bab ii gambaran umum tentang nahdlatul ulama ...repository.uinbanten.ac.id/4820/4/bab ii.pdf37 bab...
TRANSCRIPT
37
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama
Banyaknya perbadaan ideologis dan perbedaan pandangan
dalam merespon fenomena yang ada, baik dalam skala nasional dan
internasional khususnya dunia Islam maka pada tanggal 16 rajab 1344
H atau 31 Januari 1926 di Surabaya.1 lahirlah Nahdlatul Ulama
2
sebagai representatif dari kaum tradisionalis, yang merupakan
jawaban dari umat Islam terhadap problem dan fenomena yang
berkembang dalam dunia Islam di Indonesia dan untuk berkiprah
dalam memperkuat barisan kebangkitan naisonal. Nahdlatul Ulama‟
berasal dari bahasa arab. Nahdlatul artinya bangkit atau bergerak.
Nama Nahdlatul Ulama‟ adalah usulan dari Ulama‟-ulama‟ pada
zaman dahulu. Nahdlatul Ulama‟ sebagai organisasi masyarakat dan
1 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996), h. 239. 2 Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab “nahdlah" yang berarti bangkit
atau bergerak, dan “ulama”, jamak dari alim yang berarti mengetahui atau berilmu.
Kata “nahdlah” kemudian disandarkan pada “ulama” hingga menjadi Nahdlatul
Ulama yang berarti kebangkitan ulama atau pergerakan ulama. Lihat Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penerjemah/Penafsir Alquran,
1973), hal. 278 dan 471
38
keagamaan yang mempunyai lambaga yang menggambarkan dasar
tujuan dan cita-cita dari keberadaan organisasi.3
Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai
reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus
sunnah waljamaah tokoh-tokoh yang ikut berperan diantaranya K.H.
Hasyim Asy‟ari. K.H. Wahab Hasbullah dan para ulama pada masa itu
pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, ulama belum
begitu terorganisasi namun mereka sudah saling mempunyai
hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun
wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai,
masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang
kini tersebar luas diseluruh nusantara.4
Nahdlatul Ulama mulanya hanya sebuah kepanitiaan yang
disebut Komite Merebuk Hijaz, namun atas beberapa inisiatif
kalangan ulama waktu itu, telah menempatkan K.H. Hasyim Asy‟ari
sebagai tokoh pendiri dan langsung mengetuainya.5 Selain itu, ada
alim ulama lain dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Diantaranya
3 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95,
2002), hal. 65 4 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan,…hal. 66
5 Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran :Perkembangan Modern dalam
Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 216.
39
adalah: K.H. Hasyim Asy‟ari Tebuireng, K.H. Abdul Wahab
Hasbullah, K.H. Bisri Jombang, K.H. Ridwan Semarang, K.H.
Nawawi Pasuruan,
K.H.R. Asnawi Kudus, K.H.R Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang,
K.H. Doromuntaha Bangkalan, K.H.M. Alwi Abdul Aziz.6
Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan respons terhadap
munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di
pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan
Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH.
Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi
Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik-
praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional,
seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang
sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya
tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang
secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian
6 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal.
178
40
(purifikasi) ajaran Islam. Organisasi Muhammadiyah didirikan di
Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan yang kemudian
gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-
praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari
efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah
lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah
pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi)
dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan
membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia
berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite
Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di
Arab Saudi.7
Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Aswaja
merupakan paham keagamaan NU, bagi NU aswaja merupakan jiwa
dan haluan organisasi paham keagamaan dalam menentukan pola,
sikap, pikiran, perilaku dan kenegaraan.8
7 Hartono Margono, Jurnal KH. Hasyim Asyari dan Nahdlatul Ulama
:Perkembangan Awal dan Kontemporer, (Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli
2011), hal. 339-340 8 Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan Jalan, (Jakarta:
Erlangga, 2011), hal.30
41
Ajaran ini bersumber dari Alquran, Sunnah, Ijma‟(keputusan-
keputusan para ulama‟sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada
dalam cerita Alquran dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan
dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-
bidang hukum-hulum Islam menganut salah satu ajaran dari empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali), yang dalam
praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi‟I. (2) dalam
soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-
Asy‟ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. (3) dalam bidang
tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al- Junaidi.
Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran
Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu
pendapat yang benar.9
Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang
terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal
manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah
pelaku dosa besar memilih pendapat Murji‟ah yang menyatakan
bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq).
9 PWNU Yogyakarta, Ke-NU-an Ahlusuunah Wal Jama’ah Annahdliyah,
(Yogyakarta: LP Ma‟arif NU, 2017), hal. 4-5.
