bab iv hasil penelitian dan...
TRANSCRIPT
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan proses penelitian yang dimulai
dengan, pra-penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan
penelitian. Pada bab ini juga akan membahas mengenai analisis data
dari masing-masing partisipan yang berisi mengenai gambaran umum
partisipan, laporan observasi, analisa verbatim dan kategorisasi, dan
analisis pengambilan keputusan masing-masing partisipan. Pada akhir
bab, terdapat pembahasan secara menyeluruh dari semua partisipan
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Proses pertama yang dilakukan peneliti sebelum mengambil data
adalah melakukan diskusi dengan dosen pembimbing mengenai
pedoman wawancara. Kemudian, mencari informasi mengenai
keberadaan biarawati Katolik dan Buddha pada beberapa orang,
selanjutnya menghubungi partisipan dan bertanya mengenai
kesediaannya menjadi partisipan dan terlibat menjadi sumber data
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.
Dalam tahapan pra-penelitian, peneliti berpanduan pada tahapan
pra-lapangan yang dikemukakan dalam Moleong (2005), yaitu :
a. Menyusun rancangan penelitian
45
Rancangan penelitian pertama-tama dilakukan dengan penulisan
bab satu hingga bab tiga, yang terdiri dari latar belakang, tinjauan
pustaka, dan metode penelitian. Peneliti juga merancang pedoman
wawancara sebagai alat pengumpulan data.
b. Memilih lapangan penelitian
Berdasarkan keterbatasan geografis dan praktis, maka peneliti
memilih partisipan yang berdomisili di Salatiga dan sekitarnya.
Keempat orang partisipan yang dipilih antara lain, dua orang biarawati
Katolik yang berdomisili di Salatiga, dan dua orang biarawati Buddha
yang berdomisili di Ampel, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
c. Mengurus perijinan
Peneliti meminta surat ijin penelitian untuk dapat melakukan
kunjungan dan wawancara dengan partisipan. Surat ijin, peneliti
peroleh dari fakultas dengan persetujuan dari dekan dan kedua
pembimbing. Peneliti kemudian mengunjungi partisipan dan
memberikan surat ijin penelitian kepada partisipan. Sebelumnya,
peneliti telah bertemu dengan partisipan untuk meminta kesediaannya
terlibat dalam penelitian ini sebagai sumber data, dan tidak lupa peneliti
juga menyampaikan gambaran mengenai penelitian yang akan
dilakukan kepada keempat partisipan tersebut.
d. Menjajaki lapangan
Pada tahap ini, peneliti telah memiliki gambaran umum mengenai
tradisi membiara dalam agama Katolik dan Buddha. Peneliti pada awal
kunjungan mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
masing-masing partisipan, dan aturan-aturan dari biara ataupun
46
komunitas secara umumnya. Peneliti juga berusaha bertanya mengenai
kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal.
e. Memilih dan memanfaatkan informan
Peneliti memperoleh informan yang berbeda untuk biarawati
Katolik dan Buddha. Untuk biarawati Katolik, peneliti mendapatkan
informasi lokasi partisipan dari teman peneliti yang beragama Katolik
dan berdomisili di Salatiga. Sedangkan untuk biarawati Buddha,
peneliti mendapatkan informasi dari romo di sebuah klenteng di
Semarang, mengenai keberadaan partisipan. Berdasarkan informasi
yang diperoleh, maka peneliti menemui partisipan Katolik dan meminta
kesediannya sebagai sumber data. Untuk biarawati Buddha, peneliti
mencari informasi lebih lengkap lagi mengenai lokasi tempat tinggal,
dan secara kebetulan peneliti berkenalan dengan partisipan di media
sosial facebook, dan peneliti meminta ijin untuk berkunjung, setelah
mendapatkan ijin peneliti pun berkunjung dan meminta kesediaan
partisipan dalam penelitian yang akan dilakukan.
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian
Peneliti menyiapkan perlengkapan penelitian yang diperlukan
dalam proses wawancara, perlengkapan tersebut antara lain pulpen,
buku catatan, dan sebagai alat perekam peneliti menggunakan tape
recorder dan handphone.
g. Persoalan etika penelitian
Peneliti, memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara
terbuka kepada calon partisipan. Peneliti pun berusaha untuk
menghormati kebiasaan, pribadi, dan norma-norma agama yang di
47
imani oleh partisipan maupun kebiasaan-kebiasaan membiara yang
dijalani partisipan.
2. Pelaksanaan Penelitian
Dalam proses pengambilan dan pengumpulan data, peneliti
melakukan beberapa kegiatan. Hal pertama yang dilakukan oleh
peneliti adalah membuat janji untuk bertemu dengan keempat
partisipan dengan waktu yang berbeda, karena faktor kesibukan
masing-masing partisipan. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan
pada tanggal 16 November 2012, pada pukul 10.30 WIB, peneliti
melakukan wawancara dan observasi dengan partisipan pertama.
Sebelumnya, peneliti telah membuat janji temu dengan partisipan
pertama saat peneliti memberikan surat ijin penelitian. Untuk ketiga
partisipan yang lain, peneliti membuat janji temu melalui sms (short
messages service).
Pada proses pengambilan data, peneliti melakukan wawancara dan
pengamatan sebanyak tiga kali untuk partisipan pertama, kedua, dan
keempat, sedangkan untuk partisipan ke tiga, peneliti melakukan
wawancara sebanyak dua kali saja. Hal ini dikarenakan, pada partisipan
ketiga, peneliti telah mendapatkan banyak informasi hanya dengan
melakukan dua kali pengambilan data, dan juga telah menemukan
kejenuhan (saturation) pada wawancara ke dua. Adapun, jadwal
pengambilan data masing-masing partisipan, sebagai berikut (table 4.1).
Tabel 4.1
Jadwal Pengambilan Data
Partisipan Tanggal Jam Tempat
48
1
16 November 2012 10.30-11.43WIB Panti Asuhan 1
23 November 2012 11.30-11.43 WIB Panti Asuhan 1
11 Pebruari 2013 10.00-10.45 WIB Panti Asuhan 1
2
15 Pebruari 2013 10.05-11.09 WIB Panti Asuhan 2
10 Maret 2013 10.34-11.28 WIB Panti Asuhan 2
4 April 2013 10.10-10.28 WIB Panti Asuhan 2
3 12 Januari 2013 13.25-14.02 WIB Vihara Ampel
30 Januari 2013 14.27-15.01 WIB Vihara Ampel
4
12 Januari 2013 14.07-14.37 WIB Vihara Ampel
30 Januari 2013 13.21-14.13 WIB Pondok Meditasi
19 Maret 2013 09.35-10.03 WIB Vihara Ampel
B. Analisis Data
Setelah proses pengambilan data selesai, dan semua data telah
terkumpul, maka selanjutnya peneliti melakukan proses analisis data.
Analisis data dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah disusun pada
bab tiga dalam metode penelitian. Hal yang pertama yang peneliti
lakukan adalah, mencatat hasil catatan lapangan dan memberikan kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, kemudian mengumpulkan,
memiliah-milah, mengklarifikasikan, mensintesiskan, membuat
ikhtisar, dan membuat indeksnya, kemudian membuat kategori data itu
mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-
hubungan, dan membuat temuan-temuan umum. Berikut hasil dari
penelitian tiap-tiap partisipan yang kemudian akan membahas
49
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara pada
biarawati Katolik dan Buddha.
C. Hasil Pengumpulan Data
1. Partisipan Penelitian 1 (SL)
a. Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial : SL
Usia : 40 tahun
Anak ke- : 7 dari 11 bersaudara
Pendidikan : Kuliah
Agama : Katolik
Partisipan berinisial SL, saat ini partisipan berusia 40 tahun. SL
merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara, yang dua diantaranya
telah meninggal dunia. Partisipan berasal dari Bai, Nusa Tenggara
Timur. Saat ini SL berprofesi sebagai seorang suster yang tergabung
dalam komunitas 1AM, komunitas yang terpusat di Jawa Timur yang
berkarya dalam menolong anak-anak yatim piatu dan cacat, juga yang
miskin. Saat ini dia ditugaskan untuk melayani di Salatiga, Jawa
Tengah sebagai kepala panti asuhan di Salatiga sejak Oktober 2007,
sebelumnya SL pada tahun 2002 sampai dengan 2007 ditugaskan di
Madiun, Jawa Timur. SL berasal dari keluarga Katolik yang sangat taat,
1 Komunitas Biara Katolik
50
memiliki 2bapak besar yang berprofesi sebagai pastor
3SVD di NTT.
Saat SMP, dia bersekolah di sekolah Katolik yang memiliki kepala
asrama seorang suster. SL pindah ke asrama sejak di kelas tiga SMP
karena sebelumnya saat kelas satu dan dua, dia masih pulang pergi
sekolah dan rumah.
Keinginan untuk menjadi suster sudah dirasakannya sejak masih
kecil tepatnya sejak sekolah dasar ketika SL melihat seorang suster
yang sudah berumur, saat dia berkunjung ke biara tempat bapak
besarnya tinggal. Tetapi keinginan tersebut sempat hilang saat SL
memasuki jenjang pendidikan menengah atas. Setelah lulus sekolah
menengah atas, SL sempat bekerja di biara 4SPSS sebagai karyawan
disana, banyak ajakan dari teman-teman susternya untuk bergabung
dalam komunitas dan menjadi suster, akan tetapi dirinya tidak
terpanggil untuk menjadi suster di SPSS.
Proses pengambilan keputusan yang cukup panjang, yang dialami
oleh SL. Persoalan pasang surut minat SL untuk hidup membiara yang
kadang muncul, dan tantangan-tantangan dari sekitar, membuatnya
memerlukan pertimbangan yang matang untuk mengambil keputusan
membiara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995, SL pun
ditahbiskan, dan menerima kerudung, kalung salib, dan cincin.
b. Laporan Observasi Partisipan
2 Panggilan untuk kakak dari ayah atau ibu di NTT (dalam bahasa Jawa Pakde)
3 Komunitas Serikat Sabda Allah
4 Tarekat suster-suster Abdi Allah Roh Kudus
51
Wawancara yang pertama dilakukan pada tanggal 16 November
2012 pukul 10.30 WIB. Wawancara dilakukan di panti asuhan tempat
SL ditugaskan sebagai kepala panti cabang Salatiga. Pada saat
wawancara pertama SL tengah mengurus anak-anak panti, karena saat
itu anak-anak sudah pulang sekolah. Saat melakukan wawancara SL
mengenakan pakaian suster lengkap dengan kerudung, kalung salib,
dan juga cincin di jari manisnya sebelah kanan.
Pada awal wawancara SL terlihat menikmati dan memahami topik
yang dibicarakan. Walaupun begitu dalam menjawab pertanyaan,
matanya tidak melihat langsung pada peneliti, melainkan melihat ke
arah halaman panti. Ini dilakukan terutama ketika SL berusaha
mengingat-ingat pengalamannya, tapi ini tidak berlangsung lama,
karena setengah perjalanan wawancara, dia pun dapat bercerita dengan
menatap langsung pada peneliti.
SL mudah menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, dan
selalu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dengan senyuman. Hal
ini lebih terlihat jelas ketika peneliti mengajak partisipan untuk
mengingat kembali perjalanan sebelum menjadi suster hingga menjadi
suster seperti sekarang ini. SL tersenyum saat menceritakan
pengalamannya sebelum menjadi suster. Ketika bercerita mengenai
ketertarikan untuk masuk komunitas AM dan sempat berbohong pada
para suster di tempat kerjanya saat di NTT, SL tertawa saat mengingat
kembali pengalamannya tersebut.
Saat peneliti bertanya mengenai kemungkinan keluarga yang tidak
setuju dengan keputusan yang diambilnya, SL pun terlihat sedih saat
52
menceritakan ada keluarganya (pamannya) yang melihat sebelah mata
pekerjaannya dalam melayani anak-anak. Ini sangat terlihat kontras dari
sikapnya saat menjawab pertanyaan sebelumnya yang selalu diselingi
dengan senyuman, berbeda dengan saat menjawab pertanyaan
mengenai pamannya itu, SL tidak tersenyum dan menjawab dengan
suara yang lebih pelan.
Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 23 November
2012, pada pukul 11.30, masih dilakukan di panti asuhan yang sama.
Pada wawancara yang kedua kali, SL semakin terbuka bercerita
mengenai pengalaman hidupnya dalam proses memutuskan hidup
membiara menjadi suster. Hal ini terlihat dari cerita SL yang lebih
mendetail mengenai respons-respons yang diterimanya dari keluarga
dan teman-teman mengenai keputusan yang diambil.
Kesedihan keluarga, pertanyaan dari teman-teman, bahkan
keraguan yang sempat dia alami saat harus berpisah dengan keluarga,
sekaligus rasa senang karena keinginannya menjadi seorang suster dan
melayani anak-anak cacat di panti asuhan dapat terwujud, dapat
diceritakan SL dengan sangat lancar dan jelas. Saat diajukan
pertanyaan, Selama wawancara dilakukan, SL pun dalam menjawab
pertanyaan memandang langsung pada peneliti sehingga jalannya
wawancara pun terlihat lebih nyaman lagi, ini juga terlihat dari sikap
duduk SL yang menyandarkan punggungnya pada sofa.
Wawancara yang ketiga dilakukan pada tanggal 11 Februari 2013,
di tempat yang sama, di panti asuhan, hanya dalam ruangan yang
berbeda tepatnya di ruang istirahat tamu (ruangan untuk menginap tamu
53
seperti ketua komunitas). Pada wawancara yang ketiga ini peneliti dan
SL duduk berhadapan di sebuah meja makan besar, partisipan terlihat
sedang tidak enak badan, karena terlihat dari wajahnya yang terlihat
pucat, dan bibirnya yang pecah-pecah, dan badan yang lebih kurus
daripada saat bertemu pada wawancara pertama dan kedua, hal ini pun
dikuatkan dari pernyataan SL yang mengatakan bahwa dirinya baru saja
sembuh dari sakit.
Pada wawancara yang ketiga, SL terlihat menjawab dengan sangat
pelan karena sedang masa pemulihan dari sakit. Akan tetapi ketika
peneliti menyinggung pertanyaan mengenai keluarganya, SL terlihat
senang dan tersenyum saat menceritakan aktivitas yang dilakukan jika
dirinya pulang. Kumpul dengan keluarga, saudara-saudaranya akan
datang walaupun mereka sedang bekerja. SL selalu terlihat gembira dan
diperlihatkan dengan senyumnya saat menceritakan mengenai
keluarganya.
Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai pimpinan yang
sangat perhatian dan penuh kasih sayang, SL bercerita dengan setengah
suara dan pelan saat menceritakan bahwa pimpinannya telah
meninggal. Dia pun menceritakan dengan antusias mengenai pimpinan
SL yang penuh kasih sayang, perhatian, seperti seorang ibu baginya.
Dan SL sangat sedih ketika menceritakan detik-detik terakhir SL
bertemu dengan pimpinannya sebelum meninggal, kesedihannya dapat
terlihat dari pandangannya yang memandang pada peneliti tapi
pandangannya seperti kosong seperti mengingat-ingat sesuatu, dan
kadang juga berhenti sebentar saat bercerita.
54
c. Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P1W1
Makna Teks dan Kode
Sosok suster yang
anggun, bahagia,
berpakaian putih
meninggalkan kesan bagi
P.
Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu
kayak anggun banget, kayak bahagia begitu
berpakaian putih, kok bisa seperti itu bagaimana
ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).
Keteraturan dalam doa,
dan aktivitas saat tinggal
dalam asrama membuat
P semakin tertarik
menjadi suster.
Trus saya SD dan SMP kebetulan, SMP itu
kebetulan kepala sekolah kami suster. Kelas satu
kelas dua saya masih tinggal di rumah keluarga
terus kelas 3 saya masuk asrama, diasrama itu
digembleng bener-bener sama suster ya, hidup
doanya teratur, belajar, istirahat, makan jadi
teratur, terus saya jadi ada tertarik juga untuk
menjadi suster, tapi dalam hati saya, saya tidak
ungkapkan, jadi disimpan dalam hati, (P1W1 17-
25).
Harapan bapak besar,
agar P menjadi seorang
suster saja.
terus saat kelas 3 SMP itu, bapak besar saya masih
hidup, dia bilang kamu mau jadi suster ya, saya
tidak langsung bilang iya, saya lihat dulu kalau
saya memang ada panggilan saya mau masuk tapi
kalau tidak ada, saya tidak masuk, lalu dia bilang
“kamu pasti bisa” ….(P1WI 25-30).
55
Peraturan di asrama yang
lebih bebas ketika SMA
membuat P kehilangan
minat untuk hidup
membiara.
Sebenarnya saya SMP itu di kota di Ende, tapi
saya takut kalau meneruskan SMA di kota saya
tidak bisa belajar, jadi ya biar nanti saja jika
memang orang tua punya biaya untuk kuliah saya,
kuliahnya nanti baru di kota, jadi saya memilih
SMA di desa saja. Terus saya SMA di Bai, disana
memang asrama tuh bebas tidak ada diatur-atur
lagi kayak di asrama seperti waktu SMP, paling
hari minggu, terus doa pribadi, misa jumat pertama
itu juga ada. Ya namanya apa ya, udah SMA itu
kan pergaulan juga sudah, apa ya… pacaran tu,
juga ada memang, dan memang panggilan saya itu
hilang disana, saya tidak ada panggilan lagi (P1WI
30-42).
Kehilangan minat
membuat P menolak
ajakan hidup membiara
saat SMA.
He…eh, sempat hilang…hilang…, ya mungkin
pergaulan juga ya, dan teman-teman juga kita
hidup diluar tidak terarah, asrama memang ada
tapi kan, kepala asramanya orang awam, kita
bebas, mau belajar kita belajar sendiri, masak
sendiri, asrama itu kan kayak kost-kostan gitu.
Waktu itu juga ada dari salah satu kesusteran
disana, melakukan aksi panggilan, tapi memang
kami gak ada tertarik, kami tidak ada satu pun
yang daftar, tidak ada, dan saya saat itu tidak ada,
tidak ada niat lagi ke situ kayak hilang gitu (P1WI
45-55).
Ketidakberadaan biaya
untuk kuliah membuat P
lebih memilih bekerja di
biara SPSS daripada
Setelah itu saya tamat, keluarga saya itu kan tidak
mampu untuk biayai kuliah, sudah saya
memikirkan begini, kalau saya di luar saya tidak
bisa untuk bekerja seperti orang di luar kan di luar
56
bekerja di luar. itu kerjanya macam-macam ya, ya selain dulu kan
masuk MUDIKA, kan masuk MUDIKA muda-
mudi Katolik itu kegiatannya juga banyak
berkebun, bercocok tanam, nah kalau kita di luar
itu hidupnya apa ya, itu orang tidak lama hidupnya
akan cepat menikah, ya kadang tergantung juga
dari keputusan pribadi seseorang, saat itu saya
tidak mau tinggal di luar sudah, waktu itu saya
juga pingin kerja, dan saya waktu itu bekerja di
SPSS, kerja di Biara SPSS di Ende, kerja sebagai
karyawati, satu bulan saya percobaan di dapur
memasak, (P1WI 55-69).
P enggan untuk masuk
dalam hidup membiara
di biara SPSS karena
merasa tidak sesuai
dengan minatnya.
Ada juga kami sempat dekat juga dengan calon
suster SPSS, teman saya itu ajak saya “ayo masuk
sini, ikut di SPSS dengan saya (menjadi suster),
saya jawab “saya kalau di SPSS tidak bisa”, terus
dia bertanya, lalu mau masuk dimana, “ya saya
lihat dulu, mungkin ada biara yang cocok untuk
saya”, saya bilang begitu (P1WI 74-80).
Kekhasan kehidupan
membiara SPSS tidak
menarik bagi P.
SPSS itu, Abdi Roh Kudus, jadi mereka dalam
biara itu, satu kamar sendiri, hidup dalam
biara,mereka tidak seperti kami, di dalam itu
ruangan khusus untuk mereka kamar tidur sendiri,
kamar mandi sendiri, pakaian dicucikan oleh
karyawati, jadi namanya biara itu kan hidup dalam
tembok biara, nah kalau kami kan hidup di tengah-
tengah masyarakat, hidup membaur dengan umat
dengan masyarakat (P1WI 83-90).
P tidak merasa tertarik
masuk dalam hidup
Belum, memang teman saya itu mengajak masuk
di biara SPSS, dan waktu itu ada empat biara lain
57
membiara di biara yang
ada di Ende.
yang ada di sana, tapi keempat ini saya tidak ada
tertarik, saya tidak ada satu pun yang saya tertarik.
(P1W1 93-96).
Pertemuan pertama kali
P dengan suster AM
yang datang berkunjung
ke SPSS.
Terus tiba-tiba tahun 1994, saya kerja di SPSS itu
sejak saya tamat 92, angkatan 92, saya kerja sejak
bulan Juni, dan kebetulan saat itu ada tiga suster
dari AM untuk cari panggilan, cari panggilan kan
tidak ada keluarga, tidak ada umat yang mereka
kenal untuk menginap, nah mereka nginap di SPSS
yang kebetulan saya kerja di sana, dan dari ketiga
suster ini ada teman saya yang sama-sama tamat
SMA dan satu kelas (P1W1 96-104).
P mencari informasi
mengenai komunitas AM
dan visi misi AM.
Saat bulan Juni saya sempat pulang, dan saya
tanya pada kakak ipar saya mengenai teman saya,
dan katanya dia sudah di Malang, sekarang dia
sudah pakai kerudung, pakai pakaian, sudah terima
cincin, dan salib, nah saya bingung kan namanya
masuk biara kan ada prosesnya, prosesnya itu kan
2 tahun 3tahun itu baru terima pakaian, terima
kerudung, terima cincin, terima kalung salib, tapi
kok langsung, saya penasaran, biara apa sih, saya
penasaran. Tapi saya tidak tahu visi misinya apa,
karyanya apa saya belum tahu, dan tiba-tiba suster
ini datang, saya tu tidak tahu, apa memang
kehendak Tuhan juga tiba-tiba ketemu dengan
teman saya itu, (P1WI 101-117).
Visi dan misi melayani
anak-anak cacat dan
hidup bersama dengan
mereka membuat P
setelah itu saya bertemu dengan ketiga suster ini,
dan wawancara dan mereka juga kasih brosur, dan
dijelaskan visi misinya hidup bersama dengan
anak-anak, kita ini melayani anak-anak cacat,
58
tertarik dan
merenungkan kembali
panggilannya.
hidup serumah dengan mereka. Sudah, saya tu
pingin, sudah saya masuk disini saja, saya tuh
pingin melayani seperti ini (P1WI 117-123)
P memberitahukan
keputusannya pada
keluarga lewat surat.
Saat saya ambil keputusan masuk dalam AM, saya
kirim surat ke orang tua, saya minta ijin ke mereka
(P1WI 123-125). Saya minta persetujuan dari
orang tua, mereka setuju, ya sudah (P1WI 132-
133).
P menetapkan hatinya
pada panggilannya untuk
melayani di AM
walaupun ada tawaran
untuk kuliah.
Iya, hanya saya sendiri, dan memang ditempat
saya itu satu-satunya susternya baru saya, kalau
imamnya 2 tapi susternya baru saya. Saat
menerima keputusan, saya langsung, saya juga
sempet bohong ya, sempet bohong sama suster
yang disana SPSS, saya sebenarnya sudah
direncanakan dikuliahkan untuk kebidanan, sudah
daftar, sudah tes tinggal tunggu masuknya, tapi
saya punya panggilan lebih kuat, akhirnya saya
tinggalkan untuk profesi itu untuk kemudian
masuk di AM (P1WI 136-145).
Adanya konflik pada
perasaannya antara
senang dan sedih saat
menjalani pilihannya.
Perasaan waktu itu, ada perasaan dua-duanya, ada
perasaan senang ada perasaan pingin pulang juga
(P1W1 166- 167).
Perasaan senang
impiannya menjadi
suster tercapai.
Senang melihat anak-anak, bertemu dengan suster-
suster yang lain, bergabung, dan bisa sampai disini
(Malang), impian saya tercapai, maksudnya saya
kan punya cita-cita ingin menjadi suster kok bisa
tercapai seperti itu perasaan saya waktu itu (P1WI
169-173).
Perasaan sedih saat Terus tidak senangnya waktu itu saya, kalau saya
59
teringat dengan keluarga
di rumah, terutama
dengan ibunya.
sakit, saya ingat semua di rumah, soalnya kalau
saya sakit saya ingat semua dirumah yang lebih
saya ingat itu mama, kalau saya sakit itu di rumah
mama saya pasti ada (P1WI 173-177).
Keluarga memberikan
ijin dan dukungan yang
sangat besar pada
keputusan yang P ambil.
Gak tau ya, waktu itu tu setelah saya mengirim
surat ke rumah, misalnya saya mengirim surat hari
ini, besok tuh mamak saya, kakak saya nomor 3
sama nomor 5, sama adek saya yang bungsu
mereka langsung datang ke Ende (sambil
tersenyum), saat mereka sampai sana saya tuh
kaget, kenapa harus datang, lha mamak saya
bilang, kan surat saya mereka baca bersama
keluarga, mereka minta persetujuan bersama-sama,
jadi ini dia punya niat seperti ini apakah kita mau
mendukung dia, terus mereka serentak mengatakan
iya, ya kalo ini memang sudah jalannya mereka
mendukung, ya mereka bilang kalau memang
sudah punya pilihan seperti ini ya jalani terus,
jangan menoleh ke belakang, jangan ingat kami,
hidup kami seperti ini, kamu harus menjalani
hidup kamu disana (P1WI 197-212).
Ketika harus berpisah
dengan keluarga P
merasakan kesedihan
dan keraguan pada
kemampuannya untuk
menjalani hidup
membiara.
Ya rasa sedih ada ya, karena disana itu kalau ada
anaknya yang mau masuk biara, biasanya kumpul-
kumpul ya, kumpul-kumpul keluarga, umat, untuk
doa bersama, terus acara makan-makan bersama,
saya juga waktu itu dirumah tidak lama, cuma 3
malam dan karena sejak lama saya hidup dalam
asrama, waktu itu kan kita makan-makan bersama
sebagai perpisahan, dalam hati saya juga sempat
saya mampu tidak ya menjalani ini, (P1WI 215-
60
233).
P selalu mengingat
dukungan dan doa dari
keluarga untuk dirinya.
tapi karena doa keluarga dan pesan dari bapak
besar saya yang mengatakan “ingat pilihanmu”
(P1WI 233-224).
P menghadapi situasi
dimana ada anggota
keluarga yang
menyayangkan
keputusannya untuk
hidup membiara.
Iya, tapi memang ada saudara, bukan dari keluarga
inti tidak setuju ya, sempet mereka berkata bahwa
begini “ah sekolah-sekolah sudah sampai SMA
kok tidak antu orang tua malah masuk biara, kan
kalau disana mereka berpikir kalau masuk biara
kan terlepas ya dengan keluarga, tidak melihat
kebelakang lagi, dan hidup untuk berkarya (P1WI
226-232).
Pengalaman P saat
berkarya melayani umat.
Terus ada pengalaman saat saya berkarya melayani
orang-orang yang di desa saat itu belum ada
kendaraan, tiap hari saya berjalan kaki pergi untuk
berkarya, pergi untuk mengunjungi dan terapi
anak-anak di rumah-rumah mereka masing-masing
(P1WI 232-237).
P menghadapi salah satu
anggota keluarga yang
menyayangkan pilihan
yang diambilnya,
walaupun begitu P telah
menetapkan hatinya pada
keputusannya.
Sempat om kandung bilang begini, “kenapa tidak
ikut masuk sama teman-temanmu di SPSS kan
enak, kenapa memilih panggilan seperti ini tiap
hari jalan terus kok miskin sekali”, sampai bilang
begitu, lalu saya bilang, “ya tidak apa-apa om,
Tuhan pasti punya rencana untuk saya, tidak
mungkin Tuhan meninggalkan saya, saya pilih
jalan ini, pasti Tuhan akan membantu saya (P1WI
237-244).
Analisis Verbatim P1W2
61
Makna Teks dan Kode
Bapak besar memiliki
harapan, agar P menjadi
seorang suster.
Saya ndak bilang, hanya waktu itu dia sempet
bilang gini, tapi saya gak jawab iya, dia bilang
“nanti kamu jadi suster saja ya” bilang gitu (P1W2
28-30).
P menolak untuk
melanjutkan SMA di
kota karena takut tidak
dapat belajar dengan
baik.
Sebetulnya dia sudah daftarin saya sekolah di
Ende, tapi dalam pikiran dan hati saya kan, ah saya
tidak mau sekolah di kota, ketimbang saya sekolah
di kota, nanti saya hanya bermain saja, pergi jalan-
jalan terus saya tidak ingat belajar, lebih baik
sekolah di desa dulu, nanti kalau memang ada
biaya ya kuliah di kota boleh, tapi saya belum
sempet tamat beliau sudah duluan meninggal ya
sudah (P1W2 30-37)
Perasaan kehilangan
pada diri P saat bapak
besar meninggal dan
kecewa karena bapak
besar tidak bisa melihat
P menjadi suster.
Ndak bilang, iya dia bertanya seperti itu tiba-tiba.
Makanya saya saat beliau meninggal itu saya
sangat kehilangan sekali, awal saya menjadi
seorang suster ini, saya sempat, aduh seandainya
bapak besar masih ada, saya memang paling
bahagia. Saya tuh seperti dilindungi, bapak besar
ini kan orangnya dengan siapa saja tuh orangnya
baik gitu (menekankan kata-katanya) (P1W2 41-
48).
Adanya kebiasaan sering
mengunjungi bapak
besar di biaranya.
Iya, gimana ya, bapak besar ini, saya tidak bisa
mengungkapkan dengan kata-kata, saya dan beliau
itu dekat sejak SD, tapi saat SD belum terlalu
dekat, saat SMP itu, saat SMP kan saya sering
pergi ke biaranya, kalau libur tuh sambil pergi ke
biaranya pergi liburan disana, kadang-kadang 1
62
minggu, pernah juga SMP dia datang mengunjungi
saya (P1W2 58-64).
P menyampaikan
keputusan membiara
lewat surat kepada
keluarga.
Waktu itu kan saya tulis surat, jelas di rumah kalau
mereka menerima surat itu mereka kumpul semua,
satu orang yang baca, yang lain dengarkan (P1W2
77-79).
Perasaan takut tidak
diperbolehkan masuk
AM oleh teman-
temannya membuat P
berbohong pada teman-
temannya.
Kalau teman-teman itu.....(sambil tertawa), teman-
teman itu mereka gak tau ya, kan saya tutup mati,
maksudnya saya gak mau beritahu gitu, jadi
disimpen sendiri, tapi temen-temen saya itu
kayaknya feelingnya kuat, soalnya kan mereka
melihat kok saya dekat banget sama suster yang
baru datang itu, mereka bilang, “kamu mau jadi
suster itu ya (AM)?”, “siapa bilang saya mau jadi
suster?”, “kok deket gitu?”, saya bilang enggak, ya
akhirnya mereka tahu sendiri saat 1 minggu
sebelum saya keluar dari situ (SPSS), bahkan
suster yang di biara itu (SPSS) saya bohong sih,
seandainya saya tidak bohong mungkin saya tidak
diijinkan untuk masuk AM (P1W2 82–94).
Kebohongan P
dipertanyakan oleh
teman susternya di biara
tempatnya bekerja
(SPSS)
Persis 1 minggu saya mau keluar, suster itu bilang
“saya tahu kamu bohong”, terus saya bilang
“suster kalau saya tidak bohong mungkin saya
tidak bisa keluar dari sini”, bahkan saya bilang ke
mereka saya mau kuliah di Kupang, mereka bilang
“buat apa kuliah di Kupang jauh-jauh, udah di sini
kamu sambil kerja sambil kuliah, biar nanti
biayanya kami yang biayai.” (P1W2 94 – 101).
Kakak-kakak P
membantu P meyakinkan
Yang berperan ya kakak-kakak saya, mereka yang
mengumpulkan keluarga, mereka terus bilang
63
keluarga yang lain untuk
mendukung P.
kalau memang panggilan dia, kita harus
mendukung (P1WI 106-108).
Pada saat perpisahan,
keluarga merasa sedih
dan mempertanyakan
keputusan P.
Saat ada kumpul-kumpul keluarga sebelum saya
pergi, ya mungkin mereka juga sedih ya,
bagaimana saya yang tidak pernah kumpul
keluarga, sudah mau pergi lagi, saya waktu itu
sedih juga ya. Waktu itu mereka juga pernah
bilang kok saya pergi jadi suster, (P1W2 108-113).
Kemantapan P untuk
tetap setia pada
panggilannya.
tapi saya menjanjikan, saya minta doa, saya akan
jalan terus kedepan, dan saya harap keluarga
dirumah juga baik-baik (P1W2 113-116).
Kakak nomor enam
menjadi orang pertama
yang mengetahui
keputusan P.
Yang paling dekat dengan saya ya, maksudnya
kalau saya punya masalah atau apa cerita gitu itu
kakak yang nomor 6, kalau memang ada masalah,
saya cerita sama dia, dan itu juga yang pertama
kali tau saya mau jadi suster dia juga, kan dia juga
waktu itu jadi salah satu karyawan di biara di Ende
(P1W2 118-123)
Rasa terkejut P saat
melihat saudara-
saudaranya dan ibunya
datang untuk mendukung
pilihan P.
Saya tidak tahu waktu itu saya tidak ada dirumah,
tapi waktu itu lewat 2 hari setelah saya kirim surat
ke rumah, saya juga kaget mamak, dan kakak saya
nomor tiga dan nomor lima, sama adek bungsu
saya itu datang ke biara ke Ende, saya kaget, lho
mereka ni buat apa (P1W2 126-131).
Rasa sedih dirasakan
oleh ibu dan P karena
akan berpisah dan hidup
jauh.
Terus mamak saya langsung bilang sambil
menangis, dia bilang begini, ya saya datang karena
dekat disini, kalau besok-besok sudah pergi jauh
tidak mungkin saya bisa datang gitu. Ya saya mau
bagaimana saya harus mengikuti keputusan ini
(P1W2 131-135).
64
Kehidupan yang jauh
dari keluarga tidak
membuat P ragu dengan
keputusan yang
diambilnya, walaupun
tetap membuat P sedih.
Saya tidak ada rasa ragu ya, mungkin kan saya
punya keinginan itu dari tamat SMA itu, setelah di
SPSS itu, mau masuk itu juga tidak mungkin, saat
waktu itu ada orang cari panggilan di AM ini, saya
pikir ini ni. Ya saat diadakan perpisahan dengan
keluarga itu, memang sedih, saya memang sedih
tapi ya…. (P1W2 141-146).
Dukungan dari keluarga
menjadi penentu P
mengambil keputusan
karena P merasa
keluarganya lebih tahu
dirinya.
