bab iv gambaran umum 4.1 profil kabupaten ...repository.ub.ac.id/5379/5/5. bab iv.pdfletak kabupaten...
TRANSCRIPT
1
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Profil Kabupaten Banyuwangi
4.1.1 Aspek Geografis
Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur
letak Kabupaten Banyuwangi yaitu terdapat di ujung timur Pulau Jawa.
Kabupaten Banyuwangi memiliki luas sebesar 5.782,50 km² dengan jumlah
penduduk sebanyak 1.668.438 jiwa yang terdiri dari 838.836 jiwa laki – laki dan
829.582 jiwa perempuan.1 Dari jumlah penduduk masyarakat tersebut, jumlah
Suku Osing didalamnya adalah 20% dari total jumlah penduduk di Kabupaten
Banyuwangi.2 Dengan luas tersebut Kabupaten Banyuwangi termasuk kedalam
salah satu kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur.
Wilayah daratan Kabupaten Banyuwangi terdiri atas dataran tinggi berupa
pegunungan yang merupakan daerah penghasil produk perkebunan dan dataran
rendah dengan berbagai potensi produk hasil pertanian serta daerah sekitar garis
pantai yang membujur dari arah utara ke selatan yang merupakan daerah
penghasil berbagai biota laut. Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi
Kabupaten Banyuwangi terletak di antara 70 43’ - 8 0 46’ Lintang Selatan dan
1130 53’ – 1140 38’ Bujur Timur. Kemudian batas wilayah Kabupaten
Banyuwangi adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo,
sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali, sebelah selatan berbarasan dengan
1 banyuwangikab.go.id diakses pada tanggal 11 Mei 2017 pukul 11.00 2 Hasil wawancara dengan Pak Suhaimi tokoh adat Osing pada tanggal 20 April 2017
2
Samudra Indonesia, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember
dan Bondowoso.3 Berikut merupakan peta Kabupaten Banyuwangi :
Gambar 4.1
Peta Kabupaten Banyuwangi
Sumber : banyuwangikab.go.id
Sebagian besar kawasan di Banyuwangi merupakan kawasan hutan hal ini
dikarenakan luas hutan yang ada lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang
lainnya. Selain kawasan hutan, kawasan lainnya merupakan kawasan yang
digunakan oleh penduduk Kabupaten Banyuwangi dengan berbagai manfaat yaitu
seperti jalan, ladang, sawah, dan lain-lain. Selain kawasan hutan dan kawasan
pemukiman, di Kabupaten Banyuwangi juga terdapat kawasan pantai.
4.1.2 Aspek Ekonomi
Kondisi perekonomian daerah secara makro di Kabupaten Banyuwangi
dari tahun tahun ke tahun menunjukkan pergerakan yang stabil. Hal ini terbukti
3 Ibid
3
dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat
pertumbuhan Kabupaten Banyuwangi dalam lima tahun terakhir tercatat lebih
tinggi dari pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi di
Banyuwangi pada tahun 2010-2014 sebesar 6,59 % sedangkan pertumbuhan Jawa
Timur sebesar 6,27 %.4 Secara ekonomi masyarakat Suku Osing di Banyuwangi
sebagian besar adalah bermata pencaharian sebagai petani dan pekebun.
Selain itu, sebagian besar penduduk Kabupaten Banyuwangi merupakan
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, peternakan dan perkebunan.
Hal ini dikarenakan penduduk Kabupaten Banyuwangi sebagian besar berada di
daerah pedesaan. Suku Osing yang ada di Kabupaten Banyuwangi sebagian besar
mereka berprofesi sebagai petani dan pekebun. Hal ini dikarenakan di desa
mereka memiliki lahan sawah dan kebun yang luas sehingga dimanfaatkan
mereka untuk lahan pekerjaan. Hasil kebun yang dihasilkan oleh masyarakat Suku
Osing adalah Kopi. Sehingga mereka memiliki produksi kopi sendiri yang berasal
dari Suku Osing.
4.1.3 Aspek Pemerintahan
Secara Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi memiliki pemerintahan yang
cukup meningkat kualitasnya dari tahun ke tahun. Kabupaten Banyuwangi
merupakan sebuah Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati dan Wakil Bupati dalam
kepala pemerintahannya. Pemerintahan di Kabupaten Banyuwangi sebagian besar
dikuasai oleh masayarakat Suku Jawa dan sedikit sekali dari mereka yang berasal
dari Suku Osing. Sehingga hal ini merupakan salah satu pemicu mengapa bahasa
4 https://banyuwangikab.bps.go.id diakses pada 7 Juni 2017 pukul 12.19
4
osing sampai saat ini masih belum diakui di tingkat provinsi. Karena
pemerintahan di Banyuawangi kurang peduli akan keaslian osing kareana mereka
bukan berasal dari Suku Osing akan tetapi Suku Jawa.
