bab ii tinjauan umum beberapa pengertian dan … ii.pdf4. sistem terdiri dari beberapa subsistem...
TRANSCRIPT
65
BAB II
TINJAUAN UMUM BEBERAPA PENGERTIAN DAN
MAKNANYA DARI ISTILAH HUKUM TERKAIT PEMBUKTIAN
TERBALIK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1. Pengertian dan Makna Kata : “Urgensi, Sistem, Pembuktian,
Pembuktian Terbalik, Peradilan, Tindak Pidana”
Ada beberapa pemakaian istilah hukum menyangkut pengertian dan
maknanya berkaitan dengan judul penelitian ini. Tiap variabel judul
tersebut menyangkut materi sistem pembuktian terbalik terkait dengan
hak-hak terdakwa yang paling asasi bagi terdakwa dalam persidangan
tindak pidana korupsi. Adapun istilah-istilah serta pengertiannya seperti
terurai berikut ini :
2.1.1. Pengertian “Urgensi” dan “Sistem”
Secara etimologi kata “urgensi” diberikan arti sebagai “keharusan
mendesak”, hal sangat penting59
. Maka menurut penulis bahwa variabel
inti dalam judul penelitian ini adalah sistem pembuktian terbalik , adalah
merupakan substansi dalam peradilan tindak pidana korupsi sebagai
keharusan yang dianggap mendesak dan hal sangat penting untuk
dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini menurut
59
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1110
65
66
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Begitu pula halnya pemakaian kata “sistem” dalam judul penelitian
ini sebelum dikaitkan dengan kata variabel berikutnya, arti dan makna
kata “sistem” diberikan banyak arti oleh para ahli hukum. Namun peneliti
disini akan meninjau arti dan makna kata sistem tersebut dari segi arti kata
dan beberapa rumusan pendapat doktrin.
Istilah sistem berasal dari bahasa latin "systema” yang mengandung
arti keseluruhan atau kombinasi keseluruhan60
. Guna memahami
pengertian sistem sebelum mengkaitkan dengan hukum dan/atau peradilan
pidana ada beberapa definisi tentang sistem yang diberikan oleh para ahli
maupun dari ensiklopedia dan Kamus Bahasa Indonesia seperti :
1. Tatang M. Amirin menyatakan sistem adalah keseluruhan yang
tersusun dari sekian banyak bagian, berarti pula hubungan yang
berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara
teratur. Lebih lanjut sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak
hal, diantarannya untuk menunjukkan suatu himpunan, bagian yang
saling berkaitan, keseluruhan organ-organ tubuh tertentu, sehimpunan
ide-ide, prinsip-prinsip, dan sebagainya, hipotesis atau teori, metode
atau tata cara (prosedur), skema atau metode pengaturan susunan
sesuatu.
Menurut Tatang M. Amirin ciri-ciri sistem yaitu :
1. Setiap sistem mempunyai tujuan
2. Setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari
lingkungannya
3. Walau sistem mempunyai batas tetapi bersifat terbuka
4. Sistem terdiri dari beberapa subsistem atau unsur
5. Sistem mempunyai sifat holistik atau utuh menyeluruh
6. Saling berhubungan dan saling bergantung baik interen atau
eksteren
60
Andi Hamzah (I), 1986, Kamus Hukum, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 583
67
7. Sistem melakukan proses transformasi
8. Sistem memiliki mekanisme kontrol dengan pemanfaatan umpan
balik
9. Memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan
menyesuaikan diri61
.
2. Ludwig Van Bertalanffi memberikan arti sistem : "System are
complexes of elements in ientercation, to which certain law can be
applied” (Sistem adalah himpunan unsur yang saling mempengaruhi
untuk mana hukum tertentu menjadi berlaku)62
.
Lebih lanjut teori sistem merupakan sejarah penjelajahan
intelektualitas manusia dalam menemukan cara yang paling tepat untuk
mempelajari suatu kesatuan yang kompleks.
Menurut Bertalanffi yang dikutip Anthon F. Susanto teori sistem
umumnya memiliki 4 ciri yakni :
1. Mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis
2. Mampu melukiskan kekhususan yang disebut sistem itu
3. Mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam
suatu sistem
4. Merupakan teori saintifik63
.
3. H. Thierry seperti dikutip Anthon F. Susanto memberikan definisi
sistem : “Een System is een gekeel van elkaar wederzijds
beinvloedende componenten, die volgens een plan georden zijn,
tereonde eer beepald doel te bereikeri” (Sistem adalah keseluruhan
bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu
rencana yang telah ditentukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu).
Juga dikutip oleh Anthon F. Susanto, pengertian sistem menurut
William A. Shorde dan Dan Voich Jr., sistem adalah "A independently
and faintly, in persuit of command objectives of the whole within a
61
Tatang M. Amirin, 2001, Pokok – Pokok Teori Sistem, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 15 62
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu , PT. Citra
Aditama, Bandung, hlm. 14 63
Anthon F. Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang
Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT Refika
Aditama, Bandung, hlm. 86
68
complex environtment " (Sebuah sistem adalah seperangkat bagian
yang saling berhubungan, bekerja sedikit bebas, dalam mengejar
keseluruhan tujuan dengan kesatuan lingkungan).
Menurut William A. Shorde dan Dan Voich ciri-ciri sistem yaitu :
1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah
pada tujuan tersebut.
2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh
3. Sisitem memiliki sifat yang terbuka
4. Sistem melakukan kegiatan transformasi
5. Sistem saling berkaitan
6. Dalam sistem ada semacam mekanisme kontrol64
.
4. J. S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain mengartikan sistem :
a. Susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri
sendiri-sendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara
keseluruhan.
b. Susunan yang teratur dari suatu teori, asas suatu mekanisme contoh
pemerintahan, jalannya suatu organisasi.
c. Cara, metode65
.
5. Menurut WJ.S. Poerwadarminta sistem adalah :
a. Sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan suatu maksud.
b. Sekelompok dan pendapat, peristiwa, kepercayaan yang disusun
dan diatur baik-baik.
c. Cara yang teratur untuk melakukan sesuatu66
.
6. Ananda Santoso dan A.R. AI-Hanif, "Sistem adalah peraturan, cara
jalan, susunan yang teratur dan pandangan , teori, asas, seperangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
keseluruhan"67
.
7. Menurut Pamudji "Sistem sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan
yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal -
hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau
keseluruhan yang kompleks atau utuh68
.
