bab ii landasan teoritis tentang pondok pesantren …repository.uinbanten.ac.id/225/2/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORITIS
TENTANG PONDOK PESANTREN DAN
PEMBENTUKAN MORALITAS SANTRI
A. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang
terbuat dari bambu. Pondok mungkin berasal dari bahasa arab
“Funduq” yang berarti “Hotel atau Asrama”. Pondok memang tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari asalnya.
Merupakan tempat tinggal kiai bersama santrinya dan bekerja sama
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.1
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe
dan akhiran n yang berarti tempat tinggal santri. Pesantren juga disebut
perguruan pengajian islam. Dengan nada yang sama Soegarda
Poerbakawatja menjelaskan pesantren asal katanya adalah santri, yaitu
seorang yang belajar agama islam, sehingga dengan demikian,
pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar
agama islam. Manfred Ziemek juga menyebutkan bahwa asal etimologi
dari pesantren adalah pesantrian berarti “ tempat santri”. santri atau
murid (umumnya sangat berbeda-beda ) mendapat pelajaran dari
pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz)
1 Abuddin Nata, Azyumardi Azra, sejarah pertumbuhan dan perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan islam di Indonesia (Jakarta : PT Grasindo,2001) hal. 89
12
Prof. Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti guru mengaji. Adapun C.C Berg. Berpendapat
bahwa istilah tersebut berasal dari shastri yang dalam bahasa India,
orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana
ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari shastra yang
berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan. Adanya kaitan antara istilah santri yang digunakan
setelah datangnya agama islam, dengan istilah yang digunakan sebelum
datangnya islam ke Indonesia bisa saja terjadi.2
Jadi pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran islam dimana di dalamnya terjadi interaksi aktif antara kyai
atau ustadz sebagai murid dengan mengambil tempat di
masjid/mushalla atau beranda masjid/mushalla, ruang kelas, atau emper
asrama, (pondok) untuk mengaji dan membahas buku-buku teks
keagamaan karya ulama masa lalu. 3
2. Karakteristik Pendidikan Pesantren
Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren, maka
dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem
pendidikan sebagai berikut:
a. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya
hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata
pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama
yang dikaji di pesantren ialah Al-Quran dengan tajwidnya dan
2 Haidar Putra Daulay, sejarah pertumbuhan dan pembaruan pendidikan
islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana prenada media group,2007) hal. 61 3 Mahmud, Model pembelajaran di Pesantren ( Jakarta: Media Nusantara,
2006) hal. 1
13
tafsirnya, aqa‟id, dan ilmu kala,fiqh, dan usul fiqh, hadis dengan
musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu,
sharaf, bayan, ma‟ani, badi‟ dan arudh, tarikh, mantik dan tasawuf.
Kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalm
abad pertengahan, yaitu antara abad ke-12 sampai dengan abad ke-15
atau lazim disebut dengan kitab kuning.
Metode yang lazim dipergunakan dalam pendidika pesantren
ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Menurut Imran Arifin dalam
bukunya “ kepemimpinan kyai”, metode wetonan adalah kyai membaca
suatu kitab yang sama, kemudian semua santri membaca kitab yang
sama, kemudian santri mendengarkan dan menyimak tentang bacaan
kyai tersebbut.4Metode sorogan adalah kegiatan pembelajaran santri
yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
perseorangan (individu), di bawa bimbingan seorang ustadz atau kyai.5
b. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam
lembaga-lambaga pendidikan yang memakai system klasikal.
Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri di tandai dengan tamat dan
bergantian kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah
menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus imtihan (ujian)
yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi jenjang
pendidikan tidak di tandai dengan naiknya kelas seperti dalam
4 Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam ( Jakarta:
Ciputat Pers, 2006), hal. 154 5 Mahmud, Model-model pembelajaran di pesantren ( Jakarta: Media
Nusantara, 2006), hal 51
14
pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitanya telah
ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
c. Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan,
tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi
sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Sementara Azyumardi
Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama,
transmisi dan transfer ilmu Islam. Kedua,memelihara tradisisi Islam,
dan ketiga, reproduksi ulama.
