bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · ketentuan yang diharapkan untuk memberikan ......

31
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Gempa Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu struktur akibat dari pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi (baik itu gempa tektonik atau vulkanik) yang mempengaruhi struktur tersebut. 2.1.1 Beban Gempa menurut SNI 1726:2002 Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan faktor- faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I), faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (Ca) dengan rumus: = (2. 1) dengan = × (2. 2) (2. 3) = 0.25 × (2. 4) dimana: Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C Am= Percepatan respons maksimum T = Waktu getar alami struktur gedung (detik) ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung n = Jumlah tingkat Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon gempa vertikal (Cv) dengan rumus: =Ψ× 0 × (2. 5) dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat struktur gedung berada.

Upload: dodan

Post on 02-Mar-2018

220 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beban Gempa

Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu struktur akibat dari

pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi (baik itu gempa

tektonik atau vulkanik) yang mempengaruhi struktur tersebut.

2.1.1 Beban Gempa menurut SNI 1726:2002

Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan faktor-

faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari

wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I),

faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut

digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (Ca) dengan rumus:

𝐶𝑎 =𝐴𝑟

𝑇 (2. 1)

dengan

𝐴𝑟 = 𝐴𝑚 × 𝑇𝑐 (2. 2)

𝑇 = 𝜁 × 𝑛 (2. 3)

𝐴𝑚 = 0.25 × 𝐴𝑜 (2. 4)

dimana:

Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C

Am= Percepatan respons maksimum

T = Waktu getar alami struktur gedung (detik)

ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung

n = Jumlah tingkat

Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon

gempa vertikal (Cv) dengan rumus:

𝐶𝑣 = Ψ × 𝐴0 × 𝐼 (2. 5)

dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat

struktur gedung berada.

5

2.1.2 Beban Gempa menurut SNI 1720:2012

Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia

yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini

dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk

analisis beban gempa sebagai berikut:

1. Geografis

Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi

gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang berbeda

memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.

2. Faktor keutamaan gedung

Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung

dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk

kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki

faktor 1.5.

3. Kategori Desain Seismik

Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D,

E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A5.

4. Sistem penahan gaya seismik

Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi

gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω0),

dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan

Tabel A6 pada lampiran A.

2.2 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012

SNI-1726-2012 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk

Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung merupakan peraturan gempa terbaru

yang menggantikan SNI-1726-2002. Perubahan yang ada terdapat pada revisi yang

terkait dengan kategori desain seismik (KDS). Sebagai contoh daerah Bali selatan

yang sebelumnya berada pada wilayah gempa V dengan resiko gempa sedang

menjadi KDS D. Tabel 2.1 menunjukkan perbandingan dari kedua SNI tersebut.

6

Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012

No SNI-1726-2002 SNI-1726-2012

1 Nilai faktor keutamaan diatur

pada Tabel A.1 SNI-1726-2002.

Pada SNI ini nilai I ditentukan

berdasarkan perkalian nilai I1 dan

I2 pada Tabel A.1.

Dalam menentukan kategori risiko

bangunan dan faktor keutamaan

bangunan bergantung dari fungsi/jenis

pemanfaatan bangunan tersebut. Nilai

faktor keutamaan diatur pada Tabel

A.2 SNI-1726-2012.

2 Jenis tanah pada SNI-1726-2002

Pasal 4.6.3 ditetapkan dalam tiga

kategori, yakni tanah keras, tanah

sedang dan tanah lunak.

Berdasarkan sifat-sifat tanah pada

situs, maka situs harus diklasifikasi

sebagai kelas situs SA, SB, SC, SD,

SE, atau SF.

3 Penentuan wilayah gempa

disesuaikan dengan lokasi/daerah

pada Peta Wilayah Gempa

Indonesia pada Pasal 4.7.1 SNI-

1726-2002. Indonesia ditetapkan

terbagi dalam 6 wilayah gempa,

wilayah gempa 1 adalah wilayah

dengan kegempaan paling rendah

dan wilayah 6 dengan kegempaan

paling tinggi.

Parameter spektrum respons

percepatan pada periode pendek (SMS)

dan periode 1 detik (SD1) yang sesuai

dengan pengaruh klasifikasi situs,

harus ditentukan dengan perumusan

berikut.

SDS =3

2 FaSs (2. 6)

SD1 = 3

2 FvS1 (2. 7)

4 Untuk menentukan pengaruh

gempa rencana pada struktur

gedung, maka untuk masing-

masing wilayah gempa ditetapkan

Spektrum Respons Gempa

Rencana C-T, dengan bentuk

tipikal seperti Gambar 2.1

Bila spektrum respons desain

diperlukan oleh tata cara ini dan

prosedur gerak tanah dari spesifik-situs

tidak digunakan, maka kurva spektrum

respons desain harus dikembangkan

dengan mengacu pada Gambar 2.2

sesuai SNI-1726-2012

7

Tabel 2.1 Lanjutan

Gambar 2.1 Bentuk tipikal spektrum

respons gempa rencana

Sumber: SNI-1726 (2002)

Gambar 2.2 Spektrum respons

desain

Sumber: SNI-1726 (2012)

5 Nilai faktor reduksi gempa

ditentukan berdasarkan tingkat

daktilitas struktur dan jenis sistem

struktur yang digunakan. Nilai

maksimum faktor tersebut (Rm)

untuk beberapa sistem struktur diatur

pada Tabel 3 SNI-1726-2002.

Faktor koefisien modifikasi respon

(R), pembesaran defleksi (Cd), dan

faktor kuat lebih sistem (Ωo)

ditentukan berdasarkan Tabel 9

SNI-1726-2012. Faktor-faktor

tersebut ditentukan berdasarkan

sistem penahan gaya seismik

struktur bangunan.

6 Pasal 5.6 SNI-1726-2002 mengatur

pembatasan waktu getar alami

fundamental untuk mencegah

penggunaan struktur gedung yang

terlalu fleksibel. Nilai waktu getar

alami fundamental T1 dari struktur

gedung harus dibatasi, bergantung

pada koefisien ζ untuk wilayah

gempa tempat struktur gedung

berada dan jumlah tingkatnya n

menurut persamaan

T1 < ζ . n (2. 8)

Untuk menentukan perioda

fundamental struktur (T), digunakan

perioda fundamental pendekatan

(Ta). Periode fundamental

pendekatan (Ta) dalam detik,

ditentukan dari persamaan berikut:

Ta = x

nt hC (2. 9)

Keterangan:

hn = ketinggian struktur dalam

(m)

di atas dasar sampai tingkat

tertinggi struktur

8

Tabel 2.1 Lanjutan

Keterangan:

ζ = koefisein sesuai wilayah gempa

(Tabel A.2 Lampiran A)

n = jumlah tingkat

Koefisien Ct dan x ditentukan

berdasarkan Tabel A.9 Lampiran A.

Ta = 0,1N (2. 10)

Keterangan:

N = jumlah tingkat

7. Gaya geser dasar dari metode statik

ekuivalen dihitung berdasarkan

persamaan berikut.

