bab ii tinjauan umum a. tinjauan umum tentang ...repository.uir.ac.id/707/2/bab2.pdfhukum...

37
BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan 1. Pengertian Tenaga Kerja Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja, misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan penempatan tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah masalah pensiun. Pengertian tenaga kerja lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”, sedangkan pengertian pekerja/buruh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Buruh adalah orang yang bekerja pada majikan atau perusahaan apapun jenis pekerjaan yang dilakukan. Orang itu disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan hubungan kerja maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh. 1 1 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.43

Upload: hadung

Post on 01-Jul-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan Umum Tentang Ketenagakerjaan

1. Pengertian Tenaga Kerja

Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa

kerja, misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan

penempatan tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah

masalah pensiun. Pengertian tenaga kerja lebih luas dari pengertian pekerja/buruh

karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang

sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

memberikan pengertian tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”, sedangkan pengertian

pekerja/buruh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain”.

Buruh adalah orang yang bekerja pada majikan atau perusahaan apapun

jenis pekerjaan yang dilakukan. Orang itu disebut buruh apabila dia telah

melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan hubungan

kerja maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh.1

1 Zainal Asikin dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,

hlm.43

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok

Ketenagakerjaan yang merupakan undang-undang tentang tenaga kerja sebelum

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

yang memberikan pengertian tenaga kerja ” setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan

barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.

Dari pengertian di atas terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memuat kata” baik di dalam

maupun di luar hubungan kerja” dan adanya penambahan kata sendiri pada

kalimat memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat. Pengurangan kata tersebut

akan dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di

dalam dan ada pula di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep

tenaga kerja dalam pengertian umum. Penambahan kata sendiri pada kalimat

memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat karena barang atau jasa yang

dihasilkan oleh tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri

sendiri, sehinga menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya

bekerja untuk orang lain dan melupakan dirinya sendiri.2

Berbagai teori dan konsep tenaga kerja itu sendiri yang ditemui di dalam

literatur secara umum adalah semua orang atau penduduk usia kerja yang

mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan, sebagaimana yang

disampaikan oleh Darza, bahwa tenaga kerja adalah bagian dari penduduk usia

kerja secara fisik dan mental mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun

2 Lalu Husni, op.cit. hlm.16

di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat (secara umum usia 15 tahun atau lebih).3

2. Dasar Hukum Ketenagakerjaan

Dasar Hukum Ketenagakerjaan merupakan alat untuk memberi

perlindungan terhadap para tenaga kerja, yang menyangkut hubungan antara

pekerja dan pengusaha, upah, serta perselisihan yang akan mengakibatkan gejolak

sosial. Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh

pihak yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan

terdapat sanksi. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan

tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, dengan

demikian, yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh

peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala

sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan

sesudah masa kerja.

Hukum ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan

lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor

pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian, namun secara perlahan sektor

pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga

kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan

perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang

menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan

tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja

3 Z.A.Darza, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, Delina Baru, Jakarta, 1995, hlm.114

dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian

diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam

hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan

kerja tersebut. Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur hubungan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja tetapi juga

termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun

lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna

atau selesai bekerja.4

Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan

tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama,

dan sesudah tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang

ketenagakerjaan dan apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana

termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga

kerja.5

Undang-undang yang dipergunakan sebagai Dasar dan Pedoman dalam

Hukum Tenaga Kerja antara lain:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 21 Tahun 2000 tentang

Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

2) Undang-Undang Nomor. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang

mengatur mengenai semua aspek ketenagakerjaan,

3) Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan

Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan, dan juga peraturan

perundang-undangan yang terkait (seperti: Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-undang Nomor. 2 tahun 2004

tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor. 1

tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja).

4 Soedarjadi, Op.cit., hlm.3

5 Ibid, hlm.5

4) Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 1981 yang membahas tentang

Perlindungan Upah terhadap tenaga kerja/buruh.

5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. 4 tahun 1994 tentang

pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja.

6) Peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian

kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan

kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

7) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. Per-

17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan

Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

8) Peraturan Pemerintah Nomor. 14 tahun 1993 tentang Jamsostek, dan

beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait).

3. Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms,

mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian sebagai berikut :

“Perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1

(satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah

pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan

pekerjaan dengan menerima upah”.

Sedangkan Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,

Pasal 1 ayat (14) menyebutkan bahwa :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak

dan kewajiban kedua belah pihak”.

Selanjutnya perihal tentang pengertian perjanjan kerja, Imam Soepomo

berpendapat bahwa:

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu

(buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari

Pihak Kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk

memperkerjakan buruh dengan membayar upah”.6

6 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hlm.40.

Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut , bahwa ciri khas perjanjian

kerja adalah” adanya di bawah perintah pihak lain” sehingga tampak hubungan

antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan.

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur

dari perjanjian kerja, yakni :

a. Adanya Unsur Pekerjaan.

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan

(objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja,

hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1603a yang berbunyi

: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikania

dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.

Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena

bersangkutan ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja

meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

b. Adanya Unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha

adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk

melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan

hubungan kerja dengan hubungan lainnya. Perjanjian Kerja sebagaimana

didefinisikan oleh ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) yang berbunyi:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk

mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian

tersebut.7

c. Adanya Unsur Upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat

dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk

memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka suatu hubungan tersebut

bukan merupakan hubungan kerja. Sebagai bagian dari perjanjian pada

umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

dan juga pada Pasal 1 ayat 14 Pasal 52 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara

pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa :

1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; (a)

kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; (b) adanya

pekerjaan yang diperjanjikan; dan (c) pekerjaan yang diperjanjikan tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

7 I Ketut Artadi dan IDN. Rai Asmara, Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak,

Penerbit Udayana University Press, Denpasar, 2010

2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat

dibatalkan.

3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi

hukum.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus

setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau

kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus haruslah cakap

membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur

minimal 18 Tahun (Pasal 1 ayat 26 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan).

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah hal tertentu, pekerjaan

yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian haruslah

yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan

bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak

dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif

karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Perjanjian kerja

dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat 1 Undang Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Secara normatif bentuk tertulis

menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi

perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.

Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja

Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Pengusaha Dalam Undang-undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjelaskan tentang hak dan kewajiban

seorang tenaga pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya, yang mana Undang-

undang tersebut berfungsi untuk melindungi dan membatasi status hak dan

kewajiban para tenaga pekerja dari para pemberi kerja (Pengusaha) yang sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam ruang lingkup kerja, dengan

demikian perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-

hak dasar para tenaga kerja dan menjamin pula kesamaan kesempatan serta

perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun bahkan untuk mewujudkan

kesejahteraan para tenaga kerja dengan tetap memperhatikan perkembangan

kemajuan didunia usaha.

a) Hak dan kewajiban Tenaga kerja

Dalam ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal

1603, 1603a, 1603b dan 1603c Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) adapun intinya mengenai hak-hak buruh/pekerja terhadap

majikan/pengusaha adalah sebagai berikut:

1) Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan

adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan

sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat

diwakilkan.

2) Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk

majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib

menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib

ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan

perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk

tersebut.

3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja

melakukan perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena

kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum

pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda”.

Adapun hak-hak yang diperoleh buruh/tenaga kerja dapat dilihat pada

uraian di bawah ini :

1) Hak dasar dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan, pekerja dalam hubungan kerja, setiap tenaga kerja

berhak untuk memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan

potensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Seperti

keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan, dan Perlakuan

yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai

agama. Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi annggota

serikat pekerja.

2) Hak dasar pekerja atas Jaminan Sosial dan K3 (Keselamatan dan

Kesehatan Kerja), Jaminan Sosial Tenaga Kerja Setiap pekerja dan

keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

3) Hak dasar pekerja atas perlindungan upah setiap pekerja berhak untuk

memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan. Hak-hak pengupahan terhadap pekerja tersebut

harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pada

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

4) Hak dasar pekerja atas pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan

libur setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja

sebagaimana yang tercantum pada pasal 77 Undang-Undang

Ketenagakerjaan.

5) Hak dasar untuk membuat Perjanjian kerja bersama (PKB) serikat

pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat

buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak

Membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan Pengusaha. Perjanjian

kerja bersama paling sedikit memuat, hak dan kewajiban pengusaha,

hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh,

jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama,

tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. Ketentuan

dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6) Hak dasar khusus untuk pekerja perempuan pekerja/buruh perempuan

yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang

dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 pengusaha dilarang

mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil.

7) Hak dasar pekerja mendapat perlindungan atas tindakan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus

mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

b) Hak dan kewajiban pengusaha

Adapun kewajiban-kewajiban yang dipenuhi pengusaha terhadap

buruh/pekerja dapat dilihat seperti berikut :

1) Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama

pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat

waktu. ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan

pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan

pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus

dibayar pengusaha yang sesuai dengan upah minimum, maupun

pengaturan upah dalam Pasal 88 Undang-undang Nomor. 13 Tahun

2003 tentang pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor. 8 tahun

1981 tentang perlindungan upah.

2) Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha

diwajibkan untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja

secara teratur. cuti tahunan lamanya 12 (dua belas) hari kerja. selain

itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan

setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu

perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan).

3) Kewajiban untuk melaksanakan ketentuan jam/waktu kerja sesuai

dengan Pasal 77 dan pasal 78 Undang-undang Nomor. 13 Tahun

2003.

4) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan; majikan/pengusaha

wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat

tinggal dirumah majikan (Pasal 1602x Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUHPerdata).

Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya

terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi

tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui

perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3

tahun 1992 tentang Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan undang-undang Republik

Indonesia Nomor. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

a). Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan

pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di

mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha

menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar

upah.8

Di dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya

perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Pasal 1 Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:

KEP.100/MEN/VI/2004, Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu (PKWT) menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang

selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk

pekerja tertentu, dan hubungan kerja itu sendiri merupakan hubungan (hukum)

antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan sebuah Perjanjian Kerja.

Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja

waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu

8 Imam Soepomo, Op.Cit., hlm.88

tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu.9

Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu

tertentu. Pasal 57 Ayat 1 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 mensyaratkan

bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada

jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan

tertentu (Pasal 56 Ayat (2) Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003). Secara

limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan

selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang

sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman

dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan

yang masih dalam percobaan atau penjajakan.10

Berbeda dengan perjanjian kerja

waktu tidak tertentu (PKWTT), yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap.11

Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia

pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk

PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan

bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan

Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada

9 F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.13

10 R Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia ,

Grahadika Binangkit Press, Jakarta, 2004, hlm.15 11

F.X. Djulmiaji, Loc.cit.

kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang

bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3

(tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di

bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1)

dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan yang timbul

adalah pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerjanya, yang disebabkan oleh pekerja yang sering melakukan kesalahan dan

tidak mematuhi peraturan pada perusahaan yang mengakibatkan sering terjadinya

kesenjangan antara pengusaha dan tenaga kerja.

b). Syarat-syarat Sahnya PKWT

Dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian adalah pasal 1320 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Disebutkan bahwa sahnya suatu

perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu; 1) Kesepakatan dari mereka yang

mengikatkan diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal

tertentu, dan; 4) Suatu sebab yang halal.

Dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 52 atyat

(1), syarat sahnya suatu perjanjian secara lebih khusus mensyaratakan:

1) Kesepakatan kedua belah pihak

2) Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hokum

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja

yang dibuat secara lisan hanya untuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT) dan harus disertai dengan surat pengangkatan. Sementara untuk

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dibuat secara tertulis. PKWT

yang dibuat secara lisan adalah bertentangan, dan menjadi PKWTT.

Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dibuat dengan beberapa syarat,

adapun syaratnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Kesepakatan Para Pihak

Suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya kesepakatan dari para pihak.

Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian tidak bisa dibuat secara sepihak. Suatu

pihak tidak dapat mengakui adanya suatu perjanjian bila pihak lain tidak

menyepakati adanya perjanjian tersebut. Kesepakatan ini bermakna bahwa isi dari

perjanjian yang dibuat telah diketahui dan sesuai dengan keinginan para pihak.

Sebagai hal mendasar dari suatu perjanjian adalah adanya keinginan secara

bebas. Tanpa kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila yang sebaliknya

yang terjadi, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan menjadi sebuah

perjanjian yang cacat dan dapat dibatalkan. Perjanjian kerja waktu tertentu

(PKWT) yang akan disepakati harus dibuat dengan mengikuti syarat-syarat

sahnya perjanjian pada umumnya.

b) Kecakapan

Mengenai perjanjian kerja, ketentuan yang berlaku sangat berbeda dengan

ketentuan perjanjian secara umum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan batasan usia 21 tahun. Hukum

Ketenagakerjaan mensyaratkan batasan usia anak yang boleh diperkerjakan yaitu

usia antara 13 sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan

sepanjang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial (pasal 69

ayat 1 Undang-undang Nomor 13. Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Serta

beberarapa ketentuan lain mengenai batasan usia anak. Mengenai kriteria anak,

Undng-undang Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Selama tidak ada peraturan

perundang-undangan yang melarang, setiap orang berhak mengadakan suatu

perjanjian kerja.

c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

Suatu perjanjian kerja harus secara tegas menyebutkan jenis pekerjaan

yang akan dikerjakan oleh pihak pekerja. Hal ini tentu saja untuk menghindari

perbedaan atau permasalahan yang mungkin timbul kemudian.

d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada dasarnya, hukum harus menjamin adanya ketertiban umum. Juga

menjamin tidak terjadi tumpang tindih dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam sebuah perjanjian kerja, tidak diperkenankan adanya sebuah perjanjian

yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-

undangan lainnya. Misalnya; pengusaha tidak boleh mepekerjakan seorang

pekerja untuk melakukan pencurian, membuat bom, atau perbuatan yang

melanggar peraturan perundang-undangan lainnya.

Setiap perjanjian kerja dapat dibatalkan bila bertentangan dengan

ketentuan mengenai syarat adanya kesepakatan kedua belah pihak dan

kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, begitu juga bila

syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan

tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian

tersebut batal demi hukum (Pasal 52 ayat 2 dan 3)12

, yang dimaksudkan batal

demi hukum adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum,

karena disyaratkannya masa percobaan kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang ketenagakerjaan pada Pasal 58, atau dalam hal isi perjanjian kerja

bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c). Subtansi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

1. Perjanjian Kerja yang Dibuat Secara tertulis

Syarat sahnya perjanjian kerja juga diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang substansinya sama dengan

syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan

kesepakatan antara kedua belah pihak dan masing-masing pihak mempunyai

kemampuan dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Tidak

diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika salah satu pihak belum

dewasa/berada dalam pengampuan atau jika salah satu pihak tidak menyepakati

12

Syarat Sahnya Perjanjian Kerja diakses melalui http://irman-jx.blogspot.com/p/syaratsah-

perjanjian-kerja.html. Diakses Pada Tanggal 5 Januari 2018

substansi perjanjian kerja yang dibuat tersebut, jika melanggar ketentuan tersebut,

maka akan berakibat perjanjian kerja dapat dibatalkan.

