ii. tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN DAN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ruang Lingkup Ilmu Ekonomi Regional
Ilmu ekonomi regional (wilayah) merupakan suatu cabang ilmu ekonomi,
yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah satu
dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi regional tidak membahas kegiatan-
kegiatan ekonomi secara individual melainkan menganalisis suatu wilayah secara
keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana
mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
wilayah tersebut (Tarigan, 2004).
Ilmu ekonomi regional berbeda dengan ilmu ekonomi geografi meskipun
kedua ilmu ini mengenal dan menggunakan beberapa istilah yang sama, seperti
wilayah homogen, wilayah nodal, wilayah centre-periphery, namun dengan
pendekatan yang berbeda. Ilmu ekonomi geografi pada dasarnya mempelajari
keberadaan suatu kegiatan di suatu lokasi dan bagaimana wilayah sekitar bereaksi
terhadap kegiatan tersebut. Ilmu ekonomi geografi mempelajari gejala-gejala dari
suatu kegiatan yang berkaitan dengan lokasi hingga ditemukan prinsip-prinsip
penggunaan ruang (space) yang berlaku umum. Prinsip-prinsip ini dapat dipakai
dalam membuat kebijakan tata-ruang yang efektif dan efisien berdasarkan tujuan
umum yang hendak dicapai. Dengan demikian, sesungguhnya ilmu ekonomi
geografi lebih terfokus pada sisi kegiatan individual.
Pemikiran ke arah ekonomi regional sebenarnya telah dirintis oleh Von
Thunen (1826), Weber (1929), Ohlin (1939), dan Losh (1939), namun pemikiran
mereka masih merupakan penggalan-penggalan dari ilmu ekonomi regional. Pada
tahun 1956, disertasi Walter Isard di Harvard University yang berjudul Location
and Space Economics diterbitkan dan dengan itu ia dipandang sebagai orang
pertama yang meletakkan landasan ilmu ekonomi regional yang kompak.
Kerangka landasan ilmu ekonomi regional yang dibangun Walter Isard pada
dasarnya berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi antarwilayah yang memiliki potensi yang
berbeda.
Ahli ekonomi pada umumnya, secara implisit menganggap bahwa prinsip-
prinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku umum di segala tempat, baik
di kota ataupun di desa, di daerah yang telah maju ataupun di daerah yang
terkebelakang. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kondisi tiap-tiap
daerah berbeda, antara lain potensi ekonomi, tingkat kemajuan industri,
ketersedian prasarana, keterampilan tenagakerja, kepadatan penduduk, dan lain
sebagainya.
Ilmu ekonomi regional tidak mungkin dilepas dari induknya (makroekonomi
dan ekonomi pembangunan). Namun sangat naïf apabila seluruh materi ilmu
ekonomi umum dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi regional. Oleh
karena itu di dalam pembahasan ekonomi regional, materi-materi ilmu ekonomi
umum perlu dimodifikasi dan dikembangkan hingga sesuai dengan karakteristik
ilmu ekonomi regional. Misalnya dalam makroekonomi menyatakan bahwa tujuan
utama kebijakan ekonomi adalah (1) full-employment, (2) economic growth, dan
(3) price stability. Ketiga tujuan kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya
dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional, apabila kajian tersebut berkaitan
dengan wilayah di dalam suatu negara tertentu. Dalam hal ini, yang dapat
dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional suatu negara hanyalah (1) full-
14
employment dan (2) economic growth, sedangkan price stability di luar jangkauan
pemerintah daerah, mengingat instrumen kebijakan price stability ada pada
pemerintah pusat. Selain dua tujuan tersebut, ada beberapa tujuan pokok lainnya
yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah secara lebih baik dibandingkan bila
dikelola oleh pemerintah pusat. Tujuan pokok kebijakan yang dimaksud meliputi
(Tarigan, 2004): (1) penetapan sektor unggulan wilayah, (2) membuat keterkaitan
antarsektor yang lebih serasi, bersinergi dan berkesinambungan di dalam wilayah,
(3) pemerataan pembangunan dalam wilayah, (4) pemenuhan kebutuhan pangan
wilayah, dan (5) terjaganya kelestarian lingkungan hidup.
Modifikasi variabel-variabel makroekonomi banyak dilakukan oleh para
pakar dan peneliti ekonomi regional. Richardson (2001) misalnya, melakukan
modifikasi variabel-variabel makroekonomi ketika membahas pendapatan
regional dan pertumbuhan ekonomi regional pada wilayah homogen. Demikian
halnya dengan Hoover (dalam Tarigan, 2004) ketika menganalisis potensi
ekonomi wilayah dan hubungan ekonomi antarwilayah.
Analisis ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan makroekonomi
atau menerapkan model-model pendapatan nasional dan model-model
pertumbuhan nasional dapat dinamakan sebagai makroekonomi antarwilayah
(interregional macroeconomics). Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa di
dalam penerapan model-model makroekonomi, setiap daerah merupakan
perekonomian terbuka, di mana arus barang, arus modal, dan arus tenagakerja
antardaerah (antarwilayah) mengalir tanpa hambatan. Dengan demikian,
persoalan-persoalan pokok seperti perdagangan dan arus faktor interregional,
15
perubahan pendapatan regional, konjungtur, dan determinan-determinan
pertumbuhan regional dapat dianalisis berdasarkan kerangka makroekonomi.
2.2. Teori Kutub Pertumbuhan
Pada dasawarsa pertama pertengahan abad ke-20 (dekade 50-an) muncul
teori-teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan,
diantaranya adalah : (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh
Franςois Perrox, (2) teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized
development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth
point theory) oleh Albert Hirschman.
Menurut Perrox (dalam Adisasmita, 2005) terdapat elemen yang sangat
menentukan dalam konsep pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat
dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perrox
menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen
esensial untuk pembangunan selanjutnya. Ada tiga ciri pokok yang mendasari
industri pendorong, yakni :
1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh
yang kuat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi.
2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.
3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus
penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan
kepada unit-unit ekonomi lainnya.
Peranan kutub pertumbuhan dalam pembangunan wilayah adalah sebagai
penggerak pertumbuhan, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunannya ke
16
wilayah pengaruh. Namun pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa
peranan kutub pertumbuhan ini mengalami kegagalan, karena wilayah pusat
pertumbuhan berada di kota-kota besar yang merupakan pusat konsentrasi
penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang
cukup kuat bagi urbanisasi. Akibatnya, terjadi dampak negatif terhadap wilayah
pengaruh, yang oleh Myrdal disebut backwash effect.
2.3. Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-konsep
pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis
pertumbuhan regional lebih diletakkan pada perpindahan faktor (factor
movements). Arus modal dan tenagakerja yang mengalir dari satu daerah ke
daerah lain membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan antardaerah.
Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi
daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun
sebaliknya. Dalam kaitan factor movement antarwilayah, model pertumbuhan
Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional.
Asumsi-asumsi khusus yang mendasari model Harrod-Domar adalah: hasrat
menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien dalam
produksi adalah konstan. Untuk mencapai pertumbuhan mantap (steady growth),
kedua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan, yakni:
tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama
dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k = n). Dalam keseimbangan,
tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama dengan investasi yang
direncanakan. Berkaitan dengan k dapat dirumuskan sebagai berikut:
17
di mana v adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap tercapai apabila
dipenuhi syarat g = n = s/v. Karena s, v, dan n ditentukan secara independen maka
pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan.
Ekonomi regional bukanlah ekonomi tertutup melainkan ekonomi terbuka
(open economiy). Ini berarti, perekonomian suatu daerah adalah perekonomian
terbuka, di mana impor dan tabungan merupakan kebocoran (leakages),
sedangkan ekspor dan investasi merupakan suntikan (injection). Kelebihan
produksi dan tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah-daerah lain, yang
tercermin dari ekspor netto. Selanjutnya, jika penduduk suatu daerah mengalami
pertumbuhan yang terlalu cepat dibandingkan dengan daya serap tenagakerja pada
tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka migrasi netto dapat
membantu menyeimbangkan n dan g.
Syarat keseimbangan bagi perekonomian terbuka adalah:
S + M = I + X
dapat dirumuskan kembali menjadi
(s + m)Y = I + X
atau
Ekspor suatu daerah (Xi) dapat dirumuskan sebagai impor daerah-daerah lain,
sebagai berikut:
18
dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan
kembali menjadi:
Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi,
namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat
pertumbuhan output, asalkan selisih tabungan-investasi tersebut diimbangi oleh
surplus ekspor. Juga kelebihan tenagakerja dapat diserap melalui migrasi-keluar
dan kekurangan tenagakerja dapat dipenuhi melalui migrasi-masuk. Syarat
keseimbangannya adalah:
gi = ni ± ri
di mana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi-keluar
dan migrasi-masuk dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah
penduduk daerah yang bersangkutan. Dari sudut pandang sistem, sebagai
keseluruhan, dapat dirumuskan sebagai berikut:
di mana r = tingkat migrasi, R = migrasi masuk dan keluar, dan P = jumlah
penduduk.
Walaupun syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam suatu daerah agak
kurang restriktif, namun pertumbuhan mantap mungkin masih tetap, lebih
merupakan pengecualian daripada merupakan kelaziman. Selanjutnya, pencapaian
syarat-syarat keseimbangan di suatu daerah dapat mengubah syarat-syarat
19
keseimbangan di daerah-daerah lain dan hal ini akan menimbulkan pantulan-
pantulan lebih lanjut terhadap tingkat pertumbuhannya sendiri. Pertumbuhan
mantap di setiap daerah yang merupakan komponen dari sistem yang
bersangkutan tidak dapat diprediksi dari model seperti itu. Ada atau tidaknya
tendensi ke arah pertumbuhan mantap (steady state) tergantung pada apakah arus
modal dan tenagakerja antarwilayah (interregional) bersifat menyeimbangkan atau
tidak, dan hal-hal ini tidaklah ditentukan di dalam model tersebut.
Selain model Harrod-Domar, model-model pertumbuhan neoklasik juga telah
digunakan secara luas dalam analisis regional, yang antara lain oleh Borts (1960),
Borts dan Stein (1964), dan Romans (1965). Namun demikian, beberapa di antara
asumsi-asumsi mereka tidak tepat. Asumsi tentang full employment yang terus-
menerus seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multiregional di mana
persoalan-persoalan regional timbul karena adanya perbedaan-perbedaan
geografis dalam tingkat penggunaan sumberdaya. Juga asumsi persaingan
sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space economy) di
mana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik adalah tipe-tipe
struktur pasar yang lebih lazim (Richardson, 2001). Model neoklasik menarik
perhatian ahli-ahli teori ekonomi regional karena model tersebut mengandung
teori tentang mobilitas faktor di samping teori pertumbuhan. Implikasi dari
persaingan sempurna adalah bahwa modal dan tenagakerja akan berpindah apabila
balas jasa faktor tersebut berbeda-beda.
Syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam model neoklasik relatif kurang
restriktif dibanding model Horrad-Domar. Hal ini mungkin disebabkan oleh
adanya kemungkinan substitusi antara modal dan tenagakerja, yang berarti adanya
20
fleksibilitas dalam rasio modal-output. Tingkat pertumbuhan barsumber dari : (1)
akumulasi modal, (2) pertumbuhan penawaran tenagakerja, dan (3) residu, yang
dapat diartikan sebagai kemajuan teknologi, tetapi yang mencakup segala sesuatu
yang meningkatkan efisiensi dari sumber-sumber yang stoknya sudah tertentu.
Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari
waktu, maka fungsi produksinya adalah:
Yi = fi(K, L, t) ………………………………………………………… (1)
Persamaan (1) dapat diderivasi menjadi:
Yi = αiki + (1 – αi)ni + T ……………………………………………… (2)
Di mana, Y, k, n, dan T masing-masing adalah tingkat pertumbuhan output,
tingkat pertumbuhan modal, tingkat pertumbuhan tenagakerja, dan kemajuan
teknologi. Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan
(1 – α) adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal.
Model neoklasik menghendaki pertumbuhan kapasitas penuh. Untuk itu
diperlukan suatu mekanisme untuk menyamakan investasi dengan tabungan dalam
kondisi full employment. Dengan demikian, syarat pertumbuhan mantap adalah:
…………………………………………………… (3)
di mana, MPK = marginal productivity of kapital. Jika p sudah tertentu dan α
konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama.
Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah:
sekalipun demikian tabungan yang dihasilkan suatu daerah secara individual tidak
mesti sama dengan investasinya; sebab suatu daerah akan mengimpor modal jika
21
tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap
modal.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa analisis pertumbuhan regional
neoklasik mengandung teori mobilitas faktor. Cara untuk menjelaskan hal ini
secara tepat adalah dengan komparatif statik. Asumsikan bahwa dua daerah
menghasilkan output homogen; biaya transportasi nol; pasar tenagakerja sudah
tertentu dan tidak ada kemajuan teknologi; fungsi produksi identik, dan increasing
return to scale. Dengan asumsi tersebut maka produk marginal tenagakerja
(MPLi) adalah fungsi langsung tetapi besifat terbalik dari produk marginal modal
(MPKi). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal - tenagakerja (K/L). Dengan asumsi
persaingan sempurna, MPL adalah sama dengan upah ril. Karena tiap daerah
menghasilkan output yang homogen dan dengan fungsi produksi yang identik,
maka di daerah di mana K/L lebih tinggi terdapat upah ril yang lebih tinggi dan
MPK yang lebih rendah. Adapun daerah yang K/L nya rendah terdapat upah ril
yang rendah tetapi MPK yang tinggi. Akibatnya modal akan mengalir dari daerah
yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah, karena akan memberikan
balas jasa terhadap modal yang lebih ringgi. Sebaliknya, tenagakerja akan
mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi.
Mekanisme ini pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi yang
sama di semua daerah. Implikasinya, pendapatan per kapita regional akan
mengalami proses konvergensi. Sejalan dengan ini, prediksi dari Harrod-Domar
menyatakan bahwa apabila syarat-syarat pertumbuhan mantap tidak dipenuhi,
akibat yang paling mungkin terjadi adalah perbedaan-perbedaan tingkat
pertumbuhan regional akan semakin bertambah besar.
22
Kelemahan teori mobilitas faktor adalah: apabila asumsi-asumsi komparatif
statik dilepas maka prediksinya tidak dapat dipastikan akan berlaku. Dalam
analisis dinamik, perbedaan-perbedaan regional dalam tingkat pertumbuhan
penawaran tenagakerja dan kemajuan teknologi haruslah diperhitungkan.
Pertumbuhan alamiah yang cepat di daerah-daerah upah-rendah dapat mencegah
kenaikan pendapatan dan bergesernya fungsi MPK ke kanan di daerah-daerah
upah-tinggi, sehingga dapat mengakibatkan mengalirnya modal ke dalam (kapital
inflows) di daerah-daerah tersebut, dan bukannya mengalir ke luar (kapital
outflows). Bahkan di dalam kerangka model komparatif statik pun, daerah-daerah
upah-tinggi masih tetap dapat tumbuh paling cepat apabila asumsi-asumsi
identiknya fungsi produksi regional dan komuditas tunggal dilepas. Kesukaran-
kesukaran lainnya adalah: (1) kemungkinan bahwa perbedaan-perbedaan hasil
sektor tidak mendorong berpindahnya faktor-faktor, terutama faktor tenagakerja;
atau berpindahnya faktor itu karena kekuatan-kekuatan lain, (2) mobilitas faktor
tidak dapat dianalisis secara komprehensif di dalam kerangka model dua faktor.
Dengan demikian, konvergensi dalam pertumbuhan regional masih tetap
merupakan persoalan yang belum terjawab. (Richardson, 2001).
2.4. Model Pendapatan Regional
Teori basis ekspor (export base theory) merupakan bentuk model pendapatan
regional yang paling sederhana. Sekalipun sederhana, namun teori ini dapat
memberikan kerangka teoretis yang berguna bagi banyak studi empirik mengenai
multiplier regional. Teori ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua
bagian, yakni daerah yang bersangkutan dan daerah-daerah selebihnya. Asumsi
pokok dari teori ini adalah bahwa ekspor merupakan satu-satunya unsur otonom
dalam pengeluaran dan semua komponen pengeluaran lainnya dianggap sebagai
23
fungsi dari pendapatan. Selain itu diasumsikan pula bahwa fungsi pengeluaran
dan fungsi impor tidak mempunyai intersep tetapi bertolak dari titik nol. Dengan
demikian, untuk daerah i dapat ditulis :
Yi = (Ei – Mi) + Xi …………………………………………………….. (41)
di mana, Yi adalah pendapatan daerah i, Ei adalah total pengeluaran daerah i, Mi
adalah pengeluaran impor daerah i, (Ei – Mi) adalah pengeluaran domestik daerah
i, dan Xi adalah ekspor daerah i.
Ei = eiYi ……………………………………………………………… (5)
Mi = miYi …………………………………………………………… (6)
…………………………………………………… (7)
Persamaan (5), (6), dan (7) disubstitusikan ke persamaan (4) menjadi :
Dengan demikian
……………………………………………………… (8)
Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika marginal propensity to
expenditure secara lokal (e - m) lebih kecil daripada satu (Richardson, 2001).
Jika persamaan (8) diubah susunannya maka :
Menurut teori ini dan, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada
unsur-unsur eksogen lainnya selain daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama
dengan resio marginal. Dengan demikian, multiplier basis adalah :
24
2.5. Model Pendapatan Interregional
Model pendapatan interregional sesungguhnya merupakan perluasan dari
model basis ekspor dengan memperhatikan dampak dari daerah tetangga.
Perubahan penting yang dilakukan adalah mengubah asumsi-asumsi dari teori
basis, yakni bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur otonom,
melainkan juga pengeluaran pemerintah dan investasi. Ini berarti bahwa
pengeluaran pemerintah dan investasi juga ditentukan oleh faktor-faktor eksogen
(Richardson, 2001). Selanjutnya, Richardson memandang bahwa dalam sistem
tertutup, ekspor suatu daerah ditentukan oleh permintaan impor daerah-daerah
lainnya di dalam sistem yang bersangkutan. Karena pengeluaran pemerintah telah
dimasukkan ke dalam model maka logis kalau pajak juga dimasukkan ke dalam
model yang bersangkutan. Walaupun model ini dapat juga mencakup
pembayaran-pembayaran transfer, pajak lump-sum, pajak langsung, dan pajak
tidak langsung, namun Richardson mengasumsikan bahwa semua pajak
dibebankan pada pendapatan. Sedangkan pengeluaran konsumsi swasta
merupakan fungsi dari disposable income. Selanjutnya, Richardson melakukan
modifikasi atas rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali oleh Keynes,
menjadi pendapatan regional sebagai berikut :
Yi = Ci + Ii + Gi + Xi – Mi …………………………………………… (9)
di mana, Yi adalah pendapatan regional wilayah i, Ci adalah pengeluaran konsumsi
wilayah i, Ii adalah investasi swasta wilayah i, Gi adalah pengeluaran pemerintah
wilayah i, dan (Xi – Mi ) adalah ekpor netto wilayah i.
Fungsi pengeluaran konsumsi adalah :
.......................................................................................... (10)
25
di mana, = disposable income wilayah i dan ci = marginal propensity to
consume wilayah i;
……………………………………………………………… (11)
……………………………………………………………… (12)
Xi = ∑ Mij = ∑ mijYdj ……………………………………………… (13)
Mi = ∑ mijYdi ………………………………………………………… (14)
Ydi = Yi – Ti …………………………………………………………… (15)
Ti = tiYi ……………………………………………………………… (16)
di mana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation).
.................................................................................... (17)
di mana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i.
Apabila persamaan (10) sampai dengan (17) disubstitusikan ke dalam
persamaan (9) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan
regional dapat dirumuskan sebagai berikut (Richardson, 2001) :
…………………………………………… (18)
Dengan demikian, pendapatan daerah i terdiri atas penjumlahan pengeluaran-
pengeluaran otonom ditambah ekspor daerah i dikalikan multiplier.
Multiplier regional adalah :
…………………………………………. (19)
Persamaan (18) dapat disederhanakan menjadi :
Yi = Ai + KiXi
26
Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu
daerah, misalnya daerah i, yang meliputi: (a) perubahan pengeluaran-
pengeluaran otonom daerah i, (b) perubahan tingkat pendapatan suatu wilayah
lain di dalam suatu sistem yang berkaitan, yang akan terlihat dalam perubahan
ekspor daerah i, (c) berubahnya salah satu di antara parameter-parameter model
(mpc, koefisien perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal).
Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan
interregional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas
regional. Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah
satu dari variabel-variabel pengeluaran otonom. Untuk keperluan dimaksud,
model tersebut dapat disempurnakan dengan memasukkan struktur pajak yang
lebih kompleks, dan tingkat pengeluaran pemerintah dapat dikaitkan dengan
penerimaan pajak total. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan
pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan persebaran
regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam kerangka
kebijakan stabilitas. Jika marginal propensity to consume di semua daerah lebih
kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika
marginal propensity to consume lebih besar dari satu, maka sistem yang
bersangkutan tidak stabil.
Menurut Chipman, 1950 (dalam Richardson, 2001), jika ci = cj bagi semua
daerah (i, j, ……….., n) maka multiplier interregional adalah sama dengan rumus
multiplier nasional. Ini berarti bahwa dengan marginal propensity to consume
yang sama, perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah (atau
pengeluaran otonom lainnya) tidak akan mengubah pendapatan nasional tetapi
27
hanya akan mempengaruhi tingkat pendapatan regional. Akan tetapi jika ci ≠ cj,
maka perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan
berubahnya tingkat pendapatan nasional. Jika diasumsikan bahwa kapasitas
regional tidak merupakan pembatas (kendala), maka kenaikan pendapatan
regional akan maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di
daerah-daerah di mana c paling tinggi (biasanya daerah-daerah yang paling
terkebelakang).
Peluberan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor sekunder
adalah sifat-sifat yang paling istimewa dari model-model pendapatan
interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan
pendapatan (menaikkan Ai) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan
kekuatan pendorong pada semua daerah lainnya melalui kenaikan Mi (Σmij).
Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran, kenaikan impor ini akan
mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i. Namun demikian, hal
ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-
daerah lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada
sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan
sekunder (kenaikan ekspor). Dalam banyak hal, kenaikan sekunder tidak akan
cukup untuk mencegah kemunduran neraca pembayaran daerah i. Untuk
memperbaiki neraca pembayaran daerah i, maka serentak dengan itu marginal
propensity to consume daerah-daerah lain dalam sistem yang bersangkutan
28
haruslah lebih besar dari satu. Sudah lazim diasumsikan bahwa mekanisme
penyesuaian neraca pembayaran di antara daerah-daerah bekerja lebih efektif
daripada di antara bangsa-bangsa. Di antara kedua kerangka institusional ini
(perekonomian interregional dan perekonomian internasional) terdapat perbedaan-
perbedaan yang sangat jelas. Daerah-daerah tidak mempunyai instrument-
instrumen kebijakan seperti yang dipunyai oleh bangsa-bangsa (seperti kurs mata
uang, tariff, moneter, dan fiskal). Perbedaan lain antara perekonomian
interregional dalam suatu negara dan perekonomian internasional adalah bahwa
mobilitas faktor-faktor produksi di antara daerah-daerah pada umumnya lebih
tinggi, dan bahwa arus faktor dapat berfungsi sebagai kekuatan yang
menyeimbangkan dalam neraca pembayaran.
Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat diatasi
dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer interregional di antara
cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan
tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan
efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerah-
daerah terkebelakang, arus modal dan tenagakerja. Efek harga agaknya tidak
begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional
daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku
di mana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan
keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional
karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa-bangsa.
Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyeimbangan melalui
stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung
29
bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana
pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan
memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut
membantu mengurangi defisit pembayaran, dengan syarat c + m < 1 (Scitovsky,
1958; dalam Richardson, 2001). Mekanisme-mekanisme penyesuain tersebut
didasarkan atas asumsi bahwa sumber yang menimbulkan defisit neraca
pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di samping itu, defisit neraca pembayaran
suatu daerah dapat bersumber dari kenaikan pendapatan, seperti dalam model
pendapatan interregional, maka makanisme-mekanisme ini pun cenderung untuk
menyimpang dari keseimbangan.
Perbedaan antara kedua sumber defisit neraca pembayaran di atas sangat
penting, apabila peranan arus faktor (faktor flows) hendak dipertimbangkan.
Modal cenderung mengalir ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih
tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika model yang relevan
adalah model di mana yang menyebabkan defisit neraca pembayaran adalah
proses kenaikan pendapatan
Defisit neraca pembayaran yang bersumber dari kemerosotan ekspor
merupakan defisit yang bersifat kronis. Sebab dalam kondisi ini modal cenderung
mengalir keluar daripada mengalir masuk. Jika tenagakerja dapat berpindah maka
mereka akan bermigrasi dari daerah yang mengalami kemerosotan ke daerah-
daerah makmur. Pendapatan daerah yang disebutkan belakangan akan mengalami
peningkatan, sehingga impor daerah tersebut akan meningkat. Hal ini akan
meningkat ekspor daerah i (daerah yang disebutkan pertama), tetapi dengan
30
tingkat pendapatan yang lebih rendah. Akibatnya perbedaan tingkat pertumbuhan
regional akan bertambah besar.
Apa pun yang menjadi penyebab timbulnya defisit neraca pembayaran,
modal dan tenagakerja akan bergerak ke arah yang sama. Namun demikian, arus
faktor produksi bukanlah mekanisme penyesuaian yang penting terhadap tipe
gangguan-gangguan neraca pembayaran jangka pendek. Arus tersebut lebih
penting sebagai kekuatan-kekuatan penyesuaian pagi proses pertumbuhan
regional, walaupun dalam jangka panjang mungkin lebih cenderung
mengakibatkan bertambah besar dan bukannya memperkecil perbedaan tingkat
pertumbuhan regional (Richardson, 2001).
2.6 Pertumbuhann dan Pemerataan
Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi
kontraversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan
pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat
sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong
minoritas. Sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan
pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil
menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang
semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya
rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar.
Untuk menganalisis pengaruh pembagian pendapatan terhadap investasi (I),
perlu melakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor (dalam
Ismail, 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua
bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima
31
kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua kelompok
masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (sW ≠ sF, dimana
sW = hasrat menabung pekerja dan sF = hasrat menabung pengusaha), maka
tabungan nasional bisa ditulis menjadi:
S = sY = (sWW) + (sFF) …………………………………………….. (20)
dengan asumsi hasrat menabung marginal sama dengan tabungan rata-rata.
Dalam model makroekonomi Keynesien sederhana, keseimbangan terjadi
apabila I = S. Dengan mensubstitusikan syarat keseimbangan ini dengan
persamaan (20) diperoleh:
I = (sWW) + (sFF)
Jika W sama dengan Y dikurangi F, maka
I = sW(Y – F) + (sFF)
= (sF – sW)F + (sWY)
Bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh :
…………………………………………….. (21)
Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat
keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol
(biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi
ditentukan semat-mata oleh tingkat keuntungan. Atau apabila dianggap bahwa
hasrat menabung kelompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis
(biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan
faktor penting dalam menentukan tingkat investasi. Dengan demikian,
menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki
distribusi pendapatan, mempunyai dampak negative terhadap tingkat investasi
32
Selanjutnya, persamaan (20) ditulis kembali menjadi :
………………………… (22)
Dengan memasukkan persamaan (22) ke dalam formulasi pertumbuhan
Harrod-Domar (g = s/v, dimana s = hasrat menabung masyarakat, dan v = nisbah
antara kapital dan output), akhirnya diperoleh :
……………………………………………. (23)
Dari persamaan (23) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan merupakan
dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi,
maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus
cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang
lebih merata.
Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni:
(1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3)
distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan
yang diterima pemilik faktor produksi tradisonal dalam proses produksi (tanah,
modal, dan tenagakerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk
lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah,
menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau
menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modern dan
industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian
pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga.
33
Menurut Ismail (1995) teori neo-keynesien dan juga teori distribusi
pendapatan yang lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi
fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai
landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara
berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima
pendapatan dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu hanya
terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka
yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek
penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang.
Sebagain besar kelompok miskin di negara berkembang bekerja secara marginal
di sektor tradisonal dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan
ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu kebijakan yang diarahkan
untuk mempengaruhi pola pembagian pendapatan antara pekerja dan pengusaha
yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan menyentuh lapisan
menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan.
Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas
konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini
menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang
dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik
itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori distribusi
fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena
konflik sosial-ekonomi di negara tersebut bukan terletak semata-mata pada
konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya
antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor
34
yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor
dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional
mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena
jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.
Keterbatasan teori distribusi fungsional mendorng beberapa ahli mencari
alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara
pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatif yang
dikemukakan adalah mengaitkan distribusi personal dengan pertumbuhan.
Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan
pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.
Hipotesis ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada mulanya
diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik
tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa
ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka
menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan
nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai
variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapita dan variabel struktural
lainnya (sebagai variabel penjelas). Studi mereka umumnya membuktikan
kebenaran hipotesis U dalam pembangunan. Ini terjadi karena analisisnya
didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya
pertumbuhan terjadi karena adanya transfer sumber-sumber ekonomi dari sektor
tradisional ke sektor moderen, dan ketimpangan pendapatan dalam proses
pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural yang lambat dari
dualisme ekonomi.
35
Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor moderen, yang umumnya tingkat
pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika terjadi
pertumbuhan hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada sejumlah
hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan
tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa rendahnya tingkat
pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa
kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena
orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh di sektor moderen, maka
memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa
dihindari.
Sekalipun sejumlah studi telah membuktikan keabsahan hipotesis U, namun
tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan
Gary S. Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang
pertumbuhan ekonominya relatif tinggi tetapi diiringi dengan kemiskinan dan
pemerataan yang semakin parah (Filipina). Di Brazilia, pertumbuhan tinggi
mampu menurunkan kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin
timpang. India dan Sri Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan
yang semakin membaik, namun di India kemiskinan memburuk. Sedangkan
Taiwan dan Costa Rica, pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya
kemiskinan tetapi juga membaiknya distribusi pendapatan. Gustav Ranis,
demikian juga Cheng-chung Lai (dalan Ismail, 1995), keduanya menunjukkan
bahwa dalam pembangunan Taiwan tidak terjadi trade-off antara pertumbuhan
dan pemerataan, sekalipun dalam jangka pendek. Taiwan berhasil merealisasikan
pertumbuhan dan pemerataan secara simultan dengan model pembangunan dualis.
36
Strategi pembangunan yang diterapkan oleh Taiwan berhasil mensinergikan
pertumbuhan dan pemerataan, padahal di negara-negara lain justru terjadi trade-
off dalam jangka pendek.
Menurut Cheng-chung Lai, Taiwan menerapkan empat strategi pada awal
pembangunannya. Pertama, adanya transfer surplus (modal dan tenagakerja) dari
sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik. Dalam tahap awal
dari model pembangunan dualis, industrialisasi membutuhkan modal yang besar.
Dana ini diambil dari surplus sektor pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah.
Mekanisme semacam ini pada gilirannya memungkinkan sektor industri menyerap
surplus tenagakerja di sektor pertanian. Penyerapan ini menyebabkan beban
penduduk di sektor pertanian menurun sehingga produktivitas rata-rata
meningkat, dan akhirnya pendapatan rata-rata juga meningkat. Hal demikian
memungkinkan mengecilnya perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua sektor
tersebut. Kedua, industrinya bersifat padat karya dan berorientasi ekspor. Terus
membaiknya distribusi pendapatan di Taiwan terutama disebabkan mekanisme
penyerapan tenagakerja oleh sektor industri. Antara tahun 1961-1976, 37 sampai
56 persen kenaikan kesempatan kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor
juga menyumbang terhadap perluasan kesempatan kerja, yaitu antara 20 – 27
persen dari perluasan total. Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong
urbanisasi. Ini terjadi karena industri yang memproses barang-barang pertanian di
Taiwan tidak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Lokasi yang demikian pada
akhirnya juga tidak mendorong terkonsentrasinya kegiatan ekonomi lain di daerah
perkotaan. Akibatnya, distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif
seimbang. Keempat, adanya landreform. Secara politik land-reform
37
menghilangkan konsentrasi kekayaan elit kekuasan di daerah pedesaan dan secara
ekonomi mengurangi konsentrasi kekayaan dan mendorong tuan tanah untuk
menanamkan modal dan aktivitas ekonominya di sektor industri yang sedang
berkembang. Reformasi tanah dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah
pertanian, penjualan tanah negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah (landlord)
kepada petani kecil. Tuan tanah menerima 70% dari harga tanah dalam bentuk
“Land Bond” dan 30 persen berupa saham industri dari empat perusahaan negara.
Dampak ekonomi dari land-reform adalah hari kerja dan produktifitas tenagakerja
meningkat, bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal menurun,
sedangkan bagian pendapatan tenagakerja meningkat secara berarti. Ini berarti
bahwa land-reform mendorong pendapatan buruh meningkat dan karenanya
ketimpangan menurun. Dengan empat strategi ini, pemerataan pendapatan di
Taiwan terkait langsung dengan pertumbuhan, sehingga pemerataan tidak hanya
terjadi antarindividu, tetapi juga pemerataan antarsektor ekonomi dan
antarwilayah.
