bab iv hasil penelitian dan...

158
44 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan proses penelitian yang dimulai dengan, pra-penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan penelitian. Pada bab ini juga akan membahas mengenai analisis data dari masing-masing partisipan yang berisi mengenai gambaran umum partisipan, laporan observasi, analisa verbatim dan kategorisasi, dan analisis pengambilan keputusan masing-masing partisipan. Pada akhir bab, terdapat pembahasan secara menyeluruh dari semua partisipan mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara. A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian Proses pertama yang dilakukan peneliti sebelum mengambil data adalah melakukan diskusi dengan dosen pembimbing mengenai pedoman wawancara. Kemudian, mencari informasi mengenai keberadaan biarawati Katolik dan Buddha pada beberapa orang, selanjutnya menghubungi partisipan dan bertanya mengenai kesediaannya menjadi partisipan dan terlibat menjadi sumber data mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara. Dalam tahapan pra-penelitian, peneliti berpanduan pada tahapan pra-lapangan yang dikemukakan dalam Moleong (2005), yaitu : a. Menyusun rancangan penelitian

Upload: lamdieu

Post on 03-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan proses penelitian yang dimulai

dengan, pra-penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan

penelitian. Pada bab ini juga akan membahas mengenai analisis data

dari masing-masing partisipan yang berisi mengenai gambaran umum

partisipan, laporan observasi, analisa verbatim dan kategorisasi, dan

analisis pengambilan keputusan masing-masing partisipan. Pada akhir

bab, terdapat pembahasan secara menyeluruh dari semua partisipan

mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Proses pertama yang dilakukan peneliti sebelum mengambil data

adalah melakukan diskusi dengan dosen pembimbing mengenai

pedoman wawancara. Kemudian, mencari informasi mengenai

keberadaan biarawati Katolik dan Buddha pada beberapa orang,

selanjutnya menghubungi partisipan dan bertanya mengenai

kesediaannya menjadi partisipan dan terlibat menjadi sumber data

mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.

Dalam tahapan pra-penelitian, peneliti berpanduan pada tahapan

pra-lapangan yang dikemukakan dalam Moleong (2005), yaitu :

a. Menyusun rancangan penelitian

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

45

Rancangan penelitian pertama-tama dilakukan dengan penulisan

bab satu hingga bab tiga, yang terdiri dari latar belakang, tinjauan

pustaka, dan metode penelitian. Peneliti juga merancang pedoman

wawancara sebagai alat pengumpulan data.

b. Memilih lapangan penelitian

Berdasarkan keterbatasan geografis dan praktis, maka peneliti

memilih partisipan yang berdomisili di Salatiga dan sekitarnya.

Keempat orang partisipan yang dipilih antara lain, dua orang biarawati

Katolik yang berdomisili di Salatiga, dan dua orang biarawati Buddha

yang berdomisili di Ampel, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

c. Mengurus perijinan

Peneliti meminta surat ijin penelitian untuk dapat melakukan

kunjungan dan wawancara dengan partisipan. Surat ijin, peneliti

peroleh dari fakultas dengan persetujuan dari dekan dan kedua

pembimbing. Peneliti kemudian mengunjungi partisipan dan

memberikan surat ijin penelitian kepada partisipan. Sebelumnya,

peneliti telah bertemu dengan partisipan untuk meminta kesediaannya

terlibat dalam penelitian ini sebagai sumber data, dan tidak lupa peneliti

juga menyampaikan gambaran mengenai penelitian yang akan

dilakukan kepada keempat partisipan tersebut.

d. Menjajaki lapangan

Pada tahap ini, peneliti telah memiliki gambaran umum mengenai

tradisi membiara dalam agama Katolik dan Buddha. Peneliti pada awal

kunjungan mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh

masing-masing partisipan, dan aturan-aturan dari biara ataupun

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

46

komunitas secara umumnya. Peneliti juga berusaha bertanya mengenai

kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal.

e. Memilih dan memanfaatkan informan

Peneliti memperoleh informan yang berbeda untuk biarawati

Katolik dan Buddha. Untuk biarawati Katolik, peneliti mendapatkan

informasi lokasi partisipan dari teman peneliti yang beragama Katolik

dan berdomisili di Salatiga. Sedangkan untuk biarawati Buddha,

peneliti mendapatkan informasi dari romo di sebuah klenteng di

Semarang, mengenai keberadaan partisipan. Berdasarkan informasi

yang diperoleh, maka peneliti menemui partisipan Katolik dan meminta

kesediannya sebagai sumber data. Untuk biarawati Buddha, peneliti

mencari informasi lebih lengkap lagi mengenai lokasi tempat tinggal,

dan secara kebetulan peneliti berkenalan dengan partisipan di media

sosial facebook, dan peneliti meminta ijin untuk berkunjung, setelah

mendapatkan ijin peneliti pun berkunjung dan meminta kesediaan

partisipan dalam penelitian yang akan dilakukan.

f. Menyiapkan perlengkapan penelitian

Peneliti menyiapkan perlengkapan penelitian yang diperlukan

dalam proses wawancara, perlengkapan tersebut antara lain pulpen,

buku catatan, dan sebagai alat perekam peneliti menggunakan tape

recorder dan handphone.

g. Persoalan etika penelitian

Peneliti, memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara

terbuka kepada calon partisipan. Peneliti pun berusaha untuk

menghormati kebiasaan, pribadi, dan norma-norma agama yang di

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

47

imani oleh partisipan maupun kebiasaan-kebiasaan membiara yang

dijalani partisipan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Dalam proses pengambilan dan pengumpulan data, peneliti

melakukan beberapa kegiatan. Hal pertama yang dilakukan oleh

peneliti adalah membuat janji untuk bertemu dengan keempat

partisipan dengan waktu yang berbeda, karena faktor kesibukan

masing-masing partisipan. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan

pada tanggal 16 November 2012, pada pukul 10.30 WIB, peneliti

melakukan wawancara dan observasi dengan partisipan pertama.

Sebelumnya, peneliti telah membuat janji temu dengan partisipan

pertama saat peneliti memberikan surat ijin penelitian. Untuk ketiga

partisipan yang lain, peneliti membuat janji temu melalui sms (short

messages service).

Pada proses pengambilan data, peneliti melakukan wawancara dan

pengamatan sebanyak tiga kali untuk partisipan pertama, kedua, dan

keempat, sedangkan untuk partisipan ke tiga, peneliti melakukan

wawancara sebanyak dua kali saja. Hal ini dikarenakan, pada partisipan

ketiga, peneliti telah mendapatkan banyak informasi hanya dengan

melakukan dua kali pengambilan data, dan juga telah menemukan

kejenuhan (saturation) pada wawancara ke dua. Adapun, jadwal

pengambilan data masing-masing partisipan, sebagai berikut (table 4.1).

Tabel 4.1

Jadwal Pengambilan Data

Partisipan Tanggal Jam Tempat

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

48

1

16 November 2012 10.30-11.43WIB Panti Asuhan 1

23 November 2012 11.30-11.43 WIB Panti Asuhan 1

11 Pebruari 2013 10.00-10.45 WIB Panti Asuhan 1

2

15 Pebruari 2013 10.05-11.09 WIB Panti Asuhan 2

10 Maret 2013 10.34-11.28 WIB Panti Asuhan 2

4 April 2013 10.10-10.28 WIB Panti Asuhan 2

3 12 Januari 2013 13.25-14.02 WIB Vihara Ampel

30 Januari 2013 14.27-15.01 WIB Vihara Ampel

4

12 Januari 2013 14.07-14.37 WIB Vihara Ampel

30 Januari 2013 13.21-14.13 WIB Pondok Meditasi

19 Maret 2013 09.35-10.03 WIB Vihara Ampel

B. Analisis Data

Setelah proses pengambilan data selesai, dan semua data telah

terkumpul, maka selanjutnya peneliti melakukan proses analisis data.

Analisis data dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah disusun pada

bab tiga dalam metode penelitian. Hal yang pertama yang peneliti

lakukan adalah, mencatat hasil catatan lapangan dan memberikan kode

agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, kemudian mengumpulkan,

memiliah-milah, mengklarifikasikan, mensintesiskan, membuat

ikhtisar, dan membuat indeksnya, kemudian membuat kategori data itu

mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-

hubungan, dan membuat temuan-temuan umum. Berikut hasil dari

penelitian tiap-tiap partisipan yang kemudian akan membahas

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

49

mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara pada

biarawati Katolik dan Buddha.

C. Hasil Pengumpulan Data

1. Partisipan Penelitian 1 (SL)

a. Gambaran umum partisipan

Identitas

Inisial : SL

Usia : 40 tahun

Anak ke- : 7 dari 11 bersaudara

Pendidikan : Kuliah

Agama : Katolik

Partisipan berinisial SL, saat ini partisipan berusia 40 tahun. SL

merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara, yang dua diantaranya

telah meninggal dunia. Partisipan berasal dari Bai, Nusa Tenggara

Timur. Saat ini SL berprofesi sebagai seorang suster yang tergabung

dalam komunitas 1AM, komunitas yang terpusat di Jawa Timur yang

berkarya dalam menolong anak-anak yatim piatu dan cacat, juga yang

miskin. Saat ini dia ditugaskan untuk melayani di Salatiga, Jawa

Tengah sebagai kepala panti asuhan di Salatiga sejak Oktober 2007,

sebelumnya SL pada tahun 2002 sampai dengan 2007 ditugaskan di

Madiun, Jawa Timur. SL berasal dari keluarga Katolik yang sangat taat,

1 Komunitas Biara Katolik

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

50

memiliki 2bapak besar yang berprofesi sebagai pastor

3SVD di NTT.

Saat SMP, dia bersekolah di sekolah Katolik yang memiliki kepala

asrama seorang suster. SL pindah ke asrama sejak di kelas tiga SMP

karena sebelumnya saat kelas satu dan dua, dia masih pulang pergi

sekolah dan rumah.

Keinginan untuk menjadi suster sudah dirasakannya sejak masih

kecil tepatnya sejak sekolah dasar ketika SL melihat seorang suster

yang sudah berumur, saat dia berkunjung ke biara tempat bapak

besarnya tinggal. Tetapi keinginan tersebut sempat hilang saat SL

memasuki jenjang pendidikan menengah atas. Setelah lulus sekolah

menengah atas, SL sempat bekerja di biara 4SPSS sebagai karyawan

disana, banyak ajakan dari teman-teman susternya untuk bergabung

dalam komunitas dan menjadi suster, akan tetapi dirinya tidak

terpanggil untuk menjadi suster di SPSS.

Proses pengambilan keputusan yang cukup panjang, yang dialami

oleh SL. Persoalan pasang surut minat SL untuk hidup membiara yang

kadang muncul, dan tantangan-tantangan dari sekitar, membuatnya

memerlukan pertimbangan yang matang untuk mengambil keputusan

membiara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995, SL pun

ditahbiskan, dan menerima kerudung, kalung salib, dan cincin.

b. Laporan Observasi Partisipan

2 Panggilan untuk kakak dari ayah atau ibu di NTT (dalam bahasa Jawa Pakde)

3 Komunitas Serikat Sabda Allah

4 Tarekat suster-suster Abdi Allah Roh Kudus

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

51

Wawancara yang pertama dilakukan pada tanggal 16 November

2012 pukul 10.30 WIB. Wawancara dilakukan di panti asuhan tempat

SL ditugaskan sebagai kepala panti cabang Salatiga. Pada saat

wawancara pertama SL tengah mengurus anak-anak panti, karena saat

itu anak-anak sudah pulang sekolah. Saat melakukan wawancara SL

mengenakan pakaian suster lengkap dengan kerudung, kalung salib,

dan juga cincin di jari manisnya sebelah kanan.

Pada awal wawancara SL terlihat menikmati dan memahami topik

yang dibicarakan. Walaupun begitu dalam menjawab pertanyaan,

matanya tidak melihat langsung pada peneliti, melainkan melihat ke

arah halaman panti. Ini dilakukan terutama ketika SL berusaha

mengingat-ingat pengalamannya, tapi ini tidak berlangsung lama,

karena setengah perjalanan wawancara, dia pun dapat bercerita dengan

menatap langsung pada peneliti.

SL mudah menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, dan

selalu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dengan senyuman. Hal

ini lebih terlihat jelas ketika peneliti mengajak partisipan untuk

mengingat kembali perjalanan sebelum menjadi suster hingga menjadi

suster seperti sekarang ini. SL tersenyum saat menceritakan

pengalamannya sebelum menjadi suster. Ketika bercerita mengenai

ketertarikan untuk masuk komunitas AM dan sempat berbohong pada

para suster di tempat kerjanya saat di NTT, SL tertawa saat mengingat

kembali pengalamannya tersebut.

Saat peneliti bertanya mengenai kemungkinan keluarga yang tidak

setuju dengan keputusan yang diambilnya, SL pun terlihat sedih saat

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

52

menceritakan ada keluarganya (pamannya) yang melihat sebelah mata

pekerjaannya dalam melayani anak-anak. Ini sangat terlihat kontras dari

sikapnya saat menjawab pertanyaan sebelumnya yang selalu diselingi

dengan senyuman, berbeda dengan saat menjawab pertanyaan

mengenai pamannya itu, SL tidak tersenyum dan menjawab dengan

suara yang lebih pelan.

Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 23 November

2012, pada pukul 11.30, masih dilakukan di panti asuhan yang sama.

Pada wawancara yang kedua kali, SL semakin terbuka bercerita

mengenai pengalaman hidupnya dalam proses memutuskan hidup

membiara menjadi suster. Hal ini terlihat dari cerita SL yang lebih

mendetail mengenai respons-respons yang diterimanya dari keluarga

dan teman-teman mengenai keputusan yang diambil.

Kesedihan keluarga, pertanyaan dari teman-teman, bahkan

keraguan yang sempat dia alami saat harus berpisah dengan keluarga,

sekaligus rasa senang karena keinginannya menjadi seorang suster dan

melayani anak-anak cacat di panti asuhan dapat terwujud, dapat

diceritakan SL dengan sangat lancar dan jelas. Saat diajukan

pertanyaan, Selama wawancara dilakukan, SL pun dalam menjawab

pertanyaan memandang langsung pada peneliti sehingga jalannya

wawancara pun terlihat lebih nyaman lagi, ini juga terlihat dari sikap

duduk SL yang menyandarkan punggungnya pada sofa.

Wawancara yang ketiga dilakukan pada tanggal 11 Februari 2013,

di tempat yang sama, di panti asuhan, hanya dalam ruangan yang

berbeda tepatnya di ruang istirahat tamu (ruangan untuk menginap tamu

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

53

seperti ketua komunitas). Pada wawancara yang ketiga ini peneliti dan

SL duduk berhadapan di sebuah meja makan besar, partisipan terlihat

sedang tidak enak badan, karena terlihat dari wajahnya yang terlihat

pucat, dan bibirnya yang pecah-pecah, dan badan yang lebih kurus

daripada saat bertemu pada wawancara pertama dan kedua, hal ini pun

dikuatkan dari pernyataan SL yang mengatakan bahwa dirinya baru saja

sembuh dari sakit.

Pada wawancara yang ketiga, SL terlihat menjawab dengan sangat

pelan karena sedang masa pemulihan dari sakit. Akan tetapi ketika

peneliti menyinggung pertanyaan mengenai keluarganya, SL terlihat

senang dan tersenyum saat menceritakan aktivitas yang dilakukan jika

dirinya pulang. Kumpul dengan keluarga, saudara-saudaranya akan

datang walaupun mereka sedang bekerja. SL selalu terlihat gembira dan

diperlihatkan dengan senyumnya saat menceritakan mengenai

keluarganya.

Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai pimpinan yang

sangat perhatian dan penuh kasih sayang, SL bercerita dengan setengah

suara dan pelan saat menceritakan bahwa pimpinannya telah

meninggal. Dia pun menceritakan dengan antusias mengenai pimpinan

SL yang penuh kasih sayang, perhatian, seperti seorang ibu baginya.

Dan SL sangat sedih ketika menceritakan detik-detik terakhir SL

bertemu dengan pimpinannya sebelum meninggal, kesedihannya dapat

terlihat dari pandangannya yang memandang pada peneliti tapi

pandangannya seperti kosong seperti mengingat-ingat sesuatu, dan

kadang juga berhenti sebentar saat bercerita.

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

54

c. Analisa Verbatim

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh

beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara

psikologis, antara lain :

Analisis Verbatim P1W1

Makna Teks dan Kode

Sosok suster yang

anggun, bahagia,

berpakaian putih

meninggalkan kesan bagi

P.

Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu

kayak anggun banget, kayak bahagia begitu

berpakaian putih, kok bisa seperti itu bagaimana

ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).

Keteraturan dalam doa,

dan aktivitas saat tinggal

dalam asrama membuat

P semakin tertarik

menjadi suster.

Trus saya SD dan SMP kebetulan, SMP itu

kebetulan kepala sekolah kami suster. Kelas satu

kelas dua saya masih tinggal di rumah keluarga

terus kelas 3 saya masuk asrama, diasrama itu

digembleng bener-bener sama suster ya, hidup

doanya teratur, belajar, istirahat, makan jadi

teratur, terus saya jadi ada tertarik juga untuk

menjadi suster, tapi dalam hati saya, saya tidak

ungkapkan, jadi disimpan dalam hati, (P1W1 17-

25).

Harapan bapak besar,

agar P menjadi seorang

suster saja.

terus saat kelas 3 SMP itu, bapak besar saya masih

hidup, dia bilang kamu mau jadi suster ya, saya

tidak langsung bilang iya, saya lihat dulu kalau

saya memang ada panggilan saya mau masuk tapi

kalau tidak ada, saya tidak masuk, lalu dia bilang

“kamu pasti bisa” ….(P1WI 25-30).

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

55

Peraturan di asrama yang

lebih bebas ketika SMA

membuat P kehilangan

minat untuk hidup

membiara.

Sebenarnya saya SMP itu di kota di Ende, tapi

saya takut kalau meneruskan SMA di kota saya

tidak bisa belajar, jadi ya biar nanti saja jika

memang orang tua punya biaya untuk kuliah saya,

kuliahnya nanti baru di kota, jadi saya memilih

SMA di desa saja. Terus saya SMA di Bai, disana

memang asrama tuh bebas tidak ada diatur-atur

lagi kayak di asrama seperti waktu SMP, paling

hari minggu, terus doa pribadi, misa jumat pertama

itu juga ada. Ya namanya apa ya, udah SMA itu

kan pergaulan juga sudah, apa ya… pacaran tu,

juga ada memang, dan memang panggilan saya itu

hilang disana, saya tidak ada panggilan lagi (P1WI

30-42).

Kehilangan minat

membuat P menolak

ajakan hidup membiara

saat SMA.

He…eh, sempat hilang…hilang…, ya mungkin

pergaulan juga ya, dan teman-teman juga kita

hidup diluar tidak terarah, asrama memang ada

tapi kan, kepala asramanya orang awam, kita

bebas, mau belajar kita belajar sendiri, masak

sendiri, asrama itu kan kayak kost-kostan gitu.

Waktu itu juga ada dari salah satu kesusteran

disana, melakukan aksi panggilan, tapi memang

kami gak ada tertarik, kami tidak ada satu pun

yang daftar, tidak ada, dan saya saat itu tidak ada,

tidak ada niat lagi ke situ kayak hilang gitu (P1WI

45-55).

Ketidakberadaan biaya

untuk kuliah membuat P

lebih memilih bekerja di

biara SPSS daripada

Setelah itu saya tamat, keluarga saya itu kan tidak

mampu untuk biayai kuliah, sudah saya

memikirkan begini, kalau saya di luar saya tidak

bisa untuk bekerja seperti orang di luar kan di luar

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

56

bekerja di luar. itu kerjanya macam-macam ya, ya selain dulu kan

masuk MUDIKA, kan masuk MUDIKA muda-

mudi Katolik itu kegiatannya juga banyak

berkebun, bercocok tanam, nah kalau kita di luar

itu hidupnya apa ya, itu orang tidak lama hidupnya

akan cepat menikah, ya kadang tergantung juga

dari keputusan pribadi seseorang, saat itu saya

tidak mau tinggal di luar sudah, waktu itu saya

juga pingin kerja, dan saya waktu itu bekerja di

SPSS, kerja di Biara SPSS di Ende, kerja sebagai

karyawati, satu bulan saya percobaan di dapur

memasak, (P1WI 55-69).

P enggan untuk masuk

dalam hidup membiara

di biara SPSS karena

merasa tidak sesuai

dengan minatnya.

Ada juga kami sempat dekat juga dengan calon

suster SPSS, teman saya itu ajak saya “ayo masuk

sini, ikut di SPSS dengan saya (menjadi suster),

saya jawab “saya kalau di SPSS tidak bisa”, terus

dia bertanya, lalu mau masuk dimana, “ya saya

lihat dulu, mungkin ada biara yang cocok untuk

saya”, saya bilang begitu (P1WI 74-80).

Kekhasan kehidupan

membiara SPSS tidak

menarik bagi P.

SPSS itu, Abdi Roh Kudus, jadi mereka dalam

biara itu, satu kamar sendiri, hidup dalam

biara,mereka tidak seperti kami, di dalam itu

ruangan khusus untuk mereka kamar tidur sendiri,

kamar mandi sendiri, pakaian dicucikan oleh

karyawati, jadi namanya biara itu kan hidup dalam

tembok biara, nah kalau kami kan hidup di tengah-

tengah masyarakat, hidup membaur dengan umat

dengan masyarakat (P1WI 83-90).

P tidak merasa tertarik

masuk dalam hidup

Belum, memang teman saya itu mengajak masuk

di biara SPSS, dan waktu itu ada empat biara lain

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

57

membiara di biara yang

ada di Ende.

yang ada di sana, tapi keempat ini saya tidak ada

tertarik, saya tidak ada satu pun yang saya tertarik.

(P1W1 93-96).

Pertemuan pertama kali

P dengan suster AM

yang datang berkunjung

ke SPSS.

Terus tiba-tiba tahun 1994, saya kerja di SPSS itu

sejak saya tamat 92, angkatan 92, saya kerja sejak

bulan Juni, dan kebetulan saat itu ada tiga suster

dari AM untuk cari panggilan, cari panggilan kan

tidak ada keluarga, tidak ada umat yang mereka

kenal untuk menginap, nah mereka nginap di SPSS

yang kebetulan saya kerja di sana, dan dari ketiga

suster ini ada teman saya yang sama-sama tamat

SMA dan satu kelas (P1W1 96-104).

P mencari informasi

mengenai komunitas AM

dan visi misi AM.

Saat bulan Juni saya sempat pulang, dan saya

tanya pada kakak ipar saya mengenai teman saya,

dan katanya dia sudah di Malang, sekarang dia

sudah pakai kerudung, pakai pakaian, sudah terima

cincin, dan salib, nah saya bingung kan namanya

masuk biara kan ada prosesnya, prosesnya itu kan

2 tahun 3tahun itu baru terima pakaian, terima

kerudung, terima cincin, terima kalung salib, tapi

kok langsung, saya penasaran, biara apa sih, saya

penasaran. Tapi saya tidak tahu visi misinya apa,

karyanya apa saya belum tahu, dan tiba-tiba suster

ini datang, saya tu tidak tahu, apa memang

kehendak Tuhan juga tiba-tiba ketemu dengan

teman saya itu, (P1WI 101-117).

Visi dan misi melayani

anak-anak cacat dan

hidup bersama dengan

mereka membuat P

setelah itu saya bertemu dengan ketiga suster ini,

dan wawancara dan mereka juga kasih brosur, dan

dijelaskan visi misinya hidup bersama dengan

anak-anak, kita ini melayani anak-anak cacat,

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

58

tertarik dan

merenungkan kembali

panggilannya.

hidup serumah dengan mereka. Sudah, saya tu

pingin, sudah saya masuk disini saja, saya tuh

pingin melayani seperti ini (P1WI 117-123)

P memberitahukan

keputusannya pada

keluarga lewat surat.

Saat saya ambil keputusan masuk dalam AM, saya

kirim surat ke orang tua, saya minta ijin ke mereka

(P1WI 123-125). Saya minta persetujuan dari

orang tua, mereka setuju, ya sudah (P1WI 132-

133).

P menetapkan hatinya

pada panggilannya untuk

melayani di AM

walaupun ada tawaran

untuk kuliah.

Iya, hanya saya sendiri, dan memang ditempat

saya itu satu-satunya susternya baru saya, kalau

imamnya 2 tapi susternya baru saya. Saat

menerima keputusan, saya langsung, saya juga

sempet bohong ya, sempet bohong sama suster

yang disana SPSS, saya sebenarnya sudah

direncanakan dikuliahkan untuk kebidanan, sudah

daftar, sudah tes tinggal tunggu masuknya, tapi

saya punya panggilan lebih kuat, akhirnya saya

tinggalkan untuk profesi itu untuk kemudian

masuk di AM (P1WI 136-145).

Adanya konflik pada

perasaannya antara

senang dan sedih saat

menjalani pilihannya.

Perasaan waktu itu, ada perasaan dua-duanya, ada

perasaan senang ada perasaan pingin pulang juga

(P1W1 166- 167).

Perasaan senang

impiannya menjadi

suster tercapai.

Senang melihat anak-anak, bertemu dengan suster-

suster yang lain, bergabung, dan bisa sampai disini

(Malang), impian saya tercapai, maksudnya saya

kan punya cita-cita ingin menjadi suster kok bisa

tercapai seperti itu perasaan saya waktu itu (P1WI

169-173).

Perasaan sedih saat Terus tidak senangnya waktu itu saya, kalau saya

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

59

teringat dengan keluarga

di rumah, terutama

dengan ibunya.

sakit, saya ingat semua di rumah, soalnya kalau

saya sakit saya ingat semua dirumah yang lebih

saya ingat itu mama, kalau saya sakit itu di rumah

mama saya pasti ada (P1WI 173-177).

Keluarga memberikan

ijin dan dukungan yang

sangat besar pada

keputusan yang P ambil.

Gak tau ya, waktu itu tu setelah saya mengirim

surat ke rumah, misalnya saya mengirim surat hari

ini, besok tuh mamak saya, kakak saya nomor 3

sama nomor 5, sama adek saya yang bungsu

mereka langsung datang ke Ende (sambil

tersenyum), saat mereka sampai sana saya tuh

kaget, kenapa harus datang, lha mamak saya

bilang, kan surat saya mereka baca bersama

keluarga, mereka minta persetujuan bersama-sama,

jadi ini dia punya niat seperti ini apakah kita mau

mendukung dia, terus mereka serentak mengatakan

iya, ya kalo ini memang sudah jalannya mereka

mendukung, ya mereka bilang kalau memang

sudah punya pilihan seperti ini ya jalani terus,

jangan menoleh ke belakang, jangan ingat kami,

hidup kami seperti ini, kamu harus menjalani

hidup kamu disana (P1WI 197-212).

Ketika harus berpisah

dengan keluarga P

merasakan kesedihan

dan keraguan pada

kemampuannya untuk

menjalani hidup

membiara.

Ya rasa sedih ada ya, karena disana itu kalau ada

anaknya yang mau masuk biara, biasanya kumpul-

kumpul ya, kumpul-kumpul keluarga, umat, untuk

doa bersama, terus acara makan-makan bersama,

saya juga waktu itu dirumah tidak lama, cuma 3

malam dan karena sejak lama saya hidup dalam

asrama, waktu itu kan kita makan-makan bersama

sebagai perpisahan, dalam hati saya juga sempat

saya mampu tidak ya menjalani ini, (P1WI 215-

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

60

233).

P selalu mengingat

dukungan dan doa dari

keluarga untuk dirinya.

tapi karena doa keluarga dan pesan dari bapak

besar saya yang mengatakan “ingat pilihanmu”

(P1WI 233-224).

P menghadapi situasi

dimana ada anggota

keluarga yang

menyayangkan

keputusannya untuk

hidup membiara.

Iya, tapi memang ada saudara, bukan dari keluarga

inti tidak setuju ya, sempet mereka berkata bahwa

begini “ah sekolah-sekolah sudah sampai SMA

kok tidak antu orang tua malah masuk biara, kan

kalau disana mereka berpikir kalau masuk biara

kan terlepas ya dengan keluarga, tidak melihat

kebelakang lagi, dan hidup untuk berkarya (P1WI

226-232).

Pengalaman P saat

berkarya melayani umat.

Terus ada pengalaman saat saya berkarya melayani

orang-orang yang di desa saat itu belum ada

kendaraan, tiap hari saya berjalan kaki pergi untuk

berkarya, pergi untuk mengunjungi dan terapi

anak-anak di rumah-rumah mereka masing-masing

(P1WI 232-237).

P menghadapi salah satu

anggota keluarga yang

menyayangkan pilihan

yang diambilnya,

walaupun begitu P telah

menetapkan hatinya pada

keputusannya.

Sempat om kandung bilang begini, “kenapa tidak

ikut masuk sama teman-temanmu di SPSS kan

enak, kenapa memilih panggilan seperti ini tiap

hari jalan terus kok miskin sekali”, sampai bilang

begitu, lalu saya bilang, “ya tidak apa-apa om,

Tuhan pasti punya rencana untuk saya, tidak

mungkin Tuhan meninggalkan saya, saya pilih

jalan ini, pasti Tuhan akan membantu saya (P1WI

237-244).

Analisis Verbatim P1W2

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

61

Makna Teks dan Kode

Bapak besar memiliki

harapan, agar P menjadi

seorang suster.

Saya ndak bilang, hanya waktu itu dia sempet

bilang gini, tapi saya gak jawab iya, dia bilang

“nanti kamu jadi suster saja ya” bilang gitu (P1W2

28-30).

P menolak untuk

melanjutkan SMA di

kota karena takut tidak

dapat belajar dengan

baik.

Sebetulnya dia sudah daftarin saya sekolah di

Ende, tapi dalam pikiran dan hati saya kan, ah saya

tidak mau sekolah di kota, ketimbang saya sekolah

di kota, nanti saya hanya bermain saja, pergi jalan-

jalan terus saya tidak ingat belajar, lebih baik

sekolah di desa dulu, nanti kalau memang ada

biaya ya kuliah di kota boleh, tapi saya belum

sempet tamat beliau sudah duluan meninggal ya

sudah (P1W2 30-37)

Perasaan kehilangan

pada diri P saat bapak

besar meninggal dan

kecewa karena bapak

besar tidak bisa melihat

P menjadi suster.

Ndak bilang, iya dia bertanya seperti itu tiba-tiba.

Makanya saya saat beliau meninggal itu saya

sangat kehilangan sekali, awal saya menjadi

seorang suster ini, saya sempat, aduh seandainya

bapak besar masih ada, saya memang paling

bahagia. Saya tuh seperti dilindungi, bapak besar

ini kan orangnya dengan siapa saja tuh orangnya

baik gitu (menekankan kata-katanya) (P1W2 41-

48).

Adanya kebiasaan sering

mengunjungi bapak

besar di biaranya.

Iya, gimana ya, bapak besar ini, saya tidak bisa

mengungkapkan dengan kata-kata, saya dan beliau

itu dekat sejak SD, tapi saat SD belum terlalu

dekat, saat SMP itu, saat SMP kan saya sering

pergi ke biaranya, kalau libur tuh sambil pergi ke

biaranya pergi liburan disana, kadang-kadang 1

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

62

minggu, pernah juga SMP dia datang mengunjungi

saya (P1W2 58-64).

P menyampaikan

keputusan membiara

lewat surat kepada

keluarga.

Waktu itu kan saya tulis surat, jelas di rumah kalau

mereka menerima surat itu mereka kumpul semua,

satu orang yang baca, yang lain dengarkan (P1W2

77-79).

Perasaan takut tidak

diperbolehkan masuk

AM oleh teman-

temannya membuat P

berbohong pada teman-

temannya.

Kalau teman-teman itu.....(sambil tertawa), teman-

teman itu mereka gak tau ya, kan saya tutup mati,

maksudnya saya gak mau beritahu gitu, jadi

disimpen sendiri, tapi temen-temen saya itu

kayaknya feelingnya kuat, soalnya kan mereka

melihat kok saya dekat banget sama suster yang

baru datang itu, mereka bilang, “kamu mau jadi

suster itu ya (AM)?”, “siapa bilang saya mau jadi

suster?”, “kok deket gitu?”, saya bilang enggak, ya

akhirnya mereka tahu sendiri saat 1 minggu

sebelum saya keluar dari situ (SPSS), bahkan

suster yang di biara itu (SPSS) saya bohong sih,

seandainya saya tidak bohong mungkin saya tidak

diijinkan untuk masuk AM (P1W2 82–94).

Kebohongan P

dipertanyakan oleh

teman susternya di biara

tempatnya bekerja

(SPSS)

Persis 1 minggu saya mau keluar, suster itu bilang

“saya tahu kamu bohong”, terus saya bilang

“suster kalau saya tidak bohong mungkin saya

tidak bisa keluar dari sini”, bahkan saya bilang ke

mereka saya mau kuliah di Kupang, mereka bilang

“buat apa kuliah di Kupang jauh-jauh, udah di sini

kamu sambil kerja sambil kuliah, biar nanti

biayanya kami yang biayai.” (P1W2 94 – 101).

Kakak-kakak P

membantu P meyakinkan

Yang berperan ya kakak-kakak saya, mereka yang

mengumpulkan keluarga, mereka terus bilang

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

63

keluarga yang lain untuk

mendukung P.

kalau memang panggilan dia, kita harus

mendukung (P1WI 106-108).

Pada saat perpisahan,

keluarga merasa sedih

dan mempertanyakan

keputusan P.

Saat ada kumpul-kumpul keluarga sebelum saya

pergi, ya mungkin mereka juga sedih ya,

bagaimana saya yang tidak pernah kumpul

keluarga, sudah mau pergi lagi, saya waktu itu

sedih juga ya. Waktu itu mereka juga pernah

bilang kok saya pergi jadi suster, (P1W2 108-113).

Kemantapan P untuk

tetap setia pada

panggilannya.

tapi saya menjanjikan, saya minta doa, saya akan

jalan terus kedepan, dan saya harap keluarga

dirumah juga baik-baik (P1W2 113-116).

Kakak nomor enam

menjadi orang pertama

yang mengetahui

keputusan P.

Yang paling dekat dengan saya ya, maksudnya

kalau saya punya masalah atau apa cerita gitu itu

kakak yang nomor 6, kalau memang ada masalah,

saya cerita sama dia, dan itu juga yang pertama

kali tau saya mau jadi suster dia juga, kan dia juga

waktu itu jadi salah satu karyawan di biara di Ende

(P1W2 118-123)

Rasa terkejut P saat

melihat saudara-

saudaranya dan ibunya

datang untuk mendukung

pilihan P.

Saya tidak tahu waktu itu saya tidak ada dirumah,

tapi waktu itu lewat 2 hari setelah saya kirim surat

ke rumah, saya juga kaget mamak, dan kakak saya

nomor tiga dan nomor lima, sama adek bungsu

saya itu datang ke biara ke Ende, saya kaget, lho

mereka ni buat apa (P1W2 126-131).

Rasa sedih dirasakan

oleh ibu dan P karena

akan berpisah dan hidup

jauh.

Terus mamak saya langsung bilang sambil

menangis, dia bilang begini, ya saya datang karena

dekat disini, kalau besok-besok sudah pergi jauh

tidak mungkin saya bisa datang gitu. Ya saya mau

bagaimana saya harus mengikuti keputusan ini

(P1W2 131-135).

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

64

Kehidupan yang jauh

dari keluarga tidak

membuat P ragu dengan

keputusan yang

diambilnya, walaupun

tetap membuat P sedih.

