bab i,ii,iii.iv,v-aan-edited-ok

46
Makalah Pribadi Pendekatan Diagnostik pada Pasien Proteinuria Disusun Oleh : Aan Anjarwati 1006755941 Pembimbing Dr. Bambang Setiyohadi, Sp.PD - KR MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA NOVEMBER 2010

Upload: aananjarwati

Post on 27-Jun-2015

514 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

Makalah Pribadi

Pendekatan Diagnostik

pada Pasien Proteinuria

Disusun Oleh :

Aan Anjarwati

1006755941

Pembimbing

Dr. Bambang Setiyohadi, Sp.PD - KR

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

NOVEMBER 2010

Page 2: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

ii

Page 3: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

iii

Page 4: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

iv

DAFTAR ISI

Halaman orisinalitas ii

Lembar Persetujuan iii

Daftar Isi iv

Bab 1 Pendahuluan 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Proteinuria 5

2.2 Patofisiologi Proteinuria 5

2.3 Proteinuria Patologis 8

2.4 Proteinuria Tubular 10

2.5 Proteinuria Isolasi 12

2.6 Cara mengukur protein di dalam urin 14

Bab 3 Ilustrasi Kasus 20

Bab 4 Pembahasan 22

Bab 5 Kesimpulan 24

Daftar Pustaka 25

Page 5: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai

normalnya lebih dari 150 mg/24 jam atau 140 mg/m2 pada anak-anak1. Metode yang paling

sering digunakan untuk mengetahui adanya proteinuria adalah dengan protein dipstik.

Meskipun tes dipstik sangat efektif dan simpel, sensitivitasnya tidak terlalu baik.2

Pemeriksaan lebih pasti proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio

protein pagi/kreatinin (mg/gr).1

Sejumlah protein ditemukan pada urin pada pemeriksaan rutin, baik tanpa gejala,

ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang

serius. Penelitian yang dilakukan oleh Projosudjadi dkk tentang deteksi dan pencegahan

penyakit ginjal kronik di Indonesia, dari 9412 subjek penelitian 64,1% adalah wanita, yang

mengalami persisten proteinuria sebanyak 3%.3

Pada penelitian ATRIA (Anticoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrilation)yang

dilakukan dengan kriteria inklusi pasien di atas usia 18 tahun didiagnosis dengan AF

nonvalvular. Hasil penelitian tersebut berkesimpulan bahwa penyakit ginjal kronik dapat

meningkatkan risiko tromboembolisme pada atrial fibrilasi secara independen dari faktor

risiko yang lain. Level fungsi ginjal dapat diketahui dengan adanya proteinuria (pemeriksaan

urin dipstik) yang akan mengubah risiko tingkatan untuk pengambilan keputusan pada

penggunaan terapi antitrombotik untuk mencegah stroke pada AF.9

Jika proteinuria persisten, penyakit sistemik harus disingkirkan dan proteinuria harus

dievaluasi untuk menentukan adanya potensi ke arah proses insufisiensi ginjal. Observasi,

pemeriksaan lanjut, dan bila perlu dirujuk kepada ahli nefrologi. Diagnosis yang tepat dari

proteinuria akan membantu kita mengarahkan kepada pengobatan berdasarkan etiologi

penyakit yang mendasari.

Page 6: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

2

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pendekatan diagnosis pasien dengan proteinuria?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan umum:

Mengetahui diagnosis dini dan tatalaksana proteinuria ?

1.3.2. Tujuan khusus:

Mengetahui diagnosis dini proteinuria

Mengetahui cara pencegahan proteinuria

Mengetahui tatalaksana proteinuria

Page 7: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proteinuria1,2

Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai

normalnya lebih dari 150 mg/24 jam atau 140 mg/m2 pada anak-anak. Dalam keadaan

normal, protein bisa terdapat di dalam urin sampai dengan sejumlah tertentu yang masih

dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap

fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mg/hari (pada anak-anak 140 mg/m2), tetapi ada

juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih dari 200 mg/hari.

Sejumlah protein ditemukan pada urin pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala,

ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang

serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk menentukan penyebab/penyakit dasarnya. Adanya prevalensi proteinuria yang

ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,5%.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari pada

beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria

persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya

hanya sedikit di atas nilai normal. Sedangkan dikatakan proteinuria masif bila terdapat

protein di urin melebihi 3400 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri dari albumin.

2.2. Patofisiologi proteinuria1,2

Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 cara di bawah ini :

1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein

plasma normal terutama albumin.