64
Bachsan Mustafa, Loc. Cit. 65
Badudu dan Mohammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Balai
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 1337 66
WJ.S. Poerwadarminta, 1993, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Balai
Pustaka, Jakarta, hlm. 955 67
Ananda Santoso dan A.R, AI-Hanif, 1975, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Alumni, Surabaya, hlm. 348 68
Pamudji, 1981, Teori Sistem dan Pengertiannya Dalam Manajemen , Ikhtiar,
Jakarta, hlm. 47
69
8. Menurut Prajudi A. "Sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-
prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola
yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu
usaha atau urusan"69
.
9. Menurut Sri Sumanti "Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang
bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud”70
10. Menurut Musanef "Sistem adalah suatu sarana yang menguasai
keadaan dan pekerjaan agar dalam menjalankannya tugas dapat
teratur"71
11. Menurut Webster's New Collegeate Dictionary "System is a complex of
ideas, principles etc. forming a coherent whole as the American
System of Government' (Artinya adalah suatu kumpulan pendapat-
pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu
kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama lain seperti
pemerintahan72
.
12. Menurut Soerjono Soekanto "Sistem adalah perangkat elemen-elemen
yang saling berhubungan atau perangkat variabel-variabel mandiri"73
.
13. Menurut YB. Suparlan, et. al, "Sistem adalah cara yang teratur dalam
melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan"74
.
14. Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia "Sistem adalah suatu
susunan yang terdiri atas pilahan berdasarkan fungsinya, individu-
individu pendukung yang membentuk kesatuan utuh, tiap individu di
dalam sistem saling bergantung dan saling menentukan75
.
69
H.S. Prajudi, 1973, Dasar – Dasar Office Management, Ghalia, Jakarta, hlm.
995 70
Sri Sumanti, 1976, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara, Transito,
Bandung, hlm. 17 71
Musanef, 1989, Sistem Pemerintahan di Indonesia , CV. Haji Masaung,
Jakarta, hlm. 7 72
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural
Fungsional, PT. Six, Surabaya, hlm. 1 73
Soerjono Soekanto (I), 1985, Kamus Sosiologi Edisi Baru , PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 434 74
YB. Suparlan, 1990, Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana ,
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 233. 75
Ensiklopedia Nasional Indonesia , 1996, PT. Citra Adi Pustaka, Jakarta, hlm.
93
70
15. Menurut Kamus Istilah Peraturan Perundang-undangan "Sistem adalah
suatu tatanan dari hal-hal yang saling berkaitan dan berhubungan
saling membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan76
.
16. Menurut Ensiklopedi Administrasi "Sistem (dari bahasa Inggris
System) artinya suatu rangkaian prosedur yang telah merupakan suatu
kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan suatu fungsi"77
.
Berdasarkan pengertian sistem di atas dapat dirangkum unsur -unsur
dari suatu sistem yakni :
a. Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu
Sistem tersebut terorientasi kepada sasaran tertentu.
b. Keseluruhan
Keseluruhan melebihi jumlah dari semua bagian-bagiannya.
c. Keterbukaan
Sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah sistem yang lebih
besar yaitu lingkungannya.
d. Transformasi
Bagian-bagian yang bekerja, menciptakan sesuatu yang mempunyai
nilai.
e. Antar Hubungan
Berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain.
f. Mekanisme Kontrol
2.1.2 Arti dan Makna Pembuktian dan Sistem Pembuktian Terbalik
2.1.2.1 Arti dan Makna Pembuktian
Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengertian
pembuktian secara umum adalah perbuatan (hak dan sebagainya)
membuktikan, sedangkan membuktikan berarti:
1. Memberi (memperlihatkan bukti);
2. Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-
cita dan sebagainya);
76
Tim Redaksi Tata Nusa, 1999, Kamus Istilah Menurut Peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia 1945-1998, PT. Tata Nusa, Jakarta, hlm. 563 77
The Liang Gie (et. Al), 1981, Ensiklopedi Administrasi, Gunung Agung,
Jakarta, hlm. 328 – 329
71
3. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
4. Meyakinkan, menyaksikan78
.
Sedangkan menurut Munir Fuadi, pembuktian sendiri di dalam Ilmu
Hukum memiliki pengertian yaitu :
Suatu proses, baik dalam acara perdata maupun acara pidana,
maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur yang khusus,
untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan khususnya
fakta atau yang dipersengketakan di Pengadilan, yang diajukan dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar
atau tidak seperti yang dinyatakan itu. Sedangkan Hukum
Pembuktian mengandung pengertian sebagai seperangkat kaidah
hukum yang mengatur tentang pembuktian79
.
M. Yahya Harahap memberikan rumusan mengenai pengertian
pembuktian yaitu:
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan80
.
Adapun arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana
antara lain:
- Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha
mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum, semua terikat pada
ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya
sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat
78
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata),
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.1-2. 79
Ibid 80
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Ed.2, Cek ke XI., Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273.
72
bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan
undang-undang.
- Majelis Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang
akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat -alat
bukti yang telah ditentukan undang-undang secara "limitatif',
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP81
.
Ditinjau dan segi hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan
dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan:
a. Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang
untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa;
b. Terdakwa atau Penasihat Hukum (advokat) mempunyai hak
untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan jaksa penuntut
umum sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang,
berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan, dengan saksi
yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan
"alibi";
c. Pembuktian juga dapat berarti suatu penegasan bahwa ketentuan
tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada Terdakwa.
Yang mana hal ini terjadi pada saat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum bersifat alternatif dan hasil pembuktian yang dilakukan
pada saat persidangan Pengadilan, kesalahan yang terbukti
adalah dakwaan pengganti. Dalam hal ini, pembuktian memiliki
81
Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 273-274.
73
arti dan fungsi sebagai penegasan tentang tindak pidana yang
dilakukan terdakwa sekaligus juga membebaskan dirinya dari
dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan
pada dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.
2.1.2.2 Sistem Pembuktian Terbalik
Sistem pembuktian dalam perkara pidana umum lazimnya
dibebankan pada jaksa penuntut umum. Pengaturan beban pembuktian
yang dibebankan pada jaksa tersurat dalam Pasal 66 KUHAP, bahwa
tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian. Menurut
Martiman Prodjohamidjojo makna pasal diatas diartikan bahwa kewajiban
penuntut umumlah yang dibebani kewajiban membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa82
.
