bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior
(OCB)
Dewasa ini banyak dilakukan kajian baru dan
menarik di bidang sumber daya manusia. Manusia
dijadikan subyek dan sekaligus juga obyek di dalam
penelitian-penelitian sumber daya manusia (SDM)
untuk mencari hal-hal baru yang dapat dijadikan
sebagai sumber peningkatan kemampuan manusia
itu sendiri. Salah satu aspek baru yang diungkap
tentang manusia adalah OCB (Organizational
Citizenship Behavior/Perilaku Keanggotaan individu
di dalam Organisasi). Menurut Aldag dan Rosckhe
(1997), OCB merupakan kontribusi individu dalam
melebihi tuntutan peran di tempat kerja. OCB ini
melibatkan beberapa perilaku seperti : perilaku suka
menolong orang lain tanpa diminta, menjadi
sukarelawan untuk tugas-tugas ekstra, patuh
terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di
tempat kerja. Perilaku ini menggambarkan nilai
tambah karyawan yang merupakan salah satu
bentuk perilaku pro-sosial, yaitu perilaku sosial yang
positif, konstruktif, dan bermakna membantu.
21
Organ (dalam Podsakoff dkk, 1997),
mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang
bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara
langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari
sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan
mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi.
Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku
tersebut tidak diharuskan oieh persyaratan peran
atau deskripsi jabatan, yang secara jelas dituntut
berdasarkan kontrak dengan organisasi: melainkan
sebagai pilihan personal (Podsakoff dkk, 2000).
Menurut Podsakoff dkk (2000). OCB dapat
mempengaruhi keefektifan organisasi karena
beberapa alasan.
a. OCB dapat membantu meningkatkan
produktivitas rekan kerja.
b. OCB dapat membantu meningkatkan
produktivitas manajerial.
c. OCB dapat membantu mengefisienkan
penggunaan sumberdaya organisasional untuk
tujuan-tujuan produktif.
d. OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan
penyediaan sumberdaya organisasional untuk
tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan.
e. OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif
untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antara
anggota-anggota tim dan antar kelompok-
22
kelompok kerja.
f. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi
untuk mendapatkan dan mempertahankan SDM-
SDM handal dengan memberikan kesan bahwa
organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih
menarik.
g. OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja
organisasi.
h. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi
untuk beradaptasi terhadap perubahan-
perubahan lingkungan bisnisnya.
Pengembangan penelitian-penelitian OCB
selanjutnya telah menuntun Organ untuk
mendefenisi ulang OCB dalam pengertian contextual
performance. Borman dan Motowidlo (1993)
mendefenisikan contextual performance sebagai
aktifitas-aktifitas kerja yang tidak secara langsung
mendukung inti dari teknis itu sendiri, namun lebih
mendukung lingkungan sosial dan psikologis
organisasi. Menurut Sloat (1999) OCB adalah
tindakan-tindakan yang mengarah pada terciptanya
keefektifan fungsi-fungsi dalam organisasi dan
tindakan-tindakan tersebut secara eksplisit tidak
diminta (secara sukarela) serta tidak secara formal
diberi penghargaan (dengan insentif). OCB, dengan
kata lain merupakan perilaku yang selalu
mengutamakan kepentingan orang lain, hal itu
23
diekspresikan dalam tindakan-tindakan yang
mengarah pada hal-hal yang bukan untuk
memenuhi kepentingan diri sendiri tetapi demi
terwujudnya kesejahteraan bagi orang lain.
Pembahasan dalam berbagai tulisan, istilah
OCB, perilaku prososial, atau perilaku ekstra peran
(extra-role), sebenarnya merupakan istilah-istilah
yang dapat saling menggantikan. Kebanyakan orang
menyebut OCB dengan extra-role yaitu sikap atau
perilaku karyawan yang memiliki apa yang
ditugaskan di luar job description dan memperoleh
penghargaan/reward secara tidak langsung dari
organisasi. Penilaian kinerja terhadap karyawan
biasanya didasarkan pada job description yang telah
disusun oleh organisasi tersebut, sehingga baik-
buruknya kinerja seorang karyawan dilihat dari
kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas
sesuai dengan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya sebagaimana tercantum di dalam job
description.
Melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas
yang ada di dalam job description ini disebut sebagai
in-role behavior (Dyne dkk, 1994). Saat ini sudah
seharusnya bila perusahaan mengukur kinerja
karyawan tidak hanya sebatas tugas-tugas yang
terdapat dalam deskripsi kerjanya saja.