Saya tidak ada rasa ragu ya, mungkin kan saya

punya keinginan itu dari tamat SMA itu, setelah di

SPSS itu, mau masuk itu juga tidak mungkin, saat

waktu itu ada orang cari panggilan di AM ini, saya

pikir ini ni. Ya saat diadakan perpisahan dengan

keluarga itu, memang sedih, saya memang sedih

tapi ya…. (P1W2 141-146).

Dukungan dari keluarga

menjadi penentu P

mengambil keputusan

karena P merasa

keluarganya lebih tahu

dirinya.

Kalau mungkin mereka gak setuju, ya saya ikut

mereka, yah mungkin mereka tau saya, mereka

juga lebih tau hidup saya, kalau mereka tidak

setuju tidak mungkin saya… (P1W2 150-153).

Perasaan kecewa

andaikan keluarga tidak

mendukung keputusan P.

Kalau tidak diijikan pasti kecewa berat ya, kecewa

sekali kalau memang gak diijinkan, yang pasti

kalau gak diijikan saya gak seperti ini, saya gak

tau dimana (P1W2 156-158).

Walaupun ada

kesempatan untuk kuliah

P tetap memilih menjadi

suster.

Mungkin saya jadi bidan, karena di SPSS

sebenarnya saya dikuliahkan, tapi saya tidak jadi

masuk karena saya lebih memilih di AM (sambil

tertawa) (P1W2 162-164).

P merasakan bahwa

pilihannya hidup

membiara dalam

komunitas AM adalah

sudah jalannya Tuhan

(takdirnya).

saya lebih kuat keinginan untuk jadi suster, saya

juga pernah ini gak tau mimpi atau hayalan saya,

waktu saya mau masuk ke sini itu (AM), saya

pernah bermimpi Bunda Maria datang dia itu

pegang kepala saya, tidak omong apa terus hilang,

waktu itu saya tidur, lalu saya bangun saya itu

ingat mimpi itu waktu itu saya masih di SPSS,

waktu itu saya cerita pada mamak saya, lalu saya

ingat mimpi ini saat saya mau masuk ke biara AM

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

65

(P1W2 165-171).

Rasa percaya bahwa

keluarga mendukung dan

bangga dengan

keputusannya.

Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti

mereka senang sekali karena diantara sembilan

bersaudara ada yang mau jadi suster, itu pasti

mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2

174-177 ).

Kehidupan yang damai

saat P melihat kehidupan

seorang suster senior.

Iya ya, waktu itu saya melihat suster ini tidak ada

beban dalam hidupnya, kok kayaknya hidupnya

damai hidupnya aman, maksudnya kok kayaknya

tidak ada beban dia mikir apa gitu, mungkin hanya

mikirnya berdoa berdoa gitu, suster itu hidupnya

kayak tenang seperti itu (P1W2 186 - 191).

Keteraturan berdoa saat

bekerja di SPSS

membuat minat P hidup

membiara kembali

muncul.

Waktu itu kan pernah yang saya bilang pernah

hilang kan (saat SMA keinginan hilang), ya terus

kan tamat SMA kan kerja di SPSS, di SPPS itu

kan muncul lagi, kan di SPSS kan hidup doanya

teratur, ada jam doa, jadi keinginan saya muncul

lagi (P1W2 199-203).

P menolak tawaran

menjadi suster di SPSS

karena P masih mencari

biara yang cocok bagi P.

Waktu itu kan ada teman saya yang juga calon

suster SPSS mengajak saya untuk masuk menjadi

suster SPSS, tapi saya tidak mau, saya bilang

mungkin ada biara yang cocok dengan saya. Ya

sudah dia bilang, saya mau masuk SPSS karena

saya memang ingin masuk SPSS kata dia. Sampai

sekarang kami masih sering kontak (P1W2 203-

209).

Minat yang semakin kuat

karena ingin melayani

anak-anak cacat.

Ya itu tadi saya tertarik lewat brosur, kan suster

yang kepala, yang tiga itu kan jelaskan mendetail,

hidup serumah dengan anak, sekamar, satu meja

makan sama anak-anak, mereka kan yang cacat,

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

66

yang kakinya buntung, yang tidak punya tangan,

saya tuh senang jadi suster untuk melayani mereka

(P1W2 212-217).

Keraguan dari teman,

saat P mengambil

keputusan masuk dalam

AM.

Memang suster SPSS yang wakil itu sempet bilang

saya, “apakah kamu bisa merawat anak-anak

seperti itu”, ya saya jawab, “saya coba dulu jikalau

saya tidak bisa ya saya mundur, tetapi suster,

selagi saya mampu dan kuat saya bisa.” (P1W2

220-224).

Bapak besar

mempercayakan P pada

teman susternya untuk

dibimbing menjadi

seorang suster.

Saat SMP, kebetulan suster di asrama SMP saat itu

juga dekat dengan bapak besar saya, sempet pesan

sama suster itu, ya nanti ponakan saya itu dia mau

jadi suster tolong kamu bimbing dia, padahal saya

gak bilang punya keinginan menjadi suster (P1W2

230-234).

Adanya keraguan orang

lain pada diri P dalam

menjalani panggilannya

tidak membuat P

menyerah pada

keputusannya untuk

tetap melayani di AM.

Makanya saat saya ketemu sama ibu asrama saya

itu dia kaget (sambil tertawa), dia kira saya di

SPSS karena kan pernah ketemu juga di SPSS, dia

kaget saya jadi suster di AM. Kan dia kuliah di

UPI Malang, dia kaget, dia keluar kampus tuh dia

ngeliat kami, kami tuh kan ada lima, namanya

masih calon kan kami masih bersih-bersih halaman

itu tuh, kan kampusnya berhadapan dengan rumah

pusat (AM), ya udah dia kaget, kan sempat

ketemu, dia bilang “hah kok kamu di AM?”, dia

sempet marah-marah juga, tapi saya bilang “ya

suster saya masuk AM”, terus dia bilang “kok

kamu bisa dan kuat?”, ya saya bilang ya biar saja.

(P1W2 234-247).

Kesulitan keuangan Yah, sempet hilang juga, waktu, saya tuh

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

67

membuat P tidak ingat

dengan minat hidup

membiara.

sekolahnya putus-putus, yah namanya orang tua

tidak mampu ya, saya tuh kelas 1 ke kelas 2, saya

sempat keluar, bahkan saya saat ujian sempat tidak

ikut karena SPP belum dibayar, yah namanya juga

dari keluarga petani ya, tapi saya tuh memang

punya niat untuk sekolah, dulu sempat saya putus

asa, keinginan untuk menjadi suster sempat gak

ingat karena banyaknya masalah (P1W2 250-257).

Meninggalnya bapak

besar, membuat P

semakin memiliki

keinginan kuat menjalani

hidup membiara.

Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat

bapak besar saya meninggal itu, itu kayaknya saya

ada apa mungkin, tapi saya tidak ungkap, saya

tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati saya

tidak tahu (P1W2 258-261).

Saat bapak besar

meninggal P berjanji

untuk menjadi suster

seperti yang bapak

besarnya inginkan.

waktu itu memang sempet saya bilang gini “bapak

saya ikut bapak seperti yang bapak omong ke saya

itu, tapi memang saya tidak ungkap, waktu itu saya

hanya menangis saja, hanya menangis di depannya

dia itu, terus setiap kali saya pulang itu pasti pergi

bakar lilin, janji pada bapak, minta doa untuk saya

tetap kuat seperti bapak gitu (P1W2 261-268).

Adanya tantangan yang

berat pada awal-awal

hidup membiara.

Pernah, ada…ada, saat awal-awal itu memang

banyak tantangan berat, pernah saya itu benar-

benar gak kuat, tapi karena doa dari teman-teman,

saya sendiri, seandainya orang mungkin kalau

tidak kuat mungkin keluar (P1W2 278-282).

Mengingat kembali akan

panggilannya saat ada

tantangan dari berbagai

Situasi komunitas, situasi pribadi, dari lingkungan,

kadang dari keluarga, kadang saya pikir untuk apa

saya jadi suster kalau keluarga saya ada masalah,

tapi memang saya ada kekuatan dengan

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

68

Analisis Verbatim P1W3

pihak. mengingat motivasi awal saya (P1W2 284-288).

Usaha yang P lakukan

seperti mengingat

motivasi awalnya untuk

tetap pada panggilannya

Dari komunitas, mereka bantu doa, bantu sharing,

mengingat kembali motivasi awal. Kalau saya

putus asa, kalau saya merasa berat keidupan

kedepan itu, saya mengingat motivasi awal, sudah

sampai seperti ini sayang jika dilepaskan (P1W2

290-294).

P semakin mantap

dengan pilihannya

walaupun menemukan

tantangan.

Hahaha….. iya, saya merasa saat saya ada masalah

tantangan malah saya semakin kuat. Tuhan itu baik

sama saya setiap saya doa itu selalu terkabul,

untuk tantangan kedepan dapat membuat saya

lebih kuat lagi (P1W2 296-300).

Makna Teks dan Kode

Keluarga kerap kali

mendukung P lewat

doa.

Mereka mendukung saya lewat doa dan memotivasi

saya (P1W3 9-10). Ya mereka mendukung saya

lewat doa, ya mungkin bukan doa secara

berkelompok, tapi mereka ada yang berdoa secara

pribadi mendoakan saya, kalau saya pulang mereka

keluarga itu kumpul ya seperti itu mba (P1W3 13-

16).

Keputusan keluarga

menjadi yang utama

bagi P.

Yah kalau memang mereka gak mendukung saya,

gak mungkin saya lanjut terus (P1W3 18-19).

Orang tua

menginginkan agar P

Wah saya sama orang tua saya deket banget mba,

bahkan bapak saya itu inginnya saya tu tugasnya di

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

69

bertugas di daerah NTT

saja.

sana aja biar deket sama keluarga, kalau saya

pulang liburan atau pas ada tugas di sana, mereka

inginnya saya gak cepet-cepet pulang ke sini

(salatiga), biar saya lama-lama di sana. Menjelang

saya selang satu minggu mau pulang mereka tu

kayak sedih banget, mereka senang kalau saya

dekat mereka. Mereka sangat menyayangi saya

(P1W3 22-30). Mereka pun mendukung, mereka

itu sangat sayang sama saya (P1W3 32-33).

P akan berfokus pada

motivasinya saat

menghadapi tantangan

dalam hidup membiara.

Saya itu ya saya tuh selalu ingat kalau saya

mendapatkan tantangan yang berat saya selalu

maju, pokoknya kalau saya sepertinya mau keluar

saya inget sama… ih kenapa saya hidup seperti ini,

kok kenapa saya seperti ini, tapi saya ingat lagi

yang menyuruh kau masuk itu siapa kan saya yang

mau, saya berpikir di situ, saya mikir lagi untuk apa

saya memilih hidup di luar lagi pula toh kehidupan

di luar juga sama dengan orang hidup di dalam

komunitas (P1W3 38-46)

Tantangan dalam hidup

membiara dijadikan

motivasi untuk tetap

setia.

Saya merasa kalau saya mendapatkan tantangan

saya merasa lebih… apa ya… saya melihat kembali

apa… hikmahnya di balik tantangan itu bahwa

dengan tantangan ini memberi lebih…lebih

memberi kekuatan atau mendorong saya agar lebih

kuat untuk bisa menghadapi masalah tersebut

(P1W3 46-52).

Permasalahan dalam

hidup membiara dibawa

P dalam doa dan

renungan.

Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus

saya duduk, duduk di depan kapel itu, saya duduk

diam…saya duduk diam saya gak ngomong apa-apa

saya berdoa…… (mengucapkan doa yang pernah

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

70

dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya

Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan

jalan keluarnya memberikan yang terbaik, jadi saya

berdoa seperti itu, pokoknya kalau saya mendapat

tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di kapel di

kamar dan merenung dengan tenang (P1W3 62-71).

Hidup doa sebagai cara

menghadapi masalah

yang P alami dengan

komunitas maupun

dengan pekerjaannya.

Saya kalau punya masalah dengan komunitas,

dengan teman, atau mungkin dengan perawat,

misalnya mereka melakukan kesalahan, itu pertama

saya diam dulu, saya lihat mereka apakah mereka

sadar kesalahan mereka kalau mereka gak sadar

saya beritahu, kenapa saya diam seperti ini karena

kamu begini, lalu saya bawa ke dalam doa, ke

dalam doa, Tuhan seperti ini keadaannya kiranya

Tuhan ampuni mereka dan juga saya, dan Tuhan

buka jalan buka hati mereka biar mereka menyadari

kesalahan yang mereka lakukan (P1W3 75-85).

Dengan berdoa P

merasakan kelegaan

dari segala

permasalahanya.

Saya itu kalau punya masalah saya ke kapel duduk

diam saya merenung, itu kayaknya lega, itu

kayaknya masalah-masalah itu semuanya habis

(P1W3 85-88).

Aktivitas dalam

komunitas sebagai cara

mengatasi masalah.

Saya kalau mengalami fase pasang surut begitu saya

menyibukan dengan pekerjaan dan juga berdoa

seperti tadi, nanti lupa sendiri (P1W3 94-96).

Dukungan diperoleh

dari pimpinan dan

teman komunitas.

Oh ya tentunya pimpinan, pimpinan terus

memotivasi kami, teman juga (P1W3 99-100).

Pimpinannya dalam

biara, yang penuh

perhatian dan kasih

Saya memandang pimpinan, pimpinan saya itu

sebenarnya sudah meninggal, pimpinan saya itu

aduh… seperti figur seorang ibu, saya anggap

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

71

sayang seperti sosok ibu

bagi P.

seperti ibu saya sendiri, orangnya kan orang Jawa

ya, lembut dia, kalau kita sakit atau kita ada apa

orangnya itu perhatian, terus kalau saya pergi libur

itu dia bilang “ya baik-baik ya, sehat, nanti pulang

ya (balik lagi)” takut gak balik lagi, nanti pulang ya

jangan di sana terus (P1W3 102-110).

Peranan pimpinan biara

bagi P dalam

menghadapi masalah.

Dia umur 70an, setiap bulan itu mesti ke makamnya

pergi doa gitu, kadang sampe sekarang pun walau

beliau gak ada, kalau saya lagi kritis sakit atau ada

suster yang sakit saya doa sama dia, “aduh ibu

kenapa sih kok suster ini kakak ini kok sakit terus,

apa yang harus saya buat”, terus “ibu tahu kan

situasi sekarang seperti ini”, kadang saya ngomong

seperti berhadapan padahal saya ngomong pada

gambarnya hehehe (sambil tertawa), atau kalau saya

ke Malang saya ngomong “ibu saya mau ke

Malang, sampe ketemu di Malang ya” giu saya

ngomong (P1W3 112-122).

Meninggalnya pimpinan

biara sebagai

kehilangan besar bagi P.

Iya saya dekat banget, waktu itu kan pas saya

ditugaskan di sini, beliau sudah digantikan kan

karena dia sakit-sakitan makanya di ganti, makanya

saya waktu itu saat hari rabu ketemu saya..ketemu

saya.. kok rabu besoknya dia meninggal itu, kok

sedih banget saya. Sebelum meninggal itu saya

berangkat dari sini ke Malang, saya itu peluk dia,

dia tanya “kok kamu ke sini”, kan saya panggil ibu,

saya bilang “iya bu saya ke sini, mau beli

keperluan”, dia bilang “kamu baik-baik ya”, “ibu

doakan saya ya”, dia bilang “iya saya doakan

kamu”. Saya diberitahu minggu besoknya udah gak

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

72

d. Kategori

Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari

hasil analisis verbatim P1 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses

pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori

dari setiap makna yang muncul, yaitu :

1. Ketertarikan pada sosok suster saat masih di sekolah dasar.

2. Bapak besar menjadi inspirasi (significant other).

ada itu mendadak banget, sebelum saya tau itu saya

sedang mengerjakan laporan, saya gak tau apa dia

ingin saya kesana atau bagaimana, (P1W3 125-

138).

Kesedihan yang

mendalam ketika

pimpinan biara sakit

dan menjelang

meninggal.

saya itu melakukan pekerjaan itu kayak ngambang,

kayak gak ada pekerjaan yang bisa di buat gitu,

aneh dengan tinta mengetik kan baru beli saya

mengetik kok tidak keluar tintanya kok malah

kosong, padahal ini kan tinta baru, terus teman saya

ada yang sms Lud kamu ke sini ibu sudah kritis, iya

besok pagi aja, tapi mungkin ibu ingin saya pergi

kesana, saya ngetik itu bekerja itu tidak bisa.

Akhirnya saya doa, saya lepas pekerjaan saya pergi

ke Malang, sampe Jombang di bis itu saya

menangis, saya menangis, sebelum saya sampai

beliau sudah meninggal (P1W3 139-149).

Bagi P, pimpinannya

merupakan seorang

yang baik dan penuh

perhatian.

Setelah beliau meninggal saya pernah mimpi beliau

dua kali, datang menemui saya, dia bilang bilang

pada saya “kamu baik-baik ya”. Dia itu baik…

banget, perhatian banget (P1W3 149-153).

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

73

3. P melakukan pola coping menunda dalam mengambil keputusan

( d e f e n s i v e a v o i d a n c e ) membiara.

4. Kembalinya minat untuk hidup membiara setelah bapak besar

meninggal.

5. Terpanggil untuk melayani anak-anak cacat.

6. Respons yang positif dari keluarga inti.

7. Mengutamakan pendapat keluarga inti

8. Kebanggaan jika salah satu anggota keluarga ada yang hidup

membiara.

9. Perasaan keluarga dan SL saat harus berpisah.

10. Konflik batin saat membiara.

11. Membawa permasalahan dalam doa.

12. Berfokus pada motivasi awal saat menghadapi tantangan

13. Usaha-usaha P untuk setia pada panggilannya

14. Dukungan dari pimpinan dan teman seprofesi sangat berarti

15. Tidak ada keraguan lagi pada dirinya karena menjadi suster adalah

takdirnya.

e. Analisis Pengambilan Keputusan

Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari

pertemuan dengan seorang suster yang menimbulkan kesan yang

mendalam pada dirinya. Partisipan saat itu masih duduk di sekolah

dasar, dia mengunjungi bapak besarnya yang adalah seorang Pastor

SVD. Di biara itulah merupakan pertemuan pertamanya dengan seorang

suster senior yang sudah cukup berumur. Partisipan terpukau melihat

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

74

keanggunan suster itu dengan pakaian putih, dan segala atribut yang

suster senior itu pakai. Partisipan merasakan adanya kebahagiaan,

kedamaian, keamanan, dan kehidupan yang tidak ada beban pada suster

tersebut. Pertemuan itulah menjadi dasar ketertarikannya pada

kehidupan membiara, yang membuatnya ingin menjadi suster dan

memiliki kehidupan dengan unsur-unsur yang dimiliki suster senior

tersebut.

Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu kayak anggun

banget, kayak bahagia begitu berpakaian putih, kok bisa seperti itu

bagaimana ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).

Keinginan menjadi suster, partisipan simpan dalam hatinya dan tidak

diceritakan pada orang lain. Ketika partisipan sudah beranjak remaja

keinginan menjadi suster tersebut masih disimpannya dalam hati, dan

menjadi semakin besar karena didukung dengan pola hidupnya ketika

di asrama.

Sejak SMP kelas tiga, partisipan tinggal di asrama sekolahnya. Di

asrama itu dipimpin oleh kepala asrama yang merupakan seorang

suster. Partisipan sangat senang dan nyaman dengan kehidupan di

asramanya, pola kehidupan yang teratur di mana kehidupan doa,

makan, istirahat, dan belajar yang sangat teratur membuatnya semakin

tertarik dengan hidup membiara. Keinginannya menjadi seorang suster

yang sejak kecil disimpan dalam hatinya, menjadi semakin besar

dengan pola hidup teratur yang dijalaninya di asrama. Selain itu minat

partispan pada kehidupan membiara dan menjadi seorang suster,

memperoleh dukung dari bapak besarnya yang berprofesi sebagai

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

75

pastor SVD. Bapak besar selalu berharap bahwa partisipan dapat

menjadi seorang suster, bahkan sebelum partisipan menceritakan

keinginannya menjadi suster, bapak besar seperti sudah terlebih dahulu

mengetahui keinginannya.

Dalam perjalanan hidupnya yang semakin beranjak dewasa,

partisipan mulai kehilangan minat untuk membiara. Hal ini terjadi pada

saat sekolah menengah atas. Saat SMA pun partisipan tinggal di asrama

sekolahnya, adanya perbedaan peraturan di asrama SMA yang tidak

seketat dengan peraturan saat di asrama SMP membuat dirinya

melupakan minatnya pada kehidupan membiara. Kehidupan doa dan

aktivitas dalam asrama SMA lebih bebas, dan hal ini berdampak pada

kehidupannya yang lebih terasa bebas. Bahkan saat SMA, partisipan

memiliki pacar, sehingga keinginan untuk hidup membiara terlupakan.

Ketika kesempatan hidup membiara itu datang, dengan adanya aksi

panggilan sebuah kesusuteran ke SMAnya, dia bahkan tidak tertarik.

Pada saat itu dirinya benar-benar lupa akan keinginannya untuk

menjadi suster, dan ketika partisipan kelas tiga SMA, bapak besar

meninggal. Partisipan mengalami kesedihan yang mendalam karena

relasi yang dekat dengan bapak besar, dan saat itu dia pun teringat akan

perkataan bapak besar yang ingin dirinya menjadi suster. Dia pun

berdoa dan berjanji dalam hatinya untuk memenuhi harapan bapak

besar dengan menjadi seorang suster. Bagi partisipan bapak besar

menjadi seseorang yang menginspirasinya untuk mengambil keputusan

hidup membiara dan menjadi suster.

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

76

“Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat bapak besar saya

meninggal itu, itu kayaknya saya ada apa mungkin, tapi saya tidak

ungkap, saya tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati, saya

tidak tahu, waktu itu memang sempet bilang gini bapak saya ikut

bapak seperti yang bapak omong ke saya itu, tapi memang saya

tidak ungkap, waktu itu saya hanya menangis saja, hanya menangis

di depannya dia itu” (P1W2 258-265).

Peristiwa kehilangan bapak besar membuatnya kembali terpanggil

untuk hidup membiara, hal ini ditunjukan dengan partisipan yang

memilih untuk bekerja di biara SPSS di Ende, bekerja sebagai

karyawati di sana. Kehidupan dalam biara SPSS dengan hidup doanya

yang teratur dengan adanya jam doa, membuat minat untuk hidup

membiara dan menjadi suster semakin kuat. Akan tetapi hal itu tidak

serta merta membuat SL masuk mengikuti pembinaan menjadi suster di

SPSS. Beberapa tawaran dari temannya dan tawaran dari suster di biara

SPSS tempat partisipan bekerja, untuk menjadi suster di SPSS tidak

membuatnya tertarik untuk ikut. Partisipan merasakan dalam dirinya

bahwa dia belum menemukan biara yang cocok baginya, yang

membuat panggilannya semakin kuat lagi.

Dua tahun sudah sejak partisipan bekerja sebagai karyawati di

SPSS, dan pada tahun 1994 biara SPSS kedatangan tiga orang suster ke

Ende untuk mencari panggilan, ketiga suster tersebut berasal dari

komunitas AM. Dari ketiga suster tersebut, salah satunya merupakan

teman partisipan saat masih SMA dan sekarang telah menjadi suster di

komunitas AM. Hal itu yang membuat rasa keingintahuan SL yang

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

77

besar bagaimana bisa temannya itu dengan waktu yang singkat dapat

menjadi seorang suster. Rasa keingintahuan yang besar ini membuatnya

mencari informasi mengenai visi dan misi komunitas AM, hingga pada

akhirnya dia pun memutuskan untuk menemui ketiga suster tersebut.

Penjelasan mengenai visi dan misi, dan juga karya-karya AM di bidang

pelayanan pada anak-anak cacat membuatnya semakin tertarik, dan

pada akhirnya memutuskan untuk menerima panggilannya menjadi

suster AM. Partisipan merasakan dalam hatinya bahwa komunitas AM

merupakan tempat yang cocok untuknya, di mana dia dapat melayani

anak-anak cacat dan hidup bersama-sama dengan mereka, kekhasan

AM dengan karya-karya melayani umat secara langsung membuatnya

semakin tertarik dan mantap dengan keputusannya, karena pelayanan

seperti ini yang dicarinya.

“Sudah, saya tu pingin, sudah saya masuk di sini saja, saya tuh

pingin melayani seperti ini. Saat saya ambil keputusan masuk

dalam AM” (P1W1 121-124).

Orang pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya masuk

komunitas AM adalah kakak nomor enam. Partisipan dekat dengan

kakaknya ini, saat ada masalah biasanya kakak nomor enam ini yang

dijadikan partisipan sebagai tempat mengadu. Kakaknya ini juga

berkerja sebagai karyawati di salah satu biara di Ende. Ketika partisipan

mengirimkan surat ijin pada keluarganya di kampung, dia dalam

hatinya merasa yakin bahwa keluarga akan mendukung keputusannya

untuk membiara dan menjadi suster. Keyakinannya ini juga didasari

dari pandangan masyarakat di sana, yang menganggap bahwa suatu

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

78

kebanggaan jika ada anaknya yang masuk dalam hidup membiara, baik

menjadi pastor maupun suster.

Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti mereka senang

sekali karena diantara sembilan bersaudara ada yang mau jadi

suster, itu pasti mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2 174-

177).

Bagi partisipan dukungan dari keluarga merupakan hal yang sangat

penting, tanpa dukungan dari keluarga dia tidak akan berani melangkah

untuk lebih jauh lagi dalam hidup membiara. Keyakinannya bahwa

keluarga akan mendukung keputusannya sangatlah besar, partisipan

tahu bahwa keluarganya akan mengerti dan bangga dengan keputusan

yang diambilnya. Hal ini terbukti dengan kedatangan perwakilan

keluarganya ke biara SPSS dengan maksud untuk memberitahukan

padanya bahwa mereka sekeluarga mendukung dengan sepenuh hati

keputusan yang diambilnya. Akan tetapi ketika tiba saatnya berpisah

dengan, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga merasakan

kesedihan karena akan jauh dari partisipan. Keluarga pun sempat

mempertanyakan mengapa partisipan memutuskan manjadi suster, hal

ini juga membuat partisipan bersedih dan sempat ragu apakah dirinya

mampu menjalani kehidupan membiara. Keraguan dan kesedihan yang

dirasakannya ini terobati dengan mengingat dukungan yang sudah

keluarganya berikan dan pesan dari bapak besarnya sebelum

meninggal, yang mengatakan “ingat pilihanmu”. Ini yang membuatnya

tidak merasakan keraguan lagi saat harus berpisah dari keluarga dan

dengan mantap memutuskan untuk hidup membiara. Adapun keluarga

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

79

yang lain yang bukan merupakan keluarga inti memberikan respons

yang negatif dengan keputusan yang partisipan ambil, mereka

mempertanyakan keputusannya menjadi suster dan bahkan pamannya

meremehkan pelayanan yang partisipan lakukan.

Keraguan partisipan rasakan kembali pada awal kehidupan

membiara, dia merasakan konflik batin pada dirinya. Di satu sisi

partisipan merasa senang karena cita-cita sejak kecilnya tercapai dan

dapat bertemu dengan suster-suster dan dapat melayani anak-anak

cacat, akan tetapi di sisi lain ada perasaan sedih saat awal membiara

karena perasaan rindunya pada keluarga di NTT. Rasa rindu akan

kehadiran ibu yang selalu ada jika partisipan jatuh sakit, perhatian dan

kasih sayang ibunya sempat membuatnya ingin pulang saja. Masalah

dan tantangan yang SL rasakan di dalam komunitas membiara pun

dirasakan begitu berat, fase pasang surut motivasi pun kadang kala

terjadi di perjalanan hidupnya dalam biara. Ketika keinginan-keinginan

untuk menyerah dirasakan olehnya, partisipan selalu membawa

masalah-masalanya dalam doa. Berdoa pada Tuhan untuk dapat

menguatkan dirinya agar tetap setia pada panggilan. Usaha lain yang

dilakukan oleh partisipan agar kuat pada panggilannya, yaitu dengan

mengingat motivasi awal dirinya yang begitu ingin hidup membiara

menjadi suster dan dapat melayani anak-anak cacat.

“Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus saya duduk,

duduk di depan kapel itu, saya duduk diam… saya duduk diam saya

gak ngomong apa-apa saya berdoa… (mengucapkan doa yang

pernah dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya

Page 37: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

80

Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan jalan keluarnya

memberikan yang terbaik, jadi saya berdoa seperti itu, pokoknya

kalau saya mendapat tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di

kapel di kamar dan merenung dengan tenang” (P1W3 62-71).

Tatkala partisipan memanjatkan doa pada Tuhan, perasaan damai

tenang dan kelegaan dari semua masalah-masalah yang dihadapinya

dapat dia rasakan.

Tidak hanya keluarga yang mendukungnya untuk membiara, akan

tetapi teman-teman satu komunitas dan juga suster pimpinan selalu

mendukung baik saat masih dalam biara maupun saat partisipan

ditugaskan di tempat lain. Mereka terus memberikan semangat,

dorongan, padanya, terutama suster pimpinan, yang sangat dekat

dengan partisipan. Pimpinan selalu memberikan arahan-arahan padanya

jika dia menghadapi permasalahan dalam motivasinya maupun

kehidupan komunitasnya. Hingga pada saat meninggalnya suster

pimpinan, partisipan sangat merasakan kehilangan sosok ibu yang

selalu memberikan kasih sayang padanya saat dalam biara.

Berbagai cobaan yang dihadapi oleh partisipan dalam mencapai

tujuannya hidup membiara, pada akhirnya justru membuatnya semakin

kuat pada panggilannya, dan membuat partisipan semakin dekat dengan

Tuhan.

“kalau saya mendapatkan tantangan saya merasa lebih… apa ya…

saya melihat kembali apa… hikmahnya di balik tantangan itu

bahwa dengan tantangan ini memberi lebih…lebih memberi

Page 38: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

81

kekuatan atau mendorong saya agar lebih kuat untuk bisa

menghadapi masalah tersebut” (P1W3 47-52).

Partisipan semakin kuat pada panggilannya, dan menganggap bahwa

panggilannya menjadi seorang suster adalah takdirnya.

2. Partisipan Penelitian 2 (SE)

a. Gambaran umum partisipan

Identitas

Inisial : SE

Usia : 40 tahun

Pendidikan terakhir : D3

Anak ke- : 6 dari 7 bersaudara

Agama : Katolik

SE berasal Atambua, Nusa Tenggara Timur, merupakan anak ke

enam dari tujuh bersaudara. SE lahir pada tanggal 27 Oktober 1972,

saat ini berusia 40 tahun, dan SE akan tepat berusia 41 tahun bulan

Oktober 2013. Sejak masih bayi dia diasuh oleh mamak kecilnya

(tante), karena saat itu mamak kecil tidak memiliki anak. Kenyataan

bahwa mamak kecil bukanlah ibu kandungnya, baru diketahui saat SE

kelas enam sekolah dasar. Sejak itu pun dia lebih sering pulang ke

rumah orang tua kandungnya. Partisipan sendiri dari keluarga kandung

merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, ibunya telah meninggal

saat partisipan masih duduk di bangku SMP kelas tiga.

Page 39: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

82

Partisipan memiliki keinginan untuk menjadi suster sejak kelas tiga

sekolah dasar. Keinginan itu timbul saat dia melihat seorang suster di

gereja, akan tetapi keinginan ini hilang seiring berjalannya waktu

karena saat itu SE masih kecil dan tidak terpikir bisa mewujudkannya.

Partisipan melanjutkan SMP dan SMAnya di Timor Leste, tinggal

dengan keluarga pamannya bersama dengan kakaknya yang nomor tiga.

Saat SMA kelas dua, panggilan untuk menjadi suster dan menjalani

hidup membiara kembali dirasakan olehnya. Setelah mendapatkan

informasi pembinaan hidup membiara dari kakak kelasnya, SE pun

mulai mengikuti pembinaan setiap hari minggu. Selama satu tahun

partisipan mengikuti pembinaan secara diam-diam, karena faktor

ketidaksetujuan keluarga terutama kakak nomor tiga.

Setelah SE mengikuti pelatihan dan lulus tes, dia pun

memberitahukan pada keluarga besar mengenai keputusannya untuk

hidup membiara menjadi suster. Pada tahun 1995, masuk dalam biara

5PRR. Kehidupan membiara yang dijalaninya tidak berlangsung lama,

hanya selama sembilan bulan SE menjalani hidup membiara. Hal ini

dikarenakan kondisinya yang sering mengalami sakit saat dalam biara.

Selama sembilan bulan, sekitar tiga kali partisipan diperiksakan ke

dokter. SE memiliki sakit di lambungnya dan malaria, akan tetapi

beberapa kali juga dia sakit tapi ketika diperiksakan kondisinya normal-

normal saja.

Bulan Maret 1996, SE keluar dari PRR untuk berobat dan kembali

pulang ke Atambua karena ada kakaknya yang akan menikah. Saat di

5 Tarekat Puteri Reinha Rosari

Page 40: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

83

Atambua, dia mendapatkan tawaran dari keluarga dan pamannya untuk

kembali ke biara atau kuliah saja di 6IPI, Malang. Akhirnya SE

memutuskan untuk menerima tawaran kuliah di IPI. Tanggal 29 Juni

1996, berangkat ke Malang dari Timor Leste menggunakan kapal laut,

dan sampai di Malang pada tanggal 1 Juli 1996. Di IPI ada kegiatan

berkunjung beberapa kali dalam seminggu ke panti asuhan komunitas

AM, yang menjadi satu yayasan dengan IPI. Disana SE melihat anak-

anak panti asuhan yang cacat dan miskin dirawat oleh para suster, dia

merasa terpanggil kembali untuk melayani anak-anak itu secara

langsung dan tidak terbatas dengan jadwal kunjungan saja. Maka SE

pun memutuskan untuk masuk dalam hidup membiara dan menjadi

suster di komunitas AM. Selama tiga bulan perkenalan, partisipan

diterima sebagai aspiran pada tanggal 30 Desember. Aspiran7 selama

satu tahun, kemudian postulant satu tahun juga, lalu novis8 selama tiga

tahun. Kaul9 pertama dilakukan oleh SE selama sembilan tahun. Pada

tanggal 27 September 2010, SE pun melaksanakan kaul kekal.

b. Laporan Observasi Partisipan

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 15 Pebruari 2013, pada

pukul 10.05 WIB. Wawancara dilakukan di tempat partisipan tinggal,

6 Institut Pastoral Indonesia

7 Masa perkenalan, periode 1 tahun sebelum menjadi postulan

8 Periode ±2 tahunpelatihan seluruh ordo, dilakukan setelah masa postulan

9 Janji kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan agama (KGK:2102)

Page 41: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

84

yaitu di panti asuhan. Dimana SE ditempatkan untuk melayani. Peneliti

mengenal dan mendapatkan no handphone SE, dari partisipan

penelitian yang pertama. Sebelumnya melalui sms (short messages

service), peneliti membuat janji dengan partisipan. SE memiliki

perawakan yang kecil dan cenderung kurus dengan berat badan ±35kg,

partisipan juga memiliki warna kulit yang putih. Saat wawancara

partisipan memakai baju suster, lengkap dengan kerudung dan kalung

salib. Kedatangan peneliti untuk melakukan wawancara, sudah

diketahui dari kepala panti, yang tidak lain adalah partisipan pertama.

