bab iv situasi kebahasaan guyub tutur masyarakat … iv v vi... · jika dalam situasi resmi, ......
TRANSCRIPT
1
BAB IV
SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI
DI PARIGI, SULAWESI TENGAH
Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, selain mengenal bahasa Bali juga
mengenal bahasa Indonesia, Jawa, Bugis, dan Kaili. Bahasa tersebut digunakan
sesuai dengan konteks sosial.
Bahasa Bali yang digunakan oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
masih mengenal tingkatan-tingkatan bahasa yang disebut dengan istilah sor-
singgih basa. Namun, penggunaannya tidak seketat di Bali. Pengunaan sor-singih
basa di Bali disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Artinya, komponen-
komponen tutur, seperti yang dikemukakan J.A. Fishman masih berlaku sebagai
berikut: who speaks „siapa bicara‟; what language „bahasa apa‟; to whom „kepada
siapa‟; dan when „kapan‟.
Istilah-istilah sosiolinguistik yang dikemukakan oleh J.A. Fishman dapat
direalisasikan sebagai berikut: who speaks maksudnya siapa yang berbicara,
apakah secara adat/tradisional tergolong kasta Brahmana atau Sudra; what
language, maksudnya bahasa apa yang dipergunakan jika berinteraksi verbal
dengan mitra wicara, apakah BBH atau BBL; to whom, maksudnya kepada siapa
bahasa itu ditujukan, apakah orang dari kalangan pejabat atau petani; dan when,
maksudnya kapan bahasa itu digunakan, apakah dalam situasi resmi atau takresmi.
Jika dalam situasi resmi, BB yang digunakan adalah BBH. Jika dalam situasi
takresmi, BB yang digunakan adalah BBL.
Bagi guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, penggunaan sor-singgih basa
tersebut agak longgar; artinya, tidak seketat pemakaian sor-singgih basa di Bali.
2
Bahkan, pada saat penelitian berlangsung ditemukan seorang informan
menggunakan BBL ketika berinteraksi verbal dengan mitra wicara yang berasal
dari kasta lebih tinggi. Tanpa diduga-duga informan tersebut berujar, “Yen
ngomong dini da ba menika-meniki. Anake dini nak sing bisa basa halus” (Kalau
berbicara di sini tidak usah berbahasa halus. Orang di sini tidak bisa berbahasa
halus). Menghadapi peristiwa tutur yang demikian, peneliti terkejut. Apalagi
informan tersebut berusia sekitar 60 tahun dan lebih tua dari mitra wicaranya.
Padahal, mitra wicara tersebut menggunakan BBH untuk menghormati orang
yang lebih tua. Peristiwa tutur yang demikian sangat jarang ditemukan pada etnis
Bali di daerah asal.
Seperti diketahui, penggunaan variasi bahasa Bali, baik bahasa Bali halus
maupun lumrah, disesuaikan dengan konteks sosial. Konteks sosial yang
dimaksud dapat berupa usia, pekerjaan, status, sistem kasta, topik pembicaraan,
dan lain-lain. Penggunaan variasi bahasa tersebut berkaitan dengan istilah
bilingualisme.
4.1 Hubungan antara Variasi Bahasa dan Bilingualisme
Agar menjadi lebih jelas, perlu juga diketahui hubungan antara variasi
bahasa dan bilingualisme. Istilah bilingualisme (Inggris : bilingualism) dalam
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Berdasarkan istilahnya secara
harfiah, yang dimaksud bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Dari segi sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai
3
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang
lain secara bergantian (Mackey,1960:12; Fishman,1975:73).
Bloomfield dalam bukunya yang berjudul Language (1933:56)
menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Artinya, seseorang disebut
bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama
baiknya. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme banyak dipertanyakan orang
sebab (1) bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seseorang terhadap
dua buah bahasa yang digunakannya, (2) mungkinkah ada seorang penutur yang
dapat menggunakan B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, konsep
Bloomfield tentang bilingualisme ini pun banyak dimodifikasi orang. Robert Lado
(1964:214) menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan
bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya. Apa yang
dimaksudkan oleh Lado adalah penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu
sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961), “Tahu akan dua
bahasa atau lebih berarti bilingual.” Selanjutnya, Haugen menambahkan bahwa
seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi
cukup kalau bisa memahaminya saja.
4.2 Masyarakat Bali dalam Situasi Kedwibahasaan atau Keanekabahasaan
Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai
masyarakat dwibahasawan atau multibahasawan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
masyarakat Bali di Parigi, selain mengenal BB sebagai bahasa ibu, juga mengenal
4
BI sebagai bahasa kedua. Bahkan, selain mengenal BB dan BI, warga Bali di
Parigi juga mengenal bahasa Kaili dan bahasa Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari
seorang informan yang kebetulan menjabat sebagai kepala desa di Desa Mertasari,
yaitu I Made Karyanto. Berdasarkan pengamatannya, warga Bali di Desa
Mertasari, Kecamatan Parigi di samping menguasai BB juga menguasai BK dan
BJ. Menurut I Made Karyanto, “Warga Bali di sini jika bertemu dengan warga
Bali akan menggunakan bahasa Bali; jika bertemu dengan warga Kaili akan
menggunakan bahasa Kaili; dan jika bertemu dengan warga Jawa akan
menggunakan bahasa Jawa”. Terbukti dalam penelitian ini ditemukan tuturan
berbahasa Kaili pada data 16 dan 29, berbahasa Bugis pada data 11, dan berbahasa
Jawa pada data 12.
Hal tersebut diperkuat juga oleh seorang informan di Kantor Limas
Parimo. Menurut informan tersebut, “Kebanyakan warga Bali yang lahir di sini
sudah bisa berbahasa Kaili, sedangkan penguasaan bahasa Bali kebanyakan
terbatas pada bahasa Bali lumrah, jarang warga Bali yang bisa menggunakan
bahasa Bali halus.”
Berdasarkan pembicaraan para informan tersebut, dapat dikatakan bahwa
warga Bali di Parigi termasuk masyarakat yang dwibahasawan atau
multibahasawan. Sehubungan dengan situasi kebahasaan yang demikian, pada
kesempatan ini tidak ada salahnya diuraikan secara singkat tentang fungsi BB dan
BI yang dipergunakan oleh warga Bali di ketiga desa yang ada di Kecamatan
Parigi dan Parigi Selatan.
5
4.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Bali
Merujuk pada pandangan Halim (1976:145), kedudukan bahasa daerah,
termasuk bahasa Bali, berfungsi (1) sebagai alat komunikasi intradaerah, (2)
sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, (3) sebagai lambang identitas
daerah, dan (4) sebagai lambang kebanggaan daerah.
Sebagai alat komunikasi intradaerah, BB masih tetap menjalankan
fungsinya, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun
keluarga. Namun, penggunaan BB pada ranah-ranah tersebut ada juga yang
dicampur dengan BI. Hal ini dapat dimaklumi sebab warga Bali di Parigi sudah
lama hidup berbaur dengan etnis-etnis non-Bali, seperti suku Kaili, Bugis, Jawa,
dan Manado.
Sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, BB belum menjalankan
fungsinya secara maksimal sebab bahasa daerah yang dipergunakan sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah adalah BK sebagai bahasa lokal. Penggunaan
BB biasanya disisipkan pada pelajaran agama di pura/pasraman oleh guru agama
Hindu.
Sebagai lambang identitas daerah, BB masih eksis menjalankan fungsinya.
Tidak jarang identitas seseorang dapat diketahui melalui bahasa yang digunakan.
Demikian juga penggunaan BB di Parigi. Dengan mendengar BB yang diujarkan
seseorang, akan diketahui bahwa orang bersangkutan adalah penutur Bali. Hal ini
sesuai dengan ungkapan yang sering didengar, “Bahasa menunjukkan bangsa.”
Artinya, dengan melihat/mendengar bahasanya akan diketahui identitas seseorang.
6
Sebagai lambang kebanggaan daerah, BB masih tetap menjalankan
fungsinya. Artinya, warga Bali di Parigi masih tetap menggunakan BB ketika
berbicara dengan sesama etnis. Dengan perkataan lain, warga Bali di Parigi
merasa bangga jika BB digunakan berbicara dengan sesama etnis Bali. Tentu rasa
bangga warga Bali akan keberadaan BB akan mendorong kebertahanan BB di luar
daerah asalnya.
4.4 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat
pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya
dan bahasanya, dan (4) alat penghubung antardaerah dan antarbudaya (Halim,
1976:145).
Sebagai lambang kebanggaan nasional, BI telah menjalankan fungsinya
dengan baik. Artinya, setiap warga Indonesia takterkecuali warga Bali di Parigi
merasa bangga memiliki BI sebagai bahasa nasional. Hal ini dapat dibuktikan
adanya penggunaan BI di kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, tata
usaha, dan sebagainya.
Sebagai lambang identitas nasional, BI juga telah menjalankan fungsinya
dengan baik. Dengan bahasa Indonesia itulah, warga Bali di Parigi menunjukkan
kebangsaannya dan membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Selain itu,
unsur-unsur BI juga memiliki sifat-sifat khas yang tidak terdapat pada bangsa lain.
7
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa BI merupakan identitas bangsa
Indonesia.
Sebagai alat pemersatu bangsa, BI telah membuktikan kehadirannya di
tengah-tengah masyarakat, khususnya guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Tidak sedikit penutur mengalihkan bahasanya dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia ketika komunikasi berlangsung. Hal itu tampak saat komunikasi terjadi
antara etnis Bali dan etnis Kaili ataupun antara etnis Bali dan etnis Bugis.
Sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, BI juga telah
dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Artinya, jika kebudayaan suatu daerah
ingin dikenal oleh suku bangsa lain, BI dapat digunakan sebagai sarana
komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, kebudayaan tiap-tiap daerah dapat
diperkenalkan. Dengan perkataan lain, peranan BI tidak boleh diabaikan dalam
menembus batas-batas kedaerahan. Apalagi dalam upaya memperkenalkan
kebudayaan suku bangsa satu kepada suku bangsa yang lain. Artinya, jika
kebudayaan Bali ingin dikenal oleh etnis Kaili atau etnis Bugis, BI dapat
digunakan sebagai sarana komunikasi.
8
BAB V
PILIHAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI,
SULAWESI TENGAH
5.1 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Dewasa)
Manusia sebagai makhluk individu dapat diartikan sebagai diri pribadi
atau perorangan. Sebagai diri pribadi manusia perlu bekerja untuk makan dan
untuk memenuhi kebutuhannya manusia perlu berinteraksi dengan manusia
lainnya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, kehidupan manusia dalam masyarakat pada hakikatnya
berperan dalam dua hal, yaitu manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu, manusia dituntut mampu bekerja sama, berinteraksi,
dan saling berlomba melakukan perubahan untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Dalam kenyataannya manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk
mencukupi kebutuhan. Dia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan perkataan
lain, setiap manusia cenderung untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan
bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dengan demikian, manusia selain berperan
sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial.
Untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya diperlukan sarana bahasa.
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
halnya guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Masyarakat Bali di Parigi sebagian besar memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Selebihnya ada juga yang bekerja sebagai pedagang, buruh,
peternak, pegawai negeri, nelayan, sopir, pengusaha, dan TNI/POLRI. Hal ini
diperkuat oleh seorang informan yang sempat memberikan data sebagai berikut.
9
Data 1
“Kalau tentang mata pencaharian masyarakat kita di Parigi niki (ini)
bervariasi. Jadi, ada yang petani sawah, petani kebun, nelayan, dan
dagang. Saya melihat dari keseharian, masyarakat kita yang ada di Parigi
ini, khusus untuk di pertanian itu yang lebih banyak mendominasi adalah
teman-teman Bali dan teman-teman Bugis. Kalau teman-teman Kaili itu
lebih banyak meniru ke teman-teman Bali dan Bugis tentang cara
bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertanian, kenten (begitu).
Dengan ketekunannya teman-teman Bali merasakan bagaimana susahnya
untuk mencari lahan pertanian. Ketika berada di Parigi dan melihat lahan
begitu luas, semangat kerjanya luar biasa.”
Pekerjaan yang ditekuni oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
berimplikasi terhadap penggunaan bahasa pada saat pekerjaan itu berlangsung.
Penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
5.1.1 Penggunaan bahasa antaretnis
Implikasi dari pekerjaan terhadap penggunaan bahasa yang dimaksudkan
itu dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 5.1
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
(Kelompok Usia Dewasa)
No. Kegiatan BB BI BK BBg
1 Bahasa yang dipakai saat memetik
coklat jika ada penutur bahasa Kaili
8% 80% 12% -
2 Bahasa yang dipakai saat memetik
coklat jika ada penutur bahasa Bugis
3% 91% - 6%
3 Bahasa yang dipakai saat istirahat
memetik coklat jika ada peserta
berpenutur bahasa Kaili
7% 83% 10% -
4 Bahasa yang dipakai saat istirahat
memetik coklat jika ada peserta
berpenutur bahasa Bugis
5% 90% - 5%
Jika diperhatikan tabel 5.1, tampak adanya variasi penggunaan bahasa
pada ranah pekerjaan, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan penutur saat
memetik coklat dan istirahat. Bahasa yang dipakai etnis Bali ketika bertemu
10
dengan etnis Kaili pada saat memetik coklat sebagian besar menggunakan BI,
yaitu 80%, BB 8%, dan BK 12%. Demikian juga ketika istirahat kerja. Persentase
pemakaian BI tetap mendominasi pemakaian BB dan BK.
Persentase pemakaian BI yang sangat dominan membuktikan bahwa BI
telah menjalankan fungsinya sebagai bahasa nasional. Hal ini sesuai dengan salah
satu fungsi BI dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu alat pemersatu
berbagai-bagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya dan suku
bangsanya.
Selain menggunakan BK, etnis Bali di Parigi juga menggunakan BBg
ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Hal ini dapat juga dilihat pada tabel 5.1.
Pada tabel tersebut, tampak etnis Bali menggunakan BBg sebanyak 6%, BI 91%,
dan BB 3% ketika sedang memetik coklat bersama dengan etnis Bugis. Demikian
juga saat istirahat. Etnis Bali menggunakan BBg sebanyak 5%, BI 90%, dan BB
5%.
Penggunaan BK dan BBg saat memetik coklat ataupun beristirahat
sangatlah wajar mengingat banyak juga etnis Bugis selain etnis Kaili berdomisili
di Parigi. Jadi, warga Bali di Parigi sudah terbiasa menggunakan BK dan BBg.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang informan, Ibu Ni Luh Masri (35 tahun),
seorang pegawai negeri.
Data 2
“Tiang nak dini lahir. Jadi, tiang sing bisa basa Bali alus. Yen ketemu
orang Bali dipakai basa Bali biasa (tidak alus), yen ketemu orang Kaili
pakai basa Kaili, yen ketemu orang Bugis pakai basa Bugis, gitu.”
11
„Saya lahir di sini. Jadi, saya tidak bisa BBH. Kalau bertemu orang Bali
dipakai bahasa Bali biasa (tidak halus). Kalau bertemu orang Kaili dipakai
bahasa BK, kalau bertemu orang Bugis dipakai BBg, begitu.‟
Penggunaan bahasa Kaili, bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa
Indonesia dapat juga ditemukan dalam interaksi verbal, seperti tampak pada tabel
di bawah ini.
Tabel 5.2
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian
No. Kegiatan BB BI BK BBg
5 Bahasa yang dipakai dalam menjual
hasil pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa Kaili
3% 85% 12% -
6 Bahasa yang dipakai dalam menjual
hasil pertanian/perkebunan kepada
pembeli yang berpenutur bahasa Bugis
3% 91% - 6%
Tabel 5.2 menggambarkan bahwa pemakaian bahasa bervariasi ketika
etnis Bali berkomunikasi dengan etnis non-Bali. Ketika interaksi jual-beli
berlangsung, etnis Bali sebagian besar menggunakan BI, yaitu sebanyak 85%,
penggunaan BB sebanyak 3%, dan penggunaan BK sebanyak 12%.
Penggunaan bahasa yang bervariasi tersebut sangatlah wajar mengingat
etnis Bali di Parigi tergolong masyarakat dwibahasawan/multibahasawan. Artinya,
masyarakat Bali di Parigi selain menguasai bahasa Bali, juga menguasai bahasa
Kaili, Bugis, dan Indonesia.
Selanjutnya, diuraikan penggunaan bahasa etnis Bali ketika berinteraksi
verbal dengan penyuluh pertanian/perkebunan. Seperti diketahui, penyuluh
pertanian/perkebunan sangat memegang peranan penting dalam usaha
meningkatkan tarap kehidupan para petani di Parigi, seperti bersawah dan
12
berkebun coklat. Bagaimanakah pemakaian bahasa etnis Bali ketika berinteraksi
verbal dengan etnis lain perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 5.3
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan
Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg
7 Bahasa yang dipakai jika berbicara
dengan penyuluh pertanian/perkebunan
yang berpenutur bahasa Kaili
3% 91% 6% -
8 Bahasa yang dipakai jika berbicara
dengan penyuluh pertanian/perkebunan
yang berpenutur bahasa Bugis
3% 97% - -
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika berinteraksi verbal dengan
penyuluh pertanian/perkebunan didominasi oleh penggunaan BI sebanyak 91%,
sedangkan pemakaian BB dan BK masing-masing sebanyak 3% dan 6%.
Demikian juga pada pertanyaan 8, pemakaian BI tetap dominan ketika etnis Bali
berinteraksi verbal dengan etnis non-Bali, yaitu 97%, dan pemakaian BB
sebanyak 3%.
Pemakaian bahasa Indonesia oleh sebagian besar etnis Bali ketika
berbicara dengan penyuluh perkebunan sangatlah wajar mengingat interaksi
terjadi antaretnis. Selain itu, memang situasi menghendaki demikian. Maksudnya,
penyuluhan pertanian/perkebunan yang dilakukan oleh petugas terhadap para
petani memang dalam situasi formal. Dalam situasi formal, pada umumnya
dipergunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Apalagi peserta
penyuluhan diikuti oleh beragam etnis. Hal ini tentu sangat memungkinkan
dipergunakannya bahasa Indonesia.
13
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
4,9%2%
4%
89,1%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.1
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan
5.1.2 Penggunaan bahasa intraetnis
Penggunaan bahasa sesama etnis Bali berbeda dengan penggunaan bahasa
antaretnis. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) Masyarakat
Bali cenderung mempertahankan identitas dirinya sebagai warga Bali. Oleh
karena itu, mereka menggunakan BB ketika interaksi verbal berlangsung; (2)
Masyarakat Bali merasa bangga menggunakan BB ketika bertemu dengan sesama
warga Bali. Hal ini secara tidak langsung memupuk rasa solidaritas yang tinggi;
(3) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bahasa daerah perlu dijaga
kelestariannya. Oleh karena itu, warga Bali merasa wajib menggunakan BB ketika
bertemu dengan sesama etnis Bali; dan (4) Bahasa Bali merupakan bagian
kebudayaan Bali. Oleh karena itu, BB perlu dipelihara sebaik-baiknya. Hal ini
sesuai dengan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri atas: (1) agama, (2) ilmu
14
pengetahuan, (3) teknologi, (4) ekonomi, (5) organisasi sosial, (6) bahasa, dan (7)
kesenian.
Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan menunjukkan bahwa setiap
masyarakat hendaknya berkewajiban mendukung suatu kebudayaan yang
memiliki simbol-simbol bunyi dan intonasi serta isyarat yang digunakan untuk
menyampaikan suatu maksud kepada seseorang atau khalayak untuk dipahami dan
dilaksanakan.
Bahasa Bali sebagai salah satu unsur kebudayaan dipergunakan juga dalam
ranah pekerjaan, seperti tampak pada tabel berikut.
Tabel 5.4
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
9 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat memetik
coklat
88% - - - 12%
10 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat beristirahat
memetik coklat
88% - - - 12%
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa etnis Bali di Parigi sangat setia dan
mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap pemakaian BB, yaitu sebanyak 88%.
Hanya 12% responden menggunakan BI di samping BB. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Bali di Parigi masih bertahan penguasaan bahasa Balinya
meskipun sudah lama meninggalkan daerah asalnya, yaitu Bali. Dengan perkataan
lain, waga Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, masih mempertahankan penggunaan
BB sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali.
15
Pemakaian bahasa berikutnya sehubungan dengan ranah pekerjaan dapat
dilihat pada uraian berikut.
Tabel 5.5
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli
Hasil Pertanian/ Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
11 Bahasa yang dipakai saat
menjual hasil pertanian/
perkebunan kepada pembeli
yang berpenutur bahasa Bali.
88% - - - 12%
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap memiliki penutur yang
lebih dominan dibandingkan dengan penutur BI. Terbukti 88% penutur sesama
etnis Bali menggunakan BB ketika menjual hasil pertanian/perkebunannya. Hanya
12% penutur sesama etnis Bali menggunakan BI selain BB ketika interaksi jual-
beli berlangsung.
Tabel 5.6
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
12 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Kaili.
3% 88% 9% - -
13 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Bugis.
3% 94% - 3% -
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai saat responden sedang
bekerja kemudian disapa oleh kenalannya yang berpenutur BK adalah BI, yaitu
sebanyak 88%. Pemakaian bahasa yang dominan ini sangat beralasan sebab mitra
16
wicara berasal dari etnis lain, yaitu etnis Kaili. Walaupun demikian, ada juga
warga Bali menggunakan BB sebanyak 3% dan BK sebanyak 9%.
Demikian juga pertanyaan 13. Di sini responden sebagian besar menjawab
dengan menggunakan BI ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Perbedaannya
tampak dengan jelas. Sebanyak 94% responden memilih menggunakan BI,
sebanyak 3% responden memilih menggunakan BB, dan sebanyak 3% responden
memilih menggunakan BBg ketika berinteraksi dengan etnis Bugis. Hal ini sesuai
dengan fungsi BI yang menyatakan bahwa BI berfungsi sebagai alat perhubungan
antarbudaya dan antardaerah.
Tabel 5.7
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
14 Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
yang berpenutur bahasa Bali
88% - - - 12%
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Bali tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa Indonesia. Sebagian besar warga Bali
menggunakan BB ketika disapa oleh kenalan yang berpenutur BB. Dalam hal ini,
BB 88% digunakan oleh warga Bali dan hanya 12% warga Bali menggunakan BI.
Warga Bali cenderung menggunakan BB agar tidak dianggap sombong jika
menggunakan bahasa selain BB. Kadang-kadang ada juga budaya sombong
ditunjukkan warga masyarakat dengan tidak menggunakan BB ketika berinteraksi
sosial dengan sesama etnis Bali. Namun, berdasarkan data pada tabel 5.7, budaya
tersebut tidak tampak. Terbukti bahwa pemakaian BB selalu lebih dominan
dipergunakan oleh warga Bali ketika berinteraksi sosial dengan sesama etnis.
17
Tabel 5.8
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
15 Bahasa yang dipakai jika
berbicara kepada penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bali
41% 50% - - 9%
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa Bali dan bahasa Bali/bahasa Indonesia.
Dari segi persentase ditemukan sebanyak 41% penggunaan BB, 50% penggunaan
BI, dan 9% penggunaan bahasa campur antara BB dan BI.
Dominannya penggunaan bahasa Indonesia sangatlah wajar mengingat
situasinya formal/resmi. Selain itu, topik yang dibicarakan juga bersifat teknis.
Jadi, dipandang perlu pada situasi yang demikian dipergunakan BI. Apalagi dalam
pembicaraan tersebut banyak muncul istilah pertanian, seperti pupuk, rabuk,
hama, dan produksi.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
11,4%
78,6%
10%BB
BB/BI
BI
Diagram 5.2
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraretnis pada Ranah Pekerjaan
18
5.2 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban
Dalam kehidupan bermasyarakat, seperti halnya di Parigi, tiap-tiap
individu memiliki peranan masing-masing. Ada individu yang berperan sebagai
orang tua, adik, kakak, sahabat, dan sebagainya. Tiap-tiap peranan yang dimiliki
oleh individu sangat berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Individu yang
berperan sebagai ayah akan memiliki bahasa yang berbeda dengan individu yang
berperan sebagai anak. Individu yang berperan sebagai kakak akan memiliki
bahasa yang berbeda dengan individu yang berperan sebagai adik. Individu yang
berperan sebagai guru tentu akan memiliki bahasa yang berbeda jika
dibandingkan dengan individu yang berperan sebagai siswa. Demikian juga
individu yang berperan sebagai teman karib akan memiliki bahasa yang berbeda
dengan individu yang berperan sebagai atasan. Konkretnya dapat dilihat pada
uraian berikut.
Tabel 5.9
Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
16 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Kaili
3% 85% 12% - -
17 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bugis
3% 91% - 6% -
Tabel 5.9 menunjukkan adanya pemakaian bahasa Indonesia, bahasa Bali,
bahasa Kaili, dan bahasa Bugis oleh etnis Bali ketika berinteraksi sosial dengan
etnis lain, khususnya etnis Kaili dan etnis Bugis. Secara lengkap dapat
digambarkan bahwa etnis Bali menggunakan BI sebanyak 85%, BB sebanyak 3%,
19
dan BK sebanyak 12% ketika berinteraksi dengan etnis Kaili melalui surat-surat
pribadi. Pemakaian BI tetap mendominasi peristiwa tutur tersebut. Kemudian
disusul pemakaian BK, dan pemakaian BB. Penggunaan BI lebih dominan pada
peristiwa tutur tersebut wajar sebab etnis Bali berinteraksi dengan etnis lain, yaitu
etnis Kaili.
Demikian juga penggunaan bahasa dalam surat-surat pribadi etnis Bali
terhadap etnis Bugis. Penggunaan BI juga mendominasi peristiwa tutur tersebut.
Etnis Bali sebanyak 91% menggunakan BI ketika berinteraksi dengan etnis Bugis
dalam surat-surat pribadi. Kemudian disusul oleh penggunaan BBg sebanyak 6%
dan penggunaan BB sebanyak 3%.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada uraian di bawah ini.
Tabel 5.10
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
18 Anda berbicara dengan teman
memakai bahasa Bali.
Kemudian datang teman lain
yang berpenutur bahasa
Kaili/Bugis. Anda (a) tetap
menggunakan bahasa Bali,
(b) beralih ke bahasa
Kaili/Bugis, dan (c) beralih
ke bahasa Indonesia
3% 97% - - -
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa warga Bali pada awalnya menggunakan
bahasa Bali ketika berbicara dengan sesama etnis, tiba-tiba beralih ke bahasa
Indonesia setelah datang temannya yang berpenutur non-Bali. Hal ini sengaja
dilakukan oleh etnis Bali untuk menghormati datangnya penutur lain yang tidak
20
dapat berbahasa Bali. Pengalihan kode tersebut sengaja dilakukan oleh etnis Bali
karena hadirnya orang ketiga. Dengan demikian, alih kode tersebut dapat
dikatakan memiliki fungsi sosial. Alangkah tidak etisnya warga Bali tetap
menggunakan bahasa Bali meskipun datang orang ketiga yang tidak paham
berbahasa Bali. Dalam kenyataannya jawaban responden ada juga yang tetap
menggunakan BB meskipun datang orang ketiga. Hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan responden berbahasa Indonesia dan dapat juga disebabkan oleh
kesetiaannya yang terlalu tinggi terhadap BB. Oleh karena itu, responden tersebut
tetap menggunakan BB meskipun datang orang ketiga yang berasal dari etnis lain.
Namun, fenomena bahasa yang demikian hanya sebagian kecil karena yang
menggunakan BB hanya sebanyak 3%. Selebihnya, sebanyak 97% responden
beralih ke BI dari BB.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
91%
3%2%
4%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.3
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban
Selanjutnya, penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam surat-menyurat,
perhatikan tabel di bawah ini.
21
Tabel 5.11
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
19 Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bali
62% 18% - - 20%
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Bali lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa campur BB/BI.
Secara lengkap jumlah persentase pemakaian BB sebanyak 62%, pemakaian BI
sebanyak 18%, dan pemakaian bahasa campur BB/BI sebanyak 20%.
Dominannya penggunaan BB, seperti tampak pada tabel 5.11 disebabkan oleh
faktor loyalitas yang tinggi warga Bali terhadap keberadaan BB. Selain itu, warga
Bali ingin menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama etnis Bali.
Apalagi mereka menganggap BB sebagai salah satu cara untuk mengakrabkan
mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Penggunaan bahasa pada ranah kekariban dapat juga dilihat pada
percakapan dua orang kerabat sebagai berikut.
Data 3
Latar : Teras rumah
Topik : Pertemuan warga
Partisipan : Dua orang sahabat berusia sebaya
(O1) : (1) Abaang be bakar nyang dasa ukud, bayah ditu!
„Bawakan ikan bakar sepuluh ekor saja, bayar di situ!‟
(O2) : (2) Bayah ditu keto?
„Bayar di situ begitu?‟
: (3) Ane ngadaang pertemuanne nake mayah.
„Yang mengadakan pertemuannya seharusnya membayar.‟
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
22
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu?‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟
Jika diperhatikan secara cermat peristiwa tutur pada data 3, tampak sekali
terjadi fenomena campur kode yang dilakukan oleh partisipan. Kebetulan
situasinya memang informal. Artinya, peristiwa tutur tersebut terjadi di sebuah
rumah dan sangat memungkinkan terjadinya fenomena campur kode. Apalagi
partisipan merupakan dua sahabat yang sangat akrab. Hal ini dapat dilihat dari
bahasa yang digunakan partisipan.
Pada awalnya O1 menggunakan BBL yang disisipi oleh unsur-unsur
bahasa Indonesia, seperti tampak pada K1, Abaang be bakar nyang dasa ukud,
bayah ditu! „Bawakan ikan bakar sepuluh ekor, bayar di situ!‟ Unsur /bakar/
sebagai kosakata bahasa Indonesia digunakan oleh O1 ketika berbahasa Bali.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa O1 sudah melakukan campur kode
ketika menggunakan BB. Artinya, seorang penutur yang dalam berbahasa Bali
menyelipkan serpihan-serpihan bahasa Indonesia dapat dikatakan telah melakukan
campur kode.
23
Fenomena campur kode pada data 3 dapat juga ditemukan pada tuturan O2,
khususnya K3, Ane ngadaang pertemuanne nake mayah „Yang mengadakan
pertemuan seharusnya membayar.‟ Unsur /pertemuanne/ „pertemuannya‟ pada
hakikatnya merupakan campuran antara unsur {temu}, {per-an}, dan {-ne}.
Artinya, bentuk asal {temu} dan konfiks {per-an} dalam BI bercampur dengan
klitik {ne} dalam bahasa Bali. Bentuk {ne} dalam BB berpadanan dengan bentuk
{-nya} dalam BI. Oleh karena itu, O2 pada K3 dapat dikatakan telah menyisipkan
serpihan-serpihan BI ke dalam pemakaian BB sehingga mengakibatkan terjadinya
fenomena campur kode.
Berdasarkan pilihan kata yang digunakan, baik oleh O1 maupun O2, pada
data 3 tampak sekali kedua penutur tersebut merupakan teman akrab. Banyak
kosakata yang dipilih tidak lengkap unsurnya, seperti kata /sing/ pada K6 yang
merupakan singkatan kata /tusing/ „tidak‟. Demikian juga kata /engken/. Kata
tersebut merupakan singkatan dari kata /ngengken/ „mengapa‟. Kata /ne/ juga
merupakan singkatan dari kata /ene/ „ini‟ pada K5.
Pemakaian bahasa pada ranah kekariban tidak menutup kemungkinan
terjadinya fenomena alih kode selain campur kode. Baik fenomena campur kode
maupun alih kode, pada umumnya terjadi pada situasi informal. Artinya, pada
situasi formal jarang terjadi fenomena alih kode dan campur kode.
Fenomena alih kode dapat juga ditemukan pada data 3. Fenomena tersebut
dilakukan oleh dua penutur BB yang merupakan sehabat karib. Pada awalnya O1
menggunakan bahasa Bali campur (BBC) pada K1, K4, K8, K12. Namun, begitu
pembicaraan sampai pada K10, O1 beralih kode ke BI, Ada bos baru ini dari Palu.
24
Peralihan kode yang dilakukan oleh O1 disebabkan oleh keinginan untuk
memperjelas tuturan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena mitra wicara
sebelumnya tidak paham permintaan O1. Terbukti dari tuturan O2 yang kurang
paham terhadap tuturan O1, seperti tampak pada beberapa kalimat tanya yang
diajukan. Misalnya, K2, Bayah ditu keto? „Bayar di situ begitu?‟ Kemudian, K5,
Kenkenne, ada apa ne? „Bagaimana ini, ada apa?‟ dan Nyen ento? „Siapa itu?‟
Namun, begitu O1 beralih kode dari BB ke BI pada K10 barulah O2 paham tuturan
O1. Terbukti dari respons yang dilakukan O2 pada K13, Sip, Sip, oke! „Ya, ya saya
setuju!‟
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
18%
62%
20%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.4
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban
5.3 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama
Agama merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam tujuh komponen
kebudayaan. Komponen pokok yang terdapat dalam setiap agama meliputi umat
beragama, sistem keyakinan, sistem peribadatan, dan emosional keagamaan.
25
Masyarakat Parigi selain memeluk agama Hindu, ada juga umat yang
memeluk agama Kristen, Katolik, Islam, dan Budha. Bahkan, salah satu desa yang
ada di Parigi Selatan, yaitu Desa Sumbersari, yang merupakan lokasi penelitian,
jumlah penduduk yang beragama Hindu sebanyak 85 orang, Islam 1042 orang,
Kristen 990 orang, dan Katolik 9 orang. Kehidupan masyarakat di Parigi,
meskipun dihuni oleh umat yang berbeda-beda agama, kehidupan mereka sangat
rukun dan damai.