Bagaimanapun diperlukan peran ekstra demi
24
terselesaikannya tugas-tugas itu. Kontribusi pekerja
“di atas dan lebih dari” deskripsi kerja formal inilah
yang disebut dengan OCB.
Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-
role dengan perilaku extra-role adalah pada
penghargaan (reward). Pada in-role biasanya
dihubungkan dengan imbalan atau penghargaan
(reward) dan sanksi (hukuman), sedangkan pada
extra-role biasanya terbebas dari reward, dan
perilaku yang dilakukan oleh individu tidak
diorganisir dalam sistem penghargaan (reward) yang
akan mereka terima (Morrison, 1994). Tidak ada
insentif tambahan yang diberikan ketika individu
berperilaku extra-role. Dibandingkan dengan
perilaku in-role yang dihubungkan dengan
penghargaan ekstrinsik atau penghargaan moneter,
maka perilaku extra-role lebih dihubungkan dengan
penghargaan intrinsik (Dyne dkk, 1994; Morrison,
1994).
Perilaku ini muncul karena perasaan sebagai
“anggota” organisasi dan merasa puas apabila dapat
melakukan “suatu yang lebih” kepada organisasi.
Williams dan Anderson (dalam Diefendorff dkk,
2002). membagi OCB menjadi dua kategori, yaitu
OCB-O dan OCB-I. OCB-O adalah perilaku-perilaku
yang memberikan manfaat bagi organisasi pada
umumnya, misalnya kehadiran di tempat kerja
25
melebihi norma yang berlaku dan mentaati
peraturan-peraturan informal yang ada untuk
memelihara ketertiban. OCB-I merupakan perilaku-
perilaku yang secara langsung memberikan manfaat
bagi individu lain dan secara tidak langsung juga
memberikan kontribusi pada organisasi, misalnya
membantu rekannya yang tidak masuk kerja dan
mempunyai perhatian personal pada karyawan lain.
OCB menekankan pada kontrak sosial antara
individu dengan rekan kerjanya dan antara individu
dengan organisasi yang biasanya dibandingkan
dengan perilaku in-role yang mendasarkan pada
“kinerja terbatas” yang diisyaratkan oleh organisasi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa organizational
citizenship behavior (OCB) adalah : Perilaku yang
bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang
terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan
kepentingan organisasi, sebagai wujud dari
kepuasan berdasarkan kinerja, yang tidak diperintah
secara formal, dan tidak berkaitan langsung dengan
sistem penghargaan (reward system) yang berlaku .
Artinya perilaku ekstra peran yang dilakukan
karyawan tidak mengharapkan imbalan dalam
bentuk uang.
26
2. Dimensi-dimensi Organizational Citizenship
Behavior (OCB)
Banyak peneliti yang menguraikan dimensi-
dimensi OCB. Organ (dalam Diefendorff dkk, 2002)
menguraikan lima dimensi OCB, yaitu:
a. Conscientiousness, berarti karyawan mempunyai
perilaku tepat pada waktunya, tinggi dalam hal
kehadirannya, dan melakukan sesuatu melebihi
kebutuhan dan harapan normal.
b. Altruism, yaitu kemauan untuk memberikan
bantuan kepada pihak lain.
c. Civic virtue, yaitu karyawan memberikan
kontribusi pada isu-isu politik yang ada dalam
organisasi dengan cara yang bertanggung jawab.
d. Sportmanship, yaitu sikap yang lebih menekankan
pada aspek-aspek positif organisasi daripada
aspek-aspek negatifnya, mengindikasikan perilaku
tidak senang protes, tidak mengeluh, dan tidak
membesar-besarkan masalah kecil/sepele.
e. Courtesy, yaitu berbuat baik dan hormat kepada
orang lain, termasuk perilaku seperti membantu
seseorang untuk mencegah terjadinya suatu
permasalahan, atau membuat langkah-langkah
untuk meredakan/ mengurangi berkembangnya
suatu masalah.
Organ (dalam Podsakoff dan Mackenzie,1994),
juga menambahkan dengan:
27
f. Peacekeeping, yaitu tindakan-tindakan yang
menghindari dan menyelesaikan terjadinya konflik
interpersonal (sebagai stabilisator dalam
organisasi) dan
g. Cheerleading, diartikan sebagai bantuan kepada
rekan kerjanya untuk mencapai prestasi yang
lebih tinggi.
