bab iv relevansi pemikiran politik tan...
TRANSCRIPT
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN POLITIK TAN MALAKA
Setelah mengkaji biografi, karya-karya dan pemikiran Tan Malaka,
terutama pemikiran politiknya, terdapat beberapa ide dan gagasan Tan Malaka
yang masih relevan untuk diterapkan pada situasi kekinian. Geo politik global
yang didominasi negara-negara Eropa, mungkin dapat dilihat dari perspektif
berfikir Tan Malaka, khususnya situasi politik Indonesia yang masih dalam
keadaan transisi mencari bentuk ideal mengatur jalannya pemerintahan demi
tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
A. REVOLUSI DAN KEMERDEKAAN
“Semua proses produksi juga menjadi proses destruksi.”1 Diktum
bernada sarkastis ini ditujukan pada kekejaman kerja sistem kapitalisme. sejak
terjadinya perang dunia I kira-kira tahun 1914-1918 dan perang dunia II yang
berlangsung pada tahun 1935-1945 menyisakan sesuatu yang perlu
dimengerti. Apa yang menjadi sebab terjadinya perang dunia? Sebuah
pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, membutuhkan waktu tidak
sedikit untuk mengelaborasi dari berbagai disiplin untuk memecahkan
pertanyaan ini. Dan sebagai konsekuensi logis dari multi perspektif tersebut
adalah juga multi interpretatif. Maka fokus tulisan ini tidak akan melihat
bagaimana perang dunia dapat terjadi, faktor-faktor serta implikasinya, tapi
lebih pada sebuah asumsi mengenai fakta sejarah.
Dengan menelaah dua ideologi raksasa dunia, liberalisme, yang
melegitimasi kapitalisme, dengan sosialisme (Komunisme) yang mengimpikan
terciptanya “surga” di dunia, yaitu masyarakat tanpa kelas dengan semua
faktor ekonomi diatur dan dimiliki bersama (anti kapitalisme). Dua kekuatan
raksasa itu direpresentasikan oleh dua negara berselisih, Amerika Serikat dan
1 Andre Gorz, Anarki Kapitalisme, terj. Hendry Heyneardhi. dkk, Resist Book,
Yogyakarta, 2005, hlm. 34
106
107
Uni Soviet,2 dan sejarah mencatat kapitalisme liberal pragmatis abad ke-20
telah memenangkan “peperangan” ideologi ini. Terbukti dengan runtuhnya
kekuatan politik Rusia hingga jatuhnya rezim Khemer Merah, Kamboja tahun
1979. Eropa Timur di bawah rezim Stalin mengalami kekacauan politis,
kekuatan massa yang selama ini menjadi sendi pokok kekuasaan Uni Soviet
berbalik arah menentang rezim Stalin yang otoriter. Indikator lain yang
menyatakan kemenangan kapitalisme adalah sejak dicetuskannya deklarasi
mengenai hak-hak asasi manusia pada tahun 1948, hampir seluruh negara-
negara dunia bersepakat tentang perlindungan hak-hak mendasar manusia ini.3
Dengan kata lain disepakatinya deklarasi kebebasan hak asasi manusia oleh
sebagian besar negara-negara demokrasi berimplikasi sangat luas. Francis
fukuyama dalam beberapa artikelnya, The end of History, melihat sinyalemen
sejarah dunia telah berakhir dengan runtuhnya sosialisme dan menjamurnya
kapitalisme di setiap belahan negara dunia. Euphoria kebebasan politik dan
ekonomi di negara-negara Eropa Timur adalah sebuah bukti nyata mengenai
tesis ini.4
Meskipun tesis Fukuyama tentang “akhir sejarah” mendapati beberapa
keberatan tetapi setidaknya Fukuyama telah menawarkan sebuah wacana baru
yang layak untuk dipertimbangkan. Amerika Serikat sebagai icon negara
kapitalisme-demokrasi-liberal semakin memperluas wilayah “jajahannya”.
2 Pilihan terhadap dua negara ini sebagai representasi dua ideologi yang saling berselisih tentunya tidak sepenuhnya tepat, karena bentuk dan corak tiap-tiap negara memiliki kekhasan masing-masing, akan tetapi untuk mempermudah uraian yang akan dibahas selanjutnya sengaja disederhanakan dengan memilih dua negara tersebut. Dan sudah menjadi maklum bagi para ilmuan sosial – politik memposisikan kedua negara tersebut ke dalam dua kutub ekstrem yang saling bertentangan selama berdirinya negara Rusia (uni Soviet) tahun 1917.
3 Pada saat berlangsungnya penandatanganan kesepakatan tentang Universal Declaration of Human Rights oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1948 ada 5 negara yang tidak ikut menghadiri perayaan tersebut salah satunya adalah Rusia. Lihat BAB II
4 Francis Fukuyama melihat runtuhnya negara-negara berbasis sosialisme dan digantikan dengan kapitalisme liberal menyimpulkan bahwa “akhir sejarah” telah tiba. Dalam sistem kapitalisme liberal (demokrasi)-lah manusia menemukan bentuk dasar “kediriannya”. Ada beberapa keberatan yang dapat diajukan berkaitan dengan tesis endist ini. Pertama, Fukuyama sedikit terjebak pada analisis dunia internasional dia melupakan sistem kapitalisme-demokrasi-liberal memiliki “kekacauan” dalam dirinya sendiri. Kedua, pada negara – negara dunia ketiga sistem perekonomian tidak selalu terperangkap pada kapitalisme internasional, bahkan sebaliknya, gerakan-gerakan militan anti kapitalisme bermunculan sebagai reaksi keras kekejaman kapitalisme. Lihat Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi Politik…op.cit., hlm. 386-387
108
Dengan mengusung jargon-jargon “keadilan”, “kebebasan” dan
“pertumbuhan” misalnya, negara “polisi dunia” ini berusaha memasuki
wilayah teritorial negara lain. Wilayah yang dimasuki tidak sebatas intervensi
politis tetapi lebih jauh pada budaya, sosial dan ekonomi. Filosofi apa yang
mendasari liberalisme? Tidak lain adalah kebebasan, kebebasan dalam segala
hal termasuk kebebasan melakukan sesuatu yang mencegah kebebasan itu
sendiri. Sebuah ironi, di negara Amerika misalnya, yang menggaungkan
kebebasan, pertumbuhan, kemakmuaran, dan sebagainya telah menciptakan
ketimpangan sosial-ekonomi sangat mencolok pada masyarakatnya. 20%
anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, 3,5 orang tuna wisma, sepertiga dari
keluarga yang berpendapatan rendah hidup kelaparan, 37 juta orang hidup
tanpa asuransi kesehatan, 23.000 orang terbunuh, dan 50.000 wanita
diperkosa.5
Fakta ketimpangan sosial-ekonomi ini menunjukkan betapa sistem
kapitalisme telah terjebak dalam ambiguitas yang dibuatnya sendiri. Maka
sangat wajar ketika Salmi menyatakan: “kita harus membongkar sisi lain
dibalik kemakmuran, wajah gelap kapitalisme; inilah dakwaan moral terhadap
kelemahan yang amat mencolok dari pertumbuhan ekonomi.”6 Meskipun
fokus penelitian Salmi lebih pada tindak kekerasan akibat sistem yang
diterapkan suatu negara, baik itu sistem politik atau ekonomi, dengan memberi
ketegasan: “ kita disini tidak menyatakan bahwa yang disebut negara-negara
kapitalis adalah negara yang di dalamnya tindak kekerasan tumbuh dengan
subur.”7 Menurutnya lagi, tindak kekerasan itu dapat terjadi di negara-negara
teokrasi ataupun sosialis. Tetapi karena kekerasan memiliki fungsi yang
berbeda di setiap masyarakat yang berbeda pula, maka Salmi lebih
menekankan penelitiannya pada masyarakat kapitalisme dengan wajah
gandanya.
5 Data - data yang dapat diajukan mengenai ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat
Amerika Serikat sebagai negara terbesar dan terkaya di bidang ekonomi Lihat Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, terj. Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. hlm. 4. Data ini mungkin diperoleh Salmi dari laporan tahunan Amerika Serikat pada tahun 1993.