Bagaimana sebenarnya kehidupan antarumat beragama di Parigi berikut
dapat dikemukakan pendapat seorang informan yang kebetulan berprofesi sebagai
guru SMP Negeri 1 Parigi, yaitu Bapak Nyoman Sukawan.
Data 4
“… ya selama tiang idup di Sulawesi atau Parigi selamane sing ada
terjadi bentrokanlah antarsuku. Selalu damailah. Ya, dini biasane amen
ada kegiatan kerja bakti di jalan, di balai desa biasane gotong royong
makejang keluar megae, baik nak Bali, Bugis, Kaili, makejang gotong
royong kerja bakti.”
„… ya selama saya hidup di Sulawesi atau Parigi selama itu tidak ada
terjadi bentrokan antarsuku. Selalu damai. Ya di sini biasanya kalau ada
kegiatan kerja bakti di jalan, di balai desa biasanya gotong royong semua
keluar bekerja, baik orang Bali, Bugis, Kaili, semua gotong royong kerja
bakti.‟
Data 4 menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama di Parigi
sangat baik. Terbukti adanya kerja bakti atau gotong royong yang dilakukan
secara bersama-sama oleh umat yang berasal dari berbagai suku.
Dengan terjadinya rasa solidaritas antarumat beragama yang begitu tinggi
tentu membawa efek positif terhadap bahasa yang digunakan dalam berinteraksi
di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
26
Tabel 5.12
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
20 Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Kaili
3% 91% 6% - -
21 Bahasa yang dipakai jika
memberi ceramah kepada
umat yang berpenutur bahasa
Kaili
3% 91% 6% - -
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BK lebih banyak menggunakan BI, yaitu 91%. Dominannya
pemakaian BI dalam peristiwa tutur tersebut sangatlah wajar sebab penutur lebih
menguasai BI dibandingkan dengan BK. Pada hakikatnya memang BI yang
dipelajari terlebih dahulu oleh penutur setelah menguasai bahasa pertama, yaitu
BB.
Demikian juga pertanyaan 21. Ketika memberikan ceramah keagamaan
kepada etnis Kaili, penutur lebih banyak menggunakan BI dibandingkan dengan
BK dan BB. Secara lengkap jumlah persentase pemakaian bahasa tersebut adalah
BI sebanyak 91%, BK sebanyak 6%, dan BB sebanyak 3%. Alasan penutur
menggunakan BI jelas sesuai dengan fungsi BI sebagai bahasa nasional, yaitu
sebagai alat penghubung antarsuku, antarbudaya, dan antardaerah.
Penggunaan bahasa dengan etnis Bugis dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada uraian di bawah ini.
27
Tabel 5.13
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
22 Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
3% 94% - 3% -
23 Bahasa yang dipakai dalam
memberikan ceramah
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
3% 97% - - -
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa penutur, ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BBg, sebagian besar ia menggunakan BI, yaitu sebanyak 94%.
Hanya 3% responden menjawab dengan menggunakan BB dan sebanyak 3% pula
responden menjawab dengan menggunakan BBg. Hal ini membuktikan bahwa BI
sebagai bahasa nasional sangat berperan ketika interaksi ditujukan kepada etnis
lain.
Demikian juga pertanyaan 23. Pemakaian bahasa Indonesia tetap lebih
dominan jika dibandingkan dengan pemakaian bahasa Bali. Dominannya
pemakaian BI tentu disebabkan mitra wicara yang berasal dari etnis lain, yaitu
etnis Bugis.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
28
93,25%
3%0,75%
3%
BB
BI
BK
BBg
Diagram 5.5
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama
Selanjutnya, penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan keagamaan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.14
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI BS
24 Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
jika berbicara dengan
umat yang berpenutur
bahasa Bali
3% 41% - - 56% -
25 Bahasa yang dipakai bila
melakukan Trisandhya
- - - - - 100%
26 Bahasa yang dipakai saat
Darma Wacana di pura
- 62% - - 38% -
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai penceramah agama
Hindu ketika berinteraksi dengan sesama etnis Bali lebih dominan BB yang
dicampur dengan BI, yaitu sebanyak 56%. Penggunaan BB sebanyak 3% dan
penggunaan BI sebanyak 41%. Hal ini membuktikan bahwa pemakaian BB tetap
dipertahankan dalam peristiwa tutur meskipun kadang-kadang diselingi dengan
pemakaian BI. Pemakaian BB yang hanya 3% membuktikan bahwa etnis Bali di
Parigi sudah tergolong masyarakat yang dwibahasawan. Artinya, etnis Bali ketika
29
berinteraksi sudah terpengaruh oleh pemakaian BI sebagai bahasa nasional.
Peristiwa ini diperkuat lagi dengan pemakaian BI sebanyak 41%. Artinya, selain
BB, etnis Bali di Parigi juga telah menguasai BI sebagai sarana komunikasi
sesama etnis.
Bahasa yang dipakai saat melakukan Trisandhya sebanyak 100%
responden menjawab bahasa Sanskerta. Apa yang terlihat di Parigi sama halnya
dengan penutur Bali di daerah asal, yaitu selalu menggunakan bahasa Sanskerta
ketika melakukan Trisandhya. Artinya, budaya di daerah asal terbawa juga ke
daerah Parigi yang berada di luar Bali.
Khusus mengenai penggunaan bahasa oleh pendarma wacana di pura-pura
ternyata tabel 5.14 menunjukkan adanya pemakaian BI lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya, yaitu sebanyak 62%.
Penggunaan BI oleh pendarma wacana tidak menutup kemungkinan disebabkan
oleh umat yang beragama Hindu tidak semua dari etnis Bali. Ada juga umat
Hindu yang berasal dari etnis Kaili dan etnis Bugis. Untuk menghormati umat
yang beraneka ragam etnis itulah dipergunakan BI ketika darma wacana
berlangsung. Meskipun demikian, ada juga pendarma wacana menggunakan BB
dan BI secara silih berganti. Namun, jumlah persentasenya di bawah pemakaian
BI, yaitu sebanyak 38%. Artinya, pemakaian BB sama sekali tidak ditinggalkan
oleh pendarma wacana ketika interaksi verbal berlangsung.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan keagamaan lainnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
30
Tabel 5.15
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan Lainnya
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
27 Bahasa yang dipakai bila
mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bali
- 21% - - 79%
28 Bahasa yang dipakai bila
berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur bahasa
Bali
21% 29% - - 50%
29 Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
kepada umat yang berpenutur
bahasa Bali dan umat yang
berpenutur bahasa non-Bali
- 65% - - 35%
Tabel 5.15 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai jika mengumumkan
berita keagamaan kepada penutur BB adalah BI sebanyak 21% dan BB yang
dicampur dengan BI sebanyak 79%. Dengan melihat perbandingan pemakaian
bahasa tersebut, dapat dikatakan bahwa pemakaian BB yang dicampur dengan BI
menempati posisi lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BI. Artinya,
etnis Bali di Parigi tetap mempertahankan bahasa ibunya sebagai sarana interaksi
sosial di masyarakat.
Demikian juga pertanyaan 28. Bahasa yang dipakai jika berurusan dengan
pengurus pura yang berpenutur BB adalah BI sebanyak 29% dan BB yang
dicampur dengan BI sebanyak 50%. Jika dibandingkan dengan pemakaian BB,
ternyata pemakaian BI lebih dominan, yaitu sebanyak 29%, sedangkan pemakaian
BB hanya 21%. Kurangnya pemakaian BB disebabkan oleh penutur yang
menganggap pemakaian BI lebih demokratis. Maksudnya, ada beberapa penutur
etnis Bali kurang menguasai tingkatan-tingkatan BB yang dikenal dengan istilah
31
“sor-singgih basa.” Oleh karena itu, dipilih BI yang justru tidak mengenal
tingkatan-tingkatan bahasa.
Khusus pertanyaan 29, tampak pemakaian bahasa Indonesia mendominasi
pemakaian BB yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Secara lengkap
pemakaian BI sebanyak 65%, sedangkan pemakaian BB yang dicampur dengan
BI sebanyak 35%. Dominannya pemakaian BI oleh penceramah agama Hindu
terhadap penutur BB dan non-Bali sangat wajar sebab tidak semua peserta
ceramah dapat berbahasa Bali. Peserta ceramah beraneka ragam etnis, yaitu Bali,
Kaili, Bugis, dan Jawa. Oleh karena itu, pemakaian BI dianggap lebih tepat
dijadikan sarana interaksi sosial.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
36,3%
4%16,7%
43%
BB
BI
BB/BI
BS
Diagram 5.6
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama
5.4 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian
Kesenian merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan yang
ada. Kesenian pada dasarnya dimiliki oleh setiap masyarakat untuk
32
mengungkapkan rasa seni berupa simbol-simbol pernyataan rasa senang dan susah
(suka duka). Kesenian biasanya diperuntukkan bagi umum ataupun diri sendiri
dengan mengambil berbagai bentuk, seperti ukiran, gambar, teater, pentas, dan
gerak/tari.
Masyarakat Bali di Parigi pun tidak lepas dari unsur kesenian tersebut.
Bahkan, seni magamel, seni tari bukan saja datang dari warga Bali yang memang
menekuni rasa seni tersebut, melainkan dapat juga diperoleh melalui kaset, CD
yang banyak beredar untuk melengkapi kesenian Bali di Parigi. Ketika upacara-
upacara keagamaan diadakan, seperti upacara potong gigi, ngaben selalu dibarengi
dengan diputarnya kaset yang berupa seni tetabuhan. Bahkan, akhir-akhir ini
setiap bulan Purnama-Tilem selalu diikuti dengan gamelan ketika umat memedek
di Pura. Suasana yang demikian membuat umat seolah-olah berada di Bali.
Sehubungan dengan maraknya seni tari, tetabuhan, dan sebagainya tentu
berdampak juga terhadap pilihan bahasa yang digunakan oleh warga Bali di
Parigi. Sehubungan dengan itu, berikut diuraikan tentang penggunaan bahasa
dalam ranah kesenian.
Tabel 5.16
Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
30 Bahasa yang dipakai dalam
latihan menari
67% 15% - - 18%
31 Bahasa yang dipakai dalam
latihan matembang
97% - - - 3%
32 Bahasa yang dipakai dalam
latihan magamel
94% - - - 6%
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa pemakaian BB dalam latihan menari,
latihan matembang, dan latihan magamel lebih dominan dibandingkan dengan
33
pemakaian bahasa lainnya. Pemakaian BB dalam latihan menari sebanyak 67%,
pemakaian BI sebanyak 15%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI
sebanyak 18%. Pemakaian BB dalam latihan matembang sebanyak 97% dan
pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 3%. Kemudian pemakaian BB
dalam latihan magamel sebanyak 94% dan pemakaian BI yang dicampur dengan
BI sebanyak 6%.
Berdasarkan perbandingan frekuensi pemakaian bahasa pada tabel 5.16,
dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB lebih dominan dipergunakan oleh warga
Bali di Parigi dalam latihan menari, matembang, dan magamel. Hal ini
membuktikan bahwa warga Bali di Parigi masih memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap pemakaian BB di bidang kesenian.
Penggunaan bahasa ketika pentas seni dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 5.17
Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
33 Bahasa yang dipakai dalam
pentas tari
88% - - - 12%
34 Bahasa yang dipakai dalam
pentas matembang
88% - - - 12%
35 Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel
88% - - - 12%
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Secara lengkap bahasa yang
dipergunakan dalam pentas tari sebanyak 88%, pentas matembang sebanyak 88%,
dan pentas magamel juga sebanyak 88%. Sementara itu, pemakaian BB yang
dicampur BI masing-masing sebanyak 12%. Berdasarkan perbandingan
34
pemakaian bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB tetap
menunjukkan identitasnya sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar warga Bali di
Parigi.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
10,5%
87%
2,5%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.7
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian
5.5 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga
Bahasa dipergunakan oleh seseorang sangat tergantung pada peran yang
dimilikinya. Misalnya, pemakaian bahasa dalam keluarga cenderung melihat
peran yang diemban oleh tiap-tiap individu dalam keluarga yang bersangkutan.
Peran seorang anak tentu memiliki pilihan-pilihan bahasa jika berbicara dengan
ayah atau kakak. Demikian juga jika seseorang yang berperan sebagai ayah tentu
memiliki banyak pilihan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan
ibu/anak.
Untuk mengetahui sejauh mana pilihan bahasa itu dilakukan oleh penutur,
perhatikan tabel berikut.
35
Tabel 5.18
Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
36 Bahasa yang dipakai di
rumah bila berbicara dengan
istri tentang hal-hal biasa
80% 10% - - 10%
37 Bahasa yang dipakai di
rumah bila berbicara dengan
suami tentang hal-hal yang
biasa
70% 15% - - 15%
38 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak di
rumah
85% 15% - - -
39 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan ibu di
rumah
79% 15% - - 6%
Tabel 5.18 menunjukkan bahwa pemakaian BB dalam kehidupan sehari-
hari di rumah sangat dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Secara lengkap bahasa yang dipakai bila berbicara dengan istri di rumah adalah
BB sebanyak 80%, BI sebanyak 10%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak
10%. Dalam hal ini, suami dalam berinteraksi verbal dengan istri di rumah
sebagian besar menggunakan BB dibandingkan dengan BI dan BB yang dicampur
dengan BI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suami memiliki loyalitas
yang tinggi terhadap keberadaan BB.
Demikian juga pertanyaan 37, bahasa yang dipakai oleh istri terhadap
suami sebagian besar BB, yaitu sebanyak 70%. Selebihnya, pemakaian BI
sebanyak 15% dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 15%.
Dengan melihat perbandingan angka frekuensi pemakaian bahasa tersebut, tampak
pemakaian BB oleh istri mendominasi pemakaian BI dan BB yang dicampur
dengan BI.
36
Pemakaian bahasa pada pertanyaan 38 pun demikian. Pemakaian BB tetap
lebih dominan jika dibandingkan dengan pemakaian BI. Secara lengkap bahasa
yang dipakai oleh anak bila berbicara dengan bapak di rumah adalah BB sebanyak
85%, sedangkan pemakaian BI hanya mencapai 15%. Dengan melihat
perbandingan pemakaian BB dan BI tersebut berarti bahwa keberadaan BB
sebagai sarana komunikasi di Parigi tetap eksis walaupun warga Bali di Parigi
telah lama meninggalkan daerah asal bahasa tersebut.
Bahasa yang dipergunakan oleh anak terhadap ibu meliputi tiga bahasa,
yaitu BB, BI, dan campuran antara BB dan BI. Namun, dilihat dari frekuensi
pemakaiannya, pemakaian BB tetap mendominasi pemakaian BI dan BB yang
dicampur dengan BI. Secara lengkap bahasa yang dipakai oleh anak terhadap ibu
di rumah adalah BB sebanyak 79%, BI sebanyak 15%, dan BB yang dicampur
dengan BI sebanyak 6%. Berdasarkan perbandingan frekuensi pemakaian bahasa
tersebut dapat dikatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh anak terhadap ibunya
tetap bertahan, yakni BB.
Penggunaan bahasa kepada bapak berdasarkan topik dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.19
Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
40 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik agama
di rumah
85% 12% - - 3%
41 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
56% 29% - - 15%
37
42 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
79% 12% - - 9%
43 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik sehari-
hari di rumah
79% 12% - - 9%
Tabel 5.19 menunjukkan bahwa pemakaian BB tetap dominan
dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hal ini
membuktikan bahwa keberadaan BB di Parigi tetap terpelihara dengan baik oleh
pemakainya. Secara lengkap pemakaian bahasa, seperti tampak pada tabel 5.19
sangat bervariasi. Pada pertanyaan 40, tentang pemakaian bahasa oleh seorang
anak terhadap bapaknya, ternyata pemakaian BB sebanyak 85%, pemakaian BI
sebanyak 12%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 3%.
Pertanyaan 41 juga memperlihatkan pemakaian bahasa yang bervariasi.
Bahasa yang dipakai bila berbicara dengan bapak saat membicarakan topik
pendidikan sebagian besar adalah BB, yaitu sebanyak 56% disusul pemakaian BI
sebanyak 29%, dan pemakaian BB dicampur dengan BI sebanyak 15%. Artinya,
pemakaian BB tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa
lainnya.
Pertanyaan 42 juga menunjukkan pemakaian BB lebih dominan daripada
pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hal ini terbukti dari frekuensi
responden yang memberikan jawaban pemakaian BB sebanyak 79%, BI sebanyak
12%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9% ketika berbicara dengan
bapak saat membicarakan topik kesehatan.
38
Pemakaian BB yang dominan juga ditemukan ketika anak berbicara
dengan bapaknya saat membicarakan topik kehidupan sehari-hari di rumah. Hasil
secara lengkap, pemakaian BB sebanyak 79%, BI sebanyak 12%, dan pemakaian
BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9%.
Berdasarkan topik yang dibicarakan ternyata pemakaian BB mendominasi
pemakaian bahasa lainnya. Pembicaraan tentang topik agama, pendidikan,
kesehatan, dan kehidupan sehari-hari secara tidak langsung sangat memengaruhi
kebertahanan BB di wilayah Parigi. Hasil secara lengkap, frekuensi pemakaian
BB, 85% untuk topik agama, 56% untuk topik pendidikan, 79% untuk topik
kesehatan, dan 79% untuk topik dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan bahasa kepada anak berdasarkan topik dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 5.20
Penggunaan Bahasa kepada Anak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
44 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik agama
di rumah
79% 12% - - 9%
45 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
42% 29% - - 29%
46 Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
58% 21% - - 21%
47 Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan anak saat
membicarakan topik
kehidupan sehari-hari di
rumah
62% 21% - - 17%
39
Tabel 5.20 menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai bila bapak berbicara
dengan anak saat membicarakan topik agama sebanyak 79% bahasa Bali, 12% BI,
dan 9% BB yang dicampur dengan BI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pemakaian BB tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB
yang dicampur dengan BI.
Jawaban responden terhadap pertanyaan 45 juga lebih dominan pemakaian
BB dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan BI. Hasil
secara lengkap, jawaban responden terhadap pertanyaan 45 adalah pemakaian BB
sebanyak 42%, BI 29%, dan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 29%. Hal ini
membuktikan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh bapak terhadap anaknya saat
membicarakan topik pendidikan lebih sering menggunakan BB.
Demikian halnya dengan pertanyaan 46, jawaban responden lebih dominan
menggunakan BB ketika bapak membicarakan topik kesehatan kepada anaknya.
Hasil secara lengkap, pemakaian BB sebanyak 58%, BI sebanyak 21%, dan BB
yang dicampur dengan BI sebanyak 21%.
Pemakaian BB secara dominan juga tampak saat bapak berbicara dengan
anak tentang kehidupan sehari-hari. Hasil secara lengkap, pemakaian BB
sebanyak 62%, BI sebanyak 21%, dan bahasa Bali yang dicampur dengan BI
sebanyak 17%. Dilihat dari frekuensi pemakaian bahasa tersebut, tampaknya
pemakaian BB selalu dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Hal ini tidak saja tertuju pada pembicaraan tentang topik agama, tetapi topik
pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sehari-hari tetap pemakaian BB lebih
menonjol jika dibandingkan dengan pemakaian BI dan BB yang dicampur dengan
40
BI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemakaian BB tetap
dipertahankan dalam ranah keluarga.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
17%
71%
12%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.8
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga
5.6 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Remaja)
5.6.1 Penggunaan bahasa antaretnis
Penggunaan bahasa antaretnis ketika memetik coklat dan istirahat dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.21
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
(Kelompok Usia Remaja)
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
1. Bahasa yang dipakai saat
memetik coklat jika ada
penutur bahasa Kaili
- 91% - - 9%
2. Bahasa yang dipakai saat
memetik coklat jika ada
penutur bahasa Bugis
- 95% - - 5%
3. Bahasa yang dipakai saat
istirahat memetik coklat jika
ada peserta berpenutur bahasa
Kaili
- 97% - - 3%
41
4. Bahasa yang dipakai saat
istirahat memetik coklat jika
ada peserta berpenutur bahasa
Bugis
- 92% - - 8%
Tabel 5.21 menunjukkan terjadinya penggunaan bahasa yang bervariasi
pada ranah pekerjaan. Penggunaan bahasa yang bervariasi itu dilakukan oleh
golongan remaja antaretnis ketika memetik coklat dan istirahat. Sebagian besar
bahasa yang digunakan oleh etnis Bali ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili
adalah BI. Secara lengkap persentasenya adalah penggunaan BI sebanyak 91%
dan penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 9%. Bahasa itu
digunakan saat memetik coklat, sedangkan pada saat istirahat sebagian besar etnis
Bali menggunakan BI, yaitu sebanyak 97% dan BB/BI sebanyak 3%.
Pada saat memetik coklat sebagian besar etnis Bali menggunakan BI, yaitu
sebanyak 95% dan BB/BI 5%, sedangkan pada saat istirahat sebagian besar etnis
Bali menggunakan BI, yaitu sebanyak 92% dan BB/BI sebanyak 8%. Bahasa itu
digunakan oleh etnis Bali ketika berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan BI tetap dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Hal tersebut sangat wajar sebab
komunikasi antaretnis pada umumnya menggunakan BI sebagai bahasa nasional.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika jual-beli hasil pertanian dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
42
Tabel 5.22
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
5. Bahasa yang dipakai dalam
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa
Kaili
- 92% - - 8%
6. Bahasa yang dipakai dalam
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli berpenutur bahasa
Bugis
- 94% - - 6%
Ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Kaili, penggunaan BI sangat
dominan. Hal ini tampak pada tabel 5.22 yang menunjukkan bahwa pemakaian BI
92% dan pemakaian BB/BI 8%.
Demikian juga ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Pemakaian BI tetap lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa
lainnya. Hasil secara lengkap pemakaian BI sebanyak 94% dan pemakaian BB/BI
sebanyak 6%.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika penyuluhan pertanian/perkebunan
berlangsung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.23
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
7. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Kaili
- 96% - - 4%
8. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bugis
- 90% - - 10%
43
Jika diperhatikan secara cermat tabel 5.23, penggunaan BI menempati
persentase lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Hal
ini dapat dibuktikan ketika etnis Bali berbicara dengan penyuluh
pertanian/perkebunan yang berpenutur BK. Hasilnya adalah penggunaan BI
sebanyak 96% dan penggunaan BB/BI sebanyak 4%.
Demikian juga ketika etnis Bali berkomunikasi dengan etnis Bugis.
Penggunaan BI tetap menempati posisi lebih dominan dibandingkan dengan
penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah penggunaan BI
sebanyak 90% dan penggunaan BB/BI sebanyak 10%.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
6,6%
93,4%
BI
BB/BI
Diagram 5.9
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan
(Kelompok Usia Remaja)
5.6.2 Penggunaan bahasa intraetnis
Penggunaan bahasa intraetnis ketika memetik coklat dan istirahat dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
44
Tabel 5.24
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
9. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat memetik
coklat
76% 6% - - 18%
10. Bahasa yang dipakai jika
berbicara dengan penutur
bahasa Bali saat beristirahat
memetik coklat
64% 12% - - 24%
Penggunaan bahasa Bali di wilayah Parigi ternyata masih dipertahankan.
Hal ini dapat dilihat ketika sesama etnis Bali berkomunikasi saat memetik coklat,
seperti tampak pada tabel 5.24. Hasilnya adalah penggunaan BB sebanyak 76%,
penggunaan BI sebanyak 6%, dan penggunaan BB/BI sebanyak 18%.
Demikian halnya pada saat istirahat. Penggunaan BB tetap lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah
penggunaan BB sebanyak 64%, penggunaan BI sebanyak 12%, dan penggunaan
BB/BI sebanyak 24%.
Dominannya penggunaan BB, baik saat memetik coklat maupun
beristirahat, membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memiliki
loyalitas yang tinggi terhadap pemakaian BB. Hal ini perlu disyukuri sebab BB
merupakan salah satu identitas yang melekat pada etnis Bali.
Penggunaan bahasa intraetnis ketika interaksi jual-beli hasil
pertanian/perkebunan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
45
Tabel 5.25
Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli
Hasil Pertanian/Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
11. Bahasa yang dipakai saat
menjual hasil
pertanian/perkebunan kepada
pembeli yang berpenutur
bahasa Bali
70% 18% - - 12%
Penggunaan BB antarsesama etnis Bali tetap mendominasi penggunaan
bahasa lainnya. Penggunaan BB tersebut dapat dilihat pada tabel 5.25. Hasilnya
adalah 70% responden memilih penggunaan BB, 18% responden memilih
penggunaan BI, 12% responden memilih penggunaan BB/BI.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.26
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
12. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Kaili
- 94% 6% - -
13. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
Saudara yang berpenutur
bahasa Bugis
- 94% - - 6%
Tabel 5.26 menunjukkan bahwa penggunaan BI lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Guyub tutur masyarakat Bali
cenderung menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili, yaitu
sebanyak 94%, sedangkan penggunaan BK sebanyak 6%.
46
Demikian juga penggunaan bahasa oleh guyub tutur masyarakat Bali
ketika sedang bekerja disapa oleh kenalan yang berpenutur BBg. Mereka tetap
lebih dominan menggunakan BI dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara
lengkap persentase penggunaannya adalah 94% BI dan 6% BB yang dicampur
dengan BI.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali ketika aktivitas berlangsung dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.27
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
14. Bahasa yang dipakai saat
Saudara sedang bekerja
kemudian disapa oleh kenalan
yang berpenutur bahasa Bali
82% - - - 18%
Jika diperhatikan secara saksama tabel di atas, persentase penggunaan BB
lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Dominannya
penggunaan BB membuktikan bahwa rasa solidaritas guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi tetap terjalin meskipun berada di luar asal mereka, yaitu Bali. Secara
lengkap hasilnya adalah 82% penggunaan BB dan 18% penggunaan BB/BI.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali ketika penyuluhan pertanian/
perkebunan berlangsung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.28
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika
Penyuluhan Pertanian/Perkebunan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
15. Bahasa yang dipakai jika
berbicara kepada penyuluh
pertanian/perkebunan yang
berpenutur bahasa Bali
58% 24% - - 18%
47
Tabel 5.28 menunjukkan bahwa penggunaan BB lebih dominan
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Dalam hal ini, responden sebanyak 58%
memilih BB ketika berbicara dengan penyuluh pertanian yang berpenutur BB,
sebanyak 24% memilih BI, dan sebanyak 18% memilih BB/BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
18%
70%
12%
BB
BB/BI
BI
Diagram 5.10
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Pekerjaan
5.7 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban
Penggunaan bahasa antaretnis dalam surat-menyurat dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.29
Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
16. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Kaili
- 100% - - -
17. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bugis
- 100% - - -
48
Tabel 5.29 menunjukkan bahwa pemakaian BI sangat dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Fenomena kebahasaan yang
demikian membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi tergolong
masyarakat bilingual. Tampak sekali mereka tanpa mengalami kesulitan
menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili dan Bugis. Hal ini
dapat dilihat dari hasil jawaban responden yang sebanyak 100% memilih
menggunakan BI ketika berkomunikasi lewat surat-surat pribadi, baik kepada
etnis Kaili maupun etnis Bugis.
Penggunaan bahasa antaretnis ketika aktivitas berlangsung dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.30
Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
18. Anda berbicara dengan teman
memakai bahasa Bali.
Kemudian datang teman yang
berpenutur bahasa
Kaili/Bugis. Anda (a) tetap
menggunakan bahasa Bali, (b)
beralih ke bahasa Kaili/Bugis,
dan (e) beralih ke bahasa
Indonesia.
6% 94% - - -
Selain menggunakan BB, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi juga
menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan etnis Kaili dan Bugis. Hal ini
terbukti saat guyub tutur masyarakat Bali berbicara dengan sesamanya
menggunakan BB. Namun, ketika datang etnis Kaili/Bugis, guyub tutur
masyarakat Bali tersebut selain menggunakan BB juga menggunakan BI. Secara
49
lengkap hasil jawaban responden adalah sebanyak 94% memilih menggunakan BI
dan sebanyak 6% memilih menggunakan BB.
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
98%
2%
BB
BI
Diagram 5.11
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam surat-menyurat dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.31
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
19. Bahasa yang dipakai dalam
surat-surat pribadi kepada
rekan yang berpenutur bahasa
Bali
59% 23% - - 18%
Tabel 5.31 menunjukkan bahwa penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam
surat-menyurat didominasi oleh penggunaan BB. Dominannya penggunaan BB
oleh warga sesama etnis Bali menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa bangga
yang tinggi terhadap BB. Secara lengkap hasil jawaban responden adalah
50
sebanyak 59% memilih menggunakan BB, sebanyak 23% memilih menggunakan
BI, dan sebanyak 18% memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
23%
59%
18%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.12
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban
5.8 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama
Penggunaan bahasa dengan etnis Kaili dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.32
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
20. Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Kaili
- 100% - - -
21. Bahasa yang dipakai jika
memberi ceramah kepada
umat yang berpenutur bahasa
Kaili
- 94% 6%- - -
51
Tabel 5.32 menunjukkan bahwa etnis Bali ketika bertanya kepada umat
yang berpenutur BK sebanyak 100% menggunakan BI. Mereka sama sekali tidak
menggunakan bahasa lain selain BI. Hal ini membuktikan bahwa BI telah
menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat pemersatu berbagai suku di
Indonesia.
Demikian pula ketika etnis Bali memberikan ceramah kepada umat yang
berpenutur BK. Sebagian besar etnis Bali menggunakan BI dan hanya sebagian
kecil menggunakan BK. Secara lengkap hasil jawaban responden adalah sebanyak
94% etnis Bali menggunakan BI dan sebanyak 6% etnis Bali menggunakan BK.
Penggunaan bahasa dengan etnis Bugis dalam kegiatan keagamaan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.33
Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
22. Bahasa yang dipakai jika
bertanya kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
- 94% - 6% -
23. Bahasa yang dipakai dalam
memberikan ceramah
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bugis
- 94% - 6% -
Tabel 5.33 menunjukkan bahwa sebagian besar etnis Bali menggunakan
BI ketika bertanya kepada umat yang berpenutur BBg. Demikian pula ketika etnis
Bali memberikan ceramah keagamaan kepada umat yang berpenutur BBg. Mereka
sebagian besar menggunakan BI dan hanya sebagian kecil menggunakan bahasa
Bugis. Secara lengkap hasilnya adalah sebanyak 94% etnis Bali menggunakan BI
dan hanya 6% etnis Bali menggunakan BBg.
52
Rekapitulasi penggunaan bahasa antaretnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
1,5%
95,5%
3%
BI
BK
BBg
Diagram 5.13
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama
Penggunaan bahasa intraetnis dalam kegiatan keagamaan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.34
Penggunaan Bahasa Intraetnis dalam Kegiatan Keagamaan
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI BS
24.
25.
26.
Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu jika
berbicara dengan umat yang
berpenutur bahasa Bali
Bahasa yang dipakai bila
melakukan Trisandhya
Bahasa yang dipakai saat
Dharma Wacana di pura
59%
-
12%
6%
-
23%
-
-
-
-
-
-
35%
-
65%
-
100%
-
Tabel 5.34 menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh
penceramah agama Hindu ketika berbicara dengan umat yang berpenutur BB
adalah mayoritas BB. Hasil secara lengkap adalah sebanyak 59% etnis Bali
menggunakan BB. Selebihnya, sebanyak 6% etnis Bali menggunakan BI dan
sebanyak 35% etnis Bali menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
53
Khususnya untuk pelaksanaan Trisandhya, etnis Bali mayoritas
menggunakan BS. Hal ini tidak ada bedanya dengan pelaksanaan Trisandhya di
Bali yang sebagian besar warganya menggunakan BS. Artinya, sebanyak 100%
warga Bali di Parigi menggunakan BS pada saat melakukan Trisandhya.
Bahasa yang dipergunakan warga Bali di Parigi saat berdarma wacana
sangat bervariasi, yaitu sebanyak 23% menggunakan BI, 12% menggunakan BI,
dan 65% menggunakan BB yang dicampur dengan BI. Dengan perkataan lain,
penggunaan BB yang dicampur dengan BI lebih dominan dibandingkan dengan
penggunaan bahasa lainnya.
Penggunaan bahasa intraetnis Bali dalam kegiatan agama lainnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.35
Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Agama Lainnya
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
27. Bahasa yang dipakai bila
mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang
berpenutur bahasa Bali
65% 6% - - 29%
28. Bahasa yang dipakai bila
berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur bahasa
Bali
71% 12% - - 17%
29. Bahasa yang dipakai
penceramah agama Hindu
kepada umat yang berpenutur
bahasa Bali dan umat yang
berpenutur bahasa non-Bali
17% 65% - - 18%
Bahasa yang digunakan oleh warga Bali ketika mengumumkan berita
keagamaan kepada umat yang berpenutur BB sangat bervariasi. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 5.35. Pada tabel tersebut warga Bali lebih dominan memilih
54
menggunakan BB dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya
adalah penggunaan BB sebanyak 65%, penggunaan BI sebanyak 6%, dan
penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 29%.
Demikian pula bahasa yang dipakai ketika berurusan dengan pengurus
pura yang berpenutur BB. Sebagian besar umat memilih menggunakan BB
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Secara lengkap hasilnya adalah 71% warga
Bali memilih menggunakan BB, 12% warga memilih menggunakan BI, dan 17%
warga Bali memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Pertanyaan 29 pada tabel 5.35 menunjukkan bahwa penggunaan BI lebih
dominan dibandingkan dengan penggunaan bahasa lainnya. Secara lengkap
hasilnya adalah penggunaan BI sebanyak 65%, penggunaan BB sebanyak 17%,
dan penggunaan BB yang dicampur dengan BI sebanyak 18%. Dominannya
penggunaan BI dibandingkan dengan bahasa lainnya sangat wajar sebab peserta
ceramah selain umat Bali juga dihadiri oleh umat non-Bali.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah agama dapat dilihat
pada diagram di bawah ini.
