bab iii penelusuran konteks: potret soya dan …

46
83 BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN KEKRISTENAN Setelah dilakukan penelusuran teori dan konsep terkait pada bab II ~yang dapat diandaikan sebagai “sebuah teks sandaran”~, maka pada bagian ini penulis memperhadapkan penelusuran tentang Soya dan Kekristenan sebagai sebuah “konteks realita”, yang melaluinya fenomena habitusnya dapat dicandrai, khususnya terhadap Soya dengan sejarahnya, geografis dan demografisnya, tatanan adatinya, maupun dalam perjumpaannya dengan Kekristenan di masa lampau hingga kini. III.1. Potret Sekilas Tentang Soya Penelusuran terhadap konteks Soya ini akan ditempatkan dalam bingkai potret sekilas perihal Sejarah Negeri, Kondisi Geografis dan Demografis, serta Sistim Pemerintahan dan Tatanan Adati yang diwariskan dan berlaku di Soya hingga kini. III.1.1. Sejarah Negeri 1 Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan kehadiran Soya di masa “pra-sejarah”, yang berawal dari cerita 1 Deskripsi tentang sejarah negeri Soya ini penulis kompilasikan dari beberapa sumber dokumenter maupun literatur ilmiah, antara lain : (1) John L. Rehatta, Negeri Soya dan Adat Cuci Negeri: Sebuah Mozaik Budaya Maluku (Pemerintah Negeri Soya, tanpa tempat dan tahun penerbit); (2) Disertasinya Dieter Bartels, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku – Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I dan II (Jakarta: Gramedia,2017). Diterjemahkan dari versi Inggrisnya, “In the Shadow of Mount Nunusaku: A Sosio-cultural History of the Central Moluccas”; (3) Tesis Magisternya Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa Sosio-Budaya Terhadap Upacara Adat Cuci Negeri di Soya dalam Upaya Berteologi Secara Kontekstual (Salatiga: PPSAM UKSW, 2000), Tidak diterbitkan; (3) Tesis Magisternya Jenne Pieter, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013. Selain itu, rujukannya pada hasil riset dan wawancara yang penulis lakukan sendiri terhadap narasumber [bapa Raja Rido Rehatta dan Kepala Soa Adat, opa Wa Huwa’a (88 tahun), dan Bapak Ateng Huwa’a (seorang informan yang dipandang cukup menguasai sejarah dan budaya Soya)], sejak tahun 2014 hingga kuartal pertama tahun 2018.

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

83

BAB III

PENELUSURAN KONTEKS:

POTRET SOYA DAN KEKRISTENAN

Setelah dilakukan penelusuran teori dan konsep terkait

pada bab II ~yang dapat diandaikan sebagai “sebuah teks

sandaran”~, maka pada bagian ini penulis memperhadapkan

penelusuran tentang Soya dan Kekristenan sebagai sebuah

“konteks realita”, yang melaluinya fenomena habitusnya dapat

dicandrai, khususnya terhadap Soya dengan sejarahnya, geografis

dan demografisnya, tatanan adatinya, maupun dalam

perjumpaannya dengan Kekristenan di masa lampau hingga kini.

III.1. Potret Sekilas Tentang Soya

Penelusuran terhadap konteks Soya ini akan ditempatkan

dalam bingkai potret sekilas perihal Sejarah Negeri, Kondisi

Geografis dan Demografis, serta Sistim Pemerintahan dan Tatanan

Adati yang diwariskan dan berlaku di Soya hingga kini.

III.1.1. Sejarah Negeri1

Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri

Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan

kehadiran Soya di masa “pra-sejarah”, yang berawal dari cerita

1 Deskripsi tentang sejarah negeri Soya ini penulis kompilasikan dari beberapa

sumber dokumenter maupun literatur ilmiah, antara lain : (1) John L. Rehatta, Negeri Soya dan Adat Cuci Negeri: Sebuah Mozaik Budaya Maluku (Pemerintah Negeri Soya, tanpa tempat dan tahun penerbit); (2) Disertasinya Dieter Bartels, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku – Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I dan II (Jakarta: Gramedia,2017). Diterjemahkan dari versi Inggrisnya, “In the Shadow of Mount Nunusaku: A Sosio-cultural History of the Central Moluccas”; (3) Tesis Magisternya Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa Sosio-Budaya Terhadap Upacara Adat Cuci Negeri di Soya dalam Upaya Berteologi Secara Kontekstual (Salatiga: PPSAM UKSW, 2000), Tidak diterbitkan; (3) Tesis Magisternya Jenne Pieter, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013. Selain itu, rujukannya pada hasil riset dan wawancara yang penulis lakukan sendiri terhadap narasumber [bapa Raja Rido Rehatta dan Kepala Soa Adat, opa Wa Huwa’a (88 tahun), dan Bapak Ateng Huwa’a (seorang informan yang dipandang cukup menguasai sejarah dan budaya Soya)], sejak tahun 2014 hingga kuartal pertama tahun 2018.

Page 2: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

84 Religiositas Ambon-Kristen …

migrasi sekelompok orang Alifuru dari pulau Seram. Khususnya

bagi kelompok “Soya mula-mula”, menurut penuturan lisan para

leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi2, dituturkan

bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri (lokasi tinggal) di

kawasan Sawai Seram Utara yang bernama “Soya” juga. Sementara

penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara,

ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.

Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang

keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat di luar, termasuk ke

wilayah pulau Ambon dan Lease, dikonstatir bahwa para

penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan

menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang

masih sangat sederhana, yang disebut gosepa atau rakit.

Menurut tradisi sejarah lisan, manusia “Soya awal”, yang

termasuk dalam salah satu kelompok migran “manusia perahu”

tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini

melalui 3 (tiga) gelombang “perahu”, lalu menetap di negeri Soya,

membentuk clan baru, dan yang kemudian memilih nama tempat

kediamannya yang baru tersebut, sama dengan nama tempat

asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai tanda dan peringatan,

tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka

datang.3

Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya

dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu soa

sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan

kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam

urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi

dalam disertasinya tersebut, sebagaimana yang tampak pada

gambar III.1 di bawah ini. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan

tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu

megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama

2 Sebagaimana yang disampaikan pula oleh bapa raja Soya sekarang, Rido Rehatta,

kepada penulis. 3 Bartels, Di Bawah....,465. Bandingkan John L. Rehatta, Negeri Soya...,1.

Page 3: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 85

Samurele.4 Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi

manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai

peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut:

“ Perahu batu soa pertama sekaligus dengan tingkat yang tertinggi, yang menjadi soa raja, berada terpisah di sebelah kanan, ketika memasuki alun-alun. Kedua perahu batu lainnya berdampingan di sisi yang berlawanan, dengan soa kedua di sebelah kanan dan yang ketiga di sebelah kiri.... Di tempat itu dilakukan dewan musyawarah kampung di mana orang-orang yang berkedudukan tinggi dari setiap soa akan duduk di perahu masing-masing, sementara pejabat dari dua soa rendah menghadapi batu perahu raja....Batu-batu lainnya yang turut membentuk perahu melambangkan peringkat masing-masing kelompok. Dengan demikian perahu yang pertama, batu yang di tengah sekaligus yang terbesar, adalah tempat kedudukan raja, Sri Mahu. Batu di belakangnya adalah tempat kedudukan istrinya, Peri Ina. Batu yang ada di haluan perahu, milik mata rumah Huwa’a, yang punya tingkat kepangkatan lebih tinggi daripada mata rumah Pesulima dengan batu di buritan perahu. Raja berasal dari pulau Jawa. Setelah menetap untuk sementara di Lessidi, Hoamoal, dia terus berlayar ke pulau Ambon dengan dua kora-kora (perahu p) yang juga memuat anggota mata rumah Huwaa dan Pesulima yang telah bergabung dengan kelompoknya di Lessidi. Pertama-tama mereka mendiami kampung yang disebut Kamuala, berlokasi di antara Hatu dan Laha di sisi Leihitu Teluk Ambon. Namun akibat epidemi penyakit kulit yang berat, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan membangun tempat baru yang berlokasi di hutan-hutan sagu Honipopu dekat Amantelo, yang merupakan daerah kekuasaan Soya. Akhirnya, Patih Soya mengajak mereka pindah ke Soya di mana Sri Mahu menjadi

4 Bartels, 465.

Page 4: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

86 Religiositas Ambon-Kristen …

raja yang memimpin Soya dalam pepan dengan musuh bebuyutannya, kampung tetangga Ema.... Demikian pula, soa yang kedua memiliki lima tempat duduk dan soa yang ketiga tiga tempat duduk, semuanya mewakili berbagai mata rumah di dalam masyarakat perahu asli mereka.”5

Gambar III.1. Ilustrasi Bartels Tentang Tempat Suci di Soya

dan Posisi Urutan Kedatangan Perahu Soa di Negeri

Soya6

Dalam perkembangan selanjutnya, Soya berkembang

menjadi salah satu dari beberapa kerajaan yang besar di kawasan

pulau Ambon saat itu,7 dengan membawahi sembilan negeri kecil,

yaitu:8

5 Ibid, 465. 6 Ibid, 464. Hal yang patut dikritisi dari pernyataan Bartels bahwa tempat (batu

teung) Rulimena telah diabaikan dan tidak berarti, justru saat ini telah menjadi tempat persinggahan yang penting dan bermakna dalam alur tahapan ritual Cuci Negeri Soya. Sebab setelah “matawana” semalam suntuk di puncak Sirimau, rombongan justru disambut tepat di wilayah teung Rulimena, sebagai perwujudan penerimaan orang basudara dan sekaligus sukacita perayaan kemenangan (keberhasilan) pengekangan diri di puncak Sirimau melalui aktifitas puasa tidur dan makan.

7 Selain kerajaan Soya, ada kerajaan Nusaniwe, dan juga kerajaan Hitu (Hitumessing). 8 Disusun berdasarkan urutan abjad dan sekaligus dibuat padanan lokasinya di masa

sekarang ini.

Page 5: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 87

(1) Ahuseng, dipimpin oleh “Orang Kaya”, lokasi sekarang di

kawasan Kayu Putih;

(2) Amantelu (artinya Kampung Tiga), negeri yang dipimpin

oleh seorang “Patih”, yang saat ini lokasinya dekat Karang

Panjang;

(3) Eraang, dipimpin oleh “Orang Kaya”, dan letak sekarang di

belakang negeri Soya. Kata berasal dari nama “ Tapinalu”

(di Huamual, Seram Barat);

(4) Haumalamang, dipimpin oleh seorang “Patih”, namun

letaknya belum dapat dipastikan. Diperkirakan sekarang

ini leokasinya di negeri Baru dekat kawasan Air Besar;

(5) Hatuela (artinya Batu Besar), dipimpin oleh “Orang Kaya”,

dan lokasinya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang

ini;

(6) Honipopu, suatu negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”

dan lokasi sekarang di kawasan Kantor Walikota Ambon;

(7) Pera, dipimpin oleh “Orang Kaya”, yang letaknya sekarang

di negeri Soya (induk);

(8) Sohia, negeri tempat kedudukan raja, letaknya sekarang di

antara gunung Sirimau dan gunung Horil.

(9) Uritetu (yang artinya Di Balik Bukit), suatu negeri yang

diperintah oleh “Orang Kaya” dan lokasi sekarang di sekitar

kawasan bekas hotel Anggrek.

Bahkan, sebelum membawahi 9 (sembilan) negeri tersebut,

dan juga sebelum kedatangan Portugis di Maluku, kerajaan Soya

pun telah mewujudkan kedaulatannya yang luas hingga meliputi

antara lain: wilayah Teluk Ambon sampai ke Passo, wilayah pesisir

pantai Timur sampai Selatan Jazirah Leitimor, di bawah

pemerintahan seorang raja yang saat itu dikenal dengan sebutan

“Latu Selemau”. Konon, sang raja dengan panglima perangnya yang

terkenal, “Kapitang Hauluang”, dibantu oleh kapitang-kapitang

kecil sebagai kepala pasukan tombak, panah, dan parang salawaku

dengan kekuatan 300 orang prajurit yang didukung oleh kurang

lebih 1000 orang rakyat, siap untuk berhadapan dengan musuh

Page 6: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

88 Religiositas Ambon-Kristen …

siapapun, yang mencoba-coba mengusik kedaulatan kerajaan Soya.

Kendati memiliki kekuatan tempur dan potensi kerajaan yang

cukup lumayan, namun dalam perkembangan kemudian, 2 dari 9

negeri yang bernaung di bawah kekuasaan kerajaan Soya tersebut,

yakni negeri Hatuela dan negeri Haumalang, terhapus

keberadaannya, akibat dari penyan Portugis ke Soya pada tahun

1572 dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada tahun

1824.