SE merupakan orang yang ramah, hal ini dapat dilihat dari ekspresinya

yang selalu tersenyum pada peneliti. Saat melakukan wawancara,

terlihat partisipan masih menjaga jarak dengan peneliti, dengan posisi

duduk yang dibatasi satu kursi antara peneliti dan dirinya, dan arah

pandangnya saat berbicara pun tidak langsung melihat pada peneliti.

Setiap kali menjawab pertanyaan yang diberikan, SE selalu menjawab

dengan tersenyum, terutama ketika bercerita bahwa dirinya dengan

diam-diam mengikuti pembinaan menjadi suster, tanpa memberitahu

keluarganya.

SE memperlihatkan ekspresi yang sedikit berbeda, lebih antusias

saat menceritakan pengalamannya dalam hidup berkomunitas, yang

membuatnya sempat memiliki niat meninggalkan kehidupan membiara.

Keantusiasannya, diperlihatkan dengan posisi duduk SE yang sedikit

maju, dan sorot matanya yang tajam dan melihat langsung pada

peneliti.

Page 42: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

85

Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2013, pukul

10.34 WIB. Wawancara dilakukan saat penghuni panti asuhan ramai

karena pada hari Minggu ada sekolah minggu yang diadakan di panti

asuhan. Hal ini membuat jalannya wawancara sedikit mengalami

gangguan kecil karena beberapa kali anak-anak memanggil SE dan ada

pula penghuni panti dewasa yang menghampiri. Hal itu terjadi kurang

lebih tiga kali sehingga partisipan beberapa kali terlihat tidak fokus

dalam menjawab pertanyaan yang diberikan dan harus mengulangi

jawabannya, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada

wawancara kedua ini SE terlihat lebih nyaman berbicara dengan

peneliti, ini terlihat dengan jarak tempat duduk yang lebih dekat

tepatnya partisipan duduk di kursi disebelah peneliti, dan bercerita

sambil matanya melihat pada peneliti. Pada wawancara yang kedua,

partisipan semakin terbuka untuk menceritakan pengalamannya yang

lebih pribadi. Pengalaman dengan teman spesialnya, diungkapkan pada

wawancara ke dua ini.

Wawancara terakhir dilakukan pada tanggal 4 April 2013, pada pagi

hari, tepatnya pukul 10.10 WIB. Menurut peneliti, partisipan kurang

dapat menggambarkan perasaannya saat menceritakan pengalamannya,

karena beberapa kali ketika ditanyakan mengenai perasaannya saat

menghadapi tantangan, partisipan tidak mengatakan secara jelas

perasaannya saat itu. Partisipan hanya menceritakan hal-hal yang

permukaan saja. Maka dari itu, pada wawancara ketiga, peneliti

berfokus pada pertanyaan mengenai perasaan yang dirasakan SE saat

proses memutuskan hidup membiara dan saat menjalaninya. Saat

Page 43: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

86

diberikan pertanyaan mengenai bagaimana perasaannya saat

menghadapi tantangan dalam komunitas, peneliti perlu bertanya dua

kali dan memancing agar P dapat mengatakan perasaannya yang terjadi

saat itu. SE pun dalam bercerita, kadang kala tidak secara runtut,

sehingga memerlukan kepekaan peneliti untuk melakukan klarifikasi.

c. Analisa Verbatim

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh

beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara

psikologis, antara lain :

Analisis Verbatim P2W1

Makna Teks dan kode

Keinginan hidup

membiara tumbuh

setelah melihat suster di

gereja.

Sejak sekolah dasar kelas tiga saya tertarik

kehidupan membiara sejak kelas tiga. Saya melihat

seorang suster saat di gereja. Kemudian saya ikut

pembinaan, lalu masuk dalam biara PRR (P2W1 5-

8)

Karena sakit saat di

biara, P memutuskan

untuk tidak kembali

dalam biara dan memilih

kuliah.

Tapi gak lama saya waktu itu sakit, terus disuruh

pulang sama keluarga dan diijinkan oleh pemimpin

biara, setelah saya pulang dan waktu sembuh saya

ditawarkan sama keluarga mau balik lagi ke biara

atau mau kuliah aja, waktu itu om saya yang

menawarkan, saya tanya kuliah di mana, terus

katanya di IPI di Malang, akhirnya saya pilih

kuliah (P2W1 8-15)

Kegiatan rutin

mengunjungi panti

asuhan membuat P

Nah di kampus itu kan ada kita pergi ke panti-

panti gitu, setiap beberapa kali dalam seminggu, di

situ saya lihat langsung mereka anak-anak yang

Page 44: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

87

kembali terpanggil untuk

hidup membiara.

cacat, di situ kami biasanya bantu bersih-bersih

panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari

situ saya putuskan saya pengen jadi suster, biar

bisa rawat langsung mereka, akhirnya saya masuk

komunitas AM (P2W1 15-21).

Pribadi seorang suster

meninggalkan kesan

kesan yang mendalam.

Pokoknya mereka itu saya lihatnya itu sopan,

anggun seperti itu, rajin berdoa, kelihatan… itu

saya tertarik itu di situ (P2W1 24-26)

Ketertarikan saat SD

tidak membuat P berniat

untuk hidup membiara,

hingga P terpanggil saat

SMA kelas 2.

Oh… setelah kelas tiga SD keinginan itu hilang

tow, tidak ada. Jadi setelah kelas tiga SD itu sudah

tidak ada niat tidak ada kepikiran itu, gak sampe

kepikiran untuk masuk dalam kehidupan

membiara. Waktu kelas tiga SD ya liat terus

tertarik gitu tapi kan masih anak-anak jadi cuma

begitu saja, aa… terus muncul lagi pas SMA kelas

dua (P2W1 34-40)

P mencari info

pembinaan hidup

membiara.

aa… karena itu kan saya nengok kakak kelas saya,

dia kan tinggal di kesusteran tow he..eh.., terus

saya ada.. ingin lagi kan ha..ah.. ingin lagi, ya

muncul tiba-tiba, jadi saya ikut pembinaan.

Awalnya saya tanya apakah di biara itu ada

pembinaan calon suster gak, terus katanya

biasanya ada tapi setiap minggu, jadi saya ikut

setiap minggu (P2W1 42-48)

P nekat mengikuti

pembinaan walaupun

kakaknya tidak

memperbolehkan.

Belum, sama sekali belum, cuma saya beritahu

kakak itu… bilang “masa kamu…gak

boleh…kamu kan jurusan IPA”, saya kan jurusan

Fisika, saya diam-diam saja.. tapi saya diam-diam

ikut pembinaan itu hehe… diam-diam… (P2W1

56-60) dan

Page 45: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

88

Kakak yang nomor tiga, saya sendiri nomor enam

(P2W1 64)

P memberitahu keluarga

setelah P lulus dari

pembinaan hidup

membiara.

Hmmm.. sebelum… waktu itu kan saya beritahu

sudah.. ini tow.. sudah lulus om saya itu guru

agama setuju sekali sama bapak itu setuju sekali,

nah mamak ini yang gak setuju… tapi ya mamak

juga ya lama-lama ikut setuju lah. Mamak saya

sudah meninggal, mamak meninggal itu waktu

saya SMP kelas tiga hmm.. (P2W1 71-77)

P menghadapi

kekecewaan keluarga

atas keputusannya

membiara.

Ya… memang kalau kita di sana kan, kalau anak

perempuan itu kan kalau kita masuk biara kan kita

tidak punya keturunan dan mungkin mereka rasa

awalnya kayak apa..kecewa.. keliatan muka pada

sedih kayak begitu… (P2W1 88-92)

Keluarga pada akhirnya

merestui keputusan yang

P ambil.

tapi ya lama-lama mereka ikut juga sih keputusan.

Ya kalau memang itu keputusan kamu ya jalani

saja he..eh..kami mendukung (P2W1 92-94)

P dekat dengan tantenya

yang mengasuh P sejak

kecil.

Kalau saya itu kan dipiara, saya sejak kecil

dipiara..saya paling dekat itu sama mamak kecil

saya (tante), adek dari mamak saya gitu lho..

ha..eh.. terus saya lebih dekat dengan mamak piara

saya gitu ha..eh.. (P2W1 97-100)

Keluarga mengijinkan

setelah melihat

keyakinan P dengan

pilihannya.

Oh.. setuju, memang awalnya ya..berat ya,

awalnya berat, terus kan saya.. mereka ikut saya

hehe… (P2W1 103-104) dan

Ya dengan kita penuh dengan keyakinan dan kita

harus doa, doa terus, doa untuk mendapatkan hati

mereka supaya mereka setuju he eh gitu hehe…

(P2W1 112-114)

P memberikan …..e..agak lama juga sih ya (sambil tertawa),

Page 46: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

89

pengertian pada keluarga

mengenai keputusannya.

memberikan pengertian pada mereka ha..eh.. ya

memang agak..agak.. lama sih, tapi ya akhirnya

juga mereka setuju mendukung (P2W1 117-120)

Bapak membantu P

untuk meyakinkan

anggota keluarga yang

lain.

Itu bapak saya bapak, bapak itu….. bapak itu

orangnya kuat doa….. pokoknya setiap setiap jam

doa, sampe sekarang pun umur 80 tahun tapi tetep

doa doa kuat. Yah sejak saya awal memberitahu

kalau saya punya niat untuk masuk biara dia

setuju. Itu saya kan sering sakit sering sakit, kakak

saya yang lain bilang “sudah keluar saja, pulang

saja”, kalau seperti itu bapak saya bilang

“ya..kalau kamu suruh keluar keluar aja, tapi nanti

besok kamu tanggung jawabnya sama Tuhan

Allah”, bapak saya ngomong gitu sama kakak-

kakak saya (P2W1 124-134)

P menghadapi teman

dekatnya yang tidak

setuju dengan

keputusannya, tapi pada

akhirnya teman itu

mendukung.

Ya ada sih, waktu itu ada ada dari temen saya,

temen deket saya, saya kan punya kenalan

itu…kami dari…kenalan itu dari SMP kelas 2

sampe tamat pun masih aaa… gitu… awalnya

tidak tidak mendukung tow tapi kemudian dia

mendukung (P2W1 138-142)

Dalam komunitasnya P

mengalami fase pasang

surut.

Oh.. itu.. saya itu nekat, keinginan ya..

bagaimanapun ya akan gitu… Nah kalau setelah di

dalam itu (dalam komunitas) itu banyak pasang

surutnya (P2W1 145-147)

Tantangan berat yang P

alami saat dalam

komunitas membuat P

keluar dari asrama

selama sehari.

Hal yang berat buat saya itu..apa..dalam komunitas

antara bersama… pokoknya antar sesama gitu, itu

yang membuat…membuat… aa…waktu itu

hampir mau hampir mau..hampir mau keluar..

waktu itu juga pernah apa..aa..tinggalkan

Page 47: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

90

tinggalkan komunitas pergi ke tempat lain, setelah

itu memang waktu itu saya sudah..saya sudah tidak

kuat lagi di dalam komunitas itu saya mau pergi

saja, pergi saja sudah pokoknya sudah tidak kuat

lagi kayaknya mau pergi saja, waktu saya pergi

pun gak memberitahu siapa-siapa, tapi saya pergi

bukan ke rumah orang tua tapi di rumah komunitas

di tempat lain masih rumah punya komunitas tapi

di tempat lain gitu, (P2W1 151-163)

Di tempat rekannya P

menenangkan diri

dengan berdoa dan

terpikir untuk

meninggalkan

panggilannya.

setelah itu.. setelah saya pergi diam-diam,

malemnya itu saya memutuskan apakah saya harus

tinggalkan tinggalkan panggilan atau… malam itu

sepanjang malam saya tidak bisa tidur saya doa,

saya doa rosario dan saya duduk sepanjang malam

itu paginya saya… kan waktu itu di rumah itu

cuma ada satu orang tow aa.. satu orang saja, saya

masih tidur tow (P2W1 163-170)

P berbagi dengan salah

satu anggota keluarga

mengenai keinginannya

untuk keluar dari

komunitas.

paginya, waktu itu kan belum bawa hp, jadi saya

telpon ke wartel, pagi-pagi saya telpon dari wartel

saya telpon keluarga ini mamaknya kakak ipar

saya kakak yang nomor tiga ini, mamak itu kan

aktif aktif kegiatan-kegiatan di gereja kan aktif,

terus saya telpon, saya bilang “saya di sini ini saya

tidak kuat lagi saya mau..saya mau keluar saja

mengundurkan diri saja”, mamak saya bilang

“kenapa?, kamu tidak boleh begitu, kamu ada

masalah ya ? kalau kamu ada masalah kamu

ketemu sama pimpinan saja tow, sama pimpinan

omong minta pindah ke tempat lain kalau kamu

gak cocok kamu pindah ke tempat lain saja, ya

Page 48: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

91

nanti kami doakan kamu tidak boleh pikir untuk

keluar kalau kamu sudah memilih itu ya teruskan.

Pokoknya kamu kembali kamu ketemu dengan

pimpinan nanti ceritakan apa masalah kamu,

pimpinan yang putuskan mau pindahkan atau

bagaimana” (P2W1 170-187)

P bergumul untuk

terbuka atau tidak

tentang masalah yang

sedang dihadapi.

Sudah saya pulang kembali ke rumah itu

bagaimana ya saya ini, bagaimana mamak ini…

saya belum memberitahu keluarga saya (P2W1

187-190)

Perasaan enggan untuk

kembali pada komunitas.

saya mau kembali itu rasanya berat kembali ke

komunitas itu, memang malamnya itu pimpinan

menelpon, tanya ke teman itu, ditanya saya ada di

rumah itu tidak, oh ada di sini tapi dia tidur, tadi

dia datang itu kepala pusing padahal saya duduk di

samping (P2W1 190-195)

Setelah berpikir ulang

pada akhirnya P kembali

ke komunitas.

terus ini setelah dari wartel, temen saya dari gereja

belum pulang, sambil tunggu teman saya saya

pikir ulang bagaimana ya saya ini apa kembali ke

sana, saya pikir-pikir, akhirnya ya sudah apapun

yang terjadi saya kembali ke sana, pokoknya saya

hadapi saja, sekitar jam sepuluh saya kembali lagi

ke komunitas itu, terus saya ke sana itu, orang

yang pokoknya yang tidak suka dengan saya itu di

asrama itu kan gak ketemu, saya langsung ke

pimpinan. Mereka pagi itu sudah gossip bilang

saya sudah minggat, (P2W1 195-204)

P berbicara terbuka

dengan pimpinan

komunitas tentang

terus saya bicara sama pimpinan terus “Em” itu

saya baru datang “Em, apa sih kamu itu kok

katanya kamu minggat, Em ngopo sih kamu?”,

Page 49: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

92

masalahnya. terus saya disuruh duduk “ngopo tow kamu itu?

cerita”, baru saya ceritakan semua, setelah cerita

semua, “sekarang kamu pilih mau pindah ke

asrama mana?”, saya bilang saya gak mau pilih

ibu, pokoknnya ibu suruh saya di mana saja saya

ikut, akhirnya ibu tunjukan satu tempat, saya

kesitu terus.. dua dua bulan saja saya di rumah itu

di asrama yang bar uterus saya pindah lagi ke

tempat yang sama, tapi orang itu sudah pindah ke

tempat lain, saya pindah lagi ke asrama lama

sampai dua tahun dari tahun 2000 sampai tahun

2002, saya ngurus di sekolah terus saya ngurus di

kapel. Saya dua tahun di situ saya dipindahkan ke

Flores, di Flores itu sepuluh tahun (P2W1 204-

219)

Doa pada Tuhan dan

dukungan dari teman-

teman membuat P kuat

menghadapi masalah.

Ya, satu-satunya itu berdoa… berdoa ya berdoa

supaya kita itu kuat, sambil berdoa,juga dukungan

dari teman-teman yang lain kalau enggak bisa-bisa

itu kan…..keluar (P2W1 222-225)

P menguatkan diri untuk

menghadapi segala

sesuatu.

Iya, waktu itu ada yang tidak mendukung tapi saya

punya prinsip, punya prinsip saya sudah memilih

ini biar apapun resikonya saya akan hadapi begitu

(P2W1 230-232)

Keinginan menjadi suster

sudah menjadi cita-cita P

sejak SD.

Hehehehehe…..gimana ya hehehe….. pokoknya

waktu itu saya melihat mereka itu sopan, anggun,

rajin berdoa….. pokoknya…. Waktu itu juga

waktu saya kelas enam ini, apa guru bahasa

Indonesia minta ini lho aaa….. mengarang…..

mengarang tentang cita-cita terus saya itu pilihan

saya itu saya ingin mau jadi suster dan perawat

Page 50: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

93

nah dari dua pilihan itu, memang dari kecilnya

sudah pingin begitu (P2W1 237-244)

Ketika meninggalkan

biara PRR dan memilih

kuliah, niat P untuk

hidup membiara tetap

ada.

Waktu saya keluar dari biara itu, saya masih punya

niat..punya niat.. tapi kan waktu itu kakak dan

paman memberi alternatif buat saya saya pilih

kuliah dan waktu itu tidak ada pikiran lagi untuk

kembali ke biara PRR dan tidak ada…niat lagi

untuk membiara. Waktu itu kan kakak tanya mau

kursus, mau kuliah, atau mau kembali lagi, saya

pilih kuliah (P2W1 248-254)

Anak-anak yang diasuh

dalam komunitas

menjadi pertimbangan

signifikan untuk tetap

membiara.

Saya itu kuatnya karna anak-anak he em, kalo

anak-anak itu kalau mau tinggalkan mereka itu gak

tega, kita ini sudah normal kok kita ini melihat

penderitaan sedikit pun kita masih enak mereka itu

penderitaannya luar biasa, anak-anak itu, kalau

saya mau tinggalkan itu saya masih pikir tapi

kadang juga saat emosi saat kita emosi kan kita

sembarang mengambil keputusan, tapi kita

kembali merenungkan kembali berdoa saat doa itu

apa maksudnya keinginan kita untuk pergi itu

hilang dengan berdoa gitu. Apalagi dengan anak

yang kita rawat dari bayi itu rasanya kalau kita

mau tinggalkan… mereka itu sudah kita anggap

anak kita sendiri, kalau mau meninggalkan mereka

itu berat, (P2W1 278-290)

Anak-anak memberi P

kekuatan dan

penghiburan saat

menghadapi masalah.

saya senangnya di komunitas AM itu dengan anak-

anak itu memberikan penghiburan, saat hati geram

rasa apa..kita pulang dari mana-mana lalu lihat

mereka itu kita rasa semua itu hilang (P2W1 291-

294)

Page 51: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

94

Kakak yang awalnya

tidak mendukung

keputusan P, pada

akhirnya menasehati

untuk tekun pada

pilihannya.

Bapak itu wah gak tau ya, saya juga, mereka itu

kok mendukung ya, gimana ya mereka itu kuat

doa, mereka itu bener-bener selalu mendukung,

bapak itu selalu mendukung, a… baru-baru ini kan

saya menceritakan ke mereka kalau ada temen-

temen saya yang tinggalkan, teman saya, teman

saya satu kampung tow, he eh dia sudah di

komunitas dia tinggalkan komunitas, nah saya

cerita sama keluarga saya, kakak ini yang awalnya

tidak mendukung ini saya sempat cerita itu, kakak

bilang “kenapa mereka seperti ini?”, saya bilang

“ya tidak tau lah katanya alasannya itu capek”,

“lho semua orang di dunia ini harus capek, orang

mau makan itu harus bekerja dulu baru dapet

sesuatu, masa hanya itu, alasan itu tidak masuk

akal, pokoknya kalau kamu merasa seperti itu

kamu harus terus”, jadi saya itu tidak bisa kata-

kata lagi, mau bicara gak bisa lagi hahahahaha…..

(P2W1 297-313)

Keluarga juga

mendukung P lewat doa.

Apa ya, mereka itu mendukung doanya itu kuat,

mereka berpesan kalau ada masalah kamu harus

hadapi, jadi saya saat ada masalah saya ingat pesan

mereka (P2W1 317-320)

Analisis Verbatim P2W2

Makna Teks dan Kode

Mamak kecil/tante tidak

setuju dengan keputusan

yang P ambil.

Ooo itu, maksudnya itu mamak kecil saya,

mamak kandung saya kan meninggal dan

belum tahu saya punya keinginan untuk hidup

Page 52: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

95

membiara, jadi mamak kecil saya waktu itu kan

memang ada dia gak setuju saya memilih

menjadi seperti ini (P2W2 14-18).

Sejak kecil P diasuh oleh

mamak kecil/tantenya.

Ohh… begini kan mamak kecil saya itu belum

punya anak, sudah menikah tapi belum punya

anak, jadi saya itu diasuh sama mamak kecil,

istilahnya itu lho mba buat pancingan supaya

mamak kecil bisa punya anak (P2W2 35-38).

P lebih sering pulang ke

rumahnya setelah

mengetahui bahwa mamak

kecil bukanlah ibu

kandungnya.

Waktu itu sampai saya kelas enam, karena saya

sudah dengar-dengar begitu kalau mamak saya

itu bukan mamak kandung saya tapi itu tante

saya, terus kan sekolah saya kan waktu itu jauh

dari rumah mamak kecil dan lebih dekat

dengan rumah orang tua kandung saya, jadi

saya sering pulang ke rumah (P2W2 41-46).

P merasa bahwa dirinya

lebih dekat dengan mamak

kecil.

Em…….ya karena sudah diasuh sejak kecil ya,

jadi ya sama mamak kecil saya lebih dekat.

Saya itu sudah dianggap anak pertamanya

(P2W2 55-57).

P merasa tidak memiliki

kedekatan emosional dengan

ibu kandungnya.

Mamak kandung saya itu ya gimana ya, ya

biasa-biasa aja gitu…heem, waktu meninggal

juga ya…sedih sih tapi ya gimana ya, ya gitu…

(P2W2 59-61).

Hubungan yang baik dengan

bapaknya.

Bapak, hubungannya ya baik ya, ya biasa, ya

bapak itu rajin doanya. (P2W2 64-65).

Keluarga setuju dengan

keputusan P setelah diterima

dalam biara.

Bagaimana ya, ya memang awalnya tidak

setuju tapi lama-lama mereka setuju, setelah

melihat saya masuk dalam pelatihan ya

akhirnya setuju juga (P2W2 72-74).

P diberikan tanggung jawab Yah, mungkin mamak (mamak kecil) itu pikir

Page 53: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

96

untuk mengurus adik-

adiknya.

kan saya anak paling pertama, jadi nanti siapa

yang mungkin menjaga dan mengurus adik-

adik begitu (P2W2 77-79).

P nekat ingin menjalani

hidup membiara walaupun

semua keluarga

berkeberatan.

Apa ya, ya saya itu nekat aja, saya ikut

pembinaan, saya waktu itu lulus tesnya dan

saya diterima, terus saya bilang sama mereka,

ya saya akhirnya diijinkan, waktu itu sebelum

saya pergi kan biasanya ada acara kumpul-

kumpul gitu ya untuk perpisahan, ya saya gak

tau ya dalam hati mereka, tapi saat itu mereka

gak mengucapkan mereka gak setuju (P2W2

82-88).

Paman P ikut berperan

memberi pengertian pada

keluarga

Ya ada, om saya itu, itu guru agama, om saya

itu yang bilang sama kakak-kakak saya, bapak

saya, kasih pengertian sama keluarga. Akhirnya

keluarga juga setuju (P2W2 95-98).

P memiliki keyakinan yang

kuat hidup membiara.

iya saat itu pokoknya saya mau jadi suster, ya

mantap (P2W2 101).

P sempat merasa bimbang

ketika teman khususnya

mempermasalahkan

keputusannya untuk

membiara.

Hmmm.. waktu itu sempat ada ya…ada ragu

juga ya… Ada teman saya…teman ya… kami

sudah dari smp itu dekat, ya saya sempat kirim

surat sama dia bilang kalau saya memutuskan

memilih menjadi suster, waktu itu dia juga

kaget gitu ya, dia bilang kenapa saya itu gak

bilang punya keinginan seperti itu, kenapa saya

itu memberi harapan sama dia, kan saya dengan

orang tuanya kan sudah kenal juga. Tapi

setelah masuk saya jadi novis begitu, sempat

dia kirim surat bilang kalau dia mendukung

saya, dia mendukung pilihan saya, dia bilang

Page 54: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

97

kalau memang sudah keputusan kamu itu ya

jalani jangan menengok ke belakang begitu.

Waktu itu saya ingat kalau pas dia itu sedang

skripsi ya, waktu itu pas saya kasih tau mau

jadi suster, ya begitu heee… (P2W2 104-117).

Ketika menghadapi

tantangan yang besar dalam

komunitas terbesit niat P

untuk meninggalkan

kehidupan membiara.

Waktu itu ya, saat saya ada tantangan itu, saya

satu malam itu saya gak bisa tidur, saya pikir

bagaimana ya kalau saya keluar, kalau saya

keluar apa yang akan saya lakukan di luar, saya

juga ingat dengan saat-saat saya memutuskan

pilihan ini, saya ingat juga suka dukanya

menjalani ini, saya tidak bisa tidur. Saya besok

pagi saya telpon keluarga, itu mamak besarnya

kakak ipar saya, dia kan aktifis begitu ya di

gereja, saya telpon bagaimana ini, dia bilang

saya tidak boleh keluar, kalau ada masalah

bilang sama pimpinan biar pimpinan yang

bantu cari jalan keluar, apa mau dipindah atau

bagaimana, begitu, saya akhirnya tidak jadi

keluar itu (P2W2 122-133).

Perasaan sedih dan bingung

jika P keluar dari biara.

Ya sedih juga, ya saya pikir kalau saya

tinggalkan bagaimana apa yang saya lakukan di

luar (P2W2 135-136).

Tanggung jawab P

mengurus adik-adiknya saat

ibu pergi bekerja.

Iya kan saya itu juga sudah terbiasa mengurus

adik-adik saya, mamak kecil saya kan buka

usaha jadi sibuk, jadi sering pergi, saya yang di

rumah jagain dan ngurus adik-adik (P2W2 143-

146).

Pertemuan dengan sanak

keluarga saat P liburan di

Iya bertemu, kalau saya pulang mereka pada

datang dan kumpul, kalau mereka gak datang

Page 55: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

98

rumah. saya yang mengunjungi mereka (P2W2 152-

154).

P tidak memberitahukan

pada keluarga mengenai

keputusannya untuk masuk

dalam komunitas AM.

Waktu itu, kalau waktu saya di komunitas AM

ini saya gak ada cerita sama mereka, jadi kan

mereka taunya saya kuliah di IPI (Institut

Pastoral Indonesia) padahal saya masuk jadi

suster, waktu itu waktu saya jadi novis saya

ditugaskan ke Atambua, terus mereka melihat

saya, mereka juga kaget melihat saya sudah

pakai kerudung, ya mereka kaget (P2W2 159-

165), dan, enggak, saya ada telpon mereka tapi

saya gak bilang saya ikut di AM (P2W2 167-

168).

Keluarga terkejut setelah

mengetahui bahwa P telah

menjadi seorang suster.

Ya mereka juga kaget, kok kamu sudah seperti

ini, he… (P2W2 170), dan, ya mereka tanya

kok sudah seperti ini, kok gak bilang gitu, ya

mereka kaget (P2W2 176-177).

Pelayanan yang dilakukan

oleh P pada akhirnya

didukung oleh keluarganya.

Mereka gak bilang apa-apa sih mereka kaget,

waktu itu saya juga bawa anak yang cacat juga

tinggal di rumah, ya mereka melihat anak itu,

saya juga menceritakan kita ini karyanya

merawat anak-anak miskin, cacat seperti itu, ya

mereka setuju (P2W2 179-183).

Analisis Verbatim P2W3

Makna Teks dan Kode

Keinginan hidup membiar

saat kecil yang pernah

hilang, muncul kembali di

Iya ha ah, ya… karena itu kan keinginan mau

jadi suster itu kan dari…dari SD, dari SD kelas

tiga tow, tapi karna setelah tamat SD terus

Page 56: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

99

SMA. hilang ya..apa gak ada lagi pikiran untuk itu,

setelah SMA kelas dua baru saya…apa..ingin,

keinginan itu mulai muncul lagi akhirnya saya

ini…apa, tanya teman yang tinggal dengan

suster itu untuk pembinaan, akhirnya saya ikut

pembinaan gitu (P2W3 7-14).

Minat yang sangat besar

menjadi suster.

Pokoknya perasaan itu pingin jadi, pingin jadi

suster, ingin sekali gitu jadi suster (P2W3 17-

18).

Minat yang besar membuat

P nekat untuk mengikuti

pelatihan tanpa memberitahu

keluarga.

Ya memang saya pingin sekali ya untuk ini,

mau masuk suster gitu, saya kan sebelumnya

belum beritahu, diam-diam saja ikut ini

pembinaan, kemudian ikut tes, setelah lulus tes

baru saya beritahu kalau saya sudah lulus

begitu, nanti tanggal ini saya berangkat,

berangkat ke Flores begitu (P2W3 23-28).

Alasan P tidak

memberitahukan keluarga

karena reaksi kakak P yang

melarang.

Iya, sebelumnya saya beritahukan kakak waktu

kelas dua, saya sampaikan keinginan saya sama

kakak, terus kata dia “buat apa kamu kan

jurusan IPA, buat apa kamu masuk suster?”,

gitu kan, nah diam-diam saya ikut pembinaan

itu hehehe.. (P2W3 32-36).

Rasa kekhawatiran tidak

disetujui oleh keluarga

membuat P diam-diam

mengikuti pelatihan.

Iya, alasannya itu ya saya takut kan untuk

mereka gak setuju kalo beritahu dulu kan, jadi

saya apa diam-diam ikut begitu, setelah saya

lulus baru beritahu, itu kan pasti mau tidak mau

mereka itu kan sudah (sambil tertawa) itu kan,

terlanjurlah (P2W3 40-44).

Adanya fase pasang surut

dalam perjalanan P

Ya pokoknya itu, saya pinginlah jadi suster

seperti itu, keinginan saya kerinduan saya, itu

Page 57: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

100

mengambil keputusan. kan kerinduan itu dari kecil ya, dari SD tapi ya

karna situasi hilang muncul begitu tow (P2W3

47-50).

Perasaan senang bisa

mengikuti pembinaan hidup

membiara.

Iya ha ah, pokoknya saya senang mau ikut

pembinaan mau jadi suster itu gitu senang

(P2W3 53-54).

P terpaksa berbohong pada

keluarganya untuk bisa

mengikuti pembinaan.

Iya, setiap minggu, tapi itu pergi saya juga

tidak beritahu, saya pergi diam-diam mau ijin

ya saya mau ke tempat teman begitu, tiap hari

minggu (P2W3 58-60).

Rasa senang jika bertemu

dengan suster.

Iya, saya itu senang ikut pembinaan kan

ketemu suster, tapi ada rasa khawatir juga sih

(P2W3 68-69).

Rasa khawatir jika orang tua

mengetahui P mengikuti

pembinaan.

Saya takut nanti gak boleh tow orang tua gak

mau lebih baik saya diam-diam saja, baru saya

nanti tow beritahu kalau sudah lulus (P2W3 72-

74).

Keterbatasan komunikasi

dengan keluarga membuat P

hanya bisa menghubungi

mamak besar saat ada

masalah dalam komunitas.

Ya itu karna, waktu itu yang bisa saya hubungi

itu, saya hanya tau nomor itu, dulu kan kita

belum ada hp jadi ini apa pake nomor telpon

rumah, nah yang bisa dihubungi itu mamak itu

gitu, kan yang lain itu gak ada, kakak saya kan

waktu itu di Timor Leste, jadi gak bisa

dihubungi begitu (P2W3 79-84).

Mamak besar dianggap

dapat membantu dalam

memberi jalan keluar

permasalahn P.

Enggak, gak dekat juga sih, itu mamak besar

kakak ipar saya bukan mamak kandung, sering

ke rumah tow, waktu saya di Atambua sering

datang ke rumah dan mamak itu juga orangnya

aktif, aktif di gereja tow, aktif gitu he eh.

Waktu itu saya telpon itu saya kan…pasti

Page 58: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

101

mamak ini bisa bantu, saya kan mau…mau

keluar, pokoknya mau mengundurkan diri, tapi

mamak itu nasihat kamu tidak boleh tinggalkan

panggilan, lebih baik sekarang kamu ketemu

dengan pimpinan kamu, nanti pimpinan kamu

pindahkan kemana ya terserah, mungkin mau

ke komunitas lain gitu (P2W3 87-97).

P mendapatkan dukungan

dari teman-teman dan

pimpinan untuk tetap hidup

membiara.

Oh itu, itu dari temen-temen saya, teman-teman

banyak yang mendukung saya supaya saya

tetap ha ah, terus yang mamak, teman-teman,

terus ini pimpinan ha ah pimpinan itu yang

memberi apa arahan, pembinaan biar saya tetap

(P2W3 106-110).

Rasa terkejut yang dialami

oleh keluarga P saat

mengetahui P menjadi

seorang suster.

Waktu itu kan saya tugas di Atambua tow

padahal saya kan baru dua tahun di Malang ha

ah, terus diutus ke Atambua, saya pulang ke

rumah, mau kunjung saja, kunjung ke orang tua

tow, terus saya tiba di sana mereka kaget

kok…”kok kamu jadi suster ya?”, “iya saya

jadi suster”, “katanya kamu ini apa kuliah

kok”, “iya saya kuliah tow, sambil kuliah

sambil masuk suster”, ya awalnya kaget

reaksinya kaget gitu ya sudah (sambil tertawa)

(P2W3 117-125).

Beberapa anggota keluarga

terharu saat melihat P telah

menjadi suster.

Enggak, enggak, gak marah, ya ada yang

meneteskan air mata ya gitu keluarga (P2W3

127-128).

Hah, maksudnya mereka itu merasa terharu

(P2W3 30).

Yah itu ada kakak, adek, mamak kecil itu yang

Page 59: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

102

d. Kategori

Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari

hasil analisis verbatim P2 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses

pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori

dari setiap makna yang muncul, yaitu :

1. Ketertarikan pada sosok suster saat SD.

2. Pencarian informasi membiara.

3. Nekat berbohong mengikuti pembinaan hidup membiara pada

keluarga.

4. Perasaan P saat mengikuti pembinaan.

5. Respon negatif dari keluarga dan teman spesial.

6. Mengalami proses trial and error dalam proses pengambilan

keputusan.

7. Fase pasang surut dalam membiara.

8. Perasaan keluarga saat mengetahui P menjadi suster.

9. Dukungan-dukungan dari keluarga.

10. Usaha-usaha yang dilakukan untuk tetap pada panggilannya.

11. Anak-anak menjadi motivasi bagi P.

12. Pengaruh mamak kecil pada diri P mengenai kepedulian pada anak-

anak panti.

13. Keyakinan yang kuat utuk berkomitmen membiara.

menangis, mereka itu terharu (P2W3 132-133).

Begitu saja, mau bagaimana, ya senang..senang

(P2W3 135).

Page 60: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

103

e. Analisis Pengambilan Keputusan

Ketertarikan hidup membiara partisipan rasakan saat masih duduk

di kelas tiga sekolah dasar, ketika partisipan melihat seorang suster di

gereja. Pribadi yang sopan, keanggunan, dan rajin berdoa pada diri

seorang suster yang dilihatnya, meninggalkan kesan yang mendalam

pada dirinya. Setelah pertemuan tersebut, timbul keinginan pada dirinya

untuk menjadi suster.

saya lihatnya itu sopan, anggun seperti itu, rajin berdoa,

kelihatan… itu saya tertarik itu di situ (P1W1 24-26). Gak tau ya

mba, pokoknya saat melihat itu pingin jadi suster (P2W1 29-30).

