bab ii tinjuan pustaka dan landasan teori 2.1 sistem
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Pengendalian meliputi semua metode, kebijakan dan prosedur organisasi
yang menjamin keamanan harta kekayaan organisasi, akurasi dan kelayakan data
manajemen serta standar operasi manajemen lainnya. Istilah yang biasa dipakai
untuk pengendalian intern adalah sistem pengendalian intern, sistem pengawasan
intern, dan struktur pengendalian intern.
Dalam buku Accounting Information System yang dibuat oleh (Dull,
Gelinas dan Wheeler 2012, 3), terdapat kutipan dari COSO (Committee of
Sponsoring Organitations), yang menyatakan bahwa definisi pengendalian intern
adalah:
“Internal control is a process-effected by an entity’s board of directors, management and other personnel-designed to provide reasonable assurance regarding achieving objectives in the following categories: efficiency and effectiveness of operations, reliabilityof reporting, and compliance with applicable laws and regulations.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengendalian intern adalah
suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan karyawan
yang dirancang untuk memberikan jaminan yang meyakinkan bahwa tujuan
organisasi akan dapat dicapai melalui efisiensi dan efektivitas operasi, penyajian
laporan keuangan yang dapat dipercaya, ketaatan terhadap undang-undang dan
aturan yang berlaku”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, menyatakan bahwa:
“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP
adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menteri/pimpinan lembaga,
gubernur dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Tanggung jawab ini sebagai bagian dari
tanggung jawab pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel.
Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi pada
pemikiran bahwa sistem pengendalian intern melekat sepanjang kegiatan,
dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang
memadai, bukan keyakinan mutlak. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat
memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu
instansi pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif,
melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset
negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dengan
latar belakang pemikiran tersebut, dikembangkan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan dan
tolok ukur efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern, maka
dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) untuk menjawab tantangan birokrasi
pemerintahan di Indonesia dalam mengelola keuangan negara.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem
pengendalian intern pemerintah adalah semua metode yang terkoordinasi dan
pengukuran yang diterapkan diintegrasikan/dipengaruhi oleh manusia, struktur
organisasi, kebijakan, dan prosedur untuk memberikan jaminan yang meyakinkan
bahwa tujuan organisasi akan dapat dicapai melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan.
2.1.1 Tujuan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Pengendalian intern bukan akhir atau tujuan dari pemerintah, tetapi
sebagai alat mencapai tujuan dan menjadi tanggung jawab manajemen dalam
pemerintah tersebut.
Tujuan Sistem Pengendalian Intern menurut (Dull, Gelinas dan Wheeler
2012, 8) adalah:
“Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri dari: 1. Tujuan pengendalian proses operasi, yaitu keefektifan operasi
(effectiveness of operations), keefisienan pegawai terhadap aset (efficient employment of resources), dan keamanan aset (resource security).
2. Tujuan pengendalian proses informasi, yaitu kebenaran masukan (input validity), kelengkapan masukan (input completeness), ketelitian masukan (input accuracy), kelengkapan dan ketelitian kemutakhiran (update completeness and accuracy).”
Tujuan SPIP pada PP No. 60 Tahun 2008 mengarah pada empat tujuan
yang ingin dicapai dengan dibangunnya SPIP, yaitu:
1) Kegiatan yang efektif dan efisien
2) Laporan keuangan yang dapat diandalkan
3) Pengamanan Aset
4) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan sistem
pengendalian intern yaitu untuk menciptakan kegiatan yang efektif dan efisien,
laporan keuangan yang dapat diandalkan, pengamanan aset, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan serta untuk mencapai tujuan sistem informasi dan
sistem operasi. Dimana tujuan sistem operasi berupa jaminan terhadap efektivitas
operasi, efisiensi operasi dalam penggunaan sumber-sumber daya, dan keamanan
sumber sumber daya. Sedangkan yang menjadi tujuan sistem informasi adalah
memberikan jaminan mengenai keabsahan masukan data, kelengkapan masukan
data, akurasi masukan data, kelengkapan pemutakhiran, dan output berupa
informasi didistribusikan secara tepat sampai kepada pihak pihak yang
semestinya.
Dalam penelitian ini peneliti berfokus pada tujuan sistem pengendalian
intern menurut COSO atau PP No 60 Tahun 2008.
2.1.2 Prinsip Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Prinsip-prinsip pengendalian intern harus dilaksanakan oleh perusahaan/
instansi pemerintah untuk melindungi aset dan mempertinggi keakuratan dan
kebenaran pencatatan akuntansinya serta mencapai tujuan pengendalian akuntansi.
Menurut (Weygandt 2003, 455), prinsip-prinsip pengendalian intern
meliputi:
1. Pembentukan Tanggung Jawab
Pengendalian akan paling efektif jika hanya seseorang yang bertanggung jawab
pada sebuah pekerjaan tertentu.
2. Pemisahan Tugas
Pemisahan tugas meruupakan hal yang tak terelakkan dalam sistem
pengendalian intern, ada dua penerapan yang umum dari prinsip ini yaitu:
a. Aktivitas-aktivitas terkait seharusnya ditugaskan ke orang yang berbeda-
beda.
b. Penciptaan akuntabilitas (dengan pencatatan) atas aset yang seharusnya
terpisah dari penjagaan fisik aset tersebut.
3. Prosedur dokumentasi
Dokumentasi memberikan bukti bahwa transaksi dan peristiwa sudah terjadi.
Dokumen seharusnya diberi nomor terlebih dahulu (prenumbered), dan seluruh
dokumen seharusnya dihitung. Dokumen merupakan sumber untuk jurnal
akuntansi seharusnya diseerahkan dengan benar ke departemen akuntansi.
Pengendalian ini membantu penjaminan pencatatan transaksi secara tepat
waktu dan berkontribusi secara langsung untuk keakuratan dan kebenaran
pencatatan akuntansi.
4. Pengendalian fisik, mekanik, dan elektronik
Penggunaan pengendalian fisik, mekanik, dan elektronik adalah penting.
Pengendalian fisik sangat terkait dengan perlindungan aset. Pengendalian
mekanik dan elektronik berhubungan dengan penggunaan alat-alat mekanis
dan elektronis dalam pelaksanaan dan pencatatan transaksi untuk
mempertinggi keakuratan dan kebenaran pencatatan akuntansi juga melindungi
aset.
5. Verifikasi Intern Dependen
Prinsip ini melibatkan tinjauan, perbandingan, dan rekonsiliasi data yang
dibuat oleh karyawan lain. Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari
verifikasi internal dependen:
a. Verifikasi seharusnya dilaksanakan setiap periodik atau mendadak.
b. Verifikasi seharusnya dilaksanakan oleh seseorang yang independen atas
karyawan yang bertanggung jawab atas informasi terkait.
c. Perselisihan dan pengecualian seharusnya dilaporkan ditingkat manajemen
yang dapat memberikan tindakan korektif.