Patut dicatat pula, bahwa menelusuri asal-usul negeri Soya,

sesungguhnya tidak mungkin untuk mengabaikan fakta historis

tentang kepentingan politik dan ekonomi-perdagangan yang

melatari kepentingan saat itu, selain tentunya ada faktor agama

pula. Hal mana terwujud melalui hubungan dagang kerajaan Soya

dengan Hitu, Ternate, dan Tidore, bahkan dengan raja-raja Goa di

Sulawesi serta juga dari pulau Jawa, sebagaimana yang terjadi

pada akhir abad ke-14 di masa kerajaan Majapahit. Adapun sisa-

sisa bukti peninggalan sejarah dan pengaruh interaksi Soya

dengan pelbagai kekuasaan dan kepentingan lain di luar Soya, baik

dari Barat maupun dari kerajaan-kerajaan Nusantara ~sebagai

upaya untuk melengkapi penelusuran terhadap asal-usul negeri

Soya~ dapat terlihat pada beberapa benda, simbol, bahasa, artefak,

dan bukti sejarah lainnya yang masih terpakai atau tersimpan

hingga saat ini. Penelusuran yang lebih khusus dan jelas tentang

hal-hal tersebut akan dibahas dalam Bab IV.

III.1.2. Kondisi Geografis dan Demografis

Secara administratif, negeri Soya sekarang berada pada

wilayah kecamatan Sirimau, kota Ambon, provinsi Maluku.

Sementara dari kondisi geografisnya, Soya terletak pada

ketinggian sekitar 464 meter di atas permukaan laut, dan berada

pada wilayah pegunungan Sirimau yang terletak sekitar 6 Km dari

pusat kota Ambon. Berada pada posisi yang cukup tinggi,

menyebabkan suhu udara di Soya berkisar antara 20˚ - 30˚ C.

Dengan luas batas petuanan Soya sekitar 5.969 ha

(tergolong salah satu negeri terluas dari negeri-negeri lainnya di

Page 7: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 89

jazirah Leitimor9), maka posisi geografis negeri Soya saat ini

menempati lokasi yang berbatasan dengannya, sebagai berikut:

Sebelah Utara : Petuanan Negeri Halong dan Negeri Passo

dari Kecamatan

Teluk Ambon Baguala serta Negeri Batu

Merah, Keluarahan Waihoka, Kelurahan

Batu Meja dari Kecamatan Sirimau.

Sebelah Timur : Petuanan Negeri Hutumuri dan Negeri

Leahari dari Kecamatan Leitimur Selatan.

Sebelah Selatan : Petuanan Negeri Hatalai, Naku, Kilang dan

Ema dari Kecamatan Leitimur Selatan.

Sebelah Barat : Petuanan Negeri Urimessing dari

Kecamatan Nusaniwe.

Bila dilihat dari kondisi topografis, negeri Soya bercirikan

negeri yang berbukit-bukit, dengan tingkat kesuburan tanah dan

keanekaragaman hayati yang tinggi, karena ditopang dengan curah

hujan yang cukup tinggi pula. Dengan tanah yang subur dan

sumber mata air yang jernih10, maka Soya dimungkinkan untuk

memiliki sumber daya alami yang kaya dengan aneka hasil hutan

produktif seperti Damar,11 Cengkeh (syzygium aromaticum), Pala

(myristica fragrans), Kelapa (cocos nucifera), Pohon Aren

(mayang), Rotan, dan anekaragam tanaman serta buah-buahan

9 Di Pulau Ambon, yang mencakup dua wilayah administratif (Kota Ambon dan

Kabupaten Maluku Tengah), sejak lama dikenal adanya pembagian 2 (dua) jazirah atau semenanjung, yaitu: (1) jazirah Leihitu, yang meliputi negeri-negeri seperti Allang, Liliboi, Hatu, Laha, Tawiri, Hatiwe Besar, Hitu, Mamala, Morela dan negeri lainnya di kawasan Kecamatan Leihitu, dan (2) jazirah Leitimor, yang meliputi negeri-negeri seperti Latuhalat, Seilale, Eri, Amahusu, Soya, Ema, Kilang, Naku, Hukurila, Hutumuri dan lainnya.

10 Menurut informasi dari bapak Brury Pesulima (Sekretaris Negeri), berdasarkan hasil riset laboratorium pada beberapa tahun terakhir ini, terbukti bahwa air yang berasal dari sumber mata air Soya, sama sekali tidak memiliki pengendapan, atau memenuhi kualifikasi baku mutu air.

11 Kendati jenis pohon Damar ini telah menjadi ikon pada lambang bendera negeri Soya, namun dari data faktual diakui bahwa sekarang ini, jumlah pohon Damar di Soya sudah sangat langka dibandingkan dengan jenis tanaman pepohonan lainnya. Bila merujuk pada data Statistik negeri Soya pada tahun 1997 saja, sudah terlihat bahwa jenis tanaman pohon Damar tidak diperhitungkan sebagai salah satu jenis tanaman yang khas di Soya, dibandingkan tanaman lainnya seperti: Cengkeh (70.000 pohon), Pala (50.000 pohon), Salak (5.600 pohon), Kelapa (3.275 pohon), Durian (774 pohon). Lihat, Likumahwa, Analisa..., 71.

Page 8: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

90 Religiositas Ambon-Kristen …

seperti: Durian (durio zibentinus), Manggis (garcinia mangostana),

Lachi (litchi chinensis), Salak (salacca amboninensis).12

Negeri Soya memiliki 2 (dua) jenis musim, yakni musim

hujan dan musim kemarau. Pada bulan Mei hingga Oktober,

berlangsung musim hujan, yang disertai dengan tiupan angin

Timur, dilanjutkan dengan fase transisi pada bulan November.

Sedangkan pada bulan Desember hingga Maret, tiba musim

kemarau yang disertai dengan datangnya tiupan angin Barat,

dengan fase transisi pada bulan April.13

Dari segi kependudukan, Soya mengalami “pasang-surut”

populasi, sesuai dengan dinamika sejarah dan perkembangan

konteks sosial politik, ekonomi, budaya dan demografis, yang

dialami oleh negeri Soya sendiri. Berdasarkan beberapa data

dokumenter tentang sensus penduduk Soya, dapat terlihat

perbandingan laju perkembangan demografis Soya semenjak abad

ke-17 hingga saat ini. Pendataan inipun terbatas pada beberapa

sumber dokumenter yang tersimpan, yang diperoleh oleh Cooley,

ketika melakukan riset disertasinya, yaitu sebagai berikut:

Tabel III.1: Perbandingan Populasi Penduduk Soya Dari

Tahun 1691 – 2017

Populasi Penduduk Soya Jumlah Jiwa

Data dari F.L.Cooley,14 yang mencatat data

penduduk Soya dalam 3 kurun waktu, yakni:

(1) Tahun 1691

(2) Tahun 1855

(3) Tahun 1959

911 jiwa

107 jiwa

712 jiwa

Data Negeri Tahun 199715 5.295 jiwa

12 Debby V Pattimahu, J Ch Hitipeuw, Olivia Souisa, “Strategi Pengelolaan Pariwisata

pada Hutan Lindung Gunung Sirimau di Negeri Soya Kecamatan Sirimau Kota Ambon”, Artikel di LKDM (Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku), Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisiua, 2017),497.

13Ibid. 14 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Cooley dalam risert disertasinya. Lihat,

Cooley, Mimbar..., 36-37.

Page 9: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 91

Data Negeri Tahun 201016 3.854 jiwa

Data Negeri Tahun 201717 8.679 jiwa

Fenomena “pasang-surut” populasi negeri Soya tersebut di

atas, dapat dimengerti dari beberapa faktor yang turut

melatarinya, antara lain:

Satu, Kehadiran kolonialisme yang signifikan turut

memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Bahkan, menurut

pencermatan Cooley, justru pada era kolonial itulah terjadi

kemerosotan jumlah penduduk;18

Dua, Perubahan batas wilayah petuanan negeri yang

diakibatkan dengan hadirnya beberapa kawasan yang terpisah

atau “mekar” menjadi negeri baru secara administratif;19

Tiga, Dampak konflik kemanusiaan tahun 1999, yang

menyebabkan cukup banyak warga memilih untuk mengungsi ke

tempat lainnya (baik di kota Ambon maupun di luar Ambon). Hal

ini patut dimengerti, karena semenjak tahun 1999 hingga

memuncak pada tanggal 28 April tahun 2002 (momentum

terbakarnya gedung gereja tua Soya), fakta-fakta historis tersebut

sesungguhnya sangat memengaruhi psiko-traumatik masyarakat

Soya sendiri, bahkan berdampak pada beberapa tahun kemudian;

Empat, Situasi pasca-konflik yang semakin kondusif dan

relatif aman-damai, diikuti dengan geliat pembangunan dan

perkembangan sosial politik dan ekonomi yang kian membaik,

turut berdampak pada kehadiran penduduk yang meningkat.

Paling kurang ada dua sebab, yakni: (a) kembalinya orang Soya

dari pengungsian sementara, dan (b) kesediaan Soya dalam

merespons permintaan pemerintah Provinsi dan Kota Ambon,

untuk mengalokasikan beberapa kawasan di wilayah petuanan

15 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Likumahwa dalam riset tesisnya. Lihat,

Likumahwa, Analisa....,71. 16 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Pieter dalam riset tesisnya. Lihat, Pieter,

Mitos...., 33. 17 Merujuk pada sumber data terbaru) yang penulis peroleh dari data statistik negeri

Soya (diambil bulan Desember 2017) dan juga digunakan dalam rujukan Pemerintah Negeri Soya dalam dokumen RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Negeri Soya Tahun 2015-2020, (Tanpa Tempat, Tahun dan Penerbit), 8.

18 Cooley, Mimbar...,35. 19 Ibid, 37.

Page 10: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

92 Religiositas Ambon-Kristen …

negeri Soya sebagai tempat penampungan permanen bagi para

pengungsi jemaat-jemaat Kristen dari lokasi lainnya di kota

Ambon, yang menjadi korban konflik.

Perlu dikemukakan pula bahwa terkait dengan profil

demografis Soya, tampaknya penting untuk melihat konfigurasi

komposisi penduduk asli dan pendatang di Soya. Dari hasil riset

yang dilakukan, diakui bahwa dalam situasi kontemporer saat ini

disinyalir bahwa konfigurasi penduduk “asli-pendatang” di Soya

saat ini cukup berimbang (hampir 50 % asli dan 50 %

pendatang).20 Suatu jumlah prosentasi konfigurasi yang berubah

cukup signifikan dalam 8 (delapan) dekade belakangan ini. Apabila

merujuk pada data yang dikonstatir oleh Cooley, terungkap bahwa

angka sensus di tahun 1930 menunjukkanbahwa di beberapa

wilayah subbagian kota Ambon (menurut penulis, tentunya

termasuk wilayah petuanan negeri Soya), terdapat hampir 90 %

terdiri dari penduduk asli dan 10 % terdiri dari kaum pendatang.21

Berdasarkan dokumen RPJM (Rencana Pembangunan

Jangka Menengah) pemerintah negeri Soya untuk tahun 2015 –

tahun 2020,22 disebutkan bahwa jumlah penduduk Negeri Soya

(rujukan data tahun 2015) sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi

laki-laki sebanyak 4.302 jiwa dan perempuan sebanyak 4.377

jiwa. Penduduk Soya tersebut tersebar pada 4 lokasi, yakni pada

negeri induk (pusat pemerintahan) sebanyak 823 jiwa/174 kk,

dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 Kk. dusun Tabea Jou

sebanyak 679 jiwa/354 kk, dusun Air Besar sebanyak 1.477

jiwa/376 kk.

Dari populasi yang sedemikian, tercatat bahwa data pada

dokumen RPJM tersebut mengisyaratkan bahwa, komposisi

penduduk negeri Soya secara keseluruhan berdasarkan kualifikasi

usia adalah: (1) usia 25-50 memiliki jumlah jiwa terbanyak, yakni

20 Prosentasi ini penulis peroleh dari hasil wawancara dengan Sekretaris Negeri

(bapak Brury Pesulima) dan Ketua Majelis jemaat GPM Soya, Pdt. P. Kempa, pada tanggal 7 Desember 2017. Prediksi prosentasi ini dikemukakan karena pada dasarnya konfigurasi sedemikian tidak dicantumkan secara terbuka dan tertulis di papan statistik negeri maupun jemaat.

21 Cooley, Mimbar...., 41. 22 Pemerintah Negeri Soya, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Negeri

Soya Tahun 2015-2020, (Tanpa Tempat, Tahun dan Penerbit),8-10.

Page 11: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 93

sebanyak 2.033 jiwa atau 23,42%, (2) selanjutnya usia 6-15

sebanyak 1096 atau 12,62%, (3) usia 16-24 sebanyak 1020, atau

11,75%, (4) usia 50 tahun ke atas sebanyak 668 jiwa atau 7,70%,

dan (5) yang terendah adalah kelompok usia 0-5 tahun sebanyak

611 jiwa atau 7,04%.

