bab iii pembahasan 3.1 kedudukan peraturan pemerintah …repository.untag-sby.ac.id/1588/3/bab...
TRANSCRIPT
38
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Disini Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan dibantu oleh Wakil Presiden.
Dalam menjalankan pemerintahan negara,kekuasaan dan tanggung jawab berada
di tangan Presiden yang dikenal dengan prinsip concentration of power and
responsibility upon the president. Selain itu, Presiden tidak bertanggung jawab
kepada DPR dan Presiden dibantu oleh Menteri Negara.
Dalam keadaan normal sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan
konstitusi dan produk hukum lain yang resmi. Sedangkan dalam keadaan
abnormal sistem hukum tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Maka
pengaturan keadaan darurat mempunyai arti penting sebagai dasar hukum bagi
pemerintah mengambil tindakan guna mengatasi keadaan abnormal tersebut. Pada
keadaan abnormal (darurat) pranata hukum yang diciptakan untuk keadaan normal
tidak dapat bekerja. Hukum tata negara darurat menurut doktrin ada dua yakni
hukum tata negara darurat objektif dan subjektif. Hukum tata negara darurat
subjektif adalah hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat
dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan ketentuan
undang-undang dasar. Sedangkan hukum tata negara darurat objektif adalah
39
hukum tata negara yang berlaku ketika negara berada dalam keadaan darurat,
bahaya, atau genting.
Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau
abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak
prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NRI Tahun 1945. Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan
pada alasan innerenootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam
keadaan (i) mendesak dari segi substansi, dan (ii) genting dari segi waktunya.
Sementara itu, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat
konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan Perpu.
Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak
berwenang menetapkan Perpu. Perpu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal
kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas
legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga
harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau
hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan
(administratiefrechtelijk). Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan.
Pemberian cakupan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang
oleh penguasa. Karena dalam keadaan tersebut negara dapat melakukn tindakan
apapun termasuk membatasi hak warga negara. Sehingga negara perlu melanggar
prinsip yang dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan tersebut.
40
Dalam noodstaatsrecht undang-undang keadaan bahaya selalu ada,
pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden.
Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin
staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak
apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk
menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan
hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya
kembali UUD NRI Tahun 1945, didasarkan pada doktrin staatnoodrecht
pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga
berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah
dasar hukum tertinggi).
Kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah hal ikhwal
kegentingan yang memaksa adalah suatu keadaan yang sukar, penting dan
terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau
diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan
undang-undang.17
Keadaan bahaya tidak boleh berlama-lama, karena fungsi utama hukum
negara darurat (staatsnoodrecht) ialah menghapuskan segera bahaya itu
sehingga kembali normal. Bila terjadi keadaan berlama-lama,nood (bahaya)
itu maka menyalahi tujuan diadakan hukum negara darurat. Keadaan bahaya
dengan upaya luar biasa harus ada keseimbangan, supaya kewenangan itu
tidak berlebihan sekaligus mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar.
Keadaan bahaya itu adalah sesuatu yang abnormal, untuk mengatasi bahaya
itu hukumnya pun dalam keadaan biasa pun harus dipandang abnormal dan
luar biasa, mungkin dalam keadaan normal tindakan penguasa itu masuk
dalam kategori onrechtmatig, namun karena keadaan bahaya atau abnormal,
maka tindakan Penguasa itu adalah sah dan dapat dibenarkan.18
17I Gede Pantja Astawa,”Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Wewenang Presiden Berdasarkan
Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945”, Bandung, Thesis Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, 1992, h. 178-179. Berdasarkan Dalam dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008, h. 99-100 18R.Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap, Cetakan ketiga, 1951, hlm. 94-96,
sebagaimana dikutip kembali oleh Herman Sihombing dalam Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia,
Djambatan, Jakarta, 1996, h. viii.
41
“Berdasarkan hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat
mutlak bagi presiden untuk menggunakan haknya. Secara a contrario presiden
tidak dapat menggunakan haknya selama tidak ada hal ikhwal kegentingan
memaksa. Melihat ke belakang, ketentuan Pasal 22 dan Pasal 12 merupakan teks
asli UUD NRI Tahun 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD
NRI Tahun 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht
Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan
negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang
memaksa pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat. Meskipun demikian,
pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh
karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan
undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Keadaan bahaya atau darurat harus dapat didefinisikan. Pemberian cakupan
ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa. Karena
dalam keadaan tersebut negara dapat melakukan tindakan apapun termasuk
membatasi hak warga negara. Sehingga negara perlu melanggar prinsip yang
dianutnya sendiri guna menyelamatkan diri dari keadaan tersebut.
