bab iii hutan produksi - sertifikasi guru rayon unssertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/modul...

16
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN BAB III HUTAN PRODUKSI Dr. Wahyu Surakusuma, M.Si KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017

Upload: lydung

Post on 16-Mar-2018

235 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017

MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN

TEKNIK PRODUKSI HASIL HUTAN

BAB III HUTAN PRODUKSI

Dr. Wahyu Surakusuma, M.Si

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

2017

1

BAB III. HUTAN PRODUKSI

Kompetensi Utama: Profesional

Kompetensi Inti Guru: Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran yang diampu.

Kompetensi Dasar: Memahami definisi Hutan produksi dan pengelolaannya

Hutan adalah lahan luas yang ditumbuhi berbagai pohon liar maupun budi daya.

Hutan banyak memberikan hasil berupa kayu, rotan, getah damar, getah jelutung, kemenyan,

dan sebagainya. Hutan merupakan sumber dari paru-paru dunia dan dapat dibagi menjadi

beberapa jenis misalnya dari fungsinya. Fungsi utama dari hutan adalah sebagai hutan

konservasi, hutan lindung dan juga hutan produksi. Hutan konservasi berfokus pada

perlindungan ekosistem, flora dan fauna yang ada di dalamnya dan melestarikannya agar

tidak menjadi punah. Hutan lindung berfungsi berfokus untuk melindungi dan memberikan

pengaruh yang baik terhadap lingkungan dan alam sekitar. Hutan produksi adalah kawasan

hutan yang memiliki fungsi utama untuk memproduksi hasil hutan misalnya rotan

Hutan produktif ialah suatu lahan atau areal yang sengaja dipertahankan sebagai

kawasan hutan serta digunakan untuk menghasilkan hingga memproduksi suatu hasil yang

ekonomis bagi masyarakat disekitarnya, keperluan eksport, dan keperluan industri. Namun,

penggunaan hutan ini dibatasi oleh HPH (Hak Penggunaan Hutan) dan digunakan untuk

menghasilkan kayu saja. Sehingga dengan HPH, pengelolaan hutan dapat berjalan secara baik

tanpa merusak lingkungan dan kondisi hutan tersebut. Karena, tingkat penebangan diimbangi

oleh penanaman dan pertumbuhan ulang tumbuhan.

Hutan produksi dikelompokkan menjadi 3, yaitu hutan produksi tetap (HP), Hutan

Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK):

1. Hutan Produksi Tetap (HP) merupakan hutan yang dapat dieksploitasi dengan

perlakuan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis.

2. Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan hutan yang hanya dapat dieksploitasi

dengan cara tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas ini merupakan hutan yang

dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas yang rendah. Hutan produksi

terbatas ini pada umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng-lereng yang

2

curam mempersulit kegiatan pembalakan. Sumber Belajar PLPG 2016 Halaman ke- 3

dari 15 halaman

3. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK): a) Kawasan hutan yang dipengaruhi

faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan

dengan angka penimbang mempunyai nilai 124 atau kurang di luar hutan suaka alam

dan hutan pelestarian alam. b) Kawasan hutan yang memiliki ruang dicadangkan

untuk digunakan bagi pengembangan permukiman, transmigrasi, pertanian dan

perkebunan.

Kegiatan yang diizinkan untuk Hutan Produksi adalah untuk Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Hutan alam (HPH) dan hutan tanaman (HTI). Untuk Hutan Produksi

Terbatas karena pertimbangan kelerengan maka tidak diperbolehkan melakukan tebang habis

(land clearing) untuk HTI biasanya HPT pengelolaannya dengan Tebang Pilih Tanam

Indonesia (TPTI). Sedangkan Hutan Produksi Konversi aktivitas yang dilakukan lebih kepada

penggunaan sektor non-kehutanan. Ciri-ciri hutan produksi itu sendiri adalah: dalam satu

kawasan hanya terdapat satu jenis tanaman atau pohon, contohnya hutan karet maupun hutan

jati, dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif, area yang digunakan relatif luas dikarenakan

memang untuk memenuhi kebutuhan manusia, biasanya dimiliki oleh PT yang sudah besar

atau pun pemerintah daerah setempat dan Pemanfaatan dan penggunaannya sangat diawasi .

