bab ii tinjauan pustaka.docx

100
BAB II TINJAUAN PUSTAKA BENCANA Definisi Bencana Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. 8 Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, bencana adalah suatu kejadian secara alami maupun karena ulah manusia, terjadi secara mendadak ataupun berangsur-angsur, menimbulkan akibat yang merugikan sehingga masyarakat dipaksa untuk melakukan tindakan penanggulangan. 9 Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. 10 Berdasarkan pengertian di atas, secara singkat bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat 4

Upload: riyang-pradewa-admawan

Post on 01-Feb-2016

281 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BENCANA

Definisi Bencana

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap

kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa

manusia atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon

dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.8 Menurut Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, bencana adalah suatu kejadian secara alami maupun karena

ulah manusia, terjadi secara mendadak ataupun berangsur-angsur, menimbulkan

akibat yang merugikan sehingga masyarakat dipaksa untuk melakukan tindakan

penanggulangan.9

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.10 Berdasarkan

pengertian di atas, secara singkat bencana adalah suatu kejadian yang tidak

diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka atau meninggal dengan jumlah

cukup banyak.

Suatu bencana dengan jumlah korban massal memiliki patokan yang

berbeda-beda. Dari sudut pandang medis 25 orang, sedangkan menurut

Popzacharieva dan Rao 10 orang. Silver dan Souviron menyatakan patokan ini

tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana, terkait dengan

sumber daya dan fasilitas yang tersedia.

8 World Health Organization, “Definitions:Disasters and Emergencies”, diakses dari http://www.who.int/hac/about/definitions/en/ tanggal 11 Januari 2015, Hal. 3.

9 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, “Glosarium Data dan Informasi Kesehatan”, Pusat Data dan Informasi Kesehatan Republik Indonesia.

10 Undang-undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 butir 1.

4

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Sebagai contoh, jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan

jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan

rumah sakit lainnya. Menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai

bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas tempat yang

tersedia di masing-masing rumah sakit. Sedangkan menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, korban massal adalah korban akibat kejadian

dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebab yang sama dan perlu

mendapatkan pertolongan kesehatan segera dengan menggunakan sarana, fasilitas,

dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari.11

Klasifikasi Bencana

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, jenis bencana antara lain:

a. Bencana alam

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, kebakaran

hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, tanah longsor dan

kejadian antariksa/benda-benda angkasa.

b. Bencana non alam

Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa kegagalan

konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran

lingkungan, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

11 Henky dan Safitri O, “Identifikasi Korban Bencana Masal: Praktik DVI antara Kerja dan Kenyataan”, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2012; 2(1): 5-7.

5

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Bencana pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu bencana yang

semata-mata dikarenakan faktor alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian

alami seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, badai dan lainnya. Bencana

kedua adalah akibat ulah manusia (man made disaster) meliputi tabrakan pesawat

atau kendaraan, kebakaran, ledakan, dan lainnya.12

Pada konteks DVI, sebuah bencana merupakan kejadian yang tidak

diinginkan yang mengakibatkan kematian banyak orang. Sebagai contoh, prosedur

DVI mungkin diperlukan pada kecelakaan lalu lintas, bencana alam, bencana non

alam, maupun serangan teroris. Oleh karena itu penting untuk mengklasifikasikan

bencana menjadi open disaster dan closed disaster yang secara signifikan

mempengaruhi pendekatan respon manajemen DVI:13

a. Open disaster (Bencana terbuka)

Bencana terbuka adalah sebuah kejadian atau peristiwa yang sangat besar

sehingga mengakibatkan kematian banyak orang yang tidak diketahui

data/catatan yang tersedia. Hal tersebut mengakibatkan kesulitan dalam

pengumpulan informasi tentang korban suatu peristiwa, tidak ada referensi

awal yang dapat dijadikan petunjuk. Bencana terbuka dapat ditemukan pada

bencana di tengah kerumunan orang, di mana tidak ada data yang tersedia

mengenai gambaran potensial korban.

b. Closed disaster (Bencana tertutup)

Bencana tertutup adalah suatu kejadian atau peristiwa yang sangat besar,

mengakibatkan kematian banyak orang yang memiliki data atau petunjuk

informasi (misalnya kecelakaan pesawat dengan data penumpang). Akibatnya

data ante mortem dapat dikumpulkan lebih cepat karena terdapat petunjuk

potensial dari penumpang.

Kombinasi dari bencana tertutup dan terbuka juga mungkin terjadi

(misalnya kecelakaan pesawat di tempat umum).

12 Solehudin U. “Business Continuity and Disaster Recovery Plan”. Depok: Universitas Indonesia. 2005.

13 Interpol. Op.cit Hal 8-9.

6

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Bencana di Indonesia

Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana

alam maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor-faktor lain seperti

keragaman sosial budaya dan politik. Wilayah Indonesia dapat digambarkan

sebagai berikut:14

1. Secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan

empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua asia dan benua Australia serta

lempeng samudera Hindia dan samudera Pasifik.

2. Terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam tipe A, tipe B,

dan tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang-kurangnya satu kali

sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung tipe A, tipe

B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus dan tipe C

adalah gunung api yang masih aktif di indikasikan sebagai gunung api aktif.

3. Terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya

melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir

bandang dan tanah longsor pada saat musim penghujan.

Beberapa kejadian bencana besar di Indonesia antara lain:

1. Gempa bumi dan tsunami yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 yang

melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagaian Provinsi

Sumatera Utara telah menelan korban yang sangat besar yaitu 120.000 orang

meninggal, 93.088 orang hilang, 4.632 orang luka-luka.

2. Gempa bumi Nias, Sumatera Utara pada awal tahun 2005 mengakibatkan 128

orang meninggal, 25 orang hilang dan 1.987 orang luka-luka.

3. Gempa bumi dan tsunami terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di pantai Selatan

Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Banjar, Cilacap, Kebumen,

Gunung Kidul dan Tulung Agung) telah menelan korban meninggal dunia 684

orang, korban hilang sebanyak 82 orang dan korban dirawat inap sebanyak

477 orang dari 11.021 orang yang luka-luka.

14 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. “Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Mengacu pada Standar Internasional”. Jakarta. 2007.

7

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

4. Tanah longsor sampai pertengahan tahun 2006 terjadi di provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua dengan jumlah korban 135 orang.

5. Banjir bandang seperti yang terjadi secara beruntun pada pertengahan tahun

2006 di Kabupaten Sinjai (Sulawesi Selatan), banjir di Kabupaten Bolaang.

6. Mongondow (Sulawesi Utara), Kota Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Tanah

Bumbu dan Banjar (Kalimantan Selatan), Kabupaten Katingan (Kalimantan

Tengah).

7. Gunung Merapi di Jawa Tengah sepanjang tahun 2006 menunjukkan

peningkatan aktivitas yang mengakibatkan 4 orang meninggal, 5.674 orang

pengungsian dengan permasalahan kesehatannya.

8. Sejak awal tahun 1999 telah terjadi konflik vertikal dan konflik horizontal di

Indonesia yang ditandai dengan timbulnya kerusuhan sosial, misalnya di

Sampit, Sambas Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Poso, Sulawesi, Nusa

Tenggara Timur, Papua dan berbagai daerah lainnya yang berdampak

pengungsian penduduk secara besar-besaran.

9. Ledakan Bom Bali I dan II serta ledakan bom di wilayah Jakarta

mengakibatkan permasalahan kesehatan yang juga berdampak kepada aspek

sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia.

10. Kegagalan teknologi seperti kasus Petro Widada Gresik.

8

Gambar 1. Sebaran Kejadian Bencana per Kabupaten/Kota Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U,“Business Continuity and Disaster Recovery Plan”, Universitas Indonesia, Depok,

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

9

Gambar 2. Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian Bencana Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U “business continuity and disaster recoveri Plan” Universitas Indonesia, Depok 2005)

Gambar 3. Sebaran Kejadian Bencana dan Korban Meninggal per Jenis Kejadian Bencana Tahun 1815-2014 (Sumber: Solehudin U “business continuity and disaster recoveri Plan” Universitas Indonesia, Depok 2005)

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

IDENTIFIKASI

Metode identifikasi

Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang digunakan untuk

menentukan identitas seseorang.

Metode ini terdiri atas:15

1. Metode sederhana

Melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan perhiasan,

pakaian, dan kartu identitas yang ditemukan atau membandingkan dengan

foto.

a. Metode visual, dengan memperhatikan dengan cermat atas korban,

terutama wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri

korban dapat diketahui. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapat

hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat

dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam

keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut.

b. Pakaian, pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode

serta adanya tulisan-tulisan seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau

initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah

pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian

secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10

cm, adalah merupakan tindakan yang tepat agar korban masih dapat

dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur.

c. Perhiasan, anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh

korban, khususnya bila pada perhiasan tersebut terdapat initial nama

seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau

cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik didalam menentukan

identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari

perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.

15 Abdul Mun’im Idries, “Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama”, Binarupa Aksara, Jakarta, 2007, Hal. 33-34.

10

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

d. Dokumen, kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu

golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan

dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan jati diri korban. Pada

kecelakaan massal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang didalam

menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam

saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang;

sehingga pada kecelakaan massal tas seseorang dapat terlempar dan

sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak

diperhatikan kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi

korban sudah busuk atau rusak.

2. Metode ilmiah

Melalui teknik ilmu pengetahuan seperti sidik jari, kedokteran umum,

kedokteran gigi, antropologi, serologi, dan biomolekuler. Cara ini digunakan

apabila jenazah telah rusak berat karena proses pembusukan, mutilasi, atau

hangus terbakar.

Dilihat dari metode tersebut, proses identifikasi bisa dikelompokkan

menjadi dua ukuran, yaitu ukuran data primer yang meliputi sidik jari, data gigi,

dan DNA, serta ukuran data sekunder yang meliputi data medis, kepemilikan, dan

fotografi.

11

Gambar 4. Properti seperti perhiasan, jam tangan dan kunci yang dapat ditemui pada korban bencana

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Korban dinyatakan positif teridentifikasi apabila:

1. Satu atau lebih ukuran identifikasi primer telah terbukti dengan atau tanpa data

sekunder.

2. Minimal dua data sekunder dapat ditemukan apabila data primer tidak ada.

Metode ilmiah adalah cara identifikasi dengan memanfaatkan ilmu kedokteran

(identifikasi medis).

Cara ini dibagi dalam beberapa jenis:

1. Identifikasi medis umum

Cara ini memperhatikan ciri-ciri umum seseorang seperti: tinggi badan, berat

badan, warna kulit, warna dan tipe rambut, warna mata, cacat-cacat yang

mencolok, tanda-tanda khas, dan bekas-bekas penyakit/operasi. Biasanya

setiap formulir pemeriksaan jenazah telah mencantumkan hal ini.

2. Identifikasi tulang belulang

a. Pertama-tama harus ditentukan dahulu kumpulan tulang tersebut

merupakan tulang manusia atau tulang binatang. Jika tulang manusia,

berasal dari satu orang atau lebih. Selanjutnya dari tulang-tulang tersebut,

secara medis antropologis dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut:

1) Jenis kelamin

Pada orang dewasa, beberapa tulang tertentu bentuknya berbeda antara

laki-laki dan wanita, tulang-tulang itu antara lain tengkorak, pelvis,

tulang panjang, rahang dan gigi.

Tabel 1. Perbedaan tulang tengkorak laki-laki dan perempuan

Tengkorak Laki-laki Perempuan

Dahi

Tepi orbital

Orbital

Tonjolan mastoid

Rigi(muscle ridges)

Rendah

Lebih menonjol

Persegi empat

Besar

Kasar (nyata)

Tinggi

Kurang menonjol

Bulat

Kecil

Halus

(Sumber: Abdul Mun’im Idries, “Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama”, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997, hal. 33-34)

12

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Tabel 2. Perbedaan tulang pelvis laki-laki dan perempuan

Pelvis Laki-laki Perempuan

Bentuk

Arkus pubis

Foramen ischiadica

Incisura ischiadica

Os sacrum

Sempit dan panjang

< 90 derajat

Oval

Lebih dalam

Kurang lebar

Lebar dan pendek

> 90 derajat

Segitiga

Lebih dangkal

Lebih lebar

(Sumber: Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama, Jakarta, Binarupa Aksara, 1997, hal. 33-34)

Tulang panjang pada laki-laki lebih masif (terutama di sekitar

sendi) dan rigi perlekatan otot lebih nyata. Bentuk rahang dan gigi

antara perempuan dan laki-laki juga berbeda sehingga dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi jenis kelamin. Rahang

pada laki-laki umumnya seperti huruf V sedangkan pada wanita

seperti huruf U. Gigi dan akar gigi permanen pada laki-laki lebih

besar dari pada wanita.

2) Tinggi badan

Tinggi badan seseorang dapat diperkirakan dari panjang tulang

tertentu, menggunakan rumus yang dibuat oleh banyak ahli.16

Rumus Antropologi Ragawi UGM untuk pria dewasa (Jawa):

Tinggi badan = 897 + 1,74 y (femur kanan)

Tinggi badan = 822 + 1,90 y (femur kiri)

Tinggi badan = 879 + 2,12 y (tibia kanan)

Tinggi badan = 847 + 2,22 y (tibia kiri)

Tinggi badan = 867 + 2,19 y (fibula kanan)

Tinggi badan = 883 + 2,14 y (fibula kiri)

Tinggi badan = 847 + 2,60 y (humerus kanan)

Tinggi badan = 805 + 2,74 y (humerus kiri)

13

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

16 Arif Budiyanto, dkk., “Ilmu Kedokteran Forensik”, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm 201-202.

Tinggi badan = 819 + 3,15 y (ulna kanan)

Tinggi badan = 847 + 3,06 y (ulna kiri)

Catatan : semua ukuran dalam satuan mm.