Dalam proses pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Banyuwangi
tidak mengikuti pilkada serentak yang dilakukan secara bersamaan oleh seluruh
kota atau kabupaten di Indonesia. Secara administratif Kabupaten Banyuwangi
terbagi menjadi 24 kecamatan dan 217 kelurahan atau desa.5 Berikut adalah daftar
kecamatan dan desa di Kabupaten Banyuwangi :
Tabel 4.1
Jumlah Desa Menurut Kecamatan
Kecamatan Jumlah Desa
Pesanggaran 5
Siliragung 5
Bangorejo 7
Purwoharjo 8
Tegaldlimo 9
Muncar 10
Cluring 9
Gambiran 6
Tegalsari 6
Glenmore 7
Kalibaru 6
Genteng 5
Srono 10
Rogojampi 18
5 banyuwangikab.bps.go.id diakses pada tanggal 12 Mei 2017 Pukul 19.00
5
Kabat 16
Singojuruh 11
Sempu 7
Songgon 9
Glagah 10
Licin 8
Banyuwangi 18
Giri 6
Kalipuro 9
Wongsorejo 12
Sumber : Dikelola Penulis Tahun 2017
Dari 24 kecamatan tersebut ada dua kecamatan yang memiliki jumlah
desa/kelurahan tertinggi yaitu di Kecamatan Banyuwangi Kota dan Kecamatan
Rogojampi yang masing-masing memiliki 18 desa/kelurahan. Di tingkat
pemerintahan desa/kelurahan terdapat pembagian wilayah lagi yaitu
dusun/lingkungan atau rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT).
4.2 Sejarah Suku Osing di Banyuwangi
4.2.1 Asal mula terbentuknya Suku Osing
Awal mula terbentuknya suku Osing di Banyuwangi berawal dari
dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan Islam di Jawa serta
berakhirnya kekuasaan kerajaan Majapahit. Kerajaan Blambangan yang
merupakan kerajaan asli Banyuwangi termasuk kedalam bagian dari kerajaan
Majapahit sejak awal abad ke-12, yaitu tahun 1295 hingga tahun 1527.6 Akibat
6Evan Permana Budiarto, 2009, Perancangan Film Dokumenter: Tribute to East Java Heritage,
Surabaya, ITS
6
utama dari perebutan kekuasaan adalah terjadinya migrasi penduduk dan
perpindahan ibukota kerajaa n yang menyebar di beberapa wilayah yaitu ke lereng
gunung bromo (Suku Tengger), Bali, Jember dan Blambangan (sekarang
Banyuwangi).
Kabupaten Banyuwangi juga pernah melakukan perang, yaitu perang
puputan bayu. Perang puputan bayu adalah perang terbesar Suku Osing yang
dilaksanakan di Banyuwangi. Puputan adalah perang terakhir hingga titik darah
penghabisan sebagai upaya untuk mempertahankan diri terhadap serangan musuh
yang lebih besar dan kuat. Perang Puputan Bayu merupakan sebuah aksi
perlawanan dari rakyat Blambangan terhadap pemerintah kolonial Belanda
(VOC). Dalam perang ini rakyat Blambangan berhasil mempora-porandakan
masyarakatnya dan menyisakan sekitar 8.000 orang yang terus maju dan pantang
mundur. 7
Tak hanya cukup sampai pada satu perlawanan saja, perlawanan dari
Belanda terus terjadi dan berlangsung selama puluhan tahun yaitu sampai pada
tahun 1810. Pada saat itu dari kubu rakyat Blambangan dipimpin oleh pasukan
Bayu yang tersisa dan dijuluki sebagai orang - orang Bayu liar oleh pasukan
Belanda.8 Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan
pemerintahaannya di Banyuwangidan mengangkat Mas Alit sebagai bupati
pertama. Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan
penjajahan pihak luar. Majapahit, Demak, Mataram, Pasuruan, Buleleng, dan
Belanda adalah serentetan kekuasaan politik yang pernah menjajah Blambangan.