Sebenarnya hutan produksi juga dikelompokkan lagi menjadi hutan rimba dan budidaya,

hutan rimba, hutan yang sengaja di budaya, ataupun dikelola oleh manusia dan hanya

ditanami satu jenis tanaman, namun hutan rimba tidak hanya ditanami satu jenis pohon,

namun beberapa jenis pohon di dalam satu kawasan. Jika hutan rimba, penebangannya harus

dilakukan dengan sistem tebang pilih secara hati-hati, pohon diharuskan memiliki umur yang

cukup agar yang masih kecil tidak ikut terkena imbasnya.

A. Hutan Tanaman Industri

Hutan tanaman industri atau yang disingkat HTI adalah sebidang luas daerah yang

sengaja ditanami dengan tanaman industri, yaitu tanaman berkayu dengan tipe sejenis untuk

mencapai tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi tanpa

membebani hutan alami. Pengertian HTI adalah kawasan hutan tanaman pada wilayah hutan

produksi yang sengaja dibangun oleh kelompok industri untuk peningkatan potensi dan

kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur atau budidaya dalam rangka

memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Kegiatan yang dizinkan pada HTI meliputi

3

persiapan lahan, pembuatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan hasil,

pengolahan dan pemasaran.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang hak pengusahaan hutan

tanaman industri, Hutan Tanaman Industri yang di selanjutnya disingkat menjadi HTI adalah

hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan

produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku

industri hasil hutan. Dimana dalam operasionalnya berpegangan pada hak pengusahaan HTI.

Hak pengushaan Hutan Tanaman Industri ini adalah untuk mengusahakan hutan di dalam

suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari penanaman bibit, pemeliharaan pohon,

pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran. Pengusahaan HTI bertujuan untuk menunjang

pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa

negara, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, memperluas

lapangan kerja dan lapangan usaha. Dalam pengelolaan HTI di Indonesia dipakai sistem

silvikultur. Dimana Sistem silvikultur yang diterapkan adalah sistem tebang habis dengan

penanaman kembali.

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia dilakukan dengan

bertujuan baik untuk pelestarian hutan yang non aktif agar bisa dimanfaatkan lagi bagi

kemajuan bangsa. HTI merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di mana hutan

hujan tropis primer diganti dengan hutan monokultur seperti Akasia dan ekaliptus. Perubahan

besar dalam penggunaan lahan tersebut berdampak pada kondisi lingkungan dan sosial.

Perkembangan perkebunan skala besar dapat berdampak pada meningkatnya emisi efek

rumah kaca, menghilangkan keanekaragaman hayati serta konsekuensi negatif terhadap

kondisi ekonomi masyarakat lokal, mata pencaharian dan budaya masyarakat yang

tergantung pada hutan.

Hutan tanaman industri (HTI) adalah kawasan hutan produksi yang menerapkan

budidaya kehutanan (silvikultur) secara intensif untuk memenuhi bahan baku industri

kehutanan, baik kayu maupun non kayu. Di tengah semakin langkanya hutan produksi alam,

HTI menjadi tumpuan produksi hasil hutan masa depan. Eksploitasi hasil hutan alam sejak

dekade 70-an telah menjadi sumber pemasukan negara yang signifikan. Dengan semakin

pesatnya industri kehutanan, kayu yang dipanen dari hutan alam semakin masif. Akibatnya,

hutan produksi yang kebanyakan berupa hutan alam semakin menyusut luasannya. Sejak

tahun 1990-an, hutan alam sudah tidak mungkin lagi memenuhi kebutuhan bahan baku

industri kehutanan. Oleh karena itu, pemerintah menggalakan program hutan tanaman

industri untuk memenuhi permintaan akan hasil hutan.