Rumus Trotter dan Gleser untuk Mongoloid:

1,22 (fem + fib) + 70,24 (±3,18 cm)

1,22 (fem + tib) + 70,37 (±3,24 cm)

2,40 (fib) + 80,56 (±3,24 cm)

2,39 (tib) + 81,45 (±3,27 cm)

2,15 (fem) + 72,57 (±3,80 cm)

1,68 (hum + ulna) + 71,18 (±4,14 cm)

1,67 (hum + rad) + 74,83 (±4,16 cm)

2,68 (hum) + 83,19 (±4,25 cm)

3,54 (rad) + 82,00 (±4,60 cm)

3,48 (ulna) + 77,45 (±4,66 cm)

Melalui suatu penelitian, Djaja Surya Atmadja menemukan rumus

untuk populasi dewasa muda di Indonesia:

Pria : TB = 72,9912 + 1,7227 (tib) + 0,7545 (fib) (± 4,2961 cm)

TB = 75,9800 + 2,3922 (tib) (± 4,3572 cm)

TB = 80,8078 + 2,2788 (fib) (± 4,6186 cm)

Wanita: TB = 71,2817 + 1,3346 (tib) + 1,0459 (fib) (± 4,8684 cm)

TB = 77,4717 + 2,1889 (tib) (± 4,9526 cm)

TB = 76,2772 + 2,2522 (fib) (± 5,0226 cm)

Tulang yang diukur dalam keadaan kering biasanya lebih pendek 2

mm dari tulang yang segar, sehingga dalam menghitung tinggi badan

perlu diperhatikan. Rata-rata tinggi laki-laki lebih besar dari wanita,

maka perlu ada rumus yang terpisah antara laki-laki dan wanita.

Apabila tidak dibedakan maka diperhitungkan ratio laki-laki:wanita

14

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

adalah 100:90. Selain itu, penggunaan lebih dari satu tulang

dianjurkan.

Apabila ditemukan seluruh tulang lengkap, maka ketepatan data

diatas dapat mencapai 90%-100%. Namun, sudah sangat

menguntungkan jika mendapat tulang tengkorak, tulang panggul, dan

salah satu tulang panjang.

3) Ras

Ras pada prinsipnya adalah penggolongan manusia secara biologi

berdasarkan penampakan fisiknya atau fenotipnya, bukan berdasarkan

genetiknya.

4) Umur

Tulang manusia dapat memberikan informasi penting bagi

perkiraan umur manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang

tergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga perlu

dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus, neonatus,

anak-anak, adolescen dan dewasa.

Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti

penulangan yang dapat dilihat melalui pemeriksaan ronsenologik atau

otopsi. Pada anak-anak dan adolescen sampai umur 20 tahun, yang

paling berguna bagi penentuan umur adalah penutupan epifisis. Seperti

diketahui bahwa penutupan epifisis juga mengikuti urutan kronologik.

Pada kelompok dewasa (sesudah berumur 20 tahun), perkiraan umur

dengan menggunakan tulang menjadi lebih sulit. Beberapa petunjuk

yang dapat dipakai antara lain; penutupan sutura, perubahan sudut

rahang dan adanya proses penyakit.

5) Parturitas (berapa banyak wanita melahirkan)

3. Golongan darah

4. Identifikasi gigi

15

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,

khususnya jika rekaman data gigi dan rontgen foto gigi semasa hidup

disimpan dengan baik dan benar.

Gigi dipakai sebagai sarana identifikasi karena alasan sebagai berikut:

a. Daya tahan gigi

Gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposis bahan

organik dan airnya sedikit sekali. Sebagian besar terdiri atas bagian

anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak didalam rongga mulut

yang terlindung dan basah oleh air liur. Gigi akan menjadi lapuk pada

suhu 2000°C dan menjadi abu pada suhu 450°C.

b. Individualitas gigi

Setiap manusia mempunyai 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-

masing mempunyai 5 permukaan. Berarti dalam mulut ada 160

permukaan gigi dengan variasi keadaan mulai baik, rusak, penambalan,

gigi palsu, hingga implan.

c. Informasi yang dapat diperoleh dari gigi

Umur, ras, jenis kelamin, golongan darah, bentuk wajah/raut muka

seseorang.

16

Gambar 5: Form Odontogram yang akan digunakan untuk identifikasi gigi geligi

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

5. Identifikasi Serologis

Pemeriksaan serologis adalah pemeriksaan komponen-komponen atau

enzim-enzim tertentu yang ada dalam jaringan, cairan tubuh manusia.

Beberapa pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk mengidentifikasi seseorang

adalah:

a. Golongan darah/subgolongan darah, dapat diperiksa dari: darah, ludah,

semen, rambut, gigi, tulang-tulang seluruh tubuh manusia.

b. Enzim-enzim seperti antigen, antibodi, atau protein dapat diperiksa dari

darah.

c. HLA (human leucocyt antigen) dapat diperiksa dari darah.

d. Pemeriksaan serologis ini dilakukan di laboratorium (kecuali golongan

darah, dapat diperiksa di tempat kejadian apabila masih segar) dan

kebanyakan memerlukan darah yang masih segar (pemeriksaan enzim dan

HLA).

6. Rekonstruksi wajah dan superimposed

Teknik rekonstruksi wajah dikembangkan oleh ahli antropologi Barat

setelah mereka meneliti ketebalan kulit atau otot di daerah muka. Setelah

ketebalan-ketebalan itu diketahui, dan dengan teknik-teknik tertentu, akhirnya

dapat dibentuk perkiraan tampang dari suatu tengkorak. Teknik ini

mempunyai kendala-kendala karena tidak bisa menggambarkan secara tepat

daerah mata, bibir, maupun model rambut, sehingga sering kali hasilnya

kurang memuaskan.

Sementara itu, superimposed menawarkan cara yang lebih mudah dan

akurat untuk memperkirakan bentuk wajah seseorang. Prinsip teknik

superimposed adalah mencocokkan tengkorak yang tidak dikenal dengan foto

wajah orang terduga. Caranya ialah dengan menggunakan teknik-teknik

fotografi dan rontgen foto: tengkorak di foto rontgen. Kemudian pas foto

orang terduga dipotret kembali dan dibesarkan sesuai ukuran dan diperhatikan

kecocokan-kecocokannya (dengan menggunakan titik-titik anatomi tertentu).

Hal-hal yang penting diperhatiakn dalam melakukan superimposed:

17

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

a. Foto rontgen tengkorak posisinya harus sama dengan pasfoto terduga.

Usahakan untuk mencari foto yang betul-betul lurus dari depan dan

terbaru.

b. Harus menggunakan dua foto orang lain sebagai pembanding.

c. Dapat pula dengan menggunakan bantuan komputer. Pada prinsipnya,

menggunakan berbagai macam bentuk wajah yang telah terprogram dalam

suatu software. Dengan pas foto terduga, dilakukan pencocokan dan

penempelan secara digital imaging, dapat pula diperbaiki kemiringannya

dengan menggunakan pelukisan dengan layar sentuh (touchscreen).

7. Psychological Personality Profiling

Identifikasi biasanya ditujukan untuk mengenal korban yang mati. Namun,

tidak semua kasus kejahatan dapat dilakukan profiling. Hanya kasus-kasus

yang menunjukkan kelainan patopsikologi baik di TKP maupun pada tubuh

korban dapat dicirikan pelakunya. Kasus-kasus itu diantaranya:

a. Kasus penyiksaan seksual yang sadis,

b. Mutilasi dan penyayatan post-mortem,

c. Post-mortem exploration,

d. Pembakaran tanpa motif,

e. Pembunuhan sadis dan serial,

f. Kejahatan yang berhubungan dengan ritual,

g. Pemerkosaan.

8. Pemetaan sidik jari DNA (DNA Profiling)

DNA profiling merupakan suatu sarana identifikasi yang paling baru. Cara

ini diperkenalkan oleh Jeffreys pada tahun 1985 sebagai DNA Finger

Printing. Cara ini dikatakan sangat dipercaya untuk mengidentifikasi

seseorang karena tidak ada dua manusia yang mempunyai urutan DNA yang

tepat sama kecuali kembar identik (berasal dari satu telur). DNA

(deoxyribonucleic acid) merupakan gabungan dari gula deoksi, kelompok

fosfat, dan basa nitrogen. Pada DNA terdapat empat macam basa nitrogen

18

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

yaitu guanine (G), thymine (T), cytosine (C), dan adenine (A). Basa nitrogen

G selalu berpasangan dengan C dihubungkan dengan tiga ikatan rangkap

hidrogen, sedangkan T selalu berpasangan dengan A yang selalu dihubungkan

dengan dua ikatan hidrogen. Susunan-susunan basa inilah yang dimanfaatkan

untuk profiling karena ada bagian-bagian tertentu dari untaian itu yang sangat

spesifik untuk setiap orang. Daerah ini disebut “mini satelit”. DNA memiliki

kestabilan pada somatis yang artinya gambaran DNA dari darah, sperma,

rambut, orga, dan sebagainya identik sehingga cocok untuk digunakan sebagai

bahan identifikasi. Pada sel sperma dan sel telur berbeda dengan sel tubuh

lainnya dalam hal jumlah kromosom.

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

Definisi

Disaster Victim Identification (DVI) atau identifikasi korban bencana

merupakan suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana

yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta

mengacu pada Interpol DVI Guideline.17

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data

ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin

baik. Pada kasus bencana massal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal,

19

Gambar 6: Pola sidik jari yang terdapat pada manusia sehingga dapat digunakan untuk proses identifikasi

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

diperlukan keahlian kedokteran forensik yang meliputi berbagai bidang keilmuan

itu dab bidang keahlian penunjang untuk dapat melakukan identifikasi.18

Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan

semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,

dimana seorang mayat pempunyai hak untuk dikenali.19

Dasar Hukum Disaster Victim Identification

Dasar hukum yang melandasi kegiatan DVI dikaitkan dengan beberapa

Hak Asasi Manusia tentang proses identifikasi dan penanganan korban mati.

Adapun beberapa dasar hukum tersebut antara lain:

1. Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam

KUHAP Pasal 133 ayat 1 :

“Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan

atau ahli lainnya”

2. 120 ayat 1 :

“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli

atau orang yang memiliki keahlian khusus”

3. Undang-Undang Nomor 2 Pasal 14 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : melakukan koordinasi,

pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik

pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; melakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian”

20

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

17 Sumy Hastry Purwanti, “Ilmu Kedokteran Forensik Untuk Kepentingan Penyidikan”, Jakarta, Rayyana Komunikasindo, 2014, hlm 256-257.

18 Aboesina Sidiek, dkk., “Disaster Victim Identification (DVI) Pada Bencana Letusan Gunung Merapi Dan Serangan Terorisme Bom Bali I”, Semarang, Fakultas Kedokteran Universitan Diponegoro, 2013, hlm 18.

19 Prawestiningtyas, Eriko, Agus Mochammad Algozi, “Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol, XXV No, 2, Agustus 2009, hlm 87-89.Dasar Hukum Identifikasi Korban Bencana di Indonesia adalah KUHAP Pasal

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana:

“Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik,

oleh faktor alam dan/atau faktor non alami maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda dan dampak psikologi”

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 82 dan 118 tentang Kesehatan:

“Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas

ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan

secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana; Mayat yang tidak

dikenal harus dilakukan upaya identifikasi”

6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 tentang Kedokteran Kepolisian Pasal 8 dan Pasal 9. ‘;’

Kemudian dasar hukum yang lain yang berkaitan dengan DVI yaitu

Resolusi Interpol No. AGN/65/Res/13 Tahun 1996 tentang Disaster Victim

Identification, Peraturan Pemereintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana, MoU Departeman Kesehatan Polisi Republik Indonesia

Tahun 2003 dan MoU Departeman Kesehatan Polisi Republik Indonesia Tahun

2004.

Sejarah Disaster Victim Identification

21

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Interpol (The International Criminal Police Organization) pertama kali

mengadakan rapat kerja mengenai Disaster Victim Identification (DVI) pada

tahun 1982. Hal ini didasarkan pada adanya kesulitan saat mengidentifikasi

korban akibat bencana di lokasi dengan penduduk yang berasal dari berbagai

daerah. Kejadian yang mendasari rapat kerja ini adalah ledakan tanki bahan bakar

di Spanyol pada tahun 1978 yang memakan korban hingga 200 jiwa yang berasal

dari berbagai negara Eropa. Kesulitan yang dialami saat mengidentifikasi korban

akibat bencana tersebut menjadi alasan utama yang menghasilkan prinsip

identifikasi yang digunakan secara internasional.20 Pedoman standar baku Interpol

dalam Identifikasi Korban Bencana pertama kali diproduksi pada tahun 1984, dan

selalu diperbaharui setiap beberapa tahun sekali. Pembaharuan pedoman

dilakukan atas dasar pengalaman bencana alam yang telah terjadi.

Di Indonesia, keberadaan DVI belum terlalu lama. Publik sebelumnya

lebih mengenal Laboratorium Forensik (Labfor) Kepolisian yang berada di bawah

Kedokteran Kepolisian (Dokpol) yang pertama kali dibentuk pada 1977 dan

kemudian diresmikan sebagai bagian dari kepolisian pada tahun 1984.21

Kementerian Kesehatan bersama Kepolisian Republik Indonesia sejak

tahun 1999 melakukan kegiatan Pembentukan Tim DVI di Indonesia (Tim DVI

Nasional, Tim DVI regional, dan Tim DVI Provinsi). Tim DVI Nasional

berkedudukan di Jakarta dan mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan

semua usaha serta kegiatan identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku

secara nasional maupun internasional pada korban-korban mati massal akibat

bencana.22

Adapun organisasi DVI di Indonesia dipelopori dengan diadakannya suatu

pertemuan yaitu pada The 1st Interpol DVI Pacific Rim Meeting tanggal 25 – 27

Januari 2001 di Makassar. Selanjutnya DVI Indonesia diperkenalkan dan menjadi

salah satu materi pokok dalam Program Post Graduate Training on Clinical

Forensic Medicine, Human Rights and Medical Jurisprudence untuk

mendapatkan gelar DFM (Diploma on Forensic Medicine) selama 4 periode yang

bekerjasama antara Polri, Universitas Hasanuddin dan Groningen University,

Netherland.

