bab iv

Upload: rinofebrianto

Post on 08-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

analisis kasum mh370

TRANSCRIPT

BAB IVPENDAPAT HUKUM

A. Apakah Kejadian Yang Menimpa Pesawat Malaysia Airlines MH 370 Dapat Dinyatakan Sebagai Accident Berdasarkan Hukum Internasional Yang Berlaku

Kecelakaan-kecelakaan pesawat udara dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain faktor manusia (human), mesin pesawat udara (machine/ technical), dan cuaca (weather). Dari ketiga faktor tersebut, studi menunjukkan bahwa sekitar 55% kecelakaan pesawat udara karena kesalahan/ kelalaian kapten penerbang sebagai penyebab kecelakaan, sedangkan 45% sisanya disebabkan oleh hal lain yang mendukung terjadinya kesalahan/ kelalaian kapten penerbang tersebut. Studi ini juga menunjukkan bahwa peran manusia ternyata sebagai faktor rutin yang sering menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat.[footnoteRef:1] [1: Jack W London, 2003. General Aviation Crash Course: The First 15 Days, 39 Trial Lawyers of America 56, Hlm. 2]

Badan Litbang Departemen Perhubungan Indonesia, menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara dapat dibedakan atas ; faktor manusia (human), cuaca (weather), teknik (Technical), dan lingkungan (environment), yang selanjutnya dibawah akan diuraikan masing-masing :[footnoteRef:2] [2: Ari Susetyadi, Siti Masrifah dan Eny Yuliawati, Pengkajian Kinerja Pilot dalam Menunjang Keselamatan Penerbangan, Warta Ardhia vol. 34 No. 2, Desember 2008, Hlm. 165.]

1. Human (H) termasuk crew pesawat (pilot, teknisi, cabin crew), pembuat kebijakan angkutan udara, perancang pesawat yang mempengaruhi kondisi yang mengganggu kesehatan, kelelahan (fatigue), alkohol/narkoba, motivasi, prilaku, stress dan sebagainya. 2. Technical (T), meliputi seluruh rancangan fisik pesawat, realisasi pemeliharaaan pesawat, materi pesawat dan fasilitas navigasi penerbangan. 3. Environment (E),merupakan suatu kondisi menyangkut semua aspek yang mempengaruhi kelancaran penerbangan seperti : a) Konflik interpersonalb)Suasana ruang kerja (penerangan, kebisingan, suhu/kelembaban) c) Lingkungan fisik (kondisi cahaya, permukaan runway) 4. Weather (W), keadaan cuaca seperti; jarak pandang, angin kencang, getaran.

Federal Aviation Administration (FAA) Amerika mengatakan bahwa, adanya keempat faktor penyebab kecelakaan pesawat udara tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga faktor penyebab utama yaitu : faktor cuaca, faktor pesawat udara yang digunakan (teknis) dan faktor manusia yang merupakan faktor paling utama dalam penyebab kecelakaan pesawat udara dengan prediksi sebesar 46 persen, baik itu meliputi pilot, teknisi maupun petugas operator, petugas pengelola bandara dan penumpang itu sendiri.[footnoteRef:3] [3: Welly Pakan, Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan Di Indonesia Tahun 2000-2006, Badan Litbang Perhubungan Udara, Warta Ardhia vol. 34 No. 1, Juni 2008, Hlm. 8.]

Dalam Annex 13, penyebab dari kecelakaan diidentifikasi sebagai. Tindakan kelalaian, peristiwa, kondisi, atau kombinasi dari ketiganya, yang menyebabkan kecelakaan atau kejadian. Sedangkan dari pusat data Aviation Safety Network Amerika mengatakan bahwa 43 persen dari kecelakaan-kecelakaan pesawat udara disebabkan karena terputusnya koordinasi dan komunikasi antara pilot dan Air Traffic Control (ATC) yang berada di darat, karenannya pengelola Bandar Udara berperan penting dalam meningkatkan dan memperbaiki keselamatan penerbangan.[footnoteRef:4] [4: Ibid]

