ijtihad nahdlatul ulama -...
TRANSCRIPT
i
IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA
TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
dalam Bidang Syari’ah
Oleh:
Ali Mutakin
NIM: 12.2.00.1.09.0003
Pembimbing
Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA
KONSENTRASI SYARI’AH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015/1436
ii
iii
ميحرلا نمحرلا هللا مسب
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Tesis ini. Shalawat serta salam sejahtera penulis
haturkan keharibaan Nabi pilihan, Nabi Muhammad Saw. yang telah
mencerdaskan manusia dari alam jahiliyyah menuju alam ilmiah dan membimbing
umat manusia agar selalu berada dalam naungan petunjuk agama yang dibawanya.
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulis mengakui bahwa
penulisan Tesis ini tidak hanya jerih payah sendiri akan tetapi Tesis dapat
terselesaikan berkat bimbingan, dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
dengan segala keikhlasan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang
setinggi-tinggi dan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini, mereka adalah:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA yang telah membimbing penulisan
dan penyempurnaan tesis ini.
3. Bapak Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama R.I beserta
seluruh stafnya yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis selama
menempuh studi Program Magister (S2) di Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
4. Bapak Prof. DR. Suwito, MA, DR. Yusuf Rahman, MA, Prof. Dr. Said Aqil
Husein Munawar, MA, Prof. DR. H. Atho Mudhar, MA, Prof. Dr. Abudin
Nata, MA, Prof. DR. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA, DR.
Moqsid Ghozali, MA, Dr. Asep Jahar, MA, DR. A. Luthfi Fatullah, MA, dan
segenap dosen Sekolah Pascasarjana (SPs) yang telah memberikan motivasi
dan support serta ilmunya kepada penulis.
5. Segenap Staf dan Karyawan, petugas Perpustakan Sekolah Pascasarjana
yang telah membantu penulis dalam berbagai macam hal yang berkenan
dengan studi penulis.
6. KH. Zulfa Mustofa, KH. Arwani Faishal, KH. Masdar F. Masudi, Pengurus
dan staff PBNU yang telah memberikan data dan bantuan lainnya selama
penulis melakukan kegiatan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis ini.
7. Abah (alm); Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abi Bakar bin Salim, Umi
Waheeda, S.Psi, M.Si binti Abdurrahman yang telah mengasuh, mendidik,
iv
dan membimbing serta memberikan restu untuk menimba ilmu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Yang terhormat kedua orang tua dan mertua penulis; Rubadi, Siti Niswatin
Chasanah, (alm) Tasroni, dan Khotijah yang dengan tulus ikhlas selalu
mendo’akan keberhasilan penulis dalam menempuh studi ini.
9. Yang tercinta isteri penulis Isroiliyah, S.Sy yang dengan penuh kesetiaan
mendampingi penulis dalam suka maupun duka selama menempuh studi di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Tentu saja yang paling istimewa
buah hati penulis; Nabila Zahra yang selalu menjadi penghibur di saat gundah
dan penenang di saat gelisah. Kakak-kakak, adik-adikku terima kasih atas
semua dukungan kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program beasiswa angkatan 2012
yang telah saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman selama
menjalankan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana, mudah-mudahan
silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah dan Imaniyah tetap terjalin.
11. Kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan banyak terima
kasih. Semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada
penulis dapat menjadi amal ibadah dan mendapatkan balasan yang lebih baik
dari Allah Swt.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin ya rabbal alamin.
Jakarta, 16 Februari 2015
Penulis
v
PERNYATAAN
Dengan sesungguhnya, saya Ali Mutakin, Nomor Induk Mahasiswa
12.2.00.1.09.0003 menyatakan bahwa tesis yang berjudul Ijtihad Nahdlatul
Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama (Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori
Maqa>s}id al-Shari>‘ah) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan orang
lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat pula karya yang pernah ditulis orang
lain kecuali yang tertera dalam catatan kaki dan daftar pustaka.
Surat pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran, karenanya jika saya
melanggar pernyataan ini maka saya menyatakan bersedia dikenakan sanksi
akademik yang berlaku di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dan dapat dipertanggungjawabkan
sebagaimana mestinya.
Jakarta, 16 Februari 2015
Penulis
vi
vii
SURAT PERSETUJUAN
Tesis yang berjudul‚ Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama
(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah) yang ditulis oleh
Ali Mutakin, Nomor Induk Mahasiswa 12.2.00.1.09.0003, telah dinyatakan lulus
dalam ujian Pendahuluan Tesis pada tanggal 05 Februari 2015 dan telah
diperbaiki sesuai dengan aturan dan komentar dari Tim Penguji, sehingga layak
untuk diajukan pada Sidang Promosi Tesis.
TIM PENGUJI
1. Dr. YUSUF RAHMAN, MA ( ……………………... )
(Ketua sidang/Merangkap Penguji)
2. Prof. Dr. ZAINUN KAMAL, MA ( ……………………... )
(Penguji I)
3. Prof. Dr. SYUKRON KAMIL, MA ( ……………………... )
(Penguji II)
4. Prof. Dr. HUZAIMAH T YANGGO, MA ( ……………………... )
(Pembimbing/merangkap penguji I)
viii
ix
ABSTRAK
Nama : Ali Mutakin
NIM : 12.2.00.1.09.09.0003
Judul : Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama
(Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)
Tesis ini membuktikan bahwa semakin kontekstualis dalam memahami
nas} shari>‘ah, maka semakin dekat dengan kemaslahatan. Hal ini ditunjukan oleh
metode ijtihad LBMNU (Lajnah Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama) dalam
menyelesaikan kasus perkawinan beda agama. Metode tersebut adalah metode
Qawli> dengan cara Taqri>r Jama>‘i> (penetepan secara kolektif). Aqwa>l (pendapat)
ulama diseleksi secara ketat dengan memilih yang paling maslahat untuk
kepentingan masyarakat dengan pertimbangan mas}lah}ah ‘a>mmah atau maqa>s}id al-shari>>‘ah. Melalui keputusanya, LBMNU membuktikan bahwa larangan
perkawinan beda agama dengan pendekatan maslahat di Indonesia selaras dengan
konsep maqa>s}id al-shari>‘ah pada hukum Islam.
Tesis ini memperkuat pendapat M. S}aghīr Hasan Ma‘s}u>mi dalam “Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang berpendapat bahwa Setiap penafsiran baru
dari teks atau doktrin, keyakinan atau hukum syari’at tidak dapat diterima,
kecuali didasarkan pada penggunaan teks dan penalaran. Dan Muhammad Qasim
Zaman dalam “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” yang
mengatakan bahwa pemahaman ilmiah dari teks-teks dasar seharusnya kembali
pada tradisi sebelumnya dan berkelanjutan pada konteksnya, karena kepentingan
itu tidak mengambil bentuk bukti tekstual tertentu dalam mendukung setiap tafsir
tunggal.
Kesimpulan tesis ini sekaligus menolak pendapat Bernard Weiss
dalam“Interpretation in Islamic Law: The Theory of Ijtiha>d” yang menyatakan
bahwa Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah) itu adalah teks-teks suci, karena mereka
adalah produk dari inspirasi Tuhan. Sedangkan Ijma’ juga dapat dianggap sebagai
suci sejauh ia merupakan produk yang terinspirasi dari Tuhan yang diberikan pada
Masyarakat, untuk menjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan
hukum atau aturan dari sumber-sumber tersebut harus memahaminya secara
eksklusif text-oriented.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif filosofis.
Pendekatan ini akan dititik beratkan pada pola yuridis dan us}u>liyyah yaitu suatu
pendekatan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan metode istinba>t} dan dianalisis dengan memakai kerangka ilmu us}u>l al-fiqh, perlu juga dilihat
hubungan antara metode istinba>t} hukum Islam dengan maqa>s{id al-shari>‘ah atau
tujuan-tujuan syari’at, yang nantinya guna melihat sejauh mana penerapan teori
atau prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>il NU.
Sumber utama tesis ini adalah hasil Bah}th al-Masa>’il NU baik melalui Muktamar,
x
Munas maupun Konbes NU. Sedangkan sumber sekundernya diperoleh dari kitab-
kitab us}u>l al-fiqh, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, buku-buku dan tulisan yang ada relevansinya dengan tesis
ini baik yang ditulis oleh ahli hukum positif maupun ahli hukum Islam, termasuk
hasil penelitian, seminar dan jurnal maupun artikel tentang hukum.
Kata Kunci: LBNU, Ijtihad, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, Perkawinan Beda Agama
xi
:
12.2.00.1.09.09.0003 :
:
.
”
“
” “
(Bernard Weiss) ”
“
xii
xiii
ABSTRACT
Name : Ali Mutakin
NIM : 12.2.00.1.09.09.0003
: Nahdlatul Ulama Ijtihad On Interfaith Marriage (A Study Of
The Application Of The Theory Maqa>s}id al-Shari>‘ah)
This thesis proves that the contextualist in understanding nas} shari>'ah,
the closer to the benefit. This is indicated by the method ijtihad used by LBMNU
(Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU) in resolving the case of interfaith marriage. The
method is a method Qawli> by means Taqri>r Jama>‘i> (determination collectively).
Aqwa>l (opinion) scholars rigorously selected by selecting the most serious
benefits for the public interest considerations mas}}lah}ah ‘a>mmah or maqa>s}id al-shari>>‘ah. Through his decision, LBMNU prove that interfaith marriage
prohibition approach to beneficiaries in Indonesia in line with the concept
maqa>s}id al-shari>‘ah on Islamic law.