19%
37%
27%
17%
BBBIBSBB/BI
Diagram 5.14
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama
55
5.9 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian
Penggunaan bahasa ketika etnis Bali latihan seni dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 5.36
Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
30. Bahasa yang dipakai dalam
latihan menari
53% 29% - - 18%
31. Bahasa yang dipakai dalam
latihan matembang
76% 12% - - 12%
32. Bahasa yang dipakai dalam
latihan magamel
70% 24% - - 6%
Tabel 5.36 menunjukkan bahwa pemakaian BB lebih dominan
dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya. Jawaban responden
menggambarkan bahwa bahasa yang dipakai dalam latihan seni adalah 53% BB,
29% BI, dan 18% BB yang dicampur dengan BI. Dalam latihan matembang,
warga Bali pun lebih dominan memilih menggunakan BB dibandingkan dengan
bahasa lainnya. Hasilnya adalah 76% responden memilih menggunakan BB, 12%
responden memilih menggunakan BI, dan 12% responden memilih menggunakan
BB yang dicampur dengan BI. Bahasa yang dipakai dalam latihan matembang pun
demikian. Sebanyak 70% responden menggunakan BB, sebanyak 24% responden
menggunakan BI, dan sebanyak 6% responden menggunakan BB yang dicampur
dengan BI.
Penggunaan bahasa ketika pentas seni dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
56
Tabel 5.37
Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
33. Bahasa yang dipakai dalam
pentas tari
64% 24% - - 12%
34. Bahasa yang dipakai dalam
pentas matembang
76% 12% - - 12%
35. Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel
70% 18% - - 12%
Bahasa yang dipergunakan dalam pentas tari, matembang, dan magamel
sangat bervariasi. Sebagian besar warga Bali di Parigi menggunakan BB saat
pentas seni. Hasil jawaban responden dapat dilihat pada tabel 5.37. Sebanyak 64%
responden menggunakan BB dalam pentas tari, sebanyak 24% responden
menggunakan BI, dan sebanyak 12% responden menggunakan BB yang dicampur
dengan BI. Bahasa yang dipakai dalam matembang pun demikian. Sebanyak 76%
responden menggunakan BB, sebanyak 12% responden menggunakan BI, dan
sebanyak 12% menggunakan BB yang dicampur BI. Bahasa yang dipakai dalam
pentas magamel bervariasi juga. Hasilnya, sebanyak 70% responden
menggunakan BB, sebanyak 18% responden menggunakan BI, dan sebanyak 12%
menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
57
20%
68%
12%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.15
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian
5.10 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari di rumah dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.38
Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah
No. Kegiatan BB BI BK BBg BB/BI
36. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan istri
tentang hal-hal biasa
- - - - -
37. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan suami
tentang hal-hal yang biasa
- - - - -
38. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan bapak di
rumah
47% 29% - - 24%
39. Bahasa yang dipakai di rumah
bila berbicara dengan ibu di
rumah
47% 29% - - 24%
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari didominasi oleh
pemakaian BB. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.38. Secara lengkap hasilnya
adalah sebanyak 47% responden memilih menggunakan BB ketika berbicara
58
dengan bapak di rumah, sebanyak 29% responden memilih menggunakan BI, dan
sebanyak 24% memilih menggunakan BB yang dicampur dengan BI.
Demikian juga saat berbicara dengan ibu di rumah. Sebagian besar
responden memilih menggunakan BB, yaitu sebanyak 47%, selebihnya pemakaian
BI sebanyak 29%, dan pemakaian BB yang dicampur dengan BI sebanyak 24%.
Penggunaan bahasa kepada bapak berdasarkan topik dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 5.39
Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik
No. Kegiatan BB BI BK BBq BB/BI
40. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik agama
59% 29% - - 12%
41. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
pendidikan di rumah
53% 29% - - 18%
42. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik
kesehatan di rumah
52% 24% - - 24%
43. Bahasa yang dipakai bila
berbicara dengan bapak saat
membicarakan topik sehari-
hari di rumah
59% 29% 12%
Penggunaan bahasa yang bervariasi masih mewarnai penggunaan bahasa
berdasarkan topik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.39. Secara lengkap hasilnya
adalah 59% responden memilih BB saat berbicara tentang topik agama, 29%
responden memilih BI, dan 12% responden memilih BB yang dicampur dengan
BI.
59
Pertanyaan 41 pun demikian. Sebanyak 53% responden memilih BB saat
berbicara tentang topik pendidikan, sebanyak 29% responden memilih BI, dan
sebanyak 18% responden memilih BB yang dicampur dengan BI.
Demikian juga ketika warga Bali berbicara tentang topik kesehatan.
Sebanyak 52% responden memilih BB saat berbicara tentang topik kesehatan.
Sebanyak 24% responden memilih BI, dan sebanyak 24% responden memilih BB
yang dicampur dengan BI. Pertanyaan 43 juga menunjukkan pemakaian BB lebih
dominan dibandingkan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Rekapitulasi penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga dapat
dilihat pada diagram di bawah ini.
28%53%
19%
BB
BI
BB/BI
Diagram 5.16
Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga
Seperti diketahui jumlah instrumen, baik pada ranah pekerjaan, kekariban,
maupun agama berbeda. Namun, jumlah responden yang menjawab pertanyaan
tetap sama. Khusus, instrumen pada ranah kesenian dan keluarga tidak melibatkan
etnis lain karena kegiatan yang dilakukan pada ranah tersebut untuk mengetahui
penggunaan bahasa etnis Bali di luar daerah asalnya, yaitu Bali.
60
BAB VI
ALIH KODE GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI,
SULAWESI TENGAH
6.1 Alih Kode dalam Peristiwa Tutur
Pada hakikatnya tidak setiap individu mampu berkomunikasi hanya
dengan satu ragam bahasa. Apalagi dalam masyarakat terdapat beraneka ragam
masalah. Hal ini mengakibatkan setiap individu memerlukan ragam-ragam bahasa
yang tepat mengenai sasaran. Artinya, ragam bahasa apa yang dipergunakan
dalam berkomunikasi sangat bergantung pada konteks sosial yang melingkupi
peristiwa tutur tersebut.
Sehubungan dengan itu, tidak menutup kemungkinan suatu saat seseorang
menggunakan satu ragam tertentu, tetapi pada saat yang lain menggunakan ragam
bahasa yang berbeda. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan mitra wicara
yang berkasta lebih tinggi, ragam bahasa yang dipergunakan adalah ragam bahasa
Bali halus. Namun, ketika bertemu dengan seseorang yang berkasta lebih rendah,
ragam bahasa yang dipergunakan adalah ragam BBL. Ada juga penutur ketika
berkomunikasi tidak memperhatikan sistem kasta mitra wicaranya, tetapi
cenderung melihatnya dari segi usia. Artinya, jika penutur berkomunikasi dengan
mitra wicara yang lebih tua usianya, ragam bahasa yang dipergunakan adalah
ragam BBH. Namun, ketika mitra wicaranya berusia lebih muda, ragam bahasa
yang dipergunakan pun berubah dengan menggunakan bahasa Bali ragam lumrah.
Artinya, di sini penutur/partisipan telah melakukan alih kode dari ragam BBL ke
ragam BBH, atau sebaliknya, dari bahasa Bali ragam halus ke bahasa Bali ragam
61
lumrah. Terjadinya peristiwa alih kode tersebut tampaknya sangat berkaitan
dengan konteks sosial.
6.2 Kaitan Alih Kode dengan Konteks Sosial
Topik mengenai kaitan alih kode dengan konteks sosial perlu dibahas
sebab alih kode sangat bergantung pada konteks sosial. Konteks sosial yang
dimaksud, baik dalam bentuk situasi resmi maupun takresmi.
Bahasa dalam situasi resmi adalah ragam bahasa yang dipakai (1) dalam
tulis menulis resmi, misalnya dalam perundang-undangan, dokumen tertulis, surat
yang berlaku di kalangan pemerintahan, dan (2) dalam pertemuan resmi, misalnya
rapat, kuliah, ceramah. Ragam bahasa yang dipakai dalam situasi takresmi,
misalnya ragam bahasa yang dipakai oleh orang yang tawar-menawar di pasar.
Tidak mungkin dalam situasi seperti itu lahir kalimat, “Perkenankan saya untuk
bertanya, berapakah harga kangkung ini seikat?”, “Izinkanlah saya menawar
kangkung Bapak yang saya muliakan.” Kalau kalimat ini digunakan, tentu penjual
kangkung tadi heran dan barang kali tidak mengerti apa yang dikatakan pembeli.
Mengapa dia tidak mengerti? Dia tidak mengerti karena bahasa tersebut kurang
tepat. Bahasa itu terlalu tinggi. Bahasa yang digunakan hendaknya sesuai dengan
situasi (Pateda, 1994:70).
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967), dalam bukunya
The Five Clock, membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu gaya atau
ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha
62
(konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab
(intimate).
Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling formal yang digunakan
dalam situasi khidmat dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara
kenegaraan, khotbah di masjid, kitab undang-undang dan surat-surat keputusan.
Sebuah ragam disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya ditetapkan secara
mantap dan tidak boleh diubah.
Ragam resmi atau formal adalah variasi yang digunakan dalam rapat dinas,
surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu
standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau
standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi dan tidak dalam situasi tidak
resmi.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah-sekolah, rapat-rapat atau
pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Dapat juga dikatakan
bahwa ragam usaha adalah ragam bahasa yang paling operasional.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi tidak resmi. Ragam santai cenderung digunakan untuk berbincang-
bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolah raga,
berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antarkeluarga,
63
antarteman yang sudah akrab, dan sebagainya. Ragam ini ditandai dengan
penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi
yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada saling
pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.
Dari lima macam gaya yang dikemukakan oleh Martin Joos, penelitian ini
lebih terfokus pada tiga gaya saja, yaitu gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau
ragam tidak resmi (nonformal), dan gaya akrab. Ketiga gaya tersebut dapat dilihat
pada data 6, data 7, dan data 3.
6.2.1 Alih kode dalam situasi resmi
Seperti diketahui, alih kode dalam situasi resmi pada umumnya terjadi di
sekolah, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, dan buku-buku
pelajaran. Berikut dikemukakan fenomena alih kode dalam situasi resmi.
Data 6
Latar : Kantor Kepala Desa
Topik : Keberadaan Mahasiswa
Partisipan : Tamu (01)
Kepala Desa (02)
(01) : (1) … Ada mahasiswa deriki, Pak?
„… Ada mahasiswa di sini, Pak?‟
(02) : (2) Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana banyak.
: (3) Kalau di dusun III ini termasuk paling lambat pendidikannya.
: (4) Sekarang ada sekitar 4 barang kali pegawainya.
: (5) Di dusun I di Pancasari sekitar 15 sudah jadi pegawai.
: (6) Sehingga kemarin di ulang tahun desa terjadi kesenjangan, ada
seorang warga berkata.
: (7) Beh, cang sing ngelah guru, nyen orain cang jani senam, nyak sing
milu senam.
„Wah, saya tidak punya guru, siapa diberi tahu sekarang senam,
tidak mau ikut senam.‟
: (8) Nah, sekarang sudah ada pemerataan.
: (9) Dusun III ini sekarang paling banyak mahasiswanya.
64
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BI yang dicampur
dengan BBH, seperti tampak pada K1, Ada mahasiswa deriki, Pak? „Ada
mahasiswa di sini, Pak?‟ Kemudian, O2 meresponsnya dengan menggunakan BI,
seperti tampak pada K2, Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana banyak. Hal ini
sesuai dengan kaidah sosiolinguistik bahwa siapa pun yang diajak berbicara pada
umumnya mengikuti konteks yang melingkupi peristiwa tutur. Kebetulan konteks
yang melingkupi peristiwa tutur itu resmi, O2 meresponsnya dengan
menggunakan BI, seperti tampak pada K2, K3, K4, K5, K6, K8, dan K9.
Berhubung situasinya resmi dan tempatnya di Kantor Kepala Desa, bahasa
yang digunakan sebagian besar bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk kalimat yang
digunakan panjang-panjang dan lengkap, seperti tampak pada data 6. Kalimat 1,
Ada mahasiswa deriki, Pak?; kalimat 2, Kalau mahasiswa ada dan sudah sarjana
banyak; kalimat 3, Kalau di dusun III ini termasuk paling lambat pendidikannya;
kalimat 4, Sekarang ada sekitar 4 barang kali pegawainya; kalimat 5, Di dusun I
di Pancasari sekitar 15 sudah menjadi pegawai; kalimat 6, Sehingga kemarin di
ulang tahun desa terjadi kesenjangan, ada seorang warga berkata….; dan
seterusnya.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai K7, Beh, cang sing
ngelah guru, nyen orain cang jani senam, nyak sing milu senam „Wah, saya tidak
punya guru, siapa saya suruh sekarang senam, tidak mau ikut senam.‟ Alih kode
tersebut dilakukan oleh O2 dari BI pada K6 ke BB pada K7. Peralihan kode
tersebut disebabkan oleh keinginan O2 mengutip pembicaraan orang lain, seperti
tampak pada K7.
65
Peralihan kode juga terjadi dari BB pada K7 ke BI pada K8. Alih kode
tersebut dilakukan oleh O2 setelah selesai mengutip pembicaraan orang lain.
Maksudnya, O2 kembali menggunakan BI setelah menggunakan BB. Hal ini
dilakukan oleh O2 karena memang situasinya masih formal.
6.2.2 Alih kode dalam situasi takresmi
Dalam situasi takresmi, bahasa yang digunakan oleh partisipan ditandai
dengan bentuk-bentuk tuturan yag pendek, latar pada umumnya di warung kopi,
pinggir jalan, teras rumah, dan sebagainya. Agar lebih jelas, berikut dikemukakan
contoh alih kode dalam situasi takresmi.
Data 7
Latar : Rumah I Made Karyanto
Topik : Pekerjaan
Partisipan : Tamu (01)
Tuan Rumah (02)
(01) : (1) … Pak ke sawah, apa ke ladang?
(02) : (2) Ke sawah.
: (3) Ada bedik, ukuran 5 are.
„Ada sedikit, ukuran 5 are.‟
(01) : (4) Coklat banyak punya, Pak?
(02) : (5) Sing ngelah apa tiang.
„Tidak punya apa saya.‟
: (6) Pidan ngelah carik.
„Dahulu punya sawah.‟
: (7) Nu idup bapane, bapane ngelah.
„Masih hidup bapaknya, bapaknya punya.‟
: (8) Tapi sing tawang ada utangne.
„Tetapi tidak tahu ada hutangnya.‟
: (9) Adepa terus.
„Dijual terus.‟
Ciri-ciri bahasa yang digunakan pada data 7 menunjukkan bahwa peristiwa
tutur itu terjadi dalam situasi takresmi. Sebagian besar bahasa yang digunakan
66
dalam peristiwa tutur tersebut adalah bahasa Bali, seperti tampak pada K3, K5, K6,
K7, dan K8. Bahasa Bali yang digunakan pun tergolong BBL. Penggunaan bahasa
Indonesia hanya terdapat pada K1 dan K4. Selain itu, beberapa kalimat yang
digunakan tidak lengkap, seperti K2, Ke sawah. Kalimat tersebut hanya memiliki
satu fungsi, yaitu keterangan tempat. Demikian juga K9, Adapa terus „Dijual
terus.‟ Kalimat 9 hanya memiliki satu fungsi, yaitu predikat. Bahkan, ada kalimat
yang disingkat, seperti tampak pada K8, Tapi sing tawang ada utangne. „Tetapi
tidak tahu ada hutangnya.‟.
Bentuk /tapi/ pada K8 seharusnya diubah menjadi /tetapi/. Bentuk /sing/
pada hakikatnya merupakan singkatan dari kata /tusing/ „tidak‟. Namun, karena
peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi takresmi, penggunaan kalimat itu
dibenarkan dalam sosiolinguistik. Dalam sosiolinguistik tidak ada tuturan yang
benar atau salah. Semua tuturan selalu berkaitan dengan situasi tempat peristiwa
tutur itu berlangsung.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Ada bedik, ukuran 5
are. „Ada sedikit, ukuran 5 are.‟ Alih kode itu tergolong alih kode intrakalimat.
Maksudnya, alih kode tersebut terjadi antarklausa dalam sebuah kalimat. Klausa
pertama menggunakan BB, yaitu # ada bedik # „ada sedikit‟ dan klausa kedua
menggunakan BI, yaitu # ukuran 5 are #.
6.2.3 Alih kode dalam situasi akrab
Makna sebuah tuturan dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
situasi/tempat berlangsungnya peristiwa tutur, dan kedekatan partisipan. Makna
yang demikian terdapat pada data berikut.
67
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Kutipan beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan
bahasa Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12. Penggunaan
BB dapat dilihat pada K5, K6, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada pada K7,
K10, dan bahasa Inggris dapat dilihat pada pada K13. Penggunaan keempat bahasa
itu wajar karena situasinya takresmi.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris pada K13, Sip, sip, oke! „Ya, ya saya setuju.‟ Alih
kode itu dilakukan oleh O2 untuk menunjukkan keakraban mereka sebagai
sahabat. Apalagi keduanya sama-sama berasal dari etnis Bali.
Makna alih kode tampak ketika terjadi peralihan kode dari bahasa Bali ke
bahasa Inggris. Dengan melihat bahasa yang digunakan pada K13, tampak sekali
68
adanya kedekatan di antara mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tuturan yang terdapat pada K13 bermakna akrab.
Alih kode yang bermakna akrab lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 16
(01) : (1) Jumei mokuya?
Datang baapa?
„Untuk apa datang kemari?‟
(02) : (2) Datang basiara.
Datang pesiar.
„Silaturahmi.‟
(01) : (3) Impia komi narata?
„Kapan kamu datang?‟
(02) : (4) Tadi.
(01) : (5) Mapia manjili?
„Kapan pulang?‟
(02) : (6) Hari Minggu.
(01) : (7) “Ri Palu riva komiu?”
Di Palu di mana kamu?
„Kamu di mananya di Palu?‟
(02) : (8) Jalan Thamrin.
Beberapa tuturan pada data 16 menggunakan BK, BI/BK, dan BI.
Penggunaan bahasa Kaili dapat dilihat pada K1, K3, K5, dan K7. Penggunaan
BI/BK dapat dilihat pada K2, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K4, K6,
dan K8.
Jika diperhatikan secara saksama, sebagian besar bahasa Kaili digunakan
oleh O1 yang berasal dari etnis Bali, sedangkan O2 yang berasal dari etnis Kaili-
Bugis sebagian besar menggunakan BI. Hal ini tentu sangat mengejutkan. Hal ini
disebabkan oleh hubungan di antara mereka yang sangat akrab.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K4, Tadi. Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BK/BI pada K2 ke BI pada K4. Peralihan kode disebabkan
69
oleh pengetahuan O2 yang kurang menguasai bahasa Kaili. Walaupun demikian,
tampak adanya keakraban di antara mereka ketika komunikasi berlangsung.
Dengan melihat bahasa yang digunakan, baik oleh O1 maupun O2, tampak
sekali terjadinya keakraban di antara mereka. Penggunaan bahasa yang berbeda
tidak mengurangi rasa keakraban yang ditunjukkan oleh O1 dan O2. Dengan
demikian, tuturan di atas, terutama tuturan pada alih kode, dapat dikatakan
memiliki makna akrab.
6.3 Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang macam-macam alih kode, pada
kesempatan ini dikemukakan pembagian alih kode menurut para pakar
sosiolinguistik. Bloom dan Gumperz membagi alih kode menjadi dua bagian,
yaitu: (1) alih kode metaforis dan (2) alih kode situasional. Selanjutnya, Jendra
melihat pembagian alih kode dari beberapa segi: (1) alih kode berdasarkan
kekerabatan bahasa, (2) alih kode berdasarkan variasi lingual, (3) alih kode
berdasarkan penguasaan bahasa, (4) alih kode berdasarkan kelengkapan tutur, dan
(5) alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan.
Selain kedua pakar tersebut, Suwito membedakan alih kode atas dua
macam, yaitu: (1) alih kode internal dan (2) alih kode eksternal. Alih kode internal
adalah alih kode yang terjadi antarbahasa sendiri, sedangkan alih kode eksternal
adalah alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri dan bahasa asing.
70
Jika diperhatikan secara cermat, pembagian alih kode tersebut selain
memiliki perbedaan juga memiliki persamaan. Persamaannya dapat dilihat pada
aspek kekerabatan bahasa. Jika Jendra membagi alih kode berdasarkan
kekerabatan bahasa menjadi alih kode ke dalam dan ke luar, Suwito membaginya
menjadi alih kode internal dan alih kode eksternal. Perbedaannya hanya pada
istilah, sementara kandungan isinya sama.
Poplack (dalam Romaine, 1995:122) membagi alih kode dengan melihat
dari distribusinya dalam kalimat. Poplack membagi alih kode menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) alih kode dalam bentuk tag, yaitu alih kode yang terjadi pada akhir
kalimat. Alih kode ini pada dasarnya untuk menegaskan tuturan, baik pada bahasa
yang sama maupun berbeda, (2) alih kode interkalimat, yaitu alih kode yang
terjadi pada antarkalimat, dan (3) alih kode intrakalimat, yaitu alih kode yang
terjadi di dalam suatu kalimat.
Sehubungan dengan pembagian alih kode di atas, penelitian ini terfokus
pada pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Jendra. Penjelasan mengenai
pembagian alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.1 Alih kode berdasarkan kekerabatan bahasa
Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: (1) alih kode ke dalam (internal code-switching) dan (2) alih kode
ke luar (external code-switching) (Jendra, 2007:160). Penjelasan tentang alih kode
ke dalam dan alih kode ke luar dapat dilihat pada uraian berikut.
71
6.3.1.1 Alih kode ke dalam (internal code-switching)
Alih kode ke dalam adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang
serumpun. Artinya, alih kode tersebut dapat terjadi antara bahasa Bali dan Jawa,
bahasa Bali dan Indonesia, bahasa Kaili dan bahasa Bali, dan sebagainya.
Kaberadaan alih kode ke dalam dapat dilihat pada beberapa tuturan yang terdapat
pada data berikut.
Data 8
Latar : Warung kopi
Topik : Keamanan desa
Partisipan : Pembeli (01)
Penjual (02)
(01) : (1) Aman-aman gen dini Pak?
„Aman-aman saja di sini Pak?‟
(02) : (2) Sampai jani sejak tiang dini sing ja ada kerusuhan.
„Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
(01) : (3) Tiang, dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1,
2, dan 3. Dini sing ja kenapa-kenapa?
„Saya dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1, 2,
dan 3. Di sini tidak apa-apa?‟
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
: (9) Cara pitutur Baline, apang ngikutin desa, kala, patra, sing keto
Pak?
„Seperti ungkapan Bali-nya, supaya mengikuti desa, kala, patra,
kan begitu Pak?‟
Pada awalnya O1 menggunakan BBC, seperti tampak pada K1, Aman-
aman gen dini Pak? „Aman-aman saja di sini Pak?‟ Kemudian direspons oleh O2
72
dengan menggunakan BBC juga untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh
O1.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini‟ ke BI pada K7.
Alih kode itu terjadi karena O2 ingin mengutip sebuah pepatah dalam bahasa
Indonesia.
Jika diperhatikan secara saksama, peralihan kode tersebut terjadi antara
BBC pada K6 dan BI pada K7. Oleh karena itu, fenomena alih kode tersebut dapat
digolongkan sebagai alih kode ke dalam (internal code-switching), yaitu peralihan
kode yang terjadi antarbahasa serumpun.
6.3.1.2 Alih kode ke luar (external code-switching)
Alih kode ke luar (external code-switching) adalah alih kode yang terjadi
pada bahasa-bahasa yang tidak serumpun. Bahasa-bahasa yang tidak serumpun
dapat juga diartikan sebagai bahasa-bahasa yang tidak sekerabat, seperti bahasa
Inggris, Belanda, Jepang, Jerman, dan sebagainya. Alih kode yang bersifat ke luar
ditemukan juga dalam penelitian ini.
6.3.2 Alih kode berdasarkan variasi lingual
Berdasarkan variasi lingual, alih kode dapat dibedakan menjadi: (1) alih
kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia, (2) alih kode yang
berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris, (3) alih kode yang berpola dari bahasa
73
Bali ke bahasa Kaili, dan (4) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa
Bugis. Penjelasan mengenai pola-pola alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut.
6.3.2.1 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia dapat dilihat
pada data berikut.
Data 9
Latar : Pasar Inpres Tagunung Parigi
Topik : Harga telur
Partisipan : Sahabat Ketut Sukawati (01)
Ketut Sukawati, pedagang (02)
Pembeli, etnis Kaili (03)
(01) : (1) Ba ada atiban medagang, Bu?
„Sudah ada setahun berjualan, Bu?‟
(02) : (2) Tiang ba lebih dua puluh tahunan.
„Saya sudah lebih dua puluh tahun.‟
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
Jika diperhatikan secara saksama, sebagian besar data 9 menggunakan
BBC. Hal ini terlihat jelas pada K1, K2, K3, K4, K7, dan K8. Hanya sebagian kecil
data 9 menggunakan BI, yaitu K5 dan K6. Penggunaan BBC pada data 9 sangat
wajar karena situasinya memang santai dan berlokasi di sebuah pasar tradisional.
74
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K6, Empat, lima
ribu. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K4, Tiang men tahun tujuh
tiga deriki, kudang tahun ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa
tahun sudah?‟, ke BI pada K6.
Berhubung peralihan kode tersebut dari BBC ke BI, peralihan kode itu
dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia. Penyebab alih kode
adalah kehadiran O3 yang berasal dari etnis Kaili. Apalagi, O3 memulai
pembicaraannya dengan menggunakan BI, seperti tampak pada K5, Berapa
telurnya?
6.3.2.2 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris dapat dilihat
pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
75
Beberapa tuturan pada data 3 menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan
oleh O1 dan O2 cukup bervariasi. Pada awalnya, O1 menggunakan BBC, seperti
tampak pada K4, Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini? „Wah, saya kan
minta pada adik, bagaimana ini?‟ Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan
menggunakan BB pada K5, Kenkenne, ada apa ne? „Bagaimana ini, ada apa?‟
Selain BBC dan BB, tuturan di atas juga menggunakan bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Inggris oleh O2 semata-mata karena kedekatannya dengan O1
sebagai sahabat karib.
Jika diperhatikan dengan cermat data di atas, sebagian besar O1
menggunakan BBC, sedangkan O2 sebagian besar menggunakan BB dalam
tuturannya. Peralihan kode terjadi karena pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip,
oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 sekadar agar dirinya
dianggap terpelajar. Oleh karena itu, O2 beralih kode dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris, pada K13. Berhubung peralihan kode itu terjadi dari
bahasa Bali ke bahasa Inggris, alih kode itu dapat dikatakan berpola dari bahasa
Bali ke bahasa Inggris.
6.3.2.3 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili dapat dilihat pada
data berikut.
Data 10
Latar : Pasar Parigi
Topik : Harga minyak kelapa
Partisipan : Tetangga, etnis Bali (01)
Pedagang, etnis Bali (02)
Pembeli, etnis Kaili (03)
76
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih?
„… Dipakai kue, ya?‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
: (6) Ari, isi dulu minyak itu Nak!
: (7) Ada di jiriken itu.
Beberapa tuturan pada data 10 menggunakan bentuk-bentuk kalimat yang
bervariasi. Ada kalimat yang dibentuk dengan satu kata pada K2, Nggih. „Ya‟; ada
kalimat yang dibentuk dengan dua kata pada K3, Apa le? „Cari apa?‟; ada kalimat
yang dibentuk dengan tiga kata pada K1, … Anggona kue, nggih? „… Dipakai kue,
ya‟; ada kalimat yang dibentuk dengan empat kata pada K7, Ada di jiriken itu; ada
kalimat yang dibentuk dengan lima kata pada K5, Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
Bahkan, ada kalimat yang dibentuk dengan enam kata pada K6, Ari, isi dulu
minyak itu Nak!
Penggunaan bentuk-bentuk kalimat yang bervariasi itu sangat wajar karena
peristiwa tutur itu berlangung dalam situasi santai. Dalam situasi santai tidak
tertutup kemungkinan digunakan juga bahasa yang bervariasi, seperti halnya data
10. Jika dilihat secara cermat, bahasa yang digunakan adalah BB pada K1, K2; BK
pada K3; dan BI pada K4, K5, K6, dan K7.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le? „Cari
apa?‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K2 ke BK pada K3. Peralihan
kode disebabkan oleh kehadiran O3. Berhubung peralihan kode terjadi dari BB ke
BK, alih kode itu dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili.
77
6.3.2.4 Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis
Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis dapat dilihat
pada data berikut.
Data 11
Latar : Ruang tamu
Topik : Bahasa Kaili
Partisipan : Ketut Somanadi, etnis Bali (01)
Tetangga, etnis Bali (02)
Nukbah, etnis Kaili (03)
(O1) : (1) … Tapi kalau bahasa Kaili Pak, di situ bilang, ‘Sema sanga miu?
„… Tapi kalau bahasa Kailinya Pak, di situ mengatakan „Siapa
namamu?‟
: (2) Sakuya muni umuru miu?
„Berapa umurmu?‟
: (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Data 11 menunjukkan bahwa di Parigi ada seorang warga etnis Bali yang
sangat menguasai BK. Bahkan, O1 berusaha mengajarkan BK kepada tetangganya
yang kebetulan berasal dari etnis Bali juga. Hal ini juga terlihat dari komunikasi
yang dilakukan oleh O1 terhadap O2.
Pada awalnya O1 menggunakan BI yang dicampur dengan bahasa Kaili
ketika berbicara dengan O2. Dari caranya berbicara tampak O1 sangat antusias
mengajarkan BK pada O2. Hal ini tampak pada K1, K2, K3, K4, K5, dan K6.
78
Selanjutnya, O2 meresponsnya dengan menggunakan BI pada K7, Berturut-turut,
oh!
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BBC pada K6
Keto ba, nak berturut-turut to „Begitu sudah, orang berturut-turut itu‟ ke bahasa
Bugis pada K9. Hal ini sengaja dilakukan oleh O1 untuk merahasiakan sesuatu.
Berhubung peralihan kode terjadi dari bahasa Bali ke bahasa Bugis, alih kode itu
dapat dikatakan berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis.
6.3.3 Alih kode berdasarkan kelengkapan tutur
Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) alih kode dari tuturan yang lengkap ke yang tidak lengkap, dan
(2) alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke yang lengkap. Kedua macam alih
kode tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.3.1 Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap
Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap dapat
dilihat pada data berikut.
Data 12
Latar : Ruang tamu
Topik : Keluarga
Partisipan : Ketut Somanadi, etnis Bali (01)
Abdul Samad, etnis Jawa (02)
Nukbah, etnis Kaili (03)
(01) : (1) Selamat malam!
(02) : (2) Malam!
(01) : (3) Piye to kabare?
„Bagaimana kabarnya?‟
79
(02) : (4) Kabare ya apik ae to.
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟
(01) : (5) Anake Mas ning Sulawesi piro?
„Anaknya Bapak di Sulawesi berapa?‟
(02) : (6) Papatlah.
„Empatlah.‟
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
Pada awalnya, O1 memulai pembicaraan dengan menggunakan BI, seperti
tampak pada K1, Selamat malam! Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan
menggunakan BI, seperti tampak pada K2, Malam! Pada umumnya dalam suatu
peristiwa tutur O2 mengikuti bahasa yang digunakan oleh O1. Jika O1 memulainya
dengan menggunakan BI, O2 pun meresponsnya dengan menggunakan BI.
Demikian pula tuturan pada K3 dan K4. Jika O1 menggunakan bahasa
Jawa, seperti tampak pada K3, Piye to kabare? „Bagaimana kabarnya?‟, O2 pun
meresponsnya dengan menggunakan bahasa Jawa pada K4, Kabare ya apik ae to
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟ Tuturan pada kalimat berikutnya pun demikian,
seperti tampak pada K5, K6, K7, K8, K9, K10, K11, K12, K14, dan K15.
80
Fenomena alih kode terjadi dari BJ pada K11, Mas anake tanggal piro ning
anu berangkate? „Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟ ke BI pada K13,
September. Alih kode tersebut menggunakan tuturan lengkap dan taklengkap.
Tuturan lengkapnya menggunakan BJ, sedangkan tuturan taklengkapnya
menggunakan BI, seperti tampak pada K11 dan K13. Tuturan lengkap maksudnya
unsur-unsur yang membentuk klausa tersebut lengkap, misalnya ada unsur S, P,
O, dan K, sedangkan tuturan taklengkap maksudnya unsur-unsur yang
membentuk klausa tersebut taklengkap, misalnya hanya ada unsur S atau P.
6.3.3.2 Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap
Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap dapat
dilihat pada data berikut.
Data 12
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
81
Beberapa tuturan pada data 12 dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa
pada K7, K8, K9, K10, K11, K14, dan K15. Hanya K12 menggunakan bahasa Jawa
dicampur dengan BI. Selebihnya, tuturan tersebut menggunakan BI, seperti
tampak pada K13 dan K16.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K15, Jadi,
karo sopo ning kono? „Jadi, dengan siapa di sana?‟ Peralihan kode dilakukan oleh
O1 dari BI pada K13, September, ke BJ pada K15. Dengan kata lain, peralihan kode
dilakukan oleh O1 dari tuturan taklengkap pada K13 ke tuturan lengkap K15.