V1 = 𝐶1.I

𝑅 Wt (2. 11)

Keterangan:

V1 = gaya geser dasar nominal

C1 = faktor respons gempa

untuk waktu getar fundamental

I = faktor keutamaan

R = faktor reduksi gempa

Wt = berat total struktur

Persamaan yang digunakan dalam

menghitung gaya geser dasar dalam

metode statik ekuivalen adalah

sebagai berikut:

V = Cs. W (2. 12)

Keterangan:

V = gaya geser dasar

Cs = koefisien respons seismik

W = berat bangunan

Cs =

e

DS

I

R

S (2. 13)

Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan

persamaan tersebut tidak boleh kurang

dari persamaan berikut:

Cs=0,044SDSIe>0,01 (2. 14)

Sebagai tambahan, untuk struktur

yang berlokasi di daerah dengan S1

sama dengan atau lebih besar dari 0,6

g, maka Cs harus tidak kurang dari

persamaan berikut:

9

Tabel 2.1 Lanjutan

Cs=

eI

R

S15,0 (2. 15)

8. Beban geser nominal (V) menurut

Pasal 6.1.2 SNI-1726-2002 harus

didistribusikan sepanjang tinggi

struktur gedung menjadi beban-

beban gempa nominal statik

ekuivalen Fi yang menangkap pada

pusat massa lantai tingkat ke-i

menurut persamaan:

Fi =

n

i

ii

ii

zw

zw

1

V (2. 16)

Keterangan:

Fi = gaya statik ekuivalen

pada

lantai ke-i

Wi = berat lantai ke-i (beban

mati dan beban hidup)

Zi = ketinggian lantai ke-i dari

dasar

Gaya gempa lateral di tingkat harus

ditentukan dari persamaan berikut:

Fx = Cvx V (2. 17)

Dan,

Cvx =

n

i

k

ii

k

xx

hw

hw

1

(2. 18)

Keterangan:

Cvx = faktor distribusi vertikal

wi dan wx = berat total bangunan

pada tingkat i atau x

hi dan hx = tinggi dari dasar sampai

tingkat i atau x

k = eksponen yang terkait

dengan perioda

struktur

Sumber: SNI-1726 (2002) dan SNI-1726 (2012)

2.3 Perkuatan Struktur

Perkuatan (retrofitting) merupakan usaha untuk memperkuat struktur atau

memperbaiki struktur yang sudah ada untuk mengembalikan keadaan struktur

kembali berfungsi seperti awal dibangun atau layak dihuni. Ada berbagai hal yang

menyebabkan sebuah struktur memerlukan perkuatan contohnya seperti kerusakan

10

akibat gempa, bangunan yang sudah tua dan penambahan beban pada suatu

struktur. Dari hal hal tersebut perkuatan merupakan solusi tepat jika dibandingkan

dengan biaya untuk membangun bangunan kembali. Terdapat berbagai macam

metode perkuatan yang umum digunakan pada struktur beton bertulang, antara lain

penambahan komponen struktur (kolom, dinding), peningkatan kekuatan elemen

struktur (pembesaran dimensi, penambahan lapisan berupa pelat baja atau bahan

komposit seperti FRP), pengurangan berat komponen non struktur dan penambahan

breising. Keefektifan dari metode perkuatan struktur tersebut dapat dilihat pada

Gambar 2.3

Gambar 2.3 Perbandingan breising terhadap masing masing perkuatan Sumber: IST Group (2004)

Gambar 2.3 menunjukan perbandingan antara masing-masing perkuatan

dengan rangka tanpa perkuatan. Monolithic wall memiliki kekakuan yang sangat

tinggi namum memiliki daktilitas yang sangat rendah. Post-Cast wall memiliki

kekuatan yang berada dibawah monolithic wall diikuti concrete blocks yang

daktilitasnya meningkat berbanding dengan penuruan kekuatan gaya lateral.

Perkuatan breising relatif memberikan kekuatan dengan daktilitas yang tidak jauh

dari rangka tanpa perkuatan.

11

2.4 Struktur Rangka Breising

Breising adalah suatu sistem rangka batang vertikal yang memikul beban

lateral melalui kekakuan aksial portal. Interaksi breising dan portal ketika

menerima beban lateral, breising bersimpangan layaknya sebuah rangka batang,

sedangkan portal kaku bersimpangan geser. Breising merupakan metode yang

sangat efesien dan ekonomis untuk menahan gaya horisontal pada struktur rangka.

Breising efesien karena bekerja diagonal pada tegangan aksial dan menyebabkan

kebutuhan untuk ukuran batang breising kecil, dalam memberikan kekakuan dan

kekuatan terhadap gaya geser horisontal (Smith and Coull, 1991).

Geometrik rangka breising di kelompokkan berdasarkan dari karakter

daktilitasnya. Salah satunya rangka breising konsentrik dan rangka breising

eksentrik. Pada rangka breising konsentrik sumbu dari semua batang berpotongan

pada satu titik sehingga gaya pada batang adalah axial. Rangka breising konsentrik

memiliki jumlah kekakuan yang besar namun daktilitas yang dimiliki rendah.

Rangka breising konsentrik merupakan pilihan tepat untuk penahan beban lateral

diarea aktivitas seismik yang minim dimana daktilitas yang tinggi tidak penting.

Disisi lain rangka breising eksentrik memanfaatkan elemen link untuk membawa

lentur dan geser kedalam rangka, yang menurunkan kekakuan untuk rasio berat

badan tapi meningkatan daktilitas (Kowalczyk, 1995). Gambar 2.4 menampilkan

tipe – tipe dari breising konsentrik

Gambar 2.4 Tipe-tipe Breising Konsentrik Sumber: AISC 341-10 ( 2010)

12

2.4.1 Sistem Rangka Breising Konsentrik Biasa

Rangka breising konsentrik biasa dapat diaplikasikan untuk rangka breising

yang terhubung secara konsentris. Eksentrisitas yang lebih rendah dibandingkan

panjang balok diizinkan jika, breising diperhitungkan untuk momen eksentrik

dengan perkuatan beban gempa. Rangka breising konsentrik biasa didesain dengan

ketentuan yang diharapkan untuk memberikan kapasitas simpangan inelastik yang

terbatas pada bagian dan sambungannya. Pada perencanaan SRBKB tidak

memerlukan analisis tambahan. Rasio kelangsingan breising adalah KL/r ≤

4√𝐸/𝐹𝑦 (AISC 341-10, 2010).

2.4.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik Khusus

Menurut AISC 341-10 (2010) rangka batang breising konsentrik khusus

dapat diaplikasikan untuk rangka breising yang terdiri dari batang yang terhubung

secara konsentris. Kebutuhan kekuatan dari kolom, balok dan sambungan dalam

rangka batang breising konsentrik khusus didasarkan pada kombinasi beban dan

fungsi penggunaan gedung yang telah termasuk perkuatan beban seismik. Dalam

menentukan perkuatan beban gempa, pengaruh dari gaya horizontal termasuk kuat

lebih, Emh harus diambil sebagai gaya terbesar ditentukan dari 2 analisis berikut:

- Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan kekuatan

yang sesuai dengan kekuatan breising diharapkan pada tekanan dan tarikan.

- Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan gaya yang

sesuai dengan kekuatan yang diharapkan dan semua breising dalam tekan

diasumsikan untuk menahan kekuatan tekuk yang diharapkan.

Breising harus ditentukan untuk mengabaikan tekan atau tarik yang berasal

dari beban gravitasi. Analisis harus mempertimbangkan kedua arah dari

pembebanan rangka. Penjabaran kekuatan pasca tekuk breising harus diambil

maksimal 0,3 kali dari kekuatan breising pada tekanan yang diinginkan. Sedangkan

untuk penjabaran dari kekuatan tarik breising dirumuskan sebagai berikut:

Ry = fy . Ag (2. 19)

Keterangan:

Ry adalah ratio dari tegangan leleh yang diinginkan

fy adalah tegangan leleh minimum dari baja yang digunakan

Ag adalah luas kotor (mm2)

13

Untuk pendistribusian beban lateral breising, salah satu dari gaya paralel ke

breising setidaknya antara 30% sampai 70% dari total gaya lateral. Sepanjang garis

itu gaya lateral ditahan oleh tarik breising, kecuali jika kekuatan yang tersedia dari

setiap breising pada tekanan lebih besar dari kebutuhan kekuatan yang dihasilkan

kombinasi beban yang ditentukan oleh kode bangunan yang berlaku termasuk

perkuatan beban gempa. Untuk tujuan dari ketentuan ini, batang dari breising

didefinisikan sebagai batang sendiri atau batang paralel dengan rencana

mengimbangi ≤10% dari dimensi bangunan tegak lurus pada batang breising.

Kolom dan breising harus memenuhi persyaratan daktilitas yang tinggi dan untuk

balok harus memenuhi kecukupan daktilitas.

Breising harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Kelangsingan breising memiliki KL/r ≤ 200

2. Jarak konektor harus menyesuaikan dengan rasio kelangsingan a/ri. Elemen

individual antara konektor tidak melebihi 0,4 kali rasio kelangsingan dari

batang yang dibuat. Jumlah dari ketersediaan kekuatan geser dari konektor

harus sama atau melampaui kekuatan tarik yang tersedia dari setiap elemen.

Jarak konektor harus seragam, tidak kurang dari 2 konektor harus digunakan

pada batang yang akan dibuat. Konektor tidak boleh berada ditengah dari

seperempat panjang breising. Kecuali dimana tekuk dari breising sekitar tekuk

kritis tidak menyebabkan geser dalam sambungan. Desain sambungan harus

mematuhi ketentuan ini.

3. Luas bersih efektif breising tidak boleh kurang dari luas kotor breising.

Spesifikasi minimum kekuatan leleh dari tulangan harus setidaknya sama

dengan spesifikasi minimum kekuatan leleh dari breising. sambungan dari

tulangan ke breising harus mempunyai kecukupan kekuatan untuk

mengembalikan kekuatan tulangan yang diharapkan pada setiap sisi dari bagian

yang direduksi.

Sambungan breising bisa berupa las atau sambungan breising yaitu

kekuatan tarik, kekuatan tekan dan akomodasi dari tekuk breising. Hubungan

kolom harus memenuhi alur pengelasan agar pembuatan sambungan mampu

melengkapi penetrasi join alur pengelasan dan kolom harus didesain untuk

14

mengembangkan setidaknya 50% lebih rendah dari kekuatan flexurel yang tersedia

pada sambungan breising.

2.5 Material Beton

Beton (concrete) merupakan campuran semen portland atau semen hidrolis

lainnya, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa bahan campuran

tambahan (admixture) (SNI 2847, 2013). Parameter utama yang mempengaruhi

dari kualitas beton adalah kekuatan dan ketahanan. Efek merugikan jangka panjang

dari material beton adalah pengurangan kekuatan dan bisa mengakibatkan

kegagalan tak terduga. Menurut (Nawy, 2009) properti kekerasan beton dibagi

menjadi 2 kategori yaitu properti dari jangka pendek dan properti dari jangka

panjang. Untuk properti jangka pendek kekuatan dalam tekanan, tarik dan geser

serta kekakuan diukur dengan modulus elastisitas. Sedangakan untuk properti

jangka panjang bisa diklasifikasikan pada susut dan rangkak.

Hubungan dari tegangan dan regangan material beton sangat penting untuk

pengembangan analisis dan desain serta prosedur penggunaan pada struktur beton.

Gambar 2.5 menunjukan kurva tegangan regangan yang didapatkan dari tes

menggunakan beton silinder yang dibebani selama beberapa menit. Bagian pertama

dari kurva dapat dianggap linear sebesar 40 % dari kekuatan ultimit f’c. Setelah

sekitar 70 % dari kegagalan tegangan, material kehilangan sebagian besar dari

kekakuannya yang meningkatkan kelinieran kurva dari diagram. Pada beban

ultimit, retak pararel terhadap arah dari beban datang terlihat jelas dan menjadi awal

mula kegagalan

Gambar 2.5 Kurva Tegangan Regangan

15

Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan

regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti, nilainya

bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan,

karakteristik, perbandingan semen dan agregat. Kurva modulus elastisitas beton

ditunjukan pada gambar 2.6. Peraturan gedung menurut SNI 2847-2013

memberikan modulus elastisitas Ec dengan persamaan sebagai berikut:

Ec =33wc1.5√𝑓’𝑐 psi (0.043wc

1.5√𝑓’𝑐) untuk 90 < wc < 155 lb/ft3 (2. 20)

atau

Ec = 57000 √𝑓’𝑐 psi (4700√𝑓’𝑐 Mpa) (2. 21)

Keterangan:

wc = berat jenis dari beton

f’c = kekuatan tekan beton

Gambar 2.6 Kurva Hubungan Modulus Elastisitas dengan Tegangan Regangan

2.6 Analisis Pushover

Analisis statik non-linear pushover merupakan salah satu analisis kinerja

berbasis desain yang menjadi sarana dalam mencari kapasitas dari suatu struktur.

Konsep dari analisis pushover yaitu memberikan pola beban statik tertentu dalam

arah lateral yang ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur sampai struktur

tersebut mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola keruntuhan

tertentu. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai-nilai gaya geser dasar

untuk perpindahan lantai atap tertentu. Nilai-nilai yang didapatkan tersebut

Titik

Leleh

Kekuatan Tekan Ultimit

16

kemudian dipetakan menjadi suatu kurva kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis

pushover juga dapat memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat

kondisi elastis, plastis, dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen

strukturnya baik secara dua atau tiga dimensi.

