam tiap-tiap aktifitas kedukaan tidak disadari oleh mereka. Tunjuitam bukan

hanya mengandung makna religius karena dilakukan pada hari ketujuh,

diaktakan dalam kebaktian bersama di gereja pada hari minggu, ada simbol

natzar sebagai bentuk spiritualitas umat, berpakaian hitam sebagai tanda

berkabung yang diindetikkan dengan pemahaman GPM yang bercorak

Calvinis, tetapi juga mengandung makna sebagai bentuk solidaritas sosial yang

mampu mengintegrasikan jemaat GATIK dalam berbagai lapisan, sehingga

solidaritas ini bekerja sebagai perekat sosial, dalam hal ini berupa nilai dan

kepercayaan yang dianut bersama oleh jemaat dalam ikatan kolektif. Sehingga,

betul apa yang dikatakan Durkheim, bahwa solidaritas sosial pada dasarnya

merujuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang

didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang

diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.8 Perekat sosial ini bersifat

personal dan kolektif. Personal, yakni terkait dengan mengumpulkan “keluarga

besar” yang terikat sistim kekeluargaan berdasarkan hubungan darah (ayah/ibu)

dan secara kolektif menyatukan komunitas jemaat.

Orang yang berduka di GATIK selalu memakai baju hitam ke manapun

ia pergi dan dalam aktifitas apapun. Ini merupakan isyarat atau tanda suatu

8Doyle Paul Jahnson, Teori Sosiologi Klasisk Dan Modern (Jakarta: Gramedia,1986),181

Page 11: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

96

masa perkabungan, situasi sulit yang sementara dijalani. Konseptuliasasi

kematian lewat tindakan ini mengarahkan orang GATIK bukan hanya

mengungkapan bentuk kehilangan mereka tetapi juga suatu realitas kematian

sehingga mereka mencarinya lewat konteks sosial dan budaya mereka. Berbeda

dengan orang di Barat, yang memandang kematian hanya sebagai pengalaman

pribadi. Orang-orang di GATIK melihat kedukaan sebagai pengalaman

komunal yang tidak hanya melibatkan keluarga inti, tetapi juga keluarga besar

dan komunitas jemaat. Wolfelt,9 menyatakan bahwa salah satu tugas dalam

kedukaan adalah menerima dukungan orang lain. Dengan arti harafia

Tunjuitam, yang diidentikan dengan masa hitam/perkabungan, telah

menyatakan bahwa orang di GATIK harus menerima dukungan orang lain

lewat kehadiran kaum keluarga dan komunitas jemaat guna sebuah

penyembuhan.

Gejala-gejala kedukaan seperti yang disampaikan Wiryasaputra,10

seperti: air mata dan kepedihan hati, stress, penolakan, marah, depresi,marah

dan tertekan batin, putus asa, rasa bersalah dan menerima kenyataan bukanlah

merupakan sebuah gejala yang mutlak teralami oleh orang yang mengalami

kedukaan akibat kematian orang yang dikasihi di Maluku, sebab iklim Maluku

yang keras membuat orang sulit melihat gejala-gejala ini. Berbeda dengan

mereka yang berduka di GATIK, gejala kedukaan terlihat ketika keluarga

menggunakan pakaian hitam dalam aktifitas apapun, menggumpulkan keluarga

dekat/kaum kerabat, berjalan beriringan ke gereja di hari minggu dan bersama

jemaat membawa natzar mereka sebagai tanda pergumulan dan syukur

bersama. Hal ini memiliki makna bahwa kedukaan yang sebenarnya terjadi di

GATIK sementara di go publik oleh orang di GATIK sendiri untuk meminta

perhatian dari kaum keluarga dan komunitas hidup bersama. Apa yang terlihat

adalah gejolak dari rasa kehilangan yang tidak mau untuk disembunyikan,

9Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse,

29.No.2. 10

Wiryasyaputra, Mengapa Berduka; Kreatif Mengelolah Perasaan Duka, (Yogyakarta:

Kanisius,2003),107-110.

Page 12: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

97

sehingga orang yang melihat bentuk kedukaan keluarga yang berduka ini,

harus menunjukkan kepeduliaan bersama.

Konseptualisasi kematian lewat tindakan yang beragam atas

pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa ada pergeseran pola pemikiran

orang di GATIK terhadap makna Tunjuitam. Tunjuitam tidak lagi dipahami

sebagai “kumpul keluarga” tetapi lebih kepada makna religius, yakni

mengucap syukur. Hal ini, berakar pada pengalaman iman orang di GATIK

atas bukti penyertaan Allah tetapi juga pada soal ekonomi. Kumpul keluarga

dianggap memberatkan, karena harus menggumpulkan kaum keluarga, kecil -

besar, laki-laki, perempuan, tua – muda, generasi satu ke generasi yang lain,

dan harus dilakukan setelah tujuh hari kematian seseorang seperti pemaknaan

arti harafia ”tujuh hari masa hitam.” Ini waktu yang lama. Hal ini menyatakan

bahwa orang GATIK hanya menangkap kulit luar dari tradisi Tunjuitam yang

telah menggenerasi yakni dibuat untuk menghormati orang mati tanpa

menangkap nilai dan makna yang hakiki untuk mendampingi, menemani,

menolong orang yang berduka sehingga sebenarnya, bukan soal Tunjuitam

dilakukan waktu kapan, dihitung berapa lama dari terjadi kematian seseorang

tetapi apakah Tunjuitam telah dilakukan sesuai dengan nilai dan maknanya?

Kalau seseorang yang adalah keluarga dekat dari individu/orang yang berduka

baru tunju muka/ hadir pada saat pelaksanaan Tunjuitam di hari minggu,

apakah ini adalah wujud kebersamaan sebagai keluarga dalam sebuah

kedukaan? Tunjuitam sebenarnya adalah wujud kehadiran manusia dalam

kebersamaan dengan orang yang berduka mulai dari saat kematian itu terjadi.

Karl dan Evelin11

, dalam ulasannya menggenai buku Petter Vierch yang

berjudul “The Unadjusted Man: A New Hero For Americans”, berpendapat

bahwa zaman kita adalah zaman yatim piatu, zaman yang penuh dengan

realitas kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan akibat perubahan zaman yang

begitu dinamis. Oleh karena itu, pada zaman ini setiap individu yang berada

11

Karl dan Evelin Sang Terluka Yang Menyembuhkan; Stress Dan Trauma Healing (Semarang:

Pustaka Maria, 2005),81

Page 13: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

98

dalam “kesepian dan keramaian”, sering dihantui oleh perasaan yang

ditinggalkan dan merasa kesepian tanpa teman. Untuk itu berjuta juta manusia

tidak mendapat sumber untuk menghadapi pengalaman hidup manusia pada

umumnya. Penyataan ini ingin menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia

membutuhkan sumber-sumber yang bisa dipakai sebagai referensi untuk

menghadapi persoalan-persoalan hidup. Sumber-sumber itu berupa orang lain

untuk mengisi kehidupannya, mendengar keluhan-keluhan batinnya. Sama

halnya dengan keluarga yang berduka. Mereka merasakan kesepian dan

kehilangan arah ketika orang yang mereka kasihi (suami/istri/orang

tua/anak/saudara) tidak lagi ada bersama dengan mereka.

Manusia tidak bisa berdiri sendiri sebagai individu yang bebas terlepas

dari aspek-aspek lain yang mempengaruhi kehidupan individunya. Jika

manusia mengalami krisis, seperti kehilangan akibat kematian orang yang

dikasihi, maka krisis kedukaan harus dilihat dari berbagai aspek yang turut

mempengaruhi terciptanya krisis tersebut. Dalam kaitan dengan hal ini, maka

perspektif pastoral kedukaan harus bersifat holistik (menyeluruh). Holistik

yang berusaha untuk memungkinkan terjadinya penyembuhan dan

pertumbuhan keutuhan manusia dalam dimensinya. Manusia harus dilihat

secara utuh, mencangkup keseluruhan aspek kehidupannya, begitu pun dengan

individu/keluarga yang berduka dalam krisis hidupnya, dan dalam pertolongan

kepada mereka, maka pendekatan holistik adalah pendekatan yang dilihat

sangat relevan. Keutuhan meliputi kesatuan atas seluruh dimensi manusia,

yakni tubuh, roh dan jiwa. Dalam sudut pandang holistik, gambaran Alkitab

sebagai tubuh adalah Bait Allah (I Kor. 6:19-20). Hal ini merefleksikan

pentingnya tubuh rohani. Ini merupakan dimensi pertama dari keutuhan.