d. Prinsip- prinsip Pendidikan Pesantren
Sesuai dengan fungsinya yang komperensif dan pendekatannya
yang holistic, pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dan
menjalankan pendidikannya. Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip
yang dipegang teguh pesantren: (1) theocentric (2) sukarela dan
pengabdian, (3) kearifan, (4) kesederhanaan, (5) kolektivitas, (6)
mengatur kegiatan bersama, (7) kebebasan terpemimpin,(8)
kemandidrian, (9) pesantren adalah tempat mencari ilmu dan
mengabdi,(10) mengamalkan ajaran agama, (11) belajar di pesantren
bukan untuk mencari izajah, (12) restu kiai, semua perbuatan yang
dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada
kerelaan dan do’a hari kita.
e. Sarana dan Tujuan Pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri
khas kesederhanaan sejak lingkungan atau kompleks pesantren sangat
sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah
total dan pesantren yang mempunyai gedung yang megah.
15
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai
rasul, yaitu yang menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian
Nabi Muhamad Saw (mengikuti sunahnya) mampu berdiri sendiri,
bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan islam dan kejayaan umat islam ditengah-tengah
masyarakat, dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian Indonesia.
f. Kehidupan Kyai dan Santri
Pesantren adalah sebuah kehidupan yang unik sebagaimana
dapat dilihat dari penampilan lahiriahnya. Pesantren adalah kompleks
dengan lokasi yang biasanya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam
kompleks itu berdiri beberapa rumah kiai atau pengasuh pesantren,
masjid sebagai tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan
santri tempat pengajaran diberikan, dan tempat penginapan santri
(bilik). Menurut Zamakhsyari Dhofier, baik pesantren khalafi maupun
salafi, kecuali pondok Gontor, tetap mempertahankan unsur-unsur
tradisional, yaitu pondok, masjid pengajaran kitab-kitab islam klasik,
santri, dan kiai.6
3. Peranan Pondok Pesantren
Dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia dan
termasuk kehidupan politik, pondok pesantren memiliki peranan yang
sangat penting dalm mengembangkan kehidupan di wilayah Indonesia.
Bentuk peranan-peranan itu antara lain:
6 Mahmud, ibid hal 117
16
a. Peran Intrumental
Upaya pendidiakn secara nasional tak pelak lagi memerlukan
sarana-sarana sebagai media untuk mengejawantahkan tujuan-
tujuannya. Sarana-sarana itu selain dibentuk secara formal juga
nonformal murni swadaya dari masyrakat. Dalam tataran inilah peranan
pondok pesantren sebagai alat pendidikan nasional tampak sangat
partisipatif. Peranan instrumental pondok pesantren demikian itu dalam
kenyataannya memang cukup kuat meskipun perkembangannya sampai
dewasa ini masih sangat dibutuhkan lebih serius.
b. Peranan keagamaan
Dalam pelaksanaannya, pondok pesantren melaksanakan proses
pembinaan pengetahuan, sikap dan kecakapan yang menyangkut segi
keagamaan. Tujuan intinya adalah mengusahakan terbentuknya
manusia berbudi luhur dengan pengamalan keagamaan yang konsisten.
Pendidikan nasional sendiri bertujuan antara lain menciptakan manusia
bertakwa. Untuk kepentingan ini, pendidikan agama dikembangkan
secara terpadu baik melalui sekolah umum maupun madrasah. Pondok
pesantren juga menyelenggarakan pembinaan terhadap mental dan
sikap para santri untuk hidup mandiri meningkatkan keterampilan dan
berjiwa entrepreneurship karena didalam pondok pesantren mereka
hidup bersama dan masing-masing memiliki kewajiban dan hak yang
saling mereka juga dan hormati.7
7 Iskandar Engku, Siti Jubaidah, Sejarah Pendidikan Islami (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Offset, 2014) hal. 176-177
17
B. Pembentukan Moralitas Santri
1. Pengertian moralitas
Dari etomologis perkataan moral berasal dari bahasa latin
“mores” yang berasal dari suku kata “mos”. Mores berarti adat istiadat,
kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang kemudian artinya berkembang
menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, susila.
Moralitas berarti yang mengenai kesusilaan (kesopanan, sopan santun,
keadaban) orang yang susila adalah orang yang baik budi bahasanya.