This thesis agrees with M. S{aghir Ḥasan Ma‘su>m in “Ijtiha>d Through Fourteen Centuries” who believes that each new interpretation of the text or
doctrine, belief or shari>‘ah law can not be accepted, unless based on the use of
text and reasoning. And Muhammad Qasim Zaman in “Evolving Conceptions of Ijtiha>d in Modern South Asia” which says that scientific understanding of basic
texts should be anchored in the tradition of previous and ongoing on the context,
because those interests do not take the form of specific textual evidence to
support any single interpretation.
This thesis rejected Bernard Weiss in “Interpretation in Islamic Law: The Theory of ijtiha>d” which states that nas} (Al-Qur'an and Sunnah) that is sacred
texts, because they are a product of God’s inspiration. While consensus can also
be considered as sacred as far as it is a product that is inspired by God conferred
on the community, to take care of mistakes. Therefore, to issue laws or
regulations of such resources must be understood exclusively text-oriented.
This study uses normative philosophical approaches. This approach will
focus in the pattern of juridical and us}u>liyah is an approach that is based on the
Qur’an and Sunnah, with istinba>t} method and analyzed using the framework of
the science of us}u>l al-fiqh, have also seen the relationship between Islamic law
istinba>t}} method with maqa>s}id al-shari>‘ah or objectives of the Shari>‘ah, which
later to see how far the application of theory or principle maqa>s}id al-shari>‘ah in
committee thought Dissension amid NU. The main source of this thesis is the
result Bah}th al-Masa>’il NU either through Congress, National Conference and
Konbes NU. While secondary sources are derived from the books of us}u>l al-fiqh,
Compilation of Islamic Law, Law No. 1 of 1974 on marriage, books and papers
relevant to this thesis, both written by the positive law and Islamic law experts,
including research, seminars and journals as well as articles about the law.
Keywords: LBMNU, Ijtihad, Maqa>s}id al-Shari>‘ah, Interfaith Marriage
xiv
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
1. Konsonan
B = S = K =
T = Sh = L =
Th = S{ = M =
J = D{ = N =
H{ = T{ = W =
Kh = Z{ = H =
D = ‘ = ’ = ء
Dh = Gh = Y =
R = F =
Z = Q =
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Rangkap
3. Maddah (Panjang)
Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda
ا َ a>
يْ َ i@>
و َ u>
Tanda dan
Huruf
Huruf Latin
ـ يْ ay
aw ـ وْ
Tanda Huruf Latin
a
I
U
xvi
Contoh:
= Ka>na = Qi>la
= Da‘a> = Yaqu>lu
4. Ta’ Marbu>t}}ah a. Ta>’ Marbu>t}}}ah hidup transliterasinya adalah /t/.
b. Ta>’ Marbu>t}ah mati transliterasinya adalah /h/.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta>’ Marbu>t}}}ah diikuti
oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata
itu terpisah maka Ta>’ Marbu >t}}}ah itu ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
= H{adi>qat al-H{ayawa>na>t
= al-Madrasat al-Ibtida>’iyah
= H{amzah
5. Shaddah (Tashdi>d )
Shaddah/tashdi>d ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda shaddah (digandakan).
Contoh:
= ‘Allama = Yukarriru
= Kurrima = al-Maddu
6. Kata Sandang
Kata sandang diikuti oleh huruf Shamsiyah maupun Qamariyah
ditransliterasi sesuai dengan bunyinya.
Contoh:
= al – S}ala>h
= al - Falaqu
= al - Ba>h}ithu
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif. Contoh:
= Akaltu = U<tiya
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh:
= Ta’kulu>na = Shay’un
xvii
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya.
Contoh:
= Al-Qur’an
= al-Madi>nat al-Munawwarah
= al-Mas‘u>di>
xviii
xix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
PERNYATAAN
PERSETUJUAN
ABSTRAK
TRANSLITERASI
DAFTAR ISI
SINGKATAN
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Permasalahan .......................................................................... 13
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................... 13
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ........................................ 19
E. Metodologi Penelitian ............................................................ 19
F. Kerangka Teori ....................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 23
BAB II : METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
H. Aliran Ahl al-H{adi>th vs Ahl al-Ra’yi .................................... 25
I. Metodologi Ijtihad Aliran Tradisionalisme ........................... 30
J. Metodologi Ijtihad Aliran Modernisme ................................. 34
K. Kedudukan Maqa>s}id al-Shari>‘ah Dalam Metode Ijtihad ....... 43
BAB III : TRADISI IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA DAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA
L. Ijtihad dalam Pandangan NU ................................................. 56
M. Bah}th al-Masa>il Fiqhiyah NU: Antara Idea dan Fakta ......... 69
N. Problem Metodologis Ijtihad NU .......................................... 79
O. Landasan Hukum Ketentuan Perkawinan Beda Agama ........ 90
BAB IV : TINJAUAN MAQA<S}ID AL-SHARI<‘AH TERHADAP KEPUTUSAN
NU TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
P. Ijtihad NU Tentang Perkawinan Beda Agama ...................... 113
1. Analisis Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama
......................................................................................... 114
2. Analisis Metode Istinba>t} NU Tentang Perkawinan Beda
Agama ............................................................................. 124
xx
Q. Implementasi Maqa>s}id al-Shari>‘ah Terhadap Keputusan NU
Tentang Perkawinan Beda Agama ......................................... 142
R. H{ifz} al-Di>n Dalam Perkawinan Beda Agama ........................ 145
S. H{ifz} al-Nasl Dalam Perkawinan Beda Agama ....................... 157
BAB V : PENUTUP
T. Kesimpulan ............................................................................. 167
U. Saran-Saran ............................................................................ 168
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 170
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 184
SINGKATAN
BM : Bah}th al-Masa>il
xxi
KHI : Kompilasi Hukum Islam
LBM : Lajnah Bah}th al-Masa>il
LINO : Lailatul Ijtima’ Nahdlotoel Oelama
MT : Majlis Tarjih
MUI : Majlis Ulama Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
PBA : Perkawinan Beda Agama
PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
PERSIS : Persatuan Islam
PWNU : Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
SI : Sarikat Islam
SPKBMNU : Sistem Pengambilan Keputusan Bah}th al-Masa>il
Nahdlatul Ulama
tk. : Tanpa Kota
tp. : Tanpat Penerbit
tt. : Tanpa Tahun
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam, perkawinan dibangun untuk menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan
dengan perkawinan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s}id al-shari>‘ah dari
perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau taba‘iyyah dan baik yang bersifat
d}aru>riyyah, h}a>jjiyyah maupun tah}siniyyah. Kemaslahatan perkawinan yang
termasuk ke dalam maqa>s}id as}liyyah adalah meneruskan keturunan yang
merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-us}u>l al-khamsah yang
berupa h}ifz} al-nasl. Kemaslahatan tersebut, masuk dalam peringkat mas}lah}ah d}aru>riyah. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat maqa>s}id taba‘iyyah adalah kemaslahatan yang merupakan penjagaan secara tidak
langsung terhadap aspek al-nasl, seperti menyalurkan kebutuhan biologis
secara benar (tidak berzina), kemaslahatan ini masuk dalam peringkat
mas}lah}ah ha>jiyyah. Dan kemaslahatan untuk mencari ketenangan (saki>nah),
membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rah}mah), dan sebagainya
menempati peringkat mas}lah}ah tah}siniyyah.1 Penjagaan tersebut (h}ifz} al-nasl) dilakukan melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama, kemudian
diakui oleh undang-undang serta diterima sebagai bagian dari budaya
masyarakat.2
Perkawinan dianggap sebagai lembaga suci untuk mengikat lak-laki
dan perempuan dalam suatu ikatan untuk membina rumah tangga yang bahagia
penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang, kekal dalam rangka mengabdi
kepada Allah Swt.3 Di samping itu perkawinan juga untuk mendapatkan anak
keturunan yang sah guna melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sedangkan
dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan5 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengingat pentingnya perkawinan tersebut, Islam tidak hanya
sekedar menyebutnya sebagai ikatan lahir batin antara kedua pasangan yang
1Lihat Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah
(USA: International Graphics Printing Service, 1991), 102. 2Fuaddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999), 4 3Lihat QS. al-Ru>m [30]: 21 4Lihat QS. al-Nisa>’ [4]: 1 5Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan
2
melangsungkan perkawinan, malainkan sebuah perjanjian yang melibatkan
Allah, jadi bukan perjanjian perdata biasa, sehingga perkawinan disebut
sebagai mi>tha>qan ghali>z}a sebuah ikatan yang kuat lagi kokoh. Hal ini
sebagaimana dapat dijumpai dalam firman Allah QS. al-Nisa>> [3]: 21.6
Perkawinan jika dilihat sekilas, merupakan sebuah aktivitas
dunya>wiyah belaka. Namun dalam Islam perkawinan merupakan suatu ibadah
yang secara tegas dinyatakan sebagai sunah Rasulullah Saw. Sebagaimana
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas ibn Malik bahwa perkawinan
merupakan Sunnah Rasul yang pernah dilakukan selama hidupnya dan beliau
menghendaki agar umatnya berbuat yang sama.7 Di sampaing sebagai Sunah
Rasul, perkawinan merupakan sunnatullah yakni sesuai dengan qudrah dan
ira>dah Allah Swt. Sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-Dha>riyat [51]: 49
yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-
pasangan. QS. al-Najm [53]: 45 yang secara tegas Allah menciptakan
berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan.
