bab iv hasil dan pembahasan 4.1 gambaran umum lokasi …repository.ub.ac.id/11048/5/bab iv.pdf ·...

24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambar 3. Peta Lokasi Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Madura selain Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Sumenep. Kabupaten Pamekasan terletak dalam wilayah Provinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak pada 6 o 51 - 7 o 31 LS dan 113 o 19 - 113 o 58 BT. Batas daerah di sebelah utara Kabupaten Pamekasan berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Sampang, di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumenep. Data statistik Pemerintah Kabupaten Pamekasan tahun 2017 menunjukkan bahwa luas wilayah Kabupaten Pamekasan yaitu 79,230 hayang terdiri dari 13 kecamatan dan 186 desa/kelurahan. Lokasi Kabupaten Pamekasan berada di sekitar garis khatulistiwa, seperti kabupaten lainya di Madura, wilayah

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Gambar 3. Peta Lokasi Kecamatan Pasean

    Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu Kabupaten

    yang terletak di Pulau Madura selain Kabupaten Bangkalan,

    Sampang dan Sumenep. Kabupaten Pamekasan terletak dalam

    wilayah Provinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak

    pada 6o51 - 7o31 LS dan 113o19 - 113o58 BT. Batas daerah di

    sebelah utara Kabupaten Pamekasan berbatasan dengan Laut

    Jawa, di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten

    Sampang, di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura,

    dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumenep.

    Data statistik Pemerintah Kabupaten Pamekasan tahun

    2017 menunjukkan bahwa luas wilayah Kabupaten Pamekasan

    yaitu 79,230 hayang terdiri dari 13 kecamatan dan 186

    desa/kelurahan. Lokasi Kabupaten Pamekasan berada di sekitar

    garis khatulistiwa, seperti kabupaten lainya di Madura, wilayah

  • ini mengalami 2 perubahan musim, musim kemarau dan musim

    penghujan. Pada bulan Oktober sampai Maret merupakan

    musim penghujan sedangkan musim kemarau terjadi pada

    bulan April sampai September. Wilayah Kabupaten Pamekasan

    terdiri dari dataran tertinggi yaitu berada di kecamatan

    pagentenan dengan ketinggian 350 meter dari permukaan laut,

    dan dataran terendah berada di kecamatan Galis yang berada

    diketinggian 6 meter dari permukaan laut (Anonimus, 2013).

    Kecamatan Pasean merupakan salah satu Kecamatan di

    Kabupaten Pamekasan yang terdiri dari 8 Desa, yaitu: Desa

    Batukerbuy, Desa Dempo Barat, Desa Dempo Timur, Desa

    Sana Daya, Desa Sana Tengah, Desa Sotabar, Desa Tegangser

    Daya dan Desa Tlontoraja. Luas wilayah Kecamatan Pasean

    adalah 792,24 km2. Jumlah penduduk di Kecamatan Pasean

    sampai dengan bulan Desember 2016 sebanyak 36,433 jiwa.

    Rata-rata penduduk di Kecamatan Pasean bermata pencaharian

    sebagai petani dan peternak. Jumlah penduduk yang beternak

    sapi Madura di Kecamatan Pasean yaitu 11,109 jiwa. Jumlah

    sapi Madura di Kecamatan Pasean sampai bulan Juni 2017

    adalah sebanyak 21,885 ekor yang terdiri dari sapi pejantan 963

    ekor, sedangkan sapi betina produktif sebanyak 20,922 ekor.

    Sistem pemeliharaan sapi Madura di Kecamatan Pasean yaitu

    secara semi intensif, artinya ternak dikandangkan dan disaat

    waktu tertentu ternak akan dilepas di ladang atau di sawah

    sekitar rumahuntuk menghilangkan stress dan untuk

    pembentukan vitamin D secara alami. Kandang yang

    digunakan di Kecamatan Pasean rata-rata berada disekitar

    rumah peternak yang terbuat dari kayu dan bambu. Sistem

    perkandangan yang digunakan adalah model kandang terbuka.

    Pakan yang digunakan adalah rumput lapang, rumput gajah,

    jerami padi dan hijauan pakan ternak lain seperti daun lamtoro

  • yang berasal dari area persawahan ataupun ladang di sekitar

    rumah peternak dengan frekuensi pemberian pakan dilakukan

    2 kali sehari.

    4.2 Penampilan Reproduksi Sapi Madura

    Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) sangat terkait

    dengan performa reproduksi ternak tersebut yang memiliki

    keterkaitan satu sama lain . Melalui proses reproduksi akan

    terbentuk individu-individu baru atau generasi penerus yang

    dimana hal tersebut memungkinkan terjadinya pertambahan

    populasi. Terdapat beberapa parameter yang dapat dijadikan

    tolak ukur untuk mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi betina

    melalui program IB adalah Service Per Conception (S/C), Days

    Open (DO) dan Calving Interval (CI). Susilawati (2011)

    menyatakan bahwa IB adalah salah satu teknologi reproduksi

    yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan

    mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat

    menghasilkan pedet dengan kualitas baik dengan

    memanfaatkan semen pejantan unggul.

    Teknologi IB merupakan salah satu teknologi reproduksi

    yang menggunakan penjantan unggul sebagai sumber semen

    beku untuk dapat dilakukan inseminasi, tidak terkecuali di

    wilayah Madura yang sebenarnya merupakan salah satu

    wilayah penghasil sapi potong lokal terbesar di Indonesia.