6 Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm. 4 7 Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm. 5
109
Formulasi kekerasan yang dibuat Salmi berdasar atas prinsip bahwa
setiap hak azasi manusia untuk mencukupi kebutuhan dasarnya harus
dilindungi secara resmi. Dengan demikian kekerasan mencakup kekerasan
aksidental dan kekerasan struktural yang inheren dalam kehidupan. Dengan
mempertimbangkan berbagai aspek inilah akhirnya Salmi sampai pada
kesimpulan bahwa ada empat macam jenis kekerasan yang secara eksplisit dia
katakan berlaku di negara-negara kapitalis. Pertama, kekerasan langsung
(direct violence), kedua, kekerasan tak langsung (indirect violence), ketiga,
kekerasan represif (repressive violence), keempat, kekerasan alienatif
(alienating violence).8
Dengan berlakunya berbagai kekerasan dalam masyarakat kapitalis
seperti yang diungkap Salmi ini maka sudah saatnya kita melakukan refleksi
kembali atas fakta matinya kebebasan dan hak asasi manusia yang selama ini
menjadi akibat dasar logika kapitalisme. Apa yang sesungguhnya kita
harapkan kini demi tercapainya kebebasan penuh dan keadilan secara merata
di bawah hegemoni kapitalisme? Revolusi atau reformasi? Sebuah pertanyaan
mendasar yang pernah ditawarkan Andre Gorz, “apa yang sesungguhnya kita
kejar?”, sebuah bentuk kapitalisme yang adaptif atau revolusi sosial, ekonomi
dan kultural yang menghapuskan batas-batas kapitalisme?9
Berbagai keberatan telah dimajukan atas dampak kemenangan
kapitalisme global ini, diantaranya yang paling fundamental adalah gerakan-
gerakan Islam militan dan gerakan-gerakan hijau (ekologisme). Titik awal
asumsi kekerasan sistem kapitalisme ditempatkan pada bidang ekonomi,
meskipun tidak semua pengamat geo-politik-ekonomi global memulainya dari
8 (1). Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis
seseorang secara langsung. (2). Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggungjawab atas tindakan kekerasan tersebut. Pada jenis ini ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni kekerasan karena kelalaian (violence by omission) dan kekerasan perantara (mediated violence). (3). Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. (4). Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya dan intelektual. Lihat Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Ibid, hlm.31-38
9 Andre Gorz, Anarki Kapitalisme…op.cit., hlm. 2
110
satu titik itu. Anthony Giddens misalnya, menganjurkan melihat fenomena
globalisasi, sebagai “anak kandung” kapitalisme, tidak melulu pada bidang
ekonomi, tetapi harus dilihat juga sisi lain yang tidak kalah penting yaitu
sosial, politik dan budaya. Ringkasnya, kapitalisme telah melahirkan apa yang
disebut “globalisasi”, dan globalisasi memberikan dampak hancurnya sistem
kekerabatan manusia dan alam raya tempat manusia ini hidup.
Mungkin banyak yang kurang setuju dengan pernyataan diatas, karena
bagaimanapun masyarakat dengan sistem kapitalisme telah banyak
memberikan kontribusi positif pada taraf-taraf tertentu untuk kemakmuran dan
kelangsungan hidup umat manusia. Pro – kontra antara dua kutub yang saling
bertentangan ini dapatlah kita katakan “kiri” untuk mereka yang anti
kapitalisme dan “kanan” bagi mereka yang percaya pada kapitalisme adalah
jalan terbaik bagi masyarakat modern. Pertama-tama kita identifikasi kinerja
kapitalisme baru kemudian kita dapat memahami keberatan-keberatan kaum
kiri yang amat mengutuk kapitalisme hingga sampai pada jenjang pergerakan.
Secara historis kapitalisme mengalami perkembangan dengan segala
karakteristik tertentu, namun secara fundamental nilai-nilai kapitalisme
tidaklah mengalami perubahan. Dalam pengertian abstrak, suatu masyarakat
dapat dikatakan menganut sistem kapitalisme apabila memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
- Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi seperti tanah, pabrik dan bisnis
- Tenaga kerja yang digaji atau sering juga disebut ‘buruh upahan’
- Produksi barang-atau usaha menawarkan jasa –untuk mendapatkan laba
melalui sistem pertukaran pasar.10
Ada kekaburan terhadap makna kapitalisme yang sementara ini terjadi
di sebagian masyarakat kita, kapitalisme selama ini sering dimaknai ekuivalen
dengan pasar. (meskipun tanpa pasar mustahil ada kapitalisme). Padahal jika
merujuk pada salah satu definisi kapitalisme pemaknaan itu jauh dari benar.
10 Pasar dan kapitalisme adalah dua hal yang berbeda. Pasar bukan berarti kapitalisme dan
begitu sebaliknya. Akan tetapi ada beberapa substansi hubungan dalam kapitalisme yang terutama adalah hubungan kapitalisme dengan pasar atau ‘produksi komoditas’. Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, terj. Wahyu, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 3-4
111
Pasar dalam sejarahnya berusia sama dengan manusia. Sedangkan kapitalisme
adalah suatu pasar yang khusus dimana barang yang diperjual belikan adalah
tenaga kerja.11 Kondisi ini menuntut kita untuk melangkah pada definisi kedua
tentang kapitalisme, yaitu dalam kapitalisme tujuan utama produksi adalah
untuk mendapatkan laba atau menghasilkan uang.12 Berbeda dengan pasar
non-kapitalisme, masyarakat kapitalisme mensyaratkan adanya hubungan
sosial yang tegas yaitu “kebebasan” individual. Jadi penjualan tenaga kerja
bersifat bebas, individu dengan leluasa menjual tenaganya kepada individu
lain.
“Salah satu kunci utama untuk memahami kapitalisme adalah kerja
upahan dan juga kompetisi untuk mendapatkan buruh oleh para kapitalis.”13
Pasar adalah salah satu tempat yang aman bekerjanya sistem kapitalis. Dalam
pasar kapitalis tidak ada tujuan lain kecuali akumulasi modal melalui
eksploitasi seluruh alat produksi dan secara bersamaan menghasilkan barang-
barang yang lebih dengan modal seminimal mungkin. Sebagai contoh adalah,
yang juga bersesuaian dengan alasan para ekologisme, ketika para pekerja
produksi “subsisten”14 kehilangan tanahnya kemudian terjadilah evolusi
sejarah ekonomi hingga pada taraf kapitalis maka semua para pekerja
subsisten melakukan urban ke kota tempat segala produksi dipusatkan,
sedangkan seiring laju pertumbuhan teknologi, sesuai dengan logika ekonomi
kapitalis, maka tenaga manusia digantikan dengan mesin, yang berakibat pada
banyaknya pengangguran. Persaingan antara para kapitalis inipun terjadi,
11 Pada masa pra-kapitalisme tenaga kerja memang sering diperjual belikan tetapi dalam
bentuk yang lain, zaman perbudakan misalnya, orang-orang diperjual belikan untuk memenuhi kebutuhan majikan. Namun jika dicermati proses “pasar” tenaga kerja pra-kapitalisme terjadi akibat penindasan, penaklukan atau penghambatan kebebasan individu oleh individu lain (aristokrat / bangsawan). Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 5
12 Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 6 13 Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 14 14 Yang dimaksud dengan produksi subsisten adalah ketika seorang petani bekerja keras
dalam waktu yang lama untuk menjamin seluruh kebutuhan pokok selama jangka waktu cukup lama. Cadangan ini disimpan dengan harapan dapat memenuhi keperluan hidup di kemudian hari. Alasan ini sangat logis, sebagai sebuah antisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi dimasa datang. Tetapi mereka tentu tidak pernah berfikir untuk mendapatkan keuntungan (profit), seluruh hasil produksi hanya untuk dinikmati sendiri. Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 6-7
112
semula berupa kompetisi intensif yang fair, tetapi kemudian dengan alasan
efisiensi dan bahan yang semakin sulit didapat, yang lebih penting adalah
alasan survive, maka terjadi monopoli pasar oleh kapitalis yang memiliki
modal besar. Sementara mereka yang memiliki sedikit modal harus
“menggulung tikar” karena tidak mampu bersaing, merekapun dengan alasan
survive menjual tenaga pada kapitalis yang masih eksis.