Dalam konstitusi indonesia diatur tentang keadaan darurat pada pasal 12 dan
pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 12 : “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 22 : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”
42
Keberanian Presiden mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan
tentang hak subyektifitas (terbatas) presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan
memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Penafsiran
subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif
yang diatur dalam Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Dalam kondisi bahaya atau
tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada
presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas
mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat
ini diatur lebih lanjut dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden
hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis
dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.
Perpu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal 22
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Secara formal, Perpu adalah peraturan
pemerintah, bukan Undang-undang. Terhadap Perpu, DPR dapat melakukan
legislative review untuk menyetujui Perpu sebagai undang-undang atau tidak.
Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan:
1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
43
2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut;
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, bahwa sifat innerenotstand
sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang
berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan
payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas,
jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak
subyektifnya dalam mengeluarkan Perpu. Presiden hanya bisa menggunakan
haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan.
Kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu) didasarkan atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang menentukan19
, Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Jika pada waktu DPR tidak dalam masa sidang, sementara Presiden perlu
diadakan suatu peraturan yang seharusnya adalah Undang-Undang. Misalnya
peraturan tersebut perubahan dari suatu undang-undang atau materinya memuat
ancaman hukuman pidana sehingga harus dibuat dalam bentuk Undang-Undang.
Maka Presiden mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Perpu. Sedangkan
kewenangan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu) adalah kewenangan luar biasa di bidang perundang-undangan.
19 Lihat pasal 22 UUD NRI Tahun 1945
44
Sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa.
Pemaparan pendapat ahli dan pasal di atas memberikan penjelasan bahwa,
Presiden perlu mengeluarkan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah. Dalam
hal ini pemerintah dalam keadaan genting dan memaksa mengharuskan
pemerintah untuk bertindak secara lekas dan tepat. Di khawatirkan akan
menimbulkan dampak yang besar bagi kelangsungan pemerintahan.
Mengenai kedudukan Perpu memang sering dipersoalkan apakah masih
akan dipertahankan. Dengan sebutan yang berbeda, baik dalam Pasal 139 ayat (1)
konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 maupun dalam Pasal 96 UUDS 1950,
bentuk peraturan demikian selalu ada, yaitu dengan sebutan Undang-Undang
Darurat. Pasal 139 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menyatakan, “Pemerintah berhak
atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk
mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan federal yang karena keadaan-
keadaan mendesak perlu diatur dengan segera”. Ketentuan yang diadopsi dalam
UUD 1950 Pasal 96 ayat (1) menegaskan,”Pemerintah berhak atas kuasa dan
tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-
hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu
diatur dengan segera”. Ayat (2) mengatakan bahwa, Undang-undang darurat
mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang, ketentuan ini tidak
mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
45
Kedua ayat dari pasal tersebut nampak bahwa untuk menyebut peraturan
sebagaimana yang dimaksud dengan Perpu menurut UUD 1945
dipergunakan “Undang-Undang Darurat”. Pemakaian undang-undang
darurat seringkali dikacaukan dengan yang dimaksud Undang-undang
tentang keadaan darurat/bahaya.20
Tidak setiap kali Presiden menetapkan Perpu berarti negara berada dalam
keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama dengan hal ikhwal yang
membahayakan, atau sebaliknya, hal ikhwal yang membahayakan juga merupakan
keadaan yang membahayakan. Hal ikhwal keadaan yang memaksa itu tidak selalu
membahayakan. Segala sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu bersifat
“kegentingan yang memaksa.” Tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang
memaksa tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya
menurut Pasal 12, “Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan,
tetapi dulu. Artinya kondisi negara dalam keadaan normal pun apabila memang
memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu Perpu.21”
Undang-Undang Darurat yang digunakan dalam konstitusi RIS 1949
maupun UUDS 1950 Dasar hukumnya adalah keadaan darurat yang
memaksa (emergency), baik karena keadaan bahaya ataupun karena sebab
lain yang sungguh-sungguh memaksa. Jadi, tidak benar jika dikatakan
bahwa dasar hukumnya hanya keadaan darurat menurut ketentuan keadaan
bahaya yang dikaitkan dengan pemberlakuan keadaan staatsnoodrect
(hukum negara dalam keadaan bahaya) atau mengenai noodverordeningsrect
Presiden. Di samping keadaan bahaya itu, dapat saja terjadi karena alasan-
alasan mendesak, misalnya untuk memelihara keselamatan negara dari
ancaman-ancaman yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sementara
proses di DPR tidak dapat dilaksanakan, maka Presiden atas dasar
keyakinannya dapat saja menetapkan peraturan mengenai materi yang
seharusnya dimuat dalam undang-undang itu dalam bentuk Perpu.22
20 Ni’matul Huda,Hukum Tata Negara,Cetakan Pertama,Gama Media Kerja sama Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta,1999,h.70. 21 Ibid., h.207. 22Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Cetakan Pertama, Kerja sama
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2004, hlm. 273-274. Lihat
juga Joeniarto, Selayang Pandang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Cetakan kedua, Liberty,
Yogyakarta, 1991, h. 138.