Selain itu O‟Bannon dan Pearce (1999)
menambahkan dengan :
h. Teamwork, yaitu “ikatan” satu orang dengan orang
lain dalam satu tim atau pengidentifikasian
seseorang terhadap yang lain sebagai satu tim.
Adapun Graham (dalam Bolino dkk, 2001)
mengemukakan tiga dimensi organizational
citizenship behavior, yaitu :
a. Obedience. Karyawan menunjukkan ketaatannya
melalui kemauan mereka untuk respek terhadap
peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi.
Perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam
organisasi dapat ditunjukkan dengan ketepatan
waktu masuk kerja, ketepatan penyelesaian tugas,
dan tindakan pengurusan terhadap sumber atau
aset organisasi.
b. Loyalty. Karyawan menunjukkan kesetiaannya
pada organisasi ketika mau menangguhkan
kepentingan pribadi mereka bagi keuntungan
28
organisasi dan untuk memajukan serta membela
organisasi.
c. Participation. Karyawan menunjukkan tanggung
jawabnya secara penuh dengan keterlibatannya
dalam keseluruhan aspek-aspek kehidupan
organisasiselalu mengikuti informasi
perkembangan organisasi, memberikan saran
kreatif dan inovatif kepada rekan kerja,
menyiapkan penyelesaian masalah sebelum
diminta, dan berusaha mendapatkan pelatihan
tambahan untuk meningkatkan kinerjanya.
Beberapa pengukuran tentang OCB seseorang
telah dikembangkan. Skala Morrison (1995)
merupakan salah satu pengukuran yang sudah
disempurnakan dan memiliki kemampuan
psikometrik yang baik (Aldag & Resckhe, 1997 : 4-5).
Skala ini mengukur kelima dimensi sebagai berikut:
Dimensi 1 : Altruism - perilaku membantu orang
tertentu
Menggantikan rekan kerja yang tidak
masuk atau istirahat.
Membantu orang lain yang
pekerjaannya overload.
Membantu proses orientasi karyawan
baru meskipun tidak diminta.
Membantu mengerjakan tugas orang
lain pada saat mereka tidak masuk.
29
Meluangkan waktu untuk membantu
orang lain berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan pekerjaan.
Menjadi volunteer untuk mengerjakan
sesuatu pekerjaan dan Membantu
orang lain di luar departemen ketika
mereka memiliki permasalahan.
Membantu pelanggan ketika mereka
membutuhkan bantuan.
Dimensi 2 : Conscientiousness - perilaku yang
melebihi prasyarat minimum seperti:
kehadiran, kepatuhan terhadap aturan,
dan sebagainya
Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja
pada saat jadual kerja dimulai.
Tepat waktu setiap hari tidak peduli
pada musim ataupun lalu lintas dan
sebagainya.
Berbicara seperlunya dalam percakapan
di telepon.
Tidak menghabiskan waktu untuk
pembicaraan di luar pekerjaan.
Datang segera jika dibutuhkan.
Tidak mengambil kelebihan waktu
meskipun ekstra 6 hari.
30
Dimensi 3 : Sportmanship - kemauan untuk
bertoleransi tanpa mengeluh.
Menahan diri dari aktivitas-aktivitas
mengeluh dan mengumpat
Tidak menemukan kesalahan dalam
organisasi.
Tidak mengeluh tentang segala sesuatu.
Tidak membesar-besarkan
permasalahan di luar proporsinya.
Dimensi 4 : Civic virtue - Keterlibatan dalam fungsi-
fungsi organisasi
Memberikan perhatian terhadap fungsi-
fungsi yang membantu image
organisasi.
Memberikan perhatian terhadap
pertemuan-pertemuan yang dianggap
penting.
Membantu mengatur kebersamaan
secara departemental.
Dimensi 5 : Courtesy – Perilaku meringankan
problem-problem yang berkaitan dengan
pekerjaan yang dihadapi orang lain.
Menyimpan informasi tentang kejadian-
kejadian maupun perubahan-
perubahan dalam organisasi
31
Mengikuti perubahan-perubahan dan
perkembangan-perkembangan dalam
organisasi
Membaca dan mengikuti pengumuman
pengumuman organisasi.
Membuat pertimbangan dalam menilai
apa yang terbaik untuk organisasi.