Sisi lain implikasi sistem kapitalisme adalah sumber daya alam sebagai
komoditi dikeruk terus menerus untuk menghasilkan laba. Ini yang menjadi
fokus gerakan hijau dalam menentang sistem kapitalisme. Makna hambatan
ekologis dipahami dalam terminologi-terminologi ekonomi. Seluruh
perusahaan berskala besar melakukan eksploitasi sumber daya alam disamping
sebagai bahan produksi juga sebagai bahan pembuat alat-alat produksi. Bahan-
bahan alamiah itu seperti milik pribadi yang tidak perlu digantikan dan
penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pribadi.
Marx, filosof terbesar yang berada pada garis depan mewartakan
peperangan terhadap sistem kapitalisme, analisisnya mengenai cara kerja
sistem kapitalisme dia pinjam dari ekonom “borjuis” (kelas yang sangat dia
benci) seperti David Ricardo, Adam Smith dan Jean Baptise Say.15 Marx juga
sangat menaruh perhatian terhadap teori evolusi Darwin, The survive of the
fittest, yang sejalan dengan keadaan masyarakat kapitalis.16 Persaingan antara
satu individu, institusi, kelompok / golongan dengan yang lain memaksa
adanya yang menang dan yang kalah. Dalam teori seleksi alam ini manusia
tidak dapat hidup bersama, yang mampu bertahan hidup adalah yang mampu
menguasai kekuatan-kekuatan syarat hidup itu sendiri (dalam hal ini
penguasaan sumber-sumber ekonomi). Karena pembagian kelas (pada
15 Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 3 16 Dalam masyarakat kapitalis berlaku juga “yang kuat memakan yang lemah”, Marx
melihat hal ini bersesuaian dengan teori evolusi Darwin, “seleksi alam atau survive of the fittest”. Seperti kata Darwin: “kita bisa merasa yakin bahwa setiap variasi yang kurang beruntung, biar sedikit, akan hancur. Pelestarian perbedaan individu yang menguntungkan beserta variasinya, serta kehancuran yang menimpa mereka yang kurang beruntung, bisa saya sebut disini sebagai seleksi alam atau survive of the fittest ( kelangsungan hidup bagi yang sesuai).” Lihat Charles Darwin, The Origin of Spesies, terj. F. Susilohardo dan Basuki Hernowo, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, hlm. 84
113
masyarakat kapitalis) dalam paham Marx hanya terbagi dua yaitu kelas
pekerja (proletar) dan pemilik modal (borjuis) maka menurut Marx yang
selamanya akan dan tetap bertahan hidup adalah kaum borjuis. Memahami
kerja sistem kapitalisme yang kejam dan tak berprikemanusiaan inilah
akhirnya Marx sampai pada kesimpulan telah banyak filosof yang memahami
dunia permasalahannya kini adalah bagaimana merubahnya?.
Diskusi singkat diatas hanya bermaksud sedikit menyinggung
bagaimana kerja sistem kapitalis dalam suatu masyarakat. Di era globalisasi,
transnasionalisasi, atau apapun namanya, yang lahir sebagai akibat langsung
sistem kapitalisme, menyiratkan betapa besar kekuatan kapitalisme telah
memasuki batas wilayah regional negara / bangsa yang berada diluarnya.
Kapitalisme disisi lain mengandung paham monisme, perbedaan dalam logika
kapitalis adalah irasional. Maka konsekwensinya kelangsungan hidup jutaan
bahkan milyaran manusia terancam “punah”. Sebagai antitesa diajukanlah
teori Marxist, meskipun gerakan-gerakan anti kapitalis lain cukup signifikan
untuk dibicarakan, tetapi nampaknya teori Marxist- lah yang lebih dominan
dan relevan dalam diskusi ini.
Marxist beranggapan tidak ada jalan lain untuk keluar dari belenggu
kekejaman kaum borjuis selain revolusi proletar, dan puncak dari gerakan
revolusi total ini adalah terciptanya masyarakat komunis (masyarakat tanpa
kelas). Bukan masalah gagasan ini sebuah utopia atau fakta objektif, yang
lebih memberi makna adalah semangat perjuangan “kemerdekaan” umat
manusia. Dan disini berarti kita telah sampai pada titik awal pembahasan
mengenai tokoh revolusi yang juga seorang Marxist, Tan Malaka.
“Dengan murba, dalam murba, untuk murba, menuju ke Republik Indonesia yang sosialis, terus ke Proletaris ASLIA Republik, akhirnya ke penggabungan beberapa negara yang (hampir) sama besar dan sama rata di dunia. Menolak semua percobaan mendirikan republik Indonesia yang kapitalis dan membatalkan semua daya upaya dari luar, menjajah Indonesia dengan cara dan memakai bentuk dan corak jajahan apapun.”17
17 Tan Malaka, PARI (Partai Republik Indonesia) Manifesto Jakarta…op.cit., hlm. 47
114
Kerja sistem kapitalisme-lah yang menyebabkan negara-negara terjajah,
tertindas, dieksploitasi sumber daya alam dan manusianya. Di Indonesia
misalnya, negara Belanda selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun
menjajah dengan dukungan Inggris dan Amerika juga dengan alasan kapital.
Bersamaan dengan eksploitasi sumber daya alam itu dengan akumulasi modal
sebagai motivasi, wilayah jajahan meluas pada manusia, bentuknya berupa
keyakinan, budaya, pendidikan, dll. Selama tiga setengah abad menjajah,
Belanda tentu telah memberikan karakter sendiri terhadap jiwa masyarakat
Indonesia dan itu tentunya telah berurat berakar hingga sulit untuk dilepaskan.
Dalam kondisi masyarakat seperti inilah, menurut Tan Malaka reformasi
bukan jalan terbaik. Seperti juga katanya adalah mustahil mencapai
kesejahteraan bangsa apabila kekuasaan politik belum dicapai. Kemerdekaan
politik adalah start menuju kemerdekaan segala bidang. “Dan Indonesia akan
mendapatkan kekuasaan politik tidak dengan jalan lain, melainkan dengan
aksi politik yang revolusioner, lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.”18
“Kemerdekaan”, sebuah filosofi politik yang tak dapat ditawar-tawar.
Mungkin tak ada seorangpun di planet ini yang menolaknya. Dengan
kemerdekaan setiap individu, lembaga, instansi, bangsa dan negara bebas
melakukan apa yang diingini (self determination). Pada tahun 1948 ketika
universal declaration of human right secara aklamasi diterima oleh seluruh
negara-negara yang tergabung dalam PBB, jika cermati landasan filosofi-nya
tidak lain adalah suatu kesepakatan bersama membentuk konstitusi
internasional atas “kemerdekaan” azasi manusia. Seperti yang telah
disinggung pada bab sebelumnya, hanya lima negara yang tidak menghadiri
pengesahan deklarasi tersebut, salah satunya Rusia (uni soviet). Penolakan
negara Rusia (Uni Soviet) terhadap deklarasi hak azasi manusia itu bukan
ketidaksetujuan atas kemerdekaan manusia, tetapi justru atas nama
“kemerdekaan” pula-lah mereka enggan ikut mengesahkan deklarasi tersebut.
Mungkin kita akan bertanya bagaimana mungkin bisa terjadi, sesuatu
perjuangan yang didasari atas tujuan yang sama (kemerdekaan) secara
18 Tan Malaka, Aksi Massa…op.cit., hlm. xiv
115
bersamaan pula dapat bertentangan. Bukankah ini melanggar hukum logika?19
Persoalannya bukan pada titik tolak, atau landasan filosofis mengadakan
deklarasi kemerdekaan hak azasi melainkan lebih pada perspektif-interpretatif
memaknai kemerdekaan itu. Bagi kaum sosialis kemerdekaan bermakna
“persamaan” sedangkan kaum liberal memaknai kemerdekaan sebagai
“kebebasan”. Dengan adanya kebebasan individu, menurut pandangan
sosialisme-komunis, berarti melegalkan sistem kapitalisme bekerja, dan
deklarasi universal tentang hak azasi adalah salah satu bentuk nyata
pengesahan itu. Apalagi deklarasi itu diprakarsai oleh PBB yang didominasi
negara-negara demokrasi liberal. Amerika serikat sebagaimana kita ketahui
adalah salah satu negara yang memiliki hak veto di PBB, sedangkan secara
ideologis Amerika serikat adalah “lawan” politis Rusia (Uni Soviet) sejak
berdirinya tahun 1917.