Menurut Dewobroto (2005) tahapan utama dalam analisa pushover adalah:

1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.

Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan

untuk menyusun kurva pushover.

2. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya

lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga

diharapkan simpangan yang terjadi hampir sama atau mendekati simpangan

yang terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka

perlu dibuat beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk

mendapatkan kondisi yang paling menentukan.

3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).

Titik kontrol didorong sampai batas perpindahan tersebut, yang mencerminkan

perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang

ditentukan.

4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target

perpindahan: merupakan hal utama dari perencanaan berbasis kinerja.

Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika

memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan

simpangan maupun kekuatan.Karena yang dievaluasi adalah komponen maka

jumlahnya relative sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus

dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat

secara built-in pada program SAP2000, mengacu pada FEMA - 356). Oleh

karena itulah mengapa pembahasan perencanaan berbasis kinerja banyak

mengacu pada dokumen FEMA.

2.6.1 Sendi Plastis

Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca-leleh yang

terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sifat sendi plastis adalah

sebutan pengaturan dari sifat kaku-plastis yang dapat diberikan pada satu atau lebih

17

elemen rangka. Perilaku gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk tiap

derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi

plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi).

Derajat kebebasan yang tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada

SAP2000, sendi plastis hanya dapat diaplikasikan pada elemen rangka.

Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-displacement)

didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan simpangan plastis setelah leleh. Hal

ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima titik, A-B-C-D-E,

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Titik-titik tersebut dijelaskan sebagai

berikut (Computers and Structures, 2015):

- Titik A selalu merupakan titik awal.

- Titik B mewakili pelelehan. Perpindahan atau rotasi pada titik B akan dikurangi

dari simpangan pada titik C, D, dan E. Hanya simpangan plastis yang melewati

titik B diperlihatkan oleh sendi plastis.

- Titik C mewakili kapasitas ultimit untuk analisis pushover.

- Titik D mewakili kekuatan sisa untuk analisis pushover.

- Titik E mewakili kegagalan total. Setelah titik E, sendi plastis akan jauh

berkurang sampai titik F (tidak diperlihatkan) secara langsung dibawah titik E

pada sumbu horizontal.

Hal lain terkait analisis statis pushover mengacu pada manual SAP2000.

Gambar 2.7 Kurva simpangan plastis untuk gaya vs perpindahan Sumber: Computers and Structures (2015)

18

2.7 Perancangan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja

Perancangan bangunan tahan gempa bertujuan untuk mempertahankan

setiap pelayanan vital dari fungsi bangunan, membatasi ketidaknyamanan

penghunian dan kerusakan bangunan hingga masih dapat diperbaiki ketika terjadi

gempa ringan sampai sedang dan menghindari terjadinya korban jiwa oleh

runtuhnya bangunan akibat gempa kuat (SNI 1726, 2002). Perancangan bangunan

tahan gempa berbasis kinerja merupakan proses yang dapat digunakan untuk

perancangan bangunan baru maupun perkuatan bangunan yang sudah ada dengan

pemahaman terhadap aspek resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy),

dan resiko kerugian finansial yang timbul akibat beban gempa (economic loss).

FEMA 273 (1997) menetapkan level kinerja untuk perancangan struktur tahan

gempa yang ditampilkan dalam Tabel 2.2 dan Gambar 2.8.

Tabel 2.2 Tingkat Kinerja Struktur menurut FEMA 273

Level Kinerja Keterangan

Operational Tidak ada pergeseran permanen, struktur masih dapat

mempertahankan kekuatan dan kekakuan awal. Retak kecil

terjadi pada elemen struktur dan semua sistem penting struktur

berfungsi secara normal

Immediate

Occupancy (IO)

Tidak ada kerusakan pada elemen struktur dan hanya

kerusakan ringan komponen non struktural dan bangunan tetap

dapat berfungsi tanpa terganggu masalah perbaikan.

Life Safety

(LS)

Terjadi kerusakan elemen struktural maupun non struktural

tetapi tidak terjadi keruntuhan. Bangunan masih dapat

digunakan setelah dilakukan perbaikan.

Collapse

Prevention

(CP)

Terjadi kerusakan komponen struktural dan non struktural,

bangunan hampir runtuh, dan kecelakaan akibat kejatuhan

material bangunan sangat mungkin terjadi.

Sumber: FEMA 273 (1997)

Gambar 2.8 Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja Sumber: Fema 273 (1997)

19

Gambar 2.8 menampilkan kurva perbandingan gaya geser dan perpindahan

dengan kategori dari level kinerja dan persentase kerusakannya. Hal penting dari

perancangan berbasis kinerja adalah penetapan sasaran kinerja bangunan terhadap

gempa. Sasaran kinerja terdiri dari gempa rencana yang ditentukan (earthquake

hazard) dan batas kerusakan yang diizinkan atau tingkat kinerja secara kualitatif

yang digambarkan dalam kurva hubungan gaya-lendutan dari perilaku struktur

secara global terhadap beban lateral.

2.7.1 Kinerja Batas Ultimit menurut SNI 1726:2002

Menurut SNI 1726, (2002) kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan

oleh simpangan dan simpangan antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat

pengaruh gempa rencana dalam kondisi struktur gedung di ambang keruntuhan.

Simpangan itu digunakan untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan

struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk

mencegah benturan berbahaya antar gedung atau bagian struktur gedung yang

dipisah dengan sela pemisah (sela delatasi). Simpangan ultimit dihitung dengan

rumus:

δℎ = δ × ξ (2. 22)

Dimana untuk struktur gedung beraturan: ξ = 0,7 R dan struktur gedung tidak

beraturan:

ξ =0,7 R

𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑆𝑘𝑎𝑙𝑎 (2. 23)

Dimana R adalah faktor reduksi gempa struktur gedung tersebut dan faktor skala

tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragamnya yang pertama.

Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam

segala hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung

tidak boleh melampaui 0,02 kali tingkat yang bersangkutan. Jarak pemisah antar-

gedung harus ditentukan paling sedikit sama dengan jumlah simpangan maksimum

masing-masing struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal masing-masing

jarak tersebut tidak boleh kurang dari 0,025 kali ketinggian, batas itu diukur dari

batas penjepitan lateral. Dua bagian struktur gedung yang tidak direncanakan untuk

bekerja sama sebagai satu kesatuan dalam mengatasi gempa rencana, harus

dipisahkan yang satu terhadap yang lainnya dengan suatu sela pemisah (sela

delatasi) yang lebarnya paling sedikit harus sama dengan jumlah simpangan

20

masing-masing bagian struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal, lebar sela

pemisah ditetapkan tidak boleh kurang dari 75 mm. Sela pemisah harus

direncanakan detailnya dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa

bebas dari benda-benda penghalang. Lebar sela pemisah juga harus memenuhi

semua toleransi pelaksanaan.

