bab iv relevansi pemikiran politik tan...

28
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi, karya-karya dan pemikiran Tan Malaka, terutama pemikiran politiknya, terdapat beberapa ide dan gagasan Tan Malaka yang masih relevan untuk diterapkan pada situasi kekinian. Geo politik global yang didominasi negara-negara Eropa, mungkin dapat dilihat dari perspektif berfikir Tan Malaka, khususnya situasi politik Indonesia yang masih dalam keadaan transisi mencari bentuk ideal mengatur jalannya pemerintahan demi tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. A. REVOLUSI DAN KEMERDEKAAN “Semua proses produksi juga menjadi proses destruksi.” 1 Diktum bernada sarkastis ini ditujukan pada kekejaman kerja sistem kapitalisme. sejak terjadinya perang dunia I kira-kira tahun 1914-1918 dan perang dunia II yang berlangsung pada tahun 1935-1945 menyisakan sesuatu yang perlu dimengerti. Apa yang menjadi sebab terjadinya perang dunia? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, membutuhkan waktu tidak sedikit untuk mengelaborasi dari berbagai disiplin untuk memecahkan pertanyaan ini. Dan sebagai konsekuensi logis dari multi perspektif tersebut adalah juga multi interpretatif. Maka fokus tulisan ini tidak akan melihat bagaimana perang dunia dapat terjadi, faktor-faktor serta implikasinya, tapi lebih pada sebuah asumsi mengenai fakta sejarah. Dengan menelaah dua ideologi raksasa dunia, liberalisme, yang melegitimasi kapitalisme, dengan sosialisme (Komunisme) yang mengimpikan terciptanya “surga” di dunia, yaitu masyarakat tanpa kelas dengan semua faktor ekonomi diatur dan dimiliki bersama (anti kapitalisme). Dua kekuatan raksasa itu direpresentasikan oleh dua negara berselisih, Amerika Serikat dan 1 Andre Gorz, Anarki Kapitalisme, terj. Hendry Heyneardhi. dkk, Resist Book, Yogyakarta, 2005, hlm. 34 106

Upload: lemien

Post on 06-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA

Setelah mengkaji biografi, karya-karya dan pemikiran Tan Malaka,

terutama pemikiran politiknya, terdapat beberapa ide dan gagasan Tan Malaka

yang masih relevan untuk diterapkan pada situasi kekinian. Geo politik global

yang didominasi negara-negara Eropa, mungkin dapat dilihat dari perspektif

berfikir Tan Malaka, khususnya situasi politik Indonesia yang masih dalam

keadaan transisi mencari bentuk ideal mengatur jalannya pemerintahan demi

tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

A. REVOLUSI DAN KEMERDEKAAN

“Semua proses produksi juga menjadi proses destruksi.”1 Diktum

bernada sarkastis ini ditujukan pada kekejaman kerja sistem kapitalisme. sejak

terjadinya perang dunia I kira-kira tahun 1914-1918 dan perang dunia II yang

berlangsung pada tahun 1935-1945 menyisakan sesuatu yang perlu

dimengerti. Apa yang menjadi sebab terjadinya perang dunia? Sebuah

pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, membutuhkan waktu tidak

sedikit untuk mengelaborasi dari berbagai disiplin untuk memecahkan

pertanyaan ini. Dan sebagai konsekuensi logis dari multi perspektif tersebut

adalah juga multi interpretatif. Maka fokus tulisan ini tidak akan melihat

bagaimana perang dunia dapat terjadi, faktor-faktor serta implikasinya, tapi

lebih pada sebuah asumsi mengenai fakta sejarah.

Dengan menelaah dua ideologi raksasa dunia, liberalisme, yang

melegitimasi kapitalisme, dengan sosialisme (Komunisme) yang mengimpikan

terciptanya “surga” di dunia, yaitu masyarakat tanpa kelas dengan semua

faktor ekonomi diatur dan dimiliki bersama (anti kapitalisme). Dua kekuatan

raksasa itu direpresentasikan oleh dua negara berselisih, Amerika Serikat dan

1 Andre Gorz, Anarki Kapitalisme, terj. Hendry Heyneardhi. dkk, Resist Book,

Yogyakarta, 2005, hlm. 34

106

Page 2: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

107

Uni Soviet,2 dan sejarah mencatat kapitalisme liberal pragmatis abad ke-20

telah memenangkan “peperangan” ideologi ini. Terbukti dengan runtuhnya

kekuatan politik Rusia hingga jatuhnya rezim Khemer Merah, Kamboja tahun

1979. Eropa Timur di bawah rezim Stalin mengalami kekacauan politis,

kekuatan massa yang selama ini menjadi sendi pokok kekuasaan Uni Soviet

berbalik arah menentang rezim Stalin yang otoriter. Indikator lain yang

menyatakan kemenangan kapitalisme adalah sejak dicetuskannya deklarasi

mengenai hak-hak asasi manusia pada tahun 1948, hampir seluruh negara-

negara dunia bersepakat tentang perlindungan hak-hak mendasar manusia ini.3

Dengan kata lain disepakatinya deklarasi kebebasan hak asasi manusia oleh

sebagian besar negara-negara demokrasi berimplikasi sangat luas. Francis

fukuyama dalam beberapa artikelnya, The end of History, melihat sinyalemen

sejarah dunia telah berakhir dengan runtuhnya sosialisme dan menjamurnya

kapitalisme di setiap belahan negara dunia. Euphoria kebebasan politik dan

ekonomi di negara-negara Eropa Timur adalah sebuah bukti nyata mengenai

tesis ini.4

Meskipun tesis Fukuyama tentang “akhir sejarah” mendapati beberapa

keberatan tetapi setidaknya Fukuyama telah menawarkan sebuah wacana baru

yang layak untuk dipertimbangkan. Amerika Serikat sebagai icon negara

kapitalisme-demokrasi-liberal semakin memperluas wilayah “jajahannya”.

2 Pilihan terhadap dua negara ini sebagai representasi dua ideologi yang saling berselisih tentunya tidak sepenuhnya tepat, karena bentuk dan corak tiap-tiap negara memiliki kekhasan masing-masing, akan tetapi untuk mempermudah uraian yang akan dibahas selanjutnya sengaja disederhanakan dengan memilih dua negara tersebut. Dan sudah menjadi maklum bagi para ilmuan sosial – politik memposisikan kedua negara tersebut ke dalam dua kutub ekstrem yang saling bertentangan selama berdirinya negara Rusia (uni Soviet) tahun 1917.

3 Pada saat berlangsungnya penandatanganan kesepakatan tentang Universal Declaration of Human Rights oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1948 ada 5 negara yang tidak ikut menghadiri perayaan tersebut salah satunya adalah Rusia. Lihat BAB II

4 Francis Fukuyama melihat runtuhnya negara-negara berbasis sosialisme dan digantikan dengan kapitalisme liberal menyimpulkan bahwa “akhir sejarah” telah tiba. Dalam sistem kapitalisme liberal (demokrasi)-lah manusia menemukan bentuk dasar “kediriannya”. Ada beberapa keberatan yang dapat diajukan berkaitan dengan tesis endist ini. Pertama, Fukuyama sedikit terjebak pada analisis dunia internasional dia melupakan sistem kapitalisme-demokrasi-liberal memiliki “kekacauan” dalam dirinya sendiri. Kedua, pada negara – negara dunia ketiga sistem perekonomian tidak selalu terperangkap pada kapitalisme internasional, bahkan sebaliknya, gerakan-gerakan militan anti kapitalisme bermunculan sebagai reaksi keras kekejaman kapitalisme. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi Politik…op.cit., hlm. 386-387

Page 3: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

108

Dengan mengusung jargon-jargon “keadilan”, “kebebasan” dan

“pertumbuhan” misalnya, negara “polisi dunia” ini berusaha memasuki

wilayah teritorial negara lain. Wilayah yang dimasuki tidak sebatas intervensi

politis tetapi lebih jauh pada budaya, sosial dan ekonomi. Filosofi apa yang

mendasari liberalisme? Tidak lain adalah kebebasan, kebebasan dalam segala

hal termasuk kebebasan melakukan sesuatu yang mencegah kebebasan itu

sendiri. Sebuah ironi, di negara Amerika misalnya, yang menggaungkan

kebebasan, pertumbuhan, kemakmuaran, dan sebagainya telah menciptakan

ketimpangan sosial-ekonomi sangat mencolok pada masyarakatnya. 20%

anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, 3,5 orang tuna wisma, sepertiga dari

keluarga yang berpendapatan rendah hidup kelaparan, 37 juta orang hidup

tanpa asuransi kesehatan, 23.000 orang terbunuh, dan 50.000 wanita

diperkosa.5

Fakta ketimpangan sosial-ekonomi ini menunjukkan betapa sistem

kapitalisme telah terjebak dalam ambiguitas yang dibuatnya sendiri. Maka

sangat wajar ketika Salmi menyatakan: “kita harus membongkar sisi lain

dibalik kemakmuran, wajah gelap kapitalisme; inilah dakwaan moral terhadap

kelemahan yang amat mencolok dari pertumbuhan ekonomi.”6 Meskipun

fokus penelitian Salmi lebih pada tindak kekerasan akibat sistem yang

diterapkan suatu negara, baik itu sistem politik atau ekonomi, dengan memberi

ketegasan: “ kita disini tidak menyatakan bahwa yang disebut negara-negara

kapitalis adalah negara yang di dalamnya tindak kekerasan tumbuh dengan

subur.”7 Menurutnya lagi, tindak kekerasan itu dapat terjadi di negara-negara

teokrasi ataupun sosialis. Tetapi karena kekerasan memiliki fungsi yang

berbeda di setiap masyarakat yang berbeda pula, maka Salmi lebih

menekankan penelitiannya pada masyarakat kapitalisme dengan wajah

gandanya.

