bab i_ria2

78
BAB I KONSEP DASAR A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan Saluran pernafasan atau tractus respiratorius (respiratory rate) adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat lintasan dan tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernafasan. Saluran ini berpangkal pada hidung, faring, laring, trakhea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkiolus dan paru-paru (Wibowo, 2005 : 68). Sistem pernafasan berfungsi sebagai pendistribusi udara dan penukaran gas sehingga oksigen dapat disuplai ke dan karbon dioksida dikeluarkan dari sel- sel tubuh, karena sebagian besar dari jutaan sel tubuh kita letaknya terlalu jauh dari tempat terjadinya pertukaran gas, maka udara pertama-tama harus bertukaran dengan darah, darah harus bersirkulasi dan akhirnya darah dan sel-sel harus melakukan pertukaran gas (Asih, 2003 : 20).

Upload: cweit-imutz

Post on 05-Jul-2015

2.700 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I_Ria2

BAB I

KONSEP DASAR

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Saluran pernafasan atau tractus respiratorius (respiratory rate) adalah

bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat lintasan dan tempat

pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernafasan. Saluran ini berpangkal

pada hidung, faring, laring, trakhea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkiolus

dan paru-paru (Wibowo, 2005 : 68).

Sistem pernafasan berfungsi sebagai pendistribusi udara dan penukaran gas

sehingga oksigen dapat disuplai ke dan karbon dioksida dikeluarkan dari sel-sel

tubuh, karena sebagian besar dari jutaan sel tubuh kita letaknya terlalu jauh dari

tempat terjadinya pertukaran gas, maka udara pertama-tama harus bertukaran

dengan darah, darah harus bersirkulasi dan akhirnya darah dan sel-sel harus

melakukan pertukaran gas (Asih, 2003 : 20).

Saluran pernafasan terbagi menjadi saluran pernafasan atas dan saluran

pernafasan bawah.

1. Saluran pernafasan atas

a. Hidung

Hidung merupakan pintu masuk pertama udara yang kita hirup

yang terbentuk dari dua tulang hidung dan beberapa kartilago. Terdapat

dua pintu pada dasar hidung yaitu nostril (lubang hidung), atau neres

eksternal yang dipisahkan oleh septum nasal di bagian tengahnya.

Page 2: BAB I_Ria2

b. Faring

Faring atau tenggorokan adalah tuba muskular yang terletak di

posterior ronggal nasal dan oral dan di anterior vertebra servikalis. Faring

dapat dibagi menjagi tiga segmen :

1) Nasofaring : terletak di belakang rongga nasal. Adenoid atau tonsil

faringeal terletak pada dinding posterior nasofaring, yaitu nodus limfe

yang mengandung makrofag. Nasofaring adalah saluran yang hanya

dilalui oleh udara, tetapi bagian faring lainnya dapat dilalui baik oleh

udara maupun makanan.

2) Orofaring : terletak di belakang mulut. Tonsil adenoid dan lingual pada

dasar lidah, membentuk cincin jaringan limfatik mengelilingi faring

untuk menghancurkan patogen yang masuk ke dalam mukosa.

3) Laringofaring : merupakan bagian paling inferior dari faring.

Laringofaring ke arah anterior ke dalam laring dan ke arah posterior ke

dalam esofagus. Kontraksi dinding muskular orofaring dan

laringofaring merupakan bagian dari refleks menelan.

c. Laring

Fungsinya yaitu berbicara adalah saluran pendek yang

menghubungkan faring dengan trakhea. Laring menjadi sarana

pembentukan suara. Dinding laring terutama dibentuk oleh tulang rawan

(kartilago) dan bagian dalamnya dilapisi oleh membran mukosa bersilia.

Kartilago laring yang terbesar adalah kartilago tiroid : teraba pada

2

Page 3: BAB I_Ria2

permukaan anterior leher (pada pria kartilago ini membesar yang disebut

Adam’s apple).

Epiglotis atau kartilago epiglotik adalah kartilago yang paling atas,

bentuknya seperti lidah dan keseluruhannya dilapisi oleh membran

mukosa. Selama menelan, laring bergerak ke atas dan epiglotis tertekan ke

bawah menutup glotis. Gerakan ini mencegah masuknya makanan atau

cairan ke dalam laring.

Pita suara terletak di kedua sisi glotis. Selama bernapas pita suara

tertahan di kedua sisi glotis sehingga udara dapat masuk dan keluar

dengan bebas dari trakhea.

2. Saluran pernafasan bawah

a. Trakhea

Terletak di depan esofagus dan saat palpasi teraba sebagai struktur

yang keras, kaku tepat di permukaan anterior leher trakhea memanjang

dari laring ke arah bawah ke dalam rongga toraks tempatnya terbagi

menjadi bronkhi kanan dan kiri. Dinding trakhea disangga oleh cincin-

cincin kartilago, otot polos dan serat elastik dan dilapisi oleh membran

mukosa bersilia yang banyak mengandung sel yang mensekresi lendir.

b. Bronkhial dan alveoli

Ujung distal trakhea membagi menjadi bronkhi primer kanan dan

kiri yang terletak di dalam rongga dada. Di dalam paru-paru membentuk

cabang menjadi bronkhus sekunder. Fungsi percabangan bronkhial untuk

3

Page 4: BAB I_Ria2

memberikan saluran bagi udara antara trakhea dan alveoli. Sangat penting

artinya untuk menjaga agar jalan udara ini tetap terbuka dan bersih.

Unit fungsi paru atau alveoli berjumlah sekitar 300 sampai 500 juta

di dalam paru-paru pada rata-rata orang dewasa. Fungsinya sebagai satu-

satunya tempat pertukaran gas antara lingkungan eksternal dan aliran

darah. Setiap alveolus terdiri atas ruang udara mikroskopik yang

dikelilingi oleh dinding yang tipis yang terdiri atas satu lapis epitel

skuamosa. Diantara sel epitel terdapat sel-sel khusus yang menyekresi

lapisan molekul lipid seperti deterjen yang disebut surfaktan yang melapisi

permukaan dalam dinding alveolar.

c. Paru-paru

Paru-paru terletak di kedua sisi jantung di dalam rongga dada dan

dikelilingi serta dilindungi oleh sangkar iga. Fungsi paru-paru adalah

tempat terjadinya pertukaran gas antara udara atmosfir dan udara dalam

aliran darah. Setiap paru dibagi menjadi kompartemen yang lebih kecil,

pertama disebut lobus. Paru kanan terdiri atas tiga lobus dan lebih besar

dari kiri yang hanya terdiri atas dua lobus. Lapisan yang membatasi antara

lobus disebut fisura. Lobus kemudian membagi lagi menjadi kompartemen

yang lebih kecil dan dikenal sebagai segmen. Setiap segmen terdiri atas

banyak lobulus, yang masing-masing mempunyai bronkhiale, arteriole,

venula, dan pembuluh limfatik.

Dua lapis membran serosa mengelilingi setiap paru dan disebut sebagai

pleura. Lapisan terluar disebut pleura parietal yang melapisi dinding dada dan

4

Page 5: BAB I_Ria2

mediastium. Lapisan di dalamnya disebut pleura viseral yang mengelilingi paru

dan dengan kuat melekat pada permukaan luarnya. Rongga pleural ini

mengandung cairan yang dihasilkan oleh sel-sel serosa di dalam pleura yang

fungsinya melicinkan permukaan dua membran pleura untuk mengurangi

gesekan saat paru-paru mengembang dan kontraksi saat bernafas.

d. Thoraks

Rongga thoraks terdiri atas rongga pleura kanan dan kiri dan bagian

tengah yang disebut mediastrium. Thoraks mempunyai peran penting.

Thoraks menjadi lebih besar ketika dada dibusungkan dan menjadi lebih

kecil ketika dikempeskan. Saat diafragma berkontraksi, diafragma akan

mendatar keluar dan dengan demikian menarik dasar rongga thoraks ke

arah bawah sehingga memperbesar volume thoraks ketika diafragma rileks

maka memperkecil volume rongga thoraks (Asih, 2003 : 3-9).