2.7. Studi Empirik Disparitas Pendapatan di Indonesia
Studi empirik yang berkaitan dengan ekonomi regional di Indonesia telah
dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai model dan pendekatan. Namun,
dalam pembahasan sub-bab ini lebih difokuskan pada studi-studi yang
menggunakan model Social Accounting Matrix (SAM). Pilihan ini semata-mata
didasarkan pada pertimbangan teknis, yakni terbatasnya halaman dan kesamaan
model yang akan digunakan dalam studi ini dan kemiripan issues yang hendak
dikaji.
38
Studi mengenai pertumbuhan dan disparitas pendapatan di Indonesia
dilakukan oleh Esmara (dalam MacAndrews dan Amal, 2003) dengan
menggunakan data PDRB tahun 1968 sampai dengan 1972 dari 26 provinsi.
Metoda yang digunakan adalah the weighted coefficient of variation dari
Williamson, kemudian membandingkan hasilnya dengan bahasan Williamson
mengenai hal yang sama pada beberapa negara di Eropa, Asia, dan Amerika.
Esmara menyatakan bahwa dengan mengabaikan income dari minyak pada
PDRB beberapa provinsi yang kaya sumberdaya alam dari kalkulasi indeks
Williamson, tingkat disparitas pendapatan per kapita antarprovinsi menurun
menjadi setara dengan Prancis, India, dan Jepang. Sebaliknya, jika income dari
minyak pada provinsi-provinsi kaya dimasukkan ke dalam PDRB provinsi, maka
tingkat disparitas antarprovinsi melejit menjadi setingkat lebih tinggi
dibandingkan Brazil. Selain itu, Esmara juga menegaskan bahwa disparitas harga
antardaerah secara sepintas menggambarkan tingginya pendapatan pada provinsi-
provinsi yang kaya sumberdaya. Jika income per kapita pada masing-masing
provinsi dikoreksi berdasarkan disparitas harga pada daerah-daerah, maka indeks
Williamson akan sangat menurun.
Selanjutnya, dengan menggunakan data tahun 1968-1972 Esmara
mengelompokkan provinsi-provinsi di Indonesia ke dalam empat kategori : (1)
provinsi yang pertumbuhannya tinggi dan incomenya tinggi, (2) provinsi yang
pertumbuhannya rendah tapi incomenya tinggi, (3) provinsi yang pertumbuhannya
tinggi tapi incomenya rendah, dan (4) provinsi yang pertumbuhannya rendah dan
incomenya rendah. Pengelompokan ini didasarkan pada perbandingannya dengan
rata-rata pada tingkat nasional. Hasil yang diperoleh Esmara adalah bahwa hanya
39
sebagian kecil saja penduduk yang tinggal di daerah yang incomenya rendah
dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Hampir sepertiga penduduk yang tinggal
di daerah-daerah yang incomenya tinggi dengan tingkat pertumbuhan yang
rendah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin lama pertumbuhan yang cepat
dari daerah-daerah yang incomenya tinggi semakin menurun dan daerah-daerah
ini akan beralih ke dalam kelompok daerah-daerah yang incomenya tinggi dengan
tingkat pertumbuhan yang lebih rendah. Sehingga disparitas income antardaerah
akan semakin melebar.
Sementara itu, sebuah analisis terhadap data income daerah periode
1976-1980 yang dipublikasikan oleh BPS (dalam MacAndrews dan Amal, 2003)
menunjukkan bahwa banyak provinsi yang income per kapitanya di bawah rata-
rata nasional pada pertengahan dasawarsa 1970-an telah mengalami percepatan
pertumbuhan di akhir dasawarsa tersebut. Sementara itu, provinsi-provinsi yang
incomenya tinggi dan kaya sumberdaya, pertumbuhannya rendah. Hal ini dapat
dilihat dari adanya korelasi negative (walaupun tidak signifikan) antara PDRB per
kapita dengan tingkat pertumbuhan pada tahun 1976-1980.
Terjadinya penurunan tingkat disparitas antardaerah pada saat terjadinya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah diramalkan oleh Williamson pada tahun
1965 berdasarkan bukti-bukti sejarah di Eropa dan Amerika Selatan. Williamson
(dalam MacAndrewa dan Amal, 2003) menyatakan bahwa apabila pembangunan
di suatu negara berjalan pesat dan terjadi mobilitas tenagakerja dari sektor
pertanian ke sektor industri, maka disparitas output per kapita antardaerah akan
dapat mengalami penurunan.
40
Menurut Anne Booth (dalam MacAndrews dan Amal, 2003) sumber utama
terjadinya disparitas income daerah di Indonesia adalah: (1) sangat tidak
meratanya pemberian sumberdaya kepada provinsi-provinsi yang ada, yang lebih
didasarkan kepada jumlah penduduk, dan (2) industri-industri skala besar
cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu saja.
Secara umum pengeluaran pemerintah pusat untuk daerah-daerah pada masa
pemerintahan Soeharto dapat digolongkan ke dalam dua tipe. Pertama, terdapat
subsidi-subsidi bagi daerah, terutama berupa dana inpres. Kedua, alokasi sektoral
yang disalurkan melalui departemen-departemen pemerintah pusat beserta organ-
organnya di daerah. Perbedaan utama antara kedua dana tersebut terletak pada
tingkat partisipasi pemerintah daerah dalam penggunaan dana tersebut. Dana
Inpres dialokasikan kepada masing-masing provinsi atas dasar lump-sum dan
kemudian pemerintah provinsi, kabupaten, atau desa menetapkan penggunaannya
untuk keperluan-keperluan yang luas. Sedangkan bantuan-bantuan sektoral untuk
berbagai program dan proyek yang dikelola oleh badan-badan sektoral, ditetapkan
oleh pemerintah pusat melalui pertimbangan Bappeda pada masing-masing
provinsi, dan selanjutnya pemerintah pusat mendelegasikan pelaksanaan proyek
kepada organ-organnya di daerah. Menurut Anne Booth, dalam jangka panjang
pengaruh kedua faktor tersebut sedikit banyak akan menurun. Hal ini antara lain
disebabkan oleh semakin menurunnya peranan industri-industri ekstraktif,
semakin meluasnya industri modern, dan karena perpindahan penduduk. Namun
dalam jangka pendek dan menengah, tingkat disparitas income daerah di
Indonesia masih akan tetap tinggi, lebih tinggi daripada rata-rata internasional.
41
Oleh karena itu sebaiknya kondisi disparitas income antardaerah diperhitungkan
dalam pemberian bantuan dari pusat kepada daerah.
Selanjutnya, studi pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan
perekonomian Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dilakukan oleh Budiharsono (1996) dalam rangka meraih gelar Doktor pada
Institut Pertanian Bogor. Ada tiga issues yang dikaji dalam penelitian ini, yakni:
(1) mempelajari proses pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antardaerah
selama kurun waktu 1969-1987 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2)
menelaah keterkaitan antarsektor, terutama antara sektor pertanian dan sektor
industri serta pengaruhnya terhadap proses transformasi struktural antardaerah; (3)
menelaah pengaruh besarnya Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Inpres (Dati I
dan Inpres lainnya) terhadap distribusi pendapatan.
Budiharsono berusaha menunjukkan alternatif strategi pembangunan daerah
yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Dalam
penelitian itu, Budiharsuno menggunakan lima model analisis. Pertama, untuk
menganalisis transfomasi struktural antardaerah, model yang digunakan adalah
Persamaan Transformasi Struktural Chenery-Syrquin yang sudah dimodifikasi.
Kedua, untuk mengetahui keterkaitan antarsektor dan keragaan sektor, digunakan
model Input-Output. Ketiga, untuk mengetahui dekomposisi distribusi
pendapatan, digunakan model Persamaan Kuo. Keempat, untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi suatu daerah, digunakan model Shift-Share. Kelima, untuk
mengetahui kesenjangan antardaerah, digunakan Indeks Williamson.
Dalam analisis akselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah (region),
Budiharsono melakukan periodisasi: 1969-1974; 1975-1982; dan 1983-1987.
42
Dengan menggunakan model Shift-Share ditemukan bahwa pada tahun 1969-1974
provinsi-provinsi yang tingkat pertumbuhannya cepat adalah: Sumatera Utara,
Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur, Maluku, dan
Irian Jaya (Papua). Sedangkan provinsi-provinsi yang tingkat pertumbuhannya
lambat adalah: DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Jawa Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Menurut
Budiharsono, penyebab lambannya pertumbuhan adalah karena sektor pertanian
dan sektor industri mempunyai daya saing kurang baik dibandingkan dengan
sektor jasa di hampir semua provinsi. Untuk daerah-daerah yang tingkat
pertumbuhannya lambat, selain faktor di atas juga disebabkan oleh daya saing
wilayah untuk sektor pertanian, industri, dan jasa kurang baik. Pada periode ini,
terjadi penurunan pangsa relatif sektor pertanian dan sektor industri terhadap
PDRB total, terutama untuk daerah-daerah yang tingkat pertumbuhan lambat,
walaupun di antaranya ada juga yang pangsa sektor pertaniannya meningkat
seperti Jambi, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Selatan. Motor penggerak pertumbuhan pada daerah-daerah yang tingkat
pertumbuhannya cepat, kecuali Maluku dan Irian Jaya adalah sektor jasa
kemudian disusul oleh sektor industri. Untuk Maluku dan Irian Jaya, motor
penggeraknya adalah sektor pertanian. Budiharsono menduga bahwa penurunan
pangsa relatif di sebagian besar provinsi serta meningkatnya pangsa relatif sektor
jasa, disebabkan rehabilitasi sarana dan prasarana pada Pelita I.
Periode 1975-1982, provinsi-provinsi yang akselerasi pertumbuhannya tinggi
adalah: DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa
43
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tenggara, dan Bali. Sedangkan provinsi-provinsi yang akselerasi
pertumbuhannya lambat adalah: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DI
Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pada kurun waktu ini daya saing sektor
pertanian pada seluruh provinsi kurang baik jika dibandingkan dengan sektor
industri dan sektor jasa. Keadaan ini menunjukkan bahwa pangsa relatif sektor
pertanian menurun, sedangkan sektor industri dan sektor jasa meningkat. Hal ini
terjadi karena pada periode ini harga minyak bumi di pasar dunia meningkat dan
industrialisasi berkembang. Dampak dari kedua hal ini adalah provinsi DI Aceh,
Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kaliamatan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, dan Bali yang pada periode 1969-1974 berada pada tingkat
pertumbuhan lambat beralih ke tingkat pertumbuhan cepat pada periode 1975-
1982. Sedangkan provinsi yang semula berada pada tingkat pertumbuhan cepat
kemudian beralih ke tingkat pertumbuhan lambat adalah provinsi Riau, Maluku,
dan Irian Jaya.