7Ali, Hasan. Sekilas Perang Puputan Bayu, Pemda TK II Kabupaten Banyuwangi, 1997. Hal 20
tahun 1993 8 Ibid hlm 40
7
Pada tahun 1765, ketika melawan penjajahan Belanda, tidak kurang dari 60.000
rakyat Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya.9
Anderson melukiskan kekejaman Belanda yang tak bertara sewaktu
menguasai Blambangan terutama pada tahun 1767-1781. Dengan merujuk
catatan Bosch yang ditulis dari Bondowoso, Anderson mengatakan, “Daerah
inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah
berpenduduk padat telah dibinasakan sama sekali....” Pendudukan dan penaklukan
yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin
patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat.10 Seperti yang
dikutip oleh Herusantosa, dengan merujuk pada Tome Pires, menyebut “rakyat
Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat “warlike”, suka berperang dan
selalu siap tempur, selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari
kekuasaan pihak lain.”
Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di
atas itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal komunitas Using.11
Scholte menegaskan bahwa sebutan orang Using diberikan oleh penduduk lain di
Banyuwangi, yakni orang Jawa kulon (imigran dari Jawa Timur bagian barat dan
Jawa Tengah yang datang di daerah ini bersamaan dengan dibukanya perkebunan
oleh pihak Belanda pada abad 18 dan 19, Bali, Bugis, dan Mandar untuk orang-
9 Epp. F. 1849. Banjoewangi. TNI. L.ii:242-246 10 Anderson. Benedict. 1982. “Sembah – Sumpah. Politik Bahasa. dan Kebudayaan Jawa”.
Prisma November. hal 75-76. 11 Herusantosa. Suparman. 1987. Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi. Jakarta. Program
Pasca Sarjana UI. Hal 13
8
orang yang merupakan sisa-sisa rakyat Blambangan yang masih menggunakan
adat Hindu–Jawa.12
Sumber itu pula menyebutkan bahwa penamaan Using merujuk pada kata
sing yang berarti ‟tidak‟ atau ‟bukan‟. Orang-orang Jawa kulon maupun
pendatang lain menggunakan kata “sing” kemudian ditambah dengan “u” untuk
menegaskan bahwa mereka, rakyat Blambangan yang lebih dulu mendiami
wilayah ini, bukanlah Jawa. Pigeaud dalam Scholte menyatakan bahwa orang
Using adalah “penduduk asli Banyuwangi yang tidak mau hidup bersama dengan
wong kulonan.” Mereka yang tidak mau hidup dengan wong kulonan itulah yang
disebut orang Using. Bisa jadi, seperti yang diakui oleh seorang budayawan
Using, Hasan Ali, bahwa keengganan penduduk asli Banyuwangi untuk bergaul
dengan orang Jawa kulon tersebut lebih disebabkan oleh tekanan yang bertubi tubi
selama ini oleh berbagai kekuatan luar sebagaimana dilukiskan di atas.
Hingga pertengahan abad ke- 19, orang Using yang tinggal di Banyuwangi
relatif eksklusif, belum bercampur secara sosial dan kultural dengan komunitas
etnis lain di Nusantara. Pembukaan Banyuwangi menjadi daerah perkebunan oleh
Belanda pada akhir abad ke-19 maupun pada kurun waktu sesudahnya (sebelum
dan awal kemerdekaan RI) yang menjadikannya sebagai tujuan migrasi tenaga
kerja di sektor perkebunan dan pertanian sawah, menyebabkan komunitas Using
harus menjalani kehidupan bercampur (plural) dengan seluruh
konsekuensikonsekuensinya. Gelombang demi gelombang migrasi dari bagian
barat Jawa Timur (Ponorogo, Madiun, Bojonegoro), Jawa Tengah dan
12 Scholte, J. 1927. Gandroeng van Banjoewangie. Djawa, VII. Hal 146
9
Yogyakarta, Madura, Bugis-Makassar, dan Mandar berdatangan menyesaki
daerah ini. Selain masyarakat Bugis-MakassarMandar yang sejak awal memang
terkonsentrasi di wilayah kota Banyuwangi, kaum migran tersebut umumnya
berdomisili secara konsentris di bagian selatan (untuk masyarakat Jawa) dan di
bagian utara (untuk masyarakat Madura).13
4.2.2 Agama yang dianut Suku Osing
Sebagian besar agama yang dianut oleh Suku Osing adalah agama Islam
akan tetapi mereka memiliki latar agama Hindu yang cukup kuat yaitu pada masa
kerajaan Hindu Ciwa. Maka dari itu segala tradisi yang berbau agama Hindu tidak
bisa dihilangkan oleh masyarakat Osing. Meskipun begitu agama Islam tetap
berjalan beriringan dengan dengan adat istiadat yang ada hal ini dikarenakan
akibat dari berkembangnya agama Islam di daerah Pantura (Pantai Utara).