Proses respirasi berlangsung beberapa tahap menurut (Alsagaff, 2006 : 7)

yaitu :

1. Ventilasi : yaitu pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru. Inspirasi yaitu

pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Ekspirasi yaitu pergerakan udara

dari dalam ke luar paru.

2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernafasan luar.

3. Transportasi gas melalui darah.

4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut

pernafasan dalam.

5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut

juga pernafasan seluler.

5

Page 6: BAB I_Ria2

B. Pengertian

Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) adalah kelainan dengan

klasifikasi yang luas, termasuk bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan

asma. Ini merupakan kondisi yang terdapat pulih yang berkaitan dengan dispnea

pada aktivitas fisik dan mengurangi aliran udara (Baughman, 2000 : 444).

Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) adalah kondisi kronis yang

berhubungan dengan riwayat emfisema, asma, bronkiektasis, merokok sigaret,

atau terpajan pada polusi udara, terdapat sumbatan jalan nafas yang secara

progresif meningkat (Tucker, 1998 : 237).

Penyakit paru obtruksi menahun (PPOM) adalah aliran udara mengalami

obstruksi yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOM

sesungguhnya merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis

kronis, dimana keduanya menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves,

2001 : 41).

C. Etiologi

Faktor-faktor resiko penting yang menyebabkan PPOM

1. Perokok kretek

2. Polusi udara

3. Pemajanan di tempat kerja (batu bara, kapas, padi-padian)

Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Smeltzer,

2002 : 756).

6

Page 7: BAB I_Ria2

Faktor penyebab lain menurut (Doenges, 1999 : 152) alergen, masalah

emosi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia, dan infeksi.

D. Manifestasi Klinik

1. Batuk

2. Sputum atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.

3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan otot-otot pernafasan

tambahan untuk bernafas (Mansjoer, 2000 : 480)

Manifestasi klinis dari PPOM adalah malfungsi kronis pada sistem

pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi

dahak pada pagi hari. Napas pendek sedang berkembang menjadi napas pendek

akut. Batuk yang produktif dahak memburuk menjadi batuk persisten yang

disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak. Pasien sering mengalami

infeksi pernapasan dan kehilangan berat badan menurun atau cukup drastis,

sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal

melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Pasien mudah lelah, mudah mengalami

penurunan berat badan sebagai akibat dari nafsu makan yang menurun.

Penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan

kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam

sistem gastrointestinal (Reeves, 2001 : 44).

E. Patofisiologi

Pada bronkhitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran

nafas, penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan

7

Page 8: BAB I_Ria2

menimbulkan sesak. Pada bronkhitis kronik, saluran pernafasan kecil yang

berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit berkelok-kelok dan

berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel gobles. Saluran napas

besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada

emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya

elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2000 : 480).

Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam

tergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis penumpukan

lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan nafas. Pada emfisema,

obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan

dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara yang mengalir ke

dalam paru-paru (Smeltzer, 2002 : 594).

8

Page 9: BAB I_Ria2

Sumber :- Carpenito (1999)- Doenges (1999)- Doenges (2000)- Enggram (1999)- Mansjoer (2000)- Reeves(2001)- Smeltzer (2002)- Tucker (1998)

F. Pathway dan Masalah Keperawatan

Alergen, emosi, latihan fisik

Asma

Hipersensitifitas trakhea bronkial

Bronkospasme edema

mukosa

Hipersekresi mukus

Bunyi nafas tidak normal (mengi, ronki, krakles)

Batuk menetap

Kelemahan

Pertanyaan tentang

informasi

Kurang pengetahuan

Gangguan istirahat tidur

Hipoksia jaringan

Menurunnya suplai O2 ke gastrointestinal tracktus

Menurunnya mortilitas

Anoreksia

Perubahan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh

Polusi dan rokok

Bronkitis kronis

Hipertrofi kelenjar mukus brokus jumlah sel gobles

Saluran pernafasan menjadi

kecil dan berkelok-kelok (bronkospasme)

Infiltrasi sel-sel radang dan

edema mukosa bronkus

Obstruksi jalan nafas

Aktivitas silia dan fagosit menurun

Pembentukan dan timbunan

mukus

Merangsang batuk produktif

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Ketidakseimbangan O2 dan

CO2

Saluran nafas kolabs saat

respirasi

Jebakan udara

Penggunaan otot bantu pernafasan

Keletihan dan kelelahan

Intoleransi aktivitas

Predisposisi genetik

Emfisema

Elastisitas bronkus

Penebalan dan resistensi alveoli

Peningkatan resistensi

jalan nafas

Kerusakan alveoli

Gangguan pertukaran gas

Tidak adekuatnya pertahanan utama

Resiko tinggi terhadap

infeksi

9

Page 10: BAB I_Ria2

G. Pengkajian Dasar

Menurut Doenges (2000 : 152-155) pengkajian dasar PPOM antara lain

1. Aktivitas / istirahat

Gejala : a. Keletihan, kelelahan, malaise

b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena

sulit bernafas.

c. Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tubuh

tinggi.

d. Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau

latihan.

Tanda : a. Keletihan

b. Gelisah, insomnia

c. Kelelahan umum atau kehilangan massa otot

2. Sirkulasi

Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda : a. Peningkatan tekanan darah

b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat, disritmia

c. Distensi vena leher

d. Edema tidak berhubungan dengan penyakit jantung

e. Bunyi jantung redup

3. Integritas ego

Gejala : a. Peningkatan faktor resiko

b. Perubahan pola hidup

Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang

10

Page 11: BAB I_Ria2

4. Makanan dan cairan

Gejala : a. Mual atau muntah

b. Anoreksia

c. Penurunan berat badan

Tanda : a. Turgor kulit buruk

b. Edema

c. Berkeringat

d. Penurunan massa otot

5. Higiene

Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan melakukan

aktivitas

Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.

6. Pernapasan

Gejala : a. Napas pendek, rasa dada tertekan

b. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari

c. Riwayat pneumonia berulang

d. Faktor keluarga dan keturunan

e. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus

Tanda : a. Pernafasan cepat atau lambat, ekspirasi memanjang dengan

mendengkur

b. Adanya penggunaan otot bantu pernapasan

c. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi

d. Perkusi hipersonan

e. Kesulitan bicara

11

Page 12: BAB I_Ria2

f. Warna pucat dan sianosis bibir dan dasar kuku

g. Terdapat jari tabuh (clupping finger)

7. Keamanan

Gejala : a. Riwayat reaksi alergi, sensitif terhadap faktor lingkungan

b. Adanya atau berulangnya infeksi

Tanda : Kemerahan atau berkeringat

8. Seksualitas

Gejala : Penurunan libido

9. Interaksi sosial

Gejala : a. Hubungan ketergantungan

b. Kurang sistem pendukung

c. Kegagalan dukungan orang terdekat

d. Penyakit lama

Tanda : a. Keterbatasan mobilitas fisik

b. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain

10. Penyuluhan atau pembelajaran

Gejala : a. Penyalahgunaan obat pernafasan

b. Kesulitan menghentikan rokok

c. Penggunaan alkohol secara teratur

Menurut Engram (1999 : 32-33) pengkajian dasar PPOM antara lain :

1. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :

a. Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).

b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.

c. Riwayat alergi pada keluarga.

d. Riwayat asma pada masa anak-anak.

12

Page 13: BAB I_Ria2

2. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi,

seperti alergen (serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur), stres emosional,

aktivitas fisik berlebihan, polusi udara, infeksi saluran napas, kegagalan

program pengobatan yang dianjurkan.

3. Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian sistem pernapasan yang meliputi :

a. Manisfestasi klasik dari PPOM :

1) Peningkatan dypsnea (paling sering ditemukan)

2) Penggunaan otot-otot asesori pernapasan (retraksi otot-otot abdominal,

mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung)

3) Penurunan bunyi napas

4) Takipnea

5) Ortopnea

b. Gejala-gejala menetap pada proses penyakit dasar

1) Asma

a) Batuk (mungkin produktif atau nonproduktif), dan perasaan dada

seperti terikat.

b) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa

stetoskop.

c) Pernapasan cuping hidung.

d) Ketakutan dan diaforesis

2) Bronkitis

a) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang

biasanya terjadi pada pagi hari dan sering diabaikan oleh perokok

(disebut batuk perokok).

13

Page 14: BAB I_Ria2

b) Inspirasi ronki kasar (crakcles) dan mengi.

c) Sesak napas

3) Bronkitis (tahap lanjut)

a) Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi sebagai akibat

dari hipoksemia kronis).

b) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh

edem asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal);

secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue bloaters”.

4) Emfisema

a) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks

anterior-posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).

b) Fase ekspirasi memanjang.

5) Emfisema (tahap lanjut)

a) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis : pasien ini

sering digambarkan secara klinis sebagai “pink puffers”

b) Jari-jari tubuh

4. Kaji berat badan dan rata-rata masukan cairan dan diet harian.

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Sinar X dada

Hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area

udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi (emfisema), peningkatan

tanda bronkovaskular (bronkitis).

14

Page 15: BAB I_Ria2

2. Tes fungsi paru

Untuk menentukan penyebab dipsnea, menentukan apakah fungsi

abnormal adalah obstruksi atau restruksi, dan untuk mengevaluasi efek terapi.

3. Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema

4. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

5. GDA

PaO2 menurun, PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan

emfisema), dan menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis

respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi.

6. Bronkogram

Menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkial

pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada

bronkhitis.

7. Kimia darah : meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.

8. Sputum : menentukan adanya infeksi, patogen, gangguan alergi.

9. EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia

atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis,

emifisema), aksis vertikal QRS (emfisema)

10. JDL (jumlah darah lengkap) dan diferensial

Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)

(Doenges, 2000 : 155).

15

Page 16: BAB I_Ria2

I. Komplikasi

Komplikasi dari PPOM menurut Tucker (1998 : 238) adalah

1. Disritmia

2. Gagal pernafasan akut

3. Gagal jantung

4. Kor pulmoner

5. Edema perifer

6. Hepatomegali

7. Sianosis

8. Distensi vena leher

9. Murmur regurgitasi

10. Polisitemia

11. Peptik dan refluks esofagus

Komplikasi dari PPOM menurut Mansjoer (2000 : 481) infeksi yang

berulang, pneumothoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronis,

gagal nafas, dan cor pulmonal.

Komplikasi dari PPOM menurut Smeltzer (2002 : 596)

1. Gagal atau insufisiensi pernapasan

2. Atelektasis

3. Pneumonia

4. Pneumothoraks

5. Hipertensi paru

16

Page 17: BAB I_Ria2

J. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan medis menurut Tucker (1998 : 238)

a. Terapi oksigen

b. Berikan nafas buatan atau ventilasi mekanik sesuai kebutuhan

c. Fisioterapi dada

d. Pengkajian seri GDA

e. Obat-obatan

f. Bronkodilator

g. Antibiotik

h. Kortikosteroid

i. Diuretik

j. Vaksinasi influensa

k. Kardiotonik

2. Penatalaksanaan keperawatan

Tindakan keperawatan menurut Doenges (2000 : 156-163),

tindakan keperawatan yang penting pada pasien PPOM adalah fisioterapi

dada, batuk efektif, latihan nafas dalam, memberikan posisi semi fowler,

cegah terjadinya polusi lingkungan, kaji tingkat ketergantungan pasien,

mendiskusikan efek bahaya merokok dan menganjurkan pasien untuk

menghindari rokok, tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari,

diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

17

Page 18: BAB I_Ria2

K. Fokus Intervensi

Menurut Donges (2000 : 156) fokus intervensi PPOM antara lain :

1. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme,

peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan tebal, sekresi kental, penurunan

energi atau kelemahan.

Tujuan yang ditetapkan adalah mempertahankan potensi jalan nafas

dengan kriteria hasil :

a. Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih dan jelas.

b. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misal :

batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi inefektif bersihan jalan

nafas adalah :

a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas.

b. Pantau frekuensi pernafasan.

c. Catat adanya derajat dypsnea.

d. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.

e. Pertahankan polusi lingkungan minimum.

f. Bantu latihan nafas abdomen.

g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen

(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan

alveoli.

18

Page 19: BAB I_Ria2

Tujuan yang ditetapkan adalah mempermudah pertukaran gas dengan

kriteria hasil :

a. Pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dengan oksigenasi jaringan

adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres

pernafasan.

b. Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat

kemampuan atau situasi.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas

adalah :

a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori,

nafas bibir, ketidakmampuan bicara atau berbincang.

b. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah

untuk bernafas dan latihan nafas dalam.

c. Kaji kulit dan warna membran mukosa.

d. Dorong pengeluaran sputum.

e. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan bunyi

tambahan.

f. Awasi tingkat kesadaran atau status mental.

g. Awasi tanda vital dan irama jantung.

h. Berikan O2 tambahan sesuai indikasi hasil GDA dan intoleransi pasien.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dypsnea,

kelemahan efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.

19

Page 20: BAB I_Ria2

Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan masukan nutrisi dengan

kriteria hasil :

a. Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang

tepat.

b. Pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk

meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi perubahan nutrisi adalah

a. Kaji kebiasaan diit, masukan makanan saat ini.

b. Auskultasi bunyi usus.

c. Berikan perawatan oral, buang sekret.

d. Dorongan periode istirahat selama 1 jam, sebelum dan sesudah makan.

e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.

f. Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.

g. Timbang berat badan sesuai indikasi.

h. Kaji pemeriksaan laboratorium.

i. Konsul dengan ahli gizi.

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama

(penurunan kerja silia, menetapnya sekret)

Tujuan yang diterapkan tidak ada tanda dan gejala infeksi dengan

kriteria hasil :

a. Menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu.

b. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko

individu.

20

Page 21: BAB I_Ria2

c. Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan

lingkungan yang aman.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi infeksi adalah :

a. Kaji suhu tubuh pasien

b. Kaji pentingnya nafas dalam, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan

masukan cairan adekuat.

c. Kaji warna, karakter, bau sputum.

d. Ajarkan cuci tangan yang benar.

e. Awasi pengunjung.

f. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.

g. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi atau tidak

mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang

mengingat atau keterbatasan kognitif.

Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan tingkat pengetahuan

dengan kriteria hasil :

a. Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan tindakan.

b. Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala yang ada dari proses penyakit

dan menghubungkan dengan faktor penyebab.

c. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program

pengobatan.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah kurang

pengetahuan adalah :

21

Page 22: BAB I_Ria2

a. Jelaskan proses penyakit individu.

b. Diskusikan obat pernafasan, efek samping, dan reaksi yang tak diinginkan.

c. Anjurkan menghindari agen sedatif anti anestesi.

d. Tekankan pentingnya perawatan oral atau kebersihan gigi.

e. Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernafasan

akut.

f. Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan rokok pada

pasien dan atau orang terdekat.

g. Berikan reinforcement tentang pembatasan aktivitas.

Menurut Engram (1999 : 36) fokus intervensi PPOM (Penyakit Paru

Obstruksi Menahun) antara lain :

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas

Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan tingkat aktifitas dalam

perawatan diri, dengan kriteria hasil menurunnya keluhan tentang nafas

pendek dan lemah dalam melaksanakan aktifitas.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi intoleransi aktifitas adalah

a. Pantau

1) Nadi dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas.