Khususnya berkaitan dengan tingkat pendidikan, maka

data perbandingan yang diperoleh sebagai gambaran portofolio

pendidikan warga Soya dari tahun 1997 hingga 2015 adalah

sebagai berikut:

Tabel III.2: Tingkat Kualifikasi Pendidikan Dalam

Perbandingan Beberapa Tahun

No Jenis Pendidikan Tahun

199723

Tahun

201024

Tahun

201125

Tahun

201526

1 TK/Sekolah

Dasar/Sederajat

1342 org 1315 org 1074 org 1435 org

2 SMP 1011 org 390 org 850 org 1250 org

3 SMU/SMK 1765 org 1408 org 2184 org 895 org

4 Diploma & Sarjana

(S1, S2, & S3)

501 org 729 org 419 org 850 org

Sementara untuk gambaran mata pencaharian (pekerjaan)

masyarakat Soya, dipaparkan pula suatu data perbandingan dari

tahun 1997 hingga 2015, sebagai berikut:

23 Sumber data: Likumahwa, Analisa....,73. 24 Sumber data: Pieter, Mitos...., 35. 25 Sumber data: Pemerintah Negeri Soya, RPJM...,11. 26 Sumber data: Nancy Novitra Souisa, “Makan Patita – Nilai dan Maknanya dalam

Membangun Pendidikan Kristiani yang Kontekstual” Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama Fakultaas Teologi UKSW, 2017), 122. Data terkonfirmasi dengan angka-angka pada Papan Data Statistik di Kantor Negeri Soya yang penulis ambil pada tanggal 7 Desember 2017. Artinya, angka-angka statistik pada tahun 2015 belum mengalami perubahan hingga akhir tahun 2017.

Page 12: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

94 Religiositas Ambon-Kristen …

Tabel III.3. Perbandingan Pekerjaan Penduduk

Dari Tahun 1997 Hingga 2015

No Jenis Pekerjaan

Tahun

199727

(%)

Tahun

201028

(%)

Tahun

201129

(%)

Tahun

201530

(%)

1 Pegawai Negeri Sipil 625 org

(26 %)

376 org

(47 %)

536 org

(27 %)

515 org

(33 %)

2 Petani Hutan/Kebun,

Peternak

570 org

(24 %)

119 org

(15 %)

239 org

(12 %)

390 org

(25 %)

3 POLRI / TNI 95 org

(4 %)

42 org

(4 %)

112 org

(5 %)

217 org

(14 %)

4 Wiraswasta/Wirausaha

(Sopir, Tukang Ojek,

Tukang Becak, Pedagang

Pondok/Kios, Papalele,

Penjahit, Tukang Batu,

Pengusaha, dan lainnya

yang tidak menentu)

915 org

(46 %)

270 org

(34 %)

1142 org

(56 %)

425 org

(28 %)

Dari paparan data tentang profil pendidikan dan pekerjaan

masyarakat Soya dengan perbandingannya dari tahun ke tahun,

terlihat bahwa warga Soya secara umum memiliki tingkat

kualifikasi pendidikan yang cukup baik. Bahkan ~sebagai data

bandingan~ bila merujuk pada temuan riset yang diperoleh oleh

Souisa,31 diungkapkan dalam disertasinya bahwa, ternyata di Soya:

(1) Tidak ada warga masyarakat usia sekolah yang tidak

bersekolah; (2) Tidak ada yang berusia 12-56 tahun yang tidak

tamat SMP; dan (3) Tidak ada yang berusia 12-56 tahun yang

tidak tamat SMA.

27 Sumber data: Likumahwa, Analisa....,73. 28 Sumber data: Pieter, Mitos...., 35. 29 Sumber data: Pemerintah Negeri Soya, RPJM...,11. 30 Sumber data: Nancy Novitra Souisa, Makan Patita..., 122. Data terkonfirmasi dengan

angka-angka pada Papan Data Statistik di Kantor Negeri Soya yang penulis ambil pada tanggal 7 Desember 2017. Artinya, angka-angka statistik pada tahun 2015 belum mengalami perubahan hingga akhir tahun 2017.

31 Ibid, 122.

Page 13: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 95

Sedangkan fenomena pergulatan warga terhadap mata

pencahariannya, memperlihatkan hal yang menarik. Khususnya

yang terkait dengan pekerjaan wiraswasta atau wirausaha, yang

prosentasenya cukup tinggi. Fenomena ini dapat dibaca juga dari

perspektif realitas konflik Ambon yang berawal pada tahun 1999.

Terlihat bahwa sekitar 10 tahun setelah konflik (tahun 2010-

2011) pekerjaan wiraswasta kembali menggeliat, setelah tentu

pada era konflik (tahun 1999 hingga 2005) mengalami

pemunduran angka pergulatan warga dalam dunia wiraswasta,

karena situasi yang tidak terlalu kondusif. Namun secara umum,

posisi Soya yang berada relatif tidak terlalu dekat ataupun terlalu

jauh dari pusat kota Ambon, sesungguhnya memungkinkan warga

untuk dapat mengupayakan pelbagai usaha alternatif-kreatif,

sebagaimana terindikasi dari profesi seperti menjadi tukang ojek

dan tukang becak.

III.1.3. Sistim Pemerintahan dan Tatanan Adati Negeri Soya

Sistim pemerintahan negeri Soya sangat berkorelasi

dengan tatanan adati masyarakat negeri Soya itu sendiri. Artinya,

sistim pemerintahan Soya bertumpu pada tatanan budaya dan

struktur adati masyarakat Soya pada satu pihak, dan pada pihak

lainnya, struktur adati masyarakat Soya tersebut turut membentuk

dan memengaruhi sistim pemerintahan yang ada. Sistim tersebut

dikenal dengan sebutan sistim pemerintahan Saniri Latupatih,

yang terdiri dari: (a) Raja (Upulatu), (b) Para Kapitang, (c) Kepala-

kepala Soa, Patih, dan orang Kaya, (d) Kepala adat (Mauweng), dan

(e) Kepala Kewang. Struktur Saniri Latupatih ini dilengkapi dengan

Marinyo, yang berperan untuk menjalankan fungsi hubungan

masyarakat dan pembantu dari lembaga Saniri Latupati ini. Badan

Saniri ini diwajibkan untuk melaksanakan persidangan besar

Saniri sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, dan dihadiri oleh

semua orang dewasa di negeri serta berlangsung secara

demokratis.32

32 Bandingkan John L. Rehatta, Negeri Soya...,4

Page 14: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

96 Religiositas Ambon-Kristen …

Patut diakui bahwa kebijakan pemerintah RI yang

sentralistik ~dengan penetapan Undang-Undang No.5 tahun 1979

tentang Sistim Pemerintahan Desa~, sangat memengaruhi tatanan

pemerintahan adati, yang telah berlaku ratusantahun sebelumnya.

Namun semenjak implementasi Undang-Undang tersebut

dilakukan penyesuaian dengan konteks tatanan budaya dan

kearifan lokal setempat, maka sistim pemerintahan adati Soya

dikembalikan pada formasi semula, dengan melakukan beberapa

modifikasi atau penyesuaian nama atau istilah.

Dalam sistim yang berlaku sekarang di Soya, yang telah

mengalami penyesuaian atau adaptasi pengorganisasi dan

administrasi, maka kedudukan dan fungsi dari masing-masing

unsur di pemerintahan negeri Soya, baik secara personal maupun

organisasional, dapat diperikan sebagai berikut:

(1) Badan Saniri: Badan Perwakilan Negeri (BPN), yang dalam

struktur masyarakat adat, terdiri dari raja dan kepala soa, dan

posisinya sejajar dengan kepala pemerintahan.

(2) Raja: Sebagai Kepala Pemerintah Negeri, yang dalam aturan

adati telah ditetapkan berasal dari garis mata-rumah tertentu

atau yang lazim dikenal sebagai mata-rumah parintah.

(3) Kepala Soa : Pemimpin (ketua) dari kelompok marga-marga

tertentu yang biasanya dipercayakan kepada anggota tertua

atau yang disepakati bersama oleh marga tersebut.

(4) Mauweng: Ketua atau pemimpin adat. Ada yang melihatnya

semacam guru dan juga imam dalam lingkungan adati.

(5) Kewang : Orang khusus yang dipercayakan sebagai penjaga

hutan, tanah dan air.

(6) Marinyo : Orang yang bertugas untuk menyampaikan berita

atau informasi khusus dari raja atau badan saniri negeri.

Terindikasi jelas bahwa kata ini merupakan pengaruh kata

serapan dari bahasa Portugis: “Merinho”.

(7) Sekretaris Negeri : Jabatan ini merupakan jabatan yang

diadaptasikan dari struktur pemerintahan desa yang berlaku

di luar Ambon/Maluku kepada sistim pemerintahan adati di

beberapa negeri di Ambon/Maluku.

Page 15: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 97

(8) KaUr: Jabatan ini juga merupakan jabatan penyesuaian

sebagai Kepala Urusan Pemerintahan, Pembangunan, dan

Umum, yang posisi dan kewenangannya berada di bawah

Sekretaris Negeri.

(9) Bendahara: Jabatan dan posisi yang diadaptasikan, khususnya

berkaitan dengan penanggung jawab pengelolaan dan

administrasi keuangan negeri.

(10) Kepala Dusun: Mengingat Soya memiliki 3 (tiga) dusun, maka

masing-masing dusun memiliki pemimpinnya yang

bertanggung jawab langsung kepada raja.

(11) RW dan RT: Posisi dan peran yang diadaptasikan, dengan

sistim pemerintahan desa, dengan memberikan

pengorganisasian warga di tingkat Rukun Wilayah dan Rukun

Tetangga, di bawah Kepala Dusun masing-masing.

(12) Adminsimdes: Penyesuaian struktur dan fungsi (sebagaimana

yang terlihat dari istilah “des” di belakangnya), yakni personil

yang berperan sebagai staf pengelolaan administrasi kantor

dan sistim informasi negeri (desa).

Untuk lebih jelasnya, formasi posisi dan peranan dari

masing-masing unsur tersebut di atas, terlihat pada Bagan

Struktur Pemerintah Negeri Soya, sebagaimana digambarkan pada

gambar III.2 berikut.

Page 16: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

98 Religiositas Ambon-Kristen …

Gambar III.2. Bagan Struktur Pemerintah Negeri Soya33

Terkait dengan tatanan dan struktur adati dari masyarakat

negeri Soya, dapat dikemukakan bahwa, pengelompokkan warga

secara adati dilakukan melalui 2 (dua) kelompok soa yang

memiliki ikatan historis-kultural-genaologis yang sangat kuat,

dalam konteks tatanan kultural masyarakat negeri Soya, yaitu (1)

Soa Pera (sering disebut “soa asli”) dan (2) Soa (sering disebut

“soa pendatang”).34

Adapun Soa Pera adalah kelompok marga yang berasal dari

beberapa rumah tau,35yakni: Rehatta, Pesulima, Tamtelahittu,

Huwa’a, de Wanna, Hahury, Ririmase, Salakory, Lapui, Rimasela,

dan Latumalea. Kelompok soa Pera ini diyakini sebagai kelompok

soa yang pertama kali menetap di negeri Soya sekarang ini. Walau

dalam perkembangan kemudian, ada beberapa marga yang keluar

33 Pemerintah Negeri Soya, RPJM....,16. 34 Bila merujuk pada informasi beberapa literatur dan juga pengakuan informan,

diakui bahwa sebetulnya di Soya ada 3 (tiga) Soa. Selain Pera dan , ada juga soa Masing. Namun soa ini merupakan penggabungan dari beberapa rumah tau yang telah keluar secara struktural dari pemerintahan negeri Soya dan lokasi kediamannya pun berada di kawasan kota Ambon (sebagian besar di kawasan yang sekarang ini disebut Soya Kecil).

35 Gabungan beberapa kelompok keluarga batih atau mata-rumah karena faktor genealogis (keturunan). Bisa juga dapat diartikan bahwa rumah tau adalah kumpulan dari beberapa mata rumah.

Page 17: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 99

atau menghilang, hingga tersisa 4 (empat) marga utama di

kelompok soa Pera ini, yaitu: Rehatta, Pesulima, Huwa’a, dan

Tamtelahittu.36

Sedangkan kelompok soa , hanya terdiri dari satu rumah

tau, yaitu marga Soplanit. Kendati demikian, soa ini justru

merupakan soa yang mengakomodir seluruh

keluarga/marga/rumah tau yang bukan warga “asli” (pendatang),

namun telah memilih untuk menjadikan Soya sebagai tempat

kediamannya yang tetap. Beberapa marga yang digolongkan dalam

soa, antara lain: Pattipelauw, Pattimahu, Patty, Manuputty,

Saptenno, Hitijahubessy, Salampessy.

Tatanan adati masyarakat negeri Soya, selain

diklasifikasikan berdasarkan soa, juga memiliki tatanan khusus

yang berkaitan dengan hak dan kewenangan warga, teristimewa

yang diberlakukan dalam lingkup soa Pera secara turun-temurun,

yaitu misalnya:

(1) Berkaitan dengan posisi menjadi “raja” atau “upulatu” di Soya,

maka diharuskan berasal dari rumah tau Rehatta, dan berada

dalam garis mata rumah parintah;37

(2) Berkaitan dengan peran sebagai Kapitang(panglima p) atau

Malesi (Wakil Kapitang), maka diwajibkan untuk merekrut

personil yang berasal dari rumah tau Pesulima dan Huwa’a;

(3) Marga yang dikhususkan untuk mengawal atau bekerja bagi

raja, terpilih dari rumah tau Tamtelahitu.