2.8 Titik Kinerja dan Target Perpindahan

Titik kinerja dan target perpindahan merupakan perpindahan maksimum

yang terjadi saat bangunan mengalami gempa rencana. Untuk mendapatkan

perilaku struktur pasca keruntuhan digunakan analisa pushover untuk

mendapatkan kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral dengan

titik kontrol minimal 150% dari titik kinerja/target perpindahan. Kurva pushover

dengan minimal 150% dari titik kinerja digunakan untuk melihat perilaku

bangunan pada kondisi yang melebihi rencananya. Titik kinerja/target

perpindahan merupakan rata-rata nilai dari beban gempa rencana sehingga

bangunan yang direncanakan harus memiliki nilai yang lebih besar dari titik

kinerja/target perpindahan.

Level kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh

kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehingga tidak membahayakan

keselamatan pengguna gedung. Kriteria evaluasi level kinerja kondisi bangunan

didasarkan pada gaya dan deformasi yang terjadi pada target perpindahan atau

titik kinerja. Jadi parameter target perpindahan dan titik kinerja sangat penting

peranannya bagi perencanaan berbasis kinerja. Ada beberapa cara menentukan

target perpindahan yaitu metoda koefisien perpindahan (Displacement Coeficient

Method) FEMA 356 dan metode koefisien yang dimodifikasi (Displacement

Modification) FEMA 440. Sedangkan pada titik kinerja (performance point)

digunakan Metoda Spektrum Kapasitas (Capacity Spectrum Method) ATC 40.

Persyaratan perpindahan dari SNI 1726-2002 juga dapat dijadikan sebagai kriteria

kinerja.

2.8.1 Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356)

Menurut FEMA 356, (2000) metode koefisien perpindahan merupakan

metoda utama untuk prosedur statik nonlinier. Penyelesaian dilakukan dengan

21

memodifikasi respons elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan faktor

koefisien C0 , C1 , C2 dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum

(elastis dan inelastis) yang disebut “target perpindahan”, δt . Proses dimulai dengan

menetapkan waktu getar efektif, Te yang memperhitungkan kondisi inelastis

bangunan. Waktu getar alami efektif mencerminkan kekakuan linier dari sistem

SDOF ekivalen. Jika di-plot-kan pada spektrum respon elastis akan menunjukkan

percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi puncak, Sa, versus

waktu getar, T. Rendaman yang digunakan selalu 5% yang mewakili level yang

diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respons pada daerah elastis.

Puncak perpindahan spektra elastis, Sd berhubungan langsung dengan akselerasi

spektra Sa, dengan hubungan berikut:

𝑆𝑑 = 𝑇𝑒

2

4𝜋2𝑆𝑎 (2. 24)

Selanjutnya target perpindahan δt, ditentukan rumus berikut:

δt = 𝐶0𝐶1𝐶2𝐶3𝑆𝑎 (𝑇𝑒

2𝜋)

2

g (2. 25)

Te adalah waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi inelastic

C0 adalah koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spektral menjadi

perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang pertama (first

mode participation factor) atau berdasarkan Tabel 3-2 dari FEMA 356.

C1 adalah faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik

maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier. Untuk Te

≥ Ts maka C1 = 1 sedangkan Te < Ts maka,

C1 = [1.0 + (R-1)Ts/Tc]/R (2. 26)

TS adalah waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spektrum

pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian

kecepatan konstan.

22

R adalah rasio “kuat elastik perlu” terhadap “koefisien kuat leleh dihitung dengan

rumus: 𝑅 = 𝑆𝑎

𝑉𝑦/𝑤𝐶𝑚 (2. 27)

Sa adalah akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar

alami efektif pada arah yang ditinjau.

Vy adalah gaya geser dasar pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi

bilinier

W adalah total beban mati dan beban hidup yang dapat direduksi.

Cm adalah faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 3-1 dari FEMA 356.

C2 adalah koefisien untuk memperhitungkan efek “pinching” dari hubungan beban-

deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel 3-3

dari FEMA 356.

C3 adalah koefisien untuk memperhitungkan pembesaran simpangan lateral akibat

adanya efek P-delta. Koefisen diperoleh secara empiris dari studi statistik

analisa riwayat waktu non-linier dari SDOF dan diambil berdasarkan

pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya

geser dasar – lendutan pada kondisi pasca leleh kekakuan positif kurva

maka C3 = 1, sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negative (kurva

menurun) maka:

𝐶3 = 1.0 + |𝛼|(𝑅−1)3/2

𝑇𝑒 (2. 28)

adalah rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastik efektif, dimana

hubungan gaya lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier (lihat waktu

getar efektif).

g adalah percepatan gravitasi 9.81 m/det2

Gambar 2.9 menampilkan kurva idealisasi gaya dan perpindahan yang

terjadi sesuai dengan grafik pushover. Hasil grafik pushover dibagi menjadi 2

bagian dalam kemiringan pasca leleh positi dan pasca leleh negatif

23

Gambar 2.9 Perilaku pasca leleh struktur Sumber: FEMA 356 (2000)

Berdasarkan FEMA 273 level kinerja ditentukan oleh persentase drift ratio

dari model struktur. Level kinerja struktur terbagi menjadi 3 kategori yaitu

Immediate Occupancy, Life safety dan Collapse Prevention. Tabel 2.3 menunjukan

level kinerja berdasarkan persentase dari drift.

Tabel 2.3 Level Kinerja Struktur

Sumber: FEMA 356 (2000)

2.8.2 Metode Modifikasi Perpindahan (FEMA 440)

Menurut FEMA 440, (2005) metode modifikasi perpindahan merupakan

metode koefisien perpindahan dari FEMA 356 yang telah dimodifikasi dan

diperbaiki. Persamaan yang digunakan untuk menghitung target perpindahan tetap

sama yaitu sesuai persamaan 2.24. Akan tetapi ada perubahan dalam menghitung

factor C1 dan C2 sebagai berikut:

24

𝐶1 = 1 + 𝑅−1

𝑎𝑇𝑒2 (2. 29)

Dimana Te adalah waktu getar efektif dari struktur SDOF dalam detik, R adalah

rasio kekuatan yang dihitung dengan Persamaan 2.15. Konstanta a adalah sama dengan

130, 90 dan 60 untuk site kategori B, C dan D. Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik

maka nilai C1 pada 0.2 detik dapat dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 1.0 detik maka

C1 dapat dianggap sama dengan 1.

𝐶2 = 1 + 1

800 (

𝑅−1

𝑇𝑒)

2

(2. 30)

Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik maka nilai C2 pada 0.2 detik dapat

dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 0.7 detik maka C2 dapat dianggap sama dengan 1.