2) Hasil gas darah arteri

b. Lakukan penghematan energi dalam melaksanakan prosedur-prosedur

sebagai berikut :

1) Berikan bantuan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari

dengan yang diperlukan. Sediakan interval waktu memungkinkan

22

Page 23: BAB I_Ria2

istirahat di antara kegiatan. Tingkatkan aktivitas secara bertahap

sejalan dengan hasil gas darah arteri depan dapat diantisipasinya

dengan tanda dan gejala dari penekanan pernafasan.

2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dengan makanannya

dikunyah.

Menurut Carpenito (1999 : 116) diagnosa dan intervensi keperawatan

pada PPOM adalah :

1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk, ketidakmampuan melakukan

posisi terlentang, rangsangan lingkungan.

Tujuan yang ditetapkan adalah kebutuhan istirahat terpenuhi dengan

kriteria hasil waktu tidur rutin, kualitas dan kuantitas tidur baik.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi gangguan pola tidur

adalah

a. Jelaskan siklus tidur dan signifikannya

1) Tahap I : tahap transisi antara bangun dan tidur

2) Tahap II : tidur tapi mudah terbangun.

3) Tahap III : tidur dalam lebih sulit terbangun.

4) Tahap IV : tidur paling dalam

b. Diskusikan perbedaan individu dalam kebutuhan tidur menurut usia, gaya

hidup, aktivitas dan tingkat stres.

c. Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang tenang, beri ventilasi

ruangan yang baik, tutup pintu ruangan yang baik, tutup pintu ruangan

pasien.

23

Page 24: BAB I_Ria2

d. Bila diinginkan tinggikan kepala tempat tidur setinggi 10 inci dan gunakan

penopang bantal di bawah lengan.

e. Hindari pemberian cairan panas atau dingin menjelang tidur.

24

Page 25: BAB I_Ria2

BAB II

RESUME KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada hari Kamis tanggal 05 Juni 2008 jam 08.00

WIB di ruang Multazam Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Data

diambil dari pemeriksaan fisik pasien, wawancara keluarga, perawat jaga dan dari

catatan pasien

Identitas pasien : Ny. S, umur 70 tahun, perempuan, status kawin, agama

Islam, alamat Candi 5/XI, Cemani, Sukoharjo. Tanggal masuk 03 Juni 2008,

nomer register 153578, diagnosa medis PPOM. Identitas penanggung jawab Tn.

S, umur 35 tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan buruh, hubungan dengan

pasien anak kandung.

Keluhan utama : pasien mengatakan sesak nafas dan batuk. Riwayat

kesehatan sekarang : ± 1 bulan yang lalu pasien mengeluh sering tidak enak

badan, batuk dan kadang ampeg, sakit tidak dirasa dan tidak berobat, ± 2

minggu yang lalu pasien mengeluh sesak nafas, batuk, dan panas lalu pasien

periksa ke puskesmas; 3 hari yang lalu pasien mengatakan sesak nafas, batuk

bertambah parah disertai panas lalu pasien periksa lagi ke puskesmas, selama 2

hari di rumah pasien tidak berkurang sesak nafasnya lalu dibawa ke RS PKU

Muhammadiyah Surakarta. Di IGD pasien dilakukan pemeriksaan dan

didapatkan TD : 120/70 mmHg, S : 37,6°C, N : 120 x/menit, RR : 36 x/menit,

mendapat terapi cairan infus RL 20 tpm yang ditambahkan aminophilin berupa

25

26

Page 26: BAB I_Ria2

drip, dilakukan pemeriksaan laboratorium, EKG, rontgen thorax dan hasil belum

ada, pasien diberikan O2 3 liter/menit, nebuliser ekstra atroven 10 tetes, berotec

10 tetes ditambahkan aquadest 2 cc, dan ekstra dexa. Riwayat keperawatan

dahulu pasien sebelumnya memiliki riwayat merokok ± 10 tahun, pasien

mengatakan tidak memiliki riwayat alergi dingin dan alergi obat, pasien

mengatakan ini adalah mondok yang pertama kalinya. Riwayat keperawatan

keluarga : pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita penyakit

seperti yang diderita oleh pasien, keluarga juga tidak ada yang menderita

penyakit menular seperti hepatitis, tuberkulosis paru, juga tidak ada yang

menderita penyakit menurun seperti tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.

Pengkajian pola fungsional : biologis pola oksigenasi : pasien sesak nafas,

batuk kadang dahak bisa keluar kadang tidak, warna kuning kental, batuk

tampak sulit, pernafasan teratur dan dangkal, terpasang O2 3 liter/menit. Pola

cairan dan elektrolit : pasien mendapat terapi cairan RL 20 tpm (2000 cc/hari),

pasien sehari minum ± 800 cc/hari. Pola nutrisi : sebelum sakit pasien makan 3

kali sehari dengan porsi sedang, dengan komposisi nasi, lauk, sayur, minum ±

1500 cc dalam sehari. Selama sakit : pasien makan 3 kali sehari habis ½ porsi

dari rumah sakit ± 10 sendok, minum ± 800 cc dalam sehari. Pola eliminasi :

sebelum sakit : pasien BAB 1 kali sehari dengan kebiasaan pada pagi hari

dengan konsistensi lembek, warna kuning, dan berbau amoniak, BAK : 5-6 kali

sehari dengan warna kuning jernih dan berbau amoniak, selama sakit : selama 2

hari di rumah sakit pasien belum BAB, BAK selama masuk di rumah sakit 5

kali. Pola keamanan dan kenyamanan : sebelum sakit : pasien tidak mengalami

26

Page 27: BAB I_Ria2

gangguan keamanan dan kenyamanan, pasien tinggal serumah bersama anaknya.

Selama sakit : pasien mengatakan aman dengan keadaannya saat ini, dan selama

di rumah sakit pasien ditunggui oleh keluarganya, pasien tidak nyaman dengan

sesak nafas dan batuknya saat ini. Pola personal hygiene : sebelum sakit : pasien

mandi 2 kali sehari, gosok gigi 2 kali sehari, keramas 2 kali seminggu, aktivitas

secara mandiri. Selama sakit : pasien mandi 2 kali sehari disibin oleh keluarga,

gosok gigi dibantu oleh keluarga, pasien bersih tidak berbau. Pola istirahat

tidur : sebelum sakit pasien tidur malam ± 7-8 jam sehari, tidur siang ± 1 jam

sehari, pasien tidak ada gangguan dalam pola istirahat tidur, dalam sehari pasien

istirahat ± 3 jam sehari, selama sakit : selama di rumah sakit pasien hanya

istirahat di tempat tidur, pasien mengatakan sulit tidur karena sesak nafas dan

batuknya, pasien tidur malam ± 3-4 jam tetapi sering terbangun dan tidak bisa

tidur siang, pasien posisi setengah duduk. Pola aktivitas dan latihan : sebelum

sakit pasien beraktivitas secara mandiri, selama sakit pasien dalam beraktivitas

dibantu oleh perawat dan keluarga. Pada konsep diri : gambaran diri : pasien

menerima dengan apa yang dimilikinya saat ini. Ideal diri : pasien berharap

sakitnya cepat sembuh dan cepat pulang; harga diri : pasien mengatakan tidak

mengalami gangguan dengan harga dirinya. Peran diri : pasien berperan sebagai

seorang istri dan ibu dari 8 orang anak. Identitas diri : pasien berjenis kelamin

perempuan dan beragama Islam. Pola seksual : pasien memiliki 8 orang anak,

sudah tidak haid sejak ± 30 tahun yang lalu pasien mengatakan tidak mengalami

gangguan reproduksi. Psikologis : pasien mengatakan tidak cemas dengan

keadaannya saat ini, pasien berharap ingin cepat sembuh. Sosial : pasien

27

Page 28: BAB I_Ria2

mengatakan interaksi dan hubungan antar anggota keluarga dan masyarakat

terjalin baik. Spiritual dan kultur : pasien mengatakan beragama Islam dan

menjalankan ibadah sesuai perintah agama dan tidak ada budaya yang

bertentangan dengan kesehatan. Pengetahuan : pasien mengatakan mengerti

dengan sakitnya setelah diberitahu oleh dokter dan perawat.

