bab ii tinjauan pustaka.docx
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BENCANA
Definisi Bencana
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa
manusia atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon
dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.8 Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, bencana adalah suatu kejadian secara alami maupun karena
ulah manusia, terjadi secara mendadak ataupun berangsur-angsur, menimbulkan
akibat yang merugikan sehingga masyarakat dipaksa untuk melakukan tindakan
penanggulangan.9
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.10 Berdasarkan
pengertian di atas, secara singkat bencana adalah suatu kejadian yang tidak
diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah
cukup banyak.
Suatu bencana dengan jumlah korban massal memiliki patokan yang
berbeda-beda. Dari sudut pandang medis 25 orang, sedangkan menurut
Popzacharieva dan Rao 10 orang. Silver dan Souviron menyatakan patokan ini
tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana, terkait dengan
sumber daya dan fasilitas yang tersedia.
8 World Health Organization, “Definitions:Disasters and Emergencies”, diakses dari http://www.who.int/hac/about/definitions/en/ tanggal 11 Januari 2015, Hal. 3.
9 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, “Glosarium Data dan Informasi Kesehatan”, Pusat Data dan Informasi Kesehatan Republik Indonesia.
10 Undang-undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 butir 1.
4
Sebagai contoh, jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan
jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan
rumah sakit lainnya. Menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai
bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas tempat yang
tersedia di masing-masing rumah sakit. Sedangkan menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, korban massal adalah korban akibat kejadian
dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama dan perlu
mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana, fasilitas,
dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.11
Klasifikasi Bencana
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, jenis bencana antara lain:
a. Bencana alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, kebakaran
hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, tanah longsor dan
kejadian antariksa/benda-benda angkasa.
b. Bencana non alam
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa kegagalan
konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran
lingkungan, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
11 Henky dan Safitri O, “Identifikasi Korban Bencana Masal: Praktik DVI antara Kerja dan Kenyataan”, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2012; 2(1): 5-7.
5
Bencana pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu bencana yang
semata-mata dikarenakan faktor alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian
alami seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, badai dan lainnya. Bencana
kedua adalah akibat ulah manusia (man made disaster) meliputi tabrakan pesawat
atau kendaraan, kebakaran, ledakan, dan lainnya.12
Pada konteks DVI, sebuah bencana merupakan kejadian yang tidak
diinginkan yang mengakibatkan kematian banyak orang. Sebagai contoh, prosedur
DVI mungkin diperlukan pada kecelakaan lalu lintas, bencana alam, bencana non
alam, maupun serangan teroris. Oleh karena itu penting untuk mengklasifikasikan
bencana menjadi open disaster dan closed disaster yang secara signifikan
mempengaruhi pendekatan respon manajemen DVI:13
a. Open disaster (Bencana terbuka)
Bencana terbuka adalah sebuah kejadian atau peristiwa yang sangat besar
sehingga mengakibatkan kematian banyak orang yang tidak diketahui
data/catatan yang tersedia. Hal tersebut mengakibatkan kesulitan dalam
pengumpulan informasi tentang korban suatu peristiwa, tidak ada referensi
awal yang dapat dijadikan petunjuk. Bencana terbuka dapat ditemukan pada
bencana di tengah kerumunan orang, di mana tidak ada data yang tersedia
mengenai gambaran potensial korban.
b. Closed disaster (Bencana tertutup)
Bencana tertutup adalah suatu kejadian atau peristiwa yang sangat besar,
mengakibatkan kematian banyak orang yang memiliki data atau petunjuk
informasi (misalnya kecelakaan pesawat dengan data penumpang). Akibatnya
data ante mortem dapat dikumpulkan lebih cepat karena terdapat petunjuk
potensial dari penumpang.
Kombinasi dari bencana tertutup dan terbuka juga mungkin terjadi
(misalnya kecelakaan pesawat di tempat umum).
12 Solehudin U. “Business Continuity and Disaster Recovery Plan”. Depok: Universitas Indonesia. 2005.
13 Interpol. Op.cit Hal 8-9.
6
Bencana di Indonesia
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana
alam maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor-faktor lain seperti
keragaman sosial budaya dan politik. Wilayah Indonesia dapat digambarkan
sebagai berikut:14
1. Secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua asia dan benua Australia serta
lempeng samudera Hindia dan samudera Pasifik.
2. Terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam tipe A, tipe B,
dan tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang-kurangnya satu kali
sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung tipe A, tipe
B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus dan tipe C
adalah gunung api yang masih aktif di indikasikan sebagai gunung api aktif.
3. Terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya
melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir
bandang dan tanah longsor pada saat musim penghujan.
Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain:
1. Gempa bumi dan tsunami yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 yang
melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagaian Provinsi
Sumatera Utara telah menelan korban yang sangat besar yaitu 120.000 orang
meninggal, 93.088 orang hilang, 4.632 orang luka-luka.
2. Gempa bumi Nias, Sumatera Utara pada awal tahun 2005 mengakibatkan 128
orang meninggal, 25 orang hilang dan 1.987 orang luka-luka.
3. Gempa bumi dan tsunami terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di pantai Selatan
Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar, Cilacap, Kebumen,
Gunung Kidul dan Tulung Agung) telah menelan korban meninggal dunia 684
orang, korban hilang sebanyak 82 orang dan korban dirawat inap sebanyak
477 orang dari 11.021 orang yang luka-luka.
14 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. “Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Mengacu pada Standar Internasional”. Jakarta. 2007.
7
4. Tanah longsor sampai pertengahan tahun 2006 terjadi di provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua dengan jumlah korban 135 orang.
5. Banjir bandang seperti yang terjadi secara beruntun pada pertengahan tahun
2006 di Kabupaten Sinjai (Sulawesi Selatan), banjir di Kabupaten Bolaang.
6. Mongondow (Sulawesi Utara), Kota Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Tanah
Bumbu dan Banjar (Kalimantan Selatan), Kabupaten Katingan (Kalimantan
Tengah).
7. Gunung Merapi di Jawa Tengah sepanjang tahun 2006 menunjukkan
peningkatan aktivitas yang mengakibatkan 4 orang meninggal, 5.674 orang
pengungsian dengan permasalahan kesehatannya.
8. Sejak awal tahun 1999 telah terjadi konflik vertikal dan konflik horizontal di
Indonesia yang ditandai dengan timbulnya kerusuhan sosial, misalnya di
Sampit, Sambas Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Poso, Sulawesi, Nusa
Tenggara Timur, Papua dan berbagai daerah lainnya yang berdampak
pengungsian penduduk secara besar-besaran.
9. Ledakan Bom Bali I dan II serta ledakan bom di wilayah Jakarta
mengakibatkan permasalahan kesehatan yang juga berdampak kepada aspek
sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia.
10. Kegagalan teknologi seperti kasus Petro Widada Gresik.
8
Gambar 1. Sebaran Kejadian Bencana per Kabupaten/Kota Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U,“Business Continuity and Disaster Recovery Plan”, Universitas Indonesia, Depok,
9
Gambar 2. Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian Bencana Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U “business continuity and disaster recoveri Plan” Universitas Indonesia, Depok 2005)
Gambar 3. Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian Bencana Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U “business continuity and disaster recoveri Plan” Universitas Indonesia, Depok 2005)
IDENTIFIKASI
Metode identifikasi
Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang digunakan untuk
menentukan identitas seseorang.
Metode ini terdiri atas:15
1. Metode sederhana
Melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan,
pakaian, dan kartu identitas yang ditemukan atau membandingkan dengan
foto.
a. Metode visual, dengan memperhatikan dengan cermat atas korban,
terutama wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri
korban dapat diketahui. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapat
hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat
dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam
keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut.
b. Pakaian, pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode
serta adanya tulisan-tulisan seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau
initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah
pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian
secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10
cm, adalah merupakan tindakan yang tepat agar korban masih dapat
dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur.
c. Perhiasan, anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh
korban, khususnya bila pada perhiasan tersebut terdapat initial nama
seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau
cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik didalam menentukan
identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari
perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.
15 Abdul Mun’im Idries, “Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama”, Binarupa Aksara, Jakarta, 2007, Hal. 33-34.
10
d. Dokumen, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu
golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan
dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan jati diri korban. Pada
kecelakaan massal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang didalam
menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam
saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang;
sehingga pada kecelakaan massal tas seseorang dapat terlempar dan
sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak
diperhatikan kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi
korban sudah busuk atau rusak.
2. Metode ilmiah
Melalui teknik ilmu pengetahuan seperti sidik jari, kedokteran umum,
kedokteran gigi, antropologi, serologi, dan biomolekuler. Cara ini digunakan
apabila jenazah telah rusak berat karena proses pembusukan, mutilasi, atau
hangus terbakar.
Dilihat dari metode tersebut, proses identifikasi bisa dikelompokkan
menjadi dua ukuran, yaitu ukuran data primer yang meliputi sidik jari, data gigi,
dan DNA, serta ukuran data sekunder yang meliputi data medis, kepemilikan, dan
fotografi.
11
Gambar 4. Properti seperti perhiasan, jam tangan dan kunci yang dapat ditemui pada korban bencana
Korban dinyatakan positif teridentifikasi apabila:
1. Satu atau lebih ukuran identifikasi primer telah terbukti dengan atau tanpa data
sekunder.
2. Minimal dua data sekunder dapat ditemukan apabila data primer tidak ada.
Metode ilmiah adalah cara identifikasi dengan memanfaatkan ilmu kedokteran
(identifikasi medis).
Cara ini dibagi dalam beberapa jenis:
1. Identifikasi medis umum
Cara ini memperhatikan ciri-ciri umum seseorang seperti: tinggi badan, berat
badan, warna kulit, warna dan tipe rambut, warna mata, cacat-cacat yang
mencolok, tanda-tanda khas, dan bekas-bekas penyakit/operasi. Biasanya
setiap formulir pemeriksaan jenazah telah mencantumkan hal ini.
2. Identifikasi tulang belulang
a. Pertama-tama harus ditentukan dahulu kumpulan tulang tersebut
merupakan tulang manusia atau tulang binatang. Jika tulang manusia,
berasal dari satu orang atau lebih. Selanjutnya dari tulang-tulang tersebut,
secara medis antropologis dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Jenis kelamin
Pada orang dewasa, beberapa tulang tertentu bentuknya berbeda antara
laki-laki dan wanita, tulang-tulang itu antara lain tengkorak, pelvis,
tulang panjang, rahang dan gigi.
Tabel 1. Perbedaan tulang tengkorak laki-laki dan perempuan
Tengkorak Laki-laki Perempuan
Dahi
Tepi orbital
Orbital
Tonjolan mastoid
Rigi(muscle ridges)
Rendah
Lebih menonjol
Persegi empat
Besar
Kasar (nyata)
Tinggi
Kurang menonjol
Bulat
Kecil
Halus
(Sumber: Abdul Mun’im Idries, “Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama”, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997, hal. 33-34)
12
Tabel 2. Perbedaan tulang pelvis laki-laki dan perempuan
Pelvis Laki-laki Perempuan
Bentuk
Arkus pubis
Foramen ischiadica
Incisura ischiadica
Os sacrum
Sempit dan panjang
< 90 derajat
Oval
Lebih dalam
Kurang lebar
Lebar dan pendek
> 90 derajat
Segitiga
Lebih dangkal
Lebih lebar
(Sumber: Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama, Jakarta, Binarupa Aksara, 1997, hal. 33-34)
Tulang panjang pada laki-laki lebih masif (terutama di sekitar
sendi) dan rigi perlekatan otot lebih nyata. Bentuk rahang dan gigi
antara perempuan dan laki-laki juga berbeda sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi jenis kelamin. Rahang
pada laki-laki umumnya seperti huruf V sedangkan pada wanita
seperti huruf U. Gigi dan akar gigi permanen pada laki-laki lebih
besar dari pada wanita.
2) Tinggi badan
Tinggi badan seseorang dapat diperkirakan dari panjang tulang
tertentu, menggunakan rumus yang dibuat oleh banyak ahli.16
Rumus Antropologi Ragawi UGM untuk pria dewasa (Jawa):
Tinggi badan = 897 + 1,74 y (femur kanan)
Tinggi badan = 822 + 1,90 y (femur kiri)
Tinggi badan = 879 + 2,12 y (tibia kanan)
Tinggi badan = 847 + 2,22 y (tibia kiri)
Tinggi badan = 867 + 2,19 y (fibula kanan)
Tinggi badan = 883 + 2,14 y (fibula kiri)
Tinggi badan = 847 + 2,60 y (humerus kanan)
Tinggi badan = 805 + 2,74 y (humerus kiri)
13
16 Arif Budiyanto, dkk., “Ilmu Kedokteran Forensik”, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm 201-202.
Tinggi badan = 819 + 3,15 y (ulna kanan)
Tinggi badan = 847 + 3,06 y (ulna kiri)
Catatan : semua ukuran dalam satuan mm.