Untuk menolong individu/ keluarga yang berduka, maka pendekatan

awal yang dilakukan adalah memperhatikan tubuh. Dalam konteks analisis

dibahas sebagai aspek fisik. Jika tubuh adalah alat untuk memuliakan Tuhan,

maka aspek fisik berupa kesehatan, kebutuhan makan, istirahat harus menjadi

fokus yang penting untuk diperhatikan sebab dengan keadaan fisik yang kurang

Page 14: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

99

baik, akan mempengaruhi kesehatan tubuh (seperti, tidak dapat tidur, tidak ada

nafsu makan, menangis). Dengan demikian pertolongan dari keluarga/

tetangga/ kerabat maupun komunitas jemaat, harus juga bermuara pada

kebutuhan fisiologi dari individu/ keluarga yang berduka. Untuk aspek

psikologi, sangat berkaitan dengan kognitif,emosi dan tindakan manusia

(motivasi). Dalam konteks menolong dampak psikologi dari individu/ keluarga

yang mengalami kedukaan, maka tiga dimensi (kognitif, emosi dan motivasi),

harus diperhatikan. Perintah di Markus 12: 30, yang menyatakan bahwa

“kasihilah Allah dengan segenap jiwamu” (hati, roh dan kekuatan),

menegaskan bahwa dalam konteks psikologi makna intelektul/pikiran

(kognitif) sama seperti emosi dan jiwa. Dalam pengertian kontemporer tentang

mengasihi Allah dengan segenap jiwa dapat direflesikan bahwa kognitif, emosi

dan tindakan manusia harus dijadikan sebagai alat untuk mengasihi Allah

sehingga keinginan untuk menolong individu/keluarga yang berduka harus

dihantar ke arah yang baik supaya keluarga/tetangga, komunitas umat dan

pelayan gereja dapat mengintegrasikan ketiga fungsi ini sebagai alat pendorong

upaya menyembuhkan luka batin, akibat tidak dapat konsentrasi, emosi yang

tidak terkontrol secara baik, misalnya suka marah-marah dan suka

mengasingkan diri.

Aspek berikutnya adalah aspek sosial (persekutuan/komunitas).

Dalam Perjanjian Baru, kata koinonia digunakan untuk menggambarkan Gereja

sebagai suatu komunitas/persekutuan yang saling memelihara dalam sebuah

komitment religius yang berintegrasi dalam konsep “satu tubuh dengan benyak

anggota (Roma 12:5). Terkait dengan hal ini, maka individu/ keluarga yang

berduka adalah bagian dari komunitas bersama yang semestinya dihantar untuk

saling menopang, menyembuhkan, menguatkan dan sama-sama mengalami

transformasi iman. Ketiga aspek di atas akan terlihat lewat aspek spiritual.

Aspek Spiritual merupakan aspek yang paling penting dan menjadi aspek

penyatu bagi ketika aspek lainnya. Pengalaman-pengalaman yang dilewati oleh

orang yang berduka adalah salah satu cara Tuhan mentransformasikan

kehidupan mereka, yang secara teologis dipahami bahwa Yesus tidak akan

Page 15: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

100

meninggalkan orang yang menderita itu mengalami penderitaannya sendiri,

melainkan akan turut bekerja dalam penderitaan itu, dan menjadikan

penderitaan itu sebagai sarana pernyataan kasih Allah kepada manusia. Dalam

kepentingan inilah maka, pastoral kedukaan terhadap individu/keluarga yang

berduka adalah salah satu sarana menuju transformasi itu. Budaya GATIK

yakni Tunjuitam menyediakan dukungan sosial oleh keluarga dan jemaat lewat

lembaga sosial, dengan cara-cara ritual-spiritual membantu untuk memfasilitasi

ekspresi kedukaan. Keluarga/tetangga dan jemaat berkumpul memberikan

dukungan. Orang yang berdukapun bisa dengan sendiri keluar dari masa

kedukaannya.

B. Tunjuitam diKaji Dari Fungsi Pastoral

Dalam Tunjuitam, terdapat nilai moral dari semua proses

pelaksanaanya, sehingga keluarga dan jemaat terikat dalam satu rasa emosional

yang kemudian membawa mereka secara sadar berempati terhadap individu/

keluarga yang mengalami kehilangan atas kematian salah satu anggota

keluarga. Empati tersebut, mereka tunjukkan dengan membantu, memberikan

sumbangan (material), menemani, menguatkan dan bersama-sama menghadiri

proses Tunjuitam.

1. Mendamaikan

Setiap pribadi/keluarga pasti pernah mengalami konflik yang

mengakibatkan keretakan bahkan renggangnya hubungan antara satu dengan

yang lain. Ada konflik antara anak dengan anak, konflik orang tua dan anak,

konflik adik dan kakak bahkan konflik orang basudara dalam klan/marga.

Konflik ini dapat diselesaikan dengan cepat karena ada upaya berdamai, bisa

juga berlangsung lama bahkan sampai tahunan, tetapi juga sampai akhir hidup

seseorang tetap dalam kondisi konflik yang tidak terselesaikan. Konflik

mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang baik, renggang hubungan

kekeluargaan bahkan lumpuhnya kerjasama dan saling mendukung antara

Page 16: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

101

sesama dalam suka dan duka. Konflik dapat mengganggu kesehatan yang

mengakibatkan tubuh mengalami sakit karena terjadinya disfungsi tubuh.

Satu hal penting yang termuat dalam tujuan Tunjuitam adalah bikin

bae orang sodara/ mendamaikan dari konflik internal. Saat konflik masih ada

maka kebutuhan fisik dan psikologi tidak akan terpenuhi dalam relasi

kekeluargaan dan sesama lainnya. Oleh sebab itu, konflik individu/keluarga

harus diselesaikan oleh keluarga itu sendiri karena pelaku konflik adalah

anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus terlibat

dalam penyelesaiannya. Tunjuitam dilakukan oleh keluarga yang berduka

karena keinginan untuk menyatakan “syukur” dengan cara berbagi bersama

kaum keluarga /kerabat/ tetangga yang bersama dengan mereka saat

kedukaaan. Secara spiritual, jika hidup dijalani dengan konflik maka

ketentraman batin tidak dirasakan. Fokus utama untuk mengumpul kaum

keluarga memberi kesempatan untuk semua anggota keluarga guna berdamai.

Inipun menjadi aspek penting dalam proses pendampingan dan konseling

pastoral. Sebab, dalam proses pendampingan dan konseling hal yang penting

ditekankan adalah kesediaan konselor dan klien, yakni keduanya harus terbuka

untuk mengubah diri. Dalam menyelesaikan konflik ini, siapakah yang menjadi

konselor? Konselor adalah anggota keluarga yang memiliki keinginan dan

memulai dalam membuka komunikasi keluarga antara mereka yang berkonflik.

Gerkin12

mengatakan konseling pastoral sebagai suatu seni pengenalan.

Dengan demikian, konseling pastoral mempunyai tugas utama yaitu

menimbulkan kepekaan. Disebut sebagai konselor, karena menaruh perhatian

pada masalah, peka dan terbuka terhadap tindakan masing-masing

individu/keluarga yang berkonflik serta menghayati nilai-nilai kebersamaan.

Konselor yang memulai sebagai upaya pengutuhan keluarga. Konselor dalam

Tunjuitam bisa dimulai dari orang tua, anak, pelayan gereja. Inilah saat proses

konseling pastoral dalam Tunjuitam dilakukan.