Tidak jauh berbeda pandangan Tan Malaka terhadap pemaknaan kata
“kemerdekaan” versi kapitalisme dengan pemahaman para penganut
Komunisme lainnya. Tan Malaka sempat mengejek term kemerdekaan ala
Amerika ini dengan mengatakan:
“negara yang terbesar dari dalam segala itu, Amerika. Negara itu juga disebut orang: country of the free, negara merdeka! Kalau 11 juta pekerja dikeluarkan dari pabrik (karena krisis) : merdeka! Kalau berkeliaran di jalan raya dan pasar ---perburuhan maka itu artinya: merdeka! Kalau ada warga negara di “lynch” (disiksa) : merdeka! Memang country of freedom, negara merdeka, dengan 11 juta kaum buruh yang menganggur tetap, mereka mondar mandir ke sana sini menawarkan tenaganya pada mereka yang merdeka pula menentukan apa akan dibeli atau tidak.”20
Fakta bahwa kapitalisme semakin meluas ke segenap penjuru dunia dapat
kita lacak sejak terjadi perang dunia kedua, modal bergerak dari negara-negara
pemenang perang menuju negara-negara jajahan. Seiring berkembangnya
infrastruktur komunikasi dan teknologi komunikasi para kapitalis yang semula
19 Salah satu bentuk hukum logika, disini penulis mengambil contoh yang diberikan Tan
Malaka, adalah A=A dan A ≠ non A (a thing is not its opposite). Lihat Tan Malaka, Madilog…op.cit., hlm. 124
20 Tan Malaka, Situasi Politik Luar dan Dalam Negri (Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946), Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 13
116
menanam investasi sebatas pada wilayah nasional menuju multinasional dan
akhirnya ke kapitalisme transnasional atau kapitalisme “global”.21 Fenomena
ini dipandang dari kacamata anti-kapitalisme, berarti juga meluasnya
kekerasan lokal menuju kekerasan global. Dunia dalam satu komando yang
disutradarai para pemilik modal dan logika yang dipakai tentu logika kapitalis.
Moralitas juga distandarkan pada moralitas kapitalis. Bukanlah perbuatan
buruk jika seseorang melakukan penebangan hutan yang mengakibatkan tanah
longsor, banjir dan punahnya hewan-hewan demi terkumpulnya laba (profit)
sebesar-besarnya. Terlampau menyederhanakan memang, ketika kita melihat
sistem kerja kapitalisme hanya dalam beberapa segi saja, ekonomi misalnya,
tetapi perlawanan yang keras dari oposan sekaliber Marx tentu tidak
serampangan jika analisanya cenderung mengarah ke sana.
Analisa Marx mengenai pertentangan kelas akan lebih masuk akal jika
dipahami dalam logika kapitalis. Tidak sedikit literatur yang dibaca Marx
mengenai cara kerja kapitalisme, dan ini berarti menyerang lewat dalam. Tan
Malaka sendiri begitu kagum dengan analisis Marx tentang pembagian kelas,
pertentangan kelas, hingga akhirnya membuahkan revolusi kaum proletar
(murba). Seperti telah disinggung sebelumnya, kemerdekaan bagi kaum “kiri”
adalah persamaan dalam segala hal. Jika kapitalisme telah menjamur hingga
berurat berakar dalam masyarakat dunia maka adalah tidak masuk akal
mengambil langkah defensif saja. Harus ada sebuah reaksi kongkrit dari aksi
kapitalisme yang brutal, menurut Tan Malaka “bertahan yang sebaik-baiknya
ialah yang dilakukan dengan menyerang.”22 Jadi “revolusi” adalah pertahanan
terbaik melawan kapitalisme demi tercapainya “kemerdekaan”.
B. RELEVANSI IDE-IDE TAN MALAKA TERHADAP INDONESIA
B.1. Politik-Ekonomi
Sejak jatuhnya pemerintahan rezim Orde Baru (ORBA) negara
Indonesia bagaikan kapal yang terombang ambing tak tentu arah. Mulai
21 Lihat Simon Tormey, Anti Kapitalisme, Ibid, hlm. 17 22 Tan Malaka, Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK)…op.cit., hlm. 30-31
117
dari krisis ekonomi hingga krisis “kepribadian” bangsa melanda
Indonesia. Pada saat – saat seperti inilah seluruh rakyat Indonesia mulai
menyadari betapa pentingnya “sadar politik” terhadap bangsa sendiri.
Sebagian cendekiawan muslim mungkin bertanya-tanya dosa apa yang
telah diperbuat negeri ini hingga Tuhan enggan memberikan
pertolongan-Nya untuk keluar dari krisis multi dimensional ini? Para
pakar sosial politik mungkin kembali membuka buku-buku yang berisi
teori –teori rumit tentang politik kenegaraan untuk menyelesaikan
masalah negara? Para sejarawan mungkin akan kembali menoleh ke
belakang untuk memastikan pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian
masa lalu. Tetapi sudah delapan tahun, sejak digulirkannya reformasi
permasalahan – permasalahan bangsa belum dapat terselesaikan?
Reformasi yang dimotori oleh tokoh-tokoh reformis (cendekiawan,
agamawan, mahasiswa, pengusaha, rakyat, dll) telah membuka pintu
baru menuju negara yang demokratis. Tapi apa yang terjadi? Reformasi
disamping memberikan peluang kebebasan pada rakyat juga telah
membuahkan masalah-masalah baru yang menjadi beban hidup seluruh
rakyat Indonesia. Stabilitas politik, sosial, ekonomi dan budaya menjadi
goyah, hampir semua kelompok / golongan berusaha muncul ke
permukaan untuk menunjukkan pihaknyalah yang pantas berada di atas
panggung kekuasaan mengatur negara ini. Isme-isme baru bermunculan
bagaikan jamur tumbuh di musim hujan, entah itu meminjam topeng
agama, budaya ataupun ideologi, mereka mengalami euphoria kebebasan
tanpa batas hingga menjadi liar dan brutal. Kondisi serba labil di semua
pondasi pertahanan bangsa ini jugalah yang menyebabkan Indonesia
kehilangan arah dan pegangan.
Masa-masa sulit yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini jika kita
pahami melalui perspektif sejarah akan dirasakan titik temunya, meski
tidak seluruhnya namun sedikit memberikan gambaran tentang kondisi
riil bangsa yang masih dalam masa – masa transisi. Bukankah sejarah
masa lalu ikut menentukan sejarah masa depan?. Tepat sekali Tan
118
Malaka ketika melakukan oposisi terhadap pemerintahan Sjahrir untuk
menolak perundingan dengan Belanda. Perundingan itu melahirkan dua
kesepakatan bersama (konsensus), Linggarjati dan Renville, dan isi
kesepakatan itu hanya menguntungkan pihak Belanda. Tan Malaka
memahami perundingan antara Belanda dan Indonesia itu hanya sebuah
siasat Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Bagi Tan Malaka
perundingan boleh dilaksanakan apabila kemerdekaan 100% telah
dicapai.
Dengan merdeka 100%, menurut Tan Malaka, berarti negara
benar-benar memiliki kekuatan untuk mengatur bangsa dan negaranya
sendiri.23 Kapital asing tak dapat ikut campur dalam urusan ekonomi
negara Indonesia karena negara Indonesia dengan sendirinya, apabila
diatur dengan baik, akan mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa
bantuan negara lain. Tan Malaka menegaskan : “uang tak perlu! Tapi
yang perlu ialah KEMERDEKAAN 100%. Sekali lagi! Uang sebagai
kapital asing tak perlu, malah membahayakan.”24
Pada tahun 1997, ketika kapital asing menguasai seluruh kawasan
Asia Timur dan Tenggara, terutama Indonesia,25 perekonomian
Indonesia yang selama ini kokoh menjadi goncang. Perusahaan Negara
terpaksa dilepas dan diurus oleh swasta (privatisasi).26 Dapat
dibayangkan hampir seluruh hasil pendapatan negara dari usaha-usaha
negara beralih ke tangan – tangan pemilik modal. Globalisasi yang
23 Tan Malaka, Situasi Politik Luar dan Dalam Negri, Yayasan Massa, Jakarta, 1987,
hlm. 51 24 Tan Malaka, Politik, Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 46. lihat juga edisi terbitan
Majin kiri. Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin kiri, Tangerang, 2005, hlm. 33.