6.3.4 Alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan
Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dibedakan menjadi dua
macam, yaitu (1) alih kode interkalimat (intersentential switching) dan (2) alih
kode intrakalimat (intrasentential switching). Kedua macam alih kode tersebut
dapat dilihat pada uraian berikut.
6.3.4.1 Alih kode interkalimat (intersentential switching)
Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data berikut.
Data 8.
(01) : (1) Aman-aman gen dini Pak?
„Aman-aman saja di sini Pak?‟
(02) : (2) Sampai jani sejak tiang dini sing ja ada kerusuhan.
„Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
(01) : (3) Tiang, dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1,
2, dan 3. Dini sing ja kenapa-kenapa?
„Saya dengar dulu kan ada kerusuhan Poso, malahan ada jilid 1, 2,
dan 3. Di sini tidak apa-apa?‟
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
82
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Fenomena alih kode selain bersifat intrakalimat, ada juga yang bersifat
interkalimat. Alih kode interkalimat adalah alih kode yang terjadi antara kalimat
satu dan kalimat lainnya. Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data 8.
Pada awalnya, O1 bertutur dengan menggunakan BBC dan direspons oleh
O2 dengan menggunakan BBC juga, seperti tampak pada K1 Aman-aman gen dini
Pak? „Aman-aman saja di sini Pak?‟ dan K2, Sampai jani sejak tiang dini sing ja
ada kerusuhan. „Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
Penggunaan BBC oleh O2 tiada lain untuk mengimbangi tuturan O1 yang memulai
pembicaraan dengan menggunakan BBC. Bahasa Bali campur adalah bahasa Bali
yang dalam penggunaannya dicampur dengan bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟ ke BI pada K7.
Peralihan kode terjadi antara kalimat satu dan kalimat lainnya sehingga dapat
digolongkan sebagai alih kode interkalimat.
6.3.4.2 Alih kode intrakalimat (intrasentential switching)
Alih kode intrakalimat dapat dilihat pada data berikut.
Data 7
(01) : (1) … Pak ke sawah, apa ke ladang?
(02) : (2) Ke sawah.
: (3) Ada bedik, ukuran 5 are.
„Ada sedikit, ukuran 5 are.‟
83
(01) : (4) Coklat banyak punya, Pak?
(02) : (5) Sing ngelah apa tiang.
„Tidak punya apa saya.‟
: (6) Pidan ngelah carik.
„Dahulu punya sawah.‟
: (7) Nu idup bapane, bapane ngelah.
„Masih hidup bapaknya, bapaknya punya.‟
: (8) Tapi sing tawang ada utangne.
„Tetapi tidak tahu ada hutangnya.‟
: (9) Adepa terus.
„Dijual terus.‟
Pada awalnya, O1 memulai pembicaraan dengan menggunakan BI pada
K1, … Pak ke sawah, apa ke ladang? Kemudian, O2 meresponsnya dengan
menggunakan BI juga, seperti tampak pada K2, Ke sawah. Tuturan O2 direspons
lagi oleh O1 dengan menggunakan BI pada K4, Coklat banyak punya, Pak?
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Ada bedik, ukuran 5
are „Ada sedikit, ukuran 5 are.‟ Alih kode yang dilakukan oleh O2 terjadi pada
antarklausa dalam sebuah kalimat. Maksudnya, klausa pertama menggunakan BB
dan klausa kedua menggunakan BI, seperti tampak pada K3. Berhubung fenomena
alih kode terjadi pada antarklausa dalam sebuah kalimat, alih kode yang demikian
disebut alih kode intrakalimat (intrasentential switching).
6.3.5 Alih kode menurut Bloom dan Gumperz
Bloom dan Gumperz (1972) membedakan alih kode situasional
(situational code-switching) dan alih kode metaforis (metaphorical code-
switching). Penjelasan kedua alih kode tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah
ini.
84
6.3.5.1 Alih kode situasional
Alih kode situasional terjadi ketika perubahan bahasa menyertai perubahan
topik/partisipan atau setiap kali situasi komunikasi berubah. Bloom dan Gumperz
mencontohkan di dalam sebuah percakapan, para guru bahasa Navajo biasanya
berbicara bahasa Inggris, tetapi beralih ke bahasa Navajo untuk membicarakan
keluarga mereka. Mereka bisa juga secara situasional beralih ke dalam bahasa
Inggris apabila terdapat orang non-Navajo yang mendengarkan percakapan itu
sehingga pendatang baru itu tidak dikesampingkan.
Alih style bisa juga berubah secara situasional dalam percakapan, mungkin
ketika pesapa beralih dari wanita ke pria atau dari orang dewasa ke anak-anak atau
dengan peralihan dalam topik sosial ke topik kerja. Agar lebih jelas hal ini dapat
dilihat pada uraian berikut.
6.3.5.1.1 Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa
Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data
berikut.
Data 9
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!.
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
85
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BBC, seperti tampak
pada K3, Dua puluh tahunan deriki? „Dua puluh tahun di sini?‟ Tuturan O1 pun
direspons oleh O2 pada K4, Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun
ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K6, Empat,
lima ribu. Alih kode itu terjadi karena situasinya berubah. Maksudnya, topik
pembicaraannya berubah dari topik tentang kehidupan rumah tangga ke topik
harga telur. Perubahan topik pembicaraan inilah yang menyebabkan terjadinya
peralihan kode dari BBC pada K4, ke BI pada K6. Peralihan kode itu dapat
digolongkan sebagai alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa.
6.3.5.1.2 Alih kode situasional dalam bentuk alih style
Selain alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa, penelitian ini juga
menemukan alih kode dalam bentuk alih style. Alih kode yang demikian dapat
dilihat pada data berikut.
Data 5
(01) : (4) Ada rezeki kita terima, syukur.
: (5) Ada yang dimasak, syukur.
: (6) Jadi manusia tidak pernah syukur, wah.
(02) : (7) Bahaya!
(01) : (8) Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku,
mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat.
(03) : (9) Tiang pamit, nggih? (datang 03)
„Saya permisi ya?‟
(01) : (10) Mai wa, kenken bapanne seger?
„Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟
(03) : (11) Keto dogen ba, nak rematik.
„Begitu saja sudah, orang rematik.‟
(12) Sing taen kija-kija, jumah dogen.
„Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟
86
Pada awalnya, O1 menggunakan BI ketika berbicara dengan O2. Hal ini
dapat dilihat pada K4, K5, dan K6. Kemudian, O2 pun meresponsnya dengan
menggunakan BI pada K7, Bahaya!
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K10, Mai wa,
kenken bapanne seger? „Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟ Peralihan
kode itu dilakukan oleh O1 dari BI pada K8, Saya tidak sarjana, tapi saya hanya
belajar otodidak, baca buku, mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat. ke
BB pada K10, Mai wa, kenken bapanne seger? „Kemari Bibi, bagaimana bapaknya
sehat?‟ Alih kode itu dilakukan karena hadirnya O3 dalam pembicaraan.
Alih kode pada hakikatnya dilakukan juga oleh O3 dari BBH pada K9,
Tiang pamit, nggih? „Saya permisi ya?‟ ke BBL pada K11, Keto dogen ba, nak
rematik. „Begitu saja sudah, orang rematik.‟ dan K12, Sing taen kija-kija, jumah
dogen „Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟ Alih kode dilakukan oleh O3
untuk mengimbangi penggunaaan bahasa O1 yang menggunakan BBL. Berhubung
alih kode itu terjadi dari BBH ke BBL, fenomena bahasa tersebut dapat
digolongkan sebagai alih kode situasional dalam bentuk alih style.
6.3.5.2 Alih kode metaforis
Alih kode metaforis terjadi di dalam satu situasi, tetapi menambah makna
pada komponen tuturan, seperti hubungan peran yang dinyatakan. Alih kode
metaforis dalam kenyataannya dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu (1) alih kode
metaforis dalam bentuk alih bahasa, dan (2) alih kode metaforis dalam bentuk alih
style. Kedua bentuk alih kode metaforis tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
87
6.3.5.2.1 Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa
Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data
berikut.
Data 13
Latar : Pasar
Topik : Harga kaset
Partisipan : Baso, etnis Bugis (01)
Ketut Nadi, atnis Bali (02)
(01) : (1) Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟
(02) : (2) Sembilan belas, oh ne!
„Sembilan belas, oh ini!‟
(01) : (3) Kaset dangdut, dangdut.
(02) : (4) Oh, dangdut… sembilan belas.
(01) : (5) Sing dadi tawahin?
„Tidak boleh ditawar?‟
(02) : (6) Memang harga pas.
(01) : (7) Baang kuang bedik, nah?
„Berikan kurang sedikit, ya?‟
(02) : (8) Sudah pas hargane, sing dadi kuang.
„Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟
(01) : (9) Nyemak dua ne!
„Ngambil dua ini.‟
(02) : (10) Nyemak dua?
„Ngambil dua?‟
: (11) Nah, potong bin siu-siu.
„Ya, potong lagi seribu-seribu‟
: (12) Tiga puluh enam dadine.
„Tiga puluh enam jadinya.‟
Pada awalnya, O1 menggunakan BBC pada K1, Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟ Lalu direspons oleh O2 dengan menggunakan BBC juga,
seperti pada K2, Sembilan belas, oh ne! „Sembilan belas, oh ini!‟
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K4, Oh, dangdut…
sembilan belas. Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K2 ke BI
88
pada K4. Tuturan pada K4 menunjukkan bahwa O2 menggunakan bentuk metaforis
ketika berbicara dengan O1.
Alih kode pada data 13 dapat digolongkan sebagai alih kode metafora
dalam bentuk alih bahasa. Mengapa demikian? Pertama, tuturan yang terdapat
pada K4 tidak dapat diartikan kata per kata. Kedua, peralihan kode itu memiliki
makna tambahan.
6.3.5.2.2 Alih kode metaforis dalam bentuk alih style
Alih kode metaforis dalam bentuk alih style dapat dilihat pada data berikut.
Data 14
Latar : Dapur
Topik : Masak-memasak
Partisipan : Sahabat istri (01)
Istri (02)
Suami (03)
(01) : (1) … Orang masak itu tertekan!
: (2) Kita, ibu rumah tangga, mikir besok apa lagi?
(02) : (3) Ya, membosankan besok apa lagi?
(03) : (4) Jukut undis sambalnya sambal undis.
„Sayur undis sambalnya sambal undis.‟
(02) : (5) Ya saya kadang-kadang bertengkar cuma masalah makanan.
: (6) Saya bilang, Bli saya tidak sanggup.
„Saya katakan, Kak saya tidak sanggup.‟
: (7) Eh, eh gara-gara uyah-sera bisa cerai.
„Eh, eh gara-gara garam-terasi bisa cerai.‟
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BI. Tuturan O1
direspons oleh O2 dengan menggunakan BI juga pada K3, Ya, membosankan
besok apa lagi?
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Eh, eh gara-gara
uyah-sera bisa cerai „Eh, eh gara-gara garam-terasi bisa cerai‟ Peralihan kode ini
89
dilakukan oleh O2 dari BI pada K5, Ya, saya kadang-kadang bertengkar cuma
masalah makanan, ke BBC pada K7. Peralihan kode tersebut dapat digolongkan
sebagai alih kode metaforis dalam bentuk alih style. Maksudnya, tuturan pada K7
bukan dalam arti yang sebenarnya. Buktinya, meskipun tuturan pada K7 itu
disampaikan dalam peristiwa tutur, pasangan suami istri itu tetap utuh, harmonis,
dan tidak cerai.
Secara lengkap macam-macam alih kode tersebut dapat dilihat pada bagan
di bawah ini.
Macam-macam
Alih Kode
AK → Kekerabatan Bahasa
1. AK ke Dalam
2. AK ke Luar
AK → Variasi Lingual
1. AK BB → BI
2. AK BB → BIng.
3. AK BB → BK
4. AK BB → BBg
AK → Kelengkapan Tutur
1. AK Tutur Lengkap → Tutur Taklengkap
2. AK Tutur Taklengkap → Tutur Lengkap
AK → Ruang Lingkup Peralihan
1. AK Interkalimat
2. AK Intrakalimat
AK → Bloom dan Gumperz
1. AK Situasional
2. AK Metaforis
Bagan 6.1
Macam-macam Alih Kode Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
90
6.4 Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat
Bali di Parigi
Sebagai bahan perbandingan, pada kesempatan ini dikemukakan fungsi
alih kode dari para pakar sosiolinguistik; di antaranya: Gumperz, Wardhaugh,
Ibrahim, dan Chaer. Menurut Gumperz, alih kode memiliki enam fungsi, yaitu: (1)
untuk mengutip, (2) untuk mengkhususkan orang yang dituju, (3) untuk
menyampaikan seruan, (4) untuk mengulangi pernyataan, (5) untuk membatasi
pesan, dan (6) untuk personalisasi. Wardhaugh mengemukakan tiga fungsi alih
kode, yaitu: (1) untuk mengungkapkan rasa persahabatan, (2) keakraban, dan (3)
solidaritas pada seseorang atau mitra wicara, sementara Ibrahim mengemukakan
lima fungsi alih kode, yaitu: (1) sebagai penghalus atau penguat permintaan atau
perintah, (2) meninggikan intensitas, (3) untuk efek humor, (4) merasakan
sesuatu, dan (5) sebagai strategi perbaikan ketika para penutur menyadari bahwa
mereka telah menggunakan kode yang tidak benar.
Selain ketiga pakar tersebut, Chaer dan Agustina mengemukakan tiga
fungsi alih kode. Ketiga fungsi alih kode tersebut, yaitu: (1) untuk mendapatkan
keuntungan atau manfaat, (2) untuk menjalani rasa keakraban dan rasa kesamaan,
untuk mengimbangi kemampuan mitra wicara, dan (3) untuk memudahkan suatu
urusan dan persoalan.
Setelah dicermati dengan baik, ternyata pandangan para pakar sosio-
linguistik tentang fungsi alih kode cukup beragam. Meskipun demikian,
pandangan mereka memiliki persamaan juga, terutama pandangan dari
Wardhaugh dan Chaer. Pandangan mereka sama-sama memperlihatkan bahwa
91
alih kode memiliki fungsi untuk mengungkapkan rasa persahabatan dan
keakraban.
Sehubungan dengan fungsi alih kode, penelitian ini menemukan 10 fungsi
alih kode. Penjelasannya dapat dilihat pada uraian berikut.
6.4.1 Fungsi alih kode untuk menawar sesuatu
Fungsi alih kode untuk menawar sesuatu dapat dilihat pada data berikut.
Data 15
Latar : Pasar
Topik : Harga kaca mata
Partisipan : Gusli, etnis Bugis (01)
Wy. Netra, etnis Bali (02)
(01) : (1) Mai Pak cingakin!
„Mari Pak dilihat!‟
: (2) Kaca mata napi?
„Kaca mata apa?‟
(02) : (3) Kaca mata ne luung.
„Kaca mata yang bagus.‟
(01) : (4) Anggon menek motor.
„Pakai sepeda motor.‟
: (5) Nah, ne luung Pak.
„Nah, yang ini bagus Pak.‟
: (6) Petenge yen mejalan sing kena abu.
„Malamnya kalau berjalan tidak kena debu.‟
: (7) Tes tes gen, tes malu.
„Tes tes saja, tes dulu.‟
: (8) Mudah-mudahan masi hargane to.
„Murah-murah juga harganya itu‟
(02) : (9) Maal ne maal?
„Mahal ini mahal?‟
(01) : (10) Mudah masi.
„Murah juga‟
: (11) Ngajak timpal kene dadi sing maal-maal.
„Dengan teman begini tidak boleh mahal-mahal‟
(02) : (12) Nyak ganteng ba?
„Mau ganteng sudah?‟
(01) : (13) Beh, nyak ganteng, cara artis apa adane, Rano Karno.
„Wah, tampan juga, seperti apa namanya, Rano Karno.‟
92
(02) : (14) Kuda ne Pak?
„Berapa ini Pak?‟
(01) : (15) Niki jak timpal gen pak nah.
„Ini sama teman saja, Pak ya.‟
: (16) Terus terang biasane tiang ngadep ji selae.
„Terus terang biasanya saya menjual dengan harga dua puluh lima‟
(02) : (17) Selae?
„Dua puluh lima?‟
(01) : (18) Nah jani baang duang dasa jak timpal.
„Ya sekarang diberi dua puluh sama teman.‟
(02) : (19) Untuk menghindari debu.
(01) : (20) Nggih.
„Ya.‟
: (21) Kaca mata kan untuk sehat, untuk penampilan.
Peristiwa tutur ini terjadi di sebuah pasar. Di pasar itu ada seorang
pedagang kaca mata dari etnis Bugis yang sangat menguasai BB. Bahkan, tuturan
yang disampaikan saat berjualan sebagian besar menggunakan BB. Pembicaraan
dimulai oleh O1 dengan menggunakan BB, seperti tampak pada K1, Mai Pak
cingakin! „Mari Pak dilihat!‟; K2, Kaca mata napi? „Kaca mata apa?‟. Tuturan O1
direspons oleh O2 pada K3, Kaca mata ne luung „Kaca mata yang bagus.‟
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K19, Untuk
menghindari debu. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K17, Selae?
„Dua puluh lima?‟ (maksudnya, dua puluh lima ribu), ke BI pada K19. Oleh karena
itu, penggunaan BI pada K19 dapat dikatakan memiliki fungsi untuk menawar
sesuatu. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan oleh O2 untuk menawar
sesuatu.
Fungsi alih kode yang demikian dapat pula dilihat pada data berikut.
Data 13
(01) : (1) Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟
(02) : (2) Sembilan belas, oh ne!
„Sembilan belas, oh ini!‟
93
(01) : (3) Kaset dangdut, dangdut.
(02) : (4) Oh, dangdut… sembilan belas.
(01) : (5) Sing dadi tawahin?
„Tidak boleh ditawar?‟
(02) : (6) Memang harga pas.
(01) : (7) Baang kuang bedik, nah?
„Berikan kurang sedikit, ya?‟
(02) : (8) Sudah pas hargane, sing dadi kuang.
„Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟
(01) : (9) Nyemak dua ne!
„Ngambil dua ini.‟
(02) : (10) Nyemak dua?
„Ngambil dua?‟
Beberapa tuturan pada data 13 menggunakan BBC, BB, dan BI.
Penggunaan BBC dapat dilihat pada K2 dan K8. Penggunaan BB dapat dilihat
pada K5, K7, K9, dan K10, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K3, K4,
dan K6.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K8, Sudah pas hargane,
sing dadi kuang „Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟ Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BI pada K6, Memang harga pas, ke BBC pada K8.
Berhubung alih kode itu mengakibatkan harga barang tidak boleh kurang,
fenomena bahasa itu dapat dikatakan memiliki fungsi untuk menawar sesuatu.
Maksudnya, tuturan pada K8 itulah menyebabkan O1 tetap membeli barang yang
diinginkan.
6.4.2 Fungsi alih kode sebagai personal
Seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran
disebut fungsi personal. Fungsi ini dapat dilihat pada data berikut.
94
Data 10
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih
„… Dipakai kue, ya‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
: (6) Ari, isi dulu minyak itu Nak!
Beberapa tuturan pada data 10 menggunakan BBC pada K1, BB pada K2,
BK pada K3, BI pada K4, K5, dan K6. Penggunaan bahasa yang bervariasi itu
sangat wajar karena situasinya memang menghendaki demikian, yaitu situasi
takresmi.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le? „Cari apa?‟.
Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K2 ke BK pada K3. Penyebabnya
tiada lain karena hadirnya O3 yang berasal dari etnis Kaili. Penggunaan BK oleh
O2 ternyata tidak diimbangi oleh O3. Bahkan, O3 meresponsnya dengan
menggunakan BI, seperti tampak pada K4, Minyak kelapa, berapa? Tidak
menutup kemungkinan O3 menggunakan BI karena dirinya merasa sedang
berbicara dengan etnis lain. Oleh karena itu, O3 menggunakan BI sebagai alat
komunikasi antaretnis. Berhubung O3 tidak terpancing menggunakan BK, O2 pun
beralih kode dari BK pada K3 ke BI pada K5. Alih kode itu semata-mata untuk
mengimbangi penggunaan BI oleh O3.
Fungsi personal tampak ketika pembicaraan sampai pada K3 Apa le? „Cari
apa?‟ Tuturan O2 pada K3 jelas merupakan ungkapan perasaan untuk mengetahui
apa yang dicari oleh mitra wicara, yaitu O3. Oleh karena itu, bahasa dalam alih
kode itu dapat dikatakan memiliki fungsi personal.
95
Fungsi personal lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 16
(01) : (1) Jumei mokuya?
„Untuk apa datang kemari?‟
(02) : (2) Datang basiara.
„Datang pesiar.‟
(01) : (3) Impia komi narata?
„Kapan kamu datang?‟
(02) : (4) Tadi.
(01) : (5) Mapia manjili?
„Kapan pulang?‟
(02) : (6) Hari Minggu.
(01) : (7) Ri Palu riva komiu?
„Kamu di mananya di Palu?‟
(02) : (8) Jalan Thamrin.
Kutipan beberapa tuturan yang terdapat pada data 16 menggunakan BK
pada K1, K3, K5, dan K7; BC pada K2, dan BI pada K4, K6, dan K8. Penggunaan
bahasa yang bervariasi sangat wajar karena situasinya takresmi dan dilakukan
oleh dua sahabat karib.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K4, Tadi.
Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari bahasa Kaili yang dicampur dengan BI pada
K2 ke BI pada K4. Fungsi bahasa dalam alih kode tersebut adalah keinginan O2
menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikirannya kepada mitra
wicara. Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan oleh O1 dapat dikatakan
memiliki fungsi personal.
6.4.3 Fungsi alih kode untuk memperoleh pengetahuan
Bahasa yang digunakan oleh seseorang cenderung untuk memperoleh
suatu pengetahuan. Fungsi alih kode ini pada hakikatnya sering dipergunakan oleh
96
orang dalam bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban. Fungsi tersebut dapat
dilihat pada data berikut.
Data 10
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih
„… Dipakai kue, ya‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
Kutipan beberapa tuturan yang terdapat pada data 10 menggunakan BBC
pada K1, BB pada K2, BK pada K3, dan BI pada K4 dan K5. Penggunaan bahasa
yang bervariasi itu disebabkan oleh situasinya memang takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le?
„Cari apa?‟ Peralihan kode tersebut dilakukan oleh O2 dari BB pada K2 ke BK
pada K3. Penyebab terjadinya alih kode tersebut karena kehadiran O3 yang berasal
dari etnis Kaili. Oleh karena itu, O2 menggunakan BK, seperti tampak pada K3.
Berhubung tuturan pada K3 berupa kalimat tanya yang menuntut suatu
jawaban, alih kode tersebut dapat dikatakan memiliki fungsi untuk memperoleh
pengetahuan. Maksudnya, dari pertanyaan tersebut seseorang akan memperoleh
suatu pengetahuan.
Fungsi alih kode untuk memperoleh pengetahuan lainnya dapat dilihat
pada data berikut.
Data 12
(01) : (1) Selamat malam!
(02) : (2) Malam!
(01) : (3) Piye to kabare?
„Bagaimana kabarnya?‟
97
(02) : (4) Kabare ya apik ae to.
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟
(01) : (5) Anake Mas ning Sulawesi piro?
„Anaknya Bapak di Sulawesi berapa?‟
(02) : (6) Papatlah.
„Empatlah.‟
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
Kutipan beberapa tuturan pada K12 menggunakan BI pada K1, K2 dan
bahasa Jawa pada K3, K4, K5, K6, K7, K8, K9, dan K10. Penggunaan bahasa yang
bervariasi itu wajar karena situasinya takresmi.
Pada awalnya, O1 menggunakan BI, seperti tampak pada K1, Selamat
malam! Kemudian, O2 merespons dengan menggunakan BI juga pada K2, Malam!
Penggunaan BJ oleh O1 dilakukan setelah bertemu dengan O2 yang berasal dari
etnis Jawa. Berhubung O1 tidak mengalami kesulitan berbahasa Jawa, O2 pun
mengimbanginya dengan menggunakan bahasa Jawa. Bahkan, tuturan berikutnya,
baik O1 maupun O2, selalu menggunakan bahasa Jawa, seperti tampak pada K3,
K4, K5, K6, K7, K8, K9, dan K10.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Piye to
kabare? „Bagaimana kabarnya?‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BI ke
bahasa Jawa. Penyebabnya tiada lain karena O1 mengetahui bahwa O2 berasal dari
etnis Jawa.
Peralihan kode juga dilakukan oleh O2 untuk mengimbangi bahasa yang
dilakukan oleh O1, yaitu bahasa Jawa. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BI
98
pada K2 ke bahasa Jawa pada K4, Kabare ya apik ae to. „Kabarnya ya baik-baik
saja.‟
Fungsi alih kode tampak ketika pembicaraan sampai pada K3, Piye to
kabare? „Bagaimana kabarnya?‟ Pertanyaan itu tentu mengharapkan suatu
jawaban, seperti tampak pada K4, Kabare ya apik ae to „Kabarnya ya baik-baik
saja.‟ Dengan demikian, pertanyaan yang terdapat pada K3 dapat dikatakan
memiliki fungsi untuk memperoleh pengetahuan.
6.4.4 Fungsi alih kode untuk berimajinatif
Fungsi imajinatif berkaitan dengan penggunaan bahasa untuk
mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery
seseorang yang tidak sesuai dengan realitas. Fungsi imajinatif ini dapat dilihat
pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 8 menggunakan BBC pada K4,
K5, K6, dan BI pada K7 dan K8. Penggunaan BBC dan BI pada data 8 sangat wajar
karena situasinya takresmi. Bahkan, sebagian besar bahasa yang digunakan pada
data 8 adalah BBC.
99
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Peralihan kode tersebut
dilakukan oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu
penduduk asli dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini,‟
ke BI pada K7. Alih kode yang dilakukan oleh O2 disebabkan oleh keinginan O2
mengutip sebuah pepatah, seperti tampak pada K7.
Fungsi imajinatif tampak ketika pembicaraan sampai pada K7. Dalam hal
ini, O2 berkeinginan mengutip pepatah, seperti tampak pada K7. Berhubung
kutipan tersebut tidak sesuai dengan realitas, alih kode itu dapat dikatakan
memiliki fungsi imajinatif. Maksudnya, penggunaan bahasa untuk
mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery
seseorang yang tidak sesuai dengan realitas.
Fungsi imajinatif lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 14
(01) : (1) … Orang masak itu tertekan!
: (2) Kita, ibu rumah tangga, mikir besok apa lagi?
(02) : (3) Ya, membosankan besok apa lagi?
(03) : (4) Jukut undis sambalnya sambal undis.
„Sayur undis sambalnya sambal undis.‟
(02) : (5) Ya saya kadang-kadang bertengkar cuma masalah makanan.
: (6) Saya bilang, Bli saya tidak sanggup.
„Saya katakan, Kak saya tidak sanggup.‟
: (7) Eh, eh gara-gara uyah-sera bisa cerai.
„Eh, eh gara-gara garam-terasi bisa cerai‟
Beberapa tuturan pada data 14 menggunakan BI dan BBC. Penggunaan BI
dapat dilihat pada K1, K2, K3, dan K5, dan penggunaan BBC dapat dilihat pada K4,
K6, dan K7. Penggunaan bahasa yang bervariasi tersebut sangat wajar karena
situasi yang takresmi.
100
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Eh, eh gara-gara
uyah-sera bisa cerai „Eh, eh gara-gara garam-terasi bisa cerai‟ Peralihan kode itu
dilakukan oleh O2 dari BI pada K5, Ya saya kadang-kadang bertengkar cuma
masalah makanan, ke BBC pada K7. Alih kode itu disebabkan oleh keinginan O2
mengutip pepatah dalam bahasa Bali.
Fungsi imajinatif tampak pada K7, Eh, eh gara-gara uyah-sera bisa cerai.
„Eh, eh gara-gara garam-terasi bisa cerai‟ Berhubung tuturan tersebut hanya
berupa pepatah dan tidak memiliki arti yang sebenarnya, fenomena bahasa
tersebut dapat dikatakan memiliki fungsi imajinatif.
6.4.5 Fungsi alih kode untuk menggambarkan suatu pemikiran atau
wawasan
Fungsi alih kode untuk menggambarkan suatu pemikiran atau wawasan
dapat dilihat data berikut.
Data 17
Latar : Halaman rumah
Topik : Tugas Pradah
Partisipan : Tetangga (01)
Tuan rumah (02)
Ketua adat (03)
(01) : (1) … Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali
Pak Tut ya.
(02) : (2) Ya secara tidak langsung tujuannya untuk ngajegang Bali
sebenarnya, ten kenten?
„Ya secara tidak langsung tujuannya untuk mengajegkan Bali
sebenarnya, kan begitu?‟
: (3) Pradah yang tiang tahu paling mendasar ya merupakan beban
orang tua, ten kenten?
„Pradah yang saya tahu paling mendasar ya merupakan beban
orang tua, kan begitu?‟
(01) : (4) Nggih.
(03) : (5) Pradah itu termasuk tulang punggungnya dari umat.
101
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 17 menggunakan BBC pada K2,
K3; BB pada K4; dan BI pada K1 dan K5. Penggunaan beberapa bahasa tersebut
dipengaruhi oleh situasi peristiwa tutur yang tergolong situasi takresmi. Oleh
karena itu, partisipan menggunakan BBC, BB, dan BI, seperti tampak pada data
17.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K5. Alih kode
itu disebabkan oleh keinginan O3 memperjelas keterangan yang dipaparkan oleh
O2 pada K2 dan K3. Dengan demikian, muncullah tuturan, seperti tampak pada K5,
Pradah itu termasuk tulang punggungnya dari umat.
Penjelasan yang terdapat pada K5 tersebut dapat dikatakan memiliki fungsi
untuk menggambarkan pikiran atau wawasan kepada orang lain. Maksudnya,
penggunaan alih kode itu untuk menggambarkan pemikiran atau wawasan serta
penyampaiannya kepada orang lain.
Fungsi alih kode untuk menggambarkan suatu pikiran atau wawasan
lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Pembicaraan di atas dimulai dengan menggunakan BBC pada K4, K5, dan
K6. Penggunaan BI hanya terdapat pada K7 dan K8. Penggunaan BBC dan BI pada
102
data 8 sangat wajar karena situasi yang melingkupi peristiwa tutur itu adalah
situasi takresmi.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7 dan K8. Alih kode
itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu
penduduk asli dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini‟.
ke BI pada K7, Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Sehubungan dengan fenomena alih kode tersebut, penjelasan yang terdapat
pada K7 dapat dikatakan memiliki fungsi untuk menggambarkan suatu pikiran
atau wawasan. Maksudnya, penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran
dan wawasan serta penyampaiannya kepada orang lain.
6.4.6 Fungsi alih kode untuk menunjukkan rasa sosial
Fungsi alih kode untuk menunjukkan rasa sosial dapat dilihat pada data
berikut.
Data 10
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih
„… Dipakai kue, ya‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 10 menggunakan BBC, BB, BK,
dan BI. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K1, penggunaan BB dapat dilihat
pada K2, penggunaan BK dapat dilihat pada K3, dan penggunaan BI dapat dilihat
103
pada K4 dan K5. Penggunaan bahasa yang demikian wajar karena situasinya
takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le?
„Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K2, Nggih „Ya.‟ ke
BK pada K3, Apa le? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BB
pada K2, Nggih. „Ya,‟ ke BK pada K3 , Apa le? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu
disebabkan oleh kehadiran O3 dalam peristiwa tutur. Kebetulan O3 berasal dari
etnis Kaili dan tidak bisa berbahasa Bali. Alangkah tidak etisnya jika O2 tetap
berbahasa Bali.
Peralihan kode yang dilakukan oleh O2 sangat tepat. Dalam peristiwa tutur
tersebut O2 bermaksud menghormati hadirnya orang ketiga yang ikut terlibat
dalam pembicaraan. Oleh karena itu, peralihan kode yang dilakukan oleh O2 pada
data 10 dapat dikatakan memiliki fungsi sosial.
Contoh alih kode yang berfungsi sosial lainnya dapat dilihat pada data
berikut.
Data 5
(01) : (4) Ada rezeki kita terima, syukur.
: (5) Ada yang dimasak, syukur.
: (6) Jadi manusia tidak pernah syukur, wah.
(02) : (7) Bahaya!
(01) : (8) Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku,
mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat.
(03) : (9) Tiang pamit, nggih? (datang 03)
„Saya permisi ya?‟
(01) : (10) Mai wa, kenken bapanne seger?
„Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟
(03) : (11) Keto dogen ba, nak rematik.
„Begitu saja sudah, orang rematik.‟
(12) Sing taen kija-kija, jumah dogen.
„Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟
104
Pembicaraan di atas dimulai dengan menggunakan BI pada K4. Kemudian,
pembicaraan juga diikuti dengan menggunakan BI, seperti tampak pada K5, K6,
K7, dan K8. Penggunaan BB muncul ketika pembicaraan sampai pada K9, K10, K11,
dan K12.
Peralihan kode dari BI ke BB terjadi saat kehadiran O3. Dalam hal ini O3
memulai pembicaraan dengan menggunakan BB, seperti tampak pada K9, Tiang
pamit, nggih? „Saya permisi ya?‟ Akhirnya, O1 pun terpengaruh oleh bahasa yang
digunakan oleh O3, yaitu BB. Dengan demikian, terjadilah alih kode dari BI ke
BB. Alih kode tersebut dilakukan oleh O1.
Berhubung dilakukan setelah kehadiran O3, tuturan dalam alih kode itu
dapat dikatakan memiliki fungsi sosial. Maksudnya, peralihan kode yang
dilakukan oleh O1 semata-mata untuk menghormati hadirnya O3. Apalagi O3
memulai pembicaraannya dengan menggunakan BB. Secara tidak langsung O1
pun beralih kode untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O3.