4

Hutan tanaman industri di atur secara khusus dalam PP No.7 tahun 1990 tentang Hak

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Hutan jenis ini dimaksudkan untuk meningkatkan

produktivitas dari hutan produksi alam yang telah rusak atau tidak produktif lagi. Pengertian

hutan tanaman industri adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi

kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.

Gambar 1.Tahapan pembangunan HTI

Hutan tanaman industri diarahkan untuk dibangun di kawasan hutan alam yang sudah

tidak produktif lagi. Menurut Kementrian Kehutanan kriteria hutan alam yang tidak produktif

dicirikan oleh tiga hal, pertama, pohon yang berdiameter kurang dari 20 cm tidak lebih dari

25 batang per hektar. Kedua, pohon induk kurang dari 10 batang per hektar. Ketiga,

kemampuan permudaan alamnya sudah menurun: semai ≤ 1000 batang/hektar, pancang ≤ 240

batang/hektar dan tiang ≤ 75 batang/hektar. Dalam pelaksanaannya, hutan tanaman industri

harus menerapkan manajemen budidaya kehutanan yang intensif. Pada awalnya, semua

pepohonan ditebang habis, kemudian dilakukan permudaan buatan. Perusahaan yang akan

membuka HTI diwajibkan mempekerjakan profesional di bidang kehutanan. Tata ruang

untuk hutan tanaman industri adalah sebagai berikut:

1. Areal tanaman pokok 70%

2. Areal tanaman unggulan 10%

3. Areal tanaman tanaman kehidupan 5%

4. Kawasan lindung 10%

5. Sarana dan pra sarana 5%

Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, telah

ditetapkan jangka waktu pengusahaan Hutan Tanaman Industri yakni 35 tahun ditambah daur

tanaman pokok dan dapat diperpanjang. Agar diperoleh keseragaman mengenai daur tanaman

5

pokok tersebut maka beberapa tahun lalu telah ditetapkan 18 jenis tanaman untuk “Hutan

Tanaman Industri” (HTI) oleh Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi. Berikut ini 9 diantaranya

dari jenis-jenis tanaman tersebut :

1. Acacia sp.

Ada dua jenis akasia yang biasa ditanam, yakni Acacia auriculiformis dan Acacia

mangium. Daur panen akasia untuk pulp 8 tahun dan 12 tahun untuk non pulp. Tanaman yang

termasuk famili Caesalpinaceae ini merupakan tumbuhan tropis yang tersebar di Australia

utara dan Irian Jaya. Tumbuhan ini tidak menuntut persyaratan khusus baik tanah maupun

iklim. Ketinggian tempat yang ideal berkisar 0 – 400 m dpl. Tinggi pohon akasia hanya

sekitar 15 meter dengan diameter batang sekitar 50 cm. Bentuk batang tidak terlalu bagus,

bercabang banyak, bertajuk lebar, dan tidak begitu rapat.

2. Ceiba petandra

Ceibia petandra atau kapuk randu termasuk famili Bombacaceae. Ia merupakan

tumbuhan tropis yang tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 350 m dpl, curah hujan

1.500-3.000 mm dengan musim kering cukup kuat. Untuk tumbuh baik, pohon ini

memerlukan tanah subur, gembur, dan bersolum tebal. Selain itu ia juga memerlukan sinar

matahari penuh sepanjang hari. Tinggi pohon bisa mencapai 20 m dengan diameter sekitar 50

cm. Bertajuk tipis dan percabangannya bertingkat. Buahnya merupakan penghasil serat kapuk

dan kayunya digunakan untuk core (bagian tengah) kayu lapis. Daur panen untuk pulp 8

tahun, dan 10 tahun untuk non pulp.

