bab ii tinjauan teoritis 2.1. saguer dalam interaksi sosial · begitu halnya dengan fenomena saguer...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Saguer dalam Interaksi Sosial
Dalam kehidupan masyarakat Tobelo, penggunaan Saguer dijadikan
sebagai media komunikasi. Media komunikasi ini bertujuan untuk mempererat tali
kekeluargaan. Komunikasi merupakan bagian dari interaksi sosial yang tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan sosial. Pada bukunya yang berjudul “sosiologi suatu
pengantar”, Soekanto (2010), mengatakan bahwa interaksi merupakan kunci
utama dalam kehidupan sosial. Tidak ada interaksi berarti tidak mungkin ada
kehidupan bersama.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia
(Soekanto, 2010). Interaksi sosial selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal
ini dikarenakan oleh adanya sejumlah pola perilaku masyarakat yang terjaring
dalam relasi-relasi baik itu orang perorangan, kelompok, maupun orang dengan
kelompok.
Simmel, 1858-1918 (dalam Soekanto, 2010), berpendapat bahwa dalam
Masyarakat terdiri dari jaringan relasi-relasi antara orang, yang menjadikan
mereka bersatu. Masyarakat bukan badan fisik, juga bukan bayangan saja didalam
kepala orang, melainkan sejumlah pola perilaku yang disepakati dan ditunjang
bersama. Sejumlah pola perilaku tersebut tentunya menghasilkan bentuk-bentuk
interaksi. Bentuk-bentuk interaksi sosial adalah Asosiatif dan Disasosiatif
(Soekanto, 2010), :
a. Asosiatif
Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accomodation).
Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang-
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
bersama. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan
12
tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan
kepribadiannya.
b. Diasosiatif
Diasosiatif terdiri dari persaingan (competition), kontravensi
(contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai suatu
proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing
mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa
tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok
manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam
prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.
Kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain
atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pertentangan
merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan kalan menentang pihak lawan yang sering disertai
dengan ancaman dan/atau kekerasan.
Terlepas dari bentuk-bentuk interaksi seperti yang dikemukakan diatas,
interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok-kelompok manusia dan antar
orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi terjadi apabila dua orang
atau kelompok saling bertemu dan pertemuan antara individu dengan kelompok
dimana komunikasi terjadi diantara kedua belah pihak (Yulianti, 2003).
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena itu tanpa
adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi
sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antar individu dengan
golongan didalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang diharapkan
dan usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Ahmadi, 2009).
Begitu halnya dengan fenomena saguer di Tobelo, interaksi yang terjadi
bisa mengarah pada bentuk interaksi asosiatif dan diasosiatif. Interaksi-interaksi
tersebut menghasilkan modal, misalnya modal sosial. Selain modal sosial, dalam
interaksi terdapat modal-modal lain seperti ekonomi, budaya, maupun simbolik.
Salah satu tokoh sosiolog yang banyak berbicara mengenai modal dalam hal ini
13
modal ekonomi, budaya sosial dan simbolik adalah Pierre Bourdieu dalam
teorinya yang terkenal yaitu Habitus.
2.2. Saguer dalam Habitus Mayarakat Halmahera Utara
Dalam sebuah wawancara dengan P. Lamaison pada tanggal 4 Maret 1985
(Fashri, 2014), Bourdieu mengemukakan bahwa seluruh pemikirannya bermula
dari pertanyaan “how can behavior be regulated without being the product of
obedience to rules?”. Dari pertanyaan ini, Bourdieu mengajukan konsep khasnya
yaitu Habitus untuk menengahi dualisme antara individu/masyarakat dengan
pelaku/struktur. Menurut Bourdieu, hubungan agensi dan struktur bukanlah dua
kutub yang berdiri secara terpisah, melainkan berupa relasi dialektis yang berjalan
tidak linear.
Habitus tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan
gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Bourdeau and Wacquant,
1992). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering
disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang nampak (appearance); tata
pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti : cara kita makan,
berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Menurut
Aristoteles, habitus diartikan sebagai kategori yang melengkapi subjek sebagai
substansi. Tidak adanya kategori, tidak pula mengubah substansi. Kategori apakah
yang melekat pada substansi dan tidak terpisahkan? Menurut Aristoteles adalah
kualitas rasionalitas dan idealitas.
Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang
berhubungan dengan dunia sosial. Dalam berhubungan dengan dunia sosial,
individu tidak terlepas dari interaksi dan ruang sosial. Untuk memenuhi syarat
atau penerimaan secara sosial, individu harus mempunyai kapital dalam
memenuhi interaksi dan ruang sosialnya dengan orang lain. Kapital menurut
Bourdieu terdiri dari ekonomi, sosial, budaya, simbolik. Bagi masyarakat
Halmahera Utara, mereka harus mempunyai habitus yang baik dengan melakukan
kontrol dalam konsumsi minuman Cap Tikus yang merupakan pergeseran makna
dari minuman Saguer, agar mendapatkan kapital budaya (pengetahuan dan
pemahaman) yang baik pula. Dengan mempunyai habitus Saguer dan kapital
14
budaya, seluruh masyarakat bisa berdampingan dan bertahan di dengan budaya
yang ada di Halmahera Utara. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di
dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan
dan dimanfaatkan (Ritzer dan Goodman, 2012). Dengan kata lain ranah berarti
berarti penggunaan Saguer dalam kegiatan budaya di Halmahera Utara. Praktik
sosial antar masyarakat Halmahera Utara yang mengkonsumsi Saguer yang terdiri
dari berbagai individu menggambarkan habitus dan kapital yang berbeda-beda.
Lewat ide habitus, Bourdieu mencoba mengurai praktik sosial sehari-hari
beserta prinsip-prisnsip keteraturan yang mengiringinya. Habitus dapat diandaikan
sebagai mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dari dalam diri
aktor (Takwim, 2003).
Konsep habitus dalam teori Bourdieu memang membutuhkan energi ekstra
untuk memahaminya. Tidak sekedar menampilkannya secara tekstual, tetapi juga
membutuhkan proses yang mendalam. Bourdieu sendiri mendekati pengertian
habitus melalui cara yang kompleks. Seperti defenisi habitus yang diberikan
Bourdieu dibawah ini.
“...systems of durable, transposable dispositions, structured structure
predisposed to function as structuring structures, that is, as principle which
generate and organize practices and representations that can be objectively
adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an
express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively
‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to
rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the
organizing action of a conductor” (Bourdieu, 1990)
Bagi seorang pembuat Saguer yang telah berpengalaman, cara membuat
dari mempersiapkan wadah bambu yang baik, mencari pohon, memanjat pohon,
membersihkan batang, memotong batang hingga mengambil air nira telah menjadi
habitus sebagian besar masyarakat Halmahera Utara. Hal ini menjadikan
minuman Saguer menjadi minuman tradisional yang berkualitas dan memiliki rasa
yang enak. Awal mulanya para pembuat Saguer di Halmahera Utara tidak serta
15
merta dapat membuat Saguer dalam kualitas yang baik namun membutuhkan
upaya yang berkelanjutan dan proses pengalaman yang cukup panjang
Definisi ini memuat beberapa hal prinsipil yang kemudian menjadi ciri
khas habitus. Pertama, habitus mencakup dimensi kognitif dan afektif yang
terejewantahkan dalam sistim disposisi. Istilah disposisi merujuk pada tiga makna
yang berbeda: (1) disposisi dimengerti sebagai hasil dari tindakan yang mengatur.
(2) merujuk pada cara meng-ada (a way of being), kondisi habitual (a habitual
state); dan (3) disposisi sebagai sebuah predisposisi, tendensi, niat, atau
kecenderungan. Disposisi terbentuk melalui praktek individu dengan pengalaman
personalnya, interaksi individu dengan orang lain dan dengan struktur objektif.
Kecenderungan-kecenderungan ini dipupuk didalam posisi-posisi sosial suatu
ranah dan memberikan kerangka penyesuaian subjektif terhadap posisi sosial
tersebut. Disposisi diandaikan sebagai sikap, kecenderungan dalam mempersepsi,
merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat
kondisi objektif seseorang (Ritzer, 2010). Habitus dapat dirumuskan sebagai
sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan
yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan
disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang
dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial
obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen.