25 Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi, C-Books, Jakarta, 2003, hlm. 1 26 Mengenai data-data kasus rencana privatisasi BUMN dan reaksi protes massa dapat
diajukan sbb: sekitar 300 buruh PT Telkom, Solo, 2 Januari 2002. aksi menentang rencana penjualan PT telkom Divisi Regional (Divre IV) Jawa Tengah kepada Indosat (Indosat sendiri telah menjadi milik swasta). 3000 buruh PT Perkebunan Negara (PN) XII berdemonstrasi di DPRD Jember karena rencana DPRD dan pemerintah daerah menjadikan PT PN XII menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ribuan buruh semen Gersik menggelar aksi mogok akibat rencana pemerintah menjual PT Semen Gersik kepada PT Cemex Mexico. 6000 buruh Bank Central Asia (BCA) melakukan Long March, tanggal 11 Maret menolak rencana privatisasi / divestasi 51 % saham BCA. lihat Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi, Ibid, hlm. 2-3
119
dirancang negara-negara kapitalis besar, seperti Amerika Serikat dan
Inggris melihat kondisi Indonesia dalam krisis ekonomi mengambil
kesempatan menanamkan modal di Indonesia, bentuknya bisa berupa
pinjaman atau investasi. Akhirnya roda perekonomian Indonesia berjalan
dengan modal asing yang ditanam. Sementara pengusaha pribumi kelas
menengah kebawah yang tidak sanggup bersaing menjadi bangkrut dan
gulung tikar. Rakyat miskin semakin bertambah dengan adanya
kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat kecil.
Dengan alasan menutup hutang luar negri harga-harga sembako
dinaikkan. Kait-mengait antara kebijakan politik dan ekonomi inilah
yang menjadi stressing Tan Malaka dalam perjuangannya membela
kemerdekaan Indonesia. Apa yang diramalkannya jauh sebelumnya
terjadi saat ini. Sehingga wajar ketika Mestika Zed mengatakan salah
satu ciri khas berfikir Tan Malaka adalah futuristic.27
Tan Malaka dalam sebuah brosur mengatakan: “bukankah sistem
kapitalisme yang menindas kita selama ini dan yang mendorong kita
berjuang?”28 analisisnya terhadap kekerasan sistem kapitalisme
meskipun dipinjam dari Marx dan agaknya kurang relevan untuk
membedah kerja kapitalisme saat ini tetapi meninggalkan suatu falsafah
tersendiri yang sangat relevan untuk Indonesia yaitu kemerdekaan 100%.
“Rencana ekonomi yang sempurna saya pikir cuma bisa dijalankan
dalam suasana aman sentosa bagi rakyat Indonesia dalam suasana
merdeka 100%.”29
Yang ingin ditekankan oleh Tan Malaka adalah bahwa politik dan
ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dalam
brosur berjudul Thesis Tan Malaka pernah menyinggung mengenai
27 Menurut Mestika Zed ada 4 ciri khas berfikir Tan Malaka, yaitu: (1). Cara berfikir
realistis ilmiah berdasarkan ilmu bukti. (2). Bersifat Indonesia sentries (3). Futuristic (4). Mandiri, konsekuen serta konsisten. Lihat Mestika Zed, Mencari dan Menemukan Kembali…op.cit., hlm. 32
28 Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang, Yayasan Massa, Jakarta, 1987, hlm. 9. lihat juga edisi terbitan Majin kiri. Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Marjin kiri, Tangerang, 2005, hlm. 52
29 Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang, Ibid, hlm. 9 dan Tan Malaka, Merdeka 100%, Tiga Percakapan Ekonomi Politik, Ibid, hlm. 51
120
perekonomian dunia sebagai langkah gerak revolusi. Karena
perekonomian dunia secara langsung mempengaruhi keadaan negara
yang berdasarkan perekonomian pula.30 Indonesia jika hendak keluar
dari krisis multi dimensi hendaknya dalam mengambil kebijakan-
kebijakan politis terlebih dulu melihat dan memahami keadaan
perekonomian dunia. Begitu sebaliknya kebijakan – kebijakan politik
harus mengarah pada kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan
ekonomi negara yang stabil.
B.2. Agama Sebagai Basis Politik
Negara Indonesia dengan jelas menolak bentuk negara sekuler.
Dengan jelas pancasila sila pertama menyatakan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Ini berarti negara juga Republik Indonesia tidak ingin memisahkan
antara urusan agama dan negara. Agama dan negara menjadi satu kesatuan
yang utuh, simbiosis mutualis. Tetapi harus pula di pahami bahwa
Indonesia bukanlah negara agama. Agama – agama diakui keberadaannya
dan diberi kebebasan untuk hidup di Indonesia, meskipun saat ini hanya
enam agama yang diakui, bukan berarti pengaturan negara berdasarkan
hukum – hukum agama.
Pernyataan diatas hanya sekedar penegasan bahwa Indonesia
bukanlah negara agama tetapi negara yang beragama. Maka tidak
berlebihan jika dalam membuat undang-undang negara “nuansa” agama
ikut berperan di dalamnya. Pada tahun 2003 negara-negara kawasan
ASEAN mengawali perdagangan bebas dan rencananya pada tahun 2020
wilayah perdagangan bebas akan diperluas pada kawasan ASIA Pasific.
Pertemuan antara bangsa-bangsa negara dalam hal perdagangan pada titik
tertentu akan sampai pada permasalahan yang menyangkut agama. Sebagai
contoh bagaimana kerja sistem kapitalisme menginjak-injak agama dengan
menjadikannya komoditi, adalah ceramah-ceramah melalui media televisi
dan bahkan telephone seluler. Semula agama hanya dianggap suatu nilai-
30 Lihat Tan Malaka, Thesis…op.cit., hlm. 4
121
nilai sekaligus standarnya, dan pegangan hidup. Tetapi lambat laun seiring
meluasnya ekspansi kapitalisme ke dalam tubuh agama, maka agama
mengalami pergeseran makna oleh pemeluknya. Agama tidak lagi menjadi
panduan hidup tetapi telah menjadi seperti barang yang dapat diproduksi
hingga menghasilkan laba.
Pembelaan terhadap perubahan cara kerja dakwah agama ini
banyak mendapatkan dukungan bagi mereka yang mungkin merasa
diuntungkan. Alih-alih menjawab dan menyesuaikan tantangan zaman
agar agama tidak jumud dan stagnan maka agama harus direformasi.
Implikasi langsung dari memperlakukan agama seperti ini adalah agama
hanya dilihat dari kepuasan “libido”, atau dengan bahasa lain, agama
hanya menjadi pemuas / kompensasi kegalauan jiwa, ini berarti juga
agama hanya dilihat dari fungsinya. Ketika agama berbicara kewajiban
dan hukuman yang tidak sesuai dengan keinginan agama diabaikan tetapi
sebaliknya jika agama menjanjikan suatu yang menguntungkan mereka
akan beramai-ramai mengaku sebagai pemeluk agama. Sebuah ironi yang
sering terjadi dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.
“Beragama semu”, mungkin kalimat ini yang tepat untuk
mengungkap fenomena keberagamaan masyarakat kita saat ini. Agama
tidak lagi diposisikan secara proporsional melainkan hanya sebagai
simbol. Yang lebih memprihatinkan adalah ketika “agama” berperan
sebagai alat disintegrasi sosial karena dipahami sebagai alat bukan
seperangkat nilai-nilai. Di Indonesia, dalam perspektif sejarah agama telah
memberikan kontribusi luar biasa dalam pembentukan negara-bangsa.
Sebagai contoh di Sumatra Barat, agama Islam menjadi nilai utama dalam
adat. Di Jawa sinkretisme agama dan budaya terjadi dalam bentuk budaya
keraton Jawa.31
Melihat sejarah perkembangan masyarakat Indonesia dalam hal
politik keagamaan memang sering menimbulkan banyak polemik.
Hubungan antara agama dan nasionalisme seringkali dipahami dengan
31 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over…op.cit., hlm. 164-165
122
menggunakan parameter oposisi biner, hitam-putih atau salah benar.