Rumus Trotter dan Gleser untuk Mongoloid:
1,22 (fem + fib) + 70,24 (±3,18 cm)
1,22 (fem + tib) + 70,37 (±3,24 cm)
2,40 (fib) + 80,56 (±3,24 cm)
2,39 (tib) + 81,45 (±3,27 cm)
2,15 (fem) + 72,57 (±3,80 cm)
1,68 (hum + ulna) + 71,18 (±4,14 cm)
1,67 (hum + rad) + 74,83 (±4,16 cm)
2,68 (hum) + 83,19 (±4,25 cm)
3,54 (rad) + 82,00 (±4,60 cm)
3,48 (ulna) + 77,45 (±4,66 cm)
Melalui suatu penelitian, Djaja Surya Atmadja menemukan rumus
untuk populasi dewasa muda di Indonesia:
Pria : TB = 72,9912 + 1,7227 (tib) + 0,7545 (fib) (± 4,2961 cm)
TB = 75,9800 + 2,3922 (tib) (± 4,3572 cm)
TB = 80,8078 + 2,2788 (fib) (± 4,6186 cm)
Wanita: TB = 71,2817 + 1,3346 (tib) + 1,0459 (fib) (± 4,8684 cm)
TB = 77,4717 + 2,1889 (tib) (± 4,9526 cm)
TB = 76,2772 + 2,2522 (fib) (± 5,0226 cm)
Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2
mm dari tulang yang segar, sehingga dalam menghitung tinggi badan
perlu diperhatikan. Rata-rata tinggi laki-laki lebih besar dari wanita,
maka perlu ada rumus yang terpisah antara laki-laki dan wanita.
Apabila tidak dibedakan maka diperhitungkan ratio laki-laki:wanita
14
adalah 100:90. Selain itu, penggunaan lebih dari satu tulang
dianjurkan.
Apabila ditemukan seluruh tulang lengkap, maka ketepatan data
diatas dapat mencapai 90%-100%. Namun, sudah sangat
menguntungkan jika mendapat tulang tengkorak, tulang panggul, dan
salah satu tulang panjang.
3) Ras
Ras pada prinsipnya adalah penggolongan manusia secara biologi
berdasarkan penampakan fisiknya atau fenotipnya, bukan berdasarkan
genetiknya.
4) Umur
Tulang manusia dapat memberikan informasi penting bagi
perkiraan umur manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang
tergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga perlu
dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus, neonatus,
anak-anak, adolescen dan dewasa.
Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti
penulangan yang dapat dilihat melalui pemeriksaan ronsenologik atau
otopsi. Pada anak-anak dan adolescen sampai umur 20 tahun, yang
paling berguna bagi penentuan umur adalah penutupan epifisis. Seperti
diketahui bahwa penutupan epifisis juga mengikuti urutan kronologik.
Pada kelompok dewasa (sesudah berumur 20 tahun), perkiraan umur
dengan menggunakan tulang menjadi lebih sulit. Beberapa petunjuk
yang dapat dipakai antara lain; penutupan sutura, perubahan sudut
rahang dan adanya proses penyakit.
5) Parturitas (berapa banyak wanita melahirkan)
3. Golongan darah
4. Identifikasi gigi
15
Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya jika rekaman data gigi dan rontgen foto gigi semasa hidup
disimpan dengan baik dan benar.
Gigi dipakai sebagai sarana identifikasi karena alasan sebagai berikut:
a. Daya tahan gigi
Gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposis bahan
organik dan airnya sedikit sekali. Sebagian besar terdiri atas bagian
anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak didalam rongga mulut
yang terlindung dan basah oleh air liur. Gigi akan menjadi lapuk pada
suhu 2000°C dan menjadi abu pada suhu 450°C.
b. Individualitas gigi
Setiap manusia mempunyai 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-
masing mempunyai 5 permukaan. Berarti dalam mulut ada 160
permukaan gigi dengan variasi keadaan mulai baik, rusak, penambalan,
gigi palsu, hingga implan.
c. Informasi yang dapat diperoleh dari gigi
Umur, ras, jenis kelamin, golongan darah, bentuk wajah/raut muka
seseorang.
16
Gambar 5: Form Odontogram yang akan digunakan untuk identifikasi gigi geligi
5. Identifikasi Serologis
Pemeriksaan serologis adalah pemeriksaan komponen-komponen atau
enzim-enzim tertentu yang ada dalam jaringan, cairan tubuh manusia.
Beberapa pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk mengidentifikasi seseorang
adalah:
a. Golongan darah/subgolongan darah, dapat diperiksa dari: darah, ludah,
semen, rambut, gigi, tulang-tulang seluruh tubuh manusia.
b. Enzim-enzim seperti antigen, antibodi, atau protein dapat diperiksa dari
darah.
c. HLA (human leucocyt antigen) dapat diperiksa dari darah.
d. Pemeriksaan serologis ini dilakukan di laboratorium (kecuali golongan
darah, dapat diperiksa di tempat kejadian apabila masih segar) dan
kebanyakan memerlukan darah yang masih segar (pemeriksaan enzim dan
HLA).
6. Rekonstruksi wajah dan superimposed
Teknik rekonstruksi wajah dikembangkan oleh ahli antropologi Barat
setelah mereka meneliti ketebalan kulit atau otot di daerah muka. Setelah
ketebalan-ketebalan itu diketahui, dan dengan teknik-teknik tertentu, akhirnya
dapat dibentuk perkiraan tampang dari suatu tengkorak. Teknik ini
mempunyai kendala-kendala karena tidak bisa menggambarkan secara tepat
daerah mata, bibir, maupun model rambut, sehingga sering kali hasilnya
kurang memuaskan.
Sementara itu, superimposed menawarkan cara yang lebih mudah dan
akurat untuk memperkirakan bentuk wajah seseorang. Prinsip teknik
superimposed adalah mencocokkan tengkorak yang tidak dikenal dengan foto
wajah orang terduga. Caranya ialah dengan menggunakan teknik-teknik
fotografi dan rontgen foto: tengkorak di foto rontgen. Kemudian pas foto
orang terduga dipotret kembali dan dibesarkan sesuai ukuran dan diperhatikan
kecocokan-kecocokannya (dengan menggunakan titik-titik anatomi tertentu).
Hal-hal yang penting diperhatiakn dalam melakukan superimposed:
17
a. Foto rontgen tengkorak posisinya harus sama dengan pasfoto terduga.
Usahakan untuk mencari foto yang betul-betul lurus dari depan dan
terbaru.
b. Harus menggunakan dua foto orang lain sebagai pembanding.
c. Dapat pula dengan menggunakan bantuan komputer. Pada prinsipnya,
menggunakan berbagai macam bentuk wajah yang telah terprogram dalam
suatu software. Dengan pas foto terduga, dilakukan pencocokan dan
penempelan secara digital imaging, dapat pula diperbaiki kemiringannya
dengan menggunakan pelukisan dengan layar sentuh (touchscreen).
7. Psychological Personality Profiling
Identifikasi biasanya ditujukan untuk mengenal korban yang mati. Namun,
tidak semua kasus kejahatan dapat dilakukan profiling. Hanya kasus-kasus
yang menunjukkan kelainan patopsikologi baik di TKP maupun pada tubuh
korban dapat dicirikan pelakunya. Kasus-kasus itu diantaranya:
a. Kasus penyiksaan seksual yang sadis,
b. Mutilasi dan penyayatan post-mortem,
c. Post-mortem exploration,
d. Pembakaran tanpa motif,
e. Pembunuhan sadis dan serial,
f. Kejahatan yang berhubungan dengan ritual,
g. Pemerkosaan.
8. Pemetaan sidik jari DNA (DNA Profiling)
DNA profiling merupakan suatu sarana identifikasi yang paling baru. Cara
ini diperkenalkan oleh Jeffreys pada tahun 1985 sebagai DNA Finger
Printing. Cara ini dikatakan sangat dipercaya untuk mengidentifikasi
seseorang karena tidak ada dua manusia yang mempunyai urutan DNA yang
tepat sama kecuali kembar identik (berasal dari satu telur). DNA
(deoxyribonucleic acid) merupakan gabungan dari gula deoksi, kelompok
fosfat, dan basa nitrogen. Pada DNA terdapat empat macam basa nitrogen
18
yaitu guanine (G), thymine (T), cytosine (C), dan adenine (A). Basa nitrogen
G selalu berpasangan dengan C dihubungkan dengan tiga ikatan rangkap
hidrogen, sedangkan T selalu berpasangan dengan A yang selalu dihubungkan
dengan dua ikatan hidrogen. Susunan-susunan basa inilah yang dimanfaatkan
untuk profiling karena ada bagian-bagian tertentu dari untaian itu yang sangat
spesifik untuk setiap orang. Daerah ini disebut “mini satelit”. DNA memiliki
kestabilan pada somatis yang artinya gambaran DNA dari darah, sperma,
rambut, orga, dan sebagainya identik sehingga cocok untuk digunakan sebagai
bahan identifikasi. Pada sel sperma dan sel telur berbeda dengan sel tubuh
lainnya dalam hal jumlah kromosom.
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)
Definisi
Disaster Victim Identification (DVI) atau identifikasi korban bencana
merupakan suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta
mengacu pada Interpol DVI Guideline.17
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data
ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin
baik. Pada kasus bencana massal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal,
19
Gambar 6: Pola sidik jari yang terdapat pada manusia sehingga dapat digunakan untuk proses identifikasi
diperlukan keahlian kedokteran forensik yang meliputi berbagai bidang keilmuan
itu dab bidang keahlian penunjang untuk dapat melakukan identifikasi.18
Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan
semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,
dimana seorang mayat pempunyai hak untuk dikenali.19
Dasar Hukum Disaster Victim Identification
Dasar hukum yang melandasi kegiatan DVI dikaitkan dengan beberapa
Hak Asasi Manusia tentang proses identifikasi dan penanganan korban mati.
Adapun beberapa dasar hukum tersebut antara lain:
1. Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam
KUHAP Pasal 133 ayat 1 :
“Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya”
2. 120 ayat 1 :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus”
3. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 14 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : melakukan koordinasi,
pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik
pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian”
20
17 Sumy Hastry Purwanti, “Ilmu Kedokteran Forensik Untuk Kepentingan Penyidikan”, Jakarta, Rayyana Komunikasindo, 2014, hlm 256-257.
18 Aboesina Sidiek, dkk., “Disaster Victim Identification (DVI) Pada Bencana Letusan Gunung Merapi Dan Serangan Terorisme Bom Bali I”, Semarang, Fakultas Kedokteran Universitan Diponegoro, 2013, hlm 18.
19 Prawestiningtyas, Eriko, Agus Mochammad Algozi, “Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol, XXV No, 2, Agustus 2009, hlm 87-89.Dasar Hukum Identifikasi Korban Bencana di Indonesia adalah KUHAP Pasal
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana:
“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik,
oleh faktor alam dan/atau faktor non alami maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologi”
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 82 dan 118 tentang Kesehatan:
“Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas
ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana; Mayat yang tidak
dikenal harus dilakukan upaya identifikasi”
6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Kedokteran Kepolisian Pasal 8 dan Pasal 9. ‘;’
Kemudian dasar hukum yang lain yang berkaitan dengan DVI yaitu
Resolusi Interpol No. AGN/65/Res/13 Tahun 1996 tentang Disaster Victim
Identification, Peraturan Pemereintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, MoU Departeman Kesehatan Polisi Republik Indonesia
Tahun 2003 dan MoU Departeman Kesehatan Polisi Republik Indonesia Tahun
2004.
Sejarah Disaster Victim Identification
21
Interpol (The International Criminal Police Organization) pertama kali
mengadakan rapat kerja mengenai Disaster Victim Identification (DVI) pada
tahun 1982. Hal ini didasarkan pada adanya kesulitan saat mengidentifikasi
korban akibat bencana di lokasi dengan penduduk yang berasal dari berbagai
daerah. Kejadian yang mendasari rapat kerja ini adalah ledakan tanki bahan bakar
di Spanyol pada tahun 1978 yang memakan korban hingga 200 jiwa yang berasal
dari berbagai negara Eropa. Kesulitan yang dialami saat mengidentifikasi korban
akibat bencana tersebut menjadi alasan utama yang menghasilkan prinsip
identifikasi yang digunakan secara internasional.20 Pedoman standar baku Interpol
dalam Identifikasi Korban Bencana pertama kali diproduksi pada tahun 1984, dan
selalu diperbaharui setiap beberapa tahun sekali. Pembaharuan pedoman
dilakukan atas dasar pengalaman bencana alam yang telah terjadi.
Di Indonesia, keberadaan DVI belum terlalu lama. Publik sebelumnya
lebih mengenal Laboratorium Forensik (Labfor) Kepolisian yang berada di bawah
Kedokteran Kepolisian (Dokpol) yang pertama kali dibentuk pada 1977 dan
kemudian diresmikan sebagai bagian dari kepolisian pada tahun 1984.21
Kementerian Kesehatan bersama Kepolisian Republik Indonesia sejak
tahun 1999 melakukan kegiatan Pembentukan Tim DVI di Indonesia (Tim DVI
Nasional, Tim DVI regional, dan Tim DVI Provinsi). Tim DVI Nasional
berkedudukan di Jakarta dan mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan
semua usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku
secara nasional maupun internasional pada korban-korban mati massal akibat
bencana.22
Adapun organisasi DVI di Indonesia dipelopori dengan diadakannya suatu
pertemuan yaitu pada The 1st Interpol DVI Pacific Rim Meeting tanggal 25 – 27
Januari 2001 di Makassar. Selanjutnya DVI Indonesia diperkenalkan dan menjadi
salah satu materi pokok dalam Program Post Graduate Training on Clinical
Forensic Medicine, Human Rights and Medical Jurisprudence untuk
mendapatkan gelar DFM (Diploma on Forensic Medicine) selama 4 periode yang
bekerjasama antara Polri, Universitas Hasanuddin dan Groningen University,
Netherland.
