bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · pengaku breising pada struktur berperilaku...
TRANSCRIPT
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Pengaku breising pada struktur berperilaku sebagai truss elemen yang hanya
menerima gaya aksial baik tekan maupun tarik. Penambahan breising terbukti dapat
mengefisienkan berat dari struktur dan kinerja yang lebih baik terhadap ketahanan
gempa seperti pada Patung Liberty, Woolworth Tower, dan Empire State Building
(Smith and Coull, 1991).
2.2 Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM)
Struktur rangka pemikul momen (SRPM) adalah struktur yang memiliki
rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul oleh
rangka pemikul momen melalui mekanisme lentur. SRPM terdiri dari elemen
vertikal berupa kolom dan elemen horizontal berupa balok yang terhubung secara
kaku membentuk sebuah kotak planar yang mampu menahan gaya lateral
berdasarkan kekakuan masing-masing elemen balok kolom.
Berdasarkan SNI 03-1729-2002, rangka baja SRPM dapat diklasifikasikan
menjadi, Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), Struktur Rangka
Pemikul Momen Terbatas (SRPMT) dan Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa
(SRPMB). SRPMK didesain untuk memiliki daktilitas yang lebih tinggi dan dapat
berdeformasi inelastik pada saat gaya gempa terjadi. Deformasi inelastik akan
meningkatkan redaman dan mengurangi kekakuan dari struktur, hal ini terjadi pada
saat gempa ringan bekerja pada struktur. Dengan demikian, SRPMK didesain pada
gaya gempa yang lebih ringan dibandingkan dengan gaya gempa yang bekerja pada
SRPMT dan SRPMB. Pada SRPMB, struktur diharapkan dapat mengalami
deformasi inelastik secara terbatas pada komponen struktur dan sambungan-
sambungannya akibat gaya gempa rencana. Dengan demikian, pada SRMPB
kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan kekakuan pada SRPMK namun
SRPMB memiliki daktilitas lebih kecil dari SRPMK untuk beban gempa yang
sama.
-
6
2.3 Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)
Berdasarkan SNI 1729:2002 pasal 15.9, SRPMB diharapkan dapat
mengalami deformasi inelastis secara terbatas pada komponen struktur dan
sambungan-sambungannya akibat gaya gempa rencana. SRPMB harus memenuhi
persyaratan pada butir-butir di bawah ini.
1. Sambungan balok-ke-kolom
Sambungan balok-ke-kolom harus menggunakan las atau baut mutu tinggi.
Dapat digunakan sambungan kaku atau sambungan semi kaku sebagai berikut:
a) Sambungan kaku yang merupakan bagian dari Sistem Pemikul Beban Gempa
harus mempunyai kuat lentur perlu Mu yang besarnya paling tidak sama dengan
yang terkecil dari:
i. 1,1RyM p balok atau gelagar, atau
ii. Momen terbesar yang dapat disalurkan oleh sistem rangka pada titik terebut.
Untuk sambungan dengan sambungan pelat sayap yang dilas, pelapis las dan
kelebihan las harus dibuang dan diperbaiki kecuali pelapis pelat sayap atas
yang tetap diperbolehkan jika melekat pada pelat sayap kolom dengan las sudut
menerus di bawah las tumpul sambungan penetrasi penuh. Las tumpul
penetrasi sebagian dan las sudut tidak boleh digunakan untuk memikul gaya
tarik pada sambungan; Sebagai alternatif, perencanaan dari semua sambungan
balok ke kolom yang digunakan pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus
didasarkan pada hasil-hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi
inelastis sekurang-kurangnya 0,01 radian.
b) Sambungan semi kaku diizinkan jika syarat-syarat di bawah ini dipenuhi:
i. Sambungan tersebut harus memenuhi kekuatan Rn Ru;
ii. Kuat lentur nominal sambungan melebihi nilai yang lebih kecil daripada 50%
M p balok atau kolom yang disambungkan;
iii. Harus mempunyai kapasitas rotasi yang dibuktikan dengan uji beban siklik
sebesar yang dibutuhkan untuk mencapai simpangan antar lantai;
iv. Kekakuan dan kekuatan sambungan semi kaku ini harus diperhitungkan dalam
perencanaan, termasuk dalam perhitungan stabilitas rangka secara
keseluruhan.