46
Harus diingat bahwa pengertian keadaan memaksa yang bersifat longgar
tersebut harus pula diimbangi dengan pengertian bahwa sebagai konsekuensi
bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR
berdasarkan ketentual Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD
NRI Tahun 1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin
dipertegas. Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden
haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD dalam arti Konstitusi
tertinggi adalah Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia ini, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri dalam arti tidak
untuk melaksanakan perintah undang-undang adalah brbentuk Perpu yang dapat
berlaku selama-lamanya 1 tahun dalam masa sidang DPR. Untuk selanjutnya
perpu tersebut harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR, jika DPR
menolak menyetujui Perpu tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 22 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 Presiden harus mencabutnya kembali dengan tindakan
pencabutan.23
Bentuk peraturan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun
1945 selain Undang-undang, ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang atau Perpu.24 Dasar hukum bentuk peraturan perundang-undangan ini ialah
ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1,2, dan 3.
23 Ibid,. 24 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang di dalam footnote oleh penulis selanjutnya
disebut “Perpu”.
47
Di dalam konstitusi sebelum Amandemen antara 17 Agustus Tahun 1945
sampai 1950 terdapat beberapa jenis peraturan perundangan meliputi25 Undang-
undang (pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5
ayat (2), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 22). Ini
memperlihatkan jika Presiden selaku pemerintah dapat membuat Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam keadaan kegentingan yang memaksa
dan Perpu sudah diakaui sejak konstitusi masa Republik Indonesia pertama.
Lain halnya dalam konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 dikenal bentuk
peraturan perundangan semacam Perpu ialah Undang-undang Darurat. Ketentuan
mengenai Undang-undang Darurat terdapat dalam pasal 139 Konstitusi RIS dan
pasal 96 UUDS 1950.26
Pasal 139 Konstitusi RIS
1) Pemerintah atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-
undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah
federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan
segera.
2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-
undang Federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam
pasal berikut.
Pasal 96 UUDS 1950
1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan
Undang-undang Darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan
pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur
dengan segera.
2) Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan derajat Undang-
undang; Ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal
berikut.
25 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia: pengertian hukum tata negara dan
perkembangan pemerintahan Indonesia sejak perkembangan kemerdekaan 1945, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), h. 37. 26 C.S.T. Kansil, Praktek Hukum Peraturan Perundangan Di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1983), h.
47.
48
Jika dikomparasikan antara Perpu yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945
dengan Undang-undang Darurat dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 ada sedikit
perbedaan. Pertama, kewenangan dalam pembuatan Perpu dalam UUD NRI
Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden. Sedangkan untuk membuat Undang-
Undang Darurat menurut konstitusi RIS dan UUDS 1950 merupakan wewenang
pemerintah.
Perbedaan kedua telihat dari dasar legitimasi diterbitkan Perpu menurut
UUD NRI Tahun 1945 adalah “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Sedangkan dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 dasar legitimasi dikeluarkan
Undang-Undang Darurat adalah “karena alasan keadaan yang mendesak”.
Mengenai persamaan antara Perpu dengan Undang-undang Darurat antara
lain: keduanya mempunyai fungsi sama sebagai peraturan perundangan yang
diterbitkan eksekutif dalam keadaan tidak normal (crisis) untuk mengatasi
keadaan darurat (emergency). Persamaan selanjutnya Perpu maupun Undang-
undang Darurat mempunyai kekuataan hukum atau derajat yang setara dengan
Undang-undang.
Jelaslah terdapat perbedaan dan persamaan Perpu di masa Republik
Indonesia pertama UUD NRI Tahun 1945 dengan Konstitusi RIS atau UUDS
1950. Keduanya merupakan peraturan perundangan dikeluarkan oleh eksekutif
dalam keadaan tidak normal, dan mempunyai kekuatan hukum atau derajat sama
dengan Undang-undang. Namun perbedaan tentang kewenangan atau otoritas
pembuatan peraturan perundangan dan dasar legitimasi diterbitkanya peraturan
perundangan.