Sehubungan dengan itu, disposisi pada hakikatnya mencakup
kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung lama dan dapat diterapkan
dalam berbagai ranah berbeda. Selain itu, habitus menurut Bourdieu (dalam
Fashri, 2014:92) dapat dilihat sebagai produk sejarah karena terikat pada ruang
dan waktu serta kondisi material yang mengelilinginnya. Pengaruh masa lalu tidak
disadari sepenuhnya dan dianggap sesuatu yang alamiah atau wajar.
Ketidaksadaran kultural yang melekat dalam habitus senantiasa diawetkan dari
generasi ke generasi berikutnya dan terus- menerus diproduksi ulang bagi
pembentukan praksis kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitan tersebut menurut Richard Jenkins (2004), habitus bisa
didekati melalui tiga pandangan yang berbeda; (a) kondisi objektif menghasilkan
16
habitus; (b) habitus disesuaikan dengan kondisi objektif; dan (c) terdapat
hubungan resiprokal atau dialektis diantara mereka. habitus juga dapat dipilah
menjadi dua aspek: habitus yang dimiliki individu secara khas yang mana
didapatkan melalui pengalaman (experience) dan sosialisasi (socialisation), dan
habitus kolektif sebagai fenomena kolektif yang menunjuk pada suatu kelas.
Kedua aspek ini berguna bagi individu dalam beradaptasi dengan lingkungannya
dan penyesuaian lingkungan terhadap individu.
Dalam uraian di atas Bourdieu memandang habitus sebagai aspek yang
mendasari timbulnya tindakan dan pemikiran yang dalam hal ini sangat tampak
pada tiga konsepsi habitus yaitu sebagai berikut:
1. Habitus Memiliki Dimensi Kognitif dan Afektif yang Terjewantahkan di
dalam Sistem Disposisi.
Disposisi yang dipahami disini yaitu sikap kecenderungan dalam
mempersepsikan, merasakan, melakukan dan berfikir dimana semua itu
diinternalisasikan oleh individu akibat kondisi objektif dari seseorang.
Sehingga dalam hal ini habitus tidak bersifat statis akan tetapi bersifat
dinamis, bahkan aktor dapat mengubah habitusnya sesuai dengan ranah yang
dihadapinya.
2. Habitus Merupakan Struktur-Struktur yang Dibentuk dan Struktur-Struktur
yang Membentuk.
Habitus dapat membentuk kehidupan sosial, disisi lain Habitus juga berperan
sebagai struktur yang membentuk kehidupan sosial. Dengan demikian
Habitus dapat dipahami sebagai suatu proses dialektis bagian dari
eksternalisasi dan internalisasi.
3. Habitus diinternalisasi secara tidak sadar oleh aktor sepanjang hidupnya.
Hal ini berhubungan dengan habitus lain yang disebut Boudieu sebagai Hexis
Badaniah, seperti mudah bergaul atau sebaliknya. Habitus juga dapat berguna
bagi aktor sebagai referensi untuk membekali aktor mengatasi berbagai
permasalahan.
17
2.3. Modal Dalam Perspektif Teori Bourdieu
Modal menurut Bourdieu (1984) mendefinisikan secara kompleks dan
mencakup hal-hal yang material (yang dapat memiliki nilai simbolik) maupun
atribut-atribut yang tak tersentuh namun memiliki signifikasi secara budaya
misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk pada modal simbolik), serta
modal budaya yang didefinisikan sebagai selera budaya dan pola-pola konsumsi.
Modal (kapital) adalah hal yang memungkinkan seseorang untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Saguer memiliki empat
modal yaitu: modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik.
Modal bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya
(Bourdieu, 1984).
Modal memainkan peran yang cukup sentral dalam hubungan kekuatan
sosial. Dimana modal menyediakan sarana dalam bentuk non-ekonomi dominasi
dan hierarkis, sebagai kelas yang membedakan dirinya. Modal merupakan
simbolik dari adanya perbedaan dalam masyarakat. Dimana masyarakat
terstratifikasi dari kepemilikan modal. Adanya aktor produsen, penyalur, penjual,
konsumen, tokoh masyarakat, kepala desa dan ketua adat mencerminkan dalam
hal kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan
menguasai arena, atau bisa menyesuaikan diri dengan arena yang ada.
