bab iii kajian teoritis tentang pesantren, …repository.uinbanten.ac.id/4820/5/bab iii.pdf ·...
TRANSCRIPT
65
BAB III
KAJIAN TEORITIS TENTANG PESANTREN,
NASIONALISME DAN ISLAM MODERAT
A. Pengertian Pondok Pesantren
1. Terminologi Pondok Pesantren
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan
pesantren adalah tempat dimana dimensi ekstorik (penghayatan
secara lahir) Islam diajarkan.1 dilihat dari segi bentuk dan
sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu.
Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia, sistem
tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri
seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di
Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab,
melainkan India. Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun
60-an, pusat-pusat pendidikan tradisioanal di Indonesia lebih
1 Said Agil Siradj dkk, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 85.
66
dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal
dari kata Arab funduq2.
Pesantren memiliki berbagai macam definisi menurut para
ahli. Asal etimologi dari pesantren adalah pesantrian yang berupa
tempat santri.3 Hal ini diperkuat dengan definisi pesantren oleh
Dhofier yang mengatakan bahwa “perkataan pesantren berasal dari
kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti
tempat tinggal para santri.”4 Maka dapat diartikan bahwa
pesantren merupakan tempat para santri untuk melaksanakan
pendidikan dan lembaga itu dijadikan tempat tinggal bagi mereka
(asrama).
Kemudian juga pesantren memiliki arti lain, pesantren
berasal dari kata santri5, dengan awalan pe di depan dan akhiran
an berarti tempat tinggal para santri.6 Sedangkan asal-usul kata
2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir,
(Surabaya: Pustaka Progressif,1997), hal. 97. 3 Daulay, Putra Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prana Media Group, 2009), hal.
61. 4 Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta Barat: LP3ES, 2011),
hal. 41. 5 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi
Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal. 1 6 Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 18.
67
“santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat.7
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari
perkataaan “sastri”, sebuah kata daari bahasa sansekerta yang
artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid
agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi
orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab.di sisi lain, Zamakhsyari Dhofier
berpendapat, kata santri dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama Hindu.atau secara umum dapat
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku
tentang ilmu pengetahuan.8
2. Sejarah Pesantren
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pondok
pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di
Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok
pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa
pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, dan pendapat
kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok
7 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20. 8 Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,… hal. 18.
68
pesantren adalah asli Indonesia. Dalam catatan sejarah, Berdirinya
pondok pesantren bermula dari seorang Kiai yang menetap
(bermukim) disuatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin
belajar kepadanya dan di luar. Turut pula bermukim di tempat itu.
Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-
sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya.
Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil
tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.9
Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman
Walisongo. Karena itu Pondok pesantren adalah salah satu tempat
berlangsungnya intraksi antara guru dan murid, Kiai dan santri
dalam intensitas yang relatif dalam rangka mentransfer ilmu-ilmu
keislaman dan pengalaman.10
Dalam penanaman nilai nasionalisme dan pemahaman
Islam moderat tentu saja pondok pesantren memiliki sejarah yang
cukup panjang yang menjadikan sebuah peradaban dalam
membentuk karakter bangsa Indonesia. Nilai-nilai sejarah
pesantren tersebut ternyata menghasilkan pola umum pendidikan
9 Muhammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 149 10
Fatah Ismail, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002) , hal. 25
69
Islam di Indonesia.11
Pesantren merupakan pusat perubahan
dibidang pendidikan, politik, social, budaya dan keagamaan. Di
Indonesia istilah pesantren lebih popular disebut pondok
pesantren, dan secara kultural berasal dari budaya pra-Islam, ini
terbukti dengan adanya pendidikan jawa kuno yang praktik
pendidikannya identik dengan pondok pesantren. Lembaga
pendidikan tersebut bernama prawiyatan. Kiai adalah adalah orang
yang mengajarkan ilmunya kepada seorang santri.12
Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keindonesiaan. Pesantrenpun tidak
terlepas dari makna keindonesiaan. Pesantren dan Indonesia
memiliki hubungan erat yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan
karena melihat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak
terlepas dari pesantren itu sendiri. Sejak zaman penjajahan
pesantren meruapakan benteng utama dalam melawawan penjajah
dan Kiai sejak dari dulu sudah menanamkan nasionalisme dan
pemahaman moderat kepada santri-santrinya. Perjuangan dalam
11
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam
di Nusantara, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), hal. 111. 12
Siti Mariya Aninisa, Perspektif Nurcholish Madjid Tentang Tradisi
Pesantren Tradisional dan Modern di Pesantren Bani Hamid dan Pesantren
Almubarok, (Serang: UIN SMH Banten, 2017), hal. 45.
70
melawan penajajah tersebut berasal dari Alquran dan Hadist yang
diajarkan langsung oleh Kiai kepada santri.13
Maka seyogyanya
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam non formal yang
mendidik seorang santri untuk belajar ilmu agama Islam, berjuang
memerdekakan Indonesia, menjaga ideologi dasar Negara
Indonesia yang telah dibentuk oleh para ulama, dan mengamalkan
ilmunya untuk pribadi dan masyarakat sekitar.
Pesantren secara umum terbagi menjadi dua yakni
pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern).
Pesantren salaf identik dengan dalam kegiatannya berdasarkan
pola-pola pengajaran klasik atau lama, yaitu berupa berupa
pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran klasik atau
lama. Kemudian pondok pesantren salaf juga mempunyai
kurikulum sendiri berdasarkan ciri khas ala pondok
pesantrennya.14
Akan tetapi pengertian pesanten salafiah disini adalah
bentuk asli dari lembaga pesantren. Sejak pertama kali didirikan
13
Siti Mariya Aninisa, Perspektif Nurcholish Madjid Tentang Tradisi
Pesantren Tradisional dan Modern di Pesantren Bani Hamid dan Pesantren
Almubarok,…hal. 45. 14
Iskandar Engkuh, Iti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: PT
remaja Rosdakarya, 2014), hal.173.
71
oleh Wali Songo, format pendidikan pesantren adalah bersistem
salaf. Harap dibedakan antara pesantren salaf atau salafiah sebagai
sebuah sistem pendidikan dengan aliran salafi wahabi. Secara
terminologi sosiologis, pesantren salafiah adalah sebuah pesantren
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. Atau,
kalau ada ilmu umum, maka itu diajarkan dalam porsi yang sangat
sedikit. Umumnya, ilmu agama yang diajarkan meliputi Alquran,
hadits, fikih, akidah, akhlak, sejarah Islam, faraidh (ilmu waris
Islam), ilmu falak, ilmu hisab, dan lain-lain. Semua materi
pelajaran yang dikaji memakai buku berbahasa Arab yang umum
disebut dengan kitab kuning, kitab gundul, kitab klasik.15
Sedangkan pondok pesantren khalaf adalah pesantren yang
memadukan antara unsur-unsur modern dan salaf. Dengan
demikian pondok pesantren modern ialah pendidikan pesanatren
yang diperbaharui pada sisi tertentu untuk disesuaikan dengan
system sekolahan. Pesantren ini selain menyelanggarakan
kepesantrenan juga menyelenggarakan kegiatan formal sekolah
baik sekolah (SD/SMP/SMA).16
15
Alkhoirot, Beda Pondok Pesantren Modern, Salafi dan Salafiah,
https://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern-dan-pesantren-salaf/, (di akses
pada tanggal 01 Agustus 2019) 16
Iskandar Engkuh, Iti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam,… hal.173.
72
B. Karateristik Pesantren Salafiyah
1. Lingkungan Pesantren Salafiyah
Pesantren salafiah dalam catatan sejarah berdirinya
Indonesia menjadi salah satu rahim yang menetaskan para pejuang
yang selain militan, juga bertanggung jawab penuh terhadap tugas
serta lingkungannya. Hal itu karena pesantren salafiah merupakan
benteng bagi para santri sebelum benar-benar diterjunkan ke
medan pertempuran. Hal itu tampak pada medan pertempuran 22
oktober 1945 di Surabaya. Para santri keluaran pesantren yang
benar-benar belajar selama menimba ilmu dipesantren, umumnya
memang akan berkarakter militan, religius sekaligus bertanggung
jawab terhadap kewajibannya. Pesantren yang dimaksud di sini
tentu saja pesantren salafiah yang berhaluan Ahl al-Sunnah Wa al-
Jama‟ah, dan nasionalis, bukan berhaluan radikal yang bisa
ditemukan dengan mudah pada masa sekarang.17
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
tumbuh subur sebagai perwujudan dari strategi umat Islam untuk
tetap mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh
17
Ahmad Muhakamurrohman, Jurnal Pesantren: Santri, Kiai, Dan Tradisi,
(Vol. 12, No. 2, Juli - Desember 2014), hal. 110.
73
penjajahan Barat dan juga tidak bisa lagi menampung para
santrinya yang belajar disurau atau Masjid.18
Menurut Manfred Ziemek asal kata pesantren adalah “pe-
santri-an” yang artinya tempat santri.19
Jadi pesantren adalah
tempat para santri untuk menuntut ilmu (Agama Islam). Pesantren
adalah sebuah kawasan yang khas yang ciri-cirinya tidak dimiliki
oleh kawasan yang lain. Karenanya tidak berlebihan jika Kiai
Abdurrahman Wahid atau Gusdur menyebut pesantren sebagai
sub-kultur tersendiri. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
sistem pendidikan pesantren secara tradisional yang
menjadikannya khas adalah kiai, santri, masjid, pondok dan
pengajaran kitab-kitab klasik.20
Secara garis besar, tipologi pesantren bisa dibedakan
paling tidak menjadi tiga jenis, walaupun agak sulit untuk
membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut yaitu
salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu.21
Pesantren Salafiyah adalah tipe pesantren yang hanya mengajarkan
18
Zuhairini, Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
hal. 212. 19
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren dan
Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hal. 7. 20
Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren..., hal. 44-60 21
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa
Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 45.