49
Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Presiden
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Hal ini sebagaimana ketentuan
Pasal 1 angka 4 Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan 27. Untuk mewujudkan mekanisme checks and
balance antara Presiden dan DPR, terdapat kriteria normatif yang harus dipenuhi
dalam penetapan Perpu sebagaimana pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Perpu harus mendapat persetujuan DPR di persidangan berikutnya, jika DPR tidak
menyetujui maka Perpu haruslah dicabut.
Keberadaan Perpu sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Karena mengingat dalam keadaan tidak normal
Presiden haruslah bertindak cepat dan sigap untuk mengatasi keadaan tersebut.
Dan dalam keadaan kembali normal Presiden harus membicarakan bersama
dengan DPR dengan kemungkinan disetujui menjadi Undang-undang ataupun
sebaliknya dilakukan pencabutan.
Perpu adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, dalam arti pembentukannya memerlukan alasan-
alasan tertentu, yaitu adanya keadaan mendesak, memaksa atau darurat yang dapat
dirumuskan sebagai keadaan yang sukar atau sulit dan tidak tersangka-sangka
yang memerlukan penanggulangan yang segera.
27 Lihat Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
50
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto,28 karena Perpu ini merupakan
Peraturan Pemerintah yang menggantikan kedudukan undang-undang, materi-
muatannya adalah sama dengan materi-muatan dari undang-undang. Hal yang
sama dikemukakan oleh Bagir Manan,29 yang dimaksud dengan pengganti undang-
undang adalah bahwa materi muatan Perpu merupakan materi muatan undang-
undang. Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur
dengan undang-undang.
Justru itu, Pasal 9 UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan member ketegasan bahwa, materi muatan Perpu sama
dengan materi muatan undang-undang. Karena memang Perpu adalah undang-
undang yang dibentuk seperti Peraturan Pemerintah.
Sebagai peraturan darurat, Perpu mengandung pembatasan-pembatasan.
Tanpa pembatasan tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan
penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Menurut pendapat Bagir Manan30,
materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) hanya
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
(administrasi negara). Menurutnya tidak boleh Perpu dikeluarkan bersifat
ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan,
territorial, negara, dan hak dasar rakyat.
28Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentuknya,
Kanisius, Yogyakarta, 1998, h. 131. 29 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co,Jakarta, 1992, h. 50. 30 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang
(PERPU), Jakarta, h.93.
51
Sedangkan menurut pendapat Yuzril Ihza Mahendra yang dikutip dalam
Harian Republika31, pembatasan materi muatan Perppu oleh UUD Tahun 1945
dapat disimpulkan secara jelas pada penetapan APBN. Ialah meskipun dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, UUD Tahun 1945 tidak memberi peluang
bagi Presiden untuk menetapkan APBN secara sepihak melalui Perpu. Walaupun
UUD Tahun 1945 menganut prinsip kesetaraan antara DPR dan Presiden, Namun
penetapan APBN dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengatakan bahwa
kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintahan.
Pengajuan Perpu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin
pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsip-
prinsip negara berdasar atas hukum atau negara berkonstitusi.32
Substansi Perpu No 4 Tahun 2004 setidaknya memuat 2 hal penting yaitu:
(1) penafsiran Presiden terhadap kondisi KPK setelah terjadi kekosongan 3 posisi
pimpinan KPK, dan (2) penafsiran Presiden terhadap UU No 30 Tahun 2002
tentang KPK khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan pengisian kekosongan
pimpinan KPK. Dalam konteks penafsiran subyektif terhadap kondisi KPK,
sebagai perbandingan perlu melihat proses penerbitan dua perpu yang dikeluarkan
Presiden SBY sebelumnya yang berkaitan dengan penangguhan pembentukan
pengadilan khusus yaitu Perpu No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan Perpu No 2 Tahun 2006 Tentang
Penangguhan Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Pengadilan Perikanan.
31 ibid,. 32 I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum…. Op,Cit., h. 101-102-
52
Terbitnya kedua Perpu tersebut tidak lepas dari adanya Surat Ketua
Mahkamah Agung kepada Presiden Republik yaitu Surat Ketua Mahkamah
Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/674/XII/2004 tanggal
10 Desember 2004 perihal Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 dan Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik
Indonesia Nomor KMA/295/IX/2006 tanggal 07 September 2006 perihal
Penerbitan Perpu tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan
Perikanan.