Berarti kata “sistem pembuktian terbalik” mengandung makna
berbeda dari hal pada umumnya, karena pembuktian yang umum atau biasa
jaksa dibebani beban pembuktian. Dengan kata “terbalik” bahwa
terdakwalah yang dibebani beban pembuktian sesuai makna Pasal 37 ayat
(1) dan (3) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
82
Martiman Prodjohamidjojo (I), Op. Cit., hlm. 49
74
2.1.3 Arti Peradilan dan Tindak Pidana
Menurut batasan arti diberikan dalam kamus bahwa kata
“peradilan” diartikan segala sesuatu mengenai perkara pengadilan,
lembaga hukum bertugas memperbaiki83
. Namun pendapat para ahli
menurut Fachmi memberi batasan pengertian dari kata “adil” yang
diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun
keseimbangan dan secara keseluruhan peradilan dalam hal ini adalah
menunjukkan kepada suatu proses, yaitu proses untuk menciptakan atau
mewujudkan keadilan84
.
Sehubungan pemakaian kata peradilan dalam penelitian ini
dikaitkan batasan pengertian yang diberikan oleh Fachmi diatas
menunjukkan bahwa peradilan mengandung makna serta arti sebagai
proses dalam mencari dan mewujudkan keadilan melalui pembuktian
untuk mendapatkan kebenaran dipersidangan.
Istilah tindak pidana berasal dari istilah Belanda, yaitu “Strafbaar
feit”. Strafbaar feit terdiri dari 3 kata yaitu “straf” yang diterjemahkan
dengan pidana dan hukum. Kata “baar” diterjemahkan dengan dapat atau
boleh. Sedangkan “feit” diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
83
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Op Cit, hlm. 7 84
Fachmi, 2011, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem
Peradilan Pidana INdonesia, Ghalia INdonesia Publishing, Bogor, hlm. 50
75
pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk kata "straf” berarti pidana,
kata "baar" artinya dapat atau boleh, dan "feit" berarti perbuatan.76
Terhadap pengertian tindak pidana, terdapat dua aliran yang
berkembang yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Pandangan monistis
melihat bahwa keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan. Sedangkan pandangan dualistis
memisahkan antara pengertian "perbuatan pidana" (criminal act) dengan
"pertanggungjawaban pidana” (criminal responsibility atau criminal
liability)85
.
Berikut pengertian stratbaar feit menurut doktrin menganut
pandangan monistis antara lain :
1. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana86
.
2. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan
sebagai dapat dihukum87
.
85
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 , Cet. I, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 69. 86
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia , PT.
Eresco, Jakarta, hlm. 50 87
Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana , terjemahan
P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, hlm. 127.
76
Sedangkan pengertian strafbaar feit menurut para sarjana yang
menganut pandangan dualistis antara lain :
1. Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana yang
didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut88
.
2. Pompe yang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan yang
menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum.
3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan tindakan
manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
4. R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana itu adalah sesuatu
perbuatau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman89
.
Mengenai unsur-unsur tindak pidana, penulis akan
membandingkan pendapat dari Simons sebagai penganut aliran monistis
dengan pendapat dari Moeljatno yang menganut pandangan dualistis. Dari
88
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm.
55.
89 Adami Chazawi, Op. Cit. hlm. 72.
77
pendapat Simons mengenai pengertian strafbaar feit dapat ditarik unsur -
unsur dari strajbaar feit yang dapat digolongkan menjadi unsur subjektif
dan unsur objektif.
Unsur subjektif antara lain:
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan "kesalahan" yang berhubungan dengan akibat dari perbuatan
atau dengan keadaan-keadaan saat mana perbuatan dilakukan.
Unsur objektif antara lain :
a. Perbuatan orang;
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang rnenyertai perbuatan itu.
Sedangkan penganut pandangan dualistis adalah Moeljatno yang
memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan.
Adapun unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah :
a. Perbuatan manusia;
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).
78
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penganut monistis
tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat
untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur mengenai diri orangnya bagi
penganut dualistis yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban
pidana sebagai bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat
dipidananya, sedangkan menurut pandangan monistis syarat dipidaimya itu
juga termasuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.
Antara kedua pandangan tersebut menurut Soedarto adalah
sama benarnya dan tidak perlu dipertentangkan. Pandangan tersebut
dikarenakan adanya sudut pandang yang berbeda. Pandangan dualistis
barangkat dari sudut abstrak, yaitu memandang tindak pidana semata-mata
pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang
sifatnya dilarang itu terjadi (konkrit), baru melihat pada orangnya, Bila
orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan karena
perbuatannya itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka
kepadanya dijatuhi pidana.
Sedangkan aliran monistis memandang dari sudut pandang konkrit,
bahwa strafbaar feit tidak bisa dipisahkan dengan orangnya. Dalam
strafbaar feit selalu ada si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena
itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur
mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana.
79
2.1.4 Batasan Pengertian Terdakwa
Menurut ketentuan pengaturan Pasal 1 angka 15 KUHAP bahwa :
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili
disidang pengadilan”. Dalam proses peradilan seorang terdakwa memiliki
hak-hak yang dilindungi secara hukum. KUHAP mencanangkan hak-hak
terdakwa yang tidak dapat diabaikan atau dilanggar oleh penegak hukum.
Pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa akan berakibat batalnya
putusan hakim. Terdakwa mesti diperlakukan sama di depan hukum tanpa
kecuali tanpa memandang asal-usul dan status sosial sebelumnya.
Terdakwa dihadapan di depan hukum karena diduga melakukan
pelanggaran hukum.
2.2 Pengertian Dari Makna Korupsi Serta Komponennya
2.2.1 Pengertian dan Makna Korupsi
Secara terminologis, korupsi berasal dari kata “corruptio” atau
“corruptus” dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan
dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.90
Disebutkan pula bahwa corruption berasal pula asal kata corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua.
Selanjutnya dari bahasa Latin itu turun kebanyak bahasa Eropa
seperti corruption, corrupt : (Inggris), corruption (Perancis), dan Belanda
90
Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum (Terjemahan), Bina Cipta, Bandung hlm. 73
80
yaitu urruptie (korruplie). Bahasa Belanda inilah yang turun ke dalam
bahasa Indonesia yaitu "korupsi"91
.
Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau
kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian,
melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan
menyangkut keuangan negara. Menurut Henry Campell Black,
mengartikan korupsi sebagai "an act done with an intent to give some
advantage inconsistent with official duty and the rights of others"
(terjemahan bebasnya : sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
resmi dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk juga pengertain
"corruption" menurut Black adalah perbuatan seorang pejabat yang secara
melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu
keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya92
.
