bab iv deskripsi dan pembahasan hasil penelitian...

54
99 BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Sejarah Singkat Desa Nagreg Desa Nagreg merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Desa Nagreg terbentuk sebagai akibat dari pemekaran wilayah Desa Citaman pada tahun 1982. Sebelum berubah status menjadi desa, daerah Nagreg merupakan sebuah wilayah bagian dari Desa Citaman Kecamatan Cicalengka. Nama Nagreg sebetulnya bukan nama wilayah Desa Nagreg yang sekarang. Nama Nagreg diambil dari salah satu sungai yang ada di Jalan Cagak yang menuju Tasik dan Garut, disana ada sungai yang bernama Cinagreg. Namun, karena adanya Stasiun Nagreg yang menuju arah Jawa dan Bandung maka sebutan Nagreg begitu melekat dimasyarakat sampai sekarang. Sebelum pemekaran Desa Citaman yang dilaksanakan pada tahun 1982, ada tiga orang pejabat yang pernah menjadi kepala desa, yaitu: 1) Sebelum tahun 1920 dijabat oleh Lurah Suhanapi, 2) Tahun 1920 – 1950 dijabat oleh Lurah Ibnasik, 3) Tahun 1950 -1982 dijabat oleh Lurah Pakih. Selanjutnya karena ada pemekaran dari Desa Citaman pada tahun 1982, maka Kampung Nagreg yang asalnya merupakan bagian dari Desa Citaman

Upload: others

Post on 01-Sep-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

99

BAB IV

DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Sejarah Singkat Desa Nagreg

Desa Nagreg merupakan salah satu desa yang berada di wilayah

Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Desa Nagreg terbentuk sebagai akibat

dari pemekaran wilayah Desa Citaman pada tahun 1982.

Sebelum berubah status menjadi desa, daerah Nagreg merupakan sebuah

wilayah bagian dari Desa Citaman Kecamatan Cicalengka. Nama Nagreg

sebetulnya bukan nama wilayah Desa Nagreg yang sekarang. Nama Nagreg

diambil dari salah satu sungai yang ada di Jalan Cagak yang menuju Tasik dan

Garut, disana ada sungai yang bernama Cinagreg. Namun, karena adanya Stasiun

Nagreg yang menuju arah Jawa dan Bandung maka sebutan Nagreg begitu

melekat dimasyarakat sampai sekarang.

Sebelum pemekaran Desa Citaman yang dilaksanakan pada tahun 1982,

ada tiga orang pejabat yang pernah menjadi kepala desa, yaitu:

1) Sebelum tahun 1920 dijabat oleh Lurah Suhanapi,

2) Tahun 1920 – 1950 dijabat oleh Lurah Ibnasik,

3) Tahun 1950 -1982 dijabat oleh Lurah Pakih.

Selanjutnya karena ada pemekaran dari Desa Citaman pada tahun 1982,

maka Kampung Nagreg yang asalnya merupakan bagian dari Desa Citaman

100

hingga sekarang menjadi Desa Nagreg. Adapun pejabat Kepala Desa setelah

pemekaran adalah sebagai berikut:

1) Tahun 1982-1988 dijabat oleh Bapak Endang Suharya,

2) Tahun 1988-1991 dijabat oleh Bapak Husen sebagai pejabat sementara,

3) Tahun 1991-1996 dijabat oleh Bapak Oo Rosidi,

4) Tahun 1996-2002 dijabat oleh Bapak D. Edi Hernawan,

5) Tahun 2002-2007 dijabat oleh Bapak A.M. Suhartob, dan

6) Tahun 2007- sekarang dijabat oleh R. Ai Priatna Kusumah

b. Kondisi Sosiografis Desa Nagreg

Desa Nagreg sebagai lokasi penelitian terletak di Kecamatan Nagreg

Kabupaten Bandung dengan luas 523,450 ha yang terdiri dari: 1) Pemukiman

seluas 262,248 ha; 2) Pesawahan seluas 73,093 ha; 3) Perkebunan seluas 30 ha; 4)

Pemakaman seluas 3 ha; 4) Pekarangan seluas 0,8 ha; 5) Taman seluas 0,8 ha; 6)

Perkantoran seluas 0,5 ha; dan 7) Prasarana umum lainnya seluas 153,009 ha.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 14 Tahun 2007, Desa

Nagreg berbatasan langsung dengan empat desa di dua kecamatan, yaitu sebelah

barat berbatasan dengan Desa Citaman Kecamatan Nagreg, sebelah timur

berbatasan dengan Desa Ciherang Kecamatan Nagreg, sebelah utara berbatasan

dengan Desa Tanjung Wangi Kecamatan Cicalengka, serta sebelah selatan

berbatasan dengan Desa Bojong Kecamatan Nagreg.

Desa Nagreg terdiri atas empat kedusunan atau perkampungan, 24 Rukun

Warga (RW) dan 92 Rukun Tetangga (RT). Keempat dusun tersebut adalah:

101

1) Dusun 1 yang meliputi RW 1 sampai RW 6, Kepala Dusunnya bernama

Bapak Enan.

2) Dusun 2 yang meliputi RW 7 sampai RW 13, Kepala Dusunnya bernama

Bapak Adang.

3) Dusun 3 yang meliputi RW 14 sampai RW 20, Kepala Dusunnya bernama

Bapak Ana Supri, dan

4) Dusun 4 yang meliputi RW 21 sampai RW 24, Kepala Dusunnya bernama

Bapak Sa’ad Jaenudin.

Desa Nagreg berada di ketinggian 848 meter dari permukaan laut di atas

permukaan laut dengan jumlah bulan hujan 5 bulan per tahun. Desa Nagreg

berjarak sejauh 1 km dari pusat pemerintahan kecamatan, 60 km dari ibu kota

Kabupaten Bandung, 37 km dari ibukota Provinsi.

Penduduk Desa Nagreg berjumlah 9.558 jiwa. Apabila dilihat dari jenis

kelamin terdiri dari 4.849 orang laki-laki dan 4.709 perempuan. Menurut agama

yang dianut, jumlah penduduk beragama Islam terdiri dari 9535 orang (99,76%)

dan 23 orang (0,24%) beragama Kristen.

Berdasarkan etnis, jumlah penduduk Desa Nagreg terdiri dari empat

kelompok yaitu etnis Sunda terdiri dari 9.357 orang, etnis Jawa terdiri dari 198

orang, etnis Batak terdiri dari 3 orang dan etnis Cina 1 orang. Sedangkan apabila

ditinjau dari angkatan kerja, jumlah penduduk Desa Nagreg yang termasuk

kategori penduduk usia kerja (usia 18-56 tahun) sebanyak 4843 orang, yang terdiri

dari 1989 orang penduduk usia kerja yang bekerja dan 2.854 orang penduduk usia

kerja yang belum atau tidak bekerja.

102

Sementara itu jumlah penduduk dilihat dari tingkat pendidikan umum

yang ditempuh terdiri dari 1314 orang lulusan Sekolah Dasar (SD), 1413 orang

lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat, 1014 orang

lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sedrajat dan 384 orang yang

tamat Perguruan Tinggi yang terdiri dari 99 orang tamatan D-1, 51 orang tamatan

D-2, 153 orang tamatan D-3, 65 orang tamatan S-1 dan 7 orang tamatan S-2 . Di

samping itu masih ada penduduk yang buta aksara dan angka sebanyak 45 orang

dan tidak tamat Sekolah Dasar sebanyak 148 orang. Dengan demikian kualitas

pendidikan masyarakat Desa Nagreg jika ditinjau dari tingkat pendidikan umum

masih tergolong memiliki pemahaman yang rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa

mayoritas penduduknya adalah lulusan Sekolah Dasar.

Ditinjau dari mata pencaharian, mayoritas penduduk Desa Nagreg

bermatapencaharian pokok sebagai buruh tani yaitu sebanyak 499 orang.

Sedangkan yang lainnya 100 orang bekerja sebagai petani, 111 orang bekerja

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 18 orang bekerja sebagai buruh migran, 15

orang bekerja sebagai pengrajin industri rumah tangga, 80 orang bekerja sebagai

pedagang keliling, 11 orang bekerja sebagai peternak, 51 orang bekerja sebagai

montir, 2 orang bekerja sebagai bidan, 25 orang sebagai anggota TNI/Polri dan

124 pensiunan PNS/TNI/Polri, 5 orang bekerja sebagai pengusaha, 2 orang

bekerja sebagai dukun kampung terlatih, 316 orang sebagai karyawan perusahaan

swasta, 185 orang sebagai pedagang dan 420 orang bekerja sebagai buruh

serabutan.

103

Adapun sarana prasarana peribadatan di Desa Nagreg yang penduduknya

99 % lebih beragama Islam terdiri dari 11 mesjid jami dan 30 buah surau. Selain

itu, Desa Nagreg juga mempunyai 2 Pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan

umum yang dimiliki terdiri dari 3 buah sekolah TK (Tingkat Kanak-kanak), 8

buah Sekolah Dasar (SD), 2 buah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 2 buah

Sekolah Menengah Atas (SMA).

2. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian sebanyak lima orang.

Kelima pengelola berasal dari alamat yang berbeda, namun masih berada dalam

lingkungan atau daerah lokasi penelitian yaitu Desa Nagreg Kecamatan Nagreg

Kabupaten Bandung.

Kelima pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian latar belakang

pendidikannya beragam, mulai dari SD sampai D-3 (Diploma). Perbedaan latar

belakang pendidikan yang menonjol menyebabkan subjek penelitian tersebut

mempunyai daya dan tingkat pengetahuan serta pemikiran yang berbeda. Hal ini

sangat berpengaruh pada jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang

penulis ajukan terutama menyangkut pemahaman mereka terhadap hukum wakaf

Islam.

Kelima pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian beragama Islam,

sehingga memudahkan penulis untuk menganalis tingkat pemahaman mereka

terhadap permasalahan yang sangat relevan dan sering terjadi dalam kehidupan

beragama mereka, terutama dalam konteks agama Islam. Tingkat pemahaman

104

mereka sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku yang mereka tampilkan ketika

menyelesaikan setiap permasalahan termasuk dalam menyelesaikan masalah-

masalah perwakafan.

