83
BAB III
PENELUSURAN KONTEKS:
POTRET SOYA DAN KEKRISTENAN
Setelah dilakukan penelusuran teori dan konsep terkait
pada bab II ~yang dapat diandaikan sebagai “sebuah teks
sandaran”~, maka pada bagian ini penulis memperhadapkan
penelusuran tentang Soya dan Kekristenan sebagai sebuah
“konteks realita”, yang melaluinya fenomena habitusnya dapat
dicandrai, khususnya terhadap Soya dengan sejarahnya, geografis
dan demografisnya, tatanan adatinya, maupun dalam
perjumpaannya dengan Kekristenan di masa lampau hingga kini.
III.1. Potret Sekilas Tentang Soya
Penelusuran terhadap konteks Soya ini akan ditempatkan
dalam bingkai potret sekilas perihal Sejarah Negeri, Kondisi
Geografis dan Demografis, serta Sistim Pemerintahan dan Tatanan
Adati yang diwariskan dan berlaku di Soya hingga kini.
III.1.1. Sejarah Negeri1
Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah terbentuknya negeri
Soya sekarang ini, memiliki korelasi yang sangat historis dengan
kehadiran Soya di masa “pra-sejarah”, yang berawal dari cerita
1 Deskripsi tentang sejarah negeri Soya ini penulis kompilasikan dari beberapa
sumber dokumenter maupun literatur ilmiah, antara lain : (1) John L. Rehatta, Negeri Soya dan Adat Cuci Negeri: Sebuah Mozaik Budaya Maluku (Pemerintah Negeri Soya, tanpa tempat dan tahun penerbit); (2) Disertasinya Dieter Bartels, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku – Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I dan II (Jakarta: Gramedia,2017). Diterjemahkan dari versi Inggrisnya, “In the Shadow of Mount Nunusaku: A Sosio-cultural History of the Central Moluccas”; (3) Tesis Magisternya Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa Sosio-Budaya Terhadap Upacara Adat Cuci Negeri di Soya dalam Upaya Berteologi Secara Kontekstual (Salatiga: PPSAM UKSW, 2000), Tidak diterbitkan; (3) Tesis Magisternya Jenne Pieter, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013. Selain itu, rujukannya pada hasil riset dan wawancara yang penulis lakukan sendiri terhadap narasumber [bapa Raja Rido Rehatta dan Kepala Soa Adat, opa Wa Huwa’a (88 tahun), dan Bapak Ateng Huwa’a (seorang informan yang dipandang cukup menguasai sejarah dan budaya Soya)], sejak tahun 2014 hingga kuartal pertama tahun 2018.
84 Religiositas Ambon-Kristen …
migrasi sekelompok orang Alifuru dari pulau Seram. Khususnya
bagi kelompok “Soya mula-mula”, menurut penuturan lisan para
leluhur dan diwariskan dari generasi ke generasi2, dituturkan
bahwa Soya itu berasal dari sebuah negeri (lokasi tinggal) di
kawasan Sawai Seram Utara yang bernama “Soya” juga. Sementara
penuturan lainnya juga mengakui, bahwa selain dari Seram Utara,
ada juga yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.
Dalam sejarah migrasi dan penyebaran penduduk yang
keluar dari pulau Seram ke beberapa tempat di luar, termasuk ke
wilayah pulau Ambon dan Lease, dikonstatir bahwa para
penduduk tersebut keluar menyeberangi lautan dengan
menggunakan peralatan perahu dalam bentuk teknologi yang
masih sangat sederhana, yang disebut gosepa atau rakit.
Menurut tradisi sejarah lisan, manusia “Soya awal”, yang
termasuk dalam salah satu kelompok migran “manusia perahu”
tersebut, datang dari pulau Seram ke negeri Soya sekarang ini
melalui 3 (tiga) gelombang “perahu”, lalu menetap di negeri Soya,
membentuk clan baru, dan yang kemudian memilih nama tempat
kediamannya yang baru tersebut, sama dengan nama tempat
asalnya. Hal mana dimaksudkan sebagai tanda dan peringatan,
tentang siapakah mereka dan dari mana sebelumnya mereka
datang.3
Melalui data risetnya tentang tempat-tempat suci di Soya
dan sekaligus pula gambaran mengenai posisi dari perahu soa
sebagai artefak pengakuan sejarah leluhur mengenai kedatangan
kelompok marga yang datang dan mendiami negeri Soya dalam
urutan pertama, kedua, dan ketiga, Bartels membuat ilustrasi
dalam disertasinya tersebut, sebagaimana yang tampak pada
gambar III.1 di bawah ini. Pada ilustrasi tersebut, dikemukakan
tentang posisi tiga perahu yang direkonstruksi kemudian dari batu
megalit dan ditempatkan di puncak bukit yang rata, yang bernama
2 Sebagaimana yang disampaikan pula oleh bapa raja Soya sekarang, Rido Rehatta,
kepada penulis. 3 Bartels, Di Bawah....,465. Bandingkan John L. Rehatta, Negeri Soya...,1.
Penelusuran Konteks 85
Samurele.4 Bartels menguraikan lebih lanjut, ketika terjadi migrasi
manusia Soya awal dari Seram ke lokasi negeri Soya saat ini (usai
peristiwa pica Nunusaku), antara lain sebagai berikut:
“ Perahu batu soa pertama sekaligus dengan tingkat yang tertinggi, yang menjadi soa raja, berada terpisah di sebelah kanan, ketika memasuki alun-alun. Kedua perahu batu lainnya berdampingan di sisi yang berlawanan, dengan soa kedua di sebelah kanan dan yang ketiga di sebelah kiri.... Di tempat itu dilakukan dewan musyawarah kampung di mana orang-orang yang berkedudukan tinggi dari setiap soa akan duduk di perahu masing-masing, sementara pejabat dari dua soa rendah menghadapi batu perahu raja....Batu-batu lainnya yang turut membentuk perahu melambangkan peringkat masing-masing kelompok. Dengan demikian perahu yang pertama, batu yang di tengah sekaligus yang terbesar, adalah tempat kedudukan raja, Sri Mahu. Batu di belakangnya adalah tempat kedudukan istrinya, Peri Ina. Batu yang ada di haluan perahu, milik mata rumah Huwa’a, yang punya tingkat kepangkatan lebih tinggi daripada mata rumah Pesulima dengan batu di buritan perahu. Raja berasal dari pulau Jawa. Setelah menetap untuk sementara di Lessidi, Hoamoal, dia terus berlayar ke pulau Ambon dengan dua kora-kora (perahu p) yang juga memuat anggota mata rumah Huwaa dan Pesulima yang telah bergabung dengan kelompoknya di Lessidi. Pertama-tama mereka mendiami kampung yang disebut Kamuala, berlokasi di antara Hatu dan Laha di sisi Leihitu Teluk Ambon. Namun akibat epidemi penyakit kulit yang berat, mereka terpaksa meninggalkan tempat itu dan membangun tempat baru yang berlokasi di hutan-hutan sagu Honipopu dekat Amantelo, yang merupakan daerah kekuasaan Soya. Akhirnya, Patih Soya mengajak mereka pindah ke Soya di mana Sri Mahu menjadi
4 Bartels, 465.
86 Religiositas Ambon-Kristen …
raja yang memimpin Soya dalam pepan dengan musuh bebuyutannya, kampung tetangga Ema.... Demikian pula, soa yang kedua memiliki lima tempat duduk dan soa yang ketiga tiga tempat duduk, semuanya mewakili berbagai mata rumah di dalam masyarakat perahu asli mereka.”5
Gambar III.1. Ilustrasi Bartels Tentang Tempat Suci di Soya
dan Posisi Urutan Kedatangan Perahu Soa di Negeri
Soya6
Dalam perkembangan selanjutnya, Soya berkembang
menjadi salah satu dari beberapa kerajaan yang besar di kawasan
pulau Ambon saat itu,7 dengan membawahi sembilan negeri kecil,
yaitu:8
5 Ibid, 465. 6 Ibid, 464. Hal yang patut dikritisi dari pernyataan Bartels bahwa tempat (batu
teung) Rulimena telah diabaikan dan tidak berarti, justru saat ini telah menjadi tempat persinggahan yang penting dan bermakna dalam alur tahapan ritual Cuci Negeri Soya. Sebab setelah “matawana” semalam suntuk di puncak Sirimau, rombongan justru disambut tepat di wilayah teung Rulimena, sebagai perwujudan penerimaan orang basudara dan sekaligus sukacita perayaan kemenangan (keberhasilan) pengekangan diri di puncak Sirimau melalui aktifitas puasa tidur dan makan.
7 Selain kerajaan Soya, ada kerajaan Nusaniwe, dan juga kerajaan Hitu (Hitumessing). 8 Disusun berdasarkan urutan abjad dan sekaligus dibuat padanan lokasinya di masa
sekarang ini.
Penelusuran Konteks 87
(1) Ahuseng, dipimpin oleh “Orang Kaya”, lokasi sekarang di
kawasan Kayu Putih;
(2) Amantelu (artinya Kampung Tiga), negeri yang dipimpin
oleh seorang “Patih”, yang saat ini lokasinya dekat Karang
Panjang;
(3) Eraang, dipimpin oleh “Orang Kaya”, dan letak sekarang di
belakang negeri Soya. Kata berasal dari nama “ Tapinalu”
(di Huamual, Seram Barat);
(4) Haumalamang, dipimpin oleh seorang “Patih”, namun
letaknya belum dapat dipastikan. Diperkirakan sekarang
ini leokasinya di negeri Baru dekat kawasan Air Besar;
(5) Hatuela (artinya Batu Besar), dipimpin oleh “Orang Kaya”,
dan lokasinya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang
ini;
(6) Honipopu, suatu negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”
dan lokasi sekarang di kawasan Kantor Walikota Ambon;
(7) Pera, dipimpin oleh “Orang Kaya”, yang letaknya sekarang
di negeri Soya (induk);
(8) Sohia, negeri tempat kedudukan raja, letaknya sekarang di
antara gunung Sirimau dan gunung Horil.
(9) Uritetu (yang artinya Di Balik Bukit), suatu negeri yang
diperintah oleh “Orang Kaya” dan lokasi sekarang di sekitar
kawasan bekas hotel Anggrek.
Bahkan, sebelum membawahi 9 (sembilan) negeri tersebut,
dan juga sebelum kedatangan Portugis di Maluku, kerajaan Soya
pun telah mewujudkan kedaulatannya yang luas hingga meliputi
antara lain: wilayah Teluk Ambon sampai ke Passo, wilayah pesisir
pantai Timur sampai Selatan Jazirah Leitimor, di bawah
pemerintahan seorang raja yang saat itu dikenal dengan sebutan
“Latu Selemau”. Konon, sang raja dengan panglima perangnya yang
terkenal, “Kapitang Hauluang”, dibantu oleh kapitang-kapitang
kecil sebagai kepala pasukan tombak, panah, dan parang salawaku
dengan kekuatan 300 orang prajurit yang didukung oleh kurang
lebih 1000 orang rakyat, siap untuk berhadapan dengan musuh
88 Religiositas Ambon-Kristen …
siapapun, yang mencoba-coba mengusik kedaulatan kerajaan Soya.
Kendati memiliki kekuatan tempur dan potensi kerajaan yang
cukup lumayan, namun dalam perkembangan kemudian, 2 dari 9
negeri yang bernaung di bawah kekuasaan kerajaan Soya tersebut,
yakni negeri Hatuela dan negeri Haumalang, terhapus
keberadaannya, akibat dari penyan Portugis ke Soya pada tahun
1572 dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada tahun
1824.
Patut dicatat pula, bahwa menelusuri asal-usul negeri Soya,
sesungguhnya tidak mungkin untuk mengabaikan fakta historis
tentang kepentingan politik dan ekonomi-perdagangan yang
melatari kepentingan saat itu, selain tentunya ada faktor agama
pula. Hal mana terwujud melalui hubungan dagang kerajaan Soya
dengan Hitu, Ternate, dan Tidore, bahkan dengan raja-raja Goa di
Sulawesi serta juga dari pulau Jawa, sebagaimana yang terjadi
pada akhir abad ke-14 di masa kerajaan Majapahit. Adapun sisa-
sisa bukti peninggalan sejarah dan pengaruh interaksi Soya
dengan pelbagai kekuasaan dan kepentingan lain di luar Soya, baik
dari Barat maupun dari kerajaan-kerajaan Nusantara ~sebagai
upaya untuk melengkapi penelusuran terhadap asal-usul negeri
Soya~ dapat terlihat pada beberapa benda, simbol, bahasa, artefak,
dan bukti sejarah lainnya yang masih terpakai atau tersimpan
hingga saat ini. Penelusuran yang lebih khusus dan jelas tentang
hal-hal tersebut akan dibahas dalam Bab IV.
III.1.2. Kondisi Geografis dan Demografis
Secara administratif, negeri Soya sekarang berada pada
wilayah kecamatan Sirimau, kota Ambon, provinsi Maluku.