Secara filosofi, makna perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan
sebagai berikut: Pertama, Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang
6Bunyi lengkapnya ayat tersebut adalah:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mi>tha>qan ghali>z}a).”
7Bunyi lengkapnya adalah:
“Dan telah menceritakan kepadaku Abu> Bakar bin Na>fi' al-‘Abdi> telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami H}amma>d bin Salamah dari Tha>bit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw. mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi Saw. memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." S}ah}i>h} Muslim Juz 2, 1401. Lihat juga
Sunan al-Da>rimi> Juz 2, 2169
3
sakral, karena merupakan suatu perjanjian yang secara khusus melibatkan
Allah. Sehingga segala sesuatu yang kerkenaan dengannya diatur secara
spesifik dan lengkap dalam Al-Qur’an. Kedua, perkawinan merupakan sebuah
wasilah untuk mengahalkan hubungan antara dua orang yang berlainan jenis,
yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan
hubungan intim. Ketiga, perkawinan merupakan sarana untuk melangsungkan
kehidupan umat manusia di muka bumi secara legal dan bertanggung jawab.
Keempat, perkawinan mempuyai dimensi psikologis. Pasangan suami isteri
yang semula adalah orang lain, lewat perkawinan mereka saling memiliki,
saling menjaga, saling membutuhkan, saling mencintai serta menyayangi
sehingga terwujud keluarga yang saki>nah. Kelima, perkawinan juga
mempunyai dimensi sosiologis. Lewat perkawinan seseorang mempunyai
status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh sekaligus
mengakibatkan lahirnya anak-anak yang secara naluriah mereka
membutuhkan penjagaan. Orang tua anak inilah yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan fisik dan psikis anak tersebut, agar menjadi generasi
penerus umat manusia di muka bumi ini.8
Dari uraian tersebut, dalam pandangan Islam, perkawinan bukan saja
persoalan biologis dan juga bukan pula persoalan dan hubungan pribadi antara
suami isteri saja, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis bahkan
teologis. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar
terhadap masalah perkawinan ini, termasuk perkawinan antar umat beragama
atau perkawinan beda agama.9
Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan
terwujudnya tujuan perkawinan harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Di antaranya adalah syarat dan rukun perkawinan. Menurut
Hilman Hadikusuma, untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, Islam
menghendaki perkawinan harus dilakukan dengan sesama pemeluk agama,
yakni umat Islam dengan umat Islam, Kristen dengan Umat Kristen dan
seterusnya.10
Perkawinan beda agama merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan
oleh dua orang yang berlainan agama, yakni antara seseorang yang beragama
Islam (Muslim atau Muslimah) dengan non-Muslim, baik yang dikategorikan
sebagai golongan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Perkawinan beda agama
8M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan dalam
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Total Media, 2006), 66-69 9Ini dapat dilihat dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum, hanya hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan yang dijelaskan
secara rinci dan jelas, yang lain hanya secara global dan umum. Lihat Amir Syarifudin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), cet. Ke-3, 6-13 10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Bandar Maju, 2007), Cet. Ke-3, 25
4
dalam setiap masanya selalu memunculkan perdebatan di kalangan para ulama,
ini semua terjadi karena perbedaan pandangan dalam memahami ayat-ayat
yang menjadi dasar larangan perkawinan orang Muslim dengan orang Musyrik.
Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial bukanlah isu-isu baru.
Namun secara historis perkawinan beda agama ini telah terjadi di kalangan
tokoh-tokoh Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw.11 kemudian zaman
sahabat,12 tabi’in hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut sampai
sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang plural dan heterogen,
seperti di negara Indonesia, yang merupakan bangsa multikultural dan
multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama
yang diakui secara sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha,
Kristen, Katolik, dan lain-lain.13 Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan
bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145
juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%), Hindu (2,1 %), dan
Budha (0,9 %). Oleh karena itu, perkawinan beda agama menjadi sebuah fakta
yang wajar dan sangat mungkin terjadi.14
Dalam konteks Indonesia, meskipun perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan oleh Undang-undang No 1 tahun 1974, namun fenomena
semacam ini terus berkembang. Lewat media masa maupun media elektronik,
kita bisa menyaksikan beberapa artis yang melaksanakan perkawinan tersebut,
11Rasulullah Saw, menikahi Maria al-Qibt}iyyah binti Sham‘un, berasal dari
daerah Ansena, Ashut}, Mesir. Seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh Gubernur
Mesir, Muqawis, setelah perang Khaibar. Melalui Maria al-Qibt}iyyah, Rasulullah Saw,
dikaruniai putra yang diberi nama Ibrahim. Rasulullah Saw. juga mengawini S}a>fiyah
binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah. Nasabnya sampai ke Nabi Harun,
saudara Nabi Musa as. Beliau berdarah Yahudi dari bani Nadhi>r. Landasan historis di
atas sebenarnya kurang relevan, sebab sebelum pernikahan Rasulullah dengan Maria
al-Qibt}iyyah dan S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah, keduanya
sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Lihat Ahmad Lut}fi Fathullah, Potret Kehidupan
Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw. (Jakarta: Pusat Kajian Hadits) 12Uthma>n bin ‘Affan menikah dengan wanita Kristen bernama Naylah binti al-
Fara>fis}ah al-Kala>biyyah yang selanjutnya memeluk Islam, lalu Hudhaifah bin al-
Yamani menikahi wanita Yahudi dari Mada>’in, kemudian T}alh}ah Ubaidilla>h menikah
dengan wanita Kristen dan masih banyak lagi sahabat lain yang melakukan praktek
pernikahan beda agama ini, terutama pada waktu mereka melakukan ekspansi Islam
(fath}) ke berbagai wilayah di luar Madinah. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: VII, 1984), 153-155. Lihat juga
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: II, 1983), Cet. IV, 90-91. 13Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha, Kristen,
Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang Islam ada yang santri dan ada yang
kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 Maret 2004, 11. 14Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), 11.
5
sebagai contoh, Jamal Mirdad seorang Muslim menikah dengan Lidia Kandaw
yang beragama Kristen; Nurul Arifin (Muslimah) dengan Mayong (Katholik);
Ina Indayati (Muslimah) menikah dengan Jeremi Thomas yang beragama
Kristen; Frans Lingua (Kristen) menikah dengan Amara (Islam); Yuni Shara
(Muslimah), menikah dengan Hendry Siahaan (Kristen); Ari Sigit (Muslim)
menikah dengan Rica Callebaut (Kristen); Ari Sihasale (Kristen) menikahi Nia
Zulkarnain yang beragama Islam; Dedy Corbuzer yang beragama Katholik
dengan Kalina yang beragama Islam. Selain itu, tentunya masih sangat banyak
peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media.
Hal ini dibuktikan dengan hasil sensus untuk perkawinan beda agama
tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang
merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan
bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15
kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada
tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12 kasus
pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990
(19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000). Hasil sensus tersebut
menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama
dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980,
1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan Muslim (di bawah 1%). Hal
ini menunjukan bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam,
maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi
penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin
dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk
menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,”
kemungkinannya semakin besar.15
Hal menarik lainnya adalah keputusan Mahkamah Agung No.
1400K/Pdt/1986, MA yang mengabulkan permohonan kasasi Andi Vonny
Gani P. (Islam) yang menikah dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan
(Kristen Protestan), serta membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tanggal 11 April 1986 No. 382/PDT/P/1986/PNJKT.PSTtentang
penolakan melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil
15Lihat Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan
Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara) (Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta 2011), 4-6. Bandingkan
dengan Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith versus Intrafaith
Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug.,
1967). Published by:National Council on Family Relations Stable
URL:http://www.jstor.org/stable/349583. James D. Davidson and Tracy Widman,
“The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on
behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/1387452.
6
Provinsi DKI Jakarta. Menurut MA, UU tentang perkawinan tidak memuat
ketentuan apa pun yang menjelaskan larangan perkawinan bagi kedua
mempelai yang berlainan agama, hal mana sejalan dengan UUD 1945 Pasal 27
yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum, termasuk di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama
warga negara sekalipun berlainan agama.16
Menyikapi kasus perkawinan beda agama tersebut, pada dasarnya
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama
membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkanya.17 Ulama juga
berbeda pendapat terhadap cakupan Ahl al-Kita>b di mana laki-laki Muslim
boleh menikahi wanita-wanita dari golongan Ahl al-Kita>b.18
Kelompok ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama antar
laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dikarenakan persepsi mereka
16Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 67 17Pada prinsipnya pandangan ulama mengenai perkawinan beda agama ini
terbagi menjadi tiga bagian; Pertama, melarang secara mutlak perkawinan antara
Muslim dengan non-Muslim baik yang dikategorikan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b.
Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun laki-laki. Kedua, membolehkan
dengan bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim
dengan perempuan non-Muslim dari kelompok Ahl al-Kita>b. Tetapi perempuan
Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim walaupun tergolong Ahl al-Kita>b. Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim yang
berlaku untuk laki-laki dan perempuan Muslim. Lihat Salahuddin Wahid, "Perkawinan
Agama dan Negara" dalam Republika Jumat, 1 April 2005, 2. Lihat pula Sukron Kamil
dan Chaedaer S. Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: Center For The Study
Of Relegion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, 2007), 83 18Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang cakupan makna Ahl al-Kita>b.