Adapun profil dari setiap responden penulis paparkan dalam uraian di

bawah ini.

a. Bapak MN

Bapak MN lahir di Bandung 51 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir

beliau adalah Sekolah Dasar (SD). Berwiraswasta dan menjadi kuli bangunan

merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MN tinggal di

Kampung Babakan Timur RT 01 RW 08 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg

Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus salah satu Masjid Jami yang ada di

dalam wilayah tanah wakaf kurang lebih sekitar 10 tahun. Tanah wakaf tersebut

sebelumnya dikelola oleh MY (almarhum) dari UD.

b. Bapak MS

Bapak MS lahir di Bandung 45 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau

adalah Sekolah Dasar (SD) dan selanjutnya diteruskan di Pesantren. Guru mengaji

merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MS tinggal di

Kampung Cigorowong RT 02 RW 11 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten

Bandung. Beliau telah mengurus Masjid Jami yang ada di dalam wilayah tanah

wakaf kurang lebih sekitar 21 tahun. Tanah wakaf tersebut diwakafkan oleh DA

(almarhum) yang merupakan salah satu tokoh di Kampung Cigorowong.

105

C. Bapak OS

Bapak OS lahir di Bandung 37 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau

adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Guru mengaji merupakan pekerjaan

yang digelutinya walaupun beliau tidak ikut Pesantren hanya belajar dari masjid

biasa saja. Bapak OS tinggal di Kampung Cibeuneur RT 02 RW 02 Desa Nagreg

Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus masjid yang ada

di wilayah tempat tinggalnya kurang lebih 14 tahun dan sekarang sedang

direnovasi dan akan dibangun madrasah. Tanah wakaf tersebut berasal dari PI

(almarhum) dengan luas tanah 50 m², ukuran 10 x 5 meter.

D. Bapak DAH

Bapak DAH lahir di Bandung 32 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir

beliau adalah Diploma (D-2). Guru mengaji dan penghulu merupakan pekerjaan

yang digelutinya hingga saat ini. Bapak DAH tinggal di Kampung Cigorowong

RT 03 RW 09 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah

mengurus masjid yang ada di wilayah tempat tinggalnya kurang lebih 2 tahun

semenjak OB, ayah kandung beliau yang dulunya sebagai pengurus tanah wakaf

tersebut meninggal dunia. Tanah wakaf tersebut berasal dari SU yang diserahkan

pada tahun 1991 kepada OB dengan luas tanah 385,5 m², ukuran 60 x 25,70

meter.

E. Bapak MSN

Bapak MSN lahir di Bandung 47 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir

beliau adalah Diploma (D-3). Guru mengaji, pembantu penghulu dan wiraswasta

merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MSN tinggal di

106

Kampung Gunung Leutik RT 01 RW 14 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg

Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus masjid yang ada di wilayah tanah

wakaf tempat tinggalnya kurang lebih 17 tahun. Tanah wakaf tersebut diberikan

kepada MSN pada tahun 1991 oleh Bapak AC.

3. Deskripsi Hasil Wawancara

Setelah mendapatkan surat izin penelitian dari Kepala Kantor Kesatuan

Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bandung melalui Kasi

Hubungan Antar Lembaga, penulis diperkenankan melakukan penelitian sampai

batas waktu yang ditentukan. Penulis mengumpulkan data dengan cara mengamati

langsung aktifitas sehari-hari dari responden, melakukan dokumentasi serta

melakukan wawancara dengan responden yang berkedudukan sebagai pengelola

wakaf.

Wawancara dilakukan setelah penulis menghubungi langsung responden

ke rumahnya untuk menanyakan kesediaannya diwawancara serta menentukan

waktu untuk melakukan wawancara. Responden yang berhasil diwawancarai

sebanyak lima orang pengelola wakaf. Kelima pengelola wakaf ini bertempat

tinggal di tempat yang berbeda, akan tetapi masih termasuk ke dalam wilayah

Desa Nagreg.

Agar tersusun secara sistematis, deskripsi hasil wawancara penulis sajikan

berdasarkan urutan pertanyaan penelitian dengan tanpa mengurangi substansi

hasil wawancara. Deskripsi hasil wawancara dapat dilihat dari paparan berikut:

107

a. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Islam.

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada

responden difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan

dan pemahaman hukum. Kedua indikator tersebut dikaji untuk mengungkap aspek

kognitif responden terhadap hukum wakaf Islam. Hasil wawancara mengenai

kedua indikator kesadaran hukum itu dapat dilihat dari pemaparan berikut.

1) Pemahaman terhadap konsep hukum wakaf Islam

Kelima responden mengetahui bahwa salah satu bagian dari hukum Islam

adalah hukum wakaf Islam. Dalam hal pemahaman terhadap makna hukum

wakaf Islam, pada dasarnya mereka mempunyai pandangan yang sama. Menurut

mereka hukum wakaf Islam adalah hukum yang mengatur bagaimana seseorang

menahan suatu dzat yang kekal bentuknya dan hasilnya untuk dimanfaatkan.

Bapak MSN mempunyai pemahaman yang lebih dibandingkan dengan responden

lain, beliau menambahkan bahwa selain benda wakaf tersebut harus dipelihara

dan dijaga oleh nadzir, sebaiknya benda wakaf tersebut dikembangkan agar dapat

memberdayakan umat.

Kelima responden merasa bahwa kebenaran hukum wakaf Islam ini tidak

diragukan lagi karena sudah jelas diuraikan dalam Al-Quran walaupun tidak

secara tegas menerangkan tentang wakaf dan Al-Hadits. Akan tetapi diantara

mereka tidak semuanya mengetahui secara mendetail mengenai penjelasan dalam

Al-Quran dan Al-Hadits ini yang berkaitan dengan pengelola wakaf. Bapak MN,

Bapak MS dan Bapak OS hanya mengetahui bahwa masalah wakaf ini diatur

dalam Al-Quran. Mereka tidak mengetahui secara detail ayat yang mengaturnya.

108

Bapak DAH dan Bapak MSN mengetahui secara detail ayat-ayat Al-Quran yang

mengatur cara-cara perwakafan. Menurut mereka masalah wakaf ini diatur dalam

Surah Al-Baqarah ayat 267, Surah Ali ‘Imran ayat 92, Surah Al-Hajj ayat 77 dan

Surah Al-Hadid ayat 7.

Kelima responden berpandangan bahwa sudah selayaknya umat Islam

menggali kembali pengetahuan tentang hukum wakaf Islam ini. Akan tetapi

mereka tidak memungkiri bahwa dalam kenyataannya sangat sulit untuk

dilaksanakan karena fokus untuk sekarang ini adalah bagaimana memperbaiki

moral umat. Bapak MSN misalnya, ia belum dapat melaksanakan hukum wakaf

Islam secara keseluruhan apalagi untuk memberikan pengetahuan tentang wakaf

yang disebabkan oleh menurunnya tingkat moral umat di lingkungannya, sehingga

pengajian-pengajian yang dipimpinnya belum dapat melangkah lebih jauh ke arah

yang berkaitan dengan masalah muammalah.

2) Pengetahuan tentang definisi wakaf

Bapak MS mempunyai pandangan bahwa wakaf merupakan penahanan

benda wakaf yang diperuntukkan bagi umum, dengan kata lain ia mempunyai

pandangan bahwa wakaf tersebut hanya pengalihan harta wakaf dari wakif kepada

nadzir. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh Bapak MN, dan Bapak

OS. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Bapak DAH dan MSN. Menurut

pemahaman mereka, selain adanya proses serah terima yang dilakukan oleh wakif

terhadap nadzir, maka tugas nadzir selanjutnya harus mengupayakan agar benda

wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat. Bentuk

kemaslahatan tersebut dapat berupa sarana pendidikan, sarana umum dan bahkan

109

sarana usaha. Bapak MSN lebih menekankan agar pengelola lebih aktif dalam

pengelolaan wakaf agar benda wakaf tersebut lebih produktif. Hal ini dibuktikan

dengan adanya Koperasi yang dibentuk di madrasah yang dipimpinnya.

3) Penjualan dan Pengelolaan Harta Wakaf

Kelima responden tersebut berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh

dijual, dihibahkan, digadaikan dan diwariskan kepada siapa pun dan dalam bentuk

apapun. Hal ini dikarenakan begitu kentalnya pemahaman mazhab Syafii yang

mereka ketahui.

Ada temuan menarik yang didapat dari salah satu responden. Bapak MN

menjelaskan, sebelum beliau menjadi pengelola wakaf yang sebelumnya dipegang

oleh MY (almarhum). MY mempunyai anak yang bernama masing-masing UC,

EB dan IY. UC membeli tanah wakaf yang ditempati olehnya kepada adik

kandung wakif yang bernama MA. Sekarang tanah wakaf tersebut sudah hampir

¾ (tiga perempat) lebih telah habis dijual oleh saudara kandung wakif tersebut

tanpa sepengetahuan ahli waris wakif. Kemudian tanah yang ditempati oleh MY

beserta masjid akan digadaikan oleh anaknya yang bernama EB dengan izin dari

MY. Namun hal tersebut diketahui oleh Ketua RW setempat kemudian sertifikat

tanah tersebut diberikan kepada adik kandung wakif yang bernama MA. MN

menuturkan lebih jauh,sekarang tanah wakaf yang tersisa hanya tanah yang

dipakai untuk masjid dan rumah dari MY saja. MN pernah meminta agar tanah

masjid dan rumah tersebut didaftarkan ke KUA untuk dibuatkan sertifikat wakaf

agar tidak terjadi penyalahgunaan tanah wakaf, namun MA menolak keras dan

tidak memberikan persetujuan.

110

Kasus lain yang ditemukan berasal dari Bapak DAH yang ternyata

mengelola tanah wakaf tersebut merupakan warisan kepengurusan dari ayahnya

yang bernama OB. Setelah diselidiki ternyata hal tersebut disebabkan oleh tidak

adanya orang-orang sekitar yang mengerti terhadap hukum wakaf Islam lebih

umumnya pengetahuan agamanya masih kurang.

Hal lain juga meluncur dari penuturan DAH yang mewarisi tanah wakaf di

Kampung Babakan Timur RW 08 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg. Tanah

tersebut asalnya diwakafkan oleh neneknya kepada AC yang berasal dari Garut

yang saat itu akan dibangun pondok pesantren. Namun karena adanya kejadian

yang menimpa AC yang dituduh telah menodai santrinya pada tahun 2000, AC

menghilang dan tidak ada konfirmasi sama sekali. Pada tahun 2007 tanah wakaf

yang telah dibangun pondok pesantren tersebut diisi oleh Bapak AJ (37) yang

berasal dari Kampung Pamujaan Desa Nagreg. Namun pada awal tahun 2008

Bapak AJ mendapatkan perintah untuk meninggalkan tanah tersebut dari AC

karena tanah wakaf tersebut akan diisi oleh santri-santrinya yang dia utus dari

Garut. Menurut DAH wakaf tersebut telah batal dan sampai sekarang surat-surat

tanah tersebut ada di tangannya.

