bab iv
TRANSCRIPT
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Graves
A. Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan hipertiroidism (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang
ditemukan dalam sirkulasi darah. Penyakit Graves merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme yang pada umumnya disebabkan oleh overaktivitas kelenjar tiroid.
Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh membuat antibodi yang disebut
thyroid-stimulating imunoglobulin (TSI). TSI meniru tindakan TSH yang akan
menempel pada sel tiroid dan merangsang tiroid untuk membuat hormon tiroid
terlalu banyak.2,3
B. Etiologi
Penyebab penyakit Greves belum diketahui secara pasti. Karena ini
merupakan penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang
menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat
timbul tiba-tiba. Mekanisme yang mungkin berperan dalam proses autoimun
diantaranya:
Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus
Perubahan sel T dari idiopatik antibodi menjadi pathogen antibodi
Perubahan ekspresi pada antigen HLA kelas II di sel eptel tiroid ( antigen
HLA-DR)
22
Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon
kelenjar tiroid dan Kurang yodium dalam diet dan air minum yang
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.1
Walaupun etiologi penyakit Graves belum diketahui, tampaknya terdapat
peran autoantibody terhadap reseptor TSH (tirotropin), yang menyebabkan
peningkatan produksi tiroid. Autoantibodi tersebut dapat disebabkan oleh:12
1. Autoantibodi terhadap reseptor TSH atau thyroid stimulating immunoglobulin
(TSI). Antibodi ini (sebagian besar IgG) bertindak sebagai LATS (Long Acting
Thyroid Stimulants), mengaktivasi sel dengan cara yang lebih panjang dan
lambat daripada TSH, menyebabkan peningkatan produksi hormon tiroid.
2. Thyroid-growth-stimulating immunoglobulin (TGI). Antibodi ini terikat secara
langsung ke reseptor TSH dan berimplikasi dalam pertumbuhan folikel tiroid
3. TSH-binding inhibitor immunoglobulin (TBII). Antibody ini menghambat
ikatan normal TSH dengan reseptornya. Sebagian akan bertindak seperti TSH
yang terikat pada reseptor dan menginduksi fungsi tiroid. Tipe lain mungkin
tidak menstimulasi kelenjar tiroid, tapi akan mencegah TSI dan TSH dari
ikatan dan menstimulasi reseptornya.
C. Epidemiologi
Sebesar 60-90% tirotoksikosis di dunia disebabkan oleh peyakit Graves.
Berdasarkan penelitian Wickham, insidensi penyakit Graves sebesar 100-200
kasus per 100.000 populasi setiap tahun, dan 80 kasusnya adalah wanita. Di
Amerika, prevalensi ibu hamil dengan penyakit Graves sebesar 1 kasus per 500
orang. Pada umumnya, pasien yang mengalami penyakit Graves memiliki riwayat
23
penyakit tiroid pada keluarrga. Penyakit Graves sering terjadi pada usia 20-40
tahun, namun pada wanita biasanya terjadi pada usia 30-60 tahun.1
D. Faktor risiko
Beberapa faktor yang mendorong respon imun pada penyakit graves ialah ,
infeksi virus dan bakteri, periode masa pos partum, merokok, stres, kehamilan,
jenis kelamin wanita cenderung lebih banyak kejadiannya, dan kurang gizi.3,4
Gen yang mungkin berpengaruh pada penyakit Graves adalah HLA. HLA
spesifik yang ditemukan pada pasien dengan penyakit Graves berbeda-beda
tergantung dari rasnya. Pada ras Kaukasus penyakit Graves berasosiasi dengan
HLA-B8. Kemudian diketahui bahwa asosiasinya lebih kuat dengan HLA-DR3
yang mempunyai linkage disequilibrium dengan HLA-B8. Pada bangsa Jepang
terdapat asosiasi dengan HLA-B35, pada bangsa Cina dengan HLA B46, dan pada
keturunan Afrika-Amerika dengan HLA DRB3.1,4
E. Patofisiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun
hipersensitif tipe II. Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena
produksi autoantibodi yang berikatan dengan reseptor TSH, dimana tampak pada
sel folikuler tiroid (sel yang memproduksi tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid
sama seperti TSH yang menyebabkan peningkatan produksi dari hormon tiroid.