42
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan AL-Basri inilah yang
sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus sunnah
waljama‟ah.10
Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah
perjuangan untuk menentang segala bentuk penjajahan dan merebut
kemerdekaan negara Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan
Jepang, sekaligus aktif melakukan dakwah-dakwahnya untuk
senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah
NKRI. NU sejak dahulu sampai sekarang dan sampai kapanpun akan
senantiasa berjuang demi kepentingan umat. Dalam perjuangannya
NU masuk ke dalam berbagai segi, di antaranya adalah melalui politik
kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan sumber daya
manusia.11
Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan keutuhan
NKRI dapat dilihat atas latar belakang lahirnya ormas terbesar di
dunia Nahdlatul Ulama (NU). Paling tidak ada tiga alasan besar yang
melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu
10
Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 7 11
LP Ma‟arif NU, Ke-NU-an Ahlussunah Wal Jama’ah Annahdliyah,
(Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Ma‟arif Nahdlatul Ulama, 2017), hal. 96.
43
Pertama, motif agama. Kedua, motif mempertahankan paham Ahlu al-
Sunnah wa ‟l-Jamā‟ah, dan ketiga, motif nasionalisme.12
Motif nasionalisme timbul karena NU lahir dengan niatan kuat
untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan
penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama
Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”.13
NU
pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis.
Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan
organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi,
Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi
kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis.
Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Shubban
al-Waṭān (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian
menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya
adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim. Selain itu dari rahim
Nahdlatul Ulama (NU) lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di
kalangan pemuda muncul laskar-laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah)
dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran
12
Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI, (Volume 24, Nomor
2, November 2016), hal. 252 13
Zudi Setiawan, Nasionalisme NU, (Semarang: Cv Aneka Ilmu, 2007),
hal. 76.
44
Barus Sumatera Utara tahun 1909, dan di kalangan orang tua
Sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur,
laskar-laskar NU di atas siap berjuang jihad menegakkan agama dan
bangsa, mengusir para penjajah Belanda dan Jepang untuk merebut
kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.14
Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU)
dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya
untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing
yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat
dipungkiri. Bahkan menurut hitungan rasional kemerdekaan negara
Indonesia ini tidak akan pernah terwujud, mengingat rakyat Indoneisa
pada saat itu merupakan rakyat yang miskin, serba kekurangan, untuk
makan saja masih sulit akibat kejamnya penjajahan, demikian juga
minimnya persenjataan yang dimiliki oleh pasukan dan relawan
pejuang rakyat kita, apabila dibandingkan dengan persenjataan yang
dimiliki oleh penjajah Belanda.15
Akan tetapi berkat motivasi para
ulama kita termasuknya adalah ulama NU yang berupaya
mentranspormasi gerakan-gerakan yang bersifat spontanitas kepada
14
Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI, (Volume 24, Nomor
2, November 2016), hal. 253 15
A. Helmy Faishal Zaini, Nasionalisme Kaum Sarungan, (Jakarta: Buku
Kompas, 2018), 74-75
45
mekanik atau organik dari doa dan wirid-wirid yang diberikan oleh
ulama-ulama NU (bisa berupa asmā‟, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain
sebagainya) menjadi sebuah sugesti besar pensakralan dan kekuatan
besar untuk melawan peperangan melawan penjajah, maka dengan
sugesti yang kuat ini perjuangan para ulama bisa menghantarkan ke
sebuah kemerdekaan berkat rahmat Allah.16
Jika dahulu salah satu factor pendorong lahirnya Nahdlatul
Ulama adalah untuk menghadapi globalisasi wahabi maka sekarang
ini tantangan yang dihadapi NU lebih kompleks karena NU dikepung
oleh berbagai kelompok Islam berjenis lain yang meski secara masa
tidak terlalu besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok
baru.17
Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan tampil sebagai
organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama
yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembati
kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang
menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik
Indonesia. Menurut seorang bekas murid pesantren Kiyai Hasyim
16
Amin Farih, Jurnal Nahdlatul Ulama dan Kontribusinya Dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan NKRI,…hal. 254 17
Nur Kholik Ridwan, NU dan Neoliberalisme, (Yogyakarta : 2008), hal. 3
46
Asy‟ari di Tebuireng, para santri menyanyikan lagu kebangsaan tiap
hari kamis, setelah pengajian selesai,18
ini artinya para ulama sejak
zaman dulu sudah menanamkan kepada para santrinya nilai-nilai
nasionalisme.