Dalam keadaan normal, albumin adalah komponen minor dari protein urin, tetapi dapat

meningkat pada keadaan penyakit glomerular. Baik ukuran dan bentuk molekul protein

menentukan apakah dapat difiltrasi oleh glomerulus. Dinding kapiler glomerulus

mengandung celah fungsional yang mencapai membran basal gromerular, yang akan

menghalangi molekul besar tetapi dapat dilewati oleh molekul kecil. Selanjutnya, baik sel

endotel kapiler dan membran basal glomerular mempunyai muatan negatif terhadap

Page 8: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

4

polianion seperti heparan sulfate proteoglycans. Muatan negatif ini memberikan hambatan

untuk anion misalnya albumin.

Tabel1. Nilai normal untuk ekskresi protein2

Kategori Nilai (mg/24jam)

Ekskresi Protein Total

Nilai normal pada dewasa <150

Proteinuria ≥150

Batas proteinuria-neftorik >3500

Ekskresi Albumin

Ekskresi albumin normal 2-30

Microalbuminuria 30-300

Macroalbuminuria >300

Sumber : Kashif, Waqar. Proteinuria : How to evaluate an important finding. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/117853-print . Diakses 16 November 2010

Proteinuria biasanya mencerminkan adanya peningkatan permeabilitas glomerular, tetapi

sejumlah kceil protein dalam urin mungkin diakibatkan oleh penyakit tubular.

2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi.

Reabsobsi tubular tidak adekuat dalam memfiltrasi sejumlah protein yang terjadi pada

penyakit tubulointerstisial. Protein kecil seperti beta-2 mikroglobulin, rantai berat

immunoglobulin, retinal binding protein dan asam amino melewati membran glomerular

tetapi normalnya dapat direabsorbsi dari tubulus proksimal.

3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasli normal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam

jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus.

4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (Imunoglobulin A)

dalam respons untuk inflamasi.

Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas

pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati

kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus

mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya

untuk menembus dinding glomerulus. Akan tetapi jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran

Page 9: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

5

protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal)

secara bebas di saring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal

ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin sekitar 30 mg/hari; sisa

protein pada urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall, Imunoglobulin A dan

Urokinase) atau adanya sejumlah kecil β-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim-enzim dan

hormon-hormon pepti da.

Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel

maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap

protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari epitel/podosit akan memungkinkan

lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini

ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang

bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi transpor molekul

anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change

menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin

selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang

berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau

proteinuria bermakna.

Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria

abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada

diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi

monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat

dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat

dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan-kelainan

yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila

ekskresi protein urin total melebihi 3,5 garm sehari, sering dihubungkan dengan

hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5

gram ini dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa

penyakit ginjal yang lain.

2.3. Proteinuria patologis1

Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada

penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik

Page 10: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

6

dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ada ditemukan proteinuria.

Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar dari penyakit ginjal dan merupakan

indikator dari perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes, maupun sebagai

suatu faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas

kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Kita mengenal 3

macam proteinuria yang patologis. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, terutama

pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari 3 gram/24

jam pada dewasa atau 40 mg/m2/jam pada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna

dengan lesi/kebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi

3, gram/24 jam.

Penyebab proteinuria masif ini sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang

cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-penyakit glomerulus. Terdapat 3 proteinuria

patologis : 1). Proteinuria glomerulus, misalnya mikroalbuminuria, protein klinis; 2).

Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria.

2.3.1 Proteinuria glomerulus1, 12

Banyak proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin

adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein

dengan berat molekul rendah ditemukan hanya pada sejumlah kecil saja.

Dua faktor urama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat :

1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang dipengaruhi glomerulus, protein plasma,

terutama albumin, mengalami kebocoran pada filtrat glomerulus pada sejumlah kapasitas

tubulus yang berlebihan yang menyebabkan proteinuria. Pada penyakit glomerulus dikenal

penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah.

Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa,

terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler

glomerulus/traksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan

difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik dinding kapiler

glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadang-

kadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif.

Proteinuria ini terjadi akibat kebocoran glomerulus yang berhubungan dengan

kenaikan permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein. Selain itu terjadi defek

Page 11: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

7

pada ketiga lapisan gromerular seperti membran basal glomerulus, podosit atau endotelium

yang menyebabkan proteinuria.

2.3.1.1 Mikroalbuminuria1,7

Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mg/hari. Bila albumin di urin

antara 30-300 mg/hari atau 30-350 mg/hari disebut mikroalbuminuria.

Pada studi epidemiologi, mengatakan tes albuminuria dan protein sebagai indikator

penyakit ginjal, kardiovaskular dan risiko mortalitas dalam populasi umum. Dimana albumin

mungkin dapat digunakan untuk skrining penyakit ginjal dan kardiovaskular.

Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial, dan beberapa penyakit

glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif mesangial difus). Mikroalbuminuria

merupakan suatu marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal

ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik.