22

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

20 Withers Deborah, Log.cit.21 Iqbal Fadil, “DVI Indonesia, ujung tombak identifikasi korban Sukhoi”, 2012, diakses dari

http://www.merdeka.com/peristiwa/dvi-indonesia-ujung-tombak-identifikasi-korban - s ukhoi.html tanggal 10 Januari 2015.

22 Depkes RI, Loc.cit.

Pada tanggal 25-28 Juli 2003 diadakan The 2nd Interpol DVI Pacific Rim

Meeting di Denpasar, yang pada kesempatan itu pula turut ditandatangani

Memorandum of Understanding antara Departemen Kesehatan RI dan Kepolisian

Negara Republik Indonesia tentang Identifikasi Korban Mati pada Bencana

Massal. Pusdokkes Polri juga telah mengirimkan personelnya untuk mengikuti

DVI Course AFP – PDRM di Kuala Lumpur bulan Oktober 2003, dan

menyelenggarakan DVI Course AFP – Polri di Jakarta dan Bali pada bulan Juli

2004 dan Agustus 2004. Pada tanggal 29 September 2004 dilakukan

Memorandum of Understanding yang kedua antara Departemen Kesehatan RI dan

Polri tentang Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bancana

Massal yang juga disepakati terbentuknya Tim DVI Indonesia Nasional serta

pembagian wilayah Regional DVI di Indonesia.23

Pada awal tahun 2006 Tim DVI Nasional Indonesia telah merintis

berdirinya kantor Sekretariat yang berdekatan dengan gedung kantor Biddokpol

Pusdokkes Polri yang bertujuan agar memudahkan dalam kontrol dan koordinasi

dalam penanganan identifikasi korban mati pada peristiwa-peristiwa bencana

massal yang ada di Indonesia dan pada tanggal 26 Maret 2007 gedung Sekretariat

Tim DVI Nasional Indonesia ini telah diresmikan penggunaannya oleh Kapolri

Jenderal Polisi Drs. Sutanto, SH.

Dalam perkembangannya hingga kini telah terbentuk Tim DVI Indonesia

di setiap propinsi. Struktur organisasi Tim DVI Propinsi mengacu pada struktur

organisasi Tim DVI Regional dan Tim DVI Nasional dimana seorang ketua Tim

DVI Propinsi adalah Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda yang di

23

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

dalam strukturnya dibantu oleh Dinas Kesehatan setempat, Rumah Sakit

Pemerintah, Unsur Pemerintah Daerah dan unsur-unsur pendukung lainnya. Baik

Tim DVI maupun tim pendukung kesehatan yang menangani korban hidup akan

berkoordinasi dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah, SAR

23 Anonim, “Sejarah Disaster Victim Identification”, 2011, diakses dari https://ipurworejo.wordpress.com/2011/04/11/sejarah-disaster-victim-identification-dvi/ tanggal 11 Januari 2015.

Propinsi dan unsur-unsur lain yang terlibat dalam suatu penanganan

bencana. Adapun apabila Tim DVI Propinsi pada pelaksanaannya membutuhkan

dukungan tim DVI lain maka akan diterjunkan Tim DVI Regional dan atau Tim

DVI Nasional.

Peranan Disaster Victim Identification

Identifikasi pada korban bencana massal mutlak diperlukan, terutama pada

korban mati karena menyangkut masalah sebagai berikut: 24

1. Pengendalian kekacauan pada masyarakat akibat bencana massal tersebut,

terutama pada kondisi psikologis keluarga korban.

2. Perwujudan penegakan hak asasi manusia untuk hak teridentifikasi.

3. Aspek hukum terhadap ahli waris korban, terutama masalah asuransi jiwa.

4. Pencarian pelaku tindakan kriminal pada peristiwa tertentu, misalnya

kasus peledakan bom dan terorisme.

Prosedur Disaster Victim Identification

Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Victim

Identification) Interpol. Proses DVI terdiri dari empat fase, yaitu The Scene, Post-

Mortem Examination, Ante- Mortem Information Retrieval, dan Reconciliation.25

1. Fase I – Scene

Fase I merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian

peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling

utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah

organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan

24

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif

dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul

tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim

pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus

sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut:

24 Sumy Hastry Purwanti, Op.cit, hlm.255-256.

1) Keluasan TKP, yaitu melakukan pemetaan jangkauan bencana dan

pemberian koordinat untuk area bencana.

2) Perkiraan jumlah korban.

3) Keadaan mayat.

4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur DVI.

5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.

6) Metode untuk menangani mayat.

7) Transportasi mayat.

8) Penyimpanan mayat.

9) Kerusakan properti yang terjadi.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs

bencana terdapat tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau

untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk

mengumpulkan, dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan

pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan

barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang

terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia. Namun,

pencarian korban mati akibat bencana tersebut tidak dapat dimulai sampai

semua korban hidup selesai diselamatkan.

Pada langkah to secure, organisasi yang memimpin komando DVI

harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak

menjadi rusak. Langkah-langkah tersebut antara lain:

25

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak

berkepentingan, misalnya dengan memasang police line.

2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang

berkepentingan.

25 Pusponegoro AD, dkk., “Identifikasi Korban Bencana Massal” In: Paturusi IA, Pusponegoro AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal, edisi ketiga, 2006, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 123-30.

4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa

saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI

harus mengumpulkan korban-korban bencana dan mengumpulkan properti

yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk

kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando

DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area

bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.

Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat

informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat. Label

ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan selanjutnya.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan, korban yang sudah diberi

nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian

dievakuasi.

2. Fase II – Post-Mortem

Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini

dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada

fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik

melakukan untuk mencari data post-mortem sebanyak-banyaknya. Sidik

jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang

melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk

26

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan

standar Interpol. Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh

pasca kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang

oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan

berbagai pemeriksaan yang seluruhnya dilakukan untuk memperoleh dan

mencatat data selengkap-lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan

pencatatan data jenazah yang dilakukan di antaranya meliputi:

1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah

korban.

2) Autopsi, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika

ditemukan.

3) Pemeriksaan sidik jari.

4) Pemeriksaan rontgen.

5) Pemeriksaan odontologi forensik, bentuk gigi dan rahang merupakan

ciri khusus setiap orang sehingga dapat digunakan dalam proses

identifikasi.

6) Pemeriksaan DNA.

7) Pemeriksaan antropologi forensik, yaitu pemeriksaan fisik secara

keseluruhan, dari bentuk tubuh, berat badan, tato, hingga cacat tubuh

dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam

data primer dan data sekunder sebagai berikut:

1) Primary Identifiers (sidik jari, profil gigi, DNA)

2) Secondary Identifiers (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi

medis)

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga

sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan-perubahan pasca

kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada

lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

27

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

3. Fase III – Ante-Mortem

Fase ketiga adalah fase pengumpulan data ante-mortem di mana ada

tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Pada

fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.

Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah meupun orang yang

terdekat dengan jenazah. Tim ini meminta masukan data sebanyak-

banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian

yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas

luka operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan

dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau

kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak

ada data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah

dari keluarga korban. Data ante mortem diisikan ke dalam yellow form

berdasarkan standar Interpol.

4. Fase IV – Reconciliation

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post-mortem dengan data

ante-mortem. Ahli forensik dan profesi lain yang terkait dalam proses

identifikasi menentukan apakah temuan post-mortem pada jenazah sesuai

dengan data ante-mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.

Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan

identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan

ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post

mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang

sesuai dengan temuan post-mortem jenazah.

Seseorang dianggap teridentifikasi pada fase keempat ini apabila

terdapat kecocokan antara data ante-mortem dan post-mortem dengan

kriteria minimal satu macam Primary Identifiers atau dua macam

Secondary Identifiers.

28

Page 26: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Tim Disaster Victim Identification

Tim Manajemen DVI memiliki peran sebagai berikut:26

1. Peran Komandan DVI

2. Fase 1: koordinasi tempat

3. Fase 2: koordinasi post mortem

4. Fase 3: koordinasi ante mortem

5. Fase 4: koordinasi rekonsiliasi

Berikut adalah disiplin utama yang digunakan dalam aspek teknik dalam proses

DVI:

1. Ahli patologi forensik

2. Ahli odontologi forensilk

3. Ahli fingerprint

4. Ahli biologi forensik/ahli genetik

5. Ahli antropologi forensik

Disiplin ilmu tambahan yang dapat mendukung proses DVI:

1. Fotografer

2. Ahli radiologi

3. Tim interview

4. Manager properti

5. Pencatat tempat dan post mortem

6. Tim kualitas asuransi (kontrol kualitas informasi dan data)

7. Tim manajemen dan pengumpul bukti

8. Manajer mayat

9. Penyidik

10. Petugas logistik

11. Petugas penghubung

12. Petugas orang hilang

13. Ahli teknologi informasi

29

Page 27: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

26 Interpol, Op.cit, Hal 12-15.

Tim DVI

Berikut ini adalah ringkasan dari posisi manajemen kunci utama dalam

proses DVI.

a. Komandan DVI

Komandan DVI memegang tanggung jawab secara keseluruhan untuk respon

operasional terhadap peristiwa DVI, berikut ini adalah beberapa fungsi

penting dalam peran tersebut:

1. Menetapkan perintah DVI yang tepat dan mengontrol struktur yang sesuai

untuk memastikan semua kegiatan DVI agar teratur dan terkoordinasi

2. Memulai respon DVI sesuai dengan rencana operasional yang telah

disepakati dan/atau pengaturan yurisdiksi.

3. Menunjuk koordinator fase DVI dan posisi penting lainnya yang

diperlukan.

4. Menerapkan saluran komunikasi yang jelas dan mekanisme pelaporan

untuk memudahkan koordinasi dan arus informasi.

5. Memastikan kapasitas yang memadai dan kemampuan dari spesialis dan

logistik untuk secara efektif merespon insiden tersebut.

6. Memastikan kepatuhan terhadap kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan

kerja.

b. Koordinator fase

Personil yang dialokasikan dalam peran koordinasi penting untuk memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar sepadan dengan tuntutan

dan tanggung jawab pada posisi tersebut. Selain itu juga dianjurkan bagi

30

Page 28: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

orang-orang tersebut untuk memiliki keterampilan dan pengalaman dalam

pengelolaan staf.

c. Koordinator ahli DVI

Pengangkatan anggota penting untuk mengkoordinasi dan mengawasi

disiplin spesialis merupakan syarat penting untuk operasi DVI. Meskipun

manajer personil ahli ini harus memenuhi syarat dalam disiplin masing-

masing, mereka juga harus memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi

produksi output dengan disiplin lain, atau area lain dari proses DVI.

Tim DVI Indonesia yang dibentuk dengan sistem regionalisasi (4 region)

merupakan badan yang bertanggung jawab terhadap penanganan korban mati pada

suatu bencana, terutama yang terjadi di regionnya.27

Tim DVI regional adalah perpanjangan tangan dari Tim DVI Nasional

sebagai koordinator bagi Provinsi dalam wilayah kerjanya, sedangkan Tim DVI

Provinsi merupakan pelaksana identifikasi terhadap semua korban mati pada

bencana.

Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan

operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan

fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal dari pihak kepolisian. Pada kasus

yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada

man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan

keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan

aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan

beberapa tim dari berbagai institusi.28

Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan

keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam

masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang

berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Tim kecil yang

menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan

data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban.

31

Page 29: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

27 Permatasari, Tian Ervi, “Gambaran Identifikasi Korban Massal Open Disaster dan Close Disaster di Tim DVI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Rekam Data Gigi (Odontogram)”. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. 2012, Hal 2-3.

28 Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsian, “Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana”, Depkes RI, Jakarta, 2007, Hal. 151

Peran Dokter dalam Disaster Victim Identification

1. Menentukan manusia atau bukan

Jika ditemukan tulang-tulang maka kadang-kadang tulang dari beberapa

binatang tertentu mirip tulang manusia. Dengan pemeriksaan yang teliti akan

dapat dibedakan apakah tulang yang ditemukan berasal dari manusia atau

binatang. Yang agak sulit adalah jika yang ditemukan itu berupa tulang yang

tak khas atau jaringan lunak. Dalam hal ini pemeriksaan yang diperlukan

untuk dapat menentukan manusia atau binatang adalah pemeriksaan

imunologik.

2. Menentukan jenis kelamin

Pada korban kebakaran atau pada mayat yang sudah membusuk dimana

penentuan jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar

maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan pada jaringan lunak tertentu misalnya uterus dan prostat, dan

tulang-tulang tertentu.

3. Menentukan umur

Tulang manusia dan gigi juga dapat memberikan informasi penting bagi

perkiraan umur manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang

bergantung pada besarnya penyebaran kelompok umur sehingga perlu

dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus, neonatus, anak-anak,

adolescen dan dewasa.

Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti penulangan yang

dapat dilihat melalui pemeriksaan rontgen atau otopsi. Pada anak-anak dan

adolescen sampai umur 20 tahun, yang paling berguna bagi penentuan umur

adalah penutupan epifisis. Pada kelompok dewasa (yaitu sesudah berumur 20

tahun), perkiraan umur dengan menggunakan tulang menjadi lebih sulit.