Meskipun tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia
politik, para pimpinan NU memperhatikan juga bentuk Negara
Indonesia yang akan datang. Pada muktamar XV yang berlangsung
bulan juni 1940 (muktamar terakhir masa pemerintahan colonial
belanda) NU mengadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh sebelas
ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon
yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia mendatang.
Sebelas tokoh NU menetukan pilihan di antara dua nama yang disebut
pada rapat tertutup itu adalah soekarno dan Muhammad Hatta. Para
ulama memilih Soekarno dengan suara 1 berbanding 10.19
Keputusan ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena
diambil pada saat berlangsungnya perdebatan seru mengenai
Indonesia akan dijadikan Negara Islam atau bukan. Di samping itu
Muhammad Hatta yang berasal dari Sumatra Barat memiliki citra
lebih “santri” dibanding Soekarno, orang Jawa Timur yang mulai
18
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, (Yogyakarta : 2017), hal. 14-15 19
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,...hal. 18.
47
memperdalam pengetahuan Islamnya sewaktu berada dipengasingan,
yang menyatakan jelas kekagumannya kepada Kemal Attaruk.
Sejak September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jawa,
mewakili sekutunya, Belanda yang berusaha menanamkan kembali
kekuasaannya di Hindia Belanda. Jakarta, Bandung dan Semarang
telah jatuh ketangan mereka dan kedatangan pasukan Inggris ditunggu
di Surabaya. Mengahadapi ancaman ini, para ulama NU berkumpul
pada tanggal 22 oktober 1945 dan menyatakan Perang Jihad (Djihad fi
Sabilillah) melawan sekutu Inggris-Belanda.
Pesantren-pesantren sering dijadikan tempat berlindung dan
berkumpul pasukan Hizbullah dan pasukan Sabillah.20
NU sejak dari
dulu selalu berjuang untuk kemerdekaan NKRI dari tangan penjajah
kolonial Belanda. Keterlibatan fisik dan moral para ulama, santri dan
kiyai “sakti”, yang harus memimpin pasukan atau memberikan
kekuatan moral untuk mencapai kemenangan, tercantum dalam
Resolusi Jihad NU.21
Mulai 1946, NU secara penuh mengambil bagian dalam
pemerintahan dengan diberikannya jabatan menteri Agama yang
20
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 37. 21
Gunaji, Resolusi Jihad NU 1945 Peran Politik dan Militer NU Dalam
Mempertahankan Kedaulatan NKRI, (Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah, 2009), hal. 13.
48
dibentuk pada tahun 3 Januari 1946.22
Departemen Agama ini baru
dibentuk beberapa waktu sesudah kemerdekaan, selain itu
dibentuknya Departemen Agama juga akan menyebabkan terjadinya
sentralisasi lembaga-lembaga Islam. Bagi Nahdlatul Ulama amanah
ini merupakan kunci yang membuatnya berada pada posisi yang
sangat menguntungkan jangkan panjang karena memberikan landasan
yang sah bagi aktivitas social keagamaanya. Kemudian diangkatlah
KH. Wahid Hasyim untuk menjadi Menteri Agama RI dari tokoh
Nahdlatul Ulama.
Keterlibatan NU dalam dunia politik semakin terlihat ketika
NU bergabung dalam Masyumi sebagai partai politik. Namun
kedudukan NU dalam kepengurusan Masyumi tidak terwakili di badan
eksekutif dan hanya menduduki dewan syuro yang tidak banyak
menentukan terhadap kebijakan partai bahkan sampai akhirnya dewan
syuro diturunkan, kedudukannya hanya menjadi penasehat partai.
Keretakan ditubuh Masyumi akibat berbagai polemik membuat NU
memutuskan untuk keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Setelah
keluar dari Masyumi, NU secara institusi telah siap berubah 39
22
Menteri Agama pertama adalah H.M. Rasyidi, yang digantikan beberapa
bulan kemudian oleh seorang menteri dari NU, atas permintaan dari kaum
tradisonalis.