Tes yang sesuai untuk mendeteksi albumin dalam urin harus dapat mengidentifikai

rasio ekskresi albumin dalam urin yang dapat memprediksi gejala nefropati. Dari riwayat

perjalanan studi yang dilakukan pada sekelompok pasien berkesimpulan bahwa peningkatan

ekskresi albumin adalah prediktor kuat dari gejala klinik nefropati. Pada setiap studi,

sensitivitas dan spesifisitas dari tes menggunakan metode retrospektif pada level cutoff yang

akan memberikan hasil positif pada setiap perkembangan yaitu rasio ekskresi albumin

dalam urin >200 µg/menit atau proteinura positif dengan dipstik setelah observasi kira-kira 6

sampai 14 tahun.7

Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal,

tetapi berguna juga sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya

dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien-pasien dengan risiko penyakit

kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh

proteksi/perlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu

para dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya,

kadar abnormalnya, dan berapa kadar terendah yang harus kita capai. Peningkatan ekskresi

albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum.

Albuminuria dapat dipakai sebagai “alat yang berharga” untuk menentukan risiko

perkembangan lebih lanjut gagal gagal ginjal, tanpa dipengaruhi adanya faktor-faktor risiko

lain kardiovaskular. Sehingga peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan

Page 12: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

8

penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan

epidemiologi pada negara-negara sangat berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan

II, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis

mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah

karena adanya disfungsi endotel yang luas.

2.3.1.2 Proteinuria Klinis1

Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semikuantitatif misalnya dengan uji

Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan antara 1-5 g/hari.

2.4.2. Proteinuria tubular1

2.4.2.1 Tubular proteinuria

Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg

perhari, terdiri dari β-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit-penyakit

yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah renal tubular acidosis (RTA),

sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, akibat cangkok ginjal.

2.4.3. Overflow Proteinuria

Pada diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel) berhubungan dengan sejumlah

besar ekskresi rantai pendek/protein berat molekul rendah (kurang dari 4000 dalton) berupa

Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik/yang

umumnya mendeteksi albumin/pemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus.

Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit-penyakit lain yang sering

menimbulkan protein Bence Jones ini adalah amiloidosis dan makroglobinemia. Protein

berat molekul rendah ini/rantai ringan ini dihasilkan dari kelainan-kelainan yang disaring

oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat

tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones)

dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat , karena protein Bence Jones

mengendap pada suhu 45o dan larut kembali pada suhu 95-100o. Gagal ginjal dari kelainan-

kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan

deposit rantai pendek.

Page 13: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

9

2.5. Proteinuria Isolasi1

Yang dikatakan dengan proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan

dalam pemeriksaan rutin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan

fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria hampir selalu ditemukan secara kebetulan,

bisa menetap/persisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi

lordotik dari tubuh pasien. Biasanya sedimen urinnya normal, dengan pemeriksaan pencitraan

ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat

gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 g/hari. Data

insidens dan prevalensi proteinuria isolasi ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana,

belum ada. Yang jelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,6-10,7 %.

Proteinuria terisolasi ini dibagi ke dalam 2 kategori : 1). Jinak, termasuk disini yang

fungsional, idiopatik, transien/tidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius

lagi, adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.

2.5.1. Proteinuria isolasi jinak1,13

2.5.1.1 Proteinuria fungsional

Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang di rawat di

Rumah Sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam yang tinggi,

latihan sternosus, terpapar dengan dingin/kedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif,

sindrom obstruksi sleep apnoe, dan penyakit-penyakit akut lainnya. Sebagai contoh : ekskresi

protein meningkat 2-3 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat.

Sebenarnya, kunci dari keadaan ini bahwa proteinuria tidak tampak dengan segera.

Proteinuria tersebut adalah jenis/tipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan

hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal

yang progresif tidak timbul pada pasien-pasien ini.

2.5.1.2 Proteinuria Transien idiopatik

Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anak-anak dan dewasa muda, yang

ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang

kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien-pasiennya tidak mempunyai

gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama

pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya

Page 14: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

10

merupakan fenomena fisiologis yang normal pada orang-orang muda. Sebenarnya, jika

contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan

menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan

keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut.

2.5.1.3 Proteinuria intermiten1,2

Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti

penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas

ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi

minor pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis

pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah

beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan

risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini

biasanya tidak berbahaya pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang

lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan

fungsi ginjalnya.

2.5.1.4 Proteinuria Ortostatik (Postural)1,8

Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi

tegak daripada pasien dalam posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein

tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik. Dengan perkataan lain,

pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang

ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring.

Ini merujuk pada posisi tegak/ortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari hampir selalu di

bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan).

