bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · pengaku breising pada struktur berperilaku...

Download BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · Pengaku breising pada struktur berperilaku sebagai truss elemen yang hanya ... rangka baja SRPM dapat diklasifikasikan ... (McCormac

If you can't read please download the document

Upload: hahanh

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Umum

    Pengaku breising pada struktur berperilaku sebagai truss elemen yang hanya

    menerima gaya aksial baik tekan maupun tarik. Penambahan breising terbukti dapat

    mengefisienkan berat dari struktur dan kinerja yang lebih baik terhadap ketahanan

    gempa seperti pada Patung Liberty, Woolworth Tower, dan Empire State Building

    (Smith and Coull, 1991).

    2.2 Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM)

    Struktur rangka pemikul momen (SRPM) adalah struktur yang memiliki

    rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul oleh

    rangka pemikul momen melalui mekanisme lentur. SRPM terdiri dari elemen

    vertikal berupa kolom dan elemen horizontal berupa balok yang terhubung secara

    kaku membentuk sebuah kotak planar yang mampu menahan gaya lateral

    berdasarkan kekakuan masing-masing elemen balok kolom.

    Berdasarkan SNI 03-1729-2002, rangka baja SRPM dapat diklasifikasikan

    menjadi, Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), Struktur Rangka

    Pemikul Momen Terbatas (SRPMT) dan Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa

    (SRPMB). SRPMK didesain untuk memiliki daktilitas yang lebih tinggi dan dapat

    berdeformasi inelastik pada saat gaya gempa terjadi. Deformasi inelastik akan

    meningkatkan redaman dan mengurangi kekakuan dari struktur, hal ini terjadi pada

    saat gempa ringan bekerja pada struktur. Dengan demikian, SRPMK didesain pada

    gaya gempa yang lebih ringan dibandingkan dengan gaya gempa yang bekerja pada

    SRPMT dan SRPMB. Pada SRPMB, struktur diharapkan dapat mengalami

    deformasi inelastik secara terbatas pada komponen struktur dan sambungan-

    sambungannya akibat gaya gempa rencana. Dengan demikian, pada SRMPB

    kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan kekakuan pada SRPMK namun

    SRPMB memiliki daktilitas lebih kecil dari SRPMK untuk beban gempa yang

    sama.

  • 6

    2.3 Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)

    Berdasarkan SNI 1729:2002 pasal 15.9, SRPMB diharapkan dapat

    mengalami deformasi inelastis secara terbatas pada komponen struktur dan

    sambungan-sambungannya akibat gaya gempa rencana. SRPMB harus memenuhi

    persyaratan pada butir-butir di bawah ini.

    1. Sambungan balok-ke-kolom

    Sambungan balok-ke-kolom harus menggunakan las atau baut mutu tinggi.

    Dapat digunakan sambungan kaku atau sambungan semi kaku sebagai berikut:

    a) Sambungan kaku yang merupakan bagian dari Sistem Pemikul Beban Gempa

    harus mempunyai kuat lentur perlu Mu yang besarnya paling tidak sama dengan

    yang terkecil dari:

    i. 1,1RyM p balok atau gelagar, atau

    ii. Momen terbesar yang dapat disalurkan oleh sistem rangka pada titik terebut.

    Untuk sambungan dengan sambungan pelat sayap yang dilas, pelapis las dan

    kelebihan las harus dibuang dan diperbaiki kecuali pelapis pelat sayap atas

    yang tetap diperbolehkan jika melekat pada pelat sayap kolom dengan las sudut

    menerus di bawah las tumpul sambungan penetrasi penuh. Las tumpul

    penetrasi sebagian dan las sudut tidak boleh digunakan untuk memikul gaya

    tarik pada sambungan; Sebagai alternatif, perencanaan dari semua sambungan

    balok ke kolom yang digunakan pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus

    didasarkan pada hasil-hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi

    inelastis sekurang-kurangnya 0,01 radian.

    b) Sambungan semi kaku diizinkan jika syarat-syarat di bawah ini dipenuhi:

    i. Sambungan tersebut harus memenuhi kekuatan Rn Ru;

    ii. Kuat lentur nominal sambungan melebihi nilai yang lebih kecil daripada 50%

    M p balok atau kolom yang disambungkan;

    iii. Harus mempunyai kapasitas rotasi yang dibuktikan dengan uji beban siklik

    sebesar yang dibutuhkan untuk mencapai simpangan antar lantai;

    iv. Kekakuan dan kekuatan sambungan semi kaku ini harus diperhitungkan dalam

    perencanaan, termasuk dalam perhitungan stabilitas rangka secara

    keseluruhan.