Dalam serum pasien dapat ditemukan antibodi imunnoglobulin (IgG) yang
bereaksi terhadap reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat
24
interaksi ini, antibodi tersebut dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung
pada TSH hipofisis, yang dapat menimbulkan hipertiroidisme.4
Gambar 4.1 Patogenesis penyakit Graves4
Antibodi imunnoglobulin (IgG) yang ditemukan pada penyakit Graves
yaitu TSI. TSI dalam serum berupa long-acting thyroid stimulator (LATS) berupa
IgG yang mengikat reseptor TSH dan mampu menstimulasi akttivitas adenilat
siklase yang berperan mengubah ATP menjadi cAMP. cAMP berperan sebagai
second messenger yang dapat meningkatkan proses intraseluler sehingga terjadi
peningkatan pelepasan hormone tiroid.12,13
Pembesaran kelenjar tiroid (struma) terjadi akibat pertumbuhan yang tidak
terkontrol (tumor), atau peningkatan perangsangan oleh TSH atau TSI. TSI
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid selama 12 jam.
Berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung 1 jam. Tingginya sekresi
25
hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan
TSH oleh kelenjar hipofisis anterior sehingga terjadi penurunan jumlah TSH di
darah.14
Pembesaran kelenjar tiroid disertai dengan hiperplasia lipatan-lipatan sel-
sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini sangat meningkat. Selain
itu setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat. Dari
penilaian ambilan yodium radioaktif menunjukkan bahwa kelenjar-kelenjar
hiperplastik ini menyekresi hormon tiroid dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar
daripada normal.4 Selain itu, TGI juga berperan pada proliferasi epitel folikel
tiroid.
F. Gejala Klinis
Tiga gejala khas yang ada pada penyakit Graves yaitu, struma,
hipertiroidisme, dan oftalmopati, dapat disertai dermopati tetapi jarang. Struma
terjadi karena adanya TSI dan TGI di serum darah yang merangsang peningkatan
kerja tiroid dan akhirnya memperbesar elenjar tiroid.
Hipermetabolisme menyebabkan peningkatan metabolisme di segala
sistem tubuh. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kalori, karena
itu masukkan kalori umumnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga berat badan
menurun. Pada saluran cerna sekresi maupun peristalsis meningkat sehingga
sering timbul diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan
tremor, penderita bangun di waktu malam dan sering terganggu mimpi yang tidak
karuan. Selain itu, penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan,
kekacauan pikiran dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat mengganggu.
26
Pada saluran nafas hipermetabolisme berupa dispnea dan takipnea yang tidak
terlalu mengganggu. Kelemahan otot biasanya cukup mengganggu, demikian juga
menoragia.1,4,6
Untuk menentukan seseorang merupakan hipertiroid atau tidak maka dapat
menggunakan indeks wayne atau indeks new castle yaitu sebagai berikut: 3,4
Jika jumlah indeks
lebih dari 20 itu artinya hipertiroid, dan apabila kurang dari 10 bukan hipertiroid,
indeks 10-20 merupakan borderline.
27
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam
bentuk peningkatan sirkulasi darah dengan penambahan curah jantung sampai 2-3
kali normal, juga dalam istirahat. Irama nadi naik dan tekanan denyut bertambah
sehingga menjadi pulses seler dan penderita mengalami takikardi dan palpitasi.
Beban miokard, dan rangsangan persarafannya dapat meningkatkan kekacauan
irama jantung berupa fibrilasi atrium.14
28
Gambar 4.2 Efek hormon tiroid terhadap kardiovaskuler
Hormon tiroid terutama T3 mengatur inotropik dan kronotropik jantung
melalui mekanisme secara langsung dan tidak langsung. T3 menyebabkan
termogenesis dengan merangsang lipolisis di jaringan. T3 secara langsung
menurunkan resistensi vaskuler sistemik dengan mempengaruhi otot polos
vaskuler dan menstimuli endotel vaskuler untuk mensintesa nitric oxide yang
bersifat vasodilator. Mean Arteri Pressure(MAP) menjadi menurun
menyebabkan Renal Blood Flow menurun sehingga mengaktifkan sistem Renin
Angiotensin Aldosteron (RAAS) untuk meningkatkan reabsorpsi natrium di ginjal
sehingga volume plasma meningkat ditambah dengan merangsang eritropoitin dan
volume darah pun meningkat. Volume darah yang meningkat
menyebabkan venous returnmeningkat dan cardiac output pun meningkat.4,14
Hormon tiroid bekerja pada sel otot jantung dan set otot polos vaskuler. T3
masuk ke dalam sel otot jantung secara difusi pasif melalui
transportermonocarboksilat 8 (MCT8) dan masuk ke inti sel, berikatan dengan
reseptor inti T3 membentuk suatu komplek. Komplek ini berikatan
29
dengan Thyroid hormone response element bekerja mengatur transkripsi gen
untuk sintesis protein. Salah satu hasil sintesis protein adalah rantai berat myosin
(myosin heavy chains) α dan β yang merupakan protein myofibril pada filamen
tebal dari bagian kontraksi sel otot jantung. Jika terjadi perubahan sintesis protein
akibat penyakit tiroid akan mengubah rantai berat myosin sehingga dapat
mengakibatkan gangguan kontraksi jantung.1,3,14
T3 juga mengatur pembentukan protein retikulum sarkoplasma, aktivasi
pompa kalsium ATP ase (Ca2+-ATP ase) dan phospholamban (pengikat fosfat)
yang berperan penting dalam pelepasan dan pengambilan kembali kalsium pada
saat kontraksi atau relaksasi otot jantung. Aktivasi pompa Ca2+-ATPase pada
retikulum sarkoplasma yang selanjutnya dikenal dengan SERCA sangat penting
dalam mengatur siklus kalsium dalam miokard. SERCA 2a (bentuk SERCA
dominan pada jantung) diatur oleh phospholamban.Phospholamban merangsang
SERCA 2a untuk melepaskan kalsium dari dalam retikulum sarkoplasma.