Sementara dari kondisi geografisnya, Soya terletak pada
ketinggian sekitar 464 meter di atas permukaan laut, dan berada
pada wilayah pegunungan Sirimau yang terletak sekitar 6 Km dari
pusat kota Ambon. Berada pada posisi yang cukup tinggi,
menyebabkan suhu udara di Soya berkisar antara 20˚ - 30˚ C.
Dengan luas batas petuanan Soya sekitar 5.969 ha
(tergolong salah satu negeri terluas dari negeri-negeri lainnya di
Penelusuran Konteks 89
jazirah Leitimor9), maka posisi geografis negeri Soya saat ini
menempati lokasi yang berbatasan dengannya, sebagai berikut:
Sebelah Utara : Petuanan Negeri Halong dan Negeri Passo
dari Kecamatan
Teluk Ambon Baguala serta Negeri Batu
Merah, Keluarahan Waihoka, Kelurahan
Batu Meja dari Kecamatan Sirimau.
Sebelah Timur : Petuanan Negeri Hutumuri dan Negeri
Leahari dari Kecamatan Leitimur Selatan.
Sebelah Selatan : Petuanan Negeri Hatalai, Naku, Kilang dan
Ema dari Kecamatan Leitimur Selatan.
Sebelah Barat : Petuanan Negeri Urimessing dari
Kecamatan Nusaniwe.
Bila dilihat dari kondisi topografis, negeri Soya bercirikan
negeri yang berbukit-bukit, dengan tingkat kesuburan tanah dan
keanekaragaman hayati yang tinggi, karena ditopang dengan curah
hujan yang cukup tinggi pula. Dengan tanah yang subur dan
sumber mata air yang jernih10, maka Soya dimungkinkan untuk
memiliki sumber daya alami yang kaya dengan aneka hasil hutan
produktif seperti Damar,11 Cengkeh (syzygium aromaticum), Pala
(myristica fragrans), Kelapa (cocos nucifera), Pohon Aren
(mayang), Rotan, dan anekaragam tanaman serta buah-buahan
9 Di Pulau Ambon, yang mencakup dua wilayah administratif (Kota Ambon dan
Kabupaten Maluku Tengah), sejak lama dikenal adanya pembagian 2 (dua) jazirah atau semenanjung, yaitu: (1) jazirah Leihitu, yang meliputi negeri-negeri seperti Allang, Liliboi, Hatu, Laha, Tawiri, Hatiwe Besar, Hitu, Mamala, Morela dan negeri lainnya di kawasan Kecamatan Leihitu, dan (2) jazirah Leitimor, yang meliputi negeri-negeri seperti Latuhalat, Seilale, Eri, Amahusu, Soya, Ema, Kilang, Naku, Hukurila, Hutumuri dan lainnya.
10 Menurut informasi dari bapak Brury Pesulima (Sekretaris Negeri), berdasarkan hasil riset laboratorium pada beberapa tahun terakhir ini, terbukti bahwa air yang berasal dari sumber mata air Soya, sama sekali tidak memiliki pengendapan, atau memenuhi kualifikasi baku mutu air.
11 Kendati jenis pohon Damar ini telah menjadi ikon pada lambang bendera negeri Soya, namun dari data faktual diakui bahwa sekarang ini, jumlah pohon Damar di Soya sudah sangat langka dibandingkan dengan jenis tanaman pepohonan lainnya. Bila merujuk pada data Statistik negeri Soya pada tahun 1997 saja, sudah terlihat bahwa jenis tanaman pohon Damar tidak diperhitungkan sebagai salah satu jenis tanaman yang khas di Soya, dibandingkan tanaman lainnya seperti: Cengkeh (70.000 pohon), Pala (50.000 pohon), Salak (5.600 pohon), Kelapa (3.275 pohon), Durian (774 pohon). Lihat, Likumahwa, Analisa..., 71.
90 Religiositas Ambon-Kristen …
seperti: Durian (durio zibentinus), Manggis (garcinia mangostana),
Lachi (litchi chinensis), Salak (salacca amboninensis).12
Negeri Soya memiliki 2 (dua) jenis musim, yakni musim
hujan dan musim kemarau. Pada bulan Mei hingga Oktober,
berlangsung musim hujan, yang disertai dengan tiupan angin
Timur, dilanjutkan dengan fase transisi pada bulan November.
Sedangkan pada bulan Desember hingga Maret, tiba musim
kemarau yang disertai dengan datangnya tiupan angin Barat,
dengan fase transisi pada bulan April.13
Dari segi kependudukan, Soya mengalami “pasang-surut”
populasi, sesuai dengan dinamika sejarah dan perkembangan
konteks sosial politik, ekonomi, budaya dan demografis, yang
dialami oleh negeri Soya sendiri. Berdasarkan beberapa data
dokumenter tentang sensus penduduk Soya, dapat terlihat
perbandingan laju perkembangan demografis Soya semenjak abad
ke-17 hingga saat ini. Pendataan inipun terbatas pada beberapa
sumber dokumenter yang tersimpan, yang diperoleh oleh Cooley,
ketika melakukan riset disertasinya, yaitu sebagai berikut:
Tabel III.1: Perbandingan Populasi Penduduk Soya Dari
Tahun 1691 – 2017
Populasi Penduduk Soya Jumlah Jiwa
Data dari F.L.Cooley,14 yang mencatat data
penduduk Soya dalam 3 kurun waktu, yakni:
(1) Tahun 1691
(2) Tahun 1855
(3) Tahun 1959
911 jiwa
107 jiwa
712 jiwa
Data Negeri Tahun 199715 5.295 jiwa
12 Debby V Pattimahu, J Ch Hitipeuw, Olivia Souisa, “Strategi Pengelolaan Pariwisata
pada Hutan Lindung Gunung Sirimau di Negeri Soya Kecamatan Sirimau Kota Ambon”, Artikel di LKDM (Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku), Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisiua, 2017),497.
13Ibid. 14 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Cooley dalam risert disertasinya. Lihat,
Cooley, Mimbar..., 36-37.
Penelusuran Konteks 91
Data Negeri Tahun 201016 3.854 jiwa
Data Negeri Tahun 201717 8.679 jiwa
Fenomena “pasang-surut” populasi negeri Soya tersebut di
atas, dapat dimengerti dari beberapa faktor yang turut
melatarinya, antara lain:
Satu, Kehadiran kolonialisme yang signifikan turut
memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Bahkan, menurut
pencermatan Cooley, justru pada era kolonial itulah terjadi
kemerosotan jumlah penduduk;18
Dua, Perubahan batas wilayah petuanan negeri yang
diakibatkan dengan hadirnya beberapa kawasan yang terpisah
atau “mekar” menjadi negeri baru secara administratif;19
Tiga, Dampak konflik kemanusiaan tahun 1999, yang
menyebabkan cukup banyak warga memilih untuk mengungsi ke
tempat lainnya (baik di kota Ambon maupun di luar Ambon). Hal
ini patut dimengerti, karena semenjak tahun 1999 hingga
memuncak pada tanggal 28 April tahun 2002 (momentum
terbakarnya gedung gereja tua Soya), fakta-fakta historis tersebut
sesungguhnya sangat memengaruhi psiko-traumatik masyarakat
Soya sendiri, bahkan berdampak pada beberapa tahun kemudian;
Empat, Situasi pasca-konflik yang semakin kondusif dan
relatif aman-damai, diikuti dengan geliat pembangunan dan
perkembangan sosial politik dan ekonomi yang kian membaik,
turut berdampak pada kehadiran penduduk yang meningkat.
Paling kurang ada dua sebab, yakni: (a) kembalinya orang Soya
dari pengungsian sementara, dan (b) kesediaan Soya dalam
merespons permintaan pemerintah Provinsi dan Kota Ambon,
untuk mengalokasikan beberapa kawasan di wilayah petuanan
15 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Likumahwa dalam riset tesisnya. Lihat,
Likumahwa, Analisa....,71. 16 Merujuk pada sumber data yang diperoleh Pieter dalam riset tesisnya. Lihat, Pieter,
Mitos...., 33. 17 Merujuk pada sumber data terbaru) yang penulis peroleh dari data statistik negeri
Soya (diambil bulan Desember 2017) dan juga digunakan dalam rujukan Pemerintah Negeri Soya dalam dokumen RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Negeri Soya Tahun 2015-2020, (Tanpa Tempat, Tahun dan Penerbit), 8.
18 Cooley, Mimbar...,35. 19 Ibid, 37.
92 Religiositas Ambon-Kristen …
negeri Soya sebagai tempat penampungan permanen bagi para
pengungsi jemaat-jemaat Kristen dari lokasi lainnya di kota
Ambon, yang menjadi korban konflik.
Perlu dikemukakan pula bahwa terkait dengan profil
demografis Soya, tampaknya penting untuk melihat konfigurasi
komposisi penduduk asli dan pendatang di Soya. Dari hasil riset
yang dilakukan, diakui bahwa dalam situasi kontemporer saat ini
disinyalir bahwa konfigurasi penduduk “asli-pendatang” di Soya
saat ini cukup berimbang (hampir 50 % asli dan 50 %
pendatang).20 Suatu jumlah prosentasi konfigurasi yang berubah
cukup signifikan dalam 8 (delapan) dekade belakangan ini. Apabila
merujuk pada data yang dikonstatir oleh Cooley, terungkap bahwa
angka sensus di tahun 1930 menunjukkanbahwa di beberapa
wilayah subbagian kota Ambon (menurut penulis, tentunya
termasuk wilayah petuanan negeri Soya), terdapat hampir 90 %
terdiri dari penduduk asli dan 10 % terdiri dari kaum pendatang.21
Berdasarkan dokumen RPJM (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah) pemerintah negeri Soya untuk tahun 2015 –
tahun 2020,22 disebutkan bahwa jumlah penduduk Negeri Soya
(rujukan data tahun 2015) sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi
laki-laki sebanyak 4.302 jiwa dan perempuan sebanyak 4.377
jiwa. Penduduk Soya tersebut tersebar pada 4 lokasi, yakni pada
negeri induk (pusat pemerintahan) sebanyak 823 jiwa/174 kk,
dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 Kk. dusun Tabea Jou
sebanyak 679 jiwa/354 kk, dusun Air Besar sebanyak 1.477
jiwa/376 kk.
Dari populasi yang sedemikian, tercatat bahwa data pada
dokumen RPJM tersebut mengisyaratkan bahwa, komposisi
penduduk negeri Soya secara keseluruhan berdasarkan kualifikasi
usia adalah: (1) usia 25-50 memiliki jumlah jiwa terbanyak, yakni
20 Prosentasi ini penulis peroleh dari hasil wawancara dengan Sekretaris Negeri
(bapak Brury Pesulima) dan Ketua Majelis jemaat GPM Soya, Pdt. P. Kempa, pada tanggal 7 Desember 2017. Prediksi prosentasi ini dikemukakan karena pada dasarnya konfigurasi sedemikian tidak dicantumkan secara terbuka dan tertulis di papan statistik negeri maupun jemaat.
21 Cooley, Mimbar...., 41. 22 Pemerintah Negeri Soya, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Negeri
Soya Tahun 2015-2020, (Tanpa Tempat, Tahun dan Penerbit),8-10.
Penelusuran Konteks 93
sebanyak 2.033 jiwa atau 23,42%, (2) selanjutnya usia 6-15
sebanyak 1096 atau 12,62%, (3) usia 16-24 sebanyak 1020, atau
11,75%, (4) usia 50 tahun ke atas sebanyak 668 jiwa atau 7,70%,
dan (5) yang terendah adalah kelompok usia 0-5 tahun sebanyak
611 jiwa atau 7,04%.
Khususnya berkaitan dengan tingkat pendidikan, maka
data perbandingan yang diperoleh sebagai gambaran portofolio
pendidikan warga Soya dari tahun 1997 hingga 2015 adalah
sebagai berikut:
Tabel III.2: Tingkat Kualifikasi Pendidikan Dalam
Perbandingan Beberapa Tahun
No Jenis Pendidikan Tahun
199723
Tahun
201024
Tahun
201125
Tahun
201526
1 TK/Sekolah
Dasar/Sederajat
1342 org 1315 org 1074 org 1435 org
2 SMP 1011 org 390 org 850 org 1250 org
3 SMU/SMK 1765 org 1408 org 2184 org 895 org
4 Diploma & Sarjana
(S1, S2, & S3)
501 org 729 org 419 org 850 org
Sementara untuk gambaran mata pencaharian (pekerjaan)
masyarakat Soya, dipaparkan pula suatu data perbandingan dari
tahun 1997 hingga 2015, sebagai berikut:
23 Sumber data: Likumahwa, Analisa....,73. 24 Sumber data: Pieter, Mitos...., 35. 25 Sumber data: Pemerintah Negeri Soya, RPJM...,11. 26 Sumber data: Nancy Novitra Souisa, “Makan Patita – Nilai dan Maknanya dalam
Membangun Pendidikan Kristiani yang Kontekstual” Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama Fakultaas Teologi UKSW, 2017), 122. Data terkonfirmasi dengan angka-angka pada Papan Data Statistik di Kantor Negeri Soya yang penulis ambil pada tanggal 7 Desember 2017. Artinya, angka-angka statistik pada tahun 2015 belum mengalami perubahan hingga akhir tahun 2017.