22
20 Withers Deborah, Log.cit.21 Iqbal Fadil, “DVI Indonesia, ujung tombak identifikasi korban Sukhoi”, 2012, diakses dari
http://www.merdeka.com/peristiwa/dvi-indonesia-ujung-tombak-identifikasi-korban - s ukhoi.html tanggal 10 Januari 2015.
22 Depkes RI, Loc.cit.
Pada tanggal 25-28 Juli 2003 diadakan The 2nd Interpol DVI Pacific Rim
Meeting di Denpasar, yang pada kesempatan itu pula turut ditandatangani
Memorandum of Understanding antara Departemen Kesehatan RI dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia tentang Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal. Pusdokkes Polri juga telah mengirimkan personelnya untuk mengikuti
DVI Course AFP – PDRM di Kuala Lumpur bulan Oktober 2003, dan
menyelenggarakan DVI Course AFP – Polri di Jakarta dan Bali pada bulan Juli
2004 dan Agustus 2004. Pada tanggal 29 September 2004 dilakukan
Memorandum of Understanding yang kedua antara Departemen Kesehatan RI dan
Polri tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bancana
Massal yang juga disepakati terbentuknya Tim DVI Indonesia Nasional serta
pembagian wilayah Regional DVI di Indonesia.23
Pada awal tahun 2006 Tim DVI Nasional Indonesia telah merintis
berdirinya kantor Sekretariat yang berdekatan dengan gedung kantor Biddokpol
Pusdokkes Polri yang bertujuan agar memudahkan dalam kontrol dan koordinasi
dalam penanganan identifikasi korban mati pada peristiwa-peristiwa bencana
massal yang ada di Indonesia dan pada tanggal 26 Maret 2007 gedung Sekretariat
Tim DVI Nasional Indonesia ini telah diresmikan penggunaannya oleh Kapolri
Jenderal Polisi Drs. Sutanto, SH.
Dalam perkembangannya hingga kini telah terbentuk Tim DVI Indonesia
di setiap propinsi. Struktur organisasi Tim DVI Propinsi mengacu pada struktur
organisasi Tim DVI Regional dan Tim DVI Nasional dimana seorang ketua Tim
DVI Propinsi adalah Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda yang di
23
dalam strukturnya dibantu oleh Dinas Kesehatan setempat, Rumah Sakit
Pemerintah, Unsur Pemerintah Daerah dan unsur-unsur pendukung lainnya. Baik
Tim DVI maupun tim pendukung kesehatan yang menangani korban hidup akan
berkoordinasi dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, SAR
23 Anonim, “Sejarah Disaster Victim Identification”, 2011, diakses dari https://ipurworejo.wordpress.com/2011/04/11/sejarah-disaster-victim-identification-dvi/ tanggal 11 Januari 2015.
Propinsi dan unsur-unsur lain yang terlibat dalam suatu penanganan
bencana. Adapun apabila Tim DVI Propinsi pada pelaksanaannya membutuhkan
dukungan tim DVI lain maka akan diterjunkan Tim DVI Regional dan atau Tim
DVI Nasional.
Peranan Disaster Victim Identification
Identifikasi pada korban bencana massal mutlak diperlukan, terutama pada
korban mati karena menyangkut masalah sebagai berikut: 24
1. Pengendalian kekacauan pada masyarakat akibat bencana massal tersebut,
terutama pada kondisi psikologis keluarga korban.
2. Perwujudan penegakan hak asasi manusia untuk hak teridentifikasi.
3. Aspek hukum terhadap ahli waris korban, terutama masalah asuransi jiwa.
4. Pencarian pelaku tindakan kriminal pada peristiwa tertentu, misalnya
kasus peledakan bom dan terorisme.
Prosedur Disaster Victim Identification
Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim
Identification) Interpol. Proses DVI terdiri dari empat fase, yaitu The Scene, Post-
Mortem Examination, Ante- Mortem Information Retrieval, dan Reconciliation.25
1. Fase I – Scene
Fase I merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian
peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling
utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah
organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan
24
untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif
dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul
tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim
pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus
sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut:
24 Sumy Hastry Purwanti, Op.cit, hlm.255-256.
1) Keluasan TKP, yaitu melakukan pemetaan jangkauan bencana dan
pemberian koordinat untuk area bencana.
2) Perkiraan jumlah korban.
3) Keadaan mayat.
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur DVI.
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
6) Metode untuk menangani mayat.
7) Transportasi mayat.
8) Penyimpanan mayat.
9) Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs
bencana terdapat tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau
untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk
mengumpulkan, dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan
pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan
barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang
terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Namun,
pencarian korban mati akibat bencana tersebut tidak dapat dimulai sampai
semua korban hidup selesai diselamatkan.
Pada langkah to secure, organisasi yang memimpin komando DVI
harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak
menjadi rusak. Langkah-langkah tersebut antara lain:
25
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak
berkepentingan, misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
25 Pusponegoro AD, dkk., “Identifikasi Korban Bencana Massal” In: Paturusi IA, Pusponegoro AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal, edisi ketiga, 2006, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 123-30.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI
harus mengumpulkan korban-korban bencana dan mengumpulkan properti
yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando
DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat
informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label
ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan, korban yang sudah diberi
nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.
2. Fase II – Post-Mortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini
dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada
fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik
melakukan untuk mencari data post-mortem sebanyak-banyaknya. Sidik
jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang
melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk
26
pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan
standar Interpol. Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh
pasca kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang
oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan
berbagai pemeriksaan yang seluruhnya dilakukan untuk memperoleh dan
mencatat data selengkap-lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
pencatatan data jenazah yang dilakukan di antaranya meliputi:
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah
korban.
2) Autopsi, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika
ditemukan.
3) Pemeriksaan sidik jari.
4) Pemeriksaan rontgen.
5) Pemeriksaan odontologi forensik, bentuk gigi dan rahang merupakan
ciri khusus setiap orang sehingga dapat digunakan dalam proses
identifikasi.
6) Pemeriksaan DNA.
7) Pemeriksaan antropologi forensik, yaitu pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, berat badan, tato, hingga cacat tubuh
dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam
data primer dan data sekunder sebagai berikut:
1) Primary Identifiers (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Secondary Identifiers (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi
medis)
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan-perubahan pasca
kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada
lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.
27
3. Fase III – Ante-Mortem
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data ante-mortem di mana ada
tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Pada
fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah meupun orang yang
terdekat dengan jenazah. Tim ini meminta masukan data sebanyak-
banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian
yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas
luka operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan
dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau
kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak
ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah
dari keluarga korban. Data ante mortem diisikan ke dalam yellow form
berdasarkan standar Interpol.
4. Fase IV – Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post-mortem dengan data
ante-mortem. Ahli forensik dan profesi lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post-mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante-mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan
ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang
sesuai dengan temuan post-mortem jenazah.
Seseorang dianggap teridentifikasi pada fase keempat ini apabila
terdapat kecocokan antara data ante-mortem dan post-mortem dengan
kriteria minimal satu macam Primary Identifiers atau dua macam
Secondary Identifiers.
28
Tim Disaster Victim Identification
Tim Manajemen DVI memiliki peran sebagai berikut:26
1. Peran Komandan DVI
2. Fase 1: koordinasi tempat
3. Fase 2: koordinasi post mortem
4. Fase 3: koordinasi ante mortem
5. Fase 4: koordinasi rekonsiliasi
Berikut adalah disiplin utama yang digunakan dalam aspek teknik dalam proses
DVI:
1. Ahli patologi forensik
2. Ahli odontologi forensilk
3. Ahli fingerprint
4. Ahli biologi forensik/ahli genetik
5. Ahli antropologi forensik
Disiplin ilmu tambahan yang dapat mendukung proses DVI:
1. Fotografer
2. Ahli radiologi
3. Tim interview
4. Manager properti
5. Pencatat tempat dan post mortem
6. Tim kualitas asuransi (kontrol kualitas informasi dan data)
7. Tim manajemen dan pengumpul bukti
8. Manajer mayat
9. Penyidik
10. Petugas logistik
11. Petugas penghubung
12. Petugas orang hilang
13. Ahli teknologi informasi
29
26 Interpol, Op.cit, Hal 12-15.
Tim DVI
Berikut ini adalah ringkasan dari posisi manajemen kunci utama dalam
proses DVI.
a. Komandan DVI
Komandan DVI memegang tanggung jawab secara keseluruhan untuk respon
operasional terhadap peristiwa DVI, berikut ini adalah beberapa fungsi
penting dalam peran tersebut:
1. Menetapkan perintah DVI yang tepat dan mengontrol struktur yang sesuai
untuk memastikan semua kegiatan DVI agar teratur dan terkoordinasi
2. Memulai respon DVI sesuai dengan rencana operasional yang telah
disepakati dan/atau pengaturan yurisdiksi.
3. Menunjuk koordinator fase DVI dan posisi penting lainnya yang
diperlukan.
4. Menerapkan saluran komunikasi yang jelas dan mekanisme pelaporan
untuk memudahkan koordinasi dan arus informasi.
5. Memastikan kapasitas yang memadai dan kemampuan dari spesialis dan
logistik untuk secara efektif merespon insiden tersebut.
6. Memastikan kepatuhan terhadap kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan
kerja.
b. Koordinator fase
Personil yang dialokasikan dalam peran koordinasi penting untuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar sepadan dengan tuntutan
dan tanggung jawab pada posisi tersebut. Selain itu juga dianjurkan bagi
30
orang-orang tersebut untuk memiliki keterampilan dan pengalaman dalam
pengelolaan staf.
c. Koordinator ahli DVI
Pengangkatan anggota penting untuk mengkoordinasi dan mengawasi
disiplin spesialis merupakan syarat penting untuk operasi DVI. Meskipun
manajer personil ahli ini harus memenuhi syarat dalam disiplin masing-
masing, mereka juga harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi
produksi output dengan disiplin lain, atau area lain dari proses DVI.
Tim DVI Indonesia yang dibentuk dengan sistem regionalisasi (4 region)
merupakan badan yang bertanggung jawab terhadap penanganan korban mati pada
suatu bencana, terutama yang terjadi di regionnya.27
Tim DVI regional adalah perpanjangan tangan dari Tim DVI Nasional
sebagai koordinator bagi Provinsi dalam wilayah kerjanya, sedangkan Tim DVI
Provinsi merupakan pelaksana identifikasi terhadap semua korban mati pada
bencana.
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal dari pihak kepolisian. Pada kasus
yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada
man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan
keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan
aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan
beberapa tim dari berbagai institusi.28
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam
masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Tim kecil yang
menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan
data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban.
31
27 Permatasari, Tian Ervi, “Gambaran Identifikasi Korban Massal Open Disaster dan Close Disaster di Tim DVI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Rekam Data Gigi (Odontogram)”. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. 2012, Hal 2-3.
28 Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsian, “Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana”, Depkes RI, Jakarta, 2007, Hal. 151
Peran Dokter dalam Disaster Victim Identification
1. Menentukan manusia atau bukan
Jika ditemukan tulang-tulang maka kadang-kadang tulang dari beberapa
binatang tertentu mirip tulang manusia. Dengan pemeriksaan yang teliti akan
dapat dibedakan apakah tulang yang ditemukan berasal dari manusia atau
binatang. Yang agak sulit adalah jika yang ditemukan itu berupa tulang yang
tak khas atau jaringan lunak. Dalam hal ini pemeriksaan yang diperlukan
untuk dapat menentukan manusia atau binatang adalah pemeriksaan
imunologik.
2. Menentukan jenis kelamin
Pada korban kebakaran atau pada mayat yang sudah membusuk dimana
penentuan jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar
maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan pada jaringan lunak tertentu misalnya uterus dan prostat, dan
tulang-tulang tertentu.
3. Menentukan umur
Tulang manusia dan gigi juga dapat memberikan informasi penting bagi
perkiraan umur manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang
bergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga perlu
dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak,
adolescen dan dewasa.
Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti penulangan yang
dapat dilihat melalui pemeriksaan rontgen atau otopsi. Pada anak-anak dan
adolescen sampai umur 20 tahun, yang paling berguna bagi penentuan umur
adalah penutupan epifisis. Pada kelompok dewasa (yaitu sesudah berumur 20
tahun), perkiraan umur dengan menggunakan tulang menjadi lebih sulit.
32
Beberapa petunjuk yang dapat dipakai antara lain; penutupan sutura,
perubahan sudat rahang dan adanya proses penyakit.
Penentuan umur dengan menganalisis jaringan yang akan tumbuh menjadi
gigi pada bayi di dalam kandungan mempunyai derajat kecermatan yang
tinggi. Sesudah dilahirkan penentuan umur dapat dilakukan dengan
mendasarkan pada mineralisasi, pembentukan mahkota gigi, erupsi gigi dan
resorbsi apicalis.