  • 7

    2. Pelat terusan

    Jika sambungan momen penuh dibuat dengan melas pelat sayap balok atau

    pelat sambungan untuk sayap balok secara langsung ke pelat sayap kolom maka

    harus digunakan pelat terusan untuk meneruskan gaya dari pelat sayap balok ke

    pelat badan kolom. Pelat ini harus mempunyai ketebalan minimum sebesar tebal

    pelat sayap balok atau pelat sambungan sayap balok. Sambungan pelat terusan ke

    pelat sayap kolom harus dilakukan dengan las tumpul penetrasi penuh, atau las

    tumpul penetrasi sebagian dari kedua sisi yang diperkuat dengan las sudut, atau las

    sudut di kedua sisi dan harus mempunyai kekuatan sama dengan kuat rencana luas

    bidang kontak antara pelat terusan dengan pelat sayap kolom. Sambungan pelat

    terusan ke pelat badan kolom harus mempunyai kuat geser rencana sama dengan

    yang terkecil dari persyaratan berikut:

    a) Jumlah kuat rencana dari sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom;

    b) Kuat geser rencana bidang kontak pelat terusan dengan pelat badan kolom;

    c) Kuat rencana geser daerah panel;

    d) Gaya sesungguhnya yang diteruskan oleh pengaku.

    Pelat terusan tidak diperlukan jika model uji sambungan menunjukkan

    bahwa rotasi plastis yang direncanakan dapat dicapai tanpa menggunakan pelat

    terusan tersebut.

    2.4 Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK)

    Mekanisme keruntuhan direncanakan terjadi pada elemen breising dan pelat

    buhul sambungan bresing ke balok dan kolom. Pada saat terjadi gempa besar,

    diharapkan terjadi tekuk pada batang bresing (akibat beban aksial yang

    diterimanya) sehingga terjadi putaran sudut pada ujung bresing yang kemudian

    menyebabkan pelat buhul pada sambungan ujung bresing leleh (terjadi sendi

    plastis).

    Struktur rangka breising konsentrik (SRBK) merupakan sistem struktur

    yang elemen breising diagonalnya bertemu disatu titik. SRBK dapat

    diklasifikasikan menjadi dua yaitu struktur rangka breising konsentrik biasa

    (SRBKB) dan struktur rangka breising konsentrik khusus (SRBKK). Rangka

  • 8

    breising konsentrik memiliki beberapa tipe seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1

    (SNI 1729:2002).

    Gambar 2.1 Tipe-tipe breising konsentrik

    (AISC, 2010)

    Pada breising konsentrik tipe x-2 lantai merupakan rangka breising x yang

    dipasang untuk ketinggian 2 lantai seperti terlihat pada Gambar 2.1 (e). Rangka

    breising ini dapat menjadi pilihan yang baik bila dibandingkan dengan rangka

    breising tipe v atau v-terbalik, bila terjadi tekuk pada batang tekan breising, balok

    akan mengalami defleksi kebawah sebagai akibat dari adanya gaya-gaya yang tidak

    seimbang pada balok. Defleksi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem

    pelat lantai diatas sambungan tersebut. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya

    defleksi kebawah pada balok maka diperlukan konfigurasi breising yang mencegah

    terbentuknya gaya-gaya yang tidak seimbang tersebut dan mendistribusikannya

    menuju lantai lain yang tidak mengalami defleksi tersebut (Utomo, 2011).