-
7
2. Pelat terusan
Jika sambungan momen penuh dibuat dengan melas pelat sayap balok atau
pelat sambungan untuk sayap balok secara langsung ke pelat sayap kolom maka
harus digunakan pelat terusan untuk meneruskan gaya dari pelat sayap balok ke
pelat badan kolom. Pelat ini harus mempunyai ketebalan minimum sebesar tebal
pelat sayap balok atau pelat sambungan sayap balok. Sambungan pelat terusan ke
pelat sayap kolom harus dilakukan dengan las tumpul penetrasi penuh, atau las
tumpul penetrasi sebagian dari kedua sisi yang diperkuat dengan las sudut, atau las
sudut di kedua sisi dan harus mempunyai kekuatan sama dengan kuat rencana luas
bidang kontak antara pelat terusan dengan pelat sayap kolom. Sambungan pelat
terusan ke pelat badan kolom harus mempunyai kuat geser rencana sama dengan
yang terkecil dari persyaratan berikut:
a) Jumlah kuat rencana dari sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom;
b) Kuat geser rencana bidang kontak pelat terusan dengan pelat badan kolom;
c) Kuat rencana geser daerah panel;
d) Gaya sesungguhnya yang diteruskan oleh pengaku.
Pelat terusan tidak diperlukan jika model uji sambungan menunjukkan
bahwa rotasi plastis yang direncanakan dapat dicapai tanpa menggunakan pelat
terusan tersebut.
2.4 Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK)
Mekanisme keruntuhan direncanakan terjadi pada elemen breising dan pelat
buhul sambungan bresing ke balok dan kolom. Pada saat terjadi gempa besar,
diharapkan terjadi tekuk pada batang bresing (akibat beban aksial yang
diterimanya) sehingga terjadi putaran sudut pada ujung bresing yang kemudian
menyebabkan pelat buhul pada sambungan ujung bresing leleh (terjadi sendi
plastis).
Struktur rangka breising konsentrik (SRBK) merupakan sistem struktur
yang elemen breising diagonalnya bertemu disatu titik. SRBK dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu struktur rangka breising konsentrik biasa
(SRBKB) dan struktur rangka breising konsentrik khusus (SRBKK). Rangka
-
8
breising konsentrik memiliki beberapa tipe seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1
(SNI 1729:2002).
Gambar 2.1 Tipe-tipe breising konsentrik
(AISC, 2010)
Pada breising konsentrik tipe x-2 lantai merupakan rangka breising x yang
dipasang untuk ketinggian 2 lantai seperti terlihat pada Gambar 2.1 (e). Rangka
breising ini dapat menjadi pilihan yang baik bila dibandingkan dengan rangka
breising tipe v atau v-terbalik, bila terjadi tekuk pada batang tekan breising, balok
akan mengalami defleksi kebawah sebagai akibat dari adanya gaya-gaya yang tidak
seimbang pada balok. Defleksi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem
pelat lantai diatas sambungan tersebut. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya
defleksi kebawah pada balok maka diperlukan konfigurasi breising yang mencegah
terbentuknya gaya-gaya yang tidak seimbang tersebut dan mendistribusikannya
menuju lantai lain yang tidak mengalami defleksi tersebut (Utomo, 2011).