Dalam penelitian ini dipakai tiga dimensi OCB
dari Graham karena sejalan dengan konsep Marshall
(1950) dalam Vigoda dan Golembiewski (2001: 279)
yang mengemukakan bahwa secara umum
citizenship behavior merujuk pada tiga elemen utama
yaitu : kepatuhan (obedience), loyalitas (loyalty), dan
partisipasi (participation)
3. Motif-motif yang mendasari OCB
Seperti halnya sebagian besar perilaku yang
lain, OCB tidak ditentukan oleh satu faktor tunggal,
melainkan oleh banyak faktor penyebab yang
mendasari terbentuknya OCB. Salah satu alasan
yang mendasari terbentuknya OCB pada seorang
individu adalah unsur motif. Menurut McCleland
(1985), individu memiliki tiga tingkatan motif, yaitu :
a. Motif berprestasi
Motif ini mendorong individu untuk menunjukkan
suatu standar keunggulan (excellency), mencarai
32
prestasi dari suatu tugas, kesempatan atau
kompetisi.
b. Motif afiliasi
Motif ini mendorong individu untuk mewujudkan,
memelihara dan memperbaiki hubungan dengan
orang lain.
c. Motif kekuasaan
Motif ini mendorong individu untuk mencari
status dan situasi dimana mereka dapat
mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.
Kerangka pendekatan motif ini diterapkan
untuk memahami OCB guna mengetahui mengapa
individu menunjukkan OCB. Gambar berikut ini
menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu
motif.
33
Gambar 2.1
Model OCB berdasarkan motif
1. Motif Berprestasi
2.Motif Afiliasi
3.Motif Kekuasaan
Menunjukkan OCB
berarti :
Kesempurnaan
tugas
Kesuksesan
organisasi
Teori-teori :
Model
kepuasan/keadilan
Traits :
Conscientiousness
Protestant work ethic.
Rural background
Field dependence – a
“doer”
Menunjukkan OCB
berarti :
Pembentukan dan
pemeli-haraan
hubungan
Penerimaan
persetujuan
Teori-teori :
Model Komitmen
Traits :
Berorientasi pada
pemberian pelayanan,
kepercayaan, perse-
tujuan, perasaan positif,
spirit menjadi orang yang
menye-nangkan
Menunjukkan OCB
berarti :
Mendapatkan
kekua-saan dan
status
Menghadirkan
kesan positif
Kesuksesan
organisasi
Teori-teori :
Model Impression
Management Traits :
Machiavellian, self
monitor, political
sawy – seorang „ahli
politik yang cerdik‟
Penelitian ini akan mengukur organizational
citizenship behavior berdasar pada tiga dimensi yang
dikemukakan oleh Graham, yaitu: obedience, loyalty
dan participation. Peneliti memilih rumusan yang
dikemukakan oleh Graham karena tiga dimensi OCB
yang dikemukakannya telah mencakup semua dari
OCB
34
delapan dimensi yang dikemukakan oleh Organ
(Diefendorff dkk, 2002; Podsakoff dan Mackenzie,
1994) maupun O‟Bannon dan Pearce (1999),
sehingga lebih mudah untuk dipahami.
4. Implikasi Organizational Citizenship Behavior
Beberapa penelitian dilakukan para ahli yang
mencoba menghubungkan antara OCB dengan
beberapa aspek dalam organisasi.
a. Keterkaitan OCB dengan Kualitas Pelayanan
Podsakoff, dkk (1997) secara khusus
meneliti tentang keterkaitan OCB dengan kualitas
pelayanan. Dalam penelitian tersebut ditemukan
bahwa perusahaan yang tinggi tingkat OCB di
kalangan karyawannya, tergolong rendah dalam
menerima komplain dari pelanggan. Lebih jauh,
penelitian tersebut membuktikan keterkaitan yang
erat antara OCB dengan kepuasan pelanggan:
semakin tinggi tingkat OCB di kalangan karyawan
sebuah perusahaan, semakin tinggi tingkat
kepuasan pelanggan pada perusahaan tersebut.
b. Keterkaitan OCB dengan kinerja kelompok.
Dalam penelitiannya, Geogre dan
Bettenhausen (1990), menemukan adanya
keterkaitan yang erat antara OCB dengan kinerja
kelompok. Adanya perilaku altruistik
memungkinkan sebuah kelompok bekerja secara
35
kompak dan efektif untuk saling menutupi
kelemahan masing-masing. Senada dengan
temuan George dan Bettenhausen adalah temuan
dari Podsakoff, dkk (1997), yang juga menemukan
keterkaitan erat antara OCB dengan kinerja
kelompok. Keterkaitan erat terutama terjadi antara
OCB dengan tingginya hasil kerja kelompok secara
kuantitas, sementara kualitas hasil kerja tidak
ditemukan keterkaitan yang erat.
c. Keterkaitan OCB dengan turnover
Penelitian yang mencoba menghubungkan
OCB dengan turnover karyawan dilakukan oleh
Chen, dkk (1998). Mereka menemukan adanya
hubungan terbalik antara OCB dengan turnover.
