bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf2.1.2 perubahan fisiologi pada lansia yang...

18
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sit To Stand 2.1.1 Sit to stand pada lansia Umur mempengaruhi control postur dan konsekuensi pada fungsi yang berbeda dan resiko jatuh yang telah banyak tercatat. Pada studi epidemiologi dan studi klinis, kemampuan saat stand up dari kursi dianggap sebagai suatu indikator yang penting pada lansia dengan keterbatasan fungsional yang berbeda-beda dan sebagai prediksi jatuh. Pada prosesnya, sit to stand pada lansia yang dibandingkan dengan remaja berdasarkan penelitian Mourey et al dalam “A kinematic comparison between elderly and young subjects standing up from sitting down in a chair” menunjukan bahwa terdapat perbedaan waktu yang signifikan yaitu pada remaja dalam kondisi normal menunjukan 1.31±0.11 s saat standing up dan 1.40±0.15 s saat sitting down. Pada subjek lansia yaitu 1.33±0.24 s and 1.69±0.31 s. 2.1.2 Perubahan fisiologi pada lansia yang berdampak pada kemampuan sit to stand Pada penuaan akan terjadi perubahan fisiologis mengenai system musculoskeletal, saraf, kardiovaskuler-respirasi, indra, dan integument

Upload: lynga

Post on 11-Aug-2019

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sit To Stand

2.1.1 Sit to stand pada lansia

Umur mempengaruhi control postur dan konsekuensi pada fungsi yang

berbeda dan resiko jatuh yang telah banyak tercatat. Pada studi epidemiologi dan

studi klinis, kemampuan saat stand up dari kursi dianggap sebagai suatu indikator

yang penting pada lansia dengan keterbatasan fungsional yang berbeda-beda dan

sebagai prediksi jatuh. Pada prosesnya, sit to stand pada lansia yang dibandingkan

dengan remaja berdasarkan penelitian Mourey et al dalam “A kinematic

comparison between elderly and young subjects standing up from sitting down in

a chair” menunjukan bahwa terdapat perbedaan waktu yang signifikan yaitu pada

remaja dalam kondisi normal menunjukan 1.31±0.11 s saat standing up dan

1.40±0.15 s saat sitting down. Pada subjek lansia yaitu 1.33±0.24 s and 1.69±0.31

s.

2.1.2 Perubahan fisiologi pada lansia yang berdampak pada kemampuan

sit to stand

Pada penuaan akan terjadi perubahan fisiologis mengenai system

musculoskeletal, saraf, kardiovaskuler-respirasi, indra, dan integument

8

(Pudjiastuti, 2003). Namun pada pembahasan ini hanya dijelaskan mengenai

system musculoskeletal karena terkait dengan penelitian skripsi yang diambil.

1. Sistem Muskuloskeletal

a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai protein

pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan

pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang

teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan

linier pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan

mobilitas pada jaringan tubuh . Setelah kolagen mencapai puncak fungsi

atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile strength dan kekakuan dari

kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan

ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitatif dan

kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada kolagen itu merupakan

penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia.

b. Kartilago. Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata.

Selanjutnya, kemampuan kartiago untuk regenerasi berkurang dan

degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang

merupakan komponen dasar matriks berkurang atau hilang secara

bertahap. Setelah matriks mengalami deteorisasi, jaringan fibril pada

kolagen kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung

mengalami fibrilasi sehingga persendian menjadi rentan terhadap cedera.

9

c. Tulang. Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi, adalah

bagian dari penuaan fisiologi. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan

trabekula transversal terabsorpsi kembali. Sebagai akibat perubahan itu,

jumlah tulang spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis.

d. Otot. Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan

jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan

jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Dampak morfologis

otot adalah penurunan kekuatan otot, penurunan fleksibilitas, peningkatan

waktu reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot.

e. Sendi. Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan

fascia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan

periartikular memgalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi

degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi

kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penururnan luas gerak sendi.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi sit to stand

Beberapa hal yang mempengarui kemampuan sit to stand antara lain :

a. Gaya gravitasi

Pada manusia gravitasi dapat diartikan sebagai usaha tubuh dalam

mempertahankan keseimbangan saat gravitasi bekerja padanya.

