ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L)
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) dalam berbagai daerah dikenal dengan
nama yang bermacam-macam yaitu Eyobe(Enggono), Punaga (Minangkabau), Penago
(Lampung), Nyamplung (Melayu), Nyamplung (Jawa Tengah, Sunda), Camplong (Madura,
Bali), Mantan (Bima), Camplong (Timor), Dingkalreng (Sangir), Dongkalan (Mongondow),
Dungala (Gorontalo), Punaga (Makassar), Pude (Bugis), Hatan (Ambon), Fitako (Ternate).
Sedangkan dalam perdagangan umumnya dikenal sebagai nyamplung atau bintangur.
Taksonomi tanaman nyamplung menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calophyllum inophyllum L
Nama Umum : Nyamplung
Pohon, daun buah dan biji nyamplung disajikan pada Gambar 1. di bawah ini:
Gambar 1. Tanaman NyamplungSumber : Friday dan Okano (2006)
Tanaman nyamplung biasanya tumbuh disekitar aliran sungai ataupun dipinggiran
pantai dan mampu hidup dengan baik sampai dengan ketinggian 500 m. Ciri-ciri pohon
5
nyamplung adalah sebagai berikut, batang berkayu,bulat, dan bewrna coklat, bentuk
daun tunggal, bersilang berhadapan, bulat memanjang atau bulat telur, ujung tumpul,
pangkal membulat, tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 10-21 cm, lebar 6-11 cm
tangkai 1,5-2,5 cm, mempunyai bunga majemuk, berbentuk tandan, mempunyai buah
bulat seperti seperti peluru, diameter 2,5-3,5 cm, warna hijau, kering menjadi coklat,
bijinya berbentuk bulat, tebal, keras, warna coklat, pada intinya terdapat minyak
bewarna kuning, mempunyai perakaran tunggang serta tinggi pohon dapat mencapai 20
meter. Biji nyamplung dapat digunakan sebagai obat kudis, penerangan dan
penumbuhan ramput (Heyne, 1987)
Minyak nyamplung bewarna coklat kehijauan, kental, beraroma menyengat seperti
karamel dan beracun. Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak
jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat komponen-komponen tak tersabunkan
diantaranya alkohol lemak, sterol. Xanton, turunan kuomarin, kalofilat, isokalofilat,
isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat sebanyak 0,5-2%
yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Hadi (2009), asam lemak penyusun
minyak nyamplung dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Asam Lemak minyak nyamplung
No
.Jenis Asam Lemak Penyusunya
1. Asam Lemak Jenuh 29,415
- Asam Palmitat (C16:0) 14,318
- Asam Stearat (C18:0) 15,097
2. Asam Lemak Tidak Jenuh 70,325
- Asam Palmitoleat (C16:1) 0,406
- Asam Oleat (C18:1) 35,489
- Asam Linoleat (C18:2) 33,873
- Asam Linoleat (C18:3) 0,557
2.2 Surfaktan
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active
agent) yang mempunyai struktur bipolar, sehingga menyebabkan surfaktan cenderung berada
pada antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hydrogen seperti
minyak dan air ( Suryani et al.,2000). Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air
6
dan minyak. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul
surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak atau lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan
positif, negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik) merupakan rantai alkil yang
panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Gugus
hidrofilik antara lain gugus gidroksil (-OH), gugus karboksilat (-COOH), gugus sulfat (-
SO4Na), gugus sulfonat (-SO3Na), gugus amino (-NH2) sedangkan gugus lipofilik merupakan
gugus senyawa hidrokarbon baik jenuh maupun tidak jenuh (Martin, 1993). Struktur
surfaktan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur surfaktan a. gugus hidrofilik dan hidrofobik surfaktan, b. misel
surfaktan,
Surfaktan dibagi menjadi empat bagian penting dan digunakan secara meluas pada
hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah anionik, surfaktan
kationik,surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik ( Rieger dan Rhein, 1985). Diantaranya
adalah :
a. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya
mengandung muatan negatif. Contoh dari jenis surfaktan anionik adalah alkil benzena
sulfonat linier, Alkohol Sulfat, Alkohol Eter Sulfat,Natrium Laurel Eter Sulfat.
b. Surfaktan kationik
Surfaktan ini merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya mengandung
muatan positif. Surfaktan ini terionisasi dalam air serta bagian aktif pada permukaannya
adalah bagian kationnya. Contoh jenis surfaktan ini ammonium kuarterner.