Dengan melakukan proses konseling dalam Tunjuitam atas konflik

internal, maka Tunjuitam menjadi fungsi menyembuhkan kaum keluarga.

12Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi, (Jakarta: Kanisius, 1992),96.

Page 17: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

102

Clebsch dan Clinbell13

mangatakan bahwa fungsi menyembuhkan sangat

penting bagi mereka yang berduka atau terbuang, sebab akan melahirkan

tekanan mental yang kuat. Konflik yang berkepanjangan menimbulkan

keterasingan dan luka batin yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.

Dengan menyampaikan undangan dari pihak yang berkonflik kepada orang

yang berkonflik dengannya, maka secara otomatis menimbulkan rasa dihargai

dan diterima kembali. Sebuah cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka

batin dan cara penyembuhan ini bersifat alami dan pribadi, artinya

dikembalikan pada masing-masing individu/keluarga, berjuang menerima

kekurangan diri sendiri, belajar memahami dan menerima orang lain dengan

kekurangannya. Jika ada kemarahan, sakit hati dan luka hati karena

dipermalukan atau dikecewakan akan mengalami penurunan menuju kepada

penyembuhan. Penyembuhan merupakan upaya yang dilakukan oleh

individu/keluarga untuk kebaikan individu/keluarga bahkan jemaat. Hal ini,

tidak sulit dilakukan pada jemaat GATIK, sebab salah satu ciri jemaat kota

adalah tingkat pendidikan jemaat cukup baik, cenderung kristis terhadap

persoalan, bersikap terbuka. Ini akan menolong sebuah perkembangan dan

perubahan pemaham terhadap kondisi konflik jemaat.

Secara sosial, hal itu teralami tetapi luka-luka batin akibat konflik

apakah terselesaikan? Sebelumnya, telah dikatakan bahwa budaya sudah

menyediakan ruang untuk berdamai dan yang harus menolong menyelesaikan

konflik guna mendamaikan adalah keluarga itu sendiri karena pelaku konflik

adalah anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus

terlibat dalam penyelesaiannya. Tetapi, bukan berarti upaya mendamaikan ini

terhindar dari pandangan gereja. Pelayan gereja bisa berperan menjadi

konselor.

Apa peran gereja terhadap konflik internal ini? Kita harus melihat

peran gereja dalam upaya “mendamaikan”. Mengutip pikiran John Titaley14

,

13

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive

(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.

14John A.Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga, (Salatiga: Satya Wacana Universitty Press,

2013), 98

Page 18: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

103

dalam buku Religiositas di Aline Tiga, Gereja merupakan organisasi

keagamaan “universal” yang bermakna dalam konteks sosial tertentu. Dalam

hal ini, gereja bukan sebagai “tubuh Kristus” yang menyebabkan gereja tidak

menyadari kedudukannya sebagai bagian dari suatu kehidupan tertentu dengan

kebudayaan tertentu juga. Jemaat GPM GATIK merupakan organisasi yang

mampu memberikan solusi demi perdamaian individu/keluarga, sebab,

tanggung jawab gereja bukan hanya sebagai pemberitaan firman melalui

mimbar-mimbar gereja semata tetapi juga sebagai perdamian umat manusia

dan ini juga merupakan bagian dari tanggung jawa dan panggilan gereja yang

sebenarnya. Jika gereja tidak dalam menyelesaikan konflik keluarga/individu,

maka konflik dapat meledak sewaktu-waktu dan tindakan kekerasan akan

kembali terjadi ke generasi selanjutnya. Dalam konsep ini, gereja pun sangat

berperang dalam pelaksanaan Tunjuitam keluarga. Tunjuitam akan dilakukan

oleh keluarga yang berduka tetapi, jika ada konflik antar keluarga yang

berduka, gereja bisa menjadi otorisator atas budaya dengan cara menyelesaikan

dulu konflik internal, baru dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam. Oleh

karena itu, syarat utama dalam pelaksanaan Tunjuitam, adalah melakukan

perdamaian semua anggota keluarga.

2. Menyembuhkan

Kehilangan menimbulkan kedukaan tentu membawa luka batin yang

mendalam. Secara psikologis hal ini sangat menggangu individu/keluarga yang

berduka dalam kehidupan secara religius dan sosial. Dengan kehadiran

keluarga bersama lainnya di pelaksanaan Tunjuitam, ada nilai menyembuhan

bagi orang berduka, dihibur karena ada yang menemani dalam kedukaan.

Tunjuitam menawarkan fungsi menyembuhkan lewat kata-kata penguatan

keluarga/ tetangga/ kerabat yang melayat, khotbah pelayan gereja sehingga

memberikan motivasi untuk terus melanjutkan hidup karena kematian telah

melepaskan ketergantungan terhadap orang yang sudah meninggal. Keluarga/

tetangga/kaum kerabat yang hadir dalam pelaksanaan Tunjuitam bertujuan

untuk menghibur sekaligus mendampingi keluarga.

Page 19: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

104

Tunjuitam menawarkan sharing keluarga sebagai percakapan atas

kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut

dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang

meninggal adalah tulang punggung keluarga, percakapan tentang

sakit/penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa

diatasi soal genetiknya kepada generasi penerus. Percakapan keluarga yang

terjadi merupakan proses dari penyembuhan luka batin akibat kematian orang

yang dikasihi sehingga percakapan menjadi media atau alat penyambung

sebuah komunikasi yang sempat terputus karena konflik sekaligus juga proses

penyembuhan dan pemulihan dari kedukaan sehingga menjadikan mereka

yang berduka sebagai manusia dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk

bertumbuh. Ketika percakapan keluarga terjadi dalam Tunjuitam adalah sebuah

proses penyembuhan, sebab dalam percakapan itu ada keterlibatan keluarga

besar, ada keluarga yang menemani, mendengar, memberikan solusi terhadap

beban individu/keluarga yang berduka untuk secara bersama di atasi.

Percakapan keluarga memberi ruang bagi orang yang berduka untuk berbagi

cerita tentang penderitaanya, menangis jika ingin meluapkan tangisan yang

tertunda akibat kehadiran banyak pelayat. Dengan menceritakan ulang tentang

sakit, penderitaan almarhum, tentang rencana ke depan bersama almarhum,

tentang harapan keluarga terhadap anak-anak yang ditinggalkan, menjadi

sebuah tugas dalam kedukaan (tasks of grief). Di sini orang yang berduka bisa

berbagi tentang penderitaan dan kesakitan almarhum, bahkan sebaliknya,

keluarga/kerabat lainnya bisa berbagi kenangan bersama almarhum kepada

individu/keluarga yang berduka. Semakin kita mampu menceritakan kisah

kematian tersebut sebagai sebuah kenangan, maka semakin besar pula

kemungkinan kita menyembuhkan kesedihan.

Telah dikatakan sebelumnya, bahwa menurut Clebsch dan Clinbell15

,

fungsi menyembuhkan sangat penting bagi mereka yang mengalami dukacita

karena kehilangan. Percakapan keluarga menjawab beban situasional orang

yang berduka. Percakapan yang bersifat terbuka dan saling mendukung untuk

15

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive,33-36.

Page 20: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

105

kebaikan bersama akan pula menghasilkan proses membimbing untuk

menentukan apa yang baik bagi masa depan indivudu/keluarga yang berduka.

Ini juga yang dikatakan Wolfelt16

, bahwa dengan percakapan keluarga, yakni

sebagai upaya untuk mengingat almarhum. Ingatan ini timbal balik, antara

keluarga yang berduka bersama dengan kaum keluarga. masing-masing

menceritakan sebagai hubungan emosional. Semakin kuat mereka mengingat,

maka kesembuhan cepat terjadi.