Sebaliknya phospholamban yang berikatan dengan fosfat (phospholamban
fosforilasi) akan merangsang SERCA 2a untuk menyimpan kalsium ke dalam
retikulum sarkoplasma. Pengambilan kembali kalsium ke dalam retikulum
sarkoplasma pada awal diastolik adalah bagian yang menentukan lamanya
rileksasi ventrikel kiri (waktu isovolumetrik relaksasi).
Kekurangan phospholamban akan menyebabkan waktu relaksasi otot jantung
semakin singkat. Agen Inotropik (ephinefrin/norephinefrin) akan
merangsang cyclic Adenosine Monophosphat (cAMP) yang kemudian
merangsang terbentuknya phospholamban fosforilasi sehingga meningkatkan
30
kontraktilitas jantung. Hormon tiroid menghambat aktivitasphospholamban dan
meningkatkan phospholamban fosforilasi. Hormon tiroid juga mengatur struktural
protein pada kanal ion di membran jantung. Perubahan dalam gen miokard
termasuk Na+/K+-ATPase dapat meningkatkan konsumsi oksigen basal pada
penyakit jantung tiroid.14
Opthalmopathy infiltrat (gangguan mata karena tiroid) sering terjadi yang
tampak pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Eksoftalmus terjadi
akibat kombinasi infiltrasi limfosit, pengendapan glikosaminoglikan, adipogenesis
dalam jaringan ikat orbita.15
31
Gambar 4.3 Oftalmopati pada penyakit Graves4
Sebagai respons terhadap antibodi anti-reseptor TSH di darah dan sitokin
lain, fibroblas mengalami diferensiasi menuju adiposit matang dan mengeluarkan
glikosaminoglikan hidrofilik ke interstisium sehingga jaringan ikat dengan
jaringan lemaknya menjadi hiperplasik. Karena jaringan ikat dengan jaringan
lemaknya hiperplasik, bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit.
Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola mata
akibat keratitis. Gangguan faal otot mata dapat menyebabkan strabismus.
Mekanisme ini hampir sama terjadi pada dermopati penyakit Graves.15
G. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan
dari hasil laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4,
triyodotironin/ T3) dan kadar dari tiroid stimulating hormone (TSH). Free T4 dan
free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda disertai dengan penuruna TSH.1,3
Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu T4(T3) dan TSH, namun pada
pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap rendah padahal
keadaan membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh
hormon tiroid sehingga lamban pulih.2
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3-6 bulan untuk memantau
respons terapi, dimana yang paling berpengaruh adalah kadar FT4 dan TSH. Pada
pemantauan terjadi perubahan. Pada pemantauan terapi perubahan TSH serum
lambat dan memerlukan waktu beberapa bulan untuk kembali ke rentang normal/
steady state.
32
Peningkatan ikatan protein iodium mungkin dapat terdeteksi. Tes
pencitraan diagnostik (MRI, CT scan, dan USG) dapat dilakukan untuk
menyingkirkan tumor tiroid sebagai penyebab yang mendasari gejala hipertiroid,
atau tumor mata sebagai penyebab yang mendasari exoptalmus. Tiroid stimulating
antibodi dapat terdeksi dengan pemeriksaan serologi.16
H. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap penyakit Graves terdiri dari penggunaan obat-obat
anti tiroid (OAT), yodium radioaktif, dan tiroidektomi (eksisi pembedahan dari
kelenjar tiroid). Pengobatan hipertiroid pada penyakit Graves adalah dengan obat-
obatan seperti methimazole atau propylthiouracil (PTU), yang akan menghambat
produksi dari hormon tiroid, atau juga dengan yodium radioaktif .