Sejak saat itu, keinginan menjadi suster menjadi cita-citanya kelak. Hal

ini diungkapkan ketika partisipan mendapatkan tugas mengarang dalam

pelajaran bahasa Indonesia, Partisipan mengungkapkan bahwa dirinya

ingin menjadi seorang suster. Akan tetapi seiring berjalannya waktu,

ketertarikan yang tidak ditumbuhkan dalam dirinya, membuat

partisipan kehilangan keinginan untuk menjadi suster, bahkan tidak ada

pikiran untuk masuk dalam hidup membiara.

Panggilan hidup membiara dirasakannya kembali saat kelas dua

SMA, saat partisipan mengunjungi kakak kelasnya yang tinggal di

kesusteran PRR. Saat itu juga, keinginan yang dulu menjadi cita-cita

partisipan sejak masih kecil kembali muncul, dan begitu kuat dirasakan.

Kemudian partisipan mencari informasi pembinaan hidup membiara

pada kakak kelasnya itu, hingga akhirnya mendapatkan informasi

pembinaan yang diadakan setiap hari minggu, dan partisipan pun

memutuskan untuk mengikutinya.

Page 61: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

104

Orang pertama yang diberitahu oleh partisipan, mengenai

keputusannya hidup membiara adalah kakak nomor tiga. Kakak

memberikan respon negatif atas keputusan yang dia ambil, kakaknya

tidak setuju dengan keputusan partisipan. Adapun alasan kakak, tidak

mengijinkan partisipan menjadi suster, karena kakak menyayangkan

pendidikan yang sudah dijalani oleh partisipan selama ini akan sia-sia,

jika nanti masuk dalam hidup membiara.

kakak itu… bilang “masa kamu… gak boleh… kamu kan jurusan

IPA”, saya kan jurusan Fisika (P1W1 57-58)

Reaksi yang ditunjukan oleh kakak, tidak membuatnya menyerah,

panggilan membiara yang begitu kuat, mendorong partisipan untuk

melakukan tindakan nekat mengikuti pembinaan hidup membiara

tanpa memberitahukan keluarga.

Partisipan berbohong pada keluarga agar dapat mengikuti

pembinaan setiap hari minggunya, dan beralasan pergi belajar ke rumah

teman, agar mendapat ijin keluar rumah mengikuti pembinaan. Selama

satu tahun pambinaan yang dilakukannya dengan diam-diam berhasil,

dan selama itu juga partisipan dapat mengikuti pembinaan hidup

membiara tanpa diketahui oleh keluarga. Ada perasaan bahagia ketika

menjalani proses pembinaan tersebut, walaupun terkadang rasa cemas

juga dirasakan, karena takut keluarga mengetahui kebohongannya

selama ini.

Partisipan memberitahukan pada keluarga akan menjadi suster, dan

menjalani hidup membiara setelah dia lulus sekolah dan lulus

pembinaan hidup membiara. Tidak banyak pihak yang mendukung

Page 62: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

105

keputusannya, hanya paman dan ayahnya yang mendukung

keputusannya. Mamak kecil yang dekat dengan partisipan pun, tidak

setuju dengan keputusan yang dia ambil. Tidak hanya mamak kecil,

partisipan juga menghadapi kekecewaan keluarganya yang lain, atas

keputusannya untuk membiara. Keluarga menyayangkan partisipan

masuk dalam hidup membiara, karena dia anak perempuan, dan jika

masuk dalam biara maka tidak akan memiliki keturunan. Sekali lagi

partisipan pun, harus menghadapi kekecewaan teman spesialnya yang

tidak setuju dengan keputusannya. Akan tetapi dengan keyakinan besar

dan pengertian-pengertian yang diberikan oleh partisipan, pada

akhirnya membuat keluarga dan temannya itu luluh dan menerima

keputusan yang dia ambil. Mereka mendukung apapun yang sudah

menjadi keputusan dari partisipan.

Pada tahun 1996, partisipan masuk dalam biara PRR, dan selama

delapan bulan menjalani hidup membiara, partisipan sering mengalami

sakit, seperti sakit lambung dan juga malaria. Selama delapan bulan,

sudah tiga kali dirawat di rumah sakit. Pada akhirnya dia memutuskan

untuk berobat di Ende selama satu minggu, dan kemudian pulang ke

Atambua. Selama tiga bulan di rumah, keluarga dan juga pamannya

memberikan tawaran pada partisipan untuk kembali ke biara PRR atau

menerima tawaran pamannya untuk berkuliah di IPI, Malang. Pada

akhirnya partisipan pun mengambil tawaran pamannya untuk kuliah di

IPI.

Tanggal 29 Juni 1996, partisipan dengan diantar oleh kakaknya

nomor tiga, bertolak ke Malang dengan menggunakan transportasi laut,

Page 63: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

106

dan sampai di Malang tanggal 1 Juli. Dalam perjalanan mereka

berkenalan dengan suster komunitas AM, selama perjalanan partisipan

dan kakaknya bercerita mengenai tujuan mereka pada suster tersebut,

dan ternyata mereka baru mengetahui bahwa IPI merupakan satu

yayasan dengan AM. Karena tujuan mereka sama, maka dia beserta

kakak dan suster tersebut pergi bersama sampai tujuan.

Selama menjalani perkuliahan, partisipan bersama dengan teman-

teman komunitas kampusnya, rutin berkunjung ke panti asuhan milik

komunitas AM. Pertemuannya dengan anak-anak panti yang memiliki

kekurangan dalam fisik dan psikis, membuat dia merasa terpanggil

untuk melayani mereka secara langsung, bukan hanya sekedar datang

mengunjungi saja. Maka partisipan pun memutuskan untuk masuk

dalam kehidupan membiara di AM.

Nah di kampus itu kan ada kita pergi ke panti-panti gitu, setiap

beberapa kali dalam seminggu, di situ saya lihat langsung mereka

anak-anak yang cacat, di situ kami biasanya bantu bersih-bersih

panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari situ saya putuskan

saya pengen jadi suster, biar bisa rawat langsung mereka, akhirnya

saya masuk AM (P2W1 15-21).

Keputusan partisipan untuk kembali masuk dalam hidup membiara,

kembali tidak diberitahukan pada keluarga. Keluarga mengetahui

partisipan telah menjadi suster ketika dia mendapatkan tugas ke

Atambua pada Januari 1999. Rasa terkejut dialami oleh keluarga ketika

bertemu dengan partisipan dan melihat penampilannya yang sudah

menjadi suster (saat itu menjalani masa novis). Partisipan pun

Page 64: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

107

memberikan pengertian pada keluarga mengapa dirinya mengambil

keputusan menjadi suster, dan dia pun menceritakan karya-karya

pelayanan yang dilakukan oleh AM, seperti merawat anak miskin, anak

cacat, dan partisipan juga sempat membawa anak-anak panti yang cacat

untuk bertemu dengan keluarganya. Keluarga pun dapat mengerti dan

mendukung keputusannya, bahkan mamak kecil saat itu meneteskan air

mata terharu setelah melihat partisipan menjadi suster.

Fase pasang surut pada panggilannya, dialami oleh partisipan saat

menjalani kehidupan membiara di dalam komunitas. Saat itu partisipan

memiliki persoalan yang berat dengan salah satu rekannya, dan keadaan

itu membuatnya sempat berpikir untuk meninggalkan kehidupan

membiara. Karena sangat besarnya permasalahan yang dihadapinya

dalam komunitas, membuat partisipan keluar dari asrama kesusteran

selama satu hari untuk pergi ke tempat salah satu rekannya untuk

menenangkan diri. Dalam dirinya saat itu ada rasa enggan untuk

kembali pada komunitasnya, kebingungan harus meninggalkan

panggilan atau tidak membuatnya sedih. Adapun usaha-usaha yang

dilakukan oleh partisipan untuk tetap pada panggilannya, yaitu dengan

berdoa, sharing dengan keluarga di sini peran mamak besar sangat

berpengaruh, memberikan nasihat padanya untuk terbuka akan

masalahnya dengan pimpinan. Sehingga membuat P tetap pada

panggilannya dan mengurungkan niat untuk meninggalkan kehidupan

membiara.

Yang menjadi motivasi pada partisipan untuk tetap pada

panggilannya, tidak hanya berasal dari keluarga dan rekan. Motivasi

Page 65: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

108

yang paling besar yang menjadi pertimbangan partisipan tetap

membiara yaitu anak-anak panti, anak-anak menjadi pertimbangan

yang signifikan bagi partisipan untuk tetap membiara. Ketika partisipan

menghadapi tantangan dalam hidupnya dalam komunitas, dia teringat

pada anak-anak panti. Perasaan kasih sayang partisipan pada anak-anak

itu membuatnya tidak tega jika harus meninggalkan panggilannya dan

meninggalkan mereka.

“Saya itu kuatnya karna anak-anak he em, kalo anak-anak itu kalau

mau tinggalkan mereka itu gak tega…..” (P2W1 278-279).

Segala persoalan dan tantangan dari dalam diri partisipan dan dari

keluarga juga orang disekitarnya, membuatnya semakin mantap dengan

panggilannya untuk membiara dan melayani anak-anak cacat. Dengan

keyakinannya dan keteguhannya pada panggilan, pada akhirnya

keluarga pun memberikan dukungan penuh pada partisipan.

3. Partisipan Penelitian 3 (SY)

a. Gambaran umum partisipan

Identitas

Inisial : SY

Usia : 34 tahun

Pendidikan terakhir : SMA

Anak ke- : 1 dari 3 bersaudara

Agama : Buddha

Partisipan yang berasal dari Aceh adalah anak pertama dari tiga

bersaudara, memiliki dua adik laki-laki. Saat ini SY berusia 34 tahun,

Page 66: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

109

latar belakang agama keluarganya adalah agama Buddha. Saat masih

SMA kelas dua, dia memiliki keinginan untuk mengikuti pelatihan

hidup membiara, akan tetapi keluarga tidak memberikan ijin sehingga

dia pun harus mengurungkan niatnya untuk dapat menjalani hidup

membiara. Tidak berselang lama saat kelas dua dan menjelang naik

kelas tiga SMA, ibunya meninggal, tinggalah dia, ayah, dan kedua

adiknya. Setelah lulus SMA, SY bekerja di Medan selama 4 tahun di

bagian finance, setelah itu dia pergi ke Jakarta untuk bekerja menjadi

kepala kasir.

Sekitar tahun 2004 SY kembali harus kehilangan seluruh

keluarganya akibat bencana tsunami. Dari peristiwa tsunami tersebut

dia kehilangan ayah dan kedua adiknya, saat bencana tsunami terjadi,

dia sedang tidak berada di Aceh bersama keluarganya karena tengah

bekerja di Jakarta. Setelah peristiwa bencana alam tersebut, SY pergi ke

Malaysia untuk bekerja selama dua tahun. Setelah bekerja di Malaysia

selama dua tahun, SY akhirnya memutuskan untuk kembali ke

Indonesia dan bekerja kembali di Jakarta. Setelah berada di Jakarta, dia

memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan kehidupan

duniawinya untuk hidup membiara.

Keinginan hidup membiara yang sejak SMA di simpan dalam

hatinya kembali muncul ketika SY melihat dan berkenalan dengan

10samaneri dari aliran Theravada di media sosial facebook. Hingga pada

akhirnya dia pun bertemu dengan samaneri dan juga 11

bhante yang

10

Calon bhikkhuni (dalam agama Katolik disebut novisiat).

11 Panggilan lain dari bhikku atau biksu

Page 67: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

110

nantinya akan menjadi gurunya, pada akhirnya SY pun memutuskan

meninggalkan pekerjaannya pergi ke Jawa Tengah untuk menjalani

kehidupan membiara. Sekarang SY telah menjadi samaneri dan sedang

menjalani perkuliahan mengambil bidang ilmu agama Buddha di Jawa

tengah, tepatnya di sekolah agama Buddha di Ampel.

b. Laporan Observasi Partisipan

Wawancara yang pertama dilakukan pada hari sabtu, 12 Januari

2013, lokasi wawancara dilakukan di dalam vihara yang ada di sekolah

agama Buddha, di Ampel. Wawancara berjalan selama kurang lebih

tiga puluh menit. Saat wawancara, SY memakai jubah berwarna coklat,

yang menjadi pakaiannya sehari-hari, dengan memakai gelang yang

memiliki bandul bergambar Sang Buddha. Partisipan juga memiliki

perawakan yang gemuk dan menggunakan kacamata. Saat wawancara

berlangsung, SY kadang kala melihat kesebelah kanan (pintu vihara)

dan memandang jauh.

Pada wawancara partisipan membawa serta handphone, dan sekitar

5 kali dia melihat dan mengecek pesan masuk, dan itu juga dilakukan

saat menjawab pertanyaan dari peneliti. Hal ini secara tidak langsung

membuat SY tidak terlalu fokus untuk menjawab pertanyaan yang

diberikan, dan hal ini berakibat pada SY yang harus mengulangi

jawabannya. Partisipan merupakan orang yang ramah, ini dapat dilihat

dari caranya berbicara yang selalu tersenyum dan tertawa setiap

menjawab pertanyaan yang diberikan padanya, bahkan saat SY

bercerita mengenai peristiwa kehilangan keluarga intinya akibat

Page 68: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

111

bencana tsunami. Partisipan masih tetap menceritakan sambil tertawa,

walaupun sedikit agak canggung dalam menjawab. Hal ini terlihat raut

wajahnya saat tertawa terlihat seperti tertawa dipaksakan, mata terlihat

sedih tetapi bibir SY tersenyum. Pada wawancara yang pertama ini,

peneliti tidak bertanya lebih mendalam mengenai peristiwa bencana

alam yang menimpa keluarga, karena SY terlihat tidak terlalu nyaman

dengan melihat reaksi SY tadi.

Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 30 Januari 2013,

pada pukul 14.27. Pada wawancara yang kedua SY terlihat sudah

terlihat nyaman untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

diberikan, terlihat dari caranya dalam menjawab setiap pertanyaan

dengan jelas dan dapat menceritakan dengan rinci perasaan ataupun

pengalaman yang dialaminya dalam proses mengambil keputusan

membiara. Untuk wawancara yang kedua ini, peneliti bertanya lebih

mendalam mengenai peristiwa kehilangan yang terjadi pada diri SY,

yang sebelumnya peneliti hindari di wawancara pertama. Pada

wawancara yang kedua ini, ketika partisipan diminta untuk

menggambarkan perasaannya saat peristiwa kehilangan anggota

keluarganya, raut wajah SY terlihat sedih, terlihat dari sorot matanya

yang terkadang memandang ke bawah dan ke peneliti, dan senyumnya

yang hilang saat menceritakan dirinya sempat down, merasa seperti

orang gila, dan sempat mengalami kecelakaan karena merasakan

kehilangan yang mendalam.

Hal ini kontras ketika peneliti bertanya kepada SY mengenai

pengalamannya bertemu dengan gurunya, hingga pada akhirnya

Page 69: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

112

memutuskan hidup membiara. SY terlihat antusias saat bercerita

pertemuannya dengan guru dan seniornya, hal ini terlihat dari suara SY

yang lebih jelas dan lantang, dan raut wajah SY yang kembali terlihat

tersenyum sambil bercerita. Ketika SY menceritakan gambaran

mengenai pribadi gurunya, SY pun terlihat bersemangat, bagi SY

gurunya seperti orang tuanya sendiri, dan kakak sepergurannya sudah

seperti kakaknya sendiri.

c. Analisa Verbatim

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh

beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara

psikologis, antara lain :

Analisis Verbatim P3W1

Makna Teks dan Kode

P memutuskan hidup

membiara setelah

kehilangan seluruh

keluarganya karena

musibah.

Keinginan ini timbul waktu saya SMA kelas 2, nah

mama masih hidup waktu itu, kan saya anak

cewek satu-satunya adik saya dua cowok, nah saya

ijin sama mama tapi gak dikasih ya udah saya

urungkan niatnya, nah udah gitu mama meninggal

akhir saya SMA kelas 2 mau naik kelas 3 mama

meninggal, kemudian waktu 2004 orang tua saya

kena tsunami, nah kena tsunami sama adik saya

jadi tinggal saya sendiri, jadi saya berpikir ulang

kenapa tidak saya ambil membiara gitu kan, e…

sedangkan kedua orang tua saya sudah tidak ada

gitu kan, akhirnya saya memutuskan keluar dari

pekerjaan saya, saya hidup membiara (P3W1 12-

Page 70: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

113

24).

Sebelum menjalani

hidup membiara P

pernah bekerja.

Selama berapa tahun ya (sambil melihat ke atas

mencoba mengingat), saya tamat tahun 99 sampai

tahun 2004 kemaren saya bekerja di Medan bagian

finance itu 4 tahun, habis itu kepala kasir di

Jakarta dan kemudian pernah kerja di Malaysia,

baru kesini (sambil menunjuk tempat wawancara

kami) (P3W1 29-35).

Keinginan hidup

membiara timbul ketika

saat kecil melihat

seorang bhikkhu.

Enggak (menggelengkan kepala), nah waktu kecil

kan kita tinggal di Aceh, jarang sekali ada bhikkhu

yang kesana, jadi pas bhikkhu datang itu kita liat,

ih hidupnya tenang, orangnya anggun, akhirnya

saya suka, nah pas SMA itu saya memutuskan

untuk ikut pelatihan tapi ternyata tidak direstui

(P3W1 38-44).

Sering terjadi

permasalahan dalam

keluarga P.

Karena gini, saya kan dari keluarga yang dibilang

kaya tidak, dibilang miskin juga tidak karena kita

hidup sederhana nah kita liat, kan orang tua

kadang kan masalah keuangan kan ada cekcoknya,

nah kemudian saya merasa bosan dengan cekcok-

cekcok orang tua (P3W1 56-61).

P menginginkan

kehidupan damai seperti

seorang bhikkhu.

nah saya liat ternyata seorang bhikkhu itu

hidupnya damai, jadi saya ingin kehidupan yang

damai itu jadi saya ingin sekali latihan tapi gak

direstui orang tua (sambil tersenyum) (P3W1 61-

65).

Penolakan dari orang tua

saat P memutuskan ikut

pelatihan.

ee…, waktu itu mungkin masih anak SMA ya jadi

gak direstuin ya udah cuek gitu, konsentrasi

dengan sekolah dan pelajaran lagi (P3W1 68-70).

Rasa tanggung jawab Kecewa pasti, tapi ya mungkin mereka orangtua

Page 71: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

114

pada keluarga membuat

P mengurungkan niat

hidup membiara

meskipun P sempat

merasa kecewa.

jadi tidak terlalu mengambil hati, mungkin karena

alasan mama begini, saya cewek satu-satunya di

keluarga nah kalau saya membiara, ee… mama

gak rela, jadi ya udah saya menerima, apalagi

setelah mama meninggal kan, tinggal papa sama

adik, nah habis itu saya merasa ooo, ya udah saya

ngurus keluarga (P3W1 74-81).

Keinginan hidup

membiara dirasakan

kembali saat P

kehilangan keluarganya.

Setelah saya mengetahui orang tua saya

meninggal, papa kena tsunami, adik kena tsunami,

jadi satu keluarga 3 orang kena tsunami, kan

mama meninggal dan yang ketiganya itu kena

tsunami, settelah itu saya berpikir, memang kerja

saya gaji lumayan, tetapi saya berpikir ulang, saya

kan bertekad tidak ingin berumahtangga, tidak

berumahtangga, saya berpikir ulang saya cari uang

banyak-banyak untuk apa, jadi ya udahlah saya

memutuskan saya ingin hidup membiara aja

(P3W1 87-96).

Perasaan hampa

walaupun P memiliki

banyak uang.

Ha ah, habis tsunami saya sempat bekerja di

Malaysia selama 2 tahun, jadi saya berpikir kerja

berat-berat banyak uang untuk apa, jadi saya

memutuskan untuk membiara (P3W1 99-102).

P mengurungkan niat

hidup membiara karena

tidak ada bhikkhuni

dalam aliran Theravada.

Waktu saya SMA itu saya kan….. kita kan di

agama Buddha ada 3 aliran, nah aliran Mahayana,

Theravada, dan Tantrayana (P3W1 117-119)

Saya dari dulu ingin sekali memakai jubah seperti

ini yang Theravada nah dialiran Theravada itu

bhikhuni itu belum ada, jadi saya memutuskan ya

udahlah saya enggak latihan dulu, saya enggak

membiara dulu (P3W1 124-128)

Page 72: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

115

Informasi keberadaan

bhikkhuni Theravada

membuat P kembali

menjadi tertarik hidup

membiara.

nah kemudian kan saya bekerja-bekerja, nah waktu

mulai aktif facebook, facebook mulai

membooming nah kita main-main di facebook, nah

lihat kok ada samaneri yang pakai jubah ini, nah

saya merasa tertarik kan, saya tanya kok, eee tukar

no telephone, kemudian dibilang saya (orang yang

bertukar no telephone) sekarang pelatihan di Jawa

Tengah katanya, jadi saya bilang saya ingin sekali

latihan, waktu itu saya pulang dari Malaysia, dia

bilang kalau misal mau latihan nanti kita ketemuan

dulu di Jakarta, waktu itu saya domisili di Jakarta,

kemudian kita jumpa dan ketemu dengan guru

saya sekarang ini, bhante S, kita jumpa di Vihara

Ekayana, kemudian saya merasa saya dekat

dengan bhante S, jadi kita sering kontek-kontek,

akhirnya saya memutuskan, sudah ternyata sudah

ada samaneri yang jubah kayak gini, jadi saya

ingin latihan (P3W1 129-146).

Saat keinginan hidup

membiara muncul

pertama kali, ibu yang

diberitahu pertama kali.

Mama, karna kan saya satu kamar sama mama,

jadi sering curhat sama mama. Nah saya memang

waktu memutuskan hidup membiara itu memang

saya aktif di vihara, saya aktif di vihara kan, tapi

mama kan memang agama Buddha tetapi tidak

mengerti ajaran Buddha itu apa, mereka hanya ke

klenteng, hanya sembahyang-sembahyang bakar

hio, nancep gitu udah permohonan-permohonan

gitu, mama cuma tau begitu, mama tidak aktif, jadi

waktu saya bilang ingin menjadi samaneri gitu kan

ikut pelatihan membiara mama langsung gak

setuju (P3W1 159-170)

Page 73: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

116

Orang tua takut jika P

hidup membiara, maka

tidak akan bertemu lagi.

karna kan pendapat orang tua itu kalau kita sudah

hidup membiara itu tidak boleh ketemu orang tua

lagi begitu pemikiran mereka, jadi waktu itu kan

saya masih vakum gak mengerti apa-apa tentang

membiara itu, jadi saya bilang “boleh lah, boleh

pulang”, kata mama “gak boleh, itu anaknya siapa

(teman) jadi biksu gak boleh pulang”, jadi mama

gak kasih karna kan saya cewek satu-satunya.

Padahal boleh kalau kita memang ada waktu,

mengunjungi orang tua boleh (P3W1 171-179).

P menghadapi salah satu

keluarga yang

menyayangkan

keputusan membiara.

Ada dari paman saya, kan perlu ijin dari keluarga

terdekat untuk ikut latihan, karena keluarga saya

gak ada, saya ijin ke keluarga paman, nah waktu

saya minta ijin dia bilang, “gak usahlah, nikah

aja”, aduh saya gak kepikiran nikah gitu, ya kata

paman kalau memang kamu merasa ingin seperti

ini, ya kamu jalani, jangan buat yang jahat-jahat,

jangan terpengaruh dengan teman yang enggak-

enggak, kalau kamu mau membiara ya silahkan

yang penting kamu bisa jaga diri (P3W1 182-191).

Dukungan dari teman-

teman P untuk

keputusannya hidup

membiara.

Waktu saya aktif di vihara Ekayana Jakarta, di

Ekayana Buddhist Center, saya punya temen

banyak, dan mereka mendukung, sebenarnya

mereka juga ingin seperti saya, ikut latihan hidup

membiara, tetapi mereka kan masih dari keluarga

yang lengkap jadi mereka terbebani, belum bisa,

tapi mereka tetap mendukung saya (P3W1 194-

201).

Tuntunan yang diberikan

oleh kakak seperguruan

Nah dukungan kedua mungkin dari samaneri yang

saya kenal itu, samaneri T namanya, waktu saya

Page 74: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

117

membantu P

memantapkan

panggilannya.

kesini ke Jawa ini, saya tuh gak kenal Jawa tuh

kayak gimana, kotanya bagaimana, saya gak tau,

tapi bhante S, guru saya itu bilang, “kamu datang

ke Jawa, nanti dijemput sama samaneri T, jadi

saya datang sendiri kayak orang ilang (tersenyum

dan tertawa), nah habis itu ketemu sama samaneri,

kita gak saling kenal hmmm… akhirnya “dimana

kamu?”, “saya disini”, dan yang keluar pake jubah

gini (menunjuk jubahnya), ya berarti dia ( sambil

tersenyum), baru kita kenalan. Padahal saya belum

kenal apakah orang baik atau tidak, tapi saya

memberanikan diri (P3W1 211-225).

Proses adaptasi yang P

lakukan saat pertama

kali masuk dalam biara

mendapatkan dukungan.

Kasih support terus karna untuk latihan membiara

itu tidak mudah, sangat tidak mudah karna pertama

harus adaptasi dulu, nah saya sampai disini

pertama sampai disini, saya dibiarkan lepas gitu,

gak ditegur, gak disuruh makan, jadi dilepasin,

saya kan bingung saya masih awam sekali, saya

tanya samaneri D, kalau ke vihara itu kita harus

gimana, nah kalau guru saya bhante S, itu biasanya

kalau bawa murid, dibawa kesini terus disuruh

adaptasi selama satu atau dua minggu, biar

beradaptasi kehidupan disini itu seperti apa dan

bagaimana kebiasaannya, setelah itu kita akan

ditanya, mau lanjut apa lepas (keluar dari hidup

membiara). Nah setelah 7 minggu, bhante S, suruh

12samanera gundulin, “kamu sudah siap?”, “siap”,

biar kita terbiasa hidup dilingkungan seperti ini

12

Calon bhikkhu

Page 75: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

118

(P3W1 227-243).

Dukungan yang

diberikan oleh guru.

He eh, tergantung dari orangnya sendiri juga, tidak

dipaksa. Guru saya juga selalu beri dukungan

dengan berkata yang penting semangat kalau

sudah ada niat tapi gak semangat sama aja boong,

kalau sudah ada niat dan tetap semangat itu baru

gitu (P3W1 252-257).

P merasakan proses

adaptasi yang sulit saat

hidup dalam biara,

terutama dalam hal

aturan makan.

Pertama masuk saya jadi anagarini, kalau waktu

masih umat awam kan kita makan 3 kali sehari,

setelah kita masuk kan kita 2 hari sekali, lewat dari

jam 12 kita tidak makan lagi, nah itu mungkin

berat bagi saya waktu awal-awal, tapi saya

berusaha saya bisa, saya bisa, tapi malemnya

keroncongan (sambil tertawa), tapi saya minum

teh akhirnya bisa (P3W1 262-269).

Dalam menghadapi

masalah dengan rekan-

rekannya, P lebih

mengalah.

Kita teman biasa, walaupun kita dibedakan oleh

jubah dan pemikiran kita masih awam, tapi

seawam-awamnya pikiran samaneri, kita harus

mengalah, misalnya ada masalah kita ya selesaikan

dengan cepat, pertengkaran pasti ada, selisih

paham pasti ada tetapi kita selesaikan secepatnya

kalau bisa, kita bertanya ada apa, misalnya mereka

bilang kamu gini-gini, y a wes besok saya gak

kayak gitu, nah gitu (P3W1 273-281).

Perasaan rindu bertemu

dengan mama angkat

terkadang hadir.

Ada, karna masih ada, apalagi ada mama angkat,

mama angkat sangat baik, nah saya ni liburan

rencana pengen pulang, tapi KKN nanti, nanti

kalau udah tamat nanti pulang, kan saya

rencananya saya diwisuda suruh mereka datang,

tapi kalau gak bisa saya yang kesana (P3W1 284-

Page 76: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

119

289).

Keinginan P untuk

memiliki keluarga yang

akur dan kehidupan yang

lebih damai, seperti

hidup seorang bhante.

Nah karna itu kan, bosen sama cekcok orang tua

itu kan pertama karena saya merasa di Aceh itu

kan di kampung, walaupun kampung pun masih

agak kota, misalnya gini, kita pulang malam aja,

kita bisa jadi gossip satu RT, aduh manusia ini,

kita bosan dengan yang seperti itu, kalau bilang

saya ingin mengasingkan diri, memang mungkin

itu, tetapi saat kita lihat kehidupan seorang bhante

sangat damai, kenapa saya mesti mengasingkan

diri, kalau saya bisa seperti mereka gitu kan, punya

keluarga yang akur, itu yang membuat saya

ingin… sekali latihan membiara (P3W1 296-307).

Rasa senang yang

dirasakan oleh P setelah

menjadi seorang

samaneri walaupun pada

awalnya merasakan

takut.

Senang sekali tentunya, dan oo jadi samaneri itu

gini ya ternyata, saya ini dulunya penakut dibebani

dengan tugas ceramah di depan orang banyak

sangat sangat membuat saya kedinginan

(hehehehe…..), aduh keringatan tapi sekarang saya

seneng kalau disuruh ceramah saya seneng,

ketemu sama ibu-ibu, bapak-bapak, itu tidak beban

lagi bagi saya, mungkin awal-awal iya (P3W1

310-317).

P merasakan ragu, takut

saat harus berhadapan

langsung dengan umat

dan berpikir untuk

keluar.

Disitu saya ketakutan, keyakutannya gini

bagaimana ya saya jika berjumpa dengan umat,

nanti umat tanya a saya jawabnya c, karna waktu

saya di Aceh itu pendidikan agama Buddha itu

kurang sekali, nah disini saya kuliah, awalnya saya

gak niat kuliah, disini untuk latihan membiara,

tetapi saya ingat lagi umatnya aja sudah pinter-

pinter nanti saya diatanya a jawabnya c, kan gak

Page 77: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

120

nyambung banget, ketakutan, was-was, kadang

saya berpikir ingin pulang aja, (P3W1 328-337).

P mengembangkan

disiplin rohani sebagai

pembekalan sebelum

melayani

masyarakat/umat.

tetapi gak ah aku udah sampe sini, ngapain pulang

lagi gitu kan pokoknya berkecambuk disitu,

akhirnya disitu bhante menyuruh latihan membaca

parrita, membaca sutra, mantra, pokoknya setiap

hai tuh ada latihannya, jadi nanti untuk terjun ke

masyarakat kita bisa jadi setiap hari latihan-latihan

ya itulah (P3W1 337-344).

Dukungan dari umat

menjadi motivasi untuk

P mantap dengan

panggilannya.

Pasti ada, waktu awal-awal, saat saya menjadi

samaneri diwajibkan ceramah, saya tuh kesulitan

aduh saya pingin pulang aja, jadi umat biasa

bekerja begitu, tetapi setelah dijalani ceramahnya,

saya gak takut lagi, malah beberapa orang bilang

“samaneri sukses lho, umatnya pada senang”, ibu-

ibunya pada suka, jadi itu yang membuat saya

termotivasi banget (P3W1 348-355).

Analisis Verbatim P3W2

Makna Teks dan Kode

Peristiwa kematian pada

anggota keluarga

mempengaruhi perubahan

orientasi hidup P.

Begini kan setelah tamat sekolah SMA, saya kan

sudah keluar kota, awal ke Medan lalu ke Jakarta,

nah tahun 2004 itu kan tsunami nah setelah itu a…

saya masih apa, setelah tsunami itu saya masih

sempat kerja ke Malaysia, nah setelah ke Malaysia

kan balik, balik saya pikir ulang kalo misalnya

saya masih kerja terus gitu kan, kan keinginan

saya untuk latihan ini kan sudah dari dulu, jadi

saya berpikir lagi, selesai nabung uang begitu

banyak untuk apa gitu kan, keinginan menikah

Page 78: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

121

memang tidak ada, tidak ada jadi ya sudah saya

bilang ya sudah saya mau latihan saja apalagi

waktu itu udah kenal dengan samaneri T itu dari

facebook, nah udah kenalan itu ya udah itu yang

membuat tekad saya makin bulat (P3W2 14-28).

Kehilangan keluaraga

akibat tsunami

meninggalkan perasaan

duka yang mendalam.

Itu sangat apa….. piye ya… a… peristiwa itu

sangat melukai saya, karna tiba-tiba dulu tiba-tiba

saya harus kehilangan ibu karna saya dekat sama

ibu apalagi saya cewek satu-satunya di rumah tapi

setelah ibu meninggal kan sedikit demi sedikit…

sempat tinggal dengan adik mama di Biak, setelah

itu saya memutuskan ya saya kembali ke bapak

sama adek-adek saya. Nah setelah kita apa tinggal

bersama, walaupun tetap kan saya tamat sekolah

saya berpisah sama orang tua, saya kerja keluar

kota tetapi kita tetap… misalnya setahun sekali

kadang…setengah tahun sekali saya pulang ke

Aceh, jumpa… jumpa walaupun kita jarang jumpa

tapi lebih akrab gitu, sekali pulang itu akrab

banget ((P3W2 31-45).

Perasaan kehilangan

keluarga dan materi

membuat P merasa

terganggu jiwanya.

nah tiba-tiba harus kehilangan semuanya sak

rumah-rumahnya gitu kan, jadi seperti.. ya bisa di

bilang waktu itu selama dua bulan saya berpikir

kayak orang gila sempat jatuh dari motor kan nah

kayak orang gak bener gitu, ya saya kadang pergi

sama temen sampe malem gitu, habis itu saya…

saya berpikir yang ngalamin hal itu bukan saya

sendiri karna kan teman-teman lain juga seperti itu

ada temen saya juga kehilangan sekeluarga tinggal

dia sendiri tapi dia masih bersemangat ya udah

Page 79: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

122

saya kembali lagi saya memutuskan itu kerja dulu,

ada yang ngajak ke Malaysia (P3W2 45-56).

Upaya menyenangkan

ayah tidak berhasil

karena kematian ayah

yang tidak terduga.

Sempet down, karna kan kejadiannya minggu, nah

sabtu malem itu kita masih sempat teleponan, nah

papa kan suka liat film-film serial-serial drama

gitu kan, yang serial drama Taiwan, Korea, nah

saya dah beli banyak udah packing, mau kirim

minggu ini, ternyata belum kirim udah gak ada

duluan… itu (P3W2 59-65).

Jika keluarga masih ada,

P berpikir tidak akan

hidup membiara, karena

keluarga menginginkan P

menikah.

Mungkin pada saat itu jika orang tua saya masih

lengkap, mungkin saya tidak memutuskan untuk

latihan, karna kan bagaimanapun mama saya ingin

saya menikah, waktu mama meninggal kan saya

masuk SMA kelas 1, nah dari situ seperti remaja

biasa yang sempat pacaran (P3W2 76-81).

Rasa tanggung jawab

pada keluarga membuat P

memutuskan tidak hidup

membiara.