2.1.3 Unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Dalam penerapan pengendalian intern organisasi/instansi permerintah
terdapat unsur-unsur yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan sistem
pengendalian intern. Menurut (Tunggal 2014, 3), Committee of Sponsoring
Organizations of the Treatway Commission (COSO) memperkenalkan adanya
lima komponen/unsur pengendalian intern yang meliputi :
1. Control Environment (Lingkungan pengendalian);
2. Risk Assesment (Penilaian Resiko);
3. Control Activities (Aktivitas Pengendalian);
4. Information and Comunication (Infomasi dan Komunikasi);
5. Monitoring (Pemantauan).
Menurut (Gondodiyoto 2007, 281) menyebutkan ada empat domain dalam
pengendalian intern, meliputi:
1. Planning and Organization (Perencanaan dan Organisasi)
2. Acquisition and Implementation (Perolehan dan implementasi)
3. Delivery and Support (Penyerahan dan Pendukungan)
4. Monitoring (Pemantauan)
Menurut Standar Auditing Amerika Serikat (1988) struktur pengendalian
intern suatu perusahaan meliputi tiga elemen :
1. Lingkungan pengendalian (control environment)
2. Sistem akuntansi (the accounting system)
3. Prosedur pengendalian (control procedures)
Tabel II.1 Perbandingan Unsur Sistem Pengendalian Intern
No. PP No. 60 Tahun 2008 (COSO)
Gondodiyoto (CobiT) (2007:281)
Standar Auditing
Amerika Serikat (1988)
1 Lingkungan Pengendalian
Perencanaan dan Organisasi
Lingkungan pengendalian
2 Penilaian Risiko Perolehan dan implementasi
Sistem akuntansi
3 Aktivitas Pengendalian
Penyerahan dan Pendukungan
Prosedur pengendalian
4 Informasi dan Komunikasi Pemantauan
5 Pemantauan
Sumber: Data yang telah diolah
Dalam penelitian ini peneliti berfokus pada unsur sistem pengendalian
intern menurut COSO atau PP No 60 Tahun 2008 karena pemerintah Indonesia
dalam penyelenggaraan sistem pengendalian intern mengacu pada PP No 60
Tahun 2008.
Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008, unsur-unsur Sistem Pengendalian
Intern dalam Pemerintah mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang
telah dipraktikan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara yang diadopsi
dari COSO. Penerapan unsur ini dilaksanakan dengan maksud untuk menyatukan
dan menjadi bagian integral dari kegiatan instansi pemerintah, yang meliputi:
1. Lingkungan Pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan
memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan
perilaku positif dan kondusif untuk mendukung terhadap sistem pengendalian
intern dan manajemen yang sehat. Lingkungan pengendalian mencakup:
a. Penegakan integritas dan nilai etika;
b. Komitmen terhadap kompetensi;
c. Kepemimpinan yang kondusif;
d. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f. Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan
sumber daya;
g. Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif;
h. Hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait.
2. Penilaian Risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit
organisasi baik dari luar maupun dari dalam. Pimpinan instansi pemerintah
wajib melakukan penilaian risiko yang terdiri atas:
a. Identifikasi risiko, sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan
menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah
dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif, menggunakan
mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor eksternal
dan faktor internal, dan menilai faktor lain yang dapat meningkatkan
risiko.
b. Analisis risiko, dilaksanakan untuk menentukan dampak dari risiko yang
telah diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan instansi pemerintah.
Pimpinan instansi pemerintah menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian
dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima.
Dalam rangka penilaian risiko, pimpinan instansi pemerintah menetapkan
tujuan instansi pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan, dengan
berpendoman peraturan perundang-undangan.
3. Kegiatan Pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arah pimpinan Instansi
Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif
dalam pencapaian tujuan organisasi serta sesuai dengan ukuran, kompleksitas
dan sifat dari tugas dan fungsi suatu instansi pemerintah yang bersangkutan.
Jenis-jenis kegiatan pengendalian terdiri atas:
a. Reviu atas kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan;
b. Pembinaan sumber daya manusia;
c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d. Pengendalian fisik atas aset;
e. Penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. Pemisahan fungsi;
g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. Pembatasan akses dan sumber daya dan pencatatannya;
j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. Dokumentasi yang baik atas sistem pengendalian intern serta transaksi dan
kejadian penting.
Menurut (Dull, Gelinas dan Wheeler 2012, 3), dalam kegiatan pengendalian
terdapat 3 tipe pengendalian, yaitu pengendalian preventif, pengendalian
detektif dan pengendalian korektif. Perbandingan antara ketiga tipe tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pengendalian Preventif
Yaitu kegiatan pengendalian yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
suatu permasalahan (error condition) dari suatu proses bisnis/kegiatan
pemerintah, atau dengan kata lain pengendalian yang dilakukan sebelum
masalah timbul. Kegiatan pengendalian ini relatif murah jika dibandingkan
kedua tipe pengendalian lainnya. Contoh pengendalian preventif antara
lain dibuatnya standar operasional prosedur untuk suatu kegiatan entitas,
dibuatnya pemisahan fungsi dalam suatu entitas dan dibuatnya rentang
otorisasi dalam suatu entitas.
b. Pengendalian Detektif
Yaitu kegiatan pengendalian yang dilakukan dalam rangka mencari atau
mendeteksi adanya suatu permasalahan dan mencari akar permasalahan
tersebut, atau dengan kata lain pengendalian yang dilakukan dimana telah
terdapat suatu permasalahan. Kegiatan pengendalian ini lebih mahal dari
kegiatan pengendalian preventif. Contoh pengendalian detektif adalah
dilaksanakannya audit secara periodik.
c. Pengendalian Korektif
Yaitu kegiatan pengendalian yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi
jika terdapat suatu permasalahan yang menyebabkan risiko tidak
tercapainya tujuan organisasi, yang telah ditemukan pada kegiatan
pengendalian preventif maupun detektif. Kegiatan Korektif relatif lebih
mahal dari kegiatan peventif maupun detektif. Contoh kegiatan korektif
antara lain dilakukannya perbaikan suatu sistem informasi atas kesalahan
data yang disebabkan adanya eror dalam sistem informasi suatu entitas.
4. Informasi dan Komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada instansi pemerintah dan pihak
lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana
tertentu serta tepat waktu yang diselenggarakan secara efektif sehingga
memungkinkan pimpinan instansi pemerintah melaksanakan pengendalian dan
tanggungjawabnya. Untuk menyelenggarakan sistem informasi yang efektif
pimpinan instansi pemerintah harus:
a. Menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi;
b. Mengelola, mengembangkan, dan memperbaharui sistem informasi secara
terus-menerus.