Kalau mungkin mereka gak setuju, ya saya ikut
mereka, yah mungkin mereka tau saya, mereka
juga lebih tau hidup saya, kalau mereka tidak
setuju tidak mungkin saya… (P1W2 150-153).
Perasaan kecewa
andaikan keluarga tidak
mendukung keputusan P.
Kalau tidak diijikan pasti kecewa berat ya, kecewa
sekali kalau memang gak diijinkan, yang pasti
kalau gak diijikan saya gak seperti ini, saya gak
tau dimana (P1W2 156-158).
Walaupun ada
kesempatan untuk kuliah
P tetap memilih menjadi
suster.
Mungkin saya jadi bidan, karena di SPSS
sebenarnya saya dikuliahkan, tapi saya tidak jadi
masuk karena saya lebih memilih di AM (sambil
tertawa) (P1W2 162-164).
P merasakan bahwa
pilihannya hidup
membiara dalam
komunitas AM adalah
sudah jalannya Tuhan
(takdirnya).
saya lebih kuat keinginan untuk jadi suster, saya
juga pernah ini gak tau mimpi atau hayalan saya,
waktu saya mau masuk ke sini itu (AM), saya
pernah bermimpi Bunda Maria datang dia itu
pegang kepala saya, tidak omong apa terus hilang,
waktu itu saya tidur, lalu saya bangun saya itu
ingat mimpi itu waktu itu saya masih di SPSS,
waktu itu saya cerita pada mamak saya, lalu saya
ingat mimpi ini saat saya mau masuk ke biara AM
65
(P1W2 165-171).
Rasa percaya bahwa
keluarga mendukung dan
bangga dengan
keputusannya.
Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti
mereka senang sekali karena diantara sembilan
bersaudara ada yang mau jadi suster, itu pasti
mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2
174-177 ).
Kehidupan yang damai
saat P melihat kehidupan
seorang suster senior.
Iya ya, waktu itu saya melihat suster ini tidak ada
beban dalam hidupnya, kok kayaknya hidupnya
damai hidupnya aman, maksudnya kok kayaknya
tidak ada beban dia mikir apa gitu, mungkin hanya
mikirnya berdoa berdoa gitu, suster itu hidupnya
kayak tenang seperti itu (P1W2 186 - 191).
Keteraturan berdoa saat
bekerja di SPSS
membuat minat P hidup
membiara kembali
muncul.
Waktu itu kan pernah yang saya bilang pernah
hilang kan (saat SMA keinginan hilang), ya terus
kan tamat SMA kan kerja di SPSS, di SPPS itu
kan muncul lagi, kan di SPSS kan hidup doanya
teratur, ada jam doa, jadi keinginan saya muncul
lagi (P1W2 199-203).
P menolak tawaran
menjadi suster di SPSS
karena P masih mencari
biara yang cocok bagi P.
Waktu itu kan ada teman saya yang juga calon
suster SPSS mengajak saya untuk masuk menjadi
suster SPSS, tapi saya tidak mau, saya bilang
mungkin ada biara yang cocok dengan saya. Ya
sudah dia bilang, saya mau masuk SPSS karena
saya memang ingin masuk SPSS kata dia. Sampai
sekarang kami masih sering kontak (P1W2 203-
209).
Minat yang semakin kuat
karena ingin melayani
anak-anak cacat.
Ya itu tadi saya tertarik lewat brosur, kan suster
yang kepala, yang tiga itu kan jelaskan mendetail,
hidup serumah dengan anak, sekamar, satu meja
makan sama anak-anak, mereka kan yang cacat,
66
yang kakinya buntung, yang tidak punya tangan,
saya tuh senang jadi suster untuk melayani mereka
(P1W2 212-217).
Keraguan dari teman,
saat P mengambil
keputusan masuk dalam
AM.
Memang suster SPSS yang wakil itu sempet bilang
saya, “apakah kamu bisa merawat anak-anak
seperti itu”, ya saya jawab, “saya coba dulu jikalau
saya tidak bisa ya saya mundur, tetapi suster,
selagi saya mampu dan kuat saya bisa.” (P1W2
220-224).
Bapak besar
mempercayakan P pada
teman susternya untuk
dibimbing menjadi
seorang suster.
Saat SMP, kebetulan suster di asrama SMP saat itu
juga dekat dengan bapak besar saya, sempet pesan
sama suster itu, ya nanti ponakan saya itu dia mau
jadi suster tolong kamu bimbing dia, padahal saya
gak bilang punya keinginan menjadi suster (P1W2
230-234).
Adanya keraguan orang
lain pada diri P dalam
menjalani panggilannya
tidak membuat P
menyerah pada
keputusannya untuk
tetap melayani di AM.
Makanya saat saya ketemu sama ibu asrama saya
itu dia kaget (sambil tertawa), dia kira saya di
SPSS karena kan pernah ketemu juga di SPSS, dia
kaget saya jadi suster di AM. Kan dia kuliah di
UPI Malang, dia kaget, dia keluar kampus tuh dia
ngeliat kami, kami tuh kan ada lima, namanya
masih calon kan kami masih bersih-bersih halaman
itu tuh, kan kampusnya berhadapan dengan rumah
pusat (AM), ya udah dia kaget, kan sempat
ketemu, dia bilang “hah kok kamu di AM?”, dia
sempet marah-marah juga, tapi saya bilang “ya
suster saya masuk AM”, terus dia bilang “kok
kamu bisa dan kuat?”, ya saya bilang ya biar saja.
(P1W2 234-247).
Kesulitan keuangan Yah, sempet hilang juga, waktu, saya tuh
67
membuat P tidak ingat
dengan minat hidup
membiara.
sekolahnya putus-putus, yah namanya orang tua
tidak mampu ya, saya tuh kelas 1 ke kelas 2, saya
sempat keluar, bahkan saya saat ujian sempat tidak
ikut karena SPP belum dibayar, yah namanya juga
dari keluarga petani ya, tapi saya tuh memang
punya niat untuk sekolah, dulu sempat saya putus
asa, keinginan untuk menjadi suster sempat gak
ingat karena banyaknya masalah (P1W2 250-257).
Meninggalnya bapak
besar, membuat P
semakin memiliki
keinginan kuat menjalani
hidup membiara.
Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat
bapak besar saya meninggal itu, itu kayaknya saya
ada apa mungkin, tapi saya tidak ungkap, saya
tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati saya
tidak tahu (P1W2 258-261).
Saat bapak besar
meninggal P berjanji
untuk menjadi suster
seperti yang bapak
besarnya inginkan.
waktu itu memang sempet saya bilang gini “bapak
saya ikut bapak seperti yang bapak omong ke saya
itu, tapi memang saya tidak ungkap, waktu itu saya
hanya menangis saja, hanya menangis di depannya
dia itu, terus setiap kali saya pulang itu pasti pergi
bakar lilin, janji pada bapak, minta doa untuk saya
tetap kuat seperti bapak gitu (P1W2 261-268).
Adanya tantangan yang
berat pada awal-awal
hidup membiara.
Pernah, ada…ada, saat awal-awal itu memang
banyak tantangan berat, pernah saya itu benar-
benar gak kuat, tapi karena doa dari teman-teman,
saya sendiri, seandainya orang mungkin kalau
tidak kuat mungkin keluar (P1W2 278-282).
Mengingat kembali akan
panggilannya saat ada
tantangan dari berbagai
Situasi komunitas, situasi pribadi, dari lingkungan,
kadang dari keluarga, kadang saya pikir untuk apa
saya jadi suster kalau keluarga saya ada masalah,
tapi memang saya ada kekuatan dengan
68
Analisis Verbatim P1W3
pihak. mengingat motivasi awal saya (P1W2 284-288).
Usaha yang P lakukan
seperti mengingat
motivasi awalnya untuk
tetap pada panggilannya
Dari komunitas, mereka bantu doa, bantu sharing,
mengingat kembali motivasi awal. Kalau saya
putus asa, kalau saya merasa berat keidupan
kedepan itu, saya mengingat motivasi awal, sudah
sampai seperti ini sayang jika dilepaskan (P1W2
290-294).
P semakin mantap
dengan pilihannya
walaupun menemukan
tantangan.
Hahaha….. iya, saya merasa saat saya ada masalah
tantangan malah saya semakin kuat. Tuhan itu baik
sama saya setiap saya doa itu selalu terkabul,
untuk tantangan kedepan dapat membuat saya
lebih kuat lagi (P1W2 296-300).
Makna Teks dan Kode
Keluarga kerap kali
mendukung P lewat
doa.
Mereka mendukung saya lewat doa dan memotivasi
saya (P1W3 9-10). Ya mereka mendukung saya
lewat doa, ya mungkin bukan doa secara
berkelompok, tapi mereka ada yang berdoa secara
pribadi mendoakan saya, kalau saya pulang mereka
keluarga itu kumpul ya seperti itu mba (P1W3 13-
16).
Keputusan keluarga
menjadi yang utama
bagi P.
Yah kalau memang mereka gak mendukung saya,
gak mungkin saya lanjut terus (P1W3 18-19).
Orang tua
menginginkan agar P
Wah saya sama orang tua saya deket banget mba,
bahkan bapak saya itu inginnya saya tu tugasnya di
69
bertugas di daerah NTT
saja.
sana aja biar deket sama keluarga, kalau saya
pulang liburan atau pas ada tugas di sana, mereka
inginnya saya gak cepet-cepet pulang ke sini
(salatiga), biar saya lama-lama di sana. Menjelang
saya selang satu minggu mau pulang mereka tu
kayak sedih banget, mereka senang kalau saya
dekat mereka. Mereka sangat menyayangi saya
(P1W3 22-30). Mereka pun mendukung, mereka
itu sangat sayang sama saya (P1W3 32-33).
P akan berfokus pada
motivasinya saat
menghadapi tantangan
dalam hidup membiara.
Saya itu ya saya tuh selalu ingat kalau saya
mendapatkan tantangan yang berat saya selalu
maju, pokoknya kalau saya sepertinya mau keluar
saya inget sama… ih kenapa saya hidup seperti ini,
kok kenapa saya seperti ini, tapi saya ingat lagi
yang menyuruh kau masuk itu siapa kan saya yang
mau, saya berpikir di situ, saya mikir lagi untuk apa
saya memilih hidup di luar lagi pula toh kehidupan
di luar juga sama dengan orang hidup di dalam
komunitas (P1W3 38-46)
Tantangan dalam hidup
membiara dijadikan
motivasi untuk tetap
setia.
Saya merasa kalau saya mendapatkan tantangan
saya merasa lebih… apa ya… saya melihat kembali
apa… hikmahnya di balik tantangan itu bahwa
dengan tantangan ini memberi lebih…lebih
memberi kekuatan atau mendorong saya agar lebih
kuat untuk bisa menghadapi masalah tersebut
(P1W3 46-52).
Permasalahan dalam
hidup membiara dibawa
P dalam doa dan
renungan.
Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus
saya duduk, duduk di depan kapel itu, saya duduk
diam…saya duduk diam saya gak ngomong apa-apa
saya berdoa…… (mengucapkan doa yang pernah
70
dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya
Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan
jalan keluarnya memberikan yang terbaik, jadi saya
berdoa seperti itu, pokoknya kalau saya mendapat
tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di kapel di
kamar dan merenung dengan tenang (P1W3 62-71).
Hidup doa sebagai cara
menghadapi masalah
yang P alami dengan
komunitas maupun
dengan pekerjaannya.
Saya kalau punya masalah dengan komunitas,
dengan teman, atau mungkin dengan perawat,
misalnya mereka melakukan kesalahan, itu pertama
saya diam dulu, saya lihat mereka apakah mereka
sadar kesalahan mereka kalau mereka gak sadar
saya beritahu, kenapa saya diam seperti ini karena
kamu begini, lalu saya bawa ke dalam doa, ke
dalam doa, Tuhan seperti ini keadaannya kiranya
Tuhan ampuni mereka dan juga saya, dan Tuhan
buka jalan buka hati mereka biar mereka menyadari
kesalahan yang mereka lakukan (P1W3 75-85).
Dengan berdoa P
merasakan kelegaan
dari segala
permasalahanya.
Saya itu kalau punya masalah saya ke kapel duduk
diam saya merenung, itu kayaknya lega, itu
kayaknya masalah-masalah itu semuanya habis
(P1W3 85-88).
Aktivitas dalam
komunitas sebagai cara
mengatasi masalah.
Saya kalau mengalami fase pasang surut begitu saya
menyibukan dengan pekerjaan dan juga berdoa
seperti tadi, nanti lupa sendiri (P1W3 94-96).
Dukungan diperoleh
dari pimpinan dan
teman komunitas.
Oh ya tentunya pimpinan, pimpinan terus
memotivasi kami, teman juga (P1W3 99-100).
Pimpinannya dalam
biara, yang penuh
perhatian dan kasih
Saya memandang pimpinan, pimpinan saya itu
sebenarnya sudah meninggal, pimpinan saya itu
aduh… seperti figur seorang ibu, saya anggap
71
sayang seperti sosok ibu
bagi P.
seperti ibu saya sendiri, orangnya kan orang Jawa
ya, lembut dia, kalau kita sakit atau kita ada apa
orangnya itu perhatian, terus kalau saya pergi libur
itu dia bilang “ya baik-baik ya, sehat, nanti pulang
ya (balik lagi)” takut gak balik lagi, nanti pulang ya
jangan di sana terus (P1W3 102-110).
Peranan pimpinan biara
bagi P dalam
menghadapi masalah.
Dia umur 70an, setiap bulan itu mesti ke makamnya
pergi doa gitu, kadang sampe sekarang pun walau
beliau gak ada, kalau saya lagi kritis sakit atau ada
suster yang sakit saya doa sama dia, “aduh ibu
kenapa sih kok suster ini kakak ini kok sakit terus,
apa yang harus saya buat”, terus “ibu tahu kan
situasi sekarang seperti ini”, kadang saya ngomong
seperti berhadapan padahal saya ngomong pada
gambarnya hehehe (sambil tertawa), atau kalau saya
ke Malang saya ngomong “ibu saya mau ke
Malang, sampe ketemu di Malang ya” giu saya
ngomong (P1W3 112-122).
Meninggalnya pimpinan
biara sebagai
kehilangan besar bagi P.
Iya saya dekat banget, waktu itu kan pas saya
ditugaskan di sini, beliau sudah digantikan kan
karena dia sakit-sakitan makanya di ganti, makanya
saya waktu itu saat hari rabu ketemu saya..ketemu
saya.. kok rabu besoknya dia meninggal itu, kok
sedih banget saya. Sebelum meninggal itu saya
berangkat dari sini ke Malang, saya itu peluk dia,
dia tanya “kok kamu ke sini”, kan saya panggil ibu,
saya bilang “iya bu saya ke sini, mau beli
keperluan”, dia bilang “kamu baik-baik ya”, “ibu
doakan saya ya”, dia bilang “iya saya doakan
kamu”. Saya diberitahu minggu besoknya udah gak
72
d. Kategori
Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari
hasil analisis verbatim P1 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses
pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori
dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1. Ketertarikan pada sosok suster saat masih di sekolah dasar.
2. Bapak besar menjadi inspirasi (significant other).
ada itu mendadak banget, sebelum saya tau itu saya
sedang mengerjakan laporan, saya gak tau apa dia
ingin saya kesana atau bagaimana, (P1W3 125-
138).
Kesedihan yang
mendalam ketika
pimpinan biara sakit
dan menjelang
meninggal.
saya itu melakukan pekerjaan itu kayak ngambang,
kayak gak ada pekerjaan yang bisa di buat gitu,
aneh dengan tinta mengetik kan baru beli saya
mengetik kok tidak keluar tintanya kok malah
kosong, padahal ini kan tinta baru, terus teman saya
ada yang sms Lud kamu ke sini ibu sudah kritis, iya
besok pagi aja, tapi mungkin ibu ingin saya pergi
kesana, saya ngetik itu bekerja itu tidak bisa.
Akhirnya saya doa, saya lepas pekerjaan saya pergi
ke Malang, sampe Jombang di bis itu saya
menangis, saya menangis, sebelum saya sampai
beliau sudah meninggal (P1W3 139-149).
Bagi P, pimpinannya
merupakan seorang
yang baik dan penuh
perhatian.
Setelah beliau meninggal saya pernah mimpi beliau
dua kali, datang menemui saya, dia bilang bilang
pada saya “kamu baik-baik ya”. Dia itu baik…
banget, perhatian banget (P1W3 149-153).
73
3. P melakukan pola coping menunda dalam mengambil keputusan
( d e f e n s i v e a v o i d a n c e ) membiara.
4. Kembalinya minat untuk hidup membiara setelah bapak besar
meninggal.
5. Terpanggil untuk melayani anak-anak cacat.
6. Respons yang positif dari keluarga inti.
7. Mengutamakan pendapat keluarga inti
8. Kebanggaan jika salah satu anggota keluarga ada yang hidup
membiara.
9. Perasaan keluarga dan SL saat harus berpisah.
10. Konflik batin saat membiara.
11. Membawa permasalahan dalam doa.
12. Berfokus pada motivasi awal saat menghadapi tantangan
13. Usaha-usaha P untuk setia pada panggilannya
14. Dukungan dari pimpinan dan teman seprofesi sangat berarti
15. Tidak ada keraguan lagi pada dirinya karena menjadi suster adalah
takdirnya.
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari
pertemuan dengan seorang suster yang menimbulkan kesan yang
mendalam pada dirinya. Partisipan saat itu masih duduk di sekolah
dasar, dia mengunjungi bapak besarnya yang adalah seorang Pastor
SVD. Di biara itulah merupakan pertemuan pertamanya dengan seorang
suster senior yang sudah cukup berumur. Partisipan terpukau melihat
74
keanggunan suster itu dengan pakaian putih, dan segala atribut yang
suster senior itu pakai. Partisipan merasakan adanya kebahagiaan,
kedamaian, keamanan, dan kehidupan yang tidak ada beban pada suster
tersebut. Pertemuan itulah menjadi dasar ketertarikannya pada
kehidupan membiara, yang membuatnya ingin menjadi suster dan
memiliki kehidupan dengan unsur-unsur yang dimiliki suster senior
tersebut.
Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu kayak anggun
banget, kayak bahagia begitu berpakaian putih, kok bisa seperti itu
bagaimana ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).
Keinginan menjadi suster, partisipan simpan dalam hatinya dan tidak
diceritakan pada orang lain. Ketika partisipan sudah beranjak remaja
keinginan menjadi suster tersebut masih disimpannya dalam hati, dan
menjadi semakin besar karena didukung dengan pola hidupnya ketika
di asrama.
Sejak SMP kelas tiga, partisipan tinggal di asrama sekolahnya. Di
asrama itu dipimpin oleh kepala asrama yang merupakan seorang
suster. Partisipan sangat senang dan nyaman dengan kehidupan di
asramanya, pola kehidupan yang teratur di mana kehidupan doa,
makan, istirahat, dan belajar yang sangat teratur membuatnya semakin
tertarik dengan hidup membiara. Keinginannya menjadi seorang suster
yang sejak kecil disimpan dalam hatinya, menjadi semakin besar
dengan pola hidup teratur yang dijalaninya di asrama. Selain itu minat
partispan pada kehidupan membiara dan menjadi seorang suster,
memperoleh dukung dari bapak besarnya yang berprofesi sebagai
75
pastor SVD. Bapak besar selalu berharap bahwa partisipan dapat
menjadi seorang suster, bahkan sebelum partisipan menceritakan
keinginannya menjadi suster, bapak besar seperti sudah terlebih dahulu
mengetahui keinginannya.
Dalam perjalanan hidupnya yang semakin beranjak dewasa,
partisipan mulai kehilangan minat untuk membiara. Hal ini terjadi pada
saat sekolah menengah atas. Saat SMA pun partisipan tinggal di asrama
sekolahnya, adanya perbedaan peraturan di asrama SMA yang tidak
seketat dengan peraturan saat di asrama SMP membuat dirinya
melupakan minatnya pada kehidupan membiara. Kehidupan doa dan
aktivitas dalam asrama SMA lebih bebas, dan hal ini berdampak pada
kehidupannya yang lebih terasa bebas. Bahkan saat SMA, partisipan
memiliki pacar, sehingga keinginan untuk hidup membiara terlupakan.
Ketika kesempatan hidup membiara itu datang, dengan adanya aksi
panggilan sebuah kesusuteran ke SMAnya, dia bahkan tidak tertarik.
Pada saat itu dirinya benar-benar lupa akan keinginannya untuk
menjadi suster, dan ketika partisipan kelas tiga SMA, bapak besar
meninggal. Partisipan mengalami kesedihan yang mendalam karena
relasi yang dekat dengan bapak besar, dan saat itu dia pun teringat akan
perkataan bapak besar yang ingin dirinya menjadi suster. Dia pun
berdoa dan berjanji dalam hatinya untuk memenuhi harapan bapak
besar dengan menjadi seorang suster. Bagi partisipan bapak besar
menjadi seseorang yang menginspirasinya untuk mengambil keputusan
hidup membiara dan menjadi suster.
76
“Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat bapak besar saya
meninggal itu, itu kayaknya saya ada apa mungkin, tapi saya tidak
ungkap, saya tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati, saya
tidak tahu, waktu itu memang sempet bilang gini bapak saya ikut
bapak seperti yang bapak omong ke saya itu, tapi memang saya
tidak ungkap, waktu itu saya hanya menangis saja, hanya menangis
di depannya dia itu” (P1W2 258-265).
Peristiwa kehilangan bapak besar membuatnya kembali terpanggil
untuk hidup membiara, hal ini ditunjukan dengan partisipan yang
memilih untuk bekerja di biara SPSS di Ende, bekerja sebagai
karyawati di sana. Kehidupan dalam biara SPSS dengan hidup doanya
yang teratur dengan adanya jam doa, membuat minat untuk hidup
membiara dan menjadi suster semakin kuat. Akan tetapi hal itu tidak
serta merta membuat SL masuk mengikuti pembinaan menjadi suster di
SPSS. Beberapa tawaran dari temannya dan tawaran dari suster di biara
SPSS tempat partisipan bekerja, untuk menjadi suster di SPSS tidak
membuatnya tertarik untuk ikut. Partisipan merasakan dalam dirinya
bahwa dia belum menemukan biara yang cocok baginya, yang
membuat panggilannya semakin kuat lagi.
Dua tahun sudah sejak partisipan bekerja sebagai karyawati di
SPSS, dan pada tahun 1994 biara SPSS kedatangan tiga orang suster ke
Ende untuk mencari panggilan, ketiga suster tersebut berasal dari
komunitas AM. Dari ketiga suster tersebut, salah satunya merupakan
teman partisipan saat masih SMA dan sekarang telah menjadi suster di
komunitas AM. Hal itu yang membuat rasa keingintahuan SL yang
77
besar bagaimana bisa temannya itu dengan waktu yang singkat dapat
menjadi seorang suster. Rasa keingintahuan yang besar ini membuatnya
mencari informasi mengenai visi dan misi komunitas AM, hingga pada
akhirnya dia pun memutuskan untuk menemui ketiga suster tersebut.
Penjelasan mengenai visi dan misi, dan juga karya-karya AM di bidang
pelayanan pada anak-anak cacat membuatnya semakin tertarik, dan
pada akhirnya memutuskan untuk menerima panggilannya menjadi
suster AM. Partisipan merasakan dalam hatinya bahwa komunitas AM
merupakan tempat yang cocok untuknya, di mana dia dapat melayani
anak-anak cacat dan hidup bersama-sama dengan mereka, kekhasan
AM dengan karya-karya melayani umat secara langsung membuatnya
semakin tertarik dan mantap dengan keputusannya, karena pelayanan
seperti ini yang dicarinya.
“Sudah, saya tu pingin, sudah saya masuk di sini saja, saya tuh
pingin melayani seperti ini. Saat saya ambil keputusan masuk
dalam AM” (P1W1 121-124).
Orang pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya masuk
komunitas AM adalah kakak nomor enam. Partisipan dekat dengan
kakaknya ini, saat ada masalah biasanya kakak nomor enam ini yang
dijadikan partisipan sebagai tempat mengadu. Kakaknya ini juga
berkerja sebagai karyawati di salah satu biara di Ende. Ketika partisipan
mengirimkan surat ijin pada keluarganya di kampung, dia dalam
hatinya merasa yakin bahwa keluarga akan mendukung keputusannya
untuk membiara dan menjadi suster. Keyakinannya ini juga didasari
dari pandangan masyarakat di sana, yang menganggap bahwa suatu
78
kebanggaan jika ada anaknya yang masuk dalam hidup membiara, baik
menjadi pastor maupun suster.
Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti mereka senang
sekali karena diantara sembilan bersaudara ada yang mau jadi
suster, itu pasti mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2 174-
177).
Bagi partisipan dukungan dari keluarga merupakan hal yang sangat
penting, tanpa dukungan dari keluarga dia tidak akan berani melangkah
untuk lebih jauh lagi dalam hidup membiara. Keyakinannya bahwa
keluarga akan mendukung keputusannya sangatlah besar, partisipan
tahu bahwa keluarganya akan mengerti dan bangga dengan keputusan
yang diambilnya. Hal ini terbukti dengan kedatangan perwakilan
keluarganya ke biara SPSS dengan maksud untuk memberitahukan
padanya bahwa mereka sekeluarga mendukung dengan sepenuh hati
keputusan yang diambilnya. Akan tetapi ketika tiba saatnya berpisah
dengan, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga merasakan
kesedihan karena akan jauh dari partisipan. Keluarga pun sempat
mempertanyakan mengapa partisipan memutuskan manjadi suster, hal
ini juga membuat partisipan bersedih dan sempat ragu apakah dirinya
mampu menjalani kehidupan membiara. Keraguan dan kesedihan yang
dirasakannya ini terobati dengan mengingat dukungan yang sudah
keluarganya berikan dan pesan dari bapak besarnya sebelum
meninggal, yang mengatakan “ingat pilihanmu”. Ini yang membuatnya
tidak merasakan keraguan lagi saat harus berpisah dari keluarga dan
dengan mantap memutuskan untuk hidup membiara. Adapun keluarga
79
yang lain yang bukan merupakan keluarga inti memberikan respons
yang negatif dengan keputusan yang partisipan ambil, mereka
mempertanyakan keputusannya menjadi suster dan bahkan pamannya
meremehkan pelayanan yang partisipan lakukan.
Keraguan partisipan rasakan kembali pada awal kehidupan
membiara, dia merasakan konflik batin pada dirinya. Di satu sisi
partisipan merasa senang karena cita-cita sejak kecilnya tercapai dan
dapat bertemu dengan suster-suster dan dapat melayani anak-anak
cacat, akan tetapi di sisi lain ada perasaan sedih saat awal membiara
karena perasaan rindunya pada keluarga di NTT. Rasa rindu akan
kehadiran ibu yang selalu ada jika partisipan jatuh sakit, perhatian dan
kasih sayang ibunya sempat membuatnya ingin pulang saja. Masalah
dan tantangan yang SL rasakan di dalam komunitas membiara pun
dirasakan begitu berat, fase pasang surut motivasi pun kadang kala
terjadi di perjalanan hidupnya dalam biara. Ketika keinginan-keinginan
untuk menyerah dirasakan olehnya, partisipan selalu membawa
masalah-masalanya dalam doa. Berdoa pada Tuhan untuk dapat
menguatkan dirinya agar tetap setia pada panggilan. Usaha lain yang
dilakukan oleh partisipan agar kuat pada panggilannya, yaitu dengan
mengingat motivasi awal dirinya yang begitu ingin hidup membiara
menjadi suster dan dapat melayani anak-anak cacat.
“Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus saya duduk,
duduk di depan kapel itu, saya duduk diam… saya duduk diam saya
gak ngomong apa-apa saya berdoa… (mengucapkan doa yang
pernah dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya
80
Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan jalan keluarnya
memberikan yang terbaik, jadi saya berdoa seperti itu, pokoknya
kalau saya mendapat tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di
kapel di kamar dan merenung dengan tenang” (P1W3 62-71).
Tatkala partisipan memanjatkan doa pada Tuhan, perasaan damai
tenang dan kelegaan dari semua masalah-masalah yang dihadapinya
dapat dia rasakan.
Tidak hanya keluarga yang mendukungnya untuk membiara, akan
tetapi teman-teman satu komunitas dan juga suster pimpinan selalu
mendukung baik saat masih dalam biara maupun saat partisipan
ditugaskan di tempat lain. Mereka terus memberikan semangat,
dorongan, padanya, terutama suster pimpinan, yang sangat dekat
dengan partisipan. Pimpinan selalu memberikan arahan-arahan padanya
jika dia menghadapi permasalahan dalam motivasinya maupun
kehidupan komunitasnya. Hingga pada saat meninggalnya suster
pimpinan, partisipan sangat merasakan kehilangan sosok ibu yang
selalu memberikan kasih sayang padanya saat dalam biara.
Berbagai cobaan yang dihadapi oleh partisipan dalam mencapai
tujuannya hidup membiara, pada akhirnya justru membuatnya semakin
kuat pada panggilannya, dan membuat partisipan semakin dekat dengan
Tuhan.
“kalau saya mendapatkan tantangan saya merasa lebih… apa ya…
saya melihat kembali apa… hikmahnya di balik tantangan itu
bahwa dengan tantangan ini memberi lebih…lebih memberi
81
kekuatan atau mendorong saya agar lebih kuat untuk bisa
menghadapi masalah tersebut” (P1W3 47-52).
Partisipan semakin kuat pada panggilannya, dan menganggap bahwa
panggilannya menjadi seorang suster adalah takdirnya.
2. Partisipan Penelitian 2 (SE)
a. Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial : SE
Usia : 40 tahun
Pendidikan terakhir : D3
Anak ke- : 6 dari 7 bersaudara
Agama : Katolik
SE berasal Atambua, Nusa Tenggara Timur, merupakan anak ke
enam dari tujuh bersaudara. SE lahir pada tanggal 27 Oktober 1972,
saat ini berusia 40 tahun, dan SE akan tepat berusia 41 tahun bulan
Oktober 2013. Sejak masih bayi dia diasuh oleh mamak kecilnya
(tante), karena saat itu mamak kecil tidak memiliki anak. Kenyataan
bahwa mamak kecil bukanlah ibu kandungnya, baru diketahui saat SE
kelas enam sekolah dasar. Sejak itu pun dia lebih sering pulang ke
rumah orang tua kandungnya. Partisipan sendiri dari keluarga kandung
merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, ibunya telah meninggal
saat partisipan masih duduk di bangku SMP kelas tiga.
82
Partisipan memiliki keinginan untuk menjadi suster sejak kelas tiga
sekolah dasar. Keinginan itu timbul saat dia melihat seorang suster di
gereja, akan tetapi keinginan ini hilang seiring berjalannya waktu
karena saat itu SE masih kecil dan tidak terpikir bisa mewujudkannya.
Partisipan melanjutkan SMP dan SMAnya di Timor Leste, tinggal
dengan keluarga pamannya bersama dengan kakaknya yang nomor tiga.
Saat SMA kelas dua, panggilan untuk menjadi suster dan menjalani
hidup membiara kembali dirasakan olehnya. Setelah mendapatkan
informasi pembinaan hidup membiara dari kakak kelasnya, SE pun
mulai mengikuti pembinaan setiap hari minggu. Selama satu tahun
partisipan mengikuti pembinaan secara diam-diam, karena faktor
ketidaksetujuan keluarga terutama kakak nomor tiga.
Setelah SE mengikuti pelatihan dan lulus tes, dia pun
memberitahukan pada keluarga besar mengenai keputusannya untuk
hidup membiara menjadi suster. Pada tahun 1995, masuk dalam biara
5PRR. Kehidupan membiara yang dijalaninya tidak berlangsung lama,
hanya selama sembilan bulan SE menjalani hidup membiara. Hal ini
dikarenakan kondisinya yang sering mengalami sakit saat dalam biara.
Selama sembilan bulan, sekitar tiga kali partisipan diperiksakan ke
dokter. SE memiliki sakit di lambungnya dan malaria, akan tetapi
beberapa kali juga dia sakit tapi ketika diperiksakan kondisinya normal-
normal saja.
Bulan Maret 1996, SE keluar dari PRR untuk berobat dan kembali
pulang ke Atambua karena ada kakaknya yang akan menikah. Saat di
5 Tarekat Puteri Reinha Rosari
83
Atambua, dia mendapatkan tawaran dari keluarga dan pamannya untuk
kembali ke biara atau kuliah saja di 6IPI, Malang. Akhirnya SE
memutuskan untuk menerima tawaran kuliah di IPI. Tanggal 29 Juni
1996, berangkat ke Malang dari Timor Leste menggunakan kapal laut,
dan sampai di Malang pada tanggal 1 Juli 1996. Di IPI ada kegiatan
berkunjung beberapa kali dalam seminggu ke panti asuhan komunitas
AM, yang menjadi satu yayasan dengan IPI. Disana SE melihat anak-
anak panti asuhan yang cacat dan miskin dirawat oleh para suster, dia
merasa terpanggil kembali untuk melayani anak-anak itu secara
langsung dan tidak terbatas dengan jadwal kunjungan saja. Maka SE
pun memutuskan untuk masuk dalam hidup membiara dan menjadi
suster di komunitas AM. Selama tiga bulan perkenalan, partisipan
diterima sebagai aspiran pada tanggal 30 Desember. Aspiran7 selama
satu tahun, kemudian postulant satu tahun juga, lalu novis8 selama tiga
tahun. Kaul9 pertama dilakukan oleh SE selama sembilan tahun. Pada
tanggal 27 September 2010, SE pun melaksanakan kaul kekal.
b. Laporan Observasi Partisipan
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 15 Pebruari 2013, pada
pukul 10.05 WIB. Wawancara dilakukan di tempat partisipan tinggal,
6 Institut Pastoral Indonesia
7 Masa perkenalan, periode 1 tahun sebelum menjadi postulan
8 Periode ±2 tahunpelatihan seluruh ordo, dilakukan setelah masa postulan
9 Janji kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan agama (KGK:2102)
84
yaitu di panti asuhan. Dimana SE ditempatkan untuk melayani. Peneliti
mengenal dan mendapatkan no handphone SE, dari partisipan
penelitian yang pertama. Sebelumnya melalui sms (short messages
service), peneliti membuat janji dengan partisipan. SE memiliki
perawakan yang kecil dan cenderung kurus dengan berat badan ±35kg,
partisipan juga memiliki warna kulit yang putih. Saat wawancara
partisipan memakai baju suster, lengkap dengan kerudung dan kalung
salib. Kedatangan peneliti untuk melakukan wawancara, sudah
diketahui dari kepala panti, yang tidak lain adalah partisipan pertama.
SE merupakan orang yang ramah, hal ini dapat dilihat dari ekspresinya
yang selalu tersenyum pada peneliti. Saat melakukan wawancara,
terlihat partisipan masih menjaga jarak dengan peneliti, dengan posisi
duduk yang dibatasi satu kursi antara peneliti dan dirinya, dan arah
pandangnya saat berbicara pun tidak langsung melihat pada peneliti.