    Secara umum IB berfungsi untuk: 1) Perbaikan mutu genetik

    2) Pencegahan penyakit menular 3) Rekording lebih akurat 4)

    Biaya lebih murah 5) Mencegah kecelakaan yang disebabkan

    oleh pejantan. Menurut Inounu (2014) IB merupakan cara

    untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan memperbaiki

    mutu genetik ternak, sehingga semen yang digunakan harus

    berasal dari pejantan unggul. Selain itu, teknologi IB memiliki

  • manfaat lain diantaranta menghemat biaya pemeliharaan ternak

    jantan, dapat mengatur jarak kelahiran serta dapat mencegah

    terjadinya kawin sedarah pada sapi betina. Sejak dibentuknya

    program pemerintah tentang Sapi Induk Wajib Bunting

    (SIWAB), maka dinas yang terkait program tersebut banyak

    mengadakan sosialisasi baik melalui inseminator maupun

    terjun langsung ke peternak di daerah sekitar yang hal tersebut

    langsung mendapat respon positif dari para peternak. Peternak

    sapi Madura beranggapan bahwa keturunan ternak sapi dari

    hasil persilangan lebih besar dan harga jualnya lebih tinggi

    dibandingkan dengan sapi Madura, sehingga peternak sapi

    Madura cenderung lebih memilih IB yang menggunakan

    pejantan unggul sapi Limousin sebagai sumber semen beku

    dibandingkan dengan IB dengan pejantan unggul sapi Madura.

    Kondisi ini tentunya mempunyai dampak yang kurang

    menguntungkan terutama terkait dengan upaya

    mempertahankan eksistensi kemurnian sapi Madura sebagai

    salah satu plasma nutfah sapi asli Indonesia. Meskipun

    teknologi IB sudah melembaga di kalangan peternak sapi di

    Madura masih ada pada beberapa daerah di Pulau Madura yang

    enggan menerapkan program tersebut dan masih menerapkan

    cara sederhana yaitu menggunakan kawin alam.

    Hasil pengamatan data rataan penampilan reproduksi

    sapi Madura pada paritas 2, paritas 3 dan paritas 4 yang

    meliputi nilai S/C, DO dan CI di Kecamatan Pasean,

    Kabupaten Pamekasan dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Penampilan Reproduksi Sapi Madura.

  • 4.2.1 Service Per Conception (S/C)

    Service Per Conception (S/C) dapat diartikan sebagai

    jumlah pelayanan inseminasi atau perkawinan yang dibutuhkan

    oleh seekor induk sampai dengan menghasilkan kebuntingan.

    Semakin rendah nilai S/C, maka tingkat kesuburan dari induk

    tersebut semakin baik pula, Semakin tinggi nilai S/C, maka

    semakin rendah tingkat kesuburan dari induk tersebut. Menurut

    Hardjopranoto dan Soehartojo (1995) terdapat beberapa faktor

    yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai S/C antara lain

    kualitas semen yang digunakan dalam inseminasi, deteksi

    birahi, BCS, bobot badan, kemampuan inseminator dan peran

    atau perhatian dari peternak.

    Berdasarkan data nilai S/C pada Tabel 2, nilai S/C pada

    masing-masing paritas menunjukan nilai yang dikategorikan

    baik, yaitu memiliki nilai rataan 1,51±0,71. Sesuai dengan

    penjelasan Affandy, Situmorang, Prihandini, Wijono dan

    Rasyid (2003) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-

    2,0. Semakin rendah nilai S/C, maka semakin tinggi tingkat

    kesuburan dari ternak tersebut, sebaliknya jika nilai S/C

    semakin tinggi, maka akan semakin rendah tingkat fertilitas

    dari ternak tersebut. Menurut Hadi dan Ilham (2002) terdapat

    beberapa faktor penyebab tingginya nilai S/C diantaranya

    peternak yang kurang memerhatikan pada saat deteksi birahi

    dari ternak tersebut atau terlambat melaporkan estrus dari

    sapinya kepada inseminator, keterampilan inseminator,

    terdapat gangguan reproduksi yang dapat disebabkan oleh

    pakan maupun perkandangan.

    Pada tabel 2 dijelaskan jika nilai S/C pada paritas 2 lebih

    tinggi dibandingkan dengan paritas lainnya. Hal tersebut dapat

    disebabkan oleh faktor umur induk, semakin tua umur induk

  • sapi tersebut maka kondisi fisiologis dari induk tersebut akan

    semakin baik. Sesuai dengan penjelasan Zainudin, Ihsan dan

    Suyadi (2015) menyatakan bahwa nilai S/C yang semakin

    tinggi,akan dapat mengakibatkan semakin panjangnya masa

    kosong dan jarak beranak kembali. Hal ini disebabkan oleh

    beberapa faktor, yaitu salah satunya umur induk yang

    berhubungan langsung dengan status fisiologi ternak tersebut.

    Ternak yang berusia terlalu muda pada saat dilakukan

    perkawinan atau inseminasi pertama akan sulit terjadi

    kebuntingan, dikarenakan perkembangan fisiologi ternak

    tersebut masih belum sempurna. Selain itu, kinerja hormon-

    hormon reproduksi masih belum optimal sehingga dalam

    deteksi estrus menjadi kurang jelas dan ternak akan mengalami

    kesulitan saatpartus dan beresiko mengalami gangguan

    reproduksi yang cukup tinggi.

    Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan IB

    adalah pakan. Pakan yang diberikan kepada sapi harus

    mencukupi kebutuhan nutrisi dari sapi tersebut. Dengan

    terpenuhinya kebutuhan nutrisi, akan berdampak baik bagi

    perfomans produksi maupun reproduksi dari sapi tersebut.

    Pakan yang digunakan peternak di lokasi penelitian rata-rata

    adalah pakan yang berada di sekitar area persawahan, ladang

    dan sekitar rumah berupa rumput lapangan, rumput gajah,

    limbah pertanian seperti jerami padi, daun lamtoro dan sangat

    jarang diberikan pakan tambahan berupa konsentrat. Rata-rata

    peternak di Kecamatan Pasean bekerja sebagai petani, jadi

    beternak sapi merupakan usaha sampingan yang dijadikan

    sebagai tabungan dan sewaktu-waktu bisa dijual kapanpun.