4. Menentukan tinggi badan
Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh maka penentuan tinggi badan
dapat dilakukan dengan menggunakan tulang-tulang panjang. Hanya dengan
sepotong tulang panjang yang utuh umur pemiliknya dapat diperkirakan, tetapi
hasil yang akurat dapat diperoleh jika tersedia beberapa jenis dari tulang
panjang.
Pelatihan Disaster Victim Identification (DVI)
Dalam rangka mempertahankan standar kompetensi yang tepat dalam
praktek modern protokol dan prosedur DVI, harus mempertimbangkan
pemeliharaan pelatihan yang mencakup semua aspek dari DVI. Bahan-bahan
pelatihan dan kegiatan harus disesuaikan dengan proses dan fungsi DVI yang
terdapat dalam panduan Interpol.29
Selain meningkatkan tingkat kompetensi seluruh disiplin ilmu terhadap
standardisasi praktik, pelatihan juga dapat mengakibatkan pemerataan standar
operasional sesuai dengan praktek yang diakui secara internasional. Hal ini
sangat penting ketika sedang beroperasi dengan lembaga-lembaga eksternal, atau
menjalankan tugas di lingkungan asing. Dalam kasus tersebut, jika semua
lembaga merangkul dan melatih anggota DVI dalam praktek-praktek
internasional, akan menyebabkan DVI beroperasi secara lebih efektif dengan
lembaga lainnya.
Berbagai negara secara bersama-sama telah melakukan beberapa acara
internasional untuk membahas peran DVI dan penerapan standar praktek yang
telah terbukti membantu dalam meningkatkan hubungan kerjasama, peningkatan
33
profesionalisme dan yang paling penting mendapatkan hasil identifikasi yang
lebih baik. Dengan mengembangkan dan menerapkan pelatihan standar untuk
mengikuti praktek-praktek internasional, pemerataan standar operasional untuk
meminimalisir kesalahpahaman.
Selain prosedur dan protokol internasional DVI, pelatihan dan tes
kualifikasi menentukan kesiapan setiap anggota tim DVI untuk ditempatkan
harus dianggap sebagai prosedur operasi standar. Uji profisiensi rutin setiap
anggota selama karir DVI harus dipertimbangkan untuk memastikan kesiapan
anggota tidak hanya kompetensi teknis dan prosedural, tetapi meliputi persyaratan
fisik dan psikologis.
Personil dikerahkan sebagai bagian dari sebuah tim pemulihan korban
dan/atau harus terlatih dan kompeten. Personil harus melakukan pelatihan dasar
DVI ACPO.
Personil yang mungkin digunakan pada insiden kematian massal dan
komandan DVI harus melakukan latihan yang tepat untuk membangun
kompetensi dan pengalaman dalam kesiapan untuk pemerataan kompetensi.29
Penting untuk melibatkan semua instansi terkait dalam program latihan tidak
hanya kepolisian. Setiap forum ketahanan lokal dan forum ketahanan daerah harus
memiliki program latihan yang menginduksi respon untuk insiden kematian
massal. Itu mungkin tidak praktis dapat dicapai untuk menutupi proses DVI dalam
satu latihan, tapi polisi harus mampu menunjukkan bahwa mereka telah menguji
semua aspek respon kematian massal dengan skala waktu yang wajar.
Pelatihan formal semua personil yang mungkin terlibat dalam
penanggulangan insiden kematian massal harus dapat meningkatkan kemampuan
profesional untuk memastikan bahwa pengetahuan DVI tetap berkembang.
Pengembangan profesional berkelanjutan dapat mencakup hadir di konferensi
yang relevan, keterlibatan dalam latihan dan membaca pedoman nasional dan
lokal yang relevan dan artikel profesional.
34
29 ACPOS (Association of Chief Police Officers in Scotland), “Guidance on Disaster Victim Identivication”, National Policing Improvement Agency, Scotland, 2011, Hal 147.
Peralatan Disaster Victim Identification
Penyediaan peralatan modern penting untuk memungkinkan praktisi DVI
melakukan fungsi utama mereka. Peralatan tersebut berkisar dari peralatan
perlindungan pribadi, peralatan khusus untuk setiap tahap dari proses DVI.
Manajemen kesehatan kerja dan perspektif keamanan dianggap sangat penting
dimana praktisi DVI dengan peralatan yang diperlukan memungkinkan untuk
mempertahankan perlindungan dari bahaya dan membantu mereka untuk
melakukan tugas secara maksimal.30
1. Alat Perlindungan Diri
Tujuan utama dari APD adalah untuk melindungi personil DVI
terhadap kontak langsung dengan sisa-sisa bagian tubuh manusia, bahan
kontaminan dan bahaya lain termasuk bahaya lingkungan atau buatan
manusia. Selain pakaian standar keselamatan seperti pakaian bedah, sarung
tangan pelindung, sepatu karet, celemek, masker mulut dan lain-lain, terdapat
bentuk-bentuk lain dari peralatan pelindung yang dibutuhkan jika langsung
berhadapan dengan sisa-sisa manusia yang harus diperhatikan. Langkah-
langkah perlindungan biasanya memerlukan penggunaan barang-barang
seperti helm, sepatu keselamatan, kacamata, jas hujan dan rompi
keselamatan. Faktor lain tergantung pada lingkungan, faktor risiko dan
potensi bahaya.
Meskipun banyak masalah berbahaya yang dapat diatasi atau dikurangi,
tantangan lain mungkin berada di luar keahlian staf sehingga membutuhkan
keterlibatan tenaga profesional lainnya untuk menangani isu-isu spesifik.
Mengatasi masalah sumber pasokan APD selama operasi penting melalui
pemeliharaan persediaan yang memadai.
Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang
digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
35
kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.31
Pemakaian APD yang tidak tepat dapat membahayakan tenaga kerja yang
memakainya. Oleh karena itu agar dapat memilih APD yang tepat, maka harus
mampu mengidentifikasi bahaya potensial yang ada, khususnya yang tidak
dapat dihilangkan ataupun dikendalikan.
Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk
melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk
mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja.
Berdasarkan fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh
tenaga kerja, antara lain:32
1) Alat Pelindung Kepala (Headwear)
Alat pelindung kepala ini digunakan untuk mencegah dan melindungi
rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan untuk melindungi kepala
dari bahaya terbentur benda tajam atau keras, bahaya kejatuhan benda
atau terpukul benda yang melayang, melindungi jatuhnya mikroorganisme,
percikan bahan kimia korosif, panas sinar matahari dan sebagainya. Jenis
alat pelindung kepala antara lain safety helmets.
2) Alat Pelindung Mata
Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan
bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di
udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi
gelombang elektromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau
benturan benda keras, dan sebagainya. Jenis alat pelindung mata antara
lain kaca mata biasa (spectacle goggles) dan goggles.
30 Interpol, Op.cit, Hal. 29-31.
36
31 Nunik Harwanti, “Laporan Khusus: Pemakaian alat pelindung diri dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di instalasi rawat inap 1 RDUP Dr. Sardjito Yogyakarta”, Universitas Sebelas Maret, Yogyakarta, 2009, Hal.13-20.
32 Harwanti, Nunik. “Laporan Khusus: Pemakaian alat pelindung diri dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di instalasi rawat inap 1 RDUP Dr. Sardjito Yogyakarta”. Yogyakarta: Universitas Sebelas Maret. 2009. Hal.13-20
3) Alat Pelindung Pernafasan (Respiratory Protection)
Alat pelindung pernafasan digunakan dari resiko paparan gas, uap, debu,
atau udara terkorosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan
pemilihan terhadap suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka
perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan
yang ada di lingkungan kerja. Jenis alat pelindung pernafasan antara lain
masker dan respirator.
4) Alat Pelindung Tangan (Hand Protection)
Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan bagian
lainnya dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan
dingin, serta kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung tangan antara
lain sarung tangan bersih dan sarung tangan steril.
Baju pelindung digunakan untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh
dari percikan api, suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia, dan lain-
lain. Jenis baju pelindung antara lain pakaian kerja, celemek, dan apron.
5) Alat Pelindung Kaki (Feet Protection)
Alat pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya
dari benda-benda keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda
panas, serta kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung antara lain
sepatu steril, sepatu kulit, dan sepatu boot.
7. Alat Pelindung Telinga (Ear Protection)
Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara yang
masuk ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain sumbat
telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh APD agar dalam
pemakaiannya dapat memberikan perlindungan yang maksimal. Menurut ILO
37
(1989) dari beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh semua jenis peralatan
pelindung, maka hanya dua yang terpenting yaitu:
1) Apapun sifat dan bahayanya, peralatan atau pakaian harus memberikan cukup
perlindungan terhadap bahaya tersebut.
2) Peralatan atau pakaian harus ringan dipakainya dan awet dan membuat rasa
kurang nyaman sekecil mungkin, tetapi memungkinkan mobilitas,
penglihatan dan sebagainya yang maksimum.
Peralatan Khusus
Selain menyediakan bahan habis pakai dalam bentuk APD untuk staf, ada
item perlengkapan standar lain yang harus selalu siap tersedia seperti peralatan
yang dibutuhkan untuk memproses tempat kejadian perkara, sisa-sisa bagian
tubuh manusia dan properti, atau memungkinkan penyelesaian tugas di semua
tahapan proses DVI lainnya.
Peralatan lain yang mungkin perlu diperoleh untuk personil khusus dan
tugas-tugas, yang dapat bervariasi, tergantung pada sifat atau keadaan bencana.
Oleh karena itu, peralatan khusus mungkin diperlukan untuk tugas-tugas yang
unik dilakukan oleh ahli patologi, ahli odontologi, ahli biologi, ahli antropologi
atau spesialis lainnya, tergantung pada tuntutan teknis.
a. Peralatan Standar minimal untuk kebutuhan operasional dan suplai yang
harus siap, terdiri:33
1. Kantong jenazah.
2. Formulir Interpol DVI Ante Mortem.
3. Formulir Interpol DVI Post mortem.
4. Label mayat (Human remains labels).
5. Label properti (Evidence labels).
6. Kantong barang bukti – properti (Evidence bags).
7. Bendera/marker untuk menandakan barang bukti.
8. Kamera digital – snapshot/pocket digital camera.
9. Telepon genggam/telepon seluler/satelit.
38
10. Perlengkapan untuk ahli patologi forensik (ditentukan oleh operator –
ahli forensik patologi).
11. Perlengkapan untuk dokter gigi (ditentukan oleh operator – dokter gigi).
12. Perlengkapan untuk ahli DNA (ditentukan oleh operator – ahli DNA).
13. Perlengkapan untuk ahli sidik jari (ditentukan oleh operator – ahli sidik
jari).
14. Pakaian kerja (Seragam standar / PDL Dokpol – 1, celana panjang, baju
kaos, rompi/jaket, topi, sepatu, ban lengan dengan tulisan “DVI”.
15. Pakaian operasi (OK celana panjang, baju, apron, sarung tangan lateks,
sepatu boot karet, masker wajah, hair caps/nets.
16. Desinfektan untuk tangan, permukaan kerja dan perlengkapan.
17. Perlengkapan medis pertolongan pertama.
b. Peralatan optional untuk kebutuhan operasional dan suplai yang harus siap,
terdiri dari:
1. Kotak transpor untuk tempat alat-alat dengan dimensi ukuran sekitar
55x55x110 cm (ukuran ini cukup memadai besarnya dan mudah diangkut
dalam bagasi pesawat).
2. Troli dengan dasar rata (untuk mengangkut kotak-kotak secara manual
dalam jarak jauh).
3. Perangkat rekam (digital- untuk merekam informasi yang mendadak dan
spontan).
4. ATK (Kertas, pulpen, spidol waterproof, binder, folder, writing pad).
5. Meja lipat portable – ringan dan mudah dibawa (dapat sebagai meja dan
tempat kerja untuk memeriksa barang bukti).
6. Perangkat faks mobile.
7. Kursi-kursi lipat (ringan dan mudah dibawa).
8. Formulir-formulir siap pakai.
9. Saringan/sikat pembersih – household sieves (untuk membersihkan benda-
benda barang bukti – properti yang sangat kecil saat dicuci dibawah air
mengalir).
39
10. Pengering rambut – hairdryers (untuk mengeringkan barang bukti –
properti).
33 Pusdokkes Pori, “Pedoman tentang Penatalaksanaan Disaster Victim Identification (DVI) Bagi POLRI (Edisi Revisi”, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pusat Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta, 2010.11. Kamera digital viewer – monitor (dapat diwakilkan dengan monitor
komputer).
12. Batu baterai set (diusahakan menggunakan batu baterai yang standar dan
seragam).
13. Lotion anti serangga.
14. Krim tabir surya.
15. Obat-obatan untuk simptom umum (flu, diare, mabuk – mual).
16. Perlengkapan/suplai medis tambahan(obat-obatan/perlengkapan hanya
digunakan oleh tenaga medis-dokter).
17. Bahan pembersih tangan (sabun, cairan).
18. Krim tangan.
19. Handuk/tisu.
20. Lakban/selotip.
21. Lap penyerap.
22. Perlengkapan penerangan (lampu penerang dan gen set).
23. Buku pencatat.
24. Perlengkapan pertukangan (berisi tang, obeng, kikir, pisau lipat, gunting
penggaris dan beberapa jenis lainnya tergantung kelengkapannya).