5 Data - data yang dapat diajukan mengenai ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat

Amerika Serikat sebagai negara terbesar dan terkaya di bidang ekonomi Lihat Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, terj. Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. hlm. 4. Data ini mungkin diperoleh Salmi dari laporan tahunan Amerika Serikat pada tahun 1993.

6 Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm. 4 7 Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm. 5

Page 4: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

109

Formulasi kekerasan yang dibuat Salmi berdasar atas prinsip bahwa

setiap hak azasi manusia untuk mencukupi kebutuhan dasarnya harus

dilindungi secara resmi. Dengan demikian kekerasan mencakup kekerasan

aksidental dan kekerasan struktural yang inheren dalam kehidupan. Dengan

mempertimbangkan berbagai aspek inilah akhirnya Salmi sampai pada

kesimpulan bahwa ada empat macam jenis kekerasan yang secara eksplisit dia

katakan berlaku di negara-negara kapitalis. Pertama, kekerasan langsung

(direct violence), kedua, kekerasan tak langsung (indirect violence), ketiga,

kekerasan represif (repressive violence), keempat, kekerasan alienatif

(alienating violence).8

Dengan berlakunya berbagai kekerasan dalam masyarakat kapitalis

seperti yang diungkap Salmi ini maka sudah saatnya kita melakukan refleksi

kembali atas fakta matinya kebebasan dan hak asasi manusia yang selama ini

menjadi akibat dasar logika kapitalisme. Apa yang sesungguhnya kita

harapkan kini demi tercapainya kebebasan penuh dan keadilan secara merata

di bawah hegemoni kapitalisme? Revolusi atau reformasi? Sebuah pertanyaan

mendasar yang pernah ditawarkan Andre Gorz, “apa yang sesungguhnya kita

kejar?”, sebuah bentuk kapitalisme yang adaptif atau revolusi sosial, ekonomi

dan kultural yang menghapuskan batas-batas kapitalisme?9

Berbagai keberatan telah dimajukan atas dampak kemenangan

kapitalisme global ini, diantaranya yang paling fundamental adalah gerakan-

gerakan Islam militan dan gerakan-gerakan hijau (ekologisme). Titik awal

asumsi kekerasan sistem kapitalisme ditempatkan pada bidang ekonomi,

meskipun tidak semua pengamat geo-politik-ekonomi global memulainya dari

8 (1). Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis

seseorang secara langsung. (2). Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggungjawab atas tindakan kekerasan tersebut. Pada jenis ini ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni kekerasan karena kelalaian (violence by omission) dan kekerasan perantara (mediated violence). (3). Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. (4). Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya dan intelektual. Lihat Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm.31-38

9 Andre Gorz, Anarki Kapitalisme…op.cit., hlm. 2

Page 5: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

110

satu titik itu. Anthony Giddens misalnya, menganjurkan melihat fenomena

globalisasi, sebagai “anak kandung” kapitalisme, tidak melulu pada bidang

ekonomi, tetapi harus dilihat juga sisi lain yang tidak kalah penting yaitu

sosial, politik dan budaya. Ringkasnya, kapitalisme telah melahirkan apa yang

disebut “globalisasi”, dan globalisasi memberikan dampak hancurnya sistem

kekerabatan manusia dan alam raya tempat manusia ini hidup.

Mungkin banyak yang kurang setuju dengan pernyataan diatas, karena

bagaimanapun masyarakat dengan sistem kapitalisme telah banyak

memberikan kontribusi positif pada taraf-taraf tertentu untuk kemakmuran dan

kelangsungan hidup umat manusia. Pro – kontra antara dua kutub yang saling

bertentangan ini dapatlah kita katakan “kiri” untuk mereka yang anti

kapitalisme dan “kanan” bagi mereka yang percaya pada kapitalisme adalah

jalan terbaik bagi masyarakat modern. Pertama-tama kita identifikasi kinerja

kapitalisme baru kemudian kita dapat memahami keberatan-keberatan kaum

kiri yang amat mengutuk kapitalisme hingga sampai pada jenjang pergerakan.

Secara historis kapitalisme mengalami perkembangan dengan segala

karakteristik tertentu, namun secara fundamental nilai-nilai kapitalisme

tidaklah mengalami perubahan. Dalam pengertian abstrak, suatu masyarakat

dapat dikatakan menganut sistem kapitalisme apabila memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

- Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi seperti tanah, pabrik dan bisnis

- Tenaga kerja yang digaji atau sering juga disebut ‘buruh upahan’

- Produksi barang-atau usaha menawarkan jasa –untuk mendapatkan laba

melalui sistem pertukaran pasar.10

Ada kekaburan terhadap makna kapitalisme yang sementara ini terjadi

di sebagian masyarakat kita, kapitalisme selama ini sering dimaknai ekuivalen

dengan pasar. (meskipun tanpa pasar mustahil ada kapitalisme). Padahal jika

merujuk pada salah satu definisi kapitalisme pemaknaan itu jauh dari benar.

10 Pasar dan kapitalisme adalah dua hal yang berbeda. Pasar bukan berarti kapitalisme dan

begitu sebaliknya. Akan tetapi ada beberapa substansi hubungan dalam kapitalisme yang terutama adalah hubungan kapitalisme dengan pasar atau ‘produksi komoditas’. Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, terj. Wahyu, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 3-4

Page 6: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

111

Pasar dalam sejarahnya berusia sama dengan manusia. Sedangkan kapitalisme

adalah suatu pasar yang khusus dimana barang yang diperjual belikan adalah

tenaga kerja.11 Kondisi ini menuntut kita untuk melangkah pada definisi kedua

tentang kapitalisme, yaitu dalam kapitalisme tujuan utama produksi adalah

untuk mendapatkan laba atau menghasilkan uang.12 Berbeda dengan pasar

non-kapitalisme, masyarakat kapitalisme mensyaratkan adanya hubungan

sosial yang tegas yaitu “kebebasan” individual. Jadi penjualan tenaga kerja

bersifat bebas, individu dengan leluasa menjual tenaganya kepada individu

lain.

“Salah satu kunci utama untuk memahami kapitalisme adalah kerja

upahan dan juga kompetisi untuk mendapatkan buruh oleh para kapitalis.”13

Pasar adalah salah satu tempat yang aman bekerjanya sistem kapitalis. Dalam

pasar kapitalis tidak ada tujuan lain kecuali akumulasi modal melalui

eksploitasi seluruh alat produksi dan secara bersamaan menghasilkan barang-

barang yang lebih dengan modal seminimal mungkin. Sebagai contoh adalah,

yang juga bersesuaian dengan alasan para ekologisme, ketika para pekerja

produksi “subsisten”14 kehilangan tanahnya kemudian terjadilah evolusi

sejarah ekonomi hingga pada taraf kapitalis maka semua para pekerja

subsisten melakukan urban ke kota tempat segala produksi dipusatkan,

sedangkan seiring laju pertumbuhan teknologi, sesuai dengan logika ekonomi

kapitalis, maka tenaga manusia digantikan dengan mesin, yang berakibat pada

banyaknya pengangguran. Persaingan antara para kapitalis inipun terjadi,

11 Pada masa pra-kapitalisme tenaga kerja memang sering diperjual belikan tetapi dalam

bentuk yang lain, zaman perbudakan misalnya, orang-orang diperjual belikan untuk memenuhi kebutuhan majikan. Namun jika dicermati proses “pasar” tenaga kerja pra-kapitalisme terjadi akibat penindasan, penaklukan atau penghambatan kebebasan individu oleh individu lain (aristokrat / bangsawan). Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 5

12 Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 6 13 Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 14 14 Yang dimaksud dengan produksi subsisten adalah ketika seorang petani bekerja keras

dalam waktu yang lama untuk menjamin seluruh kebutuhan pokok selama jangka waktu cukup lama. Cadangan ini disimpan dengan harapan dapat memenuhi keperluan hidup di kemudian hari. Alasan ini sangat logis, sebagai sebuah antisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi dimasa datang. Tetapi mereka tentu tidak pernah berfikir untuk mendapatkan keuntungan (profit), seluruh hasil produksi hanya untuk dinikmati sendiri. Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 6-7

Page 7: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

112

semula berupa kompetisi intensif yang fair, tetapi kemudian dengan alasan

efisiensi dan bahan yang semakin sulit didapat, yang lebih penting adalah

alasan survive, maka terjadi monopoli pasar oleh kapitalis yang memiliki

modal besar. Sementara mereka yang memiliki sedikit modal harus

“menggulung tikar” karena tidak mampu bersaing, merekapun dengan alasan

survive menjual tenaga pada kapitalis yang masih eksis.