32

Page 30: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Beberapa petunjuk yang dapat dipakai antara lain; penutupan sutura,

perubahan sudat rahang dan adanya proses penyakit.

Penentuan umur dengan menganalisis jaringan yang akan tumbuh menjadi

gigi pada bayi di dalam kandungan mempunyai derajat kecermatan yang

tinggi. Sesudah dilahirkan penentuan umur dapat dilakukan dengan

mendasarkan pada mineralisasi, pembentukan mahkota gigi, erupsi gigi dan

resorbsi apicalis.

4. Menentukan tinggi badan

Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh maka penentuan tinggi badan

dapat dilakukan dengan menggunakan tulang-tulang panjang. Hanya dengan

sepotong tulang panjang yang utuh umur pemiliknya dapat diperkirakan, tetapi

hasil yang akurat dapat diperoleh jika tersedia beberapa jenis dari tulang

panjang.

Pelatihan Disaster Victim Identification (DVI)

Dalam rangka mempertahankan standar kompetensi yang tepat dalam

praktek modern protokol dan prosedur DVI, harus mempertimbangkan

pemeliharaan pelatihan yang mencakup semua aspek dari DVI. Bahan-bahan

pelatihan dan kegiatan harus disesuaikan dengan proses dan fungsi DVI yang

terdapat dalam panduan Interpol.29

Selain meningkatkan tingkat kompetensi seluruh disiplin ilmu terhadap

standardisasi praktik, pelatihan juga dapat mengakibatkan pemerataan standar

operasional sesuai dengan praktek yang diakui secara internasional. Hal ini

sangat penting ketika sedang beroperasi dengan lembaga-lembaga eksternal, atau

menjalankan tugas di lingkungan asing. Dalam kasus tersebut, jika semua

lembaga merangkul dan melatih anggota DVI dalam praktek-praktek

internasional, akan menyebabkan DVI beroperasi secara lebih efektif dengan

lembaga lainnya.

Berbagai negara secara bersama-sama telah melakukan beberapa acara

internasional untuk membahas peran DVI dan penerapan standar praktek yang

telah terbukti membantu dalam meningkatkan hubungan kerjasama, peningkatan

33

Page 31: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

profesionalisme dan yang paling penting mendapatkan hasil identifikasi yang

lebih baik. Dengan mengembangkan dan menerapkan pelatihan standar untuk

mengikuti praktek-praktek internasional, pemerataan standar operasional untuk

meminimalisir kesalahpahaman.

Selain prosedur dan protokol internasional DVI, pelatihan dan tes

kualifikasi menentukan kesiapan setiap anggota tim DVI untuk ditempatkan

harus dianggap sebagai prosedur operasi standar. Uji profisiensi rutin setiap

anggota selama karir DVI harus dipertimbangkan untuk memastikan kesiapan

anggota tidak hanya kompetensi teknis dan prosedural, tetapi meliputi persyaratan

fisik dan psikologis.

Personil dikerahkan sebagai bagian dari sebuah tim pemulihan korban

dan/atau harus terlatih dan kompeten. Personil harus melakukan pelatihan dasar

DVI ACPO.

Personil yang mungkin digunakan pada insiden kematian massal dan

komandan DVI harus melakukan latihan yang tepat untuk membangun

kompetensi dan pengalaman dalam kesiapan untuk pemerataan kompetensi.29

Penting untuk melibatkan semua instansi terkait dalam program latihan tidak

hanya kepolisian. Setiap forum ketahanan lokal dan forum ketahanan daerah harus

memiliki program latihan yang menginduksi respon untuk insiden kematian

massal. Itu mungkin tidak praktis dapat dicapai untuk menutupi proses DVI dalam

satu latihan, tapi polisi harus mampu menunjukkan bahwa mereka telah menguji

semua aspek respon kematian massal dengan skala waktu yang wajar.

Pelatihan formal semua personil yang mungkin terlibat dalam

penanggulangan insiden kematian massal harus dapat meningkatkan kemampuan

profesional untuk memastikan bahwa pengetahuan DVI tetap berkembang.

Pengembangan profesional berkelanjutan dapat mencakup hadir di konferensi

yang relevan, keterlibatan dalam latihan dan membaca pedoman nasional dan

lokal yang relevan dan artikel profesional.

34

Page 32: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

29 ACPOS (Association of Chief Police Officers in Scotland), “Guidance on Disaster Victim Identivication”, National Policing Improvement Agency, Scotland, 2011, Hal 147.

Peralatan Disaster Victim Identification

Penyediaan peralatan modern penting untuk memungkinkan praktisi DVI

melakukan fungsi utama mereka. Peralatan tersebut berkisar dari peralatan

perlindungan pribadi, peralatan khusus untuk setiap tahap dari proses DVI.

Manajemen kesehatan kerja dan perspektif keamanan dianggap sangat penting

dimana praktisi DVI dengan peralatan yang diperlukan memungkinkan untuk

mempertahankan perlindungan dari bahaya dan membantu mereka untuk

melakukan tugas secara maksimal.30

1. Alat Perlindungan Diri

Tujuan utama dari APD adalah untuk melindungi personil DVI

terhadap kontak langsung dengan sisa-sisa bagian tubuh manusia, bahan

kontaminan dan bahaya lain termasuk bahaya lingkungan atau buatan

manusia. Selain pakaian standar keselamatan seperti pakaian bedah, sarung

tangan pelindung, sepatu karet, celemek, masker mulut dan lain-lain, terdapat

bentuk-bentuk lain dari peralatan pelindung yang dibutuhkan jika langsung

berhadapan dengan sisa-sisa manusia yang harus diperhatikan. Langkah-

langkah perlindungan biasanya memerlukan penggunaan barang-barang

seperti helm, sepatu keselamatan, kacamata, jas hujan dan rompi

keselamatan. Faktor lain tergantung pada lingkungan, faktor risiko dan

potensi bahaya.

Meskipun banyak masalah berbahaya yang dapat diatasi atau dikurangi,

tantangan lain mungkin berada di luar keahlian staf sehingga membutuhkan

keterlibatan tenaga profesional lainnya untuk menangani isu-isu spesifik.

Mengatasi masalah sumber pasokan APD selama operasi penting melalui

pemeliharaan persediaan yang memadai.

Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang

digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari

35

Page 33: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap

kecelakaan dan penyakit akibat kerja.31

Pemakaian APD yang tidak tepat dapat membahayakan tenaga kerja yang

memakainya. Oleh karena itu agar dapat memilih APD yang tepat, maka harus

mampu mengidentifikasi bahaya potensial yang ada, khususnya yang tidak

dapat dihilangkan ataupun dikendalikan.

Alat Pelindung Diri (APD) ada berbagai macam yang berguna untuk

melindungi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang fungsinya untuk

mengisolasi tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya di tempat kerja.

Berdasarkan fungsinya, ada beberapa macam APD yang digunakan oleh

tenaga kerja, antara lain:32

1) Alat Pelindung Kepala (Headwear)

Alat pelindung kepala ini digunakan untuk mencegah dan melindungi

rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan untuk melindungi kepala

dari bahaya terbentur benda tajam atau keras, bahaya kejatuhan benda

atau terpukul benda yang melayang, melindungi jatuhnya mikroorganisme,

percikan bahan kimia korosif, panas sinar matahari dan sebagainya. Jenis

alat pelindung kepala antara lain safety helmets.

2) Alat Pelindung Mata

Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari percikan

bahan kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di

udara, gas atau uap yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi

gelombang elektromagnetik, panas radiasi sinar matahari, pukulan atau

benturan benda keras, dan sebagainya. Jenis alat pelindung mata antara

lain kaca mata biasa (spectacle goggles) dan goggles.

30 Interpol, Op.cit, Hal. 29-31.

36

Page 34: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

31 Nunik Harwanti, “Laporan Khusus: Pemakaian alat pelindung diri dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di instalasi rawat inap 1 RDUP Dr. Sardjito Yogyakarta”, Universitas Sebelas Maret, Yogyakarta, 2009, Hal.13-20.

32 Harwanti, Nunik. “Laporan Khusus: Pemakaian alat pelindung diri dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di instalasi rawat inap 1 RDUP Dr. Sardjito Yogyakarta”. Yogyakarta: Universitas Sebelas Maret. 2009. Hal.13-20

3) Alat Pelindung Pernafasan (Respiratory Protection)

Alat pelindung pernafasan digunakan dari resiko paparan gas, uap, debu,

atau udara terkorosi atau yang bersifat rangsangan. Sebelum melakukan

pemilihan terhadap suatu alat pelindung pernafasan yang tepat, maka

perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau kadar kontaminan

yang ada di lingkungan kerja. Jenis alat pelindung pernafasan antara lain

masker dan respirator.

4) Alat Pelindung Tangan (Hand Protection)

Alat pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan bagian

lainnya dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan

dingin, serta kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung tangan antara

lain sarung tangan bersih dan sarung tangan steril.

Baju pelindung digunakan untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh

dari percikan api, suhu panas atau dingin, cairan bahan kimia, dan lain-

lain. Jenis baju pelindung antara lain pakaian kerja, celemek, dan apron.

5) Alat Pelindung Kaki (Feet Protection)

Alat pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya

dari benda-benda keras, benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda

panas, serta kontak dengan arus listrik. Jenis alat pelindung antara lain

sepatu steril, sepatu kulit, dan sepatu boot.

7. Alat Pelindung Telinga (Ear Protection)

Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara yang

masuk ke dalam telinga. Jenis alat pelindung telinga antara lain sumbat

telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff).

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh APD agar dalam

pemakaiannya dapat memberikan perlindungan yang maksimal. Menurut ILO

37

Page 35: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

(1989) dari beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh semua jenis peralatan

pelindung, maka hanya dua yang terpenting yaitu:

1) Apapun sifat dan bahayanya, peralatan atau pakaian harus memberikan cukup

perlindungan terhadap bahaya tersebut.

2) Peralatan atau pakaian harus ringan dipakainya dan awet dan membuat rasa

kurang nyaman sekecil mungkin, tetapi memungkinkan mobilitas,

penglihatan dan sebagainya yang maksimum.

Peralatan Khusus

Selain menyediakan bahan habis pakai dalam bentuk APD untuk staf, ada

item perlengkapan standar lain yang harus selalu siap tersedia seperti peralatan

yang dibutuhkan untuk memproses tempat kejadian perkara, sisa-sisa bagian

tubuh manusia dan properti, atau memungkinkan penyelesaian tugas di semua

tahapan proses DVI lainnya.

Peralatan lain yang mungkin perlu diperoleh untuk personil khusus dan

tugas-tugas, yang dapat bervariasi, tergantung pada sifat atau keadaan bencana.

Oleh karena itu, peralatan khusus mungkin diperlukan untuk tugas-tugas yang

unik dilakukan oleh ahli patologi, ahli odontologi, ahli biologi, ahli antropologi

atau spesialis lainnya, tergantung pada tuntutan teknis.

a. Peralatan Standar minimal untuk kebutuhan operasional dan suplai yang

harus siap, terdiri:33

1. Kantong jenazah.

2. Formulir Interpol DVI Ante Mortem.

3. Formulir Interpol DVI Post mortem.

4. Label mayat (Human remains labels).

5. Label properti (Evidence labels).

6. Kantong barang bukti – properti (Evidence bags).

7. Bendera/marker untuk menandakan barang bukti.

8. Kamera digital – snapshot/pocket digital camera.

9. Telepon genggam/telepon seluler/satelit.

38

Page 36: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

10. Perlengkapan untuk ahli patologi forensik (ditentukan oleh operator –

ahli forensik patologi).

11. Perlengkapan untuk dokter gigi (ditentukan oleh operator – dokter gigi).

12. Perlengkapan untuk ahli DNA (ditentukan oleh operator – ahli DNA).

13. Perlengkapan untuk ahli sidik jari (ditentukan oleh operator – ahli sidik

jari).

14. Pakaian kerja (Seragam standar / PDL Dokpol – 1, celana panjang, baju

kaos, rompi/jaket, topi, sepatu, ban lengan dengan tulisan “DVI”.

15. Pakaian operasi (OK celana panjang, baju, apron, sarung tangan lateks,

sepatu boot karet, masker wajah, hair caps/nets.

16. Desinfektan untuk tangan, permukaan kerja dan perlengkapan.

17. Perlengkapan medis pertolongan pertama.

b. Peralatan optional untuk kebutuhan operasional dan suplai yang harus siap,

terdiri dari:

1. Kotak transpor untuk tempat alat-alat dengan dimensi ukuran sekitar

55x55x110 cm (ukuran ini cukup memadai besarnya dan mudah diangkut

dalam bagasi pesawat).

2. Troli dengan dasar rata (untuk mengangkut kotak-kotak secara manual

dalam jarak jauh).

3. Perangkat rekam (digital- untuk merekam informasi yang mendadak dan

spontan).

4. ATK (Kertas, pulpen, spidol waterproof, binder, folder, writing pad).

5. Meja lipat portable – ringan dan mudah dibawa (dapat sebagai meja dan

tempat kerja untuk memeriksa barang bukti).

6. Perangkat faks mobile.

7. Kursi-kursi lipat (ringan dan mudah dibawa).

8. Formulir-formulir siap pakai.

9. Saringan/sikat pembersih – household sieves (untuk membersihkan benda-

benda barang bukti – properti yang sangat kecil saat dicuci dibawah air

mengalir).

39

Page 37: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

10. Pengering rambut – hairdryers (untuk mengeringkan barang bukti –

properti).

33 Pusdokkes Pori, “Pedoman tentang Penatalaksanaan Disaster Victim Identification (DVI) Bagi POLRI (Edisi Revisi”, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pusat Kedokteran dan Kesehatan, Jakarta, 2010.11. Kamera digital viewer – monitor (dapat diwakilkan dengan monitor

komputer).