4) Hak Pengelola Wakaf

Kelima responden tersebut tidak begitu paham akan haknya sebagai

pengelola wakaf. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya harta wakaf yang

mereka kelola berupa tanah yang tidak produktif, dan para pengelola wakaf yakni:

Bapak MS, Bapak MN, Bapak OS, Bapak DAH dan Bapak MSN tidak

mendapatkan bagian dari hasil tanah wakaf tersebut, sedangkan biaya untuk

111

mengelola harta wakaf tersebut bersumber dari hasil swadaya masyarakat berupa

zakat, infak dan shodaqoh.

5) Kewajiban Pengelola Wakaf

Mengenai masalah ini responden masih terlihat belum begitu paham

terhadap kewajiban mereka sebagai pengelola wakaf. Menurut kelima responden

kewajiban mereka hanya mengurus, menjaga dan melestarikan harta wakaf yang

telah diamanahkan kepada mereka. Bahkan Bapak DAH dan Bapak MSN

menyuruh penulis untuk mendatangi langsung pihak KUA Kecamatan Nagreg

agar mendapatkan informasi yang lebih baik tentang masalah perwakafan.

.

b. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Lainnya

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada

responden masih difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum, yaitu

pengetahuan dan pemahaman hukum. Aspek yang ingin diungkap adalah ranah

kognitif responden. Hasil wawancara yang berkaitan dengan dua indikator

kesadaran hukum tersebut dapat dilihat dari pemaparan di bawah ini.

1) Pengetahuan terhadap keberadaan hukum wakaf selain hukum wakaf Islam

Kelima responden tersebut mengetahui bahwa selain hukum wakaf Islam,

ada hukum lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perwakafan.

Namun demikian, secara keseluruhan mereka tidak mengetahui isi dan bagaimana

bentuk undang-undang yang mengatur wakaf tersebut meskipun dari responden

tersebut ada yang berprofesi sebagai penghulu. Bapak MS mengatakan tidak

adanya sosialisasi dari pemerintah tentang undang-undang yang mengatur

112

perwakafan mengakibatkan dirinya tidak mengetahui bahkan belum pernah

melihat dan mendengar seperti apa undang-undang tersebut. Hal yang sama juga

dilontarkan oleh Bapak MN dan Bapak OS.

Sementara itu Bapak DAH dan MSN telah mengetahui keberadaan

undang-undang wakaf tersebut namun tidak pernah mendalami hal tersebut

karena menurutnya bukan bagian dari tugas kerjanya sebagai penghulu. Menurut

mereka semua itu merupakan tugas KUA bagian perwakafan dan mereka hanya

bertugas untuk mendalami tugas mereka saja sebagai pengulu.

2) Perbedaannya dengan hukum wakaf Islam

Kelima responden tidak mengatahui secara rinci perbedaan antara hukum

waris Islam dengan hukum lain yang mereka sebutkan. Akan tetapi dari pendapat

mereka secara tersirat menyatakan bahwa aspek perbedaannya terdapat dalam

ketegasan sanksi yang diberikan. Dalam hukum wakaf Islam sanksi yang

diberikan hanya berupa sanksi moral saja. Sedangkan dalam hukum lain yang

mereka sebutkan, sanksi yang diberikan begitu nyata dengan adanya hukuman

penjara dan denda.

c. Cara Masyarakat dalam Menyelesaikan Proses Pengelolaan Wakaf

Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada

responden difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum yang lainnya, yaitu

sikap terhadap hukum (dalam hal ini terhadap hal-hal yang mendasar dari

ketentuan hukum wakaf Islam seperti tentang besarnya bagian pengelola wakaf)

dan pola perilaku hukum (ketaatan terhadap hukum). Aspek yang diteliti oleh

113

penulis adalah ranah afektif dan psikomotor dari responden. Berikut ini penulis

paparkan hasil wawancara dengan responden yang berkaitan dengan kedua

indikator kesadaran hukum yang diteliti.

1) Sikap terhadap hukum

Bapak MS pada dasarnya setuju dengan aturan yang terkandung dalam

hukum wakaf Islam, akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung dari

kesadaran setiap pengelola wakaf. Beliau juga setuju dengan keluarnya Undang-

undang yang mengatur tentang wakaf, agar tanah wakaf yang beliau kelola tidak

dapat diganggu gugat oleh ahli warisnya dikemudian hari karena bukti-buktinya

telah nyata/otentik.

Sama halnya dengan Bapak MS, Bapak MN pun setuju dengan ketentuan

perwakafan yang terdapat dalam syariat Islam. Dengan adanya undang-undang

perwakafan yang dikeluarkan oleh pemerintah, beliau berharap semua umat

muslim lebih terjaga dalam melaksanakan hukum-hukum Islam.

Bapak OS mengatakan dia sangat setuju dengan ketentuan yang ada dalam

hukum wakaf Islam, meskipun menurut beliau pada saat ini ketentuan tersebut

sudah mulai ditinggalkan oleh umat Islam karena sumber pengetahuan tentang hal

tersebut tidak pernah disosialisasikan bahkan oleh para ulama, ustad dan tokoh

masyarakat yang ada. Kurangnya informasi dan sosisalisasi dari pemerintah

setempat dan badan-badan yang terkait tentang undang-undang perwakafan

mengakibatkan beliau tidak mengetahui sama sekali tentang adanya undang-

undang perwakafan.

114

Bapak DAH mengatakan hukum wakaf Islam dan undang-undang

perwakafan merupakan satu kesatuan karena isi dari undang-undang tersebut

bersumber dari konsepsi-konsepsi pemahaman Islam. Beliau sangat setuju dengan

adanya undang-undang tersebut, namun ada hal yang harus segera diperbaiki oleh

aparatur pemerintah yang berwenang untuk memberikan sosialisasi dan

penyuluhan yang baik terhadap para pengelola wakaf agar dapat menjadi

pengelola yang taat terhadap hukum dan mempunyai pengetahuan yang luas

terhadap perwakafan.

Hal yang sama diutarakan oleh Bapak MSN, Beliau berependapat dengan

adanya undang-undang tersebut jangan sampai umat dibuat menjadi bingung tapi

harus menjadikan umat menjadi mengerti dan paham terhadap proses hukum yang

berlaku dalam undang-undang perwakafan tersebut.

2) Pola perilaku hukum

Kelima responden memahami betul hal-hal apa yang akan timbul akibat

kecurangan yang dilakukan seorang pengelola wakaf. Hal yang harus diperhatikan

sebelum memutuskan untuk memberikan wakaf adalah, lihat dan perhatikan

perilaku dari calon penerima wakaf tersebut apakah jujur atau tidak, karena hal

tersebut merupakan faktor pertama agar harta wakaf yang diamanahkan dapat

terjaga dengan baik.

Pelaksanaan proses perwakafan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

pertama proses tradisional atau sesuai dengan hukum wakaf Islam. Hal ini sesuai

dengan proses wakaf yang dilakukan oleh Bapak MS, Bapak MN dan Bapak OS.

Dimana proses wakaf ini hanya dilakukan secara pribadi saja atau lisan kepada

115

penerima wakaf. Kategori yang kedua yaitu proses modern atau yang telah

mengikuti prosedur perundang-undangan. Hal ini seperti proses perwakafan yang

dilakukan oleh Bapak DAH dan MSN dimana proses penyerahan wakaf diberikan

kepada lima orang yang salah satunya berperan sebagai ketua nadzir dan empat

orang lainnnya sebagai anggota pengelola wakaf.

Pada umunya masyarakat tidak mengetahui hukum wakaf baik itu hukum

wakaf Islam maupun hukum wakaf yang ada dalam undang-undang. Namun hal

tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dapat mengamati dan mengetahui

pelanggaran atau kecurang yang dilakukan oleh para pengelola wakaf. Misalnya

seperti yang dilakukan oleh keluarga MA dan MY yang telah melakukan jual-beli

harta wakaf berupa tanah wakaf. Meskipun demikian karena keduanya merupakan

tokoh masyarakat yang cukup disegani dan berpengaruh, masyarakat tidak berani

untuk mengajukan mereka kepada pihak aparatur desa agar penyalahgunaan

tersebut tidak terus terjadi di wilayah yang lainnya. Oleh sebab itu, masyarakaat

menjadi seolah acuh tak acuh terhadap permasalah yang sebetulnya dapat terlihat

dengan jelas dan terjadi dihadapan mata mereka sendiri.

Selama ini cara-cara penyelesaian yang dilakukan untuk menghentikan

masalah-masalah yang timbul akibat pengelolaan wakaf dilakukan secara

musyawarah. Jika hasil musyawarah tidak dapat menghentikan masalah tersebut,

maka akan diajukan kepada aparatur desa. Jika hal tersebut masih belum dapat

meredakan masalah tersebut maka diajukan kepada KUA untuk selanjutnya

dibawa ke pengadilan.

116

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Hukum

Masyarakat untuk Melaksanakan Hukum Wakaf Islam

Bapak DAH berpendapat bahwa selain karena kewajibannya sebagai

seorang muslim, adat istiadat yang berlaku di daerahnya dan keadaan ekonomi

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dirinya untuk menjadikan hukum

wakaf Islam untuk dapat berperan aktif mengawasi pelaksanaan wakaf dan

pengelolaan wakaf. Walaupun demikian, diungkapkan bahwa pertimbangan adat

istiadat dan keadaan ekonomi dan ketidaktahuan terhadap undang-undang

perwakafan merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap pemilihan hukum

wakaf Islam sebagai dasar dalam proses pelaksanaan wakaf.

Lain halnya dengan Bapak MSN yang secara tegas menyatakan bahwa

tingkat kesadaran hukum masyarakat di daerahnya untuk melaksanakan hukum

wakaf Islam masih tergolong rendah, termasuk dirinya juga yang sampai

sekarang belum menyampaikan pengetahuan terhadap umat tentang perwakafan.

Hal ini menurut Bapak MSN lebih dikarenakan pemahaman masyarakat terhadap

hukum wakaf Islam masih tergolong rendah sebagai akibat dari minimnya peran

ulama untuk memberikan pencerahan kepada warga mengenai masalah wakaf ini.