Sisi lain implikasi sistem kapitalisme adalah sumber daya alam sebagai

komoditi dikeruk terus menerus untuk menghasilkan laba. Ini yang menjadi

fokus gerakan hijau dalam menentang sistem kapitalisme. Makna hambatan

ekologis dipahami dalam terminologi-terminologi ekonomi. Seluruh

perusahaan berskala besar melakukan eksploitasi sumber daya alam disamping

sebagai bahan produksi juga sebagai bahan pembuat alat-alat produksi. Bahan-

bahan alamiah itu seperti milik pribadi yang tidak perlu digantikan dan

penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pribadi.

Marx, filosof terbesar yang berada pada garis depan mewartakan

peperangan terhadap sistem kapitalisme, analisisnya mengenai cara kerja

sistem kapitalisme dia pinjam dari ekonom “borjuis” (kelas yang sangat dia

benci) seperti David Ricardo, Adam Smith dan Jean Baptise Say.15 Marx juga

sangat menaruh perhatian terhadap teori evolusi Darwin, The survive of the

fittest, yang sejalan dengan keadaan masyarakat kapitalis.16 Persaingan antara

satu individu, institusi, kelompok / golongan dengan yang lain memaksa

adanya yang menang dan yang kalah. Dalam teori seleksi alam ini manusia

tidak dapat hidup bersama, yang mampu bertahan hidup adalah yang mampu

menguasai kekuatan-kekuatan syarat hidup itu sendiri (dalam hal ini

penguasaan sumber-sumber ekonomi). Karena pembagian kelas (pada

15 Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 3 16 Dalam masyarakat kapitalis berlaku juga “yang kuat memakan yang lemah”, Marx

melihat hal ini bersesuaian dengan teori evolusi Darwin, “seleksi alam atau survive of the fittest”. Seperti kata Darwin: “kita bisa merasa yakin bahwa setiap variasi yang kurang beruntung, biar sedikit, akan hancur. Pelestarian perbedaan individu yang menguntungkan beserta variasinya, serta kehancuran yang menimpa mereka yang kurang beruntung, bisa saya sebut disini sebagai seleksi alam atau survive of the fittest ( kelangsungan hidup bagi yang sesuai).” Lihat Charles Darwin, The Origin of Spesies, terj. F. Susilohardo dan Basuki Hernowo, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, hlm. 84

Page 8: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

113

masyarakat kapitalis) dalam paham Marx hanya terbagi dua yaitu kelas

pekerja (proletar) dan pemilik modal (borjuis) maka menurut Marx yang

selamanya akan dan tetap bertahan hidup adalah kaum borjuis. Memahami

kerja sistem kapitalisme yang kejam dan tak berprikemanusiaan inilah

akhirnya Marx sampai pada kesimpulan telah banyak filosof yang memahami

dunia permasalahannya kini adalah bagaimana merubahnya?.

Diskusi singkat diatas hanya bermaksud sedikit menyinggung

bagaimana kerja sistem kapitalis dalam suatu masyarakat. Di era globalisasi,

transnasionalisasi, atau apapun namanya, yang lahir sebagai akibat langsung

sistem kapitalisme, menyiratkan betapa besar kekuatan kapitalisme telah

memasuki batas wilayah regional negara / bangsa yang berada diluarnya.

Kapitalisme disisi lain mengandung paham monisme, perbedaan dalam logika

kapitalis adalah irasional. Maka konsekwensinya kelangsungan hidup jutaan

bahkan milyaran manusia terancam “punah”. Sebagai antitesa diajukanlah

teori Marxist, meskipun gerakan-gerakan anti kapitalis lain cukup signifikan

untuk dibicarakan, tetapi nampaknya teori Marxist- lah yang lebih dominan

dan relevan dalam diskusi ini.

Marxist beranggapan tidak ada jalan lain untuk keluar dari belenggu

kekejaman kaum borjuis selain revolusi proletar, dan puncak dari gerakan

revolusi total ini adalah terciptanya masyarakat komunis (masyarakat tanpa

kelas). Bukan masalah gagasan ini sebuah utopia atau fakta objektif, yang

lebih memberi makna adalah semangat perjuangan “kemerdekaan” umat

manusia. Dan disini berarti kita telah sampai pada titik awal pembahasan

mengenai tokoh revolusi yang juga seorang Marxist, Tan Malaka.

“Dengan murba, dalam murba, untuk murba, menuju ke Republik Indonesia yang sosialis, terus ke Proletaris ASLIA Republik, akhirnya ke penggabungan beberapa negara yang (hampir) sama besar dan sama rata di dunia. Menolak semua percobaan mendirikan republik Indonesia yang kapitalis dan membatalkan semua daya upaya dari luar, menjajah Indonesia dengan cara dan memakai bentuk dan corak jajahan apapun.”17

17 Tan Malaka, PARI (Partai Republik Indonesia) Manifesto Jakarta…op.cit., hlm. 47

Page 9: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

114

Kerja sistem kapitalisme-lah yang menyebabkan negara-negara terjajah,

tertindas, dieksploitasi sumber daya alam dan manusianya. Di Indonesia

misalnya, negara Belanda selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun

menjajah dengan dukungan Inggris dan Amerika juga dengan alasan kapital.

Bersamaan dengan eksploitasi sumber daya alam itu dengan akumulasi modal

sebagai motivasi, wilayah jajahan meluas pada manusia, bentuknya berupa

keyakinan, budaya, pendidikan, dll. Selama tiga setengah abad menjajah,

Belanda tentu telah memberikan karakter sendiri terhadap jiwa masyarakat

Indonesia dan itu tentunya telah berurat berakar hingga sulit untuk dilepaskan.

Dalam kondisi masyarakat seperti inilah, menurut Tan Malaka reformasi

bukan jalan terbaik. Seperti juga katanya adalah mustahil mencapai

kesejahteraan bangsa apabila kekuasaan politik belum dicapai. Kemerdekaan

politik adalah start menuju kemerdekaan segala bidang. “Dan Indonesia akan

mendapatkan kekuasaan politik tidak dengan jalan lain, melainkan dengan

aksi politik yang revolusioner, lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.”18

“Kemerdekaan”, sebuah filosofi politik yang tak dapat ditawar-tawar.

Mungkin tak ada seorangpun di planet ini yang menolaknya. Dengan

kemerdekaan setiap individu, lembaga, instansi, bangsa dan negara bebas

melakukan apa yang diingini (self determination). Pada tahun 1948 ketika

universal declaration of human right secara aklamasi diterima oleh seluruh

negara-negara yang tergabung dalam PBB, jika cermati landasan filosofi-nya

tidak lain adalah suatu kesepakatan bersama membentuk konstitusi

internasional atas “kemerdekaan” azasi manusia. Seperti yang telah

disinggung pada bab sebelumnya, hanya lima negara yang tidak menghadiri

pengesahan deklarasi tersebut, salah satunya Rusia (uni soviet). Penolakan

negara Rusia (Uni Soviet) terhadap deklarasi hak azasi manusia itu bukan

ketidaksetujuan atas kemerdekaan manusia, tetapi justru atas nama

“kemerdekaan” pula-lah mereka enggan ikut mengesahkan deklarasi tersebut.