Modal dapat digolongkan menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup
alat-alat produksi (mesin dan tanah), materi (pendapatan dan benda-benda) dan
uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, (2) Modal budaya, yang mencakup
keseluruhan klasifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan
formal maupun warisan keluarga, (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial
yang dimiliki perilaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak
lain yang memiliki kuasa, dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk
prestise, status, otoritas dan legitimasi (Fashri, 2014:98).
2.3.1. Saguer sebagai Modal Ekonomi
Dalam teori Bourdieu, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi
(mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang
18
dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya (Fashri, 2014). Di Tobelo, para produsen Saguer dan
Captikus (pelaku yang memproduksi minuman Saguer dan Captikus) memiliki
modal berupa tanah dan benda-benda yang dipakai untuk memproduksi Saguer.
modal inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi setiap tindakan ekonomi
para produsen Saguer dan Captikus. Hal yang serupa juga terjadi pada penyalur
dan penjual Saguer maupun Cap Tikus, modal yang ada memunkinkan mereka
untuk terus mendapatkan kesempatan-kesempatan dalam kelangusungan
usahanya.
Produsen Saguer di Halmahera Utara tidak selalu memiliki modal ekonomi
yang besar, hal ini karena mereka lebih mengutamakan keahlian dalam mengolah
Saguer. Dalam habitus produsen, modal ekonomi tidak dimengerti sebagai
keuntungan uang semata. Modal dapat diperoleh jika para aktor Saguer memiliki
habitus yang tepat. Jika produsen, penyalur dan penjual Saguer ingin berhasil
dalam bisnisnya, maka ia harus memiliki habitus yang tepat (ulet bekerja dan
hemat) serta kapital bisnis (uang sebagai modal usaha) maupun kapital budaya
(jaringan kenalan yang luas). Jika masyarakat Halmahera Utara telah memiliki
habitus dan kapital sebagai seorang produsen, penyalur dan penjual Saguer yang
baik maka kemungkinan besar, mereka akan tetap terus dapat melestarikan
minuman ini.
Bourdieu merumuskan konsep habitus, arena, dan modal. Habitus
merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari)
yang diterjemahkan menjadi kemampuan yang terlihat alamiah. Arena merupakan
ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak
secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena
membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus
juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Otonomisasi
relatif arena ini mensyaratkan aktor yang menempati berbagai posisi yang tersedia
dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber
daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan
posisi dalam sebuah arena. Korelasi habitus, modal, dan arena ini tidak hanya
19
dapat dipakai untuk melihat praktik sosial secara umum, melainkan juga dalam
arena sosial yang khas seperti Saguer.
Saguer merupakan struktur budaya yang telah ada sejak lama di
Halmahera Utara. Saguer merupakan sebuah abstraksi yang dapat bertahan lama
yang memiliki nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga membentuk
suatu sistem. Sistem akan berjalan dengan baik apabila masing-masing unsur di
dalamnya berfungsi dengan baik. Produsen, penyalur, penjual, tokoh masyarakat,
tokoh adat dan konsumen berhubungan dengan minuman Saguer secara tak sadar
ditentukan oleh struktur yang diatur oleh sistem (nilai-nilai budaya Saguer).
2.3.2. Saguer sebagai Modal Sosial
Bourdieu mendefinisikan modal sosial adalah jumlah sumber daya,
aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena
memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan
pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalkan.
Bourdieu (1984) menjelaskan modal sosial sebagai bagian dari
penjelasan modal budaya, modal simbolis dan modal ekonomi. Saguer
merupakan sumber daya yang memiliki kaitan erat dengan Masyarakat Halmahera
Utara. Besarnya modal sosial yang dimiliki aktor dalam Saguer bergantung dari
ukuran seberapa besar jaringan yang bisa ia manfaatkan secara efektif dan
besarnya modal lainnya (ekonomi, budaya atau simbolik) yang bisa diakses dari
hubungan melalui jaringan itu. Modal sosial, menurut Bourdieu, berfungsi
mengandalkan modal lain.