Dalam Webster's New American Dictionary, kata "corruption"
diartikan sebagai "decay" (lapuk), "contamination" (kemasukan sesuatu
yang merusak, dan "impurity" (tidak murni). Sedangkan kata "corrupt"
dijelaskan sebagai "to became rotten or putrid" (menjadi, busuk, lapuk,
dan buruk), juga "to induce decay in something originally clean and
91
Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional , Ed. Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4. 92
Septa Candra, 2012, "Hukum Pidana Dalam Perspektif (dalam : Agustinus
Pohan dkk (ed); Tindak Pidana Korupsi : Upaya Pencegahan dan Pemberantasan ,
Pustaka Larasan, Jakarta, hlm. 106.
81
sound’ (memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam
sesuatu yang semula bersih dan bagus)93
.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikan
sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
sogokan, dan sebagainya94
. Sedangkan menurut Sudarto, istilah korupsi
berasal dari kata "corruption", yang berarti kerusakan.
Brooks, sebagaimana dikutip oleh Alatas memberikan perumusan
korupsi yaitu dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas
yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan
dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat
pribadi.
Beberapa pengertian korupsi seperti tersirat diatas menunjukkan
makna bahwa setiap perbuatan korupsi itu merupakan perbuatan buruk
yang membawa kerugian. Bahwa pula korupsi dilakukan dengan bentuk
perbuatan seperti penggelapan, menerima sogokan, dengan memanfaatkan
jabatan atau kewenangannya. Dan dapat korupsi itu dilakukan oleh siapa
saja termasuk pejabat, yang potensial untuk keuntungan dirinya sendiri
ataupun orang lain.
93
A. Mariam Webster, 1985, New International Dictionary, G & C Marriam Co .
Publishers Springfield Mass, USA, hlm. 79
94
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Balai
Pustaka, Jakarta, hlm. 128.
82
2.2.2 Batasan Korupsi dan Penyebab Timbulnya Korupsi Menurut
Doktrin
Beberapa pendapat dari para ahli memberikan batasan pengertian
tentang korupsi, seperti Firman Wijaya :
“Secara etimologi korupsi merupakan istilah dari bahasa latin,
yakni corruptio atau corruptos yang bila diterjemahkan secara
harfiah adalah pembusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang memfitnah. Meskipun kata corruptio memiliki
arti luas, namun sering diartikan sebagai penyuapan, istilah korupsi
disimpulkan dalam bahasa Indonesia oleh Purwadarminta dalam
karnus umum bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok.95
Menurut Andi Hamzah arti kata korupsi adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.96
Kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio yang kemudian muncul
dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, serta dalam bahasa belanda
Korruptie.97
Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden
Marpaung adalah perbuatan memiliki "keuangan negara" secara tidak sah
(haram).98
Black's Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai berikut
yaitu :
95
Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Maharani Press,
Jakarta, hlm. 7 96
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya ,
Jilid 1, Get. 3, Gramedia, Jakarta, hlm. 9. 97
Andi Hamzah, 1985, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP . Jilid II, Pradnya
Paramitha, Jakarta, hlm. 43. 98
Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan
Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 149.
83
"Corruption is an act done with an intent to give advantages
inconsistent with official duty and the rights of others. The act of
an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses
his station or character to procure some benefit for himself or for
another person contrary to duty and the rights oj others99
.
(Dalam terjemahan bebasnya Korupsi merupakan tindakan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan konsisten
dengan tugas resmi dan hak orang lain. Tindakan resmi atau fidusia
yang melawan hukum dan keliru menggunakan jabatannya untuk
mendapatkan beberapa manfaat bagi dirinya sendiri atau untuk
orang lain yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain)
Secara sosiologis menurut Syed Hussein Alatas, ada tiga tipe
fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni pemerasan, dan
nepotisme. Lebih lanjut Syed Hussein Alatas dalam monografnya yang
berjudul:
"The Sociology of Corruption : the nature, function, causes, and
prevention of corruption" menyatakan bahwa menurut pemakaian
umum, istilah korupsi yaitu apabila seorang pegawai negeri
menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan
maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa
pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan
menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda
99
Garner, Bryan. A, 2009, Black's Law Dictionary.West Publising Co, p . 240.
84
juga tercakup dalam konsep itu dalam pelaksanaan tugas-tugas
publik, juga bisa dipandang sebagai korupsi.100
Menurut Indrayanto Seno Adji, bahwa tak dapat dipungkiri korupsi
merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami
dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai
invisible crime yang penangannya memerlukan kebijakan hukum pidana,
Kebijakan hukum pidana ini tentu harus memiliki karakteristik nilai-nilai
keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, jadi
pertimbangan utamanya adalah keberpihakan pada kepentingan ekonomi
rakyat atau kepentingan umum.101
Mengenai tindakan yang termasuk korupsi, Carl J. Friesrich
berpendapat bahwa : pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang
memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu
seperti seorang pejabat yang bertanggungjabwab melalui uang atau
semacam hadiah lainnya yang diperbolehkan oleh undang-undang;
membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang
menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan
kepentingan umum.102
100
Firman Wijaya, Op. Cit, hlm. 8. 101
Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum
Pidana, Diadit Media, Jakarta, hlm. 374 102
Martiman Prodjohamidjojo (II), 2009, Penerapan Pembuktian dalam Delik
Korupsi. Mandar Maju, Bandung, hlm. 9.
85
Lubis dan Scott dalam pandangannya bahwa :103
dalam arti hukum
korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan
merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-
norma pemerintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pelanggaran
hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.
Robert Klitgaard mengartikan korupsi adalah one of the foremost
problems in the developing world and it isreveiving much greater
attention as we reach the last decade of the century.104
(Dalam terjemahan
bebasnya : salah satu masalah utama di negara berkembang dan menerima
perhatian yang jauh lebih besar seperti yang kita capai dalam dekade
terakhir).
Tindak Pidana korupsi sebagai salah satu jenis tindak pidana yang
diatur dalam tindak pidana khusus atau ketentuan-ketentuan di luar KUHP.
Menurut Pompe ada dua kriteria yang menunjukan hukum pidana khusus
itu, yaitu orang-orang yang khusus, maksudnya subyek atau pelakunya
yang khusus dan perbuatannya yang khusus, Disamping itu Pompe
menegaskan bahwa kekhususan hukum pidana tersebut tidak hanya secara
materiilnya yang menyimpang dari buku 1 KUHP tetapi juga hukum
acaranya yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHAP).105
103
M. Lubis dan J.Q. Scott, 1997, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, hlm. 19 104
Robert Klitgaard dalam Achmad AH, 2002, Keterpurukan Hukum di
Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 15. 105
Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus , Rineka Cipta,
Jakarta, hlm. 1-2.
86
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana
yang diatur dengan ketentuan hukum khusus disamping tindak pidana
khusus lainnya di luar KUHP seperti tindak pidana narkotika, tindak
pidana ekonomi, tindak pidana lingkungan hidup, subversi dan lain
sebagainya.
