relevansi informasi anomali akrual

46
Vol. 10 No. 2 Agustus 2009 Relevansi Informasi Anomali Akrual dalam Pembentukan Portofolio Saham Rowland Bismark Fernando Pasaribu

Upload: rowland-pasaribu

Post on 19-Mar-2016

249 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

The accrual information is discussed in light of multifactor factor asset pricing theory. It is argued that the capital market processes information efficiently, and that low accruals firms are risky and therefore earn higher average returns. In other words, the level of accruals proxies for the loading on a fundamental risk factor that drives stock returns. The objective of this study is to prove significance influence of accrual information and to evaluate the performance of stock portfolio constructed by Treynor Index, Jensen-Alpha, and Sharpe Index.

TRANSCRIPT

Vol. 10 No. 2 Agustus 2009

Relevansi Informasi Anomali Akrual dalam Pembentukan Portofolio Saham

Rowland Bismark Fernando Pasaribu

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

1

Relevansi Informasi Anomali Akrual Dalam Pembentukan Portofolio Saham

Rowland Bismark Fernando Pasaribu

Abstract

The accrual information is discussed in light with the multifactor asset pricing theory. It is argued that the capital market processes information efficiently, and that low accruals firms are risky and therefore earn higher average returns. In other words, the level of accruals proxies for the loading on a fundamental risk factor that drives stock returns. The objective of this study is to prove significance influence of accrual information and to evaluate the performance of stock portfolio constructed by Treynor Index, Jensen-Alpha, and Sharpe Index. The final sample are the past and present member of LQ-45 public companies. Following Fama and French (1993), we form a factor-mimicking portfolio that essentially goes long on low accruals firms and short on high accruals firms (Conservative Minus Aggressive, or CMA). Since the portfolio is constructed based upon the return-predicting characteristic itself, it is thereby designed to capture any risk factors that may underly the accrual effect even if the relevant risk factors are not observed directly. The empirical results show that partially, CMA has significant positive (negative) influence on stock portfolio with low (high) level accrual, both for single, two, and three factor models, especially at size-accrual category. Other empiric result addition CMA, indicate increasing explanatory power of model in explaining the variation of expected return of stock portfolio on various asset pricing model. Hereinafter three tools of evaluation measurement result indicate that size, book-to-market ratio yet still not shown optimal performance, even after conducted by extension of all model by adding accrual information factors. Keywords: Accrual Anomaly, Stock Portfolio, Multifactor Asset Pricing Model,

Treynor Index, Jensen-Alpha, and Sharpe Index

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

2

PENDAHULUAN

Anomali pasar modal telah menarik perhatian para peneliti dan partisipan pasar

selama kurang lebih empat dekade. Anomali adalah hasil empiris yang terlihat

inkonsisten dengan apa yang diutarakan oleh teori asset pricing (Schwert, 2001). Investor

tertarik dengan anomali karena mereka sendiri berpotensi menimbulkannya dengan

motivasi utama meningkatkan tingkat pengembalian portofolio. Kalangan akademis

tertarik dengan anomali karena menghadirkan tantangan bagi teori yang ada. Menyikapi

tantangan ini, pengembangan baru pada teori asset pricing dan perilaku pasar sebagai

metodologi riset yang baru pun dilakukan secara terus menerus.

Terdapat beberapa anomali dalam literatur akuntansi. Peristiwa pasca

pengumuman earnings (Ball dan Brown, 1968; Bernard dan Thomas, 1989, 1990)

mengalami pengujian yang cukup banyak dan periode sampel yang berbeda-beda yang

mengarahkan Fama (1998) untuk menyebutnya bahwa peristiwa tersebut lebih kepada

praduga kecurigaan. Lebih lanjut Sloan (1996) mengenalkan apa yang nanti disebut

sebagai anomali akrual. Menurutnya, investor menciptakan kesalahan sistematik dalam

menilai implikasi earnings saat ini terhadap posisinya di masa mendatang. Asumsi

lainnya dalam hipotesis anomali akrual adalah investor yang berposisi over-reaction atas

informasi dalam earnings dan terjadinya pembalikan tingkat pengembalian saham.

Interpretasi atas bukti dalam literatur anomali akrual telah berkembang pesat dan

memunculkan multi tafsir atasnya. Beberapa peneliti menerima pandangan bahwa

profitabilitas strategi akrual adalah manifestasi kesalahan sistematik atas penetapan harga

yang dihasilkan dari pembobotan yang berlebihan pada informasi earnings dan cenderung

menganggap remeh pada informasi arus kas. Sementara pihak yang lain bersikap ragu-

ragu untuk mengadopsi interpretasi ini dan melakukan sejumlah pengujian tambahan.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

3

Dari penelitian terdahulu yang mengeksplorasi topik anomali akrual, sebahagian

besar menyatakan bahwa perusahaan dengan akrual operasional yang tinggi

menghasilkan rata-rata tingkat pengembalian yang lebih rendah dibanding perusahaan

akrual operasional yang rendah di Amerika Serikat (Sloan, 1996) dan beberapa negara

lainnya (Pincus, Rajgopal, dan Venkatachalam, 2005). Penjelasan konvensional untuk

pengaruh tersebut adalah semakin tinggi rata-rata tingkat pengembalian untuk perusahaan

dengan akrual rendah adalah bentuk kompensasi terhadap risiko sistematik. Dalam model

penetapan harga multifaktor (Merton, 1973; Ross, 1976) ekspektasi tingkat pengembalian

saham mengalami peningkatan berdasarkan faktor loading (beta) multi-faktor (tidak

hanya faktor pasar, sebagaimana CAPM). Untuk menjelaskan anomali akrual dalam

model tersebut memerlukan level akrual perusahaan yang diasosiasikan dengan kovarian

tingkat pengembalian-nya dengan satu atau lebih faktor risiko aggregat. Khususnya

perusahaan dengan akrual rendah akan memerlukan tingkat loading yang tinggi dalam

penetapan harga faktor sistematik sebagai justifikasi tingkat pengembalian saham mereka

yang tinggi (Hirshleifer et al. 2005).

Penjelasan alternatif untuk anomali akrual adalah asumsi bahwa pasar saham

tidak efisien dan karenanya investor yang naif gagal untuk membedakan antara daya

prediksi yang berbeda pada komponen akrual dan arus kas earning pendapatan

perusahaan mendatang. Konsekuensinya, para investor terlalu optimis pada perusahaan

dengan tingkat akrual yang tinggi dan terlalu pesimis terhadap perusahaan dengan tingkat

akrual yang rendah yang berimplikasi pada meningkatnya harga secara irasional pada

saham perusahaan dengan akrual tinggi dan sebaliknya penurunan harga saham yang juga

irasional untuk saham perusahaan dengan akrual rendah. Karenanya, perusahaan dengan

akrual yang tinggi menghasilkan tingkat pengembalian abnormal yang rendah, sebaliknya

perusahaan dengan akrual rendah menghasilkan tingkat pengembalian abnormal yang

tinggi (Hirshleifer et al. 2006).

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

4

Terjadinya anomali akrual, menimbulkan dua pertanyaan penting: 1) apakah

terdapat variasi yang umum dalam tingkat pengembalian saham terkait dengan akrual

perusahaan? Dengan kata lain, apakah harga saham bergerak bersama-sama (co-

movement) dengan level akrual (baik pada emiten dengan level akrual tinggi atau rendah)

perusahaan sehingga perlu diasosiasikan dengan risiko sistematik? Dalam kondisi pasar

yang frictionless, co-movement pada keduanya adalah kondisi yang dibutuhkan untuk

anomali akrual yang berasal dari risiko. Hirshleifer et al. (2006) menyatakan bahwa

imitasi faktor akrual portofolio mampu menangkap subtansial dari variasi umum dalam

tingkat pengembalian bahkan setelah mengikutsertakan faktor pasar dan size dan rasio

B/M; 2) Apakah anomali akrual merefleksikan premi risiko rasional yang diasosiasikan

dengan faktor akrual, atau apa hal tersebut lebih karena eksistensi pasar yang memang

tidak efisien? Kedua pertanyaan ini masih merupakan topik yang cukup aktif untuk

diperdebatkan.

Literatur sebelumnya mengenai anomali akrual menyimpulkan bahwa hasil

temuan yang ada konsisten dengan penjelasan teori perilaku keuangan (Sloan, 1996;

Teoh, Welch dan Wong, 1998a, b; Collins dan Hribar, 2000; Xie, 2001; Thomas dan

Zhang, 2002; Mushruwala et al. 2004; dan Hirshleifer et al. 2004). Tapi kesimpulan ini

juga tidak bebas dari pertentangan. Zach (2004) mengembangkan implikasi baru akan

penjelasan prediksi pendukung teori perilaku keuangan mengenai anomali akrual, dan

memberikan bukti inkonsistensi dengan implikasi baru yang ditemukannya tersebut.

Zhang (2005) menyatakan bahwa perbedaan lintas industri, perusahaan, dan persistensi

akrual tidak berhubungan dengan kekuatan anomali akrual itu sendiri. Hasil temuan

lainnya adalah akrual memiliki ko-varian yang kuat terhadap atribut pertumbuhan

perusahaan yang berpotensi dan konsisten, baik itu terhadap penjelasan teori perilaku

keuangan atau premi rasional risiko. Lebih lanjut, Kraft et al. (2005) menyatakan bahwa

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

5

pada saat tingkat pengembalian yang ekstrem dihilangkan, maka hubungan antara akrual

dan tingkat pengembalian mendatang berpola dinamis (non-monotonic).

Beberapa temuan empiris lainnya secara eksplisit menyatakan bawa anomali

akrual merepresentasikan sebagian atau keseluruhan dari premi rasional risiko, baik itu

risiko distress (Ng, 2004) atau untuk risiko yang dikaitkan dengan faktor informasi arus

kas aggregat dan discount rate (Vuolteenaho, 2000). Hasil penelitian Khan (2005)

menyimpulkan bahwa anomali akrual dapat ditangkap oleh model asset pricing empat

faktor dan berhubungan dengan pengaruh distress-relatif yang dimaksud dalam Chan dan

Chen (1991).

Di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian mengenai keterkaitan informasi

akrual terhadap nilai rata-rata tingkat pengembalian portofolio saham atau dengan kata

lain implementasi strategi akrual dalam konteks pembentukkan portofolio saham. Salah

satu penelitian yang terdekat dengan penelitian ini adalah Selowidodo (2007) yang

mengkaitkan harga akrual diskresioner terhadap harga saham emiten. Dikarenakan

perbedaan yang substansial antara kinerja portofolio saham dan kinerja saham maka

penelitian ini lebih mengacu pada replikasi terbatas penelitian Hirshleifer et.al, (2006)

dalam penggunaan informasi akrual sebagai salah satu prediktor tingkat pengembalian

portofolio saham.

Berdasarkan uraian singkat diatas, yang dipertanyakan adalah: apakah informasi

akrual memiliki kemampuan menjelaskan yang signifikan terhadap tingkat pengembalian

portofolio saham; bagaimana kinerja portofolio saham yang terbentuk baik yang berbasis

akrual dan non-akrual. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: membuktikan pengaruh

informasi akrual terhadap tingkat pengembalian portfolio saham serta mengevaluasi

kinerja portofolio yang terbentuk dengan alat ukut indeks Treynor, Alpha-Jensen, dan

indeks Sharpe.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

6

KAJIAN LITERATUR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Anomali Akrual

Penjelasan teori perilaku keuangan mengenai anomali akrual adalah akrual

operasional yang tinggi yang dijelaskan sebagai deviasi standar antara kalkulasi

earning dan arus kas, menimbulkan optimisme yang berlebihan mengenai earnings

mendatang bagi para investor yang naif karena mereka gagal untuk memberikan

perhatian secara terpisah pada komponen arus kas dan akrual dari earnings. Dari

asumsi ini, Sloan (1996) menyarankan kalau level akrual adalah prediktor yang lebih

baik bagi earnings mendatang dibanding level arus kas, maka investor akan menjadi

terlalu optimis pada saat nilai akrual tinggi. Optimisme yang berlebihan ini akan

menyebabkan perusahaan menjadi overvalued dan selanjutnya menghasilkan tingkat

pengembalian saham yang abnormal. Begitu juga sebaliknya, akrual yang rendah akan

mempengaruhi pesismisme yang eksesif hingga akhirnya cenderung diikuti dengan

tingkat pengembalian yang tinggi.