    Hartatik, Mahardika, Widi dan Baliarti (2009) menyatakan

    bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang kurang baik dapat

    mengganggu proses reproduksi ternak. Sehingga selain dapat

  • menunda umur pertama kawin, hal ini juga dapat berakibat

    pada umur pertama beranak yang dipengaruhi oleh ketepatan

    deteksi estrus dan keberhasilan IB yang ditujukkan oleh nilai

    S/C. Nilai S/C yang tinggi akan berakibat pada panjangnya

    interval hari DO dan CI dibandingkan dengan sapi yang

    memiliki nilai S/C yang normal. Ditambahkan oleh Nuryadi

    dan Wahjuningsih (2011) yang menyatakan bahwa kandungan

    nutrisi pakan sebelum dan sesudah beranak akan

    mempengaruhi siklus estrus pada periode berikutnya. Kondisi

    induk sapi yang kurang akan gizi dari pakan atau memiliki

    cadangan energi tubuh rendah, menyebabkan estrus post

    partum lebih lama.

    4.2.2 Days Open (DO)

    Days Open (DO) adalah selang waktu antara sapi

    melahirkan sampai dengan perkawinan yang menghasilkan

    kebuntingan. Ihsan (2010) menyatakan bahwa panjang DO

    yang ideal yaitu berkisar 3-4 bulan agar efisiensi reproduksi

    dari induk sapi tersebut semakin baik. Menurut Zainuddin,

    Ihsan dan Suyadi (2015) semakin panjang nilai DO

    menunjukkan bahwa efisiensi reproduksi dari induk tersebut

    semakin rendah. Panjangnya nilai DO disebabkan oleh

    tingginya nilai S/C dan beberapa faktor salah satunya umur

    induk. Ditambahkan oleh Ihsan dan Wahjuningsih (2011) yang

    menyatakan bahwa panjangnya masa kosong disebabkan oleh

    beberapa faktor yaitu panjangnya masa estrus setelah

    melahirkan, kurangnya perhatian peternak terhadap ternak

    yang sedang estrus dan minta kawin, serta faktor lain yaitu

    interval antara munculnya estrus pertama dengan terjadinya

    kebuntingan, kegagalan perkawinan dan kematian embrio.

  • Berdasarkan data nilai DO pada Tabel 3, nilai DO pada

    masing-masing paritas tergolong efisien yaitu memiliki nilai

    rataan 110,04±10,92 hari. Sesuai dengan penjelasan Ihsan

    (2010) yang menyatakan bahwa jarak atau masa kosong yang

    baik untuk sapi potong adalah 85-115 hari. Penyebab

    panjangnya nilai DO salah satunya disebabkan oleh peternak

    yang mengawinkan sapinya setelah pedet disapih, penyapihan

    pedet yang terlalu lama akan menyebabkan birahi setelah

    melahirkan terlambat dan menyebabkan perkawinan setelah

    melahirkan akan menjadi lebih lama.

    Nilai DO sapi Madura di lokasi penelitian dapat

    dikategorikan baik, hal ini dikarenakan peternak dalam

    mengawinkan induk sapi dilakukan pada saat birahi pertama

    setelah beranak sebelumnya dan waktu penyapihan pedet yang

    sesuai. Pedet yang terlalu lama disusukan pada induknya

    dengan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi, dapat

    menyebabkan birahi pasca melahirkan menjadi terlambat dan

    CI menjadi panjang. Peran inseminator di Kecamatan Pasean

    memegang peranan yang cukup penting. Inseminator di lokasi

    penelitian telah membentuk sebuah paguyuban ternak yang

    sering mengadakan pertemuan atau diskusi dengan peternak

    mengenai pemeliharaan sapi Madura yang efektif. Supaya

    didapatkan suatu progam IB yang efisien, peran inseminator

    dan peternak sangat dibutuhkan dalam menjalin komunikasi

    yang baik. Peran peternak sangat menentukan masa kosong

    padasatu siklus reproduksi, karena apabila pengetahuan yang

    dimiliki oleh peternak kurang atau peternak tidak mengetahui

    jika ternaknya estrus maka pelayanan IB akan terhambat

    sehingga menyebabkan masa kosong menjadi lebih panjang.

    Keterlambatan kawin tersebut akanmenyebabkan CI menjadi

    lebih panjang. Susilawati dan Affandy (2004) menyatakan

  • bahwa apabila terdapat jarak beranak yang panjang sebagian

    besar karena DO yang panjang. Hal ini disebabkan: (1) pedet

    tidak disapih sehingga munculnya estrus pertama setelah

    melahirkan menjadi lama; (2) peternak mengawinkan induk

    setelah beranak dalam jangka waktu yang lama sehingga lama

    kosongnya menjadi panjang; (3) tingginya kegagalan

    inseminasi; (4) umur pertama kali dikawinkan lambat.

    Berdasarkan data nilai DO pada Tabel 3 menunjukan

    bahwa pada paritas 3 dan paritas 4 memiliki nilai DO yang

    lebih baik dibandingan dengan paritas 2. Hal ini disebabkan

    pada paritas 3 dan paritas 4 induk sapi sudah sepenuhnya

    mengalami dewasa kelamin dan fungsi dari organ-organ

    didalam sistem reproduksi sudah bekerja secara optimal.

    Sesuai dengan pernyataan Purba (2008) bahwa umur memiliki

    peranan yang cukup penting dalam progam IB, misalnya umur

    pertama kali beranak akan mempengaruhi produktifitas ternak

    tersebut, sebab sapi yang dikawinkan pada umur yang terlalu

    muda dengan bobot badan masih belum sesuai, ternak sering

    mengalami kesulitan dalam proses melahirkan. Hal ini

    dikarenakan induk dan pedet tidak tercukupi kebutuhan

    nutrisinya sehingga akan mengganggu jalannya proses

    kelahiran. Sapi dara yang baru pertama kali melahirkan sering

    mengalami gangguan dalam proses kelahiran.

    Pakan menjadi salah satu faktor yang dapat

    mempengaruhi kemampuan reproduksi dari sapi Madura.