94 Religiositas Ambon-Kristen …
Tabel III.3. Perbandingan Pekerjaan Penduduk
Dari Tahun 1997 Hingga 2015
No Jenis Pekerjaan
Tahun
199727
(%)
Tahun
201028
(%)
Tahun
201129
(%)
Tahun
201530
(%)
1 Pegawai Negeri Sipil 625 org
(26 %)
376 org
(47 %)
536 org
(27 %)
515 org
(33 %)
2 Petani Hutan/Kebun,
Peternak
570 org
(24 %)
119 org
(15 %)
239 org
(12 %)
390 org
(25 %)
3 POLRI / TNI 95 org
(4 %)
42 org
(4 %)
112 org
(5 %)
217 org
(14 %)
4 Wiraswasta/Wirausaha
(Sopir, Tukang Ojek,
Tukang Becak, Pedagang
Pondok/Kios, Papalele,
Penjahit, Tukang Batu,
Pengusaha, dan lainnya
yang tidak menentu)
915 org
(46 %)
270 org
(34 %)
1142 org
(56 %)
425 org
(28 %)
Dari paparan data tentang profil pendidikan dan pekerjaan
masyarakat Soya dengan perbandingannya dari tahun ke tahun,
terlihat bahwa warga Soya secara umum memiliki tingkat
kualifikasi pendidikan yang cukup baik. Bahkan ~sebagai data
bandingan~ bila merujuk pada temuan riset yang diperoleh oleh
Souisa,31 diungkapkan dalam disertasinya bahwa, ternyata di Soya:
(1) Tidak ada warga masyarakat usia sekolah yang tidak
bersekolah; (2) Tidak ada yang berusia 12-56 tahun yang tidak
tamat SMP; dan (3) Tidak ada yang berusia 12-56 tahun yang
tidak tamat SMA.
27 Sumber data: Likumahwa, Analisa....,73. 28 Sumber data: Pieter, Mitos...., 35. 29 Sumber data: Pemerintah Negeri Soya, RPJM...,11. 30 Sumber data: Nancy Novitra Souisa, Makan Patita..., 122. Data terkonfirmasi dengan
angka-angka pada Papan Data Statistik di Kantor Negeri Soya yang penulis ambil pada tanggal 7 Desember 2017. Artinya, angka-angka statistik pada tahun 2015 belum mengalami perubahan hingga akhir tahun 2017.
31 Ibid, 122.
Penelusuran Konteks 95
Sedangkan fenomena pergulatan warga terhadap mata
pencahariannya, memperlihatkan hal yang menarik. Khususnya
yang terkait dengan pekerjaan wiraswasta atau wirausaha, yang
prosentasenya cukup tinggi. Fenomena ini dapat dibaca juga dari
perspektif realitas konflik Ambon yang berawal pada tahun 1999.
Terlihat bahwa sekitar 10 tahun setelah konflik (tahun 2010-
2011) pekerjaan wiraswasta kembali menggeliat, setelah tentu
pada era konflik (tahun 1999 hingga 2005) mengalami
pemunduran angka pergulatan warga dalam dunia wiraswasta,
karena situasi yang tidak terlalu kondusif. Namun secara umum,
posisi Soya yang berada relatif tidak terlalu dekat ataupun terlalu
jauh dari pusat kota Ambon, sesungguhnya memungkinkan warga
untuk dapat mengupayakan pelbagai usaha alternatif-kreatif,
sebagaimana terindikasi dari profesi seperti menjadi tukang ojek
dan tukang becak.
III.1.3. Sistim Pemerintahan dan Tatanan Adati Negeri Soya
Sistim pemerintahan negeri Soya sangat berkorelasi
dengan tatanan adati masyarakat negeri Soya itu sendiri. Artinya,
sistim pemerintahan Soya bertumpu pada tatanan budaya dan
struktur adati masyarakat Soya pada satu pihak, dan pada pihak
lainnya, struktur adati masyarakat Soya tersebut turut membentuk
dan memengaruhi sistim pemerintahan yang ada. Sistim tersebut
dikenal dengan sebutan sistim pemerintahan Saniri Latupatih,
yang terdiri dari: (a) Raja (Upulatu), (b) Para Kapitang, (c) Kepala-
kepala Soa, Patih, dan orang Kaya, (d) Kepala adat (Mauweng), dan
(e) Kepala Kewang. Struktur Saniri Latupatih ini dilengkapi dengan
Marinyo, yang berperan untuk menjalankan fungsi hubungan
masyarakat dan pembantu dari lembaga Saniri Latupati ini. Badan
Saniri ini diwajibkan untuk melaksanakan persidangan besar
Saniri sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, dan dihadiri oleh
semua orang dewasa di negeri serta berlangsung secara
demokratis.32
32 Bandingkan John L. Rehatta, Negeri Soya...,4
96 Religiositas Ambon-Kristen …
Patut diakui bahwa kebijakan pemerintah RI yang
sentralistik ~dengan penetapan Undang-Undang No.5 tahun 1979
tentang Sistim Pemerintahan Desa~, sangat memengaruhi tatanan
pemerintahan adati, yang telah berlaku ratusantahun sebelumnya.
Namun semenjak implementasi Undang-Undang tersebut
dilakukan penyesuaian dengan konteks tatanan budaya dan
kearifan lokal setempat, maka sistim pemerintahan adati Soya
dikembalikan pada formasi semula, dengan melakukan beberapa
modifikasi atau penyesuaian nama atau istilah.
Dalam sistim yang berlaku sekarang di Soya, yang telah
mengalami penyesuaian atau adaptasi pengorganisasi dan
administrasi, maka kedudukan dan fungsi dari masing-masing
unsur di pemerintahan negeri Soya, baik secara personal maupun
organisasional, dapat diperikan sebagai berikut:
(1) Badan Saniri: Badan Perwakilan Negeri (BPN), yang dalam
struktur masyarakat adat, terdiri dari raja dan kepala soa, dan
posisinya sejajar dengan kepala pemerintahan.
(2) Raja: Sebagai Kepala Pemerintah Negeri, yang dalam aturan
adati telah ditetapkan berasal dari garis mata-rumah tertentu
atau yang lazim dikenal sebagai mata-rumah parintah.
(3) Kepala Soa : Pemimpin (ketua) dari kelompok marga-marga
tertentu yang biasanya dipercayakan kepada anggota tertua
atau yang disepakati bersama oleh marga tersebut.
(4) Mauweng: Ketua atau pemimpin adat. Ada yang melihatnya
semacam guru dan juga imam dalam lingkungan adati.
(5) Kewang : Orang khusus yang dipercayakan sebagai penjaga
hutan, tanah dan air.
(6) Marinyo : Orang yang bertugas untuk menyampaikan berita
atau informasi khusus dari raja atau badan saniri negeri.
Terindikasi jelas bahwa kata ini merupakan pengaruh kata
serapan dari bahasa Portugis: “Merinho”.
(7) Sekretaris Negeri : Jabatan ini merupakan jabatan yang
diadaptasikan dari struktur pemerintahan desa yang berlaku
di luar Ambon/Maluku kepada sistim pemerintahan adati di
beberapa negeri di Ambon/Maluku.
Penelusuran Konteks 97
(8) KaUr: Jabatan ini juga merupakan jabatan penyesuaian
sebagai Kepala Urusan Pemerintahan, Pembangunan, dan
Umum, yang posisi dan kewenangannya berada di bawah
Sekretaris Negeri.
(9) Bendahara: Jabatan dan posisi yang diadaptasikan, khususnya
berkaitan dengan penanggung jawab pengelolaan dan
administrasi keuangan negeri.
(10) Kepala Dusun: Mengingat Soya memiliki 3 (tiga) dusun, maka
masing-masing dusun memiliki pemimpinnya yang
bertanggung jawab langsung kepada raja.
(11) RW dan RT: Posisi dan peran yang diadaptasikan, dengan
sistim pemerintahan desa, dengan memberikan
pengorganisasian warga di tingkat Rukun Wilayah dan Rukun
Tetangga, di bawah Kepala Dusun masing-masing.
(12) Adminsimdes: Penyesuaian struktur dan fungsi (sebagaimana
yang terlihat dari istilah “des” di belakangnya), yakni personil
yang berperan sebagai staf pengelolaan administrasi kantor
dan sistim informasi negeri (desa).
Untuk lebih jelasnya, formasi posisi dan peranan dari
masing-masing unsur tersebut di atas, terlihat pada Bagan
Struktur Pemerintah Negeri Soya, sebagaimana digambarkan pada
gambar III.2 berikut.
98 Religiositas Ambon-Kristen …
Gambar III.2. Bagan Struktur Pemerintah Negeri Soya33
Terkait dengan tatanan dan struktur adati dari masyarakat
negeri Soya, dapat dikemukakan bahwa, pengelompokkan warga
secara adati dilakukan melalui 2 (dua) kelompok soa yang
memiliki ikatan historis-kultural-genaologis yang sangat kuat,
dalam konteks tatanan kultural masyarakat negeri Soya, yaitu (1)
Soa Pera (sering disebut “soa asli”) dan (2) Soa (sering disebut
“soa pendatang”).34
Adapun Soa Pera adalah kelompok marga yang berasal dari
beberapa rumah tau,35yakni: Rehatta, Pesulima, Tamtelahittu,
Huwa’a, de Wanna, Hahury, Ririmase, Salakory, Lapui, Rimasela,
dan Latumalea. Kelompok soa Pera ini diyakini sebagai kelompok
soa yang pertama kali menetap di negeri Soya sekarang ini. Walau
dalam perkembangan kemudian, ada beberapa marga yang keluar
33 Pemerintah Negeri Soya, RPJM....,16. 34 Bila merujuk pada informasi beberapa literatur dan juga pengakuan informan,
diakui bahwa sebetulnya di Soya ada 3 (tiga) Soa. Selain Pera dan , ada juga soa Masing. Namun soa ini merupakan penggabungan dari beberapa rumah tau yang telah keluar secara struktural dari pemerintahan negeri Soya dan lokasi kediamannya pun berada di kawasan kota Ambon (sebagian besar di kawasan yang sekarang ini disebut Soya Kecil).
35 Gabungan beberapa kelompok keluarga batih atau mata-rumah karena faktor genealogis (keturunan). Bisa juga dapat diartikan bahwa rumah tau adalah kumpulan dari beberapa mata rumah.
Penelusuran Konteks 99
atau menghilang, hingga tersisa 4 (empat) marga utama di
kelompok soa Pera ini, yaitu: Rehatta, Pesulima, Huwa’a, dan
Tamtelahittu.36
Sedangkan kelompok soa , hanya terdiri dari satu rumah
tau, yaitu marga Soplanit. Kendati demikian, soa ini justru
merupakan soa yang mengakomodir seluruh
keluarga/marga/rumah tau yang bukan warga “asli” (pendatang),
namun telah memilih untuk menjadikan Soya sebagai tempat
kediamannya yang tetap. Beberapa marga yang digolongkan dalam
soa, antara lain: Pattipelauw, Pattimahu, Patty, Manuputty,
Saptenno, Hitijahubessy, Salampessy.
Tatanan adati masyarakat negeri Soya, selain
diklasifikasikan berdasarkan soa, juga memiliki tatanan khusus
yang berkaitan dengan hak dan kewenangan warga, teristimewa
yang diberlakukan dalam lingkup soa Pera secara turun-temurun,
yaitu misalnya:
(1) Berkaitan dengan posisi menjadi “raja” atau “upulatu” di Soya,
maka diharuskan berasal dari rumah tau Rehatta, dan berada
dalam garis mata rumah parintah;37
(2) Berkaitan dengan peran sebagai Kapitang(panglima p) atau
Malesi (Wakil Kapitang), maka diwajibkan untuk merekrut
personil yang berasal dari rumah tau Pesulima dan Huwa’a;
(3) Marga yang dikhususkan untuk mengawal atau bekerja bagi
raja, terpilih dari rumah tau Tamtelahitu.
Selanjutnya, salah satu tatanan adati yang kuat dimiliki
oleh warga Soya pula, khususnya yang dianggap sebagai warga asli
36 Menurut data yang diperoleh, hilangnya beberapa marga dari soa Pera ini antara
lain disebabkan oleh (1) faktor peperangan dengan pihak kolonial Barat maupun dari kesultanan Ternate; (2) faktor menikah; (3) beban kerja yang cukup berat di tengah konteks luasnya kerajaan Soya saat itu. Sebagai contoh, ada marga tertentu yang mendapat tugas untuk memikul raja yang duduk di atas tandu secara bergilir, apabila raja ingin membuat perjalanan mengunjungi wilayah kekuasaannya yang luas, ataupun berkunjung ke negeri tetangga.
37 Ketentuan ini kuat dipegang dan diberlakukan. Sebab misalnya dalam suksesi alih kepemimpinan (raja), lalu ada calon dari marga Rehatta namun terindikasi bukan memiliki “garis langsung” dari mata rumah parintah, maka yang bersangkutan bisa mengalami kendala, bahkan mungkin saja akan dicari pengganti lainnya.