Modal sosial Bourdieu terdiri dari dua elemen, pertama adalah
hubungan sosial (social relation) yang memungkinkan aktor memiliki akses
terhadap sumber daya yang dimiliki aktor lainnya. Melalui modal sosialnya
seorang aktor Saguer bisa mendapatkan akses langsung pada sumber daya
ekonomi seperti pinjaman, dan investasi. Aktor produsen, penyalur dan penjual
Saguer melalui modal sosialnya bisa meningkatkan modal budayanya melalui
interaksi dengan aktor lain atau mendapatkan manfaat dari pemilik modal budaya
yang lebih tinggi seperti Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. Di
20
sisi lain menurut Bourdieu, untuk membangun modal sosial dibutuhkan investasi
dengan modal ekonomi dan modal budaya.
Penggunaan dan peredaran Saguer dan Captikus di Tobelo juga terjadi
karena didalam Saguer dan Captikus terdapat Modal sosial. Artinya bahwa,
melalui saguer dan captikus, para aktor bekerja sama untuk mencapai tujuan serta
keuntungan bersama yang di topang dengan adanya jaringan, norma-norma dan
kepercayaan.
2.3.3. Saguer sebagai Modal Budaya
Gagasan Pierre Bourdieu terelaborasi dengan beberapa konsep utama,
yaitu habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbol dan modal budaya. Para aktor
Saguer menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua
dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki; dan kedua, sesuai
dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: “untuk memahami bahwa
sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena
perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang
dikaji, konsumsi Saguer, penggunaan Saguer di acara adat, opini tentang Saguer
dan Cap Tikus atau Cap Tikus yang dihubungkan dengan aturan agama, dan
bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di
satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan adat memiliki bobot modal
budaya, di arena produksi memiliki modal ekonomi, arena konsumen memiliki
modal sosial.
Modal Budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa
diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal
budaya antara lain kemampuan menampilkan diri didepan publik, pemilikan
benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil
pendidikan, juga sertifikat/gelar kesarjanaan (Fashri, F. 2014). Modal budaya
lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari
lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya.
Modal budaya menurut Bourdieu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
“embodied”, “objectified” and “institionalized” (Bourdieu, 1989). Modal budaya
“embodied” diperoleh secara tidak sadar dan secara pasif diwariskan menjadi
21
sebuah sifat yang turun temurun. Modal budaya tidak berpindah serta-merta
seperti hadiah wasiat, sebaliknya ia diperoleh dari masa ke masa. Saguer dan
Captikus merupakan modal budaya “embodied” masyarakat Tobelo. Hal ini
dikarenakan Saguer dan Captikus secara turun temurun diwariskan dalam bentuk
pengetahuan tentang bagaimana proses pembuatan minuman keras.
Modal budaya “Objectified” terdiri dari pada benda-benda fizikal yang
dimiliki, seperti alat-alat saintifik atau karya-karya seni. Barang-barang budaya ini
bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Melihat fenomena yang terjadi
pada sekarang ini, Saguer dan Captikus kelihatannya dikategorikan memiliki
modal budaya “objectified”. Saguer dan Captikus sekarang ini bisa jadi dipandang
sebagai objek yang memiliki nilai ekonomi. Modal budaya “institutionalized”
terdiri daripada pengiktirafan dari sebuah intitusi di mana modal budaya yang
dimiliki oleh seoarang individu diperoleh melalui akademik.
Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi. Pertama, dimensi
vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku – yang memiliki
modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang memiliki
modal sedikit. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam
konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang
besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Hal inilah yang
menjadi dasar pergeseran makna Saguer menjadi Cap Tikus.
2.3.4. Saguer sebagai Modal Simbolik
Simbol tetap memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat global.
Setiap interaksi sosial maupun komunikasi selalu menggunakan simbol-simbol
yang menyediakan perangkat tanda untuk memudahkan terjadinya kesepahaman
atau saling pengertian. Dengan kata lain, masyarakat tidak mungkin ada tanpa
hadirnya simbol-simbol.