Pemeriksaan fisik : keadaan umum baik, kesadaran composmentis, tanda-

tanda vital : TD : 110/70 mmHg, S : 36,6°C, N :90 x/menit, RR : 28 x/menit.

Kepala : kulit kepala bersih, rambut panjang beruban, kepala tidak ada lesi.

Mata : konjungtiva an anemis, simetris, pupil isokor, sklera an ikterik. Hidung :

simetris, tidak ada sekret, tidak ada polip, terpasang O2 3 liter/menit. Telinga :

simetris, tidak ada serumen, bersih, fungsi pendengaran baik. Mulut : bersih,

tidak ada serumen, tidak ada gigi palsu. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar

tyroid. Thorak : inspeksi paru : pengembangan dada kanan sama dengan kiri,

palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri, perkusi : pekak, auskultasi :

ronkhi. Jantung : inspeksi jantung : ictus cordis tidak tampak, palpasi : ictus

cordis tidak kuat angkat, perkusi : batas jantung tidak melebar, auskultasi : bunyi

jantung I sama dengan bunyi jantung II. Abdomen : inspeksi : tidak ada lesi,

bersih, tidak ada asites, auskultaasi : bising usus 20 x/menit, palpasi : tidak ada

massa, tidak ada nyeri tekan, perkusi : tympani. Ekstremitas atas : pada tangan

kiri terpasang infus RL 20 tpm, ekstremitas atas tidak ada gangguan, tidak ada

oedem, tidak ada lesi ; bawah : tidak ada oedem, tidak ada lesi, dapat berfungsi

dengan baik. Genitourinaria : bersih, tidak terpasang DC. Kulit : integritas kulit

baik, tidak ada lesi, warna sawo matang.

28

Page 29: BAB I_Ria2

Pemeriksaan penunjang : hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 3 Juni

2008. Hematologi : leukosit 8000/mm3 (normal : 4000-11.000 /mm3),

hemoglobin 10,2 g/dl (normal : 11,5-16,5 g/dl), eritrosit 3,91 /mm3 (normal :

4,0-5,0 /mm3), hematokrit : 32 % (normal 37-43 %), trombosit 428.000 /mm3

(normal : 150.000-400.000 /mm3, LED 1 jam : 99 mm/jam (normal : 0-15

mm/jam). Hemogram : eosinofil 1 % (normal 1-3 %), basofil -% (normal 0-1

%), staf 2 % (normal 2-5 %), segmen 77 % (normal : 50-70 %), lymphosit 19 %

(normal 20-40 %), monosit 1 % (normal 2-6 %). Kimia darah : SGOT : 14 u/l

(normal < 31 u/l), SGPT 41 u/l (normal < 31 u/l), ureum 24,8 mg/dl (normal 10-

50 mg/dl), kreatinin 0,8 mg/dl (nomal 0,6-1,1 mg/dl), gula darah sewaktu 126,2

mg/dl (normal 70-115 mg/dl). Hasil pemeriksaan radiologi : pemeriksaan yang

diminta : thorax PA, hasil : thorax : radiologis KP duplek lama aktif dengan

pleural efusi dekstra; besar cor normal. Terapi : volequin 100 ml/12 jam, lasix 2

ml/12 jam, vitamin C 2 ml/12 jam, medixon 1 gr/8 jam, nebuliser atroven 10

tetes, berotec 10 tetes ditambahkan aquadest 2 cc, RL 20 tpm (2000 cc/hari),

theobion 3 x 1 sendok teh, O2 3 liter/menit, aminophilin kalau perlu.

B. Analisa Data dan Masalah Keperawatan

No Data Problem Etiologi

1. Data subyektif :

a. Pasien mengatakan sesak dan

batuk

Data obyektif :

a. RR : 28 x/menit, teratur dan

Ketidakefektifan

pola nafas

Penurunan ekspansi

paru

29

Page 30: BAB I_Ria2

No Data Problem Etiologi

dangkal.

b. Terpasang O2 3 liter/menit

c. Pasien dalam posisi setengah

duduk

I : Pengembangan dada kanan

sama dengan kiri

P : Fremitus raba kanan sama

dengan kiri

P : Pekak

A :Ronkhi

2. Data subyektif :

a. Pasien mengatakan dahaknya

kadang bisa keluar dan kadang

tidak bisa

b. Pasien mengatakan dahaknya

warna kuning kental

c. Pasien mengatakan sesak nafas

Data obyektif :

a. Terpasang O2 3 l/menit

b. Pasien tampak batuk dan dahak

sulit untuk dikeluarkan

c. RR : 28 x/menit

d.pemeriksaan fisik paru

didapatkan bunyi ronkhi

Ketidakefektifan

bersihan jalan

nafas

Penumpukan

sputum

3. Data subyektif :

a. Pasien mengatakan memiliki

Infeksi Tidak adekuatnya

imunitas

30

Page 31: BAB I_Ria2

No Data Problem Etiologi

riwayat merokok ± 10 tahun

b. Pasien mengatakan sakitnya

sejak ± 1 bulan yang lalu

Data obyektif :

Hasil pemeriksaan laboratorium :

a. LED 1 jam : 99 mm/jam, N :

0-15 mm/jam

b. Lymfosit : 19 %, N : 20-40 %

c. Monosit : 1 %, N : 2-6 %

d. SGOT : 45 u/l, N : < 31 u/l

e. SGPT : 41 u/l, N : < 31 u/l

4. Data subyektif :

a. Pasien mengatakan sulit tdur

karena sesak nafas dan batuk,

tidur malam ± 3-4 jam tapi

sering terbangun dan tidak bisa

tidur siang

Data obyektif :

a. TD : 110/70 mmHg

N : 90 x/menit

S : 36,6°C

RR : 28 x/menit

Gangguan pola

tidur

Sesak nafas dan

batuk

Berdasarkan kepada analisa data di atas maka urutan prioritas diagnosa

keperawatan adalah :

31

Page 32: BAB I_Ria2

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan

sputum.

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.

3. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas.

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk.

C. Intervensi Keperawatan, Implementasi, dan Evaluasi

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan

sputum.

Tujuan yang ditetapkan bersihan jalan nafas pasien kembali normal

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Kriteria hasil

yang diharapkan suara nafas normal (vesikuler, bronkovesikuler, bronkeal),

tidak ada sputum.

Rencana tindakan yang ditetapkan kaji bersihan jalan nafas, monitor

tanda-tanda vital, ajarkan fisioterapi dada, anjurkan untuk minum air hangat,

kolaborasi pemberian obat bronkodilator.

Implementasi : mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital,

mengajarkan batuk efektif, dan menganjurkan masukan cairan yang adekuat.

Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari,

subyektif : pasien mengatakan dahaknya keluar, obyektif : suara nafas ronkhi,

dahak kuning kental, assesment : masalah keperawatan bersihan jalan nafas

teratasi sebagian, planning : intervensi dilanjutkan dengan kolaborasi

pemberian bronkodilator.

32

Page 33: BAB I_Ria2

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan yang ditetapkan pola nafas pasien kembali normal setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Kriteria hasil yang

diharapkan respirasi normal 16-24 jam, pasien tidak sesak nafas.

Rencana tindakan yang ditetapkan kaji pola nafas dan tanda-tanda

vital, ajarkan teknik relaksasi dan nafas dalam, berikan posisi semi fowler,

berikan oksigen sesuai terapi, kolaborasi pemberian obat bronkodilator.

Implementasi : mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital,

memberikan posisi semi fowler.

Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari

subyektif : pasien mengatakan masih sesak nafas, obyektif : pasien dalam

posisi semifowler, pasien terpasang oksigen 3 liter/menit, assesment :

masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas teratasi sebagian.