6.4.7 Fungsi alih kode untuk merahasiakan sesuatu
Dalam kehidupan berbahasa, seorang penutur kadang-kadang sengaja
beralih kode untuk merahasiakan sesuatu dari orang lain. Maksudnya, ada sesuatu
yang harus disembunyikan dari orang lain. Peristiwa tutur yang demikian dapat
dilihat pada data berikut.
Data 11
(O1) : (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
105
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 11 menggunakan BK, seperti
tampak pada K3 dan K5. Selain BK, beberapa tuturan pada data 11 juga
menggunakan BBg pada K8 dan K9 serta BBC pada K6, K4, dan BI pada K7.
Penggunaan bahasa pada peristiwa tersebut berlangsung dalam situasi takresmi.
Pada awalnya, O1 menggunakan BK pada K3 dan BBC pada K4 dan K6.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dengan maksud
merahasiakan sesuatu. Untuk itulah digunakan BBg, seperti tampak pada K9.
Makna alih kode tampak ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Tuturan ini disampaikan oleh O1 agar O2 sebagai
mitra wicara tidak memahaminya. Oleh karena itu, tuturan pada K9 dapat
dikatakan berfungsi untuk merahasiakan sesuatu.
6.4.8 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap akrab
Fungsi sebuah tuturan dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
situasi/tempat berlangsungnya peristiwa tutur, dan kedekatan partisipan. Fungsi
yang demikian terdapat pada data berikut.
106
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu.‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Kutipan beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan
bahasa Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12. Penggunaan
BB dapat dilihat pada K5, K6, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada pada K7,
K10, dan bahasa Inggris dapat dilihat pada pada K13. Penggunaan keempat bahasa
itu wajar karena situasinya takresmi.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris pada K13, Sip, sip, oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih
kode itu dilakukan oleh O2 untuk menunjukkan keakraban mereka sebagai
sahabat. Apalagi keduanya sama-sama berasal dari etnis Bali.
Fungsi alih kode tampak ketika terjadi peralihan kode dari bahasa Bali ke
bahasa Inggris. Dengan melihat bahasa yang digunakan pada K13, tampak sekali
107
adanya kedekatan di antara mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tuturan yang terdapat pada K13 berfungsi akrab.
6.4.9 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap toleransi
Alih kode dapat juga terjadi akibat keinginan partisipan menunjukkan rasa
toleransi yang tinggi terhadap etnis lain. Keinginan tersebut tentu membawa hal
positif bagi kehidupan antaretnis di masyarakat. Fungsi alih kode yang demikian
dapat dilihat pada data berikut.
Data 12
(01) : (1) Selamat malam!
(02) : (2) Malam!
(01) : (3) Piye to kabare?
„Bagaimana kabarnya?‟
(02) : (4) Kabare ya apik ae to.
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟
(01) : (5) Anake Mas ning Sulawesi piro?
„Anaknya Bapak di Sulawesi berapa?‟
(02) : (6) Papatlah.
„Empatlah.‟
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
108
Percakapan di atas diawali dengan menggunakan BI. Selanjutnya, tuturan
O1 direspons oleh O2 dengan menggunakan BI juga. Memang dalam
sosiolinguistik pada umumnya O2 mengikuti bahasa yang digunakan oleh O1.
Percakapan berlanjut dengan menggunakan bahasa Jawa, baik oleh O1 maupun
oleh O2. Bahkan, O3 pun ikut menggunakan bahasa Jawa, seperti tampak pada
K10, Bojone wong Sulawesi „Istrinya orang Sulawesi.‟
Penggunaan bahasa Jawa, baik oleh O1 maupun O3 dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa toleransinya yang tinggi terhadap mitra wicara, yaitu O2. Untuk
itulah, mereka melakukan konvergensi bahasa. Ternyata O2 meresponsnya dengan
menggunakan BJ juga, seperti tampak pada K8, K9, K12, dan K14.
Jika diperhatikan secara saksama percakapan di atas, tuturan O2 dominan
menggunakan BJ, seperti tampak pada K8, K9, K12, dan K14. Hanya satu tuturan
menggunakan BI, yaitu K16, Kontingen Sulawesi Tengah.
Meskipun sebagian besar tuturannya menggunakan BJ, bukan berarti O2
telah melakukan divergensi bahasa. Dominannya penggunaan BJ oleh O2 semata-
mata untuk mengimbangi tuturan O1 yang menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3. Alih kode itu
dilakukan oleh O1 untuk menunjukkan rasa toleransinya yang tinggi terhadap O2.
Kebetulan O2 berasal dari etnis Jawa.
Fungsi alih kode berikutnya dapat dilihat pada data di bawah ini.
Data 13
(01) : (1) Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟
(02) : (2) Sembilan belas, oh ne!
„Sembilan belas, oh ini!‟
109
(01) : (3) Kaset dangdut, dangdut.
(02) : (4) Oh, dangdut… sembilan belas.
(01) : (5) Sing dadi tawahin?
„Tidak boleh ditawar?‟
(02) : (6) Memang harga pas.
(01) : (7) Baang kuang bedik, nah?
„Berikan kurang sedikit, ya?‟
(02) : (8) Sudah pas hargane, sing dadi kuang.
„Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟
(01) : (9) Nyemak dua ne!
„Ngambil dua ini.‟
(02) : (10) Nyemak dua?
„Ngambil dua?‟
Data di atas dimulai dengan menggunakan BB. Bahasa itu digunakan oleh
O1 yang berasal dari etnis Bugis. Bahkan, sebagian besar bahasa yang digunakan
oleh O1 adalah BB, seperti tampak pada K1, K5, K7, dan K9. Hanya K3
menggunakan BI.
Penggunaan BB oleh O1 tentu memiliki maksud tertentu. Selain bertujuan
agar dapat menawar harga barang, tidak menutup kemungkinan O1 bertujuan
untuk menunjukkan rasa toleransi yang tinggi terhadap mitra wicara, yaitu O2.
Dengan kata lain, rasa toleransi O1 ditunjukkan dengan melakukan konvergensi
bahasa.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Kaset
dangdut, dangdut. Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BB pada K1, Kuda besik
ne, Pak? „Berapa satu ini, Pak?‟ ke BI pada K3. Alih kode itu selain dilakukan
dari BB ke BI, juga dilakukan oleh O1 dari BI ke BB, seperti tampak pada K3 dan
K5. Alih kode itu dilakukan oleh O1 karena berkeinginan untuk menunjukkan rasa
toleransinya kepada O2. Rasa toleransi itu diwujudkan dengan menggunakan BB.
Padahal diketahui bahwa O1 berasal dari etnis Bugis.
110
6.4.10 Fungsi alih kode untuk mengutip pembicaraan orang lain
Fungsi alih kode dapat juga terjadi karena O2 ingin mengutip pembicaraan
orang lain. Fungsi alih kode tersebut dapat dilihat pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Pada awalnya, O2 menggunakan BBC, seperti tampak pada K4, Sing dini
aman „Tidak di sini aman.‟ Penggunaan BBC tersebut wajar karena situasinya
takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini,‟ ke BI pada K7.
Alih kode itu terjadi karena O2 ingin mengutip pepatah dalam bahasa Indonesia.
Fungsi alih kode yang lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 20
Latar : Rumah I Ketut Keles
Topik : Kesehatan
Partisipan : Tamu (01)
Ketut Keles (02)
(01) : (1) … Sakit yang dominan, sakit paling keras napi?
„… Sakit yang dominan, sakit paling keras apa?‟
(02) : (2) Pertama, tiang ngilu bangkiang tiange.
„Pertama, saya nyeri di pinggang.‟
111
: (3) Kalau majalan abedik ngentah ngilu ento juk bah?
„Kalau berjalan sedikit nyeri itu kambuh langsung jatuh.‟
: (4) Maubad-maubad ilang ngilun bangkiang tiange ento.
„Setelah berobat, nyeri di pinggang saya hilang‟
: (5) Batis tiange dini semutan.
„Kaki saya di sini keram.‟
: (6) Beh alih tiang doktere.
„Wah, saya cari dokternya.‟
: (7) Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan dimakan obat itu.
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BBC pada K1.
Tuturan O1 direspon oleh O2 dengan menggunakan BBC juga, seperti tampak
pada K2, Pertama, tiang ngilu bangkiang tiange. „Pertama, saya nyeri di
pinggang.‟ Tuturan O2 pun dilanjutkan dengan menggunakan BBC pada K3, BB
pada K4, K5, dan K6 serta BI pada K7, Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan
dimakan obat itu.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7. Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BBC pada K6, Beh alih tiang doktere „Wah, saya cari
dokternya.‟ ke BI pada K7, Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan dimakan obat
itu. Alih kode itu disebabkan oleh keinginan O2 mengutip pembicaraan orang lain,
seperti tampak pada K7. Dalam hal ini, O2 mengutip tuturan dokter ketika sedang
melakukan pengobatan.
Fungsi alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
112
Fungsi AK
Fungsi alih kode sebagai personal
Fungsi alih kode untuk memperoleh pengetahuan
Fungsi alih kode untuk berimajinatif
Fungsi alih kode untuk menggambarkan suatu pemikiran atau wawasan
Fungsi alih kode untuk menunjukkan rasa sosial
Fungsi alih kode untuk merahasiakan sesuatu
Fungsi alih kode untuk menawar sesuatu
Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap akrab
Fungsi alih kode untuk menunjukkan toleransi
Fungsi alih kode untuk mengutip pembicaraan orang lain
Bagan 6.2
Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa
Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
6.5 Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat
Bali di Parigi
Untuk menganalisis makna suatu tuturan, konteks pemakaian tuturan
sangat memegang peranan penting. Tanpa melibatkan konteks pemakaian bahasa,
makna suatu tuturan belum dapat ditentukan secara pasti.
Lyons (1995:643) membedakan tiga jenis makna, yaitu: (1) makna kata,
(2) makna kalimat, dan (3) makna tuturan. Makna kata berkaitan dengan makna
leksikal, yaitu makna kata, seperti yang terdapat dalam kamus. Makna kalimat
113
adalah makna yang bergantung pada struktur kata sebuah kalimat. Artinya, jika
dua buah kalimat dibentuk oleh kata-kata yang sama, tetapi memiliki struktur kata
yang berbeda, makna kedua kalimat itu berbeda. Perbedaan makna kedua kalimat
itu sangat bergantung pada susunan/urutan kata yang membentuk kalimat
bersangkutan. Makna tuturan adalah makna yang bergantung pada konteks
pemakaiannya. Konteks di sini dapat bersifat linguistik dan nonlinguistik.
Konteks linguistik berkaitan dengan kata-kata, baik yang mendahului maupun
yang mengikuti suatu tuturan, sedangkan konteks nonlinguistik berkaitan dengan
unsur-unsur di luar bahasa, seperti topik, tempat, dan partisipan.
Selain Lyons, Sibarani (1992:41) mengemukakan bahwa makna atau pesan
dapat dipahami dengan mempelajari aturan atau kaidah bahasa dan
menghubungkannya dengan konteks pemakaian bahasa. Konteks pemakaian
bahasa tersebut dapat bersifat linguistik dan nonlinguistik. Konteks linguistik
berkaitan dengan kata-kata atau kalimat, baik yang mendahului maupun yang
mengikuti suatu tuturan, sedangkan konteks nonlinguistik berkaitan dengan unsur-
unsur di luar bahasa, seperti latar, partisipan, dan topik.
Sesungguhnya, sebagian besar tuturan dapat dipahami berdasarkan
konteks situasi. Dengan konteks situasi, makna-makna apa saja yang terkandung
dari pembicaraan seseorang dapat diperkirakan. Situasi terjadinya interaksi verbal
memberi pelibat banyak sekali informasi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur.
Halliday (1978:11) menyebutkan bahwa … the semantic system that is of
primary concern in a sociolinguistics contect. Artinya, dalam menentukan
114
komponen semantis bahasa, ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga
unsur itu meliputi: (1) ideasional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, (2)
interpersonal, yaitu makna yang hadir bagi pemeran di dalam peristiwa tutur, dan
(3) tekstual, yaitu bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang
mempresentasikan serta menunjang terwujudkan makna tuturan.
Berdasarkan penjelasan tentang makna tuturan di atas, teori makna yang
dikemukakan oleh Halliday dianggap paling tepat dipakai dalam penelitian ini.
Halliday lebih menekankan pada analisis makna yang tidak terlepas dari situasi
tuturan dan konteks pemakaian tuturan.
6.5.1 Alih kode yang bermakna sosial
Komunikasi yang terjadi antara individu satu dan individu lainnya
cenderung memiliki makna sosial. Makna sosial ini pada umumnya terjadi ketika
komunikasi sedang berlangsung. Hal ini dapat dilihat pada data berikut.
Data 10
(O1) : (1) … Anggona kue, nggih
„… Dipakai kue, ya‟
(O2) : (2) Nggih.
„Ya.‟
: (3) Apa le?
„Cari apa?‟
(O3) : (4) Minyak kelapa, berapa? (datang O3)
(O2) : (5) Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu.
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 10 menggunakan BBC, BB, BK,
dan BI. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K1, penggunaan BB dapat dilihat
pada K2, penggunaan BK dapat dilihat pada K3, dan penggunaan BI dapat dilihat
115
pada K4 dan K5. Penggunaan bahasa yang demikian wajar karena situasinya
takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Apa le?
„Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K2, Nggih „Ya.‟ ke
BK pada K3, Apa le? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BB
pada K2, Nggih „Ya,‟ ke BK pada K3, Apa le? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu
disebabkan oleh kehadiran O3 dalam peristiwa tutur. Kebetulan O3 berasal dari
etnis Kaili dan tidak bisa berbahasa Bali. Alangkah tidak etisnya jika O2 tetap
berbahasa Bali.
Peralihan kode yang dilakukan oleh O2 sangat tepat. Dalam peristiwa tutur
tersebut O2 bermaksud menghormati hadirnya orang ketiga yang ikut terlibat
dalam pembicaraan. Oleh karena itu, peralihan kode yang dilakukan oleh O2 pada
data 10 dapat dikatakan memiliki makna sosial.
Contoh alih kode yang bermakna sosial lainnya dapat dilihat pada data
berikut.
Data 5
(01) : (4) Ada rezeki kita terima, syukur.
: (5) Ada yang dimasak, syukur.
: (6) Jadi manusia tidak pernah syukur, wah.
(02) : (7) Bahaya!
(01) : (8) Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku,
mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat.
(03) : (9) Tiang pamit, nggih? (datang 03)
„Saya permisi ya?‟
(01) : (10) Mai wa, kenken bapanne seger?
„Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟
(03) : (11) Keto dogen ba, nak rematik.
„Begitu saja sudah, orang rematik.‟
(12) Sing taen kija-kija, jumah dogen.
„Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟
116
Pembicaraan di atas dimulai dengan menggunakan BI pada K4. Kemudian,
pembicaraan juga diikuti dengan menggunakan BI, seperti tampak pada K5, K6,
K7, dan K8. Penggunaan BB muncul ketika pembicaraan sampai pada K9, K10, K11,
dan K12.
Peralihan kode dari BI ke BB terjadi saat kehadiran O3. Dalam hal ini O3
memulai pembicaraan dengan menggunakan BB, seperti tampak pada K9, Tiang
pamit, nggih? „Saya permisi ya?‟ Akhirnya, O1 pun terpengaruh oleh bahasa yang
digunakan O3, yaitu BB. Dengan demikian, terjadilah alih kode dari BI ke BB.
Alih kode tersebut dilakukan oleh O1.
Berhubung dilakukan setelah kehadiran O3, tuturan dalam alih kode itu
dapat dikatakan memiliki makna sosial. Maksudnya, peralihan kode yang
dilakukan oleh O1 semata-mata untuk menghormati hadirnya O3. Apalagi O3
memulai pembicaraannya dengan menggunakan BB. Secara tidak langsung O1
pun beralih kode untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O3.
6.5.2 Alih kode yang bermakna metaforis
Tidak menutup kemungkinan ketika komunikasi berlangsung, individu
menggunakan bahasa yang bermakna metaforis. Metafora adalah penggunaan
bahasa bukan dalam arti yang sebenarnya. Alih kode yang bermakna metaforis ini
dapat dilihat pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
117
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.
: (7) Seperti pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Beberapa tuturan pada data 8 menggunakan BBC dan BI. Penggunaan
BBC dapat dilihat pada K4, K5, dan K6, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat
pada K7 dan K8. Penggunaan BBC dan BI pada data 8 dipengaruhi oleh situasi
takresmi peristiwa tutur yang bersangkutan.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini,‟ ke BI pada K7.
Alih kode itu terjadi karena O2 ingin mengutip sebuah pepatah dalam bahasa
Indonesia.
Alih kode yang bermakna metaforis tampak ketika pembicaraan sampai
pada K7, Seperti pepatah di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Berhubung arti ungkapan itu bukan dalam arti yang sebenarnya, alih kode itu
dapat dikatakan memiliki makna metaforis.
Contoh alih kode yang bermakna metaforis lainnya dapat dilihat pada data
berikut.
Data 13
(01) : (1) Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟
(02) : (2) Sembilan belas, oh ne!
„Sembilan belas, oh ini!‟
(01) : (3) Kaset dangdut, dangdut.
(02) : (4) Oh, dangdut… sembilan belas.
118
(01) : (5) Sing dadi tawahin?
„Tidak boleh ditawar?‟
(02) : (6) Memang harga pas.
(01) : (7) Baang kuang bedik, nah?
„Berikan kurang sedikit, ya?‟
(02) : (8) Sudah pas hargane, sing dadi kuang.
„Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟
(01) : (9) Nyemak dua ne!
„Ngambil dua ini.‟
(02) : (10) Nyemak dua?
„Ngambil dua?‟
Beberapa tuturan pada data 13 menggunakan BB, BBC, dan BI.
Penggunaan BB dapat dilihat pada K1, K5, K7, K9, dan K10. Penggunaan BBC
dapat dilihat pada K2 dan K8. Penggunaan BI dapat dilihat pada K3, K4, dan K6.
Penggunaan BB, BBC, dan BI pada data 13 disebabkan oleh situasi yang
memengaruhi peristiwa tutur itu, yaitu situasi takresmi.
Dalam tuturan di atas terjadi alih kode dari BBC pada K2 ke BI pada K4.
Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 untuk mengikuti penggunaan BI oleh O1
pada K3, Kaset dangdut, dangdut. Dengan kata lain, alih kode itu disebabkan oleh
tuturan sebelumnya yang menggunakan BI pada K3.
Makna alih kode tampak ketika pembicaraan sampai pada K4, Oh,
dangdut… sembilan belas. Tuturan pada K4 pada hakikatnya bukan mengandung
arti sebenarnya, melainkan sebagai ungkapan sangat singkat yang dilakukan O2.
Jadi, frasa //sembilan belas// pada K4 bukan berarti sebagai penjumlahan bilangan
/sepuluh/ dan /sembilan/, melainkan sebagai harga sebuah kaset sebesar
Rp 19.000,00. Oleh karena itu, peralihan kode yang dilakukan oleh O2 dari K2 ke
K4 dapat dikatakan bermakna metaforis.
119
6.5.3 Alih kode yang bermakna merendahkan diri
Bahasa pada hakikatnya merupakan gambaran atau cerminan dari
pemakainya. Seseorang yang memiliki karakter keras/pemarah biasanya dapat
dilihat dari bahasa yang digunakan. Sebaliknya, seseorang yang berkarakter
lembut/kalem dapat juga dilihat dari bahasa yang digunakan.
Agar uraian di atas menjadi lebih jelas, berikut dikemukakan alih kode
yang bermakna merendahkan diri.
Data 18
Latar : Teras rumah
Topik : Pekerjaan
Partisipan : Gede Putrana (etnis Bali) (01)
Pak Nyoman Sukawan (etnis Bali) (02)
(01) : (1) Pak Nyoman selain pegawai negeri, napi saja yang dikerjakan di
rumah, apakah di kebun atau di sawah?
„Pak Nyoman selain pegawai negeri, apa saja yang dikerjakan di
rumah, apakah di kebun atau di sawah‟.
: (2) Kalau kebun biasanya napi yang ditanam?
„Kalau kebun biasanya apa yang ditanam?‟
(02) : (3) Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae kebun.
„Saya selain pegawai negeri, saya juga bekerja kebun.‟
: (4) Kebun itu ada ditanam coklat.
: (5) Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.
„Ya lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟
: (6) Biasanya satu bulan maan satu juta.
„Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
: (7) Tergantung hasil.
: (8) Yen hasilne luung, liu maan.
„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟
: (9) Yen hasilne sing luung, bedik maan.
„Kalau hasilnya tidak bagus, sedikit dapat.‟
: (10) Cukup untuk tambah-tambah ongkos dapur.
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BBC, seperti tampak
pada K1 dan K2. Tuturan O1 pun direspons oleh O2 dengan menggunakan BBC
120
pada K3, K5, K6, K8, dan K9. Penggunaan BBC dan BI oleh O1 dan O2 tidak
menjadi masalah karena situasinya memang tidak resmi.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan pada K10, Cukup untuk tambah-
tambah ongkos dapur. Peralihan kode tersebut dilakukan oleh O2 dari BBC pada
K9, Yen hasilne sing luung, bedik maan. „Kalau hasilnya tidak bagus, sedikit
dapat,‟ ke BI pada K10.
Dengan melihat tuturan O2 pada K10 dapat dikatakan bahwa tuturan
tersebut bermakna merendahkan diri. Makna tersebut tercermin pada K10, Cukup
untuk tambah-tambah ongkos dapur. Padahal, jika dilihat dari tuturan
sebelumnya, yaitu pada K5 dan K6, penghasilan O2 dari menanam coklat cukup
lumayan. Namun, jika tuturan pada K5 dan K6 dihubungkan dengan tuturan pada
K10, sangat bertolak belakang. Oleh karena itu, tuturan O2 pada K10 dapat
dikatakan sebagai tuturan yang bermakna merendahkan diri.
6.5.4 Alih kode yang bermakna janji
Dalam suatu peristiwa tutur, seorang partisipan bisa saja melakukan
perjanjian/kesepakatan tentang suatu kegiatan. Kegiatan tersebut dapat berupa
kerja proyek, berburu binatang, olah raga, dan sebagainya. Untuk memperjelas
uraian tersebut, dapat dilihat pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
121
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu.‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan bahasa
Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12, penggunaan BB
dapat dilihat pada K5, K6, dan K9, penggunaan BI dapat dilihat pada K7, K10, dan
penggunaan bahasa Inggris dapat dilihat pada K13. Penggunaan bahasa yang
bervariasi tersebut sangat wajar karena memang situasinya takresmi.
Dalam situasi takresmi, penggunaan bahasa cenderung berbentuk kalimat-
kalimat pendek. Hal ini dapat dilihat pada K9, Nyen ento? „Siapa itu?‟; K13, Sip,
sip, oke! „Ya, ya saya setuju!‟
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip, oke! „Ya,
ya saya setuju!‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟, ke bahasa Inggris pada K13, Sip, sip, oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih
kode itu dilakukan karena suatu perjanjian antara O1 dan O2.
Makna alih kode tampak ketika tuturan sampai pada K13, Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟ yang menunjukkan adanya kesepakatan antara O1 dan O2.
Dengan demikian, tuturan yang terdapat pada K13 dapat dikatakan memiliki
makna perjanjian.
122
6.5.5 Alih kode yang bermakna kejelasan suatu topik
Walaupun seorang penutur sudah berusaha menyampaikan pesan sejelas-
jelasnya, tidak menutup kemungkinan mitra wicara kurang memahaminya dengan
baik. Banyak faktor yang menyebabkan seorang pendengar kurang memahami
pesan yang disampaikan oleh penutur. Misalnya, bisa karena faktor alat pendengar
yang kurang sempurna, bisa karena faktor bahasa, dan bisa juga karena faktor
topik/pokok pembicaraan.
Agar menjadi lebih jelas, dapat dilihat pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Ada dua bahasa yang dipergunakan pada data 8, yaitu BBC pada K4, K5,
K6, dan BI pada K7 dan K8. Penggunaan BBC ternyata lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan BI. Hal ini disebabkan oleh situasi yang
memengaruhi peristiwa tutur itu situasi takresmi.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti pepatah, di
mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Peralihan kode itu dilakukan oleh O2
dari BBC pada K6 ke BI pada K7 dan K8. Penyebabnya adalah keinginan O2 untuk
menjelaskan pokok pembicaraan yang dibahas.
Makna alih kode tampak ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Maksudnya, di mana
123
pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri. Dengan demikian, alih kode yang
terdapat pada data 8 dapat dikatakan bermakna kejelasan suatu topik.
Alih kode yang bermakna kejelasan suatu topik lainnya dapat dilihat pada
data berikut.
Data 19
Latar : Ruang Tamu
Topik : Keberadaan Pradah
Partisipan : Gede Somantara (01)
Ketut Budhanita (02)
(01) : (1) Kira-kira apa saja tugasnya Pradah nika Pak Tut?
„Kira-kira apa saja tugas Pradah itu Pak Tut?‟
(02) : (2) Nah, nika, tugas Pradah nika kan, artinya (1) kan jelas nama
Pradah nika kan pemuda.
„Nah, itu tugas Pradah itu kan, artinya (1) kan jelas nama Pradah itu
kan pemuda.‟
: (3) Jadi, artinya membantu meringankan beban orang tua, ten kenten?
„Jadi, artinya membantu meringankan beban orang tua, kan begitu.‟
: (4) Seperti ada kegiatan apa anak-anak muda yang berperan, misalnya
mekiis anak-anak muda yang mempersiapkan tempatnya.
(01) : (5) Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali, Pak
Tut ya.
(02) : (6) Ya secara tidak langsung itu sudah tujuannya untuk ngajegang Bali
sebenarnya, ten kenten.
„Ya secara tidak langsung itu sudah tujuannya untuk melestarikan
ajeg Bali sebenarnya, kan begitu.‟
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 19 menggunakan BI yang
dicampur dengan BB, seperti tampak pada K1, K2, K3, K4, dan K6. Penggunaan BI
hanya terdapat pada K5, Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg
Bali, Pak Tut ya. Penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan BB
ternyata lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan BI. Hal ini disebabkan
oleh partisipan yang telah lama meninggalkan daerah asal, yaitu Bali. Walaupun
124
demikian, bahasa Bali yang dikenal sebagai bahasa ibu partisipan tidak pernah
ditinggalkan, seperti tampak pada K1, K2, K3, K4, dan K6.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K5, Berarti
secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali, Pak Tut, ya. Peralihan
kode itu dilakukan oleh O1 dari BI yang dicampur dengan BB pada K1 ke BI pada
K5. Alih kode itu disebabkan oleh keinginan O1 untuk memberikan penekanan
pada topik pembicaraan.
Dilihat dari bahasa yang digunakan, peralihan kode pada data 19 dapat
dikatakan bermakna kejelasan suatu topik. Makna alih kode tersebut dapat dilihat
pada K5, Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ejeg Bali, Pak Tut
ya. Tuturan pada K5 dengan tegas menunjukkan bahwa O1 berkeinginan
menjelaskan topik yang dibicarakan.
6.5.6 Alih kode yang bermakna akrab
Makna sebuah tuturan dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
situasi/tempat berlangsungnya peristiwa tutur, dan kedekatan partisipan. Makna
yang demikian terdapat pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
125
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Kutipan beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan
bahasa Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12. Penggunaan
BB dapat dilihat pada K5, K6, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada pada K7,
K10, dan bahasa Inggris dapat dilihat pada pada K13. Penggunaan keempat bahasa
itu wajar karena situasinya takresmi.
Peralihan kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris pada K13, Sip, sip, oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih
kode itu dilakukan oleh O2 untuk menunjukkan keakraban mereka sebagai
sahabat. Apalagi keduanya sama-sama berasal dari etnis Bali.
Makna alih kode tampak ketika terjadi peralihan kode dari bahasa Bali ke
bahasa Inggris. Dengan melihat bahasa yang digunakan pada K13, tampak sekali
adanya kedekatan di antara mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tuturan yang terdapat pada K13 bermakna akrab.
Alih kode yang bermakna akrab lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 16
(01) : (1) Jumei mokuya?
„Untuk apa datang kemari?‟
(02) : (2) Datang basiara.
„Datang pesiar.‟
126
(01) : (3) Impia komi narata?
„Kapan kamu datang?‟
(02) : (4) Tadi.
(01) : (5) Mapia manjili?
„Kapan pulang?‟
(02) : (6) Hari Minggu.
(01) : (7) “Ri Palu riva komiu?”
„Kamu di mananya di Palu?‟
(02) : (8) Jalan Thamrin.
Beberapa tuturan pada data 16 menggunakan BK, BI/BK, dan BI.
Penggunaan bahasa Kaili dapat dilihat pada K1, K3, K5, dan K7. Penggunaan
BI/BK dapat dilihat pada K2, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K4, K6,
dan K8.
Jika diperhatikan secara saksama, sebagian besar bahasa Kaili digunakan
oleh O1 yang berasal dari etnis Bali, sedangkan O2 yang berasal dari etnis Kaili-
Bugis sebagian besar menggunakan BI. Hal ini tentu sangat mengejutkan. Hal ini
disebabkan oleh hubungan di antara mereka yang sangat akrab.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K4, Tadi. Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BK/BI pada K2 ke BI pada K4. Peralihan kode disebabkan
oleh pengetahuan O2 yang kurang menguasai bahasa Kaili. Walaupun demikian,
tampak adanya keakraban di antara mereka ketika komunikasi berlangsung.
Dengan melihat bahasa yang digunakan, baik oleh O1 maupun O2, tampak
sekali terjadinya keakraban di antara mereka. Penggunaan bahasa yang berbeda
tidak mengurangi rasa keakraban yang ditunjukkan oleh O1 dan O2. Dengan
demikian, tuturan di atas, terutama tuturan pada alih kode, dapat dikatakan
memiliki makna akrab.
127
6.5.7 Alih kode yang bermakna rahasia
Dalam kehidupan berbahasa, seorang penutur kadang-kadang sengaja
beralih kode untuk merahasiakan sesuatu dari orang lain. Maksudnya, ada sesuatu
yang harus disembunyikan dari orang lain. Peristiwa tutur yang demikian dapat
dilihat pada data berikut.
Data 11
(O1) : (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 11 menggunakan BK, seperti
tampak pada K3 dan K5. Selain BK, beberapa tuturan pada data 11 juga
menggunakan BBg pada K8 dan K9 serta BBC pada K6, K4, dan BI pada K7.
Penggunaan bahasa pada peristiwa tersebut berlangsung dalam situasi takresmi.
Pada awalnya, O1 menggunakan BK pada K3 dan BBC pada K4 dan K6.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dengan maksud
merahasiakan sesuatu. Untuk itulah digunakan BBg, seperti tampak pada K9.
Makna alih kode tampak ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang „Tidak ada harapan.‟ Tuturan ini disampaikan oleh O1 agar O2 sebagai
128
mitra wicara tidak memahaminya. Oleh karena itu, tuturan pada K9 dapat
dikatakan bermakna rahasia.
Makna alih kode secara lengkap dapat dilihat pada bagan di bawah
ini.
Makna Alih Kode
AK Bermakna Metaforis
AK Bermakna Merendahkan Diri
AK Bermakna Janji
AK Bermakna Kejelasan Topik
AK Bermakna Akrab
AK Bermakna Rahasia
AK Bermakna Sosial
Bagan 6.3
Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
6.6 Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub
Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi termasuk masyarakat bilingual atau
multilingual. Masyarakat Bali di Parigi selain menguasai bahasa Bali, juga
menguasai bahasa Kaili, bahasa Bugis, dan bahasa Indonesia. Peristiwa bahasa
yang demikian cenderung memunculkan fenomena alih kode (AK).
129
Munculnya fenomena alih kode selain ketersediaan bahasa yang bersifat
bilingual pada masyarakat Bali di Parigi, juga karena faktor hubungan
antarpartisipan, latar, situasi, topik pembicaraan, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut pada umumnya terdapat dalam suatu peristiwa tutur.
Sehubungan dengan sebab-sebab terjadinya alih kode, Grosjean
(1982:150) mengemukakan 10 alasan seseorang untuk beralih kode. Kesepuluh
alasan itu adalah: (1) mengisi kebutuhan linguistis, (2) menggunakan bahasa
terakhir yang digunakan, (3) mengutip tuturan seseorang, (4) mengkhususkan
panggilan, (5) mengkualifikasi pesan, (6) mengkhususkan keterlibatan pembicara,
(7) menandai dan menekankan identitas kelompok, (8) mengungkapkan
kerahasian, kemarahan, dan kebosanan, (9) mengeluarkan seseorang dari
pembicaraan atau percakapan, dan (10) mengubah peran pembicara. Evin Tripp
(dalam Grosjean, 1982:127) mengemukakan empat faktor utama sebagai
penyebab terjadinya fenomena alih kode, yaitu: (1) latar (tempat dan waktu) serta
situasi, (2) partisipan dalam berinteraksi verbal, (3) topik, dan (4) fungsi interaksi.
Selain Grosjean dan Evin Tripp, penyebab alih kode juga dikemukakan
oleh para pakar lainnya. Menurut Fishman (1972:243), penyebab alih kode
meliputi: (1) pembicara, (2) pendengar, (3) perubahan situasi dengan hadirnya
orang ketiga, (4) perubahan ragam formal ke informal atau sebaliknya, dan (5)
perubahan topik pembicaraan, sementara Pateda (1987) mengemukakan beberapa
faktor penyebab terjadinya alih kode, yaitu: (1) selipan dari mitra wicara, (2)
pembicara teringat pada hal-hal yang perlu dirahasiakan, (3) salah bicara, (4)
rangsangan lain yang menarik perhatian, dan (5) hal-hal yang sudah direncanakan.