Mungkin kita akan bertanya bagaimana mungkin bisa terjadi, sesuatu

perjuangan yang didasari atas tujuan yang sama (kemerdekaan) secara

18 Tan Malaka, Aksi Massa…op.cit., hlm. xiv

Page 10: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

115

bersamaan pula dapat bertentangan. Bukankah ini melanggar hukum logika?19

Persoalannya bukan pada titik tolak, atau landasan filosofis mengadakan

deklarasi kemerdekaan hak azasi melainkan lebih pada perspektif-interpretatif

memaknai kemerdekaan itu. Bagi kaum sosialis kemerdekaan bermakna

“persamaan” sedangkan kaum liberal memaknai kemerdekaan sebagai

“kebebasan”. Dengan adanya kebebasan individu, menurut pandangan

sosialisme-komunis, berarti melegalkan sistem kapitalisme bekerja, dan

deklarasi universal tentang hak azasi adalah salah satu bentuk nyata

pengesahan itu. Apalagi deklarasi itu diprakarsai oleh PBB yang didominasi

negara-negara demokrasi liberal. Amerika serikat sebagaimana kita ketahui

adalah salah satu negara yang memiliki hak veto di PBB, sedangkan secara

ideologis Amerika serikat adalah “lawan” politis Rusia (Uni Soviet) sejak

berdirinya tahun 1917.

Tidak jauh berbeda pandangan Tan Malaka terhadap pemaknaan kata

“kemerdekaan” versi kapitalisme dengan pemahaman para penganut

Komunisme lainnya. Tan Malaka sempat mengejek term kemerdekaan ala

Amerika ini dengan mengatakan:

“negara yang terbesar dari dalam segala itu, Amerika. Negara itu juga disebut orang: country of the free, negara merdeka! Kalau 11 juta pekerja dikeluarkan dari pabrik (karena krisis) : merdeka! Kalau berkeliaran di jalan raya dan pasar ---perburuhan maka itu artinya: merdeka! Kalau ada warga negara di “lynch” (disiksa) : merdeka! Memang country of freedom, negara merdeka, dengan 11 juta kaum buruh yang menganggur tetap, mereka mondar mandir ke sana sini menawarkan tenaganya pada mereka yang merdeka pula menentukan apa akan dibeli atau tidak.”20

Fakta bahwa kapitalisme semakin meluas ke segenap penjuru dunia dapat

kita lacak sejak terjadi perang dunia kedua, modal bergerak dari negara-negara

pemenang perang menuju negara-negara jajahan. Seiring berkembangnya

infrastruktur komunikasi dan teknologi komunikasi para kapitalis yang semula

19 Salah satu bentuk hukum logika, disini penulis mengambil contoh yang diberikan Tan

Malaka, adalah A=A dan A ≠ non A (a thing is not its opposite). Lihat Tan Malaka, Madilog…op.cit., hlm. 124

20 Tan Malaka, Situasi Politik Luar dan Dalam Negri (Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946), Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 13

Page 11: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

116

menanam investasi sebatas pada wilayah nasional menuju multinasional dan

akhirnya ke kapitalisme transnasional atau kapitalisme “global”.21 Fenomena

ini dipandang dari kacamata anti-kapitalisme, berarti juga meluasnya

kekerasan lokal menuju kekerasan global. Dunia dalam satu komando yang

disutradarai para pemilik modal dan logika yang dipakai tentu logika kapitalis.

Moralitas juga distandarkan pada moralitas kapitalis. Bukanlah perbuatan

buruk jika seseorang melakukan penebangan hutan yang mengakibatkan tanah

longsor, banjir dan punahnya hewan-hewan demi terkumpulnya laba (profit)

sebesar-besarnya. Terlampau menyederhanakan memang, ketika kita melihat

sistem kerja kapitalisme hanya dalam beberapa segi saja, ekonomi misalnya,

tetapi perlawanan yang keras dari oposan sekaliber Marx tentu tidak

serampangan jika analisanya cenderung mengarah ke sana.

Analisa Marx mengenai pertentangan kelas akan lebih masuk akal jika

dipahami dalam logika kapitalis. Tidak sedikit literatur yang dibaca Marx

mengenai cara kerja kapitalisme, dan ini berarti menyerang lewat dalam. Tan

Malaka sendiri begitu kagum dengan analisis Marx tentang pembagian kelas,

pertentangan kelas, hingga akhirnya membuahkan revolusi kaum proletar

(murba). Seperti telah disinggung sebelumnya, kemerdekaan bagi kaum “kiri”

adalah persamaan dalam segala hal. Jika kapitalisme telah menjamur hingga

berurat berakar dalam masyarakat dunia maka adalah tidak masuk akal

mengambil langkah defensif saja. Harus ada sebuah reaksi kongkrit dari aksi

kapitalisme yang brutal, menurut Tan Malaka “bertahan yang sebaik-baiknya

ialah yang dilakukan dengan menyerang.”22 Jadi “revolusi” adalah pertahanan

terbaik melawan kapitalisme demi tercapainya “kemerdekaan”.

B. RELEVANSI IDE-IDE TAN MALAKA TERHADAP INDONESIA

B.1. Politik-Ekonomi

Sejak jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru (ORBA) negara

Indonesia bagaikan kapal yang terombang ambing tak tentu arah. Mulai

21 Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 17 22 Tan Malaka, Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK)…op.cit., hlm. 30-31

Page 12: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

117

dari krisis ekonomi hingga krisis “kepribadian” bangsa melanda

Indonesia. Pada saat – saat seperti inilah seluruh rakyat Indonesia mulai

menyadari betapa pentingnya “sadar politik” terhadap bangsa sendiri.

Sebagian cendekiawan muslim mungkin bertanya-tanya dosa apa yang

telah diperbuat negeri ini hingga Tuhan enggan memberikan

pertolongan-Nya untuk keluar dari krisis multi dimensional ini? Para

pakar sosial politik mungkin kembali membuka buku-buku yang berisi

teori –teori rumit tentang politik kenegaraan untuk menyelesaikan

masalah negara? Para sejarawan mungkin akan kembali menoleh ke

belakang untuk memastikan pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian

masa lalu. Tetapi sudah delapan tahun, sejak digulirkannya reformasi

permasalahan – permasalahan bangsa belum dapat terselesaikan?

Reformasi yang dimotori oleh tokoh-tokoh reformis (cendekiawan,

agamawan, mahasiswa, pengusaha, rakyat, dll) telah membuka pintu

baru menuju negara yang demokratis. Tapi apa yang terjadi? Reformasi

disamping memberikan peluang kebebasan pada rakyat juga telah

membuahkan masalah-masalah baru yang menjadi beban hidup seluruh

rakyat Indonesia. Stabilitas politik, sosial, ekonomi dan budaya menjadi

goyah, hampir semua kelompok / golongan berusaha muncul ke

permukaan untuk menunjukkan pihaknyalah yang pantas berada di atas

panggung kekuasaan mengatur negara ini. Isme-isme baru bermunculan

bagaikan jamur tumbuh di musim hujan, entah itu meminjam topeng

agama, budaya ataupun ideologi, mereka mengalami euphoria kebebasan

tanpa batas hingga menjadi liar dan brutal. Kondisi serba labil di semua

pondasi pertahanan bangsa ini jugalah yang menyebabkan Indonesia

kehilangan arah dan pegangan.

Masa-masa sulit yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini jika kita

pahami melalui perspektif sejarah akan dirasakan titik temunya, meski

tidak seluruhnya namun sedikit memberikan gambaran tentang kondisi

riil bangsa yang masih dalam masa – masa transisi. Bukankah sejarah

masa lalu ikut menentukan sejarah masa depan?. Tepat sekali Tan

Page 13: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

118

Malaka ketika melakukan oposisi terhadap pemerintahan Sjahrir untuk

menolak perundingan dengan Belanda. Perundingan itu melahirkan dua

kesepakatan bersama (konsensus), Linggarjati dan Renville, dan isi

kesepakatan itu hanya menguntungkan pihak Belanda. Tan Malaka

memahami perundingan antara Belanda dan Indonesia itu hanya sebuah

siasat Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Bagi Tan Malaka

perundingan boleh dilaksanakan apabila kemerdekaan 100% telah

dicapai.