Tindak pidana korupsi dikenal juga sebagai tindak pidana yang
dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang dalam suatu jabatan yang
biasa disebut kejahatan kerah putih atau white collar crime. Djoko
Prakoso menyatakan bahwa :
Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang digolongkan
sebagai "White Collar Crime”yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat
dan dilakukan sehubungan dengan tugas/pekerjaannya, sehingga
korupsi mempunyai perbedaan dengan kejahatan lain, karena
kejahatan korupsi ini tidak dilakukan oleh orang-orang miskin atau
kurang pendidikan tetapi orang yang mempunyai kedudukan sosial,
ekonomi maupun politik yang tinggi.106
Istilah kejahatan yang kerah putih seperti salah satunya korupsi,
H.Sutherland yang pertama kali mengemukakan istilah "White Collar
Crime" (WCC) menyatakan WCC sebagai model kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan "upper class", yaitu orang-orang yang
106
Djoko Prakoso, 1987, Kejahatan-Kejahatan yang membahayakan dan
Merugikan Negara, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 392.
87
terhormat, terpandang, yang mempunyai kedudukan sosial maupun
ekonomi yang baik dan mapan di mata masyarakat memangku suatu
jabatan atau pekerjaan yang terhormat, dan juga disegani karena
berpendidikan tinggi dan mempunyai penampilan yang meyakinkan .107
Demikian juga tindak pidana korupsi dapat digolongkan kedalam
kejahatan kerah putih dengan ciri-ciri :
1. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan atau status sosial yang tinggi;
2. Kejahatan itu dilakukan dalam hubungannya dengan pekerjaan;
3. Kejahatan itu dilakukan dengan menitikberatkan pada bentuk
kejahatan tanpa kekerasan (tanpa kekuatan fisik).108
Tidak diragukan lagi tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar
masyarakat dan Bangsa Indonesia, bahkan oleh masyarakat dan bangsa-
bangsa di dunia. Berkaitan dengan hal ini Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa keprihatinan dunia internasional terlihat dengan
berulangkalinya masalah ini dibicarakan di forum internasional, walaupun
dalam ungkapan yang bermacam-macam, antara lain dimasukan sebagai
salah satu bentuk dari crime as bussines, economic crime, official crime
atau sebagai salah satu dari abuse of power.109
Makna korupsi berkembang dari waktu ke waktu, sebagai
pencerminan kehidupan masyarakat dari sisi negatif sehingga pengertian
107
Abd. Wahid, 1993, Modus-Modus Kejahatan Modern, Tarsito, Bandung, hlm.
35. 108
Purwati, SH, Sekali Lagi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Seminar
Peningkatan Citra Hukum Indonesia, Fak. UNUD 5-7 Februari 2005, hlm. 3. 109
Harum Pudjianto, 1994, Politik Hukum Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia , Univ. Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 5.
88
korupsi dapat ditinjau dari beberapa aspek. Martiman Prodjohamidjojo
dalam bukunya Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
menyebutkan beberapa pengertian korupsi diantaranya :
1. Rumusan korupsi dari sisi pasar.
Menurut Jacob van Klaveren mengatakan seorang pengabdi
negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menggarap kantor
atau instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana
pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin,
2. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan
Menurut Bayley, dinyatakan bahwa : korupsi dikaitkan dengan
perbuatan penyuapan yang dikaitkan dengan penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan akibat adanya pertimbangan mereka
yang memegang jabatan bagi kepentingan pribadi.
Menurut M. Me MuJlan, korupsi dikaitkan dengan penerimaan
uang oleh pejabat yang dirasakan sebagai dorongan untuk
melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam tugas jabatannya
secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan
kepentingan unrmm dan kekuasaan.110
Kejahatan yang berkembang secara kualitatif merupakan
perkembangan alamiah yang tidak dapat dicegah ataupun diantisipasi
secara akurat oleh pikiran manusia, karena hal tersebut merupakan
konsekuensi logis dari perkembangan kecerdasan umat manusia itu
sendiri. Hal itu terlihat dari kejahatan yang menonjol pada abad 20 tidak
didominasi oleh mereka yang memiliki pendidikan rendah melainkan
didominasi mereka yang memiliki kemampuan dan tingkat kecerdasan
yang cukup tinggi, termasuk juga dalam status sosial ekonominya.
Jenis kejahatan ini disebut kejahatan kerah putih, menurut Romli
Atmasasmita di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu :
110
Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam
Delik Korupsi (UU No 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, hlm. 9.
89
a. Kejahatan kerah putih dalam bidang perdagangan, industri dan
keuangan.
b. Kejahatan kerah putih dibidang penyalahgunaan wewenang dan
birokrasi berkerjasama dengan usahawan.111
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu :
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini
adalah faktor yang paling menonjol, dalam arti merata dan
meluasnya korupsi di Indonesia;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah
berlakunya KUHP di Indonesia, menyalahgunakan kekuasaan
oleh pejabat untuk menguntungkan diri sendiri memang telah
diperhitungkan secara khusus oleh Pemerintah Belanda sewaktu
disusun WvS untuk Indonesia. Hal ini nyata dengan disisipkan
Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif
dan kurang efisien sering dipandang pula sebagai penyebab
korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu akan
memberi peluang untuk melakukan korupsi, Sering dikatakan,
makin besar anggaran pembangunan semakin besar pula
kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;
4. Modernisasi mengembangbiakkan korupsi karena membawa
perubahan nilai yang dasar dalam masyarakat, membuka
sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan , membawa perubahan-
perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan politik,
memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan
kegiatan-kegiatan yang diatur oleh Peraturan pemerintah.112
Sementara Selo Soemardjan menyatakan bahwa korupsi yang
senafas dengan kolusi dan nepotisme, didukung oleh faktor-faktor sosial,
yaitu :
111
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana , Mandar Maju,
Bandung, hlm. 152.
112
Andi Hamzah dalam Djoko Prakoso, 1987, Kejahatan-Kejahatan yang
membahayakan dan Merugikan Negara , Bina Aksara, Jakarta, hlm. 392.