130
Kemudian, Jendra (2007:161) mengemukakan lima faktor penyebab terjadinya
alih kode, yaitu: (1) peserta pembicaraan, (2) bahasa, (3) situasi, (4) efek humor,
dan (5) pokok pembicaraan.
Dari beberapa pandangan para pakar tersebut ternyata selain memiliki
perbedaan, penyebab alih kode juga memiliki persamaan. Persamaannya dapat
dilihat pada pandangan Fishman dan Jendra. Kedua pakar tersebut sama-sama
melihat faktor penyebab alih kode dari segi pembicara dan situasi.
Penelitian ini menemukan 15 penyebab terjadinya alih kode.
Penjelasannya dapat dilihat pada uraian berikut.
6.6.1 Alih kode karena faktor pembicara (O1)
6.6.1.1 O1 ingin memberikan penekanan pada topik pembicaraan
Alih kode juga terjadi karena O1 ingin memberikan penekanan pada topik
pembicaraan. Hal ini dapat dilihat pada data berikut.
Data 19
(01) : (1) Kira-kira apa saja tugasnya Pradah nika Pak Tut?
„Kira-kira apa saja tugas Pradah itu Pak Tut?‟
(02) : (2) Nah, nika, tugas Pradah nika kan, artinya (1) kan jelas nama
Pradah nika kan pemuda.
„Nah, itu tugas Pradah itu kan, artinya (1) kan jelas nama Pradah itu
kan pemuda.‟
: (3) Jadi, artinya membantu meringankan beban orang tua, ten kenten?
„Jadi, artinya membantu meringankan beban orang tua, kan begitu.‟
: (4) Seperti ada kegiatan apa anak-anak muda yang berperan, misalnya
mekiis anak-anak muda yang mempersiapkan tempatnya.
(01) : (5) Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali, Pak
Tut ya
(02) : (6) Ya secara tidak langsung itu sudah tujuannya untuk ngajegang Bali
sebenarnya, ten kenten.
„Ya secara tidak langsung itu sudah tujuannya untuk melestarikan
ajeg Bali sebenarnya, kan begitu.‟
131
Pada awalnya, O1 menggunakan BI yang dicampur dengan BB pada K1,
Kira-kira apa saja tugasnya Pradah nika Pak Tut? „Kira-kira apa saja tugasnya
Pradah itu Pak Tut?‟ Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan menggunakan BI
dicampur dengan BB, seperti tampak pada K2, Nah, nika, tugas Pradah nika kan,
artinya (1) kan jelas nama Pradah nika kan pemuda „Nah, itu tugas Pradah itu
kan, artinya (1) kan jelas nama Pradah itu kan pemuda.‟
Fenomena alih kode terjadi dari BI yang bercampur dengan BB pada K1 ke
BI pada K5, Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali, Pak
Tut ya. Alih kode itu disebabkan oleh keinginan O1 untuk memberikan penekanan
pada topik pembicaraan.
6.6.1.2 O1 bermaksud lebih akrab
Fenomena alih kode juga bisa terjadi agar situasi lebih akrab. Keakraban
ini dapat dilihat dari tempat dan kosakata yang dipergunakan oleh partisipan
dalam sebuah peristiwa tutur. Fenomena alih kode yang demikian dapat dilihat
pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
132
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu.‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Dilihat dari bahasa yang digunakan, data 3 merupakan peristiwa tutur yang
sangat sederhana bahasanya. Pada awalnya, tuturan dimulai oleh O1 dengan
menggunakan BBC pada K4. Kemudian direspons oleh O2 dengan menggunakan
BB seperti tampak pada K5, Kenkenne, ada apa ne? „Bagaimana ini, ada apa?‟
Dengan melihat tuturan yang terdapat pada K4, Yeh, saya kan minta sama
adik, gimana ini? „Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟, tampak sekali
adanya rasa akrab antara O1 dan O2. Apalagi percakapan itu sebagian besar
menggunakan BB, seperti tampak pada K5, K6, K9, dan K12.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip,
oke! „Ya, ya saya setuju.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB, Nyen ento?
„Siapa itu?‟ ke bahasa Inggris pada K13. Penyebabnya tiada lain agar suasananya
semakin akrab.
6.6.1.3 O1 bermaksud merahasiakan sesuatu
Fenomena alih kode untuk merahasiakan sesuatu sering terjadi saat
transaksi jual-beli barang, baik di pasar, toko, maupun di kios-kios kecil. Hal itu
dilakukan agar harga barang yang ditawarkan kepada pembeli tidak diketahui.
Penyebab alih kode yang demikian dapat dilihat pada data berikut.
133
Data 11
(O1) : (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Merahasiakan sesuatu kepada orang lain sering terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal itu memang perlu dilakukan agar orang lain tidak mengetahui
apa yang dibicarakan oleh penutur, seperti halnya peristiwa tutur pada data 11.
Pada awalnya, O1 menggunakan BK karena topiknya tentang bahasa Kaili.
Pemahaman tentang bahasa Kaili ini tampak dari tuturan yang disampaikan O1
pada K4, Keto, anak berturut-turut to „Begitu, orang berturut-turut itu.‟ Kemudian
O1 lagi menggunakan BK, seperti tampak pada kalimat Nakuya komiu? „Sedang
apa kamu?‟ dan seterusnya.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K9, Degaga
harapang. „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BBC pada
K6, Keto ba, nak berturut-turut to „Begitu sudah, orang berturut-turut itu,‟ ke BBg
pada K9, Degaga harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode itu dilakukan karena
O1 ingin merahasiakan sesuatu kepada O2. Oleh karena itu, O1 menggunakan BBg
pada K9.
134
6.6.1.4 O1 terpengaruh oleh ucapan O2
Fenomena alih kode dapat juga terjadi sebagai akibat O1 terpengaruh oleh
ucapan mitra wicara (O2). Dalam hal ini, O1 ingin lebih dekat dengan O2. Oleh
karena itu, O1 berusaha menggunakan gaya bahasa yang digunakan oleh O2
sehingga terjadilah fenomena AK. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada
data berikut.
Data 12
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?.
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
Pada awalnya, O1 menggunakan bahasa Jawa, seperti tampak pada K7,
Ning Bali ora enek? „Di Bali tidak ada?‟ Kemudian, O2 pun meresponsnya
dengan menggunakan BJ pada K8 dan K9.
Yang menarik dari tuturan di atas adalah pengaruh bahasa yang digunakan
oleh O2 pada K12, Tanggal telu September „Tanggal tiga September.‟ Karena ada
kata /September/ pada K12 itu, O1 beralih kode dari BJ pada K11, Mas anake
tanggal piro ning anu berangkate? „Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟, ke
135
BI pada K13, September. Dengan kata lain, peralihan kode yang dilakukan oleh O1
disebabkan oleh tuturan yang dilakukan oleh O2 pada K12.
6.6.1.5 O1 ingin merendahkan diri
Fenomena alih kode dapat juga terjadi ketika seseorang berkeinginan
merendahkan diri. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada data berikut.
Data 18
(02) : (3) Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae kebun.
„Saya selain pegawai negeri, saya juga bekerja kebun.‟
: (4) Kebun itu ada ditanam coklat.
: (5) Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.
„Ya lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟
: (6) Biasanya satu bulan maan satu juta.
„Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
: (7) Tergantung hasil.
: (8) Yen hasilne luung, liu maan.
„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟
: (9) Yen hasilne sing luung, bedik maan.
„Kalau hasilnya tidak bagus, sedikit dapat.‟
: (10) Cukup untuk tambah-tambah ongkos dapur.
Beberapa tuturan pada data 18 menggunakan BBC dan BI. Penggunaan
BBC dapat dilihat pada K3, K5, K6, K8, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada
K4, K7, dan K10. Penggunaan BBC dan BI pada peristiwa tutur tersebut sangat
wajar karena situasinya tergolong situasi takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K10, Cukup
untuk tambah-tambah ongkos dapur. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BBC
pada K9 ke BI pada K10. Alih kode terjadi karena keinginan O2 untuk
merendahkan diri. Padahal, tuturan sebelumnya O2 mengatakan seperti terlihat
pada K6, Biasanya satu bulan maan satu juta. „Biasanya satu bulan dapat satu
juta.‟
136
6.6.2 Alih kode karena faktor mitra wicara (O2)
6.6.2.1 O2 ingin menunjukkan bahwa dirinya terpelajar
Fenomena alih kode dapat juga terjadi karena O2 ingin menunjukkan
bahwa dirinya terpelajar/cendekiawan. Oleh karena itu, O2 berusaha
menggunakan bahasa Inggris ketika terlibat pembicaraan dengan O1. Padahal, O1
hanya menggunakan bahasa Bali lumrah. Penyebab alih kode tersebut dapat
dilihat pada data berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu.‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Pada awalnya, O1 menggunakan BBC, seperti tampak pada K4.
Selanjutnya, O2 meresponsnya dengan menggunakan BB pada K5. Penggunaan
dua bahasa tersebut sangat wajar karena situasinya memang takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip,
oke „Ya, ya saya setuju!‟ Alih kode yang dilakukan oleh O1 semata-mata agar
137
dirinya dianggap terpelajar karena situasi sebenarnya tidak mengharuskan O2
menggunakan bahasa Inggris. Apalagi O1 dalam peristiwa tutur tersebut tidak
menggunakan bahasa Inggris, tetapi menggunakan BBC, BB, dan BI, seperti
tampak pada K4, K6, K7, K8, K11, dan K12.
6.6.2.2 O2 ingin mengutip pembicaraan
Fenomena alih kode dapat juga terjadi karena O2 ingin mengutip
pembicaraan orang lain yang tidak hadir dalam peristiwa tutur. Meskipun
partisipan tidak hadir dalam peristiwa tutur, tuturannya tetap digunakan untuk
memperkuat pembicaraan yang sedang terjadi. Penyebab alih kode tersebut dapat
dilihat pada data berikut.
Data 8
(02) : (4) Sing dini aman.
„Tidak di sini aman.‟
: (5) Kehidupan antarsuku dini baik.
„Kehidupan antarsuku di sini baik.‟
: (6) Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli dini.
„Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini.‟
: (7) Seperti pepatah, ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
: (8) Artinya, di mana pun kita berada harus bisa menyesuaikan diri.
Pada awalnya, O2 menggunakan BBC, seperti tampak pada K4, Sing dini
aman „Tidak di sini aman.‟ Penggunaan BBC tersebut wajar karena situasinya
takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Seperti
pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Alih kode itu dilakukan
oleh O2 dari BBC pada K6, Yang penting iraga sing mengganggu penduduk asli
dini „Yang penting kita tidak mengganggu penduduk asli di sini,‟ ke BI pada K7.
Alih kode itu terjadi karena O2 ingin mengutip pepatah dalam bahasa Indonesia.
138
Penyebab alih kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 20
Latar : Rumah I Ketut Keles
Topik : Kesehatan
Partisipan : Tamu (01)
Ketut Keles (02)
(01) : (1) … Sakit yang dominan, sakit paling keras napi?
„… Sakit yang dominan, sakit paling keras apa?‟
(02) : (2) Pertama, tiang ngilu bangkiang tiange.
„Pertama, saya nyeri di pinggang.‟
: (3) Kalau majalan abedik ngentah ngilu ento juk bah?
„Kalau berjalan sedikit nyeri itu kambuh langsung jatuh.‟
: (4) Maubad-maubad ilang ngilun bangkiang tiange ento.
„Setelah berobat, nyeri di pinggang saya hilang‟
: (5) Batis tiange dini semutan.
„Kaki saya di sini keram.‟
: (6) Beh alih tiang doktere.
„Wah, saya cari dokternya.‟
: (7) Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan dimakan obat itu.
Pembicaraan dimulai oleh O1 dengan menggunakan BBC pada K1.
Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan menggunakan BBC juga, seperti tampak
pada K2, Pertama, tiang ngilu bangkiang tiange „Pertama, saya nyeri di
pinggang.‟ Tuturan O2 pun dilanjutkan dengan menggunakan BBC pada K3, BB
pada K4, K5, dan K6 serta BI pada K7, Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan
dimakan obat itu.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7. Alih kode itu
dilakukan oleh O2 dari BBC pada K6, Beh alih tiang doktere „Wah, saya cari
dokternya.‟ ke BI pada K7, Aduh, keracunan obat ini Pak, jangan dimakan obat
itu.
139
Alih kode itu disebabkan oleh keinginan O2 mengutip pembicaraan orang
lain, seperti tampak pada K7. Dalam hal ini, O2 mengutip tuturan dokter ketika
sedang melakukan pengobatan.
6.6.2.3 O2 ingin memperjelas keterangan yang telah dipaparkan
Tidak semua berita/informasi yang disampaikan oleh penutur dalam
interaksi sosial dapat dengan mudah dipahami oleh mitra wicara. Kadang-kadang
ada juga mitra wicara yang sangat lambat memahami suatu tuturan. Oleh karena
itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih dalam. Akibatnya, peristiwa tutur itu
akan memunculkan suatu fenomena alih kode. Fenomena alih kode tersebut dapat
dilihat pada data berikut.
Data 17
(01) : (1) … Berarti secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali
Pak Tut ya.
(02) : (2) Ya secara tidak langsung tujuannya untuk ngajegang Bali
sebenarnya, ten kenten?
„Ya secara tidak langsung tujuannya untuk mengajegkan Bali
sebenarnya, kan begitu?‟
: (3) Pradah yang tiang tahu paling mendasar ya merupakan beban
orang tua, ten kenten?
„Pradah yang saya tahu paling mendasar ya merupakan beban
orang tua, kan begitu?‟
(01) : (4) Nggih.
(03) : (5) Pradah itu termasuk tulang punggungnya dari umat.
Pada awalnya, O1 menggunakan BI, seperti tampak pada K1, … Berarti
secara tidak langsung ikut juga melestarikan ajeg Bali Pak Tut ya. Kemudian,
direspons oleh O2 dengan menggunakan BBC, seperti tampak pada K2, Ya secara
tidak langsung tujuannya untuk ngajegang Bali sebenarnya, ten kenten? „Ya
secara tidak langsung tujuan untuk mengajegkan Bali sebenarnya, kan begitu?‟
140
Fenomena alih kode terjadi dari BBC pada K3 ke BI pada K5. Alih kode itu
terjadi untuk memperjelas keterangan yang telah dipaparkan oleh O2 pada K2 dan
K3 sehingga muncullah tuturan, seperti tampak pada K5, Pradah itu termasuk
tulang punggungnya dari umat, yang tampak dengan jelas pada bentuk tulang
punggung.
6.6.3 Alih kode karena kehadiran O3
Kehadiran orang ketiga (O3) sering menimbulkan terjadinya alih kode.
Seperti diketahui, dalam suatu peristiwa, partisipan biasanya tidak selalu terdiri
atas dua orang. Tidak menutup kemungkinan, ketika interaksi berlangsung, tiba-
tiba datang O3 ikut terlibat dalam suatu pembicaraan yang mengakibatkan
terjadinya fenomena alih kode. Fenomena tersebut dapat dilihat pada data berikut.
Data 9
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!.
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
Ada dua bahasa yang digunakan pada data 9, yaitu BBC dan BI.
Penggunaan BBC dapat dilihat pada K3, K4, K7, dan K8, sedangkan penggunaan
BI dapat dilihat pada K5 dan K6. Penggunaan BBC ternyata lebih dominan
daripada penggunaan BI.
141
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K6, Empat, lima ribu.
Alih kode tersebut dilakukan oleh O2 dari BBC pada K4, Tiang men tahun tujuh
tiga deriki, kudang tahun ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa
tahun sudah?‟, ke BI pada K6, Empat, lima ribu. Alih kode itu disebabkan oleh
kehadiran orang ketiga yang kebetulan berasal dari etnis Kaili. Oleh karena itu, O2
beralih kode ke bahasa yang dipahami bersama, yaitu BI.
6.6.4 Alih kode karena materi pembicaraan
Materi pembicaraan/topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab
terjadinya fenomena alih kode. Partisipan kadang-kadang tidak menyadari bahwa
apa yang dibicarakan cenderung menimbulkan terjadinya fenomena alih kode.
Fenomena yang demikian dapat dilihat pada data berikut.
Data 21
Latar : Rumah Wayan Netra
Topik : Perkuliahan
Partisipan : Wayan Netra (01)
Guru SD (02)
I Wayan Samba (03)
(01) : (1) Panak awake tawanga ken emboke.
„Anakmu dikenal oleh kakak.‟
(02) : (2) To ba ibuke san ngorahang.
„Itu sudah ibu tadi mengatakan.‟
(01) : (3) Panake kan di Bali kuliah.
„Anaknya kan di Bali kuliah.‟
(03) : (4) Sira Pak kuliah di Bali?
„Siapa Pak kuliah di Bali?‟
(02) : (5) Panak tiange.
„Anak saya.‟
(03) : (6) Ane nomor kuda?
„Yang nomor berapa?‟
(02) : (7) Ane nomor dua.
„Yang nomor dua.‟
142
(03) : (8) Dija kuliah di Bali Pak?
„Di mana kuliah di Bali Pak?‟
(02) : (9) Di Unud nika, Jurusan Informatika.
„Di Unud, Jurusan Informatika.‟
: (10) Dia bilang, ‘Aduh Pak saya salah pilih jurusan, setengah mati Pak.
: (11) Yang setengah mati itu bagus kan, jarang orang bisa.
Pada awalnya, O1 menggunakan BB ketika berbicara dengan O2. Karena
O1 menggunakan BB, O2 pun meresponsnya dengan menggunakan BB, seperti
tampak pada K2, To ba ibuke san ngorahang „Itu sudah ibu tadi mengatakan‟.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K10 dan K11.
Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K9, Di Unud nika, Jurusan
Informatika „Di Unud, Jurusan Informatika,‟ ke BI pada K10, Dia bilang, Aduh
Pak saya salah pilih jurusan, setengah mati Pak. Alih kode itu dilakukan oleh O2
tentu karena ada dasarnya. Penyebabnya adalah topik pembicaraannya berubah
dari topik keluarga ke topik perkuliahan. Ketika topiknya tentang keluarga, O2
masih bercakap-cakap dengan menggunakan BB, seperti tampak pada K2, K5, K6,
K7, dan K9. Namun, ketika topiknya berubah dari topik keluarga ke topik
perkuliahan, O2 menggunakan bahasa yang berbeda, yaitu BI seperti tampak pada
K10 dan K11.
Penyebab alih kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 22
Latar : Jaba pura
Topik : Pembagian tanah
Partisipan : Pak Ketut (01)
Pak Suwitra (02)
(01) : (1) Tahun kuda meriki, Pak?
„Tahun berapa kemari, Pak.‟
(02) : (2) Tahun 72 meriki tiang rauh ring Sumbersari.
„Tahun 72 kemari saya tiba di Sumbersari.‟
143
(01) : (3) Punapi indik transmigrasine?
„Bagaimana tentang transmigrasinya?‟
(02) : (4) Tiang transmigrasi spontan nika.
„Saya transmigrasi spontan.‟
(01) : (5) Kudang KK meriki, Pak, akeh?
„Berapa KK kemari, Pak, banyak?‟
(01) : (6) Tiang pertama meriki 53 KK, masuk meriki pertama kenten!
„Saya pertama ke sini 53 KK, masuk ke sini pertama, begitu!‟
: (7) Seantukan wenten nak akeh daweg nika sempat kenten ngalih
tanah.
„Kebetulan ada orang banyak waktu itu berkesempatan mencari
tanah.‟
(01) : (8) Kudang hektar polih tanah?
„Berapa hektar dapat tanah?‟
(02) : (9) Kalih hektar nika.
„Dua hektar.‟
: (10) Kan deriki polih pembagian kalih hektar nika.
„Kan di sini dapat pembagian dua hektar.‟
(01) : (11) Jadi, ane membuka jalan warga kita?
„Jadi, yang membuka jalan warga kita?‟
(02) : (12) Nggih.
„Ya.‟
: (13) Yang membuka jalan kita dulu merintisnya.
: (14) Kita dulu membuat selokannya.
Pembicaraan dimulai dengan menggunakan BBC oleh O1, Tahun kuda
meriki, Pak? „Tahun berapa kemari, Pak.‟ Kemudian, O2 meresponsnya dengan
menggunakan BBC juga pada K2. Penggunaan BBC pada data 22 wajar karena
situasinya takresmi. Bahkan, tuturan berikutnya sebagian besar menggunakan
BBC. Hal ini dapat dilihat pada K3, K4, K5, K6, K7, K8, K9, dan K10. Hanya satu
tuturan menggunakan BB, yaitu pada K12, dan dua tuturan menggunakan BI, yaitu
pada K13 dan K14.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13 dan K14. Alih kode
itu dilakukan oleh O2 dari BBC pada K10, Kan deriki polih pembagian kalih
hektar nika „Kan di sini dapat pembagian dua hektar,‟ ke BI pada K13, Yang
membuka jalan kita dulu merintisnya. Peralihan kode itu disebabkan oleh
144
perubahan topik pembicaraan dari topik masalah pribadi, yaitu keluarga ke topik
yang berhubungan dengan masalah nasional, yaitu pembuatan jalan umum.
Penyebab alih kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 23
Latar : Teras rumah
Topik : Kesehatan
Partisipan : Tamu (01)
Pak Keles (02)
(01) : (1) Jangan dipikirin batise seger nyak sing.
„Jangan dipikirkan kakinya sembuh apa tidak.‟
: (2) Om…, Om…, mikirin Ida Sang Hyang Widi Wasa.
„Om…, Om…, memikirkan Ida Sang Hyang Widi Wasa.‟
: (3) Om…, Om…, Om…, begitu.
(02) : (4) Yen benengan ento jeg.
„Kalau soal itu sudah.‟
: (5) Masalah mapunia tiang jeg paling banina.
„Masalah sumbangan dana saya paling berani.‟
: (6) Sajaan juk oraang ba tiang paling banina.
„Benar, boleh dikatakan saya paling berani.‟
: (7) Apa yang artinya orang punya gerakan di desa saya bantu.
: (8) Ini uang cuma-cuma.
Data 23 menggunakan tiga macam bahasa, yaitu BBC, BB, dan BI.
Penggunaan BBC dapat dilihat pada K1, K2, K3, K5, K6. Penggunaan BB dapat
dilihat pada K4, sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K7 dan K8.
Penggunaan bahasa yang bervariasi itu sangat wajar sebab situasinya takresmi.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K7, Apa yang artinya
orang punya gerakan di desa saya bantu. Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari
BBC pada K6, Sajaan juk oraang ba tiang paling banina „Benar, boleh dikatakan
saya paling berani,‟ ke BI pada K7. Alih kode itu disebabkan oleh perubahan topik
pembicaraan, yaitu dari topik keluarga ke topik umum, yaitu gerakan desa.
145
6.6.5 Alih kode karena situasi
Situasi sangat memegang peranan terjadinya fenomena alih kode. Jika
situasi berubah dalam suatu peristiwa tutur, pilihan bahasa partisipan pun berubah.
Hal tersebut dapat dilihat pada data berikut.
Data 9
(01) : (3) Dua puluh tahunan deriki?
„Dua puluh tahun di sini?‟
(02) : (4) Tiang men tahun tujuh tiga deriki, kudang tahun ampun?
„Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun sudah?‟
(03) : (5) Berapa telurnya? (datang 03)
(02) : (6) Empat, lima ribu.
: (7) Deriki tahun tujuh tiga.
„Di sini tahun tujuh tiga.‟
: (8) Nenek, bapak, ba sing nu dini, kasihan!
„Nenek, bapak, sudah tidak ada di sini, kasihan!‟
Beberapa tuturan pada data 9 menggunakan BBC dan BI. Penggunaan
BBC dapat dilihat pada K3, K4, K7, dan K8, sedangkan penggunaan BI tampak
pada K5 dan K6. Penggunaan BBC ternyata lebih dominan dibandingkan dengan
penggunaan BI.
Pada awalnya, O1 menggunakan BBC, seperti tampak pada K3, Dua puluh
tahunan deriki? „Dua puluh tahun di sini?‟ Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan
menggunakan BBC juga, seperti tampak pada K4, Tiang men tahun tujuh tiga
deriki, kudang tahun ampun? „Saya sudah tahun tujuh tiga di sini, berapa tahun
sudah?‟ Penggunaan BI baru muncul setelah pembicaraan sampai pada K5 dan K6.
Penggunaan BI itu disebabkan oleh situasi yang meliputi peristiwa tutur berubah,
yaitu hadirnya orang ketiga. Dengan kata lain, perubahan penggunaan bahasa itu
disebabkan oleh situasi yag melingkupi peristiwa tutur.
146
Penyebab alih kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 5
(01) : (4) Ada rezeki kita terima, syukur.
: (5) Ada yang dimasak, syukur.
: (6) Jadi manusia tidak pernah syukur, wah.
(02) : (7) Bahaya!
(01) : (8) Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku,
mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat.
(03) : (9) Tiang pamit, nggih? (datang 03)
„Saya permisi ya?‟
(01) : (10) Mai wa, kenken bapanne seger?
„Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟
(03) : (11) Keto dogen ba, nak rematik.
„Begitu saja sudah, orang rematik.‟
(12) Sing taen kija-kija, jumah dogen.
„Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟
Beberapa tuturan yang terdapat pada data 5 dimulai dengan menggunakan
BI, seperti tampak pada K4, Ada rezeki kita terima, syukur. Demikian juga K5, K6,
K7, dan K8. Semuanya menggunakan BI.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K10, Mai wa, kenken
bapanne seger? „Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟ Alih kode itu
dilakukan oleh O1 dari BI pada K8 ke BB pada K10. Peralihan kode disebabkan
oleh perubahan situasi, yaitu hadirnya O3. Dengan kata lain, hadirnya O3
menyebabkan O1 beralih kode dari BI pada K8, Saya tidak sarjana, tapi saya
hanya belajar otodidak, baca buku, mendengar orang bijak, kalau diskusi kita
catat, ke BB pada K10, Mai wa, kenken bapanne seger? „Kemari Bibi, bagaimana
bapaknya sehat?‟
Jika diperhatikan secara saksama, O3 pun beralih kode dari BBH pada K9
ke BBL pada K11 dan K12. Hanya saja penyebab terjadinya alih kode berbeda.
Perbedaannya adalah O1 beralih kode karena situasinya berubah, yaitu hadirnya
147
O3 dalam suatu pembicaraan, sedangkan O3 beralih kode karena terpengaruh oleh
O1 yang menggunakan BBL dalam suatu pembicaraan. Oleh karena itu, O3 beralih
kode dari BBH pada K9, Tiang pamit, nggih? „Saya permisi ya?‟, ke BBL pada
K11, Keto dogen ba, nak rematik „Begitu saja sudah, orang rematik.‟
6.6.6 Alih kode karena pembicaraan sebelumnya
Fenomena alih kode dapat juga terjadi karena partisipan terpengaruh oleh
kalimat pembicaraan sebelumnya. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada
data berikut.
Data 12
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?.
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
Kutipan beberapa tuturan pada data 12 sebagian besar menggunakan BJ.
Penggunaan BJ dapat dilihat pada K7, K8, K9, K10, K11, K12, K14, dan K15.
Dominannya penggunaan BJ pada data 12 sangat wajar karena O1 sangat
menguasai BJ. Kebetulan mitra wicaranya, yaitu O2, berasal dari etnis Jawa.
148
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13,
September. Alih kode dilakukan oleh O1 dari BJ pada K11 ke BI pada K13. Alih
kode tersebut disebabkan oleh pembicaraan sebelumnya, yaitu K12, Tanggal telu
September. „Tanggal tiga September.‟ Jadi, alih kode yang dilakukan oleh O1
semata-mata karena pengaruh pembicaraan sebelumnya yang kebetulan menyebut
kata /September/ pada K12.
6.6.7 Alih kode karena perjanjian
Alih kode dapat juga terjadi akibat partisipan ingin mengadakan perjanjian
dalam sebuah peristiwa tutur. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada data
berikut.
Data 3
(O1) : (4) Yeh, saya kan minta sama adik, gimana ini?
„Wah, saya kan minta pada adik, bagaimana ini?‟
(O2) : (5) Kenkenne, ada apa ne?
„Bagaimana ini, ada apa?‟
(O1) : (6) Sing ja ada engken.
„Tidak ada apa.‟
: (7) Cuma anu saja.
: (8) Kebetulan anune
„Kebetulan ada sesuatu ini.‟
(O2) : (9) Nyen ento?
„Siapa itu?‟
(O1) : (10) Ada bos baru ini dari Palu.
„Ada bos baru dari Palu.‟
: (11) Kalau memang anu.
„Kalau memang begitu.‟
: (12) Apang iraga pituru kenal.
„Supaya kita saling kenal.‟
(O2) : (13) Sip, sip, oke!
„Ya, ya saya setuju!‟
Beberapa tuturan pada data 3 menggunakan BBC, BB, BI, dan bahasa
Inggris. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K4, K8, dan K12. Penggunaan BB
149
dapat dilihat pada K5, K6, dan K9. Penggunaan BI dapat dilihat pada K7, K10, K11,
dan bahasa Inggris dapat dilihat pada K13. Penggunaan berbagai bahasa pada data
3 sangat wajar karena situasinya memang takresmi.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K13, Sip, sip,
oke! „Ya, ya saya setuju!‟ Alih kode itu dilakukan oleh O2 dari BB pada K9, Nyen
ento? „Siapa itu?‟, dan bahasa Inggris pada K13. Penyebab alih kode tersebut tiada
lain karena ungkapan yang berkaitan dengan kesepakatan antara kedua belah
pihak, yaitu O1 dan O2. Maksudnya, O2 berjanji untuk menyepakati permintaan
O1. Hal ini dapat dilihat pada tuturan O2 pada K13.
6.6.8 Alih kode karena kurang menguasai bahasa daerah
Alih kode dapat juga disebabkan oleh kurangnya partisipan menguasai
bahasa daerah. Oleh karena itu, partisipan beralih kode ke bahasa nasional, yaitu
bahasa Indonesia, sebagai alat penghubung antaretnis. Penyebab alih kode yang
demikian dapat dilihat pada data berikut.
Data 16
(01) : (1) Jumei mokuya?
„Untuk apa datang kemari?‟
(02) : (2) Datang basiara.
„Datang pesiar.‟
(01) : (3) Impia komi narata?
„Kapan kamu datang?‟
(02) : (4) Tadi.
(01) : (5) Mapia manjili?
„Kapan pulang?‟
(02) : (6) Hari Minggu.
(01) : (7) Ri Palu riva komiu?
„Kamu di mananya di Palu?‟
(02) : (8) Jalan Thamrin.
150
Beberapa tuturan pada data 16 dimulai oleh O1 dengan menggunakan BK,
seperti tampak pada K1, Jumei mokuya? Datang baapa? „Untuk apa datang
kemari?‟ Penggunaan BK tersebut disebabkan oleh mitra wicara yang berasal dari
etnis Kaili-Bugis. Selain itu, O1 berusaha berkonvergensi bahasa kepada mitra
wicara untuk menunjukkan rasa toleransi antaretnis. Usaha O1 tidak sia-sia.
Tuturan O1 direspons oleh O2 dengan menggunakan BK dicampur dengan BI,
seperti tampak pada K2, Datang basiara. Datang pesiar „Silaturahmi.‟
Meskipun menggunakan BK dicampur dengan BI, O2 berusaha melakukan
konvergensi bahasa dengan O1. Namun, konvergensi bahasa yang dilakukan oleh
O2 tergolong konvergensi parsial. Maksudnya, O2 melakukan konvergensi bukan
secara total, melainkan sebagian saja, menggunakan satu kata BI dan satu kata
lagi BK, seperti tampak pada K2.
Jika diperhatikan secara saksama, percakapan yang dilakukan oleh O1 dan
O2 sangat akrab. Seolah-olah tidak ada jarak di antara mereka. Bahkan, keduanya
berusaha menunjukkan rasa toleransinya dengan melakukan konvergensi bahasa.
Meskipun dalam percakapan di atas sebagian besar O2 menggunakan BI,
bukan berarti dia melakukan divergensi bahasa. Pada hakikatnya O2 ingin sekali
melakukan konvergensi bahasa secara total, namun penguasaan BK-nya kurang
memadai. Bahkan, karena kurang menguasai BK, O2 beralih kode dari campuran
BI/BK pada K2 ke BI pada K4, K6, dan K8. Jadi, alih kode yang dilakukan oleh O2
semata-mata karena kurang menguasai BK. Apalagi, O2 bukan berasal dari etnis
Kaili secara utuh, melainkan berasal dari campuran etnis Kaili-Bugis. Dengan
demikian, wajar O2 kurang menguasai BK.
151
6.6.9 Alih kode karena keinginan partisipan menunjukkan rasa toleransi
antaretnis
Alih kode dapat juga terjadi akibat keinginan partisipan menunjukkan rasa
toleransi yang tinggi terhadap etnis lain. Keinginan tersebut tentu membawa hal
positif bagi kehidupan antaretnis di masyarakat. Penyebab alih kode yang
demikian dapat dilihat pada data berikut.
Data 12
(01) : (1) Selamat malam!
(02) : (2) Malam!
(01) : (3) Piye to kabare?
„Bagaimana kabarnya?‟
(02) : (4) Kabare ya apik ae to.
„Kabarnya ya baik-baik saja.‟
(01) : (5) Anake Mas ning Sulawesi piro?
„Anaknya Bapak di Sulawesi berapa?‟
(02) : (6) Papatlah.
„Empatlah.‟
(01) : (7) Ning Bali ora enek?
„Di Bali tidak ada?‟
(02) : (8) Ora enek.
„Tidak ada.‟
: (9) Ning kene wong tuane kabeh.
„Di sini orang tuanya semua.‟
(03) : (10) Bojone wong Sulawesi.