Kedua surat Ketua Mahkamah Agung tersebut menunjukkan adanya kondisi
obyektif dari kekuasaan yudikatif di mana menurut Ketua Mahkamah Agung
perlu dilakukan penundaan pembentukan pengadilan perikanan dan penundaan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Kedua surat tersebut menjadi pertimbangan
Presiden dalam mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 2 Tahun
2006.
Bagaimana dengan KPK? Dalam Pasal 3 UU No 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Sementara itu dalam Penjelasan Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau
anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-
53
pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan
situasi ataupun dengan alasan apapun. Ketentuan Pasal 3 dan Penjelasannya
tersebut dengan tegas melindungi KPK dari intervensi kekuasaan manapun
termasuk dari Presiden, DPR, maupun Mahkamah Agung.
Meski KPK mempunyai fungsi eksekutif dalam hal penyidikan dan
penuntutan tetapi, ketentuan Pasal 3 tersebut di atas dengan jelas mengaskan
bahwa, dalam menjalankan fungsinya, KPK sebagai lembaga negara yang tidak
dapat diintervensi Presiden. Dengan demikian, Presiden mempunyai keterbatasan
dalam hal menafsirkan ketentuan UU No 3 Tahun 2002 Tentang KPK berkaitan
dengan “hal ikwal kegentingan memaksa” yang terjadi dalam tubuh KPK.
Penafsiran Presiden terhadap kondisi darurat harus didasarkan pada kondisi
obyektif yang terjadi dalam tubuh internal KPK. Jika komisioner KPK merasa
belum ada kegentingan yang memaksa maka dengan sendiri kewenangan
subyektif dari Presiden tidak dapat digunakan.
Mestinya Presiden menggunakan dasar yang sama seperti saat
mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 dan Perpu No. 5 Tahun 2006 yaitu
menggunakan hak subyektifnya setelah ada kondisi obyektif dari lembaga yang
bersangkutan. Dari konteks demikian maka Presiden SBY tidak cukup konsisten
menggunakan haknya dalam mengeluarkan Perpu.
Indikasi inkonsistensi lain adalah pada substansi Perpu itu sendiri, di mana
presiden menafsirkan pimpinan KPK efektif jika ada minimal 3 orang pimpinan.
Dengan adanya ketentuan demikian maka seharusnya pengisian pimpinan KPK
didasarkan pada fakta yang terjadi saat penerbitan perpu. Faktanya adalah satu
54
pimpinan secara hukum diberhentikan karena menjadi terdakwa dalam proses
peradilan (Pasal 32 ayat (1) huruf c) dan 2 (dua) pimpinan diberhentikan
sementara (non aktif) karena menjadi tersangka dalam proses penyidikan
kepolisian. Dari fakta yang ada, Presiden hanya perlu memasukkan satu orang
pimpinan KPK yaitu untuk mengganti pimpinan yang jelas berhenti atau
diberhentikan karena status hukumnya sebagai terdakwa. Dengan menambah satu
pimpinan maka dianggap cukup untuk menjadikan KPK efektif bekerja. Dugaan
intervensi muncul dengan penggantian dua pimpinan KPK yang nonaktif karena
statusnya sebagai tersangka yang suatu saat penyidikan/penuntutan dihentikan.
Sementara itu, Perpu merupakan produk hukum yang sah sesuai ketentuan
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Secara formal, Perpu adalah peraturan
pemerintah, bukan Undang-undang. Tetapi secara substansial, meteri Perpu sama
dengan materi muatan Undang-Undang ,Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang
menyatakan bahwa :
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota..
55
Perlu ditegaskan bahwa Perpu sendiri berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011
sama dengan Undang-undang. Namun menurut saya Perpu sendiri berbeda dengan
Undang-undang karena substansi atau muatan materi tersebut dalam
pengajuannya tidak sama. Perpu sendiri dibuat dan lahir karena keadaan genting
yang memaksa lahirnya Perpu tersebut, jika tidak terdapat keadaan genting maka
Perpu tersebut tidak lahir. Jika ditinjau dari masa berlaku Perpu tersebut juga tidak
lama karena harus menunggu kepastian DPR pada masa sidang selanjutnya. Lain
halnya dengan Undang-Undang yang berdasarkan pembentukannya setelah Perpu
tersebut disahkan oleh DPR menjadi Undang-undang.dan juga Undang-undang
tingkatannya lebih tinggi dibandingkan dengan Perpu itu sendiri. Selain itu
ketentuan UUD NRI Tahun 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan
darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak
mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa
Indonesia berjalan mundur. Kembali lagi dalam hal ini Presiden mempunyai
kekuasaan di bidang peraturan perundang-undangan yang bervariasi, yaitu
kekuasaan legislatif artinya Presiden mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR, kekuasaan reglementer artinya membentuk peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang atau menjalankan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang, dan terakhir kekuasaan eksekutif yang didalamnya
mengandung kekuasaan pengaturan dengan keputusan Presiden.33
33 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang
(PERPU), 73.