Pada periode 1983-1987, provinsi yang tergolong pertumbuhan cepat adalah:
DI Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimanta Tengah, Bali,
dan Maluku. Sedangkan provinsi yang tergolong pertumbuhan lambat adalah:
Sumatera Barat, Riau, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya. Mengacu pada periode
44
sebelumnya (1975-1982), provinsi yang beralih dari tingkat pertumbuhan lambat
ke tingkat pertumbuhan cepat adalah provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
dan Kalimantan Barat. Sedangkan provinsi yang beralih dari pertumbuhan lambat
ke pertumbuhan cepat adalah Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan
Barat. Dalam kurun waktu ini, harga minyak bumi menurun, sehingga motor
penggerak pertumbuhan ekonomi bergeser ke sektor industri. Dengan demikian,
daerah-daerah yang bertumpu pada produksi minyak bumi tanpa didukung oleh
industri dan sektor jasa (terutama sektor perdagangan dan keuangan) yang kuat
akan berada pada posisi pertumbuhan lambat. Sebaliknya, daerah-daerah yang
tidak mempunyai sumber minyak bumi tetapi mempunyai struktur sektor jasa
yang kuat akan mengalami pertumbuhan cepat.
Selanjutnya, dalam analisis kesenjangan pendapatan antarwilayah,
Budiharsono menggunakan Indeks Williamson dengan terlebih dahulu
mengelompokkan wilayah menjadi: Kawasan Barat Indonesia, Kawasan Timur
Indonesia, dan Indonesia secara keseluruhan. Hasil kalkulasi indeks Williamson
pada kurun waktu 1969-1987 menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan
pendapatan (PDRB) antarwilayah di Indonesia secara nasional (0.8864 - 0.9199)
lebih tinggi daripada tingkat kesenjangan pendapatan antarwilayah di Kawasan
Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia. Di sisi lain, tingkat
kesenjangan pendapatan (PDRB) antarwilayah di Kawasan Barat Indonesia
(0.8569 - 0.9015) lebih tinggi daripada kesenjangan pendapatan antarwilayah di
Kawasan Timur Indonesia (0.8121 - 0.8461). Ini berarti bahwa pendapatan
(PDRB) antarwilayah di Kawasan Timur Indonesia relatif lebih seragam
dibandingkan dengan pendapatan antarwilayah secara nasional maupun
45
antarwilayah di Kawasan Barat Indonesia. Relatif tingginya kesenjangan
pendapatan antarwilayah di Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi di kawasan ini cukup pesat,
sedangkan beberapa provinsi lainnya lambat. Pertumbuhan cepat beberapa
provinsi didorong oleh sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, dan
kehutanan), sektor industri, dan sektor jasa (perdagangan dan keuangan). Secara
keseluruhan, selama kurun waktu 1969-1987 indeks Williamson meningkat, baik
di tingkat nasional maupun di tingkat kawasan (Barat-Timur Indonesia). Hal ini
menunjukkan bahwa selama kurun waktu 18 tahun kesenjangan pendapatan
antarwilayah terus melebar, walaupun secara tahunan (year to year) mengalami
fluktuasi antara tahun 1978-1987.
Di samping itu, Budiharsono juga mengungkapkan bahwa pola normal
transformasi struktur produksi antardaerah di Indonesia berdasarkan pendapatan
(PDRB per kapita) adalah: PJI (pertanian-jasa-industri) JPI (jasa-pertanian-
industri) JIP (jasa-industri-pertanian). Menurutnya, pola ini hampir sama
dengan pola transformasi struktur produksi di negara-negara maju. Namun pola
normal ini agak berbeda dengan pola normal transformasi srtuktur produksi antar
negara dari Chenery-Syrquin. Perbedaan ini terjadi karena: (1) pada pola normal
Chenery-Syrquin, sektor industri merupakan penggabungan antara sektor industri
dan sektor bangunan. Sedangkan pada pola normal transformasi antardaerah,
sektor bangunan dimasukkan ke sektor jasa, (2) peningkatan pendapatan (PDRB
per kapita) beberapa provinsi (DI Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya)
tidak disertai dengan peningkatan sektor industri, malah memperkecil pangsa
sektor industri, (3) tingkat pendapatan masyarakat yang rendah menyebabkan
46
permintaan domestik terhadap industri rendah, (4) struktur industri yang bersifat
substitusi impor menyebabkan ketidakefisienan sehingga kurang dapat bersaing di
pasar dunia, (5) kebijaksanaan liberalisasi perbankan pada awal dasawarsa 1980-
an mempengaruhi struktur industri yang ada. Adanya kebijakan tersebut
mendorong investasi yang lebih besar ke arah industri. Namun industri tersebut
adalah industri substitusi impor. Pada periode 1981-1988, jumlah investasi pada
industri substitusi impor sebesar 79.8 persen dan hanya 20.2 persen yang bersifat
promosi ekspor (Harris, Schiantarelli dan Siregar, 1994; dalam Budiharsono,
1996), dan (6) terjadinya penyimpangan pola normal transformasi struktur
produksi antardaerah terutama disebabkan oleh keterkaitan antara sektor pertanian
dengan sektor industri relatif sangat kecil.
Selanjutnya, dalam analisis transformasi struktur tenagakerja di Indonesia,
Budiharsono menemukan bahwa pangsa relatif tenagakerja sektor pertanian
terhadap total tenagakerja menurun dengan meningkatnya PDRB per kapita. Pada
sektor industri, mula-mula pangsa relatif tenagakerja meningkat, tetapi kemudian
menurun walaupun tidak setajam sektor pertanian. Sedangkan pangsa relatif
tenagakerja sektor jasa meningkat tajam bersamaan dengan peningkatan PDRB
per kapita. Pola normal transformasi struktur tenagakerja antardaerah agak
berbeda dengan pola normal transformasi struktur tenagakerja antar negaranya
Chenery-Syrquin, terutama untuk sektor industri. Penyimpangan transformasi
tenagakerja sektor industri dari pola normal Chenery-Syrquin diduga disebabkan
oleh investasi pada sektor industri lebih ditekankan kepada industri padat modal
yang kurang menyerap tenagakerja.
47
Bila mengacu pada Hipotesis Fisher, pola transformasi struktur tenagakerja
antardaerah juga tidak sesuai. Fisher menyatakan bahwa selama proses
transformasi struktural akan terjadi pergeseran permanen baik tenagakerja
maupun investasi dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor
tersier. Namun pada transformasi struktur tenagakerja antardaerah terlihat bahwa
tenagakerja sektor pertanian tidak bergeser ke sektor sekunder, tetapi langsung ke
sektor tersier (terutama jasa informal). Pola ini terjadi karena tenagakerja yang
bergeser dari sektor pertanian sebagian besar tidak memiliki keterampilan yang
memadai untuk masuk ke sektor industri, sehingga memilih sektor jasa informal
yang tidak memerlukan persyaratan keterampilan.
Dari sisi produktivitas tenagakerja ternyata bahwa sektor pertanian
mempunyai produktivitas yang paling rendah apabila dibandingkan dengan sektor
industri maupun sektor jasa. Produktivitas tenagakerja sektor industri dan sektor
jasa meningkat tajam dengan meningkatnya PDRB per kapita; sedangkan
produktivitas tenagakerja sektor pertanian peningkatannya hampir datar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa apabila penambahan tenagakerja di pedesaan
dengan lahan-lahan pertanian yang relatif tetap maka produktivitas tenagakerja di
sektor pertanian akan menurun.
Dalam kajian tentang transformasi distribusi pendapatan, Budiharsono
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin memperlebar
kesenjangan pendapatan antar golongan. Menurutnya, pola transformasi distribusi
pendapatan antardaerah berbeda dengan pola distribusi pendapatan dari Kuznets
maupun pola normal transformasi distribusi pendapatan Chenery-Syrquin. Pada
pola Chenery-Syrquin, pangsa Golongan 40 persen Terbawah terhadap total
48
pendapatan mula-mula menurun, kemudian meningkat. Sedangkan Golongan 20
persen Teratas adalah sebaliknya, mula-mula meningkat, kemudian menurun.
Pada kenyataannya, pola transformasi distribusi pendapatan antardaerah
menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara Golongan 40 persen
Terbawah dan Golongan 20 persen Teratas semakin melebar.
Selanjutnya, kajian tentang pengaruh Inpres dan PAD, Budiharsono
menunjukkan bahwa dana Inpres berpengaruh nyata terhadap pembentukan
struktur produksi, tenagakerja, dan distribusi pendapatan. Ini berarti Inpres tidak
hanya berorientasi pada pemerataan tetapi juga berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi. Hanya saja, untuk beberapa jenis Inpres, sistem alokasi antardaerah
masih perlu diperbaiki. Sebab, alokasi dana Inpres masih bias terhadap provinsi-
provinsi di pulau Jawa yang sebagian besar merupakan daratan (Azis, 1990;
dalam Budiharsono, 1996). Selanjutnya, Budiharsono mengungkapkan bahwa
Penerimaan Asli Daerah (PAD) berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian dan
berpengaruh positif terhadap sektor industri maupun sektor jasa. Ini berarti bahwa
peningkatan penerimaan PAD akan menurunkan pangsa relatif sektor pertanian
dan meningkatkan pangsa relatif sektor industri dan sektor jasa. Dengan kata lain,
PAD berperan dalam pembentukan struktur produksi daerah. Di samping itu, PAD
juga memperkuat transformasi struktur tenagakerja daerah; namun
mempertahankan status quo distribusi pendapatan yang ada.
Berangkat dari berbagai temuannya, Budiharsono menyarankan agar
restrukturisasi perekonomian Indonesia melalui perubahan strategi pembangunan
pertanian maupun industri. Strategi pembangunan pertanian hendaknya lebih
diarahkan pada pemenuhan pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri.
49
Sedangkan sektor industri diarahkan kepada industri hilir yang padat karya, yakni
industri kecil dan menengah. Khusus pembangunan Kawasan Timur Indonesia,
program-program dan proyek-proyek pembangunan hendaknya mengindahkan
hak-hak penduduk setempat bahkan meningkatkan kemampuan mereka dan
memberikan perlindungan yang jelas terhadap entitlement mereka.
Sutomo (1995), dalam laporan hasil penelitiannya tentang kemiskinan dan
pembangunan ekonomi di Indonesia, menyatakan bahwa studi tentang kemiskinan
pada umumnya menggunakan pengukuran dalam pengertian absolut (absolute
proverty) dan dalam pengertian relatif. Kemiskinan dalam pengertian absolut
sering dikaitkan dengan harta atau penghasilan (pendapatan) atau tingkat
kecukupan konsumsi pangan. World Bank menggunakan pendapatan per kapita
per tahun sebesar US$ 75 sebagai ukuran kemiskinan yang biasa disebut batas
miskin atau garis kemiskinan (proverty line). Sayogyo menggunakan ukuran
ekivalen beras 240 kilogram per kapita per tahun untuk daerah pedesaan dan 360
kilogram untuk daerah perkotaan. Sedangkan BPS (1992) menggunakan ukuran
konsumsi energi minimum sebanyak 2 100 kilo kalori per kapita per hari sebagai
batas miskin. Seseorang yang berada di bawah batas miskin tersebut
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Dengan menggunakan indikator-
indikator ini, banyaknya penduduk miskin di suatu wilayah dapat diperkirakan.