100 Religiositas Ambon-Kristen …
Soya, yakni bahwa setiap Rumah Tau (atau mata rumah) yang ada,
memiliki salah satu batu yang disebut sebagai batu teung (atau
disebut teung saja), sebagai batu peringatan kedatangan mereka
pada pertama kalinya di Negeri Soya, sekaligus pula disikapi
sebagai batu pamali (batu keramat).
Sejak dulu hingga kini, di Soya dapat ditemukan beberapa
Teung antara lain:
(1) Teung Samurele untuk Rumah Tau Rehatta;
(2) Teung Saupele untuk Rumah Tau Huwaa;
(3) Teung Paisina untuk Rumah Tau Pesulima;
(4) Teung Souhitu untuk Rumah Tau Tamtelahittu;
(5) Teung Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit;
(6) Teung Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea;
(7) Teung Hawari untuk Rumah Tau Latumanuwey;
(8) Teung Soulana untuk Rumah Tau de Wana;
(9) Teung Soukori untuk Rumah Tau Salakory;
(10) Teung Saumulu untuk Rumah Tau Ririmasse;
(11) Teung Rumania untuk Rumah Tau Hahury;
(12) Teung Neurumanguang untuk Rumah Tau Latuputty; dan
(13) Teung Tunisou untuk semua Rumah Tau.
Khususnya bagi Batu Teung Tunisou tersebut, dapat
menjadi contoh yang menarik tentang bagaimana keragaman dan
persatuan di antara pelbagai marga dan teung tersebut dapat
diwujudkan dalam tatanan adati masyarakat Soya. Perwujudan
tersebut kian terasa apresiasinya, ketika dalam pelaksanan ritual
adati seperti Cuci Negeri, pemimpin dan warga yang berjalan
melewati batu-batu teung tersebut akan menunjukkan sikap
“hormatnya” dalam ekspresi musikal adati, seperti pada syair
suhat.38
Adapun beberapa tatanan adati yang masih diberlakukan
dalam konteks masyarakat Soya saat ini, selain ritual adat Cuci
38 Lihat, Jenne Jessica R Pieter, “Pemahaman Tentang Tete Nene Moyang, Adat, dan
Negeri – Analisa Struktural Mitos dalam Suhat Negeri Soya”, artikel dalam LKDM, Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 241-256.
Penelusuran Konteks 101
Negeri, ada juga adat perkawinan (antara lain terkait dengan
tradisi maso minta, harta kawin, pembayaran kain berkat dan
kawin lari), adat suksesi dan pelantikan raja, adat sasi39, adat
hubungan kekeluargaan antar marga atau soa dan kekerabatan
antar gandong (dengan negeri Mamala dan Sawai yang muslim)
dan pela (dengan negeri Urimessing yang kristen).
III.2. Kekristenan di Ambon dan Jemaat GPM Soya: Sekilas
Sejarah dan Keberadaannya Kini
Pada bagian ini, akan dipaparkan secara sekilas tentang
sejarah masuknya Injil ke Ambon, dan bagaimana wujud
perjumpaan Injil dan Adat (Budaya) setempat dengan pelbagai
tanggapannya, serta Profil Jemaat GPM Soya dalam sejarahnya di
masa lampau dan saat ini.
III.2.1. Perjumpaan Injil dengan Ambon
Apabila sejarah kekristenan (khususnya GPM) hendak
diperiodisasikan dalam suatu kurun waktu sejarah secara
kronologis, maka penulis cenderung merujuk pada periodisasi
yang dilakukan oleh Tapilatu dalam disertasinya, yakni:40
(1) Tahun 1540 – 1605: Gereja pada masa misi Gereja Katolik-
Roma;
(2) Tahun 1605 – 1800: Gereja pada masa pemerintahan VOC;
(3) Tahun 1800 – 1935: Gereja di bawah pengasuhan badan
zending dan GPI;
(4) Tahun 1935 – 1942: GPM sesudah berdiri sendiri sampai
dengan saat menjelang pendudukan militer Jepang;
39 Kendati menurut bapa raja Rido Rehatta, pelaksanaannya sudah tidak terlalu
dominan kepada tetanaman warga. Yang masih kuat berlaku adalah sasi yang dibuat oleh pemerintah negeri Soya terkait dengan persengketaan atau konflik batas tanah dan petuanan. Maka untuk memberikan “status quo” terhadap suatu areal tanah konflik, maka pemerintah negeri bertindak dengan melakukan sasi terhadap bidang tanah tersebut. Dan itu cukup efektif untuk meredakan perselisihan dalam kurun waktu tertentu, sambil upaya perdamaian dan mediasi penyelesaian konflik dilakukan.
40 M.Tapilatu, “Sejarah Gereja Protestan Maluku 1935-1980 (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, Disertasi (Jakarta: STT Jakarta,1994),xxi.
102 Religiositas Ambon-Kristen …
(5) Tahun 1942 – 1945: GPM pada masa pendudukan Jepang;
(6) Tahun 1945 – 1949: GPM pada masa revolusi fisik;
(7) Tahun 1950 – 1965: GPM pada masa Orde Lama;
(8) Tahun 1966 – 1980: GPM pada masa Orde Baru sampai
peralihan generasi pertama ke generasi kedua;
(9) Tahun 1981 – Kini: GPM di era kontemporer-milenial.41
Kendati demikian, dalam pemaparan ini, penulis tidak
membatasi pengulasan menurut kronologis periodisasi tersebut,
namun ~sesuai dengan pendekatan fenomenologis yang
digunakan~ maka aksentuasi pemaparan ini lebih diberikan pada
fenomena yang menonjol serta makna esensial yang ditemukan
dari fakta perjumpaan Injil (dari Barat) dengan masyarakat adati
setempat di Maluku, khususnya di kota Ambon, dan terlebih
khusus di negeri Soya, serta potret apa sajakah yang dapat
digambarkan dan disimpulkan tentang sikap dan fenomena yang
muncul dari interrelasi dan interaksi kedua pihak (pihak yang
membawa Injil dan pihak yang menerima Injil) itu sendiri.
Beberapa catatan rangkuman terhadap hal tersebut, antara
lain dapat disebutkan sebagai berikut.
III.2.1.1. Perjumpaan Di Tengah Latar Kepentingan Triple-G
(Gold-Glory-Gospel)
Tak terpungkiri bahwa sejarah kekristenan di Ambon-
Maluku dimulai semenjak kedatangan bangsa-bangsa Barat, dalam
hal ini orang-orang Portugis, yang memeluk agama Katolik-
Roma.42 Data sejarah mencatat bahwa injil (Gospel), yang dibawa
41 Periodisasi yang ke-9 ini dirumuskan oleh penulis dalam rangka mkum realita
keberadaan sejarah GPM semenjak tahun 1981 hingga penulisan ini dibuat (2018). 42Ibid, 12. Bahkan Andaya dalam penelusurannya menyebutkan bahwa latar
kehadiran Portugis ke Maluku sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan persaingan perebutan dan klaim wilayah antara Portugis dan Spanyol terhadap Maluku dan Filipina sebagai wilayah yuridiksi spiritual masing-masing. Disebutkan bahwa penyelesaian konflik tersebut diakhiri dengan kesepakatan bahwa akhirnya Spanyol bersedia melepaskan semua klaimnya atas Maluku dan menerima Filipina, serta sebaliknya Portugis melepaskan Filipina dan mengambil Maluku sebagai yuridiksi spiritualnya. Lihat: Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku, Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2015),19.
Penelusuran Konteks 103
oleh orang-orang Portugis, sangat kuat dilatari dengan
kepentingan ekonomi (Gold)43 dan politik (Glory). Dan ketiga latar
kepentingan Tiple-G tersebut memiliki korelasi dengan
perkembangan situasi yang berlangsung di Eropa pada masa itu.
Dalam mengelaborasi beberapa fakta dan penelusuran
historis, Tapilatu mengulas dan sekaligus memperjelas motif dan
kepentingan dari seluruh fenomena tersebut, dengan merangkum
beberapa data yang dikemukakan oleh beberapa sejarahwan
seperti Hitti, van den End, Berkhof dan Enklaar, serta Visser,
antara lain sebagai berikut:
“....Bangsa Portugis dan Spanyol selama kurang lebih lima abad (th.700-1200) dijajah oleh orang-orang Arab dan Berber yang beragama Islam, dari Afrika Utara. Dalam pembebasan yang berlangsung selama satu setengah abad, akhirnya pihak penjajah berhasil diusir dari negeri mereka. Pada abad ke-15 orang-orang Portugis berusaha mencari jalan ke pusat rempah-rempah di “India” (Asia Selatan dan Tenggara). Usaha tersebut bertujuan mencari keuntungan ekonomi dan untuk mengalihkan rute tradisional perdagangan rempah-rempah (melalui darat) yang didominasi a.l. oleh orang-orang Turki (Islam), musuh orang-orang Kristen karena P Salib. Tujuan yang disebut terakhir (melawan bangsa Turki) dilakukan karena dengan tindakan demikian secara tidak langsung dapat dilemahkan kekuatan bangsa ini, yang pada saat itu sedang mengancam negara-negara Eropa. Jadi selain alasan ekonomis, juga terdapat alasan agamani. Bangsa Portugis dan Spanyol, sebagai penganut agama Kristen,...merasa bertanggung jawab untuk menyiarkan agama mereka di dunia baru yang ditemukan. Dengan dilatarbelakangi oleh alasan-alasan di atas, vasco da Gama berlayar ke “India” dan berhasil
43 Yang dimaksudkan dengan “gold” dalam hal ini adalah pencarian dan penguasaan
terhadap rempah-rempah yang dikenal dengan sebutan “trinitas suci rempah-rempah”, yaitu cengkih, buah pala, dan biji pala. Lihat, Ibid,144.
104 Religiositas Ambon-Kristen …
mendarat di Calicut (India), tahun 1498. Pada tahun 1511, Malaka, sebuah kota Islam dan yang sekaligus adalah salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara, berhasil direbut oleh tentara Portugis. Dikuasainya kota Malaka berarti peluang untuk mencapai pusat rempah-rempah di Maluku, kini telah mereka miliki.”44
Dari latar kepentingan tersebut, maka semenjak
kedatangan Antonio d’Abreu pada tahun 1511 di Banda dan
Ternate, kemudian disusul Antonio Galvao dengan ekspasnsi
armadanya yang menghancurkan armada kerajaan Islam dari Jawa
di perairan Ambon pdapada tahun 1538, maka respons dari para
penganut agama suku di pulau Ambon mulai melirik dan bahkan
mendekati kolonial Portugis untuk membantu mereka dalam
menghadapi ancaman Islam dari kerajaan Hitu di pulau Ambon.
Tapilatu mengkonstatir bahwa dalam kenyataannya, penganut
agama suku itu pun bukan hanya meminta bantuan, melainkan
juga bersedia menerima agama bangsa Portugis yang ditawarkan
para misionaris kepada mereka.45
Proses ketiga latar kepentingan triple-G inipun berlangsung
secara berkelindan, sekalipun tak dapat disangkali bahwa dari
“ketiga G” tersebut, sesungguhnya aspek kekuasaan Politik dan
Ekonomi-lah yang jauh lebih dominan daripada kepentingan
terhadap injil (gospel) tersebut. Hal ini terindikasi antara lain dari
minimnya perhatian dan kesungguhan dari penguasa Portugis
sendiri terhadap aspek penginjilan tersebut. Sebagaimana tampak
antara lain pada: proses kristianisasi yang “instan”, seperti
pembaptisan massal begitu saja; pendidikan dan pengajaran
kristiani (Katholik) yang tidak mendalam (hanya sebatas
menghafal sejumlah pokok-pokok kristiani, seperti Doa Bapa Kami
atau Pater Noster, Salam Maria, dan Dasafirman), selain ditambah
pula dengan terbatasnya misionaris yang didatangkan.46
44Ibid,12. 45Ibid,14. 46Ibid, 14-16.
Penelusuran Konteks 105
Setelah tibanya Fransiscus Xaverius di Ambon pada tanggal
14 Februari 1546 dan diikuti kemudian oleh para imam Yesuit,
maka upaya pembinaan kerohanian iman Kristen (Katolik) sedikit
mulai mendapat perhatian yang memadai. Namun, perkembangan
iman Katolik tidak berlangsung lama, karena kehadiran kolonial
Belanda yang menggantikan kekuasaan Portugis di Ambon, mulai
berlangsung semenjak tahun 1602.47 Dan ketika Belanda
mengambil alih kekuasaan dari tangan Portugis, tercatat bahwa
jumlah orang Kristen hanya sekitar 16.000 orang.48 Namun
kemerosotan kuantitas maupun kualitas hidup orang Kristen pada
masa itu, digambarkan oleh G.P.H.Locher dengan kata-kata, “Veel
meer dan naam-christenen waren aij niet” (“Mereka tidak lebih
daripada orang-orang Kristen nama”).49
Kehadiran Belanda ~yang juga dilatarbelakangi dengan
motif yang tidak berbeda dengan Portugis, yakni politik-ekonomi-
agama, bukan hanya menggantikan kekristenan ala Portugis
dengan Katholikismenya, melainkan membawa aroma baru
dengan latar denominasi, pengajaran dan dogma serta pola
pengembangan misi yang berbasiskan Protestantisme-Calvinis.