56
3.2 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Perpu.
Ide untuk membentuk MK yang salah satu tugasnya antara lain meninjau
kembali keabsahan perundang-undangan sebagai sarana untuk membatasi
penggunaan kekuasaan pemerintah, telah disuarakan oleh para hakim,
pengacara, dan kelompok kelas menengah pada 1966-1977, hanya saja
dominasi pemerintah sangat kuat sehingga ide tersebut tidak dapat
terealisir.34
MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan
penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai
dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Wewenang MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 C ayat (1) menyatakan
bahwa :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama, terakhir dan putusan
MK bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak
terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24 C ayat (2), juncto Pasal 7 B MK
juga berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan /atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perlu dicatat bahwa
34Beny K Herman,” Judicial Review dan Perjuangan untuk Tegaknya Konstitusi”, dalam
Konstitualisme Peran DPR dan Judicial Review; YLBHI, Jakarta, 1991, hlm. 35-36, dalam Didit Hariadi
Estiko Suhartono (Editor), Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi, Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekjen DPRRI, Jakarta, 2003, hlm, 102.
57
putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang
memberhentikan Presiden (Pasal 7 A). Jadi, berbeda engan di Amerika
Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.35
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ini Mahkamah Konstitusi
melakukan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(perpu) yaitu Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Perpu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 145/PUU-VII/2009. Dan juga dalam pengujian Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor
138/PUU-VII/2009. Pengujian tersebut jelas bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 24 C, namun dengan pertimbangan MK yang disebut
Ratio Decidendi atau alasan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
menentukan keputusannya maka dirinya menganggap boleh melakukan pengujian
berdasarkan materi/substansi muatan dari Perpu tersebut.
35Harun AlRasid,”Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek”, artikel dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1
Nomor 1 Juli, 2004, hlm. 99.
58
Berdasarkan uraian diatas, menurut penulis UUD NRI Tahun 1945 sama
sekali tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji Perpu sebagai
produk hukum buatan Presiden karena
a. Bertentangan dengan pasal 24 C ayat (1) yang menyatakan bahwa MK hanya
menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang dari bentuknya
adalah Peraturan Pemerintah, namun dari muatannya adalah muatan undang-
undang. Padahal, akhir-akhir ini sering timbul perdebatan, apakah penilaian
untuk member persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR dilakukan tepat
pada masa sidang setelah Perpu dikeluarkan atau bisa kapan saja. Dalam
kenyataannya, Perpu yang dimohonkan pengujian dalam perkara ini baru
dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu ini
dikeluarkan. Perpu No. 4 Tahun 2009 diundangkan pada 22 September 2009,
sedangkan masa sidang DPR berikutnyaa (DPR baru, hasil pemilu 2009)
adalah 1 Oktober sampai dengan 4 Desember 2009, tetapi Perpu itu tidak
dibahas pada masa sidang tersebut. “Jika Perpu tidak dapat diuji oleh MK
maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu yang dikeluarkan tetapi DPR tidak
membahasanya dengan cepat dan mengulur-ulur waktu dengan berbagai
alasan, padahal Perpu tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan
Konstitusi”.36
Untuk itu, Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, salah satu diantara empat
kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD. Rumusan Pasal
24C ayat (1) khususnya yang mengatur kewenangan pengujian undang-undang
36http://www.antara.co.id/berita/125672941/mahfud-mk-dapat-uji-konstitusionalitas-perpu.diunduh
pada tanggal 10 Januari 2015 pukul 17.01.
59
terhadap UUD 1945 sudah jelas dan tegas, bahwa objek dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD adalah undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) merupakan salah
satu hak konstitusional yang dimiliki Presiden. Kendati pun hak membuat Perpu
merupakan salah satu hak konstitusional dan prerogratif Presiden untuk
menanggulangi suatu keadaan “kegentingan memaksa”, namun UUD melalui
Pasal 22 ayat (2) dan (3) mengatur pula pembatasan dan kontrol terhadap hak
tersebut. Singkat kata, dalam satu pasal ini (Pasal 22) di dalamnya telah tercakup
prinsip check and balance antara Presiden dan DPR. Mekanisme saling mengecek
dan mengimbangi tersebut sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3). Dimana
setiap Perpu yang dikeluarkan Presiden harus dibawa ke DPR untuk ditentukan
nasibnya, apakah akan disetujui menjadi undang-undang atau menolaknya
(dicabut). Jadi dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut sudah diterangkan secara
spesifik dan sistematis mengenai penetapan Perpu dan mekanisme pengujiannya.