3. Cassia seamea

Cassia seamea atau johar termasuk famili Caaesalpinaceae. Tanaman ini merupakan

tumbuhan tropis yang berasal dari India, Indocina, dan Asia Tenggara. Tinggi pohon 10-15 m

dengan diameter 40-50 cm. Ia tumbuh baik pada ketinggian 1- 1.000 m dpl, menyikai tanah

berlempung yang tidak mengandung batu serta tidak tergenang air. Kayu johar termasuk

kelas awet I/II dengan berat jenis 0,85 dan bisa digunakan sebagai bahan bangunan dan

perkakas rumah tangga. Johar tidak digunakan untuk pulp, dan daur panen non pulp 25 tahun.

4. Pterocarpus indicus

Pterocarpus indicus di Indonesia dikenal dengan nama kayu merah atau angsana, dan

termasuk famili Papilionaceae. Di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, ia tumbuh tersebar di

sekitar pantai dan di dalam hutan campuran. Kayu merah tumbuh baik sampai ketinggian 500

m dpl pada tanah gembur, berpasir, maupun tanah berbatu. Tinggi tanamannya bisa mencapai

40 meter dengan diameter sekitar 1-1,5 m. Batangnya lurus, beralur dangkal dengan buku-

buku besar maupun kecil. Daunnya majemuk, berselingan, berbentuk bulat telur, dan pada

6

musim kemarau seringkali rontok. Permukaan kayu mempunyai pola yang indah. Kekuatan

dan keawetannya termasuk kelas II dengan berat jenis 0,65. Kayunya biasa digunakan antara

lain untuk membuat alat tulis, alat-alat rumah tangga, papan dinding, kayu lapis, dan bahan

bangunan lainny. Daur panennya sekitar 25 tahun.

5. Hevea sp.

Hevea sp. atau karet adalah salah satu jenis pohon yang dianjurkan dalam HTI untuk

memproduksi hasil pokok kayu dan hasil sampingan latex. Daur panennya 25 tahun. Ada 3

jenis karet yang dapat dipilih, yakni Hevea brasiliensis, H. Spruceana, dan H. Pauciflora.

Dari ketiga jenis tersebut yang paling banyak digunakan untuk HTI adalah H. Brasiliensis

dengan 10 klon terpilih. Kesepuluh klon tersebut adalah Avros 2037, BPMI, BPM 107, PR

303, RRIC100, RRIC 102, RRIC 110, TM 8, GTI, dan LCB 1320.

6. Anthocepalus cadamba

Tanaman yang di Indonesia dikenal dengan nama jabon ini termasuk keluarga Rubiaceae,

dan merupakan tumbuhan tropis yang tumbuh baik pada ketinggian 0-1.000 m dpl. Jabon

tidak terlalu menuntut persyaratan tumbuh, misalnya kesuburan dan struktur tanah. Di alam

bebas jabon banyak ditemui di sepanjang sungai dan daerah peralihan antara rawa-rawa dan

tanah kering. Di Pulau Jawa, jabon sudah dikenal sejak tahun 1931 sebagai bahan pembuat

peti dan korek api. Ketika muda pertumbuhan pohon ini cukup cepat. Pada umur 3 tahun

tinggi pohon bisa mencapai 9 m dengan diameter sekitar 11 cm. Pohon ini tidak digunakan

untuk membuat pulp. Daur panennya 15 tahun.

7. Gmelina arborea

Tanaman ini berasal dari India dan beberapa negara sekitarnya. Ia dapat tumbuh baik

pada ketinggian 90-900 m dpl. Curah hujan yang dikehendaki berkisar 760-4.500 mm/th.

Pohonnya bisa mencapai ukuran besar, tidak berduri dan bercabang banyak, hingga

membentuk tajuk besar yang rimbun. Apabila udah tua kulit batangnya akan mengelupas

berkeping-keping. Tinggi pohonnya bisa mencapai 30 m dengan bagian batang yang bebas

cabang sekitar 15 m dari permukaan tanah. Kayu Gmelina ini sangat bagus untuk dijadikan

bahan konstruksi. Di negara asalnya kayu ini dijuluki “jati putih” karena tingkat keawetannya

yang cukup tinggi. Selain untuk konstruksi kayu ini juga sering digunakan untuk pulp dan

veneer. Daur panen untuk pulp 8 tahun dan untuk keperluan lain 15 tahun.