Selain itu juga faktor ekonomi sering dijadikan pertimbangan utama dalam

melakukan proses perwakafan. Sehingga tidak jarang proses pelaksanaan wakaf

dilaksanakan dengan cara lisan saja yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,

yang mengakibatkan penerima wakaf menganggap tanah wakaf atau harta wakaf

tersebut adalah mutlak miliknya.

117

Sedangkan menurut Bapak MS, faktor pendidikanlah yang amat

menentukan tingkat kesadaran hukum seseorang terhadap hukum wakaf Islam.

beliau berpendapat jika tingkat pendidikan masyarakat tinggi baik dalam lingkup

pendidikan umum maupun agama maka tingkat kesadaran hukumnya pun akan

tinggi, sebaliknya jika tingkat pendidikannya rendah atau tidak seimbang antara

pendidikan umum dan agamanya, maka tingkat kesadaran hukumnya pun rendah

dan cenderung akan melanggar dengan berbagai cara.

Bapak MN dan Bapak OS mempunyai pendapat yang sama. Menurut

mereka tingkat keserakahanlah yang menentukan tingkat kesadaran hukum

masyarakat terhadap hukum wakaf Islam. Ketika seseorang mempunyai sifat

serakah maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala cara untuk

menguasai seluruh harta yang diberikan oleh pemberi wakaf meskipun harus

melanggar syariat Islam. Sebaliknya apabila seseorang tidak mempunyai sifat

serakah, maka kecenderungannya ia akan selalu mematuhi syariat Islam termasuk

terhadap ketentuan hukum wakaf Islam.

4. Pandangan Para Tokoh Agama terhadap Pendapat Responden

Setelah mengadakan pengolahan data wawancara, maka hasilnya dijadikan

rujukan oleh penulis untuk mendapatkan pandangan dari ulama sekaligus tokoh

yang sering dijadikan tempat bertanya masyarakat serta pejabat di lingkungan

Kecamatan Nagreg. Pandangan tersebut diharapkan dapat memberikan arahan

terhadap penulis dalam menganalisis setiap pendapat responden. Adapun ulama

dan tokoh yang berhasil penulis wawancara adalah Drs. Asep Muchtar, S. Sos.

118

(Penghulu KUA Kecamatan Nagreg) dan Ustadz Asep Saepudin, S.Ag (salah

seorang penghulu Kecamatan Nagreg). Sedangkan salah seorang pejabat desa

yang bertugas dalam bidang pertanahan yang berhasil diwawancara adalah Bapak

Kondi dan Bapak Adang yang merupakan salah seorang Kepala Dusun di Desa

tersebut.

Drs. Asep Muchtar, S. Sos. berpandangan bahwa dalam setiap proses

pembagian wakaf yang terjadi di masyarakat Desa Nagreg pada prinsipnya

menggunakan hukum wakaf Islam. Akan tetapi dalam 15 tahun kebelakang

penggunaan hukum wakaf modern atau sesuai undang-undang sudah mulai

berjalan meskipun pada kenyataannya tidak semua pengurus wakaf mengetahui

hal ini. Agar dapat meminimalisir segala bentuk kecurangan atau penyelahgunaan

yang dilakukan pengelola maka diharuskan adanya pemahaman yang benar dan

baik tentang wakaf, mulai dari proses sampai kepada pengelolaan harta wakaf.

Selain hal tersebut, pengelola wakaf sebaiknya tidak ditentukan oleh pemberi

wakaf melainkan dengan musyawarah yang dilihat berdasakan tingkat kekuatan

Islamnya, kedewasaan, pintar, paham akan wakaf, jujur dan ikhlas sebagai

pengelola wakaf. Beliau juga memberitahukan harta-harta wakaf berupa tanah

wakaf yang sudah disertifikasi di Desa Nagreg seperti tabel di bawah ini:

119

Tabel 1.1

Daftar Tanah Wakaf yang Telah Disertifikasi

No. Alamat Nomor Sertifikat Wakif Nadzir

1. Gunung Leutik 01/1868/1991 Umar Rohman

2. Paslon RT 01 RW 08 02/2868/1991 Sumardi Eno Madjid

3. Pamucatan RT 03 RW 09 03/1868/1991 Upi dan KAdi Enjang

4. Cigorowong RT 03 RW 05 04/1868/1991 Sudarna Burhanudin

5. Cigorowong RT 02 RW 05 06/1868/1991 Marhamah A. Muhyi

6. Babakan Barat RT 01/03 05/1868/1991 Endi Suryadi

7. Gunung Leutik 09/1868/1991 Ace Maman S

8. Babakan RT 05 RW 04 07/1868/1991 Eni Aliyah Acun Fauzi

9. Pamucatan RT 01 RW 08 54/1868/1993 Cioh Burhanudin

10. Gunung Batu 20/1868/1993 Iwan Nugraha Ahman Sahid

11. Gamblung RT 03 RW 13 10/1868/2007 Kedi Djunaedi Deni Kurniadi

Menurut Beliau pengelolaan harta wakaf yang baik yaitu pengelola harus

mengembangkan nilai non finansial atau ketidakserakahan terhadap harta dan

tidak berani merubah status harta wakaf, karena tanah wakaf tersebut sudah milik

Allah. Selain itu agar dapat mengelola harta wakaf dengan baik nadzir atau

pengelola wakaf harus mengikuti manajemen wakaf yang benar pula. Bagi mereka

para ustad dan siapa saja yang dapat memberikan penerangan terhadap

masyarakat hendaknya pengembangan dakwah tidak dilakukan secara konservatif

tetapi harus moderat agar tidak menimbulkan disintegrasi umat.

Pernyataan lebih tegas dikemukan oleh Ustadz Asep Saepudin S.Ag,

beliau berpandangan bahwa di masyarakat Desa Nagreg terjadi pergeseran

pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam bahkan menurun yang

120

berakibat ditinggalkan ketentuan hukum ini dalam pelaksanaan proses

pelaksanaan wakaf dan pengelolaan wakaf. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan

hasil wakaf yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, namun pada

kenyataannya digunakan untuk kepentingan pribadi. Agar tidak terjadi

penyalahgunaan harta wakaf sebaiknya nadzir ditunjuk orang yang betul-betul

paham akan wakaf atau bahkan diamanahkan kepada pemerintah sekaligus jika

dipandang memungkinkan, karena di masyarakat masih ada anggapan bahwa

harta wakaf merupakan pelimpahan/pemberian dari wakif kepada nadzir untuk

selamanya. Selain itu, pada umunya harta wakaf yang ada di Desa Nagreg adalah

harta wakaf konsumtif atau tidak menghasilkan sama sekali. Beliau menuturkan

lebih jauh untuk mengetahui harta wakaf tersebut konsumtif atau produktif dapat

dilihat dari adanya rekrutmen tenaga kerja.

Bapak Kondi membenarkan rendahnya tingkat kesadaran hukum

masyarakat terhadap hukum wakaf Islam, hal ini diindikasikan dengan tidak

adanya penerangan dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang wakaf. Sehingga

proses pelaksanakan wakaf akan terjadi ketika dirasakan ada kebutuhan yang

mendesak tanpa didasari oleh perencanaan yang matang. Adapun yang terjadi di

Desa Nagreg pada umumnya adalah persengketaan dengan ahli waris/keluarga

nadzir yang mendesak akan menjual tanah yang diwakafkan dan akan

membawanya ke tingkat Pengadilan dan adanya keengganan pihak keluarga wakif

memberikan surut-surat keterangan tentang tanah untuk dijadikan sertifikat wakaf.

Agar penelitian lebih lancar, Bapak Kondi memberikan lokasi-lokasi harta

wakaf berupa tanah wakaf yang ada di Desa Nagreg dalam tabel berikut ini:

121

Tabel 1.2

Daftar tanah wakaf yang ada di Desa Nagreg

No. Bentuk Harta Wakaf Penerima

Wakaf/Nadzir Alamat

1. Masjid (Al-Islam) Wawan Hernawan Cibeuneur RT 02 RW 01

2. Masjid (Al-Ihksan) Ondi Cibeuneur RT 02 RW 02

3. Sekolah Impres - Cibeuneur RW 02

4. Masjid (Darussalam) Fajar Mubarok Darussalam RT 01 RW 03

5. Masjid (Baitul Muslimin) Oleh dan Mahmudin Bakakan RT 02 RW 07

6. Masjid (Darul Mutakin) Acun Babakan RT 02 RW 08

7. Masjid (At-Taqwa) Supanji Babakan RT 02 RW 06

8. Masjid (Al-M’ariz) Deni Abdulah Cigorowong RT 03 RW 09

9. Pondok Pesantren (Rida) Sarif Hidayat Cigorowong RT 01 RW 10

10. Masjid (At-Taqwa) Maman Suherman Cigorowong RT 02 RW 11

11. Masjid (Al-Muklis) Wawan Mulyawan Cigorowong RT 03 RW 12

12. Masjid (Al-Inayah) Unang Gamblung RT 04 RW 13

13. Masjid (Al-Furqon) Abeng Cigorowong RT 02 RW 12

14. Masjid (Nurul Hidayah) Rohman Gunung Leutik RT 03 RW 14

15 Masjid (Nurul Hidayah) Maman Suherman Pintu Wetan Rt 01 RW 13

16. Masjid (Al-Akobah) Agus Saman Pamucatan RT 01 RW 20

17. Masjid (Al-Ikhlas) H.Enjang Yusuf Pamucatan RT 02 RW 20

18. Masjid (Al-Amin) Idin Pamucatan RT 01 RW 20

19. Masjid (Al-Hikmah) Pipin Suhendar Pamucatan RT 02 RW 20

20. Masjid (Al-Anwar) Asep Saripudin Cilarangan RT 01 RW 22

21. Masjid (Al-Ikhlas II) Sa’ad Jaenudin Pasangrahan RT 01 RW 22

22. Pondok Pesantern (Al-

Falah)

H. Cecep S.Ag Pamucatan RT 03 W 17

23. Masjid (Miftahul Palah) Ika Babakan RT 03 RW 04

24. Masjid Adin Badri Cilarangan RT 04 RW 21

122

25. Masjid Holil Gunung Leutik RT 03 RW 16

26. Masjid (Nurul Huda) Yuyun Pamucatan RT 03 RW 19

27. Masjid (Tanjakan) Iyos Pamucatan RT 03 RW 19

Sedangkan menurut Bapak Adang yang bertugas sebagai penarik pajak

PBB (pajak Bumi dan Bangunan), seharusnya untuk masyarakat Nagreg

pemberian harta wakaf berupa tanah tidak ditujukan untuk peribadi melainkan

untuk kelompok dan suatu lembaga agar terhindar dari adanya persengketaan dan

penyalahgunaan harta wakaf. Pada umunya di Desa Nagreg proses pelaksanaan

wakaf terjadi secara lisan saja dengan dasar kepercayaan dan sering meninggalkan

prosedur wakaf. Oleh karena hal tersebut, nadzir menganggap harta wakaf

tersebut merupakan pemberian dari wakif untuk dirinya secara pribadi.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pemahaman Masyarakat terhadap Hukum Wakaf Islam

Pemahaman terhadap isi peraturan hukum merupakan salah satu indikator

untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat pada hukum wakaf Islam.