5. Pemantauan Pengendalian Intern
Pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan sistem
pengendalian intern. Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari
waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu
lainnya dapat segara ditindak lanjuti. Pemantauan sistem pengendalian intern
dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak
lanjut hasil rekomendasi audit dan reviu lainnya. Dalam PP No. 60 Tahun 2008
Pasal 43, ayat (2), antara lain disebutkan bahwa pemantauan SPI dilaksanakan
melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah dan tindak lanjut
rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.
Unsur sistem pengendalian intern yang pertama merupakan unsur yang
menjadi pondasi bagi unsur lainnya. Karena itu, dalam penetapan risiko
pengendalian, jika dijumpai ada kelemahan pada unsur lingkungan pengendalian
tanpa melihat unsur lainnya, risiko harus ditetapkan tinggi. Walaupun demikian,
untuk mengukur risiko secara keseluruhan maka unsur yang lainnya tetap harus
diukur.
2.1.4 Pengendalian Dalam Sistem Informasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Pasal 21, Kegiatan
pengendalian atas pengelolaan sistem informasi dilakukan untuk memastikan
akurasi dan kelengkapan informasi. Sistem informasi berbasis komputer
dikendalikan oleh kombinasi dari pengendalian umum (General Controls) dan
pengendalian aplikasi (Application Controls).
Pengendalian umum mengontrol rancangan, keamanan, dan penggunaan
software sistem informasi manajemen serta keamanan dari file-file datanya secara
umum melalui organisasi. Secara keseluruhan, pengendalian umum diterapkan
pada semua aplikasi komputer yang merupakan kombinasi dari prosedur manual
yang diarahkan kepada terciptanya pelaksanaan pengendalian secara menyeluruh.
Sedangkan, pengendalian aplikasi merupakan pengendalian khusus bagi setiap
aplikasi komputer.
1. Pengendalian Umum
Pengendalian umum merupakan pengendalian yang menyeluruh bertujuan
untuk memberikan keyakinan bahwa prosedur telah berjalan secara efektif berlaku
pada banyak aplikasi. Pengendalian Umum (General Controls) meliputi:
a. Pengamanan Sistem Informasi;
b. Pengendalian atas akses;
c. Pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak
aplikasi;
d. Pengendalian atas perangkat lunak sistem;
e. Pemisahan Tugas.
f. Kontinuitas Pelayanan.
2. Pengendalian Aplikasi
Pengendalian aplikasi merupakan pengendalian khusus atas setiap aplikasi
komputer yang digunakan. Pengendalian ini juga meliputi prosedur-prosedur baik
yang diotomatisasi maupun manual dalam pelaksanaannya untuk menjamin
bahwa hanya ada data-data yang sah untuk diproses secara lengkap dan akurat
oleh suatu aplikasi.
Pengendalian Aplikasi (Application Controls) yang terdiri atas:
a. Pengendalian Otorisasi;
b. Pengendalian Kelengkapan;
c. Pengendalian Akurasi;
d. Pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Penerapan SPIP
Pencapaian tujuan dari suatu sistem tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya terutama faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan.
Keberhasilan penerapan Sistem Pengendalian Intern juga dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor keberhasilan tersebut.
Menurut Wibisono (2010), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yaitu :
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan modal utama dan penggerak dalam suatu
organisasi, dan merupakan soft control dalam penerapan SPIP. Sumber daya
manusia yang dimaksudkan adalah sumber daya manusia yang memiliki
integritas dan mentaati nilai etika. Sumber daya manusia yang mempunyai
integritas dan mentaati etika adalah merupakan komponen penting dalam
mendorong agar organisasi dapat berjalan pada relnya.
2. Komitmen
Keberhasilan dan kunci sukses tercapainya tujuan organisasi sangat
dipengaruhi oleh komitmen dari seluruh pimpinan dan pegawai dalam
menjalankan organisasi. Dalam penerapan Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah, komitmen pimpinan sangat diharapkan sehingga apapun
keputusan maupun kebijakan yang akan diambil terkait dengan perbaikan
terhadap pengendalian internal, prosedur dan aturan yang akan dilaksanakan
mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan.
3. Keteladanan Pimpinan
Lingkungan pekerjaan sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan
budaya kerja dalam suatu organisasi. Dalam suatu kondisi lingkungan yang
kondusif, dengan pimpinan yang selalu memberikan contoh perilaku yang
positif, selalu mendorong bawahan untuk terbiasa bersikap terbuka, jujur dan
disiplin akan memudahkan organisasi dalam pencapaian tujuannya.
Keteladanan pimpinan dalam bersikap dan bertingkah laku akan dapat
mendorong terciptanya budaya kerja yang selalu mengedepankan nilai-nilai
kejujuran, etika dan disiplin.
4. Ketersediaan Infrastruktur Keberadaan infrastruktur mencakup antara lain :
pedoman, kebijakan dan prosedur yang terintegrasi dengan unsur-unsur SPIP
lainnya, sesuai dengan proses bisnis dan karakteristik suatu instansi
pemerintah terkait dengan penyelenggaraan SPIP. Keberadaan infrastruktur
harus didukung oleh implementasi dari infrastruktur SPIP tersebut.
Berdasarkan papran di atas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penerapan sistem pengendalian internal terdiri dari sumber daya manusia yang
memiliki intergritas, adanya komitmen dari seluruh komponen organisasi,
keteladanan pimpinan dan ditunjang dengan ketersediaan infrastruktur yang
memadai.
2.1.6 Hambatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Pengendalian intern yang memadai dalam suatu perusahaan/organisasi,
tidaklah menjamin tercapainya tujuan perusahaan/organisasi. Hal ini disebabkan
karena pengendalian intern memiliki hambatan yang dapat melemahkan
pengendalian.
Menurut (Tugiman 2002, 8), beberapa hambatan dalam sistem
pengendalian intern adalah sebagai berikut:
1. Banyak pengendalian yang ditetapkan memiliki tujuan yang tidak jelas.
2. Pengendalian lebih diartikan sebagai tujuan akhir yang harus dicapai dan
bukan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Pengendalian ditetapkan terlalu berlebihan (overcontrolling) tanpa
memperhatikan sisi manfaat dan biayanya.
4. Penerapan yang tidak tepat dari pengendalian juga mengakibatkan
berkurangnya atau bahkan hilangnya inisiatif dan kreatifitas setiap orang.
5. Pengendalian tidak memperhitungkan aspek perilaku (behavioral) padahal
faktor manusia merupakan kunci utama untuk berhasilnya pengendalian.