Setiap kali menjawab pertanyaan yang diberikan, SE selalu menjawab
dengan tersenyum, terutama ketika bercerita bahwa dirinya dengan
diam-diam mengikuti pembinaan menjadi suster, tanpa memberitahu
keluarganya.
SE memperlihatkan ekspresi yang sedikit berbeda, lebih antusias
saat menceritakan pengalamannya dalam hidup berkomunitas, yang
membuatnya sempat memiliki niat meninggalkan kehidupan membiara.
Keantusiasannya, diperlihatkan dengan posisi duduk SE yang sedikit
maju, dan sorot matanya yang tajam dan melihat langsung pada
peneliti.
85
Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2013, pukul
10.34 WIB. Wawancara dilakukan saat penghuni panti asuhan ramai
karena pada hari Minggu ada sekolah minggu yang diadakan di panti
asuhan. Hal ini membuat jalannya wawancara sedikit mengalami
gangguan kecil karena beberapa kali anak-anak memanggil SE dan ada
pula penghuni panti dewasa yang menghampiri. Hal itu terjadi kurang
lebih tiga kali sehingga partisipan beberapa kali terlihat tidak fokus
dalam menjawab pertanyaan yang diberikan dan harus mengulangi
jawabannya, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada
wawancara kedua ini SE terlihat lebih nyaman berbicara dengan
peneliti, ini terlihat dengan jarak tempat duduk yang lebih dekat
tepatnya partisipan duduk di kursi disebelah peneliti, dan bercerita
sambil matanya melihat pada peneliti. Pada wawancara yang kedua,
partisipan semakin terbuka untuk menceritakan pengalamannya yang
lebih pribadi. Pengalaman dengan teman spesialnya, diungkapkan pada
wawancara ke dua ini.
Wawancara terakhir dilakukan pada tanggal 4 April 2013, pada pagi
hari, tepatnya pukul 10.10 WIB. Menurut peneliti, partisipan kurang
dapat menggambarkan perasaannya saat menceritakan pengalamannya,
karena beberapa kali ketika ditanyakan mengenai perasaannya saat
menghadapi tantangan, partisipan tidak mengatakan secara jelas
perasaannya saat itu. Partisipan hanya menceritakan hal-hal yang
permukaan saja. Maka dari itu, pada wawancara ketiga, peneliti
berfokus pada pertanyaan mengenai perasaan yang dirasakan SE saat
proses memutuskan hidup membiara dan saat menjalaninya. Saat
86
diberikan pertanyaan mengenai bagaimana perasaannya saat
menghadapi tantangan dalam komunitas, peneliti perlu bertanya dua
kali dan memancing agar P dapat mengatakan perasaannya yang terjadi
saat itu. SE pun dalam bercerita, kadang kala tidak secara runtut,
sehingga memerlukan kepekaan peneliti untuk melakukan klarifikasi.
c. Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P2W1
Makna Teks dan kode
Keinginan hidup
membiara tumbuh
setelah melihat suster di
gereja.
Sejak sekolah dasar kelas tiga saya tertarik
kehidupan membiara sejak kelas tiga. Saya melihat
seorang suster saat di gereja. Kemudian saya ikut
pembinaan, lalu masuk dalam biara PRR (P2W1 5-
8)
Karena sakit saat di
biara, P memutuskan
untuk tidak kembali
dalam biara dan memilih
kuliah.
Tapi gak lama saya waktu itu sakit, terus disuruh
pulang sama keluarga dan diijinkan oleh pemimpin
biara, setelah saya pulang dan waktu sembuh saya
ditawarkan sama keluarga mau balik lagi ke biara
atau mau kuliah aja, waktu itu om saya yang
menawarkan, saya tanya kuliah di mana, terus
katanya di IPI di Malang, akhirnya saya pilih
kuliah (P2W1 8-15)
Kegiatan rutin
mengunjungi panti
asuhan membuat P
Nah di kampus itu kan ada kita pergi ke panti-
panti gitu, setiap beberapa kali dalam seminggu, di
situ saya lihat langsung mereka anak-anak yang
87
kembali terpanggil untuk
hidup membiara.
cacat, di situ kami biasanya bantu bersih-bersih
panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari
situ saya putuskan saya pengen jadi suster, biar
bisa rawat langsung mereka, akhirnya saya masuk
komunitas AM (P2W1 15-21).
Pribadi seorang suster
meninggalkan kesan
kesan yang mendalam.
Pokoknya mereka itu saya lihatnya itu sopan,
anggun seperti itu, rajin berdoa, kelihatan… itu
saya tertarik itu di situ (P2W1 24-26)
Ketertarikan saat SD
tidak membuat P berniat
untuk hidup membiara,
hingga P terpanggil saat
SMA kelas 2.
Oh… setelah kelas tiga SD keinginan itu hilang
tow, tidak ada. Jadi setelah kelas tiga SD itu sudah
tidak ada niat tidak ada kepikiran itu, gak sampe
kepikiran untuk masuk dalam kehidupan
membiara. Waktu kelas tiga SD ya liat terus
tertarik gitu tapi kan masih anak-anak jadi cuma
begitu saja, aa… terus muncul lagi pas SMA kelas
dua (P2W1 34-40)
P mencari info
pembinaan hidup
membiara.
aa… karena itu kan saya nengok kakak kelas saya,
dia kan tinggal di kesusteran tow he..eh.., terus
saya ada.. ingin lagi kan ha..ah.. ingin lagi, ya
muncul tiba-tiba, jadi saya ikut pembinaan.
Awalnya saya tanya apakah di biara itu ada
pembinaan calon suster gak, terus katanya
biasanya ada tapi setiap minggu, jadi saya ikut
setiap minggu (P2W1 42-48)
P nekat mengikuti
pembinaan walaupun
kakaknya tidak
memperbolehkan.
Belum, sama sekali belum, cuma saya beritahu
kakak itu… bilang “masa kamu…gak
boleh…kamu kan jurusan IPA”, saya kan jurusan
Fisika, saya diam-diam saja.. tapi saya diam-diam
ikut pembinaan itu hehe… diam-diam… (P2W1
56-60) dan
88
Kakak yang nomor tiga, saya sendiri nomor enam
(P2W1 64)
P memberitahu keluarga
setelah P lulus dari
pembinaan hidup
membiara.
Hmmm.. sebelum… waktu itu kan saya beritahu
sudah.. ini tow.. sudah lulus om saya itu guru
agama setuju sekali sama bapak itu setuju sekali,
nah mamak ini yang gak setuju… tapi ya mamak
juga ya lama-lama ikut setuju lah. Mamak saya
sudah meninggal, mamak meninggal itu waktu
saya SMP kelas tiga hmm.. (P2W1 71-77)
P menghadapi
kekecewaan keluarga
atas keputusannya
membiara.
Ya… memang kalau kita di sana kan, kalau anak
perempuan itu kan kalau kita masuk biara kan kita
tidak punya keturunan dan mungkin mereka rasa
awalnya kayak apa..kecewa.. keliatan muka pada
sedih kayak begitu… (P2W1 88-92)
Keluarga pada akhirnya
merestui keputusan yang
P ambil.
tapi ya lama-lama mereka ikut juga sih keputusan.
Ya kalau memang itu keputusan kamu ya jalani
saja he..eh..kami mendukung (P2W1 92-94)
P dekat dengan tantenya
yang mengasuh P sejak
kecil.
Kalau saya itu kan dipiara, saya sejak kecil
dipiara..saya paling dekat itu sama mamak kecil
saya (tante), adek dari mamak saya gitu lho..
ha..eh.. terus saya lebih dekat dengan mamak piara
saya gitu ha..eh.. (P2W1 97-100)
Keluarga mengijinkan
setelah melihat
keyakinan P dengan
pilihannya.
Oh.. setuju, memang awalnya ya..berat ya,
awalnya berat, terus kan saya.. mereka ikut saya
hehe… (P2W1 103-104) dan
Ya dengan kita penuh dengan keyakinan dan kita
harus doa, doa terus, doa untuk mendapatkan hati
mereka supaya mereka setuju he eh gitu hehe…
(P2W1 112-114)
P memberikan …..e..agak lama juga sih ya (sambil tertawa),
89
pengertian pada keluarga
mengenai keputusannya.
memberikan pengertian pada mereka ha..eh.. ya
memang agak..agak.. lama sih, tapi ya akhirnya
juga mereka setuju mendukung (P2W1 117-120)
Bapak membantu P
untuk meyakinkan
anggota keluarga yang
lain.
Itu bapak saya bapak, bapak itu….. bapak itu
orangnya kuat doa….. pokoknya setiap setiap jam
doa, sampe sekarang pun umur 80 tahun tapi tetep
doa doa kuat. Yah sejak saya awal memberitahu
kalau saya punya niat untuk masuk biara dia
setuju. Itu saya kan sering sakit sering sakit, kakak
saya yang lain bilang “sudah keluar saja, pulang
saja”, kalau seperti itu bapak saya bilang
“ya..kalau kamu suruh keluar keluar aja, tapi nanti
besok kamu tanggung jawabnya sama Tuhan
Allah”, bapak saya ngomong gitu sama kakak-
kakak saya (P2W1 124-134)
P menghadapi teman
dekatnya yang tidak
setuju dengan
keputusannya, tapi pada
akhirnya teman itu
mendukung.
Ya ada sih, waktu itu ada ada dari temen saya,
temen deket saya, saya kan punya kenalan
itu…kami dari…kenalan itu dari SMP kelas 2
sampe tamat pun masih aaa… gitu… awalnya
tidak tidak mendukung tow tapi kemudian dia
mendukung (P2W1 138-142)
Dalam komunitasnya P
mengalami fase pasang
surut.
Oh.. itu.. saya itu nekat, keinginan ya..
bagaimanapun ya akan gitu… Nah kalau setelah di
dalam itu (dalam komunitas) itu banyak pasang
surutnya (P2W1 145-147)
Tantangan berat yang P
alami saat dalam
komunitas membuat P
keluar dari asrama
selama sehari.
Hal yang berat buat saya itu..apa..dalam komunitas
antara bersama… pokoknya antar sesama gitu, itu
yang membuat…membuat… aa…waktu itu
hampir mau hampir mau..hampir mau keluar..
waktu itu juga pernah apa..aa..tinggalkan
90
tinggalkan komunitas pergi ke tempat lain, setelah
itu memang waktu itu saya sudah..saya sudah tidak
kuat lagi di dalam komunitas itu saya mau pergi
saja, pergi saja sudah pokoknya sudah tidak kuat
lagi kayaknya mau pergi saja, waktu saya pergi
pun gak memberitahu siapa-siapa, tapi saya pergi
bukan ke rumah orang tua tapi di rumah komunitas
di tempat lain masih rumah punya komunitas tapi
di tempat lain gitu, (P2W1 151-163)
Di tempat rekannya P
menenangkan diri
dengan berdoa dan
terpikir untuk
meninggalkan
panggilannya.
setelah itu.. setelah saya pergi diam-diam,
malemnya itu saya memutuskan apakah saya harus
tinggalkan tinggalkan panggilan atau… malam itu
sepanjang malam saya tidak bisa tidur saya doa,
saya doa rosario dan saya duduk sepanjang malam
itu paginya saya… kan waktu itu di rumah itu
cuma ada satu orang tow aa.. satu orang saja, saya
masih tidur tow (P2W1 163-170)
P berbagi dengan salah
satu anggota keluarga
mengenai keinginannya
untuk keluar dari
komunitas.
paginya, waktu itu kan belum bawa hp, jadi saya
telpon ke wartel, pagi-pagi saya telpon dari wartel
saya telpon keluarga ini mamaknya kakak ipar
saya kakak yang nomor tiga ini, mamak itu kan
aktif aktif kegiatan-kegiatan di gereja kan aktif,
terus saya telpon, saya bilang “saya di sini ini saya
tidak kuat lagi saya mau..saya mau keluar saja
mengundurkan diri saja”, mamak saya bilang
“kenapa?, kamu tidak boleh begitu, kamu ada
masalah ya ? kalau kamu ada masalah kamu
ketemu sama pimpinan saja tow, sama pimpinan
omong minta pindah ke tempat lain kalau kamu
gak cocok kamu pindah ke tempat lain saja, ya
91
nanti kami doakan kamu tidak boleh pikir untuk
keluar kalau kamu sudah memilih itu ya teruskan.
Pokoknya kamu kembali kamu ketemu dengan
pimpinan nanti ceritakan apa masalah kamu,
pimpinan yang putuskan mau pindahkan atau
bagaimana” (P2W1 170-187)
P bergumul untuk
terbuka atau tidak
tentang masalah yang
sedang dihadapi.
Sudah saya pulang kembali ke rumah itu
bagaimana ya saya ini, bagaimana mamak ini…
saya belum memberitahu keluarga saya (P2W1
187-190)
Perasaan enggan untuk
kembali pada komunitas.
saya mau kembali itu rasanya berat kembali ke
komunitas itu, memang malamnya itu pimpinan
menelpon, tanya ke teman itu, ditanya saya ada di
rumah itu tidak, oh ada di sini tapi dia tidur, tadi
dia datang itu kepala pusing padahal saya duduk di
samping (P2W1 190-195)
Setelah berpikir ulang
pada akhirnya P kembali
ke komunitas.
terus ini setelah dari wartel, temen saya dari gereja
belum pulang, sambil tunggu teman saya saya
pikir ulang bagaimana ya saya ini apa kembali ke
sana, saya pikir-pikir, akhirnya ya sudah apapun
yang terjadi saya kembali ke sana, pokoknya saya
hadapi saja, sekitar jam sepuluh saya kembali lagi
ke komunitas itu, terus saya ke sana itu, orang
yang pokoknya yang tidak suka dengan saya itu di
asrama itu kan gak ketemu, saya langsung ke
pimpinan. Mereka pagi itu sudah gossip bilang
saya sudah minggat, (P2W1 195-204)
P berbicara terbuka
dengan pimpinan
komunitas tentang
terus saya bicara sama pimpinan terus “Em” itu
saya baru datang “Em, apa sih kamu itu kok
katanya kamu minggat, Em ngopo sih kamu?”,
92
masalahnya. terus saya disuruh duduk “ngopo tow kamu itu?
cerita”, baru saya ceritakan semua, setelah cerita
semua, “sekarang kamu pilih mau pindah ke
asrama mana?”, saya bilang saya gak mau pilih
ibu, pokoknnya ibu suruh saya di mana saja saya
ikut, akhirnya ibu tunjukan satu tempat, saya
kesitu terus.. dua dua bulan saja saya di rumah itu
di asrama yang bar uterus saya pindah lagi ke
tempat yang sama, tapi orang itu sudah pindah ke
tempat lain, saya pindah lagi ke asrama lama
sampai dua tahun dari tahun 2000 sampai tahun
2002, saya ngurus di sekolah terus saya ngurus di
kapel. Saya dua tahun di situ saya dipindahkan ke
Flores, di Flores itu sepuluh tahun (P2W1 204-
219)
Doa pada Tuhan dan
dukungan dari teman-
teman membuat P kuat
menghadapi masalah.
Ya, satu-satunya itu berdoa… berdoa ya berdoa
supaya kita itu kuat, sambil berdoa,juga dukungan
dari teman-teman yang lain kalau enggak bisa-bisa
itu kan…..keluar (P2W1 222-225)
P menguatkan diri untuk
menghadapi segala
sesuatu.
Iya, waktu itu ada yang tidak mendukung tapi saya
punya prinsip, punya prinsip saya sudah memilih
ini biar apapun resikonya saya akan hadapi begitu
(P2W1 230-232)
Keinginan menjadi suster
sudah menjadi cita-cita P
sejak SD.
Hehehehehe…..gimana ya hehehe….. pokoknya
waktu itu saya melihat mereka itu sopan, anggun,
rajin berdoa….. pokoknya…. Waktu itu juga
waktu saya kelas enam ini, apa guru bahasa
Indonesia minta ini lho aaa….. mengarang…..
mengarang tentang cita-cita terus saya itu pilihan
saya itu saya ingin mau jadi suster dan perawat
93
nah dari dua pilihan itu, memang dari kecilnya
sudah pingin begitu (P2W1 237-244)
Ketika meninggalkan
biara PRR dan memilih
kuliah, niat P untuk
hidup membiara tetap
ada.
Waktu saya keluar dari biara itu, saya masih punya
niat..punya niat.. tapi kan waktu itu kakak dan
paman memberi alternatif buat saya saya pilih
kuliah dan waktu itu tidak ada pikiran lagi untuk
kembali ke biara PRR dan tidak ada…niat lagi
untuk membiara. Waktu itu kan kakak tanya mau
kursus, mau kuliah, atau mau kembali lagi, saya
pilih kuliah (P2W1 248-254)
Anak-anak yang diasuh
dalam komunitas
menjadi pertimbangan
signifikan untuk tetap
membiara.
Saya itu kuatnya karna anak-anak he em, kalo
anak-anak itu kalau mau tinggalkan mereka itu gak
tega, kita ini sudah normal kok kita ini melihat
penderitaan sedikit pun kita masih enak mereka itu
penderitaannya luar biasa, anak-anak itu, kalau
saya mau tinggalkan itu saya masih pikir tapi
kadang juga saat emosi saat kita emosi kan kita
sembarang mengambil keputusan, tapi kita
kembali merenungkan kembali berdoa saat doa itu
apa maksudnya keinginan kita untuk pergi itu
hilang dengan berdoa gitu. Apalagi dengan anak
yang kita rawat dari bayi itu rasanya kalau kita
mau tinggalkan… mereka itu sudah kita anggap
anak kita sendiri, kalau mau meninggalkan mereka
itu berat, (P2W1 278-290)
Anak-anak memberi P
kekuatan dan
penghiburan saat
menghadapi masalah.
saya senangnya di komunitas AM itu dengan anak-
anak itu memberikan penghiburan, saat hati geram
rasa apa..kita pulang dari mana-mana lalu lihat
mereka itu kita rasa semua itu hilang (P2W1 291-
294)
94
Kakak yang awalnya
tidak mendukung
keputusan P, pada
akhirnya menasehati
untuk tekun pada
pilihannya.
Bapak itu wah gak tau ya, saya juga, mereka itu
kok mendukung ya, gimana ya mereka itu kuat
doa, mereka itu bener-bener selalu mendukung,
bapak itu selalu mendukung, a… baru-baru ini kan
saya menceritakan ke mereka kalau ada temen-
temen saya yang tinggalkan, teman saya, teman
saya satu kampung tow, he eh dia sudah di
komunitas dia tinggalkan komunitas, nah saya
cerita sama keluarga saya, kakak ini yang awalnya
tidak mendukung ini saya sempat cerita itu, kakak
bilang “kenapa mereka seperti ini?”, saya bilang
“ya tidak tau lah katanya alasannya itu capek”,
“lho semua orang di dunia ini harus capek, orang
mau makan itu harus bekerja dulu baru dapet
sesuatu, masa hanya itu, alasan itu tidak masuk
akal, pokoknya kalau kamu merasa seperti itu
kamu harus terus”, jadi saya itu tidak bisa kata-
kata lagi, mau bicara gak bisa lagi hahahahaha…..
(P2W1 297-313)
Keluarga juga
mendukung P lewat doa.
Apa ya, mereka itu mendukung doanya itu kuat,
mereka berpesan kalau ada masalah kamu harus
hadapi, jadi saya saat ada masalah saya ingat pesan
mereka (P2W1 317-320)
Analisis Verbatim P2W2
Makna Teks dan Kode
Mamak kecil/tante tidak
setuju dengan keputusan
yang P ambil.
Ooo itu, maksudnya itu mamak kecil saya,
mamak kandung saya kan meninggal dan
belum tahu saya punya keinginan untuk hidup
95
membiara, jadi mamak kecil saya waktu itu kan
memang ada dia gak setuju saya memilih
menjadi seperti ini (P2W2 14-18).
Sejak kecil P diasuh oleh
mamak kecil/tantenya.
Ohh… begini kan mamak kecil saya itu belum
punya anak, sudah menikah tapi belum punya
anak, jadi saya itu diasuh sama mamak kecil,
istilahnya itu lho mba buat pancingan supaya
mamak kecil bisa punya anak (P2W2 35-38).
P lebih sering pulang ke
rumahnya setelah
mengetahui bahwa mamak
kecil bukanlah ibu
kandungnya.
Waktu itu sampai saya kelas enam, karena saya
sudah dengar-dengar begitu kalau mamak saya
itu bukan mamak kandung saya tapi itu tante
saya, terus kan sekolah saya kan waktu itu jauh
dari rumah mamak kecil dan lebih dekat
dengan rumah orang tua kandung saya, jadi
saya sering pulang ke rumah (P2W2 41-46).
P merasa bahwa dirinya
lebih dekat dengan mamak
kecil.
Em…….ya karena sudah diasuh sejak kecil ya,
jadi ya sama mamak kecil saya lebih dekat.
Saya itu sudah dianggap anak pertamanya
(P2W2 55-57).
P merasa tidak memiliki
kedekatan emosional dengan
ibu kandungnya.
Mamak kandung saya itu ya gimana ya, ya
biasa-biasa aja gitu…heem, waktu meninggal
juga ya…sedih sih tapi ya gimana ya, ya gitu…
(P2W2 59-61).
Hubungan yang baik dengan
bapaknya.
Bapak, hubungannya ya baik ya, ya biasa, ya
bapak itu rajin doanya. (P2W2 64-65).
Keluarga setuju dengan
keputusan P setelah diterima
dalam biara.
Bagaimana ya, ya memang awalnya tidak
setuju tapi lama-lama mereka setuju, setelah
melihat saya masuk dalam pelatihan ya
akhirnya setuju juga (P2W2 72-74).
P diberikan tanggung jawab Yah, mungkin mamak (mamak kecil) itu pikir
96
untuk mengurus adik-
adiknya.
kan saya anak paling pertama, jadi nanti siapa
yang mungkin menjaga dan mengurus adik-
adik begitu (P2W2 77-79).
P nekat ingin menjalani
hidup membiara walaupun
semua keluarga
berkeberatan.
Apa ya, ya saya itu nekat aja, saya ikut
pembinaan, saya waktu itu lulus tesnya dan
saya diterima, terus saya bilang sama mereka,
ya saya akhirnya diijinkan, waktu itu sebelum
saya pergi kan biasanya ada acara kumpul-
kumpul gitu ya untuk perpisahan, ya saya gak
tau ya dalam hati mereka, tapi saat itu mereka
gak mengucapkan mereka gak setuju (P2W2
82-88).
Paman P ikut berperan
memberi pengertian pada
keluarga
Ya ada, om saya itu, itu guru agama, om saya
itu yang bilang sama kakak-kakak saya, bapak
saya, kasih pengertian sama keluarga. Akhirnya
keluarga juga setuju (P2W2 95-98).
P memiliki keyakinan yang
kuat hidup membiara.
iya saat itu pokoknya saya mau jadi suster, ya
mantap (P2W2 101).
P sempat merasa bimbang
ketika teman khususnya
mempermasalahkan
keputusannya untuk
membiara.
Hmmm.. waktu itu sempat ada ya…ada ragu
juga ya… Ada teman saya…teman ya… kami
sudah dari smp itu dekat, ya saya sempat kirim
surat sama dia bilang kalau saya memutuskan
memilih menjadi suster, waktu itu dia juga
kaget gitu ya, dia bilang kenapa saya itu gak
bilang punya keinginan seperti itu, kenapa saya
itu memberi harapan sama dia, kan saya dengan
orang tuanya kan sudah kenal juga. Tapi
setelah masuk saya jadi novis begitu, sempat
dia kirim surat bilang kalau dia mendukung
saya, dia mendukung pilihan saya, dia bilang
97
kalau memang sudah keputusan kamu itu ya
jalani jangan menengok ke belakang begitu.
Waktu itu saya ingat kalau pas dia itu sedang
skripsi ya, waktu itu pas saya kasih tau mau
jadi suster, ya begitu heee… (P2W2 104-117).
Ketika menghadapi
tantangan yang besar dalam
komunitas terbesit niat P
untuk meninggalkan
kehidupan membiara.
Waktu itu ya, saat saya ada tantangan itu, saya
satu malam itu saya gak bisa tidur, saya pikir
bagaimana ya kalau saya keluar, kalau saya
keluar apa yang akan saya lakukan di luar, saya
juga ingat dengan saat-saat saya memutuskan
pilihan ini, saya ingat juga suka dukanya
menjalani ini, saya tidak bisa tidur. Saya besok
pagi saya telpon keluarga, itu mamak besarnya
kakak ipar saya, dia kan aktifis begitu ya di
gereja, saya telpon bagaimana ini, dia bilang
saya tidak boleh keluar, kalau ada masalah
bilang sama pimpinan biar pimpinan yang
bantu cari jalan keluar, apa mau dipindah atau
bagaimana, begitu, saya akhirnya tidak jadi
keluar itu (P2W2 122-133).
Perasaan sedih dan bingung
jika P keluar dari biara.
Ya sedih juga, ya saya pikir kalau saya
tinggalkan bagaimana apa yang saya lakukan di
luar (P2W2 135-136).
Tanggung jawab P
mengurus adik-adiknya saat
ibu pergi bekerja.
Iya kan saya itu juga sudah terbiasa mengurus
adik-adik saya, mamak kecil saya kan buka
usaha jadi sibuk, jadi sering pergi, saya yang di
rumah jagain dan ngurus adik-adik (P2W2 143-
146).
Pertemuan dengan sanak
keluarga saat P liburan di
Iya bertemu, kalau saya pulang mereka pada
datang dan kumpul, kalau mereka gak datang
98
rumah. saya yang mengunjungi mereka (P2W2 152-
154).
P tidak memberitahukan
pada keluarga mengenai
keputusannya untuk masuk
dalam komunitas AM.
Waktu itu, kalau waktu saya di komunitas AM
ini saya gak ada cerita sama mereka, jadi kan
mereka taunya saya kuliah di IPI (Institut
Pastoral Indonesia) padahal saya masuk jadi
suster, waktu itu waktu saya jadi novis saya
ditugaskan ke Atambua, terus mereka melihat
saya, mereka juga kaget melihat saya sudah
pakai kerudung, ya mereka kaget (P2W2 159-
165), dan, enggak, saya ada telpon mereka tapi
saya gak bilang saya ikut di AM (P2W2 167-
168).
Keluarga terkejut setelah
mengetahui bahwa P telah
menjadi seorang suster.
Ya mereka juga kaget, kok kamu sudah seperti
ini, he… (P2W2 170), dan, ya mereka tanya
kok sudah seperti ini, kok gak bilang gitu, ya
mereka kaget (P2W2 176-177).
Pelayanan yang dilakukan
oleh P pada akhirnya
didukung oleh keluarganya.
Mereka gak bilang apa-apa sih mereka kaget,
waktu itu saya juga bawa anak yang cacat juga
tinggal di rumah, ya mereka melihat anak itu,
saya juga menceritakan kita ini karyanya
merawat anak-anak miskin, cacat seperti itu, ya
mereka setuju (P2W2 179-183).
Analisis Verbatim P2W3
Makna Teks dan Kode
Keinginan hidup membiar
saat kecil yang pernah
hilang, muncul kembali di
Iya ha ah, ya… karena itu kan keinginan mau
jadi suster itu kan dari…dari SD, dari SD kelas
tiga tow, tapi karna setelah tamat SD terus
99
SMA. hilang ya..apa gak ada lagi pikiran untuk itu,
setelah SMA kelas dua baru saya…apa..ingin,
keinginan itu mulai muncul lagi akhirnya saya
ini…apa, tanya teman yang tinggal dengan
suster itu untuk pembinaan, akhirnya saya ikut
pembinaan gitu (P2W3 7-14).
Minat yang sangat besar
menjadi suster.
Pokoknya perasaan itu pingin jadi, pingin jadi
suster, ingin sekali gitu jadi suster (P2W3 17-
18).
Minat yang besar membuat
P nekat untuk mengikuti
pelatihan tanpa memberitahu
keluarga.
Ya memang saya pingin sekali ya untuk ini,
mau masuk suster gitu, saya kan sebelumnya
belum beritahu, diam-diam saja ikut ini
pembinaan, kemudian ikut tes, setelah lulus tes
baru saya beritahu kalau saya sudah lulus
begitu, nanti tanggal ini saya berangkat,
berangkat ke Flores begitu (P2W3 23-28).
Alasan P tidak
memberitahukan keluarga
karena reaksi kakak P yang
melarang.
Iya, sebelumnya saya beritahukan kakak waktu
kelas dua, saya sampaikan keinginan saya sama
kakak, terus kata dia “buat apa kamu kan
jurusan IPA, buat apa kamu masuk suster?”,
gitu kan, nah diam-diam saya ikut pembinaan
itu hehehe.. (P2W3 32-36).
Rasa kekhawatiran tidak
disetujui oleh keluarga
membuat P diam-diam
mengikuti pelatihan.
Iya, alasannya itu ya saya takut kan untuk
mereka gak setuju kalo beritahu dulu kan, jadi
saya apa diam-diam ikut begitu, setelah saya
lulus baru beritahu, itu kan pasti mau tidak mau
mereka itu kan sudah (sambil tertawa) itu kan,
terlanjurlah (P2W3 40-44).
Adanya fase pasang surut
dalam perjalanan P
Ya pokoknya itu, saya pinginlah jadi suster
seperti itu, keinginan saya kerinduan saya, itu
100
mengambil keputusan. kan kerinduan itu dari kecil ya, dari SD tapi ya
karna situasi hilang muncul begitu tow (P2W3
47-50).
Perasaan senang bisa
mengikuti pembinaan hidup
membiara.
Iya ha ah, pokoknya saya senang mau ikut
pembinaan mau jadi suster itu gitu senang
(P2W3 53-54).
P terpaksa berbohong pada
keluarganya untuk bisa
mengikuti pembinaan.
Iya, setiap minggu, tapi itu pergi saya juga
tidak beritahu, saya pergi diam-diam mau ijin
ya saya mau ke tempat teman begitu, tiap hari
minggu (P2W3 58-60).
Rasa senang jika bertemu
dengan suster.
Iya, saya itu senang ikut pembinaan kan
ketemu suster, tapi ada rasa khawatir juga sih
(P2W3 68-69).
Rasa khawatir jika orang tua
mengetahui P mengikuti
pembinaan.
Saya takut nanti gak boleh tow orang tua gak
mau lebih baik saya diam-diam saja, baru saya
nanti tow beritahu kalau sudah lulus (P2W3 72-
74).
Keterbatasan komunikasi
dengan keluarga membuat P
hanya bisa menghubungi
mamak besar saat ada
masalah dalam komunitas.
Ya itu karna, waktu itu yang bisa saya hubungi
itu, saya hanya tau nomor itu, dulu kan kita
belum ada hp jadi ini apa pake nomor telpon
rumah, nah yang bisa dihubungi itu mamak itu
gitu, kan yang lain itu gak ada, kakak saya kan
waktu itu di Timor Leste, jadi gak bisa
dihubungi begitu (P2W3 79-84).
Mamak besar dianggap
dapat membantu dalam
memberi jalan keluar
permasalahn P.
Enggak, gak dekat juga sih, itu mamak besar
kakak ipar saya bukan mamak kandung, sering
ke rumah tow, waktu saya di Atambua sering
datang ke rumah dan mamak itu juga orangnya
aktif, aktif di gereja tow, aktif gitu he eh.
Waktu itu saya telpon itu saya kan…pasti
101
mamak ini bisa bantu, saya kan mau…mau
keluar, pokoknya mau mengundurkan diri, tapi
mamak itu nasihat kamu tidak boleh tinggalkan
panggilan, lebih baik sekarang kamu ketemu
dengan pimpinan kamu, nanti pimpinan kamu
pindahkan kemana ya terserah, mungkin mau
ke komunitas lain gitu (P2W3 87-97).
P mendapatkan dukungan
dari teman-teman dan
pimpinan untuk tetap hidup
membiara.
Oh itu, itu dari temen-temen saya, teman-teman
banyak yang mendukung saya supaya saya
tetap ha ah, terus yang mamak, teman-teman,
terus ini pimpinan ha ah pimpinan itu yang
memberi apa arahan, pembinaan biar saya tetap
(P2W3 106-110).
Rasa terkejut yang dialami
oleh keluarga P saat
mengetahui P menjadi
seorang suster.
Waktu itu kan saya tugas di Atambua tow
padahal saya kan baru dua tahun di Malang ha
ah, terus diutus ke Atambua, saya pulang ke
rumah, mau kunjung saja, kunjung ke orang tua
tow, terus saya tiba di sana mereka kaget
kok…”kok kamu jadi suster ya?”, “iya saya
jadi suster”, “katanya kamu ini apa kuliah
kok”, “iya saya kuliah tow, sambil kuliah
sambil masuk suster”, ya awalnya kaget
reaksinya kaget gitu ya sudah (sambil tertawa)
(P2W3 117-125).
Beberapa anggota keluarga
terharu saat melihat P telah
menjadi suster.
Enggak, enggak, gak marah, ya ada yang
meneteskan air mata ya gitu keluarga (P2W3
127-128).
Hah, maksudnya mereka itu merasa terharu
(P2W3 30).
Yah itu ada kakak, adek, mamak kecil itu yang
102
d. Kategori
Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari
hasil analisis verbatim P2 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses
pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori
dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1. Ketertarikan pada sosok suster saat SD.
2. Pencarian informasi membiara.
3. Nekat berbohong mengikuti pembinaan hidup membiara pada
keluarga.
4. Perasaan P saat mengikuti pembinaan.
5. Respon negatif dari keluarga dan teman spesial.
6. Mengalami proses trial and error dalam proses pengambilan
keputusan.
7. Fase pasang surut dalam membiara.
8. Perasaan keluarga saat mengetahui P menjadi suster.
9. Dukungan-dukungan dari keluarga.
10. Usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap pada panggilannya.
11. Anak-anak menjadi motivasi bagi P.
12. Pengaruh mamak kecil pada diri P mengenai kepedulian pada anak-
anak panti.
13. Keyakinan yang kuat utuk berkomitmen membiara.
menangis, mereka itu terharu (P2W3 132-133).
Begitu saja, mau bagaimana, ya senang..senang
(P2W3 135).
103
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan hidup membiara partisipan rasakan saat masih duduk
di kelas tiga sekolah dasar, ketika partisipan melihat seorang suster di
gereja. Pribadi yang sopan, keanggunan, dan rajin berdoa pada diri
seorang suster yang dilihatnya, meninggalkan kesan yang mendalam
pada dirinya. Setelah pertemuan tersebut, timbul keinginan pada dirinya
untuk menjadi suster.
saya lihatnya itu sopan, anggun seperti itu, rajin berdoa,
kelihatan… itu saya tertarik itu di situ (P1W1 24-26). Gak tau ya
mba, pokoknya saat melihat itu pingin jadi suster (P2W1 29-30).