Penelitian pada orang dewasa yang mempunyai proteinuria postural adalah proses

benigna tetapi data yang sama tidak ada pada anak-anak.8 Proteinuria ortostatik sering pada

usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas

usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase penyembuhan dari berbagai penyakit

glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik transien. Hasil

biopsi pada pasien-pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak

adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai

Page 15: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

11

proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada sisa pasien

20%, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow

up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada

kebanyakan kasus. Kurang lebih 15% kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang

10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara

persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak

ditemukan lebih tinggi daripada populasi umum. Studi yang kecil melaporkan tidak adanya

bukti dari insufiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria

ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara mendetil tidak mempunyai bukti nyata

ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal,

penebalan dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau hiperselular mesangial

fokal. Hasil mikroskop elektron menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan

matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewarnaan

imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi.

Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaklah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah

pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi

filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non

ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan

mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada pasien secara

teratur ( tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika

proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi

harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius.

Page 16: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

12

Tabel 2. Klasifikasi Penyebab Proteinuria2

Isolasi

TransientFunctionalPersistentPostural

Terkait penyakit (renal or sistemik)

Non-nephrotic–range proteinuria (< 3.5 g/24 hours)Mild glomerular diseaseTubulointerstitial diseaseAcute tubular necrosisHypertensionCollagen vascular diseasesMultiple myelomaBacterial endocarditisNephrotic-range proteinuria (> 3.5 g/24 hours)Primary glomerulopathiesMinimal change diseaseMembranous glomerulonephritisFocal-segmental glomerulonephritis

Immunoglobulin A nephropathyMembranoproliferative glomerulonephritisSecondary glomerulopathiesAcute poststreptococcal glomerulonephritisMalignancyDrugs (gold, nonsteroidal anti-inflammatory drugs, heroin,penicillamine)Infections (human immunodeficiency virus; hepatitis A, B, C)ObesityReflux nephropathy

Sumber : Kashif, Waqar. Proteinuria : How to evaluate an important finding. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/117853-print . Diakses 16 November 2010

2.5.2. Proteinuria terisolasi yang menetap/persisten

Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit

keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjal/penyakit sistemik

yang menjadi penyebabnya.

a. Jika ditemukan tanda-tanda/gejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi

ginjal untuk mencari kausa.

Page 17: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

13

b. Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dua/tiga kali,

1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transein atau

fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang.

2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin

dan klirens kreatinin, ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG (ultrasonografi) ginjal

dan tes protein ortostatik/postural.

Jika fungsi ginjal/hasil USG tidak normal, kembali ke Ia.

Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan

tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali :

a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman/penuntun proteinuria (IVB)

b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten : ikuti follow up berikutnya.

Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein

urin 24 jam 2-3 x untuk menyingkirkan proteinuria intermiten.

a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda umur kurang dari 30 tahun, harud di-

follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow

up tiap 6 bulan.

b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria.

1. Jika proteinuria <3 gram/24 jam, perlu dikonfirmasi dengan imaging ginjal yang

cukup untuk menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan

penyakit ginjal polikistik.

2. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk

menyingkirkan multipel mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap

6 bulan.

3. Jika proteinuria lebih dari 3 gram/24 jam, lanjutkan ke-I A.

2.6. Cara mengukur protein di dalam urin1

Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan

bermakna. Metode dengan dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil

positif palsu bila pH>7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi dengan darah.

Sedangkan urin yang sangat encer menutupi adanya proteinuria pada pemeriksaan dipstik.

Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi

negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menetukan protein Bence Jones pada urin

pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar

Page 18: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

14

seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini,

dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur

mikroalbuminuria (30-300 mg/hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus

yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini. Derajat

proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung dari mekanisme jejas pada ginjal yang

berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler

glomerulus, tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektifitas dinding glomerulus

mencegah transportasi albumin, globulin, dan protein dengan berat molekul besar lainnya

untuk menembus dinding glomerulus. Akan tetapi, jika sawar ini, terdapat kebocoran protein

plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus).

Page 19: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

15

Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria

Sumber : Bawazier, Lucky A. Proteinuria. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi

IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 519-23.

ProteinuriaDeteksi dengan dipstik

Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan mikroskopis urin

Bukti penyakit ginjal/sistemik

TIDAK ADA

Ulang Dipstik 2-3 x

ADA

ProteinuriaTransien/Fungsional

Tes Fungsi Ginjal :USG dan Ekskresi protein postural

Fungsi ginjal dan USG : Normal

Fungsi ginjal dan USG : Abnormal

ProteinuriaOrtostastik/Postural

Proteinuria Non Ortostastik

Test-test lain (-)Follow up tiap 1-2 thn

Perbaikan Proteinuria/Proteinuria Intermitten

Proteinuria Ortostastik

Proteinuria Persisten

Follow upTiap 1-2 thn

Ulang urin kuantitatif 2-3 kali

Proteinuria Intermitten

Proteinuria Persisten

Follow uptiap 1-2 thn

<30 tahun >30 tahun

Follow upTiap 6 bulan

Diagnosis

Page 20: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

16

Proteinuria yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi

kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari

protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari; sisanya protein pada urin akan disekresi

oleh tubulus (Tamm Horsfall, Imnuglobulin A dan urokinase) atau adanya sejumlah kecil β-2

mikroglobulin, apoprotein, enzim-enzim dan hormon-hormon peptida.