Dalam ruang percakapan keluarga juga ada istilah laeng kasih nasihat

laeng/ saling menasihati adalah ruang unik yang tercipta dari Tunjuitam guna

menjalani hidup yang lebih baik. Pemikiran radikal orang Maluku bahwa

penderitaan, kesusahan bahkan kematian itu karena dosa. Hal ini bisa

mengakibatkan individu/keluarga yang berduka mengalami keterpurukan

akibat tekanan batin. Kehidupan baru harus ditata dengan baik agar

mendatangakan kebaikan bersama. Dalam hal ini, Clinbell, memberikan fungsi

menasihati dan membimbing supaya tahu dalam menentukan sikap dan pilihan

serta akibat dari sikapnya.17

Tunjuitam memiliki otoritas untuk membimbing

anak-cucu/keluarga dan jemaat dalam menentukan sikap dan pilihan bagi

kehidupan masa depan supaya proses kedukaan tidak mengorbankan hal-hal

penting lain dalam hidup. Tindakan menasihati dan membimbing senada

dengan pendapat Clinbell bahwa dalam tindakan membimbing ada upaya

menyingkapi masalah batiniah dan hikmat konseli, sehingga terjadilah

perjumpaan diantara kedua unsur ini, yaitu masalah dan hikmat konseli dengan

pengetahuan dan pemahaman konseli. Hal ini akan mengurangi kelemaham

emosional dan konflik batin sehingga individu dituntut untuk menerima

serangkaian nilai dan kriteria yang sudah ditentukan terlebih dahulu dalam

rangka pengambilan keputusan. Agen membimbing dan menasihati ini

merupakan significant other (orang yang paling dekat) dengan manusia

tersebut seperti orang tua, kakak adik, saudara, teman, guru, pelayan dan lain

sebagainya. Mereka bertindak juga sebagai konselor yang membimbing dan

16

Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare

Nurse, 29.No.2.1-2 17

Clinebel, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,54

Page 21: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

106

menasihati untuk menjalani hidup yang lebih baik. Pemahaman konselor, di

point ini berasal dari tradisi, studi dan pengalaman spiritual, yang dimanfaatkan

untuk mengambil keputusan. Konselor adalah orang tua, yang menjadi soko

guru dan pelayan gereja.

Dalam study kedukaan, perjumpaan orang berduka secara emosional

merangsang terjadinya komunikasi yang terbuka. Keterbukaan atas

kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut

dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang

meninggal adalah tulang punggung keluarga, percakapan tentang sakit/

penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa diatasi soal

genetiknya kepada generasi penerus. Komunikasi dalam Tunjuitam

menunjukkan ada rasa kepercayaan satu dengan yang lain, ada yang

mendengar, ada yang memberikan solusi, ada tempat untuk mengungkapkan

ekspresi verbal dan non verbal lewat kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh,

kualitas suara dan respon psikologi yang mungkin dipikirkan dalam keluarga

dan ditindak lanjuti. Jika kematian akibat penyakit, maka di ruang ini akan

dicari solusi genetik. Sebab masalah keturunan adalah masalah yang berulang-

ulang terjadi dari satu generasi ke generasi berikut. Tunjuitam sebagai

penyatuan keluarga besar secara genealogis (ayah/ibu), bisa menggambarkan

suatu pohon keluarga (genogram), mencatat keterangan atau asal usul tentang

anggota-anggota keluarga, relasi antar mereka, paling tidak untuk tiga generasi.

Hal ini bisa dikomunikasikan dalam kumpul keluarga di pelaksanaan

Tunjuitam sehingga dengan cepat dapat melihat pola-pola kekerabatan dan

penyakit yang kompleks dalam kurun waktu tertentu.

Kepedulian berdampak pada peluang penyembuhan/ menyembuhkan

sehingga semua yang terikat dalam kekeluargaan karena genealogis masuk

dalam relasi yang baru. Clements, dalam tulisannya Care and Caunseling Of

The Aging, mengatakan bahwa pada titik krisis, manusia memiliki kesempatan

untuk bergerak kearah pemulihan dan keutuhan, atau krisis sering menjadi

penghambat dalam pertumbuhan di sisa hidup. Oleh karena itu, krisis jangan

dihindari karena memberi kesempatan untuk pertumbuhan dan peningkatan

Page 22: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

107

pribadi. Krisis adalah tahapan perkembangan emosional yang terkait dengan

psikologi dan usia.18

Dalam kematian orang yang dikasihi mengakibatkan

kedukaan. Ini titik krisis manusia yang berat. Individu/keluarga yang berduka

tidak bisa menghindar dari krisis ini, sebab kematian adalah universal19

. Kapan

saja, di mana saja dan dalam bentuk apapun kematian bisa datang. Gejala-

gejala kedukaan normal bagi orang yang berduka, jika krisis ini dilalui dengan

baik. Dengan cara yang bagaimana, seseorang menghadapi krisis hidupnya

hingga mengalami pertumbuhan dan peningkatan dalam hidup?

Tunjuitam menawarkan cara untuk membantu individu/keluarga yang

berduka. Dalam kepedulian bersama menjadi penyembuhan bagi krisis hidup

itu. Jika kerena kematian orang yang dikasihi individu/keluarga mengalami

kedukaan, untuk apa lagi kesedihan, tekanan batin ditambah dengan konflik

internal yang tidak terselesaikan. Kedukaan bertumpuk akan teralami.

Tunjuitam memiliki kesempatan mengalami kesembuhan dan pemulihan dari

tekanan batin, sehingga bagi individu/keluarga yang berduka memiliki cara

pandang yang baru terhadap krisis hidup dan konflik yang terjadi bukan lagi

sebagai hal yang memisahkan tetapi harus dipandang sebagai adanya gangguan

pada relasi yang harus segera dikelola secara bersama. Dalam relasi seperti ini,

tiap anggota keluarga menjadi pendamping dan yang didampingi. Peran

pendamping dan yang didampingi dimiliki oleh anggota keluarga besar dan

jemaat untuk proses penyembuhan. Tanpa melupakan peran dari orang yang

berduka.

3. Memperbaiki

Pengucapan syukur keluarga, bukan hanya soal bersyukur kepada

Tuhan, Pencipta atas hidup yang dianugerahkan bagi almarhum dan berkenan

menggambil kembali hidupnya dari dunia. Tunjuitam mempembaiki relasi

18

William M.Clemets, Care And Caunseling Of The Aging (Philadelpia : Fortress

Press,1979),29 19

Emmanuel Chrysanctus Nyong, Post-Bereavement Grief And Depression Following The

Death Of A Family Member Among Ibibio People Of Nigeria, (PhD,Diss.,Indiana State University

Terre Haute,2016),1-2.

Page 23: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

108

vertikal dan horisontal dari kehidupan spiritual individu/kaum

keluarga/kerabat dalam hal hubungan sosial maupun keterlibatan bersama

dalam persekutuan yang berdoa dan bernyanyi. Ketika Tunjuitam dilakukan di

gereja pada hari Minggu, secara tidak langsung melibatkan kaum keluarga

yang tidak pernah/ jarang beribadah, pelayan dan umat sebagai bagian dari

persekutun jemaat. Terlihat bahwa pelayan dan umat memberikan topangan

dan dukungan secara bersama lewat sebuah akta (doa) atau saling mendoakan

kepada Tuhan untuk kehidupan individu/kaum keluarga yang berduka. Fungsi

mendukung ala Clinbell20

, dinyatakan melalui kehadiran dan sapaan yang

terbuka. Di Tunjuitam fungsi mendukung terlihat ketika jemaat menopang

hidup orang yang berduka dalam persekutuan yang berdoa secara bersama. Hal

ini nyata dan dirasakan oleh orang yang berduka, lewat nyanyian, doa, jabatan

tangan dan khotbah dari pelayan. Dukungan bersama dari orang banyak

menjadikan individu/kaum keluarga bersemangat menjalani hidup ke depan

tanpa orang yang mereka kasihi, melalui pekerjaan, pendidikan dan hubungan

sosial lainnya.

Tunjuitam telah memainkan perannya dalam pastoral, yang

mencangkup dua pendekatan yakni pendampingan dan konseling pastoral. Hal

ini terlupakan karena kita hanya menangkap kulit luar dari sebuah warisan

budaya leluhur, yang sering dipakai sebagai sebuah seremonial budaya

sehingga budaya tidak dipandang sebagai bentuk dari kecerdasan leluhur dalam

mengelolah kedukaan secara kreatif dan efektif. Akibatnya adalah tradisi/

budaya sering dilaksanakan tanpa menangkap nilai dan makna yang hakiki.