Modal Simbolik bagi Bourdieu meliputi segala bentuk prestise, status,
otoritas, dan legitimasi (Fashri, F. 2014). Dari pelbagai jenis modal yang ada,
modal simboliklah yang menjadi kepentingan sentral dari setiap ranah demi
mendapatkan pengakuan, otoritas, dan kehormatan. Jadi, dalam modal simbolik
22
tersimpan kekuatan untuk memberikan nama, tafsiran, atau pengetahuan resmi
atas dunia sosial.
Masyarakat Halmahera Utara dipandang sebagai wilayah yang
mengandung sistem dan relasi-relasi tempat terjadinya pengaruh kekuatan. Selalu
terjadi pertarungan sosial di dalam setiap ranah, hal ini menuntut produsen Saguer
untuk memiliki modal-modal khusus untuk dapat hidup secara baik dan bertahan
di dalamnya. Kondisi objektif aktor dalam lingkungan budaya Saguer sangat
ditentukan oleh kepemilikannya akan modal-modal tersebut, modal-modal yang
dimiliki akan menunjukkan eksistensi para aktor dalam masyarakat Halmahera
Utara. Modal simbolik bersifat khusus, ia selalu terikat dan tergantung pada
lingkungan dan gaya hidup. Status sebagai konsumen Saguer, dan mampu
melestarikan suatu nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya menjadi
modal simbolik bagi Masyarakat Halmahera Utara.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan, bahwa salah satu aspek simbol
yaitu sesuatu yang lebih besar atau tertinggi atau terakhir seperti nilai, dan modal
merupakan sumber daya, maka modal simbolik bisa diartikan sebagai sumber
daya yang memiliki nilai. Saguer dan Captikus yang ada di Tobelo, memiliki
nilai-nilai diantaranya nilai adat yang melekat dan tetap diwariskan. Nilai yang
lain yaitu nilai sosial, dimana saguer dijadikan sebagai sarana interaksi sosial.
2.4. Saguer dalam Arena Masyarakat Halmahera Utara
Dengan memiliki habitus dan modal budaya, para aktor dapat bersaing dan
bertahan di arena produksi dan konsumsi Saguer. Arena adalah pasar kompetitif
yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, budaya, sosial dan
simbolik). Dalam penelitian ini arena adalah interaksi masyarakat dalam
mempraktikan Saguer di Halmahera Utara. Arena sosial ketika penjual dan
konsumen Saguer, yang terdiri dari beberapa individu aktor menggambarkan pula
habitus dan modal yang berbeda-beda pula.
Modal, habitus dan arena dialektis satu dengan yang lainnya. Habitus para
aktor Saguer dalam melakukan praktik sehari-hari atau sedang berinteraksi dalam
arena Halmahera Utara. Dalam penjelasan hubungan antara arena dengan modal,
konsumen Saguer memasuki ranah dalam acara adat Halmahera Utara agar dapat
23
meningkatkan modal budaya (melestarikan) dan modal sosial (pertemanan).
Dalam kaitan hal tersebut, arena juga dapat terjadi dalam interaksi komunikasi
melalui media telepon dan media sosial dalam membangun hubungan masyarakat
satu dengan lainnya terutama ketika mereka hendak melakukan praktik Saguer.
Arena dapat pula mempengaruhi habitus dan modal sosial oleh karenanya
Saguer menjadi sangat dikenal di dalam Masyarakat Halmahera Utara hingga kini.
Dalam interaksinya di dunia sosial seperti acara adat, para aktor menggunakan
Saguer di dalam arenanya. Di dalam pemilihan antara Saguer dan Cap Tikus:
modal, habitus dan arena terdapat kelompok berbeda-beda dalam masyarakat
antar aktor dengan keinginan refleksi Saguer adalah kebudayaan dan kelompok
yang mendefinisikan bahwa Cap Tikus juga merupakan minuman sehari-hari
dengan mengesampingkan dampaknya..