74
ilmu-ilmu agama Islam, atau kitab-kiab klasik yang ditulis oleh
para ulama terdahulu. Metode pengajaran yang digunakan
hanyalah metode bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah.
Khalafiyah adalah tipe pesantren modern, yang di dalamnya
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan
umum, tetapi masih tetap mengajarkan kitab-kitab klasik seperti
pesantren salafiyah. Pola kepemimpinan pesantren tipe ini
biasanya kolektif-demokratis, sehingga tugas dan wewenang telah
dideskripsikan secara jelas, sehingga tidak ada pemusatan
keputusan pada figur seorang kiai. Sistem yang digunakan adalah
sistem klasikal, dan evaluasi yang digunakan telah memiliki
standar yang jelas dan modern.
Karakteristik lembaga pesantren tidak bisa dipisahkan dari
system kultural tidak pula dapat diletakkan pada semua pesantren
secara seragam karena setiap pesantren memiliki karakternya
masing-masing. Pesantren bukanlah semacam sekolah atau
madrasah, walaupun dalam lingkungan pesantren sekarang ini
telah banyak pula didirikan unit-unit pendidikan klasikal dan
kursus-kursus. Pesantren mempunya kepemimpinan, ciri-ciri
khusus semacam kepribadian yang diwarnai oleh karakteristik
75
pribadi Kiai, unsur-unsur pimpinan pesantren; bahkan juga aliran
keagamaan tertentu yang dianut.22
Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya
hasil akulturasi budaya Indonesia dengan ajaran Islam. Oleh
karena itu tradisi pesantren tidak kita temui selain di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa, dimana praktek keislaman masih banyak
diwarnai dengan budaya lokal. Oleh karena itu umat Islam di Jawa
khususnya dan muslim Indonesia pada umumnya perlu berhati-hati
serta harus mampu membedakan antara apa yang benar-benar
Islam universal dan apa yang Jawa lokal. Karena walaupun
akulturasi budaya telah diakui, namun jelas ada perbedaan antara
budaya lokal dan universalisme Islam. Dalam hal ini tradisi
pesantren mengandung nilai intrinsik Islam yang universal, yaitu
kewajiban rnelaksanakan ajaran agama Islam. Akan tetapi di
samping itu ia juga mengandung nilai instrumental yang lokal
yaitu model akulturasinya diambil dari budaya Jawa. Sehingga di
tempat lain akan sangat mungkin nilai universal Islam itu
dilakukan dengan tradisi yang berbeda.23
22
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam
DI Nusantara,… hal.110. 23
Juwariyah, Jurnal Ciri-Ciri Pendidikan Islam Tradisional: Potret
Kehidupan Pesantren Di Pulau Jawa, (Vol. 1. No 2, Agustus 2003-Januari-2004),
hal. 140.
76
Karakteristik pesantren bukan hanya mengajak bangsa
Indonesia ini untuk mandiri dalam tatanan ekonomi dan politik
saja. Tapi juga pesantren mengajak kita untuk mandiri soal
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Yang menjadi acuan
pendidikan pondok pesantren adalah dasar-dasar kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat, yang diperoleh dari pertama kali
masuknya Islam ke Nusantara ini, dan juga sebagian ada yang
mengambil inspirasi darimasa Hindu-Budha (seperti pewayangan)
untuk kemudian diolah sesuai dengan karakteristik pesantren.24
Menurut Nurcholis Madjid tradisi pesantren salafiah dalam
kesahariannya sangat menarik untuk dikaji, khususnya bagaimana
lingkungan pesantren salafiah masih banyak masyarakat yang
beranggapan salafiah itu ketinggalan informasi actual. Pondok
pesantren salafiah mempunyai lingkungan yang unik atau ciri khas
tersendiri dari mulai masjid, aula pondok, kamar mandi, dan
pimpinan pondok pesantren. Kamar santrinya sempit, jumlah
kamar mandinyapun tidak sebanding dengan jumlah santri,
halamanya tidak teratur, ruangan belajar atau kelasnya tidak
memenuhi metodik-didaktik atau ilmu pendidikan yang
24
Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, (Jakarta: Pustaka Afid, 2013), hal.
50-51
77
semestinya, ditambah dengan bentuk ruanganya yang tidak
efisien.25
Secara historis, karakteristik pesantren tidak hanya
mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keindonesiaan.
Pesantren pun tidak terlepas dari makna keindonesiaan. Pesantren
dan Indonesia mempunya hubungan erat, keduanya saling
berkaitan satu sama lain, tidak bisa dipisahkan karena melihat
perjuangan kemerdekaan tidak terlepas dari perjuangan pesantren
itu sendiri. Perjuangan tersebut dari ajaran Islam yang berasal dari
Alquran dan Hadist yang diajarkan langsung oleh Kiai kepada
santri. Maka dapat dikatakan bahwa pesantren seyogyanya adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam yang mendidik para santri,
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.26
2. Figur Kepemimpinan
Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan maupun
lembaga keagamaan cukup menarik dicermati dari berbagai sisi.
Terlebih saat muncul istilah-istilah era tinggal landas, modernitas,
25
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,…
hal. 74-75. 26
Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam
DI Nusantara,… Hal. 114
78
globalisasi, pasar bebas, dan lain sebagainya. Fokus perbincangan
adalah bagaimana peran atau posisi pesantren sebagai sebuah
institusi pendidikan di tengah arus modernisasi atau globalisasi,
apakah pesantren akan tetap teguh mempertahankan posisinya
sebagai lembaga “tafaqquh fi al-din” yang bercorak tradisional
atau pesantren ikut-ikutan melakukan proses “pemodernisasian”
sistem, mulai dari perombakan kurikulum sampai pada manajemen
pengelolaan. Hal itu tentu tergantung dengan model manajemen
dan kepemimpinan seorang kiai yang diterapkan di sebuah pondok
pesantren dalam merespons perubahan tersebut. Secara umum,
dari segi kepemimpinan, pesantren masih terpola secara
sentralistik dan hierarkis, terpusat pada seorang kiai. Kiai sebagai
salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren. Ia
mengatur irama pekembangan dan keberlangsungan kehidupan
suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan
keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak memiliki
manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak
pada kebijaksanaan dan keputusan kiai.27
27
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 49.
79
Seorang Kiai dalam budaya pesantren memiliki berbagai
macam peran, termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh,
penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren.
Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bisa
memosisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalani. Dengan
demikian, dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan,
dedikasi, dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan
peranperan tersebut.
Studi kepemimpinan pondok pesantren tidak dapat
dilepaskan dari perlunya pemahaman atas subtansi pendidikan
yang dikembangkan pesantren, yaitu pendidikan agama Islam.
Karakteristik pendidikan agama Islam diidentifikasi oleh Wahid
sebagai berikut: Pertama, pada dasarnya pendidikan agama Islam
bukanlah upaya untuk mewariskan paham atau pola keagamaan
tertentu kepada anak didik, melaikan penekanannya terletak pada
proses agar anak didik dapat memperoleh kemampuan
metodologis untuk dapat memahami kesan pesan dasar yang
diberikan agama.28
28
Kasful Anwar US, Jurnal Kepemimpinan Kiai Pesantren: Studi terhadap
Pondok Pesantren di Kota Jambi (Jambi: Kontekstualita, Vol. 25, No. 2, 2010), Hal.
227.
80
Kedua, pendidikan agama tidak terpaku pada romantisme
yang berlebihan untuk melihat kebelakang dengan penuh
emosional, akan tetapi lebih diarahkan pada pembentukan
kemampuan berpikir proyektif dalam menyikapi tantangan
kehidupan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya
dapat diintegrasikan dengan penumbuhan sikap kepedulian sosial,
di mana anak didik akan menjadi terlatih untuk mempersepsi
realitas berdasarkan pemahaman teologi yang diperoleh dari
persepsi realitas berdasarkan pemahaman dikembangkan wawasan
emansipatoris dalam penyelenggaraan pendidikan agama sehingga
anak didik memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka
menumbuhkan kemampuan metodologis dalam mempelajari
substansi atau materi agama.29
Keempat, pendidikan agama sebaiknya diarahkan untuk
menanamkan keharuan emosional keagamaan, kebiasan-kebiasaan
berprilaku yang baik, dan juga sikap-sikap terpuji dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga anak didik
memiliki kemampuan menggunakan agama sebagai sistem makna
29
Kasful Anwar US, Jurnal Kepemimpinan Kiai Pesantren: Studi terhadap
Pondok Pesantren di Kota Jambi, …Hal. 227.