Apakah tingkat akrual yang tinggi akan menyebabkan investor menjadi terlalu

optimistik bagi pasar modal secara keseluruhan? Menjawab hal ini, beberapa

komentator menyatakan bahwa selama beberapa periode, seperti booming pasar

modal pada akhir 90-an banyak para manajer investasi yang menerapkan earnings

management secara agresif, dan dipermudah oleh kalangan auditor dan regulator

memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan earnings-nya secara relatif terhadap

arus kas yang ada. Di satu sisi, sangat mungkin bahwa earnings management yang

dilakukan bertujuan mencapai tujuan manajerial seperti deviasi smoothing tertentu

perusahaan mengenai kinerja earning. Selain itu fluktuasi ekonomi makro dalam

lingkungan bisnis juga mempengaruhi hasil operasional perusahaan. Dalam konteks

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

7

yang analog, Hirshleifer et.al, (2005) menyebutnya sebagai variasi agregat dalam

akrual, sebagai contoh adalah: siklus bisnis yang meningkatkan aggregate-demand

akan meningkatkan pembelian dari perusahaan yang termanifestasi pada bagian

kenaikan dalam receiveable. Selanjutnya pada saat kepercayaan konsumer tinggi atau

pada saat kondisi ekonomi makro memungkinkan kredit mudah diberikan, para

konsumer akan membeli lebih banyak secara kredit, dimana hal ini akan

meningkatkan receiveable secara aggregat. Penjelasan alternatif, kalau perusahaan

mengharapkan peningkatan pada aggregat demand mendatang, mereka dapat

mengakumulasi persediaan sebagai langkah antisipasi, yang dihitung sebagai akrual

positif. Dari uraian contoh diatas terdapat pertanyaan terbuka perihal apakah variasi

agregat yang dihasilkan dalam akrual akan mengarahkan investor melakukan valuasi

yang keliru terhadap pasar modal secara keseluruhan.

Sloan (1996) menunjukkan bahwa portfolio saham dari emiten dengan akrual

yang tinggi (rendah) akan menghasilkan abnormal return yang negatif (positif) pada

formasi portofolio tahun berikutnya. Dari beberapa hasil penelitiannya, Sloan

menyimpulkan kondisi ini sebagai ketidakmampuan pasar untuk menampung

informasi akrual terhadap harga saham. Secara khusus, pasar mengindikasikan

persistensi yang lebih tinggi pada komponen akrual dari earnings dan hasilnya adalah

harga saham perusahaan adalah (undervalued) overvalued kalau earnings memiliki

komponen akrual yang tinggi (rendah). Beberapa penelitian lanjutan mengikuti

sistematika Sloan (1996) dalam menginvestigasi hasil yang masih abstrak tersebut.

Penelitian tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa grup; i) studi yang

menginvestigasi komponen akrual; ii) studi yang mengeksplorasi perilaku pihak

ketiga seperti analist, auditor, dan kalangan insider; iii) studi yang mencari variasi

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

8

cross-sectional dalam strategi tingkat pengembalian akrual, dan; iv) studi yang

menilai tingkatan dimana anomali akrual berhubungan terhadap anomali lainnya.

Pada grup pertama, para peneliti melakukan pemisahan akrual kedalam beberapa

komponen (perubahan dalam persediaan, account receiveable, dan accounts payable)

dan mengobservasi bagian mana yang memiliki tingkatan asosiasi yang tinggi dengan

strategi tingkat pengembalian abnormal. Hribar (2000) serta Thomas dan Zhang

(2002) melakukan pendekatan ini dalam penelitiannya. Hasil penelitian keduanya

menunjukkan bahwa kajian Sloan (1996) berhubungan pada akrual yang dihasilkan

oleh peningkatan atau penurunan yang drastis dalam pos persediaan. Thomas dan

Zhang (2002) selanjutnya menyatakan bahkan perubahan dalam persediaan bahan

mentah pun juga memiliki asosiasi yang tinggi terhadap tingkat pengembalian

abnormal. Hribar (2000) tidak menemukan adanya bukti penetapan harga yang keliru

dalam akrual yang lebih tansparan seperti item-item tertentu. Kedua penelitian

tersebut juga menyatakan bahwa adanya tingkat pengembalian abnormal adalah

konsekuensi ketidakmampuan pasar dalam mendeteksi melalui earnings management.

Hribar (2000) menjelaskan perubahan dalam pos perubahan modal kerja secara lebih

detail. Sebagai contoh, Hribar memisahkan pos persediaan dan receiveable ke dalam

komponen dikresioner dan non-diskresioner berdasarkan porsi hubungan keduanya

dengan pertumbuhan penjualan. Ia menemukan bukti bahwa komponen diskresioner

lebih berasosiasi dengan mispricing. Lebih lanjut mengenai penjelasan earnings

management, Xie (2001) menyusun portofolio saham berdasarkan abnormal akrual

dan normal akrual yang dihitung dengan menggunakan model Jones. Ia menunjukkan

bahwa tingkat pengembalian abnormal hanya dihasilkan pada portofolio yang

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

9

akrualnya juga abnormal yaitu bagian akrual yang merupakan atribut dari perhitungan

diskresi manajer.

Richardson et al. (2001) memisahkan akrual kedalam kategori yang lebih luas,

mereka menjelaskan strategi tingkat pengembalian berdasarkan akrual jangka

panjang. Hasil temuannya menyatakan bahwa de-komposisi yang dilakukan tidak

menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada strategi dasar akrual.

Lalu mereka juga menyatakan bahwa akrual jangka panjang juga memiliki asosiasi

dengan tingkat pengembalian abnormal mendatang.

Pada kategori kedua, beberapa studi menginvestigasi interaksi antara perilaku

insider, analis, dan auditor dengan informasi akrual. Beneish dan Vargus (2002)

menunjukkan bahwa pola insider-trading yang dilakukan top eksekutif berhubungan

dengan informasi akrual. Lebih spesifik, perusahaan dengan tingkat akrual tinggi yang

melakukan insider-selling juga mengalami tingkat pengembalian mendatang yang

rendah dibanding perusahaan dengan tingkat akrual tinggi yang melakukan insider-

trading. Karenanya kalangan insider pada perusahaan dengan tingkat akrual yang

tinggi dapat dibedakan antara yang memang meningkatkan atau yang melakukan

pembusukkan bagi kinerja perusahaan mendatang. Nemeish dan Vargus (2002) juga

menemukan beberapa bukti bahwa dalam perusahaan yang mengalami insider-selling,

dan tingkat akrual yang tinggi, berhubungan dengan aktivitas earnings management.

Selain itu terdapat dua penelitian yang menganalisis perilaku dari analist.

Bradshaw et al. (2001) menggunakan pendekatan yang tidak menggunakan harga

pasar sebagai indikator ketidakmampuan pasar terhadap proses informasi earnings.

Sebagai gantinya, mereka menjelaskan perilaku pada dua intermediasi informasi;

analis sisi-penjual dan auditor independen. Tapi jenis penelitian ini memiliki

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

10

kelemahan yang substansial, yaitu simplifikasi penurunan tingkat pengembalian saham

dan kurang begitu memperhatikan kontrol risiko yang tidak memadai. Hasilnya, para

peneliti tersebut menemukan bahwa kesalahan estimasi para analis berkorelasi negatif

dengan total akrual, yakni kesalahan estimasi analis akan semakin negatif untuk

perusahaan dengan tingkat akrual yang tinggi. Hal ini berarti, para analis tidak

mengikutsertakan pembalikan earnings yang memiliki asosiasi dengan tingkat akrual

yang tinggi ke dalam estimasi mereka. Secara keseluruhan Bradshaw et al. (2001)

melihat hasil penelitian mereka sebagai bukti lanjutan yang memperkuat inferensi

pada ketidakmampuan pasar untuk menginterpretasikan informasi akrual secara

benar.

Barth dan Hutton (2001) juga menjelaskan aturan analis dalam

menginterpretasikan akrual. Pertama, konsisten dengan Bradshaw et al. (2001)

mereka menyatakan bahwa mayoritas para analis tidak bereaksi atau memberikan

respon terhadap informasi terbaru perihal akrual. Hanya sejumlah 25% analis yang

memperbaharui prediksinya sebagai tindak lanjut informasi baru akrual tersebut dan

para analis ini disebutnya sebagai analis aktif. Kedua, mereka menyatakan bahwa para

investor tidak menyertakan revisi informasi analis aktif yakni investor terlihat

mengabaikan para analis. Hasilnya adalah strategi lindung-nilai yang

mengkombinasikan informasi akrual dengan informasi mengenai analis aktif

menghasilkan kejutan sebesar 27% pada satu tahun berikutnya setelah implementasi.

Sebagai tambahan atas analisis mereka, Bradshaw et al. (2004) menginvestigasi

perilaku para auditor dan menyatakan bahwa meski perusahaan dengan tingkat akrual

tinggi menimbulkan enforcement-action regulator yang frekuentif, para auditor

perusahaan tersebut tidak secara otomatis memberikan qualified opinion. Hal ini

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

11

berarti, bahwa para auditor juga tidak terlihat terpengaruh atas implikasi dari tingkat

akrual yang tinggi.

Pada penelitian kategori ketiga, Ali et al. (2000) mengeksplorasi beberapa

karakteristik cross-section pada anomali akrual. Mereka menduga bahwa anomali

akrual adalah manfestasi atas ketidakmampuan investor dalam memproses informasi

laporan keuangan secara benar. Selanjutnya proksi untuk derajat kesempurnaan

investor harus berhubungan dengan tingkat pengembalian saham yang dihasilkan

dengan strategi akrual. Secara khusus, tingkat pengembalian saham terhadap strategi

akrual diharapkan lebih tinggi pada perusahaan yang memiliki asosiasi rendah dengan

tingkat kesempurnaan investor yang rendah. Variabel penelitian yang digunakan

dalam penelitian tersebut adalah size, kepemilikan institusi, dan analis coverage

sebagai proksi untuk kesempurnaan investor. Hasil penelitiannya bertolak belakang

dengan apa yang diharapkan pada hipotesis investor naif. Temuan lainnya adalah

tingkat pengembalian saham yang rendah pada perusahaan yang kecil, yakni perusahaan

yang hanya memiliki beberapa analis, dan perusahaan yang tidak terlalu besar untuk

dimiliki oleh suatu institusi. Mereka menginterpretasikan temuan tersebut sebagai

kontradiksi atas hasil studi Sloan (1996) dan studi lanjutan setelahnya, yakni kesalahan

proses informasi akan meningkatkan tingkat pengembalian saham yang dihasilkan

dengan strategi akrual.

Untuk studi kategori keempat, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menarik

untuk diulas. Pertama, studi yang dilakukan oleh Collins dan Hribar (2000a). Penelitian

mereka menyatakan bahwa anomali akrual dan pengumuman post-earning adalah

berbeda satu sama lain. Mereka memaparkan strategi yang mengeksploitasi informasi

pada keduanya (kejutan akrual dan earnings). Hasil temuannya adalah strategi kombinasi

akan menghasilkan tingkat pengembalian saham yang lebih tinggi dibanding strategi

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

12

individual. Kedua, Fairfield et al. (2001) berpendapat bahwa anomali akrual adalah sub-

set pada anomali yang lebih luas dan berkorelasi pada ketidakmampuan investor

memproses informasi mengenai pertumbuhan dengan benar. Ketiga, Desai et al. (2002)

menyatakan bahwa anomali akrual dan anomali “nilai-glamour” yang diproksikan dengan

rasio arus kas terhadap harga saham mengalami overlap.