2.8.3 Metode Spektrum Kapasitas ATC 40

Dalam Metoda Spektrum Kapasitas kurva hubungan gaya dan

perpindahan diplot-kan dalam format ADRS (acceleration displacement

response spectra). Spektrum demand didapat dengan mengubah spektrum respon

yang biasanya dinyatakan dalam spektra percepatan (Sa) dan periode (T) menjadi

format spectra percepatan (Sa) dan spectra perpindahan (Sd). Format yang baru

ini disebut Acceleration-Displacement Respon Spectra (ADRS). Gerakan tanah

gempa juga dikonversi ke format ADRS yang nantinya digunakan untuk mencari

gaya gempa perlu. Pada format tersebut waktu getar ditunjukkan sebagai garis

radial dari titik pusat sumbu. Format ADRS ditampilkan pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Penentuan Titik Kinerja menurut Metode Spektrum Kapasitas Sumber: ATC 40 (1996)

25

Level kinerja ATC 40 ditentukan berdasarkan perpindahan yang terjadi

pada struktur. Kinerja menurut ATC 40 dibagi menjadi 4 level kinerja yaitu

Intermediate Occupancy, Damage Control, Life Safety, dan Structural Stability.

Pada Structural Stability Vi adalah total gaya geser lateral pada tingkat I dan Pi

adalah total beban gravitasi dari beban mati dan beban hidup. Pembagian level

kinerja munurut ATC 40 ditunjukan pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Deformation Limit menurut ATC 40

Interstory Drift

Limit

Intermediate

Occupancy

Damage

Control Life Safety

Structural

Stability

Max. Total Roof

Displacement 0.01 0.01-0.02 0.02 0.33 Vi/Pi

Max. Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 No. Limit No. Limit

Sumber: ATC 40 (1996)

2.9 Penelitian Terkait Penggunaan Breising Sebagai Perkuatan Struktur

Rangka Beton Bertulang

Penggunaan breising sebagai perkuatan suatu struktur bukanlah hal yang

baru dalam bidang konstruksi. Selain sudah banyak diterapkan dalam struktur

gedung, bebarapa penelitian juga telah banyak dilakukan untuk membuktikan

keefektifan dari penggunaan breising. Penelitian tersebut antara lain:

2.9.1 Youssef et al (2007)

Penelitian tentang kinerja seismik rangka breising baja yang diperkuat

dengan breising baja konsentrik telah dilakukan oleh Youssef et al (2007) dengan

membuat dan membebani 2 model struktur dengan skala yang diperkecil sebesar

2/5 dari aslinya. Model 1 rangka tanpa perkuatan yang dirancang sesuai dengan

persyaratan SRPMM, sedangkan model 2 rangka tanpa perkuatan dengan breising

baja X dengan pendetailan biasa. Gambar 2.11 menampilkan pendetailan dan beban

pada model rangka tanpa perkuatan dan rangka breising. Kedua model dibebani

siklik sampai runtuh dan hubungan antara beban dengan simpangan serta pola retak

dicatat. Data-data pengujian disajikan pada Tabel 2.5.

26

Gambar 2.11 (a) Detail rangka tanpa perkuatan (b) Detail rangka breising Sumber: Youssef et.al (2007)

Tabel 2.5 Data model setelah dari hasil pengujian

Balok Kolom Beban

retak

Beban

leleh

Beban

Maks

Model 1 140x160mm 140x160mm

Tulangan 2M10 4M15 30 kN 37,5 kN 55 kN

Sengkang ∅6-35 ∅6-35

Model 2 140x160mm 140x160mm

Tulangan 2M10 4M10

Sengkang ∅6-70 ∅6-70 90 kN 105 kN 140 kN

Breising L25x25x3,2 Sumber: Youssef et.al (2007)

Hasil pengujian menunjukkan hubungan beban dan rasio simpangan seperti

pada Gambar 2.12. dimana kurva menunjukkan dari rangka mulai retak hingga

keadaan ultimit. Rangka breising mampu menahan hingga beban 140 kN ,

sedangkan rangka momen hanya mampu menahan hingga beban 55 kN.

Gambar 2.12 Hubungan Beban dan Rasio Simpangan Sumber: Youssef et.al (2007)

(a) (b)

27

Gambar 2.12 menunjukan rangka breising jauh lebih kuat dan kaku

dibandingkan dengan rangka momen dengan pendetailan khusus untuk seismik.

Kemudian rangka breising yang dirancang dengan faktor reduksi beban yang sama

dengan faktor reduksi untuk SRPMM menunjukan perilaku yang memadai dalam

menahan beban gempa. Dan untuk perencanaan rangka breising baja dapat

dilakukan dengan cara konvensional tanpa pendetailan khusus.

2.9.2 Massumi dan Absalan (2013)

Penelitian tentang interaksi antara sistem breising dan rangka pemikul

momen pada rangka beton bertulang dengan breising baja telah dilakukan oleh

Massumi dan Absalan (2013) dengan menguji dan memodel 2 buah rangka beton

bertulang yang dirancang dengan peraturan lama. Satu rangka diperkuat dengan

breising baja (BF1) sedangkan yang lain tidak diperkuat dengan breising baja

(UBF1). Interaksi antara rangka momen dengan rangka dengan breising dianalisis

dengan membuat model tambahan menggunakan software ANSYS dengan breising

ada BF1 dihilangkan tetapi sambungan pelat buhul tetap (UBF2).

Gambar 2.13 menampilkan detail struktur yang akan diujikan setelah

diskala 1/2,5 menghasilkan panjang 1,92 m dengan tinggi 1,26 m dengan ukuran

pondasi yaitu panjang 0,8 m lebar 0,3 m dan tinggi 0,3 m. Ukuran balok dan kolom

yaitu 120x120 mm, ukuran breising 20x20x2 mm dengan kuat leleh sekitar 240

MPa dan kuat tekan beton f’c 25 MPa. Untuk pendetailan sambungan breising

digunakan plat gusset dengan ukuran L 100x100x10 mm dan PL 100x100x8 mm

sebagai dudukan pelat.

(a) (b)

28

Gambar 2.13 (a) Rangka momen (b) Rangka momen dengan pelat buhul (c)

Rangka breising beserta pelat buhul (d) Detail pelat buhul

Sumber: Massumi dan Absalan (2013)

Pengujian kedua model tersebut dilakukan dengan memberikan beban

vertikal berupa beban gravitasi lantai yang dibantu dengan turnbuckle yang

tertancap ke bawah dan beban lateral. Gambar 2.14 menunjukan pola keretakan

rangka dengan breising, dimana penambahan pelat buhul juga memberi kontribusi

dalam bentuk pola keretakan,

Gambar 2.14 Pola retak dari pengujian Sumber: Massumi dan Absalan (2013)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan breising pada rangka

beton bertulang meningkatkan kekuatan, kekakuan dan kapasitas absorpsi energi

struktur. disamping itu interaksi antara rangka beton bertulang dan sistem breising

memiliki dampak positif terhadap perilaku struktur, yakni meningkatkan kekuatan

ultimit struktur.

(c) (d)

29

Hasil pengujian software ANSYS juga menghasilkan peningkatan kekuatan

yang signifikan untuk rangka dengan penambahan breising. Ternyata pelat buhul

juga memberikan kekuatan pada rangka momen. Hasil interaksi keseluruhan

elemen tersebut menghasilkan perkuatan yang ditinjau dari penambahan masing-

masing elemen sampai 100%.