    Berdasarkan data nilai rataan DO pada Tabel 3, rataan yang

    didapat adalah 110,04±10,92, hal ini menunjukan bahwa nilai

    DO yang didapatkan dapat dikategorikan baik. Baiknya nilai

    DO yang didapatkan disebabkan oleh faktor pakan yang sudah

    memenuhi kebutuhan nutrisi dari sapi Madura, baik dari segi

    kualitas maupun kuantitasnya. Hal tersebut didukung oleh

  • Jainudeen dan Hafez (2008); Susilawati (2011) yang

    menyatakan bahwa sapi yang diberikan pakan dengan kualitas

    dan kuantitas yang kurang, menyebabkan waktu birahi yang

    dialami akan menjadi lebih pendek, sehingga dalam hal ini

    peternak memegang peranan penting dalam keberhasilan

    reproduksi sapi potong dalam manajemen pemeliharaan,

    perkandangan, kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan,

    pengendalian dan pencegahan penyakit serta sistem

    perkawinan yang dilakukan.

    4.2.3 Calving Interval (CI)

    Calving Interval (CI) merupakan jarak antara kelahiran

    satu dengan kelahiran berikutnya pada ternak betina. CI

    merupakan salah satu tolak ukur kemampuan produktifitas

    ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang

    singkat. CI yang ideal untuk sapi Madura adalah 12 bulan, yaitu

    9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi reproduksi

    sapi Madura dapat dikatakan baik jika seekor induk sapi dapat

    menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and Peters,

    2004).

    Berdasarkan data nilai CI pada Tabel 4, didapatkan

    rataan untuk nilai CI di lokasi penelitian yaitu 408,17±14,41

    hari. Kutsiyah (2012) pada penelitian sebelumnya menyatakan

    bahwa nilai CI untuk sapi Madura berkisar 13,79-14,40 bulan.

    Ditambahkan oleh Wisono, Nuryadi dan Suyadi (2012) bahwa

    jarak waktu beranak yang ideal pada sapi Madura yaitu 12

    bulan, yang terdiri dari 9 bulan masa bunting dan 3 bulan masa

    pedet menyusu kepada induk. Hal tersebut menunjukkan

    bahwa rata-rata nilai CI di lokasi penelitian tergolong kurang

    efisien karena memilikirataan nilai CI lebih dari 12 bulan. Nilai

    S/C dan DO yang semakin besar juga akan berpengaruh

  • terhadap nilai CI yang juga semakin besar. Jarak beranak yang

    ideal berkisar 12 bulan (Jainudeen dan Hafez, 2008). Efisiensi

    reproduksi sapi potong dapat dikatakan efisien apabila seekor

    induk sapi mampu menghasilkan satu pedet dalam waktu satu

    tahun. Nilai CI yang panjang disebabkan karena DO yang

    terlalu panjang yang dalam hal ini peternak memegang peranan

    sangat penting. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

    tingginya nilai CI, yaitu dipengaruhi oleh faktor pakan yang

    diberikan belum mencukupi kebutuhan nutrisi dari induk sapi,

    waktu penyapihan yang lama, tingginya angka kegagalan

    perkawinan, umur pertama kawin yang terlambat serta

    kurangnya pengetahuan peternak mengenai tanda-tanda sapi

    birahi.

    Faktor utama yang menentukan dalam keberhasilan

    usaha peternakan yaitu faktor bibit, faktor pakan dan

    manajemen pemeliharaan yang diterapkan. Pada penelitian ini,

    faktor pakan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap

    performans produksi maupun reproduksi dari sapi Madura.

    Pakan harus diberikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan

    status fisiologis dari ternak tersebut. Hal tersebut didukung

    oleh Anggraeni, Ummyasih, Khrisna dan Affandy (2006) yang

    menyatakan bahwa sapi yang sedang bunting cenderung

    memiliki kondisi fisiologis dan kondisi badan yang lemah,

    serta sangat rentan terhadap penyakit dan pengaruh lain dari

    luar tubuh. Sebaiknya pemberian pakan perlu ditingkatkan baik

    dari segi kualitas maupun kuantitasnya, terlebih saat

    kebuntingan sudah mencapai umur 8 bulan. Hal ini bertujuan

    untuk meningkatkan kondisi kesehatan induk sapi yang juga

    akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kemampuan

    bertahan hidup pedet yang akan dilahirkan, serta akan

  • memberikan respon yang positif terhadap kemampuan

    reproduksi dari induk sapi setelah melahirkan.

    Secara umum di lokasi penelitian nilai CI sudah

    tergolong kurang efisien. Panjangnya nilai CI disebabkan

    karena beberapa faktor antara lain tidak muncul tanda estrus

    setelah melahirkan, IB tidak pada saat estrus pertama, lamanya

    waktu penyapihan pedet, kematian embrio dan kualitas pakan

    yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan Iskandar dan

    Farizal (2011) yang menyatakan bahwa faktor yang dapat

    mempengaruhi lamanya CI adalah bagaimana kondisi

    lingkungan dan manajemen pemberian pakan yang diterapkan.

    Ditambahkan oleh Soeharsono (2010) kandungan nutrisi yang

    terdapat pada pakan merupakan salah satu faktor penting yang

    mempengaruhi kondisi induk disamping ketepatan waktu

    penyapihan pedet, karena induk yang sedang bunting lebih

    membutuhkan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan. Pedet

    yang terlalu lama di susukan pada induknya dengan pakan yang

    kurang memenuhi kebutuhan nutrisi, dapat menyebabkan

    estrus post partum (estrus pasca melahirkan) menjadi terlambat

    dan CI menjadi panjang. Menurut Ridha, Hidayati dan Adelina

    (2007) menyatakan lama bunting, umur penyapihan pedet,

    serta jarak kawin kembali setelah beranak adalah faktor-faktor

    yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai CI. Lama

    bunting dapat dipengaruhi oleh genetik, pakan dan musim.