Sebelumnya, telah dikatakan bahwa Tunjuitam memiliki seperangkat nilai yang

bisa dipakai oleh seorang pendamping untuk mendampingi yang didampingi

(klien) dan Tunjuitam juga bisa digunakan oleh sang penduka untuk

mengelolah kedukaannya dan membantunya mengatasi persoalan hidup.

Pemahaman yang ada selama ini dikalangan masyarakat kita, bahwa semua

tradisi yang terkait dengan soal kematian entah dilakukan sebelum atau

sesudah jenazah dimakamkan seolah-olah hanya ditujukan untuk menghormati

20

Clinebel, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,54

Page 24: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

109

orang mati, orang yang hidup terabaikan. Ini perlu diperbaharui. Sebab, tradisi

tidak semata-mata ditujukan untuk orang mati, melaikan juga untuk keluarga

yang masih hidup. Dalam pengertian bahwa tradisi tersebut dilaksanakan

sebagai sarana bagi individu/keluarga yang berduka untuk melewati dan

mengatasi kedukaan mereka. Ibadah/spiritual dapat memberi hiburan yang

menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan.

Praktek Tunjuitam di GATIK menunjukkan ada sarana pelaksanaan

pastoral konseling bagi individu/keluarga yang berduka akibat kematian orang

yang dikasihi. Kapan proses pendampingan dan proses konseling pastoral itu

berjalan dalam Tunjuitam di GATIK? Sejak berita kematian didengar oleh

keluarga atau komunitas jemaat dan rumah duka dipenuhi dengan

keluarga/tetangga bahkan anggota jemaat. Proses pendampingan kepada orang

yang berduka telah terjadi. Pendampingan ini, berjalan tanpa melihat waktu-

waktu tertentu (long time) sebab pendampingan pastoral sangat membutuhkan

proses. Dengan kehadiran dan keterlibatan dari kaum keluarga serta jemaat

dalam kedukaan seseorang, maka proses pendampingan terjadi lewat dukungan

moril. Ini membantu individu/keluarga yang berduka untuk dengan cepat

mengakhiri masa kedukaan. Sedangkan, konseling pastoral terjadi, jika ada

masalah yang dialami baik individu maupun antar keluarga, seperti yang

terlihat dari data, yaitu konflik antar adik kaka, orang tua anak, saudara

bersaudara dalam klan/marga. Penyelesain terhadap masalah ini, harus segera

dilakukan supaya tidak menyebabkan tekanan batin yang bertumpuk kepada

individu/keluarga yang berduka maupun kepada kaum keluarga yang lainnya

sehingga menyebabkan hilangnya relasi dan hubungan yang saling

mendukung.

Secara religius, kematian membawa manusia berhubungan dengan

pengalaman dan keyakinan serta praktek ritual yang bukan saja mengiring

kematian orang yang dikasih tetapi praktek ritual (doa) kepada keluarga yang

berduka. Relasi bukan hanya terbangun dengan sesama tetapi juga dengan

Tuhan sehingga hubungan baik tetap terjaga dan lewat banyak orang yang

Page 25: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

110

menopang dengan doa, keluarga yang berduka mampu bertahan dalam masa

krisis mereka.

Fungsi spiritual dalam Tunjuitam ini bukan hanya milik para pelayan

yang memiliki otoritas dalam pekerjaan melayani. Tunjuitam dipraktekkan

dalam bingkai spiritual sebagai bentuk “syukur” kepada Allah pencipta dan

menjadi penguat untuk keluarga yang berduka agar sabar dan tabah menerima

kedaulatan Allah pencipta. Satu hal yang tetap berlaku dalam pelaksanaan

Tunjuitam mulai dari leluhur/orang totua adalah natzar/uang sumbayang yang

diletakan di meja sumbayang. Natzar/uang sumbayang yang diletakan di meja

sumbayang, memiliki simbol kehadiran Tuhan. Ketika kaum keluarga/tetangga

/pelayan membawa natzar bukti dukungan mereka lewat doa untuk keluarga

yang berduka. Oleh sebab itu Tunjuitam dalam komunitas kristiani di GATIK

membuktikan bahwa saling mendoakan adalah wujud persekutuan yang terus

berlangsung dari satu generasi ke generasi yang lain.

Gerkin21

dalam bukunya “konseling Pastoral dalam Transisi”

menyebutkan bahwa penyembuhan batin, harus secara fundamental

dilaksanakan dengan bahan mentah pengalaman religius (the raw stuff of

religious experiences), artinya bagaimana fungsi-fungsi pengalaman religius

orang GATIK terhadap masalah-masalah kehidupan mereka, bagaimana

mereka berpandangan tentang realitas tertinggi yang mereka yakini. Bila

konsep ini dipakai untuk menganalisa pengalaman religius orang-orang di

GATIK, antara lain, peristiwa tsunami/ aer turun naik tahun 1950 yang

meluluh lantahkan dua desa ini, pengalaman konflik kemanusiaan lewat aksi

tembak menembak, tebakarnya tepat tinggal, gereja, sekolah di tanggal 24 Juni

2000, menjadikan mereka lebih percaya akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup

mereka. Terlebih lagi, pengalaman-pengalaman ini adalah salah satu cara

Tuhan agar umat bisa dekat pada-Nya. Oleh karena itu, kenyataan ini harus

disambut dengan rasa syukur, sebab Tuhan mengantikan apa yang pernah

diambil/dirampas dari kami, lebih dari yang kami harapakan.

21

Charles Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi (Yogyakarta: Kanisius, 1992),18

Page 26: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

111

4. Mengutuhkan

Kepedulian kepada sesama memberi ruang “kumpul keluarga”. Ide

atau gagasan leluhur/orang totua waktu itu hanya sekedar datang menemani,

membantu meringgankan kesusahan individu/kaum keluarga yang berduka

dengan cara mereka. Tanpa disadari bahwa budaya ini memiliki nilai luhur

bagi anak/cucu dan komunitas berjemaat. Pelaksanaan Tunjuitam dalam

budaya orang GATIK di Maluku menunjukan suatu hubungan kekeluargaan

yang tidak terputus. Hal ini dapat dilihat dari dua bentuk. Pertama, ketika berita

tentang kematian seseorang terdengar, maka kaum keluarga berdasarkan

keturunan (genealogis) yang berdominsili di manapun akan datang. Kaum

keluarga akan kembali ke tempat mereka semula dan beraktifitas setelah selesai

pelaksanaan Tunjuitam. Kehadiran kaum keluarga ini bukan hanya secara fisik,

tetapi secara intelektual dan emosi yang menunjukkan kepeduliaan. Pada titik

ini, budaya menjadi kontrol dan memiliki otoritas untuk memaksa orang

melakukan sesuatu bagi dirinya dan bagi sesama. Kesediaan keluarga yang

berduka untuk melakukan Tunjuitam bukan hanya untuk mengutuhkan

keluarga/kaum kerabat terdekat sebagaimana tradisi yang diwariskan

leluhur/orang totua tetapi mau meminta dukungan moril lewat kehadiran dan

kebersamaan. Dalam konteks kematian seseorang adalah sesuatu yang tidak

pernah diharapkan/rencanakan dan keluarga yang berduka akan merasa senang

jika dalam masa-masa sulit ada keluarga dan sesama yang datang menemani

dan menghibur mereka. Kehadiran kaum keluarga dan kerabat adalah bukti

solidaritas manusia. Ruang mengutuhkan menjadi luas, bukan hanya kaum

keluarga secara biologis tetapi komunitas jemaat di gereja sebab, dalam

pelaksaan Tunjuitam yakni di hari minggu, bukan hanya terlihat kaum keluarga

saja, tetapi nilai mengutuhkan sudah merangkum pelayan gereja,

tetangga,kaum kerabat dan komunitas jemaat sebagai persekutuan orang-orang

percaya.