Keseimbangan sangat berkaitan erat dengan gravitasi. Menurut O’Sullivan

tahun 1999, keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan

pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak. Selain

10

itu menurut Ann Thomson tahun 1991, keseimbangan adalah kemampuan

untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan maupun dalam

keadaan statik atau dinamik, serta menggunakan aktivitas otot yang

minimal. Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif

untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) ataupusat gravitasi

(center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support).

Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh

dengan di dukung oleh sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu.

Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu

akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan

efisien.

b. Kekuatan otot

Kemampuan otot dalam melakukan kontraksi dan menghasilkan gerak

secara sinergis.

c. Usia

Semakin meningkatnya usia seseorang maka akan diikuti dengan

penurunan fungsi sistem organ. Penurunan kinerja sistem organ secara

tidak langsung mempengaruhi kualitas kerja.

d. Psikologis

Pengalaman terjatuh, sakit, cedera atau rasa tidak enak saat melakukan

aktifitas mempengaruhi keberanian seseorang dengan kata lain

mempengaruhi psikologi orang tersebut yang nantinya akan menjadi

11

kebiasaaan lansia berada pada posisi lever arm yang panjang dan dengan

bantuan eksternal.

e. Masa Tubuh

Komponen komposisi tubuh, dihitung dengan mengurangkan berat lemak

tubuh dari total berat badan : berat total tubuh ditambah lemak. Jika masa

tubuh seseorang tinggi maka saat lever arm pendek itu akan membebani

sendi terutama sendi lutut saat akan berdiri. Pada posisi ini lutut akan

mendapatkan gaya dorongan yang kuat (vector) akibat masa tubuh bagian

atas (badan) yang termasuk dalam kategori overweight dan obese

dibandingkan pada kategori normal.

f. Keseimbangan

Kemampuan untuk mempertahankan gravitasi tetap berada pada bidang

tumpu.

2.2 Biomekanik Dan Anatomi Terapan Pada Lansia Saat Sit To Stand

Pada sub ini anatomi dan biomekanik yang akan dijelaskan hanya yang

memiliki peran lebih besar dalam menentukan gerakan saat STS. Antara lain:

a. Pelvis dan hip joint

Pelvis merupakan salah satu bagian dari tubuh yang terletak antara trunk dan

thighs.Bagian tulang dari pelvis terdiri dari sacrum, coccyx dan dua tulang

pelvis. Ketika pelvis bergerak menjadi satu kesatuan unit, gerakan ini terjadi

relative terhadap lumbal spine dari trunk pada lumbosacral joint. Pelvis akan

bergerak anterior tilt dan posterior tilt pada saggital plane dengan axis

mediolateral. Jika tidak terjadi gerakan pada hip joint ketiks pelvis bergerak

12

terhadap lumbosacral joint, selanjutnya thighs akan terfiksasi pada pelvis dan

akan mengikuti gerak pelvis.

Gambar 2.1 : Anterior Tilting Pelvis terhadap Lumbosacral Joint dilihat dari Lateral

(Sumber : Muscolino, 2006)

Gambar 2.2 : Posterior Tilting Pelvis terhadap Lumbosacral Joint dilihat dari Lateral

(Sumber :Muscolino, 2006)

Ketika pelvis bergerak dalam satu kesatuan unit , gerakan pelvis ini juga

sering terjadi relative terhadap thighs pada hip joint. Jika tidak terjadi gerakan

pada lumbosacral joint ketika pelvis bergerak terhadap hip joint, selanjutnya

trunk akan memfiksasi pelvis dan akan mengikuti gerak pelvis (Norkin, 1992).

Ketika seseorang berdiri tegak dan terjadi anterior tilting pada pelvis terhadap

hip joint (trunk terfiksasi pada pelvis) untuk bendforward, gerakan ini sering

13

tidak dapat dijelaskan sebagai fleksi trunk atau fleksi spine. Kenyataannya,

trunk tidak bergerak dalam konteks ini, karena tidak bergerak relative

terhadap pelvis namun bergerak mengikuti pelvis. Oleh karena itu, tidak ada

gerakan yang terjadi pada spinal joint. Gerakan yang terjadi karena fleksi dari

hip joint dimana pelvis bergerak anterior tilt didepan thighs (E. Muscolino,

2006).