, ketika mama meninggal masih pacaran kemudian

…aa… agama kita beda tapi setelah itu tamat

SMA papa gak setuju, nah saya memutuskan kerja

di luar kota kita pisah, nah setelah itu saya gak

kepikiran untuk menikah tetapi saya kepikirannya

pengen kerja…kerja…kerja… gitu, karna walapun

keluarga kita tidak kaya banget sederhana, saya

tidak pernah menyusahkan orang tua, nah saya kan

suka jalan-jalan ke luar negeri, jadi kerja itu…

saya sempet ke luar negeri jalan, nabung jalan, nah

kalo keluarga masih ada mungkin saya masih ingin

kerja, ingin jalan-jalan gitu (P3W2 81-93).

Ada rasa takut saat

pertama kali bertemu

dengan bhikkhu, karena

Partama sekali lihat bhikkhu itu takut, rasa takut

ada, karna kan kita jarang ketemu sama orang-

orang kayak gitu karna di Aceh kan jarang, nah

Page 80: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

123

tidak pernah

berkomunikasi dengan

seorang bhikkhu.

sekali ketemu kita merasa takut pernah ketemu

tetapi jarang-jarang sekali, jadi sekali ketemu itu

kita takut, jarang berkomunikasi (P3W2 104-109).

Pertemuan dengan

seorang bhikkhu yang

mengesankan

berpengaruh pada

munculnya keinginan

hidup membiara.

nah pada saat itu saya mulai aktif di Vihara kan,

aktif…aktif … jadi kita akrab dengan guru agama

di sana, bukan guru agama spesial ngajar agama

enggak tapi ngurus Vihara gitu kan, nah kita akrab

jadi suatu hari bhikkhunya datang ngajak kita

keluar, misalnya ni Banda Aceh kan ibukotanya

nah ada Aceh Besar misalnya ke Melaboh ke

Langsa gitu kan, nah kita di ajak, jadi yang pergi

saya sama temen saya berdua nah sama guru

agama itu kemudian ada bhikkhunya satu, nah

kemudian kita akrab di situ sama bhikkhu, yah ooo

ternyata seorang bhikkhu itu bawaannya tenang,

santai, baik, dan sebagainya, itu yang memotivasi

oo ternyata kehidupan bhikkhu itu begitu

menyenangkan (P3W2 109-123).

P menginginkan

kehidupan keluarga yang

tenang dan jauh dari

pertengkaran.

Begini, karna pada waktu itu apa masih anak-anak

gitu saya sering liat orang tua saya bertengkar,

bertengkar kan kayaknya… kalo udah bertengkar

itu kan namanya anak-anak, waktu itu remaja yak

an merasa gak tenang hidupnya, jadi setiap hari

ada warna warni pertengkaran gitu kan, kita

rasanya sebel gitu, jadi gimana sih rasanya biar

damai. Habis itu mama itu sering..eee … apa,

mungkin dulu saya bandel banget jadi sering di

pukul mama gitu, jadi waktu itu saya ingin sekali

apa, punya keluarga yang bahagia, yang tenang

gitu, tidak ada pertengkaran itu yang membuat

Page 81: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

124

saya pengen cari suasana yang tenang bebas dari

cekcok cekcok (P3W2 133-145).

Rasa tenang yang tidak

diperoleh dari orang

tuanya, P rasakan saat

bersama dengan bhikkhu.

Begini e…, gimana ya seorang bhikkhu itu kalau

berjalan kan kayaknya damai liatnya, dia

membuat..membuat saya itu seperti nyaman,

nyaman berada di sisi dia gitu kan, jadi seperti

saya berjumpa dengan guru saya ini saya liat…

jiwa bapaknya itu ada gitu jadi saya merasa

nyaman, tenang di sisi dia gitu kan, jadi ya udah,

padahal saya belum kenal banget sama guru saya

pertama saya jumpa, baru ketemu dua kali, tapi

beda perasaannya ada perasaan yang berbeda,

mungkin saya tidak mendapatkan perasaan itu

ketika orang tua saya masih lengkap, ya kata

sekarang ini kurang perhatian lah, nah jadi sekali

liat seorang bhikkhu itu ooo seorang bhikkhu itu

seorang yang melindungi (P3W2 149-163).

Bagi P, bhikkhu seperti

orang tua yang

diharapkannya.

He eh mungkin, jadi seorang bhikkhu itu seperti

orang tua yang saya harapkan, seorang ayah yang

saya harapkan (P3W2 166-168).

Ketidak-harmonisan

dalam relasi orangtua

membuat P merasa tidak

nyaman hidup dalam

keluarga.

Gak mengerti ya, mungkin saya kurang nyaman

hidup dengan ayah dan ibu, nah habis itu saya

pernah denger cerita dari tetangga-tetangga itu,

waktu itu saya masih kecil orang tua saya

hidupnya mapan, ya bisa di bilang orang kaya gitu

kan mapan, sejak itu jatuh usahanya, nah kira-kira

apa saya gak ngerti karna waktu itu masih kecil,

nah sejak itu orang tua sering bertengkar, kalo

dulu waktu mapan kata tetangga saya kan mama

kan sering jalan-jalan ke rumah tetangga maen,

Page 82: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

125

saya sering dibawa, mama sayang kok katanyanya,

tetapi setelah jatuh itu mungkin, yah dari kaya

tiba-tiba miskin mungkin gak menerima ya… jadi

kita sebagai anak merasa kok orang tua kita gak

perhatian sama kita, waktu kejadian saat kecil kan

kita gak mengerti tetapi setelah SMP SMA, kita

mengerti kok ayah dan ibu gitu (P3W2 171-187).

Penolakan awal dari

orangtua tidak

mengecewakan P karena

P merasa masih

mempunyai kesempatan.

Dalem sih gak dalem, karna saya kan berpikir

begini, ya saat ini mungkin belum, mungkin nanti

kan karna waktu itu saya mikirnya gini, kan umur

saya masih panjang kok saya masih muda, nanti

saya umur tiga puluh saya umur empat puluh saya

masih bisa latihan gitu, ya udah saya gak terlalu

kecewa banget.

Iya, jadi ada temen maen, masih ada kegiatan lain,

jadi saya lupa gak terlalu kecewa banget (P3W2

192-198).

Keinginan hidup

membiara saat melihat

seorang bhikkhu masih

ada, walau keluarga tidak

merestui.

Sempat hilang, tapi tetap saat jumpa dengan

bhikkhu itu tetap…tetap pengen. Kan karena

pelatihan kita juga kan gak di batasi umur, jadi

kapan pun kita siap kita bisa (P3W2 204-207).

Kesibukan pekerjaan

mengalihkan minat P

yang semula ingin hidup

membiara.

Gak, sewaktu di Malaysia gak muncul, gak

muncul mungkin terlalu nyaman dengan

kehidupan di sana, ataupun terlalu disibukan oleh

kerjaan di sana, karna kan saya kerja sehari dua

belas jam, jadi pergi pagi pulang malam jam tujuh,

kadang kita tukar shift jam tujuh malem pulangnya

jam tujuh pagi, jadi sibuk sibuk jadi gak kepikiran

kesana, nah setelah dua tahun kan kita namanya

Page 83: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

126

gak punya tanggungan hidup jadi nabung kan

banyak gitu, nah pulang-pulang pengen usaha tapi

usaha apa gitu kan pengen ini penen itu tapi buat

apa gitu, nanti kalau saya sakit atau meninggal

sapa yang ngurus semua itu gitu kan, ya udahlah

pas chating-chating di facebook ketemu sama

samaneri T, baru kepikiran lagi gitu (P3W2 214-

228).

Perjumpaan dengan

samaneri yang beraliran

Theravada menghidupkan

kembali minat hidup

membiara pada diri P.

Belum, jadi setelah saya dari Malaysia, saya kan

bekerja di Jakarta, nah saat itu kan mulai heboh

facebookan nah kita mulai chatingan cari teman

gitu kan cari dapetlah samaneri T, samaneri T ini

pake jubah Theravada nah dulu kan saya ingin

pake jubah Theravada nah saya liat kok sekarang

ada yang cewek pake jubah Theravada ya udah tak

chating-chating kenalan-kenalan, pernah samaneri

T datang ke Jakarta jumpa sama saya bareng guru

saya sekarang ini (P3W2 242-251).

Kekhasan membiara pada

aliran Theravada

membuat P tertarik untuk

menjalaninya.

Oo, waktu dulu kan belum ada wanita yang

memakai jubah Theravada, dan itu yang mungkin

membuat saya juga mengurungkan niat untuk

mengikuti pelatihan, karna saya merasa kalau pake

Mahayana yang kayak baju Taiwan itu kan

ritualnya banyak, sembayang sana, jadi lebih

fokusnya ke ritual, saya gak suka, saya lebih suka

Theravada, karna Theravada itu lebih ke meditasi

jadi lebih simpel daripada Mahayana, nah itu

mungkin faktor yang membuat saya

mengurungkan niat saya dulu (P3W2 254-264).

Minat P semakin kuat nah ketika saya melihat samaneri T, lho kok sudah

Page 84: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

127

untuk membiara setelah

bertemu dengan

samaneri.

ada oo ya udah saya ajak chating saya tanya

samaneri sekarang memang wanita uda boleh pake

jubah Theravada, kata samaneri T, boleh, saya

latihan di Jawa, di sini ada beberapa orang

samaneri katanya gitu (P3W2 264-269).

Kemudahan mengikuti

pelatihan menambah

semangat P untuk hidup

membiara.

nah anagarini juga ada, nah kalo gitu kalo latihan

harus nunggu pabbaja atau kita boleh datang

langsung, kata samaneri datang langsung boleh

nunggu pabbaja boleh, tapi setelah bertemu sama

guru sudah merasa nyaman gitu dan siap untuk

latihan boleh datang sendiri katanya gitu, ya udah

saya bilang saya pengen ketemu…saya pengen

ketemu… nah samaneri sama guru saya ada acara

di Jakarta kita jumpa (P3W2 269-278).

Ada rasa takut yang P

rasakan saat pertemuan

pertama P dengan sang

guru (bhante).

Dag dig dug, gak tau dari dulu saya kalo ketemu

sama bhikkhu itu takut, tapi setelah ngobrol itu

nyaman, waktu pertama kali jumpa itu takut, jadi

kita duduk gak kenal kan ngobrol-ngobrol, bhante

tanya keluarga gimana, kedua kali jumpa udah

akrab, yang ketiga kali saya memutuskan, selang

lama juga ya tiga bulan apa empat bulan kita

jumpa lagi lalu saya bilang bhante saya mau ke

Jawa, yah kalau udah niat nanti datang ntar

dijemput sama samaneri (P3W2 280-289).

Beberapa upaya yang P

lakukan untuk

mempersiapkan diri

menjalani kehidupan

membiara.

Iya saya sempat.. rambut saya kan panjang saya

potong pendek temen-temen kan bilang ngapain lu

potong pendek mungkin teman-teman saya kan

teman akrab saya mereka aktif di Vihara jadi

mereka dukung seratus persen, jadi waktu saya

potong pendek, mereka tanya ngampain kamu

Page 85: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

128

potong pendek, saya ingin nanti sampe di sini gak

susah-susah lagi kan digundulinnya gak susah, oo

ya udah mereka ngasih dukungan, dukungan

mereka juga memantapkan saya. Saya juga latihan

tidak makan malem, latihan tidak makan daging,

latihan memberika sedekah-sedekah, misalnya

panti asuhan ini butuh, jadi kita berlatih

melepaskan uang itu lebih banyak dari biasanya

gitu, jadi tabungan saya itu sedikit demi sedikit

saya lepas (P3W2 293-308).

Tidak ada lagi keraguan

pada diri P saat

memutuskan untuk

menjalani hidup

membiara.

Hati saya, waktu saat itu senang sekali tidak ada

keragu-raguan sama sekali, malah temen-temen

bilang, enak ya kamu punya keinginan sebentar

lagi terkabul, kami punya keinginan tapi belum

bisa menjalaninya (P3W2 312-316).

P menemukan sosok

seorang ayah pada

gurunya dan kakak pada

seniornya yang membuat

P mantap pada

keputusannya.

Waktu pertama ketemu dengan guru saya ini saya

buta sama dia, apa hebatnya dia, apa pinternya dia,

waktu pertama ketemu itu yang saya rasakan saya

nyaman, saya merasa nyaman kok bhante ini baik

gitu kan, ayah yang saya harapkan, habis itu

samaneri T juga baik gitu kan seperti ibaratnya

seorang kakak, jadi saya merasa oo mungkin

inilah…inilah guru yang bisa membimbing saya,

samaneri T bilang mungkin bhante S bisa menjadi

guru yang baik buat kita ya udah itu yang

membuat saya mengambil keputusan dengan

mantep, padahal saya gak kenal awalnya (P3W2

323-335).

P melihat bahwa gurunya

sebagai orang tua yang

Setelah jadi muridnya saya melihat oo ternyata

murid bhante S banyak juga sudah pada

Page 86: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

129

bijaksana bagi anak-

anaknya.

tingkatannya sudah tinggi, padahal bhante S kan

umurnya masih empat puluh delapanan, tetapi

muridnya sudah banyak, habis gitu saya juga

mendengar bahwa bhate Sur tidak suka membatasi

muridnya harus seperti ini kamu harus gini..gini..

gak, bhante membiasakan pada murid-muridnya

untuk mengambil keputusan sendiri karna murid-

muridnya sudah di anggap dewasa, jadi segala

keputusan yang di ambil adalah yang benar, nah

nanti kalo ada salah nanti bhante S yang bimbing

lagi, nah begitu banyak masukan-masukan itu

yang membuat saya mulai yakin bener gak sih,

jadi setelah saya lihat-lihat dan alami memang

bhante orang yang seperti itu, dia tidak pernah

misalnya gini, bhante saya mau gini, oh itu gak

bagus kamu gak boleh gini gini gak itu gak pernah,

misalnya kami bilang mau seperti ini bhante

bilang kalau memang itu yang baik kamu ambil.

Jadi bagi saya itu bhante itu bijaksana kalo kamu

mau ambil keputusan seperti ini kamu ambil, kita

kan gak merasa terbebani karna kita sebagai orang

tua kita tidak boleh mengatakan kata-kata jangan,

karna kata-kata itu membuat pikologis anak ini

terganggu. Jadi saya merasa nyaman (P3W2 340-

365).

Seorang bhante, bagi P

adalah panutan bagi

banyak orang.

Ya kalo dulu kan dari seorang bhikkhu doang, yah

saya waktu itu sering melihat bhante Utomo saya

melihat dari luar belum tau dalamnya, kan dia

sering talkshow, banyak orang seneng sama dia

karna dia lucu menyenangkan ramah salah

Page 87: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

130

satunya, saya sempat ke Blitar saya ingin tau oo

bagini kehidupan bhante U, kan saya sempat

mengikuti pelatihan meditasi, setelah kita ngobrol-

ngobrol ternyata bhante tidak menerima murid,

jadi bhante masih ingin melatih dirinya dulu. Tapi

sampe sekarang bhante U mungkin sesosok bhante

yang yang membuat saya oo bhante itu begini lho

begini dalam hal bhante itu bisa jadi panutan bagi

banyak orang, mungkin salah satu faktor saya

menjadi seperti ini salah satunya juga dari beliau,

karna saya suka ngeliat talkshownya (P3W2 367-

382).

d. Kategori

Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari

hasil analisis verbatim P3 dari W1, W2 (terlampir). Setelah proses

pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori

dari setiap makna yang muncul, yaitu :

1. Ketertarikan pada sosok seorang bhikkhu saat masih kecil.

2. Mengharapkan kehidupan yang tenang dan damai.

3. Respon negatif dari keluarga.

4. Menunda mengambil keputusan (coping defensive avoidance)

5. Perubahan orientasi hidup setelah keluarga meninggal.

6. Guru dan seniornya menjadi significant other.

7. Pencarian informasi pelatihan samaneri Theravada lewat internet.

8. Dukungan dari orang-orang terdekat.

9. Konflik batin dalam menjalani hidup membiara.

Page 88: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

131

10. Usaha –usaha beradaptasi dalam biara.

11. Berkomitmen dengan keputusannya.

e. Analisis Pengambilan Keputusan

Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari

perjumpaannya dengan seorang bhikkhu saat masih kecil. Rasa kagum

partisipan pada seorang bhikkhu pada perjumaan tersebut

meninggalkan kesan yang mendalam pada dirinya. Walaupun pada

awalnya ada rasa takut saat berjumpa dengan bhikkhu, partisipan dapat

melihat adanya kedamaian pada kehidupan seorang bhikkhu. Kerinduan

partisipan akan kehidupan yang damai dan tenang dilatar-belakangi dari

kehidupan dalam keluarganya yang sering terjadi konflik.

Ketidakharmonisan relasi ayah dan ibunya membuat partisipan tidak

merasakan kenyamanan dan rasa damai dalam keluarganya. Seringkali

dia menjumpai pertengkaran yang terjadi antara kedua orang tuanya.

Hal inilah yang memotivasi partisipan untuk menjalani hidup

membiara, dia menginginkan kehidupan keluarga yang lebih damai

seperti yang partisipan lihat pada kehidupan seorang bhante.

Panggilan hidup membiara ini dirasakan oleh partisipan ketika

dirinya kelas dua SMA, partisipan memutuskan untuk mengikuti

pelatihan hidup membiara, akan tetapi keluarga memberikan respon

yang tidak sesuai dengan harapannya. Keluarga memberikan penolakan

atas keputusannya mau mengikuti pelatihan membiara. Ketika itu orang

pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya adalah ibu.

Ketidaksetujuan kedua orang tua ini dilatar-belakangi ketakutan orang

Page 89: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

132

tua, jika harus berpisah dengan partisipan, dan takut jika tidak dapat

bertemu lagi, karena partisipan akan hidup dalam biara. Orang tua lebih

mengharapkan agar partisipan menikah saja dan membentuk sebuah

keluarga.

Penolakan dari orang tua saat itu tidak terlalu mengecewakannya

karena saat itu partisipan merasa bahwa kesempatan untuk hidup

membiara pasti akan datang karena membiara dalam agama Buddha

dapat dilakukan pada usia berapapun. Saat itu partisipan masih SMA

sehingga, rasa kecewa dapat dengan mudah dilupakannya, karena

disibukkan dengan aktivitas pendidikan. Partisipan menunda

keputusannya, bahkan dia pun sempat melupakan keinginannya dan

partisipan juga memiliki hubungan spesial dengan temannya saat SMA.

Meninggalnya ibu partisipan di akhir kelas dua menuju kelas tiga

SMA membuat kesempatannya untuk membiara kembali hilang karena

partisipan merasakan tanggung jawab yang besar pada dirinya untuk

mengurus keluarganya setelah ibunya meninggal. Pada akhirnya

partisipan memilih bekerja di luar kota tepatnya di Medan selama

empat tahun dan kemudian pindah di Jakarta. Peristiwa bencana alam

tsunami yang terjadi pada tahun 2004 membuatnya harus kehilangan

seluruh anggota keluarganya yaitu ayah dan kedua adik laki-lakinya.

Pada saat itu partisipan berada di Jakarta, dan malam sebelum peristiwa

tersebut, partisipan masih sempat berbicara dengan ayahnya lewat

telephone. Peristiwa tersebut membuatnya down, dan selama dua bulan

partisipan masih merasa terguncang jiwanya.

Page 90: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

133

Setelah peristiwa kehilangan tersebut, partisipan sempat bekerja

selama dua tahun di Malaysia, kesibukan selama bekerja di Malaysia

dan kelimpahan materi membuatnya melupakan keinginannya dulu

untuk membiara. Akan tetapi suatu waktu partisipan merasakan

kehampaan dalam dirinya yang tidak dapat dipenuhi oleh materi yang

dimilikinya. partisipan merasakan kesia-siaan dengan materi yang

dimilikinya karena dia tidak lagi memiliki keluarga. Partisipan merasa

untuk apa bekerja keras dan mengumpulkan uang banyak, jika

meninggal nanti dirinya tidak memiliki keluarga. Maka dia pun pada

akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan merenungkan akan

masa depannya. Saat merasakan kehampaan hidup, partisipan

merasakan terpanggil kembali untuk hidup membiara seperti

keinginannya dulu. Tanpa sengaja partisipan mendapatkan informasi

dari media sosial facebook mengenai pelatihan dan pentahbisan wanita

buddhis dalam aliran Theravada yang sebelumnya tidak diperbolehkan.

Maka dia pun berkenalan dengan samaneri T dan mencari informasi

mengenai pelatihan membiara. Dari perkenalan tersebut partisipan pun

mengetahui pelatihan membiara dilakukan di Ampel, Jawa Tengah.

Setelah perkenalan dengan samaneri T, partisipan pun memutuskan

untuk bertemu dengan bhikkhu dan samaneri T. Selama tiga kali

pertemuan, partisipan merasakan nyaman dan dia melihat kebaikan

pada diri bhikkhu tersebut. Dia menemukan sosok seorang ayah yang

diharapkan dalam diri gurunya, dan kebaikan seniornya seperti

ibaratnya seorang kakak bagi partisipan.

Page 91: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

134

saya merasa nyaman kok bhante ini baik gitu kan, ayah yang saya

harapkan, habis itu samaneri Thitacharini juga baik gitu kan

seperti ibaratnya seorang kakak, jadi saya merasa oo mungkin

inilah…inilah guru yang bisa membimbing saya (P3W 305-309).

Pada pertemuan yang ketiga, tanpa keragu-raguan lagi, partisipan pun

memutuskan untuk ikut pelatihan dan menjadi murid bhikkhu S, dan

selang empat bulan partisipan bertemu lagi dan dengan mantap

memutuskan untuk mengikuti pelatihan membiara. Adapun persiapan

yang dilakukan oleh partisipan selama empat bulan sebelum berangkat

ke pelatihan, partisipan sedikit demi sedikit mendonasikan tabungannya

untuk kegiatan-kegiatan amal, menyumbangkan pada yang kekurangan.

Partisipan juga memotong rambut panjangnya menjadi pendek karena

partisipan berpikir agar mudah jika digunduli nanti, dia pun berlatih

untuk tidak makan daging, dan tidak makan malam.

Keputusan yang partisipan ambil ini sempat menerima respon yang

negatif dari paman. Pamannya lebih menginginkan agar partisipan

menikah saja membentuk keluarga, dan tidak setuju dengan

keputusannya untuk membiara. Tetapi, melihat keteguhan hatinya

untuk membiara, membuat pamannya pada akhirnya merelakan dan

mendukung keputuan yang partisipan ambil. Selain dukungan dari

keluarga, partisipan pun mendapatkan dukungan yang besar dari teman-

temannya di vihara Jakarta tempat partisipan beribadah.

Konflik batin dirasakan oleh partisipan ketika menjalani kehidupan

membiara dan bertemu dengan berbagai rekan-rekan dalam komunitas

yang berasal dari berbagai daerah, dengan budaya yang berbeda-beda

Page 92: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

135

dengan pola pikir yang berbeda pula. Konflik kadang terjadi di antara

sesama rekan, dan dari situ partisipan belajar untuk mengalah dan

bersabar, dan proses tersebut dapat dijalaninya dengan baik. Keinginan

untuk meninggalkan hidup membiara dirasakan oleh partisipan ketika

harus menjalankan tugas-tugas ceramah pada umat. Ada rasa khawatir

dan takut pada dirinya, dan dia berharap ingin pulang menjadi umat

biasa saja. Akan tetapi partisipan berusaha untuk terus mengembangkan

kedisiplinan rohaninya, dan juga dukungan dari guru dan rekan

membuat partisipan terus berusaha menghadapi ketakutannya dan pada

akhirnya berhasil. Umat bahkan senang jika dirinya berceramah, dan ini

pula yang membuat partisipan semakin termotivasi menjalani hidup

membiara.

4. Partisipan Penelitian 4 (SN)

a. Gambaran umum partisipan

Identitas

Inisial : SN

Usia : 22 tahun

Pendidikan terakhir : SMA

Anak ke- : 8 dari 7 bersaudara

Agama : Buddha

Partisipan berinisial SN, berasal dari Lampung, Sumatera Selatan.

Saat ini SN berusia 23 tahun dan merupakan anak ke delapan dari

delapan bersaudara. Dia juga merupakan anak perempuan satu-satunya

dalam keluarga. SN saat ini menjalani hidup membiara di Ampel, Jawa

Page 93: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

136

Tengah sambil berkuliah. Dia berasal dari keluarga berlatar belakang

agama Buddha. Saat masuk SMA, dia memilih untuk bersekolah di

kota dan indekos. SN, ketika kelas satu SMA, mengalami sakit yang

diakibatkan karena jatuh di depan kamar mandi. Hal ini membuat SN

terkena sakit yang cukup parah dan membuatnya masuk rumah sakit

dan rawat inap selama 35 hari. Setelah keluar dari rumah sakit pun,

perlu beristirahat selama setengah bulan di rumah untuk memulihkan

kondisinya. Sejak saat itu, SN sering kali pingsan dan keluar masuk

rumah sakit karena penyakitnya.

Minatnya pada kehidupan membiara, sudah ada sejak kelas satu

SMA. Dia juga memiliki seorang kakak yang religius dan dekat dengan

kehidupan membiara, karena sejak dari SMA kakaknya ini tinggal

dalam vihara. SN dan kakaknya memiliki hubungan yang sangat dekat.

Dia kagum akan kakaknya yang sudah bisa mandiri sejak SMA.

Kakaknya pun sangat menyayangi dirinya, dan memberi perhatian lebih

padanya. Beberapa kali SN pun berkunjung ke vihara tempat kakaknya

tinggal. Keinginannya untuk hidup membiara, semakin kuat ketika dia

melihat kakaknya yang ingin membiara tidak diijinkan oleh orang

tuanya.

Pada tahun 2010, SN lulus SMA, dan kemudian dia juga sempat

mendaftarkan diri di UNILA (Universitas Negeri Lampung). Pada saat

yang sama, dia mendapatkan informasi adanya pelatihan membiara di

Palembang. Pada akhirnya dia lebih memilih untuk mengikuti pelatihan

membiara (pabbaja) selama setengah bulan. Setelah selesai pabbja, SN

memutuskan untuk melanjutkan niatnya untuk terus membiara. Pada

Page 94: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

137

tanggal 23 Juli, dia ditahbiskan menjadi seorang samaneri dan tinggal

di biara di Palembang. Kemudian, SN disarankan untuk belajar lagi

agama Buddha di Ampel, sekaligus menjalanankan hidup membiara di

Ampel. Hal ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuannya

mengenai agama Buddha, karena gurunya sudah tua dan sering sakit-

sakitan, sehingga tidak dapat membimbing SN secara langsung. Saat ini

dia tengah menjalani perkuliahannya sambil hidup membiara di Ampel,

Jawa Tengah.

b. Laporan Observasi Partisipan

Wawancara yang pertama dilakukan pada 12 Januari 2013, pada

pukul 14.07-14.37 WIB. SN saat itu tengah bersiap-siap untuk

diwawancarai, karena telah diberitahu sebelumnya oleh peneliti. Saat

ditemui SN mengenakan jubah samaneri berwarna coklat yang panjang,

dan mengenakan kacamata, dia pun membawa selembar tisu. Partisipan

memiliki gaya bicara yang tegas dan suaranya pun keras. Partisipan

pada awalnya terlihat masih menjaga jarak dengan peneliti. Hal ini

terlihat saat bercerita tidak melihat langsung pada peneliti. Arah

pandangannya keluar jendela vihara dan sesekali memandangi tisu dan

menggulung-gulung di tangannya. Ketika SN menceritakan bahwa

kedua orang tuanya tidak mendukung keputusannya, dia terlihat

bercerita dengan tegang. Hal ini terlihat dengan nada suara SN yang

bertambah keras, dan posisi badan dan bahu yang sebelumnya terlihat

santai menjadi tegak dan terlihat tegang.

Page 95: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

138

Wawancara yang kedua berlangsung pada hari jumat, 30 Januari

2013, pada siang hari jam 13.21. Wawancara dilakukan di pondok

meditasi, tempat yang berbeda saat wawancara pertama tetapi masih

dalam lokasi yang sama dengan vihara. Karena wawancara dilakukan di

luar ruangan dan saat itu tengah hujan, wawancara sedikit terganggu

dengan suara hujan. Hal ini membuat SN dan peneliti kadang sulit

untuk mendengar percakapan yang terjadi, sehingga perlu untuk

mengulang apa yang dikatakan. Hal ini membuat SN semakin

memperbesar suaranya agar terdengar. Ketika dirinya bercerita

mengapa nekat untuk membiara tanpa ijin orang tua, terlihat SN

bercerita dengan suara yang keras dan telihat bersemangat. Beberapa

kali dia pun memukul-mukul dirinya saat bercerita mengenai

keluarganya dan permasalahan yang terjadi. Pada wawancara ini pun

SN, mengakui bahwa dirinya lebih mudah berkomunikasi dengan orang

lain setelah jadi samaneri. Dia dapat bercerita dengan leluasa, bahkan

pada peneliti yang notabene merupakan orang lain yang baru SN kenal.

SN semakin terbuka dalam pertemuan kedua ini, dan jarak antara

dirinya dan peneliti pun semakin hilang. Dia dapat menceritakan lebih

dalam lagi mengenai pengalamannya nekat membiara, terutama

mengenai penyakit yang dideritanya. Ketika peneliti bertanya mengenai

penyakit apa itu, terlihat SN enggan untuk menjawabnya, sehingga

peneliti pun tidak memaksanya. Hal ini terlihat dari setiap kali bercerita

mengenai penyakitnya, SN tidak pernah menyebutkan nama

penyakitnya, menghindar untuk mengatakannya.

Page 96: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

139

Wawancara yang ketiga dilakukan pada pagi hari pukul 09.35,

tepatnya hari Senin 19 Maret 2013. Pada wawancara kali ini, SN

banyak menceritakan mengenai gurunya (bhante), kekaguman dirinya

akan sosok guru. Rasa bangga SN saat menceritakan gurunya, telihat

dari dirinya yang bersemangat saat bercerita, dengan bahu yang tegak.

Terutama saat menceritakan kebaikan gurunya, yang selalu membantu

orang lain tanpa melihat latar belakangnya.

c. Analisa Verbatim

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh

beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara

psikologis, antara lain :

Analisis Verbatim P4W1

Makna Teks dan Kode

Keinginan hidup

membiara P rasakan

sejak di kelas 2 SMA dan

menjadi semakin kuat

saat melihat kakaknya

tidak diijinkan membiara

oleh ayahnya.

Keinginan itu dateng semenjak saya kelas 2 SMA

(ehem…), ketika itu kakak saya kuliah di Jakarta,

beliau baru semester 3, beliau juga mengambil

keputusan untuk hidup menjadi samanera untuk

hidup membiara. Nah beliau itu, ketika kuliah di

Jakarta itu kan tinggalnya di asrama, dia tidak ijin

ke orang tua dulu, enggak, tetapi dia langsung,

ketika pulang langsung bawa surat, meminta ijin.

Nah ketika itu bapak saya enggak setuju, kedua

orang tua saya nggak setuju dengan apa… dengan

Page 97: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

140

kasarnya orang tua saya itu menyobek surat

persetujuan itu tadi. Mulai dari situ saya

mempunyai keinginan mempunyai niatan, kenapa

enggak untuk mencoba gitu, nah mungkin kakak

saya gak bisa, mungkin saya bisa seperti itu (P4W1

3-16).

P pada akhirnya

memutuskan untuk

mengikuti pelatihan

hidup membiara

(pabbaja).

Nah, setelah saya tahun 2010 itu lulus, bulan Juni..

eh bulan Mei kalo gak salah, nah tanggal 22 Juni

saya mengikuti apa ya.. eee pabaja, pabaja itu

pelatihan samanera samaneri di Palembang, nah

disitu selama setengah bulan dan akhirnya… saya,

saya sendiri samanerinya saya sendiri, sekian

banyak orang cuma saya sendiri perempuan itu dan

akhirnya selama setengah bulan teman-teman saya

sudah lepas, sudah menjadi umat biasa lagi, nah

saya masih tetep lanjut, waktu itu yang lanjut laki-

lakinya cuma dua perempuannya satu saya dan

akhirnya bertahan selama 3 bulan (P4W1 16-27).

P lebih memilih untuk

mengikuti pelatihan

membiara daripada

masuk di Universitas

Lampung.

Sebenernya…………., gini saya waktu itu kan

kakak saya yang dari Jakarta itu, saya sebenernya

gak ada rencana, gak ada rencana mau jadi samaneri

atau gimana-gimana gak ada, cuma pas saat itu,

saya mau nerusin di umum saya udah daftar di

universitas Lampung di UNILA, saya sudah daftar,

saya sudah bayar, saya sudah ikut tes, nah pas saat

itu datanglah formulir pelatihan itu, nah saya itu

tertarik dan saya tinggalin semuanya itu, (P4W1

43-51)

P nekat menjalankan

hidup membiara dan

Saat itu saya mulai tertarik-tertarik, saya tinggalin

orang tua, saya tinggalin orang tua saya tinggalin

Page 98: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

141

meninggalkan orang tua

tanpa ijin.

semuanya sampe sekarang. Saya setahun, minta

persetujuan orang tua, saya gak dapet, sampe

sekarang belum dapat. Cuma yang menginjinkan

waktu itu saya dianter kakak saya yang dari Jakarta

itu, dia anterin saya ke Palembang, nemenin saya

ketika saya baru ditahbiskan menjadi samaneri terus

saya ditinggal di Palembang (P4W1 56-64).

Banyaknya saudara lain

yang bisa menjaga orang

tua memantapkan minat

P untuk membiara.

Karna kan saya berpikiran seperti ini, keluarga saya

banyak, saudara saya ada delapan, saya anak ke

delapan, saya anak terakhir dan saya anak

perempuan sendiri seperti itu, jadi merupakan suatu

tantangan gitu lho, kenapa enggak untuk mencoba,

terus entah kenapa, saya juga gak tau kenapa saya

punya niatan gitu, pokoknya punya niatan gitu,

kenapa enggak dicoba. Keluarga saya banyak, anak-

anak dari orang tua saya juga banyak delapan,

kenapa enggak salah satu mungkin bisa jadi

istilahnya bisa jadi samaneri, kenapa enggak (P4W1

71-81).

P memandang dirinya

sendiri sebagai orang

yang egois karena

meninggalkan orang

tuanya.

Saya juga gak dapet ijin, sampe orang tua saya juga

sakit dirumah sakit, saya gak peduli (sambil

menggelengkan kepala), saya bisa dikatakan saya

egois atau gimana-gimana, bisa dikatakan seperti itu

tapi, saya bertujuan saya itu baik karna saya

meninggalkan mereka itu bukan karna lari ke jalan

yang negatif tetapi saya menuju jalan yang positif

gitu, (P4W1 81-87)

Hal-hal negatif yang

dilakukan sebelumnya

mendorong P untuk

saya berpikir seperti ini kalau saya apa (suara motor

membuat samaneri mengeraskan suara), saya sadar,

saya sadar saya, kalau saya itu juga sudah negatif

Page 99: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

142

melakukan kebajikan

dengan membiara.

gitu lho, namanya juga anak kost-kostan, anak apa,

masih SMA, keingintahuannya sangat tinggi gitu,

(P4W1 87-92)

Keinginan untuk menjadi

lebih baik dengan hidup

membiara.

saya sadar kalau saya sudah terjun ke hal yang

negatif, misalnya yaaa pergi gak pulang seperti itu,

saya sudah sadar itu terus, karna-karna orang tua

saya itu gak tau kalau saya itu seperti itu di kost-

kostan, jadi masih melarang saya untuk seperti ini,

saya berpikir dengan seperti ini saya bisa merubah

diri saya ke hal yang positif (P4W1 92-98).

Semasa SMA, P merasa

dirinya banyak

melakukan hal-hal

negatif.