Dengan nuansa kepentingan Belanda yang cenderung lebih
berorientasi pada ekonomi (perdagangan), maka saat itu, Ambon
menjadi salah satu dari tiga bandar perdagangan yang sangat
signifikan, selain dua lainnya: Banda dan Tidore.50 Bahkan
kehadiran Belanda betul-betul sangat mengontrol dan
mengendalikan serta memonopoli sumber-sumber alam Maluku,
seperti Pala, Cengkeh dan bunga Pala.51
Kendati demikian, dalam perkembangan kemudian, VOC
atau Verenigde Oost-Indische Compagnie (organisasi dagang
47 Lihat, Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1985),248. 48 Data Müller-Krüger dan Keuning dalam Tapilatu, Sejarah Gereja....,18. 49 Dalam Ibid,19. 50Ibid,20. 51 Izak Yohan Matriks Lattu, “Orality and Interreligious Relationships: The Role of
Collective Memory in Christian-Muslim Engagements in Maluku, Indonesia”, Dissertation (California: The Faculty of the Graduate Theological Union University of California Berkeley, 2014),44.
106 Religiositas Ambon-Kristen …
Belanda) menetapkan kebijakan untuk memberikan perhatian juga
terhadap agama (Injil), dengan dilatari oleh dua faktor utama,
sebagaimana yang dirilis oleh Krüger, “Pertama, berlakunya prinsip
cuius regio, eius religio (agama raja adalah agama rakyat).
Kedua, VOC diwajibkan untuk melaksanakan artikel 36 dari
Pengakuan Iman Belanda, yaitu memelihara gereja yang kudus,
menolak dan membasmi segala bentuk penyembahan berhala dan
agama palsu, memusnahkan kerajaan anti Kristus dan memajukan
kerajaan Yesus Kristus.”52
Dari latar kepentingan inilah maka fenomena yang terjadi
pada saat itu adalah segala kepentingan agama akan berjalan
mengikuti kepentingan politik dan ekonomi (dengan kebijakan
monopoli perdagangannya). Belanda, melalui VOC, memainkan
kepentingan tersebut yang antara lain terlihat pada fenomena
seperti yang digambarkan Tapilatu, dengan mengutip fakta yang
dikemukakan oleh Krüger, antara lain:
“Termasuk di sini pemberian uang atau beras kepada anak-anak yang dididik pada sekolah gereja. Juga diberi uang kepada pendeta yang berhasil membaptis orang-orang Maluku (disebut “uang murid”). Orang yang menjadi Kristen dengan cara demikian, dinamakan “orang Kristen beras”....”53
Tak pelak lagi, betapa kekristenan (gereja) pada masa
kolonial Belanda betul-betul menjadi gereja yang dikuasai oleh
negara (kolonial) dan rentan terhadap pelbagai intervensi. Salah
satu bukti intervensi penguasa (kolonial) terhadap gereja saat itu,
tampak melalui instruksi yang dikeluarkan bagi komisaris politik
dan wali gereja di Ambon pada tanggal 21 Juli 1817, yang antara
lain menyebutkan:54
52 Dalam ibid,22. 53Ibid,23. 54 Christian G.F. de Jong, Sumber-Sumber Tentang Sejarah Gereja Protestan di Maluku
Tengah 1803-1900 – Jilid I: 1803-1854. Diterjemahkan oleh Henry Usmany dan Th.van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012),63-64.
Penelusuran Konteks 107
Pasal 1
Kepala Jawatan Administrasi (Hoofdaadministrateur), yang adalah seorang anggota sidi jemaat Hervormd, harus selalu memagang jabatan Komisaris Politik dari Pemerintah Tinggi.... Pasal 2
Untuk itu, pejabat tersebut akan ikut serta dalam semua rapat gereja sebanyak dipandangnya perlu. Untuk itu ketua majelis gereja wajib memberinya keterangan seperlunya mengenai semua rapat gereja yang hendak diadakan....
Pasal 6
Jika Komisaris Politik perlu menyampaikan urusan tertentu kepada majelis gereja atas nama Pemerintah Tinggi, ia berwenang mengajukan permintaan kepada Ketua agar diadakan rapat gereja. Permintaan itu tidak boleh ditolak.
Dengan acuan campur tangan kolonial Belanda terhadap
keberadaan gereja di Ambon-Maluku sedemikian, maka setiap
diadakan rapat majelis gereja, rapat tersebut wajib dihadiri juga
oleh seorang komisaris politik, yang menjadi anggota majelis atas
nama gubernemen, sesuai kebiasaan yang sudah berlaku sejak
tahun 1630-an. Tokoh yang bersangkutan hadir dalam rangka
menjaga, mengontrol, dan mengawasi agar majelis tidak
mencampuri soal-soal yang menjadi wewenang pemerintah, dan
hanya membicarakan urusan gereja semata.55
De Jong dalam penelusurannya terhadap sumber-sumber
historis terhadap keberadaan gereja protestan di Maluku pada era
tahun 1803 hingga tahun 1854, mencatat bahwa ternyata
kehadiran kekuasaan kolonial pada sisi lainya pun mendapat
resistensi dari masyarakat lokal, termasuk dari kalangan orang
55Ibid,13.
108 Religiositas Ambon-Kristen …
Kristen Ambon-Maluku sendiri. Sebagai contoh, pemberontakan
tahun 1817, yang dipimpin oleh Pattimura (Thomas Matulessy),
pada hakikatnya turut dipicu oleh resistensi terhadap tindakan
umum pemerintah Belanda ~yang harus diakui memang keras
sekali~ tetapi terutama oleh dugaan bahwa pemerintah kolonial
itu hendak mengubah pola organisasi gereja dan sekolah (dalam
hal mana pada saat itu, guru dan pendeta atau penghentar jemaat
dipandang sebagai tokoh sentral di jemaat). Pattimura dan guru-
guru yang mendukung perjuangannya meyakini bahwa mereka
sementara melakukan “perang suci”. Mereka tidak berjuang
melawan tatanan kolonial sendiri, tetapi melawan melawan arus
sekularisasi yang berasal dari Eropa pasca-revolusi.56 Apalagi fakta
pun memperlihatkan bahwa adanya kebiasaan yang buruk dari
kalangan orang Eropa sendiri, yang secara individual tidak
memberikan keteladanan yang baik, sehingga menimbulkan sakit
hati bagi kalangan penduduk asli, khususnya di Ambon.57
Ketika dalam perkembangan kemudian terlihat bahwa VOC
mengalami kemunduran yang cukup signifikan dalam perhatian
terhadap gereja, maka didatangkanlah badan-badan zending ke
Maluku pada tahun 1815-1864, yakni antara lain: NZG (Nederlands
Zendelinggenooptschap), LMS (London Misionari Society) dan BMS
(Baptist Missionary Society). Selanjutnya, badan-badan penginjilan
tersebut digantikan dengan institusi gerejawi yang lebih
permanent dengan nama gereja Hindia Belanda, atau yang lebih
56Ibid,10-11. Dari sumber lainnya, diperoleh data bahwa alasan atau motif lainnya
yang melatari perjuangan Pattimura adalah karena dilihat bahwa kolonial menghancurkan pula tatanan budaya kekerabatan Pela, khususnya dengan pihak basudara muslim, yang dipandang sebagai tatanan adati yang tidak boleh diganggu. Pattimura dan pengikutnya geram dan akhirnya mengangkat perlawanan, ketika mendengar bahwa salah satu gedung gereja di kota Ambon yang telah rongsok akan dijadikan gudang dan orang-orang Islam di Maluku akan dikristenkan secara paksa. Lihat van den End, dalam Tapilatu, Sejarah Gereja...,35.
57 Christian G.F. de Jong, Sumber-Sumber...,640. Abineno, dengan mengutip surat Wiltens pada tanggal 31 Mei 1615 kepada Klasis Amsterdam, merilis informasi bahwa Wiltens sendiri pun mengakui bahwa orang-orang Belanda sendiri yang berperilaku tidak teratur, tidak sopan, tidak baik. Antara lain dengan sering pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, tindak kekerasan terhadap keluarga, dan sebagainya. Perilaku yang justru berbeda dari orang Ambon sendiri. Lihat, Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia I (Djakarta: BPK Gunung Mulia,1978),53.
Penelusuran Konteks 109
dikenal dengan nama Indische Kerk pada tahun 1864-1935.
Indische Kerk inilah yang selanjutnya dalam “pewarisannya” di
masa kini lebih dikenal dengan nama Gereja Protestan di
Indonesia (GPI), dalam hal mana Gereja Protestan Maluku menjadi
salah satu dari 12 sinode gereja bagian mandirinya.58
III.2.2. Perjumpaan Injil dan Adat (Budaya)
Penelusuran konteks selanjutnya akan lebih difokuskan
pada fenomena perjumpaan antara Injil dengan Adat (Budaya)
setempat, yang dalam hal ini merujuk pada perjumpaan dari
kekristenan (yang datang dari luar) dengan keambonan itu sendiri
(yang datang dari dalam).
Sebelum masuknya Injil ke Ambon-Maluku, maka sudah
dipastikan bahwa penduduk asli setempat hidup dalam tatanan
budaya dan kepercayaan tradisionalnya yang adati. Sebagaimana
disinyalir oleh Cooley dalam bukunya Ambonese Adat , bahwa bagi
masyarakat Ambon, karena adat dipandang sebagai warisan
pemberian nenek moyang atau leluhur yang harus dijaga, dipatuhi
dan dihidupi, maka adat merupakan pranata kehidupan yang
sangat penting. Bahkan Adat itu sendiri pun dilihat sebagai
representasi dari perintah dan kehadiran leluhur sebagai pendiri
suatu komunitas adati. Adat merupakan sebuah hukum dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam komunitas. Oleh
karena itu, leluhur dan adat memiliki korelasi yang sangat kuat.
Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa kepatuhan atau
ketidakpatuhan kepada leluhur dan adat, akan berdampak
terhadap hadirnya “berkat atau kutukan/hukuman” dari para
58 Saat ini, selain GPM (yang lahir tahun 1935), maka gereja-gereja yang menjadi
anggota GPI adalah: GMIM-Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), GMIT-Gereja Masehi Injili di Timor (1947), GPIB-Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat (1948), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli (GPIBT – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG – 1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB – 1976), Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua – 1985). Pada tahun 2000 jemaat-jemaat di daerah Banggai Kepulauan dimekarkan menjadi gereja yang mandiri dengan nama: Gereja Protestan Indonesia Banggai Kepulauan (GPIBK). Dua gereja lain yang menyatakan diri masuk ke dalam lingkungan GPI yaitu: Indonesian Ecumenical Christian Church di Riverside California USA (IECC – 1998) dan Gereja Masehi Injili di Talaud (GERMITA – 2002).
110 Religiositas Ambon-Kristen …
leluhur itu sendiri, sebagaimana yang dikonstatirnya sebagai
berikut:
“....it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors. It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is exceedinglyu hazardous because of the power which they continue to hold. The sanctions of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors.”59
Corak keambonan yang adati tersebut, dipandang oleh
kaum pendatang (kolonial, terlebih dari kalangan Belanda) sebagai
corak yang sangat rendah. Tapilatu menyebutkan bahwa orang-
orang Belanda tidak mau tahu tentang agama-agama yang bukan
kristen. Karena, bagi mereka agama asli ini dianggap sebagai
“agama setan”. Begitupun dengan kebiasaan atau adat yang di
luar bangsa Eropa ditolak dengan sangat keras. Bahkan paradigma
sedemikian berimplikasi pada upaya untuk menghancurkan agama
dan kebudayaan asli.60 Dan tanpa disadari, bahwa ternyata upaya
tersebut hanya semacam pemberantasan “kulit” semata,
sementara “isi” dari budaya dan agama asli tersebut tetap
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Ambon-Maluku.61
Malahan dalam perkembangannya justru melahirkan suatu
hibridisasi, atau oleh sejarahwan lainnya menyebutkannya
sebagai sinkretisme injil dan adat, sebagaimana terlihat pada
pandangan dan sikap orang Ambon-Kristen terhadap Alkitab, roti
Perjamuan, air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lainnya.
Objek-objek gerejawi tersebut dipandang “keramat” dan bahkan
“memiliki kekuatan gaib”.62
59 Frank Cooley, Ambonese Adat: A General Description (Michigan: The Cellar Book,
1962),2-4. 60 Tapilatu, Sejarah Gereja....,33. 61 Van den End dalam Ibid,33-34. 62 Tapilatu, Sejarah Gereja....,34.