Di dalam kamus bahasa Indonesia bahwa moral adalah penentuan baik
buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Menurut W.J.S. Poerdaminta moral merupakan ajaran tentang
baik buruknya perbuatan dan kelakuan. Dalam masyarakat Indonesia
moral yang domaksud adalah moral pancasila, termasuk didalamnya
nilai-nilai UUD 1945. Perkembangan moral manusia secara individu
melalui beberapa tahap seperti :
a. Orientasi penghukuman dan kepatuhan
b. Orientasi nisbi instrumental
c. Orientasi kesejajaran interpersonal
d. Orientasi pemeliharaan otorisasi dan tata kemasyarakatan
e. Orintasi persetujuan masyarakat secara legal
f. Orientasi asas-asas etika universal8
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menentukan batas-batas dan sifat, perangai,
kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan
benar, salah, baik, atau buruk.
8 Hamid Darmadi, Dasar konsep pendidikan moral ( Bandung: Alvabeta,
2012), hal 50
18
Selanjutnya pengertian moral di jumpai pula dalam the
Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku ini
dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut:
1) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik,
dan buruk;
2) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan
salah;
3) Ajaran Atau gambaran tingkah laku yang baik.9
Moralitas dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun,
secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk
membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan
tersebut. Dalam definisi ini, individu yang matang secara moral tidak
membiarkan masyarakat untuk mendikte mereka karena mereka tidak
mengharapkan hadiah atau hukuman yang berwujud ketika memenuhi
atau memenuhi standar moral. Mereka mengiternalisasi prinsip moral
yang mereka pelajari dan memenuhi gagasannya, walaupun tidak ada
tokoh otoritas yang hadir untuk menyaksikan atau mendorong mereka.
Moralitas memiliki tiga komponen, yaitu komponen afektif atau
emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti perasaan bersalah
atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya)
yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan
tindakan moral. Komponen kognitif yang merupakan pusat dimana
seseorang melakukan konseptualisasi benar dan salah dan membuat
keputusan tentang bagaimana seseorang berprilaku ketika mengalami
godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya.
9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta : Rajawali pers, 2012) hal. 92
19
Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai
jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam
mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang
tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Hadis menyatakan:
Artinya: Dari ibnu Umar r.a., ia berkata bahwa Rasullah Saw.
Bersabda: Malu itu pertanda dari iman. (HR. Bukhari dan
muslim)
Malu dikatakan sebagai bagian dari iman karena rasa malu
dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan
pikiran yang ditunjukan seseorang ketika memutuskan berbagai
tindakan yang benar atau yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah
mengilhamkan kedalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan
dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang
ia akan tempuh. Firman Allah SWT :
Artinya: … dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan
merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-10)10
10
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya ( Jakarta : Adhawul
Bayan: CV Dua Sehat, 2012), hal 595
20
Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik
ini menentukan apakah ia menjadi orang yang baik atau tidak.
Komponen prilaku moralitas (moral behavior) merupakan
tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam
situasi dimana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan
memilih melakukan jalan yang benar sesuai menempuh jalan yang
mendekati lagi sukar. Sebagaimana Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan.
Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS Al-
Balad [90]: (10-11)11
Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan pilihan
bagi umat Islam, meskipun sulit.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dipahami bahwa moral
adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap
aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan)baik, atau buruk,benar atau
salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut
bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut
tingkah lakunya baik.12
2. Perkembangan Moral
Hasil penelitian Piaget mengungkapkan bahwa pada tahap
oprasional konkret (8-12 tahun), anak sudah dapat memahami dan
11
Ibid, hal 194 12
Aliah B.Purwakania Hasan, psikologi perkembangan islam (Bandung : PT
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 262
21
menghargai aturan-aturan. Mereka sudah dapat membedakan antara
perbuatan yang baik dan perbuatan yang jelek, serta akibat-akibatnya.
Selanjutnya Elkin menegaskan bahwa seiring dengan perkembangan
kognitif, remaja mulai mengenal sifat egosentrisme yang merupakan
titik awal mendamaikan struktur kognitif dan dinamika kepribadian.
Istilah egosentrisme sering salah dipahami. Egosentrisme tidaklah
sinonim tidak mengutamakan diri sendiri (self isness) atau
mementingkan diri seendiri (self-centeredness) tetapi lebih mengacu
kepada karakteristik universal yang memusat pada pandangan individu,
dan ketidakmampuan untuk memahami pandangan lain ( the universal
characteristic of being centered on an individual point of view and
unable to see the views of others). Segala sesuatu dilihat atau di pahami
sebagaimana anak melihat atau memahaminya, dan mereka sama sekali
tidak mampu memandang atau memahami, sebagaimana orang lain
memandang atau memahaminya.