Hal ini sejalan dengan pendapat Salman (1989:57) yang menyatakan bahwa:

... pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh pemahaman tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, adanya pemahaman masyarakat terhadap

hukum wakaf Islam mengandung pengertian bahwa masyarakat memahami isi dan

tujuan dari hukum wakaf Islam tersebut. Penulis beranggapan bahwa faktor

123

pemahaman terhadap ketentuan hukum wakaf merupakan dasar yang sangat

berpengaruh terhadap proses pembentukan sikap dan perilaku masyarakat ketika

melakukan pengelolaan wakaf. Pemahaman terhadap hukum wakaf Islam harus

dimiliki secara kaffah (menyeluruh). Artinya pemahaman tidak bisa secara parsial

atau hanya pada bagian tertentu saja, akan tetapi untuk memunculkan suatu sikap

dan perilaku yang sadar hukum tentu saja hukum wakaf Islam harus dipahami

secara komprehensif.

Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian, penulis melihat

bahwa sebagian besar pengelola wakaf di Desa Nagreg belum memahami secara

menyeluruh ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam. Pada umumnya

mereka memahami hukum wakaf Islam sebagai bagian dari hukum Islam yang

mengatur cara-cara memanfaatkan harta di Jalan Allah menurut ketentuan Al-

Quran dan Hadits. Akan tetapi mengenai ketentuan lain mereka tidak

memahaminya. Hal ini berakibat munculnya pemahaman yang keliru di

masyarakat mengenai hal tertentu dari ketentuan hukum wakaf Islam ini.

Menurut jumhur Ulama, wakaf ialah kegiatan penahanan harta yang

berkemungkinan bermanfaat oleh pemiliknya dengan membiarkan ainnya tetap

kekal dan tidak dipindahmilikan kepada kaum kerabatnya atau kepada pihak lain.

(Helmi Karim, 2002: 102). Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan wakaf

sebagai penahanan harta dan mengambil manfaat dari harta yang ditahan itu untuk

jalan Allah, atau menahan harta yang mungkin bisa diambil manfaatnya tanpa

merusak atau menghabiskan ain benda itu sendiri serta digunakan untuk

kebajikan. (Helmi Karim, 2002: 103).

124

Menurut Farid Wadjdy (2007: 30) dalam perspektif ekonomi, wakaf dapat

didefinisikan sebagai:

Pengalihan dana (atau aset lainnya) dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan pendapatan untuk konsumsi di masa yang akan datang baik oleh individual maupun kelompok. Menurut Helmi Karim (2002: 108) jika dilihat dari segi sasarannya, pada

dasarnya wakaf dibagi dalam dua bentuk, yaitu:

a. wakaf yang diberikan kepada keluarga dan karib kerabat atau orang-orang

tertentu, yang disebut wakaf al-ahliy atau wakaf al-dzurry. Sasarannya adalah

pribadi tertentu atau masyarkat yang motivasinya bukan untuk memajukan

Islam,

b. wakaf untuk kebajikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah yang

disebut dengan wakaf al-khairy.

Pada umumnya masyarakat Desa Nagreg memahami wakaf hanya

sebatas penginfakkan harta wakaf kepada seseorang yang akan memelihara atau

mengurusnya. Mereka hanya memahami bahwa wakif menyerahkan harta wakaf

untuk dipelihara dan dimanfaatkan sedangkan nadzir bertugas untuk memelihara

dan memberdayakan harta wakaf tersebut. Hal ini menurut penulis disebabkan

tidak adanya majelis-majelis taklim yang menjelaskan tentang hakikat wakaf,

karena selama ini materi yang terdapat dalam majelis-majelis taklim lebih

terfokus kepada masalah fikih dan ibadah yang sifatnya keseharian saja atau

ibadah ritual.

Pengurus wakaf dalam literatur fikih disebut dengan nadzir atau mutawalli

yaitu orang atau badan yang memegang amanah untuk memelihara dan mengurus

harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya (Farid Wadjdy,

125

2007: 155). Mencermati pengertian nazhir di atas, baik secara etimologi maupun

secara terminologi, maka profesi nadzir haruslah profesional. Lebih lanjut Syafi’i

Antonio (Farid Wadjdy, 2007: 64) menggaris bawahi bahwa untuk dapat

mengelola wakaf secara profesional minimal ada 3 (tiga) filosofi dasar yang harus

ditekankan, terutama ketika kita hendak memberdayakan wakaf secara produktif:

a. pola manajemennya harus dalam bingkai “Proyek Terintergrasi” bukan

bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah, dana wakaf akan dialokasikan

untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang

terangkum di dalamnya,

b. asas kesejahteraan nadzir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi nadzir

bukan profesi profesional bahkan nadzir bekerja asal-asalan atau bahkan

pekerjaan Lillahi ta’ala yang tidak menuntut adanya waktu kerja,

profesionalisme, penggajian yang layak, dan lain-lain. Akibatnya hasil kerja

dari nadzir pun amburadul seperti sekarang ini,

c. asas transparansi dan acountability dimana nadzir harus melaporkan setiap

tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited

financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.

Kehadiran nadzir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam

mengelola harta wakaf sangatlah penting. Walaupun dalam fikih-fikih klasik atau

kontemporer tidak ditemukan adanya nadzir sebagai salah satu rukun wakaf,

namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir wakaf, baik

perseorangan maupun kelembagaan.

126

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelola wakaf yang tidak

profesional dan mampu atau nadzir yang tidak memiliki kemampuan memadai

berakibat kepada harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan menjadi

beban pengelolaan bagi nadzir dan menjadikan harta benda wakaf sebagai

rongsokan tidak terurus yang tidak memberi manfaat sama sekali. Oleh sebab itu

nadzir harus memiliki kualifikasi seperti yang disyaratkan oleh fikih (Farid

Wadjdy, 2007: 161) seperti:

a. beragama Islam,

b. mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum),

c. baligh (sudah dewasa)

d. berakal sehat, dan

e. memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf dan mempunyai sifat amanah,

jujur serta adil.

Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) orang yang melakukan perawatan,

pengurusan dan pengelolaan aset wakaf yang dalam istilah fikih dikenal dengan

nadzir wakaf, atau mutawalli wakaf termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu

karena aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir. Oleh sebab

itu, nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf

yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil

dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nadzir terhadap harta wakaf

harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan

manfaatnya untuk kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan dinikmati oleh

wakif sangat tergantung kepada nadzir, karena di tangan nadzirlah harta wakaf

127

dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu pentingnya kedudukan

nadzir dalam perwakafan, maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai

kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), serta mempunyai keahlian dan

kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.

Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams al-Dien Muhammad bin Ahmad

al-Syarbaini (Setiawan Budi Utomo, 1999) dijelaskan tugas nadzir sebagai

berikut:

kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun, mempersewakan, mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan hasilnya itu kepada pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya. Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh Manshur bin Yunus al-Bahuty

(504-505) dijelaskan:

tugas nadzir wakaf adalah memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya, menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan Magribi, dalam hasil

penelitiannya yang berjudul ‘Istitsmar Mawarid al-Awqaf’ membeberkan sepuluh

tugas nadzir wakafsebagai berikut:

a. memelihara harta wakaf,

b. mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar sehingga tidak

mendatangkan manfaat,

c. melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara,

d. membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tepat waktu,

128

a. membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf

itu sendiri,

b. memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat,

c. mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti bangunan dan

tanah, dengan sewa pasaran,

d. menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilannya,

e. nadzir bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang disebabkan

kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan dari jabatannya itu.

Berkenaan dengan hal tersebut, dengan kurangnya pemahaman yang

dimiliki oleh nadzir, menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda tentang

boleh atau tidaknya nadzir mengambil bagian dari hasil wakaf.

Dalam hukum wakaf Islam, seorang nadzir dapat mengambil bagian dari

hasil harta wakaf tersebut berdasarkan hadits Ibnu Umar (Sayyid Sabiq, 2006:

431) yang menyatakan bahwa “tidak berdosa bagi orang yang mengurusi wakaf

untuk memakan sebagian-nya dengan cara yang makruf”. Al-Qurtubi mengatakan

bahwa menurut tradisi yang berlaku, nadzir (pengelola) wakaf boleh memakan

sebagian dari hasil buah wakaf, meskipun pemberi wakaf, mensyaratkan

kepadanya tidak boleh memakan hasilnya. Maksud cara yang makruf disini ialah

menurut kadar yang pantas dinilai oleh kebiasaan. Pendapat lain menyebutkan

sekadar untuk memuaskan keinginan. Pendapat yang lainnya menyebutkan

mengambil sebagian dari hasilnya sesuai dengan kerjanya. Namun pendapat yang

utama adalah pendapat yang pertama. (Abd Rasyid Salim, 2007: 192). Namun ada

129

pengecualian dalam teks hadits yang menyebutkan “tidak untuk memperkaya diri”

maksudnya tidak boleh memperjualbelikan hasilnya seakan-akan bagaikan

miliknya sendiri, padahal tugasnya hanyalah menyedekahkan hasilnya. (Abd

Rasyid Salim, 2007: 192). Dipertegas dalam Hadits Muttafaq Alaih (sahih

menurut Bukhari dan Muslim) yang terdapat dalam Ensiklopedi Islam (1994: 169)

dikatakan ‘Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (nadzir = pengelola

wakaf) memakan sebagian harta itu secara patut untuk memberi makan

keluarganya, asal tidak untuk mencari kekayaan”.

Selain itu, untuk memberdayakan agar harta wakaf tersebut lebih

produktif, maka dalam hukum wakaf Islam harta wakaf tersebut dapat

diperjualbelikan oleh nadzir walaupun ada mazhab lain yang melarangnya.