Sejak saat itu, keinginan menjadi suster menjadi cita-citanya kelak. Hal
ini diungkapkan ketika partisipan mendapatkan tugas mengarang dalam
pelajaran bahasa Indonesia, Partisipan mengungkapkan bahwa dirinya
ingin menjadi seorang suster. Akan tetapi seiring berjalannya waktu,
ketertarikan yang tidak ditumbuhkan dalam dirinya, membuat
partisipan kehilangan keinginan untuk menjadi suster, bahkan tidak ada
pikiran untuk masuk dalam hidup membiara.
Panggilan hidup membiara dirasakannya kembali saat kelas dua
SMA, saat partisipan mengunjungi kakak kelasnya yang tinggal di
kesusteran PRR. Saat itu juga, keinginan yang dulu menjadi cita-cita
partisipan sejak masih kecil kembali muncul, dan begitu kuat dirasakan.
Kemudian partisipan mencari informasi pembinaan hidup membiara
pada kakak kelasnya itu, hingga akhirnya mendapatkan informasi
pembinaan yang diadakan setiap hari minggu, dan partisipan pun
memutuskan untuk mengikutinya.
104
Orang pertama yang diberitahu oleh partisipan, mengenai
keputusannya hidup membiara adalah kakak nomor tiga. Kakak
memberikan respon negatif atas keputusan yang dia ambil, kakaknya
tidak setuju dengan keputusan partisipan. Adapun alasan kakak, tidak
mengijinkan partisipan menjadi suster, karena kakak menyayangkan
pendidikan yang sudah dijalani oleh partisipan selama ini akan sia-sia,
jika nanti masuk dalam hidup membiara.
kakak itu… bilang “masa kamu… gak boleh… kamu kan jurusan
IPA”, saya kan jurusan Fisika (P1W1 57-58)
Reaksi yang ditunjukan oleh kakak, tidak membuatnya menyerah,
panggilan membiara yang begitu kuat, mendorong partisipan untuk
melakukan tindakan nekat mengikuti pembinaan hidup membiara
tanpa memberitahukan keluarga.
Partisipan berbohong pada keluarga agar dapat mengikuti
pembinaan setiap hari minggunya, dan beralasan pergi belajar ke rumah
teman, agar mendapat ijin keluar rumah mengikuti pembinaan. Selama
satu tahun pambinaan yang dilakukannya dengan diam-diam berhasil,
dan selama itu juga partisipan dapat mengikuti pembinaan hidup
membiara tanpa diketahui oleh keluarga. Ada perasaan bahagia ketika
menjalani proses pembinaan tersebut, walaupun terkadang rasa cemas
juga dirasakan, karena takut keluarga mengetahui kebohongannya
selama ini.
Partisipan memberitahukan pada keluarga akan menjadi suster, dan
menjalani hidup membiara setelah dia lulus sekolah dan lulus
pembinaan hidup membiara. Tidak banyak pihak yang mendukung
105
keputusannya, hanya paman dan ayahnya yang mendukung
keputusannya. Mamak kecil yang dekat dengan partisipan pun, tidak
setuju dengan keputusan yang dia ambil. Tidak hanya mamak kecil,
partisipan juga menghadapi kekecewaan keluarganya yang lain, atas
keputusannya untuk membiara. Keluarga menyayangkan partisipan
masuk dalam hidup membiara, karena dia anak perempuan, dan jika
masuk dalam biara maka tidak akan memiliki keturunan. Sekali lagi
partisipan pun, harus menghadapi kekecewaan teman spesialnya yang
tidak setuju dengan keputusannya. Akan tetapi dengan keyakinan besar
dan pengertian-pengertian yang diberikan oleh partisipan, pada
akhirnya membuat keluarga dan temannya itu luluh dan menerima
keputusan yang dia ambil. Mereka mendukung apapun yang sudah
menjadi keputusan dari partisipan.
Pada tahun 1996, partisipan masuk dalam biara PRR, dan selama
delapan bulan menjalani hidup membiara, partisipan sering mengalami
sakit, seperti sakit lambung dan juga malaria. Selama delapan bulan,
sudah tiga kali dirawat di rumah sakit. Pada akhirnya dia memutuskan
untuk berobat di Ende selama satu minggu, dan kemudian pulang ke
Atambua. Selama tiga bulan di rumah, keluarga dan juga pamannya
memberikan tawaran pada partisipan untuk kembali ke biara PRR atau
menerima tawaran pamannya untuk berkuliah di IPI, Malang. Pada
akhirnya partisipan pun mengambil tawaran pamannya untuk kuliah di
IPI.
Tanggal 29 Juni 1996, partisipan dengan diantar oleh kakaknya
nomor tiga, bertolak ke Malang dengan menggunakan transportasi laut,
106
dan sampai di Malang tanggal 1 Juli. Dalam perjalanan mereka
berkenalan dengan suster komunitas AM, selama perjalanan partisipan
dan kakaknya bercerita mengenai tujuan mereka pada suster tersebut,
dan ternyata mereka baru mengetahui bahwa IPI merupakan satu
yayasan dengan AM. Karena tujuan mereka sama, maka dia beserta
kakak dan suster tersebut pergi bersama sampai tujuan.
Selama menjalani perkuliahan, partisipan bersama dengan teman-
teman komunitas kampusnya, rutin berkunjung ke panti asuhan milik
komunitas AM. Pertemuannya dengan anak-anak panti yang memiliki
kekurangan dalam fisik dan psikis, membuat dia merasa terpanggil
untuk melayani mereka secara langsung, bukan hanya sekedar datang
mengunjungi saja. Maka partisipan pun memutuskan untuk masuk
dalam kehidupan membiara di AM.
Nah di kampus itu kan ada kita pergi ke panti-panti gitu, setiap
beberapa kali dalam seminggu, di situ saya lihat langsung mereka
anak-anak yang cacat, di situ kami biasanya bantu bersih-bersih
panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari situ saya putuskan
saya pengen jadi suster, biar bisa rawat langsung mereka, akhirnya
saya masuk AM (P2W1 15-21).
Keputusan partisipan untuk kembali masuk dalam hidup membiara,
kembali tidak diberitahukan pada keluarga. Keluarga mengetahui
partisipan telah menjadi suster ketika dia mendapatkan tugas ke
Atambua pada Januari 1999. Rasa terkejut dialami oleh keluarga ketika
bertemu dengan partisipan dan melihat penampilannya yang sudah
menjadi suster (saat itu menjalani masa novis). Partisipan pun
107
memberikan pengertian pada keluarga mengapa dirinya mengambil
keputusan menjadi suster, dan dia pun menceritakan karya-karya
pelayanan yang dilakukan oleh AM, seperti merawat anak miskin, anak
cacat, dan partisipan juga sempat membawa anak-anak panti yang cacat
untuk bertemu dengan keluarganya. Keluarga pun dapat mengerti dan
mendukung keputusannya, bahkan mamak kecil saat itu meneteskan air
mata terharu setelah melihat partisipan menjadi suster.
Fase pasang surut pada panggilannya, dialami oleh partisipan saat
menjalani kehidupan membiara di dalam komunitas. Saat itu partisipan
memiliki persoalan yang berat dengan salah satu rekannya, dan keadaan
itu membuatnya sempat berpikir untuk meninggalkan kehidupan
membiara. Karena sangat besarnya permasalahan yang dihadapinya
dalam komunitas, membuat partisipan keluar dari asrama kesusteran
selama satu hari untuk pergi ke tempat salah satu rekannya untuk
menenangkan diri. Dalam dirinya saat itu ada rasa enggan untuk
kembali pada komunitasnya, kebingungan harus meninggalkan
panggilan atau tidak membuatnya sedih. Adapun usaha-usaha yang
dilakukan oleh partisipan untuk tetap pada panggilannya, yaitu dengan
berdoa, sharing dengan keluarga di sini peran mamak besar sangat
berpengaruh, memberikan nasihat padanya untuk terbuka akan
masalahnya dengan pimpinan. Sehingga membuat P tetap pada
panggilannya dan mengurungkan niat untuk meninggalkan kehidupan
membiara.
Yang menjadi motivasi pada partisipan untuk tetap pada
panggilannya, tidak hanya berasal dari keluarga dan rekan. Motivasi
108
yang paling besar yang menjadi pertimbangan partisipan tetap
membiara yaitu anak-anak panti, anak-anak menjadi pertimbangan
yang signifikan bagi partisipan untuk tetap membiara. Ketika partisipan
menghadapi tantangan dalam hidupnya dalam komunitas, dia teringat
pada anak-anak panti. Perasaan kasih sayang partisipan pada anak-anak
itu membuatnya tidak tega jika harus meninggalkan panggilannya dan
meninggalkan mereka.
“Saya itu kuatnya karna anak-anak he em, kalo anak-anak itu kalau
mau tinggalkan mereka itu gak tega…..” (P2W1 278-279).
Segala persoalan dan tantangan dari dalam diri partisipan dan dari
keluarga juga orang disekitarnya, membuatnya semakin mantap dengan
panggilannya untuk membiara dan melayani anak-anak cacat. Dengan
keyakinannya dan keteguhannya pada panggilan, pada akhirnya
keluarga pun memberikan dukungan penuh pada partisipan.
3. Partisipan Penelitian 3 (SY)
a. Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial : SY
Usia : 34 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Anak ke- : 1 dari 3 bersaudara
Agama : Buddha
Partisipan yang berasal dari Aceh adalah anak pertama dari tiga
bersaudara, memiliki dua adik laki-laki. Saat ini SY berusia 34 tahun,
109
latar belakang agama keluarganya adalah agama Buddha. Saat masih
SMA kelas dua, dia memiliki keinginan untuk mengikuti pelatihan
hidup membiara, akan tetapi keluarga tidak memberikan ijin sehingga
dia pun harus mengurungkan niatnya untuk dapat menjalani hidup
membiara. Tidak berselang lama saat kelas dua dan menjelang naik
kelas tiga SMA, ibunya meninggal, tinggalah dia, ayah, dan kedua
adiknya. Setelah lulus SMA, SY bekerja di Medan selama 4 tahun di
bagian finance, setelah itu dia pergi ke Jakarta untuk bekerja menjadi
kepala kasir.
Sekitar tahun 2004 SY kembali harus kehilangan seluruh
keluarganya akibat bencana tsunami. Dari peristiwa tsunami tersebut
dia kehilangan ayah dan kedua adiknya, saat bencana tsunami terjadi,
dia sedang tidak berada di Aceh bersama keluarganya karena tengah
bekerja di Jakarta. Setelah peristiwa bencana alam tersebut, SY pergi ke
Malaysia untuk bekerja selama dua tahun. Setelah bekerja di Malaysia
selama dua tahun, SY akhirnya memutuskan untuk kembali ke
Indonesia dan bekerja kembali di Jakarta. Setelah berada di Jakarta, dia
memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan kehidupan
duniawinya untuk hidup membiara.
Keinginan hidup membiara yang sejak SMA di simpan dalam
hatinya kembali muncul ketika SY melihat dan berkenalan dengan
10samaneri dari aliran Theravada di media sosial facebook. Hingga pada
akhirnya dia pun bertemu dengan samaneri dan juga 11
bhante yang
10
Calon bhikkhuni (dalam agama Katolik disebut novisiat).
11 Panggilan lain dari bhikku atau biksu
110
nantinya akan menjadi gurunya, pada akhirnya SY pun memutuskan
meninggalkan pekerjaannya pergi ke Jawa Tengah untuk menjalani
kehidupan membiara. Sekarang SY telah menjadi samaneri dan sedang
menjalani perkuliahan mengambil bidang ilmu agama Buddha di Jawa
tengah, tepatnya di sekolah agama Buddha di Ampel.
b. Laporan Observasi Partisipan
Wawancara yang pertama dilakukan pada hari sabtu, 12 Januari
2013, lokasi wawancara dilakukan di dalam vihara yang ada di sekolah
agama Buddha, di Ampel. Wawancara berjalan selama kurang lebih
tiga puluh menit. Saat wawancara, SY memakai jubah berwarna coklat,
yang menjadi pakaiannya sehari-hari, dengan memakai gelang yang
memiliki bandul bergambar Sang Buddha. Partisipan juga memiliki
perawakan yang gemuk dan menggunakan kacamata. Saat wawancara
berlangsung, SY kadang kala melihat kesebelah kanan (pintu vihara)
dan memandang jauh.
Pada wawancara partisipan membawa serta handphone, dan sekitar
5 kali dia melihat dan mengecek pesan masuk, dan itu juga dilakukan
saat menjawab pertanyaan dari peneliti. Hal ini secara tidak langsung
membuat SY tidak terlalu fokus untuk menjawab pertanyaan yang
diberikan, dan hal ini berakibat pada SY yang harus mengulangi
jawabannya. Partisipan merupakan orang yang ramah, ini dapat dilihat
dari caranya berbicara yang selalu tersenyum dan tertawa setiap
menjawab pertanyaan yang diberikan padanya, bahkan saat SY
bercerita mengenai peristiwa kehilangan keluarga intinya akibat
111
bencana tsunami. Partisipan masih tetap menceritakan sambil tertawa,
walaupun sedikit agak canggung dalam menjawab. Hal ini terlihat raut
wajahnya saat tertawa terlihat seperti tertawa dipaksakan, mata terlihat
sedih tetapi bibir SY tersenyum. Pada wawancara yang pertama ini,
peneliti tidak bertanya lebih mendalam mengenai peristiwa bencana
alam yang menimpa keluarga, karena SY terlihat tidak terlalu nyaman
dengan melihat reaksi SY tadi.
Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 30 Januari 2013,
pada pukul 14.27. Pada wawancara yang kedua SY terlihat sudah
terlihat nyaman untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan, terlihat dari caranya dalam menjawab setiap pertanyaan
dengan jelas dan dapat menceritakan dengan rinci perasaan ataupun
pengalaman yang dialaminya dalam proses mengambil keputusan
membiara. Untuk wawancara yang kedua ini, peneliti bertanya lebih
mendalam mengenai peristiwa kehilangan yang terjadi pada diri SY,
yang sebelumnya peneliti hindari di wawancara pertama. Pada
wawancara yang kedua ini, ketika partisipan diminta untuk
menggambarkan perasaannya saat peristiwa kehilangan anggota
keluarganya, raut wajah SY terlihat sedih, terlihat dari sorot matanya
yang terkadang memandang ke bawah dan ke peneliti, dan senyumnya
yang hilang saat menceritakan dirinya sempat down, merasa seperti
orang gila, dan sempat mengalami kecelakaan karena merasakan
kehilangan yang mendalam.
Hal ini kontras ketika peneliti bertanya kepada SY mengenai
pengalamannya bertemu dengan gurunya, hingga pada akhirnya
112
memutuskan hidup membiara. SY terlihat antusias saat bercerita
pertemuannya dengan guru dan seniornya, hal ini terlihat dari suara SY
yang lebih jelas dan lantang, dan raut wajah SY yang kembali terlihat
tersenyum sambil bercerita. Ketika SY menceritakan gambaran
mengenai pribadi gurunya, SY pun terlihat bersemangat, bagi SY
gurunya seperti orang tuanya sendiri, dan kakak sepergurannya sudah
seperti kakaknya sendiri.
c. Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P3W1
Makna Teks dan Kode
P memutuskan hidup
membiara setelah
kehilangan seluruh
keluarganya karena
musibah.
Keinginan ini timbul waktu saya SMA kelas 2, nah
mama masih hidup waktu itu, kan saya anak
cewek satu-satunya adik saya dua cowok, nah saya
ijin sama mama tapi gak dikasih ya udah saya
urungkan niatnya, nah udah gitu mama meninggal
akhir saya SMA kelas 2 mau naik kelas 3 mama
meninggal, kemudian waktu 2004 orang tua saya
kena tsunami, nah kena tsunami sama adik saya
jadi tinggal saya sendiri, jadi saya berpikir ulang
kenapa tidak saya ambil membiara gitu kan, e…
sedangkan kedua orang tua saya sudah tidak ada
gitu kan, akhirnya saya memutuskan keluar dari
pekerjaan saya, saya hidup membiara (P3W1 12-
113
24).
Sebelum menjalani
hidup membiara P
pernah bekerja.
Selama berapa tahun ya (sambil melihat ke atas
mencoba mengingat), saya tamat tahun 99 sampai
tahun 2004 kemaren saya bekerja di Medan bagian
finance itu 4 tahun, habis itu kepala kasir di
Jakarta dan kemudian pernah kerja di Malaysia,
baru kesini (sambil menunjuk tempat wawancara
kami) (P3W1 29-35).
Keinginan hidup
membiara timbul ketika
saat kecil melihat
seorang bhikkhu.
Enggak (menggelengkan kepala), nah waktu kecil
kan kita tinggal di Aceh, jarang sekali ada bhikkhu
yang kesana, jadi pas bhikkhu datang itu kita liat,
ih hidupnya tenang, orangnya anggun, akhirnya
saya suka, nah pas SMA itu saya memutuskan
untuk ikut pelatihan tapi ternyata tidak direstui
(P3W1 38-44).
Sering terjadi
permasalahan dalam
keluarga P.
Karena gini, saya kan dari keluarga yang dibilang
kaya tidak, dibilang miskin juga tidak karena kita
hidup sederhana nah kita liat, kan orang tua
kadang kan masalah keuangan kan ada cekcoknya,
nah kemudian saya merasa bosan dengan cekcok-
cekcok orang tua (P3W1 56-61).
P menginginkan
kehidupan damai seperti
seorang bhikkhu.
nah saya liat ternyata seorang bhikkhu itu
hidupnya damai, jadi saya ingin kehidupan yang
damai itu jadi saya ingin sekali latihan tapi gak
direstui orang tua (sambil tersenyum) (P3W1 61-
65).
Penolakan dari orang tua
saat P memutuskan ikut
pelatihan.
ee…, waktu itu mungkin masih anak SMA ya jadi
gak direstuin ya udah cuek gitu, konsentrasi
dengan sekolah dan pelajaran lagi (P3W1 68-70).
Rasa tanggung jawab Kecewa pasti, tapi ya mungkin mereka orangtua
114
pada keluarga membuat
P mengurungkan niat
hidup membiara
meskipun P sempat
merasa kecewa.
jadi tidak terlalu mengambil hati, mungkin karena
alasan mama begini, saya cewek satu-satunya di
keluarga nah kalau saya membiara, ee… mama
gak rela, jadi ya udah saya menerima, apalagi
setelah mama meninggal kan, tinggal papa sama
adik, nah habis itu saya merasa ooo, ya udah saya
ngurus keluarga (P3W1 74-81).
Keinginan hidup
membiara dirasakan
kembali saat P
kehilangan keluarganya.
Setelah saya mengetahui orang tua saya
meninggal, papa kena tsunami, adik kena tsunami,
jadi satu keluarga 3 orang kena tsunami, kan
mama meninggal dan yang ketiganya itu kena
tsunami, settelah itu saya berpikir, memang kerja
saya gaji lumayan, tetapi saya berpikir ulang, saya
kan bertekad tidak ingin berumahtangga, tidak
berumahtangga, saya berpikir ulang saya cari uang
banyak-banyak untuk apa, jadi ya udahlah saya
memutuskan saya ingin hidup membiara aja
(P3W1 87-96).
Perasaan hampa
walaupun P memiliki
banyak uang.
Ha ah, habis tsunami saya sempat bekerja di
Malaysia selama 2 tahun, jadi saya berpikir kerja
berat-berat banyak uang untuk apa, jadi saya
memutuskan untuk membiara (P3W1 99-102).
P mengurungkan niat
hidup membiara karena
tidak ada bhikkhuni
dalam aliran Theravada.
Waktu saya SMA itu saya kan….. kita kan di
agama Buddha ada 3 aliran, nah aliran Mahayana,
Theravada, dan Tantrayana (P3W1 117-119)
Saya dari dulu ingin sekali memakai jubah seperti
ini yang Theravada nah dialiran Theravada itu
bhikhuni itu belum ada, jadi saya memutuskan ya
udahlah saya enggak latihan dulu, saya enggak
membiara dulu (P3W1 124-128)
115
Informasi keberadaan
bhikkhuni Theravada
membuat P kembali
menjadi tertarik hidup
membiara.
nah kemudian kan saya bekerja-bekerja, nah waktu
mulai aktif facebook, facebook mulai
membooming nah kita main-main di facebook, nah
lihat kok ada samaneri yang pakai jubah ini, nah
saya merasa tertarik kan, saya tanya kok, eee tukar
no telephone, kemudian dibilang saya (orang yang
bertukar no telephone) sekarang pelatihan di Jawa
Tengah katanya, jadi saya bilang saya ingin sekali
latihan, waktu itu saya pulang dari Malaysia, dia
bilang kalau misal mau latihan nanti kita ketemuan
dulu di Jakarta, waktu itu saya domisili di Jakarta,
kemudian kita jumpa dan ketemu dengan guru
saya sekarang ini, bhante S, kita jumpa di Vihara
Ekayana, kemudian saya merasa saya dekat
dengan bhante S, jadi kita sering kontek-kontek,
akhirnya saya memutuskan, sudah ternyata sudah
ada samaneri yang jubah kayak gini, jadi saya
ingin latihan (P3W1 129-146).
Saat keinginan hidup
membiara muncul
pertama kali, ibu yang
diberitahu pertama kali.
Mama, karna kan saya satu kamar sama mama,
jadi sering curhat sama mama. Nah saya memang
waktu memutuskan hidup membiara itu memang
saya aktif di vihara, saya aktif di vihara kan, tapi
mama kan memang agama Buddha tetapi tidak
mengerti ajaran Buddha itu apa, mereka hanya ke
klenteng, hanya sembahyang-sembahyang bakar
hio, nancep gitu udah permohonan-permohonan
gitu, mama cuma tau begitu, mama tidak aktif, jadi
waktu saya bilang ingin menjadi samaneri gitu kan
ikut pelatihan membiara mama langsung gak
setuju (P3W1 159-170)
116
Orang tua takut jika P
hidup membiara, maka
tidak akan bertemu lagi.
karna kan pendapat orang tua itu kalau kita sudah
hidup membiara itu tidak boleh ketemu orang tua
lagi begitu pemikiran mereka, jadi waktu itu kan
saya masih vakum gak mengerti apa-apa tentang
membiara itu, jadi saya bilang “boleh lah, boleh
pulang”, kata mama “gak boleh, itu anaknya siapa
(teman) jadi biksu gak boleh pulang”, jadi mama
gak kasih karna kan saya cewek satu-satunya.
Padahal boleh kalau kita memang ada waktu,
mengunjungi orang tua boleh (P3W1 171-179).
P menghadapi salah satu
keluarga yang
menyayangkan
keputusan membiara.
Ada dari paman saya, kan perlu ijin dari keluarga
terdekat untuk ikut latihan, karena keluarga saya
gak ada, saya ijin ke keluarga paman, nah waktu
saya minta ijin dia bilang, “gak usahlah, nikah
aja”, aduh saya gak kepikiran nikah gitu, ya kata
paman kalau memang kamu merasa ingin seperti
ini, ya kamu jalani, jangan buat yang jahat-jahat,
jangan terpengaruh dengan teman yang enggak-
enggak, kalau kamu mau membiara ya silahkan
yang penting kamu bisa jaga diri (P3W1 182-191).
Dukungan dari teman-
teman P untuk
keputusannya hidup
membiara.
Waktu saya aktif di vihara Ekayana Jakarta, di
Ekayana Buddhist Center, saya punya temen
banyak, dan mereka mendukung, sebenarnya
mereka juga ingin seperti saya, ikut latihan hidup
membiara, tetapi mereka kan masih dari keluarga
yang lengkap jadi mereka terbebani, belum bisa,
tapi mereka tetap mendukung saya (P3W1 194-
201).
Tuntunan yang diberikan
oleh kakak seperguruan
Nah dukungan kedua mungkin dari samaneri yang
saya kenal itu, samaneri T namanya, waktu saya
117
membantu P
memantapkan
panggilannya.
kesini ke Jawa ini, saya tuh gak kenal Jawa tuh
kayak gimana, kotanya bagaimana, saya gak tau,
tapi bhante S, guru saya itu bilang, “kamu datang
ke Jawa, nanti dijemput sama samaneri T, jadi
saya datang sendiri kayak orang ilang (tersenyum
dan tertawa), nah habis itu ketemu sama samaneri,
kita gak saling kenal hmmm… akhirnya “dimana
kamu?”, “saya disini”, dan yang keluar pake jubah
gini (menunjuk jubahnya), ya berarti dia ( sambil
tersenyum), baru kita kenalan. Padahal saya belum
kenal apakah orang baik atau tidak, tapi saya
memberanikan diri (P3W1 211-225).
Proses adaptasi yang P
lakukan saat pertama
kali masuk dalam biara
mendapatkan dukungan.
Kasih support terus karna untuk latihan membiara
itu tidak mudah, sangat tidak mudah karna pertama
harus adaptasi dulu, nah saya sampai disini
pertama sampai disini, saya dibiarkan lepas gitu,
gak ditegur, gak disuruh makan, jadi dilepasin,
saya kan bingung saya masih awam sekali, saya
tanya samaneri D, kalau ke vihara itu kita harus
gimana, nah kalau guru saya bhante S, itu biasanya
kalau bawa murid, dibawa kesini terus disuruh
adaptasi selama satu atau dua minggu, biar
beradaptasi kehidupan disini itu seperti apa dan
bagaimana kebiasaannya, setelah itu kita akan
ditanya, mau lanjut apa lepas (keluar dari hidup
membiara). Nah setelah 7 minggu, bhante S, suruh
12samanera gundulin, “kamu sudah siap?”, “siap”,
biar kita terbiasa hidup dilingkungan seperti ini
12
Calon bhikkhu
118
(P3W1 227-243).
Dukungan yang
diberikan oleh guru.
He eh, tergantung dari orangnya sendiri juga, tidak
dipaksa. Guru saya juga selalu beri dukungan
dengan berkata yang penting semangat kalau
sudah ada niat tapi gak semangat sama aja boong,
kalau sudah ada niat dan tetap semangat itu baru
gitu (P3W1 252-257).
P merasakan proses
adaptasi yang sulit saat
hidup dalam biara,
terutama dalam hal
aturan makan.
Pertama masuk saya jadi anagarini, kalau waktu
masih umat awam kan kita makan 3 kali sehari,
setelah kita masuk kan kita 2 hari sekali, lewat dari
jam 12 kita tidak makan lagi, nah itu mungkin
berat bagi saya waktu awal-awal, tapi saya
berusaha saya bisa, saya bisa, tapi malemnya
keroncongan (sambil tertawa), tapi saya minum
teh akhirnya bisa (P3W1 262-269).
Dalam menghadapi
masalah dengan rekan-
rekannya, P lebih
mengalah.
Kita teman biasa, walaupun kita dibedakan oleh
jubah dan pemikiran kita masih awam, tapi
seawam-awamnya pikiran samaneri, kita harus
mengalah, misalnya ada masalah kita ya selesaikan
dengan cepat, pertengkaran pasti ada, selisih
paham pasti ada tetapi kita selesaikan secepatnya
kalau bisa, kita bertanya ada apa, misalnya mereka
bilang kamu gini-gini, y a wes besok saya gak
kayak gitu, nah gitu (P3W1 273-281).
Perasaan rindu bertemu
dengan mama angkat
terkadang hadir.
Ada, karna masih ada, apalagi ada mama angkat,
mama angkat sangat baik, nah saya ni liburan
rencana pengen pulang, tapi KKN nanti, nanti
kalau udah tamat nanti pulang, kan saya
rencananya saya diwisuda suruh mereka datang,
tapi kalau gak bisa saya yang kesana (P3W1 284-
119
289).
Keinginan P untuk
memiliki keluarga yang
akur dan kehidupan yang
lebih damai, seperti
hidup seorang bhante.
Nah karna itu kan, bosen sama cekcok orang tua
itu kan pertama karena saya merasa di Aceh itu
kan di kampung, walaupun kampung pun masih
agak kota, misalnya gini, kita pulang malam aja,
kita bisa jadi gossip satu RT, aduh manusia ini,
kita bosan dengan yang seperti itu, kalau bilang
saya ingin mengasingkan diri, memang mungkin
itu, tetapi saat kita lihat kehidupan seorang bhante
sangat damai, kenapa saya mesti mengasingkan
diri, kalau saya bisa seperti mereka gitu kan, punya
keluarga yang akur, itu yang membuat saya
ingin… sekali latihan membiara (P3W1 296-307).
Rasa senang yang
dirasakan oleh P setelah
menjadi seorang
samaneri walaupun pada
awalnya merasakan
takut.
Senang sekali tentunya, dan oo jadi samaneri itu
gini ya ternyata, saya ini dulunya penakut dibebani
dengan tugas ceramah di depan orang banyak
sangat sangat membuat saya kedinginan
(hehehehe…..), aduh keringatan tapi sekarang saya
seneng kalau disuruh ceramah saya seneng,
ketemu sama ibu-ibu, bapak-bapak, itu tidak beban
lagi bagi saya, mungkin awal-awal iya (P3W1
310-317).
P merasakan ragu, takut
saat harus berhadapan
langsung dengan umat
dan berpikir untuk
keluar.
Disitu saya ketakutan, keyakutannya gini
bagaimana ya saya jika berjumpa dengan umat,
nanti umat tanya a saya jawabnya c, karna waktu
saya di Aceh itu pendidikan agama Buddha itu
kurang sekali, nah disini saya kuliah, awalnya saya
gak niat kuliah, disini untuk latihan membiara,
tetapi saya ingat lagi umatnya aja sudah pinter-
pinter nanti saya diatanya a jawabnya c, kan gak
120
nyambung banget, ketakutan, was-was, kadang
saya berpikir ingin pulang aja, (P3W1 328-337).
P mengembangkan
disiplin rohani sebagai
pembekalan sebelum
melayani
masyarakat/umat.
tetapi gak ah aku udah sampe sini, ngapain pulang
lagi gitu kan pokoknya berkecambuk disitu,
akhirnya disitu bhante menyuruh latihan membaca
parrita, membaca sutra, mantra, pokoknya setiap
hai tuh ada latihannya, jadi nanti untuk terjun ke
masyarakat kita bisa jadi setiap hari latihan-latihan
ya itulah (P3W1 337-344).
Dukungan dari umat
menjadi motivasi untuk
P mantap dengan
panggilannya.
Pasti ada, waktu awal-awal, saat saya menjadi
samaneri diwajibkan ceramah, saya tuh kesulitan
aduh saya pingin pulang aja, jadi umat biasa
bekerja begitu, tetapi setelah dijalani ceramahnya,
saya gak takut lagi, malah beberapa orang bilang
“samaneri sukses lho, umatnya pada senang”, ibu-
ibunya pada suka, jadi itu yang membuat saya
termotivasi banget (P3W1 348-355).
Analisis Verbatim P3W2
Makna Teks dan Kode
Peristiwa kematian pada
anggota keluarga
mempengaruhi perubahan
orientasi hidup P.
Begini kan setelah tamat sekolah SMA, saya kan
sudah keluar kota, awal ke Medan lalu ke Jakarta,
nah tahun 2004 itu kan tsunami nah setelah itu a…
saya masih apa, setelah tsunami itu saya masih
sempat kerja ke Malaysia, nah setelah ke Malaysia
kan balik, balik saya pikir ulang kalo misalnya
saya masih kerja terus gitu kan, kan keinginan
saya untuk latihan ini kan sudah dari dulu, jadi
saya berpikir lagi, selesai nabung uang begitu
banyak untuk apa gitu kan, keinginan menikah
121
memang tidak ada, tidak ada jadi ya sudah saya
bilang ya sudah saya mau latihan saja apalagi
waktu itu udah kenal dengan samaneri T itu dari
facebook, nah udah kenalan itu ya udah itu yang
membuat tekad saya makin bulat (P3W2 14-28).
Kehilangan keluaraga
akibat tsunami
meninggalkan perasaan
duka yang mendalam.
Itu sangat apa….. piye ya… a… peristiwa itu
sangat melukai saya, karna tiba-tiba dulu tiba-tiba
saya harus kehilangan ibu karna saya dekat sama
ibu apalagi saya cewek satu-satunya di rumah tapi
setelah ibu meninggal kan sedikit demi sedikit…
sempat tinggal dengan adik mama di Biak, setelah
itu saya memutuskan ya saya kembali ke bapak
sama adek-adek saya. Nah setelah kita apa tinggal
bersama, walaupun tetap kan saya tamat sekolah
saya berpisah sama orang tua, saya kerja keluar
kota tetapi kita tetap… misalnya setahun sekali
kadang…setengah tahun sekali saya pulang ke
Aceh, jumpa… jumpa walaupun kita jarang jumpa
tapi lebih akrab gitu, sekali pulang itu akrab
banget ((P3W2 31-45).
Perasaan kehilangan
keluarga dan materi
membuat P merasa
terganggu jiwanya.
nah tiba-tiba harus kehilangan semuanya sak
rumah-rumahnya gitu kan, jadi seperti.. ya bisa di
bilang waktu itu selama dua bulan saya berpikir
kayak orang gila sempat jatuh dari motor kan nah
kayak orang gak bener gitu, ya saya kadang pergi
sama temen sampe malem gitu, habis itu saya…
saya berpikir yang ngalamin hal itu bukan saya
sendiri karna kan teman-teman lain juga seperti itu
ada temen saya juga kehilangan sekeluarga tinggal
dia sendiri tapi dia masih bersemangat ya udah
122
saya kembali lagi saya memutuskan itu kerja dulu,
ada yang ngajak ke Malaysia (P3W2 45-56).
Upaya menyenangkan
ayah tidak berhasil
karena kematian ayah
yang tidak terduga.
Sempet down, karna kan kejadiannya minggu, nah
sabtu malem itu kita masih sempat teleponan, nah
papa kan suka liat film-film serial-serial drama
gitu kan, yang serial drama Taiwan, Korea, nah
saya dah beli banyak udah packing, mau kirim
minggu ini, ternyata belum kirim udah gak ada
duluan… itu (P3W2 59-65).
Jika keluarga masih ada,
P berpikir tidak akan
hidup membiara, karena
keluarga menginginkan P
menikah.
Mungkin pada saat itu jika orang tua saya masih
lengkap, mungkin saya tidak memutuskan untuk
latihan, karna kan bagaimanapun mama saya ingin
saya menikah, waktu mama meninggal kan saya
masuk SMA kelas 1, nah dari situ seperti remaja
biasa yang sempat pacaran (P3W2 76-81).
Rasa tanggung jawab
pada keluarga membuat P
memutuskan tidak hidup
membiara.
, ketika mama meninggal masih pacaran kemudian
…aa… agama kita beda tapi setelah itu tamat
SMA papa gak setuju, nah saya memutuskan kerja
di luar kota kita pisah, nah setelah itu saya gak
kepikiran untuk menikah tetapi saya kepikirannya
pengen kerja…kerja…kerja… gitu, karna walapun
keluarga kita tidak kaya banget sederhana, saya
tidak pernah menyusahkan orang tua, nah saya kan
suka jalan-jalan ke luar negeri, jadi kerja itu…
saya sempet ke luar negeri jalan, nabung jalan, nah
kalo keluarga masih ada mungkin saya masih ingin
kerja, ingin jalan-jalan gitu (P3W2 81-93).