Masyarakat Suku Osing merupakan masyarakat yang percaya pada akan
roh leluhur, dan reinkarnasi, moksa, dan hukum karma. Tidak dipungkiri Suku
Osing juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di sebuah tempat disebut
Punden yang biasanya ada dibawah pohon atau batu besar.14 Meskipun begitu
agama Islam tetap menjadi panutan dari masyarakat Suku Osing meskipun mereka
masih sering melakukan hal – hal ritual mistis hal ini dikarenakan Suku Osing
percaya berbagai ritual tersebut merupakan tradisi yang harus dilakukan dan
warisan dari sesepuh pendiri Suku Osing.
13 Ibid 14 Ibid hlm 288
10
4.3 Sejarah Bahasa Osing
Bahasa Osing merupakan turunan dai Bahasa Jawa yang dipakai sejak
zaman kerajaan Majapahit. Meskipun turunan dari Bahasa Jawa, Bahasa Osing
memiliki dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa perbedaan tersebut terletak
pada beberapa penekanan huruf. Bahasa Osing digunakan sebagai bahasa interaksi
oleh Suku Osing dalam kegiatan sehari - hari.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern
penggunaan Bahasa Osing semakin lama semakin menyusut dan semakin jarang
digunakan lagi oleh masayarakat Banyuwangi sebagai bahasa asli daerah. Hal ini
diakibatkan oleh adanya dimensi perubahan dari masuknya Bahasa Jawa dan
Bahasa Madura yang dibawa oleh masyarakat pendatang yang menetap di
Kabupaten Banyuwangi. Sehingga dengan adanya pengaruh dari masyarakat
pendatang yang berasal dari luar daerah Banyuwangi dapat membawa pengaruh
bahasa dari daerah asal mereka.
Selain itu pengaruh dari datangnya masyarakat pendatang ialah juga dapat
menimbulkan masalah mengenai keanekaabsahan serta masalah sosiolongistik
lainnya. Sehingga percampuran bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan
ketumpang tindihan atau overlapping alih kode, dan campur kode.15 Walaupun
terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, masih dapat ditemui
masayarakat yang masih menggunakan Bahasa Osing dalam melakukan interaksi
dengan sesama masyarakat Suku Osing, akan tetapi dalam melakukan interaksi
dengan masyarakat diluar Suku Osing mereka menggunakan Bahasa Indonesia.
15Irwan Abdullah, dkk. Bahasa Nusantara:Posisi dan Penggunaanya Menjelang Abad ke-21.1999
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 145
11
Masyarakat ini dapat ditemui di kecamatan paling timur di Kabupaten
Banyuwangi.
Dalam perkembangannya Bahasa Osing mengalami berbagai rintangan
demi mendapatkan pengakuan oleh pemerintah dan diajarkan di sekolah – sekolah
di Banyuwangi. Hal ini terjadi sejak zaman Orde Baru pada saat itu seluruh siswa
yang tinggal di daerah berbasis etnis Jawa di Jawa Timur hanya mendapatkan
pelajaran Bahasa Jawa Kulonan. Di Banyuwangi sendiri sebagai akibat dari
proses migrasi menjadikan masayarakat Jawa Mataraman bertempat tinggal di
wilayah selatan. Sehingga hal ini menjadikan sebagian besar aparat birokrasi dan
pendidik di Kabupaten Banyuwangi juga berasal dari komunitas Jawa Mataraman.
Pada masa orde baru Bahasa Osing sudah dianggap sebagai dialek dari
Bahasa Jawa sehingga kondisi itulah yang menghadirkan penindasan Linguistik
bagi masyarakat Osing. Sehingga komunitas Osing pun harus merelakan bahasa
mereka tidak diajarkan di sekolah-sekolah demi mematuhi peraturan pemerintah.
Tidak hanya diam begitu saja pada saat itu para budayawan Banyuwangi terus
melakukan perjuangan demi diakuinya Bahasa Osing. Mereka memperkuat
identitas Osing dan berusaha untuk melakukan kajian mendalam terhadap
kelayakan Bahasa Osing sebagai sebuah bahasa dan bukan sekedar dialek dari
Bahasa Jawa.