Dalam keadaan normal glomerulus endotel membentuk barier yang menghalangi sel

maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap

protein besar (>100 kDal) sementara foot processes dari epitel atau podosit akan

memungkinkan lewatnya air dan solut kecil untuk transport melalui saluran yang sempit.

Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, asam partat, dan asam

sialat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif ini akan menghalangi

transport molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit

perubahan minimal menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi

kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran

basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria

non selektif atau proteinuria bermakna.

Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria adalah produksi yang terjadinya

berlebihan dari protein abnormal yang melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Hal ini biasanya

sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (multipel mieloma dan limfoma) yang

dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel

plasma (multipel mieloma) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek

di urin, yang mana tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini

dihasilkan kelainan-kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya

pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 g sehari, sering

dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Sindrom Nefrotik) akan

tetapi ekskresi melebihi 3,5 g ini dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom

nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.

Page 21: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

17

Skema evaluasi proteinuria

Sumber : Bawazier, Lucky A. Proteinuria. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi

IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 519-23.

Pemeriksaan Urin DipstikProteinuria

Ekskresi protein 24 jamAtau rasio protein urin pagi (mg/g)

30-300 mg/hariAtau

30-350 mg/g

300-3500 mg/hariAtau

300-3500 mg/g

>3500 mg/hariAtau

>3500 mg/g

Mikroalbuminuria

Pertimbangkan :- Awal Diabetes Melitus - Hipertensi esensial- Staging/tingkat awal glomerulonefritis

Silinder eritrosit/sel-sel darah merah pada urinalisis

Sebagai tambahan kelainan di bawah ini pada mikroalbuminuria :- Proteinuria intermiten - Proteinuria postural - Gagal jantung kongestif- Demam- Latihan/exercise

Sindrom nefrotik - Diabetes - Amiloidosis - Penyakit Lesi minimal- FSGS (Fokal Segmental Glomerulosklerosis)- Glomerulonefritis membranosa- MPGN (Membranoproliferatif Glomerulonefritis)

Bagan Hematuria

Elektroforesis protein urin

Glomerulus

Selektif(Terutama albumin)- Penyakit lesi minimal

Non Selektif(menggambarkan semua protein plasma)- FSGS- Diabetes

Tubulus- Tamm Horsfall- β mikroglobulin

Protein abnormalRantai pendek

(k atau λ)

Page 22: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

18

Keterangan skema

Pendekatan pasien dengan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria sering diawalin dengan

pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional

mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300

mg/hari. Akan tetapi, pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein

urin 24 jam atau rasio protein pagi/kreatinin (mg/gr).

Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari

glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung pada asal protein urin.

Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Protein tubular

seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang

abnormal seperti rantai ringan/pendek kappa/lambda telah siap disaring karena ukurannya

yang kecil.

FSGS : Fokal Segmental Glomerulosklerosis

MPGN : Membranoproliferatif glomerulonefritis

Page 23: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

19

BAB III

ILUSTRASI KASUS

Wanita 29 tahun datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 3 hari sebelum

masuk Rumah Sakit. Sejak 15 bulan sebelum masuk Rumah Sakit (sekitar bulan Juni 2009)

saat pasien hamil anak kedua, pasien di rawat di lantai 6 RSCM dengan keluhan bengkak

seluruh badan. Sehabis melahirkan bengkak membaik. Pasien dapat beraktivitas seperti biasa,

demam disangkal. Saat di rawat, dikatakan pasien menderita penyakit sindrom nefrotik dan

harus kontrol teratur ke poli ginjal RSCM.

Sejak 4 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengalami keluhan yang sama,

berupa bengkak di lengan, kaki, muka, buang air kecil (BAK) mengalami masalah, berobat

ke poli ginjal, setelah minum obat, keluhan berkurang.