Dengan merdeka 100%, menurut Tan Malaka, berarti negara

benar-benar memiliki kekuatan untuk mengatur bangsa dan negaranya

sendiri.23 Kapital asing tak dapat ikut campur dalam urusan ekonomi

negara Indonesia karena negara Indonesia dengan sendirinya, apabila

diatur dengan baik, akan mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa

bantuan negara lain. Tan Malaka menegaskan : “uang tak perlu! Tapi

yang perlu ialah KEMERDEKAAN 100%. Sekali lagi! Uang sebagai

kapital asing tak perlu, malah membahayakan.”24

Pada tahun 1997, ketika kapital asing menguasai seluruh kawasan

Asia Timur dan Tenggara, terutama Indonesia,25 perekonomian

Indonesia yang selama ini kokoh menjadi goncang. Perusahaan Negara

terpaksa dilepas dan diurus oleh swasta (privatisasi).26 Dapat

dibayangkan hampir seluruh hasil pendapatan negara dari usaha-usaha

negara beralih ke tangan – tangan pemilik modal. Globalisasi yang

23 Tan Malaka, Situasi Politik Luar dan Dalam Negri, Yayasan Massa, Jakarta, 1987,

hlm. 51 24 Tan Malaka, Politik, Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 46. lihat juga edisi terbitan

Majin kiri. Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin kiri, Tangerang, 2005, hlm. 33.

25 Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi, C-Books, Jakarta, 2003, hlm. 1 26 Mengenai data-data kasus rencana privatisasi BUMN dan reaksi protes massa dapat

diajukan sbb: sekitar 300 buruh PT Telkom, Solo, 2 Januari 2002. aksi menentang rencana penjualan PT telkom Divisi Regional (Divre IV) Jawa Tengah kepada Indosat (Indosat sendiri telah menjadi milik swasta). 3000 buruh PT Perkebunan Negara (PN) XII berdemonstrasi di DPRD Jember karena rencana DPRD dan pemerintah daerah menjadikan PT PN XII menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ribuan buruh semen Gersik menggelar aksi mogok akibat rencana pemerintah menjual PT Semen Gersik kepada PT Cemex Mexico. 6000 buruh Bank Central Asia (BCA) melakukan Long March, tanggal 11 Maret menolak rencana privatisasi / divestasi 51 % saham BCA. lihat Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi, Ibid, hlm. 2-3

Page 14: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

119

dirancang negara-negara kapitalis besar, seperti Amerika Serikat dan

Inggris melihat kondisi Indonesia dalam krisis ekonomi mengambil

kesempatan menanamkan modal di Indonesia, bentuknya bisa berupa

pinjaman atau investasi. Akhirnya roda perekonomian Indonesia berjalan

dengan modal asing yang ditanam. Sementara pengusaha pribumi kelas

menengah kebawah yang tidak sanggup bersaing menjadi bangkrut dan

gulung tikar. Rakyat miskin semakin bertambah dengan adanya

kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat kecil.

Dengan alasan menutup hutang luar negri harga-harga sembako

dinaikkan. Kait-mengait antara kebijakan politik dan ekonomi inilah

yang menjadi stressing Tan Malaka dalam perjuangannya membela

kemerdekaan Indonesia. Apa yang diramalkannya jauh sebelumnya

terjadi saat ini. Sehingga wajar ketika Mestika Zed mengatakan salah

satu ciri khas berfikir Tan Malaka adalah futuristic.27

Tan Malaka dalam sebuah brosur mengatakan: “bukankah sistem

kapitalisme yang menindas kita selama ini dan yang mendorong kita

berjuang?”28 analisisnya terhadap kekerasan sistem kapitalisme

meskipun dipinjam dari Marx dan agaknya kurang relevan untuk

membedah kerja kapitalisme saat ini tetapi meninggalkan suatu falsafah

tersendiri yang sangat relevan untuk Indonesia yaitu kemerdekaan 100%.

“Rencana ekonomi yang sempurna saya pikir cuma bisa dijalankan

dalam suasana aman sentosa bagi rakyat Indonesia dalam suasana

merdeka 100%.”29

Yang ingin ditekankan oleh Tan Malaka adalah bahwa politik dan

ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dalam

brosur berjudul Thesis Tan Malaka pernah menyinggung mengenai

27 Menurut Mestika Zed ada 4 ciri khas berfikir Tan Malaka, yaitu: (1). Cara berfikir

realistis ilmiah berdasarkan ilmu bukti. (2). Bersifat Indonesia sentries (3). Futuristic (4). Mandiri, konsekuen serta konsisten. Lihat Mestika Zed, Mencari dan Menemukan Kembali…op.cit., hlm. 32

28 Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang, Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 9. lihat juga edisi terbitan Majin kiri. Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin kiri, Tangerang, 2005, hlm. 52

29 Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang, Ibid, hlm. 9 dan Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Ibid, hlm. 51

Page 15: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

120

perekonomian dunia sebagai langkah gerak revolusi. Karena

perekonomian dunia secara langsung mempengaruhi keadaan negara

yang berdasarkan perekonomian pula.30 Indonesia jika hendak keluar

dari krisis multi dimensi hendaknya dalam mengambil kebijakan-

kebijakan politis terlebih dulu melihat dan memahami keadaan

perekonomian dunia. Begitu sebaliknya kebijakan – kebijakan politik

harus mengarah pada kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan

ekonomi negara yang stabil.

B.2. Agama Sebagai Basis Politik

Negara Indonesia dengan jelas menolak bentuk negara sekuler.

Dengan jelas pancasila sila pertama menyatakan “Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Ini berarti negara juga Republik Indonesia tidak ingin memisahkan

antara urusan agama dan negara. Agama dan negara menjadi satu kesatuan

yang utuh, simbiosis mutualis. Tetapi harus pula di pahami bahwa

Indonesia bukanlah negara agama. Agama – agama diakui keberadaannya

dan diberi kebebasan untuk hidup di Indonesia, meskipun saat ini hanya

enam agama yang diakui, bukan berarti pengaturan negara berdasarkan

hukum – hukum agama.

Pernyataan diatas hanya sekedar penegasan bahwa Indonesia

bukanlah negara agama tetapi negara yang beragama. Maka tidak

berlebihan jika dalam membuat undang-undang negara “nuansa” agama

ikut berperan di dalamnya. Pada tahun 2003 negara-negara kawasan

ASEAN mengawali perdagangan bebas dan rencananya pada tahun 2020

wilayah perdagangan bebas akan diperluas pada kawasan ASIA Pasific.

Pertemuan antara bangsa-bangsa negara dalam hal perdagangan pada titik

tertentu akan sampai pada permasalahan yang menyangkut agama. Sebagai

contoh bagaimana kerja sistem kapitalisme menginjak-injak agama dengan

menjadikannya komoditi, adalah ceramah-ceramah melalui media televisi

dan bahkan telephone seluler. Semula agama hanya dianggap suatu nilai-

30 Lihat Tan Malaka, Thesis…op.cit., hlm. 4

Page 16: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

121

nilai sekaligus standarnya, dan pegangan hidup. Tetapi lambat laun seiring

meluasnya ekspansi kapitalisme ke dalam tubuh agama, maka agama

mengalami pergeseran makna oleh pemeluknya. Agama tidak lagi menjadi

panduan hidup tetapi telah menjadi seperti barang yang dapat diproduksi

hingga menghasilkan laba.

Pembelaan terhadap perubahan cara kerja dakwah agama ini

banyak mendapatkan dukungan bagi mereka yang mungkin merasa

diuntungkan. Alih-alih menjawab dan menyesuaikan tantangan zaman

agar agama tidak jumud dan stagnan maka agama harus direformasi.

Implikasi langsung dari memperlakukan agama seperti ini adalah agama

hanya dilihat dari kepuasan “libido”, atau dengan bahasa lain, agama

hanya menjadi pemuas / kompensasi kegalauan jiwa, ini berarti juga

agama hanya dilihat dari fungsinya. Ketika agama berbicara kewajiban

dan hukuman yang tidak sesuai dengan keinginan agama diabaikan tetapi

sebaliknya jika agama menjanjikan suatu yang menguntungkan mereka

akan beramai-ramai mengaku sebagai pemeluk agama. Sebuah ironi yang

sering terjadi dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.

“Beragama semu”, mungkin kalimat ini yang tepat untuk

mengungkap fenomena keberagamaan masyarakat kita saat ini. Agama

tidak lagi diposisikan secara proporsional melainkan hanya sebagai

simbol. Yang lebih memprihatinkan adalah ketika “agama” berperan

sebagai alat disintegrasi sosial karena dipahami sebagai alat bukan

seperangkat nilai-nilai. Di Indonesia, dalam perspektif sejarah agama telah

memberikan kontribusi luar biasa dalam pembentukan negara-bangsa.

Sebagai contoh di Sumatra Barat, agama Islam menjadi nilai utama dalam

adat. Di Jawa sinkretisme agama dan budaya terjadi dalam bentuk budaya

keraton Jawa.31

Melihat sejarah perkembangan masyarakat Indonesia dalam hal

politik keagamaan memang sering menimbulkan banyak polemik.