49
orientasi visi dan misi jika semula NU sebagai organisasi keagamaan
maka sekarang menjadi organisasi politik.23
Pemilu pertama yang diikuti NU setelah resmi menjadi partai
politik adalah pada tahun 1955. Hasil yang cukup memuaskan yaitu
NU berada pada posisi ketiga dibawah PNI dan Masyumi. Meskipun
NU merupakan partai baru namun mengingat NU merupakan suatu
organisasi yang mempunyai massa yang cukup banyak, tidak heran
jika NU mampu menjadi tiga besar saat pemilu 1955. Ketika Soekarno
memberlakukan Demokrasi Terpimpinnya, hingga muncul slogan
NASAKOM, membuat posisi NU sangat dilematis. Di satu sisi NU
mempunyai kedudukan yang dekat dengan Soekarno namun disisi lain
NU sangat membenci PKI.24
Sikap tegas NU pun diambil, ia lebih mementingkan
kemaslahatan umat dan oleh karena itu ia akan ikut berperan aktif
dalam penumpasan PKI. NU sejak lama telah curiga dan membenci
PKI, kebencian NU semakin menjadi ketika PKI melancarkan gerakan
yang dikenal dengan “Aksi Sepihak”. Kader-kader PKI terutama
aktivis-aktivis organisasi tani BTI (Barisan Tani Indonesia) secara
23
Titik Triwulan Tutik dan Joenaedi Efendi, Membaca Peta Politik
Nahdlatul Ulama; Sketsa Politik Kiai & Perlawanan Kaum Muda NU , (Jakarta:
Lintas Pustaka, 2008), hal. 42-43. 24
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 95.
50
sepihak memaksa pembagian tanah dan hasil pertanian kepada petani-
petani diberbagai desa khususnya di pulau Jawa. NU kemudian
melakukan konsolidasi secara matang dan barisan NU.25
Yang terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumusi, Fatayat,
Muslimat, IPNU, IPPNU, PMII dan khususnya Pemuda Anshor dan
Banser telah siap menghadapi kemungkinan terburuk dari aksi sepihak
PKI tersebut. NU melalui Pemuda Anshor dan massa NU lainnya
berhasil mematahkan aksi sepihak tersebut diberbagai wilayah seperti
Banyuwangi, Kediri, Blitar, Mantingan, Pemalang, Indramayu dan
daerah lainnya.26
Sejarah mencatat peranan NU dalam sejarah
kemerdekaan bangsa Indonesia tidak diragukan lagi, puncaknya dalam
membentuk pondasi negara Indonesia, Kh. Wahid Hasyim di utus oleh
ayahnya Kh. Hasyim Asy‟ari dalam perumusan konstitusi dan fondasi
dasar Negara Indonesia pada masa awal kemerdekaan NKRI bersama
dengan para tokoh lain, seperti soekarno, Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abiekoesno Tjokrosoejono,
Haji Agus Salim, A.A. Maramir, dan Abdul Kahar Muzakir, inilah
para tokoh yang menyusun dasar Negara Indonesia, kemudian yang
lebih dikenal dengan panitia Sembilan.27
25
Abdul Mun‟im Dz, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Jakarta: Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, 2014), hal. 55. 26
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara,… hal. 95. 27
Zudi Setiawan, Nasionalisme NU,… hal. 132.
51
B. Sejarah Nahdlatul Ulama di Banten
Tidak banyak yang menulis bahwa pada pembentukan NU
pada tanggal 16 Rajab 1344 H. atau 31 Januari 1926 di Tebu Ireng
Jombang Jawa Timur itu ada beberapa Kiai Banten yang hadir dan
ikut terlibat langsung dalam pendirian NU. Pada pembentukan itu
hadir KH. Mas Abdurrahman bin Jamal yang sudah beroleh sebutan
Bahrul Ulum dan KH. E. Moh. Yasin, kedua „ulama tersebut selain
menyetujui di dirikan nya Nahdlatul „Ulama selanjutnya menyetujui
pula konsensus Tebu Ireng tentang penambahan nama pada setiap
lembaga yang di khadami para peserta Konsensus Tebu Ireng untuk
menambahkan kllimat 'li Nahdatil Ulama' di setiap lembaga yang
dipimpin oleh peserta konsensus.28
Konsensus itupun di laksanakan oleh para peserta termasuk
peserta dari Banten Kiai Mas Abdurrahman dan Kiai Muhammad
Yasin yg keduanya merupakan pendiri Matlaul Anwar Menes.
sehingga nama Matlaul Anwar menjadi Matlaul Anwar linahdlatil
Ulama. Kiayi Mas Abdurrahman kemudian masuk dalam struktur
pertama Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari jajaran Syuriah.
28
KH. Imadudin, https://www.aisbanten.or.id/berita/santri-banten/sejarah-
nu-di-banten/ , diakses pada tanggal 16 April 2019.