Helmi Karim (2002: 113-116) menanyakan bolehkah harta wakaf dijual

atau diganti?

a. Ulama Hanafiah membolehkan penjualan atau penukaran harta wakaf berupa masjid karena keadaan darurat dan mengizinkan untuk bangunan masjid secara lebih longgar. Bagi golongan Hanafiah, wakaf berupa masjid tidak boleh dijual atau diganti dengan materi lain. Kendatipun orang tidak lagi memanfaatkan masjid wakaf tersebut untuk tempat shalat karena sudah tua. Dalam keadaan begini, harta wakaf itu kembali kepada pemiliknya atau ahli warisnya, kata muhammad. Benda wakaf yang non masjid boleh dijual atau diganti atas dasar amanat wakif atau hakim, dengan syarat harta tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi, sulit memeliharanya, tidak merugikan, atas keputusan hakim, ditukar dengan benda-benda untuk melestarikan maukuf, bukan kepada orang yang tidak diterima kesaksiannya,

b. Ulama Malikiah mengatakan wakaf berupa masjid tidak boleh dijual berdasarkan jimak, wakaf berupa bangunan itu boleh ditukar asalkan bahan penukaran itu berupa jenis yang sama dengan benda wakaf yang ditukar,

c. Ulama Syafiiyah bila sebuah bangunan masjid wakaf runtuh sehingga orang tidak mungkin lagi shalat didalamnya, maka hal itu tidak diserahkan pada seseorang, termasuk wakif atau ahli warisnya, dan tidak pula dijual atau diganti oleh orang lain karena bangunan itu sepenuhnya merupakan hak Allah. Keadaan lain seperti bangunan

130

masjid sudah terlalu sempit maka bangunan tersebut boleh dijual atau ditukar yang uang penjualannya atau harta penukarannya itu dijadikan untuk dana pembangunan masjid yang lebih besar,

d. Mazhab Hambali membolehkan menjual harta wakaf berupa bangunan masjid sekalipun, baik itu utuh atau sudah runtuh. Penjualan atau penukaran itu dimaksudkan untuk melestarikan dan memaksimalkan nilai-nilai wakaf. Harta wakaf apa saja boleh dijual atau diganti dengan yang lebih bermanfaat.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1909) Ulama mazhab Maliki

membedakan jenis harta wakaf dalam kaitannya dengan penjualan harta tersebut:

a. apabila harta wakaf berwujud masjid tidak boleh dijual,

b. apabila harta wakaf itu berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual

sekalipun telah hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama kecuali

dengan syarat dibelikan lagi sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid atau

jalan umum,

c. dalam bentuk benda lain dan hewan, apabila manfaatnya tidakada lagi boleh

dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan sejenis.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1910) Pendapat ulama mazhab

Hambali tentang penjualan harta wakaf:

a. apabila manfaat harta telah hilang,

b. apabila harta wakaf telah dijual, hasilnya dibelikan benda wakaf sejenis atau

tidak, asalkan bermanfaat untuk kepentingan umum,

c. apabila manfaat harta wakaf sebagian masih bisa dimanfaatkan sekalipun

sedikit, maka tidak boleh dijual,

d. apabila harta wakaf berupa hewan, tetapi sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi,

131

e. tidak boleh memindahkan masjid atau menukarnya dengan yang lain, dan

tidak boleh juga mnjual pekarangan massjid, kecuali apabila masjid dan

pekarangan masjid tidak bermnfaat lagi.

Menurut Ibnu Taimiyah (Farid Wadjdy, 2007: 17) bahwa harta wakaf bisa

diganti dengan yang lain bila memberikan mafaat yang lebih besar.

Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) terdapat dua macam praktek wakaf

yaitu Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad. Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf

di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya

tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif

mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara

tertentu dan diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir

lebih leluasa melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil

lebih maksimal. Secara historis, cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan

informasi dalam buku-buku fikih, adalah dengan jalan mempersewakan harta

wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf

adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan

bangunan).

Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) ada beberapa bentuk penyewaan

yang terdapat dalam konsep fikih:

a. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para

ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan mempersewakan harta

wakaf, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal.

132

b. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan

untuk mengatasi kekurangan modal untuk membangun bangunan di atas

sebidang tanah wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa

dengan seorang penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa

menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang memungkinkan

untuk membangun bangunan dimaksud. Sedangkan sewa kedua merupakan

sewa bulanan dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama

menghuni rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan

kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya.

c. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu

yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu,

untuk membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian dan

memberinya hak untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama

habis, selama ia masih mampu membayar sewa pasaran.

d. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia

meminjami nadzir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai

hutang yang kemudian akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri.

e. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang

bias menghasilkan, misalnya dengan memodali pembangunan gedung yang

kemudian dapat disewakan lagi.

f. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf di

samping dengan mempersewakannya kepada pihak yang punya modal, juga

mungkin dengan kerjasama muzara’ah.

133

Selain hal di atas, agar seorang nadzir tidak berkuasa mutlak terhadap

harta wakaf yang menjadi amanahnya, terlepas dari persoalan kepemilikan harta,

maka perlu dicatat juga bahwa persoalan kepemilikan harta, manusia hanyalah

mempunyai hak guna pakai, bukan hak milik mutlak, seperti dijelaskan Al-Quran

bahwa kepemilikan mutlak hanya layak bagi Allah sendiri, karena semua yang

ada di langit dan bumi adalah ciptaan-Nya dan milik-Nya. Oleh sebab itu, maka

nadzir juga dapat dibehentikan. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1911),

Pemberhentian Nazhir:

a. mengundurkan diri,

b. berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf,

c. melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi orang fasik, seperti berjuadi

dan peminum minuman keras,

d. kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila,

e. mengelola harta wakaf itu menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat,

f. wakif atau hakim mencabut wewenang nazhir yang bersangkutan.

Selain hal di atas, adanya pemahaman bahwa harta wakaf dapat ditarik

kembali oleh pihak wakif, menjadi salah satu alasan nadzir di Desa Nagreg tidak

begitu produktif dalam memberdayakan harta wakaf yang dikelolanya. Seperti

yang terjadi pada Bapak MN yang sebagian tanah wakaf yang dikelolanya telah

habis diperjual belikan oleh saudara kandung dari wakif. Padahal menurut Abu

Hanifah dalam buku Helmi Karim (2002: 111), ada harta wakaf yang tidak boleh

ditarik kembali dengan alasan:

a. apabila berdasarkan keputusan hakim bahwa harta wakaf itu tidak boleh dan

tidak dapat ditarik kembali,

b. apabila wakaf itu dilakukan dengan jalan wasiat,

134

c. apabila benda yang diwakafkan itu ditujukan untuk kepentingan ibadat

ataupun kepentingan umum, seperti berwakaf untuk masjid.

Penulis melihat pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan wakaf

khususnya, umumnya terhadap ketentuan hukum wakaf Islam yang masih terbatas

ini, disebabkan oleh proses belajar dan pengalaman yang diterima oleh

masyarakat terutama yang akan melaksanakan wakaf belum memadai. Dengan

kata lain, masyarakat sangat kurang menerima informasi mengenai masalah

perwakafan. Para ulama, ustad dan para tokoh masyarakat di wilayah Nagreg

pada umumnya belum pernah memberikan informasi mengenai hukum wakaf

Islam ini kepada masyarakat dalam setiap kegiatan pengajian. Hal ini baru akan

disampaikan ketika ada salah satu warga yang akan mewakafkan hartanya untuk

kepentingan umat seperti membangun masjid dan fasilitas umum lainnya. Para

ulama, ustad dan tokoh masyarakat lebih terfokus untuk mencerahkan masyarakat

dalam hal kaifiyat (tata cara) ibadah shalat, shaum, zakat dan sebagainya.

Begitupun dengan para santri yang belajar agama di pesantren-pesantren yang ada

di Nagreg, mereka cenderung pasif dan bersikap tertutup terhadap masyarakat di

luar pesantren. Sehingga timbul kesenjangan pemahaman antara masyarakat di

dalam pesantren dengan yang di luar pesantren. Selain itu juga, para ulama, ustad

dan tokoh masyarakat masih beranggapan bahwa masalah wakaf adalah masalah

KUA, sehingga mereka tidak proaktif memberikan pencerahan kepada

masyarakat. Mereka baru bertindak kalau ada masyarakat yang meminta bantuan

untuk menyelesaian dan mengurus administrasi perwakafan. Oleh karena itu,

penulis menganggap bahwa pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap

135

hukum wakaf Islam sangat diperlukan dan merupakan suatu kebutuhan yang

sifatnya mendesak untuk segera dipenuhi, sehingga masyarakat dapat

mengimplementasikan ketentuan hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari

terutama kepada mereka yang sedang diberikan amanah untuk mengelola harta

wakaf.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sementara

sebagai berikut: Pemahaman masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf

Islam sangat kurang. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya pemberitahuan

informasi tentang wakaf baik dari para ulama, ustad maupun tokoh-tokoh

masyarakat. Selain itu, adanya kecenderungan untuk membebankan permasalahan

perwakafan kepada KUA (Kantor Urusan Agama) masih begitu tinggi.

2. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Lainnya

Saat ini pengaturan masalah wakaf telah diatur dalam Undang-undang nomor 41

tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang perwakafan. Hal ini

dapat memungkinkan terwujudnya pemberdayaan harta wakaf umat dan pemerataan

ekonomi. Dengan kata lain, di Indonesia sangat mungkin sekali untuk mengurangi

kemiskinan dan pengangguran jika saja harta wakaf yang ada lebih produktif.

Suatu hipotesis yang tidak berlebihan jika penulis menyebutkan kurangnya

pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam cukup tinggi apalagi hukum wakaf

nasional. Fakta dilapangan memperlihatkan pengelola wakaf tidak pernah tersentuh oleh

sosialisasi undang-undang nasional tersebut yang notabene sebagai penentu keberhasilan

dan kegagalan dari harta wakaf yang diwakafkan. Sebagai akibat dari keadaan yang

dikemukakan di atas, maka hukum wakaf yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih

136

tergantung pada proses wakaf mana yang berlaku bagi mereka yang akan melaksanakan

wakaf dan bagi mereka yang akan bertugas untuk meberdayakan wakaf. Oleh karena,

apabila yang akan mewakafkan hartanya tersebut orang-orang pemerintahan, mereka

akan mengetahui prosedur wakaf mana yang lebih baik digunakan agar tidak terjadi

penyalahgunaan harta yang diwakafkannya. Tetapi bagi mereka yang awam, mereka akan

terus melaksanakan proses dan pengelolaan wakaf secara konvensional dan wakaf di

Nagreg tidak akan berkembang khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Dalam bab III undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Pendaftaran

dan Pengumuman Harta Benda Wakaf dijelaskan bagaimana tata cara perwakafan

yang sesuai prosedur hukum, yaitu:

a. PPAIW atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi

yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf

ditandatangani.

b. Dalam pendaftaran harta benda wakaf, PPAIW menyerahkan:

1) salinan akta ikrar wakaf;

2) surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

c. Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.

d. Bukti pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW kepada

Nadzir.

e. Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nadzir

melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan

Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah

peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara

pendaftaran harta benda wakaf.