2.2 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Menurut (Thai 2009, 2), berpendapat bahwa setiap negara akan
mengutamakan prinsip “do more with less” dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah. Lebih lanjut Thai menjelaskan:
“Indeed, all governmental entities of rich and poor countries are struggling in the face of unrelenting budget constraints; government downsizing; public demand for increased transparency in public procurement; and greater concerns about efficiency, fairness, and equity. Additionally, public procurement professionals have faced a constantly changing environment typified by rapidly emerging technologies, increasing product choice, environment concerns, and the complexities of international and regional trading agreements. Further, policy makers have increasingly used public procurement as a tool to achieve socioeconomic goals (Tentunya, bagi setiap pemerintahan baik kaya maupun miskin berusaha menghadapi tekanan keuangan yang tak henti-hentinya; perampingan pemerintahan; tuntutan publik untuk meningkatkan transparansi dalam pengadaan publik; dan mengutamakan efisiensi, keadilan, dan persamaan. Pada dasarnya, pengadaan publik yang profesional telah siaga dalam mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungan dengan meningkatkan produk pilihan, memperhatikan lingkungan, dan kompleksitas perjanjian luar maupun dalam negeri. Nantinya, pembuat kebijakan akan dapat meningkatkan hasil dari pengadaan publik sebagai alat untuk mencapai tujuan sosio-ekonomi)”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 Angka 1
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu:
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”
Salah satu amanat yang harus dilakukan oleh pemerintah menurut Peraturan
Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,
dengan mendasarkan pada arus utama reformasi birokrasi di lingkungan
pemerintahan, adalah implementasi sistem pengadaan barang dan jasa secara
elektronis. Di antara beberapa tujuan dan manfaat terselenggaranya aktivitas
pengadaan barang dan jasa secara elektronik adalah diharapkan kebocoran
anggaran yang disebabkan oleh dis-integritas panitia dan pimpinan projek (PPK)
dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengadaan
barang/jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang atau jasa yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh
kegiatan secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan penggunanya.
2.2.1 Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pada implementasinya, pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan
menggunakan prinsip dasar dan etika pengadaan barang/jasa pemerintah dipatuhi
oleh semua pihak, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga penyerahan
pengadaan barang/jasa pemerintah. LKPP (2011:22-23) mengemukakan tentang
prinsip-prinsip dan etika pengadaan barang/jasa yang mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, yaitu sebagai berikut:
1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan
sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah
ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitasyang maksimum.
2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan
sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya.
3. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan
Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia
barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
4. Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia
barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan
ketentuan dan prosedur yang jelas.
5. Bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan
yang sehat diantara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan
memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan
secara kompetitif dan tidak ada intervensiyang mengganggu terciptanya
mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa.
6. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional.
7. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait
dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapatdipertanggungjawabkan.
Semua fungsi/pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa wajib mematuhi
etika sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan
Barang/Jasa; melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab
untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan
Pengadaan Barang/Jasa.
2. Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan
Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa.
3. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang
berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
4. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak.
5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak
yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
Pengadaan Barang/Jasa.
6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa.
7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
8. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi
atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau
kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan
Pengadaan Barang/Jasa.
2.2.2 e-Procurement
Pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-Procurement)
mulai mendapat perhatian di Indonesia setelah terbitnya Keputusan Presiden No.
61 Tahun 2004 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kemudian
terakhir diperbaharui lagi dengan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 dan
Peraturan Presiden No 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Peraturan Presiden ini merupakan sebuah langkah penting berkembangnya e-
Procurement di Indonesia.
Menurut Croom & Jones (2004) dalam (Vaidya, Sajeev dan Callender
2006, 72), yaitu:
“E-Procuremen trefers to the use of Internet-based (Integrated) information and communication techonologies (ICTs) to carry out individual or all stages of the procurement process including search, sourcing, negottiation, ordering, receipt, and post-purchase review.”
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pengadaan secara
elektronik mengacu pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
berbasis internet untuk melaksanakan proses pengadaan setahap atau seluruh
tahap di dalam proses pengadaan termasuk pencarian sumber, negosiasi,
pemesanan, penerimaan dan koreksi setelah pembelian.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 Angka 37
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyatakan:
“Pengadaan secara elektronik atau e-Procurement adalah pengadaan
barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi
dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
2. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
3. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan;
4. Mendukung proses monitoring dan audit; dan
5. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan
clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik yang dibiayai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien melalui
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sistem Pengadaan Secara
Elektronik (SPSE) merupakan aplikasi e-Procurement yang dikembangkan oleh
Direktorat e-Procurement-LKPP untuk digunakan oleh LPSE di seluruh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya. Layanan
yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), antara lain:
1. e-Tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang
dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa
yang terdaftar pada sistem pengadaan elektronik dengan cara menyampaikan
satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.
2. e-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem
katalog elektronik.
3. e-Catalogue (Katalog Elektronik) yang merupakan sistem informasi
elektronik yang memuat daftar,jenis, spesifikasi teknis dan harga barang
tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah.
4. e-Audit yang merupakan proses audit secara online .
Berikut ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan pengadaan
barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-Procurement), diantaranya adalah:
1. Pengguna Anggaran (PA)
Pengguna Anggaran adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat
yang disamakan pada Institusi Pengguna APBN/APBD.
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk
menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk
menggunakan APBD.
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
4. Unit Layanan Pengadaan (ULP)
Unit Layanan Pengadaan adalah unit organisasi Kementerian/ Lembaga/
Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada
unit yang sudah ada.
5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
Di pemerintah daerah, Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran
personil dapat menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan untuk melaksanakan satu atau beberapa kegiatan
dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.
6. Pejabat Pengadaan
Pejabat Pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan
Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan e-Purchasing.
7. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang
ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan.
8. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau pengawas intern pada institusi lain
adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi,
pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas
dan fungsi organisasi.
9. Penyedia Barang/Jasa
Penyedia Barang adalah badan usaha atau orang perseorangan yang
menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.
10. Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Layanan Pengadaan Secara Elektronik adalah unit kerja K/L/D/I yang
dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa
secara elektronik.
11. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah lembaga
Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2.2.3 Tata Cara Pelaksanaan e-Procurement
Berdasarkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP) No. 1 Tahun 2015 tentang e-Tendering, metode pelaksanaan e-Tendering
sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Pemilihan e-Lelang/e-Seleksi
1) Pembuatan paket, pengumuman dan pendaftaran
a) Paket pemilihan yang dilakukan dalam aplikasi SPSE merupakan
paket pemilihan baru atau paket pemilihan ulang pengadaan
secara elektronik.
b) Pokja ULP membuat paket dalam aplikasi SPSE lengkap dengan
informasi paket dan sistem pengadaan berdasarkan informasi
yang diberikan PPK maupun keputusan internal Pokja ULP.
c) Pokja ULP memasukkan nomor surat/dokumen rencana
pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang diterbitkan oleh PPK
dan menjadi dasar pembuatan paket sebagaimana dimaksud pada
huruf b).
d) Pokja ULP menyusun jadwal pelaksanaan pemilihan berdasarkan
hari kalender dengan alokasi waktu mengacu pada ketetapan
waktu yang diatur pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pangadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta
Perubahannya.
e) Pokja ULP menyusun jadwal sebagaimana dimaksud pada huruf
d) dengan memperhatikan jam kerja dan hari kerja untuk tahapan:
1. Pemberian penjelasan;
2. Batas akhir pemasukan penawaran;
3. Pembukaan penawaran;
4. Pembuktian kualifikasi; dan
5. Batas akhir sanggah.
f) Pokja ULP dapat melakukan perubahan jadwal tahap pemilihan
dan wajib mengisi alasan perubahan yang dapat
dipertanggungjawabkan:
g) Penyusunan dokumen pengadaan secara elektronik dilakukan
dengan cara:
1. Dokumen pengadaandibuat oleh Pokja ULP mengikuti
standar dokumen pengadaan secara elektronik yang melekat
pada aplikasi SPSE dan diunggah (upload)pada aplikasi
SPSE; atau
2. Dokumen pengadaan dibuat oleh Pokja ULP menggunakan
form isian elektronik dokumen pengadaan yang melekat pada
aplikasi SPSE.
h) Penyusunan dokumen pengadaan sebagaimana dimaksud pada
huruf g) disesuaikan dengan syarat dan ketentuan penggunaan
aplikasi SPSE dan/atau panduan penggunaan aplikasi SPSE (user
guide).
i) Aplikasi SPSE secara otomatis akan menampilkan informasi
pengumuman pemilihan Penyedia barang/jasa paket pekerjaan
dengan format dan isi yang tersedia pada aplikasi SPSE.
2) Pemberian Penjelasan
a) Pemberian penjelasan dilakukan secara online tanpa tatap muka
melalui aplikasi SPSE.
b) Pokja ULP dapat memberikan informasi yang dianggap penting
terkait dengan dokumen pengadaan.
c) Pokja ULP menjawab setiap pertanyaan yang masuk, kecuali
untuk substansi pertanyaan yang telah dijawab.
d) Pokja ULP pada saat berlangsungnya pemberian penjelasan dapat
menambah waktu batas akhir tahapan pemberian penjelasan
sesuai dengan kebutuhan.
e) Dalam hal waktu tahap pemberian penjelasan telah berakhir,
Penyedia barang/jasa tidak dapat mengajukan pertanyaan namun
Pokja ULP masih mempunyai tambahan waktu untuk menjawab
pertanyaan yang masuk pada akhir jadwal.
f) Kumpulan tanya jawab dan keterangan lain pada saat pemberian
penjelasan merupakan Berita Acara Pemberian Penjelasan.
g) Jika dianggap perlu dan tidak dimungkinkan memberikan
informasi lapangan ke dalam dokumen pemilihan dan Berita
Acara Pemberian Penjelasan, Pokja ULP dapat melaksanakan
proses pemberian penjelasan lanjutan dengan peninjauan
lapangan/lokasi pekerjaan.
h) Hasil pemberian penjelasan lanjutan dituangkan ke dalam Berita
Acara Pemberian Penjelasan Lanjutan dan diunggah (upload)
pada aplikasi SPSE oleh Pokja ULP.
i) Adendum dokumen pengadaan dapat dilakukan secara berulang
dengan mengunggah (upload) adendum dokumen pengadaan
melalui aplikasi SPSE paling kurang 2 (dua) hari sebelum batas
akhir pemasukan dokumen penawaran.
j) Apabila adendum dokumen pengadaan mengakibatkan kebutuhan
penambahan waktu penyiapan dokumen penawaran maka Pokja
ULP memperpanjang batas akhir pemasukan penawaran.
3) Pemasukan Data Kualifikasi
a) Data kualifikasi disampaikan melalui form isian elektronik
kualifikasi yang tersedia pada aplikasi SPSE.
b) Jika form isian elektronik kualifikasi yang tersedia pada aplikasi
SPSE belum mengakomodir datakualifikasi yang disyaratkan
Pokja ULP, maka data kualifikasi tersebut diunggah (upload)
pada fasilitas pengunggahan lain yang tersedia pada aplikasi
SPSE.
c) Pada prakualifikasi, Pokja ULP wajib meminta Penyedia
barang/jasa untuk melengkapi data kualifikasi dengan
memanfaatkan fasilitas komunikasi yang tersedia pada aplikasi
SPSE dan/atau fasilitas komunikasi lainnya
d) Dengan mengirimkan data kualifikasi secara elektronik
Penyedia barang/jasa menyetujui pernyataan sebagai berikut:
1. Yang bersangkutan dan manajemennya tidak dalam
pengawasan pengadilan, tidak pailit, dan kegiatan usahanya
tidak sedang dihentikan;
2. Yang bersangkutan berikut pengurus badan usaha tidak masuk
dalam daftar hitam;
3. Perorangan/yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha
tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
4. Data kualifikasi yang diisikan benar, dan jika dikemudian hari
ditemukan bahwa data/dokumen yang disampaikan tidak benar
dan ada pemalsuan, maka direktur utama/pimpinan
perusahaan, atau kepala cabang, atau pejabat yang menurut
perjanjian kerja sama berhak mewakili badan usaha yang
bekerja sama dan badan usaha yang diwakili bersedia
dikenakan sanksi administratif, sanksi pencantuman dalam
daftar hitam, gugatan secara perdata,dan/atau pelaporan secara
pidana kepada pihak berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
5. Pimpinan dan pengurus badan usaha bukan sebagai pegawai
K/L/D/I atau pimpinan dan pengurus badan usaha sebagai
pegawai K/L/D/I yangsedang mengambil cuti diluar
tanggungan K/L/D/I.
6. Pernyataan lain yang menjadi syarat kualifikasi yang
tercantum dalam dokumen pengadaan.
e) Untuk Penyedia barang/jasa yang berbentuk konsorsium/
kemitraan/ bentuk kerjasama lain, pemasukan kualifikasi
dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk mewakili
konsorsium/kemitraan/bentuk kerjasama lain.
4) Pemasukan/Penyampaian Dokumen Penawaran
a) Dokumen penawaran disampaikan melalui fitur penyampaian
penawaran pada aplikasi SPSE atau Apendo/Spamkodok.
b) Dalam hal penyampaian dokumen penawaran ditetapkan secara:
1. Satu file maka dokumen penawaran administrasi, teknis dan
harga disampaikan secara bersamaan dalam file penawaran
terenkripsi.