Jadi meskipun Perpu itu notabene merupakan noodverordeningsrecht (hukum
darurat) yang sudah lazim diterima oleh negara-negara di dunia ini sebagai
prerogratif kepala negara untuk menanggulangi kegentingan yang memaksa,
namun UUD 1945 tetap memberikan pengawasan dan pembatasan terhadap hak
istimewa tersebut, yaitu melalui keharusan persetujuan DPR terhadap Perpu
tersebut pada masa persidangan berikutnya. Artinya, masa berlaku Perpu itu
bersifat terbatas, sampai pada persidangan (DPR) berikutnya. Dengan demikian,
pengujian terhadap Perpu yang diterbitkan oleh Presiden adalah kewenangan
60
sekaligus kewajiban konstitusional DPR. Jadi mekanisme pengujiannya ialah
melalui legislative review oleh DPR, bukan melalui judicial review oleh MK.
b. Ditinjau dari penafsiran historis pun jelas bahwa Janedri M. Gaffar sebagai
pengarah penyusunan naskah komprehensif amandemen UUD 194537
berkehendak untuk tidak memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan
judicial review MK, karena seandainya perumus amandemen berkehendak
memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan judicial review MK, maka
melalui perubahan ketiga, perumus amandemen dapat saja memasukan “Perpu”
kedalam rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur kewenangan MK. Namun
pada kenyataannya perumus amandemen UUD tidak menghendaki hal tersebut
dan tetap mempertahankan Pasal 22 apa adanya. Dari segi penafsiran historis
dan penelusuran terhadap original intent (kehendak asli) perumus amandemen
UUD 1945, jelas bahwa kewenangan judicial review MK sebagaiama
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) tidak dapat menjangkau Pasal 22 UUD
1945. Karena Pasal 22 sudah mengatur mekanisme review tersendiri, yaitu
melalui legislative review (pengujian oleh legislatif).
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat
menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat
hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari
norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau
menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR
untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan
37http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/naskahkomprehensif/pdf/naskah
_Naskah%20Komprehensif%20Buku%209.pdf diunduh tanggal 16 Januari 2015 pada pukul 21.53.
61
berlaku seperti undangundang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum
yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang maka terhadap norma
yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah
bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah
berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan
atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu
tersebut telah menjadi Undang-Undang
c. Demikian juga apabila ditinjau dari penafsiran atau pendekatan sistematis,
pengujian Perpu oleh MK akan berpotensi merusak sistem pembagian
kekuasaan (distribution of power) yang telah terkandung dan dibangun oleh
UUD 1945. Betapa tidak, MK dapat menguji dan membatalkan Perpu yang
dikeluarkan oleh Presiden, padahal Perpu tersebut merupakan prerogratif yang
diberikan konstitusi kepada Presiden untuk selalu bertindak konstitusional
melalui perangkat yang telah disediakan oleh UUD, sekalipun negara dalam
keadaan kegentingan yang memaksa. Jika bisa diuji dan dibatalkan sembarang
waktu oleh MK tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 22, lalu apalagi yang
tersisa dari seorang Presiden sebagai kepala negara ? demikian juga apa arti
dari Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) jika kewenangan DPR tersebut dapat
“dianeksasi” oleh MK ? pada tahap inilah penulis merasa berkepentingan untuk
turut merekonstruksi kewenangan MK menguji Perpu agar MK sebagai the
guardian of the constitution and the sole interpreter of the constitution tidak
menerobos rambu-rambu konstitusional yang seharusnya ia tegakan.