Kemiskinan relatif merupakan suatu ukuran yang membandingkan
pendapatan seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang dengan
kelompok lain. Ukuran-ukuran yang biasa digunakan adalah rasio gini atau
ukuran World Bank. Indeks gini mempunyai selang nilai antara nol dan satu. Bila
indeks gini bernilai nol berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang
50
sangat merata; sedangkan bila bernilai satu berarti distribusi pendapatan berada
pada tingkat yang sangat tidak merata. Biasanya, indeks gini jarang sekali
mempunyai nilai nol atau satu. Oleh karena itu Todaro (1987) mengelompokkan
ke dalam tiga kriteria, yaitu: (1) koefisien gini antara 0.20 – 0.35, distribusi
pendapatan merata, (2) koefisien gini antara 0.35 – 0.50, distribusi pendapatan
tidak merata, (3) koefisien gini antara 0.50 – 0.70, distribusi pendapatan sangat
tidak merata.
Indikator kemiskinan relatif yang lain adalah ukuran World Bank. Dalam
kaitan ini World Bank membagi penduduk suatu wilayah ke dalam tiga kelompok,
yakni: 40 persen penduduk berpendapatan rendah; 40 persen penduduk
berpendapatan menengah; dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Bila 40
persen penduduk berpendapatan rendah menerima kurang dari 12 persen dari total
pendapatan berarti ketidakmerataan pendapatan adalah tinggi; 12 persen sampai
dengan 17 persen ketidakmerataan pendapatan adalah sedang; dan menerima lebih
dari 17 persen berarti ketidakmerataan pendapatannya rendah.
Sutomo melakukan studi terhadap dua provinsi, yakni provinsi Riau dan
Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan referensi data tahun 1990. Provinsi
Riau dimaksudkan untuk mewakili Kawasan Barat Indonesia dan provinsi Nusa
Tenggara Timur mewakili wilayah Kawasan Timur Indonesia. Provinsi Riau
dipilih sebagai wilayah target karena provinsi ini tergolong salah satu provinsi
yang kaya sumberdaya alam, sedangkan provinsi Nusa Tengga Timur dipilih
karena provinsi ini tergolong termiskin berdasarkan PDRB per kapita pada tahun
1990. Selanjutnya, Sutomo mengelompokkan rumahtangga ke dalam empat
golongan, yakni: (1) rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian, (2)
51
rumahtangga buruh di sektor pertanian, (3) rumahtangga bukan buruh di sektor
non-pertanian; dan (4) rumahtangga buruh di sektor non-pertanian.
Dalam kajiannya, Sutomo menggunakan model Sistem Neraca Sosial
Ekonomi (social accounting matrix = SAM) menemukan bahwa rata-rata
pendapatan per kapita rumahtangga di provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun
1990 sebesar Rp 247.87 ribu per tahun dengan rincian: (a) rumahtangga bukan
buruh di sektor pertanian Rp 130.27 ribu; (b) rumahtangga buruh di sektor
pertanian Rp 193.91 ribu; (c) rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian
Rp 428.74 ribu; (d) rumahtangga buruh di sektor non-pertanian Rp 1 007.34 ribu.
Sedangkan rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga di provinsi Riau pada
tahun 1990 sebesar Rp 510.71 ribu per tahun dengan rincian: (a) rumahtangga
bukan buruh di sektor pertanian Rp 243.61 ribu; (b) rumahtangga buruh di sektor
pertanian Rp 359.93 ribu; (c) rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian
Rp 407.06 ribu; (d) rumahtangga buruh di sektor non-pertanian Rp 1 057.16
ribu. Dari hasil ini nampak bahwa baik di provinsi Nusa Tenggara Timur maupun
di provinsi Riau, golongan rumahtangga termiskin dalam ukuran relatif adalah
kelompok rumahtangga bukan buruh di sekor pertanian. Selain itu, nampak pula
bahwa pendapatan per kapita kelompok rumahtangga bukan buruh di sektor non-
pertanian di provinsi Nusa Tenggara Timur lebih baik daripada yang berada di
provinsi Riau. Nampak pula bahwa baik di provinsi Nusa Tenggara Timur
maupun di provinsi Riau, kelompok rumahtangga yang menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian pendapatan per kapitanya relatif rendah
dibandingkan kelompok rumahtangga yang berada di sektor non-pertanian. Hal ini
terjadi karena harga komoditas pertanian ternyata terlalu rendah sehingga
pendapatan rumahtangga di sektor pertanian menjadi rendah.
52
Berdasarkan ukuran kemiskinan absolut, kelompok rumahtangga yang
tergolong miskin di Nusa Tenggara Timur adalah: rumahtangga bukan buruh di
sektor pertanian dan rumahtangga buruh di sektor pertanian. Sedangkan kelompok
rumahtangga yang tergolong miskin di provinsi Riau adalah: rumahtangga bukan
buruh di sektor pertanian; rumahtangga buruh di sektor pertanian; dan
rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian. Ukuran yang digunakan untuk
mengukur tingkat kemiskinan absolut di kedua provinsi ini adalah: tingkat
pendapatan per kapita per tahun sebagai batas miskin untuk provinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar Rp 324.60 ribu dan untuk provinsi Riau sebesar Rp
419.00 ribu. Perbedaan ukuran batas miskin ini disebabkan oleh perbedaan tingkat
biaya hidup di masing-masing provinsi. Dari sisi total penduduk miskin pada
tahun 1990, kondisi provinsi Riau relatif lebih baik dari provinsi Nusa Tenggara
Timur. Jumlah penduduk miskin di provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1990
adalah 28.9 persen dari jumlah penduduk setempat, dan provinsi Riau sebanyak
19.6 persen dari jumlah penduduknya. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk
miskin lebih banyak berada di provinsi miskin daripada di provinsi kaya.
Kemiskinan rumahtangga lebih disebabkan oleh faktor kepemilikan (entitlement)
yang terbatas. Karena faktor ini, rumah tangga tidak dapat melakukan
pengembangan diri, seperti melakukan pengembangan usaha rumahtangga dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sehingga pendapatan yang mereka
peroleh dari hasil usaha atau menjual jasa tenanga kerja juga menjadi rendah.
Pada gilirannya, proses ini berulang kembali dalam bentuk efek sirkular, sehingga
53
dapat disebutkan bahwa kemiskinan rumahtangga merupakan penyebab
kemiskinan rumahtangga (vicious circle of poverty).
Selanjutnya, berdasarkan rasio gini, distribusi pendapatan di kedua provinsi
dalam keadaan yang sangat tidak merata, di mana koefisien gini provinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar 0.5266 dan provinsi Riau sebesar 0.5275.
Temuan lain dari penelitian Sutomo adalah bahwa dampak pembangunan
ekonomi yang berpusat pada strategi pertumbuhan ekonomi ternyata lebih banyak
dinikmati oleh kelompok rumah tangga tidak miskin dan relatif sedikit kelompok
rumahtangga miskin yang bisa menikmatinya. Hal ini terjadi karena strategi
pertumbuhan ekonomi lebih menitikberatkan kepada kepemilikan (seperti
kepemilikan modal) di antara pelaku-pelaku ekonomi yang ada. Rumahtangga
miskin merupakan suatu kelompok masyarakat dengan kepemilikan modal
terbatas. Karena keterbatasan modal inilah mereka menjadi kurang mampu
menangkap hasil-hasil pembangunan ekonomi. Mereka kalah bersaing dengan
pengusaha yang memiliki banyak modal atau yang memiliki akses ke sumber-
sumber permodalan. Akibat dari keadaan ini adalah: pertama, sebagian besar
ekonomi rakyat menjadi tergusur; kedua, sebagian besar hak-hak rumahtangga
menjadi hilang.
Menurut Sutomo, kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang
kompleks, karena kemiskinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
sumber wilayah, kegagalan kelembagaan, atau faktor-faktor sosial-ekonomi, di
mana faktor-faktor tersebut dapat saling berinteraksi dan menimbulkan
kemiskinan. Karena kompleksnya permasalahan kemiskinan, maka solusi
permasalahan kemiskinan di suatu wilayah perlu merujuk kepada penyebab
54
kemiskinan yang spesifik bagi wilayah bersangkutan; dan bukan merupakan suatu
solusi yang unik bagi semua wilayah. Ini berarti bahwa solusi kemiskinan harus
mengacu kepada kondisi dan kepentingan masing-masing wilayah dan berpihak
kepada penduduk miskin.
Hadi (2001) juga melakukan studi tentang disparitas pendapatan antara
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ia
mengelompokkan semua provinsi yang berada di pulau Jawa dan pulau Sumatera
ke dalam Kawasan Barat Indonesia dan semua provinsi-provinsi di luar Jawa dan
Sumatera dimasukkan ke dalam kelompok Kawasan Timur Indonesia. Dengan
menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi–Antarregion (SNSE-AR)
dan basis data tahun 1993, Hadi menelaah hal-hal berikut: (1) Ketimpangan
pembangunan wilayah antara KBI dan KTI, (2) Keterkaitan antarsektor-sektor
ekonomi intra maupun antar KBI dengan KTI, (3) Dampak perubahan kebijakan
pembangunan terhadap disparitas KBI dengan KTI, dan (4) Merumuskan strategi
percepatan pembangunan KTI dalam mewujudkan keseimbangan pembangunan
antarwilayah KBI dengan KTI.
Analisis keterkaitan ditunjukkan oleh koefisien input neraca sektor ekonomi
dalam SNSE-AR, KBI-KTI Tahun 1993. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa
sektor-sektor ekonomi di KTI mempunyai ketergantungan yang lebih besar
terhadap sektor-sektor ekonomi di KBI dari pada sebaliknya. Sektor-sektor
ekonomi KTI memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KBI rata-rata 29.0
persen dari total input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KTI yang
terdiri atas: sektor primer 32.1 persen, sektor industri 28.6 persen, dan sektor jasa-
jasa sebesar 26.4 persen. Sedangkan sebaliknya, sektor-sektor ekonomi KBI
55
memerlukan input dari sektor-sektor ekonomi KTI rata-rata 4.80 persen dari total
input yang dibutuhkan oleh sektor-sektor ekonomi KBI yang terdiri atas: sektor
primer 6.40 persen, sektor industri 5.30 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 2.80
persen. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat suatu kendala terhadap investasi
di KTI yaitu ketergantungan KTI terhadap bahan baku hasil industri di KBI.
Hasil pendugaan keterkaitan langsung sektor-sektor ekonomi KBI dan KTI
tahun 1993 menujukkan bahwa 39.1 persen total output sektor industri KBI dijual
ke KTI, namun sebaliknya tidak ada hasil industri KTI yang mengalir ke KBI.