2.5. Penelitian Terdahulu
Wahyu Wulan Sari (2008) melakukan penelitian dengan judul: Studi
Deskriptif Kualitatif tentang Persepsi, Motivasi dan Perilaku Remaja dalam
Mengkonsumsi Minuman Keras di Desa Kateguhan, Kecamatan Tawangsari,
Kabupaten Sukoharjo. Persepsi remaja terhadap minuman keras sudah beragam,
Hal ini terbukti dengan anggapan remaja bahwa minuman keras adalah minuman
yang sebenarnya membahayakan namun menjanjikan berbagai kenikmatan karena
dengan mengkonsumsi minuman keras mereka bisa melupakan berbagai masalah
ataupun beban yang sedang dihadapi. Sebagian dari mereka juga menganggap
bahwa minuman keras adalah simbol gaya hidup jaman modern. Mengenai
motivasi remaja dalam mengkonsumsi minuman keras disebabkan karena adanya
rasa ingin tahu, coba-coba, ajakan teman, frustasi dengan masalah keluarga atau
teman dekat dan untuk menambah rasa percaya diri. Sedangkan untuk perilaku
mereka sering mengkonsumsi jenis minuman vodka, mensen, asoka, colombus,
topi miring, red rebel, mix max, gordons dan masih banyak lagi. Tempat yang
biasa mereka jadikan tempat berpesta minuman keras adalah warung-warung,
perempatan jalan, pinggiran jalan raya, dan tempat-tempat hiburan malam.
Juita Lendo (2014) melakukan penelitian dengan judul: Industri Kecil
Kelompok Tani Cap-Tikus Masyarakat Desa Tokin Baru Kecamatan Motoling
24
Timur Kabupaten Minahasa Selatan. Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar
alkohol rata-rata 40 persen atau lebih yang dihasilkan melalui penyulingan saguer
(cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah
Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada cap tikus tergantung pada
kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula
kadar alkoholnya. Untuk mendapatkan saguer, bambu penampungan digantung
pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya
yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin
manis. maka cap tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya
Agung Sanjaya (2015) melakukan penelitian dengan judul: Perilaku Sosial
Pengguna Minuman Keras di Kelurahan Sungai Dama Kota Samarinda. Bentuk-
bentuk perilaku pengguna minuman keras sangat beragam yaitu meliputi
pencurian, free sex (seks bebas), pemalakan, dan tawuran/perkelehian, sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan minuman keras antara
lain, meliputi pengangguran, pergaulan bebas, dan kenikmatan.
Penelitian di atas belum menjelaskan bentuk minuman tradisional dalam
aspek budaya dalam masyarakat. Perbedaan lainnya yaitu dalam penelitian ini
menggunakan teori Bourdieu sebagai landasan dalam menghasilkan kerangka
pembahasan.
2.6. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan fokus masalah yang telah dikemukakan di bab I, dengan
memperhatikan pendekatan metode dan teori Pierre Bourdieu tentang habitus
yang digunakan, maka pemaparan tersebut mengerucut sebagai bentuk kerangka
pikir penelitian, yang akan digunakan sebagai “arahan” dalam melakukan
penelitin ini. Untuk itu, kerangka pikir penelitian dapat diformulasikan sebagai
berikut.
25
Gambar 2.1
Kerangka Pikir Penelitian
Saguer sebagai habitus merupakan struktur mental yang dengannya orang
dapat berhubungan dengan dunia sosial. Hal ini dikarenakan aktor yang berperan
telah memiliki serangkaian skema atau pola berpikir yang telah diinternalisasikan
untuk memahami, menyadari dan menilai dunia sosial Saguer. Saguer telah
membekali Masyarakat di Halmahera Utara dengan habitus. Sementara tindakan
sosial antar individu tidak selalu dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan
terhadap aturan. Sehingga dalam penelitian ini Makna Saguer dalam Masyarakat
Halmahera Utara adalah meneliti tentang interaksi yang terjadi antar individu dari
perspektif dulu dan sekarang.
SAGUER
Habitus Habitus
Dulu Sekarang
Tindakan Sosial
Dari Ritual Ke Pasar Pergeseran
Makna Saguer Dalam Masyarakat
Tobelo
Interaksi