Peningkatan yang signifikan bisa dilihat pada gambar 2.15. Beban lateral

yang mampu diterima oleh rangka breising BF1 mencapai 60 kN, sedangkan rangka

momen hanya mampu menahan beban sampai 13 kN. Rangka dengan pelat buhul

mampu menahan beban sekitar 24 kN, ini membuktikan pelat buhul juga

memperkuat struktur.

Gambar 2.15 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement Rangka

tanpa breising UBF1, rangka dengan plat buhul UBF2, dan rangka breising BF1 Sumber: Massumi dan Absalan (2013)

2.9.3 Massumi dan Tasnimi (2008)

Penelitian tentang pengaruh perbedaan detail sambungan breising X pada

struktur beton bertulang yang diperkuat dengan sistem breising telah dilakukan oleh

Massumi dan Tasnimi (2008). Penelitian dilakukan untuk menemukan detail

sambungan breising yang efektif pada rangka beton dengan membuat 8 benda uji

untuk sambungan breising yang berbeda yang telah diskala 1:2:5.

Dalam penelitian ini dibuat dua rangka tanpa breising dengan kode UBF11

dan UBF12 sebagai kontrol spesimen dan lima pendetailan sambungan antara

rangka dan breising yang berbeda dengan kode BF11, BF12, BF21, BF22, BF23,

dan BF31. Gambar 2.16 menunjukan pendetailan sambungan dari masing-masing

spesimen Untuk BF11 dan BF12 menggunakan baut sebagai sambungan plat buhul

pada rangka batang. Pada BF11 baut tertancap pada kolom dan balok, sedangkan

0

10

20

30

40

50

60

70

0 5 10 15 20 25 30

Lat

eral

Lo

ad k

N

Lateral Displacemett (mm)

UBF1

UBF2

BF1

30

pada BF21 hanya tertancap pada kolom. Pada BF21, BF22 dan BF23 sambungan

breising pada rangka batang menggunakan jaket baja. Pada BF21 tidak ada

hubungan antara jaket baja dengan permukaan beton, sedangkan pada BF22 dan

BF23 digunakan perekat epoxy untuk menyatukan jaket baja kepermukaan kolom

beton dan bagian dari balok. Pada BF31 breising telah ditetapkan pada pojok kolom

dan balok dengan pengelasan sebelum pengecoran.

Gambar 2.16 Detail sambungan

Sumber: Massumi dan Tasnimi (2008)

Pada penelitian ini, kolom dibangun kaku di atas pondasi beton bertulang

dengan dimensi 800 x 300 mm. Sampel dites di bawah beban lateral yang berulang

dan beban vertical sebesar 18 kN. Dari lima tipe detail sambungan breising X,

dengan sambungan baut yang terhubung pada balok dan kolom (BF11) mampu

meningkatkan kekakuan rangka, sehingga dapat digunakan untuk bangunan rendah

sampai sedang. Sambungan baut hanya pada kolom (BF12) tidak cukup kuat dan

mengalami kerusakan yang sangat signifikan, meskipun dapat digunakan untuk

langkah awal. BF21 tidak direkomendasikan untuk diterapkan karena detail dengan

bentuk jaket baja tanpa perekat epoxy menyebabkan slip pada sistem breising.

Untuk tipe BF22 dan BF23 yang direkatkan dengan perekat epoxy serta BF31 yang

diletakkan pada beton memiliki kinerja yang lebih baik dari rangka batang lainnya.

Beban siklik menyebabkan kekuatan dan kekakuan berkurang dan

perpindahan meningkat pada perilaku inelastik. Breising X pada beton bertulang

mendukung sebagian besar gaya lateral, tetapi keruntuhan rangka disebabkan oleh

leleh dari tarik breising dan terjadi kegagalan tekuk dari tekanan breising.

31

2.9.4 Viswanath et.al (2010)

Penelitian tentang tipe breising terbaik sebagai perkuatan rangka beton

dalam menahan beban gempa telah dilakukan oleh Viswanath et.al (2010). Breising

baja merupakan salah satu sistem struktur yang umum digunakan untuk menahan

beban gempa pada gedung tingkat tinggi. Breising baja lebih ekonomis, mudah

dikerjakan dan fleksibel dalam desain kekuatan dan kekakuan. Ada banyak tipe

breising yang bisa digunakan sebagai perkuatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian tentang tipe breising yang paling efektif untuk digunakan.

Dalam pemodelan struktur gedung digunakan software STAAD Pro V8i

untuk membuat model 3D. Beban lateral yang diaplikasikan pada gedung

berdasarkan Indian Standards. Gedung diasumsikan berada pada zona gempa IV

sesuai dengan IS 1893:2002. Perletakan struktur tersebut diasumsikan sebagai jepit

dan interaksi antara struktur dengan tanah diabaikan.

Terdapat empat tipe breising yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

breising diagonal, breising X berpotongan, breising K dan breising X. Selain

keempat tipe breising tersebut, analisis juga dilakukan terhadap struktur yang tidak

diperkuat dengan menggunakan breising. Jadi dibuat lima model struktur bangunan

bertingkat 4. Untuk bangunan bertingkat 8, 12 dan 16 dianalisis dalam zona gempa

IV dan diperkuat dengan breising tipe X.

Hasil analisis gedung bertingkat 4 tersebut dibagi dalam 2 parameter yaitu

perpindahan lateral dan gaya-gaya dalam pada kolom. Penambahan breising

mampu mereduksi perpindahan lateral maksimum yang terjadi pada model gedung.

Dari segi gaya-gaya dalam maksimum, dapat disimpulkan bahwa penambahan

breising meningkatkan gaya aksial yang dapat diterima pada struktur dan adanya

penurunan momen dan gaya geser pada kolom yang terhubungan dengan breising.

Breising mampu mengurangi kebutuhan lentur dan geser pada balok dan kolom dan

mentransfer beban lateral melalui mekanisme beban aksial. Dari kedua parameter

tersebut, breising tipe X terbukti lebih efektif dalam memperkuat struktur gedung

bertingkat 4 dari tipe bresing yang lain.

Pada analisis gedung bertingkat 8, 12 dan 16 digunakan breising tipe X

sebagai perkuatan struktur gedung tersebut. Setelah dilakukan analisis, didapatkan

hasil bahwa pada gedung yang diperkuat breising terjadi reduksi perpindahan

32

maksimum sebesar 62-74 % jika dibandingkan dengan gedung tanpa perkuatan

breising. Tipe breising X merupakan tipe yang paling efektif dalam perkuatan

struktur gedung bertingkat.