Planning : lanjutkan intervensi dengan berikan oksigen 3 liter/menit, berikan

posisi yang nyaman, kolaborasi pemberian obat bronkodilator.

3. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas

Tujuan yang ditetapkan pasien tidak terjadi infeksi setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 2 x 24 am. Kriteria hasil yang diharapkan tidak

terjadi tanda-tanda infeksi (kemerahan, panas, nyeri, peradangan, perubahan

fungsi).

Rencana tindakan yang ditetapkan kaji tanda-tanda vital, kaji tanda-

tanda infeksi, lakukan pemeriksaan laboratorium rutin, anjurkan untuk

masukan nutrisi yang adekuat, anjurkan untuk banyak istirahat, kolaborasi

pemberian antibiotik.

33

Page 34: BAB I_Ria2

Implementasi : monitor tanda-tanda vital, mengobservasi hasil

laboratorium, menganjurkan untuk masukan nutrisi adekuat, menganjurkan

untuk banyak istirahat.

Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari,

subyektif : pasien mengatakan nyeri saat buang air kecil, pasien mengatakan

dahaknya berwarna kuning kental. Obyektif : -, assesment : intervensi

dilanjutkan dengan kolaborasi pemberian antibiotik, anjurkan untuk masukan

nutrisi yang adekuat, lakukan pemeriksaan laboratorium rutin.

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk.

Tujuan yang diharapkan : pasien tidak mengalami perubahan pola

tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Kriteria

hasil : pasien dapat tidur tanpa ada gangguan tidur.

Rencana tindakan yang diberikan kaji pola tidur pasien, berikan

lingkungan yang nyaman, hindari untuk tidak minum air hangat sebelum

tidur, berikan posisi semi fowler, batasi pengunjung.

Implementasi : mengkaji pola tidur, memberikan posisi semi fowler,

menganjurkan untuk menghindari minum air hangat sebelum tidur.

Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 hari,

subyektif : pasien mengatakan belum bisa tidur, obyektif : pasien tampak

duduk. Assesment : masalah keperawatan gangguan pola tidur belum teratasi,

planning : intervensi dilanjutkan dengan ciptakan lingkungan yang nyaman,

dan batasi pengunjung.

34

Page 35: BAB I_Ria2

BAB III

PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas diagnosa keperawatan yang muncul pada Ny. S

dengan PPOM setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam

berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul.

A. Masalah yang Muncul dalam Kasus

1. Ketidakefekfitan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan

sputum

Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah suatu kondisi atau keadaan di

mana individu mengalami ancaman pada kondisi pernafasannya berkaitan

dengan ketidakmampuan batuk secara efektif (Carpenito, 2000 : 799).

Hipertropi dan hiperplasia kelenjar mukosa akibat iritasi kronis menyebabkan

pembentukan lendir yang berlebihan dan kerusakan gerakan siliaris

menyebabkan penumpukan lendir mengakibatkan terganggunya jalan nafas

(Asih, 2004 : 101). Penyempitan saluran nafas ini terjadi karena hipertrofi dan

hiperplasia kelenjar mukus yang menyebabkan elastisitas paru berkurang

(Tambayong, 2000 : 05).

Diagnosa ini ditegakkan karena terdapat data yang mendukung

diantaranya pasien mengatakan batuk berdahak namun sulit keluar, warna

dahak kuning kental, pasien sesak nafas dengan respirasi rate 28 x/menit,

pasien terpasang O2 3 liter/menit. Pasien mengatakan batuk namun dahak sulit

keluar dan dari pemeriksaan fisik paru terdengar bunyi ronkhi dikarenakan

35

36

Page 36: BAB I_Ria2

hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukosa akibat iritasi kronis menyebabkan

pembentukan lendir. Lendir yang berlebih dan kerusakan gerakan siliaris

menyebabkan penumpukan lendir mengakibatkan terganggunya jalan nafas

(Asih, 2004 : 101). Pasien kesulitan bernafas karena adanya beberapa derajat

spasme bronkus (Doenges, 2000 : 156). Respirasi rate 28 x/menit di sini

respirasi rate tergolong tidak normal karena normalnya frekuensi pernafasan

tetap di bawah 20 x/menit pada aktivitas fisik dan 10 x/menit pada saat

istirahat merupakan salah satu hasil yang normal (Smeltzer, 2002 : 800).

Diagnosa ini dijadikan sebagai prioritas utama karena ini merupakan

situasi yang mengancam kehidupan dan memerluan tindakan segera

(Carpenito, 1999 : 128). Sedangkan menurut maslow kebutuhan oksigenasi

termasuk kebutuhan fisiologi yang terletak pada urutan pertama dan harus

segera ditangani.

Tujuan yang penulis tetapkan adalah ketidakefektifan bersihan jalan

nafas teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam.

Tindakan ini sangat penting agar sekret bisa keluar dan masalah pernapasan

tidak tersumbat atau terganggu membutuhkan waktu yang cukup sampai

pernafasan pasien kembali normal. Penulis hanya membatasi 2 x 24 jam,

diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah bersihan jalan

nafas teratasi dengan kriteria suara nafas normal (vesikuler, bronkovesikuler,

bronkial), sehingga tidak ada sputum.

Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah

ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah :

36

Page 37: BAB I_Ria2

a. Observasi jalan nafas. Auskultasi bunyi nafas digunakan untuk

mengetahui beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi

jalan nafas dan dapat atau tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas tidak

normal (Doenges, 2000 158).

b. Monitor tanda-tanda vital terutama respirasi rate untuk mengidentifikasi

indikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari yang diharapkan

(Engram, 1999 : 442).

c. Ajarkan batuk efektif yang bertujuan untuk menurunkan terjadinya infeksi

paru (Doenges, 2000 : 161).

d. Berikan masukan cairan yang banyak untuk hidrasi dan membantu

menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran, penggunaan

cairan hangat sangat menurunkan spasme bronkus (Doenges, 2000 : 156).

e. Berikan obat sesuai indikasi (bronkodilator)

Tindakan ini berkolaborasi dengan dokter yang dapat merilekskan otot

halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan nafas,

mengi dan produksi mukosa (Doenges, 2000 : 156).

Dari rencana tindakan yang sudah ditetapkan, tindakan yang dilakukan

yaitu mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, mengajarkan batuk

efektif dan menganjurkan masukan cairan yang adekuat. Tindakan tersebut

dapat terlaksana karena pasien dan keluarga mampu bekerjasama dan juga

tersedianya peralatan atau fasilitas dari rumah sakit. Untuk rencana tindakan

berikan obat sesuai indikasi (bronkodilator) tidak dapat dilaksanakan karena

keterbatasan waktu untuk melakukan tindakan.

37

Page 38: BAB I_Ria2

Hasil observasi proses yang didapatkan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1 shift jaga yaitu pasien mengatakan dahaknya keluar,

warna kuning kental, suara nafas vesikuler, dan dari data tersebut dapat

disimpulkan masalah teratasi sebagian karena belum sesuai dengan apa yang

diharapkan sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu kolaborasi

pemberian obat sesuai indikasi (bronkodilator).

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Pola nafas tidak efektif adalah suatu kondisi di mana individu

mengalami aktual atau potensial tidak adekuatnya ventilasi berhubungan

dengan perubahan pola nafas (Carpenito, 1998 : 802). Keterbatasan ekspansi

total paru-paru, volume statis paru berkurang atau menghilang sebagai akibat

penurunan kompliance paru atau thoraks (Potter, 2005 : 1155).