    Perbandingan mengenai perilaku antara rangka breising konsentrik tipe x-2

    lantai dengan tipe v-terbalik ditunjukkan oleh Hewitt, et al, (2009) melalui sebuah

    skema yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

    (a). V-terbalik (b). X-2 lantai

    Gambar 2.2 Perbandingan perilaku rangka breising konsentrik tipe v-terbalik dan

    x-2 lantai (Hewitt, Sabelli, dan Bray, 2009)

  • 9

    Dapat dilihat pada Gambar 2.2 bahwa pada struktur rangka breising tipe x-

    2 lantai, gaya-gaya tidak seimbang pada balok didistribusikan melalui batang tarik

    breising yang berada dilantai atasnya. Hal ini akan mencegah terjadinya defleksi ke

    bawah pada balok sehingga dapat mencegah kerusakan pada pelat lantai.

    2.5 Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK)

    Berdasarkan SNI 03 1729:2002, Sistem Rangka Bresing Konsentris Khusus

    (SRBKK) direncanakan pada bangunan baja yang berada di wilayah gempa

    menengah hingga besar. Bresing yang digunakan sebagai komponen penahan

    lateral harus memenuhi parameter sebagai berikut :

    Kelangsingan

    Batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan yaitu

    2625

    Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi Nc

    Perbandingan lebar terhadap tebal penampang bresing tekan yang

    berperilaku ataupun yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan-persyaratan

    berikut ini :

    1. Batang bresing harus bersifat kompak, yaitu (

  • 10

    3. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul

    pengaruh kombinasi pembebanan kecuali bahwa Qb harus disubtitusikan pada

    suku E. Qb harus dihitung dengan menggunakan minimum sebesar Ny untuk

    bresing dalam tarik dan maksimum sebesar 0,3 Nc untuk bresing tekan.

    4. Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan dengan batang bresing

    harus direncanakan mampu memikul gaya lateral yang besarnya sama dengan

    2% kuat nominal sayap balok fy bf tbf

    Kolom pada SRBKK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    Perbandingan Lebar terhadap Tebal

    Perbandingan lebar terhadap tebal penampang kolom dalam tekan yang diberi

    pengaku ataupun yang tidak diberi pengaku, harus memenuhi persyaratan

    untuk batang bresing pada penjelasan Perbandingan lebar terhadap tebal

    sebelumnya

    Penyambungan

    Penyambungan kolom pada SRBKK juga harus direncanakan untuk mampu

    memikul minimal kuat geser nominal dari kolom terkecil yang disambung dari

    50% kuat lentur nominal penampang terkecil yang disambung.Penyambungan

    harus ditempatkan di daerah 1/3 tinggi bersih kolom yang di tengah.

    2.6 Kombinasi Beban

    Berdasarkan SNI 1727:2013, kombinasi beban dipilih yang menghasilkan

    efek yang paling tidak baik di dalam bangunan gedung, fondasi, atau komponen

    struktural yang diperhitungkan. Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja

    harus dipertimbangkan. desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor

    dalam kombinasi berikut:

    1. 1,4D

    2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lratau S atau R)

    3. 1,2D + 1,6 (Lratau S atau R) + (L atau 0,5W)

    4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R)

    5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S

    6. 0,9D + 1,0W

    7. 0,9D + 1,0E

  • 11

    dimana:

    D = beban mati

    E = beban gempa

    L = beban hidup

    Lr = beban hidup atap

    R = beban hujan

    W = beban angin

    2.7 Sambungan Sederhana

    Berdasarkan SNI 1729:2015, sambungan sederhana mengabaikan adanya

    momen. Pada analisis struktur, sambungan sederhana dianggap memungkinkan

    terjadinya rotasi relatif tidak terkekang antara elemen yang tersambung bercabang.

    Sambungan sederhana harus memiliki kapasitas rotasi yang cukup untuk

    mengakomodasi rotasi perlu yang ditentukan melalui analisis struktur.

    Sambungan sederhana atau sambungan sendi biasanya digunakan pada

    sambungan balok anak ke balok induk, sambungan breising ke balok kolom, dan

    sambungan pada dudukan kolom baja. Pada sambungan sederhana, momen yang

    terjadi sama dengan nol, sehingga baut hanya memikul geser.