Ketika sampai pada tahap mengutuhkan, maka tiap individu/keluarga

bahkan komunitas jemaat siap untuk mengembangkan diri dan berarti bagi

dirinya, orang lain. Hubungannya dengan Tuhan lewat akta (doa) syukur

Page 27: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

112

merupakan wujud dari relasi dengan manusia. Konsep kumpul keluarga yang

bersyukur terlahir karena mengutuhkan individu/keluarga jemaat dengan

Tuhan. Peran keluarga/jemaat sangat besar, sehingga Tunjuitam adalah

kesempatan bagi individu/keluarga dan jemaat di satukan dalam hidup yang

damai dan harmonis. Ini yang mau ditunjukan kepada generasi selanjutnya agar

konsep mengutuhkan ini bisa dipahami dengan baik.

Kedua, mengutuhkan kaum keluarga untuk Laeng kasih kanal laeng/

saling memperkenalkan diri, adalah nilai awal memulai suatu relasi dan

mengetahui silsilah keturunan seseorang. Tunjuitam menjadi agen perkenalan

diri seseorang kepada orang lain, generasi satu ke generasi yang lain sehingga

adanya sikap saling menghargai dan menghormati, tercipta relasi yang baik.

Perkenalan antar generasi ini, menjadikan orang tua sebagai soko guru dalam

soal pengalaman dan berelasi. Kondisi ini membawa peluang bagi anak/cucu

untuk mendapatkan kesempatan, menghindari konflik, menghindari

perkawinan antara orang basudara, tercipta keluarga yang rukun dan damai.

Konsep saling memperkenalkan diri ini, mungkin berlaku umum, tetapi dalam

pelaksanaan Tunjuitam bukan hanya sebatas memperkenalkan diri dengan

menyebut nama, asal usul orang tua atau menampilkan silsilah tetapi

“mendekat” yakni mendekatkan diri supaya mengenal identitas diri sendiri, dia

dan mereka dalam hubungan kekeluargaan. Seseorang hanya dapat melihat

(menangkap dan memahami dengan pancaindera) sesamanya secara fenomena

tetapi tidak bisa melihat seluruh realitas kalau tidak mendekat. Dengan

mendekat seseorang mengenal diri sendiri sebagai bagian dari kekeluargaan

dan mengenal mereka yang adalah bagian dari dirinya sendiri, memahami

kekurangan diri, keluarga dan komunitas jemaat. Tunjuitam ada dalam fungsi

ini supaya generasi penerus mengetahui silsilah tentang dirinya dan antara

anggota keluarga sehingga fungsi ini menolong mereka sebagai anggota

keluarga dan jemaat untuk melakukan apa yang menjadi tanggung jawab

bersama bagi keluarga yang berduka. Lebih lanjut, hubungan kekerabatan itu

semakin akrab dan harmonis. Fungsi memperkenalkan diri juga menjadi

Page 28: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

113

langkah bijak untuk menghindari perkawinan antar saudara sehingga tercipta

hidup kekeluargaan yang rukun dan damai.

Secara umum, dalam pengalaman kematian, ada tiga kelompok orang

yang hadir dalam suatu kematian, pertama, kelompok orang yang

berduka/keluarga; kelompok inilah yang paling merasakan kesedihan itu, sebab

selain ada hubungan darah juga mereka adalah orang-orang yang paling dekat

dengan almarhum (ada ikatan batin). Jadi, dengan kata lain merekalah

sesungguhnya orang yang sedang merasakan kedukaan; kedua kelompok para

pelayat, yang merupakan tamu-tamu yang hadir dalam kedukaan tersebut. Rasa

kedukaan mungkin tidak terlalu mendalam bagi orang-orang ini, sebab mereka

hanya sekedar teman biasa, tetangga, kenalan dan sebagainya. Tujuan

kehadiran mereka hanya merupakan suatu jalinan persahabatan, kenalan, tidak

ada ikatan batin. Namun, jikalau mereka rela meninggalkan segala tugas-tugas,

itu berarti kehadiran mereka cukup serius, dan ketiga adalah pelayan. Para

pelayan merupakan orang-orang yang bertugas memimpin acara doa, yang

sengaja diundang oleh keluarga duka untuk membantu mereka melakukan

ritual kematian (doa). Jadi, apa saja yang mereka kehendaki dalam ritual

tersebut biasanya akan dituruti oleh keluarga duka.

Ruang sosial mengisi dinamika pelayanan pastoral dalam krisis

kedukaan, sebab sosial bermakna dalam sebuah pastisipasi manusia di lingkup

keluarga, komunitas bergereja maupun masyarakat. Setiap tanggung jawab

sosial mesti berlangsung dalam kesadaran bahwa baik orang yang berduka,

kaum kerabat/pelayat/pelayan dan jemaat adalah sama-sama saling

membutuhkan. Kesadaran ini harus mewarnai seluruh partisipasi dan relasi

antar keluarga dan warga jemaat yang menindas kemanusia, misalnya

memandang dari strata keluarga apa orang yang meninggal dan keluarga yang

berduka.

Tunjuitam secara langsung mempraktekkan sebuah penghargaan

kepada manusia lewat hubungan genealogis. Komunitas GATIK

menggambilnya sebagai milik bersama sehingga mereka memahami bahwa

orang yang mengalami kedukaan, ingin untuk dikunjungi, ditemani, dihibur

Page 29: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

114

dan dikuatkan oleh kaum keluarga/kerabat/ dan tetangganya dan ditopang

secara bersama untuk kuat, sabar menjalani krisis hidup. Kesadaran dan

kehadiran bersama dengan individu/keluarga yang berduka menjadi perekat

sosial di jemaat GATIK.

Berdasarkan paparan tentang pemaknaan Tunjuitam dapat

disimpulkan bahwa nilai, Tunjuitam memiliki empat nilai spiritual, yaitu :

mendamaikan, menyembuhkan, memperbaiki dan mengutuhkan. Secara

keseluruhan nilai-nilai spiritual dalam Tunjuitam ini berperspektif pastoral

untuk individu/keluarga yang berduka, kaum keluarga bahkan jemaat GPM

GATIK. Melalui Tunjuitam, individu/keluarga yang berduka diposisikan pada

tiitk sentral pendampingan yang harus dilakukan seumur hidup guna

mengutuhkan hidup mereka secara fisik, mental, spiritualitas dan sosial.

Keempat fungsi ini, memberikan suatu nilai yang baru dari pastoral Barat

yang selama ini diterapkan. William A. Clebsch dan Charles R.Jaekle dalam

buku “Pastoral Care in Historical Perspektive” mengatakan fungsi

pendampingan dan konseling pastoral secara tradisonal ada empat22

yaitu,

menyembuhkan (healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding),

rekonsiliasi (reconciling). Howard Clinebell dalam buku “Basic Types of

Pastoral Care & Counseling” mengatakan fungsi pendampingan dan

konseling pastoral secara tradisonal ada empat,23

menambahkan fungsi yang

kelima, yaitu memelihara (nurturing),24

dan Arrt Van Beek25

menambahkan

fungsi yang keenam, yaitu mengutuhkan.26

Tunjuitam, memberikan tiga nilai

pastoral yang berbeda dari empat nilai yang ada, yakni : mendamaikan,

memperbaiki dan menyatuhkan.

C. Kumpul Keluarga Dalam Tradisi Tunjuitam Sebagai Solidaritas Sosial

22

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive

(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36. 23

Howard Jhon Clinebell, Basic Types Of Pastoral Care and Caunseling-Resources For The

Ministry of Healing & Growth (Nashville: Abidong Press, 1966),42-43.

24

Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 89-172.

25Van Bekk, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015), 13-15.

26

Van Beek, Potret Diri Seorang Konselor (Salatiga: UKSW Press, 1997),13-17.