90
1. Disintegrasi anomali sosial karena perubahan sosial terlalu cepat
sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik Negara dan
milik pribadi;
2. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih
menjadi orientasi harta, Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan
harta;
3. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial atau budaya;
4. Penyalahgunaan kekuasaan Negara menjadi sebagai shortcut
mengumpulkan harta;
5. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menyebar, meresap dalam
kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan
kesempatan kaya;
6. Pranata-Pranata sosial sudah tidak efektif lagi.113
Selain faktor penyebab, faktor-faktor pendorong sehingga
dilakukannya korupsi menurut Suradi, ada tiga macam, yaitu : (1) adanya
tekanan (perceived pressure); (2) adanya kesempatan (perceived
opportunity); dan (3) berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan
dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable).114
2.2.3 Ciri-Ciri dan Dampak Korupsi
Menurut Alatas, Korupsi mengandung ciri-ciri sebagai berikut
yaitu :
1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
2. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan, kecuali
dimana ia telah begitu merajalela dan berurat akar, sehingga
individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam
lingkungannya tidak kuasa untuk menyembunyikan perbuatan
mereka;
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal
balik, yang tidak senantiasa berupa uang;
113
Selo Soemardjan dalam Evi Hartati, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Semarang, hlm. 16 114
Suradi, 2006, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta , Gava Media,
Yogyakarta, 2006, hlm.1-2.
91
4. Koruptor berusaha menyelubungi perbuatan mereka dengan
berlindung dibalik pembenaran hukum;
5. Mereka yang terlibat dalam korupsi menginginkan berbagai
keputusan yang tegas dan mampu mempengaruhi keputusan itu;
6. Korupsi adalah bentuk suatu penghianatan;
7. Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang
kontradiktif dari mereka yang melakukan perbuatan itu;
8. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjwaban
dalam tatanan masyarakat, la didasarkan atas niat kesengajaan
untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan
khusus.115
Berdasarkan uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat
diketahui akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar.
Beberapa pakar menggambarkannya di bawah ini.
Menurut Pendapat Evi Hartanti:
1. Berkurangnya Kepercayaan terhadap Pemerintah
Akibat pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan
kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah tersebut Di
samping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara yang
pejabatnya bersih dari korupsi, baik dalam kerja sama di bidang
politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini akan
mengakibatkan pembangunan ekonomi serta menggangu
stabilitas perekonomian negara dan stabilitas politik.
2. Berkurangnya kewibawaan Pemerintah dalam Masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah melakukan
penyelewengan keuangan negara, masyarakat akan bersikap
apatis terhadap segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat
apatis masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional
akan rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal ini
pernah terjadi pada tahun 1998 yang lalu, masyarakat sudah
tidak mempercayai lagi pemerintah dan menuntut agar Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya karena dinilai tidak lagi
mengemban amanat rakyat dan melakukan berbagai tindakan
yang melawan hukum menurut kacamata masyarakat.
115
Alatas dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 15.
92
3. Menyusutnya Pendapatan Negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua
sektor, yaitu dari pungutan bead an penerimaan pajak.
Pendapatan negara dapat berkurang apabila tidak diselamatkan
dari penyelundupan dan penyelewengan oleh oknum pejabat
pemerintah pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut
4. Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila
para pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing
yang hendak memaksakan idiologi atau pengaruhnya terhadap
bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai suatu
sarana untuk mewujudkan cita-citanya. Pengaruh korupsi juga
dapat mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat
terhadap negara.
5. Perusakan Mental Pribadi
Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan
penyalahgunaan wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal
ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan
akan melupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya
melakukan tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan untuk
menguntungkan dirinya ataupun orang Jain yang dekat dengan
dirinya. Yang lebih berbahaya lagi, jika tindakan korupsi ini
ditiru atau dicontoh oleh generasi muda Indonesia, Apabila hal
tersebut terjadi maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai.
6. Hukum tidak Lagi Dihormati
Negara kita merupakan negara hukum di mana segala sesuatu
harus didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini
bukan hanya terletak pada penegak hukum saja namun juga pada
seluruh warga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai
tertib hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum
melakukan tindakan korupsi sehingga hukum tidak dapat
ditegakan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.116
Pendapat Juniadi Soewartojo yakni dampak korupsi terhadap
perekonomian dan pembangunan nasional pada umumnya dipandang
negatif. Dengan korupsi akan berakibat pemborosan keuangan/kekayaan
negara, juga swasta, yang tidak terkendali penggunaannya karena berada
di tangan para pelakunya yang besar kemungkinannya disalurkan untuk
116
Evi Hartanti dalam Surachmin, 2011, Strategi & Teknik Korupsi , Sinar
Grafika, Cet. 2, Jakarta, hlm. 85-86.
93
keperluan-keperluan yang bersifat konsumtif, Korupsi dapat menghambat
pula pertumbuhan dan pengembangan wiraswasta yang sehat, dan di
samping itu tenaga professional kurang atau tidak dimanfaatkan pada hal
yang potensial bagi pertumbuhan ekonomi.117
2.2.4 Tipologi dan Modus Operandi Korupsi
2.2.4.1 Tipologi Korupsi Menurut Doktrin (Pendapat Ahli)
Piers Beirne dan James Messersclimidi118
membagi korupsi atas
empat macam yaitu political bribery, political kickbacks, elction fraud
dan corrupt campaign practices.
Political bribery, adalah kekuasaan di bidang legislatif sebagai
badan pembentuk undang-undang yang secara politis badan tersebut
dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada
masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan
tertentu yang bertindak sebagai penyandang. Di mana individu pcngusaha
sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah
diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan kini duduk sebagai
anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang
menguntungkan usaha atau bisnis mereka.
Political kickbacks, adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan
sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat
117
Ibid
118
Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Ermasjah Djaja, 2010,
Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Cet. 1, Penerbit Mandar Maju, Bandung,
hlm. 19-21.
94
terkait dengan pengusaha yang memberikan kesempatan atau peluang
untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak.
Election fraud, adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang
dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga
pelaksana pemilihan umum.
Corrupt campaign practices adalah korupsi yang berkaitan dengan
kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan
penggunaan uang Negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang
kekuasaan Benvenist119
membedakan korupsi atas :
1. Discretionary corruption ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan sekalipun nampak
bersifat sah, bukanlah merupakan praktek-praktek yang dapat ditcrima
oleh para anggota organisasi.
Contoh : Dalam pelayanan perizinan Tenaga Kerja Asing. Seorang
pegawai memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada seorang calo
atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon
yang biasa-biasa saja. Alasannya adalah calo adalah orang yang bisa
memberikan tambahan pendapatan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan
tentang praktek korupsi walaupun ada peraluran yang dilanggar.
Terlebih lagi apabila dalih memberikan uang tambahan itu dibungkus
119
Ibid, hlm. 21 – 22
95
dengan jargon "tanda ucapan terima kasih" dan diserahkan setelah
layanan diberikan.