Penelusuran Konteks 111
Sebetulnya, bila ditelisik lebih jauh tentang paradigma
(cara pandang) yang melatari perjumpaan antara kaum pembawa
Injil (bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis dan Belanda) dan
masyarakat penerima (orang Maluku, Ambon), maka fenomena
menguatnya resistensi orang Eropa terhadap adat dan
kepercayaan tradisional penduduk setempat, turut dilatari oleh
apa yang digambarkan oleh Andaya dalam ulasannya tentang
perjumpaan dua dunia pada abad ke-16, antara lain sebagai
berikut:63
“Ketika bangsa Eropa dan rakyat Maluku pertama kali berjumpa pada awal abad XVI, masing-masing dari mereka bereaksi dalam sebuah cara yang diatur oleh pandangan tertentu yang mereka miliki terhadap dunia. Bangsa Eropa, meskipun dihadapkan pada pengalaman yang baru-baru ini mereka dapatkan di India, masih cenderung untuk mencurigai “kemanusiaan” Dunia Timur. Meskipun cukup tercerahkan untuk mempertanyakan klaim-klaim yang berlebihan mengenai ras mengerikan, bagaimanapun mereka mempertahankan sikap superioritas moral mereka atas masyarakat yang menghuni wilayah pinggiran dari dunia bangsa Eropa “yang beradab”. Bagi rakyat Maluku, bangsa Eropa ~seperti halnya kelompok lain yang berbondong-bondong ke wilayah tersebut untuk mendapatkan rempah-rempah~ adalah orang asing yang tidak tergolong ke dalam keluaga Maluku yang eksklusif sebagaimana yang digambarkan dalam mitos. Sebagai pihak luar, bangsa Eropa tidak pernah berharap untuk (dapat) menikmati hak istimewa yang khusus disediakan bagi mereka. Kedua pandangan yang berbeda (mengenai sang Liyan) tersebut hampir dengan segera menempatkan dua dunia pada kedudukan yang saling bertentangan. Yang memperburuk keadaan adalah karakter individu bangsa Eropa yang dikirim ke Maluku, yang dalam segala hal benar-
63 Andaya, Dunia Maluku...,142.
112 Religiositas Ambon-Kristen …
benar menegaskan pandangan bangsa Eropa bahwa wilayah pinggiran secara alami menarik mereka yang kurang beradab.”
Dengan paradigma sedemikian, ditambah pula dengan
mindset teologi Barat-Kolonial terhadap penduduk pribumi lokal
dengan pelbagai adat tradisional serta kepercayaan adatinya yang
dianggap “haram” dan patut disingkirkan, serta merujuk pada
artikel 36 dari Pengakuan Iman Belanda, maka gerakan
“pembersihan” simbol-simbol dan praktik adati yang dipandang
tidak “injili” dilakukan secara keras dan sporadis, khususnya di
wilayah-wilayah yang mengalami kristenisasi. Sebagai contoh
seperti yang dikemukakan dalam temuan Cooley, antara lain:
perusakan Baileo, benda-benda pusaka yang dianggap memiliki
kekuatan sihir, serta larangan upacara adat yang berkaitan dengan
penguburan.64 Bahkan, menurut Cooley, semenjak hadirnya para
pendeta (misionaris) yang mewakili kelompok Pekabaran Injil
Belanda, maka bentrokan antara pendeta dengan pejabat desa
(negeri) tentang persoalan adat, menjadi realita yang tak
tersangkali. Dan fenomena ini kian merebak, ketika para guru injil
pribumi pun ~akibat pengaruh mindset teologi misionaris
kolonial~ menjadi garda terdepan yang lebih bersemangat dalam
melakukan “pembersihan pelbagai elemen adati dan kepercayaan
tradisional tersebut”.65
Terkait dengan itu pula, maka hal yang sangat
menyedihkan adalah bahwa ternyata bahasa asli (disebut bahasa
tana) pun menjadi bagian dari “korban pembersihan” di negeri-
negeri Kristen, karena dipandang sebagai bagian dari perangkat
tradisional-adati yang tidak injili, dan digantikan dengan bahasa
Melayu. Cooley mencatat bahwa kendatipun pergantian bahasa asli
dengan bahasa Melayu merupakan dampak dari proses penginjilan
yang dilakukan gereja melalui bidang pendidikan, namun
64 Tapilatu, Sejarah Gereja...,22 Lihat juga,.Frank Cooley, Mimbar dan Takhta...,200-
201. 65Ibid.
Penelusuran Konteks 113
penghilangan bahasa asli tersebut menjadi suatu pukulan langsung
dan mematikan terhadap keberadaan adat itu sendiri. Oleh karena,
menurut Cooley, ada dua alasan penyebabnya: (1)
Keberlangsungan adat hanya dapat terjamin dengan penggunaan
bahasa asli. Dan bahasa itulah yang memungkinkan hubungan
langsung dengan arwah para leluhur; (2) Bahasa asli dalam banyak
hal merupakan kunci bagi arti dan fungsi adat. Dengan demikian,
adat pun akan punah seiring dengan lenyapnya bahasa asli
tersebut.66
Penelusuran para ahli terhadap realita sejarah perjumpaan
Injil dengan Adat (Budaya) Ambon di waktu lampau,
memperhadapkan wajah kekristenan Ambon yang antara lain
dapat diindentifikasikan sebagai:
Satu, Kekristenan yang bercorak “sentralistis-birokratis”.67
Cooley merumuskan sifat kekristenan ini dengan mengutip
pendapat Kraemer, yang antara lain mengisyaratkan bahwa corak
pengorganisasian sebagai “gereja pemerintah” turut melatari sifat
sentralistis-birokratis ini. Bahkan sistim kepemimpinan dan
kelembagaan (pengorganisasian) gereja yang hirarkhis sedemikian
turut memungkinkan suasana bergereja yang nyaris tanpa konflik
di antara para pejabat gerejawi, sebagaimana yang ditulis oleh
G.P.H.Locher dalam bukunya, “Dat de kerk een dergelijke
hiȅrarchische ordening kreeg, was voor de ambonees nl/ niets
vreemds. De kerk hoorde voor zijn besef bij de compagnie en deze
had in haar binnenlands bestuur en leger een zelfde opbouw.”68
Dua, Kekristenan yang berorientasi status. Corak
kekristenan ini terlihat misalnya dalam sikap dan kecenderungan
masyarakat Ambon-Kristen terhadap ritual peneguhan anggota
sidi gereja, yang disebut pula dengan istilah penerimaan “pangkat
66 Lihat, Ibid,201-202. 67Ibid,276. 68 Terjemahan: “Bahwa gereja mendapat sistem penatalayanan yang hirarkhis seperti
itu, bukanlah sesuatu yang aneh bagi orang Ambon. Menurut pengertiannya, gereja Kompeni mempunyai struktur yang sama seperti dalam pemerintah dalam negeri dan tentara”. G.P.H. Locher, “De Kerkorde de Protestantse Kerk in Indonesiȅ”,73 dalam Tapilatu, Sejarah Gereja....,49.
114 Religiositas Ambon-Kristen …
serani” (bagi mereka yang mengikuti sakramen baptisan kudus),
dan “pangkat sidi baru” (bagi mereka yang telah mengikuti
pembaptisan dan selanjutnya mengikuti ritual peneguhan sidi),
yang dipandang pula sebagai “pangkat serani yang lengkap”.69
Tiga, Kekristenan yang bercorak “hibrid”, sebagaimana
tercermin misalnya dalam penggunaan busana gereja, pengaturan
tempat duduk di dalam gereja, orkes suling, dan sikap terhadap
sakramen Perjamuan Kudus.70 Bahkan fenomena tersebut terlihat
pula pada keimanan orang Ambon-Kristen dengan pemahaman
dan kesadaran religiusnya dalam kaitan dengan, antara lain
pengertian akan Allah, dosa dan penyakit, sikap terhadap gedung
gereja (secara fisik) atau semua elemen simbolik yang berkaitan
dengan praktik dan ritual liturgis gerejawi serta semua
pemerannya, seperti pendeta dan majelis jemaat.71
Penelusuran fenomenologi historis-religius lainnya yang
perlu dikemukakan, sehubungan dengan perjumpaan Injil dan
masyarakat setempat yang adati ini, adalah tentang latar motif dan
kepentingan di balik dorongan orang Ambon pribumi untuk
memilih menjadi Kristen (menerima Injil). Dikemukakan bahwa
salah satu motif yang sangat kuat adalah pilihan untuk tetap
survive di tengah pelbagai ketakutan ancaman dan penyingkiran,
dengan mencari perlindungan dari penguasa kolonial. Hal ini dapat
dimengerti sebab fenomena pada masa kolonial saat itu sangat
diwarnai dengan keberadaan dua simbol yang menonjol, yaitu
Benteng (sebagai simbol penguasa kolonial) dan rumah Gereja
(sebagai simbol kekristenan). Bahkan simbolisasi yang korelatif
69 Lihat ibid, 277. Menurut Cooley, di balik kecenderungan “status-oriented” ini, tidak
diragukan pula bahwa kecenderungan ini didorong juga dengan motif pencarian kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mengingat pada saat itu, agama Kristenlah yang dominan dan identik dengan agama penguasa (kolonial). Bandingkan pula dengan paparan Tapilatu tentang adanya faktor pertimbangan ekonomis yang ikut melatari motivasi orang Ambon pribumi untuk menjadi pekerja gereja, dengan mencontohkan gaji seorang pekerja gereja tamatan STOVIL (Sekolah Guru Injil) pada tahun 1930-an sebesar 55 gulden. Lihat Tapilatu, Sejarah Gereja....,67.
70 Cooley, Mimbar dan Takhta....,275. 71Ibid,276.
Penelusuran Konteks 115
tersebut menjadi sangat kuat semenjak berdirinya kota Ambon.72
Hal itu pun berdampak pada wajah kekristenan di kota Ambon
pada masa kolonial itu, yang dirumuskan dalam dua wajah:
kekristenan di dalam benteng dan kekristenan di luar benteng.73
Itulah sebabnya, sebagaimana yang diakui dalam tulisan Casparus
Wiltens, yang tiba di Ambon pada tahun 1614, bahwa motif
mencari perlindungan diri karena takut ~baik oleh tekanan dari
pihak kolonial maupun ancaman dari pihak kerajaan Islam yang
cukup berpengaruh saat itu, khususnya dari Ternate dan Hitu~,
merupakan motif yang sangat kuat yang mendorong merapatnya
orang-orang kristen pribumi terhadap kolonial.74
Perjumpaan injil dan adat-budaya Ambon yang saling
memengaruhi, pada akhirnya telah melahirkan corak kekristenan
Ambon yang khas, yang disebut pula sebagai “agama Ambon”
yang kian mapan, sebagaimana yang dikonstatir oleh Cooley,
antara lain:
“Sebetulnya adat dan Indjil telah saling memengaruhi. Dapat dikatakan bahwa agama Kristen di Ambon telah diperadatkan. Sebutan “agama Ambon” itu memang tepat dalam hal bahwa sifat-sifat dari adat telah melekat pada agama Kristen di Ambon. Dan sebaliknja adat djuga telah dibaptiskan atau dikristenkan, dalam arti bahwa paling sedikit secara lahir, adat telah disesuaikan dengan adjaran dan praktek agama Kristen, terutama dalam hal2 jang berhubungan dengan peristiwa2 penting dalam hidup seseorang seperti kelahiran, inisiasi, kedewasaan, perkawinan dan kematian.”75
72 P. Tanamal, “Pertumbuhan dan Pengorganisasian Jemaat-Jemaat Kota Ambon”,
dalam Sejarah Serta Perspektif Pertumbuhan dan Perkembangan Klasis GPM Kota Ambon (Rangkuman Hasil Seminar Sehari Klasis GPM Kota Ambon Tanggal 17 Juni 1988), Tidak diterbitkan (Ambon: Badan Pekerja Klasis GPM Kota Ambon,1988),5-6.
73Ibid,9. 74Ibid. Bandingkan pula sinyalemen yang hampir tidak berbeda, yang dikemukakan
oleh Tapilatu, terkait dengan motif negeri-negeri yang berkolaborasi dengan Portugis (dan diikuti dengan penerimaan agama Kriten) dalam menghadapi ancaman Islam dari kerajaan Ternate dan Hitu. Lihat: Tapilatu, Sejarah Gereja....,15-20.
75 Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964),229.
116 Religiositas Ambon-Kristen …
III.2.3. Profil Jemaat GPM Soya: Dulu dan Kini
Dari dokumen sumber sejarah jemaat GPM Soya,76 dan
merujuk pada tulisan de Vriens, terungkap bahwa Injil mulai
dihadirkan di negeri Soya pada tahun 1538.77 Momentum itu
ditandai dengan dilakukannya sakramen baptisan kepada raja
Soya pertama Latu Selemau, dan diberi gelar oleh pemerintah
kolonial Portugis saat itu dengan gelar “Dom Rodrigos Brandos
Fresdimas,” serta selanjutnya yang bersangkutan diterima sebagai
“orang Portugis”.
Selanjutnya, “api Injil mulai lebih digelorakan” di Soya
melalui kehadiran dan pelayanan seorang Misionaris Ordo Jesuit
yang bernama Fransiskus Xaverius, setelah ia tiba di Ambon pada
tanggal 14 Februari 1546. Itu sebabnya, di depan gereja tua soya,
hingga saat ini, monumen patung Xaverius masih berdiri tegar
sebagai suatu bukti sejarah.