Menyikapi dari dorongan para budayawan, Bupati Banyuwangi pada saat
itu Purnomo Sidiq melakukan dukungan untuk menggagas Bahasa Osing sebagai
muatan lokal. Sehingga pada tahun 1994 Bupati Purnomo Sidiq melontarkan
gagasannya melalui Kongres Bahasa Jawa di Batu dan di Solo. Kemudian pada
12
tahun 1996 masalah ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SK Bupati Nomer
428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan buku-buku Materi Bahasa
Osing Sebagai Kurikulum Mualatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten
Banyuwangi.16
Dulu Bahasa Osing sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata
orang-orang Osing sangat sulit memperjuangkan Bahasa Osing sebagai materi
ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di Pemkab
Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan.
Mereka masih beraggapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa Osing
sebagai sub-dialek dari Bahasa Jawa. Padahal Bahasa Osing bukan sebagai dialek-
Jawa, tetapi sudah merupakan bahasa sendiri.
Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau
tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun Bahasa Osing terlihat lebih statis,
karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya. Setelah
bertahun - tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Osing diajarkan di tingkat SD dan
SMP. Ini tidak lepas dari upaya keras dari Budayawan yang tergabung dalam
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun
kamus Osing. Berangsur-angsur wong Osing juga mulai menunjukkan eksistensi
dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi
yang orang Osing sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi.
Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara
tentunya.
16 http://www.antarajatim.com “Bahasa Osing Banyuwangi Menjadi Bahasa Multietnis” diakses
pada 7 Juni 2017 pukul 13.00
13
Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah Bupati
aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya
bisa tidak, dua pejabat Bupati Banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu
Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai
Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan
untuk mendiskreditkan Raja Blambangan. Namun kini masalah besar tengah
dihadapi kembali oleh Bahasa Osing, kini dengan dikeluarkannya peraturan
Gubernur No. 19 Tahun 2014 pada bulan April seolah membawa nasib Bahasa
Osing kembali tidak diakui. Pasalnya pada pergub tersebut Bahasa Osing tidak
dicantumkan sebagai bahasa yang wajib diajarkan oleh sekolah/madrasah.
Penggunaan Bahasa Osing dalam masyarakat digunakan dalam rumah
tangga sebagai alat komunikasi dan interaksi antar anggota rumah tangga. Namun
dalam komunitas Osing, Bahasa Osing digunakan oleh anggotanya sebagai
lambang identitas serta pengembangan seni budaya daerah. Sedangkan dalam
pemerintahan, pendidikan, dan politik Bahasa Osing digunakan sebagai bahasa
interaksi dalam melakukan komunikasi. Meskipun dalam beberapa situasi terjadi
beberapa alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa lain. Penutur Bahasa Osing
di Kabupaten Banyuwangi tersebar di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi
terutama kecamatan berikut ini : 17
1. Kecamatan Kabat
2. Kecamatan Rogojampi
3. Kecamatan Glagah
17 Evan Permana .Perancangan Film Dokumenter:Tribute to East Java Heritage .2009 .Skripsi
Universitas ITS
14
4. Kecamatan Srono
5. Kecamatan Songgon
6. Kecamatan Cluring
7. Kecamatan Giri
8. Kecamatan Kalipuro
9. Sebagian Kota Banyuwangi
10. Kecamatan Gambiran
11. Kecamatan Singojuruh
12. Kecamatan Licin
13. Sebagian Genteng
4.3.1 Perbedaan Bahasa Jawa dan Bahasa Osing
Bahasa Jawa dialek Jawa Timur terdiri atas berbagai macam dialek,
diantaranya dialek Tuban, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Malang, dan
Banyuwangi.18 Perbedaan tersebut terjadi karena dalam setiap ragam bahasa yang
dipergunakan di suatu daerah tertentu, lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan
yang berbeda-beda, seperti dalam lafal, tata bahasa, tata arti, dan sikap yang
mempergunakan salah satu bentuk khusus. Perbedaannya antara lain :
1. Perbedaan fonetik, polimorfisme atau alofonik (fonologi)
2. Perbedaan semantik yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan
fonologi dan geseran bentuk (sinonim & homonim)
3. Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda
berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.