Gambar 2.3 : Anterior dan Posterior Tilting Terhadap Hip Joint dilihat dari Vateral

(Sumber : Muscolino, 2006)

Pelvis dapat bergerak sebagai bagian tubuh terhadap lumbosacral joint dan

hips joint pada waktu bersamaan. Ketika hal ini terjadi ada dua hal yang harus

diperhatikan antara lain : Pelvis bergerak relative terhadap spine dan thigh(s)

atau gerakan terjadi pada lumbosacral joint dan hip joint(s). Pelvis bergerak

terhadap lumbosacral joint ketika gerakan maksimum terjadi pada sendi ini

dan otot menggerakan pelvis terhadap lumbosacral joint, gerakan akan terjadi

pada lumbar spinal joint. Namun secara tidak langsung ini akan merubah

lumbal spinal curve. Range of motion (ROM) pelvis ditunjukan pada lampiran

3.

14

Gambar 2.4 : Posterior dan Anterior Tilting Pelvis terhadap Hip dan Lumbosacral Joint

(Sumber : Muscolino, 2006)

Posterior tilt pelvis pada lumbosacral joint dapat dianalogikan ketika gerakan

fleksi trunk pada lumbosacral joint. Oleh karena itu, otot yang bekerja

melakukan gerakan fleksi trunk juga melakukan gerakan pelvis posterior tilt

terhadap lumbosacral joint. Otot dari dinding anterior abdomen seperti rectus

abdominis, external abdominal oblique, dan internal abdominal oblique.

Gambar 2.5 : Posisi Netral, Pelvis Posterior Tilting, dan Trunk Flexion

(Sumber : Muscolino, 2006)

Anterior tilt pelvis pada lumbosacral joint dapat dianalogikan ketika ekstensi

trunk pada lumbosacral joint. Oleh karena itu, otot yang menyebabkan

gerakan ekstensi trunk juga menyebabkan gerakan pelvis anterior tilt pada

lumbosacral joint.

15

Gambar 2.6 : Pelvis Anterior Tilting dan Trunk Extension

(Sumber : Muscolino, 2006)

Anterior tilt pelvis pada hip joint dapat dianalogikan ketika fleksi femur pada

hip joint. Oleh Karena itu, otot yang menyebabkan gerakan pelvis anterior tilt

pada hip joint juga menyebabkan gerakan fleksi femur pada hip joint. Dengan

fleksi femur pada hip joint, femur bergerak up toward dan pelvis bergerak

anterior, dengan pelvis anterior tilt pada hip joint, pelvis bergerak down

toward sedangkan femur kearah anterior. Gerakan ini dilakukan oleh otot

yang sama.

Gambar 2.7 : Posisi Netral, Pelvis Anterior Tilting, dan Femur Flexion

(Sumber : Muscolino, 2006)

Pelvis tilt posterior pada hip joint dapat dianalogikan ketika femur ekstensi

pada hip joint. Oleh karena itu, otot menyebabkan pelvis kearah posterior tilt

16

pada hip joint dan juga melakukan gerakan ekstensi femur pada hip joint.

Dengan femur ekstensi pada hip joint, femur bergerak up toward dan pelvis

bergerak ke posterior, dengan pelvis posterior tilt pada hip joint, pelvis

bergerak down toward dan femur kearah posterior. Gerakan ini dihasilkan

oleh otot yang sama.

Gambar 2.8 : Pelvis Posterior Tilting, dan Femur Extension

(Sumber : Muscolino, 2006)

b. Thigh dan knee joint

Hip joint terletak diantara femur dan pelvic bone, spesifiknya terletak antara

kepala femur dan acetabulum pelvic bone. Hip joint memberikan gerakan

flexion dan extension dalam bidang sagittal mengelilingi mediolateral axis.

Hip joint juga memberikan gerakan abduction dan adduction dalam bidang

frontal mengelilingi anteroposterior axis. Selain itu, hip joint juga

memberikan gerakan rotasi medial dan lateral dalam bidang transversal

mengelilingi vertical axis. ROM secara umum terdapat pada lampiran 3.

17

Gambar 2.9 : Flexion dan Extenxion Hip Joint

(Sumber : Muscolino, 2006)

Tibiofemoral joint terletak diantara femur dan tibia.Tibiofemoral joint

memberikan gerakan flexion dan extension pada bidang sagittal dengan

mediolateral axis. Tibiofemoral joint memberikan gerakan medial rotation

dan lateral rotation dalam bidang transversal mengelilingi vertical axis.