8. Ochroma sp.

Ochroma atau kayu balsa sebenarnya terdiri dari beberapa jenis, seperti O. lagopus, O.

limonesis, O. tomentosa, O. bicolor, O. veluntina, O. boliviana, O. obusta, dan O. concolor.

Dari banyak jenis tersebut yang paling terkenal dalam dunia perdagangan adalah O. legosus,

7

karena memiliki kayu paling ringan di antara balsa yang lain. Di tempat tumbuh yang

optimum, tinggi pohon balsa bisa mencapai di atas 25 m dengan diameter batang lebih dari

80 cm. Kayu ini banyak digunakan untuk keperluan bahan pelampung, bahan isolasi

(peredam suara), peralatan olah raga, serta pulp serat pendek. Daur panen bukan untuk pulp

sekitar 12 tahun.

9. Tectona grandis

Tanaman jati ini termasuk famili Varbenaceae dan merupakan tumbuhan tropis yang tersebar

di India, Myanmar, Thailand, Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia terutama di Pulau Jawa,

jati banyak ditemukan pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Selain itu tanaman ini juga

banyak ditemukan di Pulau Muna, Buton, Maluku, dan Nusa Tenggara. Curah hujan 1.250-

2.500 mm dengan jumlah bulan kering 3-5 bulan dan tanah beraerasi baik merupakan kondisi

yang dikehendaki pohon jati. Di tempat subur tinggi pohon bisa mencapai 50 m dengan

diameter 150 cm. Kayunya termasuk keals awet I, kelas kuat II, dengan berat jenis 0,70,

sehingga cocok untuk keperluan kayu perkakas dan pertukangan. Daur panennya sekitar 45

tahun.

B. Hutan Tanaman Rakyat

Industri Kehutanan Indonesia saat itu kekurangaan pasokan bahan baku. untuk itu

pemerintah membuka peluang kepada masyarakat untuk turut mengantisipasi kekurangan

bahan baku industri kayu melalui pembangunan hutan tanaman rakyat yang melibatkan

masyarakat luas. Salah satu sasaran prioritas Departemen Kehutanan dalam rangka

peningkatan potensi dan kualitas hutan produksi yang tidak produktif serta peningkatan

pendapatan masyarkat di dalam dan sekitar hutan adalah melalui pembangunan Hutan

Tanaman Rakyat (HTR). Dengan mengedepankan prinsip keadilan, maka kepada masyarakat

akan diberikan akses untuk ikut membangun Hutan Tanaman Rakyat yaitu Hutan Tanaman

skala kecil dan menengah dalam luasan 5 - 15 Hektar per KK (Kepala Keluarga). Pemberian

akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan ini merupakan gerbang

menuju terwujudnya visi pembangunan kehutanan.

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat disusun berdasarkan proses pembelajaran

Departemen Kehutanan atas program maupun proyek Pemberdayaan Masyarakat sekitar

hutan yang selama ini diterapkan, seperti Program Bina Desa, Pengelolaan Hutan Bersama

masyarakat (PHBM), Hutan Rakyat Pola Kemitraan (HRPK), oleh HPH / IUPHHK-HA/HT,

kredit Usaha Tani Konservasi DAS (KUK-DAS), Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR),

Proyek-proyek Kerja sama Teknik Luar Negeri seperti Social Forestry Dephut-GTZ di

8

sanggau Kalimantan Barat, Multistakhoders Forestry Programme Dephut-DFID dan beberapa

Proyek Pemberdayaan Masyarakat yang ada di Departemen Kehutanan.

HTR (Hutan Tanaman Rakyat) adalah Hutan Tanaman pada hutan produksi yang

dibangun oleh perorangan atau Koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan

produksi dengan menerapkan system silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber

daya hutan. Tujuan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat adalah sebagi berikut :

1. Rehabilitasi kawasan hutan produksi yang terlantar dan atau kosong akibat kerusakan

pada beberapa tahun yang lalu.

2. Meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi tidak produktif secara optimal.

3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi dalam pengelolaan

hutan secara lestari.

4. Meningkatkan produksi kayu dalam hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan

bahan baku industri hasil hutan, dimana kebutuhan industri akan kayu pada saat ini

tidak seimbang dengan kemampuan produksi kayu (kebutuhan 63,48 juta m3/tahun,

produksi 22,8 juta m3).

5. Memeberikan lapangankerja dan usaha bagi masyarakat di sekitar hutan produksi

dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

6. Keamanan, yang terbangun dari kesadaran masyarakat di sekitarnya akan rasa

memiliki, mengelola serta memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi dan

meningkatkan kebutuhan hidupnya.

7. Membangun kebersamaan, keadilan dan keterbukaan dalam pengelolaan dan

pemanfaatan hutan secara optimal untuk menuju kelestarian dalam mendukung aspek

ekonomi, sosial dan ekologi.

Dasar Hukum mengenai hutan tanaman rakya diamanat UU No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan yang berazaskan kerakyatan dan

keadilan,adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan

berkelanjutan, antara lain dengan : a. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan

kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan

lingkungan, sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan

terhadap akibat perubahan eksternal. b. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan

berkelanjutan. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, memuat kebijakan

pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan tujuan memberikan akses yang lebih luas

kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi untuk meningkatkan upaya

9

rehabilitasi hutan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan,

meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, serta

memenuhi permintaan bahan baku industri perkayuan (aspek ekonomi, ekologi dan sosial).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan

IUPHHK-Hutan Tanaman Rakyat.

Lokasi yang telah ditetapkan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat antara lain

adalah Kawasan hutan produksi tidak produktif, tanah kosong, semak belukar, padang alang-

alang dan yang tidak dibebani Izin/hak lain. Jenis Tanaman Hutan Tanaman Rakyat dapat

dikategorikan:

1. Tanaman Hutan Berkayu :

a. Kayu Perukangan :

1) Meranti (Shorea sp)

2) Keruing (Dipterocarpus sp)

3) Jati (Tectona grandis)

4) Sengon (Paraserianthes Falcataria)

5) Sonokeling (Dalbergia latifolia)

6) Mahoni (Switenia Macrophylla)

7) Kayu Hitam (Diospyros celebica)

8) Akacia (Acacia Mangium)

9) Rajumas (Duabanga Moluccana)

10) Sungkai (Peronema Canescens)

b. Kayu Serat :

1) Eucaliptus (eucalyptus spp)

2) Akasia (Acacia Mangium)

3) Tusam (Pinus) Mercusii)

4) Gmelia (Gmelia arborea)

2. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu :

a. Karet (Hevea Brasiliensis)

b. Durian (Durio Zibethinus)

c. Nangka (Artocarpus integra)

d. Mangga (Mangiferia indica)

e. Rambutan (Nephelium Lapaceum)

f. Kemiri (Aleuritas Moluccana)

10

g. Dukuh (Lansium domesticum)

h. Pala (Myristica fragans)

11

Dalam pembangunan Hutan Tanaman Rakyat telah ditetapkan pola dalam pengembangannya

sebagai berikut :

1. HTR Pola Mandiri

Masyarakat setempat membentuk kelompok yang kemudian diajukan ke Bupati.

Pemerintah akan mengalokasikan areal dan memberikan Surat Keputusan IUPHHK-HTR

untuk setiap individu dalam kelompok, dan masing-masing ketua kelompok bertanggung

jawab atas pelaksanaan HTR serta pengajuan dan pengembalian kredit, pasar dan

pendampingan dari pemrintah atau pemerintah daerah. Setiap anggota mengingatkan anggota

kelompok lainnya untuk memenuhi kewajiban.

2. HTR Pola Kemitraan

Masyarakat setempat membentuk kelompok dan diajukan oleh Bupati ke Menteri

Kehutanan. Selanjutnya pemerintah menerbitkan SK IUPHHK-HTR kepada individu dan

menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan, pendampingan dan

pasar. Selain BUMN dan BUMS, mitra dapat dilakukan dengan industri perkayuan atau

panel, pulp dan kertas, atau model plasma inti.