81
untuk mendefinisikan setiap keadaan dari sudut refleksi iman dan
pengetahuannya.30
Figur kepemimpinan Kiai tetap menjadi kharisma dimata
santri dan juga masyarakat bagi seorang Kiai atau guru dipesantren
menurut Nurcholis Madjid, bahwa seorang Kiai atau guru dalam
belajar bagi para santri adalah sebagai orang yang mutlak harus
dihormati, bahkan para santri menganggapnya Kiai atau guru
mempunyai kekuatan Ghaib yang bisa memberikan keberkahan
atau keberuntungan dan juga bisa memberikan kemudhorotan atau
kesusahan. Hal yang sangat ditakuti oleh santri sampai saat ini jika
seorang guru kecewa kepada santri karena kesalahan
perbuatannya, karena dampaknya akan menyebabkan ilmunya
tidak bermanfaat. Oleh karena itu para santri sampai saat ini selalu
memberikan penghormatan yang terbaik kepada Kiainya untuk
tetap menjadi seorang murid yang taat terhadap gurunya agar
ilmunya bisa bermanfaat.31
Kepemimpinan karismatik Kiai di pondok pesantren
ditimbulkan oleh keyakinan santri dan masyarakat sekitar
30
Kasful Anwar US, Jurnal Kepemimpinan Kiai Pesantren: Studi terhadap
Pondok Pesantren di Kota Jambi,… Hal. 227. 31
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, …hal. 23.
82
komunitas pondok pesantren bahwa kiai sebagai perpanjangan
tangan Tuhan dalam menyampaikan ajaran-Nya. Fenomena
keyakinan tersebut dimanifestasikan dalam sikap taklid (mengikuti
dengan tidak mengetahui ilmunya) yang hampir menjadi tradisi
dalam kehidupan keseharian santri dan jamaahnya. Menurut
Wahjosumidjo, karisma kepemimpinan kiai terkait dengan luasnya
penguasaan kajian ilmu agama pada kiai dan konsistensi
pengamalan ilmu agama dalam kehidupan keseharian kiai.32
Dengan asumsi bahwa karisma dapat diidentikkan dengan
power kiai, maka kepemimpinan karismatik kiai dapat pula
ditelaah dengan konsep sumber kewibawaan. Berdasarkan
pendekatan tersebut, keberhasilan memimpin lebih disebabkan
oleh keunggulan wibawa seseorang dalam memimpin organisasi
sehingga proses hubungan yang disebut komunikasi dua arah
antara atasan dengan bawahan sering terjadi. Kewibawaan
pemimpin berkaitan pula dengan ruang lingkup utamanya, yaitu
pola pemakaian kewibawaan yang terbaik, cara menggunakan
kewibawaan pemimpin yang berhasil, dan seberapa banyak
32
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997). hal 45.
83
kewibawaan secara optimal seorang pemimpin. Kreativitas
berpikir kepemimpinan pondok pesantren lebih cenderung pada
kiai sebagai figur sentral.33
Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran khusus bagi kiai
untuk dapat menerima dan menerapkan berbagai gagasan yang
mampu membawa pondok pesantren ke arah yang lebih baik.
Kreativitas berpikir dan sikap inovatif Kiai sebetulnya tidak
terlepas dari beberapa faktor, di antaranya visi dan misi Kiai itu
sendiri serta adanya rasa ketakutan yang mendalam pada gagasan-
gagasan baru yang dianggap akan menyesatkan dan membawa
komunitas pondok pesantren ke arah yang lebih buruk.
Berdasarkan beberapa literatur, terdapat pembagian dua model
kepemimpinan Kiai di pesantren yakni kepemimpinan individual
dan kepemimpinan kolektif.
Nadjib Hassan menjelaskan didalam buku “Pesantren Akar
Pendidikan Islam Nusantara” menggambarkan bahwa profil
kepemimpinan Kiai di pesantren memiliki keuinikan yang cukup
bervariasi. Profil kepemimpinan Kiai dalam mengelola pesantren
memiliki kecenderungan sebagai berikut. Pertama, Kiai dengan
33
Kasful Anwar, Jurnal Kepemimpinan Kiai Pesantren: Studi terhadap
Pondok Pesantren di Kota Jambi,… hal. 228.
84
profil kepemimpinan masyarakat (community leader) yaitu
seorang Kiai yang dikenal kebesarannya, baik kebesaran
pribadinya maupun psantrennya, karena sang Kiai memiliki
jabatan dalam social keagamaan, politik atau memiliki jabatan
kekuasaan tertentu.34
Kedua, Kiai berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual
leader) yaitu, seorang kiai yang memiliki kebesaran pribadi dan
pesantrennya karena sang Kiai dianggap memiliki keahlian ilmu
secara mendalam yang dijadikan rujukan atau panutan oleh
masyarakat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan. Bidang
ilmu itu misalnya ilmu fiqh, ilmu hadist dan lain-lain.
Ketiga, Kiai berprofil kepemimpinan rohani (spiritual
leader) yaitu Kiai yang kebesaran pribadi atau pesantrennya,
karena sang Kiai itu memiliki kemampuan dalam urusan
pribadatan (imam masjid), menjadi mursyid (guru) thariqah, dan
menjadi panutan moral keagamaan.35
Keempat, Kiai dengan kepemimpinan administratif
(administrative leader), yaitu Kiai yang hanya berperan sebagai
34
A. Helmy Faishal Zaini, Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara,
(P3M, 2015), Hal. 71-72. 35
A. Helmy Faishal Zaini, Pesantren Akar Pendidikan Islam
Nusantara,…Hal. 71-72.
85
penanggung jawab, sedangkan pembinaan proses pembelajaran
pesantren diserahkan kepada seorang yang dianggap memiliki
kualifikasi sesuai dengan visi misi pesantrennya.
Kelima, Kiai dengan profil kepemimpinan emosional
(emotional leader) yaitu kebesara kepemimpinan Kiai yang lebih
didasarkan kepada ikatan nilai-nilai kebesaran seorang Kiai
tertentu, contoh Abuya KH. Muhtadi Dimyati merupakan salah
satu Kiai kharismatik di Banten dan juga sebagai pengasuh di
pondok pesantren. Akan tetapi kebesarannya lebih dikenal sebagai
ahli thoriqoh syadiliyyah, baik ditingkat daerah maupun nasional.
Keenam, Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi
(economic leader), yaitu Kiai yang mengelola pesantren dengan
cara pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat dan para
santrinya. Dan ketujuh Kiai yang berkepemimpinan eksoteris
(exoteric leader), yaitu Kiai yang mengelola pesantren dengan
cara menonjolkan aspek formal yang dimiliki oleh pesantren.36
Karena itu peranan Kiai dan kepemimpinan Kiai sangatlah
penting, menurut Martin Van Bruinessen kepemimpinan Kiai
36
A. Helmy Faishal Zaini, Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara,…
Hal. 71-72.
86
adalah merupakan unsur-unsur kunci Islam Tradisional dalam
lembaga pesantren yang sangat menetukan dalam kharismanya
yang akan menjadikan sikap hormat, dan kepatuhan yang menjadi
nilai pertama dalam menanamkannya kepada santri, hingga akan
selalu terwujudnya dalam kepatuhan yang lebih luas sampai
kepada ulama-ulama sebelumnya seperti kepada para ulama yang
telah mengarang kitab-kitab klasik yang dipelajarinya.37
Dalam kharismanya seorang Kiai, menurut Martin Van
Bruinessen yang dalam percakapannya dengan Abdurrahman
Wahid, bahwa seorang Kiai dijadikan sandaran yang dapat
memberikan keberkahan, bahkan kuburannya bisa dijadikan
keramat karena didasarkan kepada kekuatan spiritual dan
kemampuannya yang mempunyai relasi dengan alam ghaib.
Adanya konsep wasilah sebagai mata rantai yang terus
bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru guru
terdahulu dan wali, hingga sampai kepada Nabi dan kepada Tuhan,
dianggap penting sebagai keselamatan.38
37
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan, 1995), Hal. 8. 38
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-
tradisi Islam di Nusantara, …Hal. 20.
87
3. Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pesantren merupakan bagian terpadu dari faktor-
faktor pendidikan. Tujuan merupakan rumusan hal-hal yang
diharapkan dapat 19 tercapai melalui metode, sistem dan strategi
yang diharapkan. Dalam hal ini tujuan menempati posisi yang
amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode
dan alat pengajaran harus disesuaikan dengan tujuan yang
diharapkan Pada dasarnya pesantren sebagai lembaga pendidikan
islam, tidak memiliki tujuan yang formal tertuang dalam teks
tertulis. Namun hal itu bukan berarti pesantren tidak memiliki
tujaun, setiap lembaga pendidikan yang melakukan suatu proses
pendidikan, sudah pasti memiliki tujuan-tujuan yang diharapkan
dapat dicapai, yang membedakan hanya apakah tujuan-tujuan
tersebut tertuang secara formal dalam teks atau hanya berupa
konsep-konsep yang tersimpan dalam fikiran pendidik. Hal itu
tergantung dari kebijakan lembaga yang bersangkutan.39
Sebagai acuan pokok pelaksanaan pendidikan pesantren
mengacu pada tujuan terbentuknya pesantren baik tujuan umum
39
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam,
Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya,
(Jakarta: 2003), hal. 9.
88
maupun tujuan khusus. Tujuan umum pesantren adalah
membimbing peserta didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup
menjadi penyampai ajaran Islam dalam masyarakat sekitar melalui
ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khusus pesantren adalah
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam
agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.40
Menurut Azyumardi Azra,
pesantren yang menjadi karakteristik dari lembaga pondok
pesantren salafiah memiliki tiga fungsi, yaitu: (1) transmisi dan
transfer ilmu-ilmu Islam, (2) memelihara tradisi Islam, (3)
melahirkan ulama.41
Menurut keputusan hasil musyawarah/lokakarya
intensifikasi pengembangan pondok pesantren yang dilakukan di
Jakarta pada tanggal 2 s/d 6 mei 1978, tujuan umum pesantren
yaitu membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa
keagamaan tersebut. Pada segi kehidupannnya serta
40
Arifin HM, Kapila Selecta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 248. 41
Azyumardi Azra, Pesantren Komunitas dan Perubahan dalam Buku
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. Xxi.