Perjanjian kerja yang dibuat materinya juga sudah diatur dan tidak

bertentangan dengan aturan, yaitu dalam perjanjian kerja harus ada pekerjaan

yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Tidak diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika

obyek pekerjaan yang diperjanjikan tidak ada atau mengenai sesuatu yang

dilarang oleh peraturan perundang-undangan, misalnya perjanjian kerja menjual

narkoba.

Jika perjanjian kerja yang dibuat melanggar ketentuan sebagaimana

disebut diatas, maka akan berakibat perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan,

perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:

1) Nama, alamat, dan jenis perusahaan

2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

3) Jabatan atau jenis pekerjaan

4) Tempat pekerjaan

5) Besarnya upah dan cara pembayaran

6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja

7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan

9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja

Pada ayat (2) mengatur bahwa ketentuan besarnya upah dan cara

pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban

pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,

perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang

dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat oleh

perusahaan terkait ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat kerja dan tata tertib,

termasuk ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,

sedangkan perjanjian kerja bersama adalah suatu perjanjian yang dibuat

berdasarkan hasil perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha yang

memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk

ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.

Peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait upah, dan

syarat-syarat kerja bisa diartikan sebagai Keputusan Gubernur tentang Upah

Minimum Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota, sehingga perjanjian kerja yang

dibuat secara tertulis harus memuat syarat-syarat sebagaimana disebut dalam

Pasal 54 ayat (1) dan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, terkait dengan upah dan syarat-syarat kerja yang memuat hak dan

kewajiban pengusaha dan pekerja.

Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis juga harus dibuat rangkap 2

(dua) dan diberikan kepada masing-masing pihak yang mempunyai kekuatan

hukum sama. Perjanjian kerja juga tidak dapat diubah maupun ditarik kembali

kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, maksudnya bahwa jika dalam hal

salah satu atau kedua belah pihak menginginkan untuk mengubah atau menarik

kembali perjanjian kerja tersebut, maka harus ada persetujuan dari pihak lain. Jika

pihak lain tidak menyetujui untuk menarik kembali perjanjian atau mengubah

substansi perjanjian kerja tersebut, maka perjanjian kerja tersebut tidak dapat

ditarik kembali atau diubah substansinya.

2. Perjanjian Kerja Secara Lisan

Seperti tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang

Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan. maksudnya

disini bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara lisan tidak memerlukan media

kertas atau tulisan seperti perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Jika melihat

pada penjelasan Pasal 51 ayat (1) tersebut, yang menyatakan bahwa:

“Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat

kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian dilaksanakan

secara lisan”.

Penjelasan pasal tersebut dapat diartikan bahwa beragamnya masyarakat

Indonesia yang sebagian masih belum mengenal tulisan maka dimungkinkan

adanya perjanjian kerja yang dilaksanakan secara lisan, selain itu dengan adanya

perjanjian kerja secara lisan akan memupuk rasa kerukunan antara pengusaha

dengan pekerja dibanding dengan perjanjian kerja secara tertulis yang akan

menimbulkan persepsi hubungan kerja yang kaku karena hak dan kewajiban

masing-masing pihak diatur oleh perjanjian.

B. Tinjauan Tentang Pengupahan

1. Pengertian Upah

Upah maksudnya adalah imbalan pekerjaan atau prestasi yang wajib

dibayar oleh majikan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Jika pekerjaan

diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di bawah perintah

orang lain yaitu si majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja harus

memberikan upah. Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam

bentuk uang.13

Jika setelah si pekerja melakukan pekerjaannya dengan tunduk pada

perintah si majikan, dalam rangka kewajibannya seperti yang telah mereka buat

didalam perjanjian kerja, maka si pekerja tersebut berhak untuk mendapatkan

upah. Upah itulah yang merupakan sarana penting bagi buruh guna melindungi

sedangkan buruh bangunan adalah buruh merupakan suatu usaha kemudian

mendapat upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah

biasanya di berikan secara harian maupun perminggu tergantung dari hasil

kesepakatan yang telah disetujui.14

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan

istilah upah ialah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh

yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi perkerja/ buruh dan

keluarganya atau suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan.15

Jenis-jenis

upah dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Upah Nominal

13

Djumadi, Op.cit., hlm.32-33 14

Pengertian Buruh Bangunan, diakses melalui http : // bayuzu. Blogspot. Com / 2012 / 04 /

pengertian- Buruh bangunan. Html, pada tanggal 5 Januari 2018 15

Lalu Husni, Op.cit., hlm.150

Yang dimaksud dengan upah nominal ialah sejumlah uang yang

dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas

pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan ketentuan yang

terdapat dalam perjanjian kerja di bidang industri atau perusahaan atau pun dalam

suatu organisasi kerja, dimana ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau

keuntungan yang lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula

disebut upah uang (money wages) sehubungan wujudnya yang memang berupa

uang secara keseluruhannya.