2. Illegal corruption ialah suatu jenis tindakan korupsi yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu.
Contoh : Dalam peraturan lelang dinyalakan bahwa unluk pcngadaan
barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender.
Tetapi karena waktunya mendesak (turunnya anggaran terlambat),
maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu maka pemimpin
proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau
memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh
inspektur. Maka dicarilah pasal-pasal dalam unsur-unsur vang
memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna
memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal,
misalnya ditemukanlah satu pasal yang mengatur perihal " keadaan
darurat" atau "force majeur”. Dalam pasal ini dikatakan bahwa "dalam
keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan
dengan syarat harus memperoleh izin dari pejabat yang berkompeten."
Dari sinilah dimulainya illegal corruption, yakni ketika pemimpin
proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat. Andaikata dalam
pasal keadaan darurat tersebut ditemukan kalimat yang berbunyi
"termasuk ke dalam keadaan darurat ialah suatu keadaan yang berada
di luar kendali manusia", maka dengan serta merta pemimpin proyek
96
bisa berdalih bahwa keterbatasan waktu adalah salah satu unsur yang
berada di luar kendali manusia yang bisa dipergunakan oleh pemimpin
proyek sebagai dasar pembenaran pelaksanaan proyek. Atas 'dasar
penafsiran itulah pemimpin proyek meminta persetujuan kepada
pejabat yang berkompeten. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus
ini, sebenarnya bisa dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada
bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku.
3. Mercenary corruption ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Contoh : Dalam suatu persaingan tender seorang panitia lelang
memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu
secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk
memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang
"sogok" atau "semir" dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini
dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, rnaka perbuatan
panitia lelang ini sudah termasuk ke dalam kategori mercenary
corruption. Bentuk "sogok" atau "semir" itu tidak mutlak berupa uang
namun bisa juga dalam bentuk lainnya.
4. Ideological corruption ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan /kepentingan
kelompok.
97
Contoh : Kasus skandal Watergate, di mana sejumlah individu
memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang
kepada undang-undang atau hukum, Penjualan asset BUMN untuk
mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu
adalah contoh dari jenis korupsi ini.
Menurut Syed Hussein Alatas120
, secara tipologis korupsi dapat
dibagi dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan sebagai berikut:
1. Korupsi transaktif (Transcictive corruption) menunjukan pada .
adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi kcuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif
diusahakan tercapainya keuntungan itu oleh kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (Exlortive corruption) adalah jenis korupsi
dengan keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna
mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya
atau orang lain dan hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (Inventive corruption) adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan
datang.
4. Korupsi perkerabatan / nepotisme (Nepotistic corruption) adalah
penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk
120
Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi , LP3ES,
Jakarta, hlm. ix - xi.
98
memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang
memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau
bentuk-bentuk lain kepada mereka secara bertentangan dengan norma
dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (Defensive corruption) adalah perilaku korban
korupsi dengan pemerasan sebagai bentuk mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (Autogenic corruption) yaitu korupsi yang tidak
melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang.
7. Korupsi dukungan (Suportive corruption) adalah korupsi yang tidak
secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam
bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk
mciindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
Muladi menjelaskan ada beberapa bentuk korupsi sebagai berikut
yaitu :
a. Political Corruption (Grand Corruption) yang terjadi di
tingkat tinggi (penguasa, politisi pengambil keputusan) dimana
mereka mcmiliki suatu kewenangan untuk memformulasikan.
membentuk dan melaksanakan undang- undang atas nama rakyat
dengan memanipulasi institusi politik, aturan prosedural dan
distorsi lembaga pemerintah dengan tujuan meningkatkan kekayaan
dan kekuasaan.
b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption) yang biasa terjadi
dalam administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum.
c. Electoral Corruption (Vote Buying) dengan tujuan untuk memenangkan
suatu persaingan seperti dalam pemilu, Pilkada, Keputusan Pengadilan,
Jabatan Pemerintahan dan sebagainya.
d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas,
terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi antar individu atau teman
dekat.
99
e. Collective or Aggregated Corruption, dimana korupsi dinikmati
beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam suatu organisasi
atau lembaga.
f. Active and Passive Corruption, dalam bentuk memberi dan menerima
suap (bribery) untuk meiakukan atau tidak melakukan sesuatu atas
dasar tugas dan kewajibannya.
g. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang di bentuk
untuk menampung hasil korupsi ataupun corruption for corporation
dimana seseorang atau beberapa orang yang memiliki kedudukan
penting dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari
keuntungan bagi perusahaannya tersebut.
h. Korupsi defensif (defensive corruption) disini pemberi tidak bersalah
tetapi si penerima yang bersalah. Misalnya, seorang penguasa
yang kejam menginginkan hak milik seseorang.
i. Korupsi otogenik (auto genie corruption) suatu bentuk korupsi yang
tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.121
j. Korupsi dukungan (supportive corruption) disini tidak langsung
menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan
yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang
sudah ada.122
2.2.4.2 Tipologi Korupsi Menurut UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU NO.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Sedangkan tipologi tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirumuskan tindak pidana
korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi,
yang telah berkembang menjadi 7 (tujuh) tipe atau kelompok sebagai
berikut:
121
Muladi Dalam Ermansjah Djaja, Op Cit., hlm. 21 122
Septa Candra, Loc. Cit
100
1. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Murni Merugikan
Keuangan Negara"
Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai
negeri sipil, dan penyelengara negara yang secara melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang
termasuk tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
7 ay at (1) huruf a dan huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 huruf a, Pasal 1 huruf (i), Pasal 12 A, dan Pasal 17.
2. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Suap”
Tipe tindak pidana korupsi suap tidak berakibat langsung pada
kerugian keuangan Negara ataupun perekonomian negara, karena
sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai
negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan
melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan
melakukan perbuatan memperkaya diri 'sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi bukan berasal dari uang negara atau asset negara,
melainkan dari uang atau asset orang yang melakukan penyuapan.
Dalam tindak pidana korupsi suap selalu melibatkan peran aktif antara
orang yang melakukan penyuapan dengan pegawai negeri sipil atau
101
penyelenggara negara sebagai penerima suap, yang disertai dengan
kesepakatan mengenai besaran atau nilai penyuapan dan cara
penyerahannya, Ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi ini
adalah Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, Pasal
12A, Pasal 17.
3. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Pemerasan"
Pada tindak pidana ini, terdapat peran aktif dari pegawai negeri
sipil atau penyelenggara negara yang meminta bahkan cenderung
melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan
ataupun bantuan. Hal ini dikarenakan adanya faktor ketidakmampuan
secara materiil dari masyarakat yang memerlukan bantuan atau
pelayanan tersebut. Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan
Pasal 12 huruf e, huruf f, huruf g, Pasal 12A, Pasal 17.
4. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Penyerobotan"
Pada tindak pidana ini terdapat peran aktif dari pegawai negeri
sipil atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang ada di atasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah
merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tindak
pidana korupsi ini diancam dengan ketentuan Pasal 12 huruf h dan
Pasal 17.
102
5. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi"
Dalam tindak pidana korupsi "gratiflkasi" pegawai negeri sipi l
atau penyelenggara negara bersifat pasif, sedangkan yang bersifai aka l
adalah pemberi gratiflkasi. Selain itu dalam tipe tindak pidana korupsi
ini tidak ada kesepakatan antara pemberi gratifikasi dengan pegawai
negeri ataupun penyelenggara negara. Tindak pidana ini dijerat dengan
Pasal 12B jo. Pasal 12 C, Pasal 13, dan Pasal 17.
6. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Percobaan, Pembantuan, dan
Permufakatan"
Tindak pidana korupsi percobaan, pembantuan, dan
permufakatan yang dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan,
pembantuan, dan permufakatan untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Pada tindak pidana ini sanksi pidananya dikurangi 1/3 (satu
pertiga) dari ancaman pidananya. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal
7 ayat (1) huruf b dan d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17.
7. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Lainnya"
Tipe tindak pidana ini adalah peristiwa atau perbuatan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak
langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun saksi dalam
103
perkara pidana. Tindak pidana ini dijerat dengan ketentuan Pasai 21,
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.123
2.2.4.2 Modus Operandi Korupsi
Setiap tindak pidana yang terjadi selalu disertai dengan modus
operandi, demikian juga dengan korupsi. Modus operandi korupsi semakin
canggih sehingga tidak mudah untuk diketahui sebagai tindak pidana
korupsi. Rochim124
menyebutkan beberapa modus operandi yang dijumpai
terjadi di Indonesia yakni sebagai berikut:
1. Modus Operandi Korupsi Secara Umum, meliputi :
a. Pemberian suap atau sogok (bribery)
b. Pemalsuan (fraud)
c. Pemerasan (exorcion)
d. Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (abuse of power)
e. Nepotisme (nepotism)
2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pemalsuan Pajak
Dalam bidang perpajak sering ditemukan faktur pajak palsu,
bermasalah atau fiktif yang volumenya semakin meluas dan variasinya
semakin rumit.
123
Komisi Pemberanfasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi-Buku
Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi , Penerbit Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta, hlm. 3-4. 124
Rohim dalam Javvade Hafldz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN
(Hukum Administrasi Negara), Get. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 28-69.
104
3. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Mengenai pengadaan barang dan jasa telah diatur dalam Keppres
Nomor 80 Tahun 2003 beserta perubahan-perubahannya, namun tetap
saja ada celah bagi sebagian oknum pejabat dan rekanan pengadaan
barang atau jasa untuk melakukan korupsi lewat berbagai modus
operandinya. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan
melalui 15 tahapan, dan dari keseluruhan tahapan tersebut ditemukan
52 modus penyimpangan yang sering digunakan oleh rekanan atau
oknum pejabat dinas atau instansi dalam pengadaan barang dan jasa
sebagai berikut:
a. Tahapan Perencanaan Pengadaan,
Modus penyimpangannya sebagai berikut:
1) Penggelembungan anggaran
2) Rencana pengadaan yang diarahkan
3) Rekayasa pemaketan untuk KKN
b. Tahapan Pembentukan Panitia Lelang Modus penyimpangannya
sebagai berikut:
1) Panitia tidak transparan
2) Integritas panitia lelang lemah
3) Panitia lelang yang memihak
4) Panitia lelang tidak independen
105
c. Tahapan Prakualifikasi Perusahaan
Modus penyimpangannya sebagai berikut:
1) Dokumen administrasi yang tidak memenuhi syarat
2) Dokumen administrasi"Aspal"
3) Legalisasi dokumen tidak dilakukan
4) Evaluasi tidak sesuai kriteria
d. Tahapan Penyusunan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya :
1) Spesifikasi yang diarahkan
2) Rekayasa kriteria evaluasi
3) Dokumen lelang nonstandard
4) Dokumen lelang yang tidak lengkap
e. Tahapan Pengumuman Lelang Modus penyimpangannya :
1) Pengumuman lelang yang semu atau fiktif
2) Pengumuman lelang tidak lengkap
3) Jangka waktu pengumuman lelang singkat
f. Tahapan Pengambilan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya:
1) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten)
2) Waktu pendistribusian dokumen terbatas
3) Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari
g. Tahapan Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri Modus
penyimpangannya :
1) Gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutup-tutupi
2) Penggelembnngan (mark up) untuk keperluan KKN
106
3) Harga dasar yang tidak standart
4) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan
h. Tahapan Penjelasan atau Aanwijzing Modus penyimpangannya :
1) Free-bid meeting yang terbatas
2) Informasi dan deskripsi terbatas
3) Penjelasan yang kontroversial
i. Tahapan Penyerahan dan Pembukaan Penawaran Modus
penyimpangannya :
1) Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran
2) Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat
3) Penyerahan dokumen fiktif
j. Tahapan Evaluasi Penawaran Modus penyimpangannya:
1) Kriteria evaluasi yang cacat
2) Penggantian dokumen penawaran
3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi
4) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi
k. Tahapan Pengumuman Tender Pemenang Modus penyimpangannya:
1) Pengumuman yang terbatas
2) Tanggal pengumuman ditunda
3) Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman
l. Tahapan Sanggahan Peserta Lelang Modus penyimpangannya :
1) Tidak seluruh sanggahan ditanggapi
2) Substansi sanggahan tidak ditanggapi
107
3) Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur
m. Tahanan Penunjukan Pemenang Lelang Modus penyimpangannya :
1) Syarat penunjukan yang tidak lengkap
2) Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya
3) Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu-buru
4) Surat penunjukan yang tidak sah.
n. Tahapan Penandatanganan Kontrak Modus penyimpangannya:
1) Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda
2) Penandatanganan kontrak secara tertutup
3) Penandatanganan kontrak tidak sah
o. Tahapan Penyerahan Barang atau Jasa Modus penyimpangannya :
1) Volume pekerjaan yang tidak sama
2) Mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan
dalam spesifikasi teknik
3) Mutu atau kualitas pekerjaan yang tidak sama
dengan spesifikasi tehnik
4) Contract Change Order (CCO)
p. Modus operandi korupsi dengan pencucian uang atau money
laundering