Ada rasa takut saat
pertama kali bertemu
dengan bhikkhu, karena
Partama sekali lihat bhikkhu itu takut, rasa takut
ada, karna kan kita jarang ketemu sama orang-
orang kayak gitu karna di Aceh kan jarang, nah
123
tidak pernah
berkomunikasi dengan
seorang bhikkhu.
sekali ketemu kita merasa takut pernah ketemu
tetapi jarang-jarang sekali, jadi sekali ketemu itu
kita takut, jarang berkomunikasi (P3W2 104-109).
Pertemuan dengan
seorang bhikkhu yang
mengesankan
berpengaruh pada
munculnya keinginan
hidup membiara.
nah pada saat itu saya mulai aktif di Vihara kan,
aktif…aktif … jadi kita akrab dengan guru agama
di sana, bukan guru agama spesial ngajar agama
enggak tapi ngurus Vihara gitu kan, nah kita akrab
jadi suatu hari bhikkhunya datang ngajak kita
keluar, misalnya ni Banda Aceh kan ibukotanya
nah ada Aceh Besar misalnya ke Melaboh ke
Langsa gitu kan, nah kita di ajak, jadi yang pergi
saya sama temen saya berdua nah sama guru
agama itu kemudian ada bhikkhunya satu, nah
kemudian kita akrab di situ sama bhikkhu, yah ooo
ternyata seorang bhikkhu itu bawaannya tenang,
santai, baik, dan sebagainya, itu yang memotivasi
oo ternyata kehidupan bhikkhu itu begitu
menyenangkan (P3W2 109-123).
P menginginkan
kehidupan keluarga yang
tenang dan jauh dari
pertengkaran.
Begini, karna pada waktu itu apa masih anak-anak
gitu saya sering liat orang tua saya bertengkar,
bertengkar kan kayaknya… kalo udah bertengkar
itu kan namanya anak-anak, waktu itu remaja yak
an merasa gak tenang hidupnya, jadi setiap hari
ada warna warni pertengkaran gitu kan, kita
rasanya sebel gitu, jadi gimana sih rasanya biar
damai. Habis itu mama itu sering..eee … apa,
mungkin dulu saya bandel banget jadi sering di
pukul mama gitu, jadi waktu itu saya ingin sekali
apa, punya keluarga yang bahagia, yang tenang
gitu, tidak ada pertengkaran itu yang membuat
124
saya pengen cari suasana yang tenang bebas dari
cekcok cekcok (P3W2 133-145).
Rasa tenang yang tidak
diperoleh dari orang
tuanya, P rasakan saat
bersama dengan bhikkhu.
Begini e…, gimana ya seorang bhikkhu itu kalau
berjalan kan kayaknya damai liatnya, dia
membuat..membuat saya itu seperti nyaman,
nyaman berada di sisi dia gitu kan, jadi seperti
saya berjumpa dengan guru saya ini saya liat…
jiwa bapaknya itu ada gitu jadi saya merasa
nyaman, tenang di sisi dia gitu kan, jadi ya udah,
padahal saya belum kenal banget sama guru saya
pertama saya jumpa, baru ketemu dua kali, tapi
beda perasaannya ada perasaan yang berbeda,
mungkin saya tidak mendapatkan perasaan itu
ketika orang tua saya masih lengkap, ya kata
sekarang ini kurang perhatian lah, nah jadi sekali
liat seorang bhikkhu itu ooo seorang bhikkhu itu
seorang yang melindungi (P3W2 149-163).
Bagi P, bhikkhu seperti
orang tua yang
diharapkannya.
He eh mungkin, jadi seorang bhikkhu itu seperti
orang tua yang saya harapkan, seorang ayah yang
saya harapkan (P3W2 166-168).
Ketidak-harmonisan
dalam relasi orangtua
membuat P merasa tidak
nyaman hidup dalam
keluarga.
Gak mengerti ya, mungkin saya kurang nyaman
hidup dengan ayah dan ibu, nah habis itu saya
pernah denger cerita dari tetangga-tetangga itu,
waktu itu saya masih kecil orang tua saya
hidupnya mapan, ya bisa di bilang orang kaya gitu
kan mapan, sejak itu jatuh usahanya, nah kira-kira
apa saya gak ngerti karna waktu itu masih kecil,
nah sejak itu orang tua sering bertengkar, kalo
dulu waktu mapan kata tetangga saya kan mama
kan sering jalan-jalan ke rumah tetangga maen,
125
saya sering dibawa, mama sayang kok katanyanya,
tetapi setelah jatuh itu mungkin, yah dari kaya
tiba-tiba miskin mungkin gak menerima ya… jadi
kita sebagai anak merasa kok orang tua kita gak
perhatian sama kita, waktu kejadian saat kecil kan
kita gak mengerti tetapi setelah SMP SMA, kita
mengerti kok ayah dan ibu gitu (P3W2 171-187).
Penolakan awal dari
orangtua tidak
mengecewakan P karena
P merasa masih
mempunyai kesempatan.
Dalem sih gak dalem, karna saya kan berpikir
begini, ya saat ini mungkin belum, mungkin nanti
kan karna waktu itu saya mikirnya gini, kan umur
saya masih panjang kok saya masih muda, nanti
saya umur tiga puluh saya umur empat puluh saya
masih bisa latihan gitu, ya udah saya gak terlalu
kecewa banget.
Iya, jadi ada temen maen, masih ada kegiatan lain,
jadi saya lupa gak terlalu kecewa banget (P3W2
192-198).
Keinginan hidup
membiara saat melihat
seorang bhikkhu masih
ada, walau keluarga tidak
merestui.
Sempat hilang, tapi tetap saat jumpa dengan
bhikkhu itu tetap…tetap pengen. Kan karena
pelatihan kita juga kan gak di batasi umur, jadi
kapan pun kita siap kita bisa (P3W2 204-207).
Kesibukan pekerjaan
mengalihkan minat P
yang semula ingin hidup
membiara.
Gak, sewaktu di Malaysia gak muncul, gak
muncul mungkin terlalu nyaman dengan
kehidupan di sana, ataupun terlalu disibukan oleh
kerjaan di sana, karna kan saya kerja sehari dua
belas jam, jadi pergi pagi pulang malam jam tujuh,
kadang kita tukar shift jam tujuh malem pulangnya
jam tujuh pagi, jadi sibuk sibuk jadi gak kepikiran
kesana, nah setelah dua tahun kan kita namanya
126
gak punya tanggungan hidup jadi nabung kan
banyak gitu, nah pulang-pulang pengen usaha tapi
usaha apa gitu kan pengen ini penen itu tapi buat
apa gitu, nanti kalau saya sakit atau meninggal
sapa yang ngurus semua itu gitu kan, ya udahlah
pas chating-chating di facebook ketemu sama
samaneri T, baru kepikiran lagi gitu (P3W2 214-
228).
Perjumpaan dengan
samaneri yang beraliran
Theravada menghidupkan
kembali minat hidup
membiara pada diri P.
Belum, jadi setelah saya dari Malaysia, saya kan
bekerja di Jakarta, nah saat itu kan mulai heboh
facebookan nah kita mulai chatingan cari teman
gitu kan cari dapetlah samaneri T, samaneri T ini
pake jubah Theravada nah dulu kan saya ingin
pake jubah Theravada nah saya liat kok sekarang
ada yang cewek pake jubah Theravada ya udah tak
chating-chating kenalan-kenalan, pernah samaneri
T datang ke Jakarta jumpa sama saya bareng guru
saya sekarang ini (P3W2 242-251).
Kekhasan membiara pada
aliran Theravada
membuat P tertarik untuk
menjalaninya.
Oo, waktu dulu kan belum ada wanita yang
memakai jubah Theravada, dan itu yang mungkin
membuat saya juga mengurungkan niat untuk
mengikuti pelatihan, karna saya merasa kalau pake
Mahayana yang kayak baju Taiwan itu kan
ritualnya banyak, sembayang sana, jadi lebih
fokusnya ke ritual, saya gak suka, saya lebih suka
Theravada, karna Theravada itu lebih ke meditasi
jadi lebih simpel daripada Mahayana, nah itu
mungkin faktor yang membuat saya
mengurungkan niat saya dulu (P3W2 254-264).
Minat P semakin kuat nah ketika saya melihat samaneri T, lho kok sudah
127
untuk membiara setelah
bertemu dengan
samaneri.
ada oo ya udah saya ajak chating saya tanya
samaneri sekarang memang wanita uda boleh pake
jubah Theravada, kata samaneri T, boleh, saya
latihan di Jawa, di sini ada beberapa orang
samaneri katanya gitu (P3W2 264-269).
Kemudahan mengikuti
pelatihan menambah
semangat P untuk hidup
membiara.
nah anagarini juga ada, nah kalo gitu kalo latihan
harus nunggu pabbaja atau kita boleh datang
langsung, kata samaneri datang langsung boleh
nunggu pabbaja boleh, tapi setelah bertemu sama
guru sudah merasa nyaman gitu dan siap untuk
latihan boleh datang sendiri katanya gitu, ya udah
saya bilang saya pengen ketemu…saya pengen
ketemu… nah samaneri sama guru saya ada acara
di Jakarta kita jumpa (P3W2 269-278).
Ada rasa takut yang P
rasakan saat pertemuan
pertama P dengan sang
guru (bhante).
Dag dig dug, gak tau dari dulu saya kalo ketemu
sama bhikkhu itu takut, tapi setelah ngobrol itu
nyaman, waktu pertama kali jumpa itu takut, jadi
kita duduk gak kenal kan ngobrol-ngobrol, bhante
tanya keluarga gimana, kedua kali jumpa udah
akrab, yang ketiga kali saya memutuskan, selang
lama juga ya tiga bulan apa empat bulan kita
jumpa lagi lalu saya bilang bhante saya mau ke
Jawa, yah kalau udah niat nanti datang ntar
dijemput sama samaneri (P3W2 280-289).
Beberapa upaya yang P
lakukan untuk
mempersiapkan diri
menjalani kehidupan
membiara.
Iya saya sempat.. rambut saya kan panjang saya
potong pendek temen-temen kan bilang ngapain lu
potong pendek mungkin teman-teman saya kan
teman akrab saya mereka aktif di Vihara jadi
mereka dukung seratus persen, jadi waktu saya
potong pendek, mereka tanya ngampain kamu
128
potong pendek, saya ingin nanti sampe di sini gak
susah-susah lagi kan digundulinnya gak susah, oo
ya udah mereka ngasih dukungan, dukungan
mereka juga memantapkan saya. Saya juga latihan
tidak makan malem, latihan tidak makan daging,
latihan memberika sedekah-sedekah, misalnya
panti asuhan ini butuh, jadi kita berlatih
melepaskan uang itu lebih banyak dari biasanya
gitu, jadi tabungan saya itu sedikit demi sedikit
saya lepas (P3W2 293-308).
Tidak ada lagi keraguan
pada diri P saat
memutuskan untuk
menjalani hidup
membiara.
Hati saya, waktu saat itu senang sekali tidak ada
keragu-raguan sama sekali, malah temen-temen
bilang, enak ya kamu punya keinginan sebentar
lagi terkabul, kami punya keinginan tapi belum
bisa menjalaninya (P3W2 312-316).
P menemukan sosok
seorang ayah pada
gurunya dan kakak pada
seniornya yang membuat
P mantap pada
keputusannya.
Waktu pertama ketemu dengan guru saya ini saya
buta sama dia, apa hebatnya dia, apa pinternya dia,
waktu pertama ketemu itu yang saya rasakan saya
nyaman, saya merasa nyaman kok bhante ini baik
gitu kan, ayah yang saya harapkan, habis itu
samaneri T juga baik gitu kan seperti ibaratnya
seorang kakak, jadi saya merasa oo mungkin
inilah…inilah guru yang bisa membimbing saya,
samaneri T bilang mungkin bhante S bisa menjadi
guru yang baik buat kita ya udah itu yang
membuat saya mengambil keputusan dengan
mantep, padahal saya gak kenal awalnya (P3W2
323-335).
P melihat bahwa gurunya
sebagai orang tua yang
Setelah jadi muridnya saya melihat oo ternyata
murid bhante S banyak juga sudah pada
129
bijaksana bagi anak-
anaknya.
tingkatannya sudah tinggi, padahal bhante S kan
umurnya masih empat puluh delapanan, tetapi
muridnya sudah banyak, habis gitu saya juga
mendengar bahwa bhate Sur tidak suka membatasi
muridnya harus seperti ini kamu harus gini..gini..
gak, bhante membiasakan pada murid-muridnya
untuk mengambil keputusan sendiri karna murid-
muridnya sudah di anggap dewasa, jadi segala
keputusan yang di ambil adalah yang benar, nah
nanti kalo ada salah nanti bhante S yang bimbing
lagi, nah begitu banyak masukan-masukan itu
yang membuat saya mulai yakin bener gak sih,
jadi setelah saya lihat-lihat dan alami memang
bhante orang yang seperti itu, dia tidak pernah
misalnya gini, bhante saya mau gini, oh itu gak
bagus kamu gak boleh gini gini gak itu gak pernah,
misalnya kami bilang mau seperti ini bhante
bilang kalau memang itu yang baik kamu ambil.
Jadi bagi saya itu bhante itu bijaksana kalo kamu
mau ambil keputusan seperti ini kamu ambil, kita
kan gak merasa terbebani karna kita sebagai orang
tua kita tidak boleh mengatakan kata-kata jangan,
karna kata-kata itu membuat pikologis anak ini
terganggu. Jadi saya merasa nyaman (P3W2 340-
365).
Seorang bhante, bagi P
adalah panutan bagi
banyak orang.
Ya kalo dulu kan dari seorang bhikkhu doang, yah
saya waktu itu sering melihat bhante Utomo saya
melihat dari luar belum tau dalamnya, kan dia
sering talkshow, banyak orang seneng sama dia
karna dia lucu menyenangkan ramah salah
130
satunya, saya sempat ke Blitar saya ingin tau oo
bagini kehidupan bhante U, kan saya sempat
mengikuti pelatihan meditasi, setelah kita ngobrol-
ngobrol ternyata bhante tidak menerima murid,
jadi bhante masih ingin melatih dirinya dulu. Tapi
sampe sekarang bhante U mungkin sesosok bhante
yang yang membuat saya oo bhante itu begini lho
begini dalam hal bhante itu bisa jadi panutan bagi
banyak orang, mungkin salah satu faktor saya
menjadi seperti ini salah satunya juga dari beliau,
karna saya suka ngeliat talkshownya (P3W2 367-
382).
d. Kategori
Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari
hasil analisis verbatim P3 dari W1, W2 (terlampir). Setelah proses
pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori
dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1. Ketertarikan pada sosok seorang bhikkhu saat masih kecil.
2. Mengharapkan kehidupan yang tenang dan damai.
3. Respon negatif dari keluarga.
4. Menunda mengambil keputusan (coping defensive avoidance)
5. Perubahan orientasi hidup setelah keluarga meninggal.
6. Guru dan seniornya menjadi significant other.
7. Pencarian informasi pelatihan samaneri Theravada lewat internet.
8. Dukungan dari orang-orang terdekat.
9. Konflik batin dalam menjalani hidup membiara.
131
10. Usaha –usaha beradaptasi dalam biara.
11. Berkomitmen dengan keputusannya.
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari
perjumpaannya dengan seorang bhikkhu saat masih kecil. Rasa kagum
partisipan pada seorang bhikkhu pada perjumaan tersebut
meninggalkan kesan yang mendalam pada dirinya. Walaupun pada
awalnya ada rasa takut saat berjumpa dengan bhikkhu, partisipan dapat
melihat adanya kedamaian pada kehidupan seorang bhikkhu. Kerinduan
partisipan akan kehidupan yang damai dan tenang dilatar-belakangi dari
kehidupan dalam keluarganya yang sering terjadi konflik.
Ketidakharmonisan relasi ayah dan ibunya membuat partisipan tidak
merasakan kenyamanan dan rasa damai dalam keluarganya. Seringkali
dia menjumpai pertengkaran yang terjadi antara kedua orang tuanya.
Hal inilah yang memotivasi partisipan untuk menjalani hidup
membiara, dia menginginkan kehidupan keluarga yang lebih damai
seperti yang partisipan lihat pada kehidupan seorang bhante.
Panggilan hidup membiara ini dirasakan oleh partisipan ketika
dirinya kelas dua SMA, partisipan memutuskan untuk mengikuti
pelatihan hidup membiara, akan tetapi keluarga memberikan respon
yang tidak sesuai dengan harapannya. Keluarga memberikan penolakan
atas keputusannya mau mengikuti pelatihan membiara. Ketika itu orang
pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya adalah ibu.
Ketidaksetujuan kedua orang tua ini dilatar-belakangi ketakutan orang
132
tua, jika harus berpisah dengan partisipan, dan takut jika tidak dapat
bertemu lagi, karena partisipan akan hidup dalam biara. Orang tua lebih
mengharapkan agar partisipan menikah saja dan membentuk sebuah
keluarga.
Penolakan dari orang tua saat itu tidak terlalu mengecewakannya
karena saat itu partisipan merasa bahwa kesempatan untuk hidup
membiara pasti akan datang karena membiara dalam agama Buddha
dapat dilakukan pada usia berapapun. Saat itu partisipan masih SMA
sehingga, rasa kecewa dapat dengan mudah dilupakannya, karena
disibukkan dengan aktivitas pendidikan. Partisipan menunda
keputusannya, bahkan dia pun sempat melupakan keinginannya dan
partisipan juga memiliki hubungan spesial dengan temannya saat SMA.
Meninggalnya ibu partisipan di akhir kelas dua menuju kelas tiga
SMA membuat kesempatannya untuk membiara kembali hilang karena
partisipan merasakan tanggung jawab yang besar pada dirinya untuk
mengurus keluarganya setelah ibunya meninggal. Pada akhirnya
partisipan memilih bekerja di luar kota tepatnya di Medan selama
empat tahun dan kemudian pindah di Jakarta. Peristiwa bencana alam
tsunami yang terjadi pada tahun 2004 membuatnya harus kehilangan
seluruh anggota keluarganya yaitu ayah dan kedua adik laki-lakinya.
Pada saat itu partisipan berada di Jakarta, dan malam sebelum peristiwa
tersebut, partisipan masih sempat berbicara dengan ayahnya lewat
telephone. Peristiwa tersebut membuatnya down, dan selama dua bulan
partisipan masih merasa terguncang jiwanya.
133
Setelah peristiwa kehilangan tersebut, partisipan sempat bekerja
selama dua tahun di Malaysia, kesibukan selama bekerja di Malaysia
dan kelimpahan materi membuatnya melupakan keinginannya dulu
untuk membiara. Akan tetapi suatu waktu partisipan merasakan
kehampaan dalam dirinya yang tidak dapat dipenuhi oleh materi yang
dimilikinya. partisipan merasakan kesia-siaan dengan materi yang
dimilikinya karena dia tidak lagi memiliki keluarga. Partisipan merasa
untuk apa bekerja keras dan mengumpulkan uang banyak, jika
meninggal nanti dirinya tidak memiliki keluarga. Maka dia pun pada
akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan merenungkan akan
masa depannya. Saat merasakan kehampaan hidup, partisipan
merasakan terpanggil kembali untuk hidup membiara seperti
keinginannya dulu. Tanpa sengaja partisipan mendapatkan informasi
dari media sosial facebook mengenai pelatihan dan pentahbisan wanita
buddhis dalam aliran Theravada yang sebelumnya tidak diperbolehkan.
Maka dia pun berkenalan dengan samaneri T dan mencari informasi
mengenai pelatihan membiara. Dari perkenalan tersebut partisipan pun
mengetahui pelatihan membiara dilakukan di Ampel, Jawa Tengah.
Setelah perkenalan dengan samaneri T, partisipan pun memutuskan
untuk bertemu dengan bhikkhu dan samaneri T. Selama tiga kali
pertemuan, partisipan merasakan nyaman dan dia melihat kebaikan
pada diri bhikkhu tersebut. Dia menemukan sosok seorang ayah yang
diharapkan dalam diri gurunya, dan kebaikan seniornya seperti
ibaratnya seorang kakak bagi partisipan.
134
saya merasa nyaman kok bhante ini baik gitu kan, ayah yang saya
harapkan, habis itu samaneri Thitacharini juga baik gitu kan
seperti ibaratnya seorang kakak, jadi saya merasa oo mungkin
inilah…inilah guru yang bisa membimbing saya (P3W 305-309).
Pada pertemuan yang ketiga, tanpa keragu-raguan lagi, partisipan pun
memutuskan untuk ikut pelatihan dan menjadi murid bhikkhu S, dan
selang empat bulan partisipan bertemu lagi dan dengan mantap
memutuskan untuk mengikuti pelatihan membiara. Adapun persiapan
yang dilakukan oleh partisipan selama empat bulan sebelum berangkat
ke pelatihan, partisipan sedikit demi sedikit mendonasikan tabungannya
untuk kegiatan-kegiatan amal, menyumbangkan pada yang kekurangan.
Partisipan juga memotong rambut panjangnya menjadi pendek karena
partisipan berpikir agar mudah jika digunduli nanti, dia pun berlatih
untuk tidak makan daging, dan tidak makan malam.
Keputusan yang partisipan ambil ini sempat menerima respon yang
negatif dari paman. Pamannya lebih menginginkan agar partisipan
menikah saja membentuk keluarga, dan tidak setuju dengan
keputusannya untuk membiara. Tetapi, melihat keteguhan hatinya
untuk membiara, membuat pamannya pada akhirnya merelakan dan
mendukung keputuan yang partisipan ambil. Selain dukungan dari
keluarga, partisipan pun mendapatkan dukungan yang besar dari teman-
temannya di vihara Jakarta tempat partisipan beribadah.
Konflik batin dirasakan oleh partisipan ketika menjalani kehidupan
membiara dan bertemu dengan berbagai rekan-rekan dalam komunitas
yang berasal dari berbagai daerah, dengan budaya yang berbeda-beda
135
dengan pola pikir yang berbeda pula. Konflik kadang terjadi di antara
sesama rekan, dan dari situ partisipan belajar untuk mengalah dan
bersabar, dan proses tersebut dapat dijalaninya dengan baik. Keinginan
untuk meninggalkan hidup membiara dirasakan oleh partisipan ketika
harus menjalankan tugas-tugas ceramah pada umat. Ada rasa khawatir
dan takut pada dirinya, dan dia berharap ingin pulang menjadi umat
biasa saja. Akan tetapi partisipan berusaha untuk terus mengembangkan
kedisiplinan rohaninya, dan juga dukungan dari guru dan rekan
membuat partisipan terus berusaha menghadapi ketakutannya dan pada
akhirnya berhasil. Umat bahkan senang jika dirinya berceramah, dan ini
pula yang membuat partisipan semakin termotivasi menjalani hidup
membiara.
4. Partisipan Penelitian 4 (SN)
a. Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial : SN
Usia : 22 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Anak ke- : 8 dari 7 bersaudara
Agama : Buddha
Partisipan berinisial SN, berasal dari Lampung, Sumatera Selatan.
Saat ini SN berusia 23 tahun dan merupakan anak ke delapan dari
delapan bersaudara. Dia juga merupakan anak perempuan satu-satunya
dalam keluarga. SN saat ini menjalani hidup membiara di Ampel, Jawa
136
Tengah sambil berkuliah. Dia berasal dari keluarga berlatar belakang
agama Buddha. Saat masuk SMA, dia memilih untuk bersekolah di
kota dan indekos. SN, ketika kelas satu SMA, mengalami sakit yang
diakibatkan karena jatuh di depan kamar mandi. Hal ini membuat SN
terkena sakit yang cukup parah dan membuatnya masuk rumah sakit
dan rawat inap selama 35 hari. Setelah keluar dari rumah sakit pun,
perlu beristirahat selama setengah bulan di rumah untuk memulihkan
kondisinya. Sejak saat itu, SN sering kali pingsan dan keluar masuk
rumah sakit karena penyakitnya.
Minatnya pada kehidupan membiara, sudah ada sejak kelas satu
SMA. Dia juga memiliki seorang kakak yang religius dan dekat dengan
kehidupan membiara, karena sejak dari SMA kakaknya ini tinggal
dalam vihara. SN dan kakaknya memiliki hubungan yang sangat dekat.
Dia kagum akan kakaknya yang sudah bisa mandiri sejak SMA.
Kakaknya pun sangat menyayangi dirinya, dan memberi perhatian lebih
padanya. Beberapa kali SN pun berkunjung ke vihara tempat kakaknya
tinggal. Keinginannya untuk hidup membiara, semakin kuat ketika dia
melihat kakaknya yang ingin membiara tidak diijinkan oleh orang
tuanya.
Pada tahun 2010, SN lulus SMA, dan kemudian dia juga sempat
mendaftarkan diri di UNILA (Universitas Negeri Lampung). Pada saat
yang sama, dia mendapatkan informasi adanya pelatihan membiara di
Palembang. Pada akhirnya dia lebih memilih untuk mengikuti pelatihan
membiara (pabbaja) selama setengah bulan. Setelah selesai pabbja, SN
memutuskan untuk melanjutkan niatnya untuk terus membiara. Pada
137
tanggal 23 Juli, dia ditahbiskan menjadi seorang samaneri dan tinggal
di biara di Palembang. Kemudian, SN disarankan untuk belajar lagi
agama Buddha di Ampel, sekaligus menjalanankan hidup membiara di
Ampel. Hal ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuannya
mengenai agama Buddha, karena gurunya sudah tua dan sering sakit-
sakitan, sehingga tidak dapat membimbing SN secara langsung. Saat ini
dia tengah menjalani perkuliahannya sambil hidup membiara di Ampel,
Jawa Tengah.
b. Laporan Observasi Partisipan
Wawancara yang pertama dilakukan pada 12 Januari 2013, pada
pukul 14.07-14.37 WIB. SN saat itu tengah bersiap-siap untuk
diwawancarai, karena telah diberitahu sebelumnya oleh peneliti. Saat
ditemui SN mengenakan jubah samaneri berwarna coklat yang panjang,
dan mengenakan kacamata, dia pun membawa selembar tisu. Partisipan
memiliki gaya bicara yang tegas dan suaranya pun keras. Partisipan
pada awalnya terlihat masih menjaga jarak dengan peneliti. Hal ini
terlihat saat bercerita tidak melihat langsung pada peneliti. Arah
pandangannya keluar jendela vihara dan sesekali memandangi tisu dan
menggulung-gulung di tangannya. Ketika SN menceritakan bahwa
kedua orang tuanya tidak mendukung keputusannya, dia terlihat
bercerita dengan tegang. Hal ini terlihat dengan nada suara SN yang
bertambah keras, dan posisi badan dan bahu yang sebelumnya terlihat
santai menjadi tegak dan terlihat tegang.
138
Wawancara yang kedua berlangsung pada hari jumat, 30 Januari
2013, pada siang hari jam 13.21. Wawancara dilakukan di pondok
meditasi, tempat yang berbeda saat wawancara pertama tetapi masih
dalam lokasi yang sama dengan vihara. Karena wawancara dilakukan di
luar ruangan dan saat itu tengah hujan, wawancara sedikit terganggu
dengan suara hujan. Hal ini membuat SN dan peneliti kadang sulit
untuk mendengar percakapan yang terjadi, sehingga perlu untuk
mengulang apa yang dikatakan. Hal ini membuat SN semakin
memperbesar suaranya agar terdengar. Ketika dirinya bercerita
mengapa nekat untuk membiara tanpa ijin orang tua, terlihat SN
bercerita dengan suara yang keras dan telihat bersemangat. Beberapa
kali dia pun memukul-mukul dirinya saat bercerita mengenai
keluarganya dan permasalahan yang terjadi. Pada wawancara ini pun
SN, mengakui bahwa dirinya lebih mudah berkomunikasi dengan orang
lain setelah jadi samaneri. Dia dapat bercerita dengan leluasa, bahkan
pada peneliti yang notabene merupakan orang lain yang baru SN kenal.
SN semakin terbuka dalam pertemuan kedua ini, dan jarak antara
dirinya dan peneliti pun semakin hilang. Dia dapat menceritakan lebih
dalam lagi mengenai pengalamannya nekat membiara, terutama
mengenai penyakit yang dideritanya. Ketika peneliti bertanya mengenai
penyakit apa itu, terlihat SN enggan untuk menjawabnya, sehingga
peneliti pun tidak memaksanya. Hal ini terlihat dari setiap kali bercerita
mengenai penyakitnya, SN tidak pernah menyebutkan nama
penyakitnya, menghindar untuk mengatakannya.
139
Wawancara yang ketiga dilakukan pada pagi hari pukul 09.35,
tepatnya hari Senin 19 Maret 2013. Pada wawancara kali ini, SN
banyak menceritakan mengenai gurunya (bhante), kekaguman dirinya
akan sosok guru. Rasa bangga SN saat menceritakan gurunya, telihat
dari dirinya yang bersemangat saat bercerita, dengan bahu yang tegak.
Terutama saat menceritakan kebaikan gurunya, yang selalu membantu
orang lain tanpa melihat latar belakangnya.
c. Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P4W1
Makna Teks dan Kode
Keinginan hidup
membiara P rasakan
sejak di kelas 2 SMA dan
menjadi semakin kuat
saat melihat kakaknya
tidak diijinkan membiara
oleh ayahnya.
Keinginan itu dateng semenjak saya kelas 2 SMA
(ehem…), ketika itu kakak saya kuliah di Jakarta,
beliau baru semester 3, beliau juga mengambil
keputusan untuk hidup menjadi samanera untuk
hidup membiara. Nah beliau itu, ketika kuliah di
Jakarta itu kan tinggalnya di asrama, dia tidak ijin
ke orang tua dulu, enggak, tetapi dia langsung,
ketika pulang langsung bawa surat, meminta ijin.
Nah ketika itu bapak saya enggak setuju, kedua
orang tua saya nggak setuju dengan apa… dengan
140
kasarnya orang tua saya itu menyobek surat
persetujuan itu tadi. Mulai dari situ saya
mempunyai keinginan mempunyai niatan, kenapa
enggak untuk mencoba gitu, nah mungkin kakak
saya gak bisa, mungkin saya bisa seperti itu (P4W1
3-16).
P pada akhirnya
memutuskan untuk
mengikuti pelatihan
hidup membiara
(pabbaja).
Nah, setelah saya tahun 2010 itu lulus, bulan Juni..
eh bulan Mei kalo gak salah, nah tanggal 22 Juni
saya mengikuti apa ya.. eee pabaja, pabaja itu
pelatihan samanera samaneri di Palembang, nah
disitu selama setengah bulan dan akhirnya… saya,
saya sendiri samanerinya saya sendiri, sekian
banyak orang cuma saya sendiri perempuan itu dan
akhirnya selama setengah bulan teman-teman saya
sudah lepas, sudah menjadi umat biasa lagi, nah
saya masih tetep lanjut, waktu itu yang lanjut laki-
lakinya cuma dua perempuannya satu saya dan
akhirnya bertahan selama 3 bulan (P4W1 16-27).
P lebih memilih untuk
mengikuti pelatihan
membiara daripada
masuk di Universitas
Lampung.
Sebenernya…………., gini saya waktu itu kan
kakak saya yang dari Jakarta itu, saya sebenernya
gak ada rencana, gak ada rencana mau jadi samaneri
atau gimana-gimana gak ada, cuma pas saat itu,
saya mau nerusin di umum saya udah daftar di
universitas Lampung di UNILA, saya sudah daftar,
saya sudah bayar, saya sudah ikut tes, nah pas saat
itu datanglah formulir pelatihan itu, nah saya itu
tertarik dan saya tinggalin semuanya itu, (P4W1
43-51)
P nekat menjalankan
hidup membiara dan
Saat itu saya mulai tertarik-tertarik, saya tinggalin
orang tua, saya tinggalin orang tua saya tinggalin
141
meninggalkan orang tua
tanpa ijin.
semuanya sampe sekarang. Saya setahun, minta
persetujuan orang tua, saya gak dapet, sampe
sekarang belum dapat. Cuma yang menginjinkan
waktu itu saya dianter kakak saya yang dari Jakarta
itu, dia anterin saya ke Palembang, nemenin saya
ketika saya baru ditahbiskan menjadi samaneri terus
saya ditinggal di Palembang (P4W1 56-64).
Banyaknya saudara lain
yang bisa menjaga orang
tua memantapkan minat
P untuk membiara.
Karna kan saya berpikiran seperti ini, keluarga saya
banyak, saudara saya ada delapan, saya anak ke
delapan, saya anak terakhir dan saya anak
perempuan sendiri seperti itu, jadi merupakan suatu
tantangan gitu lho, kenapa enggak untuk mencoba,
terus entah kenapa, saya juga gak tau kenapa saya
punya niatan gitu, pokoknya punya niatan gitu,
kenapa enggak dicoba. Keluarga saya banyak, anak-
anak dari orang tua saya juga banyak delapan,
kenapa enggak salah satu mungkin bisa jadi
istilahnya bisa jadi samaneri, kenapa enggak (P4W1
71-81).
P memandang dirinya
sendiri sebagai orang
yang egois karena
meninggalkan orang
tuanya.
Saya juga gak dapet ijin, sampe orang tua saya juga
sakit dirumah sakit, saya gak peduli (sambil
menggelengkan kepala), saya bisa dikatakan saya
egois atau gimana-gimana, bisa dikatakan seperti itu
tapi, saya bertujuan saya itu baik karna saya
meninggalkan mereka itu bukan karna lari ke jalan
yang negatif tetapi saya menuju jalan yang positif
gitu, (P4W1 81-87)
Hal-hal negatif yang
dilakukan sebelumnya
mendorong P untuk
saya berpikir seperti ini kalau saya apa (suara motor
membuat samaneri mengeraskan suara), saya sadar,
saya sadar saya, kalau saya itu juga sudah negatif
142
melakukan kebajikan
dengan membiara.
gitu lho, namanya juga anak kost-kostan, anak apa,
masih SMA, keingintahuannya sangat tinggi gitu,
(P4W1 87-92)
Keinginan untuk menjadi
lebih baik dengan hidup
membiara.
saya sadar kalau saya sudah terjun ke hal yang
negatif, misalnya yaaa pergi gak pulang seperti itu,
saya sudah sadar itu terus, karna-karna orang tua
saya itu gak tau kalau saya itu seperti itu di kost-
kostan, jadi masih melarang saya untuk seperti ini,
saya berpikir dengan seperti ini saya bisa merubah
diri saya ke hal yang positif (P4W1 92-98).
Semasa SMA, P merasa
dirinya banyak
melakukan hal-hal
negatif.