7
c. Surfaktan nonionik
Surfaktan yang tidak terionisasi di dalam air adalah surfaktan nonionik yaitu surfaktan
dengan bagian aktif permukaanya tidak mengandung muatan apapun, contohnya alkohol
etoksilat,poliksietilen ( R-OCH2CH).
d. Surfaktan amfoterik
Surfaktan amfoterik dapat bersifat sebagai non ionik, kationik dan anionik di dalam
larutan. Surfaktan ini mengandung muatan negatif maupun muatan positif pada bagian aktif
pada permukaannya. Contohnya Sulfobetain (RN+(CH3)2CH2CH2SO3-.
Surfaktan sebgai bahan aktif dalam detergen memiliki fungsi tertentu dalam proses
pencucian. Surfaktan berfungsi untu menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam
peristiwa adsoprsi, pembentukan micelle dan deterjensi.
1. Penurunan Tegangan Permukaan
Menurut Martin (1993), Tegangan permukaan adalah gaya per satuan panjang yang harus
diberikan sejajar pada permukaan untuk mengimbangi tarikan ke dalam, dengan satuan
dyne/cm . Turunnya tegangan permukaan suatu larutan diakibatkan adanya penambahan
surfaktan dalam larutan tersebut.
2. Adsopsi
Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik menuju moekul
air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi kontradiktif terjadi karena
molekul surfaktan lebih memilih berada dalam permukaan cairan dimana orientasi gugus
lipofilik lebih jauh dari air. Efek molekul pada permukaan dikenal sebagai adsopsi dan
menjadi dasar untuk mengetahui perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini
adalah efek terhadap tegangan permukaan dapat terjadidalam waktu singkat (Hargreaves,
2003).
3. Pembentukan micelle
Molekul-molekul surfaktan akan membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut
micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Hal ini terjadi saat
konsentrasinya cukup tinggi. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya Van der
Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik.
Ilustrasi pembentukan micelle seperti pada Gambar 3. Pada kondisi tersebut surfaktan disebut
dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC,
tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada
saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan
8
tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan
Ramonousky,1998).
Gambar 3. Ilustrasi pembentukan miracelle (Hargreaves, 2003)
4. Deterjensi
Deterjensi adalah proses penghilangan kotoran dari suatu permukaan. Bagaimana
deterjen bekerja merupakan kajian yang kompleks karena melibatkan banyak fungsi bahan
yang berbeda, variasi substrat dan campuran berbagai jenis pengotor. Efeksifitas dalam
menurunkan tegangan antarmuka antara air, partikel pengotor dan substrat (permukaan bahan
yang dicuci) merupakan faktor penting agar proses wetting dapat diperoleh, sehingga sistem
surfaktan berhasil alam deterjensi (Hargreaves, 2003). Efek deterjensi pada surfaktan dapat
terjadi ketika molekul surfaktan memposisikan dalam adsorpsi pada antarmuka minyak-air,
antarmuka minyak-substrat dan antarmuka subtrat-air.
2.3 Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah proses mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau
lemak hewani dengan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol menghasilkan metil
atau etil ester asam lemak dan gliserol sebagai produk samping\. Reaksi transesterifikasi
merupakan reaksi bolak-balik yang relatif lambat. Cara untuk mempercepat jalannya reaksi
dan untuk meningkatkan hasil, maka dilakukan proses pengadukan yang baik, penambahan
katalis.. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan
dengan lambat (Mittlebatch,2004).
Katalis yang banyak digunakan adalah katalis basa namun katalis asam juga dapat
digunakan terutama dalam pada proses transesterifikasi adalah basa alkali, biasanya
digunakan Pada minyak nabati yang kadar asam bebasnya tinggi. Katalis basa dinilai lebih
baik dari katalis asam karena dengan katalis basa reaksi dapat berjalan pada suhu yang lebih
rendah bahkan pada suhu kamar. Katalis basa yang digunakan yaitu natrium hidroksida
(NaOH) atau Kalium hidroksida (KOH), karbonat, dan alkoksida dari natrium dan kalium
seperti natrium metoksida, etoksida, propoksida dan butoksida (Khan,2002). Katalis basa
9
yang digunakan terlebih dahulu direaksikan dengan alkohol (Setyadji, 2003). Berikut ini
mekanisme reaksi antara etanol dengan katalis KOH disajikan pada Gambar 4 .