„Istrinya orang Sulawesi.‟
(01) : (11) Mas anake tanggal piro ning anu berangkate?
„Pak, anaknya tanggal berapa berangkat?‟
(02) : (12) Tanggal telu September.
„Tanggal tiga September.‟
(01) : (13) September.
(02) : (14) Iyo.
„Ya.‟
(01) : (15) Jadi, karo sopo ning kono?
„Jadi, dengan siapa di sana?‟
(02) : (16) Kontingen Sulawesi Tengah.
Percakapan di atas diawali dengan menggunakan BI. Selanjutnya, tuturan
O1 direspons oleh O2 dengan menggunakan BI juga. Memang, dalam
152
sosiolinguistik pada umumnya O2 mengikuti bahasa yang digunakan oleh O1.
Percakapan berlanjut dengan menggunakan bahasa Jawa, baik oleh O1 maupun
oleh O2. Bahkan, O3 pun ikut menggunakan bahasa Jawa, seperti tampak pada
K10, Bojone wong Sulawesi „Istrinya orang Sulawesi.‟
Penggunaan bahasa Jawa, baik oleh O1 maupun O3 dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa toleransinya yang tinggi terhadap mitra wicara, yaitu O2. Untuk
itulah, mereka melakukan konvergensi bahasa. Ternyata O2 meresponsnya dengan
menggunakan bahasa Jawa juga, seperti tampak pada K8, K9, K12, dan K14.
Jika diperhatikan secara saksama percakapan di atas, tuturan O2 dominan
menggunakan bahasa Jawa, seperti tampak pada K8, K9, K12, dan K14. Hanya satu
tuturan menggunakan BI, yaitu K16, Kontingen Sulawesi Tengah.
Meskipun sebagian besar tuturannya menggunakan BJ, bukan berarti O2
telah melakukan divergensi bahasa. Dominannya penggunaan BJ oleh O2 semata-
mata untuk mengimbangi tuturan O1 yang menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3. Alih kode itu
dilakukan oleh O1 untuk menunjukkan rasa toleransinya yang tinggi terhadap O2.
Kebetulan O2 berasal dari etnis Jawa.
Penyebab alih kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 11
(O1) : (3) Sakuya muni ana miu?
„Berapa juga anakmu?‟
: (4) Keto, anak berturut-turut to.
„Begitu, orang berturut-turut itu.‟
: (5) Nakuya komiu?
„Sedang apa kamu?‟
: (6) Keto ba, nak berturut-turut to
„Begitu sudah, orang berturut-turut itu.‟
153
(O2) : (7) Berturut-turut, oh!
(O3) : (8) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
(O1) : (9) Degaga harapang.
„Tidak ada harapan.‟
Beberapa tuturan di atas, tampak adanya penggunaan BK pada K3 dan K5;
penggunaan BBC pada K4 dan K6; penggunaan BI pada K7, dan penggunaan BBg
pada K8 dan K9. Bahasa Kaili digunakan oleh O1 untuk memberikan pelajaran
kepada O2 yang berasal dari etnis Bali tentang BK. Padahal, O1 berasal dari etnis
Bali. Namun, karena kemampuan yang bagus tentang BK, O1 berusaha
mengajarkan BK kepada O2.
Dilihat dari cara berbicaranya, O1 sangat menguasai BK. Hal ini tampak
dengan jelas pada K3, K4, K5, dan K6. Alih kode terjadi ketika pembicaraan
sampai pada K9, Degaga harapang „Tidak ada harapan.‟ Alih kode ini dilakukan
oleh O1 dari BBC pada K6 ke BBg pada K9. Alih kode itu dilakukan oleh O1 untuk
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O3 pada K8. Dalam hal ini, O1 ingin
menunjukkan rasa toleransinya kepada O3 dengan melakukan konvergensi bahasa.
Penyebab alih kode berikutnya dapat dilihat pada data di bawah ini.
Data 13
(01) : (1) Kuda besik ne, Pak?
„Berapa satu ini, Pak?‟
(02) : (2) Sembilan belas, oh ne!
„Sembilan belas, oh ini!‟
(01) : (3) Kaset dangdut, dangdut.
(02) : (4) Oh, dangdut… sembilan belas.
(01) : (5) Sing dadi tawahin?
„Tidak boleh ditawar?‟
(02) : (6) Memang harga pas.
(01) : (7) Baang kuang bedik, nah?
„Berikan kurang sedikit, ya?‟
(02) : (8) Sudah pas hargane, sing dadi kuang.
„Sudah pas harganya, tidak boleh kurang.‟
154
(01) : (9) Nyemak dua ne!
„Ngambil dua ini.‟
(02) : (10) Nyemak dua?
„Ngambil dua?‟
Data di atas dimulai dengan menggunakan BB. Bahasa itu digunakan oleh
O1 yang berasal dari etnis Bugis. Bahkan, sebagian besar bahasa yang digunakan
oleh O1 adalah BB, seperti tampak pada K1, K5, K7, dan K9. Hanya K3
menggunakan BI.
Penggunaan BB oleh O1 tentu memiliki maksud tertentu. Selain bertujuan
agar dapat menawar harga barang, tidak menutup kemungkinan O1 bertujuan
untuk menunjukkan rasa toleransi yang tinggi terhadap mitra wicara, yaitu O2.
Dengan kata lain, rasa toleransi O1 ditunjukkan dengan melakukan konvergensi
bahasa.
Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K3, Kaset
dangdut, dangdut. Alih kode itu dilakukan oleh O1 dari BB pada K1, Kuda besik
ne, Pak? „Berapa satu ini, Pak?‟ ke BI pada K3. Alih kode itu selain dilakukan
dari BB ke BI, juga dilakukan oleh O1 dari BI ke BB, seperti tampak pada K3 dan
K5. Alih kode itu dilakukan oleh O1 karena berkeinginan untuk menunjukkan rasa
toleransinya kepada O2. Rasa toleransi itu diwujudkan dengan menggunakan BB.
Padahal, diketahui bahwa O1 berasal dari etnis Bugis.
Penyebab alih kode berikutnya dapat dilihat pada data di bawah ini.
Data 15
(02) : (14) Kuda ne Pak?
„Berapa ini Pak?‟
(01) : (15) Niki jak timpal gen pak nah.
„Ini sama teman saja, Pak ya.‟
155
: (16) Terus terang biasane tiang ngadep ji selae.
„Terus terang biasanya saya menjual dengan harga dua puluh lima‟
(02) : (17) Selae?
„Dua puluh lima?‟
(01) : (18) Nah jani baang duang dasa jak timpal.
„Ya sekarang diberi dua puluh sama teman.‟
(02) : (19) Untuk menghindari debu.
(01) : (20) Nggih.
„Ya.‟
: (21) Kaca mata kan untuk sehat, untuk penampilan.
Jika dilihat secara saksama data 15, tampak sekali ada komunikasi dua
arah antara O1 dan O2. Sepintas komunikasi itu terjadi antara dua etnis Bali.
Namun, kenyataannya komunikasi itu terjadi antara etnis Bugis dan etnis Bali.
Penggunaan BB oleh O1 pada data di atas menunjukkan bahwa O1
memiliki penguasaan BB yang cukup bagus. Bahkan, tuturan yang disampaikan
oleh O1 sebagian besar menggunakan BB, seperti tampak pada K15, K16, K18, dan
K20. Hanya pada K21 O1 menggunakan BI, yaitu Kaca mata kan untuk sehat, untuk
penampilan. Penggunaan BI ini pun disebabkan oleh tuturan sebelumnya pada
K19, Untuk menghindari debu. Maksudnya, O1 berusaha untuk mengimbangi
tuturan O2 yang menggunakan BI.
Dilihat dari bahasa yang digunakan, dapat dikatakan bahwa O1 telah
melakukan konvergensi bahasa, seperti tampak pada K15, K16, K18, dan K20.
Konvergensi bahasa itu dilakukan oleh O1 untuk menunjukkan rasa toleransinya
kepada O2 yang berasal dari etnis Bali. Rasa toleransi ini juga tampak ketika O1
beralih kode dari BB ke BI pada K20 dan K21. Dalam hal ini, O1 selalu
mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O2 pada data 15.
156
Sebab-sebab terjadinya alih kode dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Sebab-sebab
Terjadinya Alih Kode
AK karena O1
1. Penekanan
2. Akrab
3. Rahasia
4. Ucapan
5. Merendahkan Diri
AK karena O2
1. Terpelajar
2. Kutipan
3. Kejelasan
Kehadiran O3
Materi Pembicaraan
Situasi
Pembicaraan Sebelumnya
Perjanjian
Toleransi
Penguasaan Bahasa
Bagan 6.4
Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
157
BAB VII
CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI DALAM PENGGUNAAN
BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI
7.1 Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat
Bali di Parigi
Nababan (1984:32) mengemukakan fenomena campur kode (CK) itu
sebagai berikut.
Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua atau
lebih bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu
dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu.
Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
Jika diperhatikan secara saksama pandangan Nababan, ternyata campur
kode dan alih kode memiliki perbedaan. Kalau dalam alih kode ada kondisi yang
menuntut penutur beralih kode dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan
campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut percampuran kode tersebut.
Sementara itu, Fasold (1984:180) lebih mempertimbangkan faktor
linguistik atau kebahasaan. Fasold menyatakan bahwa campur kode adalah
fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode
terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur,
tetapi pada dasarnya dia menggunakan bahasa yang tertentu. Serpihan-serpihan
bahasa itu berasal dari bahasa lain dan biasanya berupa kata, tetapi juga berupa
frasa atau unit bahasa yang lebih besar.
Ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi
informal. Dalam situasi formal jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat
campur kode dalam keadaan demikian, hal itu disebabkan oleh tidak ada
ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai
158
kata atau ungkapan dari bahasa lain/asing. Fenomena campur kode tersebut dapat
dilihat pada data berikut.
Data 24
Latar : Ruang tamu
Topik : Pendirian pura
Partisipan : Tuan rumah (etnis Bali)
Nyoman Sukawan (etnis Bali)
(01) : (1) Sampun sue deriki Pak Wayan?
„Sudah lama di sini Pak Wayan?‟
(02) : (2) … sampun wenten, minabang tiang 25 tahun lebih.
„… sudah ada saya kira 25 tahun lebih‟.
: (3) Setelah nika mangkin ampun akeh nika umate.
„Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya.‟
: (4) Ring Nambaru makeh.
„Di Nambaru banyak.‟
: (5) Ring Desa Sumbersari kemanten paling makeh 20-an KK kari.
„Di Desa Sumbersari saja paling banyak 20-an KK masih.‟
: (6) Setelah nika pindah umate ke Nambaru.
„Setelah itu pindah umatnya ke Nambaru.‟
: (7) Artinya pindah ke asalnya wenten 60-an KK.
„Artinya pindah ke asalnya ada 60-an KK.‟
Jika diperhatikan tuturan pada data 24, tampak terjadi sebuah fenomena
campur kode dalam pemakaian BB. Hal ini jelas terlihat pada K2, … sampun
wenten minabang tiang 25 tahun lebih „Sudah ada saya kira 25 tahun lebih.‟
Masuknya serpihan-serpihan BI, seperti //25 tahun lebih// pada K2, dapat
digolongkan sebagai fenomena campur kode. Maksudnya, pada tuturan K2, O2
telah memasukkan serpihan-serpihan BI ke dalam pemakaian BB sehingga O2
dapat dikatakan telah melakukan campur kode pada tuturannya. Fenomena
campur kode yang muncul dalam tuturan tersebut tanpa disengaja dan muncul
begitu saja.
159
Kalimat 3 pada data 24 pun demikian. Masuknya serpihan-serpihan BI,
seperti kata /setelah/ dan /umat/ pada K3, Setelah nika mangkin ampun akeh nika
umate „Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya,‟ dalam pemakaian BB dapat
dikatakan telah terjadi fenomena campur kode. Masuknya serpihan-serpihan
tersebut tanpa sebab dan situasinya pun takresmi.
Tuturan pada K5, K6, dan K7 pun demikian. Pada tuturan tersebut telah
terjadi campur kode setelah masuknya unsur-unsur BI dalam pemakaian BB. Pada
tuturan K5 terdapat serpihan-serpihan BI, seperti /paling/ dan //20-an KK//. Pada
tuturan K6 terdapat serpihan-serpihan BI, seperti /setelah/, /pindah/, dan /umat/.
Pada tuturan K7 terdapat serpihan-serpihan BI, seperti //Artinya pindah ke
asalnya// dan //60-an KK//.
Masuknya unsur-unsur BI, seperti /paling/ dan //20-an KK// pada
pemakaian BB dapat dikatakan sebagai fenomena campur kode. Begitu pula
masuknya unsur-unsur, seperti /setelah/, /umat/, dan /pindah/ dalam pemakaian
BB dapat dikatakan sebagai fenomena campur kode. Terakhir, masuknya unsur-
unsur //artinya pindah ke asalnya// dan //60-an KK// dalam pemakaian BB dapat
dikatakan sebagai fenomena campur kode.
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 18
(02) : (3) Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae kebun.
„Saya selain pegawai negeri, saya juga bekerja kebun.‟
: (4) Kebun itu ada ditanam coklat.
: (5) Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.
„Ya lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟
: (6) Biasanya satu bulan maan satu juta.
„Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
: (7) Tergantung hasil.
: (8) “Yen hasilne luung, liu maan.”
„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟
160
: (9) “Yen hasilne sing luung, bedik maan.”
„Kalau hasilnya tidak bagus, sedikit dapat.‟
: (10) “Cukup untuk tambah-tambah ongkos dapur.”
Tuturan pada data 18 berbeda dengan tuturan data 24. Jika pada data 24
tampak terjadinya fenomena campur kode karena masuknya unsur-unsur BI dalam
pemakaian BB, tuturan pada data 18 tampak terjadinya fenomena campur kode
karena masuknya unsur-unsur BB ke dalam pemakaian BI. Hal ini dapat dilihat
pada tuturan K3, Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae kebun. „Saya
selain pegawai negeri, saya juga bekerja kebun.‟ Masuknya unsur-unsur BB ke
dalam pemakaian BI pada K3 dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Demikian juga K5 dan K6. Pada K5 masuk unsur-unsur kata /jani/
„sekarang‟ dalam pemakaian BI sehingga memunculkan fenomena campur kode.
Masuknya unsur /maan/ „dapat‟ pada K6 juga dapat digolongkan sebagai
fenomena campur kode karena unsur maan „dapat‟ digunakan dalam pemakaian
BI, seperti tampak pada K6, Biasanya satu bulan maan satu juta „Biasanya satu
bulan dapat satu juta.‟
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 25
Latar : Ruang tamu
Topik : Pekerjaan pokok warga
Partisipan : Gede Suartana (01)
Made Somantara (02)
(01) : (1) Napi mata pencaharian warga Bali deriki, Pak Made?
„Apa mata pencaharian warga Bali di sini, Pak Made?‟
(02) : (2) …kalau tentang mata pencaharian masyarakat di Parigi niki karena
menyangkut kita masyarakat majemuk niki.
„…kalau tentang mata pencaharian masyarakat di Parigi ini karena
menyangkut kita masyarakat majemuk ini.‟‟.
161
: (3) Sehingga daerah kita ini namanya daerah padat karya, daerah
pertanian.
: (4) Sehingga pekerjaannya itu bervariasi.
: (5) Jadi ada yang petani sawah, ada yang petani kebun, nelayan, gitu.
: (6) Jadi ada juga yang dagang.
: (7) Sehingga kalau saya daerah keseharian masyarakat kita yang ada di
Parigi khusus untuk pertanian itu yang lebih banyak mendominasi
adalah teman-teman Bali dan juga teman-teman Bugis, gitu.
: (8) Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman
Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan
lahan pertaniannya, kenten.
„Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman
Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan
lahan pertaniannya, begitu.‟
Fenomena campur kode dapat dilihat pada data 25, terutama pada K2,
Kalau tentang mata pencaharian masyarakat di Parigi niki karena menyangkut
kita masyarakat majemuk niki „Kalau tentang mata pencaharian masyarakat di
Parigi ini karena menyangkut kita masyarakat majemuk ini.‟ Masuknya unsur
/niki/ „ini‟ pada K2 dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Maksudnya, partisipan telah memasukkan unsur /niki/ „ini‟ dalam pemakaian BI.
Jadi, pada hakikatnya partisipan menggunakan BI. Namun, tidak disengaja
partisipan telah memasukkan serpihan-serpihan BB dalam pemakaian BI.
Fenomena campur kode tampak juga pada K8, Kalau teman-teman Kaili
itu lebih banyak meniru ke teman-teman Bali dan teman-teman Bugis cara
bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertaniannya, kenten. „Kalau teman-
teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman Bali dan teman-teman Bugis
cara bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertaniannya, begitu.‟
Campur kode terjadi ketika partisipan memasukkan unsur /kenten/ „begitu‟
dalam pemakaian BI. Fungsi kata /kenten/ „begitu‟ pada K8 adalah untuk
menegaskan tuturan sebelumnya.
162
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 26
Latar : Teras rumah
Topik : Keberadaan suku-suku
Partisipan : Dua orang (etnis Bali)
(01) : (1) Pak Nyoman, tiang lihat ne di Parigi, ada suku Bali, Jawa, Bugis.
„Pak Nyoman, saya lihat ini di Parigi ada suku Bali, Jawa, Bugis‟.
: (2) Kadang-kadang ada masi kawin campur dini Pak Nyoman?
„Kadang-kadang ada juga kawin campur di sini Pak Nyoman?‟
(02) : (3) Ada Pak, kadang liu.
„Ada Pak, kadang banyak.‟
: (4) Dini ada lebihan anak Toraja dini.
„Di sini ada lebih banyak orang Toraja di sini.‟
: (5) Luhne Toraja nganten jak muanine Hindu.
„Wanitanya Toraja kawin dengan laki Hindu.‟
(01) : (6) Oh berarti walaupun liu suku-sukune dini luung ja kehidupannya
rukun dini Pak Nyoman nggih.
„Oh berarti walaupun banyak suku-suku di sini, baik-baik saja
kehidupannya, rukun di sini Pak Nyoman ya.‟
(02) : (7) Ya selama tiang hidup di Sulawesi/Parigi selamane sing ada terjadi
bentrokanlah antarsuku.
„Ya selama saya hidup di Sulawesi/Parigi selamanya tidak ada
terjadi bentrokan antarsuku.‟
Jika diamati secara cermat data 26, tampak sekali terjadi fenomena campur
kode. Fenomena campur kode tersebut selain dilakukan oleh O1 juga dilakukan
oleh O2 secara tidak disengaja.
Masuknya unsur-unsur BB pada K1, Pak Nyoman Tiang lihatne di Parigi
ada suku Bali, Jawa, Bugis, „Pak Nyoman tiang lihat ini di Parigi ada suku Bali,
Jawa, Bugis‟. telah menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Unsur-unsur
BB yang dimaksud adalah kata /tiang/ „saya‟ dan /ne/ „ini‟ pada K1. Karena
serpihan-serpihan BB itu masuk ke dalam pemakaian BI, dapat dikatakan telah
terjadi fenomena campur kode.
163
Demikian juga K2, Kadang-kadang ada masi kawin campur dini Pak
Nyoman. „Kadang-kadang ada juga kawin campur di sini Pak Nyoman.‟ Pada K2
terdapat unsur-unsur BB, seperti kata /ada/ „ada‟, /masi/ „masih‟, dan /dini/ „di
sini.‟ Karena unsur-unsur BB tersebut masuk ke dalam pemakaian BI, tuturan
pada K2 dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Campur kode bukan saja dilakukan oleh O1, O2 juga melakukannya,
seperti tampak pada K3, Ada Pak kadang liu „Ada Pak kadang banyak.‟ Masuknya
unsur /liu/ „banyak‟ dalam pemakaian BI menyebabkan K3 digolongkan sebagai
fenomena campur kode. Maksudnya, ketika menggunakan BI, O2 telah
memasukkan unsur-unsur kata bahasa Bali sehingga fenomena tersebut disebut
campur kode.
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 27
Latar : Sekolah SMP Negeri 1 Parigi
Topik : Jadwal Pelajaran Agama
Partisipan : Nyoman Merta (01)
Guru Agama (02)
(01) : (1) Biasane hari apa to pelajaran agamane Pak Nyoman?
„Biasanya hari apa itu pelajaran agamanya Pak Nyoman?‟
(02) : (2) Biasane hari…, tidak tergantung hari.
„Biasanya hari…, tidak tergantung hari.‟
: (3) Biasanya tiap hari tergantung jadwal masing-masing.
: (4) Saya kelas I A menjadwalkan hari Senin.
: (5) Hari Senin itu ngajain agama dan seterusnya.
„Hari Senin itu mengajar agama dan seterusnya.‟
: (6) Kelas II juga begitu, kelas III.
: (7) Jadi tidak ditentukan harinya.
: (8) Misalnya hari Jumat dikumpul 1 x sing tergantung jadwal.
„Misalnya hari Jumat dikumpul 1 x tidak, tergantung jadwal.‟
(01) : (9) Berarti liu masi umate ane bareng agama Hindu Pak Nyoman nggih.
„Berarti banyak juga umatnya yang ikut agama Hindu Pak Nyoman
ya.‟
164
(02) : (10) Ya di SMP Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang.
„Ya di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira ada 26 orang.‟
: (11) Ini tergantung, berasal dari Mertasari ada, ada uling Sumbersari,
ada uling Nambaru masi.
„Ini tergantung, berasal dari Mertasari ada, ada dari Sumbersari, ada
dari Nambaru juga.‟
Fenomena campur kode dapat juga ditemukan pada data 27. Fenomena
tersebut terjadi ketika pembicaraan baru dimulai, yaitu pada K1, Biasane hari apa
to pelajaran agamane Pak Nyoman? „Biasanya hari apa itu pelajaran agamanya
Pak Nyoman?‟ Kata /biasa/ „biasa‟ pada K1 dicampur dengan unsur /ne/ „nya.‟
Jadi, di sini terdapat campuran antara BI dan BB. Penggunaan BI, ada pada kata
/biasa/ „biasa‟ dan BB ada pada kata /ne/ „nya‟. Kemudian, ada lagi kata /apa/
„apa‟ dalam BB dan kata /to/ „itu‟ juga dalam BB. Kata /to/ „itu‟ pada hakikatnya
merupakan singkatan dari kata /ento/ „itu‟ dalam BB. Pada K1 juga ada unsur BI,
yaitu kata /agama/ „keyakinan/kepercayaan‟ dan unsur /ne/ „nya‟ dalam BB.
Dengan adanya beberapa unsur BB masuk ke dalam pemakaian BI, seperti tampak
pada K1, tuturan tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Maksudnya, O1 ketika berbicara dalam BI, memasukkan juga unsur-unsur BB.
Selanjutnya, O2 pun merespons O1 dengan menggunakan BI yang
dicampur dengan BB, seperti tampak pada K2, Biasane hari …, tidak tergantung
hari „Biasanya hari…, tidak tergantung hari.‟ Ternyata pada K2 terdapat juga kata
/biasane/ „biasanya‟ yang merupakan campuran antara BI dan BB. Masuknya
unsur /ne/ „nya‟ pada K2 dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Fenomena campur kode terdapat juga pada K5. Kata /ngajain/
„mengajarkan‟ pada K5 merupakan kosakata BB. Dengan demikian, O2 pun dapat
dikatakan telah memasukkan unsur BB ke dalam pemakaian BI, seperti tampak
165
pada K5, Hari Senin itu ngajain agama dan seterusnya „Hari Senin itu mengajar
agama dan seterusnya.‟ Dengan kata lain, munculnya fenomena campur kode
pada K5 disebabkan oleh masuknya unsur /ngajain/ „mengajarkan‟ ke dalam
pemakaian BI.
Pada K8 juga ditemukan fenomena campur kode. Masuknya unsur kata
/sing/ „tidak‟ dalam BB mengakibatkan O2 telah melakukan campur kode ketika
berbicara dalam BI. Hal ini tampak dengan jelas pada K8, Misalnya, hari Jumat
dikumpul 1x sing, tergantung jadwal. „Misalnya, hari Jumat dikumpul 1x tidak,
tergantung jadwal.‟ Kata /sing/ „tidak‟ pada K8 pada hakikatnya merupakan
singkatan dari kata /tusing/ „tidak‟ dalam BB.
Fenomena campur kode berikutnya dapat ditemukan pada K10, Ya di SMP
Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang „Ya di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira
ada 26 orang.‟ Kata /siswane/ „siswanya‟ merupakan campuran antara BB dan BI.
Kata /siswa/ termasuk kosakata BI, sedangkan unsur /ne/ „nya‟ merupakan
kosakata BB. Masuknya unsur /ne/ „nya‟ dalam pemakaian BI telah
mengakibatkan O2 melakukan campur kode.
Masuknya unsur-unsur BB, seperti /ada/ „ada‟, /uling/ „dari‟ dalam
pemakaian BI pada K11 dapat juga digolongkan sebagai campur kode. Bahkan,
kata /masi/ „juga‟ pun dapat digolongkan sebagai unsur kosakata BB yang masuk
dalam pemakaian BI. Dengan demikian, tuturan pada K11 dapat digolongkan
sebagai fenomena campur kode.
166
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 28
Latar : Teras Rumah
Topik : Perjalanan Transmigrasi ke Parigi
Partisipan : Dua etnis Bali (01 dan 02)
(01) : (1) Jak liu ne, Pak?
„Dengan banyak orang, Pak?‟
(02) : (2) Spontan kenten, anak jeg teka dadua, teka telu, teka papat, kenten.
„Spontan begitu, kadang-kadang datang dua, datang tiga, datang
empat, begitu.‟
: (3) Jak liu nika ane yab tiange datang.
„Banyak orang yang sebaya saya datang.‟
: (4) Ne tetep ngoyong dini di kampung Bali niki tiang gen ba.
„Yang tetap tinggal di sini di Kampung Bali ini saya saja.‟
: (5) Terus terang dija kaden malih, wenten di Kota Raya, di Tolai ada, di
Napu, ba ideh-ideh.
„Terus terang ke mana saja waktu itu, ada di Kota Raya, di Tolai, di
Napu, sudah ke mana-mana.‟
(01) : (6) Nggih.
„Ya‟
(02) : (7) Nggih ideh-ideh.
„Ya ke mana-mana.‟
(01) : (8) Waktu pertama deriki, kudang KK, Pak?
„Waktu pertama di sini, berapa KK, Pak?‟
(02) : (9) Beh, ten keni baan tiang.
„Wah, tidak bisa saya hitung.‟
Pembicaraan dimulai dengan penggunaan BBC oleh O1. Tuturan O1
direspons oleh O2 dengan menggunakan BBC. Bahkan, sebagian besar tuturan
pada data 28 menggunakan BBC, seperti tampak pada K1, K2, K3, K4, K5, dan K8.
Penggunaan BB hanya terdapat pada K6, K7, dan K9.
Fenomena campur kode terdapat pada K1, Jak liu ne, Pak? „Dengan
banyak orang, Pak?‟ Masuknya unsur kata /Pak/ „Bapak‟ dalam pemakaian BB
dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Campur kode tersebut
dilakukan oleh O1.
167
Fenomena campur kode juga dilakukan oleh O2 pada K2, Spontan kenten,
anak jeg teka dadua, teka telu, teka papat, kenten. „Spontan begitu, kadang-
kadang datang dua, datang tiga, datang empat, begitu.‟ Masuknya kata /spontan/
„spontan‟ dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur
kode. Maksudnya, O2 ketika berbicara dalam BB memasukkan serpihan-serpihan
BI.
Jika diperhatikan secara saksama, fenomena campur kode juga terdapat
pada K3, Jak liu nika ane yab tiange datang. „Banyak orang yang sebaya saya
datang.‟ Masuknya serpihan-serpihan BI, yaitu kata /datang/ „datang‟, dalam
pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Jadi, dalam
campur kode pada hakikatnya partisipan hanya menggunakan satu bahasa sebagai
dasarnya. Namun, dalam penggunaan bahasa tersebut masuk unsur-unsur bahasa
lain. Oleh karena itu, penggunaan bahasa tersebut disebut sebagai fenomena
campur kode.
Fenomena campur kode lainnya dapat dilihat pada data berikut.
Data 29
Latar : Ruang Tamu (Suasana Lebaran)
Topik : Puasa
Partisipan : Nukbah, etnis Kaili (01)
Ketut Somanadi, etnis Bali (02)
(01) : (1) Oh, waktu puasa!
(02) : (2) Ee, yaku muni mopuasa muni sambula.
„Ee, saya juga berpuasa satu bulan.‟
: (3) Jadi, sebelum puasa begini, anu memang moambik memang ampa
hari.
„Jadi, sebelum puasa, memang diambil empat hari.‟
: (4) Vetu muni setiap puasa saya begitu.
„Memang begitu saya setiap puasa.‟
168
: (5) Begitu memang saya sudah niatku begitu dari dulu.
„Memang begitu sudah niat saya dari dulu.‟
: (6) Tetap saya begitu.
: (7) Biar setiap puasa begitu.
: (8) Jadi, ambil memang dulu empat kali saya, sebelum puasa siapa tahu
haid atau apa to?
„Jadi, memang diambil dulu empat kali sebelum saya puasa, siapa
tahu haid atau apa kan?‟
: (9) Sudah genap jadinya itu.
Data di atas menunjukkan bahwa partisipan, khususnya O2 sangat
menguasai BK. Hal ini dibuktikan dari tuturan O2 pada K2, K3, dan K4 yang
memasukkan serpihan-serpihan BK ke dalam pemakaian BI. Misalnya, K3, Jadi,
sebelum puasa begini, anu memang moambik memang ampa hari. „Jadi, sebelum
puasa, memang diambil empat hari.‟ Kata /moambik/ „diambil‟ dan /ampa/
„empat‟ merupakan unsur-unsur BK. Berhubung kata /moambik/ dan /ampa/
masuk dalam pemakaian BI, seperti tampak pada K3, fenomena bahasa tersebut
dapat digolongkan sebagai campur kode.
Kalimat 4 pun demikian. Masuknya unsur-unsur //Vetu muni// „begitu
memang‟ dalam pemakaian BI dapat digolongkan sebagai campur kode.
Perbedaannya dengan kalimat 3 terletak pada unsur-unsur yang masuk dalam
pemakaian BI. Jika tuturan pada K3 dimasuki oleh unsur-unsur yang berupa kata,
tuturan pada K4 dimasuki oleh unsur-unsur yang berupa frasa.
Selain alih kode dan campur kode yang menekankan pada sikap toleransi
penuturnya, ada juga fenomena kebahasaan yang penuturnya tidak menunjukkan
sikap toleransi kepada mitra wicara. Dengan kata lain, penutur tidak mau
menyesuaikan diri/tuturannya dengan mitra wicara. Fenomena kebahasaan yang
demikian disebut divergensi bahasa, seperti dapat dilihat pada data berikut.
169
Data 30
Latar : Rumah Bapak Sukragia
Topik : Pemertahanan Bahasa Bali
Partisipan : Dua warga etnis Bali (01 dan 02)
(01) : (1) Maksud kedatangan Ibu, apa sebenarnya?
(02) : (2) Oh, kami sedang meneliti bahasa Bali, bahasa Bali di Kabupaten
Parigi Moutong.
: (3) Sapunapi bahasa Balinya?
„Bagaimana bahasa Bali-nya?‟
: (4) Kari bertahan napi nenten, gitu.
„Masih bertahan, apa tidak, begitu.‟
(01) : (5) Kalau bahasa, begini, kami di sini sudah pembauran, campuran.
: (6) Jadi, untuk bahasa, bahasa Bali yang tidak matata itu
dipertahankan, tetap anak-anak tahu.
: (7) Cuma saya punya anak yang P.U. di provinsi, ngomong-ngomong
dengan Pak Yoga, kapan itu?
: (8) Sebenarnya, coba kalau ada pelajaran huruf Bali dengan bahasa
Bali di sekolah mulai dari TK sampai barangkali SMP, SMA, dia
tahu menulis huruf Bali, dia tahu baca, dia tahu artinya.
Jika diperhatikan secara cermat data 30, tampak adanya penggunaan
bahasa, yaitu BBC dan BI. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K3, dan K4,
sedangkan penggunaan BI dapat dilihat pada K1, K2, K5, K6, K7, dan K8.
Dengan melihat frekuensi penggunaan BI yang lebih dominan
dibandingkan dengan penggunaan BBC, dapat dikatakan bahwa tuturan pada data
30 menunjukkan adanya divergensi bahasa. Maksudnya, penggunaan BI pada
tuturan di atas telah mendominasi penggunaan BBC. Dalam hal ini O1 berusaha
sekali menggunakan bahasa yang berbeda dengan O2. Meskipun O2 telah
memancing dengan menggunakan BBC pada K3 dan K4, O1 tetap menggunakan
BI dalam tuturannya. Padahal, O1 berasal dari etnis Bali. Dengan kata lain, O1
telah melakukan divergensi bahasa pada tuturan di atas. Divergensi bahasa
tersebut ditunjukkan oleh K1, K5, K6, K7, dan K8.
170
7.1.1 Macam-macam wujud campur kode
Berdasarkan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat
dibedakan menjadi beberapa macam.
(1) a. Penyisipan unsur bahasa berupa kata bahasa Indonesia:
Data 24
K1 : Sampun sue deriki, Pak Wayan?
„Sudah lama di sini, Pak Wayan?‟
K3 : Setelah nika mangkin ampun akeh nika umate.
„Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya.‟
Data 28
K1 : Jak liu ne, Pak?
„Dengan banyak orang, Pak?‟
K2 : Spontan kenten, anak jeg teka dadua, teka telu, teka papat, kenten!
„Spontan begitu, kadang datang dua, datang tiga, datang empat,
begitu!‟
K3 : Jak liu nika, yab tiange datang.