25. Pisau lipat.
26. Lampu senter.
27. Penjepit.
28. Striker label barang bukti.
29. Kotak perkakas.
30. Perlengkapan perkakas pisau.
31. Penggaris metal.
32. Perlengkapan pribadi dan pakaian pribadi dengan name tag.
40
c. Kebutuhan logistik khusus
Pengaturan berikut ini sangat penting tidak hanya untuk menjamin operasi
yang efektif secara teknik tetapi juga dapat memenuhi setiap kebutuhan
pribadi dari setiap petugas operasional. Daftar yang ada dapat disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan.
1. Akomodasi disiapkan ditempat yang nyaman dan cukup terisolasi dari
keluarga wartawan media.
2. Pengaturan makan untuk anggota tim.
3. Ruang / tempat istirahat di tempat kerja.
PERAN DVI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM
Bencana Terbuka
A. Fase Olah Tempat Kejadian Perkara
Merapi merupakan salah satu dari 129 gunung berapi aktif di Indonesia,
merupakan bagian dari Pasific Ring of Fire dan tergolong gunung berapi yang
paling muda dalam kumpulan gunung berapi di bagian selatan pulau Jawa.34
Gunung merapi batas-batasnya yaitu; Lereng sisi selatan berada dalam
administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada
dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,
Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi
tenggara.
41
Gambar 7. Gunung Merapi mengeluarkan Asap terlihat dari Desa Deles di Klaten
Letusan Merapi 2010 adalah rangkaian peristiwa gunung berapi yang
terjadi di Merapi di Indonesia. Aktivitas seismik dimulai pada akhir September
2010, dan menyebabkan letusan gunung berapi pada hari Selasa tanggal 26
Oktober 2010, mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas. 27 Oktober 2010,
Gunung Merapi pun meletus. Dari sekian lama penelitian gunung teraktif di dunia
ini pun meletus. 28 Oktober 2010, Gunung Merapi memuntahkan Lava pijar yang
muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.
34 Taman Nasional Gunung Merapi, “Kronologis Letusan Dahsyat Merapi”, diakses dari http://www.tngunungmerapi.org/kronologis-letusan-dahsyat-merapi/ tanggal 20 Januari 2015.
42
Gambar 8 : Lava mengalir dari kawah Gunung Merapi. Diambil oleh kamera ber-exposure tinggi di Klaten. 2 November 2010
Gambar 9: Proses Evakuasi Korban Bencana Meletusnya Gunung Merapi
Disaster Victim Identification (DVI) membuka posko pengaduan orang
hilang di RS Sardjito, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
mencari anggota keluarganya yang mungkin menjadi korban letusan gunung
merapi.
Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwaterorisme terparah dalam sejarah
Indonesia. Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah
dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan
berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot
antara 50-150 kg. Bom Bali, 12 Oktober 2012, tiga ledakan mengguncang Bali.
Kegiatan identifikasi dilaksanakan setiap hari mulai tanggal 13 Oktober 2012
mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WITA bertempat di Rumah Sakit Sanglah,
Denpasar, Bali.
35 Syariful Alam, “Inilah Kronologi Bencana Longsor Banjarnegara”, 2014, diakses dari http://www.rri.co.id/post/berita/126329/nasional/inilah_kronologi_bencana_longsor_di_banjarnegara.html tanggal 20 Januari 2015.
43
Gambar 10: Kondisi Lokasi pasca terdinya ledakan Bom di Paddy’s Pub dan Sari Club di kawasan Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12 oktober 2012.
Gempa bumi dan Tsunami Aceh pada hari Minggu pagi, 26 Desember
2004. Kurang lebih 500.000 nyawa melayang dalam sekejab di seluruh tepian
dunia yang berbatasan langsung dengan samudra Hindia. Di daerah Aceh
merupakan korban jiwa terbesar di dunia dan ribuan bangunan hancur lebur,
ribuan pula mayat hilang dan tidak di temukan dan ribuan pula mayat yang di
kuburkan secara massal.
Tsunami Aceh, peristiwa yang sangat memilukan terjadi di bumi serambi
Mekkah Aceh pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004. Gempa terjadi pada
waktu tepatnya pukul 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N
95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa
ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dengan ini merupakan gempa Bumi
terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini yang menghantam Aceh,
Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka,
bahkan sampai Pantai Timur Afrika.
44
Gambar 11: Kondisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebelum terjadi Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.
Kekuatan gempa pada awalnya dilaporkan mencapai magnitude 9.0. Pada
Februari 2005 dilaporkan gempa berkekuatan magnitude 9.3. Meskipun Pacific
Tsunami Warning Center telah menyetujui angka tersebut. Namun, United States
Geological Survey menetapkan magnitude 9.2. atau bila menggunakan satuan
seismik momen (Mw) sebesar 9.3.
Kecepatan ruptur diperkirakan sebesar 2.5 km/detik ke arah antara utara -
barat laut dengan panjang antara 1200 hingga 1300 km. Menurut Koordinator
Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban
tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1/2005) mencapai
127.672 orang.
45
Gambar 12: Kondisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam setelah terjadi Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.
Gambar 13: Bangunan yang selamat setelah terjadi Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam pada Tanggal 26 Desember 2015.
PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di
Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk
karena masih banyak daerah yang terisolir. Sementara itu data jumlah korban
tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menurut
Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut
kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183
jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu
16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan
100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh.
Pada 10-11 Desember 2014 terjadi hujan deras di daerah Banjarnegara,
sehingga terjadi longsor kecil di beberapa tempat. Beredar isu PLTA Mrica jebol
karena debit Sungai Serayu Besar. Di salah satu sisi Bukit Telagalele terjadi
longsor. Pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB tiba-tiba terjadi longsor di
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten
Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Saat itu hujan gerimis, dan bagian bukit
Telagalele longsor yang menimbulkan bunyi gerumuh. Material longsor meluncur
ke bawah berbelok ke sisi kiri (utara) karena gravitasi bumi dan mengikuti
kemiringan lereng, Jawa Tengah. Menurut laporan BNPB:Material longsor
menimbun 8 rumah kemudian meluncur melewati ruas jalan provinsi
Banjarnegara-Pekalongan, hingga menimbun 35 rumah. Longsor berlangsung
sekitar kurang dari 5 menit.
46
Gambar 14: Longsor yang terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB
Disaster Victim Identification (DVI) membuka posko pusat koordinasi
penanggulangan bencana di gedung PGRI Kecamatan Karangkobar, untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mencari anggota keluarganya
yang mungkin menjadi korban longsor Banjarnegara. Pada 12 Desember 2014,
terjadi longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar,
Kabupaten Banjarnegara Provinsi
Kepala BNPB telah meminta Bupati Banjarnegara dan Dandim
Banjarnegara melakukan pengecekan warga di luar Dusun Jemblung yang hilang.
Hingga Senin (15/12/2014) pada pukul 13.00 WIB telah ditemukan 51 jiwa
korban tewas. 57 orang masih dilakukan pencarian.36
Tim evakuasi langsung dibentuk untuk memulai proses evakuasi. Tim
SAR merupakan gabungan dari BPBD, BNPB, TNI, Polri, Basarnas, PMI,
Tagana, relawan dan masyarakat masih mencari korban. Namun kendala dalam
proses evakuasi yaitu kondisi medan cukup berat sehingga diperlukan alat-alat
berat untuk membuka jalan yang tertutup longsor.
47
Gambar 15: Proses Evakuasi Korban Bencana di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB
Pada Sabtu 13 Desember 2014 petang, upaya evakuasi korban longsor di
Dusun Jemblung dihentikan karena cuaca yang hujan serta kekhawatiran terjadi
longsor susulan. Selain itu tim SAR dan relawan juga masih buta peta lokasi
longsor untuk evakuasi. Meski demikian upaya identifikasi jenazah terus
dilakukan. Teknik yang digunakan adalah, dihari pertama dan kedua pencarian
kita membagi wilayah pencarian menjadi 4 sektor. Tujuannya untuk mengetahui
titik-titik di mana saja yang terdapat banyak korban. Pada hari ke-enam berhasil
menemukan 83 korban.
Proses mengidentifikasi jenazah tidaklah mudah. Tugas ini dilakukan oleh
tim Disaster Victim Identification (DVI) dan Laboratorium Forensik. Dalam
meletusnya gunung merapi, Disaster Victim Identification (DVI) membuka Posko
Post Mortem di dilakukan di RS Dr. SardjitoYogyakarta. Di Pos Mortem, tim
mengidentifikasi jasad yang sudah mati, mulai dari pencatatan soal rambut, tinggi
badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lainnya. Jenazah yang sulit dikenali,
masih tetap bisa diidentifikasi ketika masih ada jasadnya.37
B. Fase Post Mortem
Data itu terdiri atas ciri-ciri fisik, seperti gigi, sidik jari, tanda lahir,
maupun properti atau pakaian yang terakhir digunakan setelah/sebelum
dinyatakan meninggal/hilang. Untuk unit postmortem, tim mengidentifikasi jasad,
mulai pencatatan soal rambut, tinggi badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lain.
Selanjutnya data yang diperoleh dari posko post mortem diisi dalam formulir DVI
Post Mortem berwarna pink. Setelah semua proses dilakukan maka tim akan
melakukan pencocokan dengan data ante mortem yang didapat.38
36 Bayu Nur, “Kopassus Temukan Emas dan Uang di Lokasi Longsor Banjarnegara”, 2014, diakseshttp://nasional.kompas.com/read/2015/01/22/0808015/Kopassus.Temukan.Emas.dan.Uang.di.Lokasi.Longsor.Banjarnegara tanggal 20 Januari 2015.
37 Heru Margianto, “77 jenezah Dimakamkan Secara Masal”, diakses dari http://properti.kompas.com/read/2010/11/07/15200950/77.Jenazah.Dimakamkam.secara.Mass a tanggal 21 Januari 2015 . \
38 Pito Agustin Rudiana, “Korban Tewas Merapi Capai 29 Orang”, 2010, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2010/10/27/177287618/Korban-Tewas-Merapi-Capai-29-Orang tanggal 22 Januari 2015.
48
Kegiatan identifikasi dilaksanakan setiap hari mulai tanggal 13 Oktober
2002 mulai pukul 08.00 hingga 18.00 WITA bertempat di Rumah Sakit Sanglah,
Denpasar, Bali. Kegiatan post mortem dilakukan dengan cara sederhana, yaitu
dengan mengenali kepemilikan korban, pakaian, kartu identitas, serta perhiasan
yang melekat pada korban bencana. Walaupun pada cara sederhana sangat sulit
dilakukan pada korban dikarenakan tubuh korban banyak yang telah terpisah-
pisah. Hasil dari pemeriksaan sederhana ini akan dipastikan dengan metode ilmiah
seperti sidik jari, data gigi, serologi dan DNA. Dalam bencana Bom Bali, data
post mortem banyak didukung, sehingga memudahkan tim identifikasi. Proses
identifikasi dilakukan dengan pemeriksaan sidik jari pada korban Bencana Bom
Bali 1.
Banyaknya korban warga negara asing menyebabkan identifikasi korban
melalui data gigi merupakan metode yang paling berhasil dibandingkan dengan
sidik jari. Untuk warga negara Indonesia, metode identifikasi banyak dilakukan
dengan pemeriksaan DNA, karena masih kurangnya kesadaran warga negara
Indonesia akan pentingnya data gigi. Pada kasus Bom Bali, korban yang
teridentifikasi berdasarkan data gigi-geligi mencapai 60%. Korban meninggal
seluruhnya adalah 184 orang, yang terdiri dari berbagai warga negara dan yang
telah melapor adalah Indonesia, Australia (terbanyak), Belanda, Denmark, Jepang,
Taiwan, Korea, Belanda, Inggris, dan Amerika.
Pada proses post-mortem di Tsunami di Aceh dilakukan dengan metode
visual sederhana dalam beberapa hari pertama. Namun banyaknya jenazah yang
ditemukan tidak memungkinkan untuk melakukan metode visual untuk semua
korban bencana atau menyimpan mayat untuk identifikasi nanti. Tim identifikasi
berhasil mengidentifikasi bencana lebih dari 500 korban dengan menggunakan
barang pribadi seperti kartu identitas dan perhiasan dan bahkan menggunakan
kartu SIM telepon seluler.39 Proses Identifikasi adalah tahap pertama dari
manajemen mayat. Jenazah dibawa ke beberapa lokasi, dan kerabat tidak tahu di
mana anggota keluarga mereka telah diambil. Dokter, staf medis, dan spesialis
forensik yang terlibat dalam sertifikasi kematian dan mengumpulkan data post-
mortem.
49
Bentuk paling sederhana dari identifikasi korban tsunami dengan cara
visual. Dengan tidak adanya cold storage, perlu dilakukan dengan cepat. Setelah
24-48 jam tanpa pendinginan, gas mulai terbentuk di dalam tubuh, pembengkakan
wajah dan bibir dan memaksa lidah keluar dari mulut, membuat identifikasi visual
tidak dapat diandalkan. Epidermis terlepas dari tubuh, membuat kulit un-
pigmented, memberikan penampilan mayat putih, bahkan pada orang yang
berkulit gelap. Selanjutnya, sementara identifikasi visual relatif sederhana, maka
akan mengakibatkan beberapa kesalahan identifikasi. Cedera pada tubuh, atau
adanya darah, cairan, atau kotoran, terutama di sekitar kepala, akan mengurangi
kemungkinan pengakuan yang benar.