137

f. Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta

benda wakaf.

g. Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat

harta benda wakaf yang telah terdaftar.

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang wakaf, tata

cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diuraikan dalam pasal 38

sampai dengan pasal 39 sebagai berikut:

a. Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan

berdasarkan AIW atau APAIW.

b. Selain persyaratan tersebut dilampirkan persyaratan sebagai berikut:

1) sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun

yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;

2) surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam

sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala

desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh

camat setempat;

3) izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-

undangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah,

pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan

lain yang setingkat dengan itu;

4) izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan

pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan.

138

5) izin dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna

bangunan atau hak pakai yang diwakafkan di atas hak pengelolaan atau

hak milik.

c. Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW atau APAIW

dengan tata cara sebagai berikut:

1) terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah

wakaf atas nama Nadzir;

2) terhadap tanah hak milik yang diwakafkan hanya sebagian dari luas

keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih

dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir;

3) terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah

milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir;

4) terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah

negara yang telah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat

yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf

atas nama Nadzir;

5) terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, mushola,

makam, didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir;

6) Pejabat yang benwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat

mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan

sertifikatnya.

Masyarakat Desa Nagreg pada dasarnya mengetahui adanya cara lain

yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum

139

wakaf Islam, akan tetapi diantara mereka tidak ada keseragaman dalam

menyebutkan mana dari cara tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa cara

tersebut biasa dilakukan oleh anggota masyarakat pada saat ini karena dianggap

lebih adil dan lebih aman untuk mewakafkan hartanya.

Dalam pasal 9 dan pasal 10 Undang-undang nomor 41 tahun 2004,

pemerintah telah menentukan 3 (tiga) kategori nadzir sebagai berikut:

a. Perseorangan hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan:

1) warga negara Indonesia;

2) beragama Islam;

3) dewasa;

4) amanah;

5) mampu secara jasmani dan rohani; dan

6) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

b. Organisasi hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan:

1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir

perseorangan dan

2) organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,

dan/atau keagamaan Islam.

c. Badan hukum hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan:

1) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan,

2) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang.undangan yang berlaku; dan

140

3) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Pemerintah juga telah mendeskripsikan hak dan kewajiban dari nadzir

yang akan bertugas mengelola harta wakaf dalam pasal 11 sampai dengan pasal

14 Undang-undang nomor 41 tahun 2004, yaitu:

a. Nadzir mempunyai tugas:

1) rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,

fungsi, dan peruntukannya;

3) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

b. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 11, Nadzir

dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan

harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).

c. Dalam melaksanakan tugas, Nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan

Badan Wakaf Indonesia.

d. Dalam rangka pembinaan, Nadzir harus terdaftar pada Menteri dan Badan

Wakaf Indonesia.

Agar tidak terjadi penafsiran yang salah, dalam bab II Peraturan

Pemerintah nomor 42 tahun 2006, pemerintah telah menjelaskan lebih detail

tentang tugas dan masa jabatan nadzir sebagaimana dijelaskan dalam paparan

berikut:

141

a. Nadzir wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi

dan melindungi harta benda wakaf.

b. Nadzir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri dan BWI

mengenai kegiatan perwakafan.

Masa bakti Nadzir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.

Pengangkatan kembali Nadzir dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan

telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai

ketentuan prinsip syariah dan Peraturan Perundang-undangan.

Pada umumnya pengelola harta wakaf yang ada di Desa Nagreg belum

mengetahui tata cara, tugas serta hak dan kewajiban sebagai seorang nadzir. Yang

mereka ketahui adalah bagaimana mereka menjaga harta wakaf tersebut agar tetap

utuh sesuai yang dimanatkan oleh wakif kepadanya.

Dari uraian di atas sangat jelas kesenjangan pemahaman masyarakat antara

hukum wakaf Islam dengan hukum wakaf nasional. Padahal pemahaman terhadap

kedua hukum ini sangat diperlukan untuk memberikan pertimbangan-

pertimbangan yang rasional kepada manusia dalam memutuskan proses wakaf

mana yang akan digunakan untuk menghindari penyelahgunaan harta wakaf. Pada

akhirnya pemahaman tersebut akan mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam

melaksanakan ketentuan hukum tertentu.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan

sementara sebagai berikut: Masyarakat Desa Nagreg mengetahui ada hukum lain

yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum

wakaf Islam, yaitu hukum wakaf yang diatur oleh undang-undang. Namun

142

demikian, kurangnya sosialisasi dari instansi-instasnsi terkait membuat mereka

tidak mengetahui prosedur wakaf yang aman dan dijamin oleh undang-undang.

3. Cara Masyarakat dalam Menyelesaikan Masalah Wakaf

a. Sikap Masyarakat terhadap Hukum Wakaf Islam

Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima

hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang

bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati (Salman, 1993:42). Suatu

sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai

nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima

hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Berkaitan dengan hal tersebut,

Padgorecki (Salman, 1993:42) mengartikan sikap hukum (legal attitude) sebagai:

1) ...a disposition to accept some legal norm or precept because it deserve respect as valid piece of law....

2) ...a tendency to accept the legal norm or precept because it as appreciated as adventageous or useful....

Berkaitan dengan hal tersebut, sikap hukum masyarakat terhadap hukum

wakaf Islam sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hukum wakaf

Islam. Artinya sikap yang diperlihatkan mereka mencerminkan tingkat

pemahaman mereka terhadap hukum wakaf Islam.

Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa tidak semua masyarakat

mengetahui hukum wakaf Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain mereka

hanya mengetahui nama wakaf sedangkan proses dan tata cara serta pengelolaan

wakaf itu sendiri mereka tidak mengetahuinya. Dari pandangan tersebut penulis

melihat bahwa pandangan tersebut muncul karena adanya kondisi-kondisi tertentu

143

sebut saja kondisi lingkungan masyarakat yang lebih menuntut para ulama, ustad

dan para tokoh mendahulukan aspek ibadah keseharian dan peningkatan moral

daripada memberikan wawasan tentang tata cara peribadahan yang lain.

Dalam masyarakat yang penulis teliti, pada umumnya ingin mengetahui

ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam yang sesuai dengan undang-

undang yang berlaku. Akan tetapi mendapat ganjalan, ketika pihak atau instansi

yang berwenang atau orang yang berwenang dan lebih tahu tentang hukum wakaf

ini menemui ganjalan biaya yang tidak kunjung cair dari pemerintah untuk

mengadakan penyuluhan terhadap masyarakat khususnya pengelola wakaf.

Munculnya keengganan untuk melaksanakan aturan-aturan ini lebih

disebabkan oleh rendahnya pemahaman pengelola wakaf terhadap hukum wakaf

Islam serta tidak digunakannya logika berfikir dalam menyikapi ketentuan ini

selain itu, cara berpikir masyarakat yang berpandangan bahwa melaksanakan

wakaf sesuai peraturan undang-undang akan banyak menghabiskan biaya.

Akibatnya selain munculnya keengganan, muncul juga sifat keserakahan yang

mengabaikan peraturan-peraturan yang menjaga keberlangsungan harta wakaf

tersebut agar pengelola tidak terjerat hukum ketika melakukan penyalahgunaan

harta wakaf dan wakif dapat mengambil harta wakaf tersebut dengan mudah tanpa

adanya proses hukum yang berbelat-belit.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan

sementara sebagai berikut : Masyarakat Desa Nagreg mempunyai sikap tidak

peduli dalam melaksanakan hukum wakaf Islam. Selain itu, menghindarnya para

pengelola wakaf dan wakif terhadap pelaksanaan wakaf sesuai dengan undang-

144

undang lebih didasarkan kepada pemenuhan kebutuhannya secara pribadi. Mereka

hanya akan mengambil keuntungan dari harta wakaf yang mereka kelola tanpa

memperdulikan akibat yang akan ditanggungnya.

b. Pola Perilaku Hukum Masyarakat

Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum,

karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam

masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum (Salman, 1993:42). Atau

dengan kata lain pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh individu atau suatu

komunitas masyarakat mencerminkan derajat kepatuhannya terhadap suatu hukum

yang berlaku. Sama halnya dengan pembentukan sikap hukum, pola perilaku

hukum yang ditampilkan oleh setiap individu atau suatu komunitas masyarakat

sangat tergantung pada pemahaman dia terhadap hukum yang bersangkutan.

Dalam konsteks penelitian yang dilakukan penulis, tentu saja pola perilaku hukum

yang ditampilkan masyarakat sangat tergantung pada pemahamannya terhadap

sistem hukum wakaf Islam.

Masyarakat Desa Nagreg pada umumnya melaksanakan proses

perwakafan melalui proses secara lisan seperti yang dilakukan oleh Bapak MS,

Bapak MN dan Bapak OS. Hal pertama yang mereka lakukan yaitu melihat

terlebih dahulu apakah wakif memiliki tanah yang lebih untuk diwakafkan,

kemudian muncul adanya suatu tuntutan dari masyarakat agar dibangunnya suatu

bangunan untuk kepentingan umum, maka proses wakafpun terjadi dengan

145

pengelola wkaf yang ditunjuk langsung oleh wakif atas dasar kepercayaan.

Kondisi seperti ini sebagai akibat dari pengaruh kurangnya sosialisasi undang-

undang yang mengatur tentang wakaf.

Namun Hal hal lain dilakukan melewati prosedur yang telah ditetapkan

oleh pemerintah guna menghindari adanya penyalahgunaan sebagaimana yang

dilakukan oleh Bapak DAH dan Bapak MSN yang telah melakukan wakaf sesuai

dengan hukum berdasarkan undang-undang wakaf. Hal tersebut dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan atau wawasan tentang

wakaf yang cukup dan bidang pekerjaan yang mereka geluti sebagai penghulu di

Desa Nagreg.