    Ilustrasi sambungan sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.3, pada gambar

    dapat dilihat bahwa sambungan hanya menggunakan baut dan pelat siku sederhana

    tanpa perlu dilakukan pengelasan. Sambungan baut dilakukan di kedua elemen

    struktur yang akan disambungkan, jika pada balok anak maka pada bagian web

    balok anak dan bagian flange balok induk yang dipasangkan bolt dengan

    dihubungkan oleh pelat siku.

  • 12

    Gambar 2.3 Jenis-jenis sambungan sendi (McCormac and Csernak, 2011)

  • 13

    2.8 Sambungan Momen

    Pada Gambar 2.4 dapat dilihat jenis-jenis sambungan momen. Pada

    sambungan momen, balok kolom terhubung secara rigid yang tidak memungkinkan

    terjadi rotasi. Kebutuhan akan baut lebih banyak dibandingkan pada sambungan

    sederhana.

    Gambar 2.4 Jenis-jenis sambungan momen (McCormac and Csernak, 2011)

  • 14

    Berdasarkan SNI 1729:2015, terdapat dua tipe sambungan momen yang

    boleh digunakan yaitu Tertahan Penuh (TP) dan Tertahan Sebagian (TS) seperti

    disyaratkan di bawah ini.

    a) Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP)

    Sambungan momen tertahan penuh (TP) menyalurkan momen

    dengan rotasi yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang

    tersambung. Pada analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak

    memungkinkan terjadinya rotasi relatif. Suatu sambungan TP harus

    memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut

    antara komponen struktur yang tersambung pada kondisi batas kekuatan.

    b) Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS)

    Sambungan momen tertahan sebagian (TS) mampu menyalurkan

    momen, tetapi rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh

    diabaikan. Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respons

    gaya-deformasi sambungan. Karakteristik respons sambungan TS harus

    terdokumentasi dalam literatur teknis atau ditetapkan dengan analisis atau

    merupakan hasil rata-rata eksperimental. Elemen komponen sambungan TS

    harus memiliki kekuatan, kekakuan dan kapasitas deformasi yang cukup

    pada kondisi batas kekuatan.

    2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja

    Menurut Dewobroto (2006), konsep perencanaan berbasis kinerja

    (performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek

    layan, sehingga bisa diketahui kemampuan suatu struktur dalam menerima beban

    gempa (kapasitas) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh struktur

    tersebut (demand), maka dari itu akan bisa direncanakan suatu stuktur tahan gempa

    yang ekonomis. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang

    ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level

    kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut seperti

    pada Gambar 2.5. Mengacu pada Federal Emergency Management Agency

    (FEMA)-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja,

    kategori level kinerja struktur, adalah:

  • 15

    a. Bangunan dapat dihuni, namun tidak dapat digunakan sepenuhnya, perlu

    dilakukan perbaikan dan pembersihan (IO = Immediate Occupancy),

    b. Bangunan masih aman saat terjadi gempa, namun tidak setelahnya (LS =

    Life-Safety),

    c. Bangunan diambang kehancuran, kemungkinan rugi total (CP = Collapse

    Prevention).

    Analisis pushover menghasilkan kurva pushover (Gambar 2.5), kurva yang

    menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik

    acuan pada atap (D). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami

    leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan

    memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan

    selanjutnya berperilaku non-linier.

    Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58) (Sumber: FEMA 273, 1997)

    2.10 Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover

    Analisa statik non-linier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui

    perilaku keruntuhan bangunan terhadap gempa. Analisa statik non-linier juga

    dikenal sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover

    dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang

    kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target

  • 16

    perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah

    titik pada struktur bagian atas.

    Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas yang terlihat pada Gambar

    2.6, kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan

    titik acuan pada struktur bagian atas (D). Pada proses pushover struktur didorong

    sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi distruktur tersebut. Kurva kapasitas

    akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan

    selanjutnya berperilaku non-linier.

    Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang

    digunakan sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk

    memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk

    memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat

    diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan

    atau stabilitasnya.

    Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam

    menggunakan analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh

    pertama (Vy) dan beban maksimum (Vd) langsung ditentukan melalui penarikan

    garis yang memotong kurva perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V)

    terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D).

    Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd) (Sumber: FEMA 440, 2005)

  • 17

    Tahapan utama dalam analisa pushover adalah:

    1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.

    Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan

    untuk menyusun kurva pushover.

    2. Membuat kurva pushover berdasarkan pola distribusi gaya lateral terutama yang

    ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi

    yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa.

    3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).

    Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan

    perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang

    ditentukan.

    4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target

    perpindahan. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap

    memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik

    terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi

    adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses

    ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh computer (fasilitas pushover dan evaluasi

    kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP 2000, mengacu pada

    FEMA - 440).

    2.11 Kurva Kapasitas

    Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan

    hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban

    lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai pada

    kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan (Gambar 2.7). Kurva

    kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh

    dan selanjutnya berperilaku non-linier. Perubahan perilaku struktur dari linier

    menjadi non-linier berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan

    penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada balok dan

    kolom. Sendi plastis akibat momen lentur terjadi pada struktur jika beban yang

    bekerja melebihi kapasitas momen lentur yang ditinjau. Semakin banyak sendi

    plastis yang terjadi berarti kinerja struktur semakin bagus karena semakin banyak

  • 18

    terjadi pemancaran energi melalui terbentuknya sendi plastis sebelum kapasitas

    struktur terlampaui.

    Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas

    (Dewobroto, 2005)

    Kurva kapasitas dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang

    digunakan sebagai beban dorong. Pola pembebanan umumnya berupa respon

    ragam-1 struktur (atau dapat juga berupa beban statik ekivalen) berdasarkan asumsi

    bahwa ragam struktur yang dominan adalah ragam-1. Beban dorong statik lateral

    diberikan pada pusat massa sampai dicapai target perpindahan. Tujuan lain analisa

    pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi,

    serta untuk memperoleh informasi letak bagian struktur yang kritis. Selanjutnya

    dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk

    pendetailan atau stabilitasnya (Dewobroto, 2005).

    2.12 Batas Kinerja

    Berdasarkan filosofi desain yang ada, tingkat kinerja struktur bangunan

    akibat gempa rencana adalah Life Safety, yaitu walaupun struktur bangunan

    mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah namun keselamatan penghuni tetap

    terjaga karena struktur bangunan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 2.8, respon

    linier dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan mulai terjadi pada

    titik B. Respon dari titik B ke titik C merupakan respon elastis plastis. Titik C

    merupakan titik yang menunjukkan puncak kekuatan komponen, dan nilai absisnya

    yang merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi kekuatan struktur

    (garis C-D). Pada titik D, respon komponen struktur secara substansial menghadapi

  • 19

    pengurangan kekuatan menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik

    E, kekuatan komponen struktur menjadi nol (FEMA 451, 2006).

    Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan (Sumber: FEMA 356, 2000)

    Antara titik B dan C terdapat titik-titik yang merupakan level kinerja dari

    struktur bangunan. Level kinerja bangunan berdasarkan ATC-40, (1996) dibedakan

    menjadi:

    1. Immediate Occupancy (IO)

    Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan

    struktur sangat terbatas. Sistem penahan beban vertikal dan lateral bangunan

    hamper sama dengan kondisi sebelum terjadinya gempa, dan resiko korban

    jiwa akibat keruntuhan struktur dapat diabaikan.

    2. Life Safety (LS)

    Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan yang

    penting terhadap struktur terjadi. Komponen utama struktur tidak

    terdislokasi dan runtuh, sehingga risiko korban jiwa terhadap kerusakan

    struktur sangat rendah.

    3. Structural Stability / Collapse Prevention (CP)

    Pada tingkatan ini, kondisi struktur setelah terjadinya gempa sangat parah,

    sehingga bangunan dapat mengalami keruntuhan struktur baik sebagian

    maupun total. Meskipun struktur masih bersifat stabil, kemungkinan

    terjadinya korban jiwa akibat kerusakan struktur besar. Dalam dokumen

    FEMA 273, kondisi structural stability dikenal dengan istilah Collapse

    Prevention (CP).

    DEFORMATION

    FO

    RC

    E