89
menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama,
masyarakat dan Negara.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah:
a. Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi
seorangmuslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak
mulia,memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin
sebagai warga negara yang berpancasila.
b. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim
selaku kaderkader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas,
tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam
secara utuh dan dinamis.
c. Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan dirinya dan bertanggung
jawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro
(keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya).
e. Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap
dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan
mental-spiritual.
90
f. Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lingkungan dalam rangka usaha
pembangunan masyarakat bangsa.42
C. Nasionalisme
1. Konsep Nasionalisme
Definisi nasionalisme secara baku belum ditemukan
kesepakatan diantara para ahli. Namun jika ditelusuri dari
beberapa sumber diantaranya istilah nasionalisme merupakan
padanan kata dari nation atau naissance (prancis), patria atau
tierra (spanyol), yang mengandung makna sebagai tanah kelahiran
atau tempat dimana seseorang dilahirkan di suatu daerah dari
sebuah wilayah kerajaan atau Negara.43
Nasionalisme44
adalah suatu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara, dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama untuk mencapai, mempertahankan,
dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan
42
Rohadi Abdul Fatah, Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara:
PT. Listafariska Putra, 2005), hal. 56-57. 43
Santri Ngalah, Tarekat dan Semangat Nasionalisme, (Universitas
Yudharta Pasuruan : 2018), hal. 27. 44
Nasionalisme adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang
secara potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan suatu bangsa atau juga dibahasakan dengan
semangat kebangsaan.
91
bangsa itu; semangat kebangsaan.45
Nasionalisme adalah konsep
modern yang muncul pada abad ke-17, bersama dengan lahirnya
konsep negara-bangsa. Di Barat (Eropa), nasionalisme muncul
sebagai wujud perlawanan terhadap feodalisme (kekuasaan absolut
yang dimiliki pemuka agama dan bangsa).46
Nasionalisme juga
mempunyai arti paham kebangsaan (persatuan bangsa) dan cinta
tanah air.
Menurut Smith Nasionalisme adalah tekad untuk hidup
suatu bangsa di bawah suatu Negara yang sama, terlepas dari
perbedaan etnis, ras, agama ataupun golongan. Tekad untuk hidup
bersama di bawah suatu negara yang sama melepaskan diri dari
segala macam perbedaan merupakan suatu bentuk untuk
menjauhkan segala bentuk diskriminasi.47
Sedangkan menurut Kiai Abdurrauf Najih nasionalisme
atau kebangsaan sama dengan istilah al-qaumiyyah dalam bahasa
Arab mempunyai arti sebuah kondisi atau sikap yang di dalamnya
terdapat kesepakatan bersama kelompok, suku atau komunitas
45
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), hal. 610. 46
Abdullah Ubaid & Muhammad Bakir, Nasionalisme dan Islam NU Nusa
- tara, (Jakarta: Kompas, 2015), hal. 16. 47
Smith, Anthony D, Nasionalisme Teori Ideologi Sejarah, (Jakarta:
Erlangga, 2012), hal..65
92
apapun dalam sebuah wilayah tertentu.48
Kemudian Kiai Syarif
Djamhari menjelaskan bahwa nasionalisme adalah suatu paham
yang menunjukan sebuah kecintaan kepada tanah kelahiran.
Dalam khasanah kitab klasik istilah itu dikenal dengan hubbul
wathon minal iman.49
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa nasionalisme merupakan perwujudan cita-cita yang sama
dari seluruh komponen bangsa untuk mendirikan atau
mempertahankan suatu negara kebangsaan.
Negara bangsa yang merupakan perkembangan termodern
mulai muncul pertama kali di dunia Barat pada abad 18.
Kehadiran negara bangsa merupakan pengganti negara dinasti
yang mulai pudar semenjak revolusi Perancis dan revolusi Industri
di Inggris, Italia, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Perkembangan ini dimungkinkan oleh munculnya paham
kebangsaan atau nasionalisme yang mengikat kesatuan dan
solidaritas masyarakat yang tergabung dalam kesadaran itu.
Dengan demikian, antara negara bangsa dan nasionalisme
merupakan elemen yang saling menunjang, dimana satuan
48
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis
Agama,….hal. 202. 49
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis
Agama,….hal. 205.
93
geografis tertentu sekaligus menjadi batasan bangsa. Nasionalisme
menjadi faktor penentu yang mengikat semangat serta loyalitas
untuk mewujudkan cita bersama mendirikan sebuah negara
bangsa. Landasan nasionalisme dibangun oleh kesadaran sejarah,
cinta tanah air dan cita politiknya.50
Maka dalam konteks Negara Indonesia, istilah
nasionalisme secara normative dapat kita telusuri dari landasan
ideologis dan konstitusinya. Secara ideologis bahwa konsep
nasionalisme tersirat didalam Pancasila bahwa Negara Indonesia
sebagai bangsa dan Negara didasarkan pada semangat persatuan
dan kesatuan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sedangkan berdasarkan UUD 45: “atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.51
Berdirinya NKRI tidak pernah terlepas dari rasa nasionalisme
kecintaan terhadap tanah airnya sungguh sangat luar biasa dan
peran ulama bukan hanya menghiasi semangat nasionalisme dalam
memperjuangkan kemerdekaan NKRI saja tapi juga turut andil
50
Azman, Jurnal Nasionalisme Dalam Islam, (Makasar: UIN Alauddin
Makasar, (Vol. 6 / No. 2 / Desember, 2017), hal 267. 51
Undang-undang Dasar 1945
94
dalam melahirkan ideologi bangsa yakni pancasila. peristiwa 10
november dilatar belakangi oleh fatwa resolusi jihad 22 oktober
1945 yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy‟ari sebagai konteks
rasa nasionalisme terhadap tanah airnya.52
Habib Luthfi menjelaskan bahwa cinta tanah air sama
dengan mencintai Nabi Muhammad SAW, dan kecintaan terhadap
tanah air merupakan cerminan keimanan.53
Lebih lanjut cinta
tanah air (hubbul wathon minal iman) Adalah berfikir, bersikap,
dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian dan
penghargaan yang tinggi terhadap bangsa dan Negara dan rela
berkorban demi NKRI.54
Sedangkan definisi lain ialah cinta tanah
air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang
warga Negara, untuk mengabdi, memelihara, melindungi tanah
ainya dari segala ancaman dan gangguan, rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat dan budaya
yang ada dinegaranya dengan melestarikannya dan melestarikan
alam dan lingkungan.55
Dapat disimpulkan bahwa nasionaslime
52
Santri Ngalah, Tarekat & Semangat Nasionalisme,… hal. 146. 53
Ines Fiera Wijayanti, Pemikiran Habib Luthfi Bin Yahya Tentang
Nasionalisme, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2017), hal. 124-125. 54
Nailul Huda, Hamim Hr, Mondok Sebagai Potret Cinta Tanah Air, (Jawa
Timur: Santri Salaf Press, 2018), hal. 334. 55
Nailul Huda, Hamim Hr, Mondok Sebagai Potret Cinta Tanah Air,… hal.
335.
95
adalah mencintai negeri (tanah air) sesuai dengan perannya
masing-masing.
Cinta tanah air merupakan fitrah manusia. Cinta tanah air
ibaratkan cinta pada diri sendiridan jiwanya, meskipun apa
adanya, bahkan sering kali bangga akan keindahan dan kebagusan
dirinya. Dasarnya menurut Mas mashur adalah: “Tiap jiwa
mempunyai roh, dan tiap-tiap roh itu bertanah air pada jiwanya,
tidak ubahnya sebagai saya yang bertanah air pada jiwa dan badan
saya. Dan kewajiban bagi saya untuk menjaganya, memeliharanya,
mencintainya kepada tanah air yang bertempat pada jiwa saya
itu.56
Sebagai seorang santri (pelajar) di pesantren kita tetap dapat
menunjukan rasa nasionalisme atau cinta tanah air yaitu
diantaranya:
a. Belajar tekun hingga kita juga dapat ikut mengabdi dan
membangun Negara kita agar tidak ketinggalan dengan Negara
lain.
b. Menjaga adat dan budaya serta melestarikan lingkungan.
c. Mempertahankan ideologi bangsa pancasila dan UUD 1945.
d. Berbakti pada nusa dan bangsa.
56
Azman, Jurnal Nasionalisme Dalam Islam, (Makasar: UIN Alauddin
Makasar, (Vol. 6 / No. 2 / Desember, 2017), hal 267.
96
e. Berbakti pada orang tua (Ibu, Bapak, dan Guru).
Menurut KH. Yasri Marzuki, secara historis, nasionalisme
berasal dari realitas sejarah zaman nabi di kota Madinah. Madinah
pada saat nabi berhijrah adalah sebuah kota yang didiami oleh
banyak golongan, yakni kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum
penyembah berhala, kaum majusi dan juga umat Islam (kaum
Muhajirin dan Anshar). Semua kelompok tersebut disatukan oleh
nabi Muhammad bukan atas dasar sentimen agama, akan tetapi
nabi Muhammad mempersatukan mereka dengan sentimen
kepemilikan bersama atas kota yang mereka tempati dan
bagaimana cara mempertahankan Madinah dari segala macam
ancaman yang datang dari luar.57
Bagi umat Islam di Indonesia,
nasionalisme Indonesia berpijak dari semangat juang para kiai
sejak zaman Belanda. Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh KH.