Perbandingan mengenai perilaku antara rangka breising konsentrik tipe x-2
lantai dengan tipe v-terbalik ditunjukkan oleh Hewitt, et al, (2009) melalui sebuah
skema yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
(a). V-terbalik (b). X-2 lantai
Gambar 2.2 Perbandingan perilaku rangka breising konsentrik tipe v-terbalik dan
x-2 lantai (Hewitt, Sabelli, dan Bray, 2009)
-
9
Dapat dilihat pada Gambar 2.2 bahwa pada struktur rangka breising tipe x-
2 lantai, gaya-gaya tidak seimbang pada balok didistribusikan melalui batang tarik
breising yang berada dilantai atasnya. Hal ini akan mencegah terjadinya defleksi ke
bawah pada balok sehingga dapat mencegah kerusakan pada pelat lantai.
2.5 Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK)
Berdasarkan SNI 03 1729:2002, Sistem Rangka Bresing Konsentris Khusus
(SRBKK) direncanakan pada bangunan baja yang berada di wilayah gempa
menengah hingga besar. Bresing yang digunakan sebagai komponen penahan
lateral harus memenuhi parameter sebagai berikut :
Kelangsingan
Batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan yaitu
2625
Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi Nc
Perbandingan lebar terhadap tebal penampang bresing tekan yang
berperilaku ataupun yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan-persyaratan
berikut ini :
1. Batang bresing harus bersifat kompak, yaitu (
-
10
3. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul
pengaruh kombinasi pembebanan kecuali bahwa Qb harus disubtitusikan pada
suku E. Qb harus dihitung dengan menggunakan minimum sebesar Ny untuk
bresing dalam tarik dan maksimum sebesar 0,3 Nc untuk bresing tekan.
4. Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan dengan batang bresing
harus direncanakan mampu memikul gaya lateral yang besarnya sama dengan
2% kuat nominal sayap balok fy bf tbf
Kolom pada SRBKK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Perbandingan Lebar terhadap Tebal
Perbandingan lebar terhadap tebal penampang kolom dalam tekan yang diberi
pengaku ataupun yang tidak diberi pengaku, harus memenuhi persyaratan
untuk batang bresing pada penjelasan Perbandingan lebar terhadap tebal
sebelumnya
Penyambungan
Penyambungan kolom pada SRBKK juga harus direncanakan untuk mampu
memikul minimal kuat geser nominal dari kolom terkecil yang disambung dari
50% kuat lentur nominal penampang terkecil yang disambung.Penyambungan
harus ditempatkan di daerah 1/3 tinggi bersih kolom yang di tengah.
2.6 Kombinasi Beban
Berdasarkan SNI 1727:2013, kombinasi beban dipilih yang menghasilkan
efek yang paling tidak baik di dalam bangunan gedung, fondasi, atau komponen
struktural yang diperhitungkan. Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja
harus dipertimbangkan. desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor
dalam kombinasi berikut:
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lratau S atau R)
3. 1,2D + 1,6 (Lratau S atau R) + (L atau 0,5W)
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R)
5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S
6. 0,9D + 1,0W
7. 0,9D + 1,0E
-
11
dimana:
D = beban mati
E = beban gempa
L = beban hidup
Lr = beban hidup atap
R = beban hujan
W = beban angin
2.7 Sambungan Sederhana
Berdasarkan SNI 1729:2015, sambungan sederhana mengabaikan adanya
momen. Pada analisis struktur, sambungan sederhana dianggap memungkinkan
terjadinya rotasi relatif tidak terkekang antara elemen yang tersambung bercabang.
Sambungan sederhana harus memiliki kapasitas rotasi yang cukup untuk
mengakomodasi rotasi perlu yang ditentukan melalui analisis struktur.
Sambungan sederhana atau sambungan sendi biasanya digunakan pada
sambungan balok anak ke balok induk, sambungan breising ke balok kolom, dan
sambungan pada dudukan kolom baja. Pada sambungan sederhana, momen yang
terjadi sama dengan nol, sehingga baut hanya memikul geser.