Selanjutnya, salah satu tatanan adati yang kuat dimiliki

oleh warga Soya pula, khususnya yang dianggap sebagai warga asli

36 Menurut data yang diperoleh, hilangnya beberapa marga dari soa Pera ini antara

lain disebabkan oleh (1) faktor peperangan dengan pihak kolonial Barat maupun dari kesultanan Ternate; (2) faktor menikah; (3) beban kerja yang cukup berat di tengah konteks luasnya kerajaan Soya saat itu. Sebagai contoh, ada marga tertentu yang mendapat tugas untuk memikul raja yang duduk di atas tandu secara bergilir, apabila raja ingin membuat perjalanan mengunjungi wilayah kekuasaannya yang luas, ataupun berkunjung ke negeri tetangga.

37 Ketentuan ini kuat dipegang dan diberlakukan. Sebab misalnya dalam suksesi alih kepemimpinan (raja), lalu ada calon dari marga Rehatta namun terindikasi bukan memiliki “garis langsung” dari mata rumah parintah, maka yang bersangkutan bisa mengalami kendala, bahkan mungkin saja akan dicari pengganti lainnya.

Page 18: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

100 Religiositas Ambon-Kristen …

Soya, yakni bahwa setiap Rumah Tau (atau mata rumah) yang ada,

memiliki salah satu batu yang disebut sebagai batu teung (atau

disebut teung saja), sebagai batu peringatan kedatangan mereka

pada pertama kalinya di Negeri Soya, sekaligus pula disikapi

sebagai batu pamali (batu keramat).

Sejak dulu hingga kini, di Soya dapat ditemukan beberapa

Teung antara lain:

(1) Teung Samurele untuk Rumah Tau Rehatta;

(2) Teung Saupele untuk Rumah Tau Huwaa;

(3) Teung Paisina untuk Rumah Tau Pesulima;

(4) Teung Souhitu untuk Rumah Tau Tamtelahittu;

(5) Teung Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit;

(6) Teung Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea;

(7) Teung Hawari untuk Rumah Tau Latumanuwey;

(8) Teung Soulana untuk Rumah Tau de Wana;

(9) Teung Soukori untuk Rumah Tau Salakory;

(10) Teung Saumulu untuk Rumah Tau Ririmasse;

(11) Teung Rumania untuk Rumah Tau Hahury;

(12) Teung Neurumanguang untuk Rumah Tau Latuputty; dan

(13) Teung Tunisou untuk semua Rumah Tau.

Khususnya bagi Batu Teung Tunisou tersebut, dapat

menjadi contoh yang menarik tentang bagaimana keragaman dan

persatuan di antara pelbagai marga dan teung tersebut dapat

diwujudkan dalam tatanan adati masyarakat Soya. Perwujudan

tersebut kian terasa apresiasinya, ketika dalam pelaksanan ritual

adati seperti Cuci Negeri, pemimpin dan warga yang berjalan

melewati batu-batu teung tersebut akan menunjukkan sikap

“hormatnya” dalam ekspresi musikal adati, seperti pada syair

suhat.38

Adapun beberapa tatanan adati yang masih diberlakukan

dalam konteks masyarakat Soya saat ini, selain ritual adat Cuci

38 Lihat, Jenne Jessica R Pieter, “Pemahaman Tentang Tete Nene Moyang, Adat, dan

Negeri – Analisa Struktural Mitos dalam Suhat Negeri Soya”, artikel dalam LKDM, Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 241-256.

Page 19: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 101

Negeri, ada juga adat perkawinan (antara lain terkait dengan

tradisi maso minta, harta kawin, pembayaran kain berkat dan

kawin lari), adat suksesi dan pelantikan raja, adat sasi39, adat

hubungan kekeluargaan antar marga atau soa dan kekerabatan

antar gandong (dengan negeri Mamala dan Sawai yang muslim)

dan pela (dengan negeri Urimessing yang kristen).

III.2. Kekristenan di Ambon dan Jemaat GPM Soya: Sekilas

Sejarah dan Keberadaannya Kini

Pada bagian ini, akan dipaparkan secara sekilas tentang

sejarah masuknya Injil ke Ambon, dan bagaimana wujud

perjumpaan Injil dan Adat (Budaya) setempat dengan pelbagai

tanggapannya, serta Profil Jemaat GPM Soya dalam sejarahnya di

masa lampau dan saat ini.

III.2.1. Perjumpaan Injil dengan Ambon

Apabila sejarah kekristenan (khususnya GPM) hendak

diperiodisasikan dalam suatu kurun waktu sejarah secara

kronologis, maka penulis cenderung merujuk pada periodisasi

yang dilakukan oleh Tapilatu dalam disertasinya, yakni:40

(1) Tahun 1540 – 1605: Gereja pada masa misi Gereja Katolik-

Roma;

(2) Tahun 1605 – 1800: Gereja pada masa pemerintahan VOC;

(3) Tahun 1800 – 1935: Gereja di bawah pengasuhan badan

zending dan GPI;

(4) Tahun 1935 – 1942: GPM sesudah berdiri sendiri sampai

dengan saat menjelang pendudukan militer Jepang;

39 Kendati menurut bapa raja Rido Rehatta, pelaksanaannya sudah tidak terlalu

dominan kepada tetanaman warga. Yang masih kuat berlaku adalah sasi yang dibuat oleh pemerintah negeri Soya terkait dengan persengketaan atau konflik batas tanah dan petuanan. Maka untuk memberikan “status quo” terhadap suatu areal tanah konflik, maka pemerintah negeri bertindak dengan melakukan sasi terhadap bidang tanah tersebut. Dan itu cukup efektif untuk meredakan perselisihan dalam kurun waktu tertentu, sambil upaya perdamaian dan mediasi penyelesaian konflik dilakukan.

40 M.Tapilatu, “Sejarah Gereja Protestan Maluku 1935-1980 (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, Disertasi (Jakarta: STT Jakarta,1994),xxi.

Page 20: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

102 Religiositas Ambon-Kristen …

(5) Tahun 1942 – 1945: GPM pada masa pendudukan Jepang;

(6) Tahun 1945 – 1949: GPM pada masa revolusi fisik;

(7) Tahun 1950 – 1965: GPM pada masa Orde Lama;

(8) Tahun 1966 – 1980: GPM pada masa Orde Baru sampai

peralihan generasi pertama ke generasi kedua;

(9) Tahun 1981 – Kini: GPM di era kontemporer-milenial.41

Kendati demikian, dalam pemaparan ini, penulis tidak

membatasi pengulasan menurut kronologis periodisasi tersebut,

namun ~sesuai dengan pendekatan fenomenologis yang

digunakan~ maka aksentuasi pemaparan ini lebih diberikan pada

fenomena yang menonjol serta makna esensial yang ditemukan

dari fakta perjumpaan Injil (dari Barat) dengan masyarakat adati

setempat di Maluku, khususnya di kota Ambon, dan terlebih

khusus di negeri Soya, serta potret apa sajakah yang dapat

digambarkan dan disimpulkan tentang sikap dan fenomena yang

muncul dari interrelasi dan interaksi kedua pihak (pihak yang

membawa Injil dan pihak yang menerima Injil) itu sendiri.

Beberapa catatan rangkuman terhadap hal tersebut, antara

lain dapat disebutkan sebagai berikut.

III.2.1.1. Perjumpaan Di Tengah Latar Kepentingan Triple-G

(Gold-Glory-Gospel)

Tak terpungkiri bahwa sejarah kekristenan di Ambon-

Maluku dimulai semenjak kedatangan bangsa-bangsa Barat, dalam

hal ini orang-orang Portugis, yang memeluk agama Katolik-

Roma.42 Data sejarah mencatat bahwa injil (Gospel), yang dibawa

41 Periodisasi yang ke-9 ini dirumuskan oleh penulis dalam rangka mkum realita

keberadaan sejarah GPM semenjak tahun 1981 hingga penulisan ini dibuat (2018). 42Ibid, 12. Bahkan Andaya dalam penelusurannya menyebutkan bahwa latar

kehadiran Portugis ke Maluku sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan persaingan perebutan dan klaim wilayah antara Portugis dan Spanyol terhadap Maluku dan Filipina sebagai wilayah yuridiksi spiritual masing-masing. Disebutkan bahwa penyelesaian konflik tersebut diakhiri dengan kesepakatan bahwa akhirnya Spanyol bersedia melepaskan semua klaimnya atas Maluku dan menerima Filipina, serta sebaliknya Portugis melepaskan Filipina dan mengambil Maluku sebagai yuridiksi spiritualnya. Lihat: Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2015),19.

Page 21: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 103

oleh orang-orang Portugis, sangat kuat dilatari dengan

kepentingan ekonomi (Gold)43 dan politik (Glory). Dan ketiga latar

kepentingan Tiple-G tersebut memiliki korelasi dengan

perkembangan situasi yang berlangsung di Eropa pada masa itu.

Dalam mengelaborasi beberapa fakta dan penelusuran

historis, Tapilatu mengulas dan sekaligus memperjelas motif dan

kepentingan dari seluruh fenomena tersebut, dengan merangkum

beberapa data yang dikemukakan oleh beberapa sejarahwan

seperti Hitti, van den End, Berkhof dan Enklaar, serta Visser,

antara lain sebagai berikut:

“....Bangsa Portugis dan Spanyol selama kurang lebih lima abad (th.700-1200) dijajah oleh orang-orang Arab dan Berber yang beragama Islam, dari Afrika Utara. Dalam pembebasan yang berlangsung selama satu setengah abad, akhirnya pihak penjajah berhasil diusir dari negeri mereka. Pada abad ke-15 orang-orang Portugis berusaha mencari jalan ke pusat rempah-rempah di “India” (Asia Selatan dan Tenggara). Usaha tersebut bertujuan mencari keuntungan ekonomi dan untuk mengalihkan rute tradisional perdagangan rempah-rempah (melalui darat) yang didominasi a.l. oleh orang-orang Turki (Islam), musuh orang-orang Kristen karena P Salib. Tujuan yang disebut terakhir (melawan bangsa Turki) dilakukan karena dengan tindakan demikian secara tidak langsung dapat dilemahkan kekuatan bangsa ini, yang pada saat itu sedang mengancam negara-negara Eropa. Jadi selain alasan ekonomis, juga terdapat alasan agamani. Bangsa Portugis dan Spanyol, sebagai penganut agama Kristen,...merasa bertanggung jawab untuk menyiarkan agama mereka di dunia baru yang ditemukan. Dengan dilatarbelakangi oleh alasan-alasan di atas, vasco da Gama berlayar ke “India” dan berhasil

43 Yang dimaksudkan dengan “gold” dalam hal ini adalah pencarian dan penguasaan

terhadap rempah-rempah yang dikenal dengan sebutan “trinitas suci rempah-rempah”, yaitu cengkih, buah pala, dan biji pala. Lihat, Ibid,144.

Page 22: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

104 Religiositas Ambon-Kristen …

mendarat di Calicut (India), tahun 1498. Pada tahun 1511, Malaka, sebuah kota Islam dan yang sekaligus adalah salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara, berhasil direbut oleh tentara Portugis. Dikuasainya kota Malaka berarti peluang untuk mencapai pusat rempah-rempah di Maluku, kini telah mereka miliki.”44

Dari latar kepentingan tersebut, maka semenjak

kedatangan Antonio d’Abreu pada tahun 1511 di Banda dan

Ternate, kemudian disusul Antonio Galvao dengan ekspasnsi

armadanya yang menghancurkan armada kerajaan Islam dari Jawa

di perairan Ambon pdapada tahun 1538, maka respons dari para

penganut agama suku di pulau Ambon mulai melirik dan bahkan

mendekati kolonial Portugis untuk membantu mereka dalam

menghadapi ancaman Islam dari kerajaan Hitu di pulau Ambon.

Tapilatu mengkonstatir bahwa dalam kenyataannya, penganut

agama suku itu pun bukan hanya meminta bantuan, melainkan

juga bersedia menerima agama bangsa Portugis yang ditawarkan

para misionaris kepada mereka.45

Proses ketiga latar kepentingan triple-G inipun berlangsung

secara berkelindan, sekalipun tak dapat disangkali bahwa dari

“ketiga G” tersebut, sesungguhnya aspek kekuasaan Politik dan

Ekonomi-lah yang jauh lebih dominan daripada kepentingan

terhadap injil (gospel) tersebut. Hal ini terindikasi antara lain dari

minimnya perhatian dan kesungguhan dari penguasa Portugis

sendiri terhadap aspek penginjilan tersebut. Sebagaimana tampak

antara lain pada: proses kristianisasi yang “instan”, seperti

pembaptisan massal begitu saja; pendidikan dan pengajaran

kristiani (Katholik) yang tidak mendalam (hanya sebatas

menghafal sejumlah pokok-pokok kristiani, seperti Doa Bapa Kami

atau Pater Noster, Salam Maria, dan Dasafirman), selain ditambah

pula dengan terbatasnya misionaris yang didatangkan.46

44Ibid,12. 45Ibid,14. 46Ibid, 14-16.