Hasyim Asy‟ari pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 merupakan
wujud nyata dari nasionalisme bangsa Indonesia.58
Negara bangsa atau nation state sebagai fakta politik
Indonesia sekarang merupakan hasil perjuangan para pemimpin
terdahulu. Negara bangsa yang merupakan perkembangan
57
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis
Agama,… hal. 174. 58
Agus Suntoyo, Fatwa & Resolusi Jihad Sejarah Perang Rakyat Semesta
di Surabaya 10 November 1945, (Jakarta: Lesbumi PBNU, 2017), hal. 153.
97
termodern mulai muncul pertama kali di dunia Barat pada abad 18.
Kehadiran negara bangsa merupakan pengganti negara dinasti
yang mulai pudar semenjak revolusi Perancis dan revolusi Industri
di Inggris, Italia, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Perkembangan ini dimungkinkan oleh munculnya paham
kebangsaan atau nasionalisme yang mengikat kesatuan dan
solidaritas masyarakat yang tergabungdalam kesadaran itu.59
Dengan demikian antara negara bangsa dan nasionalisme
merupakan elemen yang saling menunjang, dimana satuan
geografis tertentu sekaligus menjadi batasan bangsa. Nasionalisme
menjadi faktor penentu yang mengikat semangat serta loyalitas
untuk mewujudkan cita bersama mendirikan sebuah negara
bangsa. Landasan nasionalisme dibangun oleh kesadaran sejarah,
cinta tanah air dan cita politiknya. Dalam konteks negara
Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi
negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).60
59
Azman, Jurnal Nasionalisme Dalam Islam, (Vol. 6 / No. 2 / Desember
2017), hal. 267. 60
Badri Yatim, Soekarno Islam dan Nasionalisme, …hal. 155.
98
2. Agama dan Nasionalisme
Belakangan ada sebagian masyarakat atau kelompok
tertentu yang kembali mempertentangkan antara nasionalisme dan
agama. Bahkan tidak tangung-tangung mereka mengatakan bahwa
nasionalisme bertentangan dengan nilai-nilai ke Islaman. Padahal
kalau kita melihat sejarah para ulama nusantara, mereka
menjadikan nasionalisme dan agama sebagai senjata untuk
mengusir penjajah dari bumi Indonesia, dan juga dengan
nasionalisme justru bisa mempersatukan bangsa Indonesia yang
beragam suku dan budayanya menjadi satu Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Teringat sebuah pepatah mengatakan bangsa yang besar
adalah bangsa yang mencintai Bangsa dan Negaranya. Menjadikan
tanah kelahirannya adalah tanah air yang harus dipertahankan.
Sehingga banyak ulama mengungkapkan bahwa “Hubbul wathon
minal iman” (cinta tanah air merupakan sebahagian dari iman).
Walupun statmen tersebut bukanlah sebuah hadist, tetapi ucapan
ulama. Hanya saja maknanya sah dan dibenarkan, baik jika
ditafsirkan dengan surga, atau dengan tanah kelahiran.
Sebagaimana Imam Al Ashma‟i menyatakan:
99
سمعج أعشابا قل: إرا أسدث أن حعشف انشجم
فاوظش كف حذىى إنى أطاو، حشق إنى إخاو“Aku mendengar seorang badui berkata: jika kau ingin
mengenal (kepribadian) seseorang, maka lihatlah bagaimana
simpatinya kepada tanah airnya, dan kerinduannya kepada
sahabat-sahabatnya”.61
Agama dan nasionalisme (Negara) merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan pada
lainnya. Agama adalah pondasi sedangkan Negara adalah
penjaganya. Agama tanpa Negara sia-sia. Karena menegakan
berbagai perintah, anjuran maupun menghindarkan larangannya
secara optimal perlu melibatkan Negara. Sebaliknya Negara
(nasionalisme) tanpa agama akan hancur. Karena agama
membekali pemeluknya dengan kelengkapan aturan sesuai posisi
masing-masing untuk dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
SWT. Agama merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi para
pemeluknya untuk melakukan amal terbaik sesuai bidang masing-
masing, termasuk para penyelenggra Negara dalam menetukan
kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi warganya.62
61
Syamsyuddin Al Sakhowi, Al Maqosid Al Hasanah, …hal. 297. 62
Tim Bathsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan
di Tengah Khebinnekaan, (Jawa Timur: Lirboyo Press dan LTN Himasal Pusat,
2018), hal. 12.
100
KH. Hasyim Asy‟ari seorang ulama besar sebagai pendiri
NU dan pelopor utama gerakan Resolusi Jihad untuk membela
tanah Air Indonesia, juga pada masa-masa sebelumnya sangat-
sangat menamkan nilai-nilai kebangsaan kepada semua santrinya.
Sebagai penulis yang produktif, dapat dijumpai pemikiran-
pemikiran beliau. Baik dalam fiqih, tasawwuf, akidah, akhlak,
hadist, atau yang lainnya. Beliau mengajak kepada semua
kalangan untuk bergabung dengan NU sekaligus menguraikan
kenapa harus ber-NU. Penulis kutipkan dari Muqoddimah Qonun
Asasi, beliau menyatakan:
الأغىاء انفقشاء مه جمعا حبعكم مه كهكم فهما انمباسكت انجمعت زي إنى الأقاء انضعفاء ادخها انعهماء، وضت بجمعت انمسمت
الاحصال الاحذاد، الأنفت انداد، بانمذبت إصلاح أمان عذل جمعت فإوا أجساد؛ بأساح
عهى غصت الأخاس بأفاي دهة إوا إدسان، دسه رنك ف بانخىاصخ عهكم. الأششاس غلاصم دعة شافت بمعظت ىانك ما عهى انخعان .قاضت دجت مخلافت
“Kemarilah kalian semuanya, baik dari orang miskin dan kaya, lemah dan kuat ke Organisasi yang penuh dengan keberkahan ini, yang bernama Organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama). Masuklah kalian ke dalamnya dengan cinta dan kasih, kasing sayang dan persatuan, berkesinambungan antara ruh dan jasad; karena ia adalah organisasi keadilan, keamanan, pembenahan, dan perbaikan.
101
Ia terasa manis di dalam penuturan orang-orang yang baik, ialah penghalang bagi keburukan orang-orang yang buruk. Dan wajib atas kalian untuk saling tolong menolong dengan (cara yang) baik atas urusan itu semua dengan nasehat yang menjadi pengobat, ajakan yang memperbaiki, dan argumentasi yang memutuskan (perselisihan).”
63
Islam dan nasionalisme saling mengisi dan saling
melengkapi satu sama lain, Islam saja tanpa adanya nasionalisme
akan kering, sebaliknya nasionalisme saja tanpa adanya Islam juga
akan kering. Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy‟ari mengatakan
“nasionalisme dan Islam adalah dua kutub yang tidak
bersebrangan”, keduanya saling melengkapi. KH. Abdurrahman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur juga
mengatakan “Agama dan nasionalisme tidak bisa berdiri sendiri”.
Ini artinya nasionalisme yang di Indonesia berbeda dengan
yang ada di barat, nasionalisme yang ada di Indonesia dipadukan
dengan nilai-nilai ke Islaman sehingga keduanya menjadi pondasi
kita bangsa Indonesia. Dalam muktamar NU tahun 1936 di
Banjarmasin, para ulama menegaskan bahwasannya, “ukhuwah
Islamiyah harus bersinergi dengan ukhuwah wathaniyah”.64
Rasa
kebangsaan Nahdlatul Ulama tumbuh dilandasi dengan nilai-nilai
63
Hasyim Asy‟ari, Muqoddimah Al Qanun Al Asasi, hal. 2 64
Kacung, Nasionalisme NU dan Politik Kebangsaan, (Pustaka Compass, :
Tangerang, 2014), hal. 2.
102
keagamaan pesantrenan. Inilah yang menjadikan perbedaan antara
nasionalisme NU dan nasionalime yang ada di Barat (sekuler).
Nasionalime merupakan paham kebangsaan dan kecintaan rakyat
terhadap tanah airnya. Nasionalisme bisa muncul karena adanya
kesadaran dari rakyat yang ingin lepas dari para penjajah asing,
kemudian dari semangat perlawanan terhadap penjajah itulah
kemudian semangat nasionalisme di Indonesia muncul.65
Nasionalisme di Barat muncul karena adanya gerakan
restrukturisasi, yang semula segala sesuatu terhadap kekuasaan,
tersentral pada Raja. Upaya untuk mendobrak sentral inilah yang
dikenal dengan revolusi perancis. Sementara di Indonesia
nasionalisme muncul karena adanya semangat dalam melawan
penjajah. 66
Cinta tanah air merupakan bagian dari pada iman
Hubbul wathon minal iman sebagaimana dijelaskan didalam
Alquran.
65
Nurani Sayomukti, Soekarno dan Nasakom, (Garasi, :Yogyakarta, 2008),
hal. 186. 66
Kacung, Nasionalisme NU dan Politik Kebangsaan,…hal. 2.
103
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata". (Q.S Al-Qashash: 85).
67
Asbabun nuzul ayat ini sangat berkaitan dengan kecintaan
dan kerinduan Nabi Muhammad SAW kepada tanah airnya,
sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muqatil bahwa ketika
Nabi Muhammad SAW keluar dari tempat persembunyiannya gua
hira. Di dalam perjalanannya menuju Madinah, ia mengambil jalan
yang tidak biasa dilewati orang, khawatir kalau Nabi diketahui
oleh orang yang sedang mencarinya. Setelah ia merasa aman ia
kembali kepada jalan biasa dan singgalah Nabi beristirahat di
Juhfah satu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah.68
Di sinilah Nabi Muhammad merasakan kerinduan pada
tanah airnya dan turunlah Malaikat Jibril kepadanya dan berkata:
“apakah engkau rindu dengan negrimu, tanah tumpah darahmu ?