Dari uraian yang dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa anomali akrual adalah

penting baik untuk para peneliti keuangan dan akuntansi serta praktisi untuk beberapa

alasan: 1) hasil penelitian yang reaktif terhadap paradigma efisiensi pasar menyarankan

agar tingkat pengembalian abnormal dapat dihasilkan dengan mengimplementasikan

strategi straightforward secara fair berdasarkan publikasi informasi yang tersedia; 2)

anomali menyoroti pentingnya insentif bagi para manajer untuk terlibat dalam earnings

management. Hal ini menunjukkan bahwa manipulasi earnings dapat memiliki pengaruh

ekonomi yang riil dan para manajer tersebut berpotensi untuk mempengaruhi harga

saham melalui pemilihan metode alternatif akuntansi. Secara tradisional tindakan

manipulasi tersebut bahkan transparan terhadap investor dan karenanya tidak memberikan

keuntungan bagi para manajer; 3) Tingginya asosiasi earnings dan tingkat pengembalian

saham dibanding asosiasi arus kas dengan tingkat pengembalian saham telah diteliti oleh

beragam peneliti akuntansi selama kurang lebih empat puluh tahun mungkin

membutuhkan cara sudut pandang yang berbeda (e.g. Dechow, 1994). Interpretasi

penelitian tersebut mengenai tingginya asosiasi dimaksud umumnya adalah earnings

merefleksikan lebih baik atas perubahan pada nilai perusahaan. Penjelasan alternatif yang

muncul dalam konteksi anomali akrual adalah semakin tinggi asosiasi earnings dengan

tingkat pengembalian saham hanya merefleksikan insting investor dalam earnings.

2.2 Model Asset Pricing Multifaktor

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

13

Model asset pricing tiga faktor dikembangkan oleh Fama dan French (1993)

sebagai hasil meningkatnya bukti empiris buruknya kinerja CAPM dalam

menjelaskan realisasi tingkat pengembalian saham. Faktanya, Fama dan French

(1992a) mengkaji gabungan beta pasar, size, rasio E/P, leverage, dan rasio B/M pada

nilai rata-rata tingkat pengembalian saham di NYSE, AMEX, dan NASDAQ periode

1963-1990. Dalam studi tersebut, mereka menyatakan bahwa koefisien beta memiliki

daya prediksi yang sangat tidak signifikan. Sebaliknya, pada saat digunakan secara

univariat, variabel size, E/P, leverage dan rasio B/M memiliki daya prediksi yang

signifikan dalam menjelaskan nilai rata-rata tingkat pengembalian secara cross-

section. Pada saat digunakan formasi simultan, size dan rasio B/M adalah yang

signifikan dan menyerap pengaruh pada leverage dan E/P dalam menjelaskan nilai

rata-rata tingkat pengembalian. Berdasarkan hasil tersebut mereka mereka

menyimpulkan bahwa kalau saham dihargai secara rasional, maka risiko seharusnya

memiliki bentuk yang multi-dimensi.

Fama dan French (1993) melanjutkan studi mereka sebelumnya dengan

menggunakan pendekatan regresi time-series. Ruang lingkup analisis juga diperluas

yakni saham dan obligasi. Tingkat pengembalian bulanan pada saham dan obligasi

diregresi pada lima faktor, tingkat pengembalian portofolio pasar, portofolio untuk

size, dan portofolio untuk pengaruh rasio B/M, prediktor premi, dan premi default.

Untuk portofolio saham, tiga faktor pertama berpengaruh signifikan, sementara untuk

portofolio obligasi adalah dua faktor terakhir. Sebagai hasil, Fama dan French

mengembangkan model asset pricing yang dikenal sebagai model 3 faktor untuk

portofolio saham dengan mengikutsertakan dua tambahan faktor risiko yang

berhubungan dengan size dan rasio B/M selain koefisien beta.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

14

Interpretasi model asset pricing yang mereka bentuk adalah ekspektasi tingkat

pengembalian portofolio dalam tingkatan bebas risiko dijelaskan dengan sensitivitas

tingkat pengembalian-nya terhadap tiga faktor: i) excess return pada portfolio pasar;

ii) perbedaan antara tingkat pengembalian pada portofolio saham dengan size kecil

terhadap tingkat pengembalian portofolio saham size besar (SMB); iii) perbedaan

tingkat pengembalian portofolio dengan rasio B/M tinggi dan tingkat pengembalian

portofolio saham dengan rasio B/M rendah (HML). Model tiga faktor Fama dan

French dapat juga disebut lebih sebagai perluasan CAPM. Perluasan tersebut

termasuk dua faktor yang diidentifikasi Fama dan French (1992a), yakni ukuran

perusahaan dan rasio B/M. Kenyataannya model tiga faktor meningkatkan model

CAPM dengan efek dari size dan rasio B/M.

Efek size adalah keteraturan empiris bahwa perusahaan dengan kapitalisasi

pasar kecil rata-rata tingkat pengembalian secara signifikan melebih mereka dengan

kapitalisasi pasar yang besar. Para peneliti menyarankan beberapa penjelasan

mengenai size-effect. Saham perusahaan yang kecil adalah semakin tidak likuid

memperdagangkannya akan menimbulkan biaya transaksi yang besar; minimnya

informasi yang tersedia mengenai perusahaan kecil, karenanya biaya monitoring pada

portofolio saham dengan size akan lebih besar dibanding portofolio saham dengan

size besar. Selain itu karena saham size kecil tidak begitu aktif diperdagangkan,

akibatnya estimasi beta juga tidak reliabel.

Efek rasio B/M menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat pengembalian yang

semakin besar juga akan meningkatkan rasio B/M, vice versa. Efek tersebut juga

diarahkan sebagai nilai premi. Tingginya nilai buku perusahaan mengalami

underpriced di pasar dan karenanya lebih baik membeli dan hold, karena harga saham

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

15

dengan kategori ini akan meningkat. Anomali ini mereduksi bentuk hipotesis efisiensi

pasar setengah kuat.

Fama dan French (1995) menganalisis karakteristik perusahaan dengan rasio

B.M yang tinggi dan yang rendah. Mereka menyatakan bahwa perusahaan rasio B/M

yang tinggi cenderung secara mengalami distress terus menerus disatu sisi perusahaan

dengan rasio B/M rendah diasosiasikan dengan profitabilitas. Lebih kanjut mereka

menyatakan bahwa tingkat pengembalian untuk menyimpan saham dengan rasio B/M

yang tinggi adalah kompensasi untuk menyimpan saham yang kurang menguntungkan

dan berisiko. Mereka menunjukkan bahwa rasio B/M dan slope SML dalam model 3

faktor adalah proksi bagi distress relatif. Perusahaan lemah yang terus-menerus

memiliki tingkat pengembalian yang rendah cenderung memiliki rasio B/M yang

tinggi dan slope HML positif; sebaliknya, perusahaan yang kuat dengan earnings

yang tinggi memiliki rasio B/M yang rendah dan slope HML yang negatif. Hal yang

sama disampaikan oleh Chan dan Chen (1991) yang menyatakan bahwa perusahaan

besar dan perusahaan kecil memiliki karakteristik risiko dan return yang berbeda.

Dalam penelitiannya mereka menjelaskan bahwa emiten dengan kapitalisasi kecil di

pasar modal New York adalah perusahaan yang belum memiliki kinerja yang baik,

manajemen yang tidak efisien dan memiliki leverage yang tinggi. Konsekuensinya,

saham emiten tersebut cenderung berisiko dibanding saham emiten berkapitalisasi

besar dan resiko tersebut tidak dijelaskan oleh indek pasar. Dari hasil perhitungan

empiris diperoleh kesimpulan bahwa setelah memasukan multi eksposure risiko pada

indeks pasar; indeks leverage dan indek penurunan dividen sebagai replikasi

perusahaan marginal, size-effect menurun drastis daya penjelasnya. Eksposur risiko

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

16

pada indeks tersebut lebih superior sebagai size dalam menjelaskan rata-rata tingkat

pengembalian pada peringkat portofolio size.

Fama dan French (1998) kembali menguji model tiga faktor yang

diciptakannya pada tigabelas pasar yang berbeda selama periode 1975-1995. Mereka

menyatakan bahwa duabelas dari tigabelas pasar memiliki premi sebesar 7,68% per

tahun terhadap nilai saham (High B/M), koefisien beta B/M secara statistik signifikan

di tujuh pasar.

Maroney dan Protopapadakis (2002) menguji model Fama dan French tiga

faktor pada pasar modal Australia, Kanada, Jerman, Perancis, Jepang, Inggris dan

Amerika. Mereka menyatakan bahwa pengaruh size dan rasio B/M memiliki karakter

yang internasional. Teknik yang digunakannya adalah model Stochastic Discount

Factor (SDF), dan beragam variabel makroekonomi dan keuangan, tidak membedakan

daya penjelas pada rasio B/M dan nilai pasar ekuitas (MVE). Hasil penelitian mereka

menyatakan bahwa efek dari rasio B/M dan MVE bukanlah artifak dari kelemahan perluasan

CAPM sebagai suatu model asset pricing atau penghilangan variabel makroekonomi dan

finansial. Hubungan positif antara tingkat pengembalian dengan rasio B/M dan negatif

dengan MVE tetap kuat dibawah model SDF. Pengujian selanjutnya terhadap model tiga

faktor Fama dan French dilakukan oleh Faff (2001) dan Gaunt (2004) untuk negara Australia.

Hasil penelitian Faff (2001) mendukung model tiga faktor Fama dan French tapi dengan

sedikit perbedaan, yakni terjadinya hubungan negatif yang signifikan untuk premi risiko pada

saham kapitalisasi kecil. Sementara Gaunt (2004) menyatakan bahwa koefisien risiko beta

cenderung meningkat untuk perusahaan kapitalisasi kecil dan perusahaan dengan rasio B/M

yang rendah. Temuan lainnya adalah bukti bahwa efek rasio B/M yang meningkat secara

monotonik dari portofolio saham dengan rasio B/M terendah sampai kepada yang tertinggi.

Dimana nilai intersep untuk portofolio saham kapitalisasi kecil adalah besar dan positif.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

17

2.3 Faktor Akrual Sebagai Prediktor Risiko Dalam Model Asset Pricing

Pendukung teori perilaku keuangan menyarankan bahwa level akrual adalah proksi

untuk tingkatan dimana investor menganggap profit akuntansi terlalu optimis. Pendekatan

tipikal yang digunakan pada penelitian sebelumnya untuk menguji apakah anomali akrual

merupakan risiko atau hanya suatu mispricing menggunakan sejumlah kontrol tertentu untuk

risiko seperti beta, size, dan rasio B/M. Berdasarkan pengujian tersebut mereka

menyimpulkan bahwa premi yang diasosiasikan dengan perusahaan akrual rendah

merepresentasikan inefisiensi pasar. Atau dengan kata lain selalu terdapat kemungkinan untuk

mengajukan faktor risiko tambahan. Dan hal ini juga tidak menjamin bahwa faktor yang

diusulkan tersebut akan mampu menjelaskan perbedaan rata-rata tingkat pengembalian yang

diasosiasikan dengan akrual.

Strategi naif mengusulkan struktur faktor yang baru hingga anomali dapat dihilangkan

meski pada faktanya anomali lebih merepresentasikan pasar yang tidak efisien daripada premi

risiko yang rasional. Penelitian ini mencoba untuk melakukan replikasi terbatas pendekatan

Fama-French (1993) yang dimodifikasi oleh Daniel dan Titman (1997) dan dimodifikasi

ulang oleh Hirshleifer et al. (2006) untuk menjelaskan apakah resiko atau mispricing

menjelaskan pengaruh size dan rasio B/M terhadap rata-rata tingkat pengembalian seperti

yang telah dilakukan sebelumnya oleh Carhart (1997), Davis, Fama, dan French (2000),

Daniel, Titman, Wei (2001), Pastor dan Stambaugh (2003), Lamont, Polk, dan Saa-Requejo

(2001), serta Moskowitz (2003), yakni menggunakan karakteristik akrual itu sendiri untuk

membentuk replikasi faktor underlying anomali akrual portfolio.

Faktor portofolio tersebut CMA (Conservative Minus Aggressive) dibentuk dengan

mengambil long-position pada perusahaan dengan tingkat akrual rendah (konservatif) dan

short-position pada perusahaan dengan tingkat akrual tinggi. Karena faktor CMA dibentuk

dari akrual, maka kemungkinan terjadinya korelasi yang tinggi antara pengukuran risiko

(faktor loading) dan karakteristik original (akrual). Kalau karakteristik original diasosiasikan

dengan misvaluasi pasar, maka begitu juga halnya dengan faktor loading tersebut. Hal ini

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

18

berarti faktor loading CMA yang menjelaskan pengaruh akrual dapat menjadi proksi untuk

resiko dan juga misvaluasi pasar.