Gambar 4 . Reaksi etanol dengan basa KOH
Sumber: Setyadi, dkk (2003)
Menurut Lele (2004), proses transesterifikasi dipengaruhi oleh bebrapa faktor
diantaranya waktu reaksi, suhu, kecepatan pengadukan konsentrasi katalis dan persentase
etanol terhadap minyak nabati. Persentase etanol perlu untuk diketahui karena etanol
berperan dalam pemutusan ikatan-ikatan molekul besar dengan rantai bercabang panjang
(trigliserida) menjadi molekul lebih kecil rantai lurus pendek (etil ester). Secara umum reaksi
transesterifikasi antara trigliserida dengan etanol menggunakan katalis KOH dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 5. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan etanol dengan katalis KOH (Setyadi dan Susianti, 2003)
2.4 Analisis Etil Ester
Etil ester yang dihasilkan pada proses transesterifikasi dari minyak biji nyamplung
selanjutnya dianalisis terlebih dahulu dengan ditentukan nilai dari bilangan asam dan
bilangan penyabunannya.
1. Bilangan penyabunan
Menurut Sudarmadji (1984), bilangan penyabunan didefinisikan sebagai jumlah mg
kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk mengikat asam lemak bebas untuk menyabunkan
ester dari 1 gram minyak. Besarnya bilangan penyabunan ini bergantung sama berat molekul
minyak. Minyak dengan bobot molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang
lebih tinggi daripada minyak yang bobot molekulnya tinggi. Bilangan penyabunan dapat
10
dipergunakan untuk menentukan berat molekul minyak dan lemak secara kasar. Minyak yang
disusun oleh asam lemak berantai karbon pendek berarti mempunyai berat molekul relative
kecil akan mempunyai angka penyabunan yang besar dan sebaliknya minyak dengan berat
molekul besar mempunyai angka penyabunan relatif kecil.
1. Bilangan asam
Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah kalium hidroksida yang dibutuhkan
untuk netralisasi asam bebas yang terdapat dalam 1 gram senyawa (Sudarmadji, 1984)..
Bilangan asam dilakukan untuk menentukan banyaknya asam lemak bebas dalam minyak
atau lemak.
1. Bilangan ester
Bilangan ester adalah bilangan yang menyatakan berapa miligram KOH yang
diperlukan untuk menyabunkan ester yang ada dalam 1 gram minyak/lemak. Tujuannya yaitu
untuk menghitung gliserol yang teresterkan (Sudarmadji, 1984).
.
2.5 Sulfonasi
Surfaktan merupakan bahan baku pembuatan deterjen. Bebarapa proses yang dapat
digunakan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya adalah proses transesterifikasi untuk
menghasilkan etil ester dan proses sulfonasi untuk menghasilkan etil ester sulfonat. Proses
sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat atau
sulfonat dengan minyak, asam lemak, ester dan alkohol lemak. Disebut sulfonasi karena
proses ini melibatkan penambahan gugus sulfon pada senyawa organik (Nightingale, 1987).
Proses sulfonasi dapat dilakukan terhadap minyak yang mempunyai ikatan jenuh dan tak
jenuh ataupun gugus hidroksil pada molekulnya. Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat
terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil, (2) bagian α-atom karbon; dan (3) rantai tidak
jenuh (ikatan rangkap). Pada Gambar 6 disajikan kemungkinan terikatnya pereaksi kima yang
digunakan dalam proses sulfonasi.
H H H O │ │ │
H ─ C ─ C ─ CH CH ─ C ─ CH2 ─ C │ │ │ H H H OH
3 2 1
Gambar 6. Kemungkinan terikatnya pereaksi kima yang digunakan dalam proses sulfonasi.
Sumber : Jungermann (1979)
11
Proses sulfonasi dengan gas SO3 menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi,
namun kelemahan proses ini harus kontinyu, membutuhkan peralatan yang mahal dengan
tingkat ketepatan yang tinggi. Selain itu, gas SO3 memiliki sifat yang sangat reaktif sehingga
diperlukan kontrol yang sangat ketat agar tidak terbentuk produk intermediet dan produk
yang dihasilkan bewarna hitam dan bersifat sangat asam, sehingga dibutuhkan proses
pemurnian yang meliputi proses pemucatan dan netralisasi. Pada tahap pemucatan
ditambahkan larutan H2O2 dan etanol yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan
menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Sehingga etil ester sulfonat yang dihasilkan
memiliku sifat karakteristik yang lebih baik terhadap penurunan tegangan permukaan dan
tegangan antarmuka.
Berdasarkan Foster (1996), untuk mendapatkan produk yang unggul dari reaksi
sulfonasi maka rasio mol reaktan merupakan faktor yang utama yang harus dikendalikan.
Faktor lainnya dalah suhu reaksi, konsentrasi reaktan (gas SO3), pH netralisasi, lama
penetralan dan suhu selama penetralan. Selain menggunakan SO3 dalam proses sulfonasi
untuk menghasilkan etil ester sulfonat dapat pula digunakan natrium bisulfit sebagai
pereaksinya. Berikut ini reaksi antara etil ester dan natrium bisulfit yang disajikan pada
Gambar 7.