“Nabi Muhammad menjawab: “ya, saya sangat rindu”. Berkata
Jibril: “Sesunggunya Allah SWT Sesungguhnya yang mewajibkan
67
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 396. 68
Nailul Huda dan Hamim, Tasawuf Kebangsaan Perspektif Imam Al-
Ghazali, (Santri Salaf Press, :Jawa Timur, 2018), hal. 297.
104
atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran benar-benar akan
mengembalikan kamu ke tempat kembali.69
Dalam memahami ayat ini para mufasir berpendapat bahwa
ini merupakan bentuk isyaroh atau petunjuk bahwa hubbul wathon
minal iman cinta tanah air merupakan bagian dari pada iman.
Dalam potret sirah nabawiyah lainnya dikisahkan ditengah
perjalanan hijrah ke Madinah, Rosulullah SAW sangat
merindukan Makkah, tanah kelahirannya. Jibril dating bertanya
kepada Nabi Muhammad SAW “apakah engkau merindukan
negerimu?” Rosulullah SAW menjawab “ya”. Lalu turunlah ayat:
Artinya : “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah).” (QS. Al-Qashash: 85).
70
Menurut Ismail Haqqi dalam tafsir Ruh Al-Bayan, pada
ayat itu terdapat isyarat bahwa cinta tanah air merupakan bagian
dari pada iman.71
Sahabat Umar Bin Khatab juga mengatakan
“seandainya tidak ada cinta tanah air, niscaya akan semakin
69
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, hal. 115. 70
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 396. 71
Tim Bathsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan
di Tengah Khebinnekaan, hal. 16.
105
hancur sebuah daerah yang terpuruk. Maka dengan cinta tanah
air sebuah daerah akan menjadi lebih maju”.72
Berdasarkan sejarah nasionalisme sudah di praktikan oleh
Nabi Muhammad SAW ketika berada di kota madinah dengan
sebutan “Piagam Madinah”. Menurut KH. Abdurrauf piagam
madinah bukanlah perjanjian agama, melainkan sebuah perjanjian
yang menyangkut urusan hubungan sesama manusia di dunia (al-
mu‟amalah ad-dunyawiyah) tanpa membedakan agama, suku, dan
kabilah. Artinya piagam madinah tidak sama dengan statute agama
menurut Kiai Abdurrauf, perjanjian itu hanya sebuah instrument
(wasilah) untuk mewujudkan tujuan Islam yang ingin
menyelamatkan semua makhluk di dunia sampai di akhirat.73
Dari rasa kecintaan terhadap tanah airnya KH. Wahab
Chasbullah kemudian membuat sya‟ir yang begitu sangat indah
untuk dijadikan semangat dalam mencintai tanah air Indonesia.
Syair ini dikenal dengan nama Syubbanul Wathon.74
طه طه ا نه طه ا نه ا نه
72
Nailul Huda dan Hamim, Tasawuf Kebangsaan Perspektif Imam Al-
Ghazali, (Santri Salaf Press, :Jawa Timur, 2018), hal. 296. 73
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis
Agama,… hal. 174. Hal. 203. 74
Nailul Huda, Hamim Hr, Cinta Tanah Air Dalam Bingkai Ihya
„Ulumuddin di Sertai Kisah Walisongo, (Jawa Timur: Santri Salaf Press, 2018), hal.
1.
106
مان طه مه ال دب ان
لا حكه مه انذشمان
طه م ان ا أ ض او
لادي سا ب إوذو
ان انفخاما أوج عى
ك ماكم مه أح
طامذا هق دماما“Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku!
Indonesia negriku
Engkau Panji Martabatku
S‟yapa datang mengancammu
„Kan binasa di bawah durimu!”.
Kiai Wahab Hasbullah telah membuktikan diri bahwa
semangat nasionalisme sangat efektif diwujudkan melalui ranah
pendidikan. Hal ini dilakukan dengan masif di berbagai pesantren
sehingga peran kalangan pesantren sendiri diakui oleh Dr.
Soetomo (Bung Tomo) sebagai lembaga yang sangat berperan
dalam membangun keilmuan kokoh bagi bangsa Indonesia
sekaligus dalam pergerakan nasional untuk mewujudkan
kemerdekaan.
Walhasil, nasionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan
Islam, bahkan sebenarnya justru dapat menjadi media
mengejawantahkan ajaran-ajarannya. Semangat nasionalisme
107
hubbul wathon juga secara tidak langsung dapat menjadi bagian
dari aqidah setiap muslim.
3. Nasionalisme Kiai NU dan Pesantren
Di tengah problematika umat saat ini dalam menghadapi
tantangan, rasa kebangsaan terhadap tanah airnya Hubbul Wathon
Minal Iman, perlu penulis jabarkan kembali secara eksplisit
tentang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah
diperjuangkan oleh para Kiai. Perlu diketahui karena semangat
nasionalisme dan patriotisme umat Islam khususnya para
punggawa Ulama NU dan para santri telah berhasil mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.75
Sejak lahir hingga sekarang, Kiai dan pesantren menarik
dikaji dari segala aspek, baik dari sisi luarnya, kehidupan sehari-
harinya, potensi dirinya, isi pendidikannya, maupun metode dan
pengajarannya. Pesantren mempunyai daya tarik yang luar biasa
dari zaman dulu hingga sekarang, salah satu daya tarik pesantren
adalah pesantren bukan hanya menjadi wadah pendidikan saja,
tapi pesantren merupakan wajah khas pendidikan Indonesia.76
75
Kacung, Nasionalisme NU dan Politik Kebangsaan,…hal. 1 76
Jamal Ma‟mur Asmani, Peran Pesantren Dalam Kemerdekaan dan
Menjaga NKRI, (Yogyakarta: Pressindo, 2011), hal. 209.
108
Dalam bahasa Nurcholis Madjid, pesantren mengandung makna
keaslian Indonesia (indegeneous).
Dijelaskan didalam buku “kritik ideologi radikal” dalam
sambutannya KH. Maimoen Zubair selaku mustasyar PBNU dan
juga pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang, beliau
menjelaskan bahwa setiap orang itu harus memiliki jiwa
nasionalisme. Ayah saya KH. Zubair mengajarkan saya rasa
nasionalisme semenjak saya masih kecil. Ulama-ulama dahulu
juga demikian, mereka selalu banggan dengan daerah asalnya.
Nama belakang mereka pasti dikasih nama daerah asalnya. Seperti
Syaikh Nawawi Al-Bantani dari Banten, Syaikh Mahmuzh At-
Turmusi dari Termas, dan lain-lain.77
Nasionalisme ini penting,
supaya paham keislaman dan kebangsaan berjalan bersama. Kalau
paham kebangsaan dan keislaman tidak bergandengan, Negara
akan konflik dan gegeran terus.78
Sejarah pesantren, Kiai dan santri NU tidak bisa dilepaskan
dalam kemerdekaan RI, karena Kiai dan pesantren NU punya
peran dan andil yang sangat besar dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Hal ini bisa dilihat ketika zaman
77
Maimoen Zubair, Sambutan di Dalam Buku “Kritik Ideologi Radikal”,…
hal. XXVIII. 78
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama – Santri & Resolusi Jihad,
(Tangerang: Pustaka Compass, 2014), hal. 100.
109
penjajahan pesantren merupakan basis perlawanan atau dijadikan
gudang persenjataan untuk melawan penjajah. Kiai dan pesantren
dalam mengusir penjajah bukan hanya mempertahankan tanah
airnya saja tapi juga mempertahankan paham Islam Ahlusunnah
Wal Jama‟ah, Islam yang moderat yang melebur dengan budaya,
selagi budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Nasionalisme Kiai dan pesantren, sepanjang masa
perjuangan kemerdekaan RI. Khusunya ulama dan santri yang
tergabung dalam NU, telah meletakan kepentingan bangsa dan
negera jauh lebih penting. Mengkaji perjuangan para pejuang
bangsa Indonesia yang dimuat didalam buku Laskar Ulama Dan
Santri, tidak heran Kiai NU dimasa kini selalu menerikan NKRI
Harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kiai NU tetap
mempertahankan empat pilar kebangsaan yakni, NKRI, pancasila,
UUD 1925, dan bhineka tunggal ika.79
Bagi Gus Dur, pancasila
sangatlah penting bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Gus Dur menyatakan bahwa. “tanpa pancasila Negara
akan bubar”. Pancasila ia seperangkat alat asas, dan ia aka nada
79
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama – Santri & Resolusi Jihad,… hal.
100.
110
selamanya. Pancasila adalah gagasan tentang Negara yang harus
kita miliki dan kita perjuangkan.80
Mempertahankan NKRI sejatinya mempertahankan Islam.
Sebab, dalam konteks keindonesiaan, agama bisa tegak bila
masyarakatnya bersatu damai. Tidak mungkin agama bersatu
damai tanpa memegang teguh prinsip Negara yang telah disepakati
seluruh anak bangsa dengan segala kemajemukannya.
Mempertahankan NKRI yang merupakan bagian dari empat pilar
bangsa: pancasila, bhineka tunggal ika, UUD 1945, dan NKRI
adalah manifestasi siyasah syar‟iyah yang paling efektif untuk
mengakomodir kemaslahatan hidup beragama, berbangsa dan
bernegara dibumi nusantaradengan segala keberagamannya.