2.4 Asumsi Dasar

Reaksi atas kinerja model asset pricing faktor tunggal (CAPM) dalam menjelaskan

tingkat pengembalian portfolio saham telah dilakukan baik itu dalam semangat re-formasi

atau re-konstruksi model sehingga muncul apa yang disebut sebagai model asset pricing

multifaktor. Dalam kaitannya dengan apa yang telah disampaikan diatas, maka akan diajukan

asumsi dasar penelitian, yakni:

Penambahan informasi akrual sebagai tambahan faktor risiko pada model multifaktor

akan meningkatkan daya prediksi model dalam mengestimasi tingkat pengembalian

portofolio yang diharapkan dibanding model faktor tunggal.

Dimana nantinya akan dilakukan beberapa pengujian yang dirasa perlu sebagai konfirmasi

atas asumsi tersebut.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

19

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Data

Untuk melakukan penelitian ini yang dibutuhkan adalah data keuangan tiap emiten LQ-

45 yang berupa (harga saham, market value, dan book value) periode bulanan, IHSG, dan

SBI-1 Bulanan periode 2003-2006, sehingga data-data yang diperlukan oleh dalam

penelitian ini merupakan data historis. Data diperoleh dengan pendekatan sebagai berikut :

a) Untuk data keuangan tiap emiten selama periode tahun 2003-2006 diperoleh dengan

cara men-download melalui website BEJ yaitu hhtp://www.jsx.co.id.

b) Sedangkan untuk mendapatkan data-data IHSG untuk periode yang sama diperoleh

selain dari website BEJ.

3.2 Pengukuran dan Definisi Operasional Variabel

Variabel sentral dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan (size), kapitalisasi pasar, dan

nilai total akrual emiten yang nantinya akan dikembangkan dalam membentuk proksi pada

tingkatan portfolio.

Berikut adalah definisi operasional variabel:

Size = Log Kapitalisasi Pasar ; Log( harga penutupan x volume perdagangan saham )

Rasio B/M = Book Value / Market Value

= (Ekuitas / Jumlah Saham dikeluarkan) / (harga penutupan x volume perdagangan saham)

Dalam menghitung nilai akrual operasional, penelitian ini mengikuti Sloan (1996)

yakni menggunakan metode neraca tidak langsung sebagai perubahan dalam non-

current asset dikurangi perubahan dalam current liabilities dikurangi perubahan

dalam short term debt dan perubahan dalam tax payable minus depresiasi dan

amortisasi dibagi total asset periode sebelumnya:

Akrual t = [(∆Current Assetst – ∆Casht) – (∆Current Liabilities t – ∆Short-term Debtt - ∆Taxes Payablet) – Depreciation dan Amortization Expenset]/Total Assetst-1.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

20

a. Formasi Portfolio dan Perhitungan Total Akrual

Penelitian ini membentuk portfolio saham berdasarkan klasifikasi ukuran perusahaan

dan rasio B/M sesuai dengan hasil penelitian Fama dan French (2003). Nilai median

keseluruhan sampel digunakan sebagai breakpoint untuk menetapkan perbedaan antara dua

kategori. Emiten dengan kapitalisasi pasar kurang dari nilai median dianggap sebagai emiten

dengan kapitalisasi pasar yang kecil dan sebaliknya mereka yang lebih besar dari nilai median

dianggap sebagai emiten dengan kapitalisasi pasar besar. Klasifikasi saham berdasarkan rasio

B/M juga akan membagi saham ke dalam dua kategori yang didasarkan nilai median

keseluruhan sampel per tahun yaitu kategori B/M tinggi dan kategori B/M rendah. Dari

interseksi pengklasifikasian tersebut, dibentuk empat kategori portofolio saham, yakni: S/H

(Small Cap-High B/M), B/H (Big Cap-High B/M), S/L (Small Cap-Low B/M) dan B/L (Big

Cap-Low B/M).

Penelitian ini juga mengikuti prosedur Hirshleifer et.al, (2006) dalam menambahkan

faktor akrual (CMA) kepada model tiga faktor Fama dan French (1992), yang analog pada

faktor SMB dan HML dengan orientasi peringkat nilai operasional akrual tahun fiskal emiten

dimana dari interseksi antara akrual operasional dan size terbentuk empat kategori portfolio

saham, yakni: S/H-acc (Small Cap-High accrual), B/H-acc (Big Cap-High accrual), S/L-acc

(Small Cap-Low accrual) dan B/L-acc (Big Cap-Low accrual).

Definisi Hirshleifer et.al, (2006) mengenai CMA adalah perbedaan nilai rata-rata

tertimbang tingkat pengembalian portofolio saham yang memiliki tingkat akrual rendah

terhadap nilai rata-rata tertimbang tingkat pengembalian portofolio saham yang memiliki

tingkat akrual tinggi. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

(S/L-acc + B/L-acc)/2 – (S/H-acc + B/H-acc)/2.

b. Pre-test

Pre-test dilakukan untuk klarifikasi pengaruh pasar pada terhadap tingkat pengembalian

saham sampel dan uji kelayakan persamaan multiregresi pada model multifaktor. Pre-test

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

21

kedua adalah dilakukan mengacu kepada kriteria BLUE, yakni tidak terjadi multikolinearitas,

autokorelasi, dan heteroskedastisitas pada persamaan multiregresi. Hasil pre-test dapat dilihat

pada lampiran.

3.3 Teknik Analisis Data

Untuk menguji asumsi dasar yang telah diajukan, digunakan pendekatan regresi bertahap,

dengan model sebagai berikut:

Model Faktor Tunggal (CAPM)

Pada model ini akan ditambahkan faktor akrual sebagai tambahan prediktor premi risiko

kedalam model asset pricing tunggal:

Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + e(t) (Model 1.1) Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + cCMA(t) + e(t) (Model 1.2)

Model 2 Faktor

Dalam model dua faktor akan dikolaborasi faktor resiko yang diusulkan Fama dan French

(size dan rasio B/M) dalam model asset pricing secara parsial dengan faktor penjelas

tambahan (CMA):

Ri(t) - Rf(t) =α +β[[Rm(t)-Rf(t)] + sSMB(t)+e(t) (Model 2.1.a) Ri(t) - Rf(t) =α +β[[Rm(t)-Rf(t)] + sSMB(t) + cCMA(t) + e(t) (Model 2.1.b) Ri(t) - Rf(t) =α +β[[Rm(t)-Rf(t)] + hHML(t)+e(t) (Model 2.2.a) Ri(t) - Rf(t) =α +β[[Rm(t)-Rf(t)] + hHML(t) + cCMA(t) + e(t) (Model 2.2.b) Model 3 Faktor

Pada model tiga faktor, faktor size dan rasio B/M secara bersama-sama digunakan dalam

model persamaan. Setelah itu pada model perluasan akan ditambahkan faktor CMA.

Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + hHML(t) (Model 3.1) Ri(t) - Rf(t) =α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + hHML(t) + cCMA +e(t) (Model 3.2) dimana:

Ri(t) - Rf(t) = nilai rata-rata excess return dikurangi risk free rate periode ke t Rm (t) – Rf(t) = excess return portofolio pasar untuk periode ke t SMB(t) = return portofolio SMB ; (S/L + S/H) – (B/L + B/H) periode ke t HML(t) = return portofolio HML ; (S/H + B/H) – (S/L + B/L) periode ke t CMA (t) = return portofolio CMA ; (S/L-acc+ B/L-acc)/2 – (S/H-acc + B/H-acc)/2 b, s, h, dan c = Koefisien regresi

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

22

Tahap selanjutnya adalah uji signifikansi simultan dan parsial terhadap seluruh model

asset pricing dan perluasannya.

3.4 Evaluasi Kinerja Portofolio

Relevansi portofolio saham (baik kategori akrual dan non-akrual) yang terbentuk

dilakukan dengan menggunakan alat ukur Indeks-Sharpe, Indeks-Treynor, dan Jensen-

Alpha. Berikut adalah penjelasan ketiga alat ukur tersebut:

a) Treynor Index (Reward to Volatility Ratio)

Treynor mengemukakan bahwa risiko terdiri dari dua komponen yaitu risiko yang timbul

akibat fluktuasi pasar dan risiko yang muncul dari fluktuasi unik sekuritas individual dari

suatu portofolio (Reilly dan Brown, 2000). Selanjutnya dia mengasumsikan bahwa

portofolio terdiversifikasi dengan optimum, karenanya risiko unik sekuritas individual

dapat diabaikan. Melalui asumsi ini, Treynor mengukur kinerja portofolio berdasarkan

risiko sistematis atau beta yang merupakan risiko fluktuatif relatif terhadap risiko pasar

(Sharpe, Alexander dan Bailey, 1999). Pengukuran dengan metode Treynor

diformulasikan sebagai berikut (Jones, 2000):

Treynor Indeks = (Erp – Rf) / βp

ER(p) : Expected Return Portofolio Rf : Risk Free Rate Βp : Beta Portfolio

Semakin tinggi nilai positif rasio Treynor, makin baik kinerja portofolio.

b) Jensen-Alpha (Differential Return Measure)

Jensen pertama kali memperkenalkan metode ini dalam mengukur kinerja investasi Reksa

Dana pada tahun 1968. Metode Jensen mengukur kinerja investasi suatu portofolio yang

didasarkan atas pengembangan CAPM. Menurut Jones (2000:587) perhitungan dengan

metode Jensen diformulasikan sebagai berikut:

αρ = (Rp – Rf) – [βp(Rm – Rf)]

αρ : Jensen Alpha Rp : Return Portfolio Rf : Risk Free Rate Βp : Beta Portfolio

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

23

Kinerja dari portfolio dapat dilihat dari nilai alpha, dimana bila alpha bernilai positif

berarti menunjukkan kinerja portofolio yang lebih tinggi daripada kinerja pasar.

c) Indeks Sharpe

Pengukuran kinerja suatu reksadana dapat dilakukan dengan dua metode koefisien indeks

yaitu, Indeks Sharpe dan Indeks Treynor. Pengukuran dengan metode indeks Sharpe,

didasarkan pada apa yang disebut premium risiko atau risk premium. Risk premium adalah

perbedaan (selisih) antara return rata-rata portofolio dan investasi bebas resiko (risk free

asset). Indeks Sharpe membagi risk premium dengan deviasi standar portofolio selama

pengukuran, dimana deviasi standar merupakan risiko total. Dengan demikian, Shape

mengukur premi risiko yang dihasilkan dari setiap unit risiko yang ada. Dengan perhitungan

tersebut, semakin tinggi nilai pengukuran, semakin baik kinerja yang dihasilkan. Pengukuran

Indeks Sharpe diformulasikan sebagai berikut:

Sj = (Ri - Rf ) / σj

dimana: Sj = Indeks Sharpe Rj = return rata-rata portofolio j selama jangka waktu pengukuran Rf = return rata-rata aset bebas risiko selama jangka waktu pengukuran σj = standar deviasi portofolio j selama jangka waktu pengukuran

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

24

PEMBAHASAN

Dari tabel 1, diperoleh nilai rata-rata tingkat pengembalian portofolio dan faktor

risiko selama periode penelitian. Hampir seluruh portofolio (kategori size-akrual dan size-

B/M) memiliki tingkat pengembalian bulanan yang negatif meski masih diatas portofolio

pasar (-9,35%). Untuk kategori akrual, dilihat dari ukuran kapitalisasi, nilai tertinggi adalah

portofolio dengan size kecil (SLacc_Rf - SHacc_Rf) yakni -1,18%. Sementara pada

kapitalisasi besar nilai tingkat pengembalian bulanan (BLacc_Rf - BHacc_Rf) adalah -55

basis point perbulan. Untuk kategori tingkat pengembalian size-B/M portofolio kapitalisasi

kecil (SL_Rf - SH_Rf) adalah -5% perbulan, dan portofolio kapitalisasi besar (BL_Rf -

BH_Rf) adalah 2,7% perbulan. Rata-rata tingkat pengembalian bulanan CMA adalah -86

basis point yang mana lebih rendah dibanding rata-rata tingkat pengembalian pada SMB

(3,88% per bulan), tingkat pengembalian HML (2,3%) tapi lebih tinggi dibanding tingkat

pengembalian pasar (Rm-Rf) sebesar -9,35%.

Disisi lain deviasi standar pada CMA lebih rendah dibanding faktor tingkat

pengembalian lain (CMA =0,04; SMB= 0,11; HML=0.08;) meski masih lebih tinggi dua basis

point dibanding faktor pasar (Rm-Rf =0,02). Hasil ini menunjukkan bahwa payoff untuk

bearing faktor risiko yang diasosiasikan dengan strategi akrual lebih menarik di banding

substansi tingkat pengembalian yang dideskripsikan dua faktor lainnya.