2.9.5 Ismail et.al (2015)

Ismail et.al (2015) telah melakukan penelitian tentang perkuatan gedung

dengan menggunakan breising baja yang dilakukan pada Gedung STKIP ADZKIA

Padang, dengan kondisi gedung tersebut telah rusak (balok melendut dan retak pada

dinding). Hasil evaluasi kinerja dan kekuatan struktur kondisi eksisting berdasarkan

SNI 2012 diperoleh bahwa bangunan sekolah STKIP ADZKIA Padang tidak cukup

kuat menahan kombinasi beban-beban yang bekerja pada struktur. Oleh karena itu,

perlu dilakukan perkuatan pada struktur gedung tersebut dan metode perkuatan

yang direkomendasikan adalah menambahkan breising aja tipe V terbalik.

Gedung STKIP ADZKIA dimodel dan dianalisis dengan bantuan software

analisis struktur ETABS 9.7.1. Setelah pemodelan struktur, selanjutnya dilakukan

analisis struktur gedung yang telah diperkuat dengan breising baja. Hasil analisis

menunjukkan bahwa, pemasangan breising baja pada struktur lantai menyebabkan

penurunan pada gaya dalam balok mencapai ±70% dibandingkan kondisi eksisting.

Perbandingan simpangan antar lantai yang terjadi pada struktur antara kondisi

eksisting dengan setelah dipasang breising baja mengalami penurunan simpangan

maksimum sekitar kurang lebih 60% untuk arah X dan kurang lebih 65% untuk arah

Y.

2.9.6 Maheri (2009)

Penelitian tentang breising baja internal pada rangka beton bertulang telah

dilakukan oleh Maheri (2009). Penelitian dilakukan pada beberapa parameter

respon seismik seperti uji pushover, uji siklik dan faktor perilaku seismik,

kemudian ditambah sambungan kuat lebih dan alat pelepas tekan.

Pada pengujian uji pushover dibuat 4 model yang diskala 1:3,2 yaitu 2

model tanpa breising dan 2 model dengan breising X dengan semua unit rangka

daktail. Hasil dari pengujian pushover menunjukkan bahwa terjadi peningkatan 3,5

kali untuk kapasitas beban lateral. Peningkatan juga terjadi pada kekakuan sampai

breising tersebut mengalami kegagalan atau tekuk. Kekakuan juga ditunjukkan

pada kurva perpindahan. Penggunaan breising mengakibatkan 5 kali peningkatan

33

kekakuan yang mengindikasi penyerapan energi yang besar. Untuk daktilitas, kuat

lebih dan faktor kinerja menunjukkan bahwa breising lebih cocok untuk desain

berdasarkan kekuatan daripada desain daktail.

Penelitian tentang uji siklik dilakukan dengan memodel rangka momen

beton bertulang dengan rangka breising X beton bertulang yang diskala 2/5. Rangka

momen F1 didesain menurut ACI 318-01 dengan pendetailan khusus untuk desain

gempa. Detail penulangan untuk rangka momen yaitu 4M10 untuk balok dan 4M15

untuk kolom dengan sengkang 35 mm. Sedangkan breising balok dan kolom

menggunakan 4M10 dengan sengkang 70 mm. Breising dihubungkan ketulangan

dengan pelat gusset dengan ukuran 150x150x8 mm yang dihubungkan dengan baut.

Pada sistem breising dibuat 2 jenis tipe breising yaitu FX1 penampang sudut ganda

2L 25x25x32 mm dan FX2 penampang kanal C 3x35 mm. Uji siklik dilakukan

dengan memberi beban gravitasi menggunakan hydraulik. Dari hasil tes

menunjukkan bahwa rangka breising FX1 memiliki kekakuan 2 kali lipat dari

kekakuan lateral rangka pemikul momen. Tetapi kekakuan akan sama seperti

rangka pemikul momen setelah terjadi tekuk. Hal itu juga berlaku pada rangka

breising FX2 walaupun memiliki kekakuan lateral lebih baik dari rangka breising

FX1. Untuk hasil analisis dari ketiga model tersebut, rangka breising memiliki

kinerja yang lebih baik dari rangka momen pada kapasitas kekakuan dan

kelenturan. Penambahan breising menyebabkan penurunan daktilitas dari rangka

daktail, tetapi penurunan daktilitas tersebut tidak mempengaruhi kapasitas

kehilangan energi dari rangka.

Kapasitas kekuatan dari rangka beton bertulang dan sistem breising

merupakan pertimbangan yang penting dalam menentukan sambungan breising.

Penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 model benda uji yang diskala 1:3,5

dengn 1 rangka momen dan 2 rangka breising yang dites dengan beban siklik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sistem breising ke rangka beton

bertulang mengakibatkan kapasitas dari rangka beton bertulang meningkat melebihi

kapasitas dari sistem breising. Kemudian untuk mengetahui evaluasi dari

sambungan breising dibuat skala penuh dari breising X pada rangka beton

bertulang. Model dianalisis dengan The Open SEES (Open System for Earthquake

Engginering Simulation) dengan model validasi yang diambil dari tes siklik rangka

34

momen dan rangka breising. Hasil analisis menunjukkan bahwa sambungan

mengurangi panjang efektif dari balok dan kolom rangka beton bertulang dan

kekakuan dari rangka berkurang.

Untuk meningkatkan daktilitas, mempertahankan kekuatan, dan kapasitas

kekakuan penambahan knee bracing direkomendasikan berdasarkan hasil tes. Knee

bracing digunakan pada konstruksi baja untuk meningkatkan daktilitas dan untuk

meningkatkan ketahanan gempa pada rangka. Analisis dilakukan dengan membuat

4 model rangka untuk dites pushover yaitu 2 rangka tanpa breising dan 2 rangka

dengan sudut breising. Dari tes tersebut didapatkan bahwa kapasitas ultimit dari

Knee bracing lebih besar 2,5 kali dari rangka tanpa breising. Knee bracing

memungkinkan rangka untuk memiliki kapasitas dan kekakuan yang cukup dengan

kapasitas yang baik untuk menyerap energi. Kurva pushover juga menunjukkan

peningkatan daktilitas rangka dengan knee bracing dibandingkan breising X.

Alat pelepas tekan dipasang pada batang breising untuk melepas gaya tekan.

Batang dibagi 2 bagian dan dilas diujung dengan pelat baja dari alat pelepas tekan.

Dibuat 2 benda uji dengan alat tersebut kemudian dibandingkan dengan 2 benda uji

tanpa breising dan 2 benda uji dengan breising X. Pengujian dilakukan dengan

beban yang sama dan berulang-ulang. Parameter gempa dievaluasi dari hasil tes

termasuk degradasi kekakuan, kapasitas kehilangan energi dan daktilitas. Pada

degradasi kekakuan dengan penggunaan alat pelepas tekan, dapat meminimalkan

keretakan pada rangka beton bertulang dan ketahanan kekakuan lateral dari rangka

hampir konstan. Penggunaan alat pelepas tekan pada breising tidak berpengaruh

terhadap kapasitas kehilangan energi. Pada daktilitas pengaruh alat pelepas tekan

mampu meningkatkan daktilitas pada rangka breising.