Pertama, berpendapat bahwa Ahl al-Kita>b hanya terbatas pada orang-orang Yahudi
dan Nasrani dari Bani> Isra>’il saja. Sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut
agama Yahudi dan Nasrani dewasa ini tidak termasuk Ahl al-Kita>b. Alasannya, karena
nabi Musa as. hanya diutus khusus kepada Bani > Isra>i’l saja, bukan kepada bangsa-
bangsa lainnya. Pendapat ini mempersempit pengertian Ahl al-Kita>b, bahkan
meniadakan wujudnya dewasa ini. Kedua, berpendapat bahwa siapa saja yang
mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk
Ahl al-Kita>b. Sehingga Ahl al-Kita>b tidak hanya terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nasrani. Bila ada yang hanya percaya kepada S}uh}uf Nabi Ibrahim
as. atau Kitab Zabu>r saja, maka ia pun termasuk Ahl al-Kita>b. Bahkan di antara ulama
salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga
sebagai kitab sama>wi>, maka mereka juga adalah Ahl al-Kita>b, seperti halnya orang-
orang Majusi. Pendapat ini memperluas makna Ahl al-Kita>b, dengan mengatakan
bahwa semua penganut agama yang memiliki kitab suci atau semacam kitab suci
hingga dewasa ini. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, vol. 3, 2006), cet. V, 30
7
bahwa Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita
Musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang kawin dengan
orang-orang Musyrik.19 Menurut kelompok ini, Ahl al-Kita>b mempunyai
kedudukan yang sama dengan orang Musyrik. Karena orang-orang Ahl al-Kita>b juga mempertuhankan orang ‘A<lim mereka, Rahib-Rahib dan mengakui
bahwa ‘Uzair atau Isa adalah putera Allah.20
Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar,
menurutnya, Allah mengharamkan wanita Musyrik bagi laki-laki Muslim.
“Aku tidak tahu syirik manakah yang jauh lebih besar dari seorang wanita yang
mengatakan bahwa Tuhanya adalah Isa.”21 Sedangkan jumhur ulama
berpendapat, bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita
Ahl al-Kita>b. Menurut mereka, lafad Mushrikah tidak mencakup Ahl al-Kita>b.22
Meskipun jumhur ulama yang lazim menjadi rujukan ulama di Indonesia
membenarkan perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b,
akan tetapi perkembangan berikutnya kebolehan perkawinan seperti ini
dibatasi. Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI
melarang secara mutlak perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang
berlainan agama. Begitu juga keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU,
perkawinan beda agama hukumnya diharamkan. Pada dasarnya
ketidakbolehan perkawinan tersebut sudah pernah disinggung oleh ulama-
ulama terdahulu. Menurut mereka, meskipun perkawinan beda agama
dibolehkan, namun di sana terdapat kecenderungan larangan, hal ini terbukti
adanya indikasi makruh sehingga yang dibolehkan pun hanya Muslim dengan
perempuan Ahl al-Kita>b, dan tidak sebaliknya. Bahkan dilarang sama sekali
19Dalam QS. al-Mumtah}anah [60]: 10 dijelaskan bahwa pernikahan umat Islam
dengan orang Kafir itu ditutup sama sekali. Wa la> tumsiku> bi' Is}am al-Kawa>fir.... Sementara QS. al-Baqarah [2]: 221, wa la> tunkihu> al-mushriki>n... menjelaskan bahwa
umat Islam tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki dan perempuan Musyrik.
Sementara ada ayat lain, QS. al-Ma'idah [5]: 5 yang memperbolehkan menikah dengan
perempuan Ahl al-Kita>b. Wa al-muhs}ana>tu min al ladhi>na utu> al-kita>ba min qoblikum.
Perlu kita maklumi bahwa al-Baqarah itu adalah surat yang pertama kali turun ketika
Nabi berada di Madinah. Kemudian ayat berikutnya al-Mumtah}anah ayat 10, baru
kemudian terakhir turun al-Ma'idah ayat 5. Sudah dimaklumi bahwa ayat yang terakhir
turun yang memperbolehkan menikah dengan Ahl al-Kita>b itu telah mentakhs}is},
menspesifikasi dua ayat sebelumnya. Jadi boleh menikah dengan Ahl al-Kita>b, yang
pada zaman dulu adalah Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kita>b telah dikecualikan dari
keumuman ayat Kafir dan Musyrik. 20Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an, 163 21Fakhr al-Di>n Muhammad ibn ‘Umar, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyah, Jilid VI, 2004), Cet. Ke-2, 116.
22M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 30-31
8
baik Muslim maupun Muslimah untuk menjalin hubungan perkawinan dengan
laki-laki maupun perempuan dari orang Kafir.
Dalam konteks Indonesia, peraturan perkawinan tidak dijumpai adanya
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perkawinan beda
agama, peraturan yang ada dan berlaku sampai sekarang yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, itu pun hanya mengatur tata cara
perkawinan campuran yang pada dasarnya mempunyai arti berbeda dengan
perkawinan beda agama.23 Meskipun secara tidak ekspresif verbis Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini pun juga melarang terjadinya kawin beda
agama.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa,
sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya
masing–masing. Dan Pada ayat (2) berbunyi tiap–tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku. Jadi, maksud dari
ungkapan “menurut hukum agamanya masing–masing” adalah sahnya suatu
perkawinan diserahkan kepada hukum masing-masing agama yang
bersangkutan. Berarti dengan adanya masalah pengaturan perkawinan di
Indonesia, Undang–undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada
Agama, dan Agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan beda
agama.
Oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa dalam melangsungkan
perkawinan diharuskan untuk seagama agar pelaksanaanya tidak terdapat
hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanaanya
menurut Undang–undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda
agama tidak boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah
satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama
barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan
dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur
dalam pasal 2 ayat (2) Undang–undang Perkawinan.
Larangan perkawinan beda agama selain dari UU No. 1 Tahun 1974
tersebut, juga diperkuat lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)24 berdasarkan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI tersebut secara tegas
23Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi,
perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini. 24Adapun alasan dikeluarkanya KHI ini adalah dengan mempertimbangkan
keabsahan dan kompleksitas Hukum Islam yang ada dalam masyarakat, sehingga perlu
diwujudkan suatu Hukum Islam yang sistematis dan konkerit untuk seluruh umat
Islam di Indonesia, yang dengan adanya KHI diharapkan dapat dijadikan sebagai
pegangan atau rujukan untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan oleh para
hakim di Peradilan Agama (PA).
9
dinyatakan pada pasal 40, 44 dan 61. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa seorang
pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu, diantaranya adalah karena seorang wanita yang tidak
beragama Islam. Pada pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam. Sedangkan dalam pasal 61, KHI menyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’
karena perbedaan agama atau ikhtila>f al-di>n.
Terdapat tiga pasal dalam KHI yang secara jelas menyatakan ketidak
bolehan melangsungkan perkawinan beda agama, baik untuk pria Muslim
dengan wanita non-Muslim maupun untuk wanita Muslimah dengan pria non-
Muslim.
Pertimbangan larangan perkawinan beda agama dalam KHI disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, perkawinan beda agama lebih banyak
menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsip yang beda antara
kedua mempelai. Meskipun ada beberapa pasangan yang berbeda agama dapat
hidup rukun serta mampu mempertahankan ikatan perkawinannya, namun
yang sedikit ini tidak bisa dijadikan acuan. Kedua, KHI mengambil pendapat
ulama Indonesia, termasuk di dalamnya MUI.25
Larangan perkawinan beda agama, juga didapati dari fatwa-fatwa ulama
yang tergabung dalam sebuah organisasi keagamaan seperti Majlis Ulama
Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU).
MUI, lewat Komisi Fatwa yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1980
dan diperkuat dengan Keputusan Fatwa No. 4/Munas VII/8/2005 telah
mengeluarkan fatwa terkait permasalahan perkawinan beda agama. Fatwa
tersebut telah menghasilkan dua ketetapan. Pertama, bahwa seorang
perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-
laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki Muslim tidak diizinkan mengawini
seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahl al-Kita>b).26 Sebuah
fatwa yang berseberangan dengan ketentuan nas} Al-Qur’an dan pendapat
mayoritas ulama yang membolehkannya.
Jika dilihat dari metode istinba>t}} al-ah}ka>m yang digunakan oleh MUI,
untuk menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, yang dengan jelas
bersebrangan dengan bunyi teks Al-Qur’an adalah metode mas}lah}ah al-mursalah. Yakni sebuah metode yang berpijak pada kemaslahatan masyarakat
Islam.27 Namun begitu, terlepas dari metode yang digunakan oleh MUI, fatwa
25Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1995), 345 26Lihat Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
(Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1997), 122. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 99
27M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, 99
10
ini dianggap cocok dengan kebutuhan dan kenyataan masyarakat di Indonesia
sekarang; bahwa perkawinan beda agama lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya dan karena itu harus dihindari.