52
Kongres nu ke-13 di Banten Kamis, 16 Juni 1938. Saat itu,
sekira pukul 13.00 WIB terdengar sebuah dentuman bom di Menes
Banten. Namun aneh, Tak ada histeria warga. Tak ada jeritan
kesakitan atau raungan merana dari orang-orang sekitar daerah
ledakan bom itu. Padahal yang meledak itu adalah betul-betul bom,
bukan bom dalam pengertian kiasan. Sebaliknya, warga malah
bersorak-sorai. Raut muka mereka menunjukkan kegembiraan yang
kuat. Tua-muda, pria-wanita, dengan wajah sumringah malah semakin
berusaha mendekat pada sumber suara ledakan itu.29
Dengan berdirinya NU di Banten, banyak ulama Banten
khususnya Pandeglang- yang menjadi anggota NU, dan masuk dalam
struktural PCNU Cabang Menes. Terdapat sebuah dokumen yang
sangat penting untuk diketahui. Karena ia diterbitkan pada tahun 1347
H atau 1928 M. Angka yang sangat tua, lama sebelum kemerdekaan.
"Majalah Suara Nahdlatul Ulama". Di masa itu, NU sudah dapat
menerbitkan majalah dengan menggunakan bahasa Jawa Pegon.
Terdapat beberapa kemungkinan mengapa bahasa yang digunakan
adalah bahasa jawa pegon. 30
29
KH. Imadudin, https://www.aisbanten.or.id/berita/santri-banten/sejarah-
nu-di-banten/ , diakses pada tanggal 16 April 2019. 30
Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama, (Soerabaya:
HBNO, 1938), hal. 2.
53
Mungkin karena bahasa jawa pegon dapat dimengerti oleh
ulama-ulama banten, atau karena terdapat kemiripan antara bahasa
jawa pegon dengan bahasa sunda. Apapun itu, pada dasarnya bahasa
yang digunakan di dalam majalah tersebut adalah jawa pegon. Dan
Menes memang menjadi pusat kegiatan NU pada masa itu, wajar jika
beberapa tahun kemudian tempat muktamar yang ke 13 yang
diselenggarakan pada tahun 1938. Tepat sepuluh tahun dari terbitnya
majalah suara NU yang kedua.31
Ada sebuah pertanyaan: Apa hubungan antara NU dengan
ulama menes, sampai-sampai Hadhrotus Syeh KH Hasyim Asyari
mengutus dua orang utusan untuk bertemu dan bermusyawarah
dengan ulama-ulama Menes?. Dapat dipastikan bahwa sebelum
pendirian NU tentunya ulama-ulama Menes dengan Hadhrotus Syeh
sudah ada hubungan. Yaitu sama-sama berstatus murid dari Syeh
Nawawi Banten, ulama yang harum namanya dari masanya sampai
sekarang. Dan untuk alat transportasi yang digunakan adalah kereta.
Sehingga tidak perlu bingung untuk memikirkan, bagaimana dalam
jarak yang jauh dapat ditempuh hanya dengan beberapa hari saja. Di
dalam majalah tersebut, tidak hanya mememuat struktural Pengurus
31
Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama, (Soerabaya:
HBNO, 1938), hal. 2.
54
Cabang Nahdlatul Ulama di Menes saja, tetapi juga memuat beberapa
lembaga pendidikan (Madrasah) yang sefaham dengan NU dan materi
pengajiannya juga distandarkan dengan materi-materi NU.32
Penulis muatkan redaksi pegon-nya, kemudian dialih-
bahasakan ke Bahasa Indonesia. "Nahdlatul Ulama Cabang Menes
Nahdlatul Ulama sampu anggadahi cabang ing Menes (Banten),
inggih puniko naliko tanggal 1 Rajab 1347. Sampun dipun
wontenaken musyawarah ageng ing kadu hauk, Menes. Dipun hadiri
dining para kyai-kyai saha a'yan ahlu menes wau, ahli Cimanuk,
Labuan. Ing musyawarah dipun terang-terang-aken faidah-ipun
jam'iyah wau, murabathoh utawi mu'awanah bainal muslimin,
khususon ahlul mutamadzhibin. Sa' sampuni lajeng para hadirin
amutusaken muwafaqoh ing mriku (Menes). Dipun jenengaken