Page 23: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 105

Setelah tibanya Fransiscus Xaverius di Ambon pada tanggal

14 Februari 1546 dan diikuti kemudian oleh para imam Yesuit,

maka upaya pembinaan kerohanian iman Kristen (Katolik) sedikit

mulai mendapat perhatian yang memadai. Namun, perkembangan

iman Katolik tidak berlangsung lama, karena kehadiran kolonial

Belanda yang menggantikan kekuasaan Portugis di Ambon, mulai

berlangsung semenjak tahun 1602.47 Dan ketika Belanda

mengambil alih kekuasaan dari tangan Portugis, tercatat bahwa

jumlah orang Kristen hanya sekitar 16.000 orang.48 Namun

kemerosotan kuantitas maupun kualitas hidup orang Kristen pada

masa itu, digambarkan oleh G.P.H.Locher dengan kata-kata, “Veel

meer dan naam-christenen waren aij niet” (“Mereka tidak lebih

daripada orang-orang Kristen nama”).49

Kehadiran Belanda ~yang juga dilatarbelakangi dengan

motif yang tidak berbeda dengan Portugis, yakni politik-ekonomi-

agama, bukan hanya menggantikan kekristenan ala Portugis

dengan Katholikismenya, melainkan membawa aroma baru

dengan latar denominasi, pengajaran dan dogma serta pola

pengembangan misi yang berbasiskan Protestantisme-Calvinis.

Dengan nuansa kepentingan Belanda yang cenderung lebih

berorientasi pada ekonomi (perdagangan), maka saat itu, Ambon

menjadi salah satu dari tiga bandar perdagangan yang sangat

signifikan, selain dua lainnya: Banda dan Tidore.50 Bahkan

kehadiran Belanda betul-betul sangat mengontrol dan

mengendalikan serta memonopoli sumber-sumber alam Maluku,

seperti Pala, Cengkeh dan bunga Pala.51

Kendati demikian, dalam perkembangan kemudian, VOC

atau Verenigde Oost-Indische Compagnie (organisasi dagang

47 Lihat, Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1985),248. 48 Data Müller-Krüger dan Keuning dalam Tapilatu, Sejarah Gereja....,18. 49 Dalam Ibid,19. 50Ibid,20. 51 Izak Yohan Matriks Lattu, “Orality and Interreligious Relationships: The Role of

Collective Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, Dissertation (California: The Faculty of the Graduate Theological Union University of California Berkeley, 2014),44.

Page 24: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

106 Religiositas Ambon-Kristen …

Belanda) menetapkan kebijakan untuk memberikan perhatian juga

terhadap agama (Injil), dengan dilatari oleh dua faktor utama,

sebagaimana yang dirilis oleh Krüger, “Pertama, berlakunya prinsip

cuius regio, eius religio (agama raja adalah agama rakyat).

Kedua, VOC diwajibkan untuk melaksanakan artikel 36 dari

Pengakuan Iman Belanda, yaitu memelihara gereja yang kudus,

menolak dan membasmi segala bentuk penyembahan berhala dan

agama palsu, memusnahkan kerajaan anti Kristus dan memajukan

kerajaan Yesus Kristus.”52

Dari latar kepentingan inilah maka fenomena yang terjadi

pada saat itu adalah segala kepentingan agama akan berjalan

mengikuti kepentingan politik dan ekonomi (dengan kebijakan

monopoli perdagangannya). Belanda, melalui VOC, memainkan

kepentingan tersebut yang antara lain terlihat pada fenomena

seperti yang digambarkan Tapilatu, dengan mengutip fakta yang

dikemukakan oleh Krüger, antara lain:

“Termasuk di sini pemberian uang atau beras kepada anak-anak yang dididik pada sekolah gereja. Juga diberi uang kepada pendeta yang berhasil membaptis orang-orang Maluku (disebut “uang murid”). Orang yang menjadi Kristen dengan cara demikian, dinamakan “orang Kristen beras”....”53

Tak pelak lagi, betapa kekristenan (gereja) pada masa

kolonial Belanda betul-betul menjadi gereja yang dikuasai oleh

negara (kolonial) dan rentan terhadap pelbagai intervensi. Salah

satu bukti intervensi penguasa (kolonial) terhadap gereja saat itu,

tampak melalui instruksi yang dikeluarkan bagi komisaris politik

dan wali gereja di Ambon pada tanggal 21 Juli 1817, yang antara

lain menyebutkan:54

52 Dalam ibid,22. 53Ibid,23. 54 Christian G.F. de Jong, Sumber-Sumber Tentang Sejarah Gereja Protestan di Maluku

Tengah 1803-1900 – Jilid I: 1803-1854. Diterjemahkan oleh Henry Usmany dan Th.van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012),63-64.

Page 25: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 107

Pasal 1

Kepala Jawatan Administrasi (Hoofdaadministrateur), yang adalah seorang anggota sidi jemaat Hervormd, harus selalu memagang jabatan Komisaris Politik dari Pemerintah Tinggi.... Pasal 2

Untuk itu, pejabat tersebut akan ikut serta dalam semua rapat gereja sebanyak dipandangnya perlu. Untuk itu ketua majelis gereja wajib memberinya keterangan seperlunya mengenai semua rapat gereja yang hendak diadakan....

Pasal 6

Jika Komisaris Politik perlu menyampaikan urusan tertentu kepada majelis gereja atas nama Pemerintah Tinggi, ia berwenang mengajukan permintaan kepada Ketua agar diadakan rapat gereja. Permintaan itu tidak boleh ditolak.

Dengan acuan campur tangan kolonial Belanda terhadap

keberadaan gereja di Ambon-Maluku sedemikian, maka setiap

diadakan rapat majelis gereja, rapat tersebut wajib dihadiri juga

oleh seorang komisaris politik, yang menjadi anggota majelis atas

nama gubernemen, sesuai kebiasaan yang sudah berlaku sejak

tahun 1630-an. Tokoh yang bersangkutan hadir dalam rangka

menjaga, mengontrol, dan mengawasi agar majelis tidak

mencampuri soal-soal yang menjadi wewenang pemerintah, dan

hanya membicarakan urusan gereja semata.55

De Jong dalam penelusurannya terhadap sumber-sumber

historis terhadap keberadaan gereja protestan di Maluku pada era

tahun 1803 hingga tahun 1854, mencatat bahwa ternyata

kehadiran kekuasaan kolonial pada sisi lainya pun mendapat

resistensi dari masyarakat lokal, termasuk dari kalangan orang

55Ibid,13.

Page 26: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

108 Religiositas Ambon-Kristen …

Kristen Ambon-Maluku sendiri. Sebagai contoh, pemberontakan

tahun 1817, yang dipimpin oleh Pattimura (Thomas Matulessy),

pada hakikatnya turut dipicu oleh resistensi terhadap tindakan

umum pemerintah Belanda ~yang harus diakui memang keras

sekali~ tetapi terutama oleh dugaan bahwa pemerintah kolonial

itu hendak mengubah pola organisasi gereja dan sekolah (dalam

hal mana pada saat itu, guru dan pendeta atau penghentar jemaat

dipandang sebagai tokoh sentral di jemaat). Pattimura dan guru-

guru yang mendukung perjuangannya meyakini bahwa mereka

sementara melakukan “perang suci”. Mereka tidak berjuang

melawan tatanan kolonial sendiri, tetapi melawan melawan arus

sekularisasi yang berasal dari Eropa pasca-revolusi.56 Apalagi fakta

pun memperlihatkan bahwa adanya kebiasaan yang buruk dari

kalangan orang Eropa sendiri, yang secara individual tidak

memberikan keteladanan yang baik, sehingga menimbulkan sakit

hati bagi kalangan penduduk asli, khususnya di Ambon.57

Ketika dalam perkembangan kemudian terlihat bahwa VOC

mengalami kemunduran yang cukup signifikan dalam perhatian

terhadap gereja, maka didatangkanlah badan-badan zending ke

Maluku pada tahun 1815-1864, yakni antara lain: NZG (Nederlands

Zendelinggenooptschap), LMS (London Misionari Society) dan BMS

(Baptist Missionary Society). Selanjutnya, badan-badan penginjilan

tersebut digantikan dengan institusi gerejawi yang lebih

permanent dengan nama gereja Hindia Belanda, atau yang lebih

56Ibid,10-11. Dari sumber lainnya, diperoleh data bahwa alasan atau motif lainnya

yang melatari perjuangan Pattimura adalah karena dilihat bahwa kolonial menghancurkan pula tatanan budaya kekerabatan Pela, khususnya dengan pihak basudara muslim, yang dipandang sebagai tatanan adati yang tidak boleh diganggu. Pattimura dan pengikutnya geram dan akhirnya mengangkat perlawanan, ketika mendengar bahwa salah satu gedung gereja di kota Ambon yang telah rongsok akan dijadikan gudang dan orang-orang Islam di Maluku akan dikristenkan secara paksa. Lihat van den End, dalam Tapilatu, Sejarah Gereja...,35.

57 Christian G.F. de Jong, Sumber-Sumber...,640. Abineno, dengan mengutip surat Wiltens pada tanggal 31 Mei 1615 kepada Klasis Amsterdam, merilis informasi bahwa Wiltens sendiri pun mengakui bahwa orang-orang Belanda sendiri yang berperilaku tidak teratur, tidak sopan, tidak baik. Antara lain dengan sering pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, tindak kekerasan terhadap keluarga, dan sebagainya. Perilaku yang justru berbeda dari orang Ambon sendiri. Lihat, Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia I (Djakarta: BPK Gunung Mulia,1978),53.

Page 27: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 109

dikenal dengan nama Indische Kerk pada tahun 1864-1935.

Indische Kerk inilah yang selanjutnya dalam “pewarisannya” di

masa kini lebih dikenal dengan nama Gereja Protestan di

Indonesia (GPI), dalam hal mana Gereja Protestan Maluku menjadi

salah satu dari 12 sinode gereja bagian mandirinya.58

III.2.2. Perjumpaan Injil dan Adat (Budaya)

Penelusuran konteks selanjutnya akan lebih difokuskan

pada fenomena perjumpaan antara Injil dengan Adat (Budaya)

setempat, yang dalam hal ini merujuk pada perjumpaan dari

kekristenan (yang datang dari luar) dengan keambonan itu sendiri

(yang datang dari dalam).

Sebelum masuknya Injil ke Ambon-Maluku, maka sudah

dipastikan bahwa penduduk asli setempat hidup dalam tatanan

budaya dan kepercayaan tradisionalnya yang adati. Sebagaimana

disinyalir oleh Cooley dalam bukunya Ambonese Adat , bahwa bagi

masyarakat Ambon, karena adat dipandang sebagai warisan

pemberian nenek moyang atau leluhur yang harus dijaga, dipatuhi

dan dihidupi, maka adat merupakan pranata kehidupan yang

sangat penting. Bahkan Adat itu sendiri pun dilihat sebagai

representasi dari perintah dan kehadiran leluhur sebagai pendiri

suatu komunitas adati. Adat merupakan sebuah hukum dalam

mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam komunitas. Oleh

karena itu, leluhur dan adat memiliki korelasi yang sangat kuat.

Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa kepatuhan atau

ketidakpatuhan kepada leluhur dan adat, akan berdampak

terhadap hadirnya “berkat atau kutukan/hukuman” dari para

58 Saat ini, selain GPM (yang lahir tahun 1935), maka gereja-gereja yang menjadi

anggota GPI adalah: GMIM-Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), GMIT-Gereja Masehi Injili di Timor (1947), GPIB-Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat (1948), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli (GPIBT – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG – 1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB – 1976), Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua – 1985). Pada tahun 2000 jemaat-jemaat di daerah Banggai Kepulauan dimekarkan menjadi gereja yang mandiri dengan nama: Gereja Protestan Indonesia Banggai Kepulauan (GPIBK). Dua gereja lain yang menyatakan diri masuk ke dalam lingkungan GPI yaitu: Indonesian Ecumenical Christian Church di Riverside California USA (IECC – 1998) dan Gereja Masehi Injili di Talaud (GERMITA – 2002).

Page 28: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

110 Religiositas Ambon-Kristen …

leluhur itu sendiri, sebagaimana yang dikonstatirnya sebagai

berikut:

“....it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors. It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is exceedinglyu hazardous because of the power which they continue to hold. The sanctions of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors.”59

Corak keambonan yang adati tersebut, dipandang oleh

kaum pendatang (kolonial, terlebih dari kalangan Belanda) sebagai

corak yang sangat rendah. Tapilatu menyebutkan bahwa orang-

orang Belanda tidak mau tahu tentang agama-agama yang bukan

kristen. Karena, bagi mereka agama asli ini dianggap sebagai

“agama setan”. Begitupun dengan kebiasaan atau adat yang di

luar bangsa Eropa ditolak dengan sangat keras. Bahkan paradigma

sedemikian berimplikasi pada upaya untuk menghancurkan agama

dan kebudayaan asli.60 Dan tanpa disadari, bahwa ternyata upaya

tersebut hanya semacam pemberantasan “kulit” semata,

sementara “isi” dari budaya dan agama asli tersebut tetap

berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Ambon-Maluku.61

Malahan dalam perkembangannya justru melahirkan suatu

hibridisasi, atau oleh sejarahwan lainnya menyebutkannya

sebagai sinkretisme injil dan adat, sebagaimana terlihat pada

pandangan dan sikap orang Ambon-Kristen terhadap Alkitab, roti

Perjamuan, air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lainnya.

Objek-objek gerejawi tersebut dipandang “keramat” dan bahkan

“memiliki kekuatan gaib”.62

59 Frank Cooley, Ambonese Adat: A General Description (Michigan: The Cellar Book,

1962),2-4. 60 Tapilatu, Sejarah Gereja....,33. 61 Van den End dalam Ibid,33-34. 62 Tapilatu, Sejarah Gereja....,34.