33
Obat yang banyak digunakan adalah propiltiourasil (PTU, 100-300 mg tiga
kali sehari) dan methimazole (10-30 mg tiga kali sehari). Obat antitiroid
methimazole dan propilotiourasil menghambat biosintesis hormon tiroid. Obat-
obatan ini berguna baik sebagai terapi utama atau pada tingkat hormon tiroid yang
rendah sebelum terapi yodium radioaktif atau pembedahan. Terapi jangka panjang
dapat menyebabkan remisi pada beberapa pasien penyakit graves. 2,4,
Obat golongan beta bloker telah digunakan secara luas untuk fibrilasi atrial
pada keadaan hipertiroid untuk mengontrol respon ventrikel. Propanolol dosis
120-160mg/hari atau atenolol dosis 50mg/hari dapat meringankan gejala palpitasi
dan menurunkan denyut jantung pada penderita yang mengalami sinus takikardi.
Propanolol mempunyai kelebihan yaitu dapat mengurangi konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. 4
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35
tahun atau lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai
remisi sesudah pemberian OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan
OAT dan pada adenoma toksik, goiter multinodular toksik. Digunakan I131
dengan dosis 5-12mCi per oral.
Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum
pembedahan pasien diobati dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU).
Beberapa ahli memberikan terapi kombinasi tiroksin dengan OAT dosis tinggi
untuk menghambat produksi hormon tiroid namun pasien tetap dipertahankan
eutiroid dengan pemberian tiroksin. Penambahan tiroksin selama terapi dengan
34
OAT juga akan menurunkan produksi antibodi terhadap reseptor TSH dan
frekuensi kambuhnya hipertiroid.17
Tiroidektomi subtotal sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroid.
Indikasi operasi adalah :
1. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan
OAT
2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan OAT dosis tinggi.
3. Alergi terhadap OAT, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.
4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit Graves diantaranya:
Penyakit jantung tiroid (PJT) . Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda
dekompensasi jantung (sesak, edem dll), hipertiroid dan pada pemeriksaan
EKG maupun fisik didapatkan adanya atrium fibrilasi.
Krisis Tiroid (Thyroid Storm). Merupakan suatu keadaan akut berat yang
dialami oleh penderita tiritoksikosis (life-threatening severity). Biasanya
dipicu oleh faktor stress (infeksi berat, operasi dll). Gejala klinik yang khas
adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-tanda hipertiroid berat yang
terjadi secara tiba-tiba
Periodic paralysis thyrotocsicosis ( PPT). Terjadinya kelumpuhan secara tiba-
tiba pada penderita hipertiroid dan biasanya hanya bersifat sementara. Dasar
terjadinya komplikasi ini adalah adanya hipokalemi akibat kalium terlalu
35
banyak masuk kedalam sel otot. Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya
terjadi setelah penderita makan (karbohidrat), oleh karena glukosa akan
dimasukkan kedalam selh oleh insulin bersama-sama dengan kalium (K
channel ATP-ase)
Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat overtreatment
(hipotiroidisme) dan akibat efek samping obat (agranulositosi, hepatotoksik)
J. Prognosis
Prognosis penyakit-penyakit yang berhubungan dengan keadaan
hipertiroid tidak sebaik keadaan hipotiroid. Kemampuan dan pengetahuan seorang
dokter sangat dibutuhkan untuk menentukan prognosis penyakit ini. Kegagalan
terapi memberikan prognosis yang buruk terhadap penyakit hipertiroidism.
Namun, jika diobati denan cepat dan tepat prognosisnya menjadi baik.
36
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang perempuan Ny. RJ, 38 tahun
yang berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didiagnosis penyakit Graves dengan bisitopenia. Selama perawatan di ruang
Penyakit Dalam Wanita RSUD Ulin Banjarmasin telah diberikan terapi
Ceftriaxone 3 x 1 gr, Metilprednisolon 2 x 62,5 mg, Ranitidin 2 x 1, Antrain 3 x 1
(k/p), Vitamin K 1 ampul, valium ½ ampul, diencerkan bolus pelan,
Profiltiourasil 3 x 100 mg, Propanolol 3 x 20 mg, Mucosta 3 x 1, valsartan 1 x 80
mg. Pasien diizinkan untuk rawat jalan pada hari perawatan kesepuluh.
37