„Banyak orang yang sebaya dengan saya datang.‟
Data 18
K8 : Yen hasilne luung, liu maan.
„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟
Data 24, khususnya pada K1 dan K3, dapat digolongkan sebagai
fenomena campur kode. Masuknya serpihan-serpihan BI, yaitu kata /pak/
171
pada K1 dan kata /setelah/ pada K3 dalam pemakaian BB membuktikan
bahwa pada kedua kalimat tersebut terdapat fenomena campur kode.
Kata /pak/ merupakan singkatan dari kata /bapak/ dan tergolong
bentuk asal dengan kategori nomina, sedangkan kata /setelah/ merupakan
kata turunan yang dibentuk oleh prefiks {se-} dan bentuk asal /telah/ dengan
kategori adverbia. Berhubung kedua kata tersebut merupakan serpihan-
serpihan bahasa Indonesia yang masuk dalam pemakaian BB, kedua kata
tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Dalam hal ini,
campur kode tersebut termasuk campur kode ke dalam. Maksudnya, dilihat
dari segi kekerabatan bahasa, campur kode tersebut terjadi pada bahasa
serumpun, yaitu antara BB dan BI.
Data 28 pun demikian. Bercampurnya serpihan-serpihan kosakata BI
ke dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
Maksudnya, bercampurnya kosakata /datang/ pada K3, kosakata /pak/, pada
K1 dan kosakata /spontan/ pada K2 telah menyebabkan terjadinya fenomena
campur kode. Berhubung kotakata BI yang masuk ke dalam pemakaian BB
itu tergolong masih serumpun, fenomena kebahasaan tersebut dapat
digolongkan sebagai campur kode ke dalam. Dalam hal ini, kata /datang/,
/pak/, dan /spontan/ masing-masing termasuk bentuk asal dengan kategori
nomina pada kata /pak/, adjektiva pada kata /spontan/, dan verba pada kata
/datang/.
Demikian juga K8 pada data 18. Masuknya serpihan-serpihan kata
/hasilne/ „hasilnya‟ pada K8 dapat digolongkan sebagai fenomena campur
172
kode. Dalam hal ini, telah terjadi campur kode dalam wujud kata kompleks.
Kata kompleks adalah kata yang dibentuk oleh dua unsur bahasa atau lebih,
seperti kata /hasilne/ „hasilnya‟. Kata /hasilne/ dibentuk oleh unsur BI /hasil/
dan unsur BB /-ne/. Dengan kata lain, kata /hasilne/ dibentuk oleh kata dasar
/hasil/ dan sufiks {-ne}. Dengan demikian, masuknya kosakata BI, yaitu
/hasil/ dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur
kode. Campur kode tersebut tergolong campur kode ke dalam karena terjadi
pada bahasa yang serumpun.
b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata bahasa Bali:
Data 25
K8 : Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman
Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan
lahan pertanian, kenten.
„Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru teman-teman Bali
dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan lahan
pertanian, begitu.‟
Data 26
K3 : Ada Pak, kadang liu.
„Ada Pak, kadang banyak.‟
173
Data 27
K5 : Hari Senin itu ngajain agama dan seterusnya.
„Hari Senin itu mengajar agama dan seterusnya.‟
K8 : Misalnya hari Jumat dikumpul 1x sing, tergantung jadwal.
„Misalnya hari Jumat dikumpul 1x tidak, tergantung jadwal.‟
Data 30
K3 : Sapunapi bahasa Bali-nya?
„Bagaimana bahasa Bali-nya?‟
K6 : Jadi, untuk bahasa, bahasa Bali yang tidak matata itu dipertahankan,
tetap anak-anak tahu.
„Jadi, untuk bahasa, bahasa Bali yang tidak beraturan itu
dipertahankan, tetap anak-anak tahu.‟
Data 28
K8 : Waktu pertama deriki, berapa KK, Pak?
„Waktu pertama di sini berapa KK, Pak?‟
Data 18
K5 : Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.
„Ya, lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟
K6 : Biasanya satu bulan maan satu juta.
„Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
174
Data 27
K10 : Ya, di SMP Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang.
„Ya, di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira ada 26 orang.‟
Data 24
K10 : Artinya, pindah ke asalnya wenten 60-an KK.
„Artinya, pindah ke asalnya ada 60-an KK.‟
Jika diperhatikan secara saksama K8 pada data 25, tampak sekali
pemakaian BI tersebut telah bercampur dengan kosakata BB. Masuknya
serpihan-serpihan BB, yaitu /kenten/ „begitu‟, telah menyebabkan terjadinya
fenomena campur kode. Campur kode ini tergolong campur kode ke dalam
karena terjadi pada bahasa yang serumpun. Penyebab campur kode tersebut
tiada lain untuk menegaskan tuturan sebelumnya.
Kalimat 10 pada data 24 dapat juga digolongkan fenomena campur
kode. Masuknya kosakata BB, /wenten/ „ada‟, dalam pemakaian BI telah
menimbulkan terjadinya fenomena campur kode. Kata /wenten/ „ada‟
termasuk kata dasar dengan kategori verba.
Campur kode di atas dapat digolongkan sebagai campur kode ke
dalam karena bahasa yang bercampur termasuk bahasa serumpun, yaitu
antara BB dan BI. Maksudnya, percampuran bahasa itu terjadi pada bahasa-
bahasa yang masih sekerabat.
Kata /jani/ „sekarang‟ pada K5 data 18 termasuk kosakata BB yang
masuk dalam pemakaian BI. Kata /jani/ termasuk kata dasar dengan kategori
175
adverbial. Masuknya serpihan-serpihan BB ke dalam pemakaian BI
menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, fenomena
kebahasaan tersebut tergolong campur kode ke dalam karena bahasa yang
bercampur termasuk dalam lingkungan bahasa yang sekerabat.
Selain K5, pada data 18 juga ditemukan fenomena campur kode,
terutama pada K6. Kata /maan/ „dapat‟ pada K6 termasuk kata dasar dengan
kategori verba. Kosakata BB, /maan/ „dapat‟ pada K6 masuk ke dalam
pemakaian BI sehingga K6 dapat digolongkan sebagai campur kode. Dalam
hal ini, campur kode itu tergolong campur kode ke dalam karena
percampuran bahasa tersebut masih dalam keadaan serumpun.
Kalimat 6 pada data 26 juga dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode. Masukya kosakata BB, /liu/ „banyak‟, ke dalam pemakaian BI
telah menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, campur
kode itu tergolong campur kode ke dalam karena fenomena kebahasaan
tersebut masih serumpun. Kosakata BB /liu/ „banyak‟ pada K6 termasuk kata
dasar dengan kategori adjektiva.
Kalimat 5 dan 8 pada data 27 juga dapat digolongkan sebagai
fenomena campur kode. Mengapa demikian? Pertama, kosakata BB /ngajain/
„mengajarkan‟ masuk ke dalam pemakaian BI. Kedua, kosakata BB /sing/
„tidak‟ masuk ke dalam pemakaian BI. Dengan demikian, serpihan-serpihan
BB yang masuk ke dalam pemakaian BI dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode.
176
Kata /ngajain/ „mengajarkan‟ dalam BB tergolong kata kompleks.
Kata tersebut dibentuk oleh kata dasar /ajah/ dan konfiks {ng-in}, sedangkan
kata /sing/ „tidak‟ dalam BB merupakan singkatan dari kata /tusing/ „tidak‟.
Dalam hal ini, telah terjadi penghilangan suku kata awal. Berhubung kedua
kosakata BB itu masuk ke dalam pemakaian BI, muncullah fenomena campur
kode, seperti tampak pada K5 dan K8. Campur kode ini tergolong campur
kode ke dalam karena terjadi pada bahasa yang serumpun.
Data 30, terutama K3 dan K6, dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode. Hal ini terjadi karena masuknya serpihan-serpihan BB dalam
pemakaian BI. Masuknya kosakata BB /sapunapi/ „bagaimana‟ dapat
digolongkan sebagai serpihan-serpihan BB yang masuk dalam pemakaian BI.
Hal ini mengakibatkan terjadinya fenomena campur kode.
Demikian juga K6 pada data 30. Masuknya kata BB /matata/ „menurut
aturan‟ ke dalam pemakaian BI dapat mengakibatkan terjadinya fenomena
campur kode. Kata /matata/ „menurut aturan‟ pada K6 tergolong kata turunan
karena kata itu dibentuk oleh kata dasar /tata/ „aturan‟ dan prefiks {ma-}.
Gabungan kedua unsur bahasa inilah membentuk kata jadian /matata/
„menurut aturan‟.
Tuturan K8 pada data 28 juga dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode. Campur kode ini terjadi karena masuknya serpihan BB, yaitu
kata /deriki/ „di sini‟ dalam pemakaian BI. Kata /deriki/ „di sini‟ dalam bahasa
Bali tergolong ragam bahasa Bali halus. Kosakata ini sering digunakan oleh
penutur jika berbicara dengan mitra wicara yang status sosialnya lebih tinggi,
177
seperti halnya K8 pada data 28. Campur kode ini tergolong campur kode ke
dalam karena percampuran bahasa tersebut masih dalam ruang lingkup
bahasa serumpun.
Pada data 27, terutama K10, dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode. Masuknya morfem {-ne} pada kata /siswa/ dalam pemakaian
BI mengakibatkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, kata
/siswane/ „siswanya‟ merupakan campuran antara kata /siswa/ dalam BI dan
sufiks {-ne} dalam BB. Dengan demikian, masuknya serpihan BB berupa
sufiks {-ne} dalam pemakaian BI dapat digolongkan sebagai fenomena
campur kode.
(2) a. Penyisipan frasa bahasa Indonesia:
Data 24
K2 : Sampun wenten minabang tiang 25 tahun lebih.
„Sudah ada saya kira 25 tahun lebih.‟
Data 28
K4 : “Ne tetep ngoyong dini di kampung Bali niki tiang gen ba.”
„Yang tetap tinggal di sini di kampung Bali ini saya saja.‟
Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam BI dapat dilihat
pada data 24 pada K2. Masuknya unsur frasa BI, yaitu //25 tahun lebih//,
dalam pemakaian BB pada K2 dapat digolongkan sebagai fenomena campur
kode. Dalam hal ini, fenomena kebahasaan tersebut tergolong campur kode
ke dalam. Mengapa demikian? Pertama, serpihan-serpihan frasa BI itu telah
178
masuk ke dalam pemakaian BB. Kedua, percampuran bahasa tersebut terjadi
pada bahasa yang serumpun, yaitu antara BB dan BI.
Kalimat 4 pada data 28 pun demikian. Masuknya unsur-unsur frasa
BI, yaitu //di kampung Bali//, dalam pemakaian BB dapat digolongkan
sebagai fenomena campur kode. Fenomena kebahasaan ini pun tergolong
campur kode ke dalam karena percampuran bahasa tersebut masih dalam satu
rumpun.
b. Penyisipan unsur-unsur frasa dalam bahasa Bali:
Data 26
K2 : Kadang-kadang ada masi kawin campur, Pak Nyoman?
„Kadang-kadang ada juga kawin campur, Pak Nyoman?‟
Data 26 pada K2 juga menunjukkan terjadinya fenomena campur
kode. Campur kode ini terjadi antara BB dan BI yang dapat dikatakan masih
serumpun. Frasa BB, yaitu //ada masi// „ada juga‟, merupakan serpihan-
serpihan yang masuk dalam pemakaian BI. Dengan demikian, fenomena
kebahasan tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode, dalam
hal ini, sebagai campur kode ke dalam.
Macam-macam wujud campur kode tersebut diringkas seperti pada bagan
di bawah ini.
179
Macam-macam
Wujud Campur Kode
Penyisipan unsur-unsur
berwujud frasa
Penyisipan unsur-unsur
berwujud kata
Bagan 7.1
Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
7.1.2 Sebab-sebab terjadinya campur kode
Sebab-sebab terjadinya campur kode meliputi dua aspek, yaitu (1) aspek
sikap, dan (2) aspek kebahasaan (Jendra,2007:172). Kedua aspek tersebut saling
berhubungan satu dengan lainnya. Artinya, campur kode dapat berfungsi untuk
menandai sikap dan hubungannya dengan orang lain dan sikap serta hubungan
orang lain terhadapnya. Misalnya, campur kode dengan unsur-unsur bahasa
Inggris dapat memberi kesan bahwa penutur orang masa kini, berpendidikan, dan
mempunyai hubungan luas.
Selain Jendra, penyebab terjadinya campur kode juga dikemukakan oleh
Achmad (2012:163). Achmad mengemukakan penyebab terjadinya campur kode
karena faktor rasa solidaritas.
Penelitian ini menemukan tiga penyebab terjadinya campur kode dalam
penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Penjelasannya dapat
dilihat pada uraian berikut.
180
7.1.2.1 Penutur kurang menguasai BBH
Tidak menutup kemungkinan, ketika partisipan sedang bercakap-cakap,
kekurangan kosakata pada bahasa yang dipergunakan. Hal ini menyebabkan
partisipan memasukkan unsur-unsur bahasa lain ketika komunikasi sedang
berlangsung. Penyebab campur kode yang demikian dapat dilihat pada data 24.
Tuan rumah (01) : (2) … sampun wenten, minabang tiang 25 tahun lebih.
„… sudah ada saya kira 25 tahun lebih‟.
: (3) Setelah nika mangkin ampun akeh nika umate.
„Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya.‟
: (4) Ring Nambaru makeh.
„Di Nambaru banyak.‟
: (5) Ring Desa Sumbersari kemanten paling makeh 20-an
KK kari.
„Di Desa Sumbersari saja paling banyak 20-an KK
masih.‟
: (6) Setelah nika pindah umate ke Nambaru.
„Setelah itu pindah umatnya ke Nambaru.‟
Pada beberapa tuturan yang terdapat pada data 24 ditemukan adanya
fenomena campur kode, seperti tampak pada K2, K3, K5, dan K6. Campur kode
tersebut terjadi karena partisipan kekurangan kata-kata sehingga menggunakan
bahasa lain. Hal ini dapat dilihat pada K2, … sampun wenten minabang tiang 25
tahun lebih. „… sudah ada saya kira 25 tahun lebih.‟ Pada tuturan tersebut
terdapat serpihan-serpihan BI ketika O1 menggunakan BB. Masuknya serpihan-
serpihan BI, seperti //25 tahun lebih//, pada K2 dapat dikatakan bahwa telah terjadi
fenomena campur kode. Fenomena campur kode tersebut disebabkan oleh penutur
kurang menguasai BBH yang berkaitan dengan serpihan-serpihan tersebut. Oleh
karena itu, partisipan memasukkan serpihan-serpihan BI, //25 tahun lebih//, ke
dalam pemakaian BBH, seperti tampak pada K2.
181
Demikian juga tuturan pada K3 mengandung hal yang sama. Masuknya
serpihan-serpihan BI, seperti kata /setelah/ dan /umat/ pada K3, Setelah nika
mangkin ampun akeh nika umate „Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya‟,
telah menyebabkan munculnya fenomena campur kode. Campur kode itu
dilakukan oleh penutur kurang menguasai BBH ketika komunikasi terjadi. Oleh
karena itu, dimasukkan serpihan-serpihan bahasa Indonesia ke dalam pemakaian
BBH.
Tuturan pada K5 pun mengandung campur kode. Penutur kurang
menguasai BBH dalam komunikasi. Hal ini menyebabkan partisipan memasukkan
serpihan-serpihan bahasa Indonesia ke dalam pemakaian BBH sehingga terjadilah
fenomena campur kode, seperti tampak pada K5, Ring Desa Sumbersari kemanten
paling makeh 20-an KK kari. „Di Desa Sumbersari saja paling banyak 20-an KK
masih.‟ Masuknya unsur //20-an KK// pada K5 menyebabkan terjadinya fenomena
campur kode.
Masuknya unsur /setelah/ pada K6 juga menyebabkan terjadinya fenomena
campur kode. Penutur memasukkan unsur /setelah/ dalam pemakaian BBH
menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Campur kode tersebut
disebabkan oleh penutur kurang menguasai BBH ketika sedang berkomunikasi
sehingga dimasukkanlah unsur BI, yaitu kata /setelah/.
7.1.2.2 Kesetiaan yang tinggi terhadap basaha ibu
Walaupun telah bertahun-tahun hidup di luar daerah asal, guyub tutur
masyarakat Bali di perantauan tetap mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap
bahasa ibunya, yaitu bahasa Bali. Di satu sisi, guyub tutur masyarakat Bali
182
berusaha mempertahankan bahasa Bali sebagai identitas etnis Bali. Di sisi lain,
guyub tutur masyarakat Bali di Parigi harus menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, seperti tampak pada data berikut.
Data 18
Pak Nyoman (02) : (3) Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae
kebun.
„Saya selain pegawai negeri, saya juga bekerja
kebun.‟
: (4) Kebun itu ada ditanam coklat.
: (5) Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.
„Ya lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟
: (6) Biasanya satu bulan maan satu juta.
„Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
: (7) Tergantung hasil.
: (8) Yen hasilne luung, liu maan.
„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟
: (9) Yen hasilne sing luung, bedik maan.
„Kalau hasilnya tidak bagus, sedikit dapat.‟
: (10) Cukup untuk tambah-tambah ongkos dapur.
Campur kode tersebut dilakukan oleh partisipan karena kesetiaan/rasa
loyalitas yang tinggi terhadap bahasa ibunya sehingga muncullah bentuk-bentuk
campur kode, seperti K3, Tiang selain pegawai negeri, tiang masi megae kebun.
„Saya selain pegawai negeri, saya juga bekerja kebun‟; K5, Ya lumayanlah jani
penghasilan coklat. „Ya lumayanlah sekarang penghasilan coklat‟; dan K6,
Biasanya satu bulan maan satu juta. „Biasanya satu bulan dapat satu juta.‟
Jika diperhatikan secara saksama beberapa tuturan yang terdapat pada data
18, sebagian besar partisipan menggunakan bahasa Indonesia. Namun, karena rasa
kesetiaan/loyalitas yang tinggi terhadap bahasa ibunya, yaitu BB, serpihan-
serpihan BB pun dimasukkannya ketika menggunakan bahasa Indonesia. Sikap
183
partisipan yang demikian membawa efek positif terhadap kebertahanan bahasa
Bali.
7.1.2.3 Partisipan ingin mempertegas tuturan sebelumnya
Dalam suatu peristiwa tutur kadang-kadang tidak semua apa yang
dibicarakan dipahami oleh partisipan/peserta wicara. Oleh karena itu, penutur
tidak segan-segan menggunakan/memasukkan kata-kata tertentu untuk
mempertegas apa yang dituturkan. Dengan demikian, usaha yang dilakukan oleh
penutur cenderung menimbulkan fenomena campur kode. Fenomena kebahasaan
yang demikian dapat dilihat pada data berikut.
Data 25
(8) …Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman
Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau
mengerjakan lahan pertaniannya, kenten.
„…Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman
Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau
mengerjakan lahan pertaniannya, begitu.‟
Fenomena campur kode terjadi ketika partisipan mempertegas tuturan
sebelumnya dengan menggunakan kata /kenten/ „begitu‟. Masuknya serpihan-
serpihan BB dalam pemakaian bahasa Indonesia pada K8 dapat digolongkan
sebagai sebuah fenomena campur kode.
Sebab-sebab terjadinya campur kode dapat diringkas seperti pada bagan di
bawah ini.
184
Sebab-sebab Terjadinya
Campur Kode
kurang menguasai BBH
kesetiaan terhadap bahasa Ibu
memperjelas tuturan sebelumnya
Bagan 7.2
Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
7.2 Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali
di Parigi
Interferensi dapat diartikan sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa
ke dalam bahasa lain. Gejala kebahasaan tersebut pada awalnya dikemukakan oleh
Weinreich (1953) dalam bukunya yang berjudul Languages in Contact.
Berdasarkan pendapat Weinreich, interferensi adalah fenomena masuknya unsur
suatu bahasa pada bahasa yang lain. Dengan perkataan lain, interferensi adalah
masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan
pelanggaran kaidah bahasa yang dimasukinya, baik pelanggaran kaidah fonologis,
kaidah gramatikal, maupun kaidah semantis.
7.2.1 Macam-macam Interferensi
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, baik dalam
bidang fonologi, leksikal, morfologis, maupun sintaksis. Namun, interferensi yang
terjadi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi hanya
185
ditemukan interferensi pada tataran leksikal, morfologi, dan sintaksis. Interferensi
pada tataran morfologi dan sintaksis sering dikenal dengan istilah interferensi
pada tataran gramatikal. Kedua interferensi tersebut dapat dilihat pada data
berikut.
7.2.1.1 Interferensi pada tataran leksikal
Interferensi pada tataran leksikal terjadi jika seorang dwibahasawan dalam
peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa tertentu ke dalam bahasa yang
digunakan. Dalam penelitian ini ditemukan interferensi leksikal sebagai berikut:
(1) Sama le. „Sama juga.‟
Tuturan pada kalimat (1) merupakan interaksi verbal antara dua partisipan.
Penutur pada awalnya menceritakan tentang kelulusan anaknya di SMP Negeri 1
Parigi. Kemudian, tuturan itu direspons oleh petutur dengan tuturan, seperti
tampak pada kalimat (1), Sama le „Sama juga.‟ Kata /le/ berasal dari bahasa Kaili.
Kata tersebut dipergunakan oleh petutur ketika berbahasa Indonesia. Jadi, telah
terjadi interferensi bahasa Kaili terhadap bahasa Indonesia. Mengapa demikian?
Pertama, petutur telah menggunakan kosakata bahasa lain ketika menggunakan
bahasa Indonesia, yaitu dengan menggunakan kata /le/ „juga‟ yang berasal dari
bahasa Kaili. Kedua, petutur telah menggunakan pilihan kata yang kurang tepat.
Apalagi kata /le/ sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu kata /juga/.
Selain telah terjadi interferensi bahasa Kaili terhadap bahasa Indonesia,
kalimat (1) dapat juga digolongkan sebagai fenomena campur kode sebab petutur
telah menyisipkan unsur-unsur bahasa Kaili dalam pemakaian bahasa Indonesia.
186
Apalagi tuntutan untuk menggunakan bahasa Kaili pada tuturan (1) sama sekali
tidak ada.
(2) Bawa kemari jo, nanti saya yang antar.
„Bawa kemari saja, nanti saya yang antar‟
Tuturan pada kalimat (2) hampir sama gejalanya dengan tuturan pada
kalimat (1). Kata /jo/ „saja‟ pada kalimat (2) dapat dikatakan sebagai suatu
kekeliruan sebab kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia,
yaitu kata /saja/. Dengan demikian, tuturan pada kalimat (2) dapat digolongkan
sebagai gejala interferensi. Artinya, bahasa Manado, yaitu kata /jo/ „saja‟ sudah
menginterferensi bahasa Indonesia, seperti tampak pada kalimat (2). Tuturan pada
kalimat (2) seharusnya diubah menjadi #Bawa kemari saja, nanti saya yang
antar.#
Tuturan pada kalimat (2) dapat juga digolongkan sebagai gejala campur
kode. Hal ini dapat dilihat dari masuknya serpihan kata /jo/ „saja‟ yang berasal
dari bahasa Manado ke dalam pemakaian bahasa Indonesia. Fenomena bahasa
yang demikian sudah biasa dalam situasi tutur takresmi.
(3) Komiu saja yang berangkat. „Kamu saja yang berangkat.‟
Bentuk /komiu/ „kamu‟ pada kalimat (3) berasal dari bahasa Kaili. Kata
tersebut sering dipergunakan oleh beberapa orang Bali di Parigi ketika bercakap-
cakap. Padahal, kata /komiu/ „kamu‟ sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, tuturan (3) telah dipengaruhi oleh kosakata bahasa
187
lain. Dengan kata lain, interferensi bahasa Kaili telah terjadi dalam pemakaian
bahasa Indonesia. Bentuk yang benar adalah #Kamu saja yang berangkat.#
Tuturan (3), jika dihubungkan dengan fenomena campur kode, unsur
/komiu/ „kamu‟ merupakan serpihan dari bahasa Kaili. Oleh karena itu, tuturan (3)
dapat digolongkan juga sebagai fenomena campur kode. Artinya, ketika
berkomunikasi partisipan telah memasukkan unsur /komiu/ „kamu‟ dalam
pemakaian bahasa Indonesia.
(4) Mari Pak Gusti mangande kita. „Mari Pak Gusti, makan kita.‟
Kata /mangande/ „makan‟ pada kalimat (4) berasal dari bahasa Kaili. Kata
tersebut sering dipergunakan oleh warga etnis Bali di Parigi dalam kehidupan
sehari-hari. Tentu saja peristiwa tersebut sangat memengaruhi kosakata bahasa
Indonesia. Kata /mangande/ „makan‟ sangat memengaruhi pemakaian bahasa
Indonesia, seperti tampak pada kalimat (4). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa bahasa Kaili sudah menginterferensi pemakaian bahasa Indonesia. Kalimat
(4) seharusnya diubah menjadi, #Mari Pak Gusti makan kita.# Dalam hal ini telah
terjadi interferensi leksikal.
Sama seperti tuturan pada kalimat (3), tuturan pada kalimat (4) pun dapat
digolongkan sebagai fenomena campur kode. Fenomena tersebut diakibatkan oleh
masuknya unsur /mangande/ „makan‟ dalam pemakaian bahasa Indonesia. Dengan
demikian, fenomena tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.
188
(5) Data 8
K2 : Sampai jani sejak tiang dini sing ja ada kerusuhan.
„Sampai sekarang sejak saya di sini tidak pernah ada kerusuhan.‟
Kata /kerusuhan/ pada K2 terdiri atas dua unsur, yaitu bentuk {ke-an} dan
/rusuh/. Kata /kerusuhan/ pada K2 merupakan interferensi leksikal BI ke dalam
pemakaian BB. Dalam bahasa Bali tidak dikenal kata /kerusuhan/. Seharusnya
leksikal /kerusuhan/ diubah menjadi /karusuhan/ dalam BB sehingga terbentuk
kata /karusuhan/. Namun, secara lisan K2 data 8 tergolong interferensi pada
tataran leksikal.
7.2.1.2 Interferensi pada tataran gramatikal
Interferensi pada tataran gramatikal dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu interferensi pada tataran morfologi dan sintaksis. Kedua interferensi tersebut
dapat dilihat pada uraian berikut.
1) Interferensi pada tataran morfologi
Interferensi pada tataran morfologi dapat terjadi antara lain pada
penggunaan unsur-unsur pembentukan kata, pola proses morfologis, dan
pemenggalan afiks. Interferensi tersebut dapat dilihat pada data berikut:
(1) Jangan bapaksa! „Jangan memaksa!‟
Bentuk /bapaksa/ „memaksa‟ diujarkan juga oleh etnis Bali di Parigi
ketika bercakap-cakap dengan teman kerjanya. Jika diindonesiakan, bentuk
/bapaksa/ dapat dipadankan dengan kata /memaksa/. Perubahan bentuk {me-}
189
pada kata /memaksa/ dalam bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bentuk {ba-} pada
kata /bapaksa/ dalam bahasa Manado. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kalimat (1) merupakan interferensi bahasa Manado ke dalam pemakaian bahasa
Indonesia. Dengan perkataan lain, penggunaan bahasa Indonesia, seperti tampak
pada kalimat (1) telah menyalahi aturan morfologis bahasa Indonesia. Kalimat (1)
seharusnya diubah menjadi, #Jangan memaksa!#
(2) Kita ini basudara. „Kita ini bersaudara.‟
Akibat pengaruh bahasa daerah, khususnya bahasa Manado, tidak jarang
etnis Bali di Parigi menggunakan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan
aturan/kaidah. Menurut kaidah bahasa Indonesia, tuturan pada kalimat (2)
seharusnya berbunyi #Kita bersaudara.# Namun, kenyataan dalam keseharian kata
/kita/ diikuti dengan kata /ini/ dan kata /bersaudara/ diubah menjadi kata
/basudara/. Memang, kata /bersaudara/ dan /basudara/ mirip sekali, tetapi tetap
penggunaan kata /basudara/ tidak sesuai dengan aturan bahasa Indonesia sehingga
boleh dikatakan telah terjadi kekeliruan dalam menggunakan prefiks bahasa
Indonesia. Artinya, kata /bersaudara/ telah diinterferensi oleh kata /basudara/
dalam penggunaan bahasa Indonesia.
(3) Data 3
K3 : Bayah ditu keto. Ane ngadaang pertemuane nake mayah.
„Bayar di situ begitu. Yang mengadakan pertemuannya seharusnya
membayar.‟ Kata /pertemuane/ pada K3 dipengaruhi oleh afiks BI, khususnya
prefiks {per-}. Dalam bahasa Bali tidak dikenal pretiks {per-}, tetapi prefiks
190
{pa-}. Dengan demikian, kata /pertemuane/ pada K3 seharusnya diubah menjadi
kata /patemuane/ „pertemuannya.‟ Dalam hal ini, kata /pertemuane/ telah
diinterferensi oleh prefiks bahasa Indonesia.
(4) Data 26
K7 : Ya selama tiang hidup di Sulawesi/Parigi selamane sing ada terjadi
bentrokanlah antarsuku.
„Ya selama saya hidup di Sulawesi/Parigi selama itu tidak ada terjadi
bentrokan antarsuku.‟
Kata /selamane/ merupakan campuran antara BI dan BB. Kata /selama/
berasal dari BI dan bentuk {-ne} berasal dari BB. Dalam hal ini, telah terjadi
interferensi BB dalam pemakaian BI. Bentuk {-ne} dalam BB menginterferensi
BI sehingga muncul bentuk /selamane/. Bentuk tersebut merupakan hybrid antara
BB dan BI. Bentuk yang benar adalah /selamanya/ bukan /selamane/.
(5) Data 27
K10 : Ya di SMP Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang.
„Ya di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira ada 26 orang.‟
Kata /siswane/ pada K10 dibentuk oleh dua morfem, yaitu morfem bebas
{siswa} dan morfem terikat {-ne}. Kedua morfem tersebut merupakan hybrid
antara BI dan BB. Dalam hal ini, morfem terikat {-ne} menginterferensi BI
sehingga muncul kata /siswane/. Dengan perkataan lain, kata /siswane/ merupakan
bentuk hybrid kaidah BI dan BB. Bentuk yang benar adalah /siswanya/ bukan
/siswane/.
191
2) Interferensi pada tataran sintaksis
Interferensi pada tataran sintaksis antara lain meliputi penggunaan bahasa
pertama pada bahasa kedua atau sebaliknya dan pada pola konstruksi frasa.
Interferensi pada tataran sintaksis dapat dilihat pada data berikut.
(1) Begitu memang, harus antre dulu. „Memang begitu, harus antre dulu.‟
Kalimat (1) sering diujarkan oleh etnis Bali di Parigi dalam kehidupan
sehari-hari. Beberapa etnis Bali di Parigi tidak menyadari bahwa tururan yang
mereka pergunakan dalam komunikasi telah terpengaruh oleh kaidah-kaidah
gramatikal bahasa lain, yaitu bahasa Kaili.
Bentuk //begitu memang// sepintas tidak memperlihatkan suatu
kejanggalan/penyimpangan ketika digunakan dalam komunikasi. Namun, jika
diperhatikan secara cermat, ternyata ada bentukan yang terbalik susunannya, yaitu
//begitu memang//. Bentuk tersebut merupakan kaidah struktur bahasa Kaili /vetu
muni/ yang menginterferensi kaidah struktur bahasa Indonesia. Dengan demikian,
telah terjadi suatu pengaruh kaidah bahasa Kaili terhadap bahasa Indonesia,
khususnya di bidang sintaksis. Kalimat (1) seharusnya diubah menjadi, #Memang
begitu, harus antre dulu.#
Macam-macam interferensi tersebut diringkas seperti tampak pada bagan
di bawah ini.
192
Macam-macam
Interferensi
Interferensi pada
tataran gramatikal
Interferensi pada
tataran leksikal
Bagan 7.3
Macam-macam Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
7.2.2 Sebab-sebab terjadinya interferensi
Sehubungan dengan pembicaraan tentang sebab-sebab terjadinya
interferensi, Suparno dan Ibrahim (2000:4.22) mengemukakan bahwa ada dua
faktor penyebab terjadinya interferensi, yaitu faktor kontak bahasa dan faktor
kemampuan bahasa, sementara Weinreich mengemukakan enam faktor penyebab
terjadinya interferensi, yaitu: (1) kedwibahasaan penutur, (2) tipisnya kesediaan
pemakaian bahasa pertama, (3) tidak cukupnya kosakata bahasa pertama untuk
mengungkapkan suatu makna, (4) punahnya kosakata yang jarang digunakan, (5)
kebutuhan akan sinonim, dan (6) prestise bahasa sumber dan gaya bahasa.
Kemudian, Chaer mengemukakan kemampuan penutur dalam menggunakan
bahasa tertentu sebagai penyebab terjadinya interferensi.
Penelitian ini menemukan lima penyebab terjadinya interferensi dalam
penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Penyebab interferensi
tersebut mirip dengan penyebab interferensi yang dikemukakan oleh Weinreich
antara lain : (1) pengaruh struktur bahasa daerah ketika menggunakan bahasa
193
Indonesia, (2) kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa pertama, (3) prestise bahasa
sumber, (4) kedwibahasaan penutur, dan (5) kepentingan akan sinonim.
Sebab-sebab terjadinya interferensi tersebut dapat diringkas seperti tampak
pada bagan di bawah ini.
Sebab-sebab
Terjadinya Interferensi
Kesetiaan terhadap Bahasa Ibu
Prestise Bahasa Sumber
Kedwibahasaan Penutur
Kepentingan akan Sinonim
Pengaruh Struktur Bahasa Daerah
Bagan 7.4
Sebab-sebab Terjadinya Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi
194