Tabel 1 panel B adalah hasil korelasi antara faktor tingkat pengembalian. Faktor

CMA memiliki korelasi yang cukup rendah (-0,3 dengan Rm-Rf; 0.11 dengan SMB; dan 0,23

dengan HML). Hasil ini secara substansial akan melakukan kombinasi optimal yang lebih

baik dibanding portofolio pasar, atau model tiga faktor Fama dan French, dengan

mengikutsertakan faktor CMA.

Hasil Uji Model Tunggal (CAPM)

Dari tabel 2 panel a diperoleh beberapa hasil uji sebagai berikut; a) mengacu kepada

Merton (1996) yang mendefinisikan besaran konstanta sebagai bentuk unadjusted expected

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

25

return estimasi, maka pada model tunggal (CAPM) tingkat pengembalian ekspektasi tertinggi

dihasilkan oleh portofolio saham perusahaan kecil (baik dalam konteks akrual dan non

akrual), yakni 17,34% untuk kategori S/H acc-Rf (sig.t= 0,0005) dan 23,38% (sig.t = 0.000)

pada portfolio S/H-Rf. Sedangkan untuk kategori portofolio saham kapitalisasi besar,

ekspektasi tingkat pengembalian tertinggi pada kategori akrual dihasilkan portofolio B/H

acc-Rf (6,67%) sementara untuk kategori rasio B/M adalah portofolio B/H-Rf (3,74%, sig.t =

0.04). Secara keseluruhan faktor beta memiliki pengaruh yang signifikan pada seluruh

portofolio dengan kemampuan menjelaskan variansi tingkat pengembalian ekspektasi

portofolio berkisar 8,08%-48,52%. Panel B adalah hasil uji dengan mengikutsertakan faktor

CMA kedalam model CAPM. Berdasarkan perolehan nilai konstanta, faktor ini memang

mengkoreksi seluruh tingkat pengembalian ekspektasi portofolio yang dihasilkan model

CAPM. Pada portofolio S/H acc-Rf misalnya tingkat pengembalian ekspektasi mengalami

koreksi sebesar 5,65% menjadi 11,69% sementara untuk kategori B/M pada portofolio S/H-

Rf nilainya terkoreksi sebesar 55 basis point menjadi 22,83%. Dilihat dari signifikansinya,

faktor CMA memang lebih banyak berpengaruh pada portfolio size-akrual (tiga portofolio

saham) dan hanya satu pada kategori size-B/M (B/L-Rf). Dimasukkannya faktor ini juga

meningkatkan kemampuan model dalam menjelaskan ekspektasi tingkat pengembalian

dengan kisaran 13,25%-64,88%. Secara simultan ke 2 faktor risiko memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap ekspektasi tingkat pengembalian portofolio.

Kesimpulan yang dihasilkan dari model faktor tunggal adalah faktor CMA memiliki

pengaruh negatif pada portofolio saham dengan tingkat akrual yang tinggi dan sebaliknya

pengaruh positif pada portofolio dengan tingkat akrual yang rendah. Sementara untuk

portofolio size-B/M, faktor CMA memiliki pengaruh negatif pada portofolio saham dengan

rasio B/M yang rendah.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

26

Hasil Uji Model Dua Faktor

Faktor SMB

Tabel 3 Panel. A adalah hasil uji penggunaan faktor ukuran perusahaan (SMB)

kedalam model prediksi tingkat pengembalian ekspektasi portofolio. Untuk portfolio

akrual, nilai tingkat pengembalian tertinggi masih dihasilkan oleh S/H acc-Rf yaitu

sebesar 15,54% untuk kapitalisasi kecil dan B/H acc-Rf sebesar 10,03% pada kapitalisasi

besar. Sementara pada portofolio size-B/M tingkat pengembalian ekspektasi tertinggi

juga dihasilkan oleh portofolio S/H-Rf (20,05%) untuk kapitalisasi kecil dan B/L-Rf

(6,91%) pada kapitalisasi besar. Secara parsial faktor pasar (Rm) dan size (SMB)

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengembalian ekspektasi. Untuk

faktor CMA, hanya berpengaruh signifikan terhadap lima portofolio saham. Daya

prediksi model pun semakin meningkat setelah faktor CMA diikutsertakan, yakni dari

kisaran 23,95%-52,13% menjadi 31,22%-64,29%.

Dari tabel diatas juga masih diperoleh kesimpulan yang sama, yakni faktor CMA

memiliki pengaruh negatif pada portofolio saham dengan tingkat akrual yang tinggi dan

sebaliknya pengaruh positif pada portofolio dengan tingkat akrual yang rendah. Dan

untuk portfolio size-B/M, pengaruh negatif pada portofolio dengan rasio B/M yang

rendah. Lebih lanjut, pada kategori size-B/M dan size-akrual faktor SMB berpengaruh

positif untuk portofolio kapitalisasi kecil dan pengaruh negatif pada portofolio

kapitalisasi besar.

Faktor HML

Tabel 3 Panel B. adalah hasil uji penggunaan faktor rasio B/M (HML) pada model

dua faktor. Untuk portofolio akrual, nilai tingkat pengembalian tertinggi masih

dihasilkan oleh S/H acc-Rf (15,54%) untuk kapitalisasi kecil dan B/H acc-Rf

(14,85%) pada kapitalisasi besar. Untuk kategori size-B/M, tingkat pengembalian

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

27

ekspektasi tertinggi juga dihasilkan oleh portofolio S/H-Rf (19,07%) untuk kapitalisasi

kecil dan B/L-Rf (15,72%) pada kapitalisasi besar. Secara parsial faktor pasar (Rm)

memiliki pengaruh positif yang signifikan untuk seluruh kategori portofolio (size-

akrual dan size-B/M), sedangkan faktor B/M (HML) selain pada tiga portofolio (S/L

Acc-Rf, S/H Acc-Rf, dan B/H-Rf) berpengaruh signifikan pada lima portofolio saham

lainnya. Penambahan faktor CMA ke dalam model memiliki efek yang berbeda terhadap

seluruh portofolio. Sebagai contoh, untuk portofolio yang menghasilkan tingkat

pengembalian tertinggi pada tiap kategori (size-akrual dan size-B/M) faktor ini

mereduksi ekspektasi tingkat pengembalian portofolio, ceteris paribus. Pada portofolio

kapitalisasi kecil (S/H acc-Rf) ekspektasi tingkat pengembalian berkurang sebesar 8,58%

(9,42%); sementara untuk portofolio kapitalisasi besar (B/H Acc-Rf) berkurang sebesar

4,81% menjadi (10,04%). Untuk portofolio kategori size-B/M, koreksi faktor CMA justru

meningkatkan ekspektasi tingkat pengembalian portofolio S/H, sedang untuk portofolio

B/L mengalami penurunan sebesar 2,18% (13,54%). Penambahan faktor CMA, selain

berpengaruh signifikan terhadap lima portofolio saham juga meningkatkan daya

prediksi model dalam menjelaskan variansi ekspektasi tingkat pengembalian

portofolio dengan kisaran 23,95%-52,13% menjadi 31,22%-64,29%.

Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa untuk kategori size-akrual,

faktor HML hanya berpengaruh signifikan terhadap portofolio akrual kapitalisasi

besar, sementara pada kategori size-B/M faktor ini berpengaruh signifikan positif

terhadap portofolio dengan tingkat rasio B/M yang rendah. Selanjutnya, faktor CMA

memiliki pengaruh negatif pada portofolio saham dengan tingkat akrual yang tinggi

dan sebaliknya pengaruh positif pada portofolio dengan tingkat akrual yang rendah.

Dan untuk portofolio size-B/M, pengaruh negatif pada portofolio dengan rasio B/M

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

28

yang rendah. Lebih lanjut, pada kategori size-B/M dan size-akrual faktor SMB

berpengaruh positif untuk portofolio kapitalisasi kecil dan pengaruh negatif pada

portofolio kapitalisasi besar.

Hasil Uji Model Tiga Faktor

Tabel 4 adalah hasil uji model tiga faktor Untuk portofolio akrual, nilai tingkat

pengembalian tertinggi tetap dihasilkan portofolio S/H acc-Rf (18%) untuk kapitalisasi

kecil dan B/H acc-Rf (14,85%) pada kapitalisasi besar. Untuk kategori size-B/M,

ekspektasi tingkat pengembalian tertinggi juga dihasilkan oleh portofolio S/H-Rf

(16,07%) untuk kapitalisasi kecil dan B/L-Rf (13,34%) pada kapitalisasi besar.

Secara parsial faktor CMA hanya berpengaruh signifikan pada tiga portofolio

ekrual (S/L Acc-Rf, B/L Acc-Rf, dan B/H Acc-Rf) diikutsertakan dalam model, kecuali

faktor pasar (Rm) pada portofolio B/H-Rf, memiliki pengaruh positif yang signifikan

untuk seluruh kategori portofolio (size-akrual dan size-B/M). Signifikansi parsial

pengaruh faktor size (SMB), pada untuk kedua kategori (size-akrual dan size-B/M)

memiliki pengaruh positif (negatif) pada level kapitalisasi kecil (kapitalisasi besar).

Pada faktor B/M (HML), signifikansi pengaruh parsial untuk kategori size-akrual

adalah negatif (S/L acc-Rf, dan B/H acc-Rf), sementara untuk kategori size/B/M, faktor

ini memuliki pengaruh negatif pada portofolio dengan tingkat B/M yang rendah.

Sementara signifikansi parsial faktor CMA hanya terjadi pada kategori size-akrual, yakni

pengaruh positif (negatif) pada portofolio dengan tingkat akrual yang rendah (tinggi).

Penambahan faktor CMA, juga masih meningkatkan daya prediksi model dalam

menjelaskan variansi ekspektasi tingkat pengembalian portofolio yakni dari kisaran

26,24%-66,17% menjadi 38,65%-74,47%.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

29

Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu

Dari hasil empiris model dua faktor dan tiga faktor diatas, penelitian ini kurang

sependapat dengan apa yang diutarakan penelitian terdahulu bahwa perusahaan dengan

akrual operasional yang tinggi menghasilkan rata-rata tingkat pengembalian yang lebih

rendah (Sloan, 1996; Pincus, Rajgopal, dan Venkatachalam, 2005; dan Hirshleifer et al,

2006) karena untuk kasus Indonesia estimasi ekspektasi tingkat pengembalian yang

tinggi justru terjadi pada portofolio saham dengan tingkat akrual yang tinggi (kecuali

pada portofolio SLacc-Rf untuk model HML dan 3FM yang telah ditambahkan faktor

CMA). Karenanya penjelasan konvensional bahwa pengaruh tersebut adalah bentuk

kompensasi terhadap risiko sistematik masih perlu dikaji ulang. Atau dengan kata lain,

hasil empiris penelitian ini lebih sesuai pada implikasi penjelasan alternatif anomali

akrual, yakni mungkin para investor terlalu optimis pada perusahaan dengan tingkat

akrual yang tinggi dan terlalu pesimis terhadap perusahaan dengan tingkat akrual yang

rendah sehingga mengakibatkan meningkatnya harga secara irasional pada saham

perusahaan dengan akrual tinggi dan sebaliknya penurunan harga saham yang juga

irasional untuk saham perusahaan dengan akrual rendah.

Menarik pula bila penjelasan alternatif anomali akrual tersebut dikaitkan dengan

hipotesis yang diutarakan Fama dan French (1995) bahwa perusahaan yang lemah dan

terus-menerus memiliki tingkat pengembalian yang rendah cenderung memiliki rasio

B/M yang tinggi dan slope HML positif; sebaliknya, perusahaan yang kuat dengan

earnings yang tinggi memiliki rasio B/M yang rendah dan slope HML yang negatif.

Karena dapat diberikan penjelasan tambahan mengenai meningkatnya harga secara

irasional pada saham perusahaan dengan akrual tinggi, yaitu signifikansi parsial pengaruh

koefisien HML yang negatif (lihat tabel 3.2 dan tabel 4), meski penjelasan ini masih

memerlukan pembuktian yang lebih detail.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

30

Evaluasi Kinerja Portofolio

Evaluasi kinerja portofolio dilakukan dengan menggunakan 3 alat ukur, yakni:

Indeks-Treynor, Alpha-Jensen, dan Indeks-Sharpe. Berikut (lihat tabel 5) adalah hasil

perhitungan ketiga alat ukur tersebut.