cabang saking Nahdlatul Ulama, saha milih pilihan pester(?) wau
katepa'an kados ing ngandap puniko"33
Nahdlatul Ulama sudah memiliki cabang di Menes (Banten),
yaitu pada tanggal 10 Rajab 1347 H (23 Desember 1928). Sudah
diadakan musyawarah besar (Mubes) di Kadu Hauk, Menes. Dihadiri
oleh para kyai dan tokoh-tokoh masyarakat Menes, Cimanuk dan
32
Abdul Wahab Moesa, Majalah Swara Nahdlatul Ulama,…hal. 4 33
Abdul Wahab Moesa, Majalah Soera Nahdlatul Ulama,…hal. 4
55
Labuan.34
Di dalam musyawarah tersebut dijelaskan faidah
keorganisasian NU, murobathoh (saling berhubungan), dan
mu'awanah bainal muslimin (saling tolong menolong antara sesama
muslim), lebih khususnya ahlul mutamadzhibin (para pengikut
madzhab). Setelahnya para hadirin memutuskan muwafaqoh
(persetujuan) di sana (Menes) untuk dinamakan dengan Cabang dari
Nahdlatul Ulama. Serta memilih pilihan pister (??) tadi, kebetulan
seperti yang di bawah ini:
(1) KH. Abdurrahman (Ro'is)
(2) KH. Muhammad Yasin (Na'ib Ro'is)
(3) Mas Haji Muhammad Ro'is (Katib)
(4) Entol Danawi (Na'ib Katib)
(5) Raden Haji Rusydi Sandu Kemih (A'wan)
(6) KH. Umar Haya, Menes. (A'wan)
(7) KH. Hilmi, Cimanuk. (A'wan)
(8) KH. Syama'un, Cening, Labuan. (A'wan)
(9) KH. Syarwani, Menes. (A'wan)
(10) KH. Arja', Menes. (A'wan)
(11) KH. Mustahal, Cening, Labuan. (A'wan)
(12) KH. Amin, Timbang, Menes. (A'wan)
34
Wawancara dengan KH. Rd. Yusuf Al-Mubarok.
56
(13) KH. Ajun, Kupluk, Menes. (A'wan)
(14) Muhammad Husain, Menes. (A'wan)
(15) Muhammad Sholeh, Menes. (A'wan)
(16) Tubagus Ahmad, Menes. (A'wan)
(17) Haji Muhammad Isa. Menes. (A'wan)
(18) Haji Arsyad, Ciherang. (A'wan)
(19) Haji Muhammad Junaidi, Menes. (A'wan)
(20) Haji Abdurrahim. (A'wan)
Musytasyar
(1) KH. Arsyad, Menes. (Mustasyar)
(2) KH. Sulaiman, Menes. (Mustasyar)
(3) KH. Abdul Mu'thi, Menes. (Mustasyar)
(4) KH. Siroj, Cimanuk. (Mustasyar)
(5) Kh. Daud, Menes. (Mustasyar)
(6) Kh. Subri, Cimanuk. (Mustasyar)
(7) Kh. Syamil, Cimanuk. (Mustasyar).
Itulah redaksi dari majalah Suara Nahdlatul Ulama tentang
pembentukan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Menes. Dapat
disimpulkan bahwa masyarakat Menes pada waktu iku adalah
masyarakat yang dipenuhi ulama, dan bertradisi aswaja. Tetapi karena
keterbatasan bahan dan data, maka ini saja yang dapat penulis sajikan.
57
Dan biografi dari masing-masing ulama tersebut juga masih minim,
dan memerlukan kelengkapan.35
Pada masa lalu NU di Banten banyak memiliki tokoh besar,
masa pertama. Sebut saja KH. Abdul Kabir Kubang Petir, KH.
Syam‟un, KH. Maani Rusydi, KH. Mohammad Amin, KH. Syanwani
Tirtayasa, KH. Dzamzami Kaloran, KH. Abuya Muhammad Dimyati,
KH. Mufti Asnawi Binuang, KH. Ahmad Najiullah Cibeber, KH.
Ghomrowi Ardani. Sebagian dari mereka terlibat langsung dalam
struktur NU dan sebagiannya lagi adalah para kesepuhan yang setia
mengawal ajaran ahlussunnah wal jama'ah annahdiyyah.
Kemudian pada masa sekarang NU di Banten banyak sekali
telah melahirkan ulama dan cendikiawan, seperti: KH. Abuya Muhtadi
Dimyati, KH. Abuya Murtadho Dimyati, Prof Dr. KH. Ma‟ruf Amin,
KH. Tubagus Abdul Hakim, KH. Bunyamin, KH. Ariman Anwar,
KH. A. Maimun Alie, KH. Zaenudin Abdillah, Habib Ali Alwi Bin
Thohir, KH. Matin Djawahir, KH. Imadudin Ustman, KH. Tubagus
Hamdi Ma‟ani, KH. Ulfi Zaini Thohir, KH. Encep Subandi, KH.