Kolhberg, ahli psikologi perkembangan moral dan tokoh
pengembangan teori Piaget, mengidentifikasi isu dilemma moral
remaja yang dapat menimbulkan konflik, termasuk hukuman, property,
afiliasi, otoritas, karakter atau watak, norma atau aturan-aturan,
kesepakatan (contrac), kebenaran, kebebasan, kehidupan dan seks.
Sebagai contoh, jika seorang remaja pada posisi dilema antara otoritas
dan afiliasi, maka remaja dapat menggunakan pemikiran moral untuk
mengambil keputusan, termasuk mengikuti standar moral, konskuensi,
kewajaran, dan kesadaran moral dengan perspektif sosial untuk
22
mendukung pilihan itu. Tahap- tahap perkembangan moral kolbergh
tampak dalam tabel 1.1 berikut ini.13
Tabel 2.1
Teori Enam Tahap Perkembangan Pertimbangan Moral
Versi Kolbergh 14
Tingkat Tahap Konsep Moral
Tingkat I Moralitas
Prekonvensional
(usia 4-10 tahun)
Tahap 1:
memperhatikan
ketaatan dan hukum
Tahap 2:
memperhatikan
pemuas kebutuhan
1. Anak menentukan
keburukan berdasarkan
tingkat hukuman akibat
keburukan tersebut;
2. Prilaku baik dihubungkan
dengan penghindaran diri
dari hukuman.
Prilaku baik dihubungkan
dengan pemuasan keinginan
dan kebutuhan sendiri tanpa
mempertimbangkan
kebutuhan orang lain;
Tingkat II Moralitas
konvensional
(usia 10-13 tahun)
Tahap
3:Memperhatikan
1. Anak dan remaja
berprilaku sesuai dengan
aturan dan patokan moral
agar memperoleh
persetujuan orang
13
Syamsul Bachri Thalib, psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris
Aplikatif ( Jakarta:Kencana,2010) hal 14
Muhibbin Syah, psikologi Belajar (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hal. 41-
42
23
citra”anak baik”
Tahap 4:
memperhatikan
hukum dan
peraturan
dewasa, bukan untuk
menghindari hukuman;
2. Perbuatan baik dan buruk
dinilai berdasarkan
dengan tujuannya. Jadi,
ada perkembangan
kesadaran terhadap
perlunya aturan.
1. Anak dan remaja
memiliki sikap pasti
terhadap wewenang dan
peraturan ;
2. Hukum harus ditaati oleh
semua orang.
Tingkat III Moralitas
Pascakonvensional
(usia 13 tahun ke
atas)
Tahap 5:
memperhatikan hak
perseorangan
1. Remaja dan dewasa
mengartikan prilaku baik
sebagai hak pribadi sesuai
dengan aturan dan
patokan social;
2. Perubahan hukuman dan
aturan dapat diterima jika
diperlukan untuk
mencapai hal-hal yang
paling baik;
3. Pelanggaran hukum dan
aturan dapat terjadi
24
Tahap 6:
memperhatikan
prinsip-prinsip etika
karena alasan-alasan
tertentu.
1. Keputusan mengenai
prilaku-prilaku social
berdasarkan atas prinsip-
prinsip moral pribadi
yang bersumber dari
hukum universal yang
selaras dengan kebaikan
umum dan kepentingan
oranglain.
2. Keyakinan terhadap
moral pribadi dan nilai-
nilai tetap melekat
meskipun sewaktu-waktu
berlawanan dengan
hukum yang dibuat untuk
mengekalkan aturan
social. Contoh seorang
suami yang istrinya
sedang sakit keras dan ia
tidak punya uang boleh
jadi akan mencuri obat
atau mencuri uang untuk
membeli obat untuk
menyalamatkan nyawa
25
istrinya itu. Ia yakin
bahwa di satu sisi tidakan
mencuri merupakan
keharusan, sedang disisi
lain melestarikan
kehidupan manusia itu
merupakan kewajiban
moral yang lebih tinggi
daripada mencuri itu
sendiri.