Page 29: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 111

Sebetulnya, bila ditelisik lebih jauh tentang paradigma

(cara pandang) yang melatari perjumpaan antara kaum pembawa

Injil (bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis dan Belanda) dan

masyarakat penerima (orang Maluku, Ambon), maka fenomena

menguatnya resistensi orang Eropa terhadap adat dan

kepercayaan tradisional penduduk setempat, turut dilatari oleh

apa yang digambarkan oleh Andaya dalam ulasannya tentang

perjumpaan dua dunia pada abad ke-16, antara lain sebagai

berikut:63

“Ketika bangsa Eropa dan rakyat Maluku pertama kali berjumpa pada awal abad XVI, masing-masing dari mereka bereaksi dalam sebuah cara yang diatur oleh pandangan tertentu yang mereka miliki terhadap dunia. Bangsa Eropa, meskipun dihadapkan pada pengalaman yang baru-baru ini mereka dapatkan di India, masih cenderung untuk mencurigai “kemanusiaan” Dunia Timur. Meskipun cukup tercerahkan untuk mempertanyakan klaim-klaim yang berlebihan mengenai ras mengerikan, bagaimanapun mereka mempertahankan sikap superioritas moral mereka atas masyarakat yang menghuni wilayah pinggiran dari dunia bangsa Eropa “yang beradab”. Bagi rakyat Maluku, bangsa Eropa ~seperti halnya kelompok lain yang berbondong-bondong ke wilayah tersebut untuk mendapatkan rempah-rempah~ adalah orang asing yang tidak tergolong ke dalam keluaga Maluku yang eksklusif sebagaimana yang digambarkan dalam mitos. Sebagai pihak luar, bangsa Eropa tidak pernah berharap untuk (dapat) menikmati hak istimewa yang khusus disediakan bagi mereka. Kedua pandangan yang berbeda (mengenai sang Liyan) tersebut hampir dengan segera menempatkan dua dunia pada kedudukan yang saling bertentangan. Yang memperburuk keadaan adalah karakter individu bangsa Eropa yang dikirim ke Maluku, yang dalam segala hal benar-

63 Andaya, Dunia Maluku...,142.

Page 30: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

112 Religiositas Ambon-Kristen …

benar menegaskan pandangan bangsa Eropa bahwa wilayah pinggiran secara alami menarik mereka yang kurang beradab.”

Dengan paradigma sedemikian, ditambah pula dengan

mindset teologi Barat-Kolonial terhadap penduduk pribumi lokal

dengan pelbagai adat tradisional serta kepercayaan adatinya yang

dianggap “haram” dan patut disingkirkan, serta merujuk pada

artikel 36 dari Pengakuan Iman Belanda, maka gerakan

“pembersihan” simbol-simbol dan praktik adati yang dipandang

tidak “injili” dilakukan secara keras dan sporadis, khususnya di

wilayah-wilayah yang mengalami kristenisasi. Sebagai contoh

seperti yang dikemukakan dalam temuan Cooley, antara lain:

perusakan Baileo, benda-benda pusaka yang dianggap memiliki

kekuatan sihir, serta larangan upacara adat yang berkaitan dengan

penguburan.64 Bahkan, menurut Cooley, semenjak hadirnya para

pendeta (misionaris) yang mewakili kelompok Pekabaran Injil

Belanda, maka bentrokan antara pendeta dengan pejabat desa

(negeri) tentang persoalan adat, menjadi realita yang tak

tersangkali. Dan fenomena ini kian merebak, ketika para guru injil

pribumi pun ~akibat pengaruh mindset teologi misionaris

kolonial~ menjadi garda terdepan yang lebih bersemangat dalam

melakukan “pembersihan pelbagai elemen adati dan kepercayaan

tradisional tersebut”.65

Terkait dengan itu pula, maka hal yang sangat

menyedihkan adalah bahwa ternyata bahasa asli (disebut bahasa

tana) pun menjadi bagian dari “korban pembersihan” di negeri-

negeri Kristen, karena dipandang sebagai bagian dari perangkat

tradisional-adati yang tidak injili, dan digantikan dengan bahasa

Melayu. Cooley mencatat bahwa kendatipun pergantian bahasa asli

dengan bahasa Melayu merupakan dampak dari proses penginjilan

yang dilakukan gereja melalui bidang pendidikan, namun

64 Tapilatu, Sejarah Gereja...,22 Lihat juga,.Frank Cooley, Mimbar dan Takhta...,200-

201. 65Ibid.

Page 31: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 113

penghilangan bahasa asli tersebut menjadi suatu pukulan langsung

dan mematikan terhadap keberadaan adat itu sendiri. Oleh karena,

menurut Cooley, ada dua alasan penyebabnya: (1)

Keberlangsungan adat hanya dapat terjamin dengan penggunaan

bahasa asli. Dan bahasa itulah yang memungkinkan hubungan

langsung dengan arwah para leluhur; (2) Bahasa asli dalam banyak

hal merupakan kunci bagi arti dan fungsi adat. Dengan demikian,

adat pun akan punah seiring dengan lenyapnya bahasa asli

tersebut.66

Penelusuran para ahli terhadap realita sejarah perjumpaan

Injil dengan Adat (Budaya) Ambon di waktu lampau,

memperhadapkan wajah kekristenan Ambon yang antara lain

dapat diindentifikasikan sebagai:

Satu, Kekristenan yang bercorak “sentralistis-birokratis”.67

Cooley merumuskan sifat kekristenan ini dengan mengutip

pendapat Kraemer, yang antara lain mengisyaratkan bahwa corak

pengorganisasian sebagai “gereja pemerintah” turut melatari sifat

sentralistis-birokratis ini. Bahkan sistim kepemimpinan dan

kelembagaan (pengorganisasian) gereja yang hirarkhis sedemikian

turut memungkinkan suasana bergereja yang nyaris tanpa konflik

di antara para pejabat gerejawi, sebagaimana yang ditulis oleh

G.P.H.Locher dalam bukunya, “Dat de kerk een dergelijke

hiȅrarchische ordening kreeg, was voor de ambonees nl/ niets

vreemds. De kerk hoorde voor zijn besef bij de compagnie en deze

had in haar binnenlands bestuur en leger een zelfde opbouw.”68

Dua, Kekristenan yang berorientasi status. Corak

kekristenan ini terlihat misalnya dalam sikap dan kecenderungan

masyarakat Ambon-Kristen terhadap ritual peneguhan anggota

sidi gereja, yang disebut pula dengan istilah penerimaan “pangkat

66 Lihat, Ibid,201-202. 67Ibid,276. 68 Terjemahan: “Bahwa gereja mendapat sistem penatalayanan yang hirarkhis seperti

itu, bukanlah sesuatu yang aneh bagi orang Ambon. Menurut pengertiannya, gereja Kompeni mempunyai struktur yang sama seperti dalam pemerintah dalam negeri dan tentara”. G.P.H. Locher, “De Kerkorde de Protestantse Kerk in Indonesiȅ”,73 dalam Tapilatu, Sejarah Gereja....,49.

Page 32: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

114 Religiositas Ambon-Kristen …

serani” (bagi mereka yang mengikuti sakramen baptisan kudus),

dan “pangkat sidi baru” (bagi mereka yang telah mengikuti

pembaptisan dan selanjutnya mengikuti ritual peneguhan sidi),

yang dipandang pula sebagai “pangkat serani yang lengkap”.69

Tiga, Kekristenan yang bercorak “hibrid”, sebagaimana

tercermin misalnya dalam penggunaan busana gereja, pengaturan

tempat duduk di dalam gereja, orkes suling, dan sikap terhadap

sakramen Perjamuan Kudus.70 Bahkan fenomena tersebut terlihat

pula pada keimanan orang Ambon-Kristen dengan pemahaman

dan kesadaran religiusnya dalam kaitan dengan, antara lain

pengertian akan Allah, dosa dan penyakit, sikap terhadap gedung

gereja (secara fisik) atau semua elemen simbolik yang berkaitan

dengan praktik dan ritual liturgis gerejawi serta semua

pemerannya, seperti pendeta dan majelis jemaat.71

Penelusuran fenomenologi historis-religius lainnya yang

perlu dikemukakan, sehubungan dengan perjumpaan Injil dan

masyarakat setempat yang adati ini, adalah tentang latar motif dan

kepentingan di balik dorongan orang Ambon pribumi untuk

memilih menjadi Kristen (menerima Injil). Dikemukakan bahwa

salah satu motif yang sangat kuat adalah pilihan untuk tetap

survive di tengah pelbagai ketakutan ancaman dan penyingkiran,

dengan mencari perlindungan dari penguasa kolonial. Hal ini dapat

dimengerti sebab fenomena pada masa kolonial saat itu sangat

diwarnai dengan keberadaan dua simbol yang menonjol, yaitu

Benteng (sebagai simbol penguasa kolonial) dan rumah Gereja

(sebagai simbol kekristenan). Bahkan simbolisasi yang korelatif

69 Lihat ibid, 277. Menurut Cooley, di balik kecenderungan “status-oriented” ini, tidak

diragukan pula bahwa kecenderungan ini didorong juga dengan motif pencarian kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mengingat pada saat itu, agama Kristenlah yang dominan dan identik dengan agama penguasa (kolonial). Bandingkan pula dengan paparan Tapilatu tentang adanya faktor pertimbangan ekonomis yang ikut melatari motivasi orang Ambon pribumi untuk menjadi pekerja gereja, dengan mencontohkan gaji seorang pekerja gereja tamatan STOVIL (Sekolah Guru Injil) pada tahun 1930-an sebesar 55 gulden. Lihat Tapilatu, Sejarah Gereja....,67.

70 Cooley, Mimbar dan Takhta....,275. 71Ibid,276.

Page 33: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 115

tersebut menjadi sangat kuat semenjak berdirinya kota Ambon.72

Hal itu pun berdampak pada wajah kekristenan di kota Ambon

pada masa kolonial itu, yang dirumuskan dalam dua wajah:

kekristenan di dalam benteng dan kekristenan di luar benteng.73

Itulah sebabnya, sebagaimana yang diakui dalam tulisan Casparus

Wiltens, yang tiba di Ambon pada tahun 1614, bahwa motif

mencari perlindungan diri karena takut ~baik oleh tekanan dari

pihak kolonial maupun ancaman dari pihak kerajaan Islam yang

cukup berpengaruh saat itu, khususnya dari Ternate dan Hitu~,

merupakan motif yang sangat kuat yang mendorong merapatnya

orang-orang kristen pribumi terhadap kolonial.74

Perjumpaan injil dan adat-budaya Ambon yang saling

memengaruhi, pada akhirnya telah melahirkan corak kekristenan

Ambon yang khas, yang disebut pula sebagai “agama Ambon”

yang kian mapan, sebagaimana yang dikonstatir oleh Cooley,

antara lain:

“Sebetulnya adat dan Indjil telah saling memengaruhi. Dapat dikatakan bahwa agama Kristen di Ambon telah diperadatkan. Sebutan “agama Ambon” itu memang tepat dalam hal bahwa sifat-sifat dari adat telah melekat pada agama Kristen di Ambon. Dan sebaliknja adat djuga telah dibaptiskan atau dikristenkan, dalam arti bahwa paling sedikit secara lahir, adat telah disesuaikan dengan adjaran dan praktek agama Kristen, terutama dalam hal2 jang berhubungan dengan peristiwa2 penting dalam hidup seseorang seperti kelahiran, inisiasi, kedewasaan, perkawinan dan kematian.”75

72 P. Tanamal, “Pertumbuhan dan Pengorganisasian Jemaat-Jemaat Kota Ambon”,

dalam Sejarah Serta Perspektif Pertumbuhan dan Perkembangan Klasis GPM Kota Ambon (Rangkuman Hasil Seminar Sehari Klasis GPM Kota Ambon Tanggal 17 Juni 1988), Tidak diterbitkan (Ambon: Badan Pekerja Klasis GPM Kota Ambon,1988),5-6.

73Ibid,9. 74Ibid. Bandingkan pula sinyalemen yang hampir tidak berbeda, yang dikemukakan

oleh Tapilatu, terkait dengan motif negeri-negeri yang berkolaborasi dengan Portugis (dan diikuti dengan penerimaan agama Kriten) dalam menghadapi ancaman Islam dari kerajaan Ternate dan Hitu. Lihat: Tapilatu, Sejarah Gereja....,15-20.

75 Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964),229.

Page 34: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

116 Religiositas Ambon-Kristen …

III.2.3. Profil Jemaat GPM Soya: Dulu dan Kini

Dari dokumen sumber sejarah jemaat GPM Soya,76 dan

merujuk pada tulisan de Vriens, terungkap bahwa Injil mulai

dihadirkan di negeri Soya pada tahun 1538.77 Momentum itu

ditandai dengan dilakukannya sakramen baptisan kepada raja

Soya pertama Latu Selemau, dan diberi gelar oleh pemerintah

kolonial Portugis saat itu dengan gelar “Dom Rodrigos Brandos

Fresdimas,” serta selanjutnya yang bersangkutan diterima sebagai

“orang Portugis”.