Keterangan Foto:
Jejak kehadiran dan pelayanan Frasiscus Xaverius di Soya, diabadikan
melalui Patungnya yang ditempatkan pada punggung bukit kecil, tepat
berhadapan dengan gereja tua Soya.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
76https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.htmlDiunduh tanggal 7 Maret 2017 77 G. Vriens (ed), “Sejarah Katolik Indonesia: Umat Katolik Perintis-Awal mula, Jilid-1”,
82, dalam Victor Untailawan, Yesus Sebagai Tete Manis – Suatu Kristologi yang Kontekstual di Ambon. Tesis (Yogyakarta: PPsMT UKDW, 1998),25. Bandingkan, Th. Van den End, Ragi...,50. Ada sumber lainnya yang menyebutkan bahwa raja Soya tersebut dibaptis pada tahun 1518. Namun bagi penulis tampaknya masih sulit diterima perkiraan tersebut, karena fakta sejarah umum mengkonstatir bahwa kolonial Portugis baru masuk Ambon dan mendirikan Benteng di Ambon (Hitu) pada tahun 1522. Lihat Sejarah kekristenan di Soya di https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.html, diunduh 17 Januari 2017.
Penelusuran Konteks 117
Dalam perkembangan berikutnya, seusai Belanda
mengambil alih kekuasaan dari Portugis pada tahun 1602, dan
tidak lama kemudian pada tanggal 27 Februari 1605 dilaksanakan
untuk pertama kalinya ibadah dengan liturgi protestan di dalam
benteng Victoria Amboina, maka aroma kekristenan pun beralih
dari Katolik ke Protestan.
Ketika utusan injil dari lembaga penginjilan NZG Belanda,
Joseph Kam, yang dikenal juga sebagai Rasul Maluku, datang ke
negeri Soya pada tahun 1821, data statistik jemaat menunjukkan
bahwa pada saat itu telah terdapat 22 orang anggota sidi gereja, 21
orang Anggota Baptis dewasa, 7 orang anak di luar sekolah, dan
satu orang anak yang dibaptis. Dengan demikian, jumlah seluruh
jemaat yang dilayani hingga kedatangan Joseph Kam adalah
sebanyak 61 orang.78 Selain Yoseph Kam, maka salah satu tokoh
pribumi penting yang turut merintis dan meletakkan dasar-dasar
kekristenan (protestan) di negeri dan jemaat Soya adalah guru
jemaat Lazarus Hitijaubessy, yang lahir pada tahun 1817 dan
meninggal pada tahun 1871. Dan untuk mengenang jasa hidup dan
pelayanannya di Soya, maka jemaat GPM Soya memberikan nama
dari salah satu gerejanya yang cukup besar, yang berlokasi di
kawasan Kayu Putih Soya, dengan nama gedung gereja “Lazarus.”
Selanjutnya, tak dapat disangkali betapa perkembangan
injil tampak berjalan lambat seiring dengan keberadaan
masyarakat yang adalah pula sebagai warga jemaat Soya, yang
lebih cenderung untuk lebih memilih tinggal di hutan demi
menghindarkan diri dari para penjajah (kolonial). Selain tentunya,
proses penerimaan dan pertumbuhan Injil di beberapa jemaat-
jemaat Kristen pada saat itu (termasuk soya), tidak terlalu
memperlihatkan progresivitas yang signifikan, karena pengaruh
budaya lokal masih cukup kuat dan ditambah pula dengan kuatnya
motif politis yang melatari keputusan untuk menjadi kristen.79
78 John L. Rehatta, Negeri Soya....,6. 79 Abineno, dengan mengutip laporan Danckaerts, menyebutkan hal ini dalam
ulasannya tentang motif politis, antara lain seperti takut dibunuh, tidak mau menjadi budak, dan mencari perlindungan dari pihak kolonial. Lihat, Abineno, Sejarah Apostolat....,54.
118 Religiositas Ambon-Kristen …
Dengan merujuk pada sumber-sumber arsip dokumenter sejarah
gereja di Indonesia, de Jong merilis data warga gereja di Soya
(dibedakan antara warga yang mendiami di wilayah Soya bagian
atas dan bagian bawah) dari tahun 1816 hingga tahun 1923,
sebagaimana dalam Tabel III.4 di bawah ini.
Tabel III.4
Statistik Warga Jemaat Soya pada Tahun 1816-192380 Data 1816 1821 1830 1833 1846 1854 1860 1871 1905 1923
Soya Atas 77 61 70 100 96 107 135 146 331 347
Soya Bawah 52 63 35 49 - - - - - -
Jumlah 129 124 105 149 96 107 135 146 137 347
Mengingat perkembangan dan pertumbuhan anggota
jemaat Soya yang kian bertambah, maka tahun 1876 dimulai
pembangunan gereja Soya di masa pemerintahan raja Stephanus
Jacob Rehatta, dengan guru jemaat pada saat itu adalah T.J.
Sopacua. Gereja tersebut mengalami rehabilitasi pada tahun 1927
oleh raja Leonard Lodewijk Rehatta dan D.S.M. Haulussy sebagai
gembala jemaat, dengan bentuk arsitektur gereja yang merujuk
pada bentuk gereja tua di pulau Ambon yang berdiri tahun 1781,
yakni gereja berbentuk segi delapan.
Menyadari bahwa gereja Soya telah dikategorisasikan
sebagai salah satu situs sejarah gereja tua (cagar budaya) di
Ambon, Maluku, maka selanjutnya pada tahun 1996, maka melalui
bantuan dan arahan dari Bidang Museum Sejarah dan
Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku,
dilakukan renovasi gedung gereja secara representatif. Namun,
akibat konflik sosial yang melanda Maluku, Ambon dan menjalar
ke Soya, maka gedung gereja tua yang telah direnovasi tersebut,
dihancurleburkan oleh perusuh pada tanggal 28 April tahun
200281. Tetapi dengan semangat dan kerja keras di bawah
80 Sumber data penulis olah dari paparan data statistik oleh Chr.G.F. de Jong, Sumber-
Sumber ..., 833. 81 Tercatat bahwa jumlah warga yang menjadi korban: meninggal 11 orang, luka berat
12 orang, dan sejumlah warga lainnya luka ringan. Sementara selain gedung gereja tua Soya tersebut, terdapat 22 buah rumah warga yang juga terbakar habir. Lihat. John L. Rehatta, Negeri Soya...,6 dan Pieter, Mitos...,58. Patut dikemukakan pula bahwa dari 11 korban yang
Penelusuran Konteks 119
kepemimpinan dan kordinasi langsung bapa raja Soya sekarang ini
(bapa Rido Rehatta), maka hanya dalam waktu kurang dari
setahun, yakni pada tahun 2003 gedung gereja tua tersebut
berhasil dibangun sesuai arsitektur aslinya dan diresmikan
kembali.
Ketika melakukan riset dan diikuti juga dengan wawancara
bersama bapak pendeta Pieter Kempa sebagai ketua Majelis
Jemaat, yang telah bertugas semenjak tahun 2012, dan juga dialog
(FGD) dengan beberapa narasumber lainnya82, maka dapat
disimpulkan beberapa fenomena faktual dari profil jemaat, dan
sikap keberagamaan warga maupun pelayan jemaat GPM Soya,
dalam kaitannya dengan upaya untuk mewujudkan persekutuan,
kesaksian, dan pelayanan sebagai jemaat Soya yang misioner di
tengah realita konteks budaya dan perkembangan “zaman now”
ini, antara lain sebagai berikut:83
Pertama, Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi sekarang ini,
komposisi warga jemaat dari kalangan masyarakat Soya “asli” dan
yang “pendatang” cukup berimbang. Posisi yang cukup berimbang
ini menjadi tantangan tersendiri bagi gereja bersama dengan pihak
pemerintah negeri untuk terus-menerus berupaya mengeleminir
persinggungan karena perbedaan apapun antara “orang dalam
atau asli” dengan “orang luar atau pendatang”.84
Upaya terhadap fenomena tersebut di atas, antara lain disiasati
dengan tetap memberikan ruang bagi artikulasi budaya dan
meninggal tersebut, termasuk diantaranya mama bongso (adik dari ibu) penulis dan anak (piara)-nya berusia sekitar 9 tahun, yang sebetulnya merupakan korban pengungsi dari jemaat GPM Rumahtiga dan untuk sementara mendapatkan tempat pengungsian di Soya, karena (pada saat itu) Soya dipertimbangkan sebagai salah satu negeri yang dianggap “cukup aman untuk pengungsian”.
82 Termasuk ketika penulis berkesempatan melakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan beberapa unsur pelayan dan pimpinan pengurus wadah/organisasi pelayanan di jemaat, usai melayani ibadah Minggu 17 Desember 2017 di gereja tua Soya.
83 Rangkuman data hasil wawancara dengan pdt. P. Kempa, S.Th (54 th), pada 5 Juli 2017 di Gereja Lazarus.
84 Penulis sendiri mendengar langsung ajakan, himbauan dari bapa pendeta Kempa maupun bapa raja Rehatta dalam beberapa kali kesempatan sambutan atau kesan-pesan di momen-momen perayaan hari-hari gerejawi dan petuah akhir tahun di gereja, kalimat yang sungguh jelas dan tegas, seperti: “Ingat...katong ini seng ada asli atau pendatang....pokoknya semua yang sudah berdiam di negeri Soya, maka katong samua sama-sama menjadi orang Soya yang punya tanggung jawab untuk membangun negeri dan jemaat Soya!”
120 Religiositas Ambon-Kristen …
pelbagai kearifan lokal negeri Soya pada satu pihak, dan pada lain
pihak, tetap mendorong peran dan partisipasi warga “pendatang”
untuk juga terlibat dalam pelbagai aktifitas yang menyentuh
kebersamaan. Bahkan sebagai pelayan dan pemimpin di jemaat,
para pendeta bersama dengan bapa raja dan keluarga, serta juga
pihak sekolah sebagai unsur-unsur kebersamaan dari Tiga Batu
Tungku di negeri dan jemaat, selalu berupaya untuk memberikan
perhatian yang seimbang dan tidak diskriminatif. Lebih lanjut ujar
pendeta Kempa, “ Sekalipun dari 9 sektor yang ada di jemaat GPM
Soya, hanya 2 sektor terdapat di Soya atas yang notabene
mayoritasnya warga asli, sedangkan 7 sektor yang mayoritasnya
pendatang berada di Soya bawah, namun semua pelayanan dan
kebutuhan jemaat direspons secara baik, tertanggung jawab,
terkoodinir, dan proporsional.”
Kedua, Terkait dengan pemeliharaan tatanan nilai-nilai
adat-budaya dan kearifan negeri Soya, termasuk ritual CN,
menurut pendeta, gereja selalu menopang dan bahkan turut
mengembangkan seluruh tatanan adat budaya dan kearifan yang
ada. Karena bagi gereja, memang masing-masing (injil dan adat)
memiliki keberadaannya tersendiri, namun tidak perlu
dipertentangkan, melainkan perlu untuk saling topang-menopang
secara dialogis dan kondusif, sepanjang adat dan tradisi itu tidak
bertolak belakang dengan kebenaran injili. Bahkan adat dan tradisi
itu justru dapat menjadi semacam sarana untuk kontekstualisasi
injil itu sendiri. Oleh karena itu, dalam momen-momen perayaan
ibadah tertentu, sering juga ada kemasan ibadah yang bernuansa
kultural Soya-Ambon, dalam hal mana tatanan seni musik dan tari
serta simbol-simbol budaya (seperti bahasa dan busana)
dipergunakan juga dalam acara ibadah tersebut.
Khususnya berkaitan dengan keterlibatan jemaat dalam ritual CN,
diakui bahwa sampai saat ini mayoritas warga yang terlibat adalah
dari kalangan warga “asli”. Namun dari tahun ke tahun partisipasi
warga “pendatang” mulai menampakkan kesadaran untuk turut
berpartisipasi secara aktif juga. Apalagi momentum pelaksanaan
ritual CN tersebut berada dalam nuansa perayaan minggu-minggu
Penelusuran Konteks 121
adventus menjelang natal Kristus, Konci Taong dan Tahun Baru.
Sehingga pemaknaan ritual CN itu sendiri bagi gereja menjadi
sangat korelatif, yakni sebagai spirit untuk membersihkan,
memulihkan dan menata kembali relasi kehidupan antara umat
dengan Tuhan dan juga antara umat dengan sesamanya serta
lingkungan alamnya. Dan itu pula ~menurut pendeta dan diamini
pula oleh bapa raja~ yang menjadi spiritualitas minggu-minggu
adventus, natal hingga memasuki Konci Taong dan Tahun Baru.