Selain MUI, ormas Islam yang secara tegas mengeluarkan fatwa tentang
larangan perkawinan beda agama adalah Muhammadiyah. Dalam hal ini secara
umum Muhammadiyah masih berpedoman pada pendapat mayoritas ulama
fikih, yakni laki-laki Muslim dilarang mengawini perempuan Musyrik, begitu
juga seorang perempuan Muslimah dilarang untuk dikawinkan dengan laki-
laki Musyrik dan Ahl al-Kita>b. Sedangkan untuk laki-laki Muslim yang
mengawini perempuan Ahl al-Kita>b, semula Muhammadiyah cenderung
sepakat dengan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya, dengan
argumentasi kekhususan QS. al-Maidah [5]: 5.28
Namun kemudian, ada pertimbangan lain yang mengalihkan fatwa
Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, hukum muba>h} harus dihubungkan
dengan alasan mengapa perkawinan itu dibolehkan. Salah satu hikmah
dibolehkannya laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahl al-Kita>b adalah
untuk berdakwah kepada mereka, dengan harapan mereka mau mengikuti
agama suaminya (Islam). Namun jika keadaan sebaliknya, suami akan
terpengaruh dan mengikuti agama Istrinya (non-Islam), maka hukum muba>h} dapat berubah menjadi haram.29
Melihat kondisi sekarang, ada dua kekhawatiran yang akan terjadi
akibat perkawinan ini. Pertama bahwa laki-laki Muslim yang akan menikahi
perempuan Ahl al-Kita>b itu akan dapat ditarik oleh istrinya untuk masuk
agamanya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama
dengan agama yang dianut ibunya. Jika kekhawtiran tersebut lebih kuat, maka
untuk menutup kemungkinan terjadinya madlarat yang lebih besar yaitu
murtad, maka Muhammadiyah melalui metode sadd al-dhari>‘ah melarang
perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b.
Yaitu suatu ketentuan larangan yang oleh nas}} diperbolehkan dengan
pertimbangan mafsadah lebih besar dari pada mas}lah}ah dalam kajian us}u>l al-fiqh disebut sadd al-dhari>‘ah (tindakan preventif). Perubahan hukum
dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu bisa saja terjadi,
karena didasarkan pada kemaslahatan dan ‘urf. Hal ini sesuai dengan kaidah
hukum Islam (qawa>’id al-fiqhiyyah):
28Lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah
(Jakarta: Logos Publishing House, Cet. 1, 1995), 143-145 29Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, 146
11
”berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahat dan ‘urf karena berubahnya waktu itu tidak diingkari”30.
Di sisi lain, asas perkawinan Islam menyatakan bahwa perkawinan
harus dengan sesama Muslim, asas ini berangkat dari konsep ingin mengejar
maslahat. Sebagaimana dalam tujuan hukum atau maqa>s}id al-shari>‘ah,
dijelaskan bahwa dalam perumusan hukum maka seorang Mujtahid harus
mempertimbangkan lima hal, yakni: 1) agama (al-di>n), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal
(al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl) dan, 5) harta (al-ma>l). Kelima hal tersebut
secara berurutan menunjukan sekala prioritas tingkat kebutuhannya. Bagi
mereka –yang melarang perkawinan beda agama- menempatkan agama (al-di>n) diatas prioritas empat komponen yang lain, sehingga kemaslahatan
keempat komponen yang lain harus mengikuti kemaslahatan agama. Oleh
karena itu, demi menjaga agama Islamnya seseorang, maka seseorang harus
memilih pasangan sesama Muslim. Mereka memposisikan agama sebagai
bagian yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa diganti dalam keadaan apapun.
Selain MUI dan Muhammadiyah, ormas Islam yang juga merespon
kasus perkawinan beda agama adalah Nahdlatul Ulama (NU).31 Meskipun
dengan metode istinba>t}}32 yang berbeda dengan kedua ormas Islam tersebut,
30Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa>’id Fiqhiyyah (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, cet. Ke-2, 2009), 52 31NU sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam‘iyyah al-di>niyyah-al-
ijtima>‘iyyah), secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1314 H. bertepatan dengan
tanggal 31 Januari 1926 M. di kampung Kertopaten Surabaya, ada dua faktor yang
melatarbelakangi lahirnya NU. Pertama faktor internal. Kedua faktor eksternal. Faktor
internal berhubungan dengan perkembangan kaum modernis yang menyuarakan
adanya purifikasi Islam dan menyerang praktek keagamaan yang sudah dipercayai dan
dijalankan oleh kaum tradisionalis. Sehingga banyak diantara kepercayaan Muslim
tradisionalis yang dinyatakan sebagai “bid‘ah”, bukan ajaran asli Islam. Sedangkan
faktor eksternal adalah bentuk reaksi atas perkembangan gerakan modernisasi Islam
yang terjadi di Timur Tengah tepatnya Saudi Arabia. Dimana ‘Abdul al-‘Aziz ibn
Sa‘ud akan memberlakukan sistem mono mazhab, yaitu mazhab Wahabi, yang
berimplikasi pada pelarangan atau penghentian ajaran dan praktek madha>hib. Lihat
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, alih bahasa Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, Cet: IV, 2004), 19-25. Lihat juga Arsam,
“Dakwah Cultural; Studi Terhadap Dakwah Nahdlatul Ulama”, dalam jurnal
Bimbingan Konseling Islam, Volume 2 Nomer 1, Januari-Juni 2011, 129 32Secara garis besar ada tiga metode yang digunakan oleh NU dalam melakukan
istinba>t}} hukum, yaitu metode qawli>, ilha>qi> dan manhaji> yang secara prosedur
digunakan secara berurutan. Sistem qawli> merupakan metode istinba>t}} dengan cara
langsung merujuk kepada redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih. Sistem ini dipakai
manakala suatu kasus bisa dicukupi oleh ‘iba>rah kitab dan di sana hanya terdapat satu
qawl atau wajah. Sedangkan taqri>r jama>‘i adalah sistem pengambilan keputusan
12
NU juga memberikan fatwa atas keharaman perkawinan beda agama,
sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh kedua ormas lainnya. Keharaman
perkawinan tersebut lebih disebabkan oleh dampak negative yang
ditimbulkannya. Dampak negative tersebut berupa kemudaratan atau
kerusakan agama salah satu pasangan karena tidak mampu mempertahankan
agamanya, sehingga terpengaruh oleh agama pasangannya (Murtad).
Menurut Shaltu>t larangan perkawinan beda agama terdapat adanya
kecenderungan sementara laki-laki Muslim yang mengawini wanita Kita>biyah.
Menurutnya, para suami Muslim yang menikah dengan wanita-wanita
Kita>biyah telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat isterinya, sehingga
isteri yang lebih sering bergaul dengan anak-anaknya mendidik menurut
agama dan adat istiadatnya.33 Kondisi tersebut, berdampak pada pembiaran
sang suami terhadap anak dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam,34 karena
pengaruh isteri yang sangat dominan dalam keluarga, sehingga anak-anak
mengikuti agama ibunya.
Sementara ‘Umar ibn Khat}t}ab melarang lelaki Muslim untuk menikahi
wanita Kita>biyah, karena kekhawatiranya terhadap lelaki Muslim lebih
memilih wanita Kita>biyah dari pada wanita Muslimah, sehingga
menimbulkan kesenjangan dan fitnah dikalangan wanita Muslimah.35
hukum dengan cara memilih atau men-tarjih} salah satu qawl atau wajah, sistem ini
digunakan pada kasus-kasus yang sudah tercukupi dengan redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih dan di sana terdapat beberapa qawl atau wajah. Adapun sistem ilh}a>q lengkapnya ilh}a>q al-masa>’il bi naz}a>’iriha> merupakan sistem penyamaan suatu kasus
yang belum ada kepastian hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian
hukumnya dalam kitab yang dilakukan oleh para ahli. Secara teknis sistem ilh}a>q hampir mirip dengan qiya>s terkait dengan rukun-rukun ilh}a>q, tetapi secara teoritis
berbeda. Sistem ini digunakan manakala tidak ada satu atau lebih redaksi ‘iba>rah atau qawl yang tidak bahkan sama sekali memberikan penyelesaian. Sedangkan sistem
manhaj adalah sistem yang menggunakan kerangka berfikir imam mazhab, namun
penggunaan tersebut hanya terbatas pada kaidah fiqhiyyah dan kaidah us}u>liyyah-nya
saja. Sistem manhaj ini dilaksanakan tatkala kasus tidak ada satu atau lebih qawl maupun wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilh}a>q. Lihat Nahdlatul Ulama,
Ahka>m al-Fuqa>ha>; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya, Khalista dan Lajnah Ta’lif
Wa Al Nasyr), 470-471. Lihat pula Ahmad Munjin Nasih, “Bah}th al-Masa>’il Dan
Problematikanya Di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional”, dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009, 107-108
33Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 279 34Salah satu hikmah dibolehkanya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahl
al-Kita>b adalah untuk media dakwah. Dengan harapan perkawinan tersebut bisa
mendekatkan hati isterinya terhadap ajaran-ajaran Islam yang pada akhirnya tumbuh
rasa simpati terhadap Islam, karena kemuliaan dan keluhuran ajaran Islam. Lihat
Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 278-279 35Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VII, 154-155
13
Kekhawatiran ‘Umar dan Shaltu>t merupakan dampak negative yang
akan timbul akibat perkawinan beda agama. Dampak negative yang berupa
kemudaratan tersebut harus dicegah dengan melarang perkawinan tersebut.
Kemadlaratan yang timbul akibat perkawinan tersebut jelas tidak sesuai
dengan tujuan syari’at Islam. Berdasarkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, yaitu
bahwa Allah menurunkan syari’at Islam ke dunia ini adalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat. Dengan demikian,
larangan tersebut berupaya untuk mewujudkan maslahat dengan cara
menghindari atau menghilangkan madlarat.