Berdasarkan kriteria Treynor-Index, selama periode penelitian, kinerja portofolio

belum maksimal (ditunjukkan dengan indeks portofolio yang masih negatif) baik itu kategori

size-akrual atau size-B/M. Tahun 2003 hanya dua portofolio yang menunjukkan indeks positif

(S/H acc-Rf dan S/L-Rf) nilai ini pun masih harus dicermati dengan melihat koefisien beta

portofolio-nya. Bahkan untuk tahun 2006, tidak satupun portofolio memiliki indeks positif.

Hal ini berarti ekspektasi tingkat pengembalian portofolio masih lebih kecil dibanding risk

free rate sehingga bila dikomparasi terhadap risiko fluktuatif relatif terhadap risiko pasar

menghasilkan nilai indeks yang negatif. Dengan pendekatan Jensen-Alpha, kinerja dari

portofolio dapat dilihat dari nilai alpha; dimana bila alpha bernilai positif berarti

menunjukkan kinerja portofolio yang lebih tinggi daripada kinerja pasar. Dari hasil

perhitungan, diperoleh tidak satupun portofolio yang memiliki indeks positif, kondisi ini

secara ringkas dapat dikatakan bahwa tingkat pengembalian portofolio selama periode

penelitian masih inferior terhadap risiko sistematisnya yang disatu sisi berfungsi sebagai

multiplier pada kinerja pasar. Mengacu kepada Indeks-Sharpe, secara umum premi risiko dari

seluruh portofolio masih tinggi selama periode penelitian hal ini ditunjukkan dengan indeks

yang negatif pada seluruh portofolio selama periode penelitian. Dengan kata lain, tingkat

pengembalian portfolio masih lebih rendah dibanding tingkat pengembalian rata-rata aset

bebas risiko.

Dari hasil evaluasi dengan 3 alat ukur dapat diperoleh informasi bahwa aspek

kapitalisasi pasar, dan rasio book-to-market tidak serta merta menjamin portofolio yang

terbentuk akan menghasilkan konsensus perihal accepted risk yang reliable versus tingkat

pengembalian yang diharapkan. Pernyataan ini semakin dikonfirmasi bila kriteria

pembentukkan porfolio mempertimbangkan informasi akrual emiten.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

31

KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan signifikansi informasi akrual

terhadap tingkat pengembalian portfolio saham dan melakukan evaluasi kinerja

portfolio yang terbentuk dengan alat ukut indeks Treynor, Alpha-Jensen, dan indeks

Sharpe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk model faktor tunggal dan model 2

faktor pada kategori size-akrual, proksi tingkat akrual (CMA) memiliki pengaruh

positif (negatif) terhadap portofolio saham dengan tingkat akrual rendah (tinggi).

Sedangkan pada kategori size-B/M faktor CMA hanya memiliki pengaruh signifikan

dan negatif pada portofolio B/L-Rf. Sedangkan pada model tiga faktor, signifikansi

parsial faktor CMA hanya terjadi pada kategori size-akrual, yakni pengaruh positif

(negatif) pada portofolio dengan tingkat akrual yang rendah (tinggi). Hasil empiris

lainnya adalah penambahan faktor CMA, memang terbukti meningkatkan daya

prediksi model dalam menjelaskan variansi expected return portfolio saham pada

seluruh model asset pricing yang digunakan. Hasil evaluasi dengan tiga alat ukur

menyatakan bahwa aspek kapitalisasi pasar, dan rasio book-to-market masih belum

menunjukkan kinerja portofolio yang optimal bahkan setelah dilakukan perluasan

pada seluruh model dengan menambah informasi akrual emiten.

Keterbatasan

Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:

1. Jumlah sampel yang masih sedikit, dan periode penelitian yang pendek (4 tahun) dan

formasi pembentukan portfolio (tahunan).

2. Proksi akrual yang digunakan masih terlalu umum (hanya total akrual)

3. Indikator resiko masih mengacu kepada standar deviasi

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

32

Implikasi

Berdasarkan keterbatasan penelitian tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan saran atau implikasi bagi penelitian selanjutnya.

1. Jika dimungkinkan menambah periode pembentukkan portfolio, misalnya: bulanan,

triwulan, kwartal, dan per semester sehingga dapat memberikan informasi yang

lebih komprehensif mengenai kinerja portfolio yang terbentuk dengan pendekatan

yang digunakan.

2. Memisahkan proksi informasi akrual menjadi akrual diskresioner dan non-

diskresioner.

3. Menambah ukuran resiko portfolio, misalnya: risk reduce yang dihitung dengan

parameter value at risk (baik VaR 90%,VaR 99%; atau opsi resiko lainnya seperti

resiko sistematik portfolio, resiko unik portfolio, atau total resiko portfolio).

4. Menambah kriteria saham pembentuk porfolio, seperti saham yang termasuk dalam

kategori winner dan looser.

5. Informasi akuntansi perusahaan bisa ditambah dengan rasio price to cash flow

(PCF), EBITDA, EVA, dan aspek pendapatan residual emiten.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

33

REFERENSI Ali, A., L. Hwang, dan M. Trombley. 2000. Mispricing of the accrual component of

earnings: tests of the naïve investor hypothesis. Journal of Accounting, Auditing and Finance 15, 161-181.

Ball, R., Brown, P. 1968. An empirical evaluation of accounting income numbers. Journal of Accounting Research, 159-178.

Barth, M., Hutton, A. 2001. Financial analysts and the pricing of accruals. Stanford University, working paper.

Beneish, M., Vargus, M. 2002. Insider trading, earnings quality and accrual mispricing. The Accounting review 77, 755-791.

Bernard, V., Thomas, J. 1989. Post earnings announcement drift: Delayed price response or risk premium?, Journal of Accounting Research 27 (Suppl), 1-36.

Bernard, V., Thomas, J. 1990 Evidence that stock prices do not fully reflect the implications of current earnings for future earnings. Journal of Accounting & Economics 13, 305-340.

Bradshaw, M., B. Bushee dan G. Miller. 2004. Accounting choice, home bias and U.S. investment in non-U.S. firms. Journal of Accounting Research 42, 795-841.

Bradshaw, M., Richardson, S., Sloan, R. 2001. Do analysts and auditors use information in accruals. Journal of Accounting Research 39(1), 45-74 .

Carhart, M. 1997. On persistence in mutual fund performance. Journal of Finance 52, 57-82.

Chan, K.C. dan N. Chen. 1991. Structural and return characteristics of small and large firms. Journal of Finance 46, 1467-1484.

Collins, D. dan P. Hribar. 2000. Earnings-based and accruals-based anomalies: one effect or two?, Journal of Accounting and Economics 29, 101-123.

Daniel K., Titman S. 1997. Evidence of the Characteristics of Cross Sectional Variation in Stock returns. Journal of Finance, Vol. 52, No. 1,1-33.

Daniel K., Titman S., dan K. C. Wei J. 2001. Explaining the Cross-Section of Stock Returns in Japan or Characteristics. Journal of Finance, Vol. LVI, No. 2.

Davis, J., E. F. Fama, dan K. R. French. 2000. Characteristics, covariances, and average returns: 1929–1997. Journal of Finance 55, 389–406.

Dechow, P. 1994. Accounting earnings and cash flows as measures of firm performance: The role of accounting accruals. Journal of Accounting & Economics, 18, 3-42.

Desai, H., Rajgopal, S., Venkatachalam, M. 2002. Value-glamour and accrual mispricing. Duke University, working paper.

Dichev, I. 1998. Is the Risk of Bankruptcy a Systematic Risk? Journal of Finance 53-3, 1131- 1147.

Faff, R. 2001. An Examination of the Fama and French three-factor model using commercially available factors. Australian Journal of Management, 26, 1-17.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

34

Fama, Eugene F. 1998. Determining the Number of Priced State Variables in the ICAPM. The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 33, No. 2. (Jun.), pp. 217-231.

Fama, Eugene F, dan Kenneth R. French. 1992. The cross section of expected returns. Journal of Finance, Vol. XLVII, No. 2.

Fama, Eugene F., dan Kenneth R. French. 1993. Common risk factors in the returns on stocks and bonds. Journal of Financial Economics 33, 3-56.

Fama, Eugene F., dan Kenneth R. French. 1995. Size and Book-to-Market Factors in Earnings and Returns. Journal of Finance, Vol. L, No.1.

Fama, Eugene F., dan Kenneth R. French, 1996. Multifactor explanations of asset pricing anomalies. Journal of Finance, Vol. 51, No.1, 55-84.

Fama, Eugene F., dan Kenneth R. French. 1998. Value versus Growth: The International Evidence. Journal of Finance, Vol. 53, No. 6.

Fama, E. F., and K. R. French. 2000. Forecasting profitability and earnings. Journal of Business, 73, 161-175.

Fairfield, P., Whisenant, S., Yohn, T. 2001 Accrued earnings and growth: Implications for earnings persistence and market mispricing. Georgetown University, working paper.

Frankel, R. dan C. Lee, 1998, Accounting valuation, market expectation, and the book-tomarket effect, Journal of Accounting and Economics 25, 283–321.

Gaunt, C. 2004. Size and Book to Market Effects and the Fama-French three factor Asset Pricing Model: Evidence from the Australian Stock-market. Accounting and Finance, 44, 27-44.

Hirshleifer, D., K. Hou, S. Teoh, dan Y. Zhang. 2004. Do investors overvalue firms with bloated balance sheets?, Journal of Accounting and Economics 38, 297-331.

Hirshleifer, D., Kewei, H. K., Teoh, S. H. 2005. Aggregate Accruals and Stock Market Returns. Fisher college of business, Ohio state, working paper.

Hirshleifer, D., Kewei, H. K., Teoh, S. H. 2006. The accrual anomaly: risk or mispricing? Fisher college of business, Ohio state, working paper.

Hribar, P. 2000. The market pricing of component of accruals. Cornell University, working paper.

Khan, M. 2005. Are accruals really mispriced? Evidence from tests of an intertemporal capital asset pricing model, Working paper, MIT.

Kothari, S. 2001. Capital markets research in accounting. Journal of Accounting and Economics 31, 105-231.

Kraft, A., Leone, A., Wasley, C. 2001. On the use of Mishkin’s rational expectations approach to testing efficient-markets hypotheses in accounting research. Working paper, University of Rochester.

Lamont, O., C. Polk, dan J. Saa-Requejo. 2001. Financial constraints and stock returns. Review of Financial Studies 14, 529-554.

Lev, B. dan D. Nissim. 2004. The persistence of the accruals anomaly. forthcoming Contemporary Accounting Research.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

35

Maroney, N dan A. Protopapadakis. 2002. The Book-to-Market and Size Effects in a General Asset Pricing Model: Evidence from Seven National Markets. European Finance Review 6, 189-221.

Merton, R. C. 1973. An intertemporal capital asset pricing model. Econometrica 41, 867-887.

Moskowitz, T. 2003. An analysis of covariance risk and pricing anomalies. Review of Financial Studies 16, 417-457.

Mushruwala, C., S. Rajgopal, dan T. Shevlin. 2004. Why is the accrual anomaly not arbitraged away?, Journal of Accounting and Economics 2004 Conference Paper.

Ng, J. 2004. Distress risk information in accruals. Working paper, The Wharton School.

Pastor, L. dan R. F. Stambaugh. 2003. Liquidity risk and expected stock returns. Journal of Political Economy 111, 642-685.

Pincus, M., S. Rajgopal, dan M. Venkatachalam. 2005. The accrual anomaly: international evidence. Working paper, University of California, Irvine.

Rangan, S. 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics 51, 101-122.

Richardson, S., Sloan, R., Soliman, M., Tuna, I. 2001 Information in accruals about the quality of earnings, University of Michigan, working paper.

Ross, S. A. 1976. The arbitrage theory of capital asset pricing. Journal of Economic Theory 13, 341-360.

Schwert, W. 2001. Anomalies dan market efficiency. Handbook of the Economics of Finance, chapter 17.

Selowidodo, Arifin. 2007. Harga Akrual Diskresioner Di Pasar Modal Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol.9 No.2; 98-126.