12. Batu baterai set (diusahakan menggunakan batu baterai yang standar dan

seragam).

13. Lotion anti serangga.

14. Krim tabir surya.

15. Obat-obatan untuk simptom umum (flu, diare, mabuk – mual).

16. Perlengkapan/suplai medis tambahan(obat-obatan/perlengkapan hanya

digunakan oleh tenaga medis-dokter).

17. Bahan pembersih tangan (sabun, cairan).

18. Krim tangan.

19. Handuk/tisu.

20. Lakban/selotip.

21. Lap penyerap.

22. Perlengkapan penerangan (lampu penerang dan gen set).

23. Buku pencatat.

24. Perlengkapan pertukangan (berisi tang, obeng, kikir, pisau lipat, gunting

penggaris dan beberapa jenis lainnya tergantung kelengkapannya).

25. Pisau lipat.

26. Lampu senter.

27. Penjepit.

28. Striker label barang bukti.

29. Kotak perkakas.

30. Perlengkapan perkakas pisau.

31. Penggaris metal.

32. Perlengkapan pribadi dan pakaian pribadi dengan name tag.

40

Page 38: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

c. Kebutuhan logistik khusus

Pengaturan berikut ini sangat penting tidak hanya untuk menjamin operasi

yang efektif secara teknik tetapi juga dapat memenuhi setiap kebutuhan

pribadi dari setiap petugas operasional. Daftar yang ada dapat disesuaikan

dengan tingkat kebutuhan.

1. Akomodasi disiapkan ditempat yang nyaman dan cukup terisolasi dari

keluarga wartawan media.

2. Pengaturan makan untuk anggota tim.

3. Ruang / tempat istirahat di tempat kerja.

PERAN DVI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

Bencana Terbuka

A. Fase Olah Tempat Kejadian Perkara

Merapi merupakan salah satu dari 129 gunung berapi aktif di Indonesia,

merupakan bagian dari Pasific Ring of Fire dan tergolong gunung berapi yang

paling muda dalam kumpulan gunung berapi di bagian selatan pulau Jawa.34

Gunung merapi batas-batasnya yaitu; Lereng sisi selatan berada dalam

administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada

dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,

Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi

tenggara.

41

Gambar 7. Gunung Merapi mengeluarkan Asap terlihat dari Desa Deles di Klaten

Page 39: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Letusan Merapi 2010 adalah rangkaian peristiwa gunung berapi yang

terjadi di Merapi di Indonesia. Aktivitas seismik dimulai pada akhir September

2010, dan menyebabkan letusan gunung berapi pada hari Selasa tanggal 26

Oktober 2010, mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas. 27 Oktober 2010,

Gunung Merapi pun meletus. Dari sekian lama penelitian gunung teraktif di dunia

ini pun meletus. 28 Oktober 2010, Gunung Merapi memuntahkan Lava pijar yang

muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.

34 Taman Nasional Gunung Merapi, “Kronologis Letusan Dahsyat Merapi”, diakses dari http://www.tngunungmerapi.org/kronologis-letusan-dahsyat-merapi/ tanggal 20 Januari 2015.

42

Gambar 8 : Lava mengalir dari kawah Gunung Merapi. Diambil oleh kamera ber-exposure tinggi di Klaten. 2 November 2010

Gambar 9: Proses Evakuasi Korban Bencana Meletusnya Gunung Merapi

Page 40: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Disaster Victim Identification (DVI) membuka posko pengaduan orang

hilang di RS Sardjito, untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

mencari anggota keluarganya yang mungkin menjadi korban letusan gunung

merapi.

Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwaterorisme terparah dalam sejarah

Indonesia. Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah

dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan

berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot

antara 50-150 kg. Bom Bali, 12 Oktober 2012, tiga ledakan mengguncang Bali.

Kegiatan identifikasi dilaksanakan setiap hari mulai tanggal 13 Oktober 2012

mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WITA bertempat di Rumah Sakit Sanglah,

Denpasar, Bali.

35 Syariful Alam, “Inilah Kronologi Bencana Longsor Banjarnegara”, 2014, diakses dari http://www.rri.co.id/post/berita/126329/nasional/inilah_kronologi_bencana_longsor_di_banjarnegara.html tanggal 20 Januari 2015.

43

Gambar 10: Kondisi Lokasi pasca terdinya ledakan Bom di Paddy’s Pub dan Sari Club di kawasan Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12 oktober 2012.

Page 41: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Gempa bumi dan Tsunami Aceh pada hari Minggu pagi, 26 Desember

2004. Kurang lebih 500.000 nyawa melayang dalam sekejab di seluruh tepian

dunia yang berbatasan langsung dengan samudra Hindia. Di daerah Aceh

merupakan korban jiwa terbesar di dunia dan ribuan bangunan hancur lebur,

ribuan pula mayat hilang dan tidak di temukan dan ribuan pula mayat yang di

kuburkan secara massal.

Tsunami Aceh, peristiwa yang sangat memilukan terjadi di bumi serambi

Mekkah Aceh pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004. Gempa terjadi pada

waktu tepatnya pukul 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N

95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa

ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dengan ini merupakan gempa Bumi

terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini yang menghantam Aceh,

Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka,

bahkan sampai Pantai Timur Afrika.

44

Gambar 11: Kondisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebelum terjadi Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Page 42: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Kekuatan gempa pada awalnya dilaporkan mencapai magnitude 9.0. Pada

Februari 2005 dilaporkan gempa berkekuatan magnitude 9.3. Meskipun Pacific

Tsunami Warning Center telah menyetujui angka tersebut. Namun, United States

Geological Survey menetapkan magnitude 9.2. atau bila menggunakan satuan

seismik momen (Mw) sebesar 9.3.

Kecepatan ruptur diperkirakan sebesar 2.5 km/detik ke arah antara utara -

barat laut dengan panjang antara 1200 hingga 1300 km. Menurut Koordinator

Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan Egeland, jumlah korban

tewas akibat badai tsunami di 13 negara (hingga minggu 2/1/2005) mencapai

127.672 orang.

45

Gambar 12: Kondisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam setelah terjadi Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Gambar 13: Bangunan yang selamat setelah terjadi Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam pada Tanggal 26 Desember 2015.

Page 43: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

PBB memperkirakan sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di

Indonesia. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk

karena masih banyak daerah yang terisolir. Sementara itu data jumlah korban

tewas di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara menurut

Departemen Sosial RI (11/1/2005) adalah 105.262 orang. Sedangkan menurut

kantor berita Reuters, jumlah korban Tsunami diperkirakan sebanyak 168.183

jiwa dengan korban paling banyak diderita Indonesia, 115.229 (per Minggu

16/1/2005). Sedangkan total luka-luka sebanyak 124.057 orang, diperkirakan

100.000 diantaranya dialami rakyat Aceh.

Pada 10-11 Desember 2014 terjadi hujan deras di daerah Banjarnegara,

sehingga terjadi longsor kecil di beberapa tempat. Beredar isu PLTA Mrica jebol

karena debit Sungai Serayu Besar. Di salah satu sisi Bukit Telagalele terjadi

longsor. Pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB tiba-tiba terjadi longsor di

Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten

Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Saat itu hujan gerimis, dan bagian bukit

Telagalele longsor yang menimbulkan bunyi gerumuh. Material longsor meluncur

ke bawah berbelok ke sisi kiri (utara) karena gravitasi bumi dan mengikuti

kemiringan lereng, Jawa Tengah. Menurut laporan BNPB:Material longsor

menimbun 8 rumah kemudian meluncur melewati ruas jalan provinsi

Banjarnegara-Pekalongan, hingga menimbun 35 rumah. Longsor berlangsung

sekitar kurang dari 5 menit.

46

Gambar 14: Longsor yang terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB

Page 44: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Disaster Victim Identification (DVI) membuka posko pusat koordinasi

penanggulangan bencana di gedung PGRI Kecamatan Karangkobar, untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mencari anggota keluarganya

yang mungkin menjadi korban longsor Banjarnegara. Pada 12 Desember 2014,

terjadi longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar,

Kabupaten Banjarnegara Provinsi

Kepala BNPB telah meminta Bupati Banjarnegara dan Dandim

Banjarnegara melakukan pengecekan warga di luar Dusun Jemblung yang hilang.

Hingga Senin (15/12/2014) pada pukul 13.00 WIB telah ditemukan 51 jiwa

korban tewas. 57 orang masih dilakukan pencarian.36

Tim evakuasi langsung dibentuk untuk memulai proses evakuasi. Tim

SAR merupakan gabungan dari BPBD, BNPB, TNI, Polri, Basarnas, PMI,

Tagana, relawan dan masyarakat masih mencari korban. Namun kendala dalam

proses evakuasi yaitu kondisi medan cukup berat sehingga diperlukan alat-alat

berat untuk membuka jalan yang tertutup longsor.

47

Gambar 15: Proses Evakuasi Korban Bencana di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB

Page 45: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Pada Sabtu 13 Desember 2014 petang, upaya evakuasi korban longsor di

Dusun Jemblung dihentikan karena cuaca yang hujan serta kekhawatiran terjadi

longsor susulan. Selain itu tim SAR dan relawan juga masih buta peta lokasi

longsor untuk evakuasi. Meski demikian upaya identifikasi jenazah terus

dilakukan. Teknik yang digunakan adalah, dihari pertama dan kedua pencarian

kita membagi wilayah pencarian menjadi 4 sektor. Tujuannya untuk mengetahui

titik-titik di mana saja yang terdapat banyak korban. Pada hari ke-enam berhasil

menemukan 83 korban.

Proses mengidentifikasi jenazah tidaklah mudah. Tugas ini dilakukan oleh

tim Disaster Victim Identification (DVI) dan Laboratorium Forensik. Dalam

meletusnya gunung merapi, Disaster Victim Identification (DVI) membuka Posko

Post Mortem di dilakukan di RS Dr. SardjitoYogyakarta. Di Pos Mortem, tim

mengidentifikasi jasad yang sudah mati, mulai dari pencatatan soal rambut, tinggi

badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lainnya. Jenazah yang sulit dikenali,

masih tetap bisa diidentifikasi ketika masih ada jasadnya.37

B. Fase Post Mortem

Data itu terdiri atas ciri-ciri fisik, seperti gigi, sidik jari, tanda lahir,

maupun properti atau pakaian yang terakhir digunakan setelah/sebelum

dinyatakan meninggal/hilang. Untuk unit postmortem, tim mengidentifikasi jasad,

mulai pencatatan soal rambut, tinggi badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lain.

Selanjutnya data yang diperoleh dari posko post mortem diisi dalam formulir DVI

Post Mortem berwarna pink. Setelah semua proses dilakukan maka tim akan

melakukan pencocokan dengan data ante mortem yang didapat.38

36 Bayu Nur, “Kopassus Temukan Emas dan Uang di Lokasi Longsor Banjarnegara”, 2014, diakseshttp://nasional.kompas.com/read/2015/01/22/0808015/Kopassus.Temukan.Emas.dan.Uang.di.Lokasi.Longsor.Banjarnegara tanggal 20 Januari 2015.

37 Heru Margianto, “77 jenezah Dimakamkan Secara Masal”, diakses dari http://properti.kompas.com/read/2010/11/07/15200950/77.Jenazah.Dimakamkam.secara.Mass a tanggal 21 Januari 2015 . \

38 Pito Agustin Rudiana, “Korban Tewas Merapi Capai 29 Orang”, 2010, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2010/10/27/177287618/Korban-Tewas-Merapi-Capai-29-Orang tanggal 22 Januari 2015.

48

Page 46: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Kegiatan identifikasi dilaksanakan setiap hari mulai tanggal 13 Oktober

2002 mulai pukul 08.00 hingga 18.00 WITA bertempat di Rumah Sakit Sanglah,

Denpasar, Bali. Kegiatan post mortem dilakukan dengan cara sederhana, yaitu

dengan mengenali kepemilikan korban, pakaian, kartu identitas, serta perhiasan

yang melekat pada korban bencana. Walaupun pada cara sederhana sangat sulit

dilakukan pada korban dikarenakan tubuh korban banyak yang telah terpisah-

pisah. Hasil dari pemeriksaan sederhana ini akan dipastikan dengan metode ilmiah

seperti sidik jari, data gigi, serologi dan DNA. Dalam bencana Bom Bali, data

post mortem banyak didukung, sehingga memudahkan tim identifikasi. Proses

identifikasi dilakukan dengan pemeriksaan sidik jari pada korban Bencana Bom

Bali 1.

Banyaknya korban warga negara asing menyebabkan identifikasi korban

melalui data gigi merupakan metode yang paling berhasil dibandingkan dengan

sidik jari. Untuk warga negara Indonesia, metode identifikasi banyak dilakukan

dengan pemeriksaan DNA, karena masih kurangnya kesadaran warga negara

Indonesia akan pentingnya data gigi. Pada kasus Bom Bali, korban yang

teridentifikasi berdasarkan data gigi-geligi mencapai 60%. Korban meninggal

seluruhnya adalah 184 orang, yang terdiri dari berbagai warga negara dan yang

telah melapor adalah Indonesia, Australia (terbanyak), Belanda, Denmark, Jepang,

Taiwan, Korea, Belanda, Inggris, dan Amerika.

Pada proses post-mortem di Tsunami di Aceh dilakukan dengan metode

visual sederhana dalam beberapa hari pertama. Namun banyaknya jenazah yang

ditemukan tidak memungkinkan untuk melakukan metode visual untuk semua

korban bencana atau menyimpan mayat untuk identifikasi nanti. Tim identifikasi

berhasil mengidentifikasi bencana lebih dari 500 korban dengan menggunakan

barang pribadi seperti kartu identitas dan perhiasan dan bahkan menggunakan

kartu SIM telepon seluler.39 Proses Identifikasi adalah tahap pertama dari

manajemen mayat. Jenazah dibawa ke beberapa lokasi, dan kerabat tidak tahu di

mana anggota keluarga mereka telah diambil. Dokter, staf medis, dan spesialis

forensik yang terlibat dalam sertifikasi kematian dan mengumpulkan data post-

mortem.