Karna saya sadar bebas saya itu dalam hal yang
negatif, saya sadar kalo itu negatif saya sadar,
misalnya, misalnya kan saya masih SMA dapet
jatah dari orang tua itu enam ratus ribu per bulan,
saya masih dapet tambahan saya ngajar nari, itu
saya masih dapet tambahan itu perbulan tiga ratus
ribu, tapi itu tanpa sepengetahuan orang tua, orang
tua tu gak tau kalau saya ngajar nari gitu, karna
orang tua saya gak tau saya punya bakat nari itu gak
tau (P4W1 101-109).
Kesibukan orang tuanya,
membuat P sulit bertemu
dengan kedua orang
tuanya.
karna mungkin dari pola asuh orang tua saya
sendiri, dari SMP orang tua saya sibuk mungkin
saya berangkat pagi sekolah sampe jam satu siang
saya pulang, jam dua berangkat lagi les sampe jam
empat saya gak ketemu sama orang tua, orang tua
saya sibuk. Mungkin ketemu nanti saya jam tujuh
sudah berangkat kerja kelompok atau kemana-
kemana jam tujuh malem, pulang jam sembilan,
saya juga pulang jam sembilan orang tua saya
istirahat, mungkin ngobrol sama orang tua saya,
143
ngobrol sama orang tua saya itu cuma hari minggu
ketika ke vihara paling satu jam dua jam, sudah.
(P4W1 109-120).
P merasa orang tuanya
kurang memberikan
kasih sayang padanya.
Orang tua saya sibuk dengan pekerjaan sendiri-
sendiri, jadi orang tua saya gak tau saya punya
bakat gak tau gitu. Jadinya saya seperti bebas, bebas
saya itu seperti hidup sendiri, SMA ngekost jauh
dari orang tua saya, orang tua saya sayang,
maksudnya minta apapun dikasih, cuman saya tidak
butuh itu, mikirnya saya, saya tidak butuh materi
tapi saya butuh kasih sayang..kasih sayang..kasih
sayang orang tua gitu, saya memang merasa saya
kurang kasih sayang orang tua (tertawa tapi
menunjukan wajah murung), (P4W1 120-130).
Harapan P dengan
menjalani hidup
membiara, perhatian
orang tua padanya akan
lebih besar.
jadinya ya sadar kalau itu negatif terus mungkin
saya juga punya pikiran mungkin dengan seperti ini
saya bisa mendapat perhatian orang tua, ternyata
benar, setelah saya seperti ini, apa… kasih
sayangnya itu bener-bener gitu, pas pertama kali
saya pulang, satu tahun kan saya baru pulang
pertama kali (P4W1 130-135).
P merasakan memiliki
keluarga yang
sesungguhnya setelah P
menjalani hidup
membiara dan menjadi
samaneri selama setahun.
He em…, sudah menjadi samaneri satu tahun, saya
baru pulang, ketika itu saya bener-bener merasakan
yang namanya keluarga, yang namanya keluaraga
itu saya bener-bener merasakan. Dan pas saat itu,
saya sudah menjadi samaneri 3 bulan, kakak saya
yang ada di Jakarta sudah lulus kuliah, sudah
wisuda, setelah wisuda pulang, dia ikut saya ke
Palembang. Kakak saya ikut saya, ikut saya ke
Palembang jadi samanera. Dia bilang “saya mau
144
ngapain?’, sebenernya dia sudah bisa ngajar cuma
sudah ngajar di deket rumah, mungkin orang tua
saya juga mikir gak papa setelah dia lulus gak papa,
kenapa karena orang tua untuk mengiklaskan untuk
nemenin saya gitu, jadi orang tua saya gak iklas gitu
lho saya sendiri, gak iklas, jadi kakak saya
diperbolehkan menjadi samanera untuk nemenin
saya, padahal…, nemeni saya itu untuk jadi
samaneri, kami pisah, dia di Palembang tetep aja
kami pisah. Tapi akhirnya dia boleh (P4W1 137-
154).
Orang tua tidak
memberikan dukungan
pada keputusan yang P
ambil.
saya itu yang tanda tangan kakak saya, karena yang
nganter itu kakak saya, tapi secara moral belum,
dari orang tua itu belum, cuma sedikit demi sedikit
itu sudah dapet ijin (P4W1 157-160).
Keinginan untuk
membimbing kedua
orang tuanya dalam
memahami agama
Buddha.
Kami berdua itu juga sambil membimbing orang
tua, karna kan orang tua saya sudah tua, maksudnya
jangan sibuk dalam pekerjaan terus menerus, waktu
ke vihara itu juga harus ada gitu, untuk berbuat baik
itu gimana. Jadi kami itu sebenernya berdua itu
punya prinsip untuk membimbing keluarga saya
lah, supaya gak melupakan sama keyakinannya
gitu, karna sibuk dengan pekerjaannya jadi sibuk,
apa… lupa dengan keyakinannya gitu uhuk….
(P4W1 160-168).
Minat untuk hidup
membiara setelah lulus
SMA semakin besar dan
hal tersebut didukung
oleh kakaknya (yang no
Belum besar, kalau diukur belum besar,
keinginannya itu belum besar tetapi setelah lulus
SMA, saya punya keyakinan yang bener-bener itu
ketika saya lulus SMA, ketika saya ngobrol-ngobrol
sama kakak saya, saya sharing saya tanya-tanya
145
7). dulu gimana sih, kan dia sudah pernah gitu, gimana
sih latihan jadi samanera samaneri ya gini-gini
diceritakan seperti itu, coba dulu aja gak papa,
kenapa enggak gitu (P4W1 171-178).
Ayah menolak untuk
memberi ijin secara
resmi bagi P untuk
membiara.
Tidak setujunya, yang pertama sih dengan tidak
memberikan surat ijin, saya pulang itu sudah buat
surat ijin tapi gak juga ditandatangani gitu lho sama
bapak saya, gak disobek gak diapain, dibaca aja
enggak, cuma “pak ini pak tandatangan” ketika
kumpul, diambil sama bapak saya ditaroh habis itu
ngobrol lagi dibiarin aja suratnya, sudah saya pun
gak mau memaksa gitu toh ketidaksetujuannya itu
bapak saya tidak memperlihatkan “jangan” gini-gini
sampe saya dimusuhi enggak, enggak cuman kan
kadang ketika telpon, ketika telpon itu mencoba
untuk apa ya, pembicaraannya itu selalu menarik
saya untuk kembali gitu lho, ketika ngomong itu
pembicaraannya selalu menarik saya kembali gitu
lho (P4W1 181-194).
Ayah P masih berusaha
membujuk P untuk
meninggalkan kehidupan
membiara.
He em… , tapi kalo sekarang sih udah gak terlalu,
cuma kalo sekarang ketika saya bilang mo jadi
bhikkhuni, kan ada tingkatannya kan setelah
samaneri nah itu tuh selalu bicara seperti ini, saya
masih ingat pembicaraannya gitu ketika saya minta
ijin kan, “kalo seumpamanya kamu jadi bhikkhuni
terus kamu gak nikah?”, saya jawab “ya enggaklah
pak”, kan kalo perempuan itu seumur hidup sekali
jadi bhikkhuni, kalau jadi samaneri bisa berkali-kali
kalau jadi bhikkhuni cuma sekali, (P4W1 196-204).
Ayah berkeinginan agar “anak perempuanku tuh cuma satu, saya pingin ikut
146
P sebagai satu-satunya
anak perempuan kelak
membentuk keluarga.
anak perempuanku, saya pengen melihat anak
perempuan saya itu berkeluarga” gitu, tetapi beliau
tidak bilang kamu tuh jangan gini-gini enggak
cuman beliau ngomongnya secara halus seperti itu,
kadang kan dihati kan wah gini kan (sambil mata
berkaca-kaca dan hidung memerah) tetapi enggak,
kalau bapak mau ikut saya bapak juga bisa, kalau
saya jadi bhikkhuni besok beli rumah tinggal disitu,
tinggal di vihara juga bisa seperti itu selalu kalau
bapak saya ngomong seperti itu saya jawab seperti
itu (P4W1 204-215).
P merasakan dengan
hidup membiara, P dapat
membahagiakan orang
tuanya.
Karna saya berpikir seperti ini, kalo saya pulang
saya kembali ke yang dulu otomatis pasti negatif
lagi pikiran saya negatif lagi saya berpikir seperti
ini saya malah bisa membahagiakan orang tua.
Logikanya saja dari hal yang terkecil, pasti tiap
bulan saya masih minta jatah terus saya kuliah pasti
masih minta orang tua, yang kedua pergaulan itu
pasti mempengaruhi kehidupan saya dan selamanya
saya gak…gak… punya pemikiran yang apa ya
istilahnya positif yang bener-bener gitu, saya masih
menimbang ulang, memikirkan ulang tentang hal itu
(P4W1 219-229).
Tantangan dalam hidup
membiara tidak membuat
P khawatir karena P
memiliki kakak dan guru
yang siap membantu.
Enggak, saya gak ada kekhawatiran, kesulitan saya
hadapi aja, hadapi sendiri, kehidupan jadi samaneri
kan kita juga hidup dengan masyarakat sekitar to,
saya harus hidup dengan komunitas-komunitas dari
tempat yang berbeda dari pemikiran yang berbeda,
suku yang berbeda itu juga sulit gitu kan, harus
berkumpul dengan mereka juga kadang itu
147
kesulitannya tapi saya mencoba menimbang ulang
dan ketika saya bener-bener mengahadapi masalah
bener-bener sulit sekali bagi saya pasti cerita sama
kakak saya, walau saya punya guru pertama saya
cerita pada kakak saya walaupun dia cuma
samanera gitu kan saya pasti pasti pertama itu ke
kakak saya dulu baru ke guru saya kalau kakak saya
tidak bisa memutuskan saya harus gimana, saya
harus seperti apa saya baru ke guru (P4W1 239-
253).
Bagi P, kakaknya (no 7)
menjadi motivasi untuk
tetap pada panggilannya.
Ya kakak saya itu, kakak saya yang menjadi
samanera itu, saya paling deket sama dia, beliau itu
bener-bener motivasi saya, walaupun saya punya
orang tua yang luar biasa tetapi beliau itu motivasi
saya gitu, mulai dari kuliah dari saya pertama jadi
samaneri (P4W1 256-260).
Bagi P, kakak berperan
sebagai seorang ayah,
teman, dan kakak yang
bijaksana.
Kakak saya itu ya kakak, ya teman, ya ayah saya
gitu, memandang orangnya itu bijaksana, orangnya
itu bijaksana beliau tidak egois menurut saya,
menurut saya lho tidak egois, beliau masih
mementingkan keluarga daripada dirinya sendiri.
Pernah dulu, ini saya cerita ya, beliau punya pacar,
pacarnya itu ada di Tangerang, dia di Jakarta sama-
sama kuliah di situ dan beliau itu pas wisuda saya
sudah jadi samaneri disini ketika itu, saya mau
kesana tetapi pas ada bencana gunung merapi
meletus, sama pacarnya gak boleh kesana,
alasannya gini..gini..gini.. ternyata enggak,
alasannya pesawatnya seperti ini seperti ini jadi gak
bisa lewat gitu, dengan bodohnya saya itu
148
dibohongi, ternyata setelah saya tahu saya ditanya
sama guru saya kenapa kamu gak datang, ternyata
bisa gitu, guru saya pun juga kesana, akhirnya dari
situ saya kecewa sama mantan, mantan kan karna
dia juga sudah jadi samanera (P4W1 262-278).
Kakak P memberikan
perhatian yang sangat
besar untuk P.
Dan pernah juga saya sakit dan pacarnya juga sakit
pacarnya dirumah sait diJakarta, saya juga dirumah
sakit di Lampung, beliau rela meninggalkan
pacarnya yang sakit untuk jenguk saya, dan dia
pulang saya sembuh, kalo saya kangen sama dia
pengen ditemeni saya pasti sakit (P4W1 278-283).
yah kakak saya itu ya teman ya kakak ya ayah
(P4W1 308-309).
P tidak menemui
kesulitan untuk
berinteraksi dalam
komunitas saat pelatihan
di Palembang.
Pas pelatihan, pas pelatihan itu gak ada kesulitan,
yang perempuan itu yang paling banyak
peraturannya itu saya karna kan yang lainnya kan
anagarini, jadi mungkin mereka kan segen sama
saya, mereka begitu baik dengan saya, jadi saya
sama temen-temen itu gak mengalami kesulitan
baik sama samanera sama anagarini. Cuma saat itu
kesulitannya itu saya sakit maag, makan kan cuma 2
hari, saya kaget malemnya saya cuma minum jus
jadi saya kaget, saya sempet masuk rumah sakit tiga
hari (P4W1 312-321).
Perasaan kaget yang ibu
P alami saat melihat P
telah menjadi samaneri.
Suatu kali pernah waktu saya sudah jadi samaneri
selama 1 tahun, saya ingin pulangnya itu karna ibu
saya masuk rumah sakit. Saya sudah pulang satu
tahun itu saya sudah pulang saya liburan, kalau gak
Juli ya Agustus saya pulang pas lebaran di rumah
berdua sama kakak saya, dirumah itu sudah satu
149
minggu berkumpul sama keluarga, saya pulang
duluan kesini soalnya saya mau masuk kuliah ikut
mos kakak saya juga sudah beberapa hari di rumah
pulang, setelah saya pulang dia dirumah dulu
beberapa hari, saya pulang. Ketika saya pulang itu
ibu saya kaget kok seperti ini, saya sudah gak punya
rambut, pakaiannya sudah seperti ini kan, mungkin
pikirannya kacau walaupun pas kami kumpul
keluarga itu fine-fine aja, tidak menunjukan emosi
cuma menunjukan kasih sayangnya, rasa kangennya
pada seorang anak, beliau menunjukan seperti itu
saya gak tau batinnya itu menolak saya gak tau,
saya pulang (P4W1 324-340).
Usaha yang dilakukan
orang tua P, agar P tidak
kembali hidup membiara.
Tetapi saya ingetnya seperti ini pas saya pulang
pertama kali saya pulang dulu ke rumah saya
liburan, saya dirumah itu 3 hari saya pulang kalau
mau pulang ke Lampung kan harus ke Palembang,
harus nemuin guru saya dulu nah waktu itu saya
nemuin orang tua saya dulu 3 hari pas waktu itu
katanya… Saya kan punya uang waktu itu entah
uangnya jumlahnya berapa nah ibu saya itu bilang
gak punya duit saya pergi ke atm saya tarik uang
semua, dittany saya punya uang sekian, pinjem dulu
semua nanti saya kembalikan pas mau ke
Palembang, jadinya tak tarik semua uang itu, nah
pas 3 hari setelah itu 2 hari saya sudah kode hari
apa gitu saya mau pulang (ke Palembang) orang tua
saya bilang gini pas hari H malemnya saya sudah
kode uangnya mana mau beli tiket, gak usah balikin
semua cukup dua ratus aja kalo gak seratus lima
150
puluh saya bilang seperti itu, orang tua saya diem
aja, tertanya orang tua saya itu gak boleh saya
kembali, aduh pikiran saya kan kacau aduh gimana
sudah pake jubah kok seoerti ini pas itu saya
bingung saya telpon kakak saya, kakak saya sudah
telpon orang tua jangan seperti ini gini-gini secara
bauk-baik saja kita bicarakan di Palembang, bapak
ke Palembang ngomong sama bhante, bapak saya
gak gubris gak peduli gitu omongan kakak saya gak
peduli, saya telpon samaneri yang ada di dini
(ampel), tolong kirim uang enam ratus ribu pinjem
dulu nanti ketika saya pulang ke Jawa, untungnya
samaneri punya ditransfer, (P4W1 341-368).
Kesedihan yang ibu
rasakan karena tidak rela
anaknya pergi lagi untuk
hidup membiara.
malem itu juga saya pergi ke atm saya minta tolong
tetangga saya saya ambil uang jam 20.30 itu saya
sudah tidur, ibu saya ke kamar bingung gak saya
pedulikan, mungkin rasa kangennya itu masih,
mungkin saya yang egois tapi saya udah gak
mikirin perasaan orang tua sudah sembuh belum
kangennya itu saya mikir sampe situ gitu loh, saya
itu mikirnya dirumah jangan lama-lama saya
mikirnya kalau lama-lama dirumah saya bahaya
gitu dengan pikiran saya sendiri, saya takut dengan
pikiran saya sendiri gitu sudah, saya tidur saya
dipeluk, dicium saya pengen nangis (menghapus air
matanya saat bercerita) tapi saya gak mau
menunjukan hal itu, saya tahan saya takut dengan
pikiran saya sendiri, akhirnya besok paginya jam 4
ibu saya belum bangun, saya jam 4 berusaha
bangun, saya gak mandi gak apa, gak makan, gak
151
minum, saya ambil tas pake sandal saya minta
tolong tetangga saya anterin ke kotanya naik travel
ke Palembang. Saya nunggu travelnya itu dari jam 5
sampe jam 8, akhirnya saya sms tapi mereka gak
nyari, gak dikejar anehnya, kan sempat nunggunya
di begadang, saya sms bapak saya saya sudah di
Begadang saya pamit, saya juga sms ibu saya, saya
itu smsnya jam 6, kalau memang mereka itu ngejar
saya tapi itu enggak, ibu saya ngebalesin hati-hati
ya sayang, aneh kan aneh sekali, ya sudah saya
pulang ke Palembang (P4W1 368-393).
P berpikir untuk
meninggalkan kehidupan
membiara saat ibu P
jatuh sakit.
Setelah saya pulang ke Jawa, selang beberapa hari
ibu saya masuk rumah sakit lagi, nah itu, saya
duduk …..waktu itu saya sempet nangis ada
samaneri-samaneri, saya nangis bener-bener saya
nangis harus gimana saya bingung, waktu itu kakak
saya lagi ikut ret-ret jadi hpnya tidak bisa dihubungi
sama guru saya juga, ret-retnya di Thailand. (P4W1
393-399).
Perasaan ragu dan takut
berdosa karena tidak
mendengar orang tuanya
dan karena kenekatannya
untuk hidup membiara.
Saya bingung harus gimana kalau saya gak lepas
orang tua saya gimana nasib ibu saya gimana kalau
seperti ini saya durhaka atau enggak, saya masih
mikirin perasaan orang tua saya, kan namanya
nyawa kan cuma satu saya sampe mikirin sampe
situ, akhirnya saya sembahyang disini, saya jam 3
pagi saya bangun saya merenung… merenung…
merenung… dan merenung, saya
berpikir…berpikir… harus gimana (P4W1 399-
407).
P mengambil keputusan akhirnya saya berpikir kalau saya lepas saya pulang
152
untuk tetap pada
panggilannya hidup
membiara walaupun
banyak yang
membujuknya untuk
pulang.
belum tentu sembuh namanya penyakit sembuh
hanya sesaat dan saya gak pulang belum tentu
sembuh belum tentu juga gak sembuh akhirnya saya
sering telpon, akhirnya sembuh juga, saya juga
ditelpon tetangga, ditelpon temen, ditelpon kakak
suruh pulang cuma ya tadi perempuan satu-satunya,
yang mau diikuti sama orang tua saya itu cuma
saya, (P4W1 407-415).
P berusaha memberikan
perhatian yang besar
pada kedua orang tuanya.
saya juga berusaha ngasih perhatian sama mereka,
ngasih sesuatu lah, misalnya lebaran saya beliin
apa, waisak perlunya apa, saya belikan, walaupun
mereka sebenernya bisa beli sendiri bahkan lebih
mahal dari yang saya berikan, tapi kan berpikir
kalau saya kasihnya dengan iklas dengan tulus
orang tua saya juga kan seneng, ya akhirnya ya iya,
kenyataannya walaupun itu barang murah tapi
selalu mereka pake gitu (P4W1415-423).
Dukungan hidup
membiara datang juga
dari teman-teman P.
Ya mereka mendukung, kalau pulang kita makan
bareng sama-sama bahkan ada ni teman saya yang
bilang, s”ebenernya gue pengen kayak elu, tapi
belum siap”, ya saya bilang “ya tunggu aja, pasti
nanti bisa” (P4W1425-428).
Ayah P masih berusaha
untuk membujuk agar P
bisa pulang dan
kemudian berkeluarga.
Ya kadang-kadang kan saya berbicara seperti itu
menuju kesana (untuk mrnjadi samaneri), nah itu
saya bicara pelan dan mereka pun menariknya
secara pelan, keinginan bapak saya tinggi kalau ibu
saya suka ngomong “ya gak papa gimana lagi udah
pilihannya ya yang penting kamu kuat, ya kalo bisa
kamu pulang ya kalau enggak sih gak papa tapi
sebenernya ya ibu kangen”. Ini bapak saya ya
153
bilang “kalau sudah lulus kuliah, silahkan kamu
kerja dan silahkan kamu pulang”, saya petik
pembicaraannya itu seperti itu, setelah selesai
kuliah setahun istilahnya mengabdi sama
masyarakat dulu setelah itu yuk kita pulang, kamu
berkeluarga setelah itu saya ikut kamu (P4W1431-
443).
P mantap dengan
panggilannya hidup
membiara.
Untuk saat ini, namanya juga perasaan, pikiran
orang bisa berubah, tapi sekarang saya masih mau
lanjut (P4W1445-446).
Kehidupan dalam
komunitas merupakan
hal yang lebih sulit dari
peraturan yang dijalani.
Kalau untuk peraturannya saya gak khawatir,
sebenernya kalau peraturan sendiri sih gak masalah,
gak boleh makan lebih dari dua kali, gak boleh
make make up, perhiasan, menikah, berbohong,
membunuh dan seperti itu, saya rasa saya bisa. Tapi
yang lebih sulit itu dengan lingkungan sekitar,
hidup dengan komunitas itu lebih… sulit (P4W1
448-454).
Perbedaan latar
belakang, pola pikir,
budaya dalam komunitas
merupakan kendala
dalam hidup membiara.
Pemikiran, pemikiran berbeda kan walaupun hidup
di vihara kan organisasi kan, misalnya dalam hal
kecil saja misalnya, makan itu harus gimana, itu
sudah suatu kesulita, atau kita ngomong, kami kan
orang Sumatra kan kasar kan ngomongnya, jujur
saya sendiri kasar, saya sendiri kasar ngomongnya
dan menurut saya itu bukan suatu kata-kata yang
kasar, tetapi kan menurut orang jawa sini kan sudah
kasar gitu, kadang mereka tersinggung, kadang juga
kata-kata mereka itu gak etis menurut saya tapi etis
menururt mereka (P4W1 456-465). Iya, kalau
peraturan lebih ke misalnya tidak boleh
154
membiacarakan orang lain, kadang-kadang hal itu
yang masih sulit bagi saya, karena kita juga kan
masih manusia biasa, ya hal-hal seperti itu (P4W1
467-470).
Analisis Verbatim P4W2
Makna Teks dan Kode
Hidup membiara untuk
mengubah pribadi P
menjadi lebih baik.
Yang melatarbelakangi saya ya keinginan saya
untuk hidup membiara, yang melatarbelakangi dari
awal sudah saya jelaskan pergaulan saya dan
tingkah laku saya sepertinya itu kurang pas, kurang
pas untuk di masyarakat dalam hidup berkeluarga
gitu dan saya itu sadar itu dan akhirnya saya
memutuskan untuk latihan membiara seperti itu
supaya ada perubahan (P4W2 10-16)
Kehidupan P semasa
SMA dinilai sebagai
kehidupan yang negatif.
Misalnya kan e….., misalnya pergaulan, pergaulan
sama temen, kan saya dulu ngekos SMA nah saya
sering keluar malem kumpul, tetapi saya enggak
gak, istilahnya gak mabuk gak itu enggak cuman
saya sering keluar sama temen-temen gak tau waktu
dan tidak memprioritaskan sekolah tidak
memprioritaskan pendidikan tapi taunya hanya
maen gitu, seneng gitu sama temen saya tapi tidak
memikirkan bahwa uang itu yang di dapet dari
mana, orang tua gimana ngedapetin uang saya gak
mikir, seperti itu. Saat saya kelas tiga sudah lulus
saya punya pikiran untuk jadi samaneri atau hidup
membiara itu (P4W2 19-31).
P memiliki asumsi Yang bener-bener mendukung yang pertama itu
155
bahwa orang tuanya akan
mengijinkan P hidup
membiara karena P
merasa mereka tidak
mempedulikan P.
tadi, yang ke dua kan saya udah pernah bilang kalo
orang tua saya itu istilahnya cuman ngasih itu
materi gitu tetapi untuk apa ya.. perhatian apa itu
saya itu merasa kurang jadi sama aja saya hidup
membiara sama saya hidup jadi umat biasa sudah
sama aja gak diperhatikan mungkin seperti itu dan
pasti juga diperbolehkan, dan ternyata ketika saya
ijin untuk hidup membiara saya itu tidak diijinkan
(P4W2 35-43 ).
Adanya perubahan orang
tua P menjadi lebih
perhatian pada P setelah
P masuk dalam biara.
Saya semakin kuat, saya berpikir kalo saya masih
punya niatan aja dilarang berarti mereka masih
perhatian, apalagi setelah saya masuk otomatis
mereka akan berubah gitu, dan ternyata iya, ketika
saya sudah masuk memang iya berubah, perubahan
dalam orang tua saya sendiri, perubahan untuk diri
saya sendiri juga ada (P4W2 52-58).
P semakin termotivasi
membiara karena ayah
dan ibunya menjadi aktif
dalam kegiatan
keagamaan setelah P
masuk dalam hidup
membiara.
He eh, yang pertama itu, nah misalnya kan dari diri
orang tua sendiri misalnya tiap hari rabu kalo di
vihara saya itu ada….. kalo ibu-ibu itu kan ada
kayak arisan kayak kumpul-kumpul gitu kan, nah
dulu mamak saya ibu saya itu gak pernah namanya
ikut itu apa, kumpul dengan wanita buddhis, WBI
itu namanya kan perkumpulannya, itu gak pernah
gitu, ibu saya sibuk dengan pekerjaannya nah mulai
saya masuk (peatihan), mulai saya masuk itu lama-
lama pelan-pelan di arahkan, kan saya sama kakak
jadi saya sama kakak itu mengarahkan orang tua,
pelan-pelan diarahkan diarahkan dan akhirnya ada
perubahan juga walaupun dikit demi sedikit ibu
saya kalau hari rabu mulai ikut kegiatan sama
156
wanita buddhis itu, terus bapak saya juga, setiap
malem rabu itu kan misalnya kebaktian
sembahyang bapak-bapak, kalau hari rabunya kan
ibu-ibu, nah bapak saya juga mau ikut dan ibu saya
juga mau ikut jadinya kan seneng tambah tertarik
gitu lho (P4W2 61-79).
Keputusan P membiara
membuat orang tua lebih
religius.
kalau misalnya saya jadi umat biasa kan belum
tentu ibu saya mau ke vihara, orang saya aja males
ke vihara gitu (P4W2 79-82).
P tetap akan membiara
walaupun kakaknya batal
menjadi samanera,
karena P menyadari akan
tingkah lakunya yang
negatif.
Iya tetap mengikuti, karna kan itu keinginan
pertama, kan waktu itu pas kelas tiga, saya sadar
kalo perbuatan saya itu tingkah lakunya sudah
menyimpang gitu lho, jadinya ya pasti ada, pasti
ada niatan seperti itu pasti ada walaupun kakak saya
sendiri enggak…enggak… awalnya gak masuk,
saya pasti ada niatan gitu (P4W2 07-103).
Minat menjadi samaneri
semakin besar saat
melihat kakak berusaha
minta ijin membiara pada
orang tua.
Sudah ada, karna kan dulu ketika masih kelas satu
SMA, ini cerita ya ada namanya mba vivi gitu kan
dia itu mau jadi samaneri gitu nanti kalo lulus
kuliah eh lulus sekolah mau jadi samaneri gitu,
namanya mba vivi. Aku bilang iya mba, kalo nanti
jadi samaneri aku juga ikutan tapi itu masih kelas
satu, aku juga ikutan ya, nanti sampean yang
motong rambut ku, iya dek iya gitu ya udah, tetapi
akhirnya mba vivi itu gak jadi sih, dia kuliah di
umum gak kuliah di agama, ya sudah gitu tapi nah..
terus yang kedua kali kakak saya itu, kakak saya
dirumah kan gak disetujui, nah itu saya punya
niatan kayak punya tantangan gitu… (P4W2 106-
118).
157
Kakak P menjadi orang
yang menginspirasi P.
Tetep ada, saya deket sama kakak saya itu sudah
dekat dari dulu, karna waktu saya SD kelas lima
kelas enam kakak saya itu pergi kan dia ngekos juga
jauh, dia malah hidupnya itu lebih sengsara
disbanding saya gitu, dia itu orangnya itu nerima
gitu lho, walaupun dia gak dikosin gitu suruh
tinggal di vihara, dia tinggal di vihara itu harus
membantu vihara untuk dapetin makan itu dia itu
harus membantu, dari ngangkat beras ngangkat apa
gitu nanti, pagi pun bangun pagi bersih-bersih nah
setelah itu baru berangkat sekolah gitu, gitu kan
pulang sore nanti masih bersih-bersih vihara lagi
masih apa kerja di situ kan kadang ada kegiatan gitu
nah, dia SMA saya SD, saya masih inget nah dia itu
udah beberapa bulan gak pulang, dia itu pertama
kali dia itu ngirimin apa, ngirimin celana, celana
sama jeket itu hasil kerja dia, itu saya bener-bener
terharu, nah akhirnya pas ada hajatan di rumah
saya, kakak saya nikah yang nomor tiga dia pulang,
itu saya bener-bener ketemu dia, ketika dia pulang
saya itu gak di rumah, nah dikabarin dia pulang,
saya pulang ya udah saya peluk… bener-bener saya
peluk, saya nangis padahal saya masih SD, saya itu
sudah deket gitu, memang kan kami berdua yang
paling kecil (P4W2 123-146).
Kakak P memberikan
banyak informasi
mengenai kehidupan
membiara.
Iya, kemaren kan sempet cerita kalau jadi samanera
itu seperti ini lho, gak mungkin terlepas dari
masalah, masalah itu tetep ada diarahin, dicontohi
seperti ini, dikasih tau kalau sama aja, tetapi masih
mungkin masih dalam komunitas dia bilang seperti
158
itu ya, sama aja kehidupannya ada makan minum,
nyuci sendiri, apa sendiri, ya cuman itu kamu dalam
komunitas, komunitas di masyarakat bukan tetapi
kamu komunitas di vihara gitu, masih banyak
peraturan yang harus kamu patuhi. Sama aja
sebelum saya masuk, sebelum saya berangkat ke
Palembang ini, itu sudah dikasih arahan-arahan
gitu, seperti ini lho, seperti ini lho, seperti ini
(P4W2 156-168).
Konflik dengan orang
tuanya, membuat P ingin
pergi dari rumah dan
membiara.
Yang bener-bener. Nah ketika itu malem hajatan itu
kan saya e….. pas sesudah itu kan kakak saya yang
nomor lima itu kan nikah nah pas itu kan memang
ada hajatan di rumah, ada pesta rame, nah itu kan
memang ada konflik dari keluarga terutama dengan
orang tua saya memang ada konflik tapi gak
mungkin dong saya ceritakan, nah ada konflik dan
itu bener-bener memicu saya untuk pergi dari
rumah gitu, tapi sebelum itu pas hari H, orang itu
kakak saya, yang kakak saya yang samanera itu
pulang sama pacarnya, dia itu ngajak pulang ke
Lampung itu sama pacarnya dari Jakarta, dan itu
saya sudah tanya, memang saya sudah tanya, sudah
tanya gimana… apa kalo saya jadi samaneri, nah itu
masih, ya itu tadi dijelasin kalau kehidupan
samaneri seperti ini seperti ini, dijelasin sama dia
gitu nah pas hari H hajatan itu kan sampe malem
nah itu memang ada konflik ya sudah (P4W2 186-
203).
Sebelum memutuskan
hidup membiara, P
terus saya kan sakit, memang saya ada penyakit
gitu, ada penyakit nah saya sudah santai gitu, santai
159
mengalami sakit yang
sudah cukup parah.
sudah, makan sudah selesai nah saya berobat, saya
berobat dan memang sudah parah kan, nah….. itu
saya pas itu saya, kalo di Lampung itu namanya
kota Metro saya di bawa kesitu nah bener-bener
parah kan, kok sudah seperti ini kemarin belum
seperti ini kok sudah seperti ini gitu, dokternya
tanya. Ya saya juga bingung kan harusnya kalau
saat ini belum seperti ini gitu dan ya sudah saya
pulang, saya kan sama pacar kakak saya itu, sama
orang tua sama bapak sama kakak saya ibu saya gak
ikut, sudah saya pulang ke rumah (P4W2 204-216).
P berserah pada
hidupnya dan berharap
jika P meinnggal, P telah
menggapai cita-citanya
untuk membiara.
besoknya saya berangkat, mulai dari itu saya sudah
punya niatan kalau memang saya mau mati ya
sudah gitu, mending saya kalau seperti ini kan
istilahnya saya punya karma baik gitu kalau
memang saya mau mati ya saya setidaknya saya
sudah punya, cita-cita saya itu sudah sampe gitu
(P4W2 216-221).
Suasana baru dalam biara
membuat pikiran P
tenang dan keadaan
fisiknya terasa lebih
sehat.
nah saya kemarin juga kan pernah cerita ini lho, pas
saya ketika pelaksanaan pabbaja itu yang 14 hari ya
atau 15 hari yang dua minggu itu, selama
pelatihannya yang bener-bener pelatihannya itu
digembleng itu kan selama 14 hari itu kan saya
meditasi nah, makan itu kan yang sebelumnya
makan saya gak teratur itu kan, nah disitu itu saya
kan bangun tidur, meditasi, sambahyang, makan
sarapan pagi, siangnya dengerin materi pokoknya
selama 14 hari itu pola hidup saya bagus gitu lho
sama kan pikirannya positif, pikirannya positif ya
udah kok saya ngerasa kan, kan setiap pagi itu, gak
160
setiap pagi sih, pokoknya setiap pagi itu kan ada
meditasi jalan, meditasi duduk, terus yoga gitu kan,
pokoknya pas 14 hari itu saya merasa bener-bener
dalam mmm..... apa ya, hati saya itu tenang…
sekali, pokoknya enak gitu lho kok kondisi fisik
saya, o.. padahal saya makan itu cuma dua kali
malem cuman minum jus, tapi kok enak ya saya
pikir (P4W2 221-240).
Setelah menjalani hidup
membiara selama tiga
bulan lebih kondisi P
berangsur-angsur
membaik.
14 hari itu sudah selesai pabbajanya terus saya
telpon kakak saya, saya sudah selesai, ya sudah
kamu mau lanjut apa enggak?, saya bilang lanjut,
saya coba tiga bulan dulu, tiga bulan lagi seperti itu
seperti itu, terus habis itu setelah saya tiga bulan
kan kakak saya nyusul saya ke Palembang, kakak
saya nyusul ke Palembang saya di bawa chek up
gitu nah penyakitnya itu sudah a… istilahnya yang
dari 4 gitu kan tinggal 2 gitu, menurun ya… kakak
saya kaget dan kemudian memotivasi juga langsung
gitu, nah itu yang bener-bener. Terus ya itu kakak
saya kan tiga bulan terus ikut (P4W2 240-251).