Perpecahan dalam Sarekat Islam misalnya, sebagian ulama ada yang
beranggapan mendirikan negara agama adalah jalan terbaik, kelompok lain
beranggapan sebaliknya, keragaman suku-bangsa, budaya dan agama di
Indonesia menjadikan tidak mungkin persatuan tercipta, negara harus
berperan sebagai pasilitator yang mampu mengakomodir seluruh
kebutuhan dan kepentingan rakyatnya. Tan Malaka yang ketika itu ikut
bergabung dalam Sarekat Islam Semarang memberikan pandangan lebih
moderat, agama dan negara baginya tidak dalam pertentangan, satu sama
lain saling membutuhkan dan bahkan harus disatukan. Kekuatan-kekuatan
organisasi keagamaan sangat dibutuhkan dalam perjuangan revolusi, tetapi
negara nantinya harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya memilih
dan menjalani agama dan kepercayaannya itu. Gagasan Soekarno
mengenai Marhaenisme mungkin sebagai perpanjangan tangan dari ide-ide
Tan Malaka.
Dalam pelaksanaannya masih banyak kelompok-kelompok militan
yang tidak setuju dengan filosofis negara semacam yang ditawarkan
Soekarno, karena memang sebagai konsekuensinya agama menjadi
institusi yang tersubordinir.32 Dualisme agama dan negara ini nampaknya
bukan permasalahan sederhana, banyak hal yang membutuhkan kerja keras
yang harus diperhatikan, semisal saja budaya, dalam terminologi Geertz
budaya diartikan “akumulasi totalitas”33 dimana seluruh kehidupan sosial
masyarakat dapat mengacu pada bentuk-bentuk ciptaan masyarakat secara
inhern dalam perkembangannya.
Tan Malaka sepertinya, jika diamati menggunakan pendekatan ini,
dia berusaha menyatukan “pertikaian” antara agama dan negara. Sebagai
contoh sikap seperti ini pernah dia terapkan ketika terjadi perselisihan
32 A. Helmy Faishal Zein, dkk (ed), Agama dan Kekerasan, kerjasama Elsas dan IPNU,
Jakarta, 1999, hlm. 91 33 Budaya sebagai akumulasi totalitas tentunya memiliki keberatan tersendiri, karena
agama direduksi menjadi subordinate budaya. Tetapi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bahwa terkadang budaya dapat juga menjadi perekat persatuan antara pemeluk agama. Keterangan lihat bab III
123
antar anggota Sarekat Islam, meskipun ketika terjadi perpecahan di tubuh
SI Semarang negara belum terbentuk, Tan Malaka memberikan suatu
common ground atau titik temu antara keduanya (dalam konteks waktu itu
adalah kemerdekaan). Sikap serupa pernah dia perlihatkan ketika
menghadiri sidang ke 7 kongres Komintren ke-4 di Moskow, dalam pidato
yang disampaikan dengan bahasa Jerman itu Tan Malaka menunjukkan
semangat agama, khususnya Islam, yang sejalan dengan program-program
sosialis, bukan sebaliknya mencari akar permasalahan untuk dibesar-
besarkan yang berakhir pada peperangan dan perpecahan.
Setidaknya ada tiga titik temu antara sosialisme dan semangat
nilai-nilai dalam Islam yaitu; prinsip persamaan, keadilan ekonomi,
pembelaan kaum lemah/tertindas.34 Tidak sedikit ayat-ayat Qur’an dan
Hadits Nabi yang menjelaskan tentang ketiga prinsip Islam ini. Satu ayat
yang sedikit bernada ekstrem membela kaum lemah (murba) adalah surat
al-Qashas ayat 5 :
في استضعفوا الذين على نمن أن ونريد
الوارثين ونجعلهم أئمة ونجعلهم الأرض Artinya : “Dan Kami hendak menganugerahkan kepada orang-
orang yang tertindas di bumi dan akan kami jadikan mereka pemimpin dan akan kami jadikan mereka sebagai pewaris bumi.”
Tetapi apa yang kini dapat kita pelajari dari kesadaran umum
rakyat mencapai kemerdekaan ketika itu? ialah adanya satu visi dan misi
dibawah satu payung semangat oktober 1928, satu bangsa, bahasa dan
negara. Maraknya isu-isu kekerasan suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa kesadaran masyarakat
Indonesia terhadap nilai-nilai luhur yang dibangun oleh para founding
father Indonesia mulai terkikis. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan
agama mulai bermunculan, tindakan mereka seringkali meresahkan
34 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 62-
74
124
stabilitas nasional (istilah ORBA). Ketika rezim Orde Baru berkuasa juga
memberikan indikasi ke arah perpecahan nasional itu dengan mendirikan
ICMI, karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia maka
dianggap perlu membentuk suatu lembaga agama dibawah pengawasan
langsung pemerintahan. Tujuannya tidak lain adalah demi kelanggengan
kekuasaan. Ini berarti negara menghambat kebebasan beragama, akhirnya
sikap pemerintahan itu memunculkan reaksi dari para pemeluk agama
yang selama ini dikekang.
Agama sebagai sistem kepercayaan individu tentu memiliki
kebebasannya sendiri sedangkan agama sebagai sistem nilai tentu tidak
dapat dipisahkan dengan hubungan sosialnya, yang pertama kita sebut
sebagai private religion dan kedua kita sebut sebagai publik religion.35
Private religion biasanya lebih menekankan pada simbol-simbol dan
bentuk agama, semisal jilbab, salib dan jenggot, sedangkan publik religion
lebih menekankan pada persoalan publik. Kedua terma tersebut semestinya
tidak membuat garis demarkasi diantaranya. Jika pemahaman terhadap
agama dilakukan secara komprehensip maka tidak akan terjadi pembedaan
antara yang privat dan yang publik. Semua ajaran agama yang ada
mengatur antara keduanya, artinya tidak satupun agama yang secara
fundamental bersifat private menolak hubungan publik (sesama manusia).
Permasalahannya adalah ketika penilaian terhadap suatu agama oleh
pemeluknya dipahami dalam satu sisi saja, parsial, maka sering
menimbulkan truth claim yang berakibat segregasi sosial dalam satu
negara.
Pada beberapa negara seperti Iran, India, Syiria, Irak, dan libya,
agama sebagai sistem nilai telah menjadikan pendorong melakukan
perjuangan melawan penjajah, di Iran kita melihat bagaimana semangat
agama telah meluluh lantahkan pasukan imperialis kejurang kehancuran.
Dibawah pimpinan Ayatullah Khomeini, Iran dapat menjadi negara
muslim yang damai dan adil, konsep ahimsa (tanpa kekerasan) Mahatma
35 A. Helmy Faishal Zein, dkk (ed), Agama dan Kekerasan, Ibid, hlm. 92
125
Gandhi di India juga dipengaruhi semangat keagamaan ketika melawan
kekerasan imperialis, satu lagi contoh di Libya, Muammar Qadhafi, tokoh
penggerak revolusi Libya ini dalam bukunya berjudul Al-Kitab Al-Ahdhar
/the green book (buku hijau) berusaha memberikan solusi mengenai
pertentangan dua kutub, sosialisme dan kapitalisme. Istilah the green
sendiri dalam bukunya menunjukkan simbol jalan tengah yang diambilnya
untuk menyelesaikan perselisihan antara sosialisme yang diasosiasikan
dengan the red (merah) dan kapitalisme yang diasosiasikan dengan the
White (putih).36 Muammar Qadhafi menyakini pertentangan dua kubu itu
dapat diselesaikan dengan jalan membentuk sebuah ideologi yang orisinil.
Keorisinilan inipula yang menjadi corak tersendiri dalam pikirannya, dia
menghendaki Libya memiliki ideologi sendiri yang bersesuaian dan
bersumber dari akar tradisi Libya, dan tradisi itu tidak lain adalah Islam.37
Sebuah konsensus bersama untuk tujuan bersama, seperti halnya
Muammar Qadhafi menggagas the Green untuk kemerdekaan negara
Libya yang berbasis pada Islam. Di Indonesia perjuangan seperti yang
dilakukan Muammar Qadhafi nampak jelas pada diri Tan Malaka dengan
persatuan perjuangannya melawan penjajah imperialisme. Konsep
perjuangan membela kaum murba yang diasosiasikan pada rakyat miskin
menunjukkan adanya pertautan antara nilai-nilai keagamaan dalam ide
atau gagasan Tan Malaka. Meskipun Tan Malaka seringkali
menyembunyikan nilai-nilai agama dengan term-term sosilaisme, bukan
berarti Tan Malaka menolak agama, bukankah Islam mengandung nilai-
nilai sosialisme? Pembelaannya terhadap Islam pada sidang Comintren di
Moskow menunjukkan betapa besar perhatian Tan Malaka pada Islam.