49

Page 47: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Bentuk paling sederhana dari identifikasi korban tsunami dengan cara

visual. Dengan tidak adanya cold storage, perlu dilakukan dengan cepat. Setelah

24-48 jam tanpa pendinginan, gas mulai terbentuk di dalam tubuh, pembengkakan

wajah dan bibir dan memaksa lidah keluar dari mulut, membuat identifikasi visual

tidak dapat diandalkan. Epidermis terlepas dari tubuh, membuat kulit un-

pigmented, memberikan penampilan mayat putih, bahkan pada orang yang

berkulit gelap. Selanjutnya, sementara identifikasi visual relatif sederhana, maka

akan mengakibatkan beberapa kesalahan identifikasi. Cedera pada tubuh, atau

adanya darah, cairan, atau kotoran, terutama di sekitar kepala, akan mengurangi

kemungkinan pengakuan yang benar.

Proses mengidentifikasi jenazah tidaklah mudah. Tugas ini dilakukan oleh

tim Disaster Victim Identification (DVI) dan Laboratorium Forensik. Dalam

bencana longsor Banjarnegara, tim gabungan ini berasal dari Polda Jawa Tengah

dan Polres Banyumas. Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jateng

membuka Posko Post Mortem di dekat lokasi longsor Dukuh Jemblung, Desa

Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di

Pos Mortem, tim mengidentifikasi jasad yang sudah mati, mulai dari pencatatan

soal rambut, tinggi badan, ciri fisik, luka, dan pemeriksaan lainnya. Jenazah yang

membusuk, masih tetap bisa diidentifikasi ketika masih ada jasadnya. Jika tidak

ada warga yang mengenali, langkah terakhir yang dilakukan tes DNA.

39 Olever W. Morgan, “Mass Fatality Management following the South Asian Tsunami Disaster: Case Studies in Thailand, Indonesia, and Sri Lanka”, PLoS Med. Jun 2006; 3(6): 195.

Data itu terdiri atas ciri-ciri fisik, seperti gigi, sidik jari, tanda lahir,

maupun properti atau pakaian yang terakhir digunakan setelah/sebelum

50

Page 48: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

dinyatakan meninggal/hilang. Unit DVI didirikan dengan bantuan sebuah tenda di

posko utama evakuasi yang berada di Desa Sampang. Untuk unit postmortem, tim

mengidentifikasi jasad, mulai pencatatan soal rambut, tinggi badan, ciri fisik,

luka, dan pemeriksaan lain. Selanjutnya data yang diperoleh dari posko post

mortem diisi dalam formulir DVI Post Mortem berwarna pink.

Setelah semua proses dilakukan maka tim akan melakukan pencocokan

dengan data ante mortem yang didapat. Jika dari hasil tersebut didapatkan

kecocokan data makan akan dilakukan tahap selanjutnya yaitu tahap rekonsiliasi

untuk memastikan apakah identitas tersebut benar-benar adalah korban.

C. Fase Ante Mortem

Prosedur antemortem dilakukan untuk memperoleh setiap

informasi/keterangan yang diperoleh dari keluarga, teman, atau dokter/ tenaga

medis dari diduga korban atau orang yang hilang dan dapat membantu dalam

identifikasi, yang akan diperbandingkan dengan informasi yang diperoleh dari

korban meninggal pada area bencana. Data antemortem harus diperoleh selengkap

mungkin untuk mempermudah proses rekonsiliasi. Data yang dapat diperoleh

pada prosedur antemortem diantara identitas dan data kepemilikan korban atau

orang yang hilang, pakaian terakhir yang dikenakan oleh korban, barang pribadi

dan perhiasaan yang digunakan oleh korban, keterangan fisik dan ciri fisik khusus

korban, sketsa tubuh, sidik jari, keadaan medis, sidik DNA, dan data gigi geligi.

Data sidik jari korban antemortem dapat diperoleh dari pihak berwenang

(kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.

Apabila tidak ada sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah

dari keluarga korban. Pemeriksaan gigi geligi cukup akurat dalam

mengidentifikasi korban.

Pada kasus longsor di banjarnegara tahun 2014, posko penanggulangan

bencana dilakukan di posko utama evakuasi yang terdapat di Desa Sampang.

Posko terbagi menjadi dua yaitu pos postmortem dan pos antemortem. Pos

antemortem berfokus pada pendataan korban hilang secara lengkap yang

diperoleh dari korban selamat pada bencana ini dan kantor pemerintahan setempat

untuk memperoleh identitas penduduk di daerah tersebut.40 Pada kasus bom bali I

51

Page 49: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

pada tahun 2002, tim identifikasi dibentuk dan terdiri atas Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Polisi Federal Australia, Interpol Australia, ahli forensik dan

para sukarelawan.

kasus ini, terdapat kesulitan dalam mengumpulkan data antemortem

terutama milik warga negara Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan

pengumpulan data antemortem korban bom asal Australia yang dapat

dikumpulkan secara lengkap dalam waktu 10 hari. Keterbatasan pada identifikasi

korban asal Indonesia disebabkan oleh kurangnya data gigi geligi korban. Akibat

kurangnya data pemeriksaan gigi korban asal Indonesia, maka proses identifikasi

sebagian besar dilakukan berdasarkan pemeriksaan visual oleh kelurga korban.41

Prosedur antemortem pada kasus ini dilakukan di RSUP Sanglah. Pada

Kasus bencana tsunami di Aceh tahun 2004, terdapat kesulitan dalam

mengumpulkan data identitas korban secara lengkap. Pada bencana tsunami ini,

data rekam medis, data gigi geligi, dan kartu identitas korban yang kurang dan

sebagian besar telah hilang terbawa akibat terjangan air laut, sehingga sebagian

data antemortem korban hanya diperoleh dari kesaksian orang terdekat dari

korban. Selain itu, posko antemortem pada bencana ini tidak terfokus di satu

tempat akibat luasnya wilayah bencana tersebut.42

40 Hidayat M.A., Royanto D, “Polisi: Korban Longsor dari Luar Banjarnegara Sulit Diidentifikasi”, 2014, diakses dari http:// m.news.viva.co.id/news/read/568714-polisi-korban-longsor-dari-luar-banjarnegara-sulit-diidentifikas tanggal 22 Januari 2015.

41 Sahelangi P, Novita M, “Role of Dentists in Indonesian Disaster Victim Identification Operations: Religious and Cultural Aspects. Journal of Forensic Odontostomatology”, 2012, 30(1);60-71.

42 Soedarsono N., Untoro E., Quendangen A.R., Atmadja D.S., “The Role of Forensic Odontology in Personal Identification: Indonesia Perspective”, 2008, 1(1):21-5.

52

Page 50: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Dari beberapa contoh kasus bencana ini, dapat dikatakan proses pengumpulan

data antemortem sangat kompleks untuk dilakukan. Semakinbanyak data yang

diperoleh, maka semakin mudah identifikasi dilakukan. Namun salah satu data

antemortem yaitu data pemeriksaan gigi geligi sulit didapatkan pada penduduk

Indonesia karena rendahnya angka kunjungan ke dokter gigi.

D. Fase Rekonsiliasi

Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, terjadi ledakan bom di Paddy’s Cafe

dan Sari Club di kawasan Legian, Kuta, Bali. 202 orang tewas, 164 orang di

antaranya warga asing dari 24 negara, 38 orang lainnya warga Indonesia 209

orang mengalami luka-luka. 43 Dampak kerusakan hingga radius satu kilometer

dari pusat ledakan. Proses identifikasi dari korban dilakukan oleh tim DVI

dengan personel dari berbagai negara, dari Indonesia, terdiri dari Pusdokkes Polri,

Disdokkes Polda Metro Jaya, Disdokkes Polda Jateng, Disdokkes Polda Jatim,

Disdokkes Polda Bali, Disdokkes Polda Sulsel, Depkes RI. 44

Ahli Odontologi Forensik Polri, Drg. Sindhy R. Malingkas

mengungkapkan, sebanyak 113 orang atau 56,5 persen dari 202 korban meninggal

dunia pada kasus Bom Bali 2002, berhasil diidentifikasi melalui gigi. Data yang

dimaksud, yaitu berupa data gigi ante mortem Aspek gigi menjadi salah satu

hambatan di dalam pelaksanaan proses DVI di Indonesia, untuk pelaksanaan fase

rekonsiliasi melalui data post mortem melalui gigi, tidak ada data ante mortem

pembanding yang dapat dijadikan acuan, karena hampir seluruh penduduk

Indonesia belum memiliki catatan data gigi ante mortem.

43 Museum POLRI, “Penegakan Hukum Bom Bali 1 dan 2”, 2002, diakses dari http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom-bali.html tanggal 23 Januari 2015.

44 Maulvi Nazir, Identifikasi Pada Kasus Bom Bali 2002, 2002, diakses dari http://www.scribd.com/doc/167674475/Identifikasi-Pada-Kasus-Bom-Bali2002#scribd tanggal 23 Januari 2015.

53

Page 51: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Anggota Komite DVI Nasional itu mengatakan, ketika dilakukan

indentifikasi bagi korban bencana di Indonesia, data post mortem gigi yang telah

terkumpul tidak dapat dibandingkan karena kurangnya data ante mortem gigi.

Selain itu, tempurung kepala dan menggali informasi yang berharga dari anggota

keluarga korban, juga sangat penting untuk keperluan indentifikasi.

Di samping belum adanya catatan data gigi ante mortem penduduk Indonesia,

kendala lain dari upaya identifikasi juga disebabkan oleh belum dimilikinya suatu

standar operasi prosedur (SOP) yang baku dalam bidang penanganan pemeriksaan

kedokteran gigi forensik pada operasi DVI.

Letusan gunung berapi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010,

mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas. Semua korban tewas proses

identifikasi, rekonsiliasinya berpusat di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Korban

tewas terbanyak adalah warga Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Mereka tewas akibat terkena awan panas Gunung Merapi yang menyembur pada

Jumat pukul 01.00 dini hari. Tim DVI Polda DIY melakukan proses identifikasi

terhadap para korban bersama Tim Forensik RS Sardjito. Dilakukan proses

rekonsiliasi di RS Sardjito untuk mencocokkan data post mortem dan ante mortem

yang telah dikumpulkan dari korban dan keluarga korban letusan gunung

merapi.45

Umumnya, korban yang terkena awan panas atau wedhus gembel  tersebut

berada pada jarak 8 km dari puncak Gunung Merapi. BNPB mengumumkan,

peringatan zona aman yang tadinya berada dalam radius 15 kilometer ditingkatkan

menjadi 20 kilometer. Warga yang berada dalam radius 15 kilometer diminta

segera meninggalkan lokasi dan mencari tempat yang lebih aman.

45 Ruslan Burhani, “Ahli: 113 Korban Bom Bali Diidentifikasi Melalui Gigi”, 2010, diakses dari http://www.antaranews.com/berita/188746/ahli-113-korban-bom-bali-diindentifikasi-melalui-gigi tanggal 23 Januari 2015.

54

Page 52: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Lokasi pengungsian sementara di Kab. Sleman antara lain adalah : Stadion

Maguwoharjo, Gelanggang UGM, STIE YKPN, SMA Stela Duce, UPN, Condong

Catur. Sedangkan di Kab. Boyolali berada di gelanggang olah raga, sekolah-

sekolah dan fasilitas umum lainnya. Di Magelang, lokasi pengungsian disediakan

di Kantor Bakorwil dan Kantor Bupati Magelang. Sementara itu, di Klaten berada

di GOR, kantor-kantor pemerintah, dan sekolah-sekolah, kantor Bupati dan kantor

DPRD setempat.

Tsunami yang terjadi di Aceh, pada tanggal 26 Desember 2004, dengan

korban mencapai 167,000 jiwa. Korban yang selamat kehilangan tempat tinggal,

bahkan masjid Baiturrahman menjadi tempat pengungsian sementara karena

merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak dibanding bangunan

disekitarnya. Tsunami yang terjadi di Thailand banyak didatangi oleh tim DVI

dari berbagai negara, sementara di Aceh, yang lebih banyak datang dari luar

negeri adalah tim medis, untuk membantu menangani kesehatan ratusan ribu

pengungsi yang tidak memiliki tempat tinggal, dan dikelilingi oleh tumpukan

jenazah yang mulai membusuk.

Tim rekonsiliasi DVI yang terdiri dari Indonesia dan negara-negara lain

dengan segera membandingkan data post mortem dan ante mortem yang telah

didapat, untuk segera mencocokkan jenazah tersebut, dan mengembalikan jenazah

kepada keluarga korban. Belum lagi masalah pembusukan dari ratusan ribu

jenazah yang harus segera dikebumikan sebelum membawa penyakit kepada

korban hidup yang sudah tidak memiliki lagi tempat hidup yang layak.

Pada 12 Desember 2014 pukul 17.00 WIB tiba-tiba terjadi longsor di

Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten

Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah. Tim Satwa atau unit K9 Baharkam Polri

diterjunkan beserta empat anjing pelacak untuk pencarian korban yang dinyatakan

hilang, namun, karena medan yang ada tertutup air dan lumpur,  menyulitkan

penginderaan anjing pelacak. Serta kendaraan untuk melakukan pencarian korban

longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kec Karangkobar, Kab

Banjarnegara, Jawa Tengah. Polri juga menerjunkan Tim Disaster Victim

Identification (DVI) Polda Jawa Tengah, sementara DVI Mabes Polri sifatnya

55

Page 53: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

menungu, karena korban masih bisa dikenali. Jadi, tim DVI Polri masih

menunggu perkembangan dari DVI Jateng.46

Jenazah dievakuasi petugas SAR gabungan, kemudian dibawa ke Posko

Pemulasaran Jenazah dan Posko Post Mortem Disaster Victim Identification

(DVI) Polda Jateng. proses identifikasi jenazah dilakukan dengan keluarga yang

mengaku kehilangan anggota keluarganya melihat langsung korban disertai

dengan ciri-ciri lainnya. Sebagian jenazah dievakuasi ke Posko Post Mortem DVI,

sementara pihak keluarga yang kehilangan melapor ke Posko Ante Mortem DVI.