Sejak 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, pasien mengeluh sesak napas yang

memberat. Sesak napas dirasakan saat beraktivitas, tidur lebih nyaman dengan 3 bantal,

kadang malam hari terbangun karena sesak, pasien hanya dapat berjalan sekitar 100 meter,

keluhan buang air kecil seperti kencing berwarna teh, nyeri saat berkemih, dan produksi urin

sedikit disangkal. Buang air besar mencret, warna kehitaman, bercampur darah juga

disangkal. Kemudian pasien di rawat selama 2 minggu di RSCM lantai 6. Obat yang

diberikan pada saat pulang adalah 1 muran 2x50 mg, prednison 1x60 mg (sudah diminum

rutin selama 7 bulan), Covet D3 3x1 tab, captopril 3x25 mg, Omeprazol 2x0,4 mg.

Sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien merasakan sesak yang semakin

memberat, pasien tidak dapat berjalan, hanya dapat berbaring. Sesak napas tidak disertai

napas yang berbunyi, nyeri dada disangkal, muntah/batuk darah (-), batuk (-), demam (-).

Tidur lebih nyaman dengan posisi setengah duduk, sering terbangun karena sesak, terdapat

bengkak yang ditemukan di tungkai dan muka, perut membesar. Keluhan mual dan muntah

disangkal. Saat masuk ruang rawat, sesak dan bengkak berkurang.

Riwayat hipertensi selama hamil anak kedua. Tekanan darah sistolik bisa sampai

180 mmHg. Berat badan anak-anaknya pada saat lahir tidak normal (bayi kecil). Setelah lahir,

tekanan darah turun dan membaik. Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, alergi

obat/makanan, riwayat maag, riwayat sakit kuning, riwayat minum jamu, minum alkohol,

IVDU, dan sex bebas disangkal. Pada keluarga terdapat hipertensi pada ibu pasien, diabetes

mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, asma, disangkal oleh pasien.

Page 24: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

20

Dalam pemeriksaan fisik, ditemukan kesadaran pasien compos mentis, TD 130/90

mmHg, suhu 37,5 °C, nadi 88 x/menit, pernapasan 24 x/menit. Tinggi badan 140 cm dan

berat badan 40 kg, sehingga IMT pasien 20,41 kg/m2. Konjungtiva pucat, JVP 5+0 cmH2O.

Pada auskultasi paru ditemukan rhonki basah halus di seluruh lapang paru. Abdomen pasien

lemas, perut kanan tegang, nyeri tekan epigastrium dan hipogastrium, hati teraba 2 jari di

bawah arcus costae dan 2 jari di bawah pusat, nyeri tekan (+), tepi tumpul, permukaan rata.

Limpa tidak teraba.

EKG pasien (18 Oktober 2010) berada dalam batas normal. Foto rontgen thorax

pasien (18 Oktober 2010) menunjukkan corakan bronkovesikuler pada kedua paru

meningkat dengan tanda-tanda kranialisasi, tampak cairan di fisura minor. Kesan dari

pemeriksaan foto thorax adalah sesuai dengan tanda-tanda bendungan paru.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 18 Oktober menunjukkan trombositosis

(trombosit = 426.000 /µL), hiponatremia (Na+ = 128 pada 13 Agustus dan meningkat hingga

133,12 pada 16 Agustus), hipoalbuminuria (Albumin = 1,1 g/dL pada 18 Oktober), dan

peningkatan kadar kreatinin (Kreatinin darah = 1,6 mg/dL). Urinalisis pada 15 Agustus

menunjukkan warna agak keruh, hematuria (+2), proteinuria (+3), leukosituria (6-8/LPB).

Pasien didiagnosis dengan sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia, hipertensi

grade II dengan hipertension heart disease (HHD), riwayat edema pulmoner, Acute Kidney

Injury (AKI), dan hiperlipidemia. Pasien diberikan oksigen 3 liter/menit nasal kanul jika

sesak, furosemid 2x20 mg (IV), prednison 2 mg/kg/hari diberikan dosis tunggal (5-0-0),

simvastatin 1x10 mg, balans cairan -300 cc/hari, restriksi cairan max 1000 cc/hari, diet

albumin, captopril 3x25 mg, ascardia 1x80 mg.

.

Page 25: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

21

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis sindrom nefrotik pada pasien dilakukan melalui pendekatan diagnostik

yaitu dengan mengevaluasi kadar protein dalam urin dengan dipstik. Hasil urinalisis pasien

didapatkan proteinuria. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler

terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Derajat proteinuria dan komposisi protein

pada urin tergantung dari mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein.

Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki

urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin

dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Akan

tetapi jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria

glomerulus). 1,2,10,11

Jika ditemukan proteinuria dengan pemeriksaan dipstik maka dilakukan pemeriksaan

kuantitatif urin 24 jam. Pada pasien protein urin 24 jam didapatkan hasil 11.000 mg/24 jam.