Hasil sektor primer KTI yang mengalir ke KBI sebanyak 12.2 persen dan
sebaliknya hanya sebesar 3.4 persen. Sektor jasa-jasa yang mengalir dari KBI ke
KTI sebanyak 9.3 persen dan sebaliknya hanya 3.0 persen. Selanjutnya
diungkapkan pula bahwa input yang diperlukan KBI yang berasal dari KTI
sebagian besar berbentuk bahan baku primer, yakni sebanyak 92.9 persen untuk
input sektor primer, 89.3 persen untuk input sektor industri, dan 48.0 persen untuk
input sektor jasa-jasa di KBI. Sebaliknya, aliran input dari KBI ke KTI sebagian
besar berbentuk bahan baku hasil industri, yaitu: 89.7 persen untuk input sektor
primer, 89.9 persen untuk input sektor industri, dan 86.6 persen untuk input sektor
jasa-jasa di KTI. Dari sisi keterkaitan output (forward linkage) menunjukkan
bahwa aliran output (barang dan jasa) dari sektor-sektor ekonomi KBI ke sektor-
sektor ekonomi KTI sebagian besar untuk input sektor-sektor industri di KTI,
yang terdiri atas: 85.4 persen output sektor primer untuk input sektor industri;
51.8 persen output sektor industri untuk input sektor industri. Sedangkan bagian
terbesar dari output sektor jasa-jasa KBI yang mengalir ke KTI digunakan sebagai
input sektor jasa-jasa, yakni sebesar dan 42.7 persen. Sebaliknya, bagian terbesar
56
dari output sektor primer KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor
industri yakni sebesar 58.5 persen. Bagian terbesar dari output sektor jasa-jasa
KTI yang mengalir ke KBI digunakan untuk input sektor jasa-jasa yakni sebesar
51.1 persen. Sedangkan output sektor industri KTI tidak ada yang mengalir ke
KBI.
Analisis keterkaitan output (forward linkage) dan keterkaitan input
(backward linkage) menunjukkan bahwa dari tiga sektor ekonomi secara agregat,
maka terdapat keterkaitan yang lebih tingggi di sektor industri antara kedua
wilayah. Artinya, sektor industri di kedua region membutuhkan input bahan baku,
baik bahan baku primer, industri sendiri, maupun dari sektor jasa-jasa yang
dihasilkan masing-masing (kecuali sektor industri dari KTI). Selain itu, juga
terdapat ketimpangan aliran barang dan jasa pada perdagangan domestik antara
kedua wilayah.
Temuan lain dari Hadi adalah bahwa struktur pemilikan faktor produksi
antarwilayah yang tidak seimbang menyebabkan struktur penerimaan institusi
antarwilayah menjadi tidak seimbang. Penerimaan antarwilayah rumahtangga
pedesaan KBI jauh lebih besar dibanding penerimaan antarwilayah rumahtangga
pedesaan KTI. Hal yang sama juga berlaku bagi golongan rumahtangga perkotaan
di kedua wilayah. Dari sisi struktur pengeluaran rumahtangga antarwilayah,
nampak bahwa pengeluaran rumahtangga pedesaan KBI hanya membelanjakan
5.0 persen dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KTI dan
sebaliknya pengeluaran rumahtangga pedesaan KTI membelanjakan 32.4 persen
dari total pengeluarannya atas output sektor produksi KBI.
57
Hasil analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai pengganda dari ketiga
neraca endogen (neraca faktor produksi; neraca institusi; dan neraca sektor
produksi) di KBI hampir dua kali lebih besar disbanding di KTI. Sedangkan
analisis keterkaitan menunjukkan nilai tambah dari dampak penambahan satu
rupiah neraca eksogen di KTI akan kembali ke KBI rata-rata 31.4 persen dari total
nilai tambah setiap sektor. Sebaliknya penambahan satu rupiah neraca eksogen di
KBI, maka nilai tambah yang mengalir ke KTI rata-rata hanya 4.9 persen dari
total nilai tambah setiap sektor.
Akhirnya Hadi merekomendasikan bahwa upaya percepatan pembangunan
Kawasan Timur Indonesia hanya mungkin terjadi apabila pemerintah pusat
melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi bagi pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembangunan sesuai dengan aspirasi dan potensi daerah serta
perkembangan pasar internasional.
Selain Hadi, model Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) juga
digunakan oleh Achjar, Hewings, dan Sonis (2003) untuk menyelidiki sifat
ketergantungan interregional dengan menggunakan metoda Interregional Block
Structural Path Analysis. Mereka menggunakan IRSAM Lima Pulau tahun 1995
yang telah dibangun untuk pertama kali bagi Indonesia. Wilayah yang diliput
adalah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya (Other Island) yang
merupakan wilayah makro. Sedangkan klasifikasi IRSAM Lima Pulau 1995
meliputi lima tipe faktor produksi (empat tipe tenagakerja dan satu tipe kapital),
lima tipe institusi (tiga tipe rumahtangga, perusahaan dan pemerintah masing-
masing satu tipe), dan sembilan tipe aktivitas produksi.
58
Dalam studi Achjar, Hewings, dan Sonis (2003) mengilustrasikan bahwa
selama tiga dekade pembangunan ekonomi cenderung terpusat di Jawa, sehingga
menghasilkan suatu fenomena core-periphery yang direfleksikan oleh
ketergantungan kebanyakan wilayah kepada perekonomian Jawa. Pembahasan
hasil dilakukan dalam tiga fragmen, yakni: (1) output dan pendapatan secara
global (Global Output and Income), (2) injeksi terhadap institusi oleh wilayah
makro (Injection of Institutions by Macro Region), dan (3) injeksi terhadap
aktivitas oleh wilayah makro (Injection of Activities by Macro Region).
Pada fragmen Global Output and Income ditemukan bahwa injeksi institusi
menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 17.7 persen dari total pendapatan
institusi dalam suatu sistem. Sebagai perbandingan, injeksi pada aktivitas dalam
sistem, menghasilkan nilai pendapatan institusi sebesar 81.2 persen dari total
pendapatan institusi dalam keseluruhan sistem ekonomi. Keseluruhan injeksi
institusi hanya mengahasilkan permintaan output sebesar 8.2 persen dari total
output, injeksi terhadap aktivitas menghasilkan 91.3 persen dari total output. Rata-
rata, injeksi terhadap institusi dan aktivitas secara bersama-sama menghasilkan
hampir 99 persen dari total output dan pendapatan di Indonesia; tinggal satu
persen yang dikontribusikan oleh pendapatan faktorial.
Injeksi di atas berasal dari blok matrik institusi dan aktivitas produksi secara
simultan dalam keseluruhan sistem, hanya memberi suatu gambaran global
mengenai share instiutsi dan aktivitas produksi terhadap hasil output global dalam
suatu sistem ekonomi. Dengan demikian diperlukan suatu dekomposisi yang baru
untuk memisahkan pengaruh institusi dan produksi dari masing-masing wilayah
59
makro, sehingga besarnya pengaruh dari suatu region ke region lainnya dapat
ditelusuri.
Dalam fragmen kedua (Injection of Institutions by Macro Region) ditemukan
bahwa injeksi terhadap institusi di Sumatera menghasilkan 79.7 persen dari total
pendapatan yang dihasilkan di Sumatera. Walaupun tidak ada keterkaitan
langsung antara institusi di Sumatera dengan di Jawa, akan tetapi injeksi institusi
di Sumatera menghasilkan nilai pendapatan institusi di Jawa sebesar 18 persen
dari total pendapatan di Sumatera sebagai hasil dari keterkaitan langsung antara
aktivitas produksi kedua region. Dibandingkan dengan empat region lainnya,
dampak dari injeksi terhadap wilayahnya sendiri, pulau Jawa memperoleh bagian
tertinggi, yakni 94.2 persen dari total pendapatan, Sumatera (79.7 persen),
Kalimantan (74.9 persen), Sulawesi (75.5 persen), dan Other Island (72.2 persen).
Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa injeksi dari setiap empat region
tersebut lebih terkait dengan Jawa daripada tiga wilayah lainnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perubahan pendapatan institusi akan merubah pola
konsumsi, yang kemudian meningkatkan permintaan terhadap output yang
dihasilkan oleh sektor produksi di Jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dari
transformasi aktivitas sebagai hasil dari perubahan pendapatan institusi. Sebagai
contoh, injeksi terhadap pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan 88.8
persen dari aktivitas produksi di Sumatera, dan sisinya diambil dari Jawa. Pola
yang sama juga berlaku di Kalimantan di mana 17 persen dari total permintaan
output datang dari Jawa. Keterkaitan antara Other Island dengan Jawa sangat kuat
60
dibandingkan keterkaitan antara pulau-pulau yang berdekatan seperti antara Other
Island dengan Sulawesi atau Other Island dengan Kalimantan. Injeksi terhadap
pendapatan institusi di Other Island menghasilkan 21 persen pendapatan institusi
di Jawa, sedangkan dengan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi hanya kurang
dari tiga persen. Observasi terakhir dari rantai reaksi atas dampak injeksi institusi
oleh region individu, secara keseluruhan menunjukkan kuatnya keterkaitan antara
Jawa dan Sumatera. Injeksi pendapatan institusi di Sumatera menghasilkan 17.9
persen dari output manufaktur berasal dari Jawa. Di samping itu, juga
menghasilkan sekitar 17 persen dari jasa keuangan, dan 17 persen dari sektor
perdagangan, hotel & restoran yang juga berasal dari Jawa.
Fragmen ketiga (Injection of Activities by Macro Region) mengungkapkan
tentang output agregat sebagai hasil dari injeksi pada sektor aktivitas produksi
setiap wilayah makro dan pengaruhnya terhadap wilayah lainnya. Pada tingkat
agregate, injeksi aktivitas produksi di Sumatera menghasilkan 60.3 persen dari
total output yang dihasilkan dalam wilayah sendiri (self-generating output), 35.8
persen berasal dari Jawa, sedangkan sisanya yang jumlahnya sangat kecil berasal
dari wilayah lain. Berlawanan dengan Kalimantan, 39 persen aktivitas berasal dari
Jawa sedangkan yang dihasilkan sendiri (self-generating output) hanya
memberikan kontribusi sebesar 49 persen dari total output. Analisis yang lebih
rinci dalam fragmen ini menunjukkan bahwa perekonomian Sumatera dan Jawa
memiliki keterkaitan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan tiga wilayah
makro lainnya, karena secara geografis kedua wilayah tersebut yang demikain
61
dekat dan infrastruktur transportasi yang cukup untuk menghubungkan kedua
wilayah. Sebagai contoh, injeksi aktivitas di Jawa menghasilkan 16.3 persen
output pertanian berasal dari Sumatera, diikuti oleh Kalimantan (tujuh persen),
Sulawesi (tujuh persen), and Other (3.64 persen). Selanjutnya diungkapkan bahwa
transformasi aktivitas manufaktur di Sumatera hanya menghasilkan sekitar 55
persen dari total output internal, selebihnya lebih dari 40 persen dihasilkan di
Jawa, dan proporsi yang sangat kecil berasal dari wilayah lainnya. Hasil ini
menunjukkan bahwa ketergantungan Sumatera terhadap Jawa sedemikian kuat –
berpusat pada hampir semua aktivitas ekonomi.
Kesimpulan akhir dari analisis ini adalah bahwa injeksi institusi dan aktivitas
produksi di Jawa tidak memberikan dorongan terhadap perubahan perekonomian
wilayah lain dengan persentasi yang tinggi. Sebaliknya, injeksi institusi atau
aktivitas produksi pada wilayah lain dapat menghasilkan hubungan asosiasi
institusi, aktivitas, dan pendapatan faktorial di Jawa melalui keterkaitan
perdagangan. Proses asimetris ini merupakan problem utama dalam strategi
pembangunan regional, yakni usaha untuk mengurangi disparitas kesejahteraan
antarwilayah. Suatu temuan penting dari analisis ini adalah bahwa struktur
ekonomi regional Jawa mengandung self-generation dengan derajat yang tinggi,
terutama dalam manufaktur dan beberapa jasa. Dengan self-influence yang tinggi
dalam industri manufaktur dan sebagian besar aktivitas produksi di Jawa.