    Lambatnya penyapihan yang dilakukan mengakibatkan

    tertundanya estrus yang berdampak pada panjangnya jarak

    kawin kembali setelah beranak. Udin (1993) menjelaskan

    bahwa aktifitas reproduksi sesudah beranak tertunda dengan

    adanya pedet yang menyusu yaitu melalui penekanan

    pembebasan gonadotrophin dari kelenjar pituitary. Hal ini

    berdampak pada penundaan perkembangan folikel. Penundaan

  • perkembangan folikel mengakibatkan kadar estrogen tidak

    mencukupi untuk timbulnya tanda-tanda berahi atau sapi

    mengalami birahi tenang. Kondisi ini menyulitkan bagi

    petemak untuk mendeteksi birahi sehingga birahi tertunda ke

    siklus berikutnya. Penundaan IB ini berdampak pada

    penundaan kebuntingan sehingga jarak beranak akan semakin

    panjang.

    4.3 Estimasi Nilai Ripitabilitas

    Ripitabilitas merupakan suatu konstanta yang

    menunjukan seberapa besar korelasi atau hubungan diantara

    beberapa variabel pengukuran pada suatu sifat pada individu

    yang sama, yang meliputi semua pengaruh genetik ditambah

    pengaruh lingkungan yang bersifat permanen. Pada penelitian

    ini, jumlah pengukuran setiap individu yaitu lebih dari 2

    pengukuran, maka digunakan metode perhitungan analisis data

    yaitu menggunakan metode sidik ragam sebagai korelasi dalam

    kelas (Maylinda, 2010). Hasil perhitungan nilai ripitabilitas

    sifat-sifat reproduksi dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Nilai Ripitabilitas (r) dan Standard Error (SE).

    4.3.1 Ripitabilitas Service Per Conception (S/C)

    Berdasarkan hasil perhitungan, nilai komponen ragam

    antar individu sapi untuk nilai S/C yaitu sebesar 0,26 dan

    komponen ragam pengukuran dalam individu untuk S/C

    sebesar 0,25, maka didapatkan hasil estimasi nilai ripitabilitas

    S/C yaitu 0,5±0,075 (Lampiran 4). Berdasarkan hasil

    perhitungan analisis sidik ragam, untuk nilai Kuadrat Tengah

  • (KT) didapatkan nilai sebesar 1,03 untuk KT individu dan 0,25

    untuk KT pengukuran. Nilai ripitabilitas S/C yang didapat

    menunjukan keragaman S/C sebesar 50%, yang disebabkan

    oleh perbedaan antar individu yang bersifat permanen,

    sedangkan 50% sisanya disebabkan oleh pengaruh individu

    yang bersifat temporer. Hal ini sesuai dengan pernyataan

    Hardjosubroto (1994) yang menyatakan bahwa konsep

    ripitabilitas yaitu ragam lingkungan dibedakan menjadi ragam

    lingkungan permanen dan ragam lingkungan temporer.

    Ripitabilitas merupakan bagian dari ragam fenotip yang

    disebabkan oleh perbedaan antar individu yang bersifat

    permanen. Oleh karena itu, ripitabilitas meliputi pengaruh dari

    faktor genetik ditambah dengan faktor pengaruh lingkungan

    yang permanen.

    Nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1, semakin besar nilai

    ripitabilitas mendakati 1,0 dikarenakan keragaman sifat

    tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik ternak serta ragam

    lingkungan permanen. Berdasarkan Tabel 3 didapatkan nilai

    ripitabilitas sebesar 0,5 yang artinya nilai ripitabilitas tergolong

    tinggi. Hal ini sesuai dengan penjelasan Said, Agung, Putra,

    Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016) bahwa nilai ripitabilitas

    dibedakan menjadi 0-0,2 dalam kategori rendah, 0,2-0,4

    kategori sedang dan >0,4 termasuk dalam kategori tinggi.

    Standart Error (SE) yang didapatkan dalam perhitungan yaitu

    ±0,075 (Lampiran 4). Nilai tersebut digunakan untuk

    mengukur sejauh mana rata-rata nilai sampel dapat digunakan

    sebagai penduga rataan populasi. Hasil perhitungan nilai SE

    lebih kecil daripada nilai ripitabilitas S/C, maka nilai

    ripitabilitas S/C hasil penelitian dapat digunakan sebagai

    pedoman pertimbangan pengambilan keputusan dalam

    pelaksaan seleksi.

  • Pada penelitian ini faktor yang mempengaruhi nilai S/C

    adalah umur induk dan kondisi fisiologis ternak, peran peternak

    dalam deteksi birahi, keterampilan inseminator serta kualitas

    dan kuantitas pakan yang diberikan. Semakin rendah nilai S/C,

    maka tingkat kesuburan dari induk tersebut semakin baik pula,

    Semakin tinggi nilai S/C, maka semakin rendah tingkat

    kesuburan dari induk tersebut. Ragam lingkungan permanen

    yang berpengaruh pada penelitian ini adalah keterampilan

    inseminator. Faktor dari lingkungan permanen akan memiliki

    pengaruh yang lebih panjang terhadap kemampuan

    berproduksi dari induk sapi tersebut. Sedangkan faktor

    lingkungan temporer yang berpengaruh adalah dari manajemen

    pemberian pakan yang diterapkan oleh peternak. Pakan

    memegang peranan penting dalam siklus reproduksi dari suatu

    induk sapi, semakin baik pakan yang diberikan maka akan

    semakin baik pula performans reproduksi dari induk sapi

    tersebut. Sesuai dengan penjelasan Hartatik, Mahardika, Widi

    dan Baliarti (2009) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas

    pakan yang kurang baik dapat mengganggu proses reproduksi

    ternak. Ditambahkan oleh Nuryadi dan Wahjuningsih (2011)

    yang menyatakan bahwa kandungan nutrisi pakan sebelum dan

    sesudah beranak akan mempengaruhi siklus estrus pada

    periode berikutnya. Kondisi induk sapi yang kurang akan gizi

    dari pakan atau memiliki cadangan energi tubuh rendah,

    menyebabkan estrus post partum lebih lama.

    4.3.2 Ripitabilitas Days Open (DO)

    Hasil perhitungan nilai ripitabilitas yaitu sebesar 0,44.