Page 30: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

115

Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial, dimana mereka

tidak bisa hidup sendiri dalam kesehariannya. Manusia saling ketergantungan

satu dengan lainnya dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kematian yang

menimbulkan reaksi kedukaan. Setiap peristiwa kematian yang terjadi dalam

suatu lingkungan baik itu jemaat atau masyarakat, di desa atau di kota, turut

menyita perhatian semua warganya tanpa kecuali. Relasi sosial ini bersifat

intim, pribadi dan relatif dalam lingkungan yang terbatas, akhirnya

menimbulkan kolektifitas dan solidaritas yang tumbuh semakin kuat.

Dalam pelaksanaan Tunjuitam seluruh kaum keluarga/kerabat/

tetangga almarhum diberitahukan. Pemberitahuan ini, hanya bersifat lisan. Ini

adalah kebiasaan orang Maluku yang mempunyai kekuatan mengikat yang

lebih besar/terhormat dari pada cara yang lain. Ada penghargaan kepada kaum

keluarga/ kerabata/tetangga serta memiliki sentuhan emosional yang

mengharapkan keterlibatan seluruh keluarga guna mempererat hubungan

kekeluargaan. Nilai sosial budaya yang terungkap dari kebiasaan mengundang

lisan ini dapat dieksplorasi, walaupun zaman sudah modern tetapi tradisi

mengundang secara lisan masih dianut dan dilaksanakan hingga saat ini.

Memang untuk hal kematian, sebenarnya tidak perlu diundang tetapi dengan

mengundang maka hubungan kekerabatan dan kekeluargaan tetap terjalin

dengan baik.

Tunjuitam sebagai ruang mengutuhakn. Tunjuitam dilaksanakan

dengan melibatkan keluarga yang secara geografis berjauhan dan dekat.

Keluarga-keluarga ini, harus diundang/ diberitahukan dulu baru hadir.

Walaupun mereka telah mendengar bahwa ada keluarga yang meninggal tetapi

jika tidak diundang, mereka tidak akan hadir. Alasannya bahwa jika mereka

tidak diundang maka mereka tidak dianggap sebagai keluarga, sehingga

mereka tidak perlu hadir dan hal yang sama akan diperlakukan juga bagi yang

berduka, ketika mereka (yang tidak diundang) mengalami kedukaan maupun

acara-acara lain (seperti: pernikahan, baptisan, peneguhan sidi), mereka tidak

akan menggundang juga. Peristiwa saling tidak mengundang ini akan

berlangsung lama apabila dari keluarga yang berseteru tidak segera

Page 31: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

116

mendamaikan. Dengan demikian, saling mengundang di Tunjuitam dirasakan

sebagai ikatan kekeluargaan yang memiliki nilai solidaritas/ caring community,

walaupun tidak terkait hubungan darah.

Sekalipun Tunjuitam hanya dilakukan dalam peristiwa kedukaan,

tetapi Tunjuitam dipahami sebagai upaya mempererat solidaritas persaudaraan/

kekeluargaan/kekerabatan. Sebab, Tunjuitam memberi ruang untuk sebuah

perjumpaan, entah perjumpaan antara pelayan dengan umatnya, perjumpaan

antara keluarga dekat, perjumpaan satu generasi dengan generasi yang lain,

perjumpaan antar tetangga/kerabat bahkan perjumpaan antar satu komunitas

jemaat di gereja. Kehadiran keluarga/tetangga/kaum kerabat bahkan komunitas

jemaat pada saat kematian seseorang merupakan media interaksi antara

anggota keluarga satu dengan lainnya bahkan antar sanak saudara, tetangga,

kerabat dan jemaat yang mungkin jarang bertemu karena kesibukan tetapi

dengan peristiwa kematian ini, mereka saling bertemu satu dengan lainnya,

sehingga Tunjuitam di GATIK bukan hanya dipahami dalam konsep kumpul

keluarga secara genealogis, tetapi dalam jemaat ini, ide persaudaraan diperluas

meliputi orang lain yang dapat hidup bersama seakan-akan saudara sekandung.

Di GATIK Tunjuitam terkenal sebagai budaya sebagai salah satu cara

jemaat GATIK menghayati kehidupan kolektifitas atau kehidupan bersama

serta mengutuhkan kekerabatan dengan keluarga dan jemaat. Kesadaran

kolektif bersama ini yang dikatakan Durkheim sebagai solidaritas mekanik atas

dasar totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata terdapat pada

jemaat tersebut. Karena, kesadaran untuk bersyukur maka jemaat ini diikat oleh

kesadaran kolektif dan kesadaran ini yang mempersatukan jemaat.27

Hal lain yang dapat dilihat pada saat terjadi kematian, maka keluarga,

kerabat, pelayan dan jemaat berkumpul bersama. Itu berarti bahwa keluarga

dihargai sebagai suatu sistem sosial terkecil yang berdampak besar dalam

menciptakan solidaritas sosial. Keluarga adalah pusat yang strategi untuk

27Doyle Paul Johnson, Teori Sosioligi Klasik Dan Modern Jilid I (Jakarta:PT Gramedia,

1986),181.

Page 32: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

117

mengerti dan memahami akan fungsi fisikal, emosional, hubungan sosial dan

religius dari anggota keluarga secara mendalam. Artinya, melalui keluarga

dapat diketahui adanya gangguan emosional memakai kekuatan jiwa yang juga

berhubungan dengan kesehatan dann penyakit serta aspek perkembangan

habungan manusiawi. Menurut William J.Goode,28

jika sebuah keluarga

mengalami masalah, maka akan terjadi kekacauan dalam keluarga tersebut. Itu

artinya, akan pecahnya suatu unit organisasi, yakni keluarga itu sendiri.

Terputusnya atau retak struktur sosial, hubungan sosial, peranan dan fungsi

sosial. Sama, jika satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan

kewajiban peran mereka secara baik dan benar maka “energi” dalam keluarga

tidak terlihat tetapi ketimpangan fungsi akan nampak.

Masalah-masalah yang timbul di dalam keluarga merupakan hasil dari

adaptasi suatu sistem pada konteks dan waktu tertentu. Di mana, ada usaha

anggota keluarga dari suatu sistem untuk melakukan adaptasi agar terpancar ke

seluruh sistem yang ada, yaitu dari “biologis” sampai “intrapsychic” sampai

kepada “interpersonal.” Keluarga sebagai dasar yang paling kecil dalam

masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan dalam transformasi kehidupan

manusia, karenanya fungsi keluarga dalam hidup bersama di

jemaat/masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, keluarga

tidak hanya berfungsi untuk anggota dalam keluarga itu saja tetapi bersamaan

dengan itu keluarga juga menggemban tanggung jawab sosial bagi

jemaat/masyarakat. Ini mengimplikasikan bahwa, praktek-praktek hidup dalam

keluarga seperti Tunjuitam harus mampu membawa perubahan yang positif

bagi jemaat sekitar.

Jika keluarga menjadi basis penanaman nilai-nilai etis, maka Gereja

dan keluarga memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Pada satu sisi,

kwalitas gereja ditentukan oleh keluarga yang mengharapkan memiliki

keluarga yang ideal. Konsep indeal ini menggambarkan keluarga yang

memiliki nilai-nilai etis spiritual yang tinggi. Keluarga yang menjunjung dan

28

William J.Goode, Sosiologi Keluarga (Jakarta: PT. Bina Aksara,1983),184

Page 33: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

118

mempertahankan nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, perdamaian, cinta

kasih dan solidaritas. Hal ini akan menjadi indikator dari kwalitas gereja.

Namun, pada sisi yang lain, gereja tidak boleh melepaskan kontrol terhadap

keluarga. Gereja tidak boleh membiarkan keluarga bertumbuh secara sendiri,

melainkan memiliki tanggung jawab bersama dengan keluarga dalam

pertumbuhan mereka. Ini disebabkan oleh perkembangan manusia searah

perkembangan zaman yang terjadi begitu cepat, sehingga keterlibatan gereja

paling tidak dapat mengontrol aktifitas dari keluarga.