2. Upah Nyata (Real wages)

Yang dimaksud dengan upah nyata ini ialah upah yang nyata yang benar-

benar harus diterima oleh seseorang yang berhak, upah nyata ini ditentukan oleh

daya beli upah tersebut yang banyak tergantung dari besar atau kecilnya jumlah

uang yang diterima, besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan. Adakalanya

upah itu diterima dalam wujud uang dan fasilitas atau innatural, maka upah nyata

yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas dan barang

Innatura tersebut.

3. Upah hidup

Dalam hal ini upah yang diterima seorang buruh itu relatif cukup untuk

membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan

pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial

keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki gizi

yang lebih baik.

4. Upah Minimum (Minimum wages)

Sebagai mana pendapatan yang dihasilkan para buruh dalam suatu

perusahaan sangat berperan dalam hubungan perburuhan. Bertitik tolak dari

hubungan formal ini haruslah tidak dilupakan bahwa seorang buruh adalah

seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnya lah kalau buruh

itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan atau perlindungan yang layak.

Dalam hal ini maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-

kebutuhan hidup buruh itu beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba

sederhana.16

Adapun tujuan utama penentuan upah minimum yaitu :

a) Menonjolkan arti dan perana tenaga kerja (buruh) sebagai sub

system yang kreatif dalam suatu sistem kerja.

b) Melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang

sangat rendah dan yang keadaanya secara material kurang

memuaskan.

c) Mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan

nilai pekerjaan yang dilakukan setiap pekerja.

d) Mengusahakan terjaminnyan atau kedamaian dalam organisasi kerja

atau perusahaan.

e) Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar

hidupnya secara normal.

5. Upah Wajar (Fair wages)

Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup

wajar oleh pengusaha dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang

16

G. Kartasapoetra dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, cet. ke-1,

hlm.93

diberikan buruh kepada pengusaha, sesuai dengan perjanjian kerja di antara

mereka. Upah yang wajar ini tentunya sangat bervariasi dan bergerak antara upah

minimum dan upah hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk

mengatasi kebutuhan-kebutuhan buruh dengan keluarganya.17

Menurut dewan penelitian batasan tentang pengupahan, upah merupakan

suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja

untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi

sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan

produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan dalam

bentuk uang yang ditetapkan menurut sesuatu persetujuan Undang-undang dan

peraturan-peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara

pemberi kerja dan penerima kerja. Jadi uraian diatas dapat diambil kesimpulan

bahwa keseluruhan secara jelas mengandung maksud yang sama yaitu bahwa

upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh

seseorang kepada pihak lain.

Adapun upah buruh mempunyai kedudukan yang istimewah, hal ini tertera

dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam hal pengusaha dinyatakan pailit, maka upah buruh merupakan

hutang yang didahulukan pembayarannya sesuia dengan peraturan

perundang-undangan kepailitan yang berlaku, pasal 27 peraturan

pemerintah Nomor 8 Tahun 1981.

17

Ibid, hlm.100-102

b. Apabila buruh jatuh pailit, maka upah buruh dan segala pembayaran

yang timbul dari hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan

kecuali ditetapkan oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi dari

25% seluruh jumlah upah buruh, pasal 28 peraturan pemerintah

Nomor 8 Tahun 1981.18

Unsur-unsur yang mempengaruhi pembayaran upah, menurut pasal 4

peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

disebutkan upah tidak melakukan pekerjaan. Dan di dalam pasal 93 Undang-

undang Ketenagakerjaan 2003 ada ketentuan juga yaitu “ Upah tidak dibayar

apabila buruh tidak melakukan pekerjaannya, kecuali apabila buruh yang

bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya

sendiri. Hal ini sering disebut asas “ No work no pay” , namun asas no work no

pay (tidak bekerja tidak dibayar) ini tidak berlaku mutlak,artinya walaupun tidak

bekerja buruh tetap mendapatkan upah. Asas no work no pay tidak berlaku dan

pengusaha tetap wajib membayar upah, apabila terjadi hal sebagai berikut :

1) Jika buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, pengertian

sakit di sini bukan karena kecelakaan kerja. Di samping itu bagi buruh

yang sakit tentunya harus ada surat keterangan dokter.

2) Jika buruh tidak masuk kerja karena buruh menikah, menikahkan.

Mengkhitankan, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau

istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota

keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

18

F.X. Djumialadji, Op.cit., hlm.54

3) Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan karena sedang menjalankan

kewajiban Negara, menjalankan kewajiban terhadap Negara adalah

melaksanakan kewajiban Negara yang diatur dengan peraturan

perundang-undang. Pembayaran upah kepada buruh yang menjalankan

kewajiban terhadap Negara dilaksanakan apabila :

a. Negara tidak melakukan pembayaran.

b. Negara membayar kurang dari upah yang biasanya diterima

buruh, dalam hal ini pengusaha wajib membayar

kekurangannya.19

Pembayaran upah oleh pengusaha kepada buruhnya yang menjalankan

kewajiban Negara dibatasi paling lama satu tahun. Dengan demikian

kalau melebihi dari satu tahun dalam menjalankan kewajiban Negara,

asas no work no pay berlaku secara penuh juga.