P merasa bahwa dirinya
tidak bisa bersosialisasi
dengan orang lain
terutama dengan warga
di kampungnya.
Saya itu lho, dulu gak bisa lho ngomong seperti ini,
ngomong dengan orang-orang yang katrok gitu lho,
maksudnya itu misalnya kan saya tinggal lama di
kota, saya pulang ke desa kan, tempat saya kan juga
desa, saya tuh walaupun tinggalnya di kampung
dulu, saya itu tidak bisa berkomunikasi dengan
tetangga saya, saya itu tidak bisa bersosialisasi gitu
lho, saya… walaupun ketika saya sakit gitu
tetangga saya ya nengok semuanya, tapi kan karna
bawaan dari orang tua gitu kan (P4W2 253-262).
161
P memandang dirinya
sebagai orang yang tidak
luwes dalam bergaul.
Enggak, enggak saya kan gak bisa bersosialisasi
gitu, tetapi ketika sekarang ini kalo saya pulang bisa
gitu lho, makanya kadang tetangga saya pada heran
kok, saya dulu gak bisa bersosialisasi,
berkomunikasi itu gak bisa saya nah ketika saya…
kan walaupun saya di desa gitu kan, saya kan
SMPnya juga jauh, saya laju, SD pun saya itu di
rumah, saya pulang sekolah gitu, pulang sekolah
saya main sama temen-temen juga gak begitu
istilahnya saya itu orangnya tertutup gitu, saya gak
itu… (P4W2 265-274).
Pandangan orang
mengenai pribadi P yang
tidak bisa bergaul.
nah ketika SMP, SMP kan sudah mulai di kota saya
laju, nah itu saya bisa bergaul dengan mereka
(teman-teman di kota), tetapi ketika pulang nyampe
rumah gitu ada kegiatan apa, di tetangga itu
misalnya apa apa, saya cuma keluar aja nengok
udah gitu saya pergi naek motor gitu, saya gak bisa
bergaul sama mereka, sampe tetangga saya itu lho,
bilang orang kok hidup sendiri, saya cuek gak papa
(P4W2 274-282).
Sikap P berubah menjadi
lebih mudah
bersosialisasi dengan
orang lain setelah
menjadi samaneri.
Iya gak bisa, gak cocok gitu ngomongnya gitu lho
mungkin, nah tetapi anehnya ketika saya sudah jadi
samaneri saya itu bisa pulang pun saya juga
ngobrol, ketika ada orang sakit saya juga jenguk, itu
yang membuat orang tua saya itu mungkin tersentuh
gitu lho, kok anak saya bisa berubah seperti ini,
kenapa saya enggak gitu (P4W2 286-292).
Setelah menjadi
samaneri, P merasakan
bahwa dirinya lebih
mungkin dengan seperti itu, dengan anehnya saya
sendiri perasaan saya ketika ada umat gitu sakit dia
bener-bener udah tua gitu sakit saya lho mau
162
memiliki empati pada
orang lain.
nengok gak ada yang nganter, itu padahal jauh saya
jalan, jalan itu baru dapet.. kalo di desa susah kan,
itu baru dapet tumpangan itu sesudah jalan jauh,
saya nekat mau nengok mbah itu, walaupun jauh
saya tengok gitu, gak tau, saya sekarang juga gak
tau gimana perasaan saya itu gak tau tapi… rasa
belas kasihan saya itu muncul, cinta kasih saya itu
muncul ketika saya jadi samaneri, saya dulu kaku
orangnya… kaku…. Sekali (P4W2 292-303).
Tetangga tak menduga
bahwa P mau berkunjung
ke rumahnya.
Dulu saya angkuh, angkuh sekali, ketika pas lebaran
itu bisa pulang sama kakak saya berdua itu, kalo di
desa kan kalo lebaran itu masih kunjungan ke
tempat tetangga ya, nah itu silahturahmi ke
tetangga-tetangga saya aja, tetangga saya pada
heran kok, mereka bilang akhirnya rumah ku ini
kamu injek, kalo bahasa Jawanya oalah akhire
awakmu iso ngidek omahku, bahasa Jawanya gitu,
aneh saya juga cuman tersenyum gitu (P4W2 303-
312).
Rasa empati yang besar
pada orang lain.
Iya, bener-bener, kalo liat orang itu rasanya… kalo
liat orang yang… misalnya orang tua, orang apa itu
bener-bener wah… gimana perasaannya itu,
kasihan… (P4W2 315-318).
P ingin merubah hal-hal
negatif seperti angkuh
dan sombong yang ada
dalam dirinya.
Ingin mejauhkan diri itu ya misalnya seperti tadi, ya
kebalikan dari itu tadi tow, saya sombong, angkuh,
itu saya pengen menghilangkan rasa angkuh, wong
sekarang aja kadang saya masih ada angkuh gitu, di
dalam diri saya masih ada perasaan angkuh itu
masih ada gitu, sombong itu masih ada gitu, ya saya
itu pengen menghilangkan itu gitu. Misalnya
163
angkuh, sombong itu pengen saya hindari gitu
(P4W2 323-330).
P memiliki keinginan
besar untuk mencapai
cita-citanya membiara.
Iya, dulu saya pikir kalo saya mati yang penting
cita-cita saya terlaksana walaupun sebentar gitu
kan, waktu itu juga mungkin orang tua tidak
memperbolehkan itu karena itu, karna ya saya sakit
itu, ada rasa khawatir (P4W2 334-338).
Kakak-kakak P memberi
perhatian pada P hanya
saat P sakit.
Sebenernya keluarga kakak saya itu ketika saya
sakit mereka perhatian kalo ndak ya enggakcuek
gitu lho, saya mau ngapain.. mau ngapain terserah,
tapi pas saya sakit ya mereka perhatian gitu,
misalnya pas kumat gitu, saya di kos-kosan kambuh
penyakitnya saya pulang, ya dijemput ya apa gitu,
jadi kalo sehat ya udah enggak, tapi ketika sakit
cepet-cepet, tapi ketika sembuh saya itu merasa
mereka gak ada perhatiannya, mereka sibuk sendiri
(P4W2 338-347).
Keenam kakak P
memberikan respon yang
baik saat mengetahui P
membiara.
Mereka gak mendengar sih, mereka langsung tau
gitu, kaget gitu, saya kan tadinya ikut pabbaja 14
hari itu, nah kok lanjut gitu, mereka ya.. ya
responnya seneng, kalo kakak saya itu responnya
seneng, mungkin yang pertama mereka pikirnya gak
ngerepotin orang tua mikirnya juga gitu, mereka
responnya seneng kakak-kakak saya yang satu
sampe enam P4W2 353-360).
P merasa bahwa saat
masih sekolah kakak-
kakak iparnya membenci
dirinya.
responnya seneng mereka sering telpon, apa kalo
telpon itu jadwal, mereka bikin jadwal sendiri gitu,
satu bulan kan sekali telpon itu, jadi giliran gitu.
Dulu ada ya kakak ipar saya, dulu gak pernah yang
namanya telpon ngomong jarang, sama saya itu
164
hanya kebencian yang mereka tanamkan ke saya itu
hanya kebencian, kenapa kebencian karna mereka
kan, kalo saya itu pulang, saya minta uang ke kakak
saya gak mungkin enggak, namanya pulang ke kos-
kosan saya minta uang gitu, pokoknya kalo gak
dikasih saya gak pulang, saya minta uang walaupun
saya cuma dikasih dua puluh ribu saya terima tapi
hati saya sudah seneng, nah dari itulah kakak ipar
saya itu benci, ya mereka negur apa bareng tapi kan
kita juga bisa membedakan kan antara orang yang
suka dengan yang gak suka, yang seneng dengan
yang gak seneng (P4W2 360-376).
Adanya perubahan sikap
pada ipar-ipar P setelah P
menjadi samaneri.
nah ketika saya sudah jadi samaneri, saya sudah
seperti ini saya sudah setaun itu saya pulang mereka
nangis, salaman…gak pernah namanya salaman
paling salaman cium tangan tok gak pernah
namanya sampe nyium, apa itu, kemaren sampe
alah nyium sampe pelukan sampe apa gitu ngelihat
saya seperti ini, ketika mereka ada masalah sama
kakak saya, masalah dalam keluarga mereka,
mereka pasti telpon kalo gak telpon saya telpon
samanera (kakak), ngomong curhat (P4W2 376-
385).
Kakak P yang pertama
sampai yang keenam
tidak mengetahui saat P
meminta ijin menjadi
samaneri.
Taunya itu saya sudah dipanggil, saya sudah masuk
pabbaja, mereka tau.. tau saya mau ke Palembang
itu tau, tetapi mereka taunya saya itu ikut pabbaja
gitu (P4W2 391-393).
Kakak-kakak P
memberikan respon yang
Enggak, kalo kakak saya, gak tau… seneng malah
saya seperti ini, yang pertama mungkin pola
165
mendukung setelah
mengetahui keputusan P
untuk membiara.
hidupnya, pola hidupnya jadi bagus gitu lho,
hidupnya jadi terpola gitu lho, makannya rutin…
saya kan dulu gak, contohnya saya itu gak bisa
makan bakso, tetapi saya nekat dan jadi sakit, nah
kakak saya itu besoknya pasti bilang beli bakso
segerobaknya, apalagi kakak saya yang ketiga, jadi
dia tau klo saya sakit itu kenapa (P4W2 399-407).
Kakak-kakak P
memberikan respon
senang saat P menjadi
samaneri, berbeda dengn
ipar-ipar P yang tidak
terlalu mempedulikan.
Saya tuh gak tau, saya tuh gak bisa membedakan
apakah mereka itu perhatian atau tidak sama saya,
tapi mereka senang saya menjadi samaneri, kalo
kakak-kakak ipar saya, yang istilahnya gak
merespon, mungkin mereka iri gitu, irinya itu ya
gak tau dalam hal apa, mungkin saya itu kalo minta
itu harus, karna kan, misalnya saya minta motor, ya
diturutin sama orang tua saya ya diturutin. (P4W2
410-417).
P merasakan bahwa
kedua orang tuanya tidak
dapat diandalkan.
Tapi kan, mbanya sendiri (peneliti) misalnya kalo
materi selalu diturutin…… terus, tetapi kayak apa
ya, perhatian gak pernah dikasih kan sama aja
hampa kan, ketika mbanya sendiri ketika ada
masalah gak ada tempat untuk ngadu, gak ada
tempat untuk berbicara, orang tua gak bisa untuk
bersandar kan otomatis merasa gak bisa kan tetep
aja (P4W2 417-424).
P merasa bahwa kakak
nomor tujuh yang lebih
mendukung dan lebih
mengerti daripada yang
lain.
sedangkan yang dirumah kakak-kakak yang lain ya
gimana ya, yang merespon ya kakak saya yang
nomor tujuh itu, yang lain ya biasa-biasa aja, kalo
kakak saya yang nomor tujuh itu ya sudah tau orang
tua saya seperti itu sudah tau kalo gak tau gak
mungkin dong dia itu mau nerima misalnya orang
166
tua ada orang tua mampu tapi dia kuliah di Jakarta
nerima sepeserpun gak ada dapet biaya dari orang
tua kecuali pas pulang ongkos pulang ke Jakarta,
mana mau kalo dia itu udah tau sifat orang tua, ya
kalo dia gak tau kan otomatis gak mau dong karna
dia sudah memahami sifat orang tua saya, karakter
orang tua saya jadi ya dia berusaha sendiri, dia
berusaha cari beasiswa, cari makan ya hidup di
asrama hidup bantu vihara itu tadi, dan SMA pun
setahu saya orang tua juga gak ada, gak
mengeluarkan biaya, ya mengeluarkan biaya ya
ketika pulang, lebaran beliin baju, itu aja, makanan
juga gak pernah dikirm gitu setahu saya (P4W2
424-4442).
P memandang kakaknya
yang nomor tujuh adalah
orang yang rendah hati,
berbeda dengan dirinya.
Sebenernya kakak saya kalo mau minta juga
dituruti, cuma kakak saya gak mau minta, gak mau
memang sifatnya beda, orangnya rendah hati…..
sekali, memang beda sama saya, dia SMA sekolah
sepedanya butut dia nerima…, saya baru masuk
SMP dibelikan sepeda baru, habis itu baru beberapa
bulan saya minta dibelikan motor, langsung
dibelikan (P4W2 446-452).
Sekarang ini saudara-
saudara P mendukung
keputusan P, bahkan
kakak ipar sering
menelpon.
Iya, mereka mendukung, walaupun ada kakak saya
yang dari agama yang berbeda, ada dua itu ikut
muslim, malahan kakak ipar saya yang muslim itu
suka telpon saya walaupun telpon sambil nangis,
bilang gini, bilangin kakakmu itu lho
gini…gini…gini…(P4W2 455-460).
Kakak P nomor tujuh
membantu P untuk
Enggak, mereka sih mendukung kalo hal itu baik
buat saya, tapi mereka gak pernah bilang ke orang
167
meyakinkan kedua orang
tua.
tua untuk kasih ijin ke saya, ya kakak saya yang
nomor tujuh itu yang pelan-pelan memberikan
pengertian sama orang tua (P4W2 466-470).
P memandang bahwa
bapaknya adalah orang
yang memiliki sifat
keras.
Saya lebih ke ibu, karna bapak saya orangnya keras,
orangnya keras….. kalo apa, punya kemauan, punya
apa ya, anaknya gak boleh ya gak boleh beneran.
Misalnya kakak saya yang nomor enam, kan
sekolah SMP itu nakal dia, sekolah itu bawa pisau,
sekolah itu peso, bapak saya bilang suruh berhenti
ya suruh berhenti beneran, kalo mau sekolah ya
silahkan tapi saya gak akan biayai kamu, jadi SMP
belum lulus ya udah berhenti, kalo bapak saya
sekali ngomong A ya A (P4W2 473-482).
P merasa bahwa dirinya
yang hanya bisa
melunakan sifat keras
bapaknya.
Bapak saya sebenernya sifatnya itu keras tapi bisa
lunaknya itu kalo sama saya kalo saya sudah nangis,
bapak saya itu udah gak bisa liat, itu
sebenernya…sebenernya… wong yang ketika saya
pamit itu yang gak memperbolehkan yang bener-
bener megangi kuat itu ibu saya tetapi ketika saya
sudah jadi seperti ini, ketika saya sudah jauh yang
nangis itu bapak saya, bapak saya itu orangnya
keras tapi tuh bisa lunak (P4W2 485-493).
Saat P di rumah, ibu
cenderung tidak acuh,
tapi saat jauh ibu sering
menelpon P.
Saya juga bingung, hubungan saya dengan ibu itu
seperti apa, kalo saya di rumah cuek, diem aja tetapi
kalo saya jauh bentar-bentar telpon (P4W2 504-
506).
168
Perjumpaan dengan
gurunya (bhante), saat
SMA di biara.
Sebenernya guru saya sudah gak ada sudah
meninggal, satu tahunnya tanggal 2 besok, makanya
saya pulang ke Palembang. Guru saya itu, saya
sudah mengenal beliau ketika saya SMA, kakak
saya kan tinggal di vihara, beliau itu kadang datang
ke vihara tempat tinggal kakak saya itu, nah itu saya
kesitu, saya itu sempat namaskara (sujud) sama
beliau (P4W2 513-519).
Guru memberikan pesan
pada kakaknya agar
menjaga dan menyayangi
P
dan beliau itu pernah mengatakan sayangi adekmu,
kan pake bahasa… apa Palembang gitu, artinya itu
sayangi adekmu jangan pernah sia-siain dia itu
berkah buat kamu itu bilang ke kakak (P4W2 519-
523).
Saat P masuk hidup
membiara, guru telah
mengalami sakit.
memang sebelum itu kan kita deket gitu lho, nah
saya disitu sempet namaskara sujud gitu sama
beliau, ketika saya mau masuk jadi samaneri dia
sudah sakit sudah storke, udah gak mampu, sudah
gak bisa ngapa-ngapain (P4W2 523-528).
Karya-karya yang guru P
lakukan semasa hidup
menjadi inspirasi bagi P
sebelumnya itu beliau dari Lampung ke Palembang
perjalanan satu hari, hanya makan pisang gepok,
pisang rebus itu satu tok, beliau itu semangat, beliau
itu sering membagikan obat di kampung-kampung,
walaupun kampung itu belum ada sepeda beliau itu
jalan, harus nyebrang sungai semangatnya luar
biasa untuk memperjuangkan agama Buddha di
kampung-kampung, beliau selalu menolong orang
lain, beliau mendirikan beberapa balai pengobatan,
di Lampung 2, di Palembang, beliau juga
membangun jembatan di desa-desa, itu yang
169
membuat saya kagum sama beliau, makanya saya
mau berguru dengan beliau (P4W2 528-540).
Analisis Verbatim P4W3
Makna Teks dan Kode
P meminta pendapat
kakaknya untuk mengambil
keputusan membiara.
Setelahnya, jadi waktu itu setelah kakak ke
lima nikah kan kakak saya yang nomor tujuh
itu pulang, nah saya minta pendapatnya, terus
di dukung dan saya memutuskan untuk ikut
pelatihan itu (P4W3 8-11).
P meminta ijin pada orang tua
untuk mengikuti pelatihan
membiara.
Uhuk…uhuk… sempet… tapi cuman kan saya
bilang pelatihannya itu apa
cuman…cuman…beberapa hari cuman… 14
hari setengah bulan gitu. Nah saya bilang kan
lanjut lagi 3 bulan, iya lanjut tiga bulan itu baru
lanjut (P4W3 13-17).
Guru membantu P meminta
ijin pada orang tua P untuk
bisa mengikuti pelatihan
lanjutan (selama 3 bulan).
Enggak karena kan mereka sudah tau, jadi
orang tua sudah tau gitu, dan guru saya waktu
itu… kan saya bilang orang tua gak ngasih ijin,
guru saya juga sempet telpon sama orang tua,
jadi guru saya sudah…sudah menghubungi
orang tua saya sudah biar gak ke sini gitu, biar
gak ke Palembang gitu (P4W3 20-25).
P memiliki penyakit yang
cukup parah dan mengganggu
aktivitasnya saat SMA.
Ya waktu SMA sangat-sangat mengganggu sih,
karna kan kenapa saya bilang mengganggu kan
karna setiap sedikit pingsan, bisa dalam sehari
itu pingsan itu 15 kali juga ada, setiap kaget
170
sedikit pingsan ada masalah sedikit pingsan,
misalnya kena panas…kena panas kan jalan
dari sekolah ke kost-kostan itu panas gitu
mimisan nanti nyampe kost gak kuat lagi
kadang masih di jalan gitu sudah kluk pingsan
gitu dan setiap hari saya harus minum obat
uhuk…uhuk…uhuk…..jadi bekalnya itu kalo
ke sekolah ya air aqua, airnya kan air aqua
sama obat gitu…iya dulu…dulu…udah lewat
(sambil tersenyum) (P4W3 35-46).
P merasakan adanya
perubahan diri dan perilaku.
Dampaknya ya positif tho, dampaknya kan
sekarang sudah bisa apa ya istilahnya
melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh
orang lain gitu, misalnya bisa… kalo dulu
sekolah kan cuma bisa duduk di kelas, kita
istirahat, saya kan jarang ikut aktifitas misalnya
apa gitu…misalnya ke pasar apa beli apa,
masak, nyapu, dulu kan saya enggak pernah
maksudnya jarang gitu beraktifitas seperti yang
lain karna kan saya gak kuat, saya gak pernah
masak walaupun kost ngekost, temennya masak
saya beli, saya gak pernah maksudnya aktifitas
(P4W3 49-59).
Pertentangan antara P dan
orang tua tentang di mana P
harus tinggal.
Sebenernya dulu saya gak boleh ngekost
tadinya suruh pindah kan waktu masih SMA
kelas satu itu disuruh pindah suruh pulang ke
rumah, saya di masukin sekolah gitu kan sudah
mau didaftarin, tapi saya gak saya gak mau,
karna kan rumah saya kan di kampung jadi
otomatis saya mikir kalo saya tinggal di
171
kampung,….. ya walaupun saya disitu cuman
duduk sekolah tapi kan seenggak-enggaknya
bisa bertemu dengan orang-orang yang ya
istilahnya orang kota lah terus bisa mengenal
berbagai macam jenis orang gitu kan, bisa
kenal sama orang Cina, kalau saya semisalnya
di kampung kan gak mungkin kan di kampung
ada orang Cina, ada orang Batak, ada orang apa
di sekolahan saya gitu kan, karna kan banyak
pendatang gitu (P4W3 59-73).
Usaha-usaha yang P lakukan
P untuk kesembuhannya,
tidak mendapatkan hasil.
He eh…..tapi saya dulu juga berusaha sih,
misalnya untuk penyembuhan penyakit saya
sendiri saya juga berusaha, kemana-kemana
gitu kadang ya, pokoknya ya berusaha kemana,
dikasih tau orang ke sini ya saya ke situ gitu
(P4W3 77-81).
Enggak ada, ya cuman ada pengaruhnya kan
cuma sebentar nanti balik lagi, gitu doang
(P4W3 82-83).
Pola hidup yang teratur dan
positif dalam biara membuat
kesehatan P semakin
membaik
karna kan kenapa saya bilang menurun karna
kan waktu saya ikut pelatihan itu, waktu yang
setengah bulan latihan bener-bener setengah
bulan itu saya kan ibaratnya makan teratur,
pertama kali saya ikut lho pertama kali, makan
teratur, apa… sembahyang pagi sore habis
itu… kan kegiatannya pagi bangun tidur cuci
muka habis itu ikut latihan meditasi, meditasi
kan konsentrasi ya kan..membuang pikiran-
pikiran negatif dan disitu habis meditasi
sembahyang, habis itu habis sembahyang
172
olahraga gitu lho apa…hmm senam
berkesadaran, kalo di dalam agama Buddha itu
menyebutnya senam berkesadaran (P4W3 89-
101)
kegiatannya itu rutin terus, ntar ada meditasi
jalan, pokoknya ada pelatihan-pelatihan lah,
pokoknya di situ positif gitu, jadi lama-lama
kok saya merasakan ringan gitu, saya
mengambil nafas pun kayaknya gak berat gitu,
waktu, pokoknya badan saya sudah sedikit lega
gitu jadinya ya saya, saya kan komunikasi sama
kakak saya yang nomor tujuh kakak saya pas,
berkomunikasi saya berkonsultasi dan dikasih
dukungan lanjut lagi tiga bulan, dan seperti itu
merasa ringan..ringan..ringan, akhirnya saya
sama guru saya dikirim ke sini gitu
uhukk…..uhuk.. (P4W3 105-115).
Dukungan dari teman-teman
satu komunitas biara
membuat P semangat untuk
sembuh
He eh, di sini walaupun saya kuliah kan
pertama kali saya juga merasa kaget, di
Sumatra sana kan panas nah di sini (Ampel)
dingin, saya juga sempet drop di sini, sampe
wah drop sampe dikatain saya kena busung
lapar karna kurus..kurus sekali, terus habis itu
saya berusaha lagi, pokoknya yang penting itu
niatnya lah, semangatnya saya sendiri punya
semangat untuk sembuh trus kan banyak orang-
orang di sini yang mendukung yang merespon
banyak lah P4W3 117-125).
Pelatihan membiara saat di
Palembang membawa
Yang berpengaruh besar itu ya pelatihan
setengah bulan bulan sama yang tiga bulan,
173
pengaruh yang besar dalam
kesembuhan P.
karna kan di situ saya gak beraktifitas yang
lain, cuma bangun tidur, mandi, aktifitas,
sembahyang, pelatihan lagi sampe siang,
dikasih makan cemilan, habis itu minum, habis
itu kegiatan lagi dikasih kayak materi-materi
gitu, habis gitu makan siang, makan siang
materi lagi sedikit, jam setengah satu sudah
apa…rileksasi, habis setelah rileksasi kegiatan
lagi sampe sore, mandi sembahyang, meditasi,
latihan lagi sampe jam 9 malem terus tidur,
sampe pagi seperti itu diulang terus, jadinya
kan hidup sehat kan, pikiran, batin gitu (P4W3
125-137).
Kakak P memberi pengaruh
bagi P dalam mengambil
keputusan.
Yang pertama kan yang mempengaruhi saya
mengambil keputusan kan kakak saya, ya
seperti yang saya pernah bilang, saya melihat
kakak saya (P4W3 145-147).
Keputusan kakak untuk
membiara tidak dibicarakan
dengan orang tua.
Ya…ya… itu kan tahun berapa ya, saya lupa
tahunnya, pokoknya beliau itu kuliah di Jakarta
semester awal, semester pertama dia itu kuliah
di Jakarta yak an, kuliah di Jakarta beliau itu
pulang-pulang sudah pake jubah sudah jadi
samanera yak an, nah di situ beliau itu
nyodorin surat ijin (P4W3 167-172).
P ingin mengikuti jejak
kakaknya untuk hidup
membiara.
Iya, sebelum latihan itu ga ijin dulu, karna kan
beliau,beliau gak sempet pulang, jadi sudah
jadi samanera beliau itu minta surat ijin, minta
surat ijin sama bapak saya surat ijinnya itu
disobek nah disobek itu kan di depan
semuanya, karna waktu itu kan kumpul
174
keluarga, nah di situ saya mempunyai motivasi,
saya mempunyai niatan itu saya jadikan
motivasi nantinya saya mau jadi seperti itu
(kakak) (P4W3 175-182).
P sakit karena pernah terjatuh
saat masih SMA kelas 1.
tapi itu sebelum saya sakit, setelah saya masuk
SMA masih semester awal, saya hamper satu
tahun, belum ada lah, hampir satu tahun SMA
kelas satu bulan Oktober kalo enggak
November saya itu jatuh di depan kamar mandi
tiba-tiba saya pingsan, nah saya langsung,
orang tua saya datang malem-malem jam 12,
saya langsung di bawa lari ke rumah sakit,
disitulah saya ketahuan punya penyakit begitu,
itu kelas satu dan saya sudah di rumah sakit itu
sudah 35 hari, 35 hari saya di rumah sakit, nah
pulang, istirahat di rumah selama setengah
bulan (P4W3 182-192).
P sering masuk rumah sakit
setelah menderita sakit saat
SMA.
itu sudah badan saya sudah agak mendingan
tapi kan namanya orang sakit seperti itu kan
namanya sudah punya penyakit, nah di situ
saya disuruh pindah sekolah saya gak mau,
saya bertahan saya pulang ke kost-kostan dan
saya bertahan di situ, tapi kan bertahan
namanya orang sakit seperti itu, bolak-balik
masuk rumah sakit saya (P4W3 192-198).
P mencari informasi
mengenai hidup membiara
dari kakaknya yang pernah
menjadi samanera.
nah akhirnya persingkat aja ya, sesampe saya
kelas tiga, kelas tiga bulan, pokoknya sekitar
bulan Mei, gak bulan Juli kan saya ditahbisnya
tanggal 23, seminggu sebelumnya kan kakak
saya nikah, kakak saya sudah nikah, pas kakak
175
saya nikah kakak saya yang dari Jakarta itu kan
belum lulus dia sudah nyusun skripsi tinggal
ujian, beliau pulang karna kakak saya mau
nikah, dia itu posisi sudah lepas sudah kembali
jadi umat awam, karena tidak dikasih ijin sama
orang tua, dia itu juga pulang sama pacarnya
gitu, nah di situ saya tanya saya pengen latihan
saya bilang di Palembang itu ada pabbaja saya
bilang, oh iya didukung, gimana lho kehidupan
di sana itu, kan sudah pernah gini lho… gini
lho diceritain pengalaman-pengalaman dia
jaman dulu gitu (P4W3 199-213).
P nekat masuk biara tanpa
mendapatkan ijin dari orang
tua.
nah sesudah itu saya kan masuk, saya juga
pamit sama orang tua, ya tapi istilahnya pamit
juga secara gak resmi ya, jadi saya minta ijin
tapi tidak menunggu mereka mengiyakan, gak
sampe, saya kan pernah cerita kalo saya itu
berangkat ke Palembang cuma menyisakan
uang 25 lima ribu atau berapa gitu untuk
makan, untung di Vihara itu dikasih makan
nunggu sampe tanggal 23, tanggal 23 saya
ditahbis gitu jadi samaneri, habis gitu lanjut
sampe tiga bulan, setelah tiga bulan kan kakak
saya datang, kakak saya kan udah dapet ijin
dari orang tua saya yang bermaksud suruh
nemenin saya, dan akhirnya beliau di sana saya
di sini (P4W3 213-224).
Guru menyarankan P untuk
memperdalam agama Buddha
sambil berlatih membiara (di
Saya kan awalnya gak ada niat kuliah, guru
saya mau ngajarin saya tentang agama Buddha
lebih dalem kan gak bisa, beliau sibuk dan guru
176
Ampel). saya yang membimbing yang kakak
seperguruan saya, kalau guru yang saya itu
sudah sakit sudah kena stroke, ya sudah
akhirnya saya dikirim ke sini memperdalam
agama Buddha sambil latihan (P4W3 224-230).
P ingin seperti gurunya, yang
suka menolong orang lain
tanpa melihat latar belakang
agama mereka.
Beliau itu baik, suka menolong suka bagiin
obat, ke masyarakat-masyarakat sekitar, gak
membeda-bedakan mau itu Muslim, mau itu
Katolik, mau itu Kristen gak peduli beliau ingin
membantu, banyak orang-orang Muslim yang
dibantu sama guru saya, jadi saya ingin
menjadi seperti itu (P4W3 234-239).
Kakak nomor tujuh, seperti
ayah dan sahabat bagi P.
Kakak itu bisa jadi kakak, bisa jadi ayah,
sahabat (P4W3 242).
P memandang gurunya
sebagai orang yang
dermawan, sederhana, dan
menerima.
Kedermawanannya, kesederhanaannya, dan
menerima (P4W3 245), kalau memang orang
itu gak bener, karya orang itu gak bener
dituntun gimana sih supaya itu bener gak
pernah marah, kalau memang muridnya salah
beliau hanya diam, dan hanya tersenyum
sambil mengucapkan “ya belajar lagi, berlatih
lagi secara giat, belajar lagi dengan giat”,
beliau itu selalu mengarahkan, selalu menuntun
kami gak pernah yang namanya marah mencela
itu gak pernah. Ya saya inget itu ya itu dari
kedermawanannya, kesederhanaannya, dan
menerima itu tadi (P4W3 263-272).
Semangat kakak dan gurunya
menjadi contoh bagi P saat
mengambil keputusan
Pengaruh ya, pengaruhnya itu…... Saya itu
sedikit mencontoh semangat kakak dan guru,
jika kakak ada masalah dia selalu bilang
177
menjalani hidup membiara. “semua itu pasti akan baik-baik saja dan semua
itu pasti akan berlalu”, dan kata-kata itu timbul
semenjak dia ikut latihan (pabbaja), dan kata-
kata itu pasti ketika saya ada masalah itu pun
selalu saya terapkan, yang kata-kata semua itu
pasti baik-baik saja kata-kata itu walaupun
sederhana sampe sekarang pun masih , saya
punya BB juga kata-katanya itu yang buat jadi
status ya itu, “semua pasti baik-baik saja.”
(P4W3 275-285).
d. Kategori
Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari
hasil analisis verbatim P4 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses
pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori
dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1. Kakak dan guru (bhante) menjadi inspirasi bagi P.
2. P mencari informasi mengenai hidup dalam biara.
3. Nekat mengambil keputusan
4. Kedua orang tua tidak mendukung keputusan P.
5. Menjadi pribadi yang lebih baik setelah membiara.
6. Harapan merubah hal-hal yang negatif dengan hidup membiara.
7. Adanya perubahan pada keluarga.
8. Dampak positif pada kesehatan P setelah membiara.
9. Dukungan dari kakak-kakak (1-7) dan komunitas.
10. Hubungan yang kurang baik antara P dan keluarga (adanya konflik
dalam keluarga).
178
11. Perasaan keluarga, saat P memutuskan membiara.
12. Tantangan saat hidup membiara (fase pasang surut).
13. Tantangan membuat P semakin kuat pada panggilannya.
e. Analisis Pengambilan Keputusan
Partisipan merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara, selain
itu dia juga merupakan anak perempuan satu-satunya. Dari ke tujuh
saudaranya, partisipan sejak masih kecil memiliki hubungan yang lebih
dekat dengan kakaknya yang nomor tujuh, daripada kakak-kakaknya
yang lain. Kakaknya memberikan perhatian yang lebih padanya.
Berbeda dengan hubungan partisipan dengan kedua orang tuanya, yang
kurang harmonis. Kesibukan kedua orang tuanya yang berkerja pagi
hingga malam, membuatnya kurang mendapatkan kasih sayang dari
mereka. Dia jarang bertemu dan berbincang dengan mereka. Dari pagi
berangkat sekolah, hingga pulang, kadang kala dia tidak dapat bertemu
dengan kedua orang tuanya. Waktu untuk berbincang dengan orang tua
hanya dapat dilakukan saat hari Minggu. Itu pun dilakukan saat pergi
ke vihara.
“dari SMP orang tua saya sibuk mungkin saya berangkat pagi
sekolah sampe jam satu siang saya pulang, jam dua berangkat lagi
les sampe jam empat saya gak ketemu sama orang tua, orang tua
saya sibuk. Mungkin ketemu nanti saya jam tujuh sudah berangkat
kerja kelompok atau kemana-kemana jam tujuh malem, pulang jam
sembilan, saya juga pulang jam sembilan orang tua saya istirahat,
mungkin ngobrol sama orang tua saya, ngobrol sama orang tua
179
saya itu cuma hari minggu ketika ke vihara paling satu jam dua
jam” (P4W1110-120 ).
Awal ketertarikan hidup membiara dirasakan oleh partisipan sejak
masih kelas satu SMA, dia bahkan sempat mengatakan keinginannya
membiara pada temannya. Adapun beberapa alasan partisipan ingin
menjalani hidup membiara, dia merasa bahwa dirinya banyak
melakukan hal-hal yang buruk (negatif), seperti berbohong pada orang
tua, tidak memprioritaskan sekolah, sering pulang malam. Partisipan
juga menyadari bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang buruk, seperti
sombong, angkuh, cuek, dan tidak mudah bergaul yang membuatnya
tidak dekat dengan masyarakat sekitar rumahnya. Dan partisipan ingin
untuk dapat mengubah hal-hal negatif dalam dirinya dengan hidup
membiara.
“yang melatarbelakangi dari awal sudah saya jelaskan pergaulan
saya dan tingkah laku saya sepertinya itu kurang pas, kurang pas
untuk di masyarakat dalam hidup berkeluarga gitu dan saya itu
sadar itu dan akhirnya saya memutuskan untuk latihan membiara
seperti itu supaya ada perubahan” (P4W2 11-16).