Data dari kedua posko ini kemudian disatukan dan dicocokkan oleh tim

rekonsiliasi, tim inilah yang akan menentukan seseorang itu telah jelas

teridentifikasi atau belum.47

46 Edward Gabe, “Identifikasi Korban Longsor Banjanegara, POLDA Jateng Turunkan Polda DVI”,2014,http://kronosnews.com/berita/681identifikasi_korban_longsor_banjarnegara_polda_jateng_turunkan_tim_dvi tanggal 21 Januari 2015.

47 Eka Setiawan, “Korban Tewas Akibat Longsor Banjarnegara Jadi 42 Orang”, 2014, diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/937212/22/korban-tewas-akibat-longsor-banjarnegara-jadi-42-orang-1418565513 tanggal 21 Januari 2015.

Bencana Tertutup

A. Fase Olah Tempat Kejadian Perkara

AirAsia QZ8501 hilang dalam penerbangan dari Surabaya menuju

Singapura pada tanggal 28 Desember 2014 dengan membawa 155 penumpang

sebanyak 138 penumpang dewasa, 16 anak dan satu bayi, 2 pilot, 4 awak kabin

dan 1 teknisi. Pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak dan diperkirakan hilang di

perairan antara Kalimantan dan Belitung dengan kontak terakhir sekitar pukul

06.17 WIB. Pencarian intensif akan dilakukan di Pulau Belitung yang

diperkirakan berada dekat dengan titik pantauan radar terakhir pesawat AirAsia

56

Page 54: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

itu. Wilayah pencarian antara lain di Pulau Nangka, Pulau Meranai, dan Pulau

Pesemut dengan luas area pencarian 233,35 kilometer.48

Pada tanggal 29 desember 2014 pencarian diperluas di 13 area ke arah

selatan di pesisir timur Belitung. Posko pencarian di Kabupaten Belitung Timur

terpusat di Pos TNI AL Manggar, Kecamatan Manggar. Dari enam sektor

tambahan itu, dua sektor di antaranya berada di daratan wilayah bagian barat

Kalimantan Barat dan dua di selatan Pulau Belitung. Menurut Soelistyo, pihaknya

menambah wilayah pencarian karena di wilayah pencarian yang ada belum

ditemukan tanda-tanda keberadaan pesawat. Untuk menentukan luas wilayah

pencarian, Basarnas mempertimbangkan setidaknya arah angin dan arah arus laut.

Setelah tiga hari pencarian, Tim pencari berhasil menemukan serpihan dan

beberapa jenazah yang diduga korban pesawat Air Asia QZ8501. Seluruh

penemuan objek mengapung di Selat Karimata, baik Jenazah, pelampung, koper,

maupun serpihan merupakan hasil penyisiran pesawat CN C295 dan Hercules

C130.49

48 Anonim, “Basarnas Terus Koordinasikan Pencarian Pesawat AirAsia”, 2014, diakses http://www.tribunnews.com tanggal 21 Januari 2015.

49 Anonim, “Pencarian AirAsia QZ8501 di 13 Area”, 2014, diakses dari http://wikidpr.org tanggal 21 Januari 2015.

501

57

Gambar 16: Sketsa Area Pencarrian pesawat AirAsia QZ 8501 yang hilang pada saat melkukan penerbangan rute Surabaya-Singapura

Page 55: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Satu persatu tubuh jenazah penumpang dan kru pesawat AirAsia QZ8501

tiba di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Imanuddin, Pangkalan Bun,

Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pengangkutan jenazah dari selat

Karimata dilakukan oleh helikopter Sea Hawk Amerika, helikopter Super Puma

Cougar milik Singapura, KRI Bung Tomo, Helikopter milik US Navy Seahawk,

Kapal Onami dari Jepang dan Kapal Persistence.50

50 Norjani, “Kondisi jenazah korban AirAsia sudah sulit dikenali”, 2015, diakses dari http://www.antaranews.com tanggal 21 januari 2015.

AKBP dr. Sumy Hastry Purwanti, Sp.F bersama Kompol dr. Edi

Syahputra Hasibuan, Sp.KF, MHKes adalah dokter forensik yang diminta terjun

bersama tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri dalam menangani proses

identifikasi awal jenazah kru dan penumpang pesawat AirAsia QZ8501. Setiap

jenazah yang ditemukan tim SAR gabungan, akan transit terlebih dahulu ke

RSUD Imanuddin sebelum dikirim ke Surabaya, Jawa Timur. Beberapa jenazah

itu harus disimpan sementara di cold storage yang ada di RS tersebut.

58

Gambar 17 : Pesawat AirAsia merupakan pesawat tipe airbus yang sedang melakukan penerangan menuju ketempat tujuan.

Page 56: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Tim DVI di RSUD Sultan Imanuddin hanya mendata jenis kelamin dan

properti yang masih melekat di tubuh jenazah. Pihaknya bahkan tidak dibenarkan

membersihkan jenazah karena dinilai bisa menghilangkan tanda-tanda yang bisa

membantu proses identifikasi. Agar menjaga jenazah tetap awet, proses yang

dilakukan adalah dengan cara pendinginan, bukan dengan menggunakan formalin.

Sampai saat ini tanggal 20 Januari 2015 sudah 53 jenazah yang ditemukan dan

pencarian jenazah masih terus dilakukan.

59

Gambar19 : Gambar : Proses Evakuasi Ekor Pesawat Airasia QZ 8501 yang telah berhasil diangkat dari dasar selat karimata

Gambar 18: Tim DVI Indonesia yang diturunkan di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah bertugas untuk melakukan tugas sebagai pra-identifikasi korban bencana AirAsia QZ 8501

Page 57: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

50 Simon Hradecky, "Crash: Sukhoi SU95 over Indonesia on May 9th 2012, aircraft missing". The Aviation Herald, diakses 22 januari 2014.

SSJ-100 lepas landas dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma untuk

sebuah penerbangan demonstrasi lokal yang dijadwalkan mendarat kembali ke

titik awal keberangkatan. Dalam pesawat terdapat 6 orang awak kabin, 2 orang

perwakilan dari Sukhoi, dan 37 orang penumpang. Penerbangan tersebut adalah

demonstrasi yang kedua pada hari itu. Sebuah pencarian di darat dan udara untuk

pencarian pesawat ini dimulai, tapi dibatalkan karena malam tiba. Pada tanggal 10

Mei pukul 09:00 WIB, reruntuhan Superjet Sukhoi ditemukan di Gunung Salak

(6°42′35″LU 106°44′3″BT ), pada ketinggian 1.500 meter. Hal yang diketahui

hanya bahwa pesawat terbang searah jarum jam menuju Jakarta sebelum

menabrak Gunung Salak. Laporan awal menunjukkan bahwa pesawat menabrak

tepi tebing di ketinggian 6,250 feet (1,900 m), meluncur menuruni lereng dan

berhenti di ketinggian 5,300 feet (1,600 m). Pesawat ini muncul relatif utuh dari

60

Gambar 20: Badan Pesawat Airasia QZ 5801 dari dasar Laut Jawa pada tanggal 14 Januari 2014

Page 58: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

udara, bagaimanapun, telah mengalami kerusakan besar, dan tidak ada tanda

korban selamat.

Tim Disaster Victim Identification (DVI) dibagi dalam tiga kelompok di

antaranya di Halim Perdanakusumah untuk ante mortem, tim di lokasi jatuhnya

pesawat, dan di RS Polri.52 Beberapa kelompok dari personil penyelamat berusaha

mencapai reruntuhan dengan berjalan kaki. Sejumlah jenazah korban kecelakaan

pesawat SSJ-100 yang ditemukan tim SAR gabungan, sudah tidak dalam keadaan

utuh lagi. Jenazah-jenazah tersebut ditemukan di ketinggian 2.005 Mdpl di lokasi

jatuhnya pesawat di Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.Kondisi jenazah korban

kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 sudah tak utuh lagi.53 Ada yang hancur,

hangus atau gosong karena terbakar, sehingga tak bisa dikenali lagi. Untuk

mempercepat evakuasi, kantong jenazah diangkut melalui udara dan diangkut

menggnakan jaring.

51 CNN, “Rusian plane missing in Indonesia”, 2012, diakses dari "Russian plane missing in Indonesia" tanggal 22 Januari 2015.

52 BBC News (BBC), “Indonesia searchers find missing Russia jet wreckage”, 2012, diakses dari "Indonesia searchers find missing Russia jet wreckage" tanggal 22 Januari 2015.

61

Gambar 21: Lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak – jawa Barat saat melakukan uji coba penerbang dari bandara Halim Perdana Kusuma pada tanggal 9 Mei 2012.

Page 59: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Kondisi lokasi yang kecelakaan yang sangat sulit membuat tim evakuasi

kemudian menggunakan jaring yang diturunkan pakai tali dari helikopter, untuk

mengangkut potongan-potongan tubuh yang sudah dimasukan dalam kantong

jenazah. Berdasarkan pantauan di RS Polri, kantong-kantong jenazah, baik yang

telah diidentifikasi maupun belum diproses, telah dipindahkan ke Freezer raksasa

itu. Freezer raksasa itu dijadikan tempat penyimpanan kantong jenazah korban

pesawat Sukhoi yang jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, yang diterima

oleh RS Polri. Freezer juga dipakai untuk menyimpan hasil Post Mortem atau

hasil identifikasi korban agar lebih awet.54 Sejak 18 Mei lalu, evakuasi korban

pesawat Sukhoi dihentikan, tetapi tim SAR di daerah melakukan pencarian FDR

untuk kepentingan penyelidikan penyebab kecelakaan.

53 Anonim, “Potongan Tubuh Jenazah ‘Korban Sukhoi’ Berserakan”, 2012, diakses dari http://kabarnet.in tanggal 22 Januari 2015

54 Salmah Muslimah, “AirAsia Ditemukan, DVI Siapkan Posko Postmortem di RS Bhayangkara Surabaya”, 2014, (http://news.detik.com/read/2014/12/30/143506/2790141/10/dvi-siapkan-posko-postmortem-di-rs-bhayangkara-surabaya) diakses tanggal 21 Januari 2015.

62

Gambar 22: Proses Evakuasi Korban Jatuhnya Pesawat Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak Provinsi Jawa Barat

Page 60: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

B. Fase Post Mortem

Fase post-mortem pada kecelakaan pesawat AirAsia dengan nomor

penerbangan QZ8501 dilakukan oleh tim DVI POLRI di Rumah Sakit

Bhayangkara, Polda Jawa Timur, Surabaya. Fase post-mortem hanya dilakukan di

satu tempat, yaitu RS Bhayangkara Surabaya karena dekat dengan keluarga

korban, sehingga dapat mempermudah Tim DVI untuk mengumpulkan data dan

mencocokkan data. Setelah proses identifikasi selesai, jenazah dapat langsung

dikembalikan ke keluarganya. Untuk proses post-mortem telah disiapkan dua

buah kontainer pendingin untuk menyimpan jenazah dan sebuah kamar jenazah di

lapangan RS Bhayangkara Surabaya.55 Penyimpanan jenazah di kontainer pada

lingkungan dingin bertujuan untuk mencegah perubahan-perubahan pasca

kematian pada jenazah, dalam hal ini untuk memperlambat pembusukan lebih

lanjut. Fase post-mortem pada kasus ini berlangsung bersamaan dengan fase

pertama dan fase ketiga.

55 Syaiful Islam, “12 Jenazah AirAsia Rampung Lakukan Identifikasi Postmortem”, 2015, (http://news.okezone.com/read/2015/01/05/337/1087734/12-jenazah-airasia-rampung-lakukan-identifikasi-postmortem) diakses tanggal 21 Januari 2015.

Sebanyak 12 jenazah telah selesai diidentifikasi pada hari Minggu, 4

Januari 2015 pukul 18.00 WIB dengan cara identifikasi primer, yaitu

menggunakan sampel DNA.56 Pemeriksaan DNA digunakan terutama mengingat

kondisi jenazah yang sulit diidentifikasi menggunakan sidik jari. Bagian gigi

merupakan salah satu pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mencari tahu identitas

korban. Data gigi-geligi diperlukan untuk mengidentifikasi, karena semua

manusia tidak sama karakter, bentuk, jenis gigi, dan rekam medis lainnya seputar

gigi. Namun pemeriksaan profil gigi sulit diterapkan dalam proses identifikasi

jenazah yang merupakan warga negara Indonesia, karena data profil gigi di

Indonesia yang belum memadai.

63

Page 61: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

56 Dhemas Reviyanto, “Kisah Pengumpul Puzzle Korban Sukhoi”, 2012, diakses: (http://www.tempo.co/read/news/2012/05/28/078406574/Kisah-Pengumpul-Puzzle-Korban-Sukhoi) diakses tanggal 21 Januari 2015.

Sebanyak 12 jenazah telah selesai diidentifikasi pada hari Minggu, 4

Januari 2015 pukul 18.00 WIB dengan cara identifikasi primer, yaitu

menggunakan sampel DNA.57 Pemeriksaan DNA digunakan terutama mengingat

kondisi jenazah yang sulit diidentifikasi menggunakan sidik jari. Bagian gigi

merupakan salah satu pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mencari tahu identitas

korban. Data gigi-geligi diperlukan untuk mengidentifikasi, karena semua

manusia tidak sama karakter, bentuk, jenis gigi, dan rekam medis lainnya seputar

gigi. Namun pemeriksaan profil gigi sulit diterapkan dalam proses identifikasi

jenazah yang merupakan warga negara Indonesia, karena data profil gigi di

Indonesia yang belum memadai.