Proses mengidentifikasi jenazah tidaklah mudah. Tugas ini dilakukan oleh
tim Disaster Victim Identification (DVI) dan Laboratorium Forensik. Dalam
bencana longsor Banjarnegara, tim gabungan ini berasal dari Polda Jawa Tengah
dan Polres Banyumas. Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jateng
membuka Posko Post Mortem di dekat lokasi longsor Dukuh Jemblung, Desa
Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di
Pos Mortem, tim mengidentifikasi jasad yang sudah mati, mulai dari pencatatan
soal rambut, tinggi badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lainnya. Jenazah yang
membusuk, masih tetap bisa diidentifikasi ketika masih ada jasadnya. Jika tidak
ada warga yang mengenali, langkah terakhir yang dilakukan tes DNA.
39 Olever W. Morgan, “Mass Fatality Management following the South Asian Tsunami Disaster: Case Studies in Thailand, Indonesia, and Sri Lanka”, PLoS Med. Jun 2006; 3(6): 195.
Data itu terdiri atas ciri-ciri fisik, seperti gigi, sidik jari, tanda lahir,
maupun properti atau pakaian yang terakhir digunakan setelah/sebelum
50
dinyatakan meninggal/hilang. Unit DVI didirikan dengan bantuan sebuah tenda di
posko utama evakuasi yang berada di Desa Sampang. Untuk unit postmortem, tim
mengidentifikasi jasad, mulai pencatatan soal rambut, tinggi badan, ciri fisik,
luka, dan pemeriksaan lain. Selanjutnya data yang diperoleh dari posko post
mortem diisi dalam formulir DVI Post Mortem berwarna pink.
Setelah semua proses dilakukan maka tim akan melakukan pencocokan
dengan data ante mortem yang didapat. Jika dari hasil tersebut didapatkan
kecocokan data makan akan dilakukan tahap selanjutnya yaitu tahap rekonsiliasi
untuk memastikan apakah identitas tersebut benar-benar adalah korban.
C. Fase Ante Mortem
Prosedur antemortem dilakukan untuk memperoleh setiap
informasi/keterangan yang diperoleh dari keluarga, teman, atau dokter/ tenaga
medis dari diduga korban atau orang yang hilang dan dapat membantu dalam
identifikasi, yang akan diperbandingkan dengan informasi yang diperoleh dari
korban meninggal pada area bencana. Data antemortem harus diperoleh selengkap
mungkin untuk mempermudah proses rekonsiliasi. Data yang dapat diperoleh
pada prosedur antemortem diantara identitas dan data kepemilikan korban atau
orang yang hilang, pakaian terakhir yang dikenakan oleh korban, barang pribadi
dan perhiasaan yang digunakan oleh korban, keterangan fisik dan ciri fisik khusus
korban, sketsa tubuh, sidik jari, keadaan medis, sidik DNA, dan data gigi geligi.
Data sidik jari korban antemortem dapat diperoleh dari pihak berwenang
(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah
dari keluarga korban. Pemeriksaan gigi geligi cukup akurat dalam
mengidentifikasi korban.
Pada kasus longsor di banjarnegara tahun 2014, posko penanggulangan
bencana dilakukan di posko utama evakuasi yang terdapat di Desa Sampang.
Posko terbagi menjadi dua yaitu pos postmortem dan pos antemortem. Pos
antemortem berfokus pada pendataan korban hilang secara lengkap yang
diperoleh dari korban selamat pada bencana ini dan kantor pemerintahan setempat
untuk memperoleh identitas penduduk di daerah tersebut.40 Pada kasus bom bali I
51
pada tahun 2002, tim identifikasi dibentuk dan terdiri atas Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Polisi Federal Australia, Interpol Australia, ahli forensik dan
para sukarelawan.
kasus ini, terdapat kesulitan dalam mengumpulkan data antemortem
terutama milik warga negara Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan
pengumpulan data antemortem korban bom asal Australia yang dapat
dikumpulkan secara lengkap dalam waktu 10 hari. Keterbatasan pada identifikasi
korban asal Indonesia disebabkan oleh kurangnya data gigi geligi korban. Akibat
kurangnya data pemeriksaan gigi korban asal Indonesia, maka proses identifikasi
sebagian besar dilakukan berdasarkan pemeriksaan visual oleh kelurga korban.41
Prosedur antemortem pada kasus ini dilakukan di RSUP Sanglah. Pada
Kasus bencana tsunami di Aceh tahun 2004, terdapat kesulitan dalam
mengumpulkan data identitas korban secara lengkap. Pada bencana tsunami ini,
data rekam medis, data gigi geligi, dan kartu identitas korban yang kurang dan
sebagian besar telah hilang terbawa akibat terjangan air laut, sehingga sebagian
data antemortem korban hanya diperoleh dari kesaksian orang terdekat dari
korban. Selain itu, posko antemortem pada bencana ini tidak terfokus di satu
tempat akibat luasnya wilayah bencana tersebut.42
40 Hidayat M.A., Royanto D, “Polisi: Korban Longsor dari Luar Banjarnegara Sulit Diidentifikasi”, 2014, diakses dari http:// m.news.viva.co.id/news/read/568714-polisi-korban-longsor-dari-luar-banjarnegara-sulit-diidentifikas tanggal 22 Januari 2015.
41 Sahelangi P, Novita M, “Role of Dentists in Indonesian Disaster Victim Identification Operations: Religious and Cultural Aspects. Journal of Forensic Odontostomatology”, 2012, 30(1);60-71.
42 Soedarsono N., Untoro E., Quendangen A.R., Atmadja D.S., “The Role of Forensic Odontology in Personal Identification: Indonesia Perspective”, 2008, 1(1):21-5.
52
Dari beberapa contoh kasus bencana ini, dapat dikatakan proses pengumpulan
data antemortem sangat kompleks untuk dilakukan. Semakinbanyak data yang
diperoleh, maka semakin mudah identifikasi dilakukan. Namun salah satu data
antemortem yaitu data pemeriksaan gigi geligi sulit didapatkan pada penduduk
Indonesia karena rendahnya angka kunjungan ke dokter gigi.
D. Fase Rekonsiliasi
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, terjadi ledakan bom di Paddy’s Cafe
dan Sari Club di kawasan Legian, Kuta, Bali. 202 orang tewas, 164 orang di
antaranya warga asing dari 24 negara, 38 orang lainnya warga Indonesia 209
orang mengalami luka-luka. 43 Dampak kerusakan hingga radius satu kilometer
dari pusat ledakan. Proses identifikasi dari korban dilakukan oleh tim DVI
dengan personel dari berbagai negara, dari Indonesia, terdiri dari Pusdokkes Polri,
Disdokkes Polda Metro Jaya, Disdokkes Polda Jateng, Disdokkes Polda Jatim,
Disdokkes Polda Bali, Disdokkes Polda Sulsel, Depkes RI. 44
Ahli Odontologi Forensik Polri, Drg. Sindhy R. Malingkas
mengungkapkan, sebanyak 113 orang atau 56,5 persen dari 202 korban meninggal
dunia pada kasus Bom Bali 2002, berhasil diidentifikasi melalui gigi. Data yang
dimaksud, yaitu berupa data gigi ante mortem Aspek gigi menjadi salah satu
hambatan di dalam pelaksanaan proses DVI di Indonesia, untuk pelaksanaan fase
rekonsiliasi melalui data post mortem melalui gigi, tidak ada data ante mortem
pembanding yang dapat dijadikan acuan, karena hampir seluruh penduduk
Indonesia belum memiliki catatan data gigi ante mortem.
43 Museum POLRI, “Penegakan Hukum Bom Bali 1 dan 2”, 2002, diakses dari http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom-bali.html tanggal 23 Januari 2015.
44 Maulvi Nazir, Identifikasi Pada Kasus Bom Bali 2002, 2002, diakses dari http://www.scribd.com/doc/167674475/Identifikasi-Pada-Kasus-Bom-Bali2002#scribd tanggal 23 Januari 2015.
53
Anggota Komite DVI Nasional itu mengatakan, ketika dilakukan
indentifikasi bagi korban bencana di Indonesia, data post mortem gigi yang telah
terkumpul tidak dapat dibandingkan karena kurangnya data ante mortem gigi.
Selain itu, tempurung kepala dan menggali informasi yang berharga dari anggota
keluarga korban, juga sangat penting untuk keperluan indentifikasi.
Di samping belum adanya catatan data gigi ante mortem penduduk Indonesia,
kendala lain dari upaya identifikasi juga disebabkan oleh belum dimilikinya suatu
standar operasi prosedur (SOP) yang baku dalam bidang penanganan pemeriksaan
kedokteran gigi forensik pada operasi DVI.
Letusan gunung berapi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010,
mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas. Semua korban tewas proses
identifikasi, rekonsiliasinya berpusat di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Korban
tewas terbanyak adalah warga Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mereka tewas akibat terkena awan panas Gunung Merapi yang menyembur pada
Jumat pukul 01.00 dini hari. Tim DVI Polda DIY melakukan proses identifikasi
terhadap para korban bersama Tim Forensik RS Sardjito. Dilakukan proses
rekonsiliasi di RS Sardjito untuk mencocokkan data post mortem dan ante mortem
yang telah dikumpulkan dari korban dan keluarga korban letusan gunung
merapi.45
Umumnya, korban yang terkena awan panas atau wedhus gembel tersebut
berada pada jarak 8 km dari puncak Gunung Merapi. BNPB mengumumkan,
peringatan zona aman yang tadinya berada dalam radius 15 kilometer ditingkatkan
menjadi 20 kilometer. Warga yang berada dalam radius 15 kilometer diminta
segera meninggalkan lokasi dan mencari tempat yang lebih aman.
45 Ruslan Burhani, “Ahli: 113 Korban Bom Bali Diidentifikasi Melalui Gigi”, 2010, diakses dari http://www.antaranews.com/berita/188746/ahli-113-korban-bom-bali-diindentifikasi-melalui-gigi tanggal 23 Januari 2015.
54
Lokasi pengungsian sementara di Kab. Sleman antara lain adalah : Stadion
Maguwoharjo, Gelanggang UGM, STIE YKPN, SMA Stela Duce, UPN, Condong
Catur. Sedangkan di Kab. Boyolali berada di gelanggang olah raga, sekolah-
sekolah dan fasilitas umum lainnya. Di Magelang, lokasi pengungsian disediakan
di Kantor Bakorwil dan Kantor Bupati Magelang. Sementara itu, di Klaten berada
di GOR, kantor-kantor pemerintah, dan sekolah-sekolah, kantor Bupati dan kantor
DPRD setempat.
Tsunami yang terjadi di Aceh, pada tanggal 26 Desember 2004, dengan
korban mencapai 167,000 jiwa. Korban yang selamat kehilangan tempat tinggal,
bahkan masjid Baiturrahman menjadi tempat pengungsian sementara karena
merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak dibanding bangunan
disekitarnya. Tsunami yang terjadi di Thailand banyak didatangi oleh tim DVI
dari berbagai negara, sementara di Aceh, yang lebih banyak datang dari luar
negeri adalah tim medis, untuk membantu menangani kesehatan ratusan ribu
pengungsi yang tidak memiliki tempat tinggal, dan dikelilingi oleh tumpukan
jenazah yang mulai membusuk.
Tim rekonsiliasi DVI yang terdiri dari Indonesia dan negara-negara lain
dengan segera membandingkan data post mortem dan ante mortem yang telah
didapat, untuk segera mencocokkan jenazah tersebut, dan mengembalikan jenazah
kepada keluarga korban. Belum lagi masalah pembusukan dari ratusan ribu
jenazah yang harus segera dikebumikan sebelum membawa penyakit kepada
korban hidup yang sudah tidak memiliki lagi tempat hidup yang layak.
Pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB tiba-tiba terjadi longsor di
Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten
Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Tim Satwa atau unit K9 Baharkam Polri
diterjunkan beserta empat anjing pelacak untuk pencarian korban yang dinyatakan
hilang, namun, karena medan yang ada tertutup air dan lumpur, menyulitkan
penginderaan anjing pelacak. Serta kendaraan untuk melakukan pencarian korban
longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kec Karangkobar, Kab
Banjarnegara, Jawa Tengah. Polri juga menerjunkan Tim Disaster Victim
Identification (DVI) Polda Jawa Tengah, sementara DVI Mabes Polri sifatnya
55
menungu, karena korban masih bisa dikenali. Jadi, tim DVI Polri masih
menunggu perkembangan dari DVI Jateng.46
Jenazah dievakuasi petugas SAR gabungan, kemudian dibawa ke Posko
Pemulasaran Jenazah dan Posko Post Mortem Disaster Victim Identification
(DVI) Polda Jateng. proses identifikasi jenazah dilakukan dengan keluarga yang
mengaku kehilangan anggota keluarganya melihat langsung korban disertai
dengan ciri-ciri lainnya. Sebagian jenazah dievakuasi ke Posko Post Mortem DVI,
sementara pihak keluarga yang kehilangan melapor ke Posko Ante Mortem DVI.