Matin Syarkowi, KH. Ahmad Baidowi Thowi, KH. Raden Yusuf Al-
Mubarok, KH. Romli. Dan Tokoh Intelektual NU di Banten seperti,
yang dikenal keilmuannya dalam bidang pemikiran Islam di dunia
35
Abdul Wahab Moesa, Majalah Soera Nahdlatul Ulama,…hal. 6
58
perguruan tinggi seperti, Prof. Dr. KH. Fauzul Iman, Prof. Dr. KH.
Soleh Hidayat, Prof. Dr. KH. Yunus Ghozali, Dr. KH. Wawan
Wahyuddin, Dr. H. Subhan Mughni, Dr. H. Endad Musaddad, DR. H.
Su‟adi Sa‟ad, DR. KH. Amasy Tajudin, Dr. Apud. Dr. Ali Muhtarom
Dr. Dede Permana, Dr. Maskur Wahid dan yang lainnya.
C. Khittoh NU
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu
ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul
Ulama‟(selanjutnya disingkat NU), maka artinya garis yang biasa
ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita
yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk
kepribadian khas NU.36
Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan
berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupun
organisatoris. Landasan yang dimaksud adalah faham Ahlussunnah
wal jama‟ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia.
Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah
NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.37
Penjelasan tentang Pengertian Khittah
36
Muhammad Khaerul Hadi, Kembali Ke Khittoh 1926 Dan Upaya
Penyelesaian Masalah-masalah NU Pasca Muktamar Ke-27 Situbondo 1984-1999,
(Yokyakarta: 2018), hal. 5 37
Forum Kajian Ke NU-an, Khittah dan Khidmah, (Pati: Majma' Buhuts
An-Nahdliyah, 2014), hal. 131.
59
1. Khittah artinya “garis”. Dalam hubungan dengan Nahdlatul
Ulama, kata khittah berarti garis-garis pendirian, perjuangan dan
kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan
urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara
perorangn maupun secara organisasi. Garis-garis termaksud,
sesungguhnya sudah dimiliki para ulama pengasuh pesantren
secara membudaya, memasyarakat dan mentradisi. Ketika dia
mendirkan jamiyah (organisasi) Nahdlatul Ulama, maka garis-
garis tersebut dituangkan di dalamnya, untuk dilestarikan, di
pelihara dan di kembangkan.
2. Fungsi garis-garis itu di rumuskan sebagai “landasan berfikir,
bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi
serta dalam setiap proses pengambilan keputusan”. Artinya :
a. Fikiran, sikap dan tindakan warga NU harus berlandaskan atas
khittah NU, baik secara perorangan maupun secara
organisatoris.38
b. Demikian pula, setiap kali mengambil keputusaan, maka
proses, prosedur dan hasil keputusan itu hanya sesuai dengan
38
MKNU, Khittah Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Madrasah Kader Nahdlatul
Ulama, 2017), hal. 9.
60
khittah NU. Contohnya, NU menghadapi masalah Negara
Republik Indonesia. Sebagai jam‟iyah diniyah (organisasi
keagamaan) yang pertama kali dipertanyakan adalah : Apakah
NKRI itu sah menurut hukum Islam atau tidak ? bagaimana
sikap dan tindakan NU menghadapinya : dibela kehadirannya,
disempurnakan kekurangan-kekurangannya diluruskan
kekeliruan-kekeliruan pengelolaan nya didukung program-
programnya atau bagaimana ? semuanya diambil keputusan
melalui jalur musyawarah, dengan mempertimbangkan segala
kepentingan secara seimbang dengan menggunakan dalil-dalil
dan kaidah-kaidah keagamaan. Tidak hanya mengikuti emosi
atau kepentingan sesaat, mengabaikan berbagai pertimbangan
yang wajar dan proporsional (wadl‟u syai-in fi masailihi :
meletakkan sesuatu pada tempatnya).
c. Materi, landasan atau garis-garis termaksud (khittah) adalah :
“faham Islam ahlussunnah wal jama‟ah yang diterapkan
menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-
dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan”.
d. Faham ahlussunah wal jama‟ah atau Islam menurut
pemahaman ahlussunah wal jama‟ah, bagi NU tidak hanya
terbatas pada bidang atau urusan aqidah saja, tetapi juga
61
mengenai bidang-bidang fiqh, tashawuf atau akhlak, bahkan
meluas, tercermin di dalam sikap-sikap kemasyarakatan
tertentu. Seperti : tawassuth (moderat), i'tidal (adil), tasamuh
(toleran), tawazun (seimbang), amar ma’ruf nahi mungkar
(mendorong berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar)
dan sebagainya. Mungkin ini merupakan salah satu ciri khas
NU di dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Islam
ahlussunah wal jama‟ah.39
3. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah
kehidupannya dari masa ke masa.40
Artinya khittah NU secara
terwujud” Islam ahlussunah wal jama‟ah yang diterapkan menurut
kondisi kemasyarakatan di Indonesia”, juga dilengkapi dan
diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalamannya selama
berjuang (berkhidmah), sepenjang sejarah. Dengan demikian
khittah NU menjadi bersifat jelas, kenyal, luwes dan dinamis.