Hukum penerbangan Amerika menyebut beberapa penyebab paling umum dari terjadinya kecelakaan penerbangan, adalah salah satunya sebagai akibat dari pelanggaran peraturan FAA dan NTSB, yang mengatur peraturan keselamatan. Beberapa penyebab umum kecelakaan penerbangan tersebut meliputi :[footnoteRef:5] [5: Aviation Law News, Causes of Plane Crashes, http://www.aviation lawnews.com/html/causes.html,dikunjungi tanggal 1 Nopvember 2014]

1) Kesalahan pilot atau awak penerbangan, kesalahan pilot adalah penyebab nomor satu kecelakaan penerbangan dan untuk jumlah tertinggi korban jiwa. Pilot memiliki tanggung jawab untuk mengangkut penumpang dengan aman dari satu tempat ke tempat lain dan mengikuti semua peraturan untuk lebih menjamin keselamatan penumpang. Jika pilot atau awak penerbangan membuat kesalahan, maka kecelakaan penerbangan dapat terjadi.2) Peralatan yang rusak, Kesalahan peralatan pesawat dan/atau kegagalan mekanis juga penyebab umum kecelakaan penerbangan. 3) Desain Pesawat yang cacat, Produsen pesawat terbang bertanggung jawab untuk kecelakaan penerbangan jika desain struktural dari pesawat cacat. 4) Pelanggaran terhadap peraturan FAA dan NTSB. Jika ada peraturan dan standar keselamatan yang ditetapkan oleh FAA dan NTSB dilanggar, kecelakaan penerbangan dapat terjadi. 5) Kegagalan untuk bahan bakar atau mempertahankan pesawat. Jika layanan pekerja stasiun mengabaikan atau gagal untuk pengisian bahan bakar pesawat yang benar sebelum lepas landas atau melakukan pemeliharaan atau perbaikan yang memadai, kelalaian mereka dapat mengakibatkan kecelakaan penerbangan.Menurut European Coordination centre for Accident and Incident Reporting Systems (ECCAIRS), menjelaskan peristiwa (occurrence classes) disusun dalam dua level hirarkis dan kelas kejadian dapat didefinisikan pada setiap level yang diinginkan, yaitu :[footnoteRef:6] [6: ECCAIRS (European Centre Coordinate Accident Incident Reporting System, ECCAIRS 4.2.6 occurrence classes data definition standard]

1) Accident adalah sebuah peristiwa terkait dengan pengoperasian pesawat terbang yang terjadi pada waktu setiap orang menaiki pesawat dengan tujuan penerbangan sampai saat semua orang tersebut telah turun, di mana: a) Seseorang terluka fatal (tewas) atau cedera parah sebagai akibat : berada didalam pesawat, atau kontak langsung dengan bagian apapun dari pesawat, termasuk bagian-bagian yang telah lepas dari pesawat, atau langsung terkena hembusan jet. Pengecualian jika luka itu timbul dari sebab-sebab alami, seperti dilakukan sendiri atau dilakukan oleh orang-orang lain, atau bila luka itu timbul karena menjadi penumpang gelap yang bersembunyi di luar ruang yang biasanya tersedia bagi penumpang dan awak pesawat. b) Pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur (structural failure) bilamana : mengurangi kekuatan struktur kinerja atau karakteristik penerbangan dari pesawat terbang. Biasanya membutuhkan reparasi besar atau penggantian komponen yang rusak.Kecuali kegagalan atau kerusakan mesin, bila kerusakan terbatas pada mesin, cowlings atau asesorisnya; atau kerusakan itu terbatas pada propeller, wing tips, atenna, ban, rem, fairing, penyokan kecil atau lubang di kulit pesawat terbang atau pesawat hilang atau tidak dapat diakses sama sekali. 2) Serious incident adalah suatu peristiwa yang terkait dengan keadaan dimana mengindikasikan bahwa kecelakaan nyaris terjadi. Contoh-contoh serious incident ini dapat ditemukan dalam attachment dari ICAO Annex 13 dan dalam ICAO Accident/Incident Reporting Manual (ICAO Doc 9156).3) Incident adalah peristiwa, selain kecelakaan, yang terkait dengan pengoperasian pesawat yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi keselamatan operasi. Kelas insiden ini dibagi lagi dalam dua kategori yaitu : a) Kejadian besar (Major incident), adalah sebuah insiden yang terkait dengan pengoperasian pesawat udara, yang keselamatan pesawat mungkin telah dikompromikan, setelah menyebabkan nyaris tabrakan antara pesawat dekat dengan permukaan atau hambatan (yaitu batasbatas keselamatan yang tidak dihargai dimana bukan hasil dari instruksi ATC). b) Kejadian penting (Significant Incident), adalah sebuah kejadian yang melibatkan keadaan yang menunjukkan bahwa accident, serious incident atau major incident bisa saja terjadi, jika risiko tersebut belum dikelola dalam batas-batas keselamatan, atau jika pesawat lain telah berada di sekelilingnya. 4) Peristiwa kecelakaan tanpa pengaruh keselamatan (Occurrence without safety effect), adalah sebuah insiden yang tidak memiliki pengaruh pada keselamatan. (Catatan: hal ini tampaknya kontradiksi dengan definisi incident ICAO : suatu kejadian selain kecelakaan, yang terkait dengan pengoperasian pesawat terbang yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi keselamatan operasi). 5) Tidak bisa ditentukan (not determined), adalah klasifikasi peristiwa tersebut belum ditentukan.Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa pesawat Malaysia Airlines MH370 berdasarkan hukum internasional yang berlaku yang dimana bahwa salah satu kriterianya bahwa pesawat beserta para penumpang serta kru peswat tidak diketahui keberadaannya atau menghilang dapat dikatagorikan sebagai aksiden (accident) .