Medial dan lateral rotationakan terjadi hanya ketika tibiofemoral joint dalam

posisi flexion. Full extension tidak akan menyebabkan terjadinya rotasi pada

tibiofemoral joint. ROM dari gerakan yang diberikan oleh tibiofemoral joint

secara umum dapat dilihat pada lampiran 3.

Gambar 2.10 : Flexion dan Extension Leg pada Knee Joint

(Sumber : Muscolino, 2006)

18

c. Leg and ankle joint

Dua tulang leg bersendi dengan foot pada talocrural joint atau yang sering

disebut dengan ankle joint. Tulang pada foot dibagi menjadi tarsals,

metatarsals, dan phalanges. Foot sangat memiliki struktur yang baik karena

harus stabil dan fleksibel. Foot harus stabil karena harus membantu dalam

menumpu berat badan pada badan yang lebih proximal. Namun, foot juga

harus fleksibel untuk penyesuaian terhadap permukaan yang kurang teratur.

Ankle joint terletak pada bagian distal dari tibia/fibula dan talus. Sendi ini

sering disebut dengan talocrural joint. Sendi ini memberikan gerakan

dorsiflexiondan plantarflexion dalam bidang sagittal mengelilingi axis

mediolateral. ROM sendi ini secara umum dapat dilihat pada lampiran 3.

Gambar 2.11 : Dorsoflexion dan Plantarflexion dari Ankle Joint

(Sumber : Muscolino, 2006)

Tarsal joint terletak antara tulang tarsal dari foot. Subtalar joint merupakan

sendi terbesar pada tarsal joint. Subtalar joint memberikan gerakan pronasi

dan supinasi pada bidang oblique mengelilingi axisoblique. Pronation dari

19

foot pada subtalar joint merupakan komposisi dari gerakan eversi,

dorsiflexion dan abduction, sedangkan supination dari foot pada subtalar

joint merupakan komposisi gerakan dari inversion, plantarflexion dan

adduction dari foot. ROM foot pada subtalar joint secara umum dapat dilihat

pada lampiran 3.

Gambar 2.12 : Eversi dan Inversi Ankle Joint

(Sumber : Muscolino, 2006)

2.3 Otot-Otot Yang Berperan Dalam Sit To Stand

Pada sub ini hanya akan memberikan gambaran dari otot utama yang

berperan saat Sit To Stand. Pembagian tersebut antara lain :

a. Trunk

- Fleksi : Abdomen

- Ekstensi : Erector Spine

b. Pelvis

- Anterior Tilt : Erector spinae, iliopsoas, rectus femoris

- Posterior Tilt : Rectus abdominis, external Oblique, Gluteus maximus,

hamstring

20

c. Hip

- Fleksi : Iliopsoas, Sartorius dan rectus femoris

- Ekstensi : Hamstring, biceps femoris, semitendinosus,semimembranosus

dan gluteus maximus

d. Knee

- Fleksi : Biceps femoris, semitendinosus, seimembranosus dan

gastrocnemius

- Ekstensi : Vastus Lateralis, Vastus Medialis, Vastus Intermedius dan

rectus femoris

e. Ankle

- Plantar Fleksi : Gastrocinemius dan soleous

- Dorso Fleksi : Tibialis anterior, extensor digitorum longus, extensor

hallucis longus dan fibularis tertius

- Inversi : Tibialis anterior dan tibialis posterior

- Eversi : Peroneus longus dan peroneus brevis

2.4 Fase-Fase Sit To Stand

Pada bagian ini akan dijelaskan secara menyeluruh bagaimana mekanisme

gerak yang dihasilkan ketika seseorang naik dari posisi duduk ke berdiri. Ada

beberapa fase yang dilewati pada gerakan berdiri dari posisi duduk (Schenkman,

1990) antara lain :

21

a. Fase I (Flexion Momentum)

Pada fase I terjadi inisiasi gerakan dan berakhir tepat sebelum buttocks

menjauhi kursi. Momentum merupakan hasil dari kecepatan massa dan

berhubungan dengan sistem energi kinetik. Pada fase I trunk dan pelvis rotasi

kearah anterior (forward flexion) yang menghasilkan moment pada tubuh

bagian atas (axial dan appendiculaar body). Gerakan utama yang terjadi pada

fase I adalah gerakan fleksi secara bersama-sama antara trunk dengan pelvis.