D. Kiai Nahdlatul Ulama
Kiai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus
amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya. Menurut Saiful Akhyar
39
Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan Jalan,…hal. 41. 40
PBNU, Keputusan Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar lampung
(Jakarta: PBNU, 1992), hal. 28.
62
Lubis, menyatakan bahwa “Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu
pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh
wibawa dan kharisma sang Kiai. Karena itu, tidak jarang terjadi,
apabila sang Kiai di salah satu pondok pesantren wafat, maka pamor
pondok pesantren tersebut merosot karena Kiai yang
menggantikannya tidak sepopuler Kiai yang telah wafat itu”.41
Menurut Mustafa Al-Maraghi, Kiai adalah orang-orang yang
mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka
takut melakukan perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb
mengartikan bahwa Kiai adalah orang-orang yang memikirkan dan
menghayati ayat-ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka
dapat mencapai ma`rifatullah secara hakiki. Sedangkan menurut
Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “Kiai adalah sebutan untuk
tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren”.42
Nahdlatul Ulama merupakan perkumpulan para Kiai yang
mencoba membangkitkan semangat para jamaahnya, dan juga
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Kiai pesantren didalam NU
memikili kedudukan yang sangat sentral, baik secara pendiri,
41
Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta:
ELSAQ Press, 2007), hal. 169. 42
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca
kemerdekaan, (Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008), hal. 55.
63
pemimpin, dan pengendali organisasi maupum panutan yang menjadi
rujukuan warga nahdliyyin.
Lahirnya organisasi NU ini tidak terlepas dari konteks saat itu,
yakni menjaga eksistensi “jamaah tradisional” ketika harus
berhadapan dengan gerakan pembaharuan islam, dan kelompok
ekstrimis.43
Artinya NU berdiri untuk membentengi paham yang
bertentangan dengan Aswaja masuk ke Indonesia.
NU adalah organisasi keagamaan, keislaman dan
kemasyarakatan (jamiyah diniyyah, Islamiyyah, ijtima’iyyah) yang
didirikan pada bulan 16 rajab 1433 H, bertepatan dengan tanggal 26
Januari 1926 M. organisasi NU dirintis oleh para Kiai dipesantren
yang berpaham Ahlusunnah Wal Jam‟ah, sebagai wadah
mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas
memelihara, melestarikan, memperjuangkan, dan mengamalkan Islam
Ahlusunnah Wal Jam‟ah. Ahl al-Sunnah memiliki tiga sendi utama
dalam ajarannya, yaitu iman, islam dan ihsan.44
Dalam pandangan
ilmu fiqh NU mengikuti madzhab empat dalam bidang fiqh (Hanafi,
Maliki, Syafi‟i, Hambali), dalam bidang tauhid mengikuti dua
43
A. Ghaffar Karim, Metamorfosis NU dan POlitisasi Islam Indonesia,
(LKIS, Yogyakarta : 1995), hal. 47. 44
Abdul Halim, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2014), Hal. 27.
64
madzhab theologi (Al-Asy‟ari dan Maturidi), dalam bidang tasawuf
(Al-Ghozali dan Junaidi Al-Baghdadi).45
Nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para Kiai), yang biasa
disingkat menjadi NU, tidak hanya kebetulan dipilih untuk organisasi
para Kiai pesantren ini. Dipilihnya nama NU, dan bukannya Nahdlatul
Muslimin (kebangkitan muslim), atau Nahdlatul Umah (Kebangkitan
umat) umpamanya, membuktikan betapa tinggi dan khas para Kiai
dalam organinasi NU ini. Ada dua factor yang menjadi Kiai
mempunyai posisi yang dominan didalam NU.
Pertama, sebagai organisasi keagamaan, NU harus memilih
kekuatan sentralnya pada tokoh-tokoh yang paling bisa
dipertanggungjawabkan secara personal, baik moral maupun keilmuan
keagamaannya. Kiai yang didalam hadist nabi disebutkan sebagai
“pewaris nabi” tentulah yang mendekati tuntunan ini. Kedua memiliki
kewibawaan dan pengaruh atas santri dan para pengikutnya.46
45
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis
Agama, (LKIS, Yogyakarta :2007), hal. 106-108. 46
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis
Agama,…hal. 109.