Sloan, R. 1996. Do stock prices fully reflect information in accruals and cash flows about future earnings? The Accounting Review 71, 289-315.

Teoh, S., I. Welch, dan T. Wong. 1998a. Earnings management and the long run market performance of the initial public offering. Journal of Finance 53, 1935-1974.

------. 1998b. Earnings management and the underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics 51, 63-99.

Teoh, S. dan T. Wong, 2002, Why new issue and high-accrual firms underperform: the role of analysts’ credulity, Review of Financial Studies 15, 869-900.

Thomas, J., Zhang, H., 2002. Inventory changes and future returns. Review of Accounting Studies 7, 163-187.

Xie, H. 2001. The mispricing of abnormal accruals. The Accounting Review 76, 357-373.

Zach, T. 2004. Evaluating the ‘accrual-fixation’ hypothesis as an explanation for the accrual anomaly. Working paper, Washington University, St. Louis.

Vuolteenaho, Tuomo. 2000. Understanding the Aggregate Book-to-Market Ratio and Its Implications to Current Equity-Premium Expectations. Working Paper, Fisher College of Business.

Zhang, X. F. 2005. Accruals, Investment, and the Accrual Anomaly, Working paper, Yale University.

Zhang, Y. 2005. Net operating assets as predictor of future stock returns: an industry analysis. Working paper, The Ohio State University.

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

36

Tabel 1. Ringkasan Statistik

Pembentukan portfolio saham dilakukan berdasarkan interseksi ukuran perusahaan dan rasio B/M sesuai dengan hasil penelitian Fama dan French (2003). Nilai median keseluruhan sampel digunakan sebagai breakpoint untuk menetapkan perbedaan antara dua kategori. Emiten dengan kapitalisasi pasar kurang dari nilai median dianggap sebagai emiten dengan kapitalisasi pasar yang kecil dan sebaliknya mereka yang lebih besar dari nilai median dianggap sebagai emiten dengan kapitalisasi pasar besar. Klasifikasi saham berdasarkan rasio B/M juga akan membagi saham ke dalam dua kategori yang didasarkan nilai median keseluruhan sampel per tahun yaitu kategori B/M tinggi dan kategori B/M rendah. Dari interseksi pengklasifikasian tersebut, dibentuk empat kategori portfolio saham, yakni: S/H (Small Cap-High B/M), B/H (Big Cap-High B/M), S/L (Small Cap-Low B/M) dan B/L (Big Cap-Low B/M). Penelitian ini juga mengikuti prosedur Hirshleifer et al. (2006) dalam menambahkan faktor akrual (CMA) kepada model tiga faktor Fama dan French, yang analog pada faktor SMB dan HML dengan orientasi peringkat nilai operasional akrual tahun fiskal emiten dimana dari interseksi antara akrual operasional dan size terbentuk empat kategori portfolio saham, yakni: S/H-acc (Small Cap-High accrual), B/H-acc (Big Cap-High accrual), S/L-acc (Small Cap-Low accrual) dan B/L-acc (Big Cap-Low accrual). Definisi CMA adalah perbedaan nilai rata-rata tertimbang tingkat pengembalian portfolio saham yang memiliki tingkat akrual rendah terhadap nilai rata-rata tertimbang tingkat pengembalian portfolio saham yang memiliki tingkat akrual tinggi. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut: (S/L-acc + B/L-acc)/2 – (S/H-acc + B/H-acc)/2.

Panel A. Deskripsi Statistik

Rm_Rf SMB HML CMA Size-Akrual Size-B/M

SL_Rf BL_Rf SH_Rf BH_Rf SL_Rf BL_Rf SH_Rf BH_Rf Mean -9.35% 3.88% 2.30% -0.86% -5.85% -7.47% -4.67% -6.92% -7.64% -5.69% -2.64% -8.39% Std. Deviasi 0.02 0.11 0.08 0.04 0.05 0.04 0.06 0.06 0.04 0.07 0.07 0.03

Panel B. Matrik Korelasi

Rm_Rf SMB HML CMA Rm_Rf 1.00 0.12 0.31 -0.30 SMB 0.12 1.00 0.48 0.10 HML 0.31 0.48 1.00 0.23 CMA -0.30 0.10 0.23 1.00

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

37

Tabel 2. Hasil Uji Model Faktor Tunggal (CAPM)

Panel A. Model CAPM = Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] Portfolio Predictor α β Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.F Adj.R²

S/L Acc-Rf Rm-Rf 4.89% 1.15 0.2210 0.0082 0.0082 12.37% B/L Acc-Rf 2.34% 1.05 0.5029 0.0062 0.0062 13.35% S/H Acc-Rf 17.34% 2.36 0.0005 0.0000 0.0000 32.48% B/H Acc-Rf 6.67% 1.45 0.1449 0.0037 0.0037 15.14%

S/L-Rf 3.64% 1.21 0.3091 0.0023 0.0023 16.74% B/L-Rf 6.43% 1.30 0.2417 0.0282 0.0282 8.08% S/H-Rf 23.38% 2.78 0.0000 0.0000 0.0000 39.18% B/H-Rf 3.74% 1.30 0.0466 0.0000 0.0000 48.52%

Panel B. Model Perluasan CAPM = Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + cCMA(t) + e(t)

Portfolio Predictor α β c Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.c Sig.F Adj.R² S/L Acc-Rf Rm-Rf 9.10% 1.55 0.50 0.0199 0.0003 0.0015 0.0002 28.64% B/L Acc-Rf CMA 3.51% 1.16 0.14 0.3436 0.0041 0.3361 0.0154 13.25% S/H Acc-Rf 11.69% 1.81 -0.67 0.0079 0.0002 0.0002 0.0000 49.67% B/H Acc-Rf 0.92% 0.90 -0.68 0.8207 0.0387 0.0001 0.0000 38.57%

S/L-Rf 2.34% 1.08 -0.16 0.5359 0.0082 0.2955 0.0057 16.96% B/L-Rf 1.99% 0.87 -0.53 0.7169 0.1335 0.0170 0.0052 17.33% S/H-Rf 22.83% 2.73 -0.07 0.0000 0.0000 0.7435 0.0000 37.97% B/H-Rf 4.15% 1.34 0.05 0.0383 0.0000 0.5164 0.0000 47.87%

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

38

Tabel 3. Hasil Uji Model Dua Faktor

Panel A Hasil Faktor SMB

Model SMB; Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + e(t) Portfolio Predictor α β s Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.s Sig.F Adj.R²

S/L Acc-Rf Rm-Rf 3.06% 1.02 0.16 0.4167 0.0121 0.0069 0.0008 23.95% B/L Acc-Rf SMB 4.52% 1.20 -0.19 0.1421 0.0004 0.0001 0.0000 35.92% S/H Acc-Rf 15.54% 2.23 0.16 0.0011 0.0000 0.0244 0.0000 38.41% B/H Acc-Rf 10.03% 1.69 -0.30 0.0079 0.0001 0.0000 0.0000 47.05%

S/L-Rf 1.93% 1.09 0.15 0.5649 0.0031 0.0048 0.0002 28.79% B/L-Rf 10.51% 1.58 -0.36 0.0193 0.0011 0.0000 0.0000 43.13% S/H-Rf 21.29% 2.64 0.19 0.0000 0.0000 0.0105 0.0000 46.33% B/H-Rf 4.39% 1.34 -0.06 0.0180 0.0000 0.0402 0.0000 52.13%

Model Perluasan SMB; Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + cCMA(t) +e(t)

Portfolio Predictor α β s c Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.s Sig.c Sig.F Adj.R² S/L Acc-Rf Rm-Rf 7.09% 1.40 0.14 0.45 0.0568 0.0005 0.0121 0.0026 0.0000 36.85% B/L Acc-Rf SMB 6.48% 1.39 -0.21 0.22 0.0459 0.0001 0.0001 0.0818 0.0000 38.87% S/H Acc-Rf CMA 8.79% 1.59 0.20 -0.75 0.0262 0.0002 0.0008 0.0000 0.0000 60.18% B/H Acc-Rf 4.78% 1.19 -0.27 -0.58 0.1378 0.0007 0.0000 0.0000 0.0000 64.29%

S/L-Rf -0.03% 0.90 0.16 -0.22 0.9937 0.0160 0.0025 0.1148 0.0002 31.22% B/L-Rf 6.91% 1.24 -0.34 -0.40 0.1243 0.0091 0.0000 0.0234 0.0000 48.32% S/H-Rf 20.05% 2.52 0.19 -0.14 0.0001 0.0000 0.0089 0.4644 0.0000 45.78% B/H-Rf 5.05% 1.41 -0.06 0.07 0.0112 0.0000 0.0307 0.3259 0.0000 52.11%

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

39

Panel B. Hasil Uji Model Faktor HML

Model HML; Ri(t) - Rf(t)= α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + hHML(t) + e(t) Portfolio Predictor α β h Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.h Sig.F Adj.R²

S/L Acc-Rf Rm-Rf 4.90% 1.15 0.00 0.2554 0.0126 0.9943 0.0316 10.42% B/L Acc-Rf HML 4.79% 1.28 -0.14 0.1886 0.0013 0.0572 0.0039 18.34% S/H Acc-Rf 18.00% 2.42 -0.04 0.0007 0.0000 0.7077 0.0001 31.19% B/H Acc-Rf 14.85% 2.21 -0.48 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 57.81%

S/L-Rf 6.73% 1.49 -0.18 0.0673 0.0002 0.0180 0.0006 24.95% B/L-Rf 15.72% 2.16 -0.54 0.0007 0.0000 0.0000 0.0000 48.88% S/H-Rf 19.07% 2.39 0.25 0.0002 0.0000 0.0129 0.0000 45.89% B/H-Rf 3.38% 1.26 0.02 0.0926 0.0000 0.6057 0.0000 47.69%

Model Perluasan HML; Ri(t) - Rf(t)= α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + hHML(t) + cCMA(t) +e(t)

Portfolio Predictor α β h c Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.h Sig.c Sig.F Adj.R² S/L Acc-Rf Rm-Rf 11.54% 1.78 -0.11 0.57 0.0085 0.0001 0.2002 0.0007 0.0003 29.72% B/L Acc-Rf HML 7.92% 1.57 -0.19 0.27 0.0473 0.0003 0.0150 0.0699 0.0025 22.56% S/H Acc-Rf CMA 9.42% 1.60 0.10 -0.74 0.0508 0.0018 0.2877 0.0001 0.0000 49.84% B/H Acc-Rf 10.04% 1.75 -0.40 -0.42 0.0052 0.0000 0.0000 0.0022 0.0000 65.19%

S/L-Rf 6.27% 1.45 -0.17 -0.04 0.1261 0.0010 0.0345 0.7969 0.0020 23.36% B/L-Rf 13.54% 1.95 -0.51 -0.19 0.0070 0.0003 0.0000 0.3002 0.0000 48.99% S/H-Rf 15.96% 2.09 0.30 -0.27 0.0038 0.0003 0.0053 0.1777 0.0000 46.93% B/H-Rf 3.85% 1.31 0.01 0.04 0.0870 0.0000 0.7608 0.6215 0.0000 46.80%

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

40

Tabel 4. Hasil Uji Model 3 Faktor

Panel A. Model 3 Faktor; Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + hHML(t) + e(t) Portfolio Predictor α β s h Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.t-s Sig.t-h Sig.F Adj.R²

S/L Acc-Rf Rm-Rf 4.90% 1.20 0.21 -0.14 0.2109 0.0045 0.0021 0.1286 0.0009 26.24% B/L Acc-Rf SMB 4.79% 1.23 -0.19 -0.02 0.1431 0.0006 0.0011 0.7855 0.0001 34.58% S/H Acc-Rf HML 18.00% 2.47 0.22 -0.19 0.0003 0.0000 0.0055 0.0890 0.0000 41.06% B/H Acc-Rf 14.85% 2.17 -0.18 -0.36 0.0000 0.0000 0.0011 0.0000 0.0000 66.17%

S/L-Rf 6.73% 1.56 0.27 -0.36 0.0146 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 59.20% B/L-Rf 15.72% 2.10 -0.23 -0.39 0.0002 0.0000 0.0008 0.0001 0.0000 59.55% S/H-Rf 19.07% 2.42 0.13 0.17 0.0002 0.0000 0.1038 0.1300 0.0000 47.93% B/H-Rf 3.38% 1.24 -0.08 0.08 0.0726 0.0000 0.0085 0.0801 0.0000 54.37%