Karna saya sadar bebas saya itu dalam hal yang

negatif, saya sadar kalo itu negatif saya sadar,

misalnya, misalnya kan saya masih SMA dapet

jatah dari orang tua itu enam ratus ribu per bulan,

saya masih dapet tambahan saya ngajar nari, itu

saya masih dapet tambahan itu perbulan tiga ratus

ribu, tapi itu tanpa sepengetahuan orang tua, orang

tua tu gak tau kalau saya ngajar nari gitu, karna

orang tua saya gak tau saya punya bakat nari itu gak

tau (P4W1 101-109).

Kesibukan orang tuanya,

membuat P sulit bertemu

dengan kedua orang

tuanya.

karna mungkin dari pola asuh orang tua saya

sendiri, dari SMP orang tua saya sibuk mungkin

saya berangkat pagi sekolah sampe jam satu siang

saya pulang, jam dua berangkat lagi les sampe jam

empat saya gak ketemu sama orang tua, orang tua

saya sibuk. Mungkin ketemu nanti saya jam tujuh

sudah berangkat kerja kelompok atau kemana-

kemana jam tujuh malem, pulang jam sembilan,

saya juga pulang jam sembilan orang tua saya

istirahat, mungkin ngobrol sama orang tua saya,

Page 100: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

143

ngobrol sama orang tua saya itu cuma hari minggu

ketika ke vihara paling satu jam dua jam, sudah.

(P4W1 109-120).

P merasa orang tuanya

kurang memberikan

kasih sayang padanya.

Orang tua saya sibuk dengan pekerjaan sendiri-

sendiri, jadi orang tua saya gak tau saya punya

bakat gak tau gitu. Jadinya saya seperti bebas, bebas

saya itu seperti hidup sendiri, SMA ngekost jauh

dari orang tua saya, orang tua saya sayang,

maksudnya minta apapun dikasih, cuman saya tidak

butuh itu, mikirnya saya, saya tidak butuh materi

tapi saya butuh kasih sayang..kasih sayang..kasih

sayang orang tua gitu, saya memang merasa saya

kurang kasih sayang orang tua (tertawa tapi

menunjukan wajah murung), (P4W1 120-130).

Harapan P dengan

menjalani hidup

membiara, perhatian

orang tua padanya akan

lebih besar.

jadinya ya sadar kalau itu negatif terus mungkin

saya juga punya pikiran mungkin dengan seperti ini

saya bisa mendapat perhatian orang tua, ternyata

benar, setelah saya seperti ini, apa… kasih

sayangnya itu bener-bener gitu, pas pertama kali

saya pulang, satu tahun kan saya baru pulang

pertama kali (P4W1 130-135).

P merasakan memiliki

keluarga yang

sesungguhnya setelah P

menjalani hidup

membiara dan menjadi

samaneri selama setahun.

He em…, sudah menjadi samaneri satu tahun, saya

baru pulang, ketika itu saya bener-bener merasakan

yang namanya keluarga, yang namanya keluaraga

itu saya bener-bener merasakan. Dan pas saat itu,

saya sudah menjadi samaneri 3 bulan, kakak saya

yang ada di Jakarta sudah lulus kuliah, sudah

wisuda, setelah wisuda pulang, dia ikut saya ke

Palembang. Kakak saya ikut saya, ikut saya ke

Palembang jadi samanera. Dia bilang “saya mau

Page 101: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

144

ngapain?’, sebenernya dia sudah bisa ngajar cuma

sudah ngajar di deket rumah, mungkin orang tua

saya juga mikir gak papa setelah dia lulus gak papa,

kenapa karena orang tua untuk mengiklaskan untuk

nemenin saya gitu, jadi orang tua saya gak iklas gitu

lho saya sendiri, gak iklas, jadi kakak saya

diperbolehkan menjadi samanera untuk nemenin

saya, padahal…, nemeni saya itu untuk jadi

samaneri, kami pisah, dia di Palembang tetep aja

kami pisah. Tapi akhirnya dia boleh (P4W1 137-

154).

Orang tua tidak

memberikan dukungan

pada keputusan yang P

ambil.

saya itu yang tanda tangan kakak saya, karena yang

nganter itu kakak saya, tapi secara moral belum,

dari orang tua itu belum, cuma sedikit demi sedikit

itu sudah dapet ijin (P4W1 157-160).

Keinginan untuk

membimbing kedua

orang tuanya dalam

memahami agama

Buddha.

Kami berdua itu juga sambil membimbing orang

tua, karna kan orang tua saya sudah tua, maksudnya

jangan sibuk dalam pekerjaan terus menerus, waktu

ke vihara itu juga harus ada gitu, untuk berbuat baik

itu gimana. Jadi kami itu sebenernya berdua itu

punya prinsip untuk membimbing keluarga saya

lah, supaya gak melupakan sama keyakinannya

gitu, karna sibuk dengan pekerjaannya jadi sibuk,

apa… lupa dengan keyakinannya gitu uhuk….

(P4W1 160-168).

Minat untuk hidup

membiara setelah lulus

SMA semakin besar dan

hal tersebut didukung

oleh kakaknya (yang no

Belum besar, kalau diukur belum besar,

keinginannya itu belum besar tetapi setelah lulus

SMA, saya punya keyakinan yang bener-bener itu

ketika saya lulus SMA, ketika saya ngobrol-ngobrol

sama kakak saya, saya sharing saya tanya-tanya

Page 102: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

145

7). dulu gimana sih, kan dia sudah pernah gitu, gimana

sih latihan jadi samanera samaneri ya gini-gini

diceritakan seperti itu, coba dulu aja gak papa,

kenapa enggak gitu (P4W1 171-178).

Ayah menolak untuk

memberi ijin secara

resmi bagi P untuk

membiara.

Tidak setujunya, yang pertama sih dengan tidak

memberikan surat ijin, saya pulang itu sudah buat

surat ijin tapi gak juga ditandatangani gitu lho sama

bapak saya, gak disobek gak diapain, dibaca aja

enggak, cuma “pak ini pak tandatangan” ketika

kumpul, diambil sama bapak saya ditaroh habis itu

ngobrol lagi dibiarin aja suratnya, sudah saya pun

gak mau memaksa gitu toh ketidaksetujuannya itu

bapak saya tidak memperlihatkan “jangan” gini-gini

sampe saya dimusuhi enggak, enggak cuman kan

kadang ketika telpon, ketika telpon itu mencoba

untuk apa ya, pembicaraannya itu selalu menarik

saya untuk kembali gitu lho, ketika ngomong itu

pembicaraannya selalu menarik saya kembali gitu

lho (P4W1 181-194).

Ayah P masih berusaha

membujuk P untuk

meninggalkan kehidupan

membiara.

He em… , tapi kalo sekarang sih udah gak terlalu,

cuma kalo sekarang ketika saya bilang mo jadi

bhikkhuni, kan ada tingkatannya kan setelah

samaneri nah itu tuh selalu bicara seperti ini, saya

masih ingat pembicaraannya gitu ketika saya minta

ijin kan, “kalo seumpamanya kamu jadi bhikkhuni

terus kamu gak nikah?”, saya jawab “ya enggaklah

pak”, kan kalo perempuan itu seumur hidup sekali

jadi bhikkhuni, kalau jadi samaneri bisa berkali-kali

kalau jadi bhikkhuni cuma sekali, (P4W1 196-204).

Ayah berkeinginan agar “anak perempuanku tuh cuma satu, saya pingin ikut

Page 103: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

146

P sebagai satu-satunya

anak perempuan kelak

membentuk keluarga.

anak perempuanku, saya pengen melihat anak

perempuan saya itu berkeluarga” gitu, tetapi beliau

tidak bilang kamu tuh jangan gini-gini enggak

cuman beliau ngomongnya secara halus seperti itu,

kadang kan dihati kan wah gini kan (sambil mata

berkaca-kaca dan hidung memerah) tetapi enggak,

kalau bapak mau ikut saya bapak juga bisa, kalau

saya jadi bhikkhuni besok beli rumah tinggal disitu,

tinggal di vihara juga bisa seperti itu selalu kalau

bapak saya ngomong seperti itu saya jawab seperti

itu (P4W1 204-215).

P merasakan dengan

hidup membiara, P dapat

membahagiakan orang

tuanya.

Karna saya berpikir seperti ini, kalo saya pulang

saya kembali ke yang dulu otomatis pasti negatif

lagi pikiran saya negatif lagi saya berpikir seperti

ini saya malah bisa membahagiakan orang tua.

Logikanya saja dari hal yang terkecil, pasti tiap

bulan saya masih minta jatah terus saya kuliah pasti

masih minta orang tua, yang kedua pergaulan itu

pasti mempengaruhi kehidupan saya dan selamanya

saya gak…gak… punya pemikiran yang apa ya

istilahnya positif yang bener-bener gitu, saya masih

menimbang ulang, memikirkan ulang tentang hal itu

(P4W1 219-229).

Tantangan dalam hidup

membiara tidak membuat

P khawatir karena P

memiliki kakak dan guru

yang siap membantu.

Enggak, saya gak ada kekhawatiran, kesulitan saya

hadapi aja, hadapi sendiri, kehidupan jadi samaneri

kan kita juga hidup dengan masyarakat sekitar to,

saya harus hidup dengan komunitas-komunitas dari

tempat yang berbeda dari pemikiran yang berbeda,

suku yang berbeda itu juga sulit gitu kan, harus

berkumpul dengan mereka juga kadang itu

Page 104: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

147

kesulitannya tapi saya mencoba menimbang ulang

dan ketika saya bener-bener mengahadapi masalah

bener-bener sulit sekali bagi saya pasti cerita sama

kakak saya, walau saya punya guru pertama saya

cerita pada kakak saya walaupun dia cuma

samanera gitu kan saya pasti pasti pertama itu ke

kakak saya dulu baru ke guru saya kalau kakak saya

tidak bisa memutuskan saya harus gimana, saya

harus seperti apa saya baru ke guru (P4W1 239-

253).

Bagi P, kakaknya (no 7)

menjadi motivasi untuk

tetap pada panggilannya.

Ya kakak saya itu, kakak saya yang menjadi

samanera itu, saya paling deket sama dia, beliau itu

bener-bener motivasi saya, walaupun saya punya

orang tua yang luar biasa tetapi beliau itu motivasi

saya gitu, mulai dari kuliah dari saya pertama jadi

samaneri (P4W1 256-260).

Bagi P, kakak berperan

sebagai seorang ayah,

teman, dan kakak yang

bijaksana.

Kakak saya itu ya kakak, ya teman, ya ayah saya

gitu, memandang orangnya itu bijaksana, orangnya

itu bijaksana beliau tidak egois menurut saya,

menurut saya lho tidak egois, beliau masih

mementingkan keluarga daripada dirinya sendiri.

Pernah dulu, ini saya cerita ya, beliau punya pacar,

pacarnya itu ada di Tangerang, dia di Jakarta sama-

sama kuliah di situ dan beliau itu pas wisuda saya

sudah jadi samaneri disini ketika itu, saya mau

kesana tetapi pas ada bencana gunung merapi

meletus, sama pacarnya gak boleh kesana,

alasannya gini..gini..gini.. ternyata enggak,

alasannya pesawatnya seperti ini seperti ini jadi gak

bisa lewat gitu, dengan bodohnya saya itu

Page 105: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

148

dibohongi, ternyata setelah saya tahu saya ditanya

sama guru saya kenapa kamu gak datang, ternyata

bisa gitu, guru saya pun juga kesana, akhirnya dari

situ saya kecewa sama mantan, mantan kan karna

dia juga sudah jadi samanera (P4W1 262-278).

Kakak P memberikan

perhatian yang sangat

besar untuk P.

Dan pernah juga saya sakit dan pacarnya juga sakit

pacarnya dirumah sait diJakarta, saya juga dirumah

sakit di Lampung, beliau rela meninggalkan

pacarnya yang sakit untuk jenguk saya, dan dia

pulang saya sembuh, kalo saya kangen sama dia

pengen ditemeni saya pasti sakit (P4W1 278-283).

yah kakak saya itu ya teman ya kakak ya ayah

(P4W1 308-309).

P tidak menemui

kesulitan untuk

berinteraksi dalam

komunitas saat pelatihan

di Palembang.

Pas pelatihan, pas pelatihan itu gak ada kesulitan,

yang perempuan itu yang paling banyak

peraturannya itu saya karna kan yang lainnya kan

anagarini, jadi mungkin mereka kan segen sama

saya, mereka begitu baik dengan saya, jadi saya

sama temen-temen itu gak mengalami kesulitan

baik sama samanera sama anagarini. Cuma saat itu

kesulitannya itu saya sakit maag, makan kan cuma 2

hari, saya kaget malemnya saya cuma minum jus

jadi saya kaget, saya sempet masuk rumah sakit tiga

hari (P4W1 312-321).

Perasaan kaget yang ibu

P alami saat melihat P

telah menjadi samaneri.

Suatu kali pernah waktu saya sudah jadi samaneri

selama 1 tahun, saya ingin pulangnya itu karna ibu

saya masuk rumah sakit. Saya sudah pulang satu

tahun itu saya sudah pulang saya liburan, kalau gak

Juli ya Agustus saya pulang pas lebaran di rumah

berdua sama kakak saya, dirumah itu sudah satu

Page 106: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

149

minggu berkumpul sama keluarga, saya pulang

duluan kesini soalnya saya mau masuk kuliah ikut

mos kakak saya juga sudah beberapa hari di rumah

pulang, setelah saya pulang dia dirumah dulu

beberapa hari, saya pulang. Ketika saya pulang itu

ibu saya kaget kok seperti ini, saya sudah gak punya

rambut, pakaiannya sudah seperti ini kan, mungkin

pikirannya kacau walaupun pas kami kumpul

keluarga itu fine-fine aja, tidak menunjukan emosi

cuma menunjukan kasih sayangnya, rasa kangennya

pada seorang anak, beliau menunjukan seperti itu

saya gak tau batinnya itu menolak saya gak tau,

saya pulang (P4W1 324-340).

Usaha yang dilakukan

orang tua P, agar P tidak

kembali hidup membiara.

Tetapi saya ingetnya seperti ini pas saya pulang

pertama kali saya pulang dulu ke rumah saya

liburan, saya dirumah itu 3 hari saya pulang kalau

mau pulang ke Lampung kan harus ke Palembang,

harus nemuin guru saya dulu nah waktu itu saya

nemuin orang tua saya dulu 3 hari pas waktu itu

katanya… Saya kan punya uang waktu itu entah

uangnya jumlahnya berapa nah ibu saya itu bilang

gak punya duit saya pergi ke atm saya tarik uang

semua, dittany saya punya uang sekian, pinjem dulu

semua nanti saya kembalikan pas mau ke

Palembang, jadinya tak tarik semua uang itu, nah

pas 3 hari setelah itu 2 hari saya sudah kode hari

apa gitu saya mau pulang (ke Palembang) orang tua

saya bilang gini pas hari H malemnya saya sudah

kode uangnya mana mau beli tiket, gak usah balikin

semua cukup dua ratus aja kalo gak seratus lima

Page 107: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

150

puluh saya bilang seperti itu, orang tua saya diem

aja, tertanya orang tua saya itu gak boleh saya

kembali, aduh pikiran saya kan kacau aduh gimana

sudah pake jubah kok seoerti ini pas itu saya

bingung saya telpon kakak saya, kakak saya sudah

telpon orang tua jangan seperti ini gini-gini secara

bauk-baik saja kita bicarakan di Palembang, bapak

ke Palembang ngomong sama bhante, bapak saya

gak gubris gak peduli gitu omongan kakak saya gak

peduli, saya telpon samaneri yang ada di dini

(ampel), tolong kirim uang enam ratus ribu pinjem

dulu nanti ketika saya pulang ke Jawa, untungnya

samaneri punya ditransfer, (P4W1 341-368).

Kesedihan yang ibu

rasakan karena tidak rela

anaknya pergi lagi untuk

hidup membiara.

malem itu juga saya pergi ke atm saya minta tolong

tetangga saya saya ambil uang jam 20.30 itu saya

sudah tidur, ibu saya ke kamar bingung gak saya

pedulikan, mungkin rasa kangennya itu masih,

mungkin saya yang egois tapi saya udah gak

mikirin perasaan orang tua sudah sembuh belum

kangennya itu saya mikir sampe situ gitu loh, saya

itu mikirnya dirumah jangan lama-lama saya

mikirnya kalau lama-lama dirumah saya bahaya

gitu dengan pikiran saya sendiri, saya takut dengan

pikiran saya sendiri gitu sudah, saya tidur saya

dipeluk, dicium saya pengen nangis (menghapus air

matanya saat bercerita) tapi saya gak mau

menunjukan hal itu, saya tahan saya takut dengan

pikiran saya sendiri, akhirnya besok paginya jam 4

ibu saya belum bangun, saya jam 4 berusaha

bangun, saya gak mandi gak apa, gak makan, gak

Page 108: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

151

minum, saya ambil tas pake sandal saya minta

tolong tetangga saya anterin ke kotanya naik travel

ke Palembang. Saya nunggu travelnya itu dari jam 5

sampe jam 8, akhirnya saya sms tapi mereka gak

nyari, gak dikejar anehnya, kan sempat nunggunya

di begadang, saya sms bapak saya saya sudah di

Begadang saya pamit, saya juga sms ibu saya, saya

itu smsnya jam 6, kalau memang mereka itu ngejar

saya tapi itu enggak, ibu saya ngebalesin hati-hati

ya sayang, aneh kan aneh sekali, ya sudah saya

pulang ke Palembang (P4W1 368-393).

P berpikir untuk

meninggalkan kehidupan

membiara saat ibu P

jatuh sakit.

Setelah saya pulang ke Jawa, selang beberapa hari

ibu saya masuk rumah sakit lagi, nah itu, saya

duduk …..waktu itu saya sempet nangis ada

samaneri-samaneri, saya nangis bener-bener saya

nangis harus gimana saya bingung, waktu itu kakak

saya lagi ikut ret-ret jadi hpnya tidak bisa dihubungi

sama guru saya juga, ret-retnya di Thailand. (P4W1

393-399).

Perasaan ragu dan takut

berdosa karena tidak

mendengar orang tuanya

dan karena kenekatannya

untuk hidup membiara.

Saya bingung harus gimana kalau saya gak lepas

orang tua saya gimana nasib ibu saya gimana kalau

seperti ini saya durhaka atau enggak, saya masih

mikirin perasaan orang tua saya, kan namanya

nyawa kan cuma satu saya sampe mikirin sampe

situ, akhirnya saya sembahyang disini, saya jam 3

pagi saya bangun saya merenung… merenung…

merenung… dan merenung, saya

berpikir…berpikir… harus gimana (P4W1 399-

407).

P mengambil keputusan akhirnya saya berpikir kalau saya lepas saya pulang

Page 109: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

152

untuk tetap pada

panggilannya hidup

membiara walaupun

banyak yang

membujuknya untuk

pulang.

belum tentu sembuh namanya penyakit sembuh

hanya sesaat dan saya gak pulang belum tentu

sembuh belum tentu juga gak sembuh akhirnya saya

sering telpon, akhirnya sembuh juga, saya juga

ditelpon tetangga, ditelpon temen, ditelpon kakak

suruh pulang cuma ya tadi perempuan satu-satunya,

yang mau diikuti sama orang tua saya itu cuma

saya, (P4W1 407-415).

P berusaha memberikan

perhatian yang besar

pada kedua orang tuanya.

saya juga berusaha ngasih perhatian sama mereka,

ngasih sesuatu lah, misalnya lebaran saya beliin

apa, waisak perlunya apa, saya belikan, walaupun

mereka sebenernya bisa beli sendiri bahkan lebih

mahal dari yang saya berikan, tapi kan berpikir

kalau saya kasihnya dengan iklas dengan tulus

orang tua saya juga kan seneng, ya akhirnya ya iya,

kenyataannya walaupun itu barang murah tapi

selalu mereka pake gitu (P4W1415-423).

Dukungan hidup

membiara datang juga

dari teman-teman P.

Ya mereka mendukung, kalau pulang kita makan

bareng sama-sama bahkan ada ni teman saya yang

bilang, s”ebenernya gue pengen kayak elu, tapi

belum siap”, ya saya bilang “ya tunggu aja, pasti

nanti bisa” (P4W1425-428).

Ayah P masih berusaha

untuk membujuk agar P

bisa pulang dan

kemudian berkeluarga.

Ya kadang-kadang kan saya berbicara seperti itu

menuju kesana (untuk mrnjadi samaneri), nah itu

saya bicara pelan dan mereka pun menariknya

secara pelan, keinginan bapak saya tinggi kalau ibu

saya suka ngomong “ya gak papa gimana lagi udah

pilihannya ya yang penting kamu kuat, ya kalo bisa

kamu pulang ya kalau enggak sih gak papa tapi

sebenernya ya ibu kangen”. Ini bapak saya ya

Page 110: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

153

bilang “kalau sudah lulus kuliah, silahkan kamu

kerja dan silahkan kamu pulang”, saya petik

pembicaraannya itu seperti itu, setelah selesai

kuliah setahun istilahnya mengabdi sama

masyarakat dulu setelah itu yuk kita pulang, kamu

berkeluarga setelah itu saya ikut kamu (P4W1431-

443).

P mantap dengan

panggilannya hidup

membiara.

Untuk saat ini, namanya juga perasaan, pikiran

orang bisa berubah, tapi sekarang saya masih mau

lanjut (P4W1445-446).

Kehidupan dalam

komunitas merupakan

hal yang lebih sulit dari

peraturan yang dijalani.

Kalau untuk peraturannya saya gak khawatir,

sebenernya kalau peraturan sendiri sih gak masalah,

gak boleh makan lebih dari dua kali, gak boleh

make make up, perhiasan, menikah, berbohong,

membunuh dan seperti itu, saya rasa saya bisa. Tapi

yang lebih sulit itu dengan lingkungan sekitar,

hidup dengan komunitas itu lebih… sulit (P4W1

448-454).

Perbedaan latar

belakang, pola pikir,

budaya dalam komunitas

merupakan kendala

dalam hidup membiara.

Pemikiran, pemikiran berbeda kan walaupun hidup

di vihara kan organisasi kan, misalnya dalam hal

kecil saja misalnya, makan itu harus gimana, itu

sudah suatu kesulita, atau kita ngomong, kami kan

orang Sumatra kan kasar kan ngomongnya, jujur

saya sendiri kasar, saya sendiri kasar ngomongnya

dan menurut saya itu bukan suatu kata-kata yang

kasar, tetapi kan menurut orang jawa sini kan sudah

kasar gitu, kadang mereka tersinggung, kadang juga

kata-kata mereka itu gak etis menurut saya tapi etis

menururt mereka (P4W1 456-465). Iya, kalau

peraturan lebih ke misalnya tidak boleh

Page 111: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

154

membiacarakan orang lain, kadang-kadang hal itu

yang masih sulit bagi saya, karena kita juga kan

masih manusia biasa, ya hal-hal seperti itu (P4W1

467-470).

Analisis Verbatim P4W2

Makna Teks dan Kode

Hidup membiara untuk

mengubah pribadi P

menjadi lebih baik.

Yang melatarbelakangi saya ya keinginan saya

untuk hidup membiara, yang melatarbelakangi dari

awal sudah saya jelaskan pergaulan saya dan

tingkah laku saya sepertinya itu kurang pas, kurang

pas untuk di masyarakat dalam hidup berkeluarga

gitu dan saya itu sadar itu dan akhirnya saya

memutuskan untuk latihan membiara seperti itu

supaya ada perubahan (P4W2 10-16)

Kehidupan P semasa

SMA dinilai sebagai

kehidupan yang negatif.

Misalnya kan e….., misalnya pergaulan, pergaulan

sama temen, kan saya dulu ngekos SMA nah saya

sering keluar malem kumpul, tetapi saya enggak

gak, istilahnya gak mabuk gak itu enggak cuman

saya sering keluar sama temen-temen gak tau waktu

dan tidak memprioritaskan sekolah tidak

memprioritaskan pendidikan tapi taunya hanya

maen gitu, seneng gitu sama temen saya tapi tidak

memikirkan bahwa uang itu yang di dapet dari

mana, orang tua gimana ngedapetin uang saya gak

mikir, seperti itu. Saat saya kelas tiga sudah lulus

saya punya pikiran untuk jadi samaneri atau hidup

membiara itu (P4W2 19-31).

P memiliki asumsi Yang bener-bener mendukung yang pertama itu

Page 112: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

155

bahwa orang tuanya akan

mengijinkan P hidup

membiara karena P

merasa mereka tidak

mempedulikan P.

tadi, yang ke dua kan saya udah pernah bilang kalo

orang tua saya itu istilahnya cuman ngasih itu

materi gitu tetapi untuk apa ya.. perhatian apa itu

saya itu merasa kurang jadi sama aja saya hidup

membiara sama saya hidup jadi umat biasa sudah

sama aja gak diperhatikan mungkin seperti itu dan

pasti juga diperbolehkan, dan ternyata ketika saya

ijin untuk hidup membiara saya itu tidak diijinkan

(P4W2 35-43 ).

Adanya perubahan orang

tua P menjadi lebih

perhatian pada P setelah

P masuk dalam biara.

Saya semakin kuat, saya berpikir kalo saya masih

punya niatan aja dilarang berarti mereka masih

perhatian, apalagi setelah saya masuk otomatis

mereka akan berubah gitu, dan ternyata iya, ketika

saya sudah masuk memang iya berubah, perubahan

dalam orang tua saya sendiri, perubahan untuk diri

saya sendiri juga ada (P4W2 52-58).

P semakin termotivasi

membiara karena ayah

dan ibunya menjadi aktif

dalam kegiatan

keagamaan setelah P

masuk dalam hidup

membiara.

He eh, yang pertama itu, nah misalnya kan dari diri

orang tua sendiri misalnya tiap hari rabu kalo di

vihara saya itu ada….. kalo ibu-ibu itu kan ada

kayak arisan kayak kumpul-kumpul gitu kan, nah

dulu mamak saya ibu saya itu gak pernah namanya

ikut itu apa, kumpul dengan wanita buddhis, WBI

itu namanya kan perkumpulannya, itu gak pernah

gitu, ibu saya sibuk dengan pekerjaannya nah mulai

saya masuk (peatihan), mulai saya masuk itu lama-

lama pelan-pelan di arahkan, kan saya sama kakak

jadi saya sama kakak itu mengarahkan orang tua,

pelan-pelan diarahkan diarahkan dan akhirnya ada

perubahan juga walaupun dikit demi sedikit ibu

saya kalau hari rabu mulai ikut kegiatan sama

Page 113: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

156

wanita buddhis itu, terus bapak saya juga, setiap

malem rabu itu kan misalnya kebaktian

sembahyang bapak-bapak, kalau hari rabunya kan

ibu-ibu, nah bapak saya juga mau ikut dan ibu saya

juga mau ikut jadinya kan seneng tambah tertarik

gitu lho (P4W2 61-79).

Keputusan P membiara

membuat orang tua lebih

religius.

kalau misalnya saya jadi umat biasa kan belum

tentu ibu saya mau ke vihara, orang saya aja males

ke vihara gitu (P4W2 79-82).

P tetap akan membiara

walaupun kakaknya batal

menjadi samanera,

karena P menyadari akan

tingkah lakunya yang

negatif.

Iya tetap mengikuti, karna kan itu keinginan

pertama, kan waktu itu pas kelas tiga, saya sadar

kalo perbuatan saya itu tingkah lakunya sudah

menyimpang gitu lho, jadinya ya pasti ada, pasti

ada niatan seperti itu pasti ada walaupun kakak saya

sendiri enggak…enggak… awalnya gak masuk,

saya pasti ada niatan gitu (P4W2 07-103).

Minat menjadi samaneri

semakin besar saat

melihat kakak berusaha

minta ijin membiara pada

orang tua.

Sudah ada, karna kan dulu ketika masih kelas satu

SMA, ini cerita ya ada namanya mba vivi gitu kan

dia itu mau jadi samaneri gitu nanti kalo lulus

kuliah eh lulus sekolah mau jadi samaneri gitu,

namanya mba vivi. Aku bilang iya mba, kalo nanti

jadi samaneri aku juga ikutan tapi itu masih kelas

satu, aku juga ikutan ya, nanti sampean yang

motong rambut ku, iya dek iya gitu ya udah, tetapi

akhirnya mba vivi itu gak jadi sih, dia kuliah di

umum gak kuliah di agama, ya sudah gitu tapi nah..

terus yang kedua kali kakak saya itu, kakak saya

dirumah kan gak disetujui, nah itu saya punya

niatan kayak punya tantangan gitu… (P4W2 106-

118).

Page 114: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

157

Kakak P menjadi orang

yang menginspirasi P.

Tetep ada, saya deket sama kakak saya itu sudah

dekat dari dulu, karna waktu saya SD kelas lima

kelas enam kakak saya itu pergi kan dia ngekos juga

jauh, dia malah hidupnya itu lebih sengsara

disbanding saya gitu, dia itu orangnya itu nerima

gitu lho, walaupun dia gak dikosin gitu suruh

tinggal di vihara, dia tinggal di vihara itu harus

membantu vihara untuk dapetin makan itu dia itu

harus membantu, dari ngangkat beras ngangkat apa

gitu nanti, pagi pun bangun pagi bersih-bersih nah

setelah itu baru berangkat sekolah gitu, gitu kan

pulang sore nanti masih bersih-bersih vihara lagi

masih apa kerja di situ kan kadang ada kegiatan gitu

nah, dia SMA saya SD, saya masih inget nah dia itu

udah beberapa bulan gak pulang, dia itu pertama

kali dia itu ngirimin apa, ngirimin celana, celana

sama jeket itu hasil kerja dia, itu saya bener-bener

terharu, nah akhirnya pas ada hajatan di rumah

saya, kakak saya nikah yang nomor tiga dia pulang,

itu saya bener-bener ketemu dia, ketika dia pulang

saya itu gak di rumah, nah dikabarin dia pulang,

saya pulang ya udah saya peluk… bener-bener saya

peluk, saya nangis padahal saya masih SD, saya itu

sudah deket gitu, memang kan kami berdua yang

paling kecil (P4W2 123-146).

Kakak P memberikan

banyak informasi

mengenai kehidupan

membiara.

Iya, kemaren kan sempet cerita kalau jadi samanera

itu seperti ini lho, gak mungkin terlepas dari

masalah, masalah itu tetep ada diarahin, dicontohi

seperti ini, dikasih tau kalau sama aja, tetapi masih

mungkin masih dalam komunitas dia bilang seperti

Page 115: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

158

itu ya, sama aja kehidupannya ada makan minum,

nyuci sendiri, apa sendiri, ya cuman itu kamu dalam

komunitas, komunitas di masyarakat bukan tetapi

kamu komunitas di vihara gitu, masih banyak

peraturan yang harus kamu patuhi. Sama aja

sebelum saya masuk, sebelum saya berangkat ke

Palembang ini, itu sudah dikasih arahan-arahan

gitu, seperti ini lho, seperti ini lho, seperti ini

(P4W2 156-168).

Konflik dengan orang

tuanya, membuat P ingin

pergi dari rumah dan

membiara.

Yang bener-bener. Nah ketika itu malem hajatan itu

kan saya e….. pas sesudah itu kan kakak saya yang

nomor lima itu kan nikah nah pas itu kan memang

ada hajatan di rumah, ada pesta rame, nah itu kan

memang ada konflik dari keluarga terutama dengan

orang tua saya memang ada konflik tapi gak

mungkin dong saya ceritakan, nah ada konflik dan

itu bener-bener memicu saya untuk pergi dari

rumah gitu, tapi sebelum itu pas hari H, orang itu

kakak saya, yang kakak saya yang samanera itu

pulang sama pacarnya, dia itu ngajak pulang ke

Lampung itu sama pacarnya dari Jakarta, dan itu

saya sudah tanya, memang saya sudah tanya, sudah

tanya gimana… apa kalo saya jadi samaneri, nah itu

masih, ya itu tadi dijelasin kalau kehidupan

samaneri seperti ini seperti ini, dijelasin sama dia

gitu nah pas hari H hajatan itu kan sampe malem

nah itu memang ada konflik ya sudah (P4W2 186-

203).

Sebelum memutuskan

hidup membiara, P

terus saya kan sakit, memang saya ada penyakit

gitu, ada penyakit nah saya sudah santai gitu, santai

Page 116: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

159

mengalami sakit yang

sudah cukup parah.

sudah, makan sudah selesai nah saya berobat, saya

berobat dan memang sudah parah kan, nah….. itu

saya pas itu saya, kalo di Lampung itu namanya

kota Metro saya di bawa kesitu nah bener-bener

parah kan, kok sudah seperti ini kemarin belum

seperti ini kok sudah seperti ini gitu, dokternya

tanya. Ya saya juga bingung kan harusnya kalau

saat ini belum seperti ini gitu dan ya sudah saya

pulang, saya kan sama pacar kakak saya itu, sama

orang tua sama bapak sama kakak saya ibu saya gak

ikut, sudah saya pulang ke rumah (P4W2 204-216).

P berserah pada

hidupnya dan berharap

jika P meinnggal, P telah

menggapai cita-citanya

untuk membiara.

besoknya saya berangkat, mulai dari itu saya sudah

punya niatan kalau memang saya mau mati ya

sudah gitu, mending saya kalau seperti ini kan

istilahnya saya punya karma baik gitu kalau

memang saya mau mati ya saya setidaknya saya

sudah punya, cita-cita saya itu sudah sampe gitu

(P4W2 216-221).

Suasana baru dalam biara

membuat pikiran P

tenang dan keadaan

fisiknya terasa lebih

sehat.

nah saya kemarin juga kan pernah cerita ini lho, pas

saya ketika pelaksanaan pabbaja itu yang 14 hari ya

atau 15 hari yang dua minggu itu, selama

pelatihannya yang bener-bener pelatihannya itu

digembleng itu kan selama 14 hari itu kan saya

meditasi nah, makan itu kan yang sebelumnya

makan saya gak teratur itu kan, nah disitu itu saya

kan bangun tidur, meditasi, sambahyang, makan

sarapan pagi, siangnya dengerin materi pokoknya

selama 14 hari itu pola hidup saya bagus gitu lho

sama kan pikirannya positif, pikirannya positif ya

udah kok saya ngerasa kan, kan setiap pagi itu, gak

Page 117: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

160

setiap pagi sih, pokoknya setiap pagi itu kan ada

meditasi jalan, meditasi duduk, terus yoga gitu kan,

pokoknya pas 14 hari itu saya merasa bener-bener

dalam mmm..... apa ya, hati saya itu tenang…

sekali, pokoknya enak gitu lho kok kondisi fisik

saya, o.. padahal saya makan itu cuma dua kali

malem cuman minum jus, tapi kok enak ya saya

pikir (P4W2 221-240).

Setelah menjalani hidup

membiara selama tiga

bulan lebih kondisi P

berangsur-angsur

membaik.

14 hari itu sudah selesai pabbajanya terus saya

telpon kakak saya, saya sudah selesai, ya sudah

kamu mau lanjut apa enggak?, saya bilang lanjut,

saya coba tiga bulan dulu, tiga bulan lagi seperti itu

seperti itu, terus habis itu setelah saya tiga bulan

kan kakak saya nyusul saya ke Palembang, kakak

saya nyusul ke Palembang saya di bawa chek up

gitu nah penyakitnya itu sudah a… istilahnya yang

dari 4 gitu kan tinggal 2 gitu, menurun ya… kakak

saya kaget dan kemudian memotivasi juga langsung

gitu, nah itu yang bener-bener. Terus ya itu kakak

saya kan tiga bulan terus ikut (P4W2 240-251).