Selanjutnya, “api Injil mulai lebih digelorakan” di Soya

melalui kehadiran dan pelayanan seorang Misionaris Ordo Jesuit

yang bernama Fransiskus Xaverius, setelah ia tiba di Ambon pada

tanggal 14 Februari 1546. Itu sebabnya, di depan gereja tua soya,

hingga saat ini, monumen patung Xaverius masih berdiri tegar

sebagai suatu bukti sejarah.

Keterangan Foto:

Jejak kehadiran dan pelayanan Frasiscus Xaverius di Soya, diabadikan

melalui Patungnya yang ditempatkan pada punggung bukit kecil, tepat

berhadapan dengan gereja tua Soya.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

76https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.htmlDiunduh tanggal 7 Maret 2017 77 G. Vriens (ed), “Sejarah Katolik Indonesia: Umat Katolik Perintis-Awal mula, Jilid-1”,

82, dalam Victor Untailawan, Yesus Sebagai Tete Manis – Suatu Kristologi yang Kontekstual di Ambon. Tesis (Yogyakarta: PPsMT UKDW, 1998),25. Bandingkan, Th. Van den End, Ragi...,50. Ada sumber lainnya yang menyebutkan bahwa raja Soya tersebut dibaptis pada tahun 1518. Namun bagi penulis tampaknya masih sulit diterima perkiraan tersebut, karena fakta sejarah umum mengkonstatir bahwa kolonial Portugis baru masuk Ambon dan mendirikan Benteng di Ambon (Hitu) pada tahun 1522. Lihat Sejarah kekristenan di Soya di https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.html, diunduh 17 Januari 2017.

Page 35: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 117

Dalam perkembangan berikutnya, seusai Belanda

mengambil alih kekuasaan dari Portugis pada tahun 1602, dan

tidak lama kemudian pada tanggal 27 Februari 1605 dilaksanakan

untuk pertama kalinya ibadah dengan liturgi protestan di dalam

benteng Victoria Amboina, maka aroma kekristenan pun beralih

dari Katolik ke Protestan.

Ketika utusan injil dari lembaga penginjilan NZG Belanda,

Joseph Kam, yang dikenal juga sebagai Rasul Maluku, datang ke

negeri Soya pada tahun 1821, data statistik jemaat menunjukkan

bahwa pada saat itu telah terdapat 22 orang anggota sidi gereja, 21

orang Anggota Baptis dewasa, 7 orang anak di luar sekolah, dan

satu orang anak yang dibaptis. Dengan demikian, jumlah seluruh

jemaat yang dilayani hingga kedatangan Joseph Kam adalah

sebanyak 61 orang.78 Selain Yoseph Kam, maka salah satu tokoh

pribumi penting yang turut merintis dan meletakkan dasar-dasar

kekristenan (protestan) di negeri dan jemaat Soya adalah guru

jemaat Lazarus Hitijaubessy, yang lahir pada tahun 1817 dan

meninggal pada tahun 1871. Dan untuk mengenang jasa hidup dan

pelayanannya di Soya, maka jemaat GPM Soya memberikan nama

dari salah satu gerejanya yang cukup besar, yang berlokasi di

kawasan Kayu Putih Soya, dengan nama gedung gereja “Lazarus.”

Selanjutnya, tak dapat disangkali betapa perkembangan

injil tampak berjalan lambat seiring dengan keberadaan

masyarakat yang adalah pula sebagai warga jemaat Soya, yang

lebih cenderung untuk lebih memilih tinggal di hutan demi

menghindarkan diri dari para penjajah (kolonial). Selain tentunya,

proses penerimaan dan pertumbuhan Injil di beberapa jemaat-

jemaat Kristen pada saat itu (termasuk soya), tidak terlalu

memperlihatkan progresivitas yang signifikan, karena pengaruh

budaya lokal masih cukup kuat dan ditambah pula dengan kuatnya

motif politis yang melatari keputusan untuk menjadi kristen.79

78 John L. Rehatta, Negeri Soya....,6. 79 Abineno, dengan mengutip laporan Danckaerts, menyebutkan hal ini dalam

ulasannya tentang motif politis, antara lain seperti takut dibunuh, tidak mau menjadi budak, dan mencari perlindungan dari pihak kolonial. Lihat, Abineno, Sejarah Apostolat....,54.

Page 36: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

118 Religiositas Ambon-Kristen …

Dengan merujuk pada sumber-sumber arsip dokumenter sejarah

gereja di Indonesia, de Jong merilis data warga gereja di Soya

(dibedakan antara warga yang mendiami di wilayah Soya bagian

atas dan bagian bawah) dari tahun 1816 hingga tahun 1923,

sebagaimana dalam Tabel III.4 di bawah ini.

Tabel III.4

Statistik Warga Jemaat Soya pada Tahun 1816-192380 Data 1816 1821 1830 1833 1846 1854 1860 1871 1905 1923

Soya Atas 77 61 70 100 96 107 135 146 331 347

Soya Bawah 52 63 35 49 - - - - - -

Jumlah 129 124 105 149 96 107 135 146 137 347

Mengingat perkembangan dan pertumbuhan anggota

jemaat Soya yang kian bertambah, maka tahun 1876 dimulai

pembangunan gereja Soya di masa pemerintahan raja Stephanus

Jacob Rehatta, dengan guru jemaat pada saat itu adalah T.J.

Sopacua. Gereja tersebut mengalami rehabilitasi pada tahun 1927

oleh raja Leonard Lodewijk Rehatta dan D.S.M. Haulussy sebagai

gembala jemaat, dengan bentuk arsitektur gereja yang merujuk

pada bentuk gereja tua di pulau Ambon yang berdiri tahun 1781,

yakni gereja berbentuk segi delapan.

Menyadari bahwa gereja Soya telah dikategorisasikan

sebagai salah satu situs sejarah gereja tua (cagar budaya) di

Ambon, Maluku, maka selanjutnya pada tahun 1996, maka melalui

bantuan dan arahan dari Bidang Museum Sejarah dan

Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku,

dilakukan renovasi gedung gereja secara representatif. Namun,

akibat konflik sosial yang melanda Maluku, Ambon dan menjalar

ke Soya, maka gedung gereja tua yang telah direnovasi tersebut,

dihancurleburkan oleh perusuh pada tanggal 28 April tahun

200281. Tetapi dengan semangat dan kerja keras di bawah

80 Sumber data penulis olah dari paparan data statistik oleh Chr.G.F. de Jong, Sumber-

Sumber ..., 833. 81 Tercatat bahwa jumlah warga yang menjadi korban: meninggal 11 orang, luka berat

12 orang, dan sejumlah warga lainnya luka ringan. Sementara selain gedung gereja tua Soya tersebut, terdapat 22 buah rumah warga yang juga terbakar habir. Lihat. John L. Rehatta, Negeri Soya...,6 dan Pieter, Mitos...,58. Patut dikemukakan pula bahwa dari 11 korban yang

Page 37: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 119

kepemimpinan dan kordinasi langsung bapa raja Soya sekarang ini

(bapa Rido Rehatta), maka hanya dalam waktu kurang dari

setahun, yakni pada tahun 2003 gedung gereja tua tersebut

berhasil dibangun sesuai arsitektur aslinya dan diresmikan

kembali.

Ketika melakukan riset dan diikuti juga dengan wawancara

bersama bapak pendeta Pieter Kempa sebagai ketua Majelis

Jemaat, yang telah bertugas semenjak tahun 2012, dan juga dialog

(FGD) dengan beberapa narasumber lainnya82, maka dapat

disimpulkan beberapa fenomena faktual dari profil jemaat, dan

sikap keberagamaan warga maupun pelayan jemaat GPM Soya,

dalam kaitannya dengan upaya untuk mewujudkan persekutuan,

kesaksian, dan pelayanan sebagai jemaat Soya yang misioner di

tengah realita konteks budaya dan perkembangan “zaman now”

ini, antara lain sebagai berikut:83

Pertama, Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi sekarang ini,

komposisi warga jemaat dari kalangan masyarakat Soya “asli” dan

yang “pendatang” cukup berimbang. Posisi yang cukup berimbang

ini menjadi tantangan tersendiri bagi gereja bersama dengan pihak

pemerintah negeri untuk terus-menerus berupaya mengeleminir

persinggungan karena perbedaan apapun antara “orang dalam

atau asli” dengan “orang luar atau pendatang”.84

Upaya terhadap fenomena tersebut di atas, antara lain disiasati

dengan tetap memberikan ruang bagi artikulasi budaya dan

meninggal tersebut, termasuk diantaranya mama bongso (adik dari ibu) penulis dan anak (piara)-nya berusia sekitar 9 tahun, yang sebetulnya merupakan korban pengungsi dari jemaat GPM Rumahtiga dan untuk sementara mendapatkan tempat pengungsian di Soya, karena (pada saat itu) Soya dipertimbangkan sebagai salah satu negeri yang dianggap “cukup aman untuk pengungsian”.

82 Termasuk ketika penulis berkesempatan melakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan beberapa unsur pelayan dan pimpinan pengurus wadah/organisasi pelayanan di jemaat, usai melayani ibadah Minggu 17 Desember 2017 di gereja tua Soya.

83 Rangkuman data hasil wawancara dengan pdt. P. Kempa, S.Th (54 th), pada 5 Juli 2017 di Gereja Lazarus.

84 Penulis sendiri mendengar langsung ajakan, himbauan dari bapa pendeta Kempa maupun bapa raja Rehatta dalam beberapa kali kesempatan sambutan atau kesan-pesan di momen-momen perayaan hari-hari gerejawi dan petuah akhir tahun di gereja, kalimat yang sungguh jelas dan tegas, seperti: “Ingat...katong ini seng ada asli atau pendatang....pokoknya semua yang sudah berdiam di negeri Soya, maka katong samua sama-sama menjadi orang Soya yang punya tanggung jawab untuk membangun negeri dan jemaat Soya!”

Page 38: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

120 Religiositas Ambon-Kristen …

pelbagai kearifan lokal negeri Soya pada satu pihak, dan pada lain

pihak, tetap mendorong peran dan partisipasi warga “pendatang”

untuk juga terlibat dalam pelbagai aktifitas yang menyentuh

kebersamaan. Bahkan sebagai pelayan dan pemimpin di jemaat,

para pendeta bersama dengan bapa raja dan keluarga, serta juga

pihak sekolah sebagai unsur-unsur kebersamaan dari Tiga Batu

Tungku di negeri dan jemaat, selalu berupaya untuk memberikan

perhatian yang seimbang dan tidak diskriminatif. Lebih lanjut ujar

pendeta Kempa, “ Sekalipun dari 9 sektor yang ada di jemaat GPM

Soya, hanya 2 sektor terdapat di Soya atas yang notabene

mayoritasnya warga asli, sedangkan 7 sektor yang mayoritasnya

pendatang berada di Soya bawah, namun semua pelayanan dan

kebutuhan jemaat direspons secara baik, tertanggung jawab,

terkoodinir, dan proporsional.”

Kedua, Terkait dengan pemeliharaan tatanan nilai-nilai

adat-budaya dan kearifan negeri Soya, termasuk ritual CN,

menurut pendeta, gereja selalu menopang dan bahkan turut

mengembangkan seluruh tatanan adat budaya dan kearifan yang

ada. Karena bagi gereja, memang masing-masing (injil dan adat)

memiliki keberadaannya tersendiri, namun tidak perlu

dipertentangkan, melainkan perlu untuk saling topang-menopang

secara dialogis dan kondusif, sepanjang adat dan tradisi itu tidak

bertolak belakang dengan kebenaran injili. Bahkan adat dan tradisi

itu justru dapat menjadi semacam sarana untuk kontekstualisasi

injil itu sendiri. Oleh karena itu, dalam momen-momen perayaan

ibadah tertentu, sering juga ada kemasan ibadah yang bernuansa

kultural Soya-Ambon, dalam hal mana tatanan seni musik dan tari

serta simbol-simbol budaya (seperti bahasa dan busana)

dipergunakan juga dalam acara ibadah tersebut.

Khususnya berkaitan dengan keterlibatan jemaat dalam ritual CN,

diakui bahwa sampai saat ini mayoritas warga yang terlibat adalah

dari kalangan warga “asli”. Namun dari tahun ke tahun partisipasi

warga “pendatang” mulai menampakkan kesadaran untuk turut

berpartisipasi secara aktif juga. Apalagi momentum pelaksanaan

ritual CN tersebut berada dalam nuansa perayaan minggu-minggu

Page 39: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 121

adventus menjelang natal Kristus, Konci Taong dan Tahun Baru.

Sehingga pemaknaan ritual CN itu sendiri bagi gereja menjadi

sangat korelatif, yakni sebagai spirit untuk membersihkan,

memulihkan dan menata kembali relasi kehidupan antara umat

dengan Tuhan dan juga antara umat dengan sesamanya serta

lingkungan alamnya. Dan itu pula ~menurut pendeta dan diamini

pula oleh bapa raja~ yang menjadi spiritualitas minggu-minggu

adventus, natal hingga memasuki Konci Taong dan Tahun Baru.