Permintaan wilayah Jawa tidak sensitif terhadap perubahan output wilayah lain,
62
kecuali sektor pertambangan. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa self-
influence dari sektor barang lebih tinggi dari sektor jasa.
Rahman dan Utama (2003) menganalisis dampak desentralisasi fiskal di
Indonesia dengan mengunakan model Interregional Social Accounting Matrix
(IRSAM). Dalam model ini Indonesia dikelompokkan kedalan dua wilayah makro
(macro region), yakni wilayah Jawa dan wilayah Luar Jawa, dan tujuh wilayah
mikro (micro region) yakni Jawa Barat (termasuk Jakarta dan Banten), Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya di
Timur Indonesia. Dalam konstruksi model tersebut, Rahman dan Utama
mengUpdate data IRSAM 1990 (102 x 102) yang dibangun oleh Wuryanto pada
tahun 1996 menjadi IRSAM 1999 (30 x 30).
Analisis multiplier effect dari injeksi neraca pemerintah menunjukkan bahwa
apabila arus pengeluaran pemerintah terjadi di Jawa, dampak pertumbuhan lebih
besardi wilayah Jawa (77.93 persen berasal dari daerah dan 77.807 persen dari
pusat). Dampak Spillover adalah sisanya (22.069 persen dari daerah dan 22.192
persen dari pusat). Jika injeksi neraca pemerintah di luar Jawa, dampak
distribusinya lebih berimbang antara Jawa dan luar Jawa. Perilaku dari multiplier
effect di Jawa mencapai 45.066 persen dan sisanya di wilayah asal (origin region),
outer island (54.933 persen). Data-data mengindikasikan bahwa ekonomi
Indonesia demikian tergantung pada wilayah Jawa. Fenomena ini juga
ditunjukkan oleh penggunaan tenagakerja dan modal oleh Luar Jawa yang
kebanyakan datangnya dari Jawa.
63
Bila diamati lebih jauh, strategi terbaik (the best strategy) dalam injeksi
neraca pemerintah melalui transfer antar pemerintah dari luar jawa, pengeluaran
pemerintah lokal (current and investment) memiliki efek yang lebih besar
daripada pengeluaran langsung pemerintah pusat. Keunggulan lain dari injeksi
neraca pemerintah melalui lokal, pada umumnya pendapatan intra region lebih
baik.
Dalam konteks output multiplier ditemukan bahwa efek multiplier dari
belanja rutin (current account) pemerintah (pusat dan daerah) pada semua wilayah
selalu lebih baik dari pengeluaran investasi (investment account) pemerintah.
Dengan demikian, mirip kasus income multiplier, output multiplier dalam
pengeluaran investasi pemerintah tidak dapat menangkap penambahan output
yang dihasilkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan datang
dari proyek-proyek investasi yang menyeluruh, yang memungkinkan perbaikan
kapasitas produksi pada umumnya.
Pengujian atas pengaruh injeksi pemerintah terhadap aktivitas produksi,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh yang paling kuat dari pengeluaran rutin
pemerintah (Jawa dan Luar Jawa) selalu ditemukan pada sektor jasa. Bila
pengeluaran berasal dari Jawa, multiplier effect mencapai 85.67 persen di Jawa,
dan sisanya di Luar Jawa sebesar 14.321 persen. Di pihak lain bila injeksi itu
berasal dari Luar Jawa, wilayah Jawa memperoleh 38.856 persen dari output
multiplier.
64
Analisis output multiplier juga menunjukkan bahwa output multiplier tidak
tumbuh di wilayah asal, yang kebanyakan memberikan dampak tertinggi pada
sektor manufaktur. Alasan utama mengapa sektor jasa memperoleh dampak
multiplier tertinggi adalah karena kebanyakan dari komponen current expenditure
adalah belanja rutin atau pembelian secara reguler. Dalam perspektif pengeluaran
investasi pemerintah di kedua wilayah, nilai tertinggi dari output multiplier selalu
ditemukan pada sektor manufaktur. Kondisi ini sama bagi pemerintah pusat
maupun daerah. Ini terjadi karena kebanyakan dari pengeluaran investasi adalah
untuk membeli barang modal yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas
produksi.
Lebih jauh, ditemukan fenomena yang sama, pengeluaran investasi yang
berasal dari Jawa mempunyai spillover effect yang lebih kecil daripada
pengeluaran yang berasal dari Luar Jawa. Kondisi yang sama juga terjadi pada
neraca investasi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran barang
modal dan jasa (kapital goods and services) di Luar Jawa demikian tergantung
pada industri-industri di Jawa. Dalam kaitan ini, Rahman dan Utama memandang
bahwa strategi yang baik dalam pengeluaran pemerintah adalah mengalokasikan
dana investasi ke luar Jawa. Injeksi alokasi dana investasi ini akan mengurangi
disparitas antarwilayah dan juga mempromosikan aktivitas manufaktur di luar
Jawa.
Observasi selanjutnya adalah menjelajahi dampak anggaran pemerintah
daerah untuk tahun fiskal 2002 yang dibandingkan dengan matriks awal (the
65
initial matrix) dari IRSAM 99. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
alokasi anggaran pemerintah daerah tahun 2002 dapat menyeimbangkan
pendapatan, mengurangi disparitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional. Untuk keperluan ini digunakan sejumlah asumsi dalam simulasi sebagai
berikut : (1) Variabel shock menggunakan DAU, DAK, dan Dana Perimbangan
(balancing finance) dari fiskal tahun 2002, (2) Semua pembayar transfer
didistribusikan pada belanja rutin dan investasi pemerintah daerah, (3) DAK harus
dialokasikan pada sektor-sektor: infrastruktur (jalan dan irigasi), infrastruktur
pemerintah, kesehatan, dan pendidikan. Konsekuensinya, DAK hanya dapat
digunakan melalui neraca nengeluaran investasi regional, (4) DAU adalah dana di
mana pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mengalokasinya. Berdasarkan
definisi ini diasumsikan bahwa kebanyakan dana pengeluaran rutin bersumber
dari DAU. Dengan asumsi tersebut, studi ini menetapkan 90 persen dari DAU
akan dialokasikan kedalam belanja rutin pemerintah daerah, dan sisanya
dialokasikan sebagai investasi, (5) dana perimbangan yang terdiri atas income
sharing on tax dan natural resources yang tidak memiliki jadual penerimaan yang
tetap, juga pembayaran dana perimbangan tidak semuanya pada setiap tahun
fiskal. Dalam kondisi ini, diasumsikan bahwa semua dana dialokasikan pada
pengeluaran investasi daerah, dan (6) neraca pemerintah pusat menggunakan data
dari APBN. Proses distribusi terhadap daerah mengikuti proporsi distribusi DAK,
DAU, dan dana perimbangan.
66
Didasarkan pada data income multiplier dan output multiplier di atas, income
multiplier selalu di bawah satu pada semua level, yang berarti bahwa pendapatan
rumahtangga aktual yang diterima selalu lebih rendah dari jumlah pengeluaran
pemerintah atas itu. Dalam konteks output multiplier, nilainya bervariasi dari di
bawah satu dan diatas dua. Akumulasi dari multiplier belanja rutin dan investasi
pemerintah selalu nilainya lebih besar dari satu. Ini menggambarkan bahwa
penerimaan pendapatan aktual pada sektor-sektor produksi lebih besar daripada
pengeluaran aktual yang dibelanjakan oleh pemerintah pada semua tingkat.
Analisis dengan menggunakan variabel shock senantiasa memperhatikan income
multiplier dan output multiplier di atas, kemudian analisis dibatasi pada skenario
berikut ini:
1. Skenario satu, simulasi menggunakan variabel shock DAU, DAK, dan DP
(dana perimbangan) lalu didistribusikan sebagai proporsi dari IRSAM 99. Di
balik tujuan simulasi ini adalah untuk memperkirakan pendapatan aktual dari
keseluruan perkonomian. Hal ini berarti juga bahwa pemerintah tidak
memiliki otoritas mengubah perilaku alokasi terhadap preferensi sektor dan
rumahtangga.
2. Skenario kedua, dalam pandangan ini pemerintah lokal mempunyai otoritas
untuk mengubah alokasi anggaran. Skenario ini menyediakan anggaran
terhadap sektor-sektor yang tergantung pada nilai pengaruh global (global
influence). Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mengoptimalkan pendapatan
dari keseluruhan perekonomian dan untuk mengukur disparitas antarwilayah.
3. Dalam anggaran nasional (APBN) tidak menambah perubahan yang
dipertimbangkan, karena tujuan dari simulasi difokuskan pada menangkap
dampak variabel shock dari pemerintah lokal di bawah asumsi variabel-
variabel lain dalan kondisi ceteris paribus.
67
Dari simulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa disparitas di antara berbagai
sektor sedemikian melebar. Dari data dapat dicatat bahwa semua distribusi
pendapatan hanya berdampak pada wilayah itu sendiri. Pada simulasi kedua,
ditemukan bahwa injeksi pada neraca pengeluaran rutin di Jawa kurang
berpengaruh terhadap wilayah lain dibandingkan injeksi pada neraca pengeluaran
rutin di luar Jawa.
Bila injeksi belanja rutin berasal dari Jawa hanya memberikan pengaruh
terhadap pendapatan di luar Jawa sebesar 1.52 persen, tetapi bila berasal dari luar
Jawa akan memberikan pengaruh terhadap distribusi pendapatan di Jawa sebesar
27.32 persen. Fenomena yang sama juga terjadi pada neraca investasi regional,
bila injeksi dari Jawa hanya memberikan pengaruh terhadap penambahan output
di luar Jawa sebesar 1.47 persen, sedangkan sebaliknya sebesar 18.59 persen.
Selanjutnya, sektor manufaktur, jasa, dan pertanian di Jawa merupakan
sektor dominan dalam alokasi anggaran dan juga memperoleh porsi tertinggi dari
output multiplier dari Luar Jawa. Sektor jasa, manufaktur, pertambangan, dan
pertanian di luar Jawa merupakan sektor utama (prominent) yang banyak
memberikan pengaruh terhadap keseluruhan perekonomian. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sektor manufaktur, jasa, pertanian, dan pertambangan
mempunyai keterkaitan inter dan intra yang luas pada berbagai sektor dan
berbagai wilayah. Kesimpulan akhir dari studi Rahman dan Utama adalah bahwa
perilaku perekonomian Indonesia demikian tergantung pada pulau Jawa. Dengan
demikian perencanaan pembangunan selayaknya diletakkan pada pemberdayaan
potensi ekonomi luar Jawa. Selanjutnya, dari analisis pendapatan rumahtangga
dapat dicatat bahwa kekurangan kapasitas SDM di Luar Jawa perlu ditingkatkan.
Terakhir, desentralisasi fiskal memberikan peluang untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional dan mengurangi disparitas di antara berbagai
wilayah melalui transfer antar pemerintah lewat DAU, DAK, DP.
68