Bersamaan dengan itu berarti Tan Malaka juga telah mereinterpretasi
analisis Lenin terhadap ajaran Marx dan Engels. Pembagian kelas dalam
masyarakat kapitalis oleh Marx dibagi dua, borjuis dan proletar, kedua
kelas tersebut pada satu titik temu akan berbenturan, dan ini adalah
36 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama…op,cit., hlm. 6 37 Endang Mintarja, Politik Berbasis Agama, Ibid, hlm. 6
126
kepastian sejarah. Marx melihat struktur kelas itu dibagi atas dua pula,
basic (sub struktur) terdiri dari gabungan tiga faktor yaitu, kondisi
produksi, kekuatan dan hubungan produksi, sedangkan yang kedua supra
struktur (superstruktur) adalah merupakan hasil bangunan substruktur,
artinya keadaan sosial-politik maupun spiritual manusia dipengaruhi oleh
cara produksi suatu masyarakat.
Tan Malaka merombak bangunan dasar (substruktur) Marx dengan
mempertimbangkan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama dengan menjadikan, kadang-kadang, agama, sosial, filsafat, dan
budaya pada posisi substruktur. Seorang Marxist Italia, Antonio Gramsci
(1891-1937) memahami teori Marx-Engels serupa dengan Tan Malaka.
Menurut Gramsci kebanyakan pemikir Marxist maupun non Marxist
seringkali terperangkap pada pemahaman reduksionis dengan menganggap
suatu entitas sebagai suatu yang pasti benar dan bersifat statis. Penilaian
semacam ini oleh Gramsci dikritik dengan mencetuskan teori hegemoni
meskipun secara implisit.38
Gerakan Marxisme ortodok menitik tekankan pada gerakan kaum
buruh revolusioner, sedangkan Gramsci berusaha membuka jalan
pendekatan pluralisme. Gerakan civil society berarti juga membuka
peluang bagi gerakan-gerakan sosial, budaya, agama, gerakan kaum
wanita dan lain-lain untuk ikut andil bergerak dalam perjuangan
revolusioner.
Satu lagi ide-ide Gramsci yang sejalan dengan ide-ide Tan Malaka,
yaitu mengenai pendidikan. Gramsci dan Tan Malaka nampak sejajar
dalam hal ini, gagasan mereka mengenai pendidikan merupakan counter
hegemoni yang dilakukan oleh model-model pendidikan politik
indoktrinasi dan penindasan.39
38 Pengantar oleh Masour Fakih dalam buku Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik
Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. xiv 39 Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Ibid, hlm. xvi. Penulis belum
mendapatkan literatur-literatur yang mengatakan adanya hubungan antara Tan Malaka dan Antonio Gramsci. Keduanya dapat dikatakan hidup dalam masa yang bersamaan. Tetapi mengatakan adanya pengaruh mempengaruhi antara keduanya rasanya sangat berlebihan, Mansour
127
Sistem kapitalisme telah membuat sistem pendidikan sebagai
komoditas. Di Indonesia pendidikan menjadi barang langka, orang-orang
yang berpotensi tetapi tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah
terpaksa menambah angka pengangguran. Potensi diri tidak dapat
dikembangkan karena tidak adanya fasilitas negara untuk mereka. Subsidi
pendidikan yang hanya 20% itu tidak mampu menaikkan angka buta
aksara di Indonesia, karena dalam pelaksanaannya hanya 10,1% dari
APBN, sementara seiring perkembangan teknologi tenaga-tenaga terampil
yang memiliki skill khusus yang dapat digunakan tenaganya. Pergeseran
standar buta aksara pun menjadi bukan yang tidak mampu baca tulis lagi
tetapi menjadi siapa yang tidak dapat mengoperasikan alat-alat canggih
(mesin-mesin elektronik, komputer, dll) dan tidak dapat berbahasa Inggris
(bahasa resmi Amerika dan Inggris).
Tidak mengherankan jika masyarakat Jepang begitu cepat maju
dalam segala hal dalam kondisi alam yang kurang mendukung
pertumbuhan negaranya. Jepang mampu bangkit kembali dari kehancuran
setelah Nagasaki dan Hiroshima diluluh lantakan oleh sekutu karena
mereka sadar akan pentingnya pendidikan, subsidi pendidikan diberikan
begitu besar untuk rakyatnya. Sedangkan di Indonesia keadaannya
berbalik, pendidikan tidak menjadi perhatian pokok negara, maka wajar
ketika yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat berbudaya bicara
(talking culture) bukan budaya baca (reading culture). Bayangkan untuk
membeli satu buah buku saja masyarakat Indonesia harus membayar biaya
mahal, sedangkan pasok buku yang membanjiri pasar semakin melimpah,
ini terkait dengan surplus value-nya Marx, dan juga berarti semakin
banyak pohon-pohon ditebang untuk membuat kertasnya.
Fakih mencatat bahwa buku Gramsci berjudul Quqreni del Carcere (selection from the Prison Notebooks) yang ditulis di penjara tahun 1929 dan tahun 1935 baru diterjemahkan ke dalam bahasa lain sekitar tahun 1957 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara selektif tahun 1970-an. Sedangkan Tan Malaka sendiri tidak diketahui bahwa dia menguasai bahasa Itali, jadi melihat kedua pemikir raksasa Marxist ini menunjukkan persamaan dalam hal-hal tertentu adalah secara kebetulan saja.
128
Dalam keadaan bangsa yang serba “minim” inilah Indonesia
sebagai bangsa dan negara harus melakukan refleksi kembali disertai
tindakan kongkrit untuk melakukan rehabilitas dan revitalisasi semangat
kebersamaan. Kebijakan pemerintah harus memihak pada rakyat bukan
pada sebagian kelompok atau golongan yang berkepentingan. Delapan
tahun sudah reformasi digulirkan belum memperlihatkan perbaikan
dibidang ekonomi ataupun pendidikan. Nampaknya bangsa Indonesia
harus mempertimbangkan kembali nilai-nilai keagamaan dalam hal sosio
politik dan ekonomi. Disini bukan berarti penulis menyetujui
diperbanyaknya bank syariah yang saat ini menjadi trend, karena menurut
subjektifitas penulis bank syariah tidak lebih daripada “modified
capitalism”.
B.3. Berfikir Logis
Ketika Asvi Warman Adam diminta untuk menjadi salah seorang
pembicara pada seminar “Mencari dan Menemukan Kembali Tan Malaka”
yang diadakan di Bukittinggi, Sumatra Barat, dia ditanya oleh panitia
:”apa spirit atau gagasan Tan Malaka yang sesuai dengan perjuangan
generasi muda?”. Jawaban Asvi Warman sangat sederhana dan tidak
berbelit-belit, dia tidak memberikan analisis ekonomi kapitalisme atau
globalisasi yang sekarang “menggurita”, dia juga tidak memberikan
jawaban dari perspektif sejarah sesuai dengan disiplinnya, Asvi Warman
hanya mengatakan: ”paling tidak, semangat untuk berfikir logis sangat
dibutuhkan sekarang agar kita dapat memecahkan krisis berkepanjangan
yang melanda negri ini.” Disamping itu Asvi Warman menambahkan
berunding setelah adanya pengakuan kemerdekaan 100 persen masih
sangat relevan.40
Kutipan diatas tidak berarti mereduksi pemikiran Tan Malaka
masih relevan hanya terbatas pada berfikir logis dan merdeka 100 persen
saja, masih banyak yang dapat dipetik dari gagasan – gagasan Tan Malaka
40 Lihat Asvi Warman Adam, Mencari dan Menemukan Kembali…op.cit., hlm. 47
129
untuk diusung dan diterapkan pada masa sekarang, contoh saja mengenai
pemahaman keagamaan yang ditinjau melalui perspektif science, tentang
batas – batas etika dan seperti telah disinggung diatas mengenai
pendidikan juga sangat relevan untuk dipelajari saat ini.