18 Soedjito, Soedjito (1981) Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
15
4. Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan
onomasiologis yaitu pemberian nama untuk beberapa konsep yang berbeda
5. Perbedaan morfologis yang dibatasi adanya sistem tata bahasa oleh
krekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang
berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah
faktor lainnya lagi.19
Selain perbedaan yang sudah dijelaskan di atas, perbedaan bahasa jawa
dengan bahasa osing juga terletak pada kata atau ucapan yang digunakan.
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain:
1. Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i"
pada bahasa Osing khususnya Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti
misalnya "geni" terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai", "gedigi"
(begini) terbaca "gedigai".
2. Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir
selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu"
terbaca "asau", "awu" terbaca "awau".
3. Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama
pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal
"q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya
konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk",
terbaca "manuK" dan seterusnya.
19 Ibid
16
4. Konsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata
[piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya.
5. Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon
yang mengandung [ba], [ga], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan
"byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah",
"Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca
"dyawuk".20
Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain
ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki. Cara
Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak
mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang
menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan
lawan bicara, misalnya :
Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang di atas kita (umur)
20 Artikel Minikhiro Moriyama dan Manneke Budiman, “Geliat Bahasa Selaras Zaman
Perubahan Bahasa – Bahasa di IndonesiaPasca Orde Baru” dalam
https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/15213/Arps%2B2010.pdf?sequence=1
diakses pada tanggal 6 Agustus 2017.
17
Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu) 21
Sedangkan Cara Besikia dalah bentuk "Jawa Halus" yang dianggap sebagai
bentuk wicara ideal. akan tetapi penggunaannya tidak seperti halnya masyarakat
Jawa, Cara Besiki ini hanya dipergunakan untuk kondisi-kondisi khusus yang
bersifat keagamaan dan ritual, selain halnya untuk acara pertemuan menjelang
perkawinan.
4.4 Desa Kemiren
Desa Kemiren merupakan desa adat Suku Osing di Banyuwangi yang
menjadi tujuan untuk para wisatawan yang ingin mengetahui keaslian dari Suku
Osing di Kabupaten Banyuwangi. Bahkan sejak 1993, desa ini telah ditetapkan
sebagai “Desa Osing” yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan
keusingan.22 Area wisata budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan
bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai cagar budaya Osing.
Desa Kemiren terletak cukup strategis, yaitu berada di wilayah perjalanan menuju
kawasan wisata Gunung Ijen. Desa Kemiren memiliki luas 117.052 m². Ditengah-
tengah Desa Kemiren terdapat jalan beraspal yang menghubungkan desa kemiren
dengan pusat kota Banyuwangi. Batas wilayah Desa Kemiren adalah : 23
a. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Jambesari
b. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Banjarsari
c. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Tamansuruh
21 Ibid 22Diakses dari http://www.desantara.or.id/2008/03/using-banyuwangi/ pada tanggal 10 Juli pukul
22.00 23Aekanu Hariyono, “Misteri Daur Hidup Masyarakat Osing Desa Kemiren Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi", parokimariaratudamai.wordpress.com diakses pada 24 Mei 2017 pukul
13.00
18
d. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Olehsari
Gambar 4.2 Desa Adat Kemiren
Sumber : banyuwangibagus.com, online 2017
Gambar 4.3 Rumah Adat Suku Osing
Sumber : kompasiana.com, online 2017
Struktur Organisasi Desa Adat Kemiren yaitu dikepalai oleh seorang
Kepala Desa yaitu Ibu Lilik Yuliatin. Dibawah kepala desa terdapat sekertaris
19
desa yaitu Bapak Eko Suwilin Adiyono serta kepala Dusun Krajan yaitu bapak
Asnan serta Kepala Dusun Kedaleman yaitu Bapak Selamet. Selain itu juga
terdapat beberapa perangkat arpartur desa yang membantu kemajuan sebuah Desa
Wisata Adat Kemiren. Perangkat Desa tersebut adalah staf birokrat yang bekerja
di kantor Kelurahan seperti staf kepala urusan pemerintahan, staf kepala urusan
pembangunan desa kemiren, kepala urusan kesejahteraan rakyat, kepala urusan
keuangan, kepala urusan umum dan staf IT.