Ketiga, Respons yang diperoleh dari kalangan warga
jemaat maupun dari unsur pelayan (Majelis Jemaat) berkaitan
dengan sikap terhadap tradisi dan pelbagai ritual adati yang ada,
termasuk terhadap CN sendiri, hampir jamak semuanya bersikap
dengan merujuk, bahkan mengutip kata-kata Yesus dalam Alkitab
(Matius 22: 21) "....Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu
berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu
berikan kepada Allah."85 Dengan kata lain, bagi mereka, kesediaan
untuk turut melakukan dan memelihara tradisi dan adat-istiadat
yang ada, sama sekali bukanlah bertujuan untuk menyembah
leluhur atau tete-nene moyang, melainkan justru merupakan sikap
penghargaan terhadap Leluhur dan apa yang telah mereka perbuat
bagi anak-cucu Soya.
Keempat, Terkait dengan partisipasi jemaat dalam ibadah,
pembangunan fisik, serta acara-acara ritual-serimonial gerejawi
dan penerimaan “jabatan” pelayanan, antara lain yang dapat
dicatat adalah:
(a) Jemaat sangat terbiasa dengan tatanan suatu acara yang
formalistik, serimonialistik, dan momental. Artinya,
keterlibatan dan kesungguhan jemaat untuk menghadiri dan
terlibat aktif pada sebuah perayaan tertentu, termasuk
momentum ibadah khusus, seperti perayaan Natal, malam
natal menjelang 25 Desember, malam konci taong tanggal 31
85 Kecenderungan sikap dan alasan yang sama ditunjukkan oleh informan kunci di
negeri Naku dan Hukurila, ketika penulis melakukan riset perbandingan tentang CN dan bagaimana sikap mereka terhadap tradisi dan adat yang ditinggalkan para leluhur tersebut. Lihat: Lampiran tentang Data Perbandingan CN di Soya dengan Naku dan Hukurila.
122 Religiositas Ambon-Kristen …
Desember, dan Perjamuan Kudus misalnya), akan direspons
dengan penuh antusias dan khusuk, dan itu sangat berbeda
dari sikap terhadap ibadah-ibadah rutin biasa (baik ibadah
minggu, apalagi ibadah organisasi atau wadah pelayanan).86
(b) Hal yang hampir mirip berlaku pada antusiasme jemaat
adalah pada aktifitas pembangunan fisik rumah-rumah ibadah
(gedung gereja atau pastori misalnya). Jemaat akan
menampakkan sikap pengorbanannya ~baik tenaga, finansial,
maupun waktu~ untuk terlibat menyukseskan pembangunan
tersebut. Bahkan respons tersebut dilakukan dengan rasa
bangga terhadap rumah gereja yang besar dan megah serta
menyita dana yang tidak sedikit, kendatipun dari sisi
keberadaan ekonomi dan pendapatan, warga jemaat tersebut
sangat “pas-pasan bahkan minim”.
(c) Suatu fenomena yang cukup khas tampak pula adalah spirit
dan kebanggaan warga jemaat terhadap jabatan-jabatan
pelayanan gerejawi. Fenomena ini kuat terlihat dalam sikap
terhadap jabatan khusus sebagai majelis gereja (penatua dan
diaken)87. Rasa kebanggaan dan kewibawaan terhadap
jabatan pelayanan majelis tersebutkian diperkuat dengan
penggunaan busana pelayanan yang khas dan sekaligus
membedakan para pelayan tersebut dengan kalangan warga
gereja pada umumnya. Nuansa tersebut terlihat manakala
tanggapan dari warga jemaat atau sikap si pelayan sendiri
yang merasa tidak percaya diri bila pelayan yang
bersangkutan melakukan pelayanan dengan tidak
menggunakan busana pelayan yang sudah standar sifatnya.
86 Lihat data Renstra jemaat GPM Soya yang mencatat rata-rata tingkat kehadiran
antara 20-25 %. Untuk ibadah minggu biasa, tingkat kehadirannya rata-rata di antara 50-60 %. Suatu angka kehadiran yang berbeda jauh bila dibandingkan dengan ibadah momental tertentu, seperti Natal, Konci Taong dan Jumat Agung, yang berkisar antara 80 – 90 % kehadiran warga jemaat..
87 Penulis menemukan kuatnya kesan dan persepsi strukturalis-hirarkhis yang menempatkan posisi penatua lebih di atas diaken. Hal yang turut tampak pada posisi seorang “tuagama” atau “kostor” yang dipandang lebih “rendah” daripada posisi majelis jemaat.
Penelusuran Konteks 123
(d) Bila melihat pada data kepelayanan jemaat ~sebagaimana
dirincikan dalam Lampiran 9~, terlihat bahwa partisipasi
jemaat dalam ibadah dan kegiatan gerejawi telah meluas dan
terbuka kepada pelbagai unsur kaum awam yang ada di dalam
jemaat, sesuai dengan pengorganisasian pelayanan GPM.
Pengorganisasian wadah-wadah pelayanan seperti unit dan
sektor, Sekolah Minggu (SMTPI), Angkatan Muda GPM, Wadah
Pelayanan Perempuan, Laki-Laki dan Lansia, kelompok-
kelompok pelayanan musik gerejawi (seperti vocal group,
paduan suara, paduan suling, terompet, hingga pemain
keyboard dan band), secara faktual telah memperhadapkan
suatu penataan organisasi pelayanan dan ibadah yang telah
mengalami diferensiasi sesuai dengan perkembangan zaman
yang ada. Fenomena yang tampak misalnya, pelaksanaan
persidangan gerejawi dengan semua penataan dan
pengorganisasian sidang jemaat hingga modifikasi acara ritual
dan serimonial yang cenderung kolaboratif sifatnya.
Pemisahan acara ritual dan serimonial, penataan acara
dengan simbol-simbol bendera dan praktik yang berlaku
sesuai aturan protokoler gereja dan negara (seperti
menyanyikan lagu Indonesia Raya), semuanya merupakan
pemandangan yang sudah lumrah berlaku dalam agenda
kegiatan persidangan gerejawi, sebagaimana berlaku pula di
jemaat GPM Soya.
124 Religiositas Ambon-Kristen …
Keterangan Foto:
1) Kiri Atas, Tuagama meniup Tahuri sebagai pengganti bunyi
lonceng, pertanda mulainya ibadah pembukaan sidang jemaat;
2) Kanan Atas, bapa raja Soya menyampaikan sambutan pada
acara serimonial. Terlihat ada bendera merah-putih di posisi
kanannya.
3) Kiri Bawah, Meja Persembahan, yang pada saat sidang akan
digunakan sebagai meja pimpinan sidang. Terlihat bendera
GPM di posisi kirinya. Gambar Presiden dan Wakil Presiden pun
telah ditempatkan di depan mimbar.
4) Kanan Bawah, Penataan Formasi ruang sidang
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Penelusuran Konteks 125
Kelima, Selanjutnya perlu dikemukakan pula sikap
penghormatan atau penghargaan dari jemaat terhadap pendeta
yang dipandang antara lain sebagai “hamba Tuhan,88 orang
suruhan Tuhan, dan wakil Tuhan.” Sikap terhadap pendeta ini,
tampak dari perlakuan jemaat dalam membawakan maksud doa
atau pergumulan khususnya, baik secara pribadi maupun
keluarga.89 Sekalipun pendeta ~dalam kemanusiaannya~ (dapat)
berbuat salah atau suatu kekeliruan, namun sikap jemaat
cenderung diungkapkan dengan kalimat, “....Kalau antua pendita
salah atau bardosa, itu urusan antua (beliau) dengan
Tuhang....maar katong jang malawang atau bikin pandita susah
apalagi sampe pandita manangisI” (Terjemahan:“Kalau beliau
pendeta berbuat salah atau dosa, itu urusan beliau dengan Tuhan,
tetapi kita jangan melawan atau bikin pendeta itu susah apalagi
sampai menangis!”). Oleh karena itu, hampir menjadi
pemandangan yang rutin, setiap terjadi fase masuk-keluar seorang
pendeta di Soya. Baik yang mutasi masuk, maupun yang keluar
atau bahkan pensiun. Jemaat akan mempersiapkan acara khusus
untuk merespons momentum tersebut.
Keenam, Kesetiaan untuk berpegang teguh pada aturan
gerejawi yang berlaku, walaupun memiliki sikap keterbukaan
terhadap perkembangan lingkungan yang ada. Tampak bahwa
walaupun sikap inklusif atau keterbukaan terhadap hal-hal yang
baru itu ada, namun membutuhkan proses waktu yang cukup lama
dalam penyesuaian, dan tidak bisa dengan serta-merta diterima
begitu saja. Apalagi kalau hal itu berkaitan dengan suatu kebiasaan
dan telah menjadi tradisi gerejawi yang berlaku turun-temurun,
bahkan dianggap seperti telah menjadi “harga mati”. Fenomena
88 Penulis menangkap kesan bahwa warga jemaat, bahkan beberapa majelis jemaat,
kuat membedakan “hamba Tuhan” dan “pelayan Tuhan.” Bagi mereka, sebutan “hamba Tuhan” itu lebih sesuai disematkan kepada seorang pendeta, sedangkan bagi penatua dan diaken, cukup dengan sebutan “pelayan Tuhan.”
89 Lazimnya, berkaitan dengan maksud doa atau pergumulan khusus tersebut, biasanya jemaat akan membawakan persembahan uang khusus yang disebut sebagai “natzar pergumulan”, yang telah dipersiapkan khusus dan diserahkan kepada pendeta pada saat pergumulan tersebut.
126 Religiositas Ambon-Kristen …
tersebut terlihat pada sikap terhadap pengajaran90dan ibadah atau
liturgi gerejawi, serta acara-acara syukuran atau pesta yang
berkaitan dengan momentum baptisan dan peneguhan sidi.
Ketujuh, Hal yang terakhir, yang patut dikemukakan di sini
adalah perkembangan modernisasi-globalisasi dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi komunikasi-informasinya serta
pengaruhnya dalam kehidupan jemaat dan pelayanan gerejawi.
Sebagai jemaat ~yang walaupun berada di arah
pegunungan dan tidak jauh dari pusat kota Ambon~ maka dampak
kehadiran modernisasi-global sangat terasa dalam penatalayanan
kehidupan bergereja. Fasilitas teknologi-informasi modern, seperti
televisi-parabola, internet dengan gadget dan medsos, media
cetak-elektronik, serta jalur transportasi darat yang terhubung dan
mudah dijangkau, semuanya mengakibatkan jemaat GPM Soya
sama sekali tidak terisolasi dari pelbagai gempuran dampak
kehidupan modern tersebut. Dalam konteks sedemikian, dilatari
pula dengan trend budaya global-kapitalis-modern, maka bagi
pemangku pelayanan gerejawi, fenomena tersebut menjadi
tantangan tersendiri yang cukup serius bagi gereja, untuk
membekali warga jemaat, sehingga pada satu pihak tidak
“ketinggalan arus zaman” tetapi pada pihak lainnya juga tidak
“gampang terseret arus zaman” yang dapat menghancurkan.
90 Ketika diperkenankan melayani ibadah natal jemaat GPM Soya pada tanggal 22
Desember 2017 di gereja Lazarus, penulis mendengar sendiri peringatan keras yang disampaikan oleh bapa raja pada saat memberikan Kesan dan Pesan Natalnya, untuk memberitahukan dan sekaligus memerintahkan warga jemaat (yang dalam hal ini sebagai warga masyarakat Soya pula) agar menolak penyebaran ajaran yang merasuki jemaat dan masyarakat Soya bahwa “perayaan natal itu bukanlah perayaan kristiani yang benar, sehingga tidak patut untuk dirayakan.” Tanpa menyebutkan nama si pelaku dan keluarganya, namun peringatan keras itu diikuti dengan kalimat, “...Saya tidak pandang siapapun itu pelakunya, entah warga biasa ataukah pejabat di pemerintahan negeri Soya. Selama yang bersangkutan tidak bertobat dan menghentikan pelbagai hasutan pengajarannya yang sesat, maka saya tidak segan-segan untuk memberhentikan dan mengeluarkannya dari negeri ini...!” Kondisi yang sama, walau dengan fakta yang berbeda adalah informasi yang diperoleh dari bapa pendeta Kempa bahwa walaupun jemaat GPM Soya cukup besar dan berada di dekat pusat kota Ambon, namun hingga kini tidak ada satupun aliran atau denominasi gereja lainnya yang masuk dan berbasis di Soya. Beberapa warga Soya dalam jumlah yang sangat kecil memang ada yang tergabung dengan gereja lainnya, namun mereka selalu mengikuti ibadah dari gereja tersebut di luar Soya, seperti di gereja Pentakosa atau GBI (Gereja Bethel Indonesia) yang ada di kota Ambon.
Penelusuran Konteks 127
Penataan pelayanan dan ibadah jemaat misalnya, sudah cukup
akrab dengan penggunaan fasilitas multi-media dan peralatan
musik yang modernis, namun sama sekali tidak berarti
mengabaikan potensi budaya dan tradisi yang ada pada jemaat.
Sebagaimana terlihat dari fasilitas gereja saat ini, seperti:
peralatan band, multi-media dan soundsystem yang menunjang
peribadahan umat. []
128 Religiositas Ambon-Kristen …