3. HTR Pola Developer

BUMN atau BUMS sebagai developer membangun hutan tanaman rakyat (HTR), dan

selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-

HTR. Biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang IUPHHK-HTR

dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR

diterbitkan. Persyaratan. yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR adalah :

1. Perorangan

2. Koperasi dalam skala mikro, kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat yang

tinggal di dalam dan disekitar hutan.

3. Areal luas areal HTR paling luas 15 Ha (lima belas hektar) untuk setiap KK pemohon,

bagi koperasi luasnya disesuaikan dengan kemampuan usahanya, Letak areal harus

berada dalam satu lokasi yang telah ditetapkan Menteri.

4. IUPHHK-HTR diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) tahun. Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam hutan tanaman

hapus karena :

1. Dikembalikan oleh pemegang izin

2. Dicabut oleh pemberi izin

3. Berakhirnya masa berlaku izin

4. Meninggalnya pemegang izin HTR perorangan.

12

5. Kelembagaan

a. Perorangan dalam masyarakat setempat membentuk Kelompok dengan

difasilitasi oleh Penyuluh Kehutanan atau Penyuluh Pertanian di tingkat desa.

b. Setiap Kelompok harus memiliki nama kelompok, pengurus kelompok yang

jelas dan ada peraturan kelompok.

c. Peraturan Kelompok berisi antara lain kewajiban terhadap penyelenggaraan

HTR, keamanan areal, kewajiban terhadap keuangan dan kewajiban hubungan

antara kelompok di dalam atau di desa terkait.

d. Bupati, camat, dan Kepala Desa bekerjasama dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat.

6. Pembiayaan

Hutan Tanaman Rakyat dibiayai oleh Badan Usaha Pembiayaan Pembangunan

Hutan (BUPPH) yang disalurkan melalui instansi Pemerintah yang menerapkan

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU).

C. Hasil-hasil hutan Indonesia dan Pemanfaatannya

Hutan di Indonesia memiliki tumbuhan yang beraneka ragam, terutama yang berbentuk

pohon. Secara keseluruhan, di Indonesia terdapat + 40.000 jenis tumbuhan,

25.000 – 30.000jenis di antaranya adalah tumbuhan berbunga, yang merupakan 10 % dari

seluruh tumbuhan berbunga di dunia. Kekayaan hutan yang melimpah ruah tersebut

meberikan manfaat kepada penduduk Indonesiamaupun bangsa lain.

Beberapa contoh hasil hutan kayu :

1. Kayu Agathis (Agathis alba)

2. Kayu Bakau atau Mangrove (Rhizophora mucronata)

3. Kayu Bangkirai (Hopea mengerawan)

4. Kayu Benuang (Octomeles sumatrana)

5. Kayu Duabanga (Duabanga moluccana)

6. Kayu Jelutung (Dyera costulata)

7. Kayu Kapur (Dryobalanops fusca)

8. Kayu Kruing (Dipterocarpus indicus)

9. Kayu Meranti (Shorea sp)

10. Kayu Nyatoh (Palaquium javense)

11. Kayu Ramjin (Gonystylus bancanus)

12. Kayu Jati (Tectona grandis)

13

13. Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri)

14. Kayu Sengon (Albizzia chinensis) dan lain sebagainya.

Beberapa contoh Hasil Hutan Non kayu :

1. Rotan

2. Damar

3. Kapur Barus

4. Kemenyan

5. Gambir

6. Kopal

7. Kulit pohon Bakau

8. Gondorukem

9. Terpentin

10. Bambu

11. Sutra Alam

12. Minyak Kayu Putih

13. Madu

D. Pengolahan Hasil Hutan

Hal yang berkaitan dengan hasil hutan adalah kegiatan pengolahan hasil hutan, antara

lain berupa industri penggergajian kayu. Industri penggergajian kayu terdapat di Samarinda,