Keinginannya menjalani kehidupan membiara semakin besar ketika
melihat kakaknya yang nomor tujuh meminta ijin pada kedua orang
tuanya untuk membiara. Respon ayahnya yang menolak dengan keras
atas keputusan kakaknya itu membuat partisipan semakin tertarik,
bahkan tertantang untuk mengikuti jejak kakaknya. Tetapi saat itu, dia
belum berencana untuk masuk dalam hidup membiara. Tahun 2010,
setelah lulus SMA, partisipan sempat mendaftarkan diri untuk
180
melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Lampung. Bersamaan dengan
itu kesempatan membiara pun datang padanya, dia mendapatkan sebuah
formulir pelatihan membiara dan mulai tertarik dan mencari informasi
mengenai kehidupan membiara dari kakaknya. Partisipan pun lebih
memilih membiara meninggalkan semua.
“kedua orang tua saya nggak setuju dengan apa… dengan
kasarnya orang tua saya itu menyobek surat persetujuan itu tadi.
Mulai dari situ saya mempunyai keinginan, mempunyai niatan,
kenapa enggak untuk mencoba gitu” (P4W1 11-15). “terus yang
kedua kali kakak saya itu, kakak saya di rumah kan gak disetujui,
nah itu saya punya niatan kayak punya tantangan gitu…..” (P4W2
115-118).
Keputusannya ini mendapatkan tentangan dari kedua orang tuanya,
seperti yang terjadi pada kakaknya. Partisipan mendapatkan penolakan
dari kedua orang tuanya, mereka tidak mengijinkannya untuk mengikuti
pelatihan membiara. Akan tetapi keinginan yang kuat membuatnya
nekat mengambil keputusan, tanpa mengindahkan orang tuanya.
Langkahnya yang nekat ini dipicu dengan keadaannya yang saat itu
sedang menghadapi konflik dengan kedua orang tuanya yang membuat
partisipan kembali jatuh sakit. Sakit yang dirasakan oleh partisipan
semakin parah. Hingga pada akhirnya partisipan membuat kesimpulan,
setidaknya jika dia meninggal nanti dirinya dapat meninggal dengan
memiliki karma yang baik dengan hidup membiara.
“ nah itu kan memang ada konflik dari keluarga terutama dengan
orang tua saya memang ada konflik tapi gak mungkin dong saya
181
ceritakan, nah ada konflik dan itu bener-bener memicu saya untuk
pergi dari rumah gitu” (P4W2 190-194).
“besoknya saya berangkat, mulai dari itu saya sudah punya niatan
kalau memang saya mau mati ya sudah gitu, mending saya kalau
seperti ini kan istilahnya saya punya karma baik gitu kalau
memang saya mau mati ya saya setidaknya saya sudah punya, cita-
cita saya itu sudah sampe gitu” (P4W2 216-221).
Selain itu, partisipan memiliki harapan-harapan untuk mengubah
dirinya yang negatif, yang memiliki sifat yang angkuh, sombong, cuek
pada sekitarnya, menjadi pribadi yang lebih baik dengan hidup
membiara. Bersama dengan kakaknya (nomor tujuh), dia juga memiliki
misi untuk membimbing orang tua agar lebih taat beribadah dan tidak
melupakan agama mereka karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.
“Kami berdua itu juga sambil membimbing orang tua, karna kan
orang tua saya sudah tua, maksudnya jangan sibuk dalam
pekerjaan terus menerus, waktu ke vihara itu juga harus ada gitu”
(P4W1 160-163).
Orang yang mendukung keputusannya dan yang mengetahui
keputusannya pertama kali adalah kakaknya (nomor tujuh). Kakaknya
yang batal menjadi samanera karena tidak diijinkan kedua orang
tuanya. Dengan setia kakak membantunya dalam memberikan
pengertian pada kedua orang tua mereka. Kakak juga yang memberikan
motivasi pada partisipan untuk tidak menyerah pada keadaan dan
memberikan nasihat-nasihat dalam menjalani hidup membiara. Bagi
partisipan, kakaknya tidak hanya berperan sebagai seorang kakak saja,
182
tetapi seperti ayah dan juga teman. Kehidupan kakaknya menjadi
inspirasi bagi dirinya untuk melakukan hidup membiara. Saudara
partisipan yang lain, mendukung keputusan yang diambilnya, dan lebih
cenderung tidak peduli dan menyerahkan semua keputusannya pada
partisipan.
“Kakak saya itu ya kakak, ya teman, ya ayah saya gitu, memandang
orangnya itu bijaksana, orangnya itu bijaksana” (P4W1 262-264).
“Kakak itu bisa jadi kakak, bisa jadi ayah, sahabat (P4W3 242).
Dalam menjalani pelatihan membiara selama 14 hari, partisipan
merasakan perubahan pada dirinya. Pola hidup dalam biara yang teratur
dengan kegiatan-kegiatan yang positif, membuat pikirannya menjadi
dan perasaannya pun lebih tenang. Setelah menjalani pelatihan selama
14 hari, kesehatannya pun membaik, dan penyakitnya berangsur-angsur
sembuh. Selain itu dia merasakan adanya perubahan pada perilakunya
setelah menjalani kehidupan membiara dan menjadi samaneri selama 1
tahun. Perubahan seperti memiliki rasa empati yang besar pada orang
lain, menjadi mudah bersosialisasi dengan siapapun. Relasi dengan
orang tua dan saudara yang lain menjadi semakin dekat dan baik.
Perubahan tidak hanya dialami oleh partisipan, tetapi juga dialami oleh
keluarganya, terutama terjadi pada kedua orang tuanya. Ayah dan
ibunya menjadi lebih religius dan aktif dalam mengikuti kegiatan
keagamaan. Orang tua memberikan perhatian yang lebih setelah
partisipan membiara, membuatnya merasakan kasih sayang keluarga
yang sebenarnya. Perubahan-perubahan inilah yang membuatnya
semakin termotivasi menjalani hidup membiara.
183
Partisipan mengalami fase pasang surut dalam menjalani hidup
membiara, fase dimana dirinya sempat berpikir untuk meninggalkan
hidup membiara. Peristiwa ini terjadi saat ibunya mengalami sakit,
setelah melihat partisipan menjadi samaneri. Ketika itu tepat 1 tahun
setelah menjadi samaneri, partisipan pulang ke Lampung mengunjungi
keluarga. Keterkejutan keluarga, terutama ayah dan ibunya saat melihat
penampilan dirinya yang berbeda (penampilan samaneri). Setelah
partisipan kembali ke biara, selang beberapa hari ibunya sakit dan hal
inilah yang membuatnya merasa bingung, apakah harus pulang dan
meninggalkan hidup membiara.
saya tidur saya dipeluk, dicium saya pengen nangis (menghapus air
matanya saat bercerita) tapi saya gak mau menunjukan hal itu,
saya tahan saya takut dengan pikiran saya sendiri (P4W1 377-380).
Setelah saya pulang ke Jawa, selang beberapa hari ibu saya masuk
rumah sakit lagi, nah itu, saya duduk …..waktu itu saya sempet
nangis ada samaneri-samaneri, saya nangis bener-bener saya
nangis harus gimana saya bingung (P4W1 393-397).
Partisipan merasakan takut jika dirinya durhaka pada kedua orang
tuanya. Rasa bingung harus melakukan apa, membuatnya sempat
merasa bimbang harus pulang atau tetap di biara. Akhirnya dia
membuat keputusan untuk tetap pada panggilannya, dan tidak pulang
ke Lampung. Partisipan berusaha memberikan perhatian pada orang
tuanya terutama pada ibunya, walaupun dirinya berada jauh dari kedua
orang tuanya. Sering menelpon ke rumah sebagai bentuk perhatiannya
pada keluarganya.
184
Kedua orang tuanya perlahan-lahan menerima keputusannya untuk
hidup membiara. Walaupun begitu, ayah sampai saat ini masih
mencoba membuat partisipan untuk tidak mengambil keputusan
menjadi bhikkhuni. Ayahnya ingin anaknya untuk menikah dan
membentuk keluarga sehingga ayahnya dapat tinggal bersama-sama
dengan keluarganya nanti. Akan tetapi keyakinan yang kuat pada
pilihannya tidak membuat partisipan terpengaruh dan kendor dengan
panggilannya. Semakin dilarang, dia semakin kuat dengan
panggilannya.
Selain kakaknya yang menginspirasi dalam mengambil keputusan
membiara, partisipan juga memiliki sosok yang menjadi panutan dalam
menjalani hidup membiara. Orang yang menjadi panutan baginya,
adalah gurunya sendiri (bhante). Bertemu bhante pertama kali di vihara
saat dia mengunjungi kakaknya. Partisipan memandang gurunya itu
sebagai seorang yang baik, menolong orang lain tanpa membeda-
bedakan latar belakang agamanya. Dia ingin menjadi seperti gurunya
itu. Selain itu, bhante juga dalam mengajarkan pada murid-muridnya
selalu dengan sabar, tidak menghakimi bahwa itu salah atau tidak,
boleh atau tidak. Bhante itu, merupakan orang yang sederhana dan
tidak pernah marah pada murid-muridnya. Beliau mengajarkan kasih
pada sesama.
“beliau itu selalu mengarahkan, selalu menuntun kami gak pernah
yang namanya marah mencela itu gak pernah. Ya saya inget itu ya
itu tadi kedermawanannya, kesederhanaannya, dan menerima itu
tadi” (P4W3 268-272).
185
D. Pembahasan
Setelah makna dari masing-masing partisipan ditemukan dan
kategori telah dibuat, maka selanjutnya peneliti membahas proses
pengambilan keputusan pada partisipan secara keseluruhan berdasarkan
hasil dari analisa masing-masing partisipan yang telah ditemukan.
Berikut ini merupakan pembahasan secara keseluruhan :
Proses pertimbangan membiara
Bagi keempat partisipan, kehidupan membiara merupakan cita-cita
mereka dan sudah menjadi tujuan akhir bagi kehidupan mereka.
Panggilan hidup membiara begitu kuat dirasakan oleh keempat
partisipan. Terlebih pada ketiga partisipan, yaitu partisipan pertama,
kedua, dan ketiga yang sudah memiliki ketertarikan pada kehidupan
membiara sejak masih kanak-kanak. Sedangkan pada partisipan
keempat, walaupun panggilan membiara baru dia rasakan di bangku
SMA, akan tetapi panggilan membiara itu begitu kuat datang pada
dirinya. Panggilan membiara yang begitu kuat itu, membuat mereka
berada pada kondisi untuk memilih menerima panggilan tersebut atau
mengabaikannya. Hal ini seperti yang dikatakan Terry (Syamsi, 1955)
bahwa pengambilan keputusan merupakan pemilihan alternatif perilaku
dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang
memungkinkan.
Keempat partisipan memiliki banyak pilihan untuk menjalani
kehidupannya kedepan, dan ketika panggilan membiara itu datang pada
186
diri mereka, mereka diperhadapkan untuk memilih dan mengambil
keputusan. Menurut Janis dan Mann (1977), keempat partisipan tengah
menghadapi tahapan pertama dalam pengambilan keputusan. Pada
tahap ini keempat partisipan mengenali permasalahan yang tengah
dihadapi oleh mereka, untuk memilih menjalankan kehidupan
membiara atau tidak. Pada tahapan ini, keempat partisipan mengalami
konflik dalam dirinya yang kemudian mempengaruhi perilaku mereka
untuk bertahan dengan keyakinan lamanya tidak membiara atau
berubah dan memilih membiara.
Kemudian setelah keempat partisipan dapat mengenali masalah
yang dihadapi, selanjutnya mereka mencari informasi untuk
menemukan jalan keluar dari konflik yang dihadapi. Dalam Janis dan
Mann (1977) tahap ini disebut sebagai tahap melihat alternatif
(surveying alternatives). Keempat partisipan mencari informasi dan
melihat beberapa alternatif yang dapat membantu mereka dalam
mengambil keputusan. Pencarian informasi dapat juga diperoleh dari
orang lain yang lebih memahami mengenai hidup membiara, seperti
yang dialami oleh partisipan pertama yang memperoleh informasi
hidup membiara dari suster di komunitas pilihannya, dan partisipan
keempat yang memperoleh informasi dari kakaknya yang pernah
menjalani kehidupan membiara.
Informasi yang telah diperoleh tersebut kemudian akan membantu
seseorang dalam menimbang alternatif-alternatif yang diperoleh
(weighing alternatives), seseorang akan menganalisis sisi positif dan
negatif tiap alternatif yang ada (Janis & Mann, 1977). Seperti halnya
187
yang diungkapkan Janis dan Mann ( 1977) tersebut, begitu pula yang
dialami oleh keempat partisipan yang melihat bahwa adanya sisi positif
jika mereka mengambil keputusan hidup membiara. Mereka melihat
bahwa dengan menjalani kehidupan membiara tujuan mereka akan
tercapai, seperti pada partisipan pertama dan kedua yang memiliki
tujuan melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Pada partisipan
ketiga, dengan membiara dia seperti memperoleh keluarga yang baru.
Pada partisipan keempat, melihat sisi positifnya bahwa dengan hidup
membiara, dia memperoleh kesembuhan lahir dan batin, tidak hanya
bagi dirinya tapi juga bagi keluarganya.
Setelah menimbang alternatif, partisipan memilih alternatif yang
sesuai dengan keinginan partisipan. Ini berarti pembuatan komitmen
untuk memutuskan dengan mantap menjalani hidup membiara pun
mulai dilakukan keempat partisipan. Keputusan yang diambil keempat
partisipan ini menimbulkan respon yang berbeda dari keluarga dan
teman, respon yang paling dominan yang diperoleh keempat partisipan
yaitu respon negatif. Hal ini dialami oleh partisipan kedua, ketiga, dan
keempat yang mendapatkan respon negatif dari keluarga. Keluarga
menentang dengan keras keputusan partisipan untuk menjalani hidup
membiara. Hal yang sangat jauh berbeda dengan yang dialami oleh
partisipan pertama yang mendapatkan dukungan keluarga sejak dirinya
memutuskan untuk hidup membiara dan meminta ijin pada keluarga.
Saat inilah ketiga partisipan tersebut diuji, karena keputusannya
menghasilkan umpan balik negatif dari keluarga, akankah ketiga
patisipan mengambil keputusan baru karena adanya ancaman tersebut
188
atau tetap bertahan dengan keputusan yang telah diambil. Pada
partisipan dua dan empat, tetap bertahan pada keputusannya dan nekat
untuk menjalankan hidup membiara meskipun ada pertentangan dari
keluarga.
Pada partisipan ketiga, pertentangan dari keluarga mengakibatkan
partisipan mengambil keputusan baru, yaitu dengan menunda untuk
menjalani hidup membiara. Partisipan ketiga, akan kembali kepada
tahapan pertama dalam pengambilan keputusan.
Pengalaman di masa kecil
Ketiga partisipan memiliki ketertarikan hidup membiara karena
pengalaman di masa kecil, seperti yang terjadi pada partisipan pertama,
kedua, dan ketiga. Pengalaman mereka saat melihat maupun bertemu
dengan sosok suster maupun bhikkhu semasa kanak-kanak, sangat
membekas pada diri mereka. Rasa kagum mereka pada sosok tersebut
menjadi awal ketertarikan mereka pada kehidupan membiara. Hal ini
tidak terjadi pada partisipan ke empat, minatnya pada kehidupan
membiara dirasakan begitu kuat, ketika dia melihat perjuangan
kakaknya untuk memperoleh ijin hidup membiara mendapatkan
tentangan dari orang tua. Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011), minat
merupakan campuran perasaan dan harapan individu, menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi suatu pengambilan keputusan. Sejalan
dengan yang diungkapkan Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011),
189
keempat partisipan pun memiliki harapan-harapan dalam hidupnya
untuk dapat menjalani hidup membiara.
Partisipan pertama dan kedua melihat sosok seorang suster yang
bahagia, damai, penuh kesopanan, rajin berdoa, dan memiliki
keanggunan dengan pakaian putihnya membuat mereka tertarik dan
sejak saat itu ingin menjadi seperti suster yang dilihatnya. Pada
partisipan ketiga, pengalaman masa kecil juga memiliki andil besar
pada pengambilan keputusannya membiara. Perbedaan kecil yang
terjadi pada kedua partisipan sebelumnya, yaitu perasaan takut pada
seorang bhante saat bertemu pertama kali. Dia kagum pada sosok
tersebut karena terlihat damai hidupnya, akan tetapi ada juga perasaan
takut pada dirinya dikarenakan baru pertama kali melihat seorang
bhante. Kemudian seiring berjalannya waktu rasa kagumnya pada figur
seorang bhante membuatnya melawan rasa takut pada sosok bhante.
Hal ini tidak terjadi pada partisipan ke empat, minatnya pada kehidupan
membiara dirasakan begitu kuat, ketika dia melihat perjuangan
kakaknya untuk memperoleh ijin hidup membiara mendapatkan
tentangan dari orang tua. Saat itu partisipan telah remaja (kelas 2
SMA), pengalaman saat itulah yang membuatnya memiliki niatan untuk
hidup membiara.
Kehampaan hidup
Sebelum memutuskan hidup membiara, partisipan mengalami rasa
hampa dalam diri mereka. Seperti yang terjadi pada partisipan pertama,
ketiga, dan keempat. Ketika mereka menjalani kehidupan mereka
sebelum panggilan membiara datang, mereka merasakan kehampaan
190
pada diri mereka. Partisipan pertama merasakan kehidupan di luar
komunitas biara, membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah
yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan bekerja
di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan merasakan
kehidupannya memiliki tujuan, tujuan untuk hidup membiara dan
melayani masyarakat dengan pelayanannya. Sedangkan pada partisipan
ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya, hidup
berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang besar tidak
membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah bekerja keras dan
memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran keluarga membuat
partisipan merasakan hampa pada dirinya. Kehilangan keluarga karena
musibah, membuat dirinya tidak lagi memiliki tujuan dalam hidupnya.
Ketika panggilan membiara itu datang, partisipan merasakan kembali
memiliki tujuan hidup dan yang paling utama baginya adalah dia
menemukan keluarga di tengah-tengah komunitasnya. Hal yang
berbeda terjadi pada partisipan keempat, penyakit yang dideritanya dan
konflik dalam keluarga membuatnya merasa kesia-siaan dalam
hidupnya dan ketika panggilan itu datang, partisipan merasakan tujuan
hidup yakni inilah waktu bagi dia untuk mendekat pada pencipta dan
menemukan kedamaian dalam hidupnya. Hal ini yang dikatakan oleh
Plato (dalam Dister, 1989; hal 19) dengan “eros” yang berarti “cinta”
dan “hasrat”, dimana merupakan kerinduan manusia pada Yang Ilahi
untuk mengatasi keterbatasannya dan mencapai keutuhan serta
kepenuhan dalam persatuan. Vergote menyebut keinginan manusia
akan keabadian serta hasratnya akan persatuan dengan Yang Ilahi itu
191
“eros religius”. Istilah ini dengan tepat mengungkapkan hasrat manusia
yang mendalam untuk dibebaskan dari yang fana untuk memperolah
keutuhan serta kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati.
Dukungan keluarga
Minat pada kehidupan membiara sejak masih kecil tidak serta merta
membuat mereka segera mengambil keputusan membiara. Bahkan
ketiga partisipan yang telah memiliki ketertarikan pada kehidupan
membiara sejak masih kanak-kanak tidak terpikir jika akan menjalani
kehidupan membiara ketika mereka telah dewasa. Berdasarkan
pengalaman ketiga partisipan tersebut, peneliti melihat bahwa pengaruh
dukungan keluarga dalam proses berkembangnya minat pada partisipan
sangatlah penting. Peran dari keluarga dalam memupuk minat pada
partisipan menjadi hal yang signifikan. Partisipan yang memiliki
keluarga yang mendukung keputusannya akan sangat berbeda
prosesnya dalam mengambil suatu keputusan, dengan partisipan yang
keluarganya tidak mendukung. Hal ini juga sejalan dengan yang
diungkapkan dalam Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011) yang
menjelaskan bahwa keluarga menjadi faktor sosial yang mempengaruhi
individu dalam mengambil keputusan.
Seperti yang terjadi pada partisipan pertama yang memiliki latar
belakang keluarga yang religius, tekun dalam ajaran agama, bahkan ada
keluarganya yang menjadi rohaniawan (bapak besar yang menjadi
pastor), memiliki pengaruh yang besar pada keputusan yang akan
192
diambilnya. Ketika partisipan sempat melupakan minatnya pada
kehidupan membiara saat di SMA, partisipan mendapatkan pengaruh
dari keluarganya, terutama bapak besarnya yang selalu membuatnya
teringat akan minatnya membiara. Masyarat di lingkungan partisipan
pun mempunyai persepsi akan kebanggaan jika ada anggota keluarga
yang menjadi rohaniawan (pastor, suster, pendeta) yang juga
mempengaruhi dirinya untuk mengambil keputusan membiara.
Hal yang berbeda pada partisipan kedua, ketiga, dan keempat.
Ketiga partisipan tidak mendapatkan dukungan dan persetujuan dari
keluarga ketika mereka mengutarakan keinginan mereka untuk
membiara. Hal tersebut membuat ketiga partisipan mengalami
hambatan dalam prosesnya mengambil keputusan.
Peran Komunitas Biara
Seperti yang dikatakan diatas bahwa pada partisipan kedua, ketiga,
dan keempat dukungan dari keluarga tidak mereka dapatkan. Ketiga
partisipan bahkan mendapatkan pertentangan dari keluarga saat
mengutarakan minatnya untuk membiara. Oleh karena itu dukungan
dari lingkungan khususnya dalam komunitas menjadi sangat berarti
pada ketiga partisipan ini. Guru ataupun pembina, senior, dan rekan-
rekan dalam biara atau komunitas menjadi hal yang membantu mereka
untuk tetap kuat pada panggilan mereka. Hal ini juga dirasakan oleh
partisipan pertama. Bahkan ketika keempat partisipan menghadapi
keraguan pada panggilan mereka dan mengalami pasang surut motivasi
membiara, peran guru, pembina, rekan-rekan menjadi sangat besar. Hal
ini sangat terlihat pada partisipan kedua yang sempat berniat
193
meninggalkan kehidupan membiaranya, dukungan dari pembina atau
pimpinan biara membuatnya tetap kuat untuk terus melanjutkan
panggilannya. Sedangkan pada partisipan ketiga guru atau pembina,
senior, dan rekan-rekannya sudah seperti keluarganya sendiri.
Kehampaan hidup yang dirasakannya sebelum membiara menjadi
hilang setelah bertemu dengan guru yang sudah dianggapnya seperti
ayahnya dan senior-senior yang sudah seperti kakak dan saudara
baginya.
Significant other
Pengaruh dari significant other sangat nyata terjadi pada keempat
partisipan menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan hidup
membiara. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari hasil
wawancara keempat partisipan memiliki significant other yang
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses mereka mengambil
keputusan membiara. Significant other menjadi seseorang yang
berperan dalam memperkenalkan mereka akan kehidupan membiara,
seperti yang dialami ketiga partisipan, pengalaman saat kecil bertemu
dengan rohaniawan yang meninggalkan kesan yang mendalam pada diri
mereka. Significant other, menjadi motivasi bagi keempat partisipan
untuk tetap setia pada panggilannya membiara, mendukung mereka
ketika mereka menemukan kesulitan dalam perjalanan panggilan
mereka, membantu partisipan untuk memenuhi panggilan
membiaranya, seperti yang terjadi oleh partisipan keempat. Bagi
keempat partisipan significant other merupakan orang yang
menginspirasi mereka. Significant other dapat menjadi siapapun,
194
menjadi seseorang yang berpengaruh bagi partisipan dalam mengambil
keputusannya. Pada partisipan pertama dan keempat yang menjadi
significant other datang dari keluarganya sendiri, pada partisipan
pertama misalnya, bapak besar menjadi orang yang tahu lebih dulu
minatnya pada hidup membiara dan selalu memberikan motivasi bagi
partisipan pertama. Pada partisipan keempat, kakaknya nomor tujuh
menjadi orang yang menginspirasi dia mengambil keputusan membiara,
membantu saat tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya,
dan juga membantunya untuk tetap setia pada panggilannya.
Hal yang sedikit berbeda dari kedua partisipan lainnya, yaitu
partisipan kedua dan ketiga. Yang menjadi significant other bagi kedua
partisipan ini tidak memiliki hubungan keluarga dengan partisipan.
Guru dan senior (kakak seperguruan) menjadi orang-orang yang
penting bagi partisipan ketiga dalam memutuskan hidup membiara.
Baginya guru dan senior adalah keluarganya sendiri, penemuannya
akan sosok ayah, saudara, dalam diri guru dan seniornya cukup bagi
partisipan dengan yakin mengambil keputusan membiara. Sedangkan
pada partisipan kedua, sosok seorang suster yang dilihatnya saat masih
sekolah dasar, dapat menjadi inspirasi baginya untuk nekat
memutuskan hidup membiara, walaupun banyak tantangan yang akan
dihadapinya.
Coping yang digunakan
Keempat partisipan melakukan pola coping yang berbeda dalam
mengatasi masalah pengambilan keputusan hidup membiara. Pola
coping yang digunakan pada partisipan pertama, menurut Janis dan
195
Mann (1977) adalah pola coping yang disebut dengan vigilance. Pola
coping yang dimaksud adalah individu mencari berbagai informasi
secara menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi
tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan yang
tinggi. Partisipan pertama melakukan pertimbangan yang cukup lama
untuk mengambil keputusan, dia mencari informasi dan komunitas
Katolik yang sesuai dengan minatnya.
Partisipan ketiga melakukan defensive avoidance, dimana partisipan
melakukan penundaan dalam mengambil keputusan dilakukannya. Hal
ini dilakukannya ketika menerima penolakan dari kedua orang tua
untuk mendukung dirinya mengambil keputusan membiara. Minatnya
hidup membiara tidak hilang begitu saja di dirinya, karena partisipan
berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu bagi dirinya untuk
mewujudkan keinginannya untuk membiara.
Unconflicted inertia dilakukan oleh partisipan kedua dan ketiga.
Pada kedua partisipan ini melanjutkan saja kepercayaan atau tindakan
yang sebelumnya dilakukan. Mereka cenderung untuk nekat
melanjutkan tindakannya untuk mengambil keputusan membiara
walapun keluarga menentang keputusan yang partisipan ambil. Pada
partisipan kedua, agar dapat mencapai minatnya untuk membiara dia
nekat berbohong pada keluarga dan tidak terus terang pada keluarga
mengenai tindakannya untuk membiara. Sedangkan pada partisipan
keempat, larangan dari keluarga terutama dari kedua orang tuanya,
tidak membuatnya menyerah. Dia justru semakin mendapatkan
196
tentangan dari kedua orang tua, dia semakin nekat untuk memutuskan
membiara.
Fase Pasang Surut
Fase pasang surut dalam proses seseorang mengambil suatu
keputusan merupakan suatu hal yang wajar. Dalam tahapan yang
dikemukakan oleh Janis dan Mann (1977), perasaan bimbang, rasa
takut dan khawatir salah dalam mengambil keputusan, terjadi pada
tahapan terakhir (adhering despite negative feedback). Ketika
keputusan yang individu ambil menghasilkan respon negatif hal ini
memungkinkan bagi individu untuk kembali membuat keputusan baru
(kembali pada tahap pertama). Akan tetapi berdasarkan data yang
diperoleh peneliti, tidak dipungkiri bahwa fase pasang surut ataupun
kebimbangan ini muncul di setiap tahapan yang dikemukakan Janis dan
Mann (1977).
Fase ini pun dialami oleh keempat partisipan. Adapun beberapa hal
yang berbeda yang menjadi alasan kebimbangan masing-masing
partisipan. Seperti pada partisipan keempat, fase pasang surut terjadi
ketika dia nekat meninggalkan orang tuanya yang tidak mendukung
keputusannya, dan ketika ibunya mengalami sakit setelah melihat
perubahan penampilannya (menjadi samaneri). Perasaan takut durhaka
pada kedua orang tuanya karena tidak memedulikan larangan mereka,
membuatnya bimbang dan sempat berniat meninggalkan hidup
membiara. Lain lagi yang terjadi pada partisipan pertama.
Keharmonisan dalam keluarganya, dan perhatian yang diberikan oleh
orang tuanya terutama ibunya, membuat dirinya sangat merindukan
197
keluarganya ketika berada jauh dari keluarga. Hal ini membuatnya
sempat ingin kembali pulang dan meninggalkan kehidupan
membiaranya.
Tidak hanya tantangan dari keluarga, akan tetapi komunitas dalam
biara ikut andil besar dalam fase pasang surut keyakinan partisipan.
Kehidupan dalam komunitas mengharuskan keempat partisipan untuk
bertemu dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda-beda, dengan pola pikir yang berbeda. Keadaan tersebut
menjadi tantangan tersendiri bagi keempat partisipan, seperti yang
dialami oleh partisipan kedua dan ketiga. Perbedaan latar belakang dan
pola pikir partisipan dengan rekan-rekannya, kadang kala membuat
mereka salah paham yang dapat mendatangkan konflik di antara
mereka.
Berbeda dari kedua partisipan (kedua dan ketiga), pada partisipan
pertama dan keempat kesalahpahaman sesama rekan dalam komunitas
tetap mereka alami, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah pada
proses mereka menjalani hidup membiara.
Fase pasang surut ini dapat dilewati oleh keempat partisipan,
dengan mereka tetap pada panggilan mereka hidup membiara.
Dukungan yang diperoleh dari orang-orang disekitar mereka, membuat
mereka tetap berjuang sampai akhir. Berbagai upaya juga dilakukan
oleh keempat partisipan untuk tetap setia pada panggilannya.
Upaya yang dilakukan untuk setia pada panggilan
Untuk dapat tetap setia pada panggilan membiara, keempat
partisipan melakukan berbagai upaya. Adapun upaya yang dilakukan
198
keempat partisipan agar tetap setia pada panggilannya, yang pertama
adalah mengingat motivasi awal. Keempat partisipan akan mengingat
kembali motivasi awal mereka untuk hidup membiara ketika mereka
mengalami fase pasang surut. Partisipan mengingat kembali bagaimana
perjuangan mereka untuk dapat membiara.
Upaya yang kedua yang dilakukan yaitu mendekatkan diri pada
Tuhan, seperti berdoa pada Tuhan ketika ada masalah dalam kehidupan
membiara mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh partisipan
pertama, kedua, dan keempat, permasalahan yang mereka hadapi dalam
hidup membiara tidak membuat mereka menjauh dari tujuan mereka,
masalah yang mereka hadapi justru membuat mereka lebih beriman dan
mantap pilihan yang telah diambil. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Charlys & Kurniati (2006), yang
mengatakan bahwa ketika terjadi kebimbangan pada kehidupan
membiara, maka seseorang akan datang kepada Tuhan, dan menjadikan
Tuhan sebagai tujuan kehidupannya. Pada partisipan ke tiga dukungan
dari guru dan teman komunitas lebih berperan dalam mengatasi
permasalahan dalam hidup membiaranya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil
pembahasan analisis data, yang telah diperoleh dari hasil wawancara
dan observasi keempat partisipan, pada bab sebelumnya. Beberapa
199
saran yang ditujukan bagi penelitian selanjutnya, bagi psikolog dan
konselor, dan juga bagi masyarakat umum dan komunitas agama.
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, dari hasil wawancara dan observasi yang
telah dilakukan mengenai proses pengambilan keputusan hidup
membiara pada biarawati Katolik dan Buddha, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketiga partisipan memiliki ketertarikan pada kehidupan membiara
sejak masih sekolah dasar, ketika mereka bertemu dengan
rohaniawan (suster maupun bhikkhu). Rasa kagum pada
rohaniawan tersebut menjadi awal dari minat mereka pada hidup
membiara. Berbeda pada partisipan keempat, yang ketertarikan
pada kehidupan membiara dirasakan saat duduk di bangku SMA,
yang kemudian diperkuat setelah melihat kakaknya yang gagal
(tidak mendapat ijin) untuk hidup membiara.
2. Pengaruh dari orang lain (significant other), menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi keempat partisipan dalam mengambil
keputusan membiara. Pada partisipan pertama dan keempat, yang
menjadi significant other bagi mereka merupakan anggota keluarga
mereka sendiri. Significant other inilah yang membantu mereka
dalam menumbuhkan minat mereka pada kehidupan mereka, dan
significant other sekaligus menjadi salah satu inspirasi mereka di
awal-awal mereka mengambil keputusan hidup membiara.
Sedangkan pada partisipan kedua dan ketiga mereka yang menjadi
significant other tidak berasal dari keluarganya sendiri. Seperti pada
200
partisipan kedua yang menjadikan suster yang dilihatnya saat masih
kecil sebagai orang yang dikaguminya dan menjadi inspirasi
baginya untuk mengambil keputusan membiara, dan pimpinan dan
teman sejawat dalam komunitas menjadi orang-orang yang penting
bagi partisipan kedua. Tidak jauh berbeda dengan partisipan kedua,
pada partisipan keempat guru (bhante) dan senior-senior yang sudah
dianggap oleh partisipan sebagai keluarganya, menjadi orang-orang
yang mendukung dirinya untuk mantap mengambil keputusan
membiara.
3. Ketiga partisipan sebelum memutuskan hidup membiara, ada
perasaan hampa pada diri mereka dalam menjalani kehidupan
mereka. Pada partisipan pertama merasakan kehidupan di luar
komunitas biara membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah
yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan
bekerja di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan
merasakan kehidupannya memiliki keamanan dan memiliki tujuan
hidup dengan melayani anak-anak cacat. Sedangkan pada partisipan
ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya,
hidup berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang
besar tidak membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah
bekerja keras dan memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran
keluarga membuat partisipan merasakan hampa pada dirinya.
Kehilangan keluarga karena musibah, membuat dirinya tidak lagi
memiliki tujuan dalam hidupnya. Ketika panggilan membiara itu
datang partisipan merasakan kembali memiliki tujuan hidup dan
201
yang paling utama baginya adalah, dia menemukan keluarga di
tengah-tengah komunitasnya. Hal yang berbeda terjadi pada
partisipan keempat, rasa putus asa dengan kehidupannya karena
penyakit yang dideritanya dan konflik yang sering terjadi antara dia
dan kedua orang tuanya, membuat dirinya merasakan putus asa, dan
dalam keputusasaannya itu partisipan memiliki kerinduan untuk
menjalani hidup membiara. Saat panggilan itu datang pada dirinya,
partisipan merasakan kembali memiliki tujuan dalam hidupnya,
tujuan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi dan inilah
waktu bagi dia untuk mendekat pada Pencipta dan menemukan
kedamaian dalam hidupnya. Partisipan juga memiliki tujuan untuk
membantu kedua orang tuanya agar lebih mendekatkan diri pada
Sang Pencipta, sehingga keluarga mereka pun dapat dipulihkan.