Diagnosa ini ditegakkan karena terdapat data yang mendukung

diantaranya pasien mengatakan sesak nafas dan batuk, pernafasan teratur dan

dangkal, respirasi rate 28 x/menit, terpasang oksigen 3 liter/menit, pasien

dalam posisi setengah duduk dari pemeriksaan fisik paru didapatkan perkusi :

pekek dan auskultasi : ronkhi, pasien mengatakan sesak nafas, penyebab sesak

nafas ini adalah berkurangnya volume paru, juga berkurangnya elastisitas paru

serta terhambatnya ekspansi paru (Danusanto, 2000 : 7). Penulis akan

menambahkan data yang mendukung yang belum terdokumentasi pada analisa

data yaitu perubahan nadi (frekuensi, irama dan kualitas), ortopnea, takipnea,

hipernea, hiperventilasi, irama pernafasan tidak teratur, pernafasan yang berat

(Carpenito, 1998 : 802).

38

Page 39: BAB I_Ria2

Berdasarkan data-data di atas penulis memprioritaskan diagnosa ini

sebagai diagnosa yang kedua, karena setelah ketidakefektifan pola nafas tidak

terjadi dan urutan prioritas menurut Doenges et all (2000 : 153)

ketidakefektifan pola nafas diatasi setelah jalan nafas teratasi, agar pernafasan

tidak terganggu dan pasien dapat bernafas.

Tujuan yang penulis tetapkan adalah ketidakefektifan pola nafas teratasi

setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam. Tindakan ini sangat

penting karena jika terjadi gangguan pola nafas maka akan terjadi gangguan

dalam ventilasi. Penulis hanya membatasi 2 x 24 jam, diharapkan setelah

dilakukan tindakan keperawatan masalah pola nafas teratasi dengan kriteria

hasil pasien tidak sesak nafas dan respirasi normal 16-24 x/menit.

Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah

ketidakefektifan pola nafas adalah :

a. Observasi pola nafas : observasi pola nafas berguna dalam evaluasi

derajat distress pernafasan dan atau kronisnya proses penyakit (Doenges,

2000 : 158).

b. Monitor tanda-tanda vital terutama respirasi rate untuk mengidentifikasi

indikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan

(Engram, 1999 : 442).

c. Berikan posisi semi fowler, duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru

dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulasi

meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga

memperbaiki difusi gas (Doenges, 1999 : 178).

39

Page 40: BAB I_Ria2

d. Berikan oksigenasi sesuai terapi : memaksimalkan bernapas dan

menurunkan kerja napas.

e. Kolaborasi pemberian obat (humidifikasi tambahan misal nebuliser) yang

memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu

pengenceran sekret untuk memudahkan pembersihan (Doenges, 1999 :

178).

Dari rencana tindakan yang sudah ditetapkan, tindakan yang dilakukan

yaitu mengkaji pola nafas, monitor tanda-tanda vital, memberikan posisi semi

fowler. Tindakan tersebut bisa terlaksana karena pasien dan keluarga

kooperatif dan adanya partisipasi dari perawat ruangan. Untuk rencana

tindakan berikan oksigen sesuai terapi, dan kolaborasi pemberian obat tidak

dilaksanakan karena oksigen sudah terpasang dan pemberian obat

bronkodilator diberikan tiap 8 jam yaitu 13.00, 21.00 dan 05.00 WIB.

Hasil evaluasi proses yang didapatkan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 1 shift jaga yaitu pasien mengatakan masih sesak nafas.

Pasien dalam posisi semi fowler dan terpasang oksigen 3 liter/menit dan dari

data tersebut dapat disimpulkan masalah teratasi sebagian karena belum sesuai

dengan apa yang diharapkan sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu

berikan oksigen 3 liter/menit, berikan posisi yang nyaman dan kolaborasi

pemberian obat bronkodilator.

3. Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas

Di sini penulis melakukan pembenaran pada problem diagnosa ketiga

yaitu resiko tinggi infeksi karena diagnosa infeksi merupakan diagnosa

40

Page 41: BAB I_Ria2

potensial komplikasi (NANDA, 2001-2002 : 510, dan dari data ditemukan

pasien mengatakan memiliki riwayat merokok ± 10 tahun, sakitnya sejak ± 1

bulan yang lalu, dari hasil pemeriksaan laboratorium LED 1 jam = 99 mm/jam

mengalami peningkatan, karena angka normalnya 0-15 mm/jam, lymfosit dan

monosit di bawah angka normal. Lymfosit 19 %, normalnya 20-40 %,

monosit 1 % normalnya 2-6 %, SGOT dan SGPT juga mengalami

peningkatan SGOT 45 u/L yang normalnya < 31 u/L, SGPT 41 u/L yang

normalnya < 31 u/L. Kemungkinan SGOT meningkat karena infark miokard

akut, ensefalitis, nekrosis hepar, penyakit dan trauma muskuloskeletal,

pankreatitis akut, eklamsi, obat antibiotik, narkotik dan vitamin antihipertensi.

SGPT meningkat karena hepatitis virus akut, hepatotoksisitas, obat antibiotik,

narkotik (Kee, J.L., 1998 : 7). Pada Ny. S mungkin terjadi gangguan hati yang

menyebabkan nilai SGOT dan SGPT meningkat.

Pada resume keperawatan diagnosa resiko tinggi infeksi berhubungan

dengan tidak adekuatnya imunitas menjadi diagnosa ketiga karena infeksi

adalah keadaan di mana seorang individu beresiko terserang oleh agen

patogenik atau oportunistik (virus, jamur, bakteri, protozoa atau parasit lain)

dari sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen dan eksogen.

NANDA (2001-2001 : 520 berpendapat bahwa resiko tinggi infeksi

adalah resiko bertambahnya sekumpulan organisme patogen. Masalah ini

muncul pada Ny. S karena adanya tempat masuknya organisme sekunder

terhadap adanya jalur infasif. Potter (2005 : 1157) berpendapat bahwa pasien

41

Page 42: BAB I_Ria2

di rumah sakit rentan untuk terkena infeksi dari pada orang sehat sehingga

mereka mudah terkena mikroorganisme patogen di lingkungan rumah sakit.

Tujuan yang penulis tetapkan adalah tidak terjadi infeksi setelah

dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Tindakan ini juga penting

karena apabila masalah ini tidak dicegah akan terjadi infeksi. Penulis hanya

membatasi 2 x 24 jam, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan

tidak terjadi tandat-tanda infeksi (kemerahan, panas, nyeri, peradangan,

perubahan fungsi).

Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut

adalah :

a. Observasi tanda-tanda vital terutama suhu untuk mengidentifikasi ke arah

kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan (Engram, 1998 :

38).

b. Observasi tanda-tanda infeksi. Terapi glukortikoid, disfungsi ginjal, hati,

penyakit neoplastik, penyakit jantung reumatik, disfungsi katub, dan

diabetes melitus dapat mencetuskan septicsemia. Menyadari terhadap

infeksi ditukarkan akan memberikan informasi untuk melakukan tindakan

protektif (Doenges, 2000 881).

c. Observasi hasil laboratorium, terutama leukosit karena peningkatan

leukosit dapat menyebabkan infeksi (Doenges, 2000 : 673).

d. Anjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat. Malnutrisi dapat

mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap

infeksi (Doenges, 1999 : 161).

42

Page 43: BAB I_Ria2

e. Anjurkan untuk banyak istirahat. Menurunkan konsumsi atau kebutuhan

keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap

infeksi, meningkatkan penyembuhan (Doenges, 1999 : 161).

f. Kolaborasi pemberian antibiotik yang bertujuan untuk membasmi atau

memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum atau penyakit

khusus (Doenges, 2000 : 875).

Dari rencana tindakan keperawatan di atas, tindakan yang sudah

dilakukan yaitu memonitor tanda-tanda vital, mengobservasi hasil

laboratorium, menganjurkan untuk masukan nutrisi adekuat, menganjurkan

untuk masukan nutrisi adekuat menganjurkan untuk banyak istirahat.

Tindakan tersebut bisa terlaksana karena pasien atau fasilitas rumah sakit.