O O ║ ║
NaHSO3 + CH3...CH=CH−C−OC2H5 → CH3...CH2–CH–C–OC2H5
│ SO3Na
etil ester EES
Gambar 7. Reaksi kimia antara etil ester dan natrium bisulfit Sumber : Pore (1993)
2.6 Karakterisasi Surfaktan
Etil ester sulfonat (EES) yang dihasilkan pada proses transesterifikasi selanjutnya
dikarakterisasi menggunakan beberapa uji, antara lain :
a. Uji surfaktan anionik
b. Pengukuran pH
Pengukuran pH digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (pH) surfaktan
anionik yang diperoleh.
c. Stabilitas emulsi
Surfaktan merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan antarmuka antara dua
fasa cairan yang berbeda kepolarannya seperti minyak dalam air atau air dalam minyak. Sifat-
12
sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka,
meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya
oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Menurut Arief (1999), emulsi adalah suatu sistem
yang mengandung dua zat yang tidak saling bercampur, biasanya air dan minyak yang
terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain. Emulsi biasanya terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu : pertama, bagian zat yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir
minyak. Kedua, medium pendispersi yang dikenal sebagai fase bertahap yang biasanya terdiri
dari air. Sedangkan bagian yang ketiga yaitu emulgator yang berfungsi sebagai penstabil
koloid untuk menjaga agar butir-butir minyak tetap terdispersi dalam air. Kemampuan
surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar
(hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979).
Berdasarkan jenisnya emulsi dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Emulsi minyak dalam air (m/a), adalah emulsi dimana minyak terdispersi di dalam air
sehingga air dikatakan sebagai fase eksternal.
2) Emulsi air dalam minyak (a/m), adalah emulsi dimana air terdispersi di dalam minyak
sehingga minyak dikatakan sebagai fase eksternal.
d. Daya deterjensi
2.7 Spektroskopi FT-IR
Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) umunya digunakan untuk identifikasi
struktur dan gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam suatu senyawa yang dianalisa.
Komponen utama spektroskopi (FTIR) adalah interferometer Michelson yang mempunyai
fungsi menguraikan (mendispersi) radiasi inframerah menjadi komponen-komponen
frekuensi. Spektroskopi FTIR pada prinsipnya sama dengan spektroskopi inframerah, hanya
saja spektroskopi FTIR ditambahkan alat optik (fourier transform) untuk menghasilkan
spektra yang lebih baik sehingga spektroskopi FTIR dapat menghasilkan data dimana dengan
spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul. Perbedaan antara FT-IR dan
spektrofotometer inframerah terlatak pada pengembangan sistem optik sebelum berkas sinar
inframerah melewati contoh. FT-IR memiliki sistem optik interferometer yang pemakaiannya
lebih mudah dibandingkan sisitem optik monokromator dari spektrofotometer inframerah.
FT-IR lebih sering digunakan karena mempunyai sensitifitas yang lebih baik akibat radiasi
yang masuk ke sistem detektor lebih banyak tanpa harus melewati celah.
Secara keseluruhan, analisis menggunakan Spektrofotometer FTIR memiliki dua
kelebihan utama dibandingkan metoda konvensional lainnya, yaitu :
13
1. Dapat digunakan pada semua frekwensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga
analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau scanning.
2. Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab
radiasi yang masuk ke sistim detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah
(slitless).
2.8 Proses Pemurnian Etil Ester Sulfonat
Etil ester sulfonat (EES) merupakan salah satu surfaktan anionic yang dapat dibuat
dengan menggunakan bahan baku etil ester dari minyak biji nyamplung. Etil ester sulfonat
(EES) ini dibuat melalui proses sulfonasi dengan mereaksikan natrium bisulfit dengan ester
asam lemak. Etil ester sulfonat (EES) yang didapatkan pada proses sulfonasi ini perlu
dilakukan pemurnian kembali dikarenakan belum murni yaitu terdapatnya di-salt dan produk
samping lainnya. Untuk menghasilkan etil ester sulfonat (EES) yang memiliki kinerja yang
lebih baik perlu dilakukan proses pemurnian. Proses pemurnian dilakukan dengan
menggunaan etanol. Etanol berfungsi untuk mengurangi pembentukan disalt (hasil reaksi
berupa garam yang akan mengurangi kelarutan etil ester sulfonat dalam air), mengurangi
viskositas dan mampu meningkatkan transfer panas dalam proses pemutihan.
2.9 B
2.10 C
2.11 D
14