Adapun tahap –tahap perkembangan moral menurut Kolhberg
yang disarikan oleh Hardiman (1987) sebagai berikut:
a. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini seorang sangat tanggap terhadap aturan-
aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan
baik atau buruk ini dalam rangka maksimilasi kenikmatan atau akibat-
akibat dari tindakannya. Kecendrungan utamnya dalam interaksi
dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai atau
maksimalisasi kenikmatan.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai
seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri,
karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Maka itu,
kecendrungan orang pada tahap ini adalah menyesuiakan diri dengan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap
26
kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat ini perasaan dominan adalah
malu.
c. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subyek hukum dengan
mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum
sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan
kesejahtraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat
manusia, hukum dapat dirumuskan kembali perasaan yang muncul pada
tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan
moral adalah hati nurani.15
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan
karakter, akhlak, moral, budi pekerti dan etika manusia
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi moral manusia.
Dari sekian banyak faktor tersebut para ahli menggolongkannya
kedalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. 16
1. Faktor intern
Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini,
diantaranya adalah:
a. Insting atau naluri
Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan
perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir lebih
dahulu kea rah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu.
Setiap perbuatan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakan
oleh naluri (nsting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir
15
Asri Budiningsih, pembelajaran moral ( Jakarta: Rineka Cipta,2013) hal.
30 16
Heri Gunawan, pendidikan Karakter (Bandung: Alfabeta, 2012) hal.19-22
27
yang merupakan suatu pembawaan yang asli. Para ahli psikolog
membagi insting manusia sebagia pendorong tingkah laku kedalam
beberapa bagian diantaranya naluri makan, naluri berjodoh naluri
kebapak-an, naluri berjuang dan naluri ber-Tuhan.
Pengaruh naluri pada diri seseorang sangat tergantung pada
penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan manusia pada kehinaan
(degredasi), tetapi dapat juga mengankat kepada derajat yang tinggi
(mulia), jika naluri disalurkan kepada hal yang baik dengan tuntunan
kebenaran.
b. Adat atau kebiasaan
Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah
kebiasaan, karena sikap dan prilaku yang menjadi akhlak (karakter)
sangat erat sekali dengan kebiasaan, yang dimaksud dengan kebiasaan
adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk
dikerjakan. Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang sangat
penting dalam membentuk dan membina akhlak (karakter).
Sehubungan kebiasaan merupakan merupakan perbuatan yang diulang-
ulang sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya menusia
memaksakan diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga
mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan diri untuk
mengualang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan
dan terbentuklah akhlak (karakter).
c. Kehendak/kemauan (iradah)
Kemauan ialah kemauan untuk melangsungkan segala ide
dan segala yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan
dan kesukaran-kesukaran, namun sekali-kali namun sekali-kali tidak
mau tunduk kepada rintangn-rintangan tersebut. Salah satu kekuatan
28
yang berlindung dibalik tingkah laku adalah kehendak atau kemauan
keras. Itulah yang menggerakan dan merupakan kekuatan yang
mendorong manusia dengan sunggu-sungguh untuk berprilaku
(berakhlak), sebab dari kehendak itulah menjelma suatu niat yang baik
dan buruk dan tanpa kemauan pula semua ide, keyakinan kepercayaan
pengetahuan menjadi pasif tak kana ada artinya atau pengaruhnya bagi
kehidupan.
d. Suara Batin atau Suara hati
Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang
sewaktu-waktu memberikan pringatan (isyarat) jika tingkah laku
manusia berada diambang bahaya dan keburukan, kekuatan tersebut
adalah suara batin atau suara hati (dlamir). Suara btin berfungsi
memperingatkan bahaya perbuatan buruk dan berusaha untuk
mencegahnya, disamping dorongan untuk melakukan perbuatan baik.
Suara hati dapat terus didika dan dituntut akan menaiki jenjang
kekuatan rohani.
e. Keturunan
Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi
perbuatan manusia. Dalam kehidupan kita dapat melihat anak-anak
yang berprilaku menyerupai orang tuanya bahkan nenek moyangnya,
sekalipun sudah jauh. Sifat yang diturunkan itu pada garis besarnya ada
dua macam yaitu:
1. Sifat jasmaniyah, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan
urat sarap orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.
2. Sifat ruhaniyah, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat
diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi
prilaku anak cucunya.