B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Keluarga Korban Khususnya Warga Negara Indonesia Untuk Menuntut Kerugian Berdasarkan Hukum Internasional

Montreal Agreement Tahun 1999 merupakan satu persetujuan antara berbagai perusahaan angkutan udara yang terbang dari, ke, atau melalui Amerika Serikat dengan Pemerintah Amerika Serikat. Persetujuan Montreal Tahun 1999 ini diikuti oleh hampir seluruh perusahaan angkutan udara internasional terpenting di dunia, sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap keefektifan pelaksanaan konvensi Warsawa Tahun 1929, meskipun persetujuan Montreal Tahun 1999 ini bukan merupakan perjanjian antar negara. Dengan demikian perubahan dan pembaruan konvensi atau perjanjian internasional di bidang penerbangan yang berkaitan dengan perkembangan tanggung jawab pengangkut dan jumlah santunan kepada pengguna jasa angkutan udara yang meninggal dunia atau menderita kerugian akibat kecelakaan pesawat,.Pada dasarnya perubahan-perubahan tersebut, bertujuan untuk kepentingan penumpang sebagai pengguna jasa angkutan udara agar lebih mendapat perlindungan hukum dan terjamin hak-haknya dalam memperoleh santunan yang wajar serta memadai jika terjadi kerugian. Selain itu dengan pengalihan risiko kerugian melalui mekanisme asuransi saat ini, maka perusahaan angkutan udara dalam melakukan kegiatan usaha dapat mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap setiap gugatan ganti kerugian. Dari perkembangan perubahan konvensi Warsawa Tahun 1929 tersebut, maka asas kemanfaatan dan asas keadilan serta asas kepastian hukum tetap menjadi pedoman yang diperhatikan dalam perubahan konvensi Warsawa Tahun 1929 khususnya yang berkaitan dengan perkembangan jumlah santunan kepada penumpang sebagai pengguna jasa dan sistem tanggung jawab perusahaan angkutan udara. Selain itu dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (1) konvensi Montreal Tahun 1999 menyatakan , the carrier shall not be able to exclude or limit its liability. Hal ini menunjukan bahwa pada hakikatnya dalam perkembangan pembayaran jumlah santunan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan angkutan udara, ternyata pengangkut tidak dapat mengesampingkan atau membatasi tanggung jawabnya. Oleh karena itu perusahaan angkutan udara sebagai pengangkut wajib membayar santunan kepada pengguna jasanya sesuai dengan kerugian yang secara nyata dialaminya akibat kecelakaan pesawat. Dengan demikian perusahaan angkutan udara dalam melakukan kegiatan usahanya harus memperhitungkan seluruh biaya (cost) yang dikeluarkan untuk membayar santunan kepada pengguna jasanya akibat kecelakaan pesawat sebagai bentuk tanggung jawab, dengan tetap memperhatikan kemanfaatan/ keuntungan (benefits) untuk mencapai efisiensi dan efektifitas (efficiency and effectivity) dalam penyelenggaraan angkutan udara.Tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 37. Menurut Pasal 17 Konvensi Montreal 1999, perusahaan penerbangan bertanggungjawab atas kematian, luka penumpang apabila hal ini terjadi karena kecelakaan pesawat udara atau terjadi selama dalam pesawat