Mata pencaharian penduduk Kemiren sebagian besar adalah sebagai petani
dan pekebun. Berbagai macam hasil pertanian dan hasil kebun masyarakat Desa
Kemiren adalah padi, jagung,mentimun, ketela pohon, kentang, sengkeh, durian,
pepaya, jeruk, alpukat dan blimbing. Selain itu sebagai pusat budaya Suku Osing,
Desa Kemiren memiliki beberapa kesenian tradisional berupa tarian dan musik
diantaranya adalah :
1. Gandrung
2. Kuntulan
3. Barong
4. Gedhongan
5. Mocoan lontar yusuf
6. Burdah
7. Jaran kecak
8. Kiling
9. Angklung Paglak
10. Angklung Caruk
20
11. Angklung Tetak
12. Angklung Blambangan
13. Kenthulitan
14. Seni Ukir
15. Tenun Abaka
16. Tulup
17. Seni Arsitektur Omah Osing
18. Seni Pembuatan Kerajinan Biola Gandrung
19. Seni Pembuatan Barong Osing
Selain mempunyai kebudayaan berupa tarian musik, masyarakat Desa
Kemiren juga mempunyai beberapa ritual atau upacara adat yang rutin
dilaksanakan diantaranya adalah :
1. Sedekah Syawal
2. Sedekah Penampan
3. Sedekah Kupatan
4. Barong Ider Bumi
5. Tumpeng Sewu
6. Rebo Wekasan
7. Adeg -Adeg Tandur
8. Selametan Melecuti Pari
9. Selametan Pari
10. Selametan Sapi
11. Selametan Kebonan
21
12. Selametan Jenang Sum-Sum
13. Selametan Syuroan
14. Selametan Nunduk Lemah
15. Selametan Suwunan
16. Selametan Ngebangi Omah
Nama Kemiren sendiri berawal dari gabungan antara kemiri dan duren.24
Karena pada saat pertama kali ditemukan, desa kemiren masih berupa hutan yang
terdapat banyak tanaman kemiri dan tanaman pohon duren. Menurut sesepuh desa
awal mula masyarakat kemiren muncul yaitu berasal dari orang - orang yang
kabur dan menyelamatkan diri dari Kerajaan Majapahit yang saat itu hancur yang
kemudian menyebabkan perpecahan. Akibatnya masyarakatnya menyebar ke
beberapa daerah untuk menyelamatkan diri dan melangsungkan kehidupan ke
tempat yang lebih aman.
Kemudian mereka mengungsi ke lahan yang masih berupa kebun-kebun
yang mereka temukan dan kini sekarang menjadi desa kemiren. Penduduk dari
Desa Adat Kemiren adalah Suku Osing asli yang dipelopori oleh sesepuh Suku
Osing yang kini sudah meninggal dan pesan kesannya masih diterapkan dan
dikenang oleh masyarakat Suku Osing yaitu Buyu Cili.
Buyut Cili merupakan sesepuh desa kemiren yang dihormati oleh
masyarakat Desa Kemiren dan dianggap sebagai tokoh babat alas Desa Kemiren.
Buyut Cili dianggap sangat berjasa karena telah menjadi cikal bakal yang telah
membuka Desa Kemiren, sehingga banyak orang-orang yang datang ke makam
24 Hasil Wawancara dengan Bapak Suhaimi tokoh adat Osing di Desa Kemiren Pada Tanggal 20
April 2017
22
Buyut Cili untuk meminta berkah. Buyut Cili dimakamkan di Desa Kemiren dan
masyarakat desa kemiren rutin mengunjungi makam beliau serta mengirimkan
doa. Selain itu jika masyarakat Desa Kemiren yang kerap menyelenggarakan
berbagai acara mereka diwajibkan untuk datang memohon ijin dengan cara
mendatangi dan mengirimkan doa kepada Buyut Cili. Hal ini dipercaya dapat
membawa dampak kesuksesan masyarakat desa kemiren dalam segala hal yang
berkaitan dengan kebaikan desa kemiren.
Selain masyarakat Desa Kemiren sendiri, makam Buyut Cili juga kerap
didatangi oleh tamu yang datang ke Desa Kemiren. setiap tamu yang datang baik
dari dalam maupun luar kota diharapkan untuk mengunjungi Buyut Cili dulu
sebelum mereka berkeliling ke Desa Kemiren. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk meminta izin bahwa mereka ingin berkunjung dan bersilahturahmi ke Desa
Wisata adat Kemiren. Tujuannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
4.5 Desa Bakungan
Bakungan merupakan sebuah nama desa yang letaknya terdapat di
wilayah Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Desa Bakungan ini masih masuk ke
dalam wilayah perkotaan Kabupaten Banyuwangi. Desa Bakungan terdiri dari
pemukiman penduduk yang berjejer di kawasan lingkungan Gaplek dan Krajan.