Hubungan antara agama dan nasionalisme seringkali dipahami dengan

31 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over…op.cit., hlm. 164-165

Page 17: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

122

menggunakan parameter oposisi biner, hitam-putih atau salah benar.

Perpecahan dalam Sarekat Islam misalnya, sebagian ulama ada yang

beranggapan mendirikan negara agama adalah jalan terbaik, kelompok lain

beranggapan sebaliknya, keragaman suku-bangsa, budaya dan agama di

Indonesia menjadikan tidak mungkin persatuan tercipta, negara harus

berperan sebagai pasilitator yang mampu mengakomodir seluruh

kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Tan Malaka yang ketika itu ikut

bergabung dalam Sarekat Islam Semarang memberikan pandangan lebih

moderat, agama dan negara baginya tidak dalam pertentangan, satu sama

lain saling membutuhkan dan bahkan harus disatukan. Kekuatan-kekuatan

organisasi keagamaan sangat dibutuhkan dalam perjuangan revolusi, tetapi

negara nantinya harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya memilih

dan menjalani agama dan kepercayaannya itu. Gagasan Soekarno

mengenai Marhaenisme mungkin sebagai perpanjangan tangan dari ide-ide

Tan Malaka.

Dalam pelaksanaannya masih banyak kelompok-kelompok militan

yang tidak setuju dengan filosofis negara semacam yang ditawarkan

Soekarno, karena memang sebagai konsekuensinya agama menjadi

institusi yang tersubordinir.32 Dualisme agama dan negara ini nampaknya

bukan permasalahan sederhana, banyak hal yang membutuhkan kerja keras

yang harus diperhatikan, semisal saja budaya, dalam terminologi Geertz

budaya diartikan “akumulasi totalitas”33 dimana seluruh kehidupan sosial

masyarakat dapat mengacu pada bentuk-bentuk ciptaan masyarakat secara

inhern dalam perkembangannya.

Tan Malaka sepertinya, jika diamati menggunakan pendekatan ini,

dia berusaha menyatukan “pertikaian” antara agama dan negara. Sebagai

contoh sikap seperti ini pernah dia terapkan ketika terjadi perselisihan

32 A. Helmy Faishal Zein, dkk (ed), Agama dan Kekerasan, kerjasama Elsas dan IPNU,

Jakarta, 1999, hlm. 91 33 Budaya sebagai akumulasi totalitas tentunya memiliki keberatan tersendiri, karena

agama direduksi menjadi subordinate budaya. Tetapi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bahwa terkadang budaya dapat juga menjadi perekat persatuan antara pemeluk agama. Keterangan lihat bab III

Page 18: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

123

antar anggota Sarekat Islam, meskipun ketika terjadi perpecahan di tubuh

SI Semarang negara belum terbentuk, Tan Malaka memberikan suatu

common ground atau titik temu antara keduanya (dalam konteks waktu itu

adalah kemerdekaan). Sikap serupa pernah dia perlihatkan ketika

menghadiri sidang ke 7 kongres Komintren ke-4 di Moskow, dalam pidato

yang disampaikan dengan bahasa Jerman itu Tan Malaka menunjukkan

semangat agama, khususnya Islam, yang sejalan dengan program-program

sosialis, bukan sebaliknya mencari akar permasalahan untuk dibesar-

besarkan yang berakhir pada peperangan dan perpecahan.

Setidaknya ada tiga titik temu antara sosialisme dan semangat

nilai-nilai dalam Islam yaitu; prinsip persamaan, keadilan ekonomi,

pembelaan kaum lemah/tertindas.34 Tidak sedikit ayat-ayat Qur’an dan

Hadits Nabi yang menjelaskan tentang ketiga prinsip Islam ini. Satu ayat

yang sedikit bernada ekstrem membela kaum lemah (murba) adalah surat

al-Qashas ayat 5 :

في استضعفوا الذين على نمن أن ونريد

الوارثين ونجعلهم أئمة ونجعلهم الأرض Artinya : “Dan Kami hendak menganugerahkan kepada orang-

orang yang tertindas di bumi dan akan kami jadikan mereka pemimpin dan akan kami jadikan mereka sebagai pewaris bumi.”

Tetapi apa yang kini dapat kita pelajari dari kesadaran umum

rakyat mencapai kemerdekaan ketika itu? ialah adanya satu visi dan misi

dibawah satu payung semangat oktober 1928, satu bangsa, bahasa dan

negara. Maraknya isu-isu kekerasan suku, agama, ras dan antar golongan

(SARA) akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa kesadaran masyarakat

Indonesia terhadap nilai-nilai luhur yang dibangun oleh para founding

father Indonesia mulai terkikis. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan

agama mulai bermunculan, tindakan mereka seringkali meresahkan

34 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 62-

74

Page 19: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

124

stabilitas nasional (istilah ORBA). Ketika rezim Orde Baru berkuasa juga

memberikan indikasi ke arah perpecahan nasional itu dengan mendirikan

ICMI, karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia maka

dianggap perlu membentuk suatu lembaga agama dibawah pengawasan

langsung pemerintahan. Tujuannya tidak lain adalah demi kelanggengan

kekuasaan. Ini berarti negara menghambat kebebasan beragama, akhirnya

sikap pemerintahan itu memunculkan reaksi dari para pemeluk agama

yang selama ini dikekang.

Agama sebagai sistem kepercayaan individu tentu memiliki

kebebasannya sendiri sedangkan agama sebagai sistem nilai tentu tidak

dapat dipisahkan dengan hubungan sosialnya, yang pertama kita sebut

sebagai private religion dan kedua kita sebut sebagai publik religion.35

Private religion biasanya lebih menekankan pada simbol-simbol dan

bentuk agama, semisal jilbab, salib dan jenggot, sedangkan publik religion

lebih menekankan pada persoalan publik. Kedua terma tersebut semestinya

tidak membuat garis demarkasi diantaranya. Jika pemahaman terhadap

agama dilakukan secara komprehensip maka tidak akan terjadi pembedaan

antara yang privat dan yang publik. Semua ajaran agama yang ada

mengatur antara keduanya, artinya tidak satupun agama yang secara

fundamental bersifat private menolak hubungan publik (sesama manusia).

Permasalahannya adalah ketika penilaian terhadap suatu agama oleh

pemeluknya dipahami dalam satu sisi saja, parsial, maka sering

menimbulkan truth claim yang berakibat segregasi sosial dalam satu

negara.

Pada beberapa negara seperti Iran, India, Syiria, Irak, dan libya,

agama sebagai sistem nilai telah menjadikan pendorong melakukan

perjuangan melawan penjajah, di Iran kita melihat bagaimana semangat

agama telah meluluh lantahkan pasukan imperialis kejurang kehancuran.

Dibawah pimpinan Ayatullah Khomeini, Iran dapat menjadi negara

muslim yang damai dan adil, konsep ahimsa (tanpa kekerasan) Mahatma

35 A. Helmy Faishal Zein, dkk (ed), Agama dan Kekerasan, Ibid, hlm. 92

Page 20: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

125

Gandhi di India juga dipengaruhi semangat keagamaan ketika melawan

kekerasan imperialis, satu lagi contoh di Libya, Muammar Qadhafi, tokoh

penggerak revolusi Libya ini dalam bukunya berjudul Al-Kitab Al-Ahdhar

/the green book (buku hijau) berusaha memberikan solusi mengenai

pertentangan dua kutub, sosialisme dan kapitalisme. Istilah the green

sendiri dalam bukunya menunjukkan simbol jalan tengah yang diambilnya

untuk menyelesaikan perselisihan antara sosialisme yang diasosiasikan

dengan the red (merah) dan kapitalisme yang diasosiasikan dengan the

White (putih).36 Muammar Qadhafi menyakini pertentangan dua kubu itu

dapat diselesaikan dengan jalan membentuk sebuah ideologi yang orisinil.

Keorisinilan inipula yang menjadi corak tersendiri dalam pikirannya, dia

menghendaki Libya memiliki ideologi sendiri yang bersesuaian dan

bersumber dari akar tradisi Libya, dan tradisi itu tidak lain adalah Islam.37

Sebuah konsensus bersama untuk tujuan bersama, seperti halnya

Muammar Qadhafi menggagas the Green untuk kemerdekaan negara

Libya yang berbasis pada Islam. Di Indonesia perjuangan seperti yang

dilakukan Muammar Qadhafi nampak jelas pada diri Tan Malaka dengan

persatuan perjuangannya melawan penjajah imperialisme. Konsep

perjuangan membela kaum murba yang diasosiasikan pada rakyat miskin

menunjukkan adanya pertautan antara nilai-nilai keagamaan dalam ide

atau gagasan Tan Malaka. Meskipun Tan Malaka seringkali

menyembunyikan nilai-nilai agama dengan term-term sosilaisme, bukan

berarti Tan Malaka menolak agama, bukankah Islam mengandung nilai-

nilai sosialisme? Pembelaannya terhadap Islam pada sidang Comintren di

Moskow menunjukkan betapa besar perhatian Tan Malaka pada Islam.