1. Buruh tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi

kewajiban ibadah menurut agamanya. Sebagai contoh: Departemen

agama menentukan waktu untuk melaksanakan ibadah haji adalah 40

hari, maka pengusaha wajib membayar upah buruh untuk selama 40

(empat puluh) hari, selebihnya 40 hari tidak wajib membayar upah.

2. Buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan

tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan

sendiri maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya

dapat dihindari. Dalam hal ini upah yang harus dibayar oleh pengusaha

ialah selama buruh tidak dipekerjakan. Untuk halangan yang dialami

oleh pengusaha yang tidak dapat ihindari, seperti kehancuran atau

19

Ibid., hlm.56

musnahnya perusahaan beserta peralatannya karena bencana alam,

kebakaran atau peperangan sehingga perusahaan tidak memungkinkan

lagi berfungsi atau menjalankan kegiatannya, maka pengusaha tidak

diwajibkan membayar upah kepada buruh.

3. Buruh melaksanakan hak istirahat.

4. Buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.20

2. Dasar Hukum Upah

Buruh harus memiliki kesadaran bekerja bukan semata-mata merupakan

objektivikasi diri manusia untuk mengangkat harga diri dan martabatnya, tetapi

juga sadaran eksistensinya. Kesadaran buruh atas eksistensinya yang kini semakin

membucah harus benar-benar dijaga pertumbuhannya agar mampu membuahkan

hasil berupa kesejahteraan buruh dalam arti lahir dan batin, meskipun kedua-

duanya sangat sulit diperoleh sekaligus, barang kali harus benar-benar

dikembangkan adalah kesadaran akan persoalan utama buruh yaitu upah agar

minimal sama dengan produktivitas yang di hasilkan untuk perusahaan.21

Dari uraian diatas bahwa upah ( al- Ijarah ) adalah merupakan salah satu

jalan untuk memenuhi hajat manusia, sebab itu para fuqaga telah menilai bahwa

ijarah ini suatu hal yang dibolehkan, karena perbuatan tersebut adalah merupakan

salah satu bentuk tolong menolong antara sesama manusia.

Dalam hukum positif juga diatur tentang pengupahan diantaranya, dalam

Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi : “ Tiap-tiap warga

Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “.

20

Ibid., hlm.45-49 21

Eggi Sudjana, Buruh Menggugat Perspektif Islam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm.81

Dengan upah yang harus diterima oleh buruh atau pekerja atas jasa yang diberikan

haruslah upah yang wajar.22

Disamping itu dalam ketetapan MPR. Nomor 1v /MPR/1978 disebutkan

kebijaksanaan di bidang perlindungan tenaga kerja ditujukan kepada perbaikan

upah, syarat-syarat kerja, hubungan kerja, keselamatan kerja, jaminan sosial

dalam rangka perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara menyeluruh.

3. Sistem Pembayaran Upah

Menurut hukum positif penetapan upah, terdapat berbagai system

pembayaran upah, pembayaran itu sebagai berikut :

1. Sistem upah jangka waktu

Menurut sistem pembayaran ini, upah ditetapkan menurut jangka waktu

buruh melakukan pekerjaan, dimana tiap-tiap jam diberikan upah perjam, untuk

tiap saat hari bekerja diberikan upah harian, untuk seminngu bekerja diberikan

upah mingguan, untuk setiap bulan diberikan upah bulanan dan sebagainya.

Dalam sistem pengupahan ini, buruh tidak perlu melakukan pekerjaan dengan

tergesa-gesa oleh sebab itu dampak negative dari sistem ini adalah buruh tidak

bekerja dengan giat.

2. Sistem upah potongan

Sistem ini, sering dipakai untuk mengganti sistem upah jangka waktu

apabila hasil pekerjaan tidak memuaskan, karena upah ini hanya bias diterapkan

22

Abner Hutabarat, Kebijaksaan Upah Minimum, Direktorat Pengawasan Persyaratan

Pengawasan Persyaratan Kerja dan Jaminan Sosial, Jakarta, 1984, hlm.13

bila dapat diukur hasil pekerjaan itu dengan ukuran tertentu, misalnya jumlah

banyak, jumlah berat, jumlah luasnya hasil pekerjaan buruh tersebut. Maka sistem

pengupahan itu tidak dapat dipakai pada suatu perusahaan.

3. Sistem upah pemufakatan

Sistem upah ini pada dasarnya adalah upah potongan, yaitu upah untuk

hasil pekerjaan tertentu, misalnya pada pembuatan jalan, pekerjaan memuat,

membongkar dan mengangkut barang-barang dan sebagainya, tapi upah ini bukan

diberikan kepada buruh masing-masing melainkan pada sekumpulan buruh yang

telah bersama-sama melakukan pekerjaan itu.

4. Sistem skala upah buruh

Adanya pertalian antara upah dengan harga penjualan hasil perusahaan.