29
2. Faktor Ekstern
Selain faktor intern (yang bersifat dalam ) yang dapat
mempengaruhi moral manusia, juga terdapat faktor ekstern (yang
bersifat luar) diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk
mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta
memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana metinya.17
Pendidikan moral (moral education) digunakan untuk
mengajarkan etika dan cendrung pada penyamaian nilai benar atau
salah. Mengingat basis moral pada umumnya mengacu pada moral
agama, masalah mendasar dari pendidikan moral adalah karena ajaran
agama bersifat subjektif mengikat kepada yang meyakininya.18
Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan moral, seorang sehingga baik dan buruknya akhlak
seseorang sangat tergantung pada pendidikan. Pendidikan ikut
mematangkan kepribadian manusia sehingga tingkah lakunya sesuai
dengan pendidikan yang telah diterima oleh seseorang baik pendidikan
formal, informal maupun non formal.
1) Lingkungan
Lingkungan (milie) adalah suatu yang melingkungi suatu
tubuh yang hidup, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara dan
peraulan manusia lainnya atau juga dengan alam sekitar. Itulah
sebabnya manusia harus bergaul dan dalam pergaulan itu saling
17
Heri Jauhari Muchtar, fikih Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), hal. 12 18
Lanny Octavia dkk, pendidikan Karakter Berbasis Tradisi esantren
(Jakarta : Rumah Kitab, 2014), hal. 15
30
mempengaruhi pikiran, sifat dan tingkah laku . Adapun lingkungan
kebagi ke dalam dua bagian.
a) Lingkungan yang bersifat kebendaan
Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang
mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan
alam ini dapat mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat
yang dibawa seseorang.
b) Lingkungan Pergaulan yang bersifat kerohanian
Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara
langsung atau tidak langsung dapat membentuk kepribadian menjadi
baik, begitu pula sebaliknya seseorang yang hidup dalam lingkungan
kurangnya mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka
setidaknya dia akan terpengaruh lingkungan tersebut.
D. Santri
1. Pengertian Santri
Menurut Nurcholish Madjid ada dua pendapat tentang
santri. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari
kata sastri, sebuah kata dari bahasa sanskerta yang artinya melek huruf.
Kedua yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal
dari bahasa jawa dari kata cantrik, berarti seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap. Zamakhsyari
Dhofer berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama, atau secara umum dapat
31
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan.19
Dengan demikian santri adalah mereka yang berasal di
pondok pesantren dan mereka yang menjalankan ajaran-ajaran islam
yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan hadits.
2. Macam-macam Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren,
biasanya terdiri dari dua kelompok yaitu:
a. Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh
menetap dalam pondok pesantren.
b. Santri kalong yaitu santri-santri yang berasal dari daerah-
daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap
dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing
setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.20
3. Teknik Mengorganisir Santri
a. Keterampilan Mengorganisir Santri
Santri sebagai bagian dari komponen utama pesantren
tentunya memegang peranan penting dalam keberlangsungan
pendidikan pesantren. Mengingat varian latar belakang heterogenitas
santri, dari segi kultur, sosial ekonomi dan pendidikan, serta
membaurnya pengasramaan santri tanpa membedakan usia, maka
diperlukan system pengorganisasian khusus untuk santri.
19
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim, Pendidikan
Islam (Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer) (Malang: UIN-Malang
Press,2009) hal. 83-84 20
Enung K Rukiati, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004) hal. 105
32
b. Sistem Pengorganisasian Santri
Meski pengorganisasian santri pada awalnya muncul
inisiatif santri, tapi ada baiknya kalau hal tersebut menjadi kebijakan
pesantren. Sebab, dalam banyak kasus, pengorganisasian santri yang
dilakukan atas insiatif santri sendiri seringkali menimbulkan konflik
atau “blok-blokan” dan persaingan tidak sehat antar organisasi santri.
c. Tertib Administrasi
Administrasi santri umumnya menyangkut penerimaan
santri, santri bermasalah, dan santri pindahan, kedisiplinan, kesulitan
belajar, evaluasi, serta bimbingan dan penyuluhan.21
E. Kerangka Berpikir
Aspek moral, akhlak mulia dan kehidupan sehari-hari harus
menjadi perhatian kita agar segala perbuatan dan tingkah laku kita
menjadi baik. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh- tokoh nasional
yang berpengaruh di negeri ini, tetapi juga di akui telah berhasil
membentuk watak tersendiri, dimana bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama islam ini dikenal bangsa yang akomodatif dan penuh dengan
tenggang rasa. Moralpun sangat penting yang harus di miliki oleh
setiap insan karena gerak gerik dan perbuatan manusia itu harus
mempunyai nilai yang tinggi dimata Allah maupun di mata manusia.