Untuk rencana tindakan kolaborasi pemberian antibiotik tidak dilaksanakan

karena keterbatasan waktu untuk melaksanakan tindakan. Selain rencana

tindakan di atas dilakukan tindakan kolaborasi pemberian vitamin C karena

salah satu fungsinya dapat meningkatkan daya tahan tubuh (Enggram, 1998 :

39).

Hasil evaluasi proses dari masalah tersebut dari pelaksanaan selama 1

shift jaga yaitu pasien mengatakan nyeri saat buang air kecil dan dahak

berwarna kuning kental. Dari data tersebut dapat disimpulkan masalah infeksi

belum teratasi sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu kolaborasi

pemberian antibiotik, anjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat, lakukan

pemeriksaan laboratorium rutin.

43

Page 44: BAB I_Ria2

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk

Di sini penulis melakukan pembenaran pada etiologi diagnosa keempat

yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas

Gangguan pola tidur adalah suatu keadaan di mana individu mengalami

atau mempunyai resiko mengalami perubahan dalam jumlah dan kualitas pola

istirahat yang menyebabkan ketidaknyaman atau mengganggu gaya hidup

yang diinginkan (Carpenito, 1999 : 909). Cemas adalah perasaan gelisah yang

tidak jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon autonom

(sumber tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan

keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan

peringatan adanya ancaman yang akan datang dan memungkinkan individu

untuk mengambil langkah untuk menyetujui terhadap tindakan (NANDA,

2001-2002 : 27).

Diagnosa ini muncul pada Ny. S karena pasien mengatakan sulit tidur

karena sesak nafas dan batuk, tidur malam ± 3-4 jam tapi sering terbangun

dan tidak bisa tidur siang, dari pemeriksaan didapatkan tekanan darah : 110/70

mmHg, nadi : 90 x/menit, suhu : 36,6°C, respirasi rate : 28 x/menit. Penulis

juga menambahkan dari data yang belum tertulis yaitu pasien mengatakan

cemas dengan keadaan saat ini.

Tujuan yang penulis tetapkan adalah gangguan pola tidur teratasi

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Tindakan ini juga

penting agar pola tidur tidak terganggu, dan membutuhkan waktu yang cukup

sampai kebutuhan tidur terpenuhi. Penulis hanya membatasi 3 x 24 jam

44

Page 45: BAB I_Ria2

diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat tidur tanpa

ada gangguan tidur.

Rencana tindakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tersebut

adalah :

a. Kaji pola tidur pasien. Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi

yang tepat (Doenges, 1999 : 930).

b. Berikan lingkungan yang nyaman. Meningkatkan kenyamanan tidur serta

dukungan fisiologis atau psikologis (Doenges, 1999 : 930).

c. Anjurkan menghindari pemberian cairan panas atau dingin menjelang

tidur. Tindakan ini membantu mencegah rangsang batuk dan gangguan

tidur (Carpenito, 1999 : 116).

d. Berikan posisi semi fowler. Hal ini dapat meningkatnya relaksasi dan

tidur dengan memberi ruang pada paru-paru maka lebih besar

pengembangan melalui penurunan tekanan maka lebih besar

pengembangan melalui penurunan tekanan ke atas organ-organ abnormal

(Carpenito, 1999 : 116).

e. Batasi pengunjung. Memberikan situasi kondisi untuk tidur (Carpenito,

1999 : 116).

Dari rencana tindakan yang sudah ditetapkan, tindakan yang dapat

dilakukan yaitu mengkaji pola tidur, memberikan posisi semi fowler,

menganjurkan untuk menghindari minum air hangat sebelum tidur. Tindakan

tersebut bisa terlaksana karena pasien dan keluarga kooperatif dan adanya

peran serta perawat ruangan yang membantu. Rencana tindakan yang belum

45

Page 46: BAB I_Ria2

dilakukan adalah berikan lingkungan yang nyaman dan batasi pengunjung,

karena adanya keterbatasan waktu.

Hasil evaluasi proses dari masalah tersebut dari pelaksanaan selama 1

shift jaga yaitu pasien mengatakan belum bisa tidur, pasien tampak duduk.

Dari data tersebut dapat disimpulkan masalah gangguan pola tidur belum

teratasi sehingga rencana tindakan dipertahankan yaitu ciptakan lingkungan

yang nyaman dan batasi pengunjung.

46

Page 47: BAB I_Ria2

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah penulis memberikan asuhan keperawatan pada Ny. S dengan PPOM

di ruang Multazam RS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan menggunakan

metode pendekatan proses keperawatan kemudian mengadakan pembahasan, maka

berdasarkan uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan serta memberikan saran

sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Pada pasien dengan PPOM yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan

nafas karena penumpukan sekret. Setelah diajarkan batuk efektif pasien dapat

meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret yang akan mencegah resiko

terjadinya infeksi paru. Bisa juga memberikan minum air hangat yang

adekuat untuk mengencerkan kekentalan sekret dan mempermudah

pengeluaran selain itu juga memberikan obat mukolitik untuk pengencer

dahak.

2. Pada pasien dengan PPOM yang mengalami ketidakefektifan pola nafas

karena penurunan ekspansi paru setelah dilakukan perubahan posisi semi

fowler, dengan duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan

pernafasan. Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan pengisian udara

segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.

3. Pada pasien dengan PPOM yang mengalami resiko tinggi infeksi karena tidak

adekuatnya imunitas setelah dianjurkan untuk masukan nutrisi yang adekuat.

47

48

Page 48: BAB I_Ria2

Malnutri dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan

terhadap infeksi dan setelah dianjurkan untuk banyak istirahat dan dapat

menurunkan konsumsi atau kebutuhan keseimbangan oksigen dan

memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan

penyembuhan.

4. Pada pasien dengan PPOM yang mengalami gangguan pola tidur karena

sesak nafas dan batuk. Setelah dianjurkan untuk menghindari pemberian

cairan panas atau dingin menjelang tidur. Tindakan ini membantu mencegah

rangsang batuk dan gangguan tidur dan setelah diberikan posisi semi fowler

dapat meningkatkan relaksasi dan tidur dengan memberi ruang pada paru-

paru maka lebih besar pengembangan melalui penurunan tekanan ke atas

organ-organ abnormal,dan perlu adanya penjelesan tentang proses penyakit

untuk menurunkan kecemasan yang dialami oleh pasien.

5. Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan proses keperawatan pada Ny. S

ialah diberikannya izin dari lahan pratek serta kerjasama yang baik antara

pasien, keluarga, tim kesehatan lain sehingga penulis dapat melaksanakan

asuhan keperawatan dengan baik.

6. Selain faktor pendukung yang menjadi faktor penghambat ialah adanya

keterbatasan sarana dan prasarana serta keterbatasan waktu dalam melakukan

asuhan keperawatan.

B. Saran

48

Page 49: BAB I_Ria2

Berdasarkan hasil-hasil di atas penulis memberikan saran pada perawat

bangsal antara lain :

1. Perlu adanya peningkatan dalam penjelasan dan menganjurkan minum air

hangat yang adekuat supaya sekret kental menjadi encer dan mudah untuk

keluar dan untuk mencegah resiko terjadiya infeksi paru, selain itu perawat

harus teratur dalam pemberian obat mukolitik.

2. Perlu meningkatkan dalam pemeriksaan diagnostik pada Ny. S dengan kasus

PPOM. Kelengkapan pemeriksaan diagnostik sangat penting, baik pada saat

pasien datang maupun pemeriksaan rutin perhari, seharusnya pemeriksaan

diagnostik dilakukan lengkap sesuai penyakit dan kondisi pasien agar dapat

ditegakkan diagnosa medis keperawatan yang pasti, pemeriksaan diagnostik

juga dapat dilakukan untuk memantau perkembangan penyakit pasien jika

terdapat komplikasi. Untuk mencapai hal tersebut tim perawat bisa

mengusulkan untuk pemeriksaan diagnostik secara lengkap serta tindakan

kolaboratif lain yang dilakukan secara interdisiplin.

49