Data dari kedua posko ini kemudian disatukan dan dicocokkan oleh tim
rekonsiliasi, tim inilah yang akan menentukan seseorang itu telah jelas
teridentifikasi atau belum.47
46 Edward Gabe, “Identifikasi Korban Longsor Banjanegara, POLDA Jateng Turunkan Polda DVI”,2014,http://kronosnews.com/berita/681identifikasi_korban_longsor_banjarnegara_polda_jateng_turunkan_tim_dvi tanggal 21 Januari 2015.
47 Eka Setiawan, “Korban Tewas Akibat Longsor Banjarnegara Jadi 42 Orang”, 2014, diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/937212/22/korban-tewas-akibat-longsor-banjarnegara-jadi-42-orang-1418565513 tanggal 21 Januari 2015.
Bencana Tertutup
A. Fase Olah Tempat Kejadian Perkara
AirAsia QZ8501 hilang dalam penerbangan dari Surabaya menuju
Singapura pada tanggal 28 Desember 2014 dengan membawa 155 penumpang
sebanyak 138 penumpang dewasa, 16 anak dan satu bayi, 2 pilot, 4 awak kabin
dan 1 teknisi. Pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak dan diperkirakan hilang di
perairan antara Kalimantan dan Belitung dengan kontak terakhir sekitar pukul
06.17 WIB. Pencarian intensif akan dilakukan di Pulau Belitung yang
diperkirakan berada dekat dengan titik pantauan radar terakhir pesawat AirAsia
56
itu. Wilayah pencarian antara lain di Pulau Nangka, Pulau Meranai, dan Pulau
Pesemut dengan luas area pencarian 233,35 kilometer.48
Pada tanggal 29 desember 2014 pencarian diperluas di 13 area ke arah
selatan di pesisir timur Belitung. Posko pencarian di Kabupaten Belitung Timur
terpusat di Pos TNI AL Manggar, Kecamatan Manggar. Dari enam sektor
tambahan itu, dua sektor di antaranya berada di daratan wilayah bagian barat
Kalimantan Barat dan dua di selatan Pulau Belitung. Menurut Soelistyo, pihaknya
menambah wilayah pencarian karena di wilayah pencarian yang ada belum
ditemukan tanda-tanda keberadaan pesawat. Untuk menentukan luas wilayah
pencarian, Basarnas mempertimbangkan setidaknya arah angin dan arah arus laut.
Setelah tiga hari pencarian, Tim pencari berhasil menemukan serpihan dan
beberapa jenazah yang diduga korban pesawat Air Asia QZ8501. Seluruh
penemuan objek mengapung di Selat Karimata, baik Jenazah, pelampung, koper,
maupun serpihan merupakan hasil penyisiran pesawat CN C295 dan Hercules
C130.49
48 Anonim, “Basarnas Terus Koordinasikan Pencarian Pesawat AirAsia”, 2014, diakses http://www.tribunnews.com tanggal 21 Januari 2015.
49 Anonim, “Pencarian AirAsia QZ8501 di 13 Area”, 2014, diakses dari http://wikidpr.org tanggal 21 Januari 2015.
501
57
Gambar 16: Sketsa Area Pencarrian pesawat AirAsia QZ 8501 yang hilang pada saat melkukan penerbangan rute Surabaya-Singapura
Satu persatu tubuh jenazah penumpang dan kru pesawat AirAsia QZ8501
tiba di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Imanuddin, Pangkalan Bun,
Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pengangkutan jenazah dari selat
Karimata dilakukan oleh helikopter Sea Hawk Amerika, helikopter Super Puma
Cougar milik Singapura, KRI Bung Tomo, Helikopter milik US Navy Seahawk,
Kapal Onami dari Jepang dan Kapal Persistence.50
50 Norjani, “Kondisi jenazah korban AirAsia sudah sulit dikenali”, 2015, diakses dari http://www.antaranews.com tanggal 21 januari 2015.
AKBP dr. Sumy Hastry Purwanti, Sp.F bersama Kompol dr. Edi
Syahputra Hasibuan, Sp.KF, MHKes adalah dokter forensik yang diminta terjun
bersama tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri dalam menangani proses
identifikasi awal jenazah kru dan penumpang pesawat AirAsia QZ8501. Setiap
jenazah yang ditemukan tim SAR gabungan, akan transit terlebih dahulu ke
RSUD Imanuddin sebelum dikirim ke Surabaya, Jawa Timur. Beberapa jenazah
itu harus disimpan sementara di cold storage yang ada di RS tersebut.
58
Gambar 17 : Pesawat AirAsia merupakan pesawat tipe airbus yang sedang melakukan penerangan menuju ketempat tujuan.
Tim DVI di RSUD Sultan Imanuddin hanya mendata jenis kelamin dan
properti yang masih melekat di tubuh jenazah. Pihaknya bahkan tidak dibenarkan
membersihkan jenazah karena dinilai bisa menghilangkan tanda-tanda yang bisa
membantu proses identifikasi. Agar menjaga jenazah tetap awet, proses yang
dilakukan adalah dengan cara pendinginan, bukan dengan menggunakan formalin.
Sampai saat ini tanggal 20 Januari 2015 sudah 53 jenazah yang ditemukan dan
pencarian jenazah masih terus dilakukan.
59
Gambar19 : Gambar : Proses Evakuasi Ekor Pesawat Airasia QZ 8501 yang telah berhasil diangkat dari dasar selat karimata
Gambar 18: Tim DVI Indonesia yang diturunkan di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah bertugas untuk melakukan tugas sebagai pra-identifikasi korban bencana AirAsia QZ 8501
50 Simon Hradecky, "Crash: Sukhoi SU95 over Indonesia on May 9th 2012, aircraft missing". The Aviation Herald, diakses 22 januari 2014.
SSJ-100 lepas landas dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma untuk
sebuah penerbangan demonstrasi lokal yang dijadwalkan mendarat kembali ke
titik awal keberangkatan. Dalam pesawat terdapat 6 orang awak kabin, 2 orang
perwakilan dari Sukhoi, dan 37 orang penumpang. Penerbangan tersebut adalah
demonstrasi yang kedua pada hari itu. Sebuah pencarian di darat dan udara untuk
pencarian pesawat ini dimulai, tapi dibatalkan karena malam tiba. Pada tanggal 10
Mei pukul 09:00 WIB, reruntuhan Superjet Sukhoi ditemukan di Gunung Salak
(6°42′35″LU 106°44′3″BT ), pada ketinggian 1.500 meter. Hal yang diketahui
hanya bahwa pesawat terbang searah jarum jam menuju Jakarta sebelum
menabrak Gunung Salak. Laporan awal menunjukkan bahwa pesawat menabrak
tepi tebing di ketinggian 6,250 feet (1,900 m), meluncur menuruni lereng dan
berhenti di ketinggian 5,300 feet (1,600 m). Pesawat ini muncul relatif utuh dari
60
Gambar 20: Badan Pesawat Airasia QZ 5801 dari dasar Laut Jawa pada tanggal 14 Januari 2014
udara, bagaimanapun, telah mengalami kerusakan besar, dan tidak ada tanda
korban selamat.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) dibagi dalam tiga kelompok di
antaranya di Halim Perdanakusumah untuk ante mortem, tim di lokasi jatuhnya
pesawat, dan di RS Polri.52 Beberapa kelompok dari personil penyelamat berusaha
mencapai reruntuhan dengan berjalan kaki. Sejumlah jenazah korban kecelakaan
pesawat SSJ-100 yang ditemukan tim SAR gabungan, sudah tidak dalam keadaan
utuh lagi. Jenazah-jenazah tersebut ditemukan di ketinggian 2.005 Mdpl di lokasi
jatuhnya pesawat di Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.Kondisi jenazah korban
kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 sudah tak utuh lagi.53 Ada yang hancur,
hangus atau gosong karena terbakar, sehingga tak bisa dikenali lagi. Untuk
mempercepat evakuasi, kantong jenazah diangkut melalui udara dan diangkut
menggnakan jaring.
51 CNN, “Rusian plane missing in Indonesia”, 2012, diakses dari "Russian plane missing in Indonesia" tanggal 22 Januari 2015.
52 BBC News (BBC), “Indonesia searchers find missing Russia jet wreckage”, 2012, diakses dari "Indonesia searchers find missing Russia jet wreckage" tanggal 22 Januari 2015.
61
Gambar 21: Lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak – jawa Barat saat melakukan uji coba penerbang dari bandara Halim Perdana Kusuma pada tanggal 9 Mei 2012.
Kondisi lokasi yang kecelakaan yang sangat sulit membuat tim evakuasi
kemudian menggunakan jaring yang diturunkan pakai tali dari helikopter, untuk
mengangkut potongan-potongan tubuh yang sudah dimasukan dalam kantong
jenazah. Berdasarkan pantauan di RS Polri, kantong-kantong jenazah, baik yang
telah diidentifikasi maupun belum diproses, telah dipindahkan ke Freezer raksasa
itu. Freezer raksasa itu dijadikan tempat penyimpanan kantong jenazah korban
pesawat Sukhoi yang jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, yang diterima
oleh RS Polri. Freezer juga dipakai untuk menyimpan hasil Post Mortem atau
hasil identifikasi korban agar lebih awet.54 Sejak 18 Mei lalu, evakuasi korban
pesawat Sukhoi dihentikan, tetapi tim SAR di daerah melakukan pencarian FDR
untuk kepentingan penyelidikan penyebab kecelakaan.
53 Anonim, “Potongan Tubuh Jenazah ‘Korban Sukhoi’ Berserakan”, 2012, diakses dari http://kabarnet.in tanggal 22 Januari 2015
54 Salmah Muslimah, “AirAsia Ditemukan, DVI Siapkan Posko Postmortem di RS Bhayangkara Surabaya”, 2014, (http://news.detik.com/read/2014/12/30/143506/2790141/10/dvi-siapkan-posko-postmortem-di-rs-bhayangkara-surabaya) diakses tanggal 21 Januari 2015.
62
Gambar 22: Proses Evakuasi Korban Jatuhnya Pesawat Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak Provinsi Jawa Barat
B. Fase Post Mortem
Fase post-mortem pada kecelakaan pesawat AirAsia dengan nomor
penerbangan QZ8501 dilakukan oleh tim DVI POLRI di Rumah Sakit
Bhayangkara, Polda Jawa Timur, Surabaya. Fase post-mortem hanya dilakukan di
satu tempat, yaitu RS Bhayangkara Surabaya karena dekat dengan keluarga
korban, sehingga dapat mempermudah Tim DVI untuk mengumpulkan data dan
mencocokkan data. Setelah proses identifikasi selesai, jenazah dapat langsung
dikembalikan ke keluarganya. Untuk proses post-mortem telah disiapkan dua
buah kontainer pendingin untuk menyimpan jenazah dan sebuah kamar jenazah di
lapangan RS Bhayangkara Surabaya.55 Penyimpanan jenazah di kontainer pada
lingkungan dingin bertujuan untuk mencegah perubahan-perubahan pasca
kematian pada jenazah, dalam hal ini untuk memperlambat pembusukan lebih
lanjut. Fase post-mortem pada kasus ini berlangsung bersamaan dengan fase
pertama dan fase ketiga.
55 Syaiful Islam, “12 Jenazah AirAsia Rampung Lakukan Identifikasi Postmortem”, 2015, (http://news.okezone.com/read/2015/01/05/337/1087734/12-jenazah-airasia-rampung-lakukan-identifikasi-postmortem) diakses tanggal 21 Januari 2015.
Sebanyak 12 jenazah telah selesai diidentifikasi pada hari Minggu, 4
Januari 2015 pukul 18.00 WIB dengan cara identifikasi primer, yaitu
menggunakan sampel DNA.56 Pemeriksaan DNA digunakan terutama mengingat
kondisi jenazah yang sulit diidentifikasi menggunakan sidik jari. Bagian gigi
merupakan salah satu pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mencari tahu identitas
korban. Data gigi-geligi diperlukan untuk mengidentifikasi, karena semua
manusia tidak sama karakter, bentuk, jenis gigi, dan rekam medis lainnya seputar
gigi. Namun pemeriksaan profil gigi sulit diterapkan dalam proses identifikasi
jenazah yang merupakan warga negara Indonesia, karena data profil gigi di
Indonesia yang belum memadai.
63
56 Dhemas Reviyanto, “Kisah Pengumpul Puzzle Korban Sukhoi”, 2012, diakses: (http://www.tempo.co/read/news/2012/05/28/078406574/Kisah-Pengumpul-Puzzle-Korban-Sukhoi) diakses tanggal 21 Januari 2015.
Sebanyak 12 jenazah telah selesai diidentifikasi pada hari Minggu, 4
Januari 2015 pukul 18.00 WIB dengan cara identifikasi primer, yaitu
menggunakan sampel DNA.57 Pemeriksaan DNA digunakan terutama mengingat
kondisi jenazah yang sulit diidentifikasi menggunakan sidik jari. Bagian gigi
merupakan salah satu pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mencari tahu identitas
korban. Data gigi-geligi diperlukan untuk mengidentifikasi, karena semua
manusia tidak sama karakter, bentuk, jenis gigi, dan rekam medis lainnya seputar
gigi. Namun pemeriksaan profil gigi sulit diterapkan dalam proses identifikasi
jenazah yang merupakan warga negara Indonesia, karena data profil gigi di
Indonesia yang belum memadai.