Namun demikian, larangan yang dilakukan oleh NU bertentangan
dengan z}a>hir nas} QS. al-Maidah [5]: 5 yang secara tegas membolehkan lelaki
Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Oleh karena itulah, dalam
menyikapi maslah tersebut pada dasarnya terdapat dua kelompok. Pertama,
membolehkan dan kedua melarang. Yang masing-masing dari kedua kelompok
tersebut meletakan dasar perumusan hukumnya pada jiwa maslahat.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka Penulis tertarik
untuk menuliskannya dalam bentuk tesis dengan judul Ijtihad Nahdlatul
Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama: Suatu Kajian Tentang Penerapan
Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah
yang perlu diidentifikasi. Masalah-masalah tersebut adalah:
a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif Indonesia
terhadap perkawinan beda agama?
b. Bagaimana respon ulama-ulama Indonesia (MUI, NU, dan
Muhammadiyah) terhadap perkawinan beda agama?
c. Metode ijtihad apakah yang digunakan oleh MUI, NU dan
Muhammadiyah dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?
d. Bagaimana prosedur pengambilan keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU
dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?
e. Bagaimana tinjauan Maqa>s}id al-Shari>‘ah terhadap perkawinan beda
agama?
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, penelitian tesis ini
dibatasi pada masalah metode ijtihad yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-
Masa>’il NU serta hubunganya dengan metode Maqa>s}id al-Shari>‘ah.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan
permasalahanya:
a. Metode ijtihad apakah yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il
(LBM) NU dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama?
14
b. Bagaimanakah tinjauan maqa>s{id al-shari>‘ah terhadap hasil keputusan
Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU tentang perkawinan beda agama?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dalam hal gagasan tentang ijtihad, khususnya ijtiha>d jama>‘i NU
bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Organisasi seperti majma>‘ al-buh}u>th al-isla>miyyah, MUI, Muhammadiyah adalah di antara sederetan organisasi
yang memiliki gagasan sama untuk ijtihad walaupun dengan konsep dan
metodologi yang berbeda dengan NU. Gagasan tentang ijtihad akan terus
menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang hangat dari waktu ke
waktu.
Adapun penelitian seputar gagasan tentang ijtihad baik yang bersifat
fardi> ataupun jama>‘i, penulis mendapati beberapa hasil penelitian, di
antaranya: Pertama, M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, dalam artikelnya yang berjudul
“Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang dipublikasikan lewat Journal
Islamic Studies. Dalam artikelnya, penulis mengatakan bahwa pada masa awal
Islam, khususnya di tiga masa pertama, yakni sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-
ta>bi‘i>n mencoba untuk mengkristalkan sebuah teks Al-Qur’an dan Sunnah
dalam penggunaan bahasa Arab, ekspresi idiomatik, masalah tata bahasa,
sejarah, sosial, perspektif hukum, moral dan budaya sejauh teks Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi yang dipahami oleh mereka dan makna dan konsep ditentukan. 36
Kedua, Muhammad Qasim Zaman, dalam artikelnya yang berjudul “Evolving
Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” dalam Journal Islamic Studies,
penulis mempunyai beberapa keprihatinan tentang pelaksanaan ijtihad. di
antaranya adalah adanya perdebatan intelektual mengenai ijtihad antara Arab
Timur Tengah dan Asia Selatan, lebih khusus antara Salafi> reformis dari dunia
Arab dan Deobandis dari benua India. Bahwa bahasa dan retorika ijtihad
cenderung semakin merekomendasikan diri mereka menjadi “ulama” yang
mempunyai otoritas keagamaan di dunia modern. 37
Ketiga, artikel yang berjudul “Issues in the Understanding of Jihād and
Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies yang ditulis Mohammad Hashim
Kamali. Dalam artikelnya ini penulis mempertanyaan satu hal bahwa dalam
hal mana ijtihad dapat memajukan semangat dan tujuan Shari>‘ah di luar batas-
batas teks yang diberikan, sebaiknya ini tidak harus dilihat sebagai bentuk sah
ijtihad dalam menghadapi teks, namun dilihat dari keterikatanya pada kaidah
36M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, “Ijtihād Through Fourteen Centuries” dalam
Journal Islamic Studies, Vol. 21, No. 4 (Winter 1982). Published by: Islamic Research
Institute, International Islamic University, Islamabad Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/20847218. 37Muhammad Qasim Zaman, “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern
South Asia” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 49, No. 1 (Spring 2010). Published
by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable
URL: http://www.jstor.org/stable/41429243
15
suci yang menghalangi ijtihad sama sekali di hadapan teks. 38 Keempat, karya
Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne yang berjudul “The Ijtihad
Controversy” dalam Journal Arab Law Quarterly, dalam artikelnya tersebut
penulis mempunyai dua kesimpulan, pertama bahwa setelah tahun 1972,
kalimat “penutupan” gerbang/pintu ijtihad menjadi semakin lazim. Kedua, keyakinan bahwa gerbang tersebut benar benar tertutup jelas. Pada saat Gibb
menulis Tren modern dalam Islam, ia secara dogmatis menyatakan bahwa
gerbang dari ijtihad “ditutup, tidak pernah lagi akan dibuka kembali”.39
Keempat, Rachel Anne Codd, dalam artikelnya yang berjudul “A Critical
Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam
Journal Arab Law Quarterly, penulis mengatakan bahwa Ijtihad menunjukkan
janji dalam kemampuannya untuk efek reformasi hukum meskipun ia
melakukannya pada tingkat yang sebagian besar perifer. Apa yang benar-benar
diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah perombakan struktur hukum
secara keseluruhan, yaitu, perubahan dasar syari’at tradisional. Namun ada,
beberapa masalah yang harus diatasi dalam umat Islam yang enggan
menggunakan Ijtihad untuk menafsirkan Al-Quran dan Sunnah seperti yang
dipraktekkan pada hari-hari awal setelah wafatnya Nabi Muhammad. 40
Sedangkan penelitian tentang NU, lembaga ini merupakan obyek yang
menarik untuk diteliti dari berbagai seginya, sehingga sudah cukup banyak
penelitian yang dilakukan menyangkut berbagai hal tentang lembaga ini.
Berikut ini, adalah diantara penelitian yang membahas tentang NU: Pertama, Greg Barton dan Greg Fealy, dalam makalahnya yang berjudul “Nahdlatul
Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” penulis mengatakan
bahwa dalam tulisanya ini, beliau mengupas sepuluh artikel dari enam penulis,
beliau mengatakan bahwa NU merupakan organisasi yang kaku dan kuno,
tidak dinamis, yang tidak mampu mengatasi masalah zaman modern. 41 Kedua, Nadirsyah Hosen, artikelnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama and Collective
38Mohammad Hashim Kamali, “Issues in the Understanding of Jihād and
Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 41, No. 4 (Winter 2002). Published by:
Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable
URL:http://www.jstor.org/stable/20837232. 39Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne, “The Ijtihad Controversy” dalam
Journal Arab Law Quarterly, Vol. 9, No. 3 (1994). Published by: BRILL. Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3381. 40Rachel Anne Codd, “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal
Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, Vol. 14, No. 2
(1999). Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381998. 41Greg Barton dan Greg Fealy, “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and
modernity in Indonesia” Reviewer by: Nico Kaptein dalam journal Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 3 (1998). Published by:
KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean
Studies Stable URL: http://www.jstor.org/stable/27865449.
16
Ijtihad” yang dipublikasikan dalam journal New Zealand Journal of Asian Studies, penulis menyatakan bahwa sejak tahun 1926 NU telah memainkan
penting peran dalam wacana mengenai hukum Islam di Indonesia. Selain itu,
NU telah mengkaji metode-metode, bentuk dan sumber-sumber dalam
melakukan ijtihad. Ini menunjukkan perkembangan positif dari NU. Meskipun
kerendahan hati dengan tidak menyatakan dirinya sebagai Mujtahid, NU telah
menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan fatwa sebagai instrumen untuk
mengatasi perkembangan modern dengan melakukan ijtihad kolektif. Model
ijtihad kolektif yang dilakukan oleh NU bisa dipandang sebagai model
alternatif ijtihad jama'i di dunia Muslim, dan, di khususnya, untuk mengisi
kesenjangan bimbingan teknis yang telah diabaikan oleh Majma>‘ al-Buh}u>th al-Islamiyyah sejak tahun 1964. 42 Ketiga, Michael Laffan dalam artikelnya yang
berjudul “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context” yang
dipublikasikan lewat Journal Islamic Law and Society, penulis menyatakan
bahwa anggota Musyawarah NU meskipun dalam tekanan dalam membahas
suatu masalah atau fatwa dan suara mereka mungkin mengubah kalimat dari
fatwa, adalah merupakan deklarasi yang dihasilkan sebagian besar dibentuk
oleh kekhawatiran politik dewan eksekutif. 43 Keempat, Ahmad Munjin Nasih,
artikelnya yang berjudul ”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan
Masyarakat Muslim Tradisional” yang dipublikasikan lewat jurnal Al-Qānūn,
penulis membahas tentang sejarah Bah}th al-Masa>il, proses kegiatan Bah}th al-Masa>il, metode Bah}th al-Masa>’il beserta problem-problem yang muncul
disekitar Bah}th al-Masa>il. 44
Sedangkan penelitian yang yang berhubungan dengan kasus
perkawinan beda agama juga sangat menarik karena meskipun kasus tersebut
terbilang kasus klasik, namun hingga kini kasus tersebut masih actual karena
para ahli hukum belum menyatakan kesepakatannya dengan satu suara.