62
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengujian Perpu dilakukan oleh
DPR (legislative review) dan menjadi hak sekaligus kewajiban konstitusional
DPR untuk menguji Perpu dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu pada masa
persidangan berikutnya. Namun dalam hal ini tidak lagi menjadi pengujian oleh
badan legislatif namun menjadi pengujian oleh badan yang sifatnya politik
(political review) dan MK tidak boleh menganeksasi atau melangkahi ketentuan
konstitusional tersebut sepanjang Perpu itu belum memasuki masa persidangan
berikutnya dan belum disidangkan oleh DPR. Jika MK menguji Perpu sementara
Perpu itu belum melewati masa berlakunya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22
ayat (2), maka dapat dikatakan MK telah melakukan tindakan ultra vires, yaitu
suatu tindakan yang melampaui kewenangannya. Hal mana tentu tidak boleh
dilakukan oleh MK yang seharusnya merawat dan menjaga UUD NRI Tahun
1945. Dengan rekonstruksi kewenangan MK seperti yang dikemukakan diatas
maka diharapkan MK tidak lagi melakukan tindakan ultra vires. Dengan
pembatasan mengenai kapan MK dapat dan tidak dapat menguji Perpu, maka
diharapkan MK (dalam menjalankan kewenangannya) tetap patuh pada rambu-
rambu pembatas yang digariskan UUD NRI Tahun 1945.
Salah satu alasan/argumentasi yang dissenting opinion yaitu dari Hakim
konstitusi Muhammad Alim yang mempunyai pikiran dan pendapat sama dengan
penulis. Maksud dari dissenting opinion disini adalah menunjukan pendapat
berbeda, baik dari alasan/argumentasi dalam pertimbangan hukumnya maupun
pada kesimpulan atau amarnya. 3 (tiga) dari 7 (tujuh) alasan Muhammad Alim
yang tidak menyetujui kewenangan MK dalam menguji Perpu yaitu diantaranya :
63
Pertama, pada waktu dirumuskannya Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, tata
urutan perundang-undangan Indonesia menurut Tap MPR Nomor
III/MPR/Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-
Undangan adalah: UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Perpu, dst.
Meskipun demikian, rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 hanya
memberi kewenangan untuk, “Menguji undang-undang terhadap UUD”;
Kewenangan menguji undang-undang (tanpa menyebut Perpu), terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Tap
MPR No. III/MPR/Tahun 2000 merupakan kewenangan MPR lalu dialihkan
menjadi kewenangan MK berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945,
hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, tidak
termasuk menguji Perpu, tidak termasuk pula menguji Tap MPR. Dengan
pemberian kewenangan semula kepada MPR kemudian kepada MK hanya
sebatas menguji undang-undang terhadap UUD walaupun waktu itu posisi
Perpu di bawah undang-undang, sedangkan posisi Tap MPR di atas undang-
undang menunjukkan dengan seterang-terangnya bahwa pembuat UUD,
yakni MPR memang hanya menghendaki kewenangan MK untuk menguji
undang-undang terhadap UUD;
Kedua, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Kewenangan yang
diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD,
tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan MK yang tertera
64
dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-
Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perpu, menurut
saya dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan
menyimpang dari UUD.
Dan Ketiga, Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan Perpu,
berarti hal itu diserahkan kepada DPR untuk menyetujui atau tidak
menyetujui suatu Perpu pada sidang berikutnya sesuai ketentuan Pasal 22
ayat (2) UUD 1945. Setelah disetujui menjadi undang-undang barulah dapat
diuji ke MK. Perpu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
dikeluarkan menyusul peristiwa yang dikenal dengan sebutan peristiwa
‘Bom Bali’, diuji di MK setelah disetujui DPR menjadi undang undang
(Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, menjadi
undang-undang).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas Muhammad Alim
berpendapat MK tidak berwenang mengadili permohonan tersebut. Jika muatan
materi Perpu bukan materi muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang,
atau materi muatan Perpu yang di luar kewenangan Presiden, atau jelas-jelas
bertentangan dengan konstitusi, misalnya Presiden mengeluarkan Perpu yang
materinya membekukan atau membubarkan DPR, karena bertentangan dengan
65
Pasal 7 C UUD 1945, maka MK berwenang mengadili pengujian Perpu, walaupun
belum mendapat persetujuan atau penolakan dari DPR dalam persidangan yang
berikutnya, apalagi jika materi Perpu itu tetang pembubaran DPR sudah tidak
disetujui atau ditolak oleh DPR. Perpu Nomor 4 Tahun 2009 menurut Muhammad
Alim isinya masih dalam kewenangan Presiden serta tidak bertentangan dengan
UUD 1945, maka Muhammad Alim berpendapat MK tidak berwenang mengadili
permohonan tersebut, oleh karena itu permohonan para Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Dan penulis berkesimpulan bahwa MK tetap
tidak boleh melangkahi kewenangan DPR dalam pengujian Perpu tersebut karena
pengujian tersebut bersifat inkonstitusional jelas-jelas melanggar pasal 24 C
Undang-Undang Dasar 1945.