64
Gambar 23: Proses Pemindahan Jenazah AirAisa dai ambulance ke kontainer pendingin jenazah Oleh Tim DVI Polisi Daerah Jawa Timur
Proses identifikasi korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100
dilakukan oleh bagian Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi
Universitas Gadjah Mada, Rusyad Adi Suriyanto dan Etty Indriati, Delta Bayu
Murti, serta Toetik Koesbardiati, Lektor Kepala di Departemen Antropologi FISIP
Universitas Airlangga atas permintaan Direktur Eksekutif Komite Disaster Victim
Identification (DVI) Indonesia, Anton Castilani. Fase post-mortem kasus ini
dilakukan di Rumah Sakit POLRI, Kramat Jati, Jakarta.58
Kondisi jenazah sangat mengenaskan, ada yang masih memiliki badan,
tetapi kepala, tangan, dan kakinya terpisah. Jenazah korban juga sudah dimakan
belatung. Hal lain yang mempersulit proses identifikasi adalah medan yang berat,
cuaca TKP yang tak menentu, yang membuat jasad rusak dan dimakan belatung.
58 Anonim, “Seluruh Korban Sukhoi Teridentifikasi”, 2012, Diakses:
(http://news.liputan6.com/read/403293/seluruh-korban-sukhoi-teridentifikasi)
diakses tanggal 21 Januari 2015.
Dalam fase post-mortem, Tim DVI dibagi enam kelompok. Tiap
kelompok menerima satu atau dua kantong mayat. Isi kantong ditebar di meja dan
dicermati oleh tim gabungan forensik polisi dan militer, kedokteran forensik,
patologi forensik, dan odontologi forensik. Tugas tim adalah mengidentifikasi tiap
jenazah dan mengembalikan jenazah ke keluarga dengan sempurna. Data post
mortem yang dikumpulkan adalah DNA, rekam gigi, tanda-tanda medik, dan
properti. Selain itu dilakukan pengamatan potongan tubuh, termasuk
membersihkan belatung, tanah dan lumpur yang menyatu dengan kerangka tulang
tubuh korban. Dari rekam gigi, banyak korban yang bisa diidentifikasi lebih cepat
dari waktu yang dijanjikan Tim DVI. Hal ini dapat dijadikan pengalaman bahwa
rekam gigi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk proses identifikasi.
Terdapat dua tahap identifikasi yang dilakukan oleh Tim DVI. Tahap
pertama adalah probable match, yaitu kemungkinan dikenalinya bagian tubuh
jenazah korban berdasarkan atribut yang digunakannya. Tahap kedua adalah
possible match, yaitu dikenalinya bagian tubuh jenazah korban berdasarkan
65
kecocokan data ante-mortem dengan post-mortem.59 Ada kemungkinan di antara
korban ada yang bertukar jaket dengan korban lainnya karena kondisi pesawat
sangat dingin. Sehingga proses identifikasi dan rekonstruksi tubuh korban ini
memerlukan ketelitian yang sangat tinggi.
57 Dea Chadiza Syafina, “Pesawat Sukhoi Jatuh, Identifikasi DVI Berdasarkan DNA dan Catatan Gigi”, 2012, Diakses: http://nasional.kontan.co.id/news/identifikasi-dvi-berdasarkan-dna-dan-catatan-gigi tanggal 21 Januari 2015 .
C. Fase Ante Mortem
Korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di gunung salak
berjumlah 45 orang dengan 5 kewarganegaraan yang berbeda diantaranya adalah
Warga Negara Indonesia berjumlah 34 orang, Warga Negara Rusia 8 orang,
Warga Negara Amerika 1 orang, Warga Negara Italia 1 orang dan Warga Negara
Perancis 1 orang. Posko pengumpulan data Ante Mortem untuk kecelakaan
pesawat Sukhoi Superjet 100 ditempatkan di ruang kedatangan Landasan Udara
Halim Perdana Kusuma, Jakarta dan mulai dibuka sejak tanggal 9 Mei 2012 untuk
mengumpulkan data-data dasar mengenai keluarga korban. Kemudian Posko Ante
Mortem untuk kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 dilanjutkan di RS
Bhayangkara TK. I Said Sukanto Keramat Jati, Jakarta Timur.60 Data Ante
Mortem yang dikumpulkan oleh tim DVI untuk kecelakaan pesawat superjet 100
ini adalah data terdiri dari sidik jari, rekam medik dokter gigi, rekam medik
apabila yang bersangkutan pernah dioperasi, dan foto rontgen.61
66
Data sidik jari dikumpulkan oleh pihak keluarga dengan mengumpulkan
informasi dari KTP, Ijazah dan informasi yang bearasal dari kantor catatan sipil.
Selain itu, keluarga yang mengetahui langsung anggotanya ikut dalam pesawat
tersebut, wajib menyampaikan informasi kepada petugas mengenai properti yang
digunakan.Kemudian dikarenakan adanya warga negara asing yang juga menjadi
korban kecelakaan pesawat ini, maka tim DVI juga bekerja sama dengan pihak-
pihak asing untuk mengumpulkan data-data dan informasi dari kedutaan besar
dari masing-masing Negara.
60Fahmi Firdaus, “Mabes Polri Siapkan Posko Antemortem”, 2012, http://news.okezone.com/read/2012/05/10/501/626961/mabes-polri-siapkan-posko-antemortem, diakses tanggal 22 Januari 2015
61Satwika Movementi, dkk., “Polisi Minta Data Antemortem Penumpang Sukhoi”, 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/173402934/Polisi-Minta-Data-Antemortem-Penumpang-Sukhoi, diakses pada tanggal 22 Januari 2015
Posko pengumpulan data ante mortem untuk kecalakaan pesawat Air Asia
QZ 8501 berada di samping crisis center Bandara Juanda Sidoarjo, Posko sudah
mulai dibuka pada hari Minggu, tanggal 28 Desember 2014. Pendirian posko ini
dilakukan untuk, memberikan pelayanan medis dan psikologis terhadap keluarga
maupun kerabat dari penumpang pesawat air asia QZ-8501 yang hilang kontak
saat perjalanan menuju Singapura.62
Kemudian posko ante mortem berikutnya juga dibuka untuk kecalakaan
pesawat Air Asia QZ 8501 yang berada di RS. Bhayangkara H.S.Samsoeri
Mertojoso, Surabaya untuk mengumpulkan data-data Ante Mortem lainnya. Data-
data ante mortem yang dikumpulkan oleh tim DVI antemortem yakni menyiapkan
data orang seperti rekam medis, sidik jari, DNA, termasuk ciri-ciri seperti tahi
lalat, tato dan tanda-tanda khusus di tubuh lainnya.63 DVI mendapat bantuan dari
Interpol untuk mendapatkan data ante mortem co pilot Air Asia, Remi Emanuel
Plesel yang merupakan warga negara Prancis. Tim DVI sebelumnya sempat
67
kesulitan mendapatkan data tersebut karena keluarga Remi berada di Kepulauan
Karibia.64
62 Edwin Satriyo, dkk., “Tim DVI Mulai Bangun Posko Ante Mortem”, 2015, http://www.indosiar.com/fokus/tim-dvi-mulai-bangun-posko-ante-mortem_122144.html, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
63 Bilal Ramadhan, dkk., “Data Ante Mortem Korban Air Asia QZ8501 Sudah Lengkap”, 2015, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/05/nhpml4-data-ante-mortem-korban-air-asia-qz-8501-sudah-lengkap, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
D. Fase Empat Rekonsiliasi
Jumlah korban pesawat AirAsia QZ8501yang jatuh pada hari Minggu
tanggal 28 Desember 2014 adalah sebanyak 162 orang yang terdiri dari 155
penumpang dan tujuh awak pesawat. Saat ini Tim DVI menemui kesulitan dalam
proses identifikasi korban karena proses pembusukan jenazah menyulitkan
pengidentifikasian jenazah.65
Fase empat adalah rekonsiliasi, yaitu sidang yang dilakukan untuk
membandingkan data ante mortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah
teridentifikasi. Tim DVI yang ketiga yaitu tim rekonsiliasi dimana tim ini yang
akan menentukan kecocokan antara data ante mortem dari keluarga korban dan
data post mortem dari jenazah. Jika terjadi matching minimal satu data primer
baik dari sidik jari, sampel DNA maupun kesamaan gigi geligi, dan minimal dua
data skunder baik dari rekam medis data antropologi maupun properti. Dengan
68
Gambar 24: Posko Ante Mortem Biddokkes Polda Jawa Timur yang Terletak di RS Bhayangkara H.S.Samsoeri Mertojoso, Surabaya
kesamaan data tersebut maka tim rekonsiliasi baru bisa menentukan identitas
jenazah.66
Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi
supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka
identifikasinya lemah. Saat sidang, argumentasi yang diberikan ilmuwan memiliki
dasar yakin, tidak yakin, dan kurang yakin. Hasil perdebatan dalam sidang inilah
yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
64 Darmadi Sasongko, “Tim DVI gandeng Interpol cari data antemortem Copilot AirAsia”, 2015, http://palingaktual.com/1324887/tim-dvi-gandeng-interpol-cari-data-antemortem-copilot-airasia/read/ diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
65 Satwika Movementi, dkk., “Polisi Minta Data Antemortem Penumpang Sukhoi”, 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/173402934/Polisi-Minta-Data-Antemortem-Penumpang-Sukhoi, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
66 Edwin Satriyo, dkk., “Tim DVI Mulai Bangun Posko Ante Mortem”, 2015, http://www.indosiar.com/fokus/tim-dvi-mulai-bangun-posko-ante-mortem_122144.html, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
Contoh hasil rekonsiliasi korban AirAsia yaitu Jenazah dengan label B047
bernama Kyung Hwa Lee, perempuan 34 tahun warga Negara Korea Selatan.
Berdasarkan data primer terjadi kesamaan ante mortem dan post mortem. Ada
temuan lain yaitu adanya tambalan gigi yang berbahan emas (gigi emas). Selain
itu juga terdapat kecocokan data sekunder data medis yaitu jenis kelamin dan usia,
serta properti yang sangat signifikan. Korban memakai maternity bra (BH orang
menyusui). BH yang bisa ditutup dan dibuka. Pihak AirAsia juga memastikan
korban yang satu-satunya membawa bayi ini adalah bernama Kyung Hwa Lee.67
Hingga saat ini telah teridentifikasi 47 jenazah korban pesawat pesawat Airasia
QZ8501 yang berhasil diidentifikasi oleh Tim DVI Polda Jatim. 68
69
Tim DVI telah melakukan evaluasi dan pengolahan data hasil
pemeriksaan post mortem jenazah korban kecelakaan pesawat Sukhoi. Data-data
dari pemeriksaan post mortem inilah yang akan direkonsiliasi dari data ante
mortem untuk mengidentifikasi jenazah korban.69 Untuk fase rekonsiliasi,
disiapkan 45 kantong mayat. Jadi, potongan A masuk ke kantong A dan
seterusnya. Jika sudah lengkap, bagian-bagian tubuh dibagi-bagi dalam kantong
jenazah dilanjutkan dengan proses rekonstruski sehingga bentuk tubuh aslinya
bisa terlihat.
Tim DVI bekerja keras bersama tim asal Rusia dan melibatkan para pakar
forensik dari berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas
Airlangga, Universitas Padjajaran, dan lainnya untuk menyelesaikan identifikasi
dari para korban. Proses identifikasi para korban kecelakaan pesawat penumpang
Sukhoi Superjet 100 oleh tim DVI Indonesia dinyatakan telah selesai. Tim DVI
menyatakan telah mengidentifikasi 45 korban dan dari jenis kelamin 31 laki-laki
dan 14 perempuan. Proses ini memakan waktu selama 12 hari. Untuk proses
identifikasi, tim Kepolisian menghabiskan dana sebesar Rp. 800 juta, yang
seluruhnya ditanggung oleh negara. Semuanya dinyatakan telah diidentifikasi
secara ilmiah dan tidak terbantahkan. Proses identifikasi ini didasarkan pada
pemeriksaan DNA, gigi, medik dan properti yang melekat.70
70
Gambar 25: Tim DVI melakukan rapat rekonsiliasi untuk mencocokan data antemortem dan postmortem
67 Bilal Ramadhan, dkk., “Data Ante Mortem Korban Air Asia QZ8501 Sudah Lengkap”, 2015, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/05/nhpml4-data-ante-mortem-korban-air-asia-qz-8501-sudah-lengkap, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
68 Darmadi Sasongko, “Tim DVI gandeng Interpol cari data antemortem Copilot AirAsia”, 2015, http://palingaktual.com/1324887/tim-dvi-gandeng-interpol-cari-data-antemortem-copilot-airasia/read/ diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.
69 Berita Satu, Minimal Butuh 2 Minggu Kenali DNA Jasad Sukhoi, 2012. (http://www.beritasatu.com/home/47759-minimal-butuh-2-minggu-kenali-dna-jasad-sukhoi.html) diakses tanggal 22 Januari 2015
70Angkasa Yudhistira, 45 Korban Sukhoi Teridentifikasi, 2012. (http://news.okezone.com/read/2012/05/20/501/632321/45-korban-sukhoi-teridentifikasi) diakses tanggal 22 Januari 2015
71