Panel B. Perluasan Model 3 Faktor; Ri(t) - Rf(t)=α +β[[Rm(t) – Rf(t)] + sSMB(t) + hHML(t) + cCMA(t) +e(t)

Portfolio Predictor α β s h c Sig.t-α Sig.t-Rm Sig.t-s Sig.t-h Sig.t-c Sig.F Adj.R² S/L Acc-Rf Rm-Rf 11.73% 1.85 0.22 -0.25 0.59 0.0023 0.0000 0.0002 0.0029 0.0001 0.0000 47.59% B/L Acc-Rf SMB 7.76% 1.51 -0.18 -0.07 0.26 0.0298 0.0001 0.0010 0.3640 0.0541 0.0000 38.65% S/H Acc-Rf HML 9.61% 1.67 0.21 -0.04 -0.72 0.0278 0.0004 0.0015 0.6360 0.0000 0.0000 59.47% B/H Acc-Rf CMA 9.88% 1.69 -0.18 -0.28 -0.43 0.0016 0.0000 0.0002 0.0001 0.0003 0.0000 74.47%

S/L-Rf 6.51% 1.54 0.27 -0.36 -0.02 0.0337 0.0000 0.0000 0.0000 0.8685 0.0000 58.28% B/L-Rf 13.34% 1.87 -0.23 -0.35 -0.21 0.0029 0.0001 0.0007 0.0005 0.2021 0.0000 60.16% S/H-Rf 16.07% 2.13 0.13 0.22 -0.26 0.0031 0.0002 0.1093 0.0625 0.1853 0.0000 48.87% B/H-Rf 3.78% 1.28 -0.08 0.07 0.03 0.0730 0.0000 0.0095 0.1336 0.6546 0.0000 53.52%

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

41

Tabel 5. Hasil Evaluasi Kinerja Portfolio Saham

Panel A. Indeks-Treynor Portfolio 2003 2004 2005 2006

S/L Acc-Rf -23.66 -13.65 8.64 -1.63 B/L Acc-Rf -0.58 -42.11 -0.56 -0.53 S/H Acc-Rf 4.40 -113.08 -0.21 -0.52 B/H Acc-Rf -1.89 -115.17 -0.32 -2.59

S/L-Rf 19.88 -21.92 -0.31 -3.45 B/L-Rf -0.63 -8.87 -0.26 -0.49 S/H-Rf -5.15 23.92 -0.24 -0.57 B/H-Rf -4.37 21.39 n/a -5.22

Panel B. Alpha-Jensen

Portfolio 2003 2004 2005 2006 S/L Acc-Rf -0.13 -0.13 -0.14 -0.21 B/L Acc-Rf -0.14 -0.14 -0.15 -0.18 S/H Acc-Rf -0.14 -0.07 -0.10 -0.17 B/H Acc-Rf -0.16 -0.12 -0.12 -0.21

S/L-Rf -0.16 -0.14 -0.12 -0.22 B/L-Rf -0.13 -0.11 -0.10 -0.16 S/H-Rf -0.12 -0.05 -0.08 -0.17 B/H-Rf -0.16 -0.14 -0.18 -0.23

Panel C. Indeks Sharpe

Portfolio 2003 2004 2005 2006 S/L Acc-Rf -2.51 -4.45 -2.55 -9.01 B/L Acc-Rf -2.28 -4.49 -9.29 -8.76 S/H Acc-Rf -2.17 -1.68 -2.24 -5.58 B/H Acc-Rf -4.39 -2.40 -1.85 -9.03

S/L-Rf -3.91 -6.56 -2.45 -13.68 B/L-Rf -2.09 -1.69 -1.98 -4.76 S/H-Rf -1.60 -1.21 -1.62 -6.28 B/H-Rf -5.74 -8.73 -1.27 -64.71

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

42

Lampiran. Hasil Pre-Test dan Uji Asumsi Klasik

Tabel 6. Signifikansi Pengaruh Faktor Pasar Terhadap Return Emiten

Dari jumlah sampel yang digunakan, 35,85% diantaranya menunjukkan bahwa koefisien beta saham (resiko sistematik) tidak memiliki pengaruh yang signifikan (sig.F > α 0,01) terhadap tingkat pengembalian saham-nya. Secara implisit, hal ini menunjukkan diperlukannya tambahan faktor resiko lain dalam menjelaskan tingkat pengembalian saham emiten. Dengan konfirmasi ini, akan dilakukan pengujian pada tingkatan portfolio mengenai signifikansi pengaruh pasar dan faktor tambahan lainnya (SMB, HML, dan CMA) terhadap tingkat pengembalian portfolio.

KODE Sig.F Adj R² KODE Sig.F Adj R² AALI 0.122 3.06% JPRS 0.307 0.14% ADMG 0.020 9.37% KAEF 0.000 44.31% ALMI 0.581 -1.49% KIJA 0.000 24.90% AMFG 0.001 21.42% KLBF 0.002 17.59% ANTM 0.001 18.97% LPCK 0.981 -2.17% APEX 0.011 11.26% LSIP 0.000 27.43% ASGR 0.000 34.65% MEDC 0.086 4.25% ASII 0.000 48.16% META 0.252 0.74% BATI 0.478 -1.05% MIRA 0.191 1.60% BLTA 0.779 -2.00% MRAT 0.017 9.95% BMTR 0.193 1.55% MYOR 0.000 34.22% BNBR 0.372 -0.40% PTRO 0.333 -0.09% BRPT 0.012 11.18% RIMO 0.268 0.54% BUDI 0.005 13.93% SMAR 0.950 -2.16% BUMI 0.073 4.80% SMCB 0.000 33.91% CTRA 0.002 16.70% SULI 0.027 8.29% ELTY 0.174 1.89% TBMS 0.115 3.24% GGRM 0.000 35.04% TINS 0.011 13.12% GJTL 0.000 46.74% TIRT 0.098 3.80% HMSP 0.001 20.03% TKIM 0.001 19.26% IATG 0.604 -1.57% TLKM 0.000 26.08% IGAR 0.000 26.03% TRST 0.000 27.10% IIKP 0.477 -1.05% TSPC 0.035 7.37% INDF 0.000 42.70% TURI 0.001 19.94% INKP 0.000 33.12% ULTJ 0.088 4.16% INTA 0.083 4.37% UNSP 0.828 -2.07% ISAT 0.000 35.24%

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

43

Tabel 7. Hasil Uji Asumsi Klasik

Panel A. Hasil Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan fenomena adanya korelasi yang sempurna antara satu variabel bebas dengan variabel bebas yang lain. Konsekuensi praktis yang timbul sebagai akibat adanya multikolinearitas ini adalah kesalahan standar penaksir semakin besar, dan probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah menjadi semakin besar. Pengujian terhadap ada tidaknya multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan metode VIF (Variance Inflation Factor (Gujarati, 1995; 339). Pemenuhan terhadap asumsi non-multikolinieritas dilakukan dengan kriteria nilai VIF < 10 dan Nilai Tolerance mendekati 1 (Santoso, 2002:206). Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan tidak terjadi gejala multikolinearitas pada persamaan multiregresi hasil uji model asset multifaktor.

Model Perluasan CAPM Model 2 Faktor (Perluasan HML) Tolerance VIF Tolerance VIF Rm_Rf 0.91 1.10 Rm_Rf 0.76 1.32 CMA 0.91 1.10 HML 0.79 1.27 CMA 0.79 1.26

Model 2 Faktor (Rm+SMB) Tolerance VIF Model 3 Faktor Rm_Rf 0.99 1.01 Tolerance VIF SMB 0.99 1.01 Rm_Rf 0.90 1.11 SMB 0.77 1.30 Model 2 Faktor (Perluasan SMB) HML 0.70 1.43 Tolerance VIF Rm_Rf 0.89 1.13 Model Perluasan 3 Faktor SMB 0.97 1.03 Tolerance VIF CMA 0.89 1.12 Rm_Rf 0.75 1.33 SMB 0.77 1.31

Model 2 Faktor (Rm+HML) HML 0.63 1.60 Tolerance VIF CMA 0.79 1.26 Rm_Rf 0.90 1.11 HML 0.90 1.11

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

44

Panel B. Hasil Uji Autokorelasi

Menurut Gujarati (1995:201) autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi di antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (seperti pada data runtun waktu atau time series data) atau yang tersusun dalam rangkaian ruang (seperti pada data silang waktu atau cross sectional data). Deteksi adanya Autokorelasi dengan menggunakan besaran Durbin-Watson, yaitu dengan membandingkan nilai d-hitung dengan d-tabel, dengan ketentutan : a) tidak terjadi autokorelasi kalau dU ≤ d ≤ (4-dU); terjadi autokorelasi positif d < dL ; terjadi autokorelasi negatif kalau d > (4-dL). Dari hasil pengujian didapati masih terjadi gejala autokorelasi positif dan indikasi inconclusive pada beberapa portfolio.

Model CAPM

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 1 1.528 1.601 1.40 2.399 2.472 Terjadi Autokorelasi positif

B/L Acc-Rf 1 1.528 1.601 1.90 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 1 1.528 1.601 1.62 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H Acc-Rf 1 1.528 1.601 1.88 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 1 1.528 1.601 1.64 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L-Rf 1 1.528 1.601 1.77 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 1 1.528 1.601 1.96 2.399 2.472 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H-Rf 1 1.528 1.601 0.80 2.399 2.472 Terjadi Autokorelasi positif

Model Perluasan CAPM

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 2.05 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 2.18 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.71 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.90 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 2 1.49 1.641 2.31 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L-Rf 2 1.49 1.641 1.98 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 2 1.49 1.641 1.89 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H-Rf 2 1.49 1.641 1.07 2.359 2.51 Terjadi Autokorelasi positif

Model 2 Faktor (SMB dan Perluasannya)

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.82 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.98 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.68 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 2.15 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 2 1.49 1.641 2.05 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L-Rf 2 1.49 1.641 2.11 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 2 1.49 1.641 1.93 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H-Rf 2 1.49 1.641 0.83 2.359 2.51 Terjadi Autokorelasi positif

Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 ISSN: 1412 – 0852

45

Panel B. lanjutan

Model 2 Faktor (HML dan Perluasannya)

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.91 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L Acc-Rf 2 1.49 1.641 2.12 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 1.87 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H Acc-Rf 2 1.49 1.641 2.00 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 2 1.49 1.641 2.15 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/L-Rf 2 1.49 1.641 1.93 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 2 1.49 1.641 2.04 2.359 2.51 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H-Rf 2 1.49 1.641 1.06 2.359 2.51 Terjadi Autokorelasi positif

Model 3 Faktor

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 3 1.452 1.681 1.40 2.319 2.548 Terjadi Autokorelasi positif

B/L Acc-Rf 3 1.452 1.681 1.90 2.319 2.548 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 3 1.452 1.681 1.62 2.319 2.548 Inconclusive

B/H Acc-Rf 3 1.452 1.681 1.88 2.319 2.548 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 3 1.452 1.681 1.64 2.319 2.548 Inconclusive

B/L-Rf 3 1.452 1.681 1.77 2.319 2.548 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 3 1.452 1.681 1.96 2.319 2.548 Tidak Terjadi Autokorelasi

B/H-Rf 3 1.452 1.681 0.80 2.319 2.548 Terjadi Autokorelasi positif

Model Perluasan 3 Faktor

Portfolio k dL dU d-Hit (4-dU) (4-dL) Ket

S/L Acc-Rf 4 1.414 1.724 1.40 2.276 2.586 Terjadi Autokorelasi positif

B/L Acc-Rf 4 1.414 1.724 1.90 2.276 2.586 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H Acc-Rf 4 1.414 1.724 1.62 2.276 2.586 Inconclusive

B/H Acc-Rf 4 1.414 1.724 1.88 2.276 2.586 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/L-Rf 4 1.414 1.724 1.64 2.276 2.586 Inconclusive

B/L-Rf 4 1.414 1.724 1.77 2.276 2.586 Tidak Terjadi Autokorelasi

S/H-Rf 4 1.414 1.724 1.96 2.276 2.586 Tidak Terjadi Autokorelasi B/H-Rf 4 1.414 1.724 0.80 2.276 2.586 Terjadi Autokorelasi positif