Tingginya hasil protein urin 24 jam menunjukkan adanya gromerulonefritis. Pada sindrom

nefrotik lebih dari 85% adalah proteinuria albumin yang termasuk proteinuria selektif. Untuk

mengetahui jenis proteinuria perlu dilakukan pemeriksaan mikroskop elektron. Selain itu, ada

juga pemeriksaan elektroforesis protein urin untuk mengetahui bentuk proteinuria

(glomerulus, tubular, atau abnoral tergantung pada asal urin). Sayangnya pada pasien tidak

dilakukan pemeriksaan elektroforesis protein urin karena dana pasien yang terbatas.1,2

Setelah diperiksa protein urin 24 jam, perlu dilakukan USG abdomen. USG dapat

memberikan keterangan tentang ukuran, bentuk, letak dan struktur anatomi dalam ginjal.

Pada pasien sindrom neftorik mempunyai potensi untuk timbul gagal ginjal akut Adanya

gagal ginjal dapat dilihat dengan USG abdomen. Hasil USG abdomen pada pasien

memberikan gambaran korteks yang hiperekoik yang merupakan gambaran khas pada gagal

ginjal. Mekanisme gagal ginjal akut pada pasien yaitu terjadinya edema internal yang

menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Untuk menentukan penyebab sindrom nefrotik

apakah karena glomerulonefritis primer atau sekunder perlu dilakukan biopsi ginjal. Dari

anamnesis, faktor risiko penyebab sekunder dapat disingkirkan (seperti pemakaian narkoba,

hepatitis virus B dan C, sifilis, TBC, keganasan, pemakaian obat-obatan disangkal). Hal ini

terbukti dari hasil yang non reaktif pada pemeriksaan HbsAg dan anti HCV. Pada pasien

Page 26: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

22

telah dilakukan biopsi ginjal, tertulis kesimpulan yang menyatakan biopsi hanya mengandung

1-2 glomerulus sehingga sukar dinilai. Walaupun hasil biopsi mengatakan hal tersebut,

diagnosis ke arah sindrom nefrotik masih dapat ditegakkan. Karena adanya manifestasi klinik

yang khas pada pasien seperti edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan

hiperkolesterolemia.

Rendahnya kadar albumin pada pasien berhubungan dengan sindrom nefrotik.

Hipoalbuminemia pada pasien disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan

tekanan onkotik plasma. Adanya hipoalbuminemia menurut teori underfill menyebabkan

penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan

interstisium dan terjadi edema pada pasien. Edema pada pasien juga disebabkan oleh retensi

natrium (teori overfill). Retensi natrium pada ginjal menyebabkan cairan ekstravaskular

meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal

juga menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan

pada pasien sindrom nefrotik.6,11

Pada pasien terjadi peningkatan kolesterol total yang disebabkan oleh meningkatnya

LDL, lipoptotein utama pengangkut kolesterol. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi

akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun..6

Proteinuria masif adalah prediktor dari proses cepat gagal ginjal. Hubungan ini sangat

berkaitan sebab-akibat, sehingga penurunan proteinuria adalah tujuan utama terapi. Ada 3

intervensi untuk menurunkan proteinuria yaitu dengan ACE inhibitors, NSAID, dan diet

rendah protein.11

Pada pasien diberikan obat diuretik golongan furosemid 2x20 mg (IV), untuk

meningkatkan pengeluaran natrium dan air. Selain dengan cara farmakologi, edema juga

dapat ditatalaksana non farmakologi yaitu dengan balans cairan -300 cc/hari dan restriksi

cairan max 1000 cc/hari. Kemudian prednison 2 mg/kg/hari diberikan dosis tunggal (5-0-0),

untuk menekan gejala inflamasi. Golongan statin (Simvastatin 1x10 mg) diberikan untik

menurukan trigliserida yang disebabkan oleh peningkatan VLDL. Hipertensi pada pasien

diterapi dengan captopril 3x25 mg dan untuk mengatasi hipoalbuminemia diberikan diet

albumin.

.

Page 27: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

23

BAB V

KESIMPULAN

Wanita 29 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 3 hari

sebelum masuk Rumah Sakit. Bengkak di seluruh tubuh, terdapat paroxysmal nocturnal

dyspneu (PND), dyspneu on effort (DOE) dan ortopnoe. Dirawat dengan diagnosis edema

pulmonder dengan sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia, hipertensi grade II dengan

hipertension heart disease (HHD), Acute Kidney Injury (AKI), dan pemanjangan APTT.

Tatalaksana yang diberikan di ruang rawat yaitu oksigen 3 liter/menit nasal kanul jika

sesak, furosemid 2x20 mg (IV), prednison 2 mg/kg/hari, , simvastatin 1x10 mg, balans cairan

-300 cc/hari, restriksi cairan max 1000 cc/hari, diet albumin, captopril 3x25 mg.

Dengan demikian, usaha pendekatan pasien secara diagnostik dengan menelusuri

adanya proteinuria. Adapaun pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pasien yaitu

pengukuran urin secara dipstik, pengukuran urin 24 jam, USG abdomen dan biopsi ginjal.