Terutama bagi remaja yang masih mencari jati dirinya harus di bina
karena pada masa remaja masih labil dalam berpikir dan tanpa berpikir
panjang lagi dalam bertindak.
21
Amin Haedari, Ishom El-Saha, Pesantren dan Madrasah
Diniyah(Jakarta:Diva Pustaka,2004) hal.43-50
33
Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan
yang dijadikan rujukan cara berprilaku lahiriah dan rohaniah manusia
muslim ialah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama islam
sebagai wahyu Allah, yang diturunkan kepada utusannya yaitu nabi
Muhamad SAW.
Nilai dan moralitas islami adalah bersifat menyeluruh, bulat,
terpadu, dan terpecah –pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama
lain berdiri sendiri. Suatu bulatan nilai dan moralitas itu mengandung
aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif ( menjadi landasan amal
perbuatan.
System moral islam itu menurut Sayyid Abul „Ala Al-Maududi,
adalah memiliki ciri-ciri yang sempurna, berbeda dengan system moral
non islam.22
Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yang dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup muslim. Dan keridaan
Allah ini menjadi sumber moral yang tinggi dan menjadi jalan
bagi evolusi moral kemanusiaan. Sikap mencari keridaan allah
memberikan sanksi moral untuk mencintai dan takut kepada
Allah yang pada gilirannya mendorong manusia untuk menaati
hukum moral tanpa paksaan dari luar.
2. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakan ditasa
moral islami sehingga moralitas islami berkuasa penuh atas
semua urusan kehidupan manusia, sedang bahwa nafsu dan
22
Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan islam (Jakarta :Bumi Aksara,2012)
hal. 130
34
vested interest picik tidak diberi kesempatan menguasai
kehidupan manusia.
3. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan
yang didasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari
kejahatan. Ia memerintahkan perbuatan yang makruf dan
menjauhi kemungkaran, bahkan manusia di tuntut agar
menegakan keadilan dan menumpas kejahatan dan segala
bentuknya. Kebajikan harus di menangkan atas kejahatan.
Getaran hati nurani harus dapat mengalahkan prilaku jahat dan
nafsu rendah.
Pendapat di atas didasarkan berdasarkan firman Allah SWT :
Artinya:“orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukannya
bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar, dan kepada Allah lah kembali semua urusan .“ (
QS. Al-Hajj: 41).23
Santri Al-Hasanah yang merupakan terdiri dari anak remaja dan
dewasa, akan tetapi kebanyakan santri Al-Hasanah kebanyakan dari
kalangan remaja, di usia remaja yang mana dalam mendidik yang mana
dalam mendidik santri pada usia ini biasanya agak lebih sulit
dibandingkan dengan santri yang usianya pada tingkat usia dewasa.
23
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya ( Jakarta: Adhwul
bayan: cv. Dua Sehati )hal.338
35
Dengan demikian dalam mendidik santri pada usia remaja harus secara
perlahan-lahan.
Pondok pesantren merupakan wadah bagi para santri dalam
membentuk moralnya yang kurang baik dari sebelum ia menjadi
seorang santri. Karena di pondok pesantren diajarkan berbagai ilmu
baik muamalahnya ataupun sosialnya. Terutama dalam pendidikan
moral santri diutamakan.
Berdasarkan kerangka pemikiran itulah diduganya terdapat
adanya pengaruh yang signifikan antara pondok pesantren terhadap
pembentukan moralitas santri. Adapun pengaruh kedua variabel
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.1 kerangka Berpikir
PENGARUH
Pondok Pesantre
(Variabel X)
Idikator:
1. 1. Materi pelajaran dan Metode
Pengajaran
2. 2. Jenjang Pendidikan
3. 3. Prinsip-prinsip pendidikan
pesantren
4. sarana dan tujuan
pesantren
5.
Moralitas Santri
(Variabel Y)
Indikator:
1. Berkelakuan baik
2. Menerapkan dalam
kehidupan
3. Taat pada perintah
agama
RESPONDEN
36
D. Hipotesi Penelitian
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat
sementara dan bersifat teoritis dalam permasalahan penelitian.
Dengan demikian, hipotesis yang dilakukan dan diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan dari pondok
pesantren terhadap pembentukan moralitas santri
2. Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifiakan dari
pondok pesantren terhadap pembentukan moralitas
santri