Bersamaan dengan itu berarti Tan Malaka juga telah mereinterpretasi

analisis Lenin terhadap ajaran Marx dan Engels. Pembagian kelas dalam

masyarakat kapitalis oleh Marx dibagi dua, borjuis dan proletar, kedua

kelas tersebut pada satu titik temu akan berbenturan, dan ini adalah

36 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama…op,cit., hlm. 6 37 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama, Ibid, hlm. 6

Page 21: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

126

kepastian sejarah. Marx melihat struktur kelas itu dibagi atas dua pula,

basic (sub struktur) terdiri dari gabungan tiga faktor yaitu, kondisi

produksi, kekuatan dan hubungan produksi, sedangkan yang kedua supra

struktur (superstruktur) adalah merupakan hasil bangunan substruktur,

artinya keadaan sosial-politik maupun spiritual manusia dipengaruhi oleh

cara produksi suatu masyarakat.

Tan Malaka merombak bangunan dasar (substruktur) Marx dengan

mempertimbangkan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang mayoritas

beragama dengan menjadikan, kadang-kadang, agama, sosial, filsafat, dan

budaya pada posisi substruktur. Seorang Marxist Italia, Antonio Gramsci

(1891-1937) memahami teori Marx-Engels serupa dengan Tan Malaka.

Menurut Gramsci kebanyakan pemikir Marxist maupun non Marxist

seringkali terperangkap pada pemahaman reduksionis dengan menganggap

suatu entitas sebagai suatu yang pasti benar dan bersifat statis. Penilaian

semacam ini oleh Gramsci dikritik dengan mencetuskan teori hegemoni

meskipun secara implisit.38

Gerakan Marxisme ortodok menitik tekankan pada gerakan kaum

buruh revolusioner, sedangkan Gramsci berusaha membuka jalan

pendekatan pluralisme. Gerakan civil society berarti juga membuka

peluang bagi gerakan-gerakan sosial, budaya, agama, gerakan kaum

wanita dan lain-lain untuk ikut andil bergerak dalam perjuangan

revolusioner.

Satu lagi ide-ide Gramsci yang sejalan dengan ide-ide Tan Malaka,

yaitu mengenai pendidikan. Gramsci dan Tan Malaka nampak sejajar

dalam hal ini, gagasan mereka mengenai pendidikan merupakan counter

hegemoni yang dilakukan oleh model-model pendidikan politik

indoktrinasi dan penindasan.39

38 Pengantar oleh Masour Fakih dalam buku Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik

Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. xiv 39 Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Ibid, hlm. xvi. Penulis belum

mendapatkan literatur-literatur yang mengatakan adanya hubungan antara Tan Malaka dan Antonio Gramsci. Keduanya dapat dikatakan hidup dalam masa yang bersamaan. Tetapi mengatakan adanya pengaruh mempengaruhi antara keduanya rasanya sangat berlebihan, Mansour

Page 22: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

127

Sistem kapitalisme telah membuat sistem pendidikan sebagai

komoditas. Di Indonesia pendidikan menjadi barang langka, orang-orang

yang berpotensi tetapi tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah

terpaksa menambah angka pengangguran. Potensi diri tidak dapat

dikembangkan karena tidak adanya fasilitas negara untuk mereka. Subsidi

pendidikan yang hanya 20% itu tidak mampu menaikkan angka buta

aksara di Indonesia, karena dalam pelaksanaannya hanya 10,1% dari

APBN, sementara seiring perkembangan teknologi tenaga-tenaga terampil

yang memiliki skill khusus yang dapat digunakan tenaganya. Pergeseran

standar buta aksara pun menjadi bukan yang tidak mampu baca tulis lagi

tetapi menjadi siapa yang tidak dapat mengoperasikan alat-alat canggih

(mesin-mesin elektronik, komputer, dll) dan tidak dapat berbahasa Inggris

(bahasa resmi Amerika dan Inggris).

Tidak mengherankan jika masyarakat Jepang begitu cepat maju

dalam segala hal dalam kondisi alam yang kurang mendukung

pertumbuhan negaranya. Jepang mampu bangkit kembali dari kehancuran

setelah Nagasaki dan Hiroshima diluluh lantakan oleh sekutu karena

mereka sadar akan pentingnya pendidikan, subsidi pendidikan diberikan

begitu besar untuk rakyatnya. Sedangkan di Indonesia keadaannya

berbalik, pendidikan tidak menjadi perhatian pokok negara, maka wajar

ketika yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat berbudaya bicara

(talking culture) bukan budaya baca (reading culture). Bayangkan untuk

membeli satu buah buku saja masyarakat Indonesia harus membayar biaya

mahal, sedangkan pasok buku yang membanjiri pasar semakin melimpah,

ini terkait dengan surplus value-nya Marx, dan juga berarti semakin

banyak pohon-pohon ditebang untuk membuat kertasnya.

Fakih mencatat bahwa buku Gramsci berjudul Quqreni del Carcere (selection from the Prison Notebooks) yang ditulis di penjara tahun 1929 dan tahun 1935 baru diterjemahkan ke dalam bahasa lain sekitar tahun 1957 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara selektif tahun 1970-an. Sedangkan Tan Malaka sendiri tidak diketahui bahwa dia menguasai bahasa Itali, jadi melihat kedua pemikir raksasa Marxist ini menunjukkan persamaan dalam hal-hal tertentu adalah secara kebetulan saja.

Page 23: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

128

Dalam keadaan bangsa yang serba “minim” inilah Indonesia

sebagai bangsa dan negara harus melakukan refleksi kembali disertai

tindakan kongkrit untuk melakukan rehabilitas dan revitalisasi semangat

kebersamaan. Kebijakan pemerintah harus memihak pada rakyat bukan

pada sebagian kelompok atau golongan yang berkepentingan. Delapan

tahun sudah reformasi digulirkan belum memperlihatkan perbaikan

dibidang ekonomi ataupun pendidikan. Nampaknya bangsa Indonesia

harus mempertimbangkan kembali nilai-nilai keagamaan dalam hal sosio

politik dan ekonomi. Disini bukan berarti penulis menyetujui

diperbanyaknya bank syariah yang saat ini menjadi trend, karena menurut

subjektifitas penulis bank syariah tidak lebih daripada “modified

capitalism”.

B.3. Berfikir Logis

Ketika Asvi Warman Adam diminta untuk menjadi salah seorang

pembicara pada seminar “Mencari dan Menemukan Kembali Tan Malaka”

yang diadakan di Bukittinggi, Sumatra Barat, dia ditanya oleh panitia

:”apa spirit atau gagasan Tan Malaka yang sesuai dengan perjuangan

generasi muda?”. Jawaban Asvi Warman sangat sederhana dan tidak

berbelit-belit, dia tidak memberikan analisis ekonomi kapitalisme atau

globalisasi yang sekarang “menggurita”, dia juga tidak memberikan

jawaban dari perspektif sejarah sesuai dengan disiplinnya, Asvi Warman

hanya mengatakan: ”paling tidak, semangat untuk berfikir logis sangat

dibutuhkan sekarang agar kita dapat memecahkan krisis berkepanjangan

yang melanda negri ini.” Disamping itu Asvi Warman menambahkan

berunding setelah adanya pengakuan kemerdekaan 100 persen masih

sangat relevan.40

Kutipan diatas tidak berarti mereduksi pemikiran Tan Malaka

masih relevan hanya terbatas pada berfikir logis dan merdeka 100 persen

saja, masih banyak yang dapat dipetik dari gagasan – gagasan Tan Malaka

40 Lihat Asvi Warman Adam, Mencari dan Menemukan Kembali…op.cit., hlm. 47

Page 24: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

129

untuk diusung dan diterapkan pada masa sekarang, contoh saja mengenai

pemahaman keagamaan yang ditinjau melalui perspektif science, tentang

batas – batas etika dan seperti telah disinggung diatas mengenai

pendidikan juga sangat relevan untuk dipelajari saat ini.