Trunk flexion terhadap pelvis kira-kira 16 derajat dan mencapai titik fleksi

maksimum relatif terhadap pelvis selama fase ini. Tidak ada gerakan trunk

relatif terhadap pelvis yaitu : trunk dan pelvis bergerak ke arah fleksi

bersama-sama. Pada fase I ini terjadi 3 gerakan yaitu hip flexion, head

extension dan trunk-pelvic flexion yang memiliki perbedaan waktu 0,02 detik

antara masing-masing gerakan. Namun, pada fase ini ekstremitas bawah

(knee dan ankle) dalam posisi relatif diam.

b. Fase II (Momentum-Transfer Phase)

Fase II dimulai dari buttocks yang diangkat menjauhi kursi dan berakhir pada

saat maksimum dorifleksi ankle. Waktu maksimum yang dicapai oleh ankle

saat dorsifleksi adalah sama antara sisi kiri dan kanan. Momentum transfer

terjadi ketika momentum dari upper body dikembangkan pada saat fase

flexion-momentum yang telah ditransfer pada total body dan memiliki

kontribusi untuk total-body-upward dan gerakan anterior. Gerakan yang

terjadi antara lain : Pelvic fexion, hip flexion, trunk fexion, head extension dan

pada akhirnya ankle dorsofleksion.

22

c. Fase III (Extension)

Fase III terjadi ketika dorsofleksi ankle sudah mencapai maksimal. Setelah

dorsofleksi ankle tercapai, hip-extension, knee-extension, trunk-ekstensi dan

head-flexion.Gerakan yang dihasilkan ketika dorsofleksi ankle tercapai

tercatat 0.0 detik yaitu gerakan hip-extension, knee-extension, trunk-extension

dan head-flexion.

d. Fase IV (Stabilization

Fase IV adalah fase akhir dari gerakan. Pada fase ini hip telah mencapai

ekstensi maksimal.

2.5 Konsep Fisika

2.5.1 Definisi torsi

Torsi juga dapat disebut dengan momen gaya, dalam fisika torsi dapat

diartikan sebagai sebagai gaya rotasional. Analogi rotasional dari gaya, massa,

dan percepatan adalah torsi, momen inersia dan percepatan angular. Gaya yang

bekerja pada lever, dikalikan dengan jarak dari titik tengah lever, adalah torsi

(Alonso and Finn, 1977).

2.5.2 Definisi lever arm

Definisi lever arm adalah jarak dari sumbu gerak ke titik penerapan gaya

(ankle joint) pada tuas, hanya jika penerapan gaya tegak lurus terhadap tuas.

Ketika penerapan gaya tidak tegak lurus, definisi lengan tuas sedikit berbeda.

Sebuah lengan tuas juga disebut sebagai lengan momen atau lengan usaha

(Muscolino, 2006).

23

Gambar 2.13 : Lever Arm dan Torsi

(Sumber :Sharon Nuzik dkk, 1986)

2.5.4 Hukum Mekanik Tubuh

Saat akan berdiri berat badan memberikan sebuah gaya dorongan kedepan

sebesar berat badan itu sendiri (Wb) relative terhadap titik berat (z) dengan jarak z

terhadap betis (dz). Jika pada saat knee membentuk sudut 90° (α) gaya yang

terjadi pada saat itu dihasilkan oleh gaya dorong oleh berat badan dan kekuatan

(Fm) otot paha saja untuk menghasilkan ekstensi knee ketika sudah lepas dari

kursi. Pada fase ini terjadi gerak rotasi akibat Wb. Namun, tidak ada bantuan dari

gaya normal (N=0) yang bekerja terhadap tubuh (Gambar A).

Jika jarak lever arm (la) dianggap dipersempit (sudut fleksi knee=75°)

maka akan menyebabkan terjadinya gaya normal (N≠0) yang bekerja terhadap

tubuh dan terbentuk dua torsi yang mempermudah fase akan berdiri seseorang.

Akibat dari adanya gaya normal yang bekerja dan torsi yang terbentuk, otot

mengeluarkan kekuatan (Fm) lebih minimal dari pada saat knee membentuk sudut

90°. Besarnya kekuatan otot yang harus dikeluarkan tergantung dari panjang

(d(Fm)) otot itu sendiri dibandingkan dengan panjang lever arm.

24

Gambar 2.14 : A Lever Arm Lebih Panjang Sudut Knee 90° dan B Sudut Knee 75°

(Sumber :Francis Weston Sears dan Mark W. Zemansky, 1977)