    Nilai ripitabilitas tersebut menunjukan bahwa faktor genetik

    dan lingkungan permanen berperan sebesar 44%, sedangkan

    56% dipengaruhi oleh lingkungan temporer. Pada penelitian ini

  • lingkungan permanen yang dimaksud adalah keterampilan

    inseminator dalam melakukan inseminasi. Sedangkan

    pengaruh lingkungan temporer pada penelitian ini yaitu kapan

    peternak menentukan deteksi birahi dan masa sapih pada induk

    sapi tersebut. Sulastri, Sumadi, Hartatik dan Ngadiyono (2012)

    menyatakan bahwa tingginya nilai keragaman pada lingkungan

    temporer akan dapat menutupi nilai keragaman genetik dan

    pengaruh lingkungan permanen.

    Berdasarkan Tabel 3, nilai ripitabilitas yang didapatkan

    yaitu sebesar 0,44±0,079. Nilai ripitabilitas DO tersebut

    termasuk kedalam kategori tinggi. Sesuai dengan penjelasan

    Said, Agung, Putra, Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016)

    bahwa nilai ripitabilitas berkisar antara 0-1 dan digolongkan ke

    dalam 3 kategori antara lain kategori rendah (0-0,2), kategori

    sedang (0,2-0,4) dan kategori tinggi (>0,4). Nilai standard error

    (SE) yang didapatkan dalam perhitungan yaitu sebesar 0,079.

    Besar kecilnya SE yang diperoleh disebabkan oleh banyaknya

    sampel,semakin banyak sampel maka SE semakin kecil.

    Semakin kecil nilai SE maka penduga sampel lebih akurat.

    Ripitabilitas menurut Hardjosubroto (1994) adalah

    bagian dari ragam fenotip yang disebabkan oleh perbedaan

    antar individu yang bersifat permanen. Oleh karena itu

    ripitabilitas meliputi semua pengaruh genetik ditambah

    pengaruh dari lingkungan permanen. Pengaruh lingkungan

    dibedakan menjadi pengaruh lingkungan permanen dan

    pengaruh lingkungan temporer. Pengaruh lingkungan

    permanen pada penelitian ini adalah keterampilan inseminator,

    sebab kegagalan perkawinan atau inseminasi akan

    menyebabkan panjangnya nilai DO dan CI. Sedangkan

    pengaruh lingkungan temporer yang berpengaruh adalah peran

    peternak dalam menuntukan waktu sapih pedet dan manajemen

  • pemberian pakan. Semakin baik kualitas pakan yang diberikani

    akan berpengaruh baik pula bagi performa reproduksi dari nduk

    sapi tersebut. Pakan yang diberikan harus memperhatikan

    kondisi fisiologis dari induk sapi tersebut. Pada periode pra

    sapih, induk lebih membutuhkan pakan dengan kualitas dan

    kuantitas yang tinggi agar kebutuhan nutrisi induk dan pedet

    akan dapat tercukupi. Dengan tercukupinya kebutuhan nutrisi,

    induk akan dapat mempersiapkan masa produksi berikutnya

    dengan baik dan akan terhindar dari gangguan pada sistem

    reproduksi. Sedangkan pengaruh lingkungan temporer yang

    berpengaruh adalah kapan peternak melakukan penyapihan

    pedet pada induk. Menurut Ihsan (2010) penyapihan pedet

    yang terlalu lama akan berdampak pada panjang interval DO

    dan juga akan berpengaruh pada panjangnya hari pada jarak

    beranak kembali.

    4.3.3 Ripitabilitas Calving Interval (CI)

    Estimasi nilai ripitabilitas CI sapi Madura sebesar

    0,39±0,081 dimana nilai ripitabilitas sebesar 0,39 dengan SE

    sebesar 0,081. Nilai ripitabilitas tersebut berarti dipengaruhi

    oleh faktor genetik dan lingkungan permanen sebesar 39% dan

    61% sisanya dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan temporer.

    Berdasarkan hasil perhitungan nilai ripitabilias CI (Lampiran

    4), didapatkan nilai ripitabilitas sebesar 0,39 yang termasuk

    dalam kategori sedang yaitu antara 0,2-0,4. Said, Agung, Putra,

    Anwar, Wulandari dan Sudiro (2016) menjelaskan bahwa nilai

    ripitabilitas berkisar antara 0-1 dan digolongkan ke dalam 3

    kategori antara lain kategori rendah (0-0,2), kategori sedang

    (0,2-0,4) dan kategori tinggi (>0,4). Nilai ripitabilitas

    mendakati 1 menunjukan bahwa terdapat suatu variabel

    pengukuran yang memiliki peluang besar untuk selalu diulang

  • pada periode berikutnya, sedangkan mendekati 0, menunjukan

    bahwa suatu variabel pengukuran tersebut semakin sulit untuk

    diulang pada periode berikutnya. Nilai SE yang didapatkan

    dalam perhitungan ripitabilitas CI yaitu kurang lebih 0,081.

    Nilai tersebut dapat mengukur sejauh mana rataan sampel

    pengukuran dapat dipercaya untuk digunakan sebagai penduga

    rataan populasi. Nilai SE yang didapatkan nilainya lebih kecil

    dibandingkan nilai ripitabilitas, maka nilai ripitabilitas CI hasil

    penelitian dapat digunakan sebagai pedoman dalam

    pengambilan pelaksaan progam seleksi. Besar kecilnya SE

    yang diperoleh disebabkan oleh jumlahdata yang ada,semakin

    banyak data maka SE akan semakin kecil. Semakin kecil nilai

    SE maka penduga sampel menjadi lebih akurat.

    Nilai ripitabilitas ternak di satu tempat dengan lokasi lain

    akan berbeda, dikarenakan pengaruh genetik maupun pengaruh

    lingkungan yang berbeda juga. Perbedaan nilai ripitabilitas

    tersebut dijelaskan oleh Warwick, Astuti dan Hardjosubroto

    (1984) bahwa faktor genetik adalah potensi dan kemampuan

    yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan

    merupakan kesempatan yang didapatkan oleh ternak di lokasi

    yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi perfoma dari

    ternak tersebut. Salah satu pengaruh lingkungan permanen

    yang berpengaruh adalah keterampilan inseminator, sebab

    kegagalan perkawinan atau inseminasi akan menyebabkan

    panjangnya nilai CI, dimana hal ini diakibatkan oleh

    panjangnya interval hari pada masa kosong. Sedangkan

    pengaruh lingkungan temporer pada lokasi penelitian adalah

    selain faktor pakan, peran peternak dalam menentukan deteksi

    birahi yang tepat agar perkawinan pada induk sapi tersebut

    tidak terlambat, sehingga dapat dicapai efisiensi reproduksi

    pada induk sapi tersebut.