Cara pengupahan ini dapat dijalankan oleh perusahaan yang harga barang hasilnya

untuk sebagian besar atau seluruhnya tergantung pada harga pasaran diluar negeri,

upah akan naik atau turun menurut naik turunnya harga barang hasil perusahaan

itu. Cara pengupahan seperti ini banyak terdapat pada perusahaan pertambangan

dan pabrik baja di inggris. Dalam pengupahan ini bisa terjadi perselisihan apabila

harga barang turun terus menerus yang akhirnya mengakibatkan buruh yang sudah

terbiasa dengan gaji yang besar.

5. Upah indeks

Upah indeks adalah upah yang naik turun, menurut naik turunya angka

indeks biaya penghidupan, tetapi naik turunnya upah ini tidak akan

mempengaruhi nilai riil dari upah.

6. Sistem upah pembagian keuntungan

Maksudnya disamping upah yang diterima oleh buruh pada waktu tertentu

pada sistem ini, maka pada penutupan buku tahunan bila perusahaan mendapat

keuntungan yang besar kepada buruh diberikan sebagian dari keuntungan itu.23

4. Masalah Dalam Upah

Didalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui bahwa perselisihan itu

merupakan masalah yang umum dalam kehidupan manusia, dalam tiap interaksi

tentu akan terdapat reaksi. Begitu di perusahaan yang merupakan lingkungan

masyarakat pekerja tertentu, hubungan perburuhannya pun tidak terlepas dari

pengertian di atas dan suatu kebijaksanaan pengusaha yang telah dipertimbangkan

dengan matang, akan diterima oleh para buruhnya dengan rasa puas dan ada pula

yang kurang puas.24

Jadi masalah timbulnya perselisihan antara pengusaha dengan para

buruhnya, berpokok pangkal karena adanya perasanaan-persanaan kurang puas

tersebut. Pengusaha memberikan kebijaksanaanya yang menurut pertimbangan

sudah mantap dan akan diterima oleh para buruh, sayangnya karena para buruh

memiliki perasaan dan pertimbangan yang lain. Maka penerimaan atas

kebijaksanaan pengusaha itupun menjadi tidak sama, sebagian yang merasa puas

akan tetap bekerja dengan tenang dan semangat, sedangkan yang merasa kurang

puas dengan cepat menunjukan apatisme, semangat kerja menjadi sangat menurun

dan terjadilah masalah masalah itu.

23

Imam Soepomo, Op.cit., hlm.131 24

G. Kartasapoetra dkk, Op.cit., hlm.245.

Yang menjadi pokok pangkal kekurang puasan itu, umumnya berkisar

pada masalah-masalah pokok pangkal ketidak puasan buruh dalam hal

pengupahan ini seperti :

a) Lambatnya pelaksanaan penbayaran upah. Biasanya bagi perusahaan

yang sudah di akui keabsahannya pelaksanaan upah sudah di

jadwalkan.

b) Adanya pemotongan-pemotongan upah untuk keperluan suatu dana

bagi kepentingan buruh, tanpa perundingan dulu dengan pihak buruh.

c) Belum mampunya perusahaan untuk memperbaiki upah buruh.

d) Adanya kehendak dari para buruh agar upahnya dipersamakan dengan

pengupahan yang lebih baik di perusahaan lain.25

Keberadaan upah minimal ini harus benar-benar dijaga dan diperjuangkan

pelaksanaannya, yang tidak hanya didasarkan semata pada mekanisme pasar,

mengingat berbagai kelemahan internal buruh untuk memperjuangkan sendiri

meski sudah ada kebebasan berserikat. Masalah upah disebut pokok karena dari

sekian banyak persoalan perburuhan banyak yang disebabkan persoalan upah.26

Setelah mengetahui bahwa yang menjadi pokok dalam soal pengupahan

ini, pengupahan harus mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki apa yang

memangkurang baik, sesuai dengan kemampuan perusahaannya, dan apabila

perbaikan-perbaikan itu belum mampu mengingat keuangan perusahaan, segera

memusyawarahkan hal itu secara terbuka dengan pihak serikat buruh. Dengan

cara musyawarah ini hal keinginan dan kemampuan akan dapat didekatkan tanpa

adanya perselisihan yang berlarut-larut.

5. Upah Menurut Islam

25

Ibid., hlm.248 26

Eggi Sudjana, Op.cit., hlm.82

Di dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, islam mempunyai

sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip prinsip syari’ah

yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Sistem ekonomi Islam saat ini lebih

dikenal dengan sistem ekonomi syari’ah. Dalam ekonomi Islam definisi upah

tidak jauh berbeda dengan apa yang disebut diatas, namun dapat kita pandang dari

dua segi yaitu moneter dan bukan monoter. Dalam Islam upah (Al-Ijarah) adalah

merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat manusia oleh sebab itu para

ulama menilai bahwa (ijarah) merupakan suatu hal yang boleh dan bahkan

kadang-kadang perlu dilakukan. Syarat mempercepat dan menangguhkan yang

sebagian lagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Upah dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :

1. Upah yang telah disebutkan (ajrul musamma), yaitu upah yang telah

disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan

harus disertai adanya kerelaan (diterima) oleh kedua belah pihak.