Ilustrasi sambungan sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.3, pada gambar
dapat dilihat bahwa sambungan hanya menggunakan baut dan pelat siku sederhana
tanpa perlu dilakukan pengelasan. Sambungan baut dilakukan di kedua elemen
struktur yang akan disambungkan, jika pada balok anak maka pada bagian web
balok anak dan bagian flange balok induk yang dipasangkan bolt dengan
dihubungkan oleh pelat siku.
-
12
Gambar 2.3 Jenis-jenis sambungan sendi (McCormac and Csernak, 2011)
-
13
2.8 Sambungan Momen
Pada Gambar 2.4 dapat dilihat jenis-jenis sambungan momen. Pada
sambungan momen, balok kolom terhubung secara rigid yang tidak memungkinkan
terjadi rotasi. Kebutuhan akan baut lebih banyak dibandingkan pada sambungan
sederhana.
Gambar 2.4 Jenis-jenis sambungan momen (McCormac and Csernak, 2011)
-
14
Berdasarkan SNI 1729:2015, terdapat dua tipe sambungan momen yang
boleh digunakan yaitu Tertahan Penuh (TP) dan Tertahan Sebagian (TS) seperti
disyaratkan di bawah ini.
a) Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP)
Sambungan momen tertahan penuh (TP) menyalurkan momen
dengan rotasi yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang
tersambung. Pada analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak
memungkinkan terjadinya rotasi relatif. Suatu sambungan TP harus
memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut
antara komponen struktur yang tersambung pada kondisi batas kekuatan.
b) Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS)
Sambungan momen tertahan sebagian (TS) mampu menyalurkan
momen, tetapi rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh
diabaikan. Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respons
gaya-deformasi sambungan. Karakteristik respons sambungan TS harus
terdokumentasi dalam literatur teknis atau ditetapkan dengan analisis atau
merupakan hasil rata-rata eksperimental. Elemen komponen sambungan TS
harus memiliki kekuatan, kekakuan dan kapasitas deformasi yang cukup
pada kondisi batas kekuatan.
2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja
Menurut Dewobroto (2006), konsep perencanaan berbasis kinerja
(performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek
layan, sehingga bisa diketahui kemampuan suatu struktur dalam menerima beban
gempa (kapasitas) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh struktur
tersebut (demand), maka dari itu akan bisa direncanakan suatu stuktur tahan gempa
yang ekonomis. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang
ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level
kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut seperti
pada Gambar 2.5. Mengacu pada Federal Emergency Management Agency
(FEMA)-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja,
kategori level kinerja struktur, adalah:
-
15
a. Bangunan dapat dihuni, namun tidak dapat digunakan sepenuhnya, perlu
dilakukan perbaikan dan pembersihan (IO = Immediate Occupancy),
b. Bangunan masih aman saat terjadi gempa, namun tidak setelahnya (LS =
Life-Safety),
c. Bangunan diambang kehancuran, kemungkinan rugi total (CP = Collapse
Prevention).
Analisis pushover menghasilkan kurva pushover (Gambar 2.5), kurva yang
menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik
acuan pada atap (D). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami
leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan
memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan
selanjutnya berperilaku non-linier.
Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58) (Sumber: FEMA 273, 1997)
2.10 Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover
Analisa statik non-linier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui
perilaku keruntuhan bangunan terhadap gempa. Analisa statik non-linier juga
dikenal sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover
dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang
kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target
-
16
perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah
titik pada struktur bagian atas.
Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas yang terlihat pada Gambar
2.6, kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan
titik acuan pada struktur bagian atas (D). Pada proses pushover struktur didorong
sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi distruktur tersebut. Kurva kapasitas
akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan
selanjutnya berperilaku non-linier.
Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang
digunakan sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk
memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk
memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat
diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan
atau stabilitasnya.
Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam
menggunakan analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh
pertama (Vy) dan beban maksimum (Vd) langsung ditentukan melalui penarikan
garis yang memotong kurva perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V)
terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D).
Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd) (Sumber: FEMA 440, 2005)
-
17
Tahapan utama dalam analisa pushover adalah:
1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.
Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan
untuk menyusun kurva pushover.
2. Membuat kurva pushover berdasarkan pola distribusi gaya lateral terutama yang
ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi
yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa.
3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).
Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan
perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang
ditentukan.
4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target
perpindahan. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap
memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik
terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi
adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses
ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh computer (fasilitas pushover dan evaluasi
kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP 2000, mengacu pada
FEMA - 440).
2.11 Kurva Kapasitas
Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan
hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban
lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai pada
kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan (Gambar 2.7). Kurva
kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh
dan selanjutnya berperilaku non-linier. Perubahan perilaku struktur dari linier
menjadi non-linier berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan
penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada balok dan
kolom. Sendi plastis akibat momen lentur terjadi pada struktur jika beban yang
bekerja melebihi kapasitas momen lentur yang ditinjau. Semakin banyak sendi
plastis yang terjadi berarti kinerja struktur semakin bagus karena semakin banyak
-
18
terjadi pemancaran energi melalui terbentuknya sendi plastis sebelum kapasitas
struktur terlampaui.
Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas
(Dewobroto, 2005)
Kurva kapasitas dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang
digunakan sebagai beban dorong. Pola pembebanan umumnya berupa respon
ragam-1 struktur (atau dapat juga berupa beban statik ekivalen) berdasarkan asumsi
bahwa ragam struktur yang dominan adalah ragam-1. Beban dorong statik lateral
diberikan pada pusat massa sampai dicapai target perpindahan. Tujuan lain analisa
pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi,
serta untuk memperoleh informasi letak bagian struktur yang kritis. Selanjutnya
dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk
pendetailan atau stabilitasnya (Dewobroto, 2005).
2.12 Batas Kinerja
Berdasarkan filosofi desain yang ada, tingkat kinerja struktur bangunan
akibat gempa rencana adalah Life Safety, yaitu walaupun struktur bangunan
mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah namun keselamatan penghuni tetap
terjaga karena struktur bangunan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 2.8, respon
linier dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan mulai terjadi pada
titik B. Respon dari titik B ke titik C merupakan respon elastis plastis. Titik C
merupakan titik yang menunjukkan puncak kekuatan komponen, dan nilai absisnya
yang merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi kekuatan struktur
(garis C-D). Pada titik D, respon komponen struktur secara substansial menghadapi
-
19
pengurangan kekuatan menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik
E, kekuatan komponen struktur menjadi nol (FEMA 451, 2006).
Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan (Sumber: FEMA 356, 2000)
Antara titik B dan C terdapat titik-titik yang merupakan level kinerja dari
struktur bangunan. Level kinerja bangunan berdasarkan ATC-40, (1996) dibedakan
menjadi:
1. Immediate Occupancy (IO)
Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan
struktur sangat terbatas. Sistem penahan beban vertikal dan lateral bangunan
hamper sama dengan kondisi sebelum terjadinya gempa, dan resiko korban
jiwa akibat keruntuhan struktur dapat diabaikan.
2. Life Safety (LS)
Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan yang
penting terhadap struktur terjadi. Komponen utama struktur tidak
terdislokasi dan runtuh, sehingga risiko korban jiwa terhadap kerusakan
struktur sangat rendah.
3. Structural Stability / Collapse Prevention (CP)
Pada tingkatan ini, kondisi struktur setelah terjadinya gempa sangat parah,
sehingga bangunan dapat mengalami keruntuhan struktur baik sebagian
maupun total. Meskipun struktur masih bersifat stabil, kemungkinan
terjadinya korban jiwa akibat kerusakan struktur besar. Dalam dokumen
FEMA 273, kondisi structural stability dikenal dengan istilah Collapse
Prevention (CP).
DEFORMATION
FO
RC
E