Berfikir logis bagi Tan Malaka adalah salah satu usaha
membebaskan belenggu masyarakat dari sifat feodalisme yang selama ini
meracuni rakyat Indonesia. Puluhan tahun bahkan ratusan tahun
masyarakat Indonesia berada dibawah kekuasaan feodal. Masyarakat di
tangan para feodalis akan terpengaruh oleh sistem yang berlaku dalam
masyarakat itu, setidaknya secara psikologis, menimbulkan rasa
minder/rendah diri (inferiority complex). Sementara para feodalis semakin
merasa dirinya lebih unggul dan mulia (superior). Mentalitas feodal inilah
yang hendak dibongkar oleh Tan Malaka, karena rasa “lebih” dan ingin
dihormati sangat identik dengan sifat feodal ini maka kualitas-kualitas diri
yang terpendam yang seharusnya dapat di kembangkan menjadi terhambat.
Dalam masyarakat Indonesia kini sifat feodal masih sangat terasa, orang-
orang yang memiliki status sosial tertentu biasanya, meskipun tidak
semua, seringkali merasa enggan bercampur baur dengan orang-orang
yang tidak sederajat dengannya. Dan biasanya mereka anti kritik, merasa
dirinyalah yang paling benar, mungkin juga gengsi “kekuasaan” atau
apapun namanya tapi yang pasti sifat-sifat feodalisme masih terlihat jelas
di negri yang katanya paling sopan ini.
Berfikir logis juga menurut Tan Malaka adalah suatu cara untuk
menggantikan posisi logika ghaib. Berfikir dengan menggunakan Logika
ghaib sama artinya dengan tidak menghargai karunia akal yang diberikan
Tuhan pada manusia. Bukankah Tuhan meminta manusia untuk
memikirkan seluruh ciptaan-Nya? Masyarakat Indonesia dapat saja dengan
mudah memahami suatu fenomena alam misalnya dengan berkata ini
adalah “takdir Tuhan”, atau dengan berkata “para dewa sedang murka”.
Satu titik yang dibidik (snap shoot) Tan Malaka dalam buku Madilog
adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang masih diselimuti logika
130
ghaib. Keberadaan Madilog tidak berarti dengan mudah kita
memposisikan Tan Malaka sebagai anti agama atau berpaham modernisme
yang menentang kultur agraris bangsa Indonesia.41 Penilaian seperti itu
hanya akan mematikan semangat nilai yang dikandung dalam ide-ide Tan
Malaka untuk memerdekakan bangsanya.
Kita sekarang dapat melihat fenomena masyarakat Indonesia yang
masih sering menggunakan logika ghaib dalam kehidupan. Logika ghaib
ini selalu identik dengan zaman kuno, atau masa kegelapan, tetapi
masyarakat Indonesia yang berpura-pura modern tidak mau dikatakan
berfikiran kuno meskipun pelaksanaannya dalam kehidupan sering
menggunakan logika ghaib, contoh yang paling riil dan aktual adalah
fenomena maraknya acara televisi yang menyuguhkan film-film bernuansa
mistis. Implikasinya sangat jelas. mentalitas anak-anak bangsa yang
menjadi tumpuan di hari depan sebagai penerus cerita penyambung sejarah
akan terbentuk menjadi mentalitas mistis yang melihat segala sesuatunya
dengan tinjauan ghaib. Contoh lain adalah kebiasaan orang tua di
Indonesia menakut-nakuti anaknya dengan “perkataan awas ada setan”.
Ungkapan demikian disadari atau tidak sama dengan mendidik mentalitas
anak menjadi anak yang penakut. Yang lebih membahayakan adalah bagi
negara, Tan Malaka sendiri seringkali mengaitkan antara logika mistika
dengan perkembangan industri ekonomi sebagai pondasi suatu negara,
masyarakat yang mengedepankan logika mistika tidak akan sampai pada
tahapan masyarakat industri, dan selamanya akan menjadi fatalis dan
berpangkutangan menunggu keajaiban.
41 Kritikan terhadap Tan Malaka yang memposisikannya ke dalam gabungan pemikir
modernisme ini pernah dilontarkan oleh Ronny Agustinus dalam esai penutup yang diberikannya untuk buku Madilog, tetapi Eko P Darmawan melihat penilaian itu sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berarti juga mereduksi pemikiran Tan Malaka yang luas dan dalam. Menurut Eko, setelah membaca esai penutup itu dia “seperti merosot dari cakrawala sejarah yang luas ke cakrawala kedangkalan gaya khas masa kini; tergesa-gesa menilai sebelum memahami.” Lihat Eko P Darmawan, Agama Itu Bukan Candu (tesis-tesis Feuerbach, Marx dan Tan Malaka), Resist Book, Yogyakarta, 2005, hlm. 129-130
131
C. KELEMAHAN PEMIKIRAN TAN MALAKA
Mungkin sangat tidak beralasan mengkritik pemikiran seorang tokoh
dilihat dari hasil pikirannya dalam kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat
merubah konsep hingga sampai pada paksisnya. Gagasan Marx misalnya,
sebagian pemikir-pemikir abad ini menyatakan bahwa ide-ide Marx telah
berakhir (out of dead), teori-teori yang dihasilkannya berakhir pada utopia
belaka. Sederetan kasus lain dapat diajukan sebagai contoh masalah ini.
Seperti halnya Tan Malaka, adalah serampangan menilai faham-faham Tan
Malaka sudah tidak relevan disaat ini dengan pendekatan pos-modern. Seperti
pula Hasan Nasbi mengatakan, adalah tidak adil apabila melancarkan kritik
pada ketertinggalan pemikiran seseorang ditinjau dari zaman sekarang.42
Kritik terhadap pemikiran Tan Malaka pernah diajukan oleh Franz Magnis
Suseno, masalah yang paling urgen dalam pemikiran Tan Malaka adalah
analisisnya yang selalu meminjam skema Marxisme untuk memahami
fenomena masyarakat. Tan Malaka nampaknya mengikuti Engels yang
membagi dunia filsafat menjadi dua aliran besar, idealisme dan materialisme.
“Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bisa memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Diantara dua kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis.” 43
Reduksi yang dilakukan Tan Malaka terhadap pembagian filsafat menjadi
dua golongan besar nampaknya agak berlebihan, kesalahannya terletak pada
peletakan dua hal yang berbeda dalam satu tempat, dan saling ditentangkan
satu dan lainnya. Idealisme yang seharusnya vis a vis realisme dalam kajian
epistimologi (tentang dasar pengetahuan), disederhanakan menjadi idealisme
melawan materialisme. Materialisme yang seharusnya dimasukkan wilayah
42 Hasan Nasbi, Filosofi…op.cit., hlm. 170 43 Tan Malaka, Pandangan Hidup…op.cit., hlm. 28
132
ontologi (tentang dasar realitas) ini dicampur adukkan ke satu pembahasan
yang membuatnya menjadi tidak jelas.
Keberatan selanjutnya terhadap pemikiran Tan Malaka adalah mengenai
akhir sejarah, mengikuti analisis Marx-Engels dan kaum Marxist lainnya, yang
menyatakan sejarah umat manusia akan berakhir pada satu tahapan yaitu
masyarakat dengan sistem komunis, dimana tidak terdapat pertentangan kelas
di dalamnya. Hipotesa ini didasari atas analisis materialisme historis dan
materialisme dialektis. Ironis memang, pemahaman ini diadopsi begitu saja
oleh Tan Malaka, dalam hal memahami kondisi masyarakat untuk melakukan
revolusi Tan Malaka telah menunjukkan sebagai “murid” yang cerdas dengan
tidak bersikap seperti seorang epigon (plagiat). Sebelum melangkah Tan
Malaka berusaha memahami kondisi masyarakat Indonesia dengan seksama
maka dia berpendapat revolusi Indonesia tidak seperti revolusi Rusia.
Masyarakat Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat industri
seperti halnya Eropa. Pada tahap ini Tan Malaka sangat teliti memahami
kondisi Indonesia dengan analisis Marxist. Tetapi Tan Malaka seperti Marxist
lainnya dengan mengasumsikan masyarakat Komunisme adalah sebuah
keniscayaan, ini berarti juga utopia.
Pertentangan dalam masyarakat menurut materialisme historis dan
materialisme dialektis dibantah sendiri dengan keputusan terciptanya
masyarakat komunis. Ide masyarakat komunis adalah suatu utopia yang juga
berarti menjadikan masyarakat statis, fakum dan “mati”, karena syarat
pertentangan (dialektika) yang menjadi syarat perkembangan masyarakat telah
terkuburkan oleh masyarakat yang katanya mengagungkan pertentangan
sebagai sin cuanon.
133