Ditambah fakta social perkawinan beda agama yang riil ditengah-tengah
masyarakat dengan jumlah yang setiap waktu terus bertambah. Adapun
penelitian yang berhubungan dengan perkawinan beda agama di antaranya
adalah sebagai berikut: Pertama, “Interfaith Marriage and Adult Religious
Practice” artikel yang ditulis oleh John Mulhearn dalam Journal Sociological Analysis, penulis menyatakan bahwa praktek keagamaan tidak dipengaruhi
42Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” dalam
journal New Zealand Journal of Asian Studies (Juni 2004) 43Michael Laffan “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian
Context” dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwās in
Indonesia (2005).Published by: BRILL Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/3399294. 44Ahmad Munjin Nasih,”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di
Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12,
No. 1, Juni 2009.
17
oleh kedua bentuk perkawinan (intra dan antar). Akan tetapi religuitas orang
tua yang kuat akan mampu mengendalikan praktek perkawinan antar agama.45
Kedua, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” karya Harold T.
Christensen and Kenneth E. Barber, dalam Journal of Marriage and Family, penulis menyatakan bahwa Perkawinan antar agama memperoleh perhatian
yang lebih serius dibandingkan dengan perkawinan yang intra agama.
Perkawinan antar agama lebih cenderung menjadi upacara sipil,
kecenderungan tersebut melibatkan individu yang beranggotakan kelompok
minoritas agama, yang telah menikah sebelumnya.46 Ketiga, David M. Heer,
artikel yang berjudul “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-
1957” yang dipublikasikan lewat Journal American Sociological Review,
penulis menyatakan bahwa faktor distribusi agama merupakan faktor yang
paling dominan dalam meningkatkan jumlah perkawinan beda agama. Selain
faktor distribusi agama, Thomas menyebutkan dua faktor lain yaitu pertama
berkaitan dengan asosiasi keagamaan dengan perbedaan etnis. Asosiasi ini
mempengaruhi antar orang Tingkat pernikahan karena kecenderungan anggota
kelompok etnis untuk menikah di antara mereka sendiri tanpa memandang
agama. Ketika anggota satu agama sebagian besar adalah anggota dari
kelompok etnis tertentu sementara anggota agama kedua sebagian besar adalah
anggota dari kelompok etnis kedua, ikatan etnis memperkuat ikatan agama
untuk bertentangan proporsi yang tinggi dari orang-orang menikah di luar
agama mereka. Faktor kedua yang disebutkan oleh Thomas adalah asosiasi
perbedaan agama dengan perbedaan kelas sosial. Dalam hal ini jarak antara
kelas-kelas sosial memberikan halangan untuk nikah beda agama, dan
hambatan ini akan berkurang jika hubungan antara perbedaan agama dan kelas
sosial itu harus dikurangi. 47
Keempat, James D. Davidson and Tracy Widman, dalam karyanya
“The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” yang
dipublikasikan dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis
menyatakan Bahwa ada korelasi negative antara ukuran kelompok dan
perkawinan dikalangan umat beragama. Semakin besar persentase umat
beragama di daerah tertentu, maka semakin besar untuk menikah dengan
45John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice”
dalam Journal Sociological Analysis, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1969). Published by:
Oxford University Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3709931. 46Harild T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith Versus Interfaith
Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug.,
1976). Publeshed by: National Council on Family Relations Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/349583 47David M. Heer, “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957”
dalam Journal American Sociological Review, Vol. 27, No. 2 (Apr., 1962), Published
by: American Sociological Association Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2089680
18
sesam agama. sebaliknya, semakin kecil persentase umat beragama di daerah
tertentu, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk menikah dengan
orang-orang yang tidak seagama. 48 Kelima, “Religious Intermarriage and
Divorce in Utah and the Mountain States” karya Howard M. Bahr, dalam
Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan bahwa
Perkawinan sesama agama menjadikan perkawinan jauh lebih stabil daripada
perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dengan segala perbedaan
yang ada, menempati peringkat perceraian tertinggi dibandingkan dengan
perceraian yang lainya. 49 Keenam, “Interfaith Marriages” karya Harvey J.
Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, dalam Journal Social
Problems, penulis menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik dalam
perkawinan, semakin rendah presentase kuantitas dari kelompok agama
tertentu dalam sebuah populasi, maka semakin tinggi tingkat perkawinan beda
agama.50 Ketujuh, Brent A. Barlow, dalam artikelnya “Notes on Mormon
Interfaith Marriages” yang dipublikasikan lewat Journal The Family
Coordinator, penulis menjelaskan bahwa di Amerika terdapat dua
kecenderungan dalam memilih pasangan, pertama pengaruh agama masih
sangat kuat dalam pemilihan pasangan, artinya hampir 50-70 % dari mereka
masih memilih pasangan berdasarkan dengan agama atau menikah sesama
agama. Kedua bahwa pernikahan merupakan sebuah trend yang dominan dalam
kehidupan keluarga di Amerika, bahkan Olson mencatat 96-97 % dari populasi
Amerika akhirnya menikah. Jika kecenderungan pertama memilih pasangan
berdasarkan kesamaan agama, maka jika itu sulit kecenderungan kedua adalah
memilih pasangan dengan orang yang diinginkanya (antar agama). 51
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti terhadap hasil
penelitian-penelitian yang sudah ada, tidak ditemukan hasil penelitian yang
focus dan intensif mengkaji ijtihad Nahdlatul Ulama tentang perkawinan beda
agama. Adapun distingsi penelitian ini adalah objek penelitian dan variable
penelitian. Penelitian ini berupaya menjelaskan hubungan antara teori maqa>s{id
48James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on
Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for
the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452 49Howard M. Bahr, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the
Mountain States”, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 20, No. 3
(Sep., 1981). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of
Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1385547 50Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, “Interfaith
Marriages” dalam Journal Social Problems, Vol. 4, No. 4 (Apr., 1957). Published by:
University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/799290. 51Brent A. Barlow, “Notes on Mormon Interfaith Marriages” dalam journal The
Family Coordinator, Vol. 26, No. 2 (Apr., 1977). Published by: National Council on
Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/583362
19
al-shari>‘ah dengan metode penetapan hukum NU dan sejauh mana pemikiran
hukum Islam NU khususnya tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu,
diharapkan tulisan ini bisa melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Mengeksplorasi metodologi fikih dan maqa>s{id al-shari>‘ah yang
digunakan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU dalam menyelesaiakan kasus
perkawinan beda agama.
2. Menganalisis metodologi dan maqa>s{id al-shari>‘ah tersebut dalam
perspektif us}u>l al-fiqh. Adapun signifikansi penelitian ini diantaranya:
1. Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan hukum Islam
terutama yang berkaitan dengan us}u>l al-fiqh. 2. Memiliki arti akademis yang menambah informasi dan wawasan terutama
dalam bidang hukum Islam serta dipertimbangkan dapat memperkaya
teori-teori hukum Islam.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian literatur. Maka jenis penelitian yang
dilakukan dalam pembahasan dan penyajian tesis ini adalah jenis penelitian
library research (penelitian kepustakaan). Yang secara langsung menggunakan
buku-buku kepustakaan yang ada kaitanya dengan masalah penelitian ini, baik
dari sumber primer (utama), sekunder (pendukung), maupun tersier
(pelengkap). Dan untuk mempermudah penelitian ini, maka disusun langkah-
langkah yang akan ditempuh dengan beberapa hal:
1. Sumber Data
Pada dasarnya sumber data yang digunakan untuk pembahsan tesis ini
dibedakan menjadi tiga jenis:
a. Sumber primer merupakan sumber data yang mengikat dan dapat
dipertanggungjawabkan yang diperoleh dari fatwa-fatwa NU. Baik yang
dihasilkan lewat Muktamar, Munas maupun Konbes.
b. Sumber sekunder merupakan sumber yang erat hubunganya dengan
sumber primer dan dapat membantu untuk menganalisa dan memahami
sumber primer, yang diperoleh dari kitab-kitab usu>l al-fiqh, Kompilasi
Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
buku-buku dan tulisan yang ada relevansinya dengan tesis ini baik yang
ditulis oleh ahli hukum positif maupun ahli hukum Islam, termasuk hasil
penelitian, seminar dan jurnal maupun artikel tentang hukum.
c. Sumber tersier merupakan sumber yang melengkapi dalam pemahaman
sumber primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus, insiklopedia
surat-surat kabar dan majalah.
20
2. Metode Analisis
Dalam menjawab permasalahan dalam tesis ini, maka dilakukan dengan
pendekatan yang bersifat yuridis normatif filosofis. Pendekatan ini akan dititik
beratkan pada pola yuridis dan us}u>liyah yaitu suatu pendekatan yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, dengan metode istinba>t}} dan dianalisis
dengan memakai kerangka ilmu us}u>l al-fiqh,52 perlu juga dilihat hubungan
antara metode istinba>t}} hukum Islam dengan maqa>s{id al-shari>‘ah53 atau tujuan-
tujuan syari’at, yang nantinya guna melihat sejauh mana penerapan teori atau
prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU
ketika menetapkan keputusan perkawinan beda agama.