2. Dua filemaka dokumen penawaran administrasi dan teknis
disampaikan dalam satu file penawaran terenkripsi, serta
penawaran harga disampaikan dalam satu file penawaran
terenkripsi lainnya, yang disampaikan bersamaan.
3. Dua tahap, maka dokumen penawaran administrasi dan teknis
disampaikan dalam satu file penawaran terenkripsi, serta
penawaran harga disampaikan dalam satu file penawaran
terenkripsi lainnya sesuai waktu yang ditentukan.
c) Enkripsi file penawaran menggunakan Apendo/ Spamkodok.
d) Surat/Form penawaran dan/atau surat/form lain sebagai bagian
dari dokumen penawaran yang diunggah (upload) ke dalam
aplikasi SPSE dianggap sah sebagai dokumen elektronik dan
telah ditandatangani secara elektronik oleh pemimpin/direktur
perusahaanatau kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh
kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen otentik atau
pejabat yang menurut perjanjian kerjasama adalah yang berhak
mewakili perusahaan yang bekerjasama.
e) Penyedia barang/jasa dapat mengunggah (upload) ulang file
penawaran untuk mengganti atau menimpa file penawaran
sebelumnya, sampai dengan batas akhir pemasukan penawaran.
f) Pengguna SPSE wajib mengetahui dan melaksanakan ketentuan
penggunaanApendo/Spamkodok yang melekat pada
Apendo/Spamkodok.
g) Untuk Penyedia barang/jasa yang berbentuk konsorsium/
kemitraan/bentuk kerjasama lain, pemasukan penawaran
dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk mewakili konsorsium/
kemitraan/bentuk kerjasama lain.
h) Untuk menjamin pelaksanaan pengadaan sesuai dengan prinsip-
prinsip pengadaan, Pokja ULP dapat melakukan perubahan
jadwal pemasukan dokumen penawaran dan memberikan
penjelasan alasan perubahan.
i) Pokja ULP dapat memperpanjang batas akhir jadwal pemasukkan
penawaran dalam hal setelah batas akhir pemasukan penawaran
tidak ada peserta yang memasukkan penawaran.
j) Pepanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf i)
dilakukan pada hari yang sama dengan batas akhir pemasukan
penawaran.
5) Pembukaan dan EvaluasiDokumen Penawaran,serta Pengumuman
Pemenang
a) Pada tahap pembukaan penawaran, Pokja ULP mengunduh
(download) dan melakukan dekripsi file penawaran dengan
menggunakan Apendo/Spamkodok.
b) Harga penawaran dan hasil koreksi aritmatik dimasukkan pada
fasilitas yang tersedia pada aplikasi SPSE.
c) Terhadap file penawaran terenkripsi yang tidak dapat dibuka
(dekripsi), Pokja ULP wajib menyampaikan file penawaran
tersebut kepada LPSE dan bila dianggap perlu LPSE dapat
menyampaikan file penawaran tersebut kepada LKPP.
d) Terhadap file penawaran terenkripsi yang tidak dapat dibuka yang
disampaikan kepada LPSE atau LKPP, maka LPSE atau LKPP
akan memberikan keterangan kondisi file penawaran kepada
Pokja ULP.
e) Berdasarkan keterangan dari LPSE/LKPP apabila file penawaran
tidak dapat dibuka maka Pokja ULP dapat menetapkan bahwa file
penawaran tersebut tidak memenuhi syarat sebagai penawaran
dan Penyedia barang/jasa yang mengirimkan file penawaran
tersebut dianggap tidak memasukkan penawaran.
f) Dengan adanya proses penyampaian file penawaran yang tidak
dapat dibuka (dekripsi) sebagaimana dimaksud dalam huruf c),
Pokja ULP dapat melakukan penyesuaian jadwal evaluasi dan
tahapan selanjutnya.
g) Pembuktian kualifikasi dilakukan diluar aplikasi SPSE (offline).
h) Dalam tahapan pembuktian kualifikasi, Pokja ULP tidak perlu
meminta seluruh dokumen kualifikasi apabila Penyedia
barang/jasa sudah pernah melaksanakan pekerjaan yang
sejenis,dan/atau data Kualifikasi Penyedia sudah terverifikasi
dalam Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP)
i) Pokja ULP memasukkan hasil evaluasi penawaran dan hasil
evaluasi kualifikasi pada aplikasi SPSE.
j) Pokja ULP mengumumkan Pemenang dan Pemenang Cadangan
melalui aplikasi SPSE dengan format dan isi yang tersedia pada
aplikasi SPSE.
6) Sanggahan
a) Peserta pemilihan yang dapat menyanggah adalah peserta yang
telah memasukkan data kualifikasi/ penawaran.
b) File yang dianggap sebagai penawaran adalah dokumen
penawaran yang berhasil dibuka dan dapat dievaluasi yang
sekurang-kurangnya memuat:
1. Satu file: harga penawaran, daftar kuantitas dan harga untuk
kontrak harga satuan/gabungan, jangka waktu penawaran, dan
deskripsi/spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan.
2. Dua file atau dua tahap:
(a) File I atau file tahap I: jangka waktu penawaran, dan
deskripsi/spesifikasi barang/jasa yang ditawarkan.
(b) File II atau file tahap II: harga penawaran, daftar kuantitas
dan harga untuk kontrak harga satuan/gabungan.
c) Peserta pemilihan hanya dapat mengirimkan 1 (satu) kali
sanggahan kepada Pokja ULP melalui aplikasi SPSE.
d) Pokja ULP menjawab sanggahan melalui aplikasi SPSE.
e) Dalam hal terjadi keadaan kahar atau gangguan teknis yang
menyebabkan peserta pemilihan tidak dapat mengirimkan
sanggahan secara online melalui aplikasi SPSE dan/atau Pokja
ULP tidak dapat mengirimkan jawaban sanggah secara online
melalui aplikasi SPSE maka sanggahan dapat dilakukan diluar
aplikasi SPSE (offline).
7) Evaluasi Ulang, Penyampaian Ulang DokumenPenawaran, atau
Pemilihan Ulang Dalam hal Pokja ULP memutuskan untuk evaluasi
ulang, penyampaian ulang dokumen penawaran atau pemilihan
ulang, maka Pokja ULP harus memasukkan alasan pemilihan harus
dievaluasi diulang atau penyampaian ulang dokumen penawaran
atau pemilihan ulang.
8) Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)
a) PPK membuat dan mencetak SPPBJ melalui aplikasi SPSE.
b) PPK menandatangani SPPBJ yang telah dibuat dan dicetak
melalui aplikasi SPSE.
c) PPK mengirimkan hasil pemindaian SPPBJ melalui aplikasi
SPSE kepada Penyedia barang/jasa yang ditunjuk.
d) Dalam hal aplikasi SPSE belum dapat mengakomodir pembuatan
SPPBJ maka PPK menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia
Barang/Jasa (SPPBJ) di luar aplikasi SPSE (offline),
menginputkan informasi dan mengunggah (upload) hasil
pemindaian SPPBJ pada aplikasi SPSE.
9) Penandatanganan Kontrak
a) PPK membuat dan mencetak kontrak melalui aplikasi SPSE.
b) PPK menandatangani kontrak yang telah dibuat dan dicetak
melalui aplikasi SPSE.
c) Pemenang pemilihan melakukan penandatanganan kontrak
dengan PPK di luar aplikasi SPSE.
d) Dalam hal aplikasi SPSE belum dapat mengakomodir pembuatan
Kontrak maka PPK membuat dan mencetak Kontrak di luar
aplikasi SPSE (offline) dan PPK memasukkan informasi dan
mengunggah (upload) hasil pemindaian (scan) dokumen kontrak
pada aplikasi SPSE.
10) Pengenaan Sanksi
a) Apabila Penyedia barang/jasa melakukan pelanggaran terhadap
persyaratan dan ketentuan penggunaan SPSE, pelanggaran
terhadap peraturan perundangundangan berlaku, atau masuk ke
dalam daftar hitam maka LPSE atau Pengelola Agregasi Data
Penyedia dapat menonaktifkan kode akses Pengguna SPSE.
b) Dalam hal Penyedia barang/jasa telah ditetapkan ke dalam daftar
hitam, maka LPSE atau Pengelola Agregasi Data Penyedia dapat
memasukkan Penyedia barang/jasa ke dalam menu daftar hitam di
dalam aplikasi SPSE.
2.3 Akuntabilitas dan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Reformasi birokrasi menginginkan pelayanan publik yang bersifat
transparan dan akuntabel. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2008 sendiri mengenai Keterbukaan informasi menyebutkan bahwa:
1. Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi
ketahanan nasional;
2. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan
Informasi Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi yang
menjungjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan
penyelenggaraan Negara yang baik;
3. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan
pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik
lainnya serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Selain itu, pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa setiap informasi publik
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Dengan
demikian, keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan
politik yang sehat dan jauh dari penyimpangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) serta kebijakan dibuat berdasarkan pada referensi publik. Prinsip ini
memiliki 2 aspek, yaitu (1) Komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) Hak
masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika
pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya.
Menurut LKPP (2009:38) mengenai sarana untuk monitoring dan evaluasi
(money) atas indikator kinerja pengadaan barang/jasa pemerinyah yang dapat
ditinjau dari beberapa kategori diantaranya tata kelola yang mencakup aspek
transparansi dan akuntabilitas yaitu:
1. Jumlah pengadaan yang diumumkan secara elektronik.
2. Jumlah dokumen pengadaan yang diunggah secara elektronik.
3. Jumlah pengadaan yang telah ditentukan pemenangnya
4. Persaingan : seberapa luas e-Procurementmemberikan kesempatan kepada
penyedia barang/jasa untuk ikut berkompetisi
5. Sanggah : seberapa banyak penurunan jumlah sanggah yang muncul dari
masing-masing paket pengadaan.
6. Kinerja pelaku usaha: e-Procumenet dapat digunakan untuk melakukan
monitoring kinerja pelaku usaha termasuk mengkategorikan dalam daftar
hitam bagi pelaku usaha yang tidak memiliki integritas.
2.3.1 Akuntabilitas
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah
aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan
publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya
(Kumorotomo 2005, 4). Penjelasan yang serupa dijelaskan oleh Candler dan
Plano (Widodo 2001, 148)mengartikan akuntabilitas sebagai “...refers to the
institution of checks and balances in an administrative system”. Artinya,
akuntabilitas suatu birokrasi publik tergantung kepada bagaimana mekanisme
checks and balances tersebut berlaku.
Menurut (Dwiyanto 2008, 98), menjelaskan akuntabilitas sebagai suatu
derajat yang menunjukkan besarnya tanggungjawab aparat atas kebijkan maupun
proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemeintah.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 tahun 2015 akuntabel berarti harus
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa
sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut (Sedermayanti 2007, 15), akuntabilitas adalah setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Akuntabilitas pemerintah didasarkan atas kepercayaan masyarakat yang
memiliki hak untuk mengetahui, hak untuk memperoleh fakta-fakta yang
diumumkan secara terbuka, yang memungkinkan untuk diperdebatkan oleh
masyarakat atau para wakilnya. Menutur (Sedermayanti 2007, 23) indikator
minimal keberhasilan akuntabilitas yaitu:
1. Adanya Kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur
pelaksanaan
2. Adanya sanksi yang ditetapkan pada setiap kesalahan atau kelalaian dalam
pelaksanaan kegiatan.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa akuntabilitasa adalah
pertanggungjawaban pemerintah kepada publik atas setiap aktivitas yang
dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tolak ukur
dalam akuntabilitas pelayanan publik adalah publik itu sendiri yaitu arti nilai-nilai
atau norma-norma yang diakui, berlaku dan berkembang dalam kehidupan publik.
2.3.2 Transparansi
Menurut Bappenas & Departemen Dalam Negeri (2002:18) transparansi
adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk
memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintah, yakni informasi
tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang
dicapai.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 dalam kerangka
konseptuan akuntasi pemerintah, dijelaskan bahwa:
“Transparansi adalah pemberian informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak atau mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.”
Menurut (Andrianto 2007, 21), transparansi publik adalah suatu
keterbukaan secara sunggung-sunggung menyeluruh, dan memberi tempat bagi
partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakan dalam proses pengelolaan
sumber daya publik.
Menurut (Sedermayanti 2007, 14), transparansi adalah membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, tidak
deskriminatif tentang penyelenggaraan Negara.
Transparansi merupakan suatu prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi yang akan
diselenggarakan oleh pemerintah yaitu informasi tentang kebikan pemerintah,
proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan yang akan diselenggarakan
pemerintah dan juga hasil-hasil yang dicapai oleh pemerintah. Menurut
(Sedermayanti 2007, 22), indikator minimal keberhasilan transparansi yaitu:
1. Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan
implementasi kebijakan publik.
2. Adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas
diperolehan dan tepat waktu.