Yang diantaranya dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Menghindari sikap penghianatan konsensus bangsa, dimana
consensus tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
b. Menghindari pertikaian antar pemeluk agama, karena secara
factual tidak mungkin menjadikan warga Indonesia menganut
satu agama.
80
Nur Khalik Ridwan, Negara Bukan-Bukan, (Yogyakarta: Ircisod, 2018),
di kutip dalam cover buku.
111
c. Menghindari terjadinya perang saudara akibat perebutan
kekuasaan yang dilakukan secara inkonstitusional.
d. Menghindari terjadinya disintegrasi bangsa.81
Dalam konteks ini Kiai Nahdlatul Ulama lintas generasi
konsisten meneguhkan sikapnya atas eksistensi NKRI.
Sebagaimana berikut:
a. Merujuk resolusi jihad 22 oktober 1945, mempertahankan dan
menegakan NKRI menurut hukum agama Islam adalah wajib,
termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap muslim dan
jihad fi sabilillah.82
b. NKRI merupakan upaya final dari perjuangan seluruh
penduduk Indonesia termasuk umat Islam didalamnya dalam
mendirikan Negara.
c. NKRI adalah Negara yang sah menurut hukum Islam, yang
menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah akomodatif,
selektif serta bertaqwa sesempurna mungki, tidak usah mencari
atau membuat bentuk Negara yang baru.
d. NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan
kebangsaan, kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa
81
Tim Bathsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan
di Tengah Khebinnekaan,… hal. 22. 82
Agus Suntoyo, Fatwa dan Resolusi Jihad Sejarah Perang Rakyat
Semesta di Surabaya 10 November 1945,…hal. 153.
112
yang akan mendatang, sesuai dengan keputusan muktamar NU
ke-29 di Cipasung Tasikmalaya, 1 Rajab 1415 H/4 Desember
1994 M.83
D. Islam Moderat
1. Definisi Islam Moderat
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri
khas (khashais) yang membedakannya dengan agama yang lain.
Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta‟adul,
tasamuh dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang
memiliki arti sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena
itu, tiga kata tersebut bisa disatukan menjadi wasathiah. Watak
wasathiah Islam ini dinyatakan oleh Allah sendiri dalam
Alquran.84
Artinya : “dan begitu juga kami jadikan kalian umat yang
wasath (moderat) agar kalian menjadi saksi (atas perbuatan)
83
Tim Bathsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan
di Tengah Khebinnekaan, …hal. 24. 84
Asror Baisuki, Jurnal Penanaman Karakter Moderat di Mahad Aly
Situbondo, (Jakarta: Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2017), hal. 460.
113
manusia dan rosul menjadi saksi bagi kalian”. (QS. Al-
Baqoroh; 143)85
Kata “wasath” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada
tafsir klasik seperti Al-Tabari atau Al-Razi, mempunyai tiga
kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah,
atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan.
Ibnu „Asyur memberikan dua makana terhadap kata “wasath.”
Pertama, menurut etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada
di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang
ukurannya sebanding. Kedua, menurut terminologi bahasa, wasath
adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang
lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu.86
Kemudian juga kata moderat asalnya dari bahasa inggris
moderate artinya mengambil sikap tengah: tidak berlebih lebihan
pada satu posisi tertentu, ia berada sikap yang tegak lurus dengan
kebenaran. Moderator seorang penengah, yang mampu menyatukan
dua kubu persoalan secara seimbang dan harmonis, dengan tanpa
mengorbankan nilai-nilai kebenaran. Dalam bahasa arab disebut al-
85
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 22. 86
Nur dan Lubis, Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran (Studi Komparatif
Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa at-Tanwîr Dan Aisar at-Tafâsîr),( 4 No. 2 : 2015), hal.
25.
114
wasath. Imam al-Ashfahani mengartikan kata wasath dengan,
seimbang tidak terlalu ke kanan (ifrath) dan tidak terlalu ke kiri
(tafrith), di dalamnya terkandung makna keadilan, keistiqomahan,
kebaikan, keamanan dan kekuatan.87
2. Konsep Islam Moderat
Islam sebagai agama terakhir memiliki banyak ciri khas
yang membedakannya dengan agama lain, ciri khas yang paling
menonjol adalah tawasuth, ta‟adul, tasamuh, tawazun, oleh karena
itu tiga ungkapan tersebut disatukan menjadi “wasathiyyah” watak
wasathiyyah Islam ini dikatakan oleh Allah dalam Alquran.88
Artinya :
“dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat penengan (adil dan pilihan, agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Qs. Al-Baqarah:
143).89
87
Asror Baisuki, Jurnal Penanaman Karakter Moderat di Mahad Aly
Situbondo,.. hal. 462. 88
Afifudin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat, (Situbondo:
Tanwirul Afkar, 2018), hal. 1-2. 89
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 22.
115
Yang kedua yakni sikap i‟tidal yang berarti tegak lurus atau
menjunjung tinggi keadilan ini berdasarkan dari firman Allah SWT
pada Alquran surat Al-Maidah ayat 8.90
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al-
Maidah: 8).91
Ketiga adalah sikap tasammuh (toleran) yang berarti
menghargai perbedaan serta mengahargai orang yang mempunyai
prinsip hidup yang tidak sama, namun bukan berarti membenarkan
90
Danial Hilmi, Jurnal Mengurai Islam Moderat sebagai Agen Rahmatan
Lil „Alamin,(Malang: UIN Malang), hal. 69. 91
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 108.
116
atau mengakui keyakinan yang berbeda tersebut dalam
meneguhkan apa yang diyakini.92
Artinya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaha: 44).
93
Yang terakhir adalah sikap tawazun (menciptakan
kesetaraan/keadilan) yang berarti seimbang dalam segala hal,
termasuk dalam penggunaan dalil naqli (dalil yang bersumber dari
Al-Qur‟an dan Hadits) maupun dalil aqli (dalil yang bersumber dari
akal pikiran rasional). Firman Allah SWT.94
Sedangkan Islam moderat (wasathiyah) menurut MUI
(Majelis Ulama Indonesia) adalah sikap hidup prilaku manusia
tidak condong ke kanan dan ke kiri, artinya bahwa ajaran moderat
mengajarkan kepada manusia untuk tidak berlebihan dalam segala
hal. Sikap wasathiyah juga tak memperkenankan seorang muslim
untuk berprilaku ekstrem menjalankan agama. Dan sikap
92
Munawir, Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah,
(Surakarta: LP2IM Surakarta, 2016), hal. 64. 93
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT
Syaamil Cipta Media), hal. 314. 94
Abdul Hakim, Model Pendidikan Islam Anti Radikalisme Di Pesantren
Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Kab. Brebes, (Semarang: UIN Walisongo, 2017), hal.
143.
117
wasathiyah juga tak memperkenankan prilaku seorang muslim
untuk meremehkan pelaksanaan ajaran agama.95
Dalam konteks Indonesia, Islam Moderat yang
mengimplementasikan Ummatan Wasathan terdapat pada dua
golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Keduanya mencerminkan ajaran Ahlussunnah wa al-Jama‟ah yang
mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah. Sikap
moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah
wa al-Jama'ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat.96
Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai
Jam‟iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham
Ahlussunah wa al-Jama‟ah dengan mengakui mazhab empat, yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci,
bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah wal
Jama‟ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari, dan
Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU
mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah
95
Suara Majelis Ulama Indonesia, Islam Wasathiyah: Ruh Gerak MUI,
(Jakarta: Majalah Mimbar Ulama, 2016), hal. 3. 96
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asy‟ari, (Yokyakarta: Lkis Printing Cemerlang, 2000), Hal. 64.
118
Al-Nu'man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-
Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti
antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta
imam-imam yang lain.97
Bentuk Wasathiyah Nahdlatul Ulama diantaranya dengan
menganut para imam sebagaimana disebut di atas, maka mereka
semua berfaham Ahlussunnah wa al-Jama‟ah yang selalu menjadi
penengah atas berbagai faham yang ekstrim dan liberal.
Menjalankan dakwah dengan lembut, ikut terlibat dalam aktivitas
sosial serta merasuk ke berbagai struktur sosial mulai dari pedesaan
sampai perkotaan.98
Perkataan Ahlusunnah wal jama'ah dapat diartikan sebagai
"para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan)
ulama".99
Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri
Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga
i'tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh
97
Mujamil Qomar, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke
Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Hal. 62. 98
Danial Hilmi, Islam Moderat: Konsepsi Interpretasi dan Aksi, (Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016), Hal. 68. 99
Zamakhsyari Dhofier, Tradi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 148.
119
(bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan
pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan
penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam
pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan
tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio ('aqliyah)
sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap
perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan
doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya
terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki
sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan
paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah,
mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan
keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga
tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-
Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).100
Aswaja kepanjangan dari “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah”.
Artinya orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan Wal Jama‟ah berarti mayoritas umat atau
100
Miftahudin, Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif
Historis, (Mozaik, Volume V Nomor 1, Januari 2010), Hal. 51.
120
mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlus
Sunnah Wal Jama‟ah yaitu: “Orang-orang yang mengikuti sunnah
Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa
ashabii), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun aqidah dan
tasawuf. Aswaja menurut KH. Hasyim Asy‟ari mereka yang secara
aqidah mengikuti Abu Hasal Al Asy‟ari.”101
Untuk menegakkan prinsip-prinsip ajaran ahlu sunnah wal
jama‟ah dan prinsip dasar organisasi, maka KH. Hasyim Asy‟ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), dan juga
merumuskan kitab I‟tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah. Kedua kitab
tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang
dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan po1itik. 102
Khusus untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak
terkontaminasi oleh paham-paham sesat yang dikampanyekan oleh
kalangan modernis, KH. Hasyim Asy‟ari menulis kitab risalah
Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang secara khusus menjelaskan soal
bid‟ah dan sunah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan
101
Fatih Syuhud, Ahlussunah Wal Jama‟ah: Islam Wasathiyah Tasamuh
Cinta Damai, (Malang: Pustaka Alkhoirot, 2017), hal. 2. 102
Munawir, Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah,
(Vol. 1, Nomor 1, 2016), Hal. 62.