3. Pengumpulan Data
Karya tulis ini, adalah kajian kepustakaan (library research), dan
sumber referensinya adalah kitab-kitab atau buku-buku primer dan juga
sekunder, baik yang didapat dari beberapa sarana perpustakaan juga melalui
kitab-kitab copy dalam bentuk PDF, baik yang berbahasa Arab, Inggris
maupun Indonesia. Data tersebut diolah dalam bentuk tulisan berbahasa
Indonesia dengan berpedoman kepada kaidah penulisan bahasa Indonesia yang
disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kecuali hal-hal yang
terkait secara khusus ditentukan oleh penulis atas petunjuk dosen
pembimbing.
Guna mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,
digunakan cara sebagai berikut:
a. Studi Dokumen
Dalam mempelajari bahan-bahan yang masuk kategori bahan
sekunder, pertama mempelajari peraturan dalam hukum yang menjadi objek
kajian, dipilih dan dihimpun kemudian dari bahan-bahan tersebut dipilih asas
dan kaidah hukum mengenai perkawinan beda agama menurut hukum Islam.
Setelah itu disususn kerangka yang sitematis untuk memudahkan analisisnya.
b. Wawancara
Wawancara ini terutama ditujukan kepada narasumber dengan
pertimbangan mereka lebih mengetahui dan memahami permasalahan yang
berhubungan dengan perkawinan beda agama. Narasumber disini adalah
ulama-ulama fikih NU terkait. Yaitu KH. Zulfa Mustofa MY Ketua LBM NU,
KH. Arwani Faishol Wakil Ketua LBM NU, KH. Masdar F. Masudi. Bentuk
wawancara yang digunakan adalah wawancara berpedoman yaitu materi
pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan
52Pada dasarnya ilmu us}u>l al-fiqh membahas tentang sumber-sumber hukum
Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan metode-metode penyelesaian permasalahan yang
sudah ada dasarnya Al-Qur’an maupun Hadits dan permasalahan yang tidak ada
dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. 53Pada dasarnya maqa>s{id al-shari>‘ah termasuk bagian tak terpisahkan dari
kajian us}u>l al-fiqh. Hanya saja sekarang para ulama memberikan perhatian khusus
terhadap maqa>s{id al-shari>‘ah
21
wawancara. Wawancara ini hanya sekedar sebagai bahan pendukung atau
tambahan saja.
c. Analisis Data
Analisis data akan dilakukan dengan cara kualitatif dengan
menggunakan metode “reflektive thinking” dengan pola deduksi-induksi dan
tata pikir devergen yaitu tata pikir kreatif inovatif.54 Model analisis diatas
lebih mementingkan pengolahan dan menganalisis serta mengkontruksi data
secara kualitatif.
4. Teknik Penulisan
Teknik dalam penulisan tesis ini, transliterasi, ejaan dan yang lainya
didasarkan kepada petunjuk penulisan yang disepakati dosen Akademik dan
Dosen Pembimbing, dengan merujuk teknik penulisan kepada buku Pedoman Penulisan, Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan notes dalam Karya
Ilmiah, yang diterbitkan oleh sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011. Dan buku Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Pengkajian Islam 2011-2015, yang diterbitkan oleh sekolah pasca sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Kerangka Teori
Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini
adalah teori mengenai ijtihad NU, maqa>s}id al-shari>‘ah dan perkawinan beda
agama.
1. Ijtihad NU
Ijtihad menurut pakar us}u>l al-fiqh adalah pengerahan segenap
kemampuan seorang Mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan
tentang hukum-hukum shara‘ dengan cara istinba>t}}.55
Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang menjadi sorotan penting
dalam melakukan ijtihad:
a. Pengerahan segenap kemampuan, maksudnya ijtihad bukanlah usaha ala
kadarnya, melainkan usaha yang melibatkan semua elemen mulai dari
jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu sampai biaya.
b. Adanya seorang Mujtahid, maksudnya bahwa ijtihad hanya mungkin
dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu,
sehingga mencapai level Mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.
c. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘, maksudnya capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut
tingkah laku manusia dalam kaitanya dengan pengamalan ajaran agama.
54Noeng Mouhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta, 1990), 109 55‘Abdul Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi> Us}ul al-Fiqh, (al-Qa>hirah: Da>r al-Tawzi>’
wa al-Nashr al-Islmiyyah, 1992), 399
22
d. Dengan cara istinba>t}}, maksudnya ijtihad harus dengan cara mengakaji,
dan mendalami makna suatu lafad untuk dikeluarkan atau ditetapkan
hukumnya.56
Bagi NU, kegiatan ijtihad hanyalah dapat dilakukan oleh orang-orang
yang memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, sedangkan bagi orang-orang
yang mempunyai ilmu agama yang mendalam, tetapi tidak memenuhi
persyaratan Mujtahid, lebih baik taqli>d kepada ulama yang telah memiliki
kemampuan berijtihad, karena telah memenuhi persyaratanya. Taqli>d tidak
hanya sekedar mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya,
melainkan juga mengikuti kerangka berfikir atau jalan pikiran imam mazhab
dalam menggali hukum. Jadi sistem yang digunakan adalah taqli>d bermazhab,
maksudnya NU dalam menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bah}th al-Masa>’il
tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak dilakukan oleh
Mujtahidi>n terdahulu, melainkan istilah istinba>t}} (penggalian dan penetapan)
hukum dengan pendekatan madhhabi>. Maksudnya kegiatan istinba>t}} (penggalian dan penetapan) hukum hanya berorientasi pada mazhab-mazhab
fikih yang dibatasi pada fikih empat mazhab.57 2. Maqa>s}id al-Shari>‘ah
Allah menurunkan syari’at di muka bumi ini tidaklah tanpa tujuan dan
tanpa maksud begitu saja, melainkan syari’at diciptakan dengan tujuan dan
maksud tertentu. Jika dianalisis, semua perintah dan larangan baik yang
terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Nabi, yang diasumsikan ada
keterkaitan dengan hukum memberikan kesimpulan bahwa semuanya
mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai
hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia dengan cara
mewujudkan kemaslahatan hamba sekaligus untuk menghindari kerusakan,
baik di dunia maupun di akhirat.58
Tujuan syari’at atau maqa>s}id al-shari>‘ah berintikan mewujudkan
kemaslahatan, baik dengan cara menarik manfaat (jalb al-mana>fi‘) maupun
mencegah kerusakan (dar’u al-mafa>sid). Kemaslahatan akan terwujud jika
lima unsur pokok (us}u>l al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima
unsur pokok tersebut adalah al-di>n (agama), al-nafs (jiwa), al-‘aql (akal), al-nasl (keturunan), dan al-mal> (harta).59
56Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,
97-98 57Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,
117 58Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah: Surat al-Nisa’ ayat 165, surat
al-Anbiya’ ayat 107 tentang pengutusan Rasul, surat Hud ayat 7, surat al-Dha>riya>t
ayat 56, surat al-Mulk ayat 2 tentang penciptaan. Lihat Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003.
59Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>li al-Shari>’ah, 8.
23
Kadangkala, terjadi perbenturan antara lima unsur pokok tersebut atau
tingkat kepentingannya, oleh karena itu, maslahat jika ditinjau dari segi skala
prioritas, terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; d}aru>riyya>t, h}a>jjiyya>t dan
tah}si>niyya>t. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan tingkat al-d}aru>riyya>t lebih
didahulukan dari pada kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t, dan kemaslahatan
tingkat al-h}a>jjiyya>t lebih didahukan dari pada kemaslahatan tingkat al-tah}si>niyya>t. 3. Perkawinan Beda Agama
Banyak istilah yang digunakan untuk pernikahan antara dua individu
yang memeluk agama berbeda, diantaranya interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage. Dalam bahasa
Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita
yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain.
Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan
wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa
antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya
berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama
atau kepercayaan.60
G. Sistematika Penulisan
Guna memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang penelitian ini
maka, penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan urutan sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang didalamnya memuat latar
belakang masalah yang menjelaskan betapa pentingya penelitian ini,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka,
tujuan dan signifikansi penelitian, metodologi yang memuat tentang metode
pengumpulan data, metode pembahasan dan pendekatan, dan metode
penulisan, kemudian yang terakhir sistematika penulisan.
Bab kedua, menjelaskan tentang metodologi pemikiran hukum Islam,
yang meliputi aliran Ahl al-Ra’yi vs Ahl al-H{adi>th, metodologi ijtihad aliran
tradisionalisme, metodologi ijtihad aliran modernisme, serta kedudukan
maqa>s}id al-shari>‘ah dalam metode ijtihad
Bab ketiga, menjelaskan tentang tradisi ijtihad Nahdlatul Ulama dan
perkawinan beda agama, yang akan meliputi meliputi ijtihad dalam
pandangan NU, Bah}th al-Masa>’il fiqhiyyah NU: antara idea dan fakta, serta
problem metodologis ijtihad NU, landasan hukum tentang perkawinan beda
agama.
60Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama: Perbandingan Beberapa Negara, 12
24
Bab keempat, menjelaskan tentang tinjauan maqa>s}id al-shari>‘ah
terhadap keputusan NU tentang perkawinan beda agama yang meliputi ijtihad
NU tentang perkawinan beda agama, implementasi maqa>s}id al-shari>‘ah
terhadap perkawinan beda agama dilihat dari sisi h}ifz} al-di>n dan h}ifz} al-nasl. Bab kelima, penutup yang akan menjelaskan kesimpulan dan saran.