Dari definisi di atas maka, transparansi itu sendiri dapat disimpulkan
sebagai hal yang menjadi kebebasan dan hak masyarakat untuk
mengakses/memperoleh informasi yang jujur dan akurat agar masyarakat bisa
mengawasi secara langsung kegiatan pemerintah sehingga pemerintah dapat
meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada kecurangan/penyimpangan dan akhirnya
dapat menciptakan tata pemerintah yang baik.
2.4 Pengaruh Pengendalian Intern E-Procumenet terhadap Akuntabilitas
dan Transparansi Pengadaan Barang/Jasa pemerintah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan:
“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) bertujuan untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi
pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan:
“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) bertujuan untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi
pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 disebutkan bahwa
pengadaan secara elektronik atau e-Procumenet adalah pengadaan barang/jasa
yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi
elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengadaan barang/jasa
secara elektronik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
2. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
3. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan;
4. Mendukung proses monitoring dan audit; dan
5. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan
clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas dan menurut Syilva Parlina (2013) dalam tugas
akhir yang berjudul Hubungan Antara Implementasi e-Procumenet dengan
Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dengan
mengambil populasi dan sampel pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai
pendukung dalam penelitian ini. Metode Penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif. Dalam hasil penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan
yang positif dan signifikan anatara implementasi e-Procumenet dengan
Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerinta Provinsi Jawa
Barat. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi Spearman’s Rank sebesar
0,798 dan nilai probabilitas < 0,05.
2.5 Kerangka Berfikir dan Paradigma Penelitian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, menyatakan bahwa:
“Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 Pasal 1 Angka 37
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyatakan:
“Pengadaan secara elektronik atau e-Procumenet adalah pengadaan
barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi
dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
2. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
3. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan;
4. Mendukung proses monitoring dan audit; dan
5. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan
clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Berdasarkan dari uraian latar belakang dan dengan teori yang telah
dijelaskan sebelumnya terhadap penelitian ini, maka sebagai kerangka pikir dan
paradigma dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar II-1 Model Kerangka Berfikir
Gambar II-2 Paradigma Penelitian
X
Y1
Y2
2.6 Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, maka akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang mengambil topik
yang sama, yaitu:
Tabel II-2Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti dan Tahun Judul dan Hasil Penelitian Perbedaan Penelitian
1. Parlina, Syilva (2013)
“Hubungan Antara Implementasi e-Procumenet dengan Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus di Pemerintah Provinsi Jawa Barat)”
Objek penelitian yang dilakukan oleh Parlina, Syilva implementasi e-Procumenet dan hubungannya dengan transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa pemerintah sedangkan penelitian ini berfokus pada penerapan sistem pengendalian intern e-Procurement, berfokus terhadap pengaruhnya pada akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah. Berfokus pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik yang sesuai dengan aturan. Berfokus pada pencapaian tujuan E-Procurement yaitu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
Menggunakan metode deskriptif dengan instrument data berupa wawancara, observasi dan kuesioner. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel dan SPSS versi 20, dengan model pemgujian hipotesis menggunakan analisis korelasi Spearman’s Rank.
Menunjukan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan anatara implementasi e-Procumenet dengan Transparansi dan Akuntabilitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerinta Provinsi Jawa Barat. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi Spearman’s Rank sebesar 0,798 dan nilai probabilitas < 0,05
2. Karlina, Elia (2015)
“Pengaruh Sistem Pengendalian Intern Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik Terhadap Efektivitas dan Efisiensi Belanja Modal (Studi Kasus Pada Unit Layanan Pengadaan Provinsi Jawa Barat)”
Objek penelitian yang dilakukan oleh Karlina, Elia adalah pengaruh sistem pengendalian intern pengadaan barang/jasa secara elektronik terhadap efektivitas dan efisiensi belanja modal sedangkan penelitian ini berfokus
Menggunakan metode penelitian deskriptif verifikatif dengan instrument data berupa kuesioner, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan SPSS versi 22 dengan pengujian adalah uji t, regresi sederhana, korelasi dan koefisien determinasi.
pada penerapan sistem pengendalian intern e-Procurement, berfokus terhadap pengaruhnya pada akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah. Berfokus pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik yang sesuai dengan aturan. Berfokus pada pencapaian tujuan E-Procurement yaitu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
E-Procurementtidak menjadi ukuran dalam efektivitas belanja modal, namun efektivitas dapat dilihat dari sisi pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektronik (SPSE) dapat mengurangi resiko tersedianya barang/jasa secara tepat waktu, tepat guna dan tepat lokasi
3. Fauziyah Winarto, Kartika (2016)
“Analisis Implementasi sistem Pengendalian Intern Pemerintah E-ProcurementUntuk Mencegah Fraud Pada Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat)”
Objek penelitian yang dilakukan oleh Fauziyah Winarto, Kartika adalah analisis implementasi sistem pengendalian intern pemerintah e-Procurementuntuk mencegah fraud pada pengadaan barang jasa pemerintah sedangkan penelitian ini berfokus pada penerapan sistem pengendalian intern e-Procurement, berfokus terhadap pengaruhnya pada akuntabilitas dan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah. Berfokus pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik yang sesuai dengan aturan. Berfokus pada pencapaian tujuan E-Procurement yaitu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
Menggunakan metode penelitian deskriptif analisis dengan instrument data berupa dokumentasi, wawancara, dan kuesioner. Proses pengolahan data dilakukan dengan software Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS versi 22 dengan pengujian statistik menggunakan uji hipotesis, regresi sederhana, korelasi, dan koefisien determinasi.
Menunjukan Hasil Bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara implementasi sistem pengendalian intern pemerintah e-Procurementterhadap pencegahan fraud pengadaan barang/jasa di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,617.
Sumber: Data yang telah diolah
2.7 Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan paradigma penelitian maka dapat
dilakukan perumusan hipotesis. Menurut (Sugiyono 2015, 64), Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori
yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data.
Jadi, hipotesis dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan
masalah penelitian, belum jawaban empirik. Hipotesis penelitian dapat
digambarkan, sebagai berikut:
H1
H2
Gambar II-3 Model Ganda dengan Dua Variabel Dependen
Keterangan:
X = Sistem Pengendalian Intern Y
1= Akuntabilitas
e-Procurement Y2= Transparansi
Berdasarkan gambar di atas, menunjukan hubungan antara satu variabel
independen dengan dua variabel dependen. Maka pengajuan hipotesis dalam
penelitian ini dapat diuraikan, sebagai berikut:
Hipotesis Penelitian1 : Sistem pengendalian intern e-Procumenet memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap akuntabilitas pengadaan barang/jasa
pemerintah.
Hipotesis Penelitian2 : Sistem pengendalian intern e-Procumenet memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap transparansi pengadaan barang/jasa
pemerintah.
X Y1
Y2