Bagi orang yang tidak memahami tradisi Tunjuitam dengan baik, akan

bertanya kenapa harus ada kumpul keluarga di saat peristiwa kematian dan

kedukaan? Apakah tidak ada moment yang lain untuk kumpul keluarga, seperti

acara-acara syukur/slametan, persiapan peminangan yang lazimnya melibatkan

keluarga atau kegiatan yang bernuansa pesta keluarga? Atas pertanyaan ini,

maka kita akan kembali kepada eksistensi manusia, bahwa manusia siapapun

dia, baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan, dari strata dan pendidikan

manapun akan menggalami kematian. Kematian universal. Kesadaran ini

membimbing manusia untuk hidup bermakna bagi orang lain. Dalam

kehidupan yang bermakna seseorang akan merasa kalau dirinya dibutuhkan

dan membutuhkan orang lain sehingga keberadaannya berharga. Di titik inilah,

manusia diuji. Kesetiaan, keakraban, kepedulian, keprihatinan, rasa tolong

menolong, menghormati, menopang dan menguatkan akan dinilai saat krisis

situasional (akibat kematian) yang sedang dialami oleh keluarga terdekat

almarhum (orang tua/suami/istri/anak/ saudara).

Pasca kematian, lingkungan keluarga dan bantuan orang-orang sekitar

entah tetangga atau komunitas jemaat sangat membantu memulihkan luka batin

akibat krisis situasional. Ini yang dibutuhkan oleh orang berduka untuk

menjalani proses kedukaan yang normal. Orang tua yang kehilangan anak akan

mengalami kehilangan yang mendalam karena merasakan anak yang

menghibur mereka, yang diharapkan nanti menemani mereka di hari ketuaan,

tidak ada. Anak yang kehilangan orang tua berarti ia kehilangan dukungan,

pemeliharaan dan kontiunitas orang tua untuk mendidik dan mengasuhnya. Istri

Page 34: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

119

kehilangan suami berarti ia kehilangan pegangan hidup, tulang punggung

keluarga, mitra seks, sebaliknya suami kehilangan istri, ia merasakan tidak ada

penopang, teman curhat, mitra seks, mitra bekerja dan seseorang kehilangan

saudara berarti ia kehilangan teman berbagai, curhat dan pengalaman bersama.

Kedukaan terbesar adalah akibat kehilangan orang yang dekat/ berharga.

Dalam proses kedukaan ini, kualitas hidup apa yang perlu kita tunjukan untuk

menyatakan kepeduliaan bersama kita bagi orang yang berduka? Orang yang

mengalami kedukaan, ingin untuk dikunjungi, ditemani, dihibur dan dikuatkan,

sehingga kualitas kehadiran keluarga/ tetangaan/ jemaat menunjukan bahwa

banyak yang memberi dukungan dan ingin berbagai beban dengan orang yang

berduka, walau orang yang berduka sendiri tidak memaksakan hal itu.

Dukungan, pemahaman dan kehangatan dari lingkungan sekitar orang yang

berduka merupakan kunci dari sebuah adaptasi baru dan cara mengatasi

kesedihan yang dialami oleh individu/keluarga yang berduka. Memang,

dukungan sosial itu tidak semata-mata dilihat dari sisi jumlah atau frekuensinya

(kuantitas), melainkan mutu (kualitas). Jumlah dukungan sosial yang banyak,

namun tidak mendalam mungkin kurang memiliki arti bagi yang mengalami

krisis kehilangan dan kedukaan, sebaliknya dukungan sosial dengan jumlah

yang sedikit, tetapi jika dilakukan dengan tulus, maka akan sangat berarti bagi

orang yang sedang mengalami kedukaan.

Tunjuitam sebagai bentuk ungkapan terima kasih. Dari

pelaksanaan Tunjuitam mengungkapkan bahwa setiap orang harus memiliki

rasa terima kasih kepada orang yang sudah membantu dan menolong. Ucapan

terima kasih dalam konsep orang di GATIK adalah sebagai cara “balas budi”

terhadap kebaikan, kerelaan keluarga/kerabat/ jemaat yang telah membantu

keluarga dalam kedukaan. Ucapan terima kasih terlihat dalam jamuan makan

bersama yang disediakan oleh keluarga yang berduka kepada

keluarga/tetangga/ kerabat dan pelayanan. Dengan menerima makanan dari

keluarga yang berduka, maka semua anggota keluarga telah disatukan dalam

hubungan yang baru. Konflik telah diselesaikan dan kehidupan bersama

dimulai denga pola yang baru, yang mempererat hubungan kekeluarga. Pola ini

Page 35: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

120

suatu pemulihan atas komunikasi, kepeduliaan, saling menopang, membimbing

dan menasihati yang dibangun oleh semua keluarga.

Kemajuan di zaman modern mendorong setiap orang untuk hidup

sukses dan berhasil. Keinginan ini menjadikan setiap orang berlomba-lomba

untuk meraih sukses sebagai ukuran keberhasilan. Salah satu akibatnya adalah

orang malas untuk melakukan “kumpul keluarga” dengan alasan banyak kerja,

tidak memiliki waktu yang cukup akibat kesibukan dan kelelahan beraktifitas.

Sadar atau tidak sadar, keutuhan keluarga dalam cakupan keluarga besar

(ayah/ibu) sedang mengalami krisis. Demi keinginan dan kepuasan hidup,

manusia memfokuskan tujuan hidupnya pada kesuksesan yang harus dicapai

sehingga nilai kebersamaan dan kemanusiaan dikorban. Bentuk kehadiran

manusia, mulai diukur dengan materi, makanan sehingga membuat keluarga

yang berduka enggan untuk melibatkan keluarga secara utuh (ayah/ibu) dan

sebaliknya, bahkan menjadi persoalan. Waktu pelaksanaan diperdebatkan dan

akhirnya kerenggangan kekeluargaan tercipta dan orang yang mengalami

kedukaan, akhirnya menjalani hidupnya dalam kesendirian. Hal ini akan

menyebabkan individu/orang yang berduka hilang semangat hidup, sedih,

gelisah dan lain sebagainya.

Paparan penjelasan di atas menimbulkan pertanyaannya, untuk siapa

Tunjuitam ini dilakukan? Pemahaman orang GATIK bahwa Tunjuitam

dilakukan untuk menjalankan tradisi leluhur, kumpul keluarga dan bersyukur

secara bersama. Ini formalitas yang umumnya dilakukan. Tetapi jika di diteliti

dari ungkapan-ungkapan orang di GATIK, maka makna sebenarnya dan lebih

besar Tunjuitam tidak terletak pada penghormatan kepada orang yang sudah

meninggal dan bersyukur untuk kehidupan yang telah dijalani sepanjang di

dunia, namun pada keluarga/jemaat yang masih hidup.

Berdasarkan potensi pendidikan jemaat GATIK yang baik, maka

persoalan material dan soal makan minum saat pelaksanaan Tunjuitam bisa

diantisipasi dengan baik. Bukan soal mau makan apa saat Tunjuitam itu

dilakukan atau soal harga diri keluarga tetapi dalam hidup bersama, baik di

keluarga besar/kerabat bahkan jemaat harus ditemukan relasi yang saling

Page 36: BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA DAN … · 2017. 12. 18. · 86 BAB IV TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA . DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

121

mendukung, menopang dan menguatkan untuk menghidupkan dan menjaga

keutuhan bersama. Sebab, dengan relasi yang baik, perhatian dan dukungan

yang diberikan kepada individu/orang yang berduka akan membantu menerima

keadaan tersulit dalam hidupnya.

Oleh karena itu, pelaksanaan Tunjuitam bagi orang di GATIK yang

merupakan pewarisan nilai-nilai luhur dari orang totua/leluhur adalah baik,

maka perlu untuk diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain dengan

cara menunjukkan nilai dan makna sesungguhnya dari Tunjuitam. Tunjuitam

bukan hanya sebuah tradisi yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan

penghargaan kepada leluhur serta semata-mata sebagai syukur keluarga atas

kehidupan yang sudah dijalani oleh almarhum, tetapi bertujuan menyatukan

kaum keluarga dari letak geografis, jauh dan dekat, menyatukan antar generasi

dalam hubungan genealogis dan sebagai perekat sosial atas status, jabatan

sosial di jemaat.