berguru tauhid pada kyai semar

Download Berguru Tauhid Pada Kyai Semar

If you can't read please download the document

Upload: khoirul-anwar

Post on 19-Jun-2015

1.303 views

Category:

Documents


37 download

TRANSCRIPT

Berguru Tauhid pada Kyai Semar

Judul buku dalam Panakawan. Penulis Penerbit Cetakan Tebal

:Tasawuf Semar Hingga Bagong, Simbol, Makna dan Ajaran : : : : Muhammad Zaairul Haq. Kreasi Wacana, Yogyakarta. cetakan I Juni 2009. X + 198 halaman.

Makrifat

Apa yang bisa kita nikmati sekaligus diambil dari sosok wayang yang notabenenya hanya sebuah modifikasi dari kulit hewan tersebut? Jawabannya: banyak sekali tergantung dari mana kita mengambil titik koordinat dalam mengambil posisi untuk menikmati sekaligus mengapresiasi sekaligus menginterprestasikan sosok wayang yang tersaji dalam pagelaran wayang, yang dimainkan oleh dhalang dan sudah tentu diramu dengan kecerdikan, ilmu serta kreativitas sang dhalang. Diakui atau tidak dalang memegang kendali dari nilai seni dan keilmuan yang terkandung dari tutur tinular wayang tersebut. Lakon wayang akan menjadi hidup jika sang dhalang mampu membawa lakon pewayangan dengan baik dan menarik. Pada adeganadegan peperangan misalnya, ia harus mampu memiliki kemampuan sabetan. Ia harus mampu menguasai tiap gerakan wayang sesuai dengan karakter dan sikap-sikap wayang misalnya mengancam untuk berkelahi, menusuk keris, atau melepaskan anak panah. Ia juga harus mampu memainkan adegan-adegan sesuai dengan pakemnya, misalnya adegan wayang yang tengah

gembira, maka sang dhalang juga harus mampu menghadirkan ekspresi gembira. Begitu pula ketika dituntut untuk menghadirkan adegan-adegan sedih, seorang dhalang juga harus mampu untuk menghadirkan suasana yang sedih-sedih. Dengan kata lain seorang dhalang harus mampu bersikap mancolo putro mancolo putri agar penonton terbawa dan menghayati setiap lakon yang dimaikan. Keahlian sekaligus kelihaian dalang tidak berhenti di situ. Kepintaran bersikap mancolo putro mancolo putri harus didukung ilmu kebudayaan dan ketuhanan. Mengapa demikian? Karena dalam sejarah pewayangan, kisah wayang tidak berhenti pada titik nilai estetika an sich tetapi wayang merupakan media pendidikan bagi masyarakat. Seperti yang dikatakan Anderson, bahwa , wayang bagi orang jawa merupakan compelling relligius mythology, yakni yang menyatukan masyarakat jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Sedangkan Ward Keeler mengaitkan aspek-aspek pentas wayang purwa dengan konsep jati diri manusia Jawa. Cukup sering pula aspek-aspek tersebut direfleksikan ke dalam kekehidupan sosial dan kedudukan relatif sosial. Kedua ilmuan tersebut menemukan titik kesaman terhadap wayang yakni pentas wayang menyiratkan tata nilai yang menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Keadaan ideal yang wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yang digambarkan sebagai suatu masyarakat yang adil, tentram, makmur dan aman. Nilai ketuhanan, tauhid, yang tertanam diruh masyarakat Jawa memang kebanyakan berasal dari nilai kebudayaan, misalnya wayang. Peran wayang sebagai media penanaman ruh ketuhanan tak lepas dari kecerdikan Wali Songo, dalam hal ini lebih diarahkan kepada Sunan Kalijaga, yang lebih sering berdakwah dengan niali-nilai kultural. Masyarakat Jawa yang masih mengagungkan nilai-niilai kultural akan lebih menerima nilai keagamaan jika penyampaiannya itu lebih bersifat halus, sesuai psikologi masyarakat jawa yang lebih mengedepankan kehalusan budi di bandingkan jika pengajaran itu disampaikan dengan cara-cara indoktrisinisasi ekstrem. Pemahaman mengenai ketauhidan bagi masyarakat Jawa mungkin akan berbeda dengan pemahan ketauhidan dengan bangsa Timur Tengah. Hal ini dikarenakan adanya akulturasi budaya Jawa yang dulunya lebih bersifat dinamisme dan animisme dengan nilai ketuhanannya yang berasal dari Timur Tengah yang juga sudah diolah secara rasa maupun karsa oleh da'i yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sedangkan tauhid sendiri mempunyai arti yang sangat luas dan untuk memudahkan pemahaman kita mengenai ilmu ketauhidan ini, tauhid diartikan sebagai sikap peng-esaan terhadap keeksistensian Tuhan. Sifat keesaan Tuhan ini menjadi penting bagi agama Islam dan ini menjadi identitas bagi umat islam sekaigus pembeda dengan agama-agama lain. Bertauhid dalam agama islam tidak sekedar mempercayai akan adanya satu Tuhan tetapi lebih jauh, peng-esaan ini juga harus ada pe-implementasian dalam kehidupan sehari-hari. Manusia beragama setidaknya harus bisa menangkap dan meniru perilaku Tuhan, seperti sifat rahman dan rahim- Nya. Masalah ketauhidan dalam masyarakat Jawa lebih condong kearah masalah kemakrifatan,yakni memahami siapa dirinya serta siapa yang menciptakannya. Sangkan paranaing dumadi menjadi wilayah sentral yang sering menjadi kajian sekaligus menjadi tujuan manusia Jawa dalam meng-illah-kan Tuhan. Hubungan personal manusia Jawa dengan Tuhannya kayaknya lebih menarik untuk diperdalami dibanding mengkaji masalah syari'atsyariaatnya sehingga tak ayal muncullah konsep wahdatul wujud atau manunggaling kawulo lan gusti, sebuah konsep penyatuan hamba dengan Tuhannya dengan pembawa ajarannya bagi masyarakat jawa lebih diarahkan kepada Syeh Siti Jenar. Tetapi konsep yang dibawa sang Syeh ini lebih terkesan ekstrem dan banyak mendapat pertentangan dari penguasa kerajaan maupun