2. Upah yang sepadan (ajrul mistli) adalah upah yang sepadan dengan

kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksud adalah

harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang

sejenis pada umumnya.27

Diantara hak terpenting yang ditetapkan Islam bagi pekerja adalah

mendapatkan upah sebagai imbalan pekerjaannya, dimana Islam sangat besar

perhatiannya tentang masalah upah kerja ini, seperti yang dapat kita cermati

dalam beberapa hal sebagai berikut :

27

Nurul huda, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2008, hlm.230

a) Ancaman keras bagi orang yang melanggar hak-hak orng lain dan

tidak menepati upah mereka. Sungguh Umar RadhiyallahuAnhu

memerintahkan kepada para gubenurnya untuk menyampaikan hak

kepada orang yang memilikinya, dan melarang dari menghambat hak

dari orang yang memilikinya secara menjelaskan bahwa demikian itu

termasuk kezhaliman.28

b) Di antara perhatian Islam adalah penentuan upah dan penjelasannya,

sehingga tidak lagi terdapat kesamaran dan kerumitan di dalamnya.

Dalam hadis disebutkan, “ Sesungguh Nabi Shallahu Alaihi wa Salam

melarang memperkerjakan seseorang sehingga menjelaskan tentang

upahnya” dan di antara yang menunjukan perhatian Umar

Radhiyallahu Anhu tentang penjelasan upah dan penentuannya adalah

riwayat tentang pemuda miskin yang datang kepada Umar karena

ingin jihad, dan dia tidak memiliki dana sama sekali, maka Umar

mencarikan untuknya pekerjaan, secara berkata kepada para sahabat, “

Siapakah orang anshar berkata “ saya, wahai Amirul Mukminin”.

Umar berkata, berapa kamu memberinya upah dalam setiap bulan? Ia

menjawab, demikian dan demikian. “Umar berkata, Ambillah dia.

c) Diantara bukti perhatian Islam tentang upah pekerja adalah

memerintahkan penyerahan upah langsung sehabis selesainya bekerja

dari pekerjaannya.

28

Jaribah bin Ahmad al-Haristi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab, Khalifa, Jakarta, 2006, cet.

ke-1, hlm.236-237

d) Sesungguhnya para pakar hukum Islam ( fuqaha ) memperhatikan

hokum ijarah ( persewaan ).29

Penentuan upah di dalam Ekonomi Umar Radhiyalahhu anhu, terdapat

perbedaan jumlah upah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sesuai kualitas

pekerja, dimana seyogianya dibedakan antara para pekerja di pemerintahan dan

pekerja terhadap individu, di antaranya adalah para manajer. Berikut rincian

tersebut :

1. Para Pekerja di Pemerintah

Hukum asal dalam upah pekerja di lembaga Negara adalah tidak kurang

dari kadar kecukupannya. Sesungguhnya mengatakan keberhakan pekerja

pemerintah (pegawai negeri) akan gaji yang tidak kurang dari batas dari

kecukupan itu menuntut beberapa faktor, yang terpenting di antaranya adalah

sebagai berikut :

a) Melindungi pekerja dari suap atau khianat dengan melanggar terhadap

apa yang dibawah kekuasaannya dari harta kaum muslimin.

b) Umar Radhiyallahu Anhu melarang para gubenurnya berdagang pada

masa tugas mereka.

c) Meluangkan waktu untuk bekerja.

d) Penentuan gaji bagi pegawai pemerintah tidak tunduk kepada system

penawaran.

2. Para Pekerja bagi Individu

Fuqaha membedakan antara pekerja khusus dan pekerja bersama, dimana

pekerja khusus adalah orang yang melakukan akad terhadap pekerja pada masa

tersebut. Upah pekerjaan seseorang, pekerja bersama atau pekerja khusus

29

Ibid, hlm.237-238

berkaitan dengan kesepakatan diantara kedua belah pihak ( pekerja dan yang

memperkerjakan ).

Sedangkan pengaruh dengan faktor berbandingnya kekuatan penawaran

dan permintaan yang terjadi di pasar Islam secara penuh, termasuk dalam masalah

harga dan upah. Tapi apakah upah bekerja pada individu, baik pekerja khusus

maupun pekerja bersama tidak dipersyaratkan harus merealisasikan hal

kecukupannya, upah pekerja pada individu, baik pekerja khusus maupun pekerja

bersama tidak dipersyaratkan harus merealisasikan kecukupannya di karenakan

sebab-sebab sebagai berikut :

a) Perbedaan kemampuan dan keahlian seseorang dengan orang yang

lain.

b) Sesungguhnya persyaratan batas minimal upah pekerja pada individu

harus tidak kurang dari batas kecukupan itu berdampak pada hal-hal

negatif, diantaranya bahwa pekerja akan mengarah pada pekerjaan

yang mudah dikarenakan batas kecukupan pasti akan didapatnya.

c) Pada dasarnya fuqaha ketika membicarakan upah pekerja pada

individu, maka sesungguhnya mereka menentukannya dengan upah

sepadan.30

30

Ibid , hlm.238-242