Mayoritas penduduk di Desa Bakungan ini adalah Suku Osing (suku asli
Banyuwangi). Desa Bakungan merupakan salah satu Desa Adat Suku Osing di
Banyuwangi. Dikatakan Desa Adat karena desa ini masih sangat erat melakukan
tradisi kebudayaan atau ritual Suku Osing.
23
Desa Bakungan dipimpin oleh Kepala Desa yaitu Bapak Heriyono S.H
akan tetapi beliau sudah pensiun dan sekarang diwakilkan oleh pelaksana tugas
yang sekaligus menjabat sebagai sekertaris desa yaitu Bapak Drs. Fathur Rofik.
Selain kepala desa, dalam memajukan desa bakungan, desa ini juga memiliki
beberapa perangkat aparatur desa diantaranya terdapat bendahara desa, pengurus
barang, pengdministrasi dan kepegawaian serta kasi.
Masyarakat Bakungan memiliki suatu kepercayaan yang diwujudkan
dalam sebuah tradisi. Dimana tradisi ini sudah ada sejak jaman Hindu, dan
dilakukan setahun sekali setelah hari raya Idul Adha. Tradisi ini sudah menjadi
tradisi wajib yang dilakukan oleh Suku Osing khususnya yang tinggal di Desa
Bakungan yang disebut dengan Upacara Seblang. Upacara Seblang merupakan
sebuah tradisi yang dilakukan guna untuk penyucian desa dan penolak bala serta
ucapan syukur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bakungan atas segala
nikmat dan kesejahteraan yang diberikan sang pencipta kepada masyarakat Desa.
Rasa syukur tersebut diungkapkan dengan cara melakukan sebuah
tarian mistik atau magis yakni sebuah tarian yang dilakukan oleh penari yang
didalam tubuhnya sudah dirasuki oleh roh / danyang dengan diiringi lagu-lagu
gending lagu Jawa Klasik. Penari dalam tarian seblang di Desa Bakungan ini
adalah seorang wanita tua yang berusia diatas 50 tahun keatas yang sudah
mengalami mati haid atau menopause hal ini diyakini bahwa wanita tua yang
24
sudah mati haid dianggap suci.25 Penari seblang sendiri merupakan warga Desa
Bakungan sendiri yang sudah memiliki keturunan dari penari seblang sebelumnya.
Gambar 4.4 Seblang Bakungan Banyuwangi
Sumber : detik.com, online 2017
Segala hal yang berkaitan dengan tradisi upacara seblang ini
melibatkan seluruh masyarakat Desa Bakungan tanpa ada bantuan dari masyarakat
desa yang lain. Pelaksanaan seblang dilakukan pada malam hari letak upacara ini
dilakukan di tengah – tengah Desa Bakungan. Dalam prosesi upacara seblang
tidak terlepas dari simbol – simbol yang mengiringi berjalannya acara seblang
yakni sesajen, pentas pertunjukan, selametan desa dan lain sebagainya.
Upacara seblang dilakukan diawali dengan pengajian bersama para
warga Desa Bakungan setelah Salat Magrib. Upacara Seblang ini diawali dengan
pengajian bersama setelah Salat Magrib. Lalu aliran listrik di seluruh wilayah
kelurahan dimatikan dan dimulailah prosesi ider bumi yakni, parade warga
25www.kompasiana.com “Tari Seblang, Ritual Tolak Bala dan Bersih Desa Khas Suku Osing”
oleh Almira Alnora diakses pada 30 Mei 2017 pukul 14.00 WIB
25
berjalan berkeliling kampung dengan membawa obor tradisional (oncor) dari
bambu.
Setelah ider bumi selesai, para penduduk pulang ke rumah masing-
masing mempersiapkan selamatan kampung yang dilakukan dengan makan
bersama di depan rumah masing-masing. Menu yang disajikan biasanya seragam
yakni pecel pithik (ayam yang dicampur dengan parutan kelapa dan bumbu-
bumbu). Setelah makan bersama selesai, warga berduyun-duyun ke balai desa (di
Kelurahan Bakungan yang disebut balai desa berbeda dengan kantor lurah, balai
desa ini hanya digunakan saat upacara Sebalang) untuk menyaksikan tari Seblang
yakni tarian yang dilakukan oleh seorang lanjut usia yang telah dipilih dan penari
yang telah dipilih tersebut menari dengan mata terpejam karena dirasuki oleh roh
penari zaman dahulu.