64

Gambar 23: Proses Pemindahan Jenazah AirAisa dai ambulance ke kontainer pendingin jenazah Oleh Tim DVI Polisi Daerah Jawa Timur

Page 62: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Proses identifikasi korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100

dilakukan oleh bagian Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi

Universitas Gadjah Mada, Rusyad Adi Suriyanto dan Etty Indriati, Delta Bayu

Murti, serta Toetik Koesbardiati, Lektor Kepala di Departemen Antropologi FISIP

Universitas Airlangga atas permintaan Direktur Eksekutif Komite Disaster Victim

Identification (DVI) Indonesia, Anton Castilani. Fase post-mortem kasus ini

dilakukan di Rumah Sakit POLRI, Kramat Jati, Jakarta.58

Kondisi jenazah sangat mengenaskan, ada yang masih memiliki badan,

tetapi kepala, tangan, dan kakinya terpisah. Jenazah korban juga sudah dimakan

belatung. Hal lain yang mempersulit proses identifikasi adalah medan yang berat,

cuaca TKP yang tak menentu, yang membuat jasad rusak dan dimakan belatung.

58 Anonim, “Seluruh Korban Sukhoi Teridentifikasi”, 2012, Diakses:

(http://news.liputan6.com/read/403293/seluruh-korban-sukhoi-teridentifikasi)

diakses tanggal 21 Januari 2015.

Dalam fase post-mortem, Tim DVI dibagi enam kelompok. Tiap

kelompok menerima satu atau dua kantong mayat. Isi kantong ditebar di meja dan

dicermati oleh tim gabungan forensik polisi dan militer, kedokteran forensik,

patologi forensik, dan odontologi forensik. Tugas tim adalah mengidentifikasi tiap

jenazah dan mengembalikan jenazah ke keluarga dengan sempurna. Data post

mortem yang dikumpulkan adalah DNA, rekam gigi, tanda-tanda medik, dan

properti. Selain itu dilakukan pengamatan potongan tubuh, termasuk

membersihkan belatung, tanah dan lumpur yang menyatu dengan kerangka tulang

tubuh korban. Dari rekam gigi, banyak korban yang bisa diidentifikasi lebih cepat

dari waktu yang dijanjikan Tim DVI. Hal ini dapat dijadikan pengalaman bahwa

rekam gigi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk proses identifikasi.

Terdapat dua tahap identifikasi yang dilakukan oleh Tim DVI. Tahap

pertama adalah probable match, yaitu kemungkinan dikenalinya bagian tubuh

jenazah korban berdasarkan atribut yang digunakannya. Tahap kedua adalah

possible match, yaitu dikenalinya bagian tubuh jenazah korban berdasarkan

65

Page 63: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

kecocokan data ante-mortem dengan post-mortem.59 Ada kemungkinan di antara

korban ada yang bertukar jaket dengan korban lainnya karena kondisi pesawat

sangat dingin. Sehingga proses identifikasi dan rekonstruksi tubuh korban ini

memerlukan ketelitian yang sangat tinggi.

57 Dea Chadiza Syafina, “Pesawat Sukhoi Jatuh, Identifikasi DVI Berdasarkan DNA dan Catatan Gigi”, 2012, Diakses: http://nasional.kontan.co.id/news/identifikasi-dvi-berdasarkan-dna-dan-catatan-gigi tanggal 21 Januari 2015 .

C. Fase Ante Mortem

Korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 di gunung salak

berjumlah 45 orang dengan 5 kewarganegaraan yang berbeda diantaranya adalah

Warga Negara Indonesia berjumlah 34 orang, Warga Negara Rusia 8 orang,

Warga Negara Amerika 1 orang, Warga Negara Italia 1 orang dan Warga Negara

Perancis 1 orang. Posko pengumpulan data Ante Mortem untuk kecelakaan

pesawat Sukhoi Superjet 100 ditempatkan di ruang kedatangan Landasan Udara

Halim Perdana Kusuma, Jakarta dan mulai dibuka sejak tanggal 9 Mei 2012 untuk

mengumpulkan data-data dasar mengenai keluarga korban. Kemudian Posko Ante

Mortem untuk kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 dilanjutkan di RS

Bhayangkara TK. I Said Sukanto Keramat Jati, Jakarta Timur.60 Data Ante

Mortem yang dikumpulkan oleh tim DVI untuk kecelakaan pesawat superjet 100

ini adalah data terdiri dari sidik jari, rekam medik dokter gigi, rekam medik

apabila yang bersangkutan pernah dioperasi, dan foto rontgen.61

66

Page 64: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Data sidik jari dikumpulkan oleh pihak keluarga dengan mengumpulkan

informasi dari KTP, Ijazah dan informasi yang bearasal dari kantor catatan sipil.

Selain itu, keluarga yang mengetahui langsung anggotanya ikut dalam pesawat

tersebut, wajib menyampaikan informasi kepada petugas mengenai properti yang

digunakan.Kemudian dikarenakan adanya warga negara asing yang juga menjadi

korban kecelakaan pesawat ini, maka tim DVI juga bekerja sama dengan pihak-

pihak asing untuk mengumpulkan data-data dan informasi dari kedutaan besar

dari masing-masing Negara.

60Fahmi Firdaus, “Mabes Polri Siapkan Posko Antemortem”, 2012, http://news.okezone.com/read/2012/05/10/501/626961/mabes-polri-siapkan-posko-antemortem, diakses tanggal 22 Januari 2015

61Satwika Movementi, dkk., “Polisi Minta Data Antemortem Penumpang Sukhoi”, 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/173402934/Polisi-Minta-Data-Antemortem-Penumpang-Sukhoi, diakses pada tanggal 22 Januari 2015

Posko pengumpulan data ante mortem untuk kecalakaan pesawat Air Asia

QZ 8501 berada di samping crisis center Bandara Juanda Sidoarjo, Posko sudah

mulai dibuka pada hari Minggu, tanggal 28 Desember 2014. Pendirian posko ini

dilakukan untuk, memberikan pelayanan medis dan psikologis terhadap keluarga

maupun kerabat dari penumpang pesawat air asia QZ-8501 yang hilang kontak

saat perjalanan menuju Singapura.62

Kemudian posko ante mortem berikutnya juga dibuka untuk kecalakaan

pesawat Air Asia QZ 8501 yang berada di RS. Bhayangkara H.S.Samsoeri

Mertojoso, Surabaya untuk mengumpulkan data-data Ante Mortem lainnya. Data-

data ante mortem yang dikumpulkan oleh tim DVI antemortem yakni menyiapkan

data orang seperti rekam medis, sidik jari, DNA, termasuk ciri-ciri seperti tahi

lalat, tato dan tanda-tanda khusus di tubuh lainnya.63 DVI mendapat bantuan dari

Interpol untuk mendapatkan data ante mortem co pilot Air Asia, Remi Emanuel

Plesel yang merupakan warga negara Prancis. Tim DVI sebelumnya sempat

67

Page 65: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

kesulitan mendapatkan data tersebut karena keluarga Remi berada di Kepulauan

Karibia.64

62 Edwin Satriyo, dkk., “Tim DVI Mulai Bangun Posko Ante Mortem”, 2015, http://www.indosiar.com/fokus/tim-dvi-mulai-bangun-posko-ante-mortem_122144.html, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

63 Bilal Ramadhan, dkk., “Data Ante Mortem Korban Air Asia QZ8501 Sudah Lengkap”, 2015, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/05/nhpml4-data-ante-mortem-korban-air-asia-qz-8501-sudah-lengkap, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

D. Fase Empat Rekonsiliasi

Jumlah korban pesawat AirAsia QZ8501yang jatuh pada hari Minggu

tanggal 28 Desember 2014 adalah sebanyak 162 orang yang terdiri dari 155

penumpang dan tujuh awak pesawat. Saat ini Tim DVI  menemui kesulitan dalam

proses identifikasi korban karena proses pembusukan jenazah menyulitkan

pengidentifikasian jenazah.65

Fase empat adalah rekonsiliasi, yaitu sidang yang dilakukan untuk

membandingkan data ante mortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah

teridentifikasi. Tim DVI yang ketiga yaitu tim rekonsiliasi dimana tim ini yang

akan menentukan kecocokan antara data ante mortem dari keluarga korban dan

data post mortem dari jenazah. Jika terjadi matching minimal satu data primer

baik dari sidik jari, sampel DNA maupun kesamaan gigi geligi, dan minimal dua

data skunder baik dari rekam medis data antropologi maupun properti. Dengan

68

Gambar 24: Posko Ante Mortem Biddokkes Polda Jawa Timur yang Terletak di RS Bhayangkara H.S.Samsoeri Mertojoso, Surabaya

Page 66: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

kesamaan data tersebut maka tim rekonsiliasi baru bisa menentukan identitas

jenazah.66

Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi

supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka

identifikasinya lemah. Saat sidang, argumentasi yang diberikan ilmuwan memiliki

dasar yakin, tidak yakin, dan kurang yakin. Hasil perdebatan dalam sidang inilah

yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

64 Darmadi Sasongko, “Tim DVI gandeng Interpol cari data antemortem Copilot AirAsia”, 2015, http://palingaktual.com/1324887/tim-dvi-gandeng-interpol-cari-data-antemortem-copilot-airasia/read/ diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

65 Satwika Movementi, dkk., “Polisi Minta Data Antemortem Penumpang Sukhoi”, 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/173402934/Polisi-Minta-Data-Antemortem-Penumpang-Sukhoi, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

66 Edwin Satriyo, dkk., “Tim DVI Mulai Bangun Posko Ante Mortem”, 2015, http://www.indosiar.com/fokus/tim-dvi-mulai-bangun-posko-ante-mortem_122144.html, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

Contoh hasil rekonsiliasi korban AirAsia yaitu Jenazah dengan label B047

bernama Kyung Hwa Lee, perempuan 34 tahun warga Negara Korea Selatan.

Berdasarkan data primer terjadi kesamaan ante mortem dan post mortem. Ada

temuan lain yaitu adanya tambalan gigi yang berbahan emas (gigi emas). Selain

itu juga terdapat kecocokan data sekunder data medis yaitu jenis kelamin dan usia,

serta properti yang sangat signifikan. Korban memakai maternity bra (BH orang

menyusui). BH yang bisa ditutup dan dibuka. Pihak  AirAsia juga memastikan

korban yang satu-satunya membawa bayi ini adalah bernama Kyung Hwa Lee.67

Hingga saat ini telah teridentifikasi 47 jenazah korban pesawat pesawat Airasia

QZ8501 yang berhasil diidentifikasi oleh Tim DVI Polda Jatim. 68

69

Page 67: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

Tim DVI telah melakukan evaluasi dan pengolahan data hasil

pemeriksaan post mortem jenazah korban kecelakaan pesawat Sukhoi. Data-data

dari pemeriksaan post mortem inilah yang akan direkonsiliasi dari data ante

mortem untuk mengidentifikasi jenazah korban.69 Untuk fase rekonsiliasi,

disiapkan 45 kantong mayat. Jadi, potongan A masuk ke kantong A dan

seterusnya. Jika sudah lengkap, bagian-bagian tubuh dibagi-bagi dalam kantong

jenazah dilanjutkan dengan proses rekonstruski sehingga bentuk tubuh aslinya

bisa terlihat.

Tim DVI bekerja keras bersama tim asal Rusia dan melibatkan para pakar

forensik dari berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas

Airlangga, Universitas Padjajaran, dan lainnya untuk menyelesaikan identifikasi

dari para korban. Proses identifikasi para korban kecelakaan pesawat penumpang

Sukhoi Superjet 100 oleh tim DVI Indonesia dinyatakan telah selesai. Tim DVI

menyatakan telah mengidentifikasi 45 korban dan dari jenis kelamin 31 laki-laki

dan 14 perempuan. Proses ini memakan waktu selama 12 hari. Untuk proses

identifikasi, tim Kepolisian menghabiskan dana sebesar Rp. 800 juta, yang

seluruhnya ditanggung oleh negara. Semuanya dinyatakan telah diidentifikasi

secara ilmiah dan tidak terbantahkan. Proses identifikasi ini didasarkan pada

pemeriksaan DNA, gigi, medik dan properti yang melekat.70

70

Gambar 25: Tim DVI melakukan rapat rekonsiliasi untuk mencocokan data antemortem dan postmortem

Page 68: BAB II Tinjauan Pustaka.docx

67 Bilal Ramadhan, dkk., “Data Ante Mortem Korban Air Asia QZ8501 Sudah Lengkap”, 2015, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/05/nhpml4-data-ante-mortem-korban-air-asia-qz-8501-sudah-lengkap, diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

68 Darmadi Sasongko, “Tim DVI gandeng Interpol cari data antemortem Copilot AirAsia”, 2015, http://palingaktual.com/1324887/tim-dvi-gandeng-interpol-cari-data-antemortem-copilot-airasia/read/ diakses pada Tanggal 22 Januari 2015.

69 Berita Satu, Minimal Butuh 2 Minggu Kenali DNA Jasad Sukhoi, 2012. (http://www.beritasatu.com/home/47759-minimal-butuh-2-minggu-kenali-dna-jasad-sukhoi.html) diakses tanggal 22 Januari 2015

70Angkasa Yudhistira, 45 Korban Sukhoi Teridentifikasi, 2012. (http://news.okezone.com/read/2012/05/20/501/632321/45-korban-sukhoi-teridentifikasi) diakses tanggal 22 Januari 2015

71