Wali Songo karena ajaran Beliau dipandang bisa mengacaukan konsep-konsep beragama kaum awam yang notabenenya masih dalam taraf permulaan dalam menapaki jalan ketuhanan. Dari kasus tersebut maka perlu dipikirkan bagaimana caranya agar konsep manunggaling kawula gusti tersebut bisa diterima tetapi masyarakat tidak mangalami shock dalam beragama. Wayang adalah jawabannya. Dalam cerita wayang ada lakon Bimo Suci. Dalam lakon ini diceritakan bahwa setelah Bima bersatu dengan Dewaruci dan mendapat wejangan spiritual darinya, ia segera mendirikan pertapan Argakelasa dengan gelar Bima Suci atau Bima Paksa yang mengajarkan ilmu kasampurnaan hidup. Menurut Damardjati Supadjar, serat Bimo Suci menggambarkan pertemuan eksistensi dan esensi, yang juga dikenal sebagai ngluruh sarira atau racut, mencair, dan melarut. Transformasi Bima menjadi Bima Suci atau pertemuan Bima dengan jati dirinya atau Dewaruci serupa dengan pertemuan antara Musa dan Khidir. Hasilnya adalah kesadaran kosmis, kesatuan lahir dan batin, awal akhir. Selain belajar ketauhidan dari lakon Bimo Suci masih banyak lakon-lakon maupun figur yang memancarkan nilai-nilai ketauhidan. Tokoh panakawan misalnya, tokoh yang berjumlah 4 ( Semar, Gareng, petruk dan bagong) ini dan kehadirannya lebih sering berperan sebagai pelayan bagi Pandawa dengan diaolog-dialog humornya serta divisualisakan dengan bentuk-bentuk khas, aneh dan lebih cenderung berbeda dengan bentuk wayang lainnya. Di balik penampilan yang aneh dan diaolog yang terkesan cengengesan ternyata menyimpan pitutur luhur dan ajaran moral maupun ketauhidan bagi penonton seperti yan dikatakan oleh Bedjo Tanudjaja, Dosen Universits Kristen Petra,"panakawan are typical figures in indonesia wayang, they have unique character and can do various roles, like: nanny, warior advisor, entertainer, critism, comedian, utterance about thruth and wisdom. Because they have multifunction and typical figures, punokawan can be an effective media to communicate a visual message ( punakawan adalah tokoh yang khas dalam wayang Indonesia, mereka mempunyai karekter yang unik dan bisa menjalankan berbagai macam peran seperti, pengasuh dan penasihat para ksatria,, penghibur, kritikus, pelawak bahkan penutur kebajikan dan kebenaran. Karena fungsinya yang begitu beragam dan figurnya yang khas, maka Punakawan merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan secara visual). Diantara Punakawan tersebut tokoh yang lebih menjadi tokoh utamanya adalah Semar. Semar menjadi tokoh utama dalam segala hal, baik sebagai tokoh yang berperan sebagai abdi, penasihat kenegaraan maupun spiritual. Dalam pewayangan diceritakan bahwa Semar (Bambang Ismaya yang menitis ke dalam diri Janggan Semarasanta) tinggal di Karangdempel, maksudnya Semar selalu tinggal dan menyirami hati setiap manusia yang gersang, gelisah, dan jauh dari Tuhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Semar selalu hadir dan menyantuni orang yang miskin/ kekurangan kebutuhan rohani. Selain itu ia juga diperintahkan untuk menjaga hati manusiamanusia suci agar tidak terkontaminasi oleh sifat dan nafsu Syaithaniyah. Karena itu dalam pewayangan dikatakan bahwa ia diperintahkan untuk menguasai alam sunyaruri atau alam kosong dan tidak diperkenankan menguasai manusia di alam dunia. Maksudnya dari alam kosong adalah alam yang kosong dari cahaya Ilahi yang kemudian Semar diperintahkan untuk mengisi alam kosong tersebut dengan kebutuhan-kebutuhan rohani yang berguna bagi manusia. Sosok Semar hadir untuk menegaskan mengenai arti pentingnya peran agama dalam kehidupan. Agama berperan menyadarkan manusia dan membawa mereka menuju cahaya (berupa kebenaran). Sosok Semar juga merupakan simbol al-Qur'an sebagai kalam Ilahi yang sangat penting yang di dalamnya memiliki beberapa tujuan mendasar yaitu: (1). Membersihkan akal dan menyucikaan jiwa dari segala bentuk syirik.(2). Menciptakan kemanusiaan yang adil