P merasa bahwa dirinya

tidak bisa bersosialisasi

dengan orang lain

terutama dengan warga

di kampungnya.

Saya itu lho, dulu gak bisa lho ngomong seperti ini,

ngomong dengan orang-orang yang katrok gitu lho,

maksudnya itu misalnya kan saya tinggal lama di

kota, saya pulang ke desa kan, tempat saya kan juga

desa, saya tuh walaupun tinggalnya di kampung

dulu, saya itu tidak bisa berkomunikasi dengan

tetangga saya, saya itu tidak bisa bersosialisasi gitu

lho, saya… walaupun ketika saya sakit gitu

tetangga saya ya nengok semuanya, tapi kan karna

bawaan dari orang tua gitu kan (P4W2 253-262).

Page 118: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

161

P memandang dirinya

sebagai orang yang tidak

luwes dalam bergaul.

Enggak, enggak saya kan gak bisa bersosialisasi

gitu, tetapi ketika sekarang ini kalo saya pulang bisa

gitu lho, makanya kadang tetangga saya pada heran

kok, saya dulu gak bisa bersosialisasi,

berkomunikasi itu gak bisa saya nah ketika saya…

kan walaupun saya di desa gitu kan, saya kan

SMPnya juga jauh, saya laju, SD pun saya itu di

rumah, saya pulang sekolah gitu, pulang sekolah

saya main sama temen-temen juga gak begitu

istilahnya saya itu orangnya tertutup gitu, saya gak

itu… (P4W2 265-274).

Pandangan orang

mengenai pribadi P yang

tidak bisa bergaul.

nah ketika SMP, SMP kan sudah mulai di kota saya

laju, nah itu saya bisa bergaul dengan mereka

(teman-teman di kota), tetapi ketika pulang nyampe

rumah gitu ada kegiatan apa, di tetangga itu

misalnya apa apa, saya cuma keluar aja nengok

udah gitu saya pergi naek motor gitu, saya gak bisa

bergaul sama mereka, sampe tetangga saya itu lho,

bilang orang kok hidup sendiri, saya cuek gak papa

(P4W2 274-282).

Sikap P berubah menjadi

lebih mudah

bersosialisasi dengan

orang lain setelah

menjadi samaneri.

Iya gak bisa, gak cocok gitu ngomongnya gitu lho

mungkin, nah tetapi anehnya ketika saya sudah jadi

samaneri saya itu bisa pulang pun saya juga

ngobrol, ketika ada orang sakit saya juga jenguk, itu

yang membuat orang tua saya itu mungkin tersentuh

gitu lho, kok anak saya bisa berubah seperti ini,

kenapa saya enggak gitu (P4W2 286-292).

Setelah menjadi

samaneri, P merasakan

bahwa dirinya lebih

mungkin dengan seperti itu, dengan anehnya saya

sendiri perasaan saya ketika ada umat gitu sakit dia

bener-bener udah tua gitu sakit saya lho mau

Page 119: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

162

memiliki empati pada

orang lain.

nengok gak ada yang nganter, itu padahal jauh saya

jalan, jalan itu baru dapet.. kalo di desa susah kan,

itu baru dapet tumpangan itu sesudah jalan jauh,

saya nekat mau nengok mbah itu, walaupun jauh

saya tengok gitu, gak tau, saya sekarang juga gak

tau gimana perasaan saya itu gak tau tapi… rasa

belas kasihan saya itu muncul, cinta kasih saya itu

muncul ketika saya jadi samaneri, saya dulu kaku

orangnya… kaku…. Sekali (P4W2 292-303).

Tetangga tak menduga

bahwa P mau berkunjung

ke rumahnya.

Dulu saya angkuh, angkuh sekali, ketika pas lebaran

itu bisa pulang sama kakak saya berdua itu, kalo di

desa kan kalo lebaran itu masih kunjungan ke

tempat tetangga ya, nah itu silahturahmi ke

tetangga-tetangga saya aja, tetangga saya pada

heran kok, mereka bilang akhirnya rumah ku ini

kamu injek, kalo bahasa Jawanya oalah akhire

awakmu iso ngidek omahku, bahasa Jawanya gitu,

aneh saya juga cuman tersenyum gitu (P4W2 303-

312).

Rasa empati yang besar

pada orang lain.

Iya, bener-bener, kalo liat orang itu rasanya… kalo

liat orang yang… misalnya orang tua, orang apa itu

bener-bener wah… gimana perasaannya itu,

kasihan… (P4W2 315-318).

P ingin merubah hal-hal

negatif seperti angkuh

dan sombong yang ada

dalam dirinya.

Ingin mejauhkan diri itu ya misalnya seperti tadi, ya

kebalikan dari itu tadi tow, saya sombong, angkuh,

itu saya pengen menghilangkan rasa angkuh, wong

sekarang aja kadang saya masih ada angkuh gitu, di

dalam diri saya masih ada perasaan angkuh itu

masih ada gitu, sombong itu masih ada gitu, ya saya

itu pengen menghilangkan itu gitu. Misalnya

Page 120: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

163

angkuh, sombong itu pengen saya hindari gitu

(P4W2 323-330).

P memiliki keinginan

besar untuk mencapai

cita-citanya membiara.

Iya, dulu saya pikir kalo saya mati yang penting

cita-cita saya terlaksana walaupun sebentar gitu

kan, waktu itu juga mungkin orang tua tidak

memperbolehkan itu karena itu, karna ya saya sakit

itu, ada rasa khawatir (P4W2 334-338).

Kakak-kakak P memberi

perhatian pada P hanya

saat P sakit.

Sebenernya keluarga kakak saya itu ketika saya

sakit mereka perhatian kalo ndak ya enggakcuek

gitu lho, saya mau ngapain.. mau ngapain terserah,

tapi pas saya sakit ya mereka perhatian gitu,

misalnya pas kumat gitu, saya di kos-kosan kambuh

penyakitnya saya pulang, ya dijemput ya apa gitu,

jadi kalo sehat ya udah enggak, tapi ketika sakit

cepet-cepet, tapi ketika sembuh saya itu merasa

mereka gak ada perhatiannya, mereka sibuk sendiri

(P4W2 338-347).

Keenam kakak P

memberikan respon yang

baik saat mengetahui P

membiara.

Mereka gak mendengar sih, mereka langsung tau

gitu, kaget gitu, saya kan tadinya ikut pabbaja 14

hari itu, nah kok lanjut gitu, mereka ya.. ya

responnya seneng, kalo kakak saya itu responnya

seneng, mungkin yang pertama mereka pikirnya gak

ngerepotin orang tua mikirnya juga gitu, mereka

responnya seneng kakak-kakak saya yang satu

sampe enam P4W2 353-360).

P merasa bahwa saat

masih sekolah kakak-

kakak iparnya membenci

dirinya.

responnya seneng mereka sering telpon, apa kalo

telpon itu jadwal, mereka bikin jadwal sendiri gitu,

satu bulan kan sekali telpon itu, jadi giliran gitu.

Dulu ada ya kakak ipar saya, dulu gak pernah yang

namanya telpon ngomong jarang, sama saya itu

Page 121: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

164

hanya kebencian yang mereka tanamkan ke saya itu

hanya kebencian, kenapa kebencian karna mereka

kan, kalo saya itu pulang, saya minta uang ke kakak

saya gak mungkin enggak, namanya pulang ke kos-

kosan saya minta uang gitu, pokoknya kalo gak

dikasih saya gak pulang, saya minta uang walaupun

saya cuma dikasih dua puluh ribu saya terima tapi

hati saya sudah seneng, nah dari itulah kakak ipar

saya itu benci, ya mereka negur apa bareng tapi kan

kita juga bisa membedakan kan antara orang yang

suka dengan yang gak suka, yang seneng dengan

yang gak seneng (P4W2 360-376).

Adanya perubahan sikap

pada ipar-ipar P setelah P

menjadi samaneri.

nah ketika saya sudah jadi samaneri, saya sudah

seperti ini saya sudah setaun itu saya pulang mereka

nangis, salaman…gak pernah namanya salaman

paling salaman cium tangan tok gak pernah

namanya sampe nyium, apa itu, kemaren sampe

alah nyium sampe pelukan sampe apa gitu ngelihat

saya seperti ini, ketika mereka ada masalah sama

kakak saya, masalah dalam keluarga mereka,

mereka pasti telpon kalo gak telpon saya telpon

samanera (kakak), ngomong curhat (P4W2 376-

385).

Kakak P yang pertama

sampai yang keenam

tidak mengetahui saat P

meminta ijin menjadi

samaneri.

Taunya itu saya sudah dipanggil, saya sudah masuk

pabbaja, mereka tau.. tau saya mau ke Palembang

itu tau, tetapi mereka taunya saya itu ikut pabbaja

gitu (P4W2 391-393).

Kakak-kakak P

memberikan respon yang

Enggak, kalo kakak saya, gak tau… seneng malah

saya seperti ini, yang pertama mungkin pola

Page 122: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

165

mendukung setelah

mengetahui keputusan P

untuk membiara.

hidupnya, pola hidupnya jadi bagus gitu lho,

hidupnya jadi terpola gitu lho, makannya rutin…

saya kan dulu gak, contohnya saya itu gak bisa

makan bakso, tetapi saya nekat dan jadi sakit, nah

kakak saya itu besoknya pasti bilang beli bakso

segerobaknya, apalagi kakak saya yang ketiga, jadi

dia tau klo saya sakit itu kenapa (P4W2 399-407).

Kakak-kakak P

memberikan respon

senang saat P menjadi

samaneri, berbeda dengn

ipar-ipar P yang tidak

terlalu mempedulikan.

Saya tuh gak tau, saya tuh gak bisa membedakan

apakah mereka itu perhatian atau tidak sama saya,

tapi mereka senang saya menjadi samaneri, kalo

kakak-kakak ipar saya, yang istilahnya gak

merespon, mungkin mereka iri gitu, irinya itu ya

gak tau dalam hal apa, mungkin saya itu kalo minta

itu harus, karna kan, misalnya saya minta motor, ya

diturutin sama orang tua saya ya diturutin. (P4W2

410-417).

P merasakan bahwa

kedua orang tuanya tidak

dapat diandalkan.

Tapi kan, mbanya sendiri (peneliti) misalnya kalo

materi selalu diturutin…… terus, tetapi kayak apa

ya, perhatian gak pernah dikasih kan sama aja

hampa kan, ketika mbanya sendiri ketika ada

masalah gak ada tempat untuk ngadu, gak ada

tempat untuk berbicara, orang tua gak bisa untuk

bersandar kan otomatis merasa gak bisa kan tetep

aja (P4W2 417-424).

P merasa bahwa kakak

nomor tujuh yang lebih

mendukung dan lebih

mengerti daripada yang

lain.

sedangkan yang dirumah kakak-kakak yang lain ya

gimana ya, yang merespon ya kakak saya yang

nomor tujuh itu, yang lain ya biasa-biasa aja, kalo

kakak saya yang nomor tujuh itu ya sudah tau orang

tua saya seperti itu sudah tau kalo gak tau gak

mungkin dong dia itu mau nerima misalnya orang

Page 123: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

166

tua ada orang tua mampu tapi dia kuliah di Jakarta

nerima sepeserpun gak ada dapet biaya dari orang

tua kecuali pas pulang ongkos pulang ke Jakarta,

mana mau kalo dia itu udah tau sifat orang tua, ya

kalo dia gak tau kan otomatis gak mau dong karna

dia sudah memahami sifat orang tua saya, karakter

orang tua saya jadi ya dia berusaha sendiri, dia

berusaha cari beasiswa, cari makan ya hidup di

asrama hidup bantu vihara itu tadi, dan SMA pun

setahu saya orang tua juga gak ada, gak

mengeluarkan biaya, ya mengeluarkan biaya ya

ketika pulang, lebaran beliin baju, itu aja, makanan

juga gak pernah dikirm gitu setahu saya (P4W2

424-4442).

P memandang kakaknya

yang nomor tujuh adalah

orang yang rendah hati,

berbeda dengan dirinya.

Sebenernya kakak saya kalo mau minta juga

dituruti, cuma kakak saya gak mau minta, gak mau

memang sifatnya beda, orangnya rendah hati…..

sekali, memang beda sama saya, dia SMA sekolah

sepedanya butut dia nerima…, saya baru masuk

SMP dibelikan sepeda baru, habis itu baru beberapa

bulan saya minta dibelikan motor, langsung

dibelikan (P4W2 446-452).

Sekarang ini saudara-

saudara P mendukung

keputusan P, bahkan

kakak ipar sering

menelpon.

Iya, mereka mendukung, walaupun ada kakak saya

yang dari agama yang berbeda, ada dua itu ikut

muslim, malahan kakak ipar saya yang muslim itu

suka telpon saya walaupun telpon sambil nangis,

bilang gini, bilangin kakakmu itu lho

gini…gini…gini…(P4W2 455-460).

Kakak P nomor tujuh

membantu P untuk

Enggak, mereka sih mendukung kalo hal itu baik

buat saya, tapi mereka gak pernah bilang ke orang

Page 124: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

167

meyakinkan kedua orang

tua.

tua untuk kasih ijin ke saya, ya kakak saya yang

nomor tujuh itu yang pelan-pelan memberikan

pengertian sama orang tua (P4W2 466-470).

P memandang bahwa

bapaknya adalah orang

yang memiliki sifat

keras.

Saya lebih ke ibu, karna bapak saya orangnya keras,

orangnya keras….. kalo apa, punya kemauan, punya

apa ya, anaknya gak boleh ya gak boleh beneran.

Misalnya kakak saya yang nomor enam, kan

sekolah SMP itu nakal dia, sekolah itu bawa pisau,

sekolah itu peso, bapak saya bilang suruh berhenti

ya suruh berhenti beneran, kalo mau sekolah ya

silahkan tapi saya gak akan biayai kamu, jadi SMP

belum lulus ya udah berhenti, kalo bapak saya

sekali ngomong A ya A (P4W2 473-482).

P merasa bahwa dirinya

yang hanya bisa

melunakan sifat keras

bapaknya.

Bapak saya sebenernya sifatnya itu keras tapi bisa

lunaknya itu kalo sama saya kalo saya sudah nangis,

bapak saya itu udah gak bisa liat, itu

sebenernya…sebenernya… wong yang ketika saya

pamit itu yang gak memperbolehkan yang bener-

bener megangi kuat itu ibu saya tetapi ketika saya

sudah jadi seperti ini, ketika saya sudah jauh yang

nangis itu bapak saya, bapak saya itu orangnya

keras tapi tuh bisa lunak (P4W2 485-493).

Saat P di rumah, ibu

cenderung tidak acuh,

tapi saat jauh ibu sering

menelpon P.

Saya juga bingung, hubungan saya dengan ibu itu

seperti apa, kalo saya di rumah cuek, diem aja tetapi

kalo saya jauh bentar-bentar telpon (P4W2 504-

506).

Page 125: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

168

Perjumpaan dengan

gurunya (bhante), saat

SMA di biara.

Sebenernya guru saya sudah gak ada sudah

meninggal, satu tahunnya tanggal 2 besok, makanya

saya pulang ke Palembang. Guru saya itu, saya

sudah mengenal beliau ketika saya SMA, kakak

saya kan tinggal di vihara, beliau itu kadang datang

ke vihara tempat tinggal kakak saya itu, nah itu saya

kesitu, saya itu sempat namaskara (sujud) sama

beliau (P4W2 513-519).

Guru memberikan pesan

pada kakaknya agar

menjaga dan menyayangi

P

dan beliau itu pernah mengatakan sayangi adekmu,

kan pake bahasa… apa Palembang gitu, artinya itu

sayangi adekmu jangan pernah sia-siain dia itu

berkah buat kamu itu bilang ke kakak (P4W2 519-

523).

Saat P masuk hidup

membiara, guru telah

mengalami sakit.

memang sebelum itu kan kita deket gitu lho, nah

saya disitu sempet namaskara sujud gitu sama

beliau, ketika saya mau masuk jadi samaneri dia

sudah sakit sudah storke, udah gak mampu, sudah

gak bisa ngapa-ngapain (P4W2 523-528).

Karya-karya yang guru P

lakukan semasa hidup

menjadi inspirasi bagi P

sebelumnya itu beliau dari Lampung ke Palembang

perjalanan satu hari, hanya makan pisang gepok,

pisang rebus itu satu tok, beliau itu semangat, beliau

itu sering membagikan obat di kampung-kampung,

walaupun kampung itu belum ada sepeda beliau itu

jalan, harus nyebrang sungai semangatnya luar

biasa untuk memperjuangkan agama Buddha di

kampung-kampung, beliau selalu menolong orang

lain, beliau mendirikan beberapa balai pengobatan,

di Lampung 2, di Palembang, beliau juga

membangun jembatan di desa-desa, itu yang

Page 126: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

169

membuat saya kagum sama beliau, makanya saya

mau berguru dengan beliau (P4W2 528-540).

Analisis Verbatim P4W3

Makna Teks dan Kode

P meminta pendapat

kakaknya untuk mengambil

keputusan membiara.

Setelahnya, jadi waktu itu setelah kakak ke

lima nikah kan kakak saya yang nomor tujuh

itu pulang, nah saya minta pendapatnya, terus

di dukung dan saya memutuskan untuk ikut

pelatihan itu (P4W3 8-11).

P meminta ijin pada orang tua

untuk mengikuti pelatihan

membiara.

Uhuk…uhuk… sempet… tapi cuman kan saya

bilang pelatihannya itu apa

cuman…cuman…beberapa hari cuman… 14

hari setengah bulan gitu. Nah saya bilang kan

lanjut lagi 3 bulan, iya lanjut tiga bulan itu baru

lanjut (P4W3 13-17).

Guru membantu P meminta

ijin pada orang tua P untuk

bisa mengikuti pelatihan

lanjutan (selama 3 bulan).

Enggak karena kan mereka sudah tau, jadi

orang tua sudah tau gitu, dan guru saya waktu

itu… kan saya bilang orang tua gak ngasih ijin,

guru saya juga sempet telpon sama orang tua,

jadi guru saya sudah…sudah menghubungi

orang tua saya sudah biar gak ke sini gitu, biar

gak ke Palembang gitu (P4W3 20-25).

P memiliki penyakit yang

cukup parah dan mengganggu

aktivitasnya saat SMA.

Ya waktu SMA sangat-sangat mengganggu sih,

karna kan kenapa saya bilang mengganggu kan

karna setiap sedikit pingsan, bisa dalam sehari

itu pingsan itu 15 kali juga ada, setiap kaget

Page 127: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

170

sedikit pingsan ada masalah sedikit pingsan,

misalnya kena panas…kena panas kan jalan

dari sekolah ke kost-kostan itu panas gitu

mimisan nanti nyampe kost gak kuat lagi

kadang masih di jalan gitu sudah kluk pingsan

gitu dan setiap hari saya harus minum obat

uhuk…uhuk…uhuk…..jadi bekalnya itu kalo

ke sekolah ya air aqua, airnya kan air aqua

sama obat gitu…iya dulu…dulu…udah lewat

(sambil tersenyum) (P4W3 35-46).

P merasakan adanya

perubahan diri dan perilaku.

Dampaknya ya positif tho, dampaknya kan

sekarang sudah bisa apa ya istilahnya

melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh

orang lain gitu, misalnya bisa… kalo dulu

sekolah kan cuma bisa duduk di kelas, kita

istirahat, saya kan jarang ikut aktifitas misalnya

apa gitu…misalnya ke pasar apa beli apa,

masak, nyapu, dulu kan saya enggak pernah

maksudnya jarang gitu beraktifitas seperti yang

lain karna kan saya gak kuat, saya gak pernah

masak walaupun kost ngekost, temennya masak

saya beli, saya gak pernah maksudnya aktifitas

(P4W3 49-59).

Pertentangan antara P dan

orang tua tentang di mana P

harus tinggal.

Sebenernya dulu saya gak boleh ngekost

tadinya suruh pindah kan waktu masih SMA

kelas satu itu disuruh pindah suruh pulang ke

rumah, saya di masukin sekolah gitu kan sudah

mau didaftarin, tapi saya gak saya gak mau,

karna kan rumah saya kan di kampung jadi

otomatis saya mikir kalo saya tinggal di

Page 128: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

171

kampung,….. ya walaupun saya disitu cuman

duduk sekolah tapi kan seenggak-enggaknya

bisa bertemu dengan orang-orang yang ya

istilahnya orang kota lah terus bisa mengenal

berbagai macam jenis orang gitu kan, bisa

kenal sama orang Cina, kalau saya semisalnya

di kampung kan gak mungkin kan di kampung

ada orang Cina, ada orang Batak, ada orang apa

di sekolahan saya gitu kan, karna kan banyak

pendatang gitu (P4W3 59-73).

Usaha-usaha yang P lakukan

P untuk kesembuhannya,

tidak mendapatkan hasil.

He eh…..tapi saya dulu juga berusaha sih,

misalnya untuk penyembuhan penyakit saya

sendiri saya juga berusaha, kemana-kemana

gitu kadang ya, pokoknya ya berusaha kemana,

dikasih tau orang ke sini ya saya ke situ gitu

(P4W3 77-81).

Enggak ada, ya cuman ada pengaruhnya kan

cuma sebentar nanti balik lagi, gitu doang

(P4W3 82-83).

Pola hidup yang teratur dan

positif dalam biara membuat

kesehatan P semakin

membaik

karna kan kenapa saya bilang menurun karna

kan waktu saya ikut pelatihan itu, waktu yang

setengah bulan latihan bener-bener setengah

bulan itu saya kan ibaratnya makan teratur,

pertama kali saya ikut lho pertama kali, makan

teratur, apa… sembahyang pagi sore habis

itu… kan kegiatannya pagi bangun tidur cuci

muka habis itu ikut latihan meditasi, meditasi

kan konsentrasi ya kan..membuang pikiran-

pikiran negatif dan disitu habis meditasi

sembahyang, habis itu habis sembahyang

Page 129: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

172

olahraga gitu lho apa…hmm senam

berkesadaran, kalo di dalam agama Buddha itu

menyebutnya senam berkesadaran (P4W3 89-

101)

kegiatannya itu rutin terus, ntar ada meditasi

jalan, pokoknya ada pelatihan-pelatihan lah,

pokoknya di situ positif gitu, jadi lama-lama

kok saya merasakan ringan gitu, saya

mengambil nafas pun kayaknya gak berat gitu,

waktu, pokoknya badan saya sudah sedikit lega

gitu jadinya ya saya, saya kan komunikasi sama

kakak saya yang nomor tujuh kakak saya pas,

berkomunikasi saya berkonsultasi dan dikasih

dukungan lanjut lagi tiga bulan, dan seperti itu

merasa ringan..ringan..ringan, akhirnya saya

sama guru saya dikirim ke sini gitu

uhukk…..uhuk.. (P4W3 105-115).

Dukungan dari teman-teman

satu komunitas biara

membuat P semangat untuk

sembuh

He eh, di sini walaupun saya kuliah kan

pertama kali saya juga merasa kaget, di

Sumatra sana kan panas nah di sini (Ampel)

dingin, saya juga sempet drop di sini, sampe

wah drop sampe dikatain saya kena busung

lapar karna kurus..kurus sekali, terus habis itu

saya berusaha lagi, pokoknya yang penting itu

niatnya lah, semangatnya saya sendiri punya

semangat untuk sembuh trus kan banyak orang-

orang di sini yang mendukung yang merespon

banyak lah P4W3 117-125).

Pelatihan membiara saat di

Palembang membawa

Yang berpengaruh besar itu ya pelatihan

setengah bulan bulan sama yang tiga bulan,

Page 130: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

173

pengaruh yang besar dalam

kesembuhan P.

karna kan di situ saya gak beraktifitas yang

lain, cuma bangun tidur, mandi, aktifitas,

sembahyang, pelatihan lagi sampe siang,

dikasih makan cemilan, habis itu minum, habis

itu kegiatan lagi dikasih kayak materi-materi

gitu, habis gitu makan siang, makan siang

materi lagi sedikit, jam setengah satu sudah

apa…rileksasi, habis setelah rileksasi kegiatan

lagi sampe sore, mandi sembahyang, meditasi,

latihan lagi sampe jam 9 malem terus tidur,

sampe pagi seperti itu diulang terus, jadinya

kan hidup sehat kan, pikiran, batin gitu (P4W3

125-137).

Kakak P memberi pengaruh

bagi P dalam mengambil

keputusan.

Yang pertama kan yang mempengaruhi saya

mengambil keputusan kan kakak saya, ya

seperti yang saya pernah bilang, saya melihat

kakak saya (P4W3 145-147).

Keputusan kakak untuk

membiara tidak dibicarakan

dengan orang tua.

Ya…ya… itu kan tahun berapa ya, saya lupa

tahunnya, pokoknya beliau itu kuliah di Jakarta

semester awal, semester pertama dia itu kuliah

di Jakarta yak an, kuliah di Jakarta beliau itu

pulang-pulang sudah pake jubah sudah jadi

samanera yak an, nah di situ beliau itu

nyodorin surat ijin (P4W3 167-172).

P ingin mengikuti jejak

kakaknya untuk hidup

membiara.

Iya, sebelum latihan itu ga ijin dulu, karna kan

beliau,beliau gak sempet pulang, jadi sudah

jadi samanera beliau itu minta surat ijin, minta

surat ijin sama bapak saya surat ijinnya itu

disobek nah disobek itu kan di depan

semuanya, karna waktu itu kan kumpul

Page 131: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

174

keluarga, nah di situ saya mempunyai motivasi,

saya mempunyai niatan itu saya jadikan

motivasi nantinya saya mau jadi seperti itu

(kakak) (P4W3 175-182).

P sakit karena pernah terjatuh

saat masih SMA kelas 1.

tapi itu sebelum saya sakit, setelah saya masuk

SMA masih semester awal, saya hamper satu

tahun, belum ada lah, hampir satu tahun SMA

kelas satu bulan Oktober kalo enggak

November saya itu jatuh di depan kamar mandi

tiba-tiba saya pingsan, nah saya langsung,

orang tua saya datang malem-malem jam 12,

saya langsung di bawa lari ke rumah sakit,

disitulah saya ketahuan punya penyakit begitu,

itu kelas satu dan saya sudah di rumah sakit itu

sudah 35 hari, 35 hari saya di rumah sakit, nah

pulang, istirahat di rumah selama setengah

bulan (P4W3 182-192).

P sering masuk rumah sakit

setelah menderita sakit saat

SMA.

itu sudah badan saya sudah agak mendingan

tapi kan namanya orang sakit seperti itu kan

namanya sudah punya penyakit, nah di situ

saya disuruh pindah sekolah saya gak mau,

saya bertahan saya pulang ke kost-kostan dan

saya bertahan di situ, tapi kan bertahan

namanya orang sakit seperti itu, bolak-balik

masuk rumah sakit saya (P4W3 192-198).

P mencari informasi

mengenai hidup membiara

dari kakaknya yang pernah

menjadi samanera.

nah akhirnya persingkat aja ya, sesampe saya

kelas tiga, kelas tiga bulan, pokoknya sekitar

bulan Mei, gak bulan Juli kan saya ditahbisnya

tanggal 23, seminggu sebelumnya kan kakak

saya nikah, kakak saya sudah nikah, pas kakak

Page 132: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

175

saya nikah kakak saya yang dari Jakarta itu kan

belum lulus dia sudah nyusun skripsi tinggal

ujian, beliau pulang karna kakak saya mau

nikah, dia itu posisi sudah lepas sudah kembali

jadi umat awam, karena tidak dikasih ijin sama

orang tua, dia itu juga pulang sama pacarnya

gitu, nah di situ saya tanya saya pengen latihan

saya bilang di Palembang itu ada pabbaja saya

bilang, oh iya didukung, gimana lho kehidupan

di sana itu, kan sudah pernah gini lho… gini

lho diceritain pengalaman-pengalaman dia

jaman dulu gitu (P4W3 199-213).

P nekat masuk biara tanpa

mendapatkan ijin dari orang

tua.

nah sesudah itu saya kan masuk, saya juga

pamit sama orang tua, ya tapi istilahnya pamit

juga secara gak resmi ya, jadi saya minta ijin

tapi tidak menunggu mereka mengiyakan, gak

sampe, saya kan pernah cerita kalo saya itu

berangkat ke Palembang cuma menyisakan

uang 25 lima ribu atau berapa gitu untuk

makan, untung di Vihara itu dikasih makan

nunggu sampe tanggal 23, tanggal 23 saya

ditahbis gitu jadi samaneri, habis gitu lanjut

sampe tiga bulan, setelah tiga bulan kan kakak

saya datang, kakak saya kan udah dapet ijin

dari orang tua saya yang bermaksud suruh

nemenin saya, dan akhirnya beliau di sana saya

di sini (P4W3 213-224).

Guru menyarankan P untuk

memperdalam agama Buddha

sambil berlatih membiara (di

Saya kan awalnya gak ada niat kuliah, guru

saya mau ngajarin saya tentang agama Buddha

lebih dalem kan gak bisa, beliau sibuk dan guru

Page 133: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

176

Ampel). saya yang membimbing yang kakak

seperguruan saya, kalau guru yang saya itu

sudah sakit sudah kena stroke, ya sudah

akhirnya saya dikirim ke sini memperdalam

agama Buddha sambil latihan (P4W3 224-230).

P ingin seperti gurunya, yang

suka menolong orang lain

tanpa melihat latar belakang

agama mereka.

Beliau itu baik, suka menolong suka bagiin

obat, ke masyarakat-masyarakat sekitar, gak

membeda-bedakan mau itu Muslim, mau itu

Katolik, mau itu Kristen gak peduli beliau ingin

membantu, banyak orang-orang Muslim yang

dibantu sama guru saya, jadi saya ingin

menjadi seperti itu (P4W3 234-239).

Kakak nomor tujuh, seperti

ayah dan sahabat bagi P.

Kakak itu bisa jadi kakak, bisa jadi ayah,

sahabat (P4W3 242).

P memandang gurunya

sebagai orang yang

dermawan, sederhana, dan

menerima.

Kedermawanannya, kesederhanaannya, dan

menerima (P4W3 245), kalau memang orang

itu gak bener, karya orang itu gak bener

dituntun gimana sih supaya itu bener gak

pernah marah, kalau memang muridnya salah

beliau hanya diam, dan hanya tersenyum

sambil mengucapkan “ya belajar lagi, berlatih

lagi secara giat, belajar lagi dengan giat”,

beliau itu selalu mengarahkan, selalu menuntun

kami gak pernah yang namanya marah mencela

itu gak pernah. Ya saya inget itu ya itu dari

kedermawanannya, kesederhanaannya, dan

menerima itu tadi (P4W3 263-272).

Semangat kakak dan gurunya

menjadi contoh bagi P saat

mengambil keputusan

Pengaruh ya, pengaruhnya itu…... Saya itu

sedikit mencontoh semangat kakak dan guru,

jika kakak ada masalah dia selalu bilang

Page 134: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

177

menjalani hidup membiara. “semua itu pasti akan baik-baik saja dan semua

itu pasti akan berlalu”, dan kata-kata itu timbul

semenjak dia ikut latihan (pabbaja), dan kata-

kata itu pasti ketika saya ada masalah itu pun

selalu saya terapkan, yang kata-kata semua itu

pasti baik-baik saja kata-kata itu walaupun

sederhana sampe sekarang pun masih , saya

punya BB juga kata-katanya itu yang buat jadi

status ya itu, “semua pasti baik-baik saja.”

(P4W3 275-285).

d. Kategori

Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari

hasil analisis verbatim P4 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses

pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori

dari setiap makna yang muncul, yaitu :

1. Kakak dan guru (bhante) menjadi inspirasi bagi P.

2. P mencari informasi mengenai hidup dalam biara.

3. Nekat mengambil keputusan

4. Kedua orang tua tidak mendukung keputusan P.

5. Menjadi pribadi yang lebih baik setelah membiara.

6. Harapan merubah hal-hal yang negatif dengan hidup membiara.

7. Adanya perubahan pada keluarga.

8. Dampak positif pada kesehatan P setelah membiara.

9. Dukungan dari kakak-kakak (1-7) dan komunitas.

10. Hubungan yang kurang baik antara P dan keluarga (adanya konflik

dalam keluarga).

Page 135: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

178

11. Perasaan keluarga, saat P memutuskan membiara.

12. Tantangan saat hidup membiara (fase pasang surut).

13. Tantangan membuat P semakin kuat pada panggilannya.

e. Analisis Pengambilan Keputusan

Partisipan merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara, selain

itu dia juga merupakan anak perempuan satu-satunya. Dari ke tujuh

saudaranya, partisipan sejak masih kecil memiliki hubungan yang lebih

dekat dengan kakaknya yang nomor tujuh, daripada kakak-kakaknya

yang lain. Kakaknya memberikan perhatian yang lebih padanya.

Berbeda dengan hubungan partisipan dengan kedua orang tuanya, yang

kurang harmonis. Kesibukan kedua orang tuanya yang berkerja pagi

hingga malam, membuatnya kurang mendapatkan kasih sayang dari

mereka. Dia jarang bertemu dan berbincang dengan mereka. Dari pagi

berangkat sekolah, hingga pulang, kadang kala dia tidak dapat bertemu

dengan kedua orang tuanya. Waktu untuk berbincang dengan orang tua

hanya dapat dilakukan saat hari Minggu. Itu pun dilakukan saat pergi

ke vihara.

“dari SMP orang tua saya sibuk mungkin saya berangkat pagi

sekolah sampe jam satu siang saya pulang, jam dua berangkat lagi

les sampe jam empat saya gak ketemu sama orang tua, orang tua

saya sibuk. Mungkin ketemu nanti saya jam tujuh sudah berangkat

kerja kelompok atau kemana-kemana jam tujuh malem, pulang jam

sembilan, saya juga pulang jam sembilan orang tua saya istirahat,

mungkin ngobrol sama orang tua saya, ngobrol sama orang tua

Page 136: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

179

saya itu cuma hari minggu ketika ke vihara paling satu jam dua

jam” (P4W1110-120 ).

Awal ketertarikan hidup membiara dirasakan oleh partisipan sejak

masih kelas satu SMA, dia bahkan sempat mengatakan keinginannya

membiara pada temannya. Adapun beberapa alasan partisipan ingin

menjalani hidup membiara, dia merasa bahwa dirinya banyak

melakukan hal-hal yang buruk (negatif), seperti berbohong pada orang

tua, tidak memprioritaskan sekolah, sering pulang malam. Partisipan

juga menyadari bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang buruk, seperti

sombong, angkuh, cuek, dan tidak mudah bergaul yang membuatnya

tidak dekat dengan masyarakat sekitar rumahnya. Dan partisipan ingin

untuk dapat mengubah hal-hal negatif dalam dirinya dengan hidup

membiara.

“yang melatarbelakangi dari awal sudah saya jelaskan pergaulan

saya dan tingkah laku saya sepertinya itu kurang pas, kurang pas

untuk di masyarakat dalam hidup berkeluarga gitu dan saya itu

sadar itu dan akhirnya saya memutuskan untuk latihan membiara

seperti itu supaya ada perubahan” (P4W2 11-16).