udara atau terjadi selama proses penerbangan sejak embarkasi sampai debarkasi. Tuntutan ganti kerugian dapat diajukan melalui pengadilan salah satu negara anggota Konvensi Montreal 1999 baik yang terdapat kantor pusat perusahaan penerbangan maupun kantor cabangnya atau pengadilan tempat pembelian tiket penumpang dan/atau pengirim barang atau di tempat keberangkatan dan tempat tujuan . Dalam hal terjadi kematian, tuntutan dapat diajukan kepada perusahaan penerbangan salah satu pengadilan di negara anggota yang ada kantor pusat, atau cabang perwakilan atau di tempat kecelakaan pesawat udara terjadi atau tempat tinggal tetap penumpang atau dimana perusahaan penerbangan memberi pelayanan jasa transportasi baik dengan pesawat udara sendiri, atau pun dengan pesawat udara orang lain. Disamping itu keluarga korban dapat pula mengajukan tuntutan berdasarkan Konvensi Montreal 1999 Pasal 28 yang menyebutkan bilamana kecelakaan pesawat udara menimbulkan kematian atau luka penumpang, pesawat udara perusahaan penerbangan wajib bilamana diatur dalam hukum nasionalnya membayar uang muka kepada korban atau yang berhak menerima ganti rugi untuk mengurangi beban penderitaan ekonomi yang dialami mereka.Yurisdiksi pengadilan menurut Konvensi Montreal 1999 lebih diperluas dibandingkan dengan yurisdiksi pengadilan sebagaimana diatur dalam Konvensi Warsawa 1929, Protokol The Hague 1955, Konvensi Guadalajara 1961, Protokol Guatemala City 1971 dan Protokol Tambahan Montreal No. 1, 2, 3 dan 4. Menurut Konvensi Montreal 1999 Pasal 46 gugatan terhadap perusahaan penerbangan dapat dilakukan atas pilihan penggugat yang dapat diajukan pada pengadilan salah satu negara anggota Konvensi Montreal 1999, tempat keberangkatan pesawat udara, tempat tujuan penerbangan, tempat kantor perwakilan perusahaan penerbangan, tempat pelayanan yang diberikan oleh perusahaan penerbangan baik dengan pesawat udara sendiri maupun dengan pesawat udara lainnya. Dalam hal ini demkian, tuntutan hukum juga dapat diajukan ke salah satu pengadilan di mana pada saat kecelakaan, penumpang bertempat tinggal berasal atau tempat tinggal tetapnya.Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh keluarga korban khususnya warga negara indonesia untuk menuntut ganti kerugian dapat diajukan ke pengadilan Malaysia karena saat ini pengadilan yang berwenang dalam perkara penuntutan ganti rugi atas korban pesawat MH370 adalah pengadilan Malaysia, dikarenakan pesawat MH370 adalah milik perusahaan Malaysia airlines. Mengacu kepada pemikiran bahwa penyelesaian pembayaran santunan/ganti kerugian terhadap pengguna jasa angkutan udara sebagai bentuk tanggung jawab pengangkut. Serta hukum internasional mengizinkan para keluarga korban untuk mengejar tindakan hukum di negara-negara tempat pembelian tiket dan tempat maskapai berbasis atau dapat juga mengajukan gugatan di alamat atau tempat tinggal tetap korban kecelakaan yaitu di Indonesia sehingga mempermudah bagi keluarga korban untuk melakuan gugatan kepada maskapai penerbangan yang bersangkutan dikenal juga sebagai yurisdiksi ke 5 dalam Konvensi Montreal 1999.