  • Nilai ripitabilitas CI didapatkan berdasarkan keragaman

    data jarak beranak satu dengan jarak beranak berikutnya pada

    buku recording peternak. Tinggi rendahnya nilai CI dapat

    dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perkawinan pertama

    setelah partus, nilai S/C, lamanya kebuntingan serta lamanya

    masa kosong. Semakin panjang masa kosong, maka interval

    hari CI juga akan semakin panjang. Menurut Wisono, Nuryadi

    dan Suyadi (2012) nilai CI yang ideal adalah 12 bulan, terdiri

    dari 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi

    reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat

    menghasilkan satu pedet dalam satu tahun.

    4.3 Estimated Real Producing Ability (ERPA) S/C

    Hardjosubroto (1994) menyatakan ERPA adalah suatu

    metode pendugaan kemampuan berproduksi suatu induk sapi,

    yang diduga atas data performans yang telah ada. Metode ini

    merupakan hasil modifikasi dari metode MPPA. Hasil

    perhitungan nilai ERPA S/C dengan nilai tertinggi dan nilai

    terendah dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Nilai ERPA S/C sapi Madura.

    Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA

    Ranking tertinggi 24 -0,38

    Ranking terendah 2 1,37

    Nilai rataan populasi pada penelitian ini yaitu sebesar

    1,51. Hasil perhitungan yang diperoleh dari perhitungan nilai

    ERPA yaitu bernilai positif dan bernilai negatif. Nilai ERPA

    yang bernilai positif artinya rataan kemampuan berproduksi

    dari induk sapi tersebut dibawah nilai rataan populasi dan baik

    untuk dikembangbiakan lebih lanjut. Nilai ERPA negatif

    berarti rataan kemampuan berproduksi dari induk sapi tersebut

  • berada diatas nilai rataan populasi, dan kurang baik untuk

    dikembangbiakkan lebih lanjut serta sebaiknya dilakukan

    penyisihan (culling).

    Induk sapi yang memiliki nilai ERPA dibawah rataan

    populasinya berjumlah 32 ekor atau sekitar 53,33%, sedangkan

    induk sapi yang memiliki nilai ERPA diatas rata-rata

    populasinya berjumlah 28 ekor atau sekitar 46,67% dari

    populasinya (Lampiran 8). Perbedaan nilai ERPA S/C tersebut

    disebabkan oleh faktor genetik dari induk sapi tersebut serta

    dari pengaruh lingkungan permanen. Oleh karena itu,

    selanjutnya dapat dilakukan seleksi yaitu dengan tujuan

    memilih ternak mana yang memiliki performa yang baik agar

    dapat dijadikan tetua pada generasi berikutnya (Maylinda,

    1999). Salah satu kriteria yang digunakan dalam pelaksaan

    seleksi adalah dengan memilih ternak yang unggul berdasarkan

    performa yang dihitung dengan metode ERPA. Lesley (1978)

    dalam Prahanisa, Sumadi dan Adiarto (2011) menjelaskan

    bahwa perhitungan nilai ERPA pada suatu ternak didasarkan

    pada nilai ripitabilitas yang didapatkan, nilai ripitabilitas yang

    tinggi dengan menggunakan catatan yang lebih banyak akan

    meningkatkan ketepatan dalam pelaksanaan seleksi.

    Berdasarkan Tabel 8, dijelaskan bahwa untuk ranking

    tertinggi menunjukan nilai minus dan ranking terendah bernilai

    positif. Nilai minus menjadi nilai dengan ranking dibawah nilai

    rataan populasi, hal ini dikarenakan semakin rendah nilai S/C

    yang didapatkan, maka akan semakin baik performa reproduksi

    dari induk sapi tersebut, sedangkan semakin tinggi nilai S/C

    yang didapatkan maka akan semakin buruk performa

    reproduksinya dari induk sapi tersebut. Hal ini sesuai dengan

    penjelasan Affandy, Situmorang, Prihandini, Wijono dan

    Rasyid (2003) bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-

  • 2,0. Semakin rendah nilai S/C, maka semakin tinggi tingkat

    kesuburan dari ternak tersebut, sebaliknya jika nilai S/C

    semakin tinggi, maka akan semakin rendah tingkat fertilitas

    dari ternak tersebut.

    4.4 Estimated Real Producing Ability (ERPA) DO

    Hasil perhitungan nilai ERPA DO induk sapi Madura

    dengan nilai tertinggi dan nilai terendah dapat dilihat pada

    Tabel 5.

    Tabel 5. Nilai ERPA DO sapi Madura.

    Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA

    Ranking tertinggi 2 -12,72

    Ranking terendah 1 20,95

    Hasil perhitungan terhadap 60 ekor induk sapi Madura

    yang diamati, terdapat 34 ekor atau sekitar 56,67% yang

    memiliki nilai ERPA DO dibawah nilai rataan populasi dan 26

    ekor atau sekitar 43,33% yang memiliki nilai ERPA diatas rata-

    rata populasi. Terdapat 2 ekor induk sapi Madura yang

    memiliki nilai ERPA DO tertinggi yaitu -12,72, berarti induk

    sapi Madura tersebut layak untuk dikembangbiakan lebih lanjut

    dan tidak dianjurkan untuk disisihkan. Hal tersebut sesuai

    dengan penjelasan Maylinda (1999) bahwa terdapat kriteria

    yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksaan seleksi

    yaitu dengan memilih ternak yang unggul berdasarkan

    kemampuan produksi yang dihitung dengan metode ERPA.

    Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA diatas rata-rata

    diharapkan mempunyai kemampuan menghasilkan pedet yang

    memiliki genetik yang unggul sehingga layak untuk

    dikembangbiakan lebih lanjut dan dijadikan sebagai tetua.

  • Berdasarkan Tabel 5 dijelaskan bahwa untuk ranking

    tertinggi menunjukan nilai minus dan ranking terendah bernilai

    positif. Nilai minus menjadi nilai dengan ranking dibawah nilai

    rataan populasi, hal ini dikarenakan semakin rendah nilai DO

    yang didapatkan, maka akan semakin baik performa reproduksi

    dari induk sapi tersebut. Induk sapi yang memiliki nilai ERPA

    DO diatas rataan populasinya menunjukan bahwa panjang

    masa kosong yang dialami induk tersebut sudah ideal. Pada

    penelitian ini, panjang nilai DO sapi Madura yang memiliki

    nilai ERPA diatas rataan populasi yaitu sebesar 97,33-109,67

    hari (Lampiran 7). Sesuai dengan penjelasan Ihsan (2010)

    bahwa jarak atau masa kosong yang ideal adalah 85-115 hari.

    Panjang interval masa kosong akan dapat mempengaruhi jarak

    beranak kembali pada induk sapi, semakin rendah nilai DO

    maka interval jarak beranak kembali akan lebih pendek

    sehingga dapat diharapkan dapat tercapai efisiensi reproduksi.

    Menurut Susilawati dan Affandy (2004) menyatakan bahwa

    apabila terdapat jarak beranak yang panjang sebagian besar

    karena interval hari pada jarak atau masa kosong yang panjang.

    4.5 Estimated Real Producing Ability (ERPA) CI

    Hasil perhitungan nilai ERPA CI induk sapi Madura

    dengan nilai tertinggi dan nilai terendah dapat dilihat pada

    Tabel 6.

    Tabel 6. Nilai ERPA CI sapi Madura.

    Jumlah sapi (ekor) Nilai ERPA

    Ranking tertinggi 1 -13,98

    Ranking terendah 1 21,99

    Berdasarkan hasil perhitungan analisis data (Lampiran

    6) induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI dibawah

  • rataan populasi yaitu berjumlah 31 ekor atau sekitar 51,67%

    dengan nilai rataan individu berkisar antara 386,67-407,67 hari,

    sedangkan induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI

    diatas rata-rata populasi sebanyak 29 ekor atau 48,33% dari

    populasi dengan rataan individu nilai CI antara 408,33-442

    hari. Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA CI tertinggi

    yaitu -13,98, sedangkan induk sapi Madura yang memiliki nilai

    ERPA CI terendah yaitu 21,99. Perbedaan nilai tersebut

    disebabkan oleh kualitas genetik dari masing-masing ternak

    serta pengaruh dari lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan

    penjelasan Wijono dan Setiadi (2004) bahwa tampilan

    performa ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan

    lingkungan, termasuk lingkungan pakan dan kesehatan.

    Pengaruh lingkungan terhadap produktifitas ternak mencapai

    70% dibandingkan dengan pengaruh faktor genetik sebesar

    30% dan pengaruh perlakuan pakan sendiri dapat mencapai

    60% dari pengaruh lingkungan. Ditambahkan oleh Hartatik,

    Mahardika, Widi dan Baliarti (2009) menyatakan bahwa Sapi

    Madura memiliki respon yang baik terhadap perbaikan kualitas

    pakan. Pemberian pakan yang kurang baik dapat mengganggu

    proses reproduksi ternak. Pakan yang diberikan harus dapat

    mencukupi kebutuhan nutrisi dari ternak agar dapat tercapai

    performa produksi maupun reproduksi yang baik bagi ternak

    tersebut.

    Nilai ERPA CI yang positif menandakan bahwa nilai

    ERPA tersebut berada diatas rataan populasi. Sedangkan nilai

    ERPA minus menunjukan jika nilai ERPA tersebut berada

    dibawah rata-rata populasi. Hal ini dikarenakan semakin

    rendah nilai CI yang didapatkan, maka semakin baik

    produktifitas dari ternak tersebut. Faktor-faktor yang

    menyebabkan panjangnya nilai CI antara lain perkawinan

  • pertama setelah melahirkan, nilai S/C, lamanya kebuntingan

    dan lama masa kosong. Sesuai dengan pendapat Nuryadi dan

    Wahjuningsih (2011) yang menjelaskan bahwa CI ditentukan

    oleh lama bunting dan interval masa kosong, sehingga semakin

    panjang DO menyebabkan angka CI semakin tinggi. Sapi

    paritas pertama memiliki CI yang lebih panjang dibandingkan

    dengan sapi pada paritas berikutnya, hal ini dikarenakan DO

    pada sapi paritas pertama yang panjang. Panjangnya DO pada

    sapi paritas pertama dikarenakan tanda-tanda estrus sapi pada

    paritas pertama biasanya kurang terlihat jelas.

    Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, estimasi nilai

    ripitabilitas sifat-sifat reproduksi dapat dijadikan sebagai dasar

    atau pedoman untuk menghitung nilai ERPA. ERPA adalah

    metode pelaksanaan seleksi yang dapat dilakukan berdasarkan

    hasil pencatatan kemampuan produksi dan reproduksi ternak.

    Induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA diatas rataan

    populasi layak untuk dikembangbiakan lebih lanjut, sedangkan

    induk sapi Madura yang memiliki nilai ERPA dibawah rataan

    populasi, sebaiknya disarankan untuk disisihkan. Menurut

    Maylinda (1999) seleksi adalah suatu progam untuk memilih

    ternak yang memiliki kualitas genetik yang unggul agar dapat

    dijadikan tetua di generasi berikutnya. Kriteria yang digunakan

    dalam pelaksanaan seleksi adalah memilih ternak yang

    memiliki performans yang baik berdasarkan kemampuan

    produksi maupun reproduksi yang dihitung dengan nilai

    ERPA.