Ditambah dengan informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setelah memeriksa hal

tersebut, proteinuria yang terjadi pada pasien dapat diketahui diagnosisnya yaitu diagnosis

sindrom nefrotik.

Page 28: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Bawazier, Lucky A. Proteinuria. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.

Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 519-23.

2. Kashif, Waqar. Proteinuria : How to evaluate an important finding. In : Cleveland Clinic

Journal of Medicine. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/117853-print .

Diakses pada tanggal 16 November 2010.

3. Projosudjadi dkk. Deteksi dan Pencegahan Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia. Diakses

tanggal16 November 2010. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/237378-

print .

4. Harun, Sjaharuddin. Nasution, Sally. Edema Paru Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit

Dalam Jilid III Edisi IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD,

2006. h. 1651-53.

5. Effendi, Ian. Pasaribu, Restu. Edema Patofisiologi dan Penanganannya. Dalam: Buku Ajar

Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen IPD, 2006. h. 515-518.

6. Prodjosujadi, Wiguno. Sindrom nefrotik. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III Edisi

IV. Editor: Sudoyo, AW. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD, 2006. h. 558-560.

7. Stephenson, J. Should we be screening for early diabetic renal disease?. Journal of

Epidemiology and Community Health.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1060753/pdf/jepicomh00216-0003.pdf

Diakses tanggal 23 November 2010

8. Bergstein, Jerry M. A practical approach to protenuria. In : Practical Pediatric Nephrology.

http://www.springerlink.com/content/rq8x3xjte8w8xlfj. Diakses pada tanggal 23

November 2010.

9. Go, Alan S, Fang, Margaret C, etc. Impact of Proteinuria and Glomerular Filtration Rate

on Risk of Tromboembolism in Atrial Fibrilation : The Anticoagulation nd Risk Factors in

Atrial Fibrilation (ATRIA) Study. In : Circulation Journal of The American Heart

Page 29: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

25

Association. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/119/10/1363. Diakses pada tanggal 23

November 2010.

10. Atkins, Robert C, Briganti, Esther M, Zimmet, Paul Z. etc. Association between

Albuminuria and Proteinuria in the General Population : The AusDiab Study. In :

Nephrology dialysis Transplant. Dinduh dari :

http://ndt.oxfordjournals.org/content/18/10/2170.full.pdf+html. Diakses pada tanggal 23

November 2010.

11. Orth, Stephan., Ritz, Eberhard. The Nephrotic Syndrome. In : The New England Journal

of Medicine. Diunduh dari :

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199804233381707. Diakses pada tanggal 2

November 2010.

12. Haraldsson, Borje. Nystrom, Jenny. Deen, William M. Properties of the Gromerular

Barrier and Mechanisms of Proteinuria. Diunduh dari :

http://physrev.physiology.org/cgi/reprint/88/2/451. Diakses pada tanggal 6 Desember

2010.

13. Herbert, Lee A., R.N., Charleston, etc. Proteinuria. In : National Kidney and Urologic

Disease Information Clearinghouse. Diunduh dari :

http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/pdf/proteinuria.pdf. Diakses pada tanggal 6

Desember 2010.

Page 30: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

26

LAMPIRAN

Hasil pemeriksaan laboratorium:

Page 31: bab I,II,III.IV,V-aan-edited-OK

27

Nilai Normal 18/10 21/10 23/10

Hb 13 – 16 g/dl 12 12,4

Ht 20 – 40 % 37 39,1

Leukosit 5.000 – 10.000/ul 9.000 11.600(↑)

Trombosit 150.000 – 400.000/ul 426.000(↑) 432.000(↑)

Eritrosit 4.5 – 5.3 juta/ul 4,64

MCV 82 – 92 fl 81 84,3

MCH 25 – 35 pg 27 26,7(↓)

MCHC 32 – 36 g/dl 33 31,7(↓)

Diff Count Rutin dan hitung jenis

Basofil 0-1% 0,1

Eosinofil 1-3% 0,1(↓)

Netrofil batang 2-3%

Netrofil 50-70% 84,2 (↑)

Limfosit 20-40% 14,7(↓)

Monosit 2-8% 0,9(↓)

Laju Endap Darah

0-10 mm 95 (↑)

Hemostasis

Masa Pendarahan IVY

1,00-6,00 menit 2 menit

Masa Pembekuan Les White

10-15 menit 12 menit

Jumlah Retikulosit

Absolut 25.000-75.000/uL

Relatif 0,50-2,00%

KIMIA DARAH

Ureum darah 10-50 mg/dl 22 32

Kreatinin 0.5 – 1.5 mg/dl 1,6 (↑) 0,70

Bersihan Kreatinin