121
pemahaman aqidah, fikih, dan tasawuf versi Ahlus Sunnah Wal
Jama‟ah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang
fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya. Dalam
perkembangannya kemudian para ulama‟ NU di Indonesia
menganggap bahwa Aswaja yang diajarkan oleh KH Hasyim
Asy‟ari sebagai upaya membumikan atau menginstitusikan prinsip-
prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun
(seimbang) serta ta‟addul (keadilan). Prinsip-prinsip tersebut
merupakan landasan dasar dalam mengimplimentasikan Aswaja.103
Didirikannya Jam‟iyah NU oleh Kiai di pesantren untuk
melestariskan paham moderat Ahlussunah wal jama‟ah, dengan
tujuan memlihara, a) melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan paham Islam Ahlussunah wal jama‟ah yang
menganut pola madzham empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi‟I, Imam Hambali, b) mempersatukan langkah para ulama dan
para pengikut-pengikutnya, dan c) melakukan kegiatan-kegiatan
103
Munawir, Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah,…
hal. 62.
122
yang bertujuan utuk menciptakan kemaslahatan masyarakat,
kemajuan bangsa dan, ketinggia harkat martabat manusia.104
Jadi Islam ahlussunah wal jama‟ah adalah ajaran (wahyu
Allah SWT) disampaikan kepada Nabi Muhammad kepada para
sahabatnya dan beliau amalkan serta diamalkan oleh para
sahabatnya. Paham Aswaja NU mencakup aspek aqidah, syar‟iyah
dan akhlak. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang mencakup
seluruh aspek keagamaan dalam Islam. Didasarkan pada manhaj
(pola pemikiran) Asy‟ariyah dan maturidiyah dalam bidang aqidah,
empat imam madzhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki,
Syafi‟I, Hambali) dan dalam bidang tasawuf menganut manhaj
Imam Al-Ghazali, dan Imam Alqasim Al-Junaidi Al-Baghdadi.105
Menurut A. Fatih Syuhud seorang penganut Aswaja yang
betul-betul memahami esensi Aswaja akan memiliki perilaku yang
tidak hanya toleran, menghargai perbedaan, dan cinta damai kepada
non-muslim yang tidak berbuat dzalim. Menurutnya pertama
aswaja secara fitrah selalu toleran terhadap perbedaan aqidah
104
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlusuunah
Wal Jama‟ah Yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, (Jawa Timur: Lajnah
Ta‟lif Wa Nasyr NU, 2017), Hal. 1. 105
Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahlussunah Wal Jama‟ah: Analisis Tentang
Hadis Kematian, Tanda-tanda Kiamat, dan Pemahaman Tentang Sunah dan Bid‟ah,
(Jakarta: LTN PBNU, 2011), Hal. 12.
123
madzhab. Kedua toleran terhadap perbedaan fiqh dengan adanya
empat madzhab fiqh yang diakui sebagai bagian dari Aswaja, maka
itu bermakna bahwa terkadang ada empat pandangan fiqh yang
berada dalam pandangan yang sama. Dan ketiga pandangan fiqh
yang berbeda dalam masalah yang sama.106
Ciri utama aswaja Nahdlatul Ulama adalah moderat
(tawasuth) dan (i‟tidal) tengah-tengah atau adil (seimbang). Yakni
selalu seimbang dalam menggunakan dalil, antara dalil naqli dan
dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan pendapat qadariyah dan
sikap moderat dalam mengahadapi perubahan dunyawiyah. Dalam
masalah fiqh sikap pertengahan antara “ijtihad” dan “taqlid” buta,
yaitu dengan cara bermadzhab. Ciri sikap ini adalah tegas dalam
sikap qath‟iyyat dan toleran dalam hal zhaniyyat.107
Di kalangan Nahdliyin misalnya, terdapat banyak tokoh,
pemikir, dan atau ulama yang dikenal memiliki karakter pemikiran
moderat. Para tokoh moderat ini kebanyakan mengisi jajaran
struktur kepengurusan di tingkat pusat atau Pengurus Besar (PB),
baik di jajaran Majlis Syuro atau Dewan Tanfidz. Di antara nama-
106
Fatih Syuhud, Ahlussunah Wal Jama‟ah: Islam Wasathiyah Tasamuh
Cinta Damai,… hal. v. 107
Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlusuunah
Wal Jama‟ah Yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama,…Hal. 3-4.
124
nama kiai NU yang bisa disebut sebagai tokoh moderat adalah KH.
Sahal Mahfudz, KH. Hasyim Muzadi, KH. Abdurrahman Wahid,
KH. Salahuddin Wahid, Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, KH.
Masdar Farid Mas‟udi, dan masih banyak lagi yang lain. Sementara
itu, di kalangan Muhammadiyah, terdapat nama-nama seperti KH.
Ahmad Dahlan, Hamka, Buya Syafi‟i Ma‟arif, Din Syamsuddin,
dan seterusnya, yang dikenal luas karena arus pemikiran
moderatnya.108
Tawasuth (moderat) dalam menyikapi budaya ialah
mempertahankan budaya lama yang masih baik dan menerima
budaya baru yang lebih baik.109
Dalam sikap ini Aswaja Nahdlatul
Ulama tidak apriori menolak atau menerima dari keduanya. Model
keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, mungkit tepat apabila
dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa
usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam
merupakan suatu pendekatan yang bijak. Bukankah al-Qur‟an
menganjurkan sebuah metode yang bijaksana, yaitu “serulah
manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yag
108
Danial Hilmi, Islam Moderat: Konsepsi Interpretasi dan Aksi,… Hal.
68-69. 109
Perlu hati-hati, kaidah ini yang mengusung adalah Jamaludin Al-
Afgani. Sehingga, kalimat “lama yang masih baik” dan “baru yang lebih baik” tentu
menurut versinya, dan belum tentu versi kita.
125
baik” (QS. An-Nahl: 125).32 Dalam mendinamiskan
perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai
budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran
Islam yang lebih toleran pada budaya lokal.110
Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang
dikembangkan Walisongo dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan
menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII.
Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih
merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai.
Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam
moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen
perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan
menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya
tersebut ke dalam nilai-nilai Islam, selagi budaya tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam, agama akan lebih kuat
jika dibangun dengan berdasarkan budaya setempat, contoh baju
batik adalah budaya nusantara, baju batik akan lebih baik lagi jika
110
Miftahudin, Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif
Historis, Hal. 52.
126
dipake sholat, artinya antara budaya agama saling menguatkan satu
sama lain.111
Kekuatan Islam Moderat tidak lepas dari peran Walisongo
yang mampu mengakomodasi kultur budaya masyarakat setempat
sehingga dapat mengislamkan masyarakat khususnya Tanah Jawa.
Dua golongan NU dan Muhammadiyah telah berhasil
merealisasikan Islam Moderat serta membendung setiap
radikalisasi yang muncul di tengah masyarakat. Oleh karena itu,
dirasa perlu untuk menjadikan Islam Moderat sebagai kiblat ajaran
Islam yang sebenarnya dengan berlandaskan Islam yang Rahmatan
Lil „Alamin.112
Sebagai jawaban atas berkembangnya paham dan gerakan
kelompok yang intoleran, dan mudah mengkafirkan (takfiri), maka
perlu dirumuskan ciri-ciri Ummatan Wasathan untuk
memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam yang moderat dalam
kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan. Sikap moderat adalah bentuk manifestasi ajaran Islam
sebagai rahmatan lil „alamin rahmat bagi segenap alam semesta.
111
Miftahudin, Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif
Historis, Hal. 52. 112
Danial Hilmi, Islam Moderat: Konsepsi Interpretasi dan Aksi, Hal. 71.
127
Sikap moderat perlu diperjuangkan untuk lahirnya umat terbaik
(khairu ummah).
Adapun ciri-ciri umat moderat adalah Pemahaman dan
praktik amaliah keagamaan seorang muslim moderat memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan
pengamalan yang tidak ifrâth (berlebih-lebihan dalam
beragama) dan tafrîth (mengurangi ajaran agama);
2. Tawâzun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan
pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek
kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam
menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf
,(penyimpangan,) dan ikhtilaf (perbedaan);
3. I‟tidâl (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
secara proporsional;
4. Tasâmuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati
perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek
kehidupan lainnya;
128
5. Musâwah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada
yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul
seseorang;
6. Syûra (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan
prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya;
7. Ishlâh (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif
untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi
perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah „ammah) dengan tetap
berpegang pada prinsip al-muhafazhah „ala al-qadimi al-shalih
wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama
yang masih relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih
relevan);
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan
mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus
diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan
yang kepentingannya lebih rendah;
9. Tathawwur wa Ibtikâr (dinamis dan inovatif), yaitu selalu
terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan
129
perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk
kemaslahatan dan kemajuan umat manusia;
10. Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlak
mulia, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah
dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.113
113
Afrizal Nur dan Mukhlis, Jurnal Konsep Wasathiyah dalam Al-Qur‟an,
(Riau, UIN Suska An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015), hal. 212-213.