Berfikir logis bagi Tan Malaka adalah salah satu usaha

membebaskan belenggu masyarakat dari sifat feodalisme yang selama ini

meracuni rakyat Indonesia. Puluhan tahun bahkan ratusan tahun

masyarakat Indonesia berada dibawah kekuasaan feodal. Masyarakat di

tangan para feodalis akan terpengaruh oleh sistem yang berlaku dalam

masyarakat itu, setidaknya secara psikologis, menimbulkan rasa

minder/rendah diri (inferiority complex). Sementara para feodalis semakin

merasa dirinya lebih unggul dan mulia (superior). Mentalitas feodal inilah

yang hendak dibongkar oleh Tan Malaka, karena rasa “lebih” dan ingin

dihormati sangat identik dengan sifat feodal ini maka kualitas-kualitas diri

yang terpendam yang seharusnya dapat di kembangkan menjadi terhambat.

Dalam masyarakat Indonesia kini sifat feodal masih sangat terasa, orang-

orang yang memiliki status sosial tertentu biasanya, meskipun tidak

semua, seringkali merasa enggan bercampur baur dengan orang-orang

yang tidak sederajat dengannya. Dan biasanya mereka anti kritik, merasa

dirinyalah yang paling benar, mungkin juga gengsi “kekuasaan” atau

apapun namanya tapi yang pasti sifat-sifat feodalisme masih terlihat jelas

di negri yang katanya paling sopan ini.

Berfikir logis juga menurut Tan Malaka adalah suatu cara untuk

menggantikan posisi logika ghaib. Berfikir dengan menggunakan Logika

ghaib sama artinya dengan tidak menghargai karunia akal yang diberikan

Tuhan pada manusia. Bukankah Tuhan meminta manusia untuk

memikirkan seluruh ciptaan-Nya? Masyarakat Indonesia dapat saja dengan

mudah memahami suatu fenomena alam misalnya dengan berkata ini

adalah “takdir Tuhan”, atau dengan berkata “para dewa sedang murka”.

Satu titik yang dibidik (snap shoot) Tan Malaka dalam buku Madilog

adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang masih diselimuti logika

Page 25: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

130

ghaib. Keberadaan Madilog tidak berarti dengan mudah kita

memposisikan Tan Malaka sebagai anti agama atau berpaham modernisme

yang menentang kultur agraris bangsa Indonesia.41 Penilaian seperti itu

hanya akan mematikan semangat nilai yang dikandung dalam ide-ide Tan

Malaka untuk memerdekakan bangsanya.

Kita sekarang dapat melihat fenomena masyarakat Indonesia yang

masih sering menggunakan logika ghaib dalam kehidupan. Logika ghaib

ini selalu identik dengan zaman kuno, atau masa kegelapan, tetapi

masyarakat Indonesia yang berpura-pura modern tidak mau dikatakan

berfikiran kuno meskipun pelaksanaannya dalam kehidupan sering

menggunakan logika ghaib, contoh yang paling riil dan aktual adalah

fenomena maraknya acara televisi yang menyuguhkan film-film bernuansa

mistis. Implikasinya sangat jelas. mentalitas anak-anak bangsa yang

menjadi tumpuan di hari depan sebagai penerus cerita penyambung sejarah

akan terbentuk menjadi mentalitas mistis yang melihat segala sesuatunya

dengan tinjauan ghaib. Contoh lain adalah kebiasaan orang tua di

Indonesia menakut-nakuti anaknya dengan “perkataan awas ada setan”.

Ungkapan demikian disadari atau tidak sama dengan mendidik mentalitas

anak menjadi anak yang penakut. Yang lebih membahayakan adalah bagi

negara, Tan Malaka sendiri seringkali mengaitkan antara logika mistika

dengan perkembangan industri ekonomi sebagai pondasi suatu negara,

masyarakat yang mengedepankan logika mistika tidak akan sampai pada

tahapan masyarakat industri, dan selamanya akan menjadi fatalis dan

berpangkutangan menunggu keajaiban.

41 Kritikan terhadap Tan Malaka yang memposisikannya ke dalam gabungan pemikir

modernisme ini pernah dilontarkan oleh Ronny Agustinus dalam esai penutup yang diberikannya untuk buku Madilog, tetapi Eko P Darmawan melihat penilaian itu sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berarti juga mereduksi pemikiran Tan Malaka yang luas dan dalam. Menurut Eko, setelah membaca esai penutup itu dia “seperti merosot dari cakrawala sejarah yang luas ke cakrawala kedangkalan gaya khas masa kini; tergesa-gesa menilai sebelum memahami.” Lihat Eko P Darmawan, Agama Itu Bukan Candu (tesis-tesis Feuerbach, Marx dan Tan Malaka), Resist Book, Yogyakarta, 2005, hlm. 129-130

Page 26: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

131

C. KELEMAHAN PEMIKIRAN TAN MALAKA

Mungkin sangat tidak beralasan mengkritik pemikiran seorang tokoh

dilihat dari hasil pikirannya dalam kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat

merubah konsep hingga sampai pada paksisnya. Gagasan Marx misalnya,

sebagian pemikir-pemikir abad ini menyatakan bahwa ide-ide Marx telah

berakhir (out of dead), teori-teori yang dihasilkannya berakhir pada utopia

belaka. Sederetan kasus lain dapat diajukan sebagai contoh masalah ini.

Seperti halnya Tan Malaka, adalah serampangan menilai faham-faham Tan

Malaka sudah tidak relevan disaat ini dengan pendekatan pos-modern. Seperti

pula Hasan Nasbi mengatakan, adalah tidak adil apabila melancarkan kritik

pada ketertinggalan pemikiran seseorang ditinjau dari zaman sekarang.42

Kritik terhadap pemikiran Tan Malaka pernah diajukan oleh Franz Magnis

Suseno, masalah yang paling urgen dalam pemikiran Tan Malaka adalah

analisisnya yang selalu meminjam skema Marxisme untuk memahami

fenomena masyarakat. Tan Malaka nampaknya mengikuti Engels yang

membagi dunia filsafat menjadi dua aliran besar, idealisme dan materialisme.

“Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Diantara dua kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis.” 43

Reduksi yang dilakukan Tan Malaka terhadap pembagian filsafat menjadi

dua golongan besar nampaknya agak berlebihan, kesalahannya terletak pada

peletakan dua hal yang berbeda dalam satu tempat, dan saling ditentangkan

satu dan lainnya. Idealisme yang seharusnya vis a vis realisme dalam kajian

epistimologi (tentang dasar pengetahuan), disederhanakan menjadi idealisme

melawan materialisme. Materialisme yang seharusnya dimasukkan wilayah

42 Hasan Nasbi, Filosofi…op.cit., hlm. 170 43 Tan Malaka, Pandangan Hidup…op.cit., hlm. 28

Page 27: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

132

ontologi (tentang dasar realitas) ini dicampur adukkan ke satu pembahasan

yang membuatnya menjadi tidak jelas.

Keberatan selanjutnya terhadap pemikiran Tan Malaka adalah mengenai

akhir sejarah, mengikuti analisis Marx-Engels dan kaum Marxist lainnya, yang

menyatakan sejarah umat manusia akan berakhir pada satu tahapan yaitu

masyarakat dengan sistem komunis, dimana tidak terdapat pertentangan kelas

di dalamnya. Hipotesa ini didasari atas analisis materialisme historis dan

materialisme dialektis. Ironis memang, pemahaman ini diadopsi begitu saja

oleh Tan Malaka, dalam hal memahami kondisi masyarakat untuk melakukan

revolusi Tan Malaka telah menunjukkan sebagai “murid” yang cerdas dengan

tidak bersikap seperti seorang epigon (plagiat). Sebelum melangkah Tan

Malaka berusaha memahami kondisi masyarakat Indonesia dengan seksama

maka dia berpendapat revolusi Indonesia tidak seperti revolusi Rusia.

Masyarakat Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat industri

seperti halnya Eropa. Pada tahap ini Tan Malaka sangat teliti memahami

kondisi Indonesia dengan analisis Marxist. Tetapi Tan Malaka seperti Marxist

lainnya dengan mengasumsikan masyarakat Komunisme adalah sebuah

keniscayaan, ini berarti juga utopia.

Pertentangan dalam masyarakat menurut materialisme historis dan

materialisme dialektis dibantah sendiri dengan keputusan terciptanya

masyarakat komunis. Ide masyarakat komunis adalah suatu utopia yang juga

berarti menjadikan masyarakat statis, fakum dan “mati”, karena syarat

pertentangan (dialektika) yang menjadi syarat perkembangan masyarakat telah

terkuburkan oleh masyarakat yang katanya mengagungkan pertentangan

sebagai sin cuanon.

Page 28: BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKAlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtptiain-gdl-s1...BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA Setelah mengkaji biografi,

133