Ketiga, Respons yang diperoleh dari kalangan warga

jemaat maupun dari unsur pelayan (Majelis Jemaat) berkaitan

dengan sikap terhadap tradisi dan pelbagai ritual adati yang ada,

termasuk terhadap CN sendiri, hampir jamak semuanya bersikap

dengan merujuk, bahkan mengutip kata-kata Yesus dalam Alkitab

(Matius 22: 21) "....Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu

berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu

berikan kepada Allah."85 Dengan kata lain, bagi mereka, kesediaan

untuk turut melakukan dan memelihara tradisi dan adat-istiadat

yang ada, sama sekali bukanlah bertujuan untuk menyembah

leluhur atau tete-nene moyang, melainkan justru merupakan sikap

penghargaan terhadap Leluhur dan apa yang telah mereka perbuat

bagi anak-cucu Soya.

Keempat, Terkait dengan partisipasi jemaat dalam ibadah,

pembangunan fisik, serta acara-acara ritual-serimonial gerejawi

dan penerimaan “jabatan” pelayanan, antara lain yang dapat

dicatat adalah:

(a) Jemaat sangat terbiasa dengan tatanan suatu acara yang

formalistik, serimonialistik, dan momental. Artinya,

keterlibatan dan kesungguhan jemaat untuk menghadiri dan

terlibat aktif pada sebuah perayaan tertentu, termasuk

momentum ibadah khusus, seperti perayaan Natal, malam

natal menjelang 25 Desember, malam konci taong tanggal 31

85 Kecenderungan sikap dan alasan yang sama ditunjukkan oleh informan kunci di

negeri Naku dan Hukurila, ketika penulis melakukan riset perbandingan tentang CN dan bagaimana sikap mereka terhadap tradisi dan adat yang ditinggalkan para leluhur tersebut. Lihat: Lampiran tentang Data Perbandingan CN di Soya dengan Naku dan Hukurila.

Page 40: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

122 Religiositas Ambon-Kristen …

Desember, dan Perjamuan Kudus misalnya), akan direspons

dengan penuh antusias dan khusuk, dan itu sangat berbeda

dari sikap terhadap ibadah-ibadah rutin biasa (baik ibadah

minggu, apalagi ibadah organisasi atau wadah pelayanan).86

(b) Hal yang hampir mirip berlaku pada antusiasme jemaat

adalah pada aktifitas pembangunan fisik rumah-rumah ibadah

(gedung gereja atau pastori misalnya). Jemaat akan

menampakkan sikap pengorbanannya ~baik tenaga, finansial,

maupun waktu~ untuk terlibat menyukseskan pembangunan

tersebut. Bahkan respons tersebut dilakukan dengan rasa

bangga terhadap rumah gereja yang besar dan megah serta

menyita dana yang tidak sedikit, kendatipun dari sisi

keberadaan ekonomi dan pendapatan, warga jemaat tersebut

sangat “pas-pasan bahkan minim”.

(c) Suatu fenomena yang cukup khas tampak pula adalah spirit

dan kebanggaan warga jemaat terhadap jabatan-jabatan

pelayanan gerejawi. Fenomena ini kuat terlihat dalam sikap

terhadap jabatan khusus sebagai majelis gereja (penatua dan

diaken)87. Rasa kebanggaan dan kewibawaan terhadap

jabatan pelayanan majelis tersebutkian diperkuat dengan

penggunaan busana pelayanan yang khas dan sekaligus

membedakan para pelayan tersebut dengan kalangan warga

gereja pada umumnya. Nuansa tersebut terlihat manakala

tanggapan dari warga jemaat atau sikap si pelayan sendiri

yang merasa tidak percaya diri bila pelayan yang

bersangkutan melakukan pelayanan dengan tidak

menggunakan busana pelayan yang sudah standar sifatnya.

86 Lihat data Renstra jemaat GPM Soya yang mencatat rata-rata tingkat kehadiran

antara 20-25 %. Untuk ibadah minggu biasa, tingkat kehadirannya rata-rata di antara 50-60 %. Suatu angka kehadiran yang berbeda jauh bila dibandingkan dengan ibadah momental tertentu, seperti Natal, Konci Taong dan Jumat Agung, yang berkisar antara 80 – 90 % kehadiran warga jemaat..

87 Penulis menemukan kuatnya kesan dan persepsi strukturalis-hirarkhis yang menempatkan posisi penatua lebih di atas diaken. Hal yang turut tampak pada posisi seorang “tuagama” atau “kostor” yang dipandang lebih “rendah” daripada posisi majelis jemaat.

Page 41: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 123

(d) Bila melihat pada data kepelayanan jemaat ~sebagaimana

dirincikan dalam Lampiran 9~, terlihat bahwa partisipasi

jemaat dalam ibadah dan kegiatan gerejawi telah meluas dan

terbuka kepada pelbagai unsur kaum awam yang ada di dalam

jemaat, sesuai dengan pengorganisasian pelayanan GPM.

Pengorganisasian wadah-wadah pelayanan seperti unit dan

sektor, Sekolah Minggu (SMTPI), Angkatan Muda GPM, Wadah

Pelayanan Perempuan, Laki-Laki dan Lansia, kelompok-

kelompok pelayanan musik gerejawi (seperti vocal group,

paduan suara, paduan suling, terompet, hingga pemain

keyboard dan band), secara faktual telah memperhadapkan

suatu penataan organisasi pelayanan dan ibadah yang telah

mengalami diferensiasi sesuai dengan perkembangan zaman

yang ada. Fenomena yang tampak misalnya, pelaksanaan

persidangan gerejawi dengan semua penataan dan

pengorganisasian sidang jemaat hingga modifikasi acara ritual

dan serimonial yang cenderung kolaboratif sifatnya.

Pemisahan acara ritual dan serimonial, penataan acara

dengan simbol-simbol bendera dan praktik yang berlaku

sesuai aturan protokoler gereja dan negara (seperti

menyanyikan lagu Indonesia Raya), semuanya merupakan

pemandangan yang sudah lumrah berlaku dalam agenda

kegiatan persidangan gerejawi, sebagaimana berlaku pula di

jemaat GPM Soya.

Page 42: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

124 Religiositas Ambon-Kristen …

Keterangan Foto:

1) Kiri Atas, Tuagama meniup Tahuri sebagai pengganti bunyi

lonceng, pertanda mulainya ibadah pembukaan sidang jemaat;

2) Kanan Atas, bapa raja Soya menyampaikan sambutan pada

acara serimonial. Terlihat ada bendera merah-putih di posisi

kanannya.

3) Kiri Bawah, Meja Persembahan, yang pada saat sidang akan

digunakan sebagai meja pimpinan sidang. Terlihat bendera

GPM di posisi kirinya. Gambar Presiden dan Wakil Presiden pun

telah ditempatkan di depan mimbar.

4) Kanan Bawah, Penataan Formasi ruang sidang

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Page 43: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 125

Kelima, Selanjutnya perlu dikemukakan pula sikap

penghormatan atau penghargaan dari jemaat terhadap pendeta

yang dipandang antara lain sebagai “hamba Tuhan,88 orang

suruhan Tuhan, dan wakil Tuhan.” Sikap terhadap pendeta ini,

tampak dari perlakuan jemaat dalam membawakan maksud doa

atau pergumulan khususnya, baik secara pribadi maupun

keluarga.89 Sekalipun pendeta ~dalam kemanusiaannya~ (dapat)

berbuat salah atau suatu kekeliruan, namun sikap jemaat

cenderung diungkapkan dengan kalimat, “....Kalau antua pendita

salah atau bardosa, itu urusan antua (beliau) dengan

Tuhang....maar katong jang malawang atau bikin pandita susah

apalagi sampe pandita manangisI” (Terjemahan:“Kalau beliau

pendeta berbuat salah atau dosa, itu urusan beliau dengan Tuhan,

tetapi kita jangan melawan atau bikin pendeta itu susah apalagi

sampai menangis!”). Oleh karena itu, hampir menjadi

pemandangan yang rutin, setiap terjadi fase masuk-keluar seorang

pendeta di Soya. Baik yang mutasi masuk, maupun yang keluar

atau bahkan pensiun. Jemaat akan mempersiapkan acara khusus

untuk merespons momentum tersebut.

Keenam, Kesetiaan untuk berpegang teguh pada aturan

gerejawi yang berlaku, walaupun memiliki sikap keterbukaan

terhadap perkembangan lingkungan yang ada. Tampak bahwa

walaupun sikap inklusif atau keterbukaan terhadap hal-hal yang

baru itu ada, namun membutuhkan proses waktu yang cukup lama

dalam penyesuaian, dan tidak bisa dengan serta-merta diterima

begitu saja. Apalagi kalau hal itu berkaitan dengan suatu kebiasaan

dan telah menjadi tradisi gerejawi yang berlaku turun-temurun,

bahkan dianggap seperti telah menjadi “harga mati”. Fenomena

88 Penulis menangkap kesan bahwa warga jemaat, bahkan beberapa majelis jemaat,

kuat membedakan “hamba Tuhan” dan “pelayan Tuhan.” Bagi mereka, sebutan “hamba Tuhan” itu lebih sesuai disematkan kepada seorang pendeta, sedangkan bagi penatua dan diaken, cukup dengan sebutan “pelayan Tuhan.”

89 Lazimnya, berkaitan dengan maksud doa atau pergumulan khusus tersebut, biasanya jemaat akan membawakan persembahan uang khusus yang disebut sebagai “natzar pergumulan”, yang telah dipersiapkan khusus dan diserahkan kepada pendeta pada saat pergumulan tersebut.

Page 44: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

126 Religiositas Ambon-Kristen …

tersebut terlihat pada sikap terhadap pengajaran90dan ibadah atau

liturgi gerejawi, serta acara-acara syukuran atau pesta yang

berkaitan dengan momentum baptisan dan peneguhan sidi.

Ketujuh, Hal yang terakhir, yang patut dikemukakan di sini

adalah perkembangan modernisasi-globalisasi dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi komunikasi-informasinya serta

pengaruhnya dalam kehidupan jemaat dan pelayanan gerejawi.

Sebagai jemaat ~yang walaupun berada di arah

pegunungan dan tidak jauh dari pusat kota Ambon~ maka dampak

kehadiran modernisasi-global sangat terasa dalam penatalayanan

kehidupan bergereja. Fasilitas teknologi-informasi modern, seperti

televisi-parabola, internet dengan gadget dan medsos, media

cetak-elektronik, serta jalur transportasi darat yang terhubung dan

mudah dijangkau, semuanya mengakibatkan jemaat GPM Soya

sama sekali tidak terisolasi dari pelbagai gempuran dampak

kehidupan modern tersebut. Dalam konteks sedemikian, dilatari

pula dengan trend budaya global-kapitalis-modern, maka bagi

pemangku pelayanan gerejawi, fenomena tersebut menjadi

tantangan tersendiri yang cukup serius bagi gereja, untuk

membekali warga jemaat, sehingga pada satu pihak tidak

“ketinggalan arus zaman” tetapi pada pihak lainnya juga tidak

“gampang terseret arus zaman” yang dapat menghancurkan.

90 Ketika diperkenankan melayani ibadah natal jemaat GPM Soya pada tanggal 22

Desember 2017 di gereja Lazarus, penulis mendengar sendiri peringatan keras yang disampaikan oleh bapa raja pada saat memberikan Kesan dan Pesan Natalnya, untuk memberitahukan dan sekaligus memerintahkan warga jemaat (yang dalam hal ini sebagai warga masyarakat Soya pula) agar menolak penyebaran ajaran yang merasuki jemaat dan masyarakat Soya bahwa “perayaan natal itu bukanlah perayaan kristiani yang benar, sehingga tidak patut untuk dirayakan.” Tanpa menyebutkan nama si pelaku dan keluarganya, namun peringatan keras itu diikuti dengan kalimat, “...Saya tidak pandang siapapun itu pelakunya, entah warga biasa ataukah pejabat di pemerintahan negeri Soya. Selama yang bersangkutan tidak bertobat dan menghentikan pelbagai hasutan pengajarannya yang sesat, maka saya tidak segan-segan untuk memberhentikan dan mengeluarkannya dari negeri ini...!” Kondisi yang sama, walau dengan fakta yang berbeda adalah informasi yang diperoleh dari bapa pendeta Kempa bahwa walaupun jemaat GPM Soya cukup besar dan berada di dekat pusat kota Ambon, namun hingga kini tidak ada satupun aliran atau denominasi gereja lainnya yang masuk dan berbasis di Soya. Beberapa warga Soya dalam jumlah yang sangat kecil memang ada yang tergabung dengan gereja lainnya, namun mereka selalu mengikuti ibadah dari gereja tersebut di luar Soya, seperti di gereja Pentakosa atau GBI (Gereja Bethel Indonesia) yang ada di kota Ambon.

Page 45: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

Penelusuran Konteks 127

Penataan pelayanan dan ibadah jemaat misalnya, sudah cukup

akrab dengan penggunaan fasilitas multi-media dan peralatan

musik yang modernis, namun sama sekali tidak berarti

mengabaikan potensi budaya dan tradisi yang ada pada jemaat.

Sebagaimana terlihat dari fasilitas gereja saat ini, seperti:

peralatan band, multi-media dan soundsystem yang menunjang

peribadahan umat. []

Page 46: BAB III PENELUSURAN KONTEKS: POTRET SOYA DAN …

128 Religiositas Ambon-Kristen …