dan beradab.(3). Menciptakan pesatuan dan kesatuan alam, baik alam fisik dengan metafisik dan masih banyak lagi tujuan yang dibawa oleh sosok Semar dalam pentas pewayangan. Dari sosok Punakawan, baik secara fisik maupun kehidupan kesehariannya, terkandung pancaran nilai-nilai ketasawufan. Dalam Islam, aspek tasawuf dipercaya dapat membawa manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dan dalam pencapaiannya, manusia harus menempuh maqomat, yaitu; al-Taubah, al Zuhud, al Shabar, al Faqar, al wara', al Tawakkal, al Ridha, al Mahabbah, al Ma'rifah, al Fana, al Baqo, dan Ittihad. Kesemuannya ini terdapat dalam diri panakawan khususnya kyai semar. Kyai Semar setidaknya memiliki sifat: wijaya (bijaksana dalam berbakti kepada negara), mantriwira (dengan senang hati berbakti kepada negara), wicaksana maya (bijaksana dalam berbicara dan bertindak), matangwan (dikasihi dan dicintai rakyat),satya bakti prabu ( setia kepada negara dan raja), wakniwak (tidak berpura-pura), seharwan pasaman ( sabar dan sareh, tidak gugup dalam hati), dirut saha (jujur, teliti, sungguh-sungguh dan setia), tan lelana (baik budi dan mengendalikan panca indra) diwiyacita (menghilangkan kepentingan pribadi), masisi samastha buwana ( memperjuangkan kesempurnaan diri dan kesejahteran dunia). Dan masih banyak sifat Panakawan yang mengarah kepada konsep hidup ala sufi. Buku ini menjadi menarik karena tidak hanya bercerita sosok wayang yang sering ditulis oleh para pengamat seni pewayangan yang lebih megambil tokoh seperti Pandawa atau kurawa tetapi yang diangkatnya memang tokoh-tokoh wayang yang sering tampil sebagai tokoh aneh dan berperan hanya sebagai abdi bahkan hanya sebagai pelawak semata setiap pementasan wayang. Selain itu penulis juga lihai mengemasnya dalam kacamata keagamaan, yang mana sesuai dengan latar belakang penulis sebagai akademis yang bergelut bidang keagamaan. Setidaknya buku ini mempunyai kekuatan dikarenakan adanya pengupasan permasalahan baik kulit filosofis Jawanya manupun dari kulit keagamaannya. Khoirul Anwar peresensi adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus peminat budaya Jawa. alamat: mahasiswa pendidikan Kimia, Fakultas Sains daan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jlan Laksda Adi Sucipto Yogyakarta. CP: 085292861997