Penulis melihat alasan yang dikemukan oleh ketiga pengelola harta wakaf

seperti Bapak MS, Bapak MN dan Bapak OS untuk menggunakan hukum wakaf

Islam dalam tata cara pengelolaan wakaf yang mereka laksanakan merupakan

suatu hal yang lumrah dan mencerminkan rendahnya pemahaman terhadap

ketentuan hukum waris Islam. Oleh karena itu, setelah melihat realita tersebut

penulis beranggapan bahwa merupakan hal yang sangat penting adanya upaya

untuk mengarahkan pola perilaku masyarakat terutama masyarakat muslim dalam

pelaksanaan dan pengelolaan wakaf agar lebih mencerminkan perilaku yang

mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam. Maka

tidak salah lagi perlunya peran dari pihak sekolah, pesantren, media massa dan

ulama bahkan lembaga atau instansi terkait untuk memberikan pencerahan kepada

masyarakat akan pentingnya mengimplementasikan hukum wakaf Islam.

146

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan

sementara sebagai berikut: Pola perilaku hukum masyarakat Desa Nagreg dalam

hal pengelolaan wakaf, belum sepenuhnya bersandarkan pada ketentuan hukum

wakaf Islam. Sebagian besar pelaksanaan wakaf di Desa Nagreg dilakukan secara

lisan dan pemilihan pengelola wakaf hanya atas dasar kepercayaan saja.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Hukum

Masyarakat untuk Melaksanakan Hukum Wakaf Islam

Kesadaran hukum merupakan suatu hal abstrak yang terdapat dalam diri

manusia yang mungkin timbul ataupun tidak timbul. Hal ini sejalan dengan

pendapat Heidar (1997) bahwa:

Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi tentang asas kesadaran hukum itu terdapat pada setiap manusia. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai rasa keadilan.

Kesadaran hukum merupakan perasaan dan keyakinan hukum seseorang

dalam masyarakat (Soekanto, 1999:147). Efektifitas hukum terlihat bila hukum

berlaku di dalam masyarakat, artinya masyarakat mentaatinya. Hal ini terwujud

dalam perilaku hukumnya, yaitu perilaku yang sesuai dengan hukum yang berlaku

di dalam masyarakat.

Menurut Friedman (Taneko, 1993:50), seseorang mentaati suatu kaidah

hukum karena mempunyai kepentingan pribadi yang akan menimbulkan kerugian

pada dirinya jika tidak diikuti atau dipenuhi. Akan tetapi, bisa juga karena sensitif

terhadap sanksi, dimana seseorang mantaati aturan disebabkan karena takut akan

sanksinya yang tegas dan nyata. Selain itu, adakalanya orang berprilaku hukum

147

tertentu disebabkan adanya pengaruh sosial atau lingkungannya. Dalam hal ini

seseorang mentaati suatu kaidah hukum didasarkan pada alasan-alasan yang ada

hubungannya dengan pihak luar, misalnya: 1) adanya keinginan kuat untuk

memelihara hubungan baik dengan lingkungan, dan 2) adanya keinginan kuat

untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa. Selanjutnya orang mentaati

hukum bisa juga disebabkan karena mereka berfikir bahwa apabila hukum

dilanggar, maka perbuatannya itu dikatakan bersifat ilegal atau amoral.

Dalam hasil penelitian terungkap, bahwa faktor rasionalitas agama turut

mempengaruhi tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam

meskipun dengan tingkat keberpengaruhan yang relatif rendah. Faktor lain yang

mempengaruhi juga adalah lingkungan sekitar, adat istiadat, kemapanan ekonomi

dan yang paling tinggi tingkat keberpengaruhannya adalah latar belakang

pendidikan masyarakat.

Atas dasar faktor-faktor tersebut, dapat diadakan suatu analisa sebagai

berikut:

a. Lingkungan sekitar mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat terhadap

hukum wakaf Islam. Kondisi lingkungan baik lingkungan fisik maupun psikis

secara langsung akan dijadikan suatu pertimbangan oleh masyarakat dalam

mematuhi suatu aturan hukum. Lingkungan bisa menentukan klasifikasi dari

kesadaran hukum seseorang terdahadap hukum wakaf Islam, apakah termasuk

ke dalam kesadaran yang bersifat anomous, heteronomous, sosionomous atau

autonomous.

148

b. Adat istiadat bersumber dari kebiasaan yang sudah dilembagakan. Kebiasaan

suatu masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan

paradigma berpikir sesorang yang tercermin dalam sikap dan perilakunya.

Dalam hal ini keputusan sebagian masyarakat untuk memilih hukum wakaf

yang tradisonal atau hukum wakaf Islam yang sesuai undang-undang secara

langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh kebiasaan yang selalu

dilakukan oleh pendahulunya.

c. Kemapanan ekonomi mempunyai tingkat keberpengaruhan yang cukup besar.

Hal dikarenakan setiap manusia tidak bisa terlepas dari kepentingan

ekonominya. Ketika kondisi ekonominya mapan, maka pihak manapun tidak

akan menyalahgunakan harta wakaf yang telah jelas merupakan milik seluruh

umat.

d. Latar belakang pendidikan sangat menetukan tingkat pemahaman masyarakat

terhadap isi dan tujuan dari hukum wakaf Islam. Seseorang yang mempunyai

latar belakang pendidikan yang cukup tinggi cenderung memiliki pemahaman

yang menyeluruh terhadap ketentuan hukum ini. Dalam hal ini adanya

keseimbangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu

pengetahuan agama. Mereka yang hanya mengenyam pendidikan umum tanpa

disertai pendidikan agama, cenderung memiliki pemahaman yang kurang

terhadap konsep-konsep perwakafan Islam.

Secara umum terbentuknya kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum

wakaf Islam dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, pemahaman tentang isi

peraturan, sikap dan perilaku hukum yang ditampilkan sebagai penghargaan dan

149

ketaatan masyarakat terhadap peraturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Soekanto (1983:122) yang mengemukakan bahwa:

Masalah kesadaran hukum masyarakat, sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila warga masyarakat hanya mengetahui suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah daripada apabila memahaminya dan seterusnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan

sementara sebagai berikut: Kesadaran hukum masyarakat Desa Nagreg terhadap

hukum wakaf Islam dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan

kebiasaan, kemapanan ekonomi, latar belakang pendidikan, dan rasionalitas

agama. Keempat faktor yang disebutkan di awal merupakan faktor yang tingkat

pengaruhnya paling besar, sedangkan faktor rasionalitas agama merupakan faktor

yang tingkat pengaruhnya kecil.

C. Temuan Penelitian

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa tulisan ini diharapkan akan

memberikan manfaat untuk semua pihak yang berkepentingan khususnya dan bagi

seluruh umat muslim pada umumnya. Masalah yang dioperasionalkan dalam

pertanyaan penelitian diungkap dengan tujuan agar masalah tersebut dapat

diungkap secara objektif, jelas dan dapat dipahami secara sederhana. Pada bagaian

temuan hasil penelitian ini akan diuraikan beberapa hal yang ditemukan penulis

pada waktu melakukan penelitian.

Penulis mengambil pendapat dari Soekanto untuk mengetahui sejauhmana

tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam melaksanakan hukum Islam pada

150

pengelolaan wakaf. Soekanto (1982:140) mengemukakan bahwa “untuk

mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang

dijadikan tolak ukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum

dan pola perilaku hukum”. Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat

kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.

Setelah penulis melakukan proses identifikasi terhadap objek penelitian, maka

dapat diketahui beberapa inti temuan penelitian sebagai seperti yang terdapat

dalam tabel berikut:

Gambar 2.1 Indikator kesadaran hukum masyarakat dalam melaksanakan hukum wakaf

Islam pada pengelolaan wakaf sesuai dengan temuan penelitian.

Indikator

Kesadaran

Hukum

(Soerjono

Soekanto,

1983)

Pengetahuan

Hukum

Pemahaman

Hukum

Sikap Hukum

Pola Perilaku

Hukum

Nilai Kognitif

Nilai Afektif

Nilai Psikomotor

151

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator yang satu mempengaruhi

indikator lainnya. Pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh suatu individu atau

komunitas masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan, pemahaman

dan sikap hukum yang mereka tonjolkan. Kesadaran hukum masyarakat juga

sangat berkaitan dengan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotor yang dimiliki

oleh setiap individu. Nilai kognitif, afektif dan psikotor tersebut masing-masing

akan dibuktikan oleh hasil penelitian seperti berikut:

1. Pemahaman masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam sangat

kurang. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya pemberitahuan informasi

tentang wakaf baik dari para ulama, ustad maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Selain itu, adanya kecenderungan untuk membebankan permasalahan

perwakafan kepada KUA (Kantor Urusan Agama) masih begitu tinggi.

2. Masyarakat Desa Nagreg mengetahui ada hukum lain yang dapat digunakan

untuk menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum wakaf Islam, yaitu

hukum wakaf yang diatur oleh undang-undang. Namun demikian, kurangnya

sosialisasi dari instansi-instasnsi terkait membuat mereka tidak mengetahui

prosedur wakaf yang aman dan dijamin oleh undang-undang.

3. Masyarakat Desa Nagreg mempunyai sikap tidak peduli dalam melaksanakan

hukum wakaf Islam. Selain itu, menghindarnya para pengelola wakaf dan

wakif terhadap pelaksanaan wakaf sesuai dengan undang-undang lebih

didasarkan kepada pemenuhan kebutuhannya secara pribadi. Mereka hanya

akan mengambil keuntungan dari harta wakaf yang mereka kelola tanpa

memperdulikan akibat yang akan ditanggungnya.

152

4. Kesadaran hukum masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan, kemapanan

ekonomi, latar belakang pendidikan, dan rasionalitas agama. Keempat faktor

yang disebutkan di awal merupakan faktor yang tingkat keberpengaruhannya

paling besar, sedangkan faktor rasionalitas agama merupakan faktor yang

tingkat keberpengaruhannya kecil.

Pada akhirnya keseluruhan hasil penelitian ini akan bermuara pada suatu

kesimpulan yang penulis ambil, bahwa Kesadaran hukum masyarakat Desa

Nagreg dalam mengaplikasikan hukum Islam khususnya pada proses pengelolaan

wakaf dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemahaman

yang parsial terhadap sistem hukum Islam dan kurangnya minat pengelola wakaf

untuk medalami hukum wakaf serta tidak adanya pihak yang memberikan

penerangan lebih lanjut terhadap pengelola wakaf yang berkaitan dengan

pemberian wawasan tentang hukum wakaf Islam baik itu ulama, ustad, tokoh

masyarakat bahkan isntansi terkait seperti KUA (Kantor Urusan Agama) karena

selalu terganjal dengan urusan biaya.