Balikpapan, Pontianak, dan Cepu (Jawa Tengah, untuk penggergajian kayu jati). Hasil dari

industri ini berupa kayu gelondongan (log/bulat), kayu gergajian, dan kayu lapis untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Ekspor kayu gergajian dan kayu lapis

terutama kenegara Jepang, Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Mulai

Tahun 1985 pemerintah melarang ekspor kayu gelondongan dan mengubahnya menjadi

ekspor kayu olahan, yaitu berupa kayu gergajian, kayu lapis, atau berupa barang jadi seperti

mebel. Selain kayu gelondongan, yang terkena larangan ekspor adalah rotan asalan. Tujuan

adannya larangan ekspor kayu gelondongan dan rotan asalan tersebut antara lain untuk

membatasi eksploitasi yang berlebihan terhadap dua jenis komoditas tersebut dan untuk

meningkatkan lapangan kerja di bidang industri perkayuan yang bersifat padat karya.

E. Faktor-faktor Pendorong Usaha Pengembangan Kehutanan di Indonesia

Faktor-faktor Pendorong Usaha Pengembangan Kehutanan di Indonesia di antaranya :

14

1. Wilayah Indonesia berada di daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi sepanjang

tahun, sehingga Indonesia tidak pernah mengalami musim gugur seperti negara-negara

beriklim subtropis dan sedang.

2. Keadaan tanah di Indonesia sangat subur sehingga sangat baik bagi tumbuhnya berbagai

jenis pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya.

3. Tersedianya sumber daya hutan berpotensi dan belum termanfaatkan, yang secara

geografis tersebar luas di sebagian besar wilayah Indonesia.

4. Adanaya permintaan pasar terhadap hasil hutan indonesia, baik pasar dalam maupun luar

negeri yang cenderung meningkat.

F. Faktor-Faktor Penghambat Usaha Pengembangan Kehutanan di Indonesia dan Cara

Mengatasinya

Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan bidang kehutanan sebagai berikut

:

1. Berkurangnya areal hutan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. Hutan

ditebang dan dijadikan kawasan permukiman penduduk, pertanian, dan perkebunan.

2. Masih terdapat sistem pertanian ladang berpindah, terutama diluar Jawa.

3. Terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab.

4. Terjadinya penebangan liar dan pencurian kayu di hutan yang dapat merusak hutan

dan keanekaragaman hayati.

5. Usaha reboisasi dan penghijauan yang gagal dan kuurang berhasil karena kekurangan

dana serta adanya gangguan alam, seperti musim kemarau yang panjang.

6. Pengambilan hasil hutan yang tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan

pemerintah oleh pengusaha swasta pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

7. Pengambilan kayu yang terus meningkat akibat kebutuhan kayu untuk pemukiman

dan bahan baku industri.

Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam usaha pengembangan kehutanan di

Indonesia sebagai berikut :

1. Menggunakan sumber daya hutan sebaik-baiknya untuk peningkatan volume dan nilai

ekspor, merangsang pertumbuhan industri hilir pengolahan hasil-hasil hutan serta

mempertahankan kelestarian sumber daya hutan.

2. Melakukan eksploitasi hasil hutan, terutama kayu, secara hati-hati. Perusahaan

pemegang konsesi HPH diwajibkan memenuhi ketentuan sistem Tebang Pilih

Tanaman Indonesia (TPTI).

15

3. Pemegang HPH dikenakan iuran Dana Jaminan Reboisasi yang akan dipergunakan

unruk mengutankan kembali areal bekas tebagan dan mempertahankan kondisi hutan

sesuai keadaan semula.

4. Memberikan dorongan kepada kalangan swasta agar berpartisipasi dalam

pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang di maksudkan untuk memenuhi

kebutuhan bahan baku industri.

5. Melarang penebangan hutan secara sembarangan.

Memperketat penjagaan hutan dengan mempersiapkan polisi hutan, melindungi hutan dari

pencurian kayu, dan penebangan liar.