Keinginannya menjalani kehidupan membiara semakin besar ketika

melihat kakaknya yang nomor tujuh meminta ijin pada kedua orang

tuanya untuk membiara. Respon ayahnya yang menolak dengan keras

atas keputusan kakaknya itu membuat partisipan semakin tertarik,

bahkan tertantang untuk mengikuti jejak kakaknya. Tetapi saat itu, dia

belum berencana untuk masuk dalam hidup membiara. Tahun 2010,

setelah lulus SMA, partisipan sempat mendaftarkan diri untuk

Page 137: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

180

melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Lampung. Bersamaan dengan

itu kesempatan membiara pun datang padanya, dia mendapatkan sebuah

formulir pelatihan membiara dan mulai tertarik dan mencari informasi

mengenai kehidupan membiara dari kakaknya. Partisipan pun lebih

memilih membiara meninggalkan semua.

“kedua orang tua saya nggak setuju dengan apa… dengan

kasarnya orang tua saya itu menyobek surat persetujuan itu tadi.

Mulai dari situ saya mempunyai keinginan, mempunyai niatan,

kenapa enggak untuk mencoba gitu” (P4W1 11-15). “terus yang

kedua kali kakak saya itu, kakak saya di rumah kan gak disetujui,

nah itu saya punya niatan kayak punya tantangan gitu…..” (P4W2

115-118).

Keputusannya ini mendapatkan tentangan dari kedua orang tuanya,

seperti yang terjadi pada kakaknya. Partisipan mendapatkan penolakan

dari kedua orang tuanya, mereka tidak mengijinkannya untuk mengikuti

pelatihan membiara. Akan tetapi keinginan yang kuat membuatnya

nekat mengambil keputusan, tanpa mengindahkan orang tuanya.

Langkahnya yang nekat ini dipicu dengan keadaannya yang saat itu

sedang menghadapi konflik dengan kedua orang tuanya yang membuat

partisipan kembali jatuh sakit. Sakit yang dirasakan oleh partisipan

semakin parah. Hingga pada akhirnya partisipan membuat kesimpulan,

setidaknya jika dia meninggal nanti dirinya dapat meninggal dengan

memiliki karma yang baik dengan hidup membiara.

“ nah itu kan memang ada konflik dari keluarga terutama dengan

orang tua saya memang ada konflik tapi gak mungkin dong saya

Page 138: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

181

ceritakan, nah ada konflik dan itu bener-bener memicu saya untuk

pergi dari rumah gitu” (P4W2 190-194).

“besoknya saya berangkat, mulai dari itu saya sudah punya niatan

kalau memang saya mau mati ya sudah gitu, mending saya kalau

seperti ini kan istilahnya saya punya karma baik gitu kalau

memang saya mau mati ya saya setidaknya saya sudah punya, cita-

cita saya itu sudah sampe gitu” (P4W2 216-221).

Selain itu, partisipan memiliki harapan-harapan untuk mengubah

dirinya yang negatif, yang memiliki sifat yang angkuh, sombong, cuek

pada sekitarnya, menjadi pribadi yang lebih baik dengan hidup

membiara. Bersama dengan kakaknya (nomor tujuh), dia juga memiliki

misi untuk membimbing orang tua agar lebih taat beribadah dan tidak

melupakan agama mereka karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.

“Kami berdua itu juga sambil membimbing orang tua, karna kan

orang tua saya sudah tua, maksudnya jangan sibuk dalam

pekerjaan terus menerus, waktu ke vihara itu juga harus ada gitu”

(P4W1 160-163).

Orang yang mendukung keputusannya dan yang mengetahui

keputusannya pertama kali adalah kakaknya (nomor tujuh). Kakaknya

yang batal menjadi samanera karena tidak diijinkan kedua orang

tuanya. Dengan setia kakak membantunya dalam memberikan

pengertian pada kedua orang tua mereka. Kakak juga yang memberikan

motivasi pada partisipan untuk tidak menyerah pada keadaan dan

memberikan nasihat-nasihat dalam menjalani hidup membiara. Bagi

partisipan, kakaknya tidak hanya berperan sebagai seorang kakak saja,

Page 139: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

182

tetapi seperti ayah dan juga teman. Kehidupan kakaknya menjadi

inspirasi bagi dirinya untuk melakukan hidup membiara. Saudara

partisipan yang lain, mendukung keputusan yang diambilnya, dan lebih

cenderung tidak peduli dan menyerahkan semua keputusannya pada

partisipan.

“Kakak saya itu ya kakak, ya teman, ya ayah saya gitu, memandang

orangnya itu bijaksana, orangnya itu bijaksana” (P4W1 262-264).

“Kakak itu bisa jadi kakak, bisa jadi ayah, sahabat (P4W3 242).

Dalam menjalani pelatihan membiara selama 14 hari, partisipan

merasakan perubahan pada dirinya. Pola hidup dalam biara yang teratur

dengan kegiatan-kegiatan yang positif, membuat pikirannya menjadi

dan perasaannya pun lebih tenang. Setelah menjalani pelatihan selama

14 hari, kesehatannya pun membaik, dan penyakitnya berangsur-angsur

sembuh. Selain itu dia merasakan adanya perubahan pada perilakunya

setelah menjalani kehidupan membiara dan menjadi samaneri selama 1

tahun. Perubahan seperti memiliki rasa empati yang besar pada orang

lain, menjadi mudah bersosialisasi dengan siapapun. Relasi dengan

orang tua dan saudara yang lain menjadi semakin dekat dan baik.

Perubahan tidak hanya dialami oleh partisipan, tetapi juga dialami oleh

keluarganya, terutama terjadi pada kedua orang tuanya. Ayah dan

ibunya menjadi lebih religius dan aktif dalam mengikuti kegiatan

keagamaan. Orang tua memberikan perhatian yang lebih setelah

partisipan membiara, membuatnya merasakan kasih sayang keluarga

yang sebenarnya. Perubahan-perubahan inilah yang membuatnya

semakin termotivasi menjalani hidup membiara.

Page 140: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

183

Partisipan mengalami fase pasang surut dalam menjalani hidup

membiara, fase dimana dirinya sempat berpikir untuk meninggalkan

hidup membiara. Peristiwa ini terjadi saat ibunya mengalami sakit,

setelah melihat partisipan menjadi samaneri. Ketika itu tepat 1 tahun

setelah menjadi samaneri, partisipan pulang ke Lampung mengunjungi

keluarga. Keterkejutan keluarga, terutama ayah dan ibunya saat melihat

penampilan dirinya yang berbeda (penampilan samaneri). Setelah

partisipan kembali ke biara, selang beberapa hari ibunya sakit dan hal

inilah yang membuatnya merasa bingung, apakah harus pulang dan

meninggalkan hidup membiara.

saya tidur saya dipeluk, dicium saya pengen nangis (menghapus air

matanya saat bercerita) tapi saya gak mau menunjukan hal itu,

saya tahan saya takut dengan pikiran saya sendiri (P4W1 377-380).

Setelah saya pulang ke Jawa, selang beberapa hari ibu saya masuk

rumah sakit lagi, nah itu, saya duduk …..waktu itu saya sempet

nangis ada samaneri-samaneri, saya nangis bener-bener saya

nangis harus gimana saya bingung (P4W1 393-397).

Partisipan merasakan takut jika dirinya durhaka pada kedua orang

tuanya. Rasa bingung harus melakukan apa, membuatnya sempat

merasa bimbang harus pulang atau tetap di biara. Akhirnya dia

membuat keputusan untuk tetap pada panggilannya, dan tidak pulang

ke Lampung. Partisipan berusaha memberikan perhatian pada orang

tuanya terutama pada ibunya, walaupun dirinya berada jauh dari kedua

orang tuanya. Sering menelpon ke rumah sebagai bentuk perhatiannya

pada keluarganya.

Page 141: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

184

Kedua orang tuanya perlahan-lahan menerima keputusannya untuk

hidup membiara. Walaupun begitu, ayah sampai saat ini masih

mencoba membuat partisipan untuk tidak mengambil keputusan

menjadi bhikkhuni. Ayahnya ingin anaknya untuk menikah dan

membentuk keluarga sehingga ayahnya dapat tinggal bersama-sama

dengan keluarganya nanti. Akan tetapi keyakinan yang kuat pada

pilihannya tidak membuat partisipan terpengaruh dan kendor dengan

panggilannya. Semakin dilarang, dia semakin kuat dengan

panggilannya.

Selain kakaknya yang menginspirasi dalam mengambil keputusan

membiara, partisipan juga memiliki sosok yang menjadi panutan dalam

menjalani hidup membiara. Orang yang menjadi panutan baginya,

adalah gurunya sendiri (bhante). Bertemu bhante pertama kali di vihara

saat dia mengunjungi kakaknya. Partisipan memandang gurunya itu

sebagai seorang yang baik, menolong orang lain tanpa membeda-

bedakan latar belakang agamanya. Dia ingin menjadi seperti gurunya

itu. Selain itu, bhante juga dalam mengajarkan pada murid-muridnya

selalu dengan sabar, tidak menghakimi bahwa itu salah atau tidak,

boleh atau tidak. Bhante itu, merupakan orang yang sederhana dan

tidak pernah marah pada murid-muridnya. Beliau mengajarkan kasih

pada sesama.

“beliau itu selalu mengarahkan, selalu menuntun kami gak pernah

yang namanya marah mencela itu gak pernah. Ya saya inget itu ya

itu tadi kedermawanannya, kesederhanaannya, dan menerima itu

tadi” (P4W3 268-272).

Page 142: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

185

D. Pembahasan

Setelah makna dari masing-masing partisipan ditemukan dan

kategori telah dibuat, maka selanjutnya peneliti membahas proses

pengambilan keputusan pada partisipan secara keseluruhan berdasarkan

hasil dari analisa masing-masing partisipan yang telah ditemukan.

Berikut ini merupakan pembahasan secara keseluruhan :

Proses pertimbangan membiara

Bagi keempat partisipan, kehidupan membiara merupakan cita-cita

mereka dan sudah menjadi tujuan akhir bagi kehidupan mereka.

Panggilan hidup membiara begitu kuat dirasakan oleh keempat

partisipan. Terlebih pada ketiga partisipan, yaitu partisipan pertama,

kedua, dan ketiga yang sudah memiliki ketertarikan pada kehidupan

membiara sejak masih kanak-kanak. Sedangkan pada partisipan

keempat, walaupun panggilan membiara baru dia rasakan di bangku

SMA, akan tetapi panggilan membiara itu begitu kuat datang pada

dirinya. Panggilan membiara yang begitu kuat itu, membuat mereka

berada pada kondisi untuk memilih menerima panggilan tersebut atau

mengabaikannya. Hal ini seperti yang dikatakan Terry (Syamsi, 1955)

bahwa pengambilan keputusan merupakan pemilihan alternatif perilaku

dari dua alternatif atau lebih, tindakan untuk memecahkan masalah

yang dihadapi melalui pemilihan satu diantara alternatif-alternatif yang

memungkinkan.

Keempat partisipan memiliki banyak pilihan untuk menjalani

kehidupannya kedepan, dan ketika panggilan membiara itu datang pada

Page 143: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

186

diri mereka, mereka diperhadapkan untuk memilih dan mengambil

keputusan. Menurut Janis dan Mann (1977), keempat partisipan tengah

menghadapi tahapan pertama dalam pengambilan keputusan. Pada

tahap ini keempat partisipan mengenali permasalahan yang tengah

dihadapi oleh mereka, untuk memilih menjalankan kehidupan

membiara atau tidak. Pada tahapan ini, keempat partisipan mengalami

konflik dalam dirinya yang kemudian mempengaruhi perilaku mereka

untuk bertahan dengan keyakinan lamanya tidak membiara atau

berubah dan memilih membiara.

Kemudian setelah keempat partisipan dapat mengenali masalah

yang dihadapi, selanjutnya mereka mencari informasi untuk

menemukan jalan keluar dari konflik yang dihadapi. Dalam Janis dan

Mann (1977) tahap ini disebut sebagai tahap melihat alternatif

(surveying alternatives). Keempat partisipan mencari informasi dan

melihat beberapa alternatif yang dapat membantu mereka dalam

mengambil keputusan. Pencarian informasi dapat juga diperoleh dari

orang lain yang lebih memahami mengenai hidup membiara, seperti

yang dialami oleh partisipan pertama yang memperoleh informasi

hidup membiara dari suster di komunitas pilihannya, dan partisipan

keempat yang memperoleh informasi dari kakaknya yang pernah

menjalani kehidupan membiara.

Informasi yang telah diperoleh tersebut kemudian akan membantu

seseorang dalam menimbang alternatif-alternatif yang diperoleh

(weighing alternatives), seseorang akan menganalisis sisi positif dan

negatif tiap alternatif yang ada (Janis & Mann, 1977). Seperti halnya

Page 144: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

187

yang diungkapkan Janis dan Mann ( 1977) tersebut, begitu pula yang

dialami oleh keempat partisipan yang melihat bahwa adanya sisi positif

jika mereka mengambil keputusan hidup membiara. Mereka melihat

bahwa dengan menjalani kehidupan membiara tujuan mereka akan

tercapai, seperti pada partisipan pertama dan kedua yang memiliki

tujuan melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Pada partisipan

ketiga, dengan membiara dia seperti memperoleh keluarga yang baru.

Pada partisipan keempat, melihat sisi positifnya bahwa dengan hidup

membiara, dia memperoleh kesembuhan lahir dan batin, tidak hanya

bagi dirinya tapi juga bagi keluarganya.

Setelah menimbang alternatif, partisipan memilih alternatif yang

sesuai dengan keinginan partisipan. Ini berarti pembuatan komitmen

untuk memutuskan dengan mantap menjalani hidup membiara pun

mulai dilakukan keempat partisipan. Keputusan yang diambil keempat

partisipan ini menimbulkan respon yang berbeda dari keluarga dan

teman, respon yang paling dominan yang diperoleh keempat partisipan

yaitu respon negatif. Hal ini dialami oleh partisipan kedua, ketiga, dan

keempat yang mendapatkan respon negatif dari keluarga. Keluarga

menentang dengan keras keputusan partisipan untuk menjalani hidup

membiara. Hal yang sangat jauh berbeda dengan yang dialami oleh

partisipan pertama yang mendapatkan dukungan keluarga sejak dirinya

memutuskan untuk hidup membiara dan meminta ijin pada keluarga.

Saat inilah ketiga partisipan tersebut diuji, karena keputusannya

menghasilkan umpan balik negatif dari keluarga, akankah ketiga

patisipan mengambil keputusan baru karena adanya ancaman tersebut

Page 145: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

188

atau tetap bertahan dengan keputusan yang telah diambil. Pada

partisipan dua dan empat, tetap bertahan pada keputusannya dan nekat

untuk menjalankan hidup membiara meskipun ada pertentangan dari

keluarga.

Pada partisipan ketiga, pertentangan dari keluarga mengakibatkan

partisipan mengambil keputusan baru, yaitu dengan menunda untuk

menjalani hidup membiara. Partisipan ketiga, akan kembali kepada

tahapan pertama dalam pengambilan keputusan.

Pengalaman di masa kecil

Ketiga partisipan memiliki ketertarikan hidup membiara karena

pengalaman di masa kecil, seperti yang terjadi pada partisipan pertama,

kedua, dan ketiga. Pengalaman mereka saat melihat maupun bertemu

dengan sosok suster maupun bhikkhu semasa kanak-kanak, sangat

membekas pada diri mereka. Rasa kagum mereka pada sosok tersebut

menjadi awal ketertarikan mereka pada kehidupan membiara. Hal ini

tidak terjadi pada partisipan ke empat, minatnya pada kehidupan

membiara dirasakan begitu kuat, ketika dia melihat perjuangan

kakaknya untuk memperoleh ijin hidup membiara mendapatkan

tentangan dari orang tua. Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011), minat

merupakan campuran perasaan dan harapan individu, menjadi salah

satu faktor yang mempengaruhi suatu pengambilan keputusan. Sejalan

dengan yang diungkapkan Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011),

Page 146: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

189

keempat partisipan pun memiliki harapan-harapan dalam hidupnya

untuk dapat menjalani hidup membiara.

Partisipan pertama dan kedua melihat sosok seorang suster yang

bahagia, damai, penuh kesopanan, rajin berdoa, dan memiliki

keanggunan dengan pakaian putihnya membuat mereka tertarik dan

sejak saat itu ingin menjadi seperti suster yang dilihatnya. Pada

partisipan ketiga, pengalaman masa kecil juga memiliki andil besar

pada pengambilan keputusannya membiara. Perbedaan kecil yang

terjadi pada kedua partisipan sebelumnya, yaitu perasaan takut pada

seorang bhante saat bertemu pertama kali. Dia kagum pada sosok

tersebut karena terlihat damai hidupnya, akan tetapi ada juga perasaan

takut pada dirinya dikarenakan baru pertama kali melihat seorang

bhante. Kemudian seiring berjalannya waktu rasa kagumnya pada figur

seorang bhante membuatnya melawan rasa takut pada sosok bhante.

Hal ini tidak terjadi pada partisipan ke empat, minatnya pada kehidupan

membiara dirasakan begitu kuat, ketika dia melihat perjuangan

kakaknya untuk memperoleh ijin hidup membiara mendapatkan

tentangan dari orang tua. Saat itu partisipan telah remaja (kelas 2

SMA), pengalaman saat itulah yang membuatnya memiliki niatan untuk

hidup membiara.

Kehampaan hidup

Sebelum memutuskan hidup membiara, partisipan mengalami rasa

hampa dalam diri mereka. Seperti yang terjadi pada partisipan pertama,

ketiga, dan keempat. Ketika mereka menjalani kehidupan mereka

sebelum panggilan membiara datang, mereka merasakan kehampaan

Page 147: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

190

pada diri mereka. Partisipan pertama merasakan kehidupan di luar

komunitas biara, membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah

yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan bekerja

di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan merasakan

kehidupannya memiliki tujuan, tujuan untuk hidup membiara dan

melayani masyarakat dengan pelayanannya. Sedangkan pada partisipan

ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya, hidup

berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang besar tidak

membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah bekerja keras dan

memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran keluarga membuat

partisipan merasakan hampa pada dirinya. Kehilangan keluarga karena

musibah, membuat dirinya tidak lagi memiliki tujuan dalam hidupnya.

Ketika panggilan membiara itu datang, partisipan merasakan kembali

memiliki tujuan hidup dan yang paling utama baginya adalah dia

menemukan keluarga di tengah-tengah komunitasnya. Hal yang

berbeda terjadi pada partisipan keempat, penyakit yang dideritanya dan

konflik dalam keluarga membuatnya merasa kesia-siaan dalam

hidupnya dan ketika panggilan itu datang, partisipan merasakan tujuan

hidup yakni inilah waktu bagi dia untuk mendekat pada pencipta dan

menemukan kedamaian dalam hidupnya. Hal ini yang dikatakan oleh

Plato (dalam Dister, 1989; hal 19) dengan “eros” yang berarti “cinta”

dan “hasrat”, dimana merupakan kerinduan manusia pada Yang Ilahi

untuk mengatasi keterbatasannya dan mencapai keutuhan serta

kepenuhan dalam persatuan. Vergote menyebut keinginan manusia

akan keabadian serta hasratnya akan persatuan dengan Yang Ilahi itu

Page 148: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

191

“eros religius”. Istilah ini dengan tepat mengungkapkan hasrat manusia

yang mendalam untuk dibebaskan dari yang fana untuk memperolah

keutuhan serta kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati.

Dukungan keluarga

Minat pada kehidupan membiara sejak masih kecil tidak serta merta

membuat mereka segera mengambil keputusan membiara. Bahkan

ketiga partisipan yang telah memiliki ketertarikan pada kehidupan

membiara sejak masih kanak-kanak tidak terpikir jika akan menjalani

kehidupan membiara ketika mereka telah dewasa. Berdasarkan

pengalaman ketiga partisipan tersebut, peneliti melihat bahwa pengaruh

dukungan keluarga dalam proses berkembangnya minat pada partisipan

sangatlah penting. Peran dari keluarga dalam memupuk minat pada

partisipan menjadi hal yang signifikan. Partisipan yang memiliki

keluarga yang mendukung keputusannya akan sangat berbeda

prosesnya dalam mengambil suatu keputusan, dengan partisipan yang

keluarganya tidak mendukung. Hal ini juga sejalan dengan yang

diungkapkan dalam Sukardi, 1933 (dalam Nugroho, 2011) yang

menjelaskan bahwa keluarga menjadi faktor sosial yang mempengaruhi

individu dalam mengambil keputusan.

Seperti yang terjadi pada partisipan pertama yang memiliki latar

belakang keluarga yang religius, tekun dalam ajaran agama, bahkan ada

keluarganya yang menjadi rohaniawan (bapak besar yang menjadi

pastor), memiliki pengaruh yang besar pada keputusan yang akan

Page 149: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

192

diambilnya. Ketika partisipan sempat melupakan minatnya pada

kehidupan membiara saat di SMA, partisipan mendapatkan pengaruh

dari keluarganya, terutama bapak besarnya yang selalu membuatnya

teringat akan minatnya membiara. Masyarat di lingkungan partisipan

pun mempunyai persepsi akan kebanggaan jika ada anggota keluarga

yang menjadi rohaniawan (pastor, suster, pendeta) yang juga

mempengaruhi dirinya untuk mengambil keputusan membiara.

Hal yang berbeda pada partisipan kedua, ketiga, dan keempat.

Ketiga partisipan tidak mendapatkan dukungan dan persetujuan dari

keluarga ketika mereka mengutarakan keinginan mereka untuk

membiara. Hal tersebut membuat ketiga partisipan mengalami

hambatan dalam prosesnya mengambil keputusan.

Peran Komunitas Biara

Seperti yang dikatakan diatas bahwa pada partisipan kedua, ketiga,

dan keempat dukungan dari keluarga tidak mereka dapatkan. Ketiga

partisipan bahkan mendapatkan pertentangan dari keluarga saat

mengutarakan minatnya untuk membiara. Oleh karena itu dukungan

dari lingkungan khususnya dalam komunitas menjadi sangat berarti

pada ketiga partisipan ini. Guru ataupun pembina, senior, dan rekan-

rekan dalam biara atau komunitas menjadi hal yang membantu mereka

untuk tetap kuat pada panggilan mereka. Hal ini juga dirasakan oleh

partisipan pertama. Bahkan ketika keempat partisipan menghadapi

keraguan pada panggilan mereka dan mengalami pasang surut motivasi

membiara, peran guru, pembina, rekan-rekan menjadi sangat besar. Hal

ini sangat terlihat pada partisipan kedua yang sempat berniat

Page 150: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

193

meninggalkan kehidupan membiaranya, dukungan dari pembina atau

pimpinan biara membuatnya tetap kuat untuk terus melanjutkan

panggilannya. Sedangkan pada partisipan ketiga guru atau pembina,

senior, dan rekan-rekannya sudah seperti keluarganya sendiri.

Kehampaan hidup yang dirasakannya sebelum membiara menjadi

hilang setelah bertemu dengan guru yang sudah dianggapnya seperti

ayahnya dan senior-senior yang sudah seperti kakak dan saudara

baginya.

Significant other

Pengaruh dari significant other sangat nyata terjadi pada keempat

partisipan menjadi sangat penting dalam mengambil keputusan hidup

membiara. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari hasil

wawancara keempat partisipan memiliki significant other yang

memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses mereka mengambil

keputusan membiara. Significant other menjadi seseorang yang

berperan dalam memperkenalkan mereka akan kehidupan membiara,

seperti yang dialami ketiga partisipan, pengalaman saat kecil bertemu

dengan rohaniawan yang meninggalkan kesan yang mendalam pada diri

mereka. Significant other, menjadi motivasi bagi keempat partisipan

untuk tetap setia pada panggilannya membiara, mendukung mereka

ketika mereka menemukan kesulitan dalam perjalanan panggilan

mereka, membantu partisipan untuk memenuhi panggilan

membiaranya, seperti yang terjadi oleh partisipan keempat. Bagi

keempat partisipan significant other merupakan orang yang

menginspirasi mereka. Significant other dapat menjadi siapapun,

Page 151: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

194

menjadi seseorang yang berpengaruh bagi partisipan dalam mengambil

keputusannya. Pada partisipan pertama dan keempat yang menjadi

significant other datang dari keluarganya sendiri, pada partisipan

pertama misalnya, bapak besar menjadi orang yang tahu lebih dulu

minatnya pada hidup membiara dan selalu memberikan motivasi bagi

partisipan pertama. Pada partisipan keempat, kakaknya nomor tujuh

menjadi orang yang menginspirasi dia mengambil keputusan membiara,

membantu saat tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya,

dan juga membantunya untuk tetap setia pada panggilannya.

Hal yang sedikit berbeda dari kedua partisipan lainnya, yaitu

partisipan kedua dan ketiga. Yang menjadi significant other bagi kedua

partisipan ini tidak memiliki hubungan keluarga dengan partisipan.

Guru dan senior (kakak seperguruan) menjadi orang-orang yang

penting bagi partisipan ketiga dalam memutuskan hidup membiara.

Baginya guru dan senior adalah keluarganya sendiri, penemuannya

akan sosok ayah, saudara, dalam diri guru dan seniornya cukup bagi

partisipan dengan yakin mengambil keputusan membiara. Sedangkan

pada partisipan kedua, sosok seorang suster yang dilihatnya saat masih

sekolah dasar, dapat menjadi inspirasi baginya untuk nekat

memutuskan hidup membiara, walaupun banyak tantangan yang akan

dihadapinya.

Coping yang digunakan

Keempat partisipan melakukan pola coping yang berbeda dalam

mengatasi masalah pengambilan keputusan hidup membiara. Pola

coping yang digunakan pada partisipan pertama, menurut Janis dan

Page 152: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

195

Mann (1977) adalah pola coping yang disebut dengan vigilance. Pola

coping yang dimaksud adalah individu mencari berbagai informasi

secara menyeluruh dan mendalam kemudian menganalisis informasi

tersebut secara hati-hati untuk mendapatkan kualitas keputusan yang

tinggi. Partisipan pertama melakukan pertimbangan yang cukup lama

untuk mengambil keputusan, dia mencari informasi dan komunitas

Katolik yang sesuai dengan minatnya.

Partisipan ketiga melakukan defensive avoidance, dimana partisipan

melakukan penundaan dalam mengambil keputusan dilakukannya. Hal

ini dilakukannya ketika menerima penolakan dari kedua orang tua

untuk mendukung dirinya mengambil keputusan membiara. Minatnya

hidup membiara tidak hilang begitu saja di dirinya, karena partisipan

berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu bagi dirinya untuk

mewujudkan keinginannya untuk membiara.

Unconflicted inertia dilakukan oleh partisipan kedua dan ketiga.

Pada kedua partisipan ini melanjutkan saja kepercayaan atau tindakan

yang sebelumnya dilakukan. Mereka cenderung untuk nekat

melanjutkan tindakannya untuk mengambil keputusan membiara

walapun keluarga menentang keputusan yang partisipan ambil. Pada

partisipan kedua, agar dapat mencapai minatnya untuk membiara dia

nekat berbohong pada keluarga dan tidak terus terang pada keluarga

mengenai tindakannya untuk membiara. Sedangkan pada partisipan

keempat, larangan dari keluarga terutama dari kedua orang tuanya,

tidak membuatnya menyerah. Dia justru semakin mendapatkan

Page 153: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

196

tentangan dari kedua orang tua, dia semakin nekat untuk memutuskan

membiara.

Fase Pasang Surut

Fase pasang surut dalam proses seseorang mengambil suatu

keputusan merupakan suatu hal yang wajar. Dalam tahapan yang

dikemukakan oleh Janis dan Mann (1977), perasaan bimbang, rasa

takut dan khawatir salah dalam mengambil keputusan, terjadi pada

tahapan terakhir (adhering despite negative feedback). Ketika

keputusan yang individu ambil menghasilkan respon negatif hal ini

memungkinkan bagi individu untuk kembali membuat keputusan baru

(kembali pada tahap pertama). Akan tetapi berdasarkan data yang

diperoleh peneliti, tidak dipungkiri bahwa fase pasang surut ataupun

kebimbangan ini muncul di setiap tahapan yang dikemukakan Janis dan

Mann (1977).

Fase ini pun dialami oleh keempat partisipan. Adapun beberapa hal

yang berbeda yang menjadi alasan kebimbangan masing-masing

partisipan. Seperti pada partisipan keempat, fase pasang surut terjadi

ketika dia nekat meninggalkan orang tuanya yang tidak mendukung

keputusannya, dan ketika ibunya mengalami sakit setelah melihat

perubahan penampilannya (menjadi samaneri). Perasaan takut durhaka

pada kedua orang tuanya karena tidak memedulikan larangan mereka,

membuatnya bimbang dan sempat berniat meninggalkan hidup

membiara. Lain lagi yang terjadi pada partisipan pertama.

Keharmonisan dalam keluarganya, dan perhatian yang diberikan oleh

orang tuanya terutama ibunya, membuat dirinya sangat merindukan

Page 154: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

197

keluarganya ketika berada jauh dari keluarga. Hal ini membuatnya

sempat ingin kembali pulang dan meninggalkan kehidupan

membiaranya.

Tidak hanya tantangan dari keluarga, akan tetapi komunitas dalam

biara ikut andil besar dalam fase pasang surut keyakinan partisipan.

Kehidupan dalam komunitas mengharuskan keempat partisipan untuk

bertemu dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang budaya

yang berbeda-beda, dengan pola pikir yang berbeda. Keadaan tersebut

menjadi tantangan tersendiri bagi keempat partisipan, seperti yang

dialami oleh partisipan kedua dan ketiga. Perbedaan latar belakang dan

pola pikir partisipan dengan rekan-rekannya, kadang kala membuat

mereka salah paham yang dapat mendatangkan konflik di antara

mereka.

Berbeda dari kedua partisipan (kedua dan ketiga), pada partisipan

pertama dan keempat kesalahpahaman sesama rekan dalam komunitas

tetap mereka alami, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah pada

proses mereka menjalani hidup membiara.

Fase pasang surut ini dapat dilewati oleh keempat partisipan,

dengan mereka tetap pada panggilan mereka hidup membiara.

Dukungan yang diperoleh dari orang-orang disekitar mereka, membuat

mereka tetap berjuang sampai akhir. Berbagai upaya juga dilakukan

oleh keempat partisipan untuk tetap setia pada panggilannya.

Upaya yang dilakukan untuk setia pada panggilan

Untuk dapat tetap setia pada panggilan membiara, keempat

partisipan melakukan berbagai upaya. Adapun upaya yang dilakukan

Page 155: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

198

keempat partisipan agar tetap setia pada panggilannya, yang pertama

adalah mengingat motivasi awal. Keempat partisipan akan mengingat

kembali motivasi awal mereka untuk hidup membiara ketika mereka

mengalami fase pasang surut. Partisipan mengingat kembali bagaimana

perjuangan mereka untuk dapat membiara.

Upaya yang kedua yang dilakukan yaitu mendekatkan diri pada

Tuhan, seperti berdoa pada Tuhan ketika ada masalah dalam kehidupan

membiara mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh partisipan

pertama, kedua, dan keempat, permasalahan yang mereka hadapi dalam

hidup membiara tidak membuat mereka menjauh dari tujuan mereka,

masalah yang mereka hadapi justru membuat mereka lebih beriman dan

mantap pilihan yang telah diambil. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Charlys & Kurniati (2006), yang

mengatakan bahwa ketika terjadi kebimbangan pada kehidupan

membiara, maka seseorang akan datang kepada Tuhan, dan menjadikan

Tuhan sebagai tujuan kehidupannya. Pada partisipan ke tiga dukungan

dari guru dan teman komunitas lebih berperan dalam mengatasi

permasalahan dalam hidup membiaranya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil

pembahasan analisis data, yang telah diperoleh dari hasil wawancara

dan observasi keempat partisipan, pada bab sebelumnya. Beberapa

Page 156: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

199

saran yang ditujukan bagi penelitian selanjutnya, bagi psikolog dan

konselor, dan juga bagi masyarakat umum dan komunitas agama.

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, dari hasil wawancara dan observasi yang

telah dilakukan mengenai proses pengambilan keputusan hidup

membiara pada biarawati Katolik dan Buddha, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

1. Ketiga partisipan memiliki ketertarikan pada kehidupan membiara

sejak masih sekolah dasar, ketika mereka bertemu dengan

rohaniawan (suster maupun bhikkhu). Rasa kagum pada

rohaniawan tersebut menjadi awal dari minat mereka pada hidup

membiara. Berbeda pada partisipan keempat, yang ketertarikan

pada kehidupan membiara dirasakan saat duduk di bangku SMA,

yang kemudian diperkuat setelah melihat kakaknya yang gagal

(tidak mendapat ijin) untuk hidup membiara.

2. Pengaruh dari orang lain (significant other), menjadi salah satu

faktor yang mempengaruhi keempat partisipan dalam mengambil

keputusan membiara. Pada partisipan pertama dan keempat, yang

menjadi significant other bagi mereka merupakan anggota keluarga

mereka sendiri. Significant other inilah yang membantu mereka

dalam menumbuhkan minat mereka pada kehidupan mereka, dan

significant other sekaligus menjadi salah satu inspirasi mereka di

awal-awal mereka mengambil keputusan hidup membiara.

Sedangkan pada partisipan kedua dan ketiga mereka yang menjadi

significant other tidak berasal dari keluarganya sendiri. Seperti pada

Page 157: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

200

partisipan kedua yang menjadikan suster yang dilihatnya saat masih

kecil sebagai orang yang dikaguminya dan menjadi inspirasi

baginya untuk mengambil keputusan membiara, dan pimpinan dan

teman sejawat dalam komunitas menjadi orang-orang yang penting

bagi partisipan kedua. Tidak jauh berbeda dengan partisipan kedua,

pada partisipan keempat guru (bhante) dan senior-senior yang sudah

dianggap oleh partisipan sebagai keluarganya, menjadi orang-orang

yang mendukung dirinya untuk mantap mengambil keputusan

membiara.

3. Ketiga partisipan sebelum memutuskan hidup membiara, ada

perasaan hampa pada diri mereka dalam menjalani kehidupan

mereka. Pada partisipan pertama merasakan kehidupan di luar

komunitas biara membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah

yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan

bekerja di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan

merasakan kehidupannya memiliki keamanan dan memiliki tujuan

hidup dengan melayani anak-anak cacat. Sedangkan pada partisipan

ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya,

hidup berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang

besar tidak membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah

bekerja keras dan memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran

keluarga membuat partisipan merasakan hampa pada dirinya.

Kehilangan keluarga karena musibah, membuat dirinya tidak lagi

memiliki tujuan dalam hidupnya. Ketika panggilan membiara itu

datang partisipan merasakan kembali memiliki tujuan hidup dan

Page 158: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6750/4/T1_802007079_BAB IV.pdf · kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal. e. Memilih

201

yang paling utama baginya adalah, dia menemukan keluarga di

tengah-tengah komunitasnya. Hal yang berbeda terjadi pada

partisipan keempat, rasa putus asa dengan kehidupannya karena

penyakit yang dideritanya dan konflik yang sering terjadi antara dia

dan kedua orang tuanya, membuat dirinya merasakan putus asa, dan

dalam keputusasaannya itu partisipan memiliki kerinduan untuk

menjalani hidup membiara. Saat panggilan itu datang pada dirinya,

partisipan merasakan kembali memiliki tujuan dalam hidupnya,

tujuan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi dan inilah

waktu bagi dia untuk mendekat pada Pencipta dan menemukan

kedamaian dalam hidupnya. Partisipan juga memiliki tujuan untuk

membantu kedua orang tuanya agar lebih mendekatkan diri pada

Sang Pencipta, sehingga keluarga mereka pun dapat dipulihkan.