Dari penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa
karyawan yang memiliki OCB rendah memiliki
kecenderungan untuk meninggalkan organisasi
(keluar) dibandingkan dengan karyawan yang
memiliki tingkat OCB tinggi. Dari Paparan di atas
bisa disimpulkan bahwa OCB menimbulkan
dampak positif bagi organisasi, seperti
meningkatnya kualitas pelayanan, meningkatkan
kinerja kelompok, dan menurunkan tingkat
turnover. Karenanya, menjadi penting bagi sebuah
organisasi untuk meningkatkan OCB di kalangan
karyawannya.
36
5. Manfaat OCB dalam perusahaan
Dari hasil peneltian-penelitian mengenai
pengaruh OCB terhadap kinerja organisasi
(diadaptasi oleh Podsakoff dan MacKenzie oleh
Podsakoff, dkk, 2000, dalam Elfina P, 2003 : 5-6)),
dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
1) Karyawan yang menolong rekan kerja lain
akan mempercepat penyelesaian tugas rekan
kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan
produktivitas rekan tersebut.
2) Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku
membantu yang ditunjukkan karyawan akan
membantu menyebarkan “best practice” ke
seluruh unit kerja atau kelompok.
b. OCB meningkatkan produktivitas manajer
1) Karyawan yang menampilkan perilaku civic
virtue akan membantu manajer mendapatkan
saran dan/atau umpan balik yang berharga
dari karyawan tersebut untuk meningkatkan
efektivitas unit kerja.
2) Karyawan yang sopan, dan menghindari
terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan
menolong manajer terhindar dari krisis
manajemen.
c. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki
manajemen dan organisasi secara keseluruhan
37
1) Jika karyawan saling tolong menolong dalam
menyelesaikan masalah dalam suatu
pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan
manajer, konsekuensinya manajer dapat
memakai waktunya untuk melakukan tugas
lain seperti membuat perencanaan, danlain-
lain.
2) Karyawan yang menampilkan conscentiousness
tinggi hanya membutuhkan pengawasan
minimal dari manajer sehingga manajer dapat
mendelegasikan tanggung jawab yang lebih
besar kepada mereka. Hal ini berarti lebih
banyak waktu yang diperoleh manajer untuk
melakukan tugas yang lebih penting.
3) Karyawan lama yang membantu karyawan
baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi
kerja akan membantu organisasi mengurangi
biaya untuk keperluan tersebut.
4) Karyawan yang menampilkan perilaku
sportmanship akan sangat menolong manajer
tidak menghabiskan waktu terlalu banyak
untuk berurusan dengan keluhan-keluhan
kecil karyawan.
d. OCB membantu menghemat energi sumber daya
yang langka untuk memelihara fungsi kelompok
1) Keuntungan dari perilaku menolong adalah
meningkatkan semangat, moril (morale), dan
38
kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga
anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu
menghabiskan energi dan waktu untuk
pemeliharaan fungsi kelompok.
2) Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy
terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik
dalam kelompok, sehingga waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan konflik
manajemen akan berkurang.
e. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk
mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja
1) Menampilkan perilaku civic virtue (seperti
menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam
pertemuan di unit kerjanya) akan membantu
koordinasi di antara anggota kelompok, yang
akhirnya secara potensial meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kelompok.
2) Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling
memberi informasi tentang pekerjaan dengan
anggota dari tim lain) akan menghindari
munculnya masalah yang membutuhkan waktu
dan tenaga untuk diselesaikan.
f. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk
menarik dan mempertahankan karyawan terbaik
1) Perilaku menolong dapat meningkatkan moril
dan kerekatan serta perasaan memiliki di
antara anggota kelompok, sehingga akan
39
meningkatkan kinerja organisasi dan membantu
organisasi menarik dan mempertahankan
karyawan yang baik.
2) Memberi contoh pada karyawan lain dengan
menampilkan perilaku sportmanship (misalnya
tidak mengeluh karena permasalahan-
permasalahan kecil) akan menumbuhkan
loyalitas dan komitmen pada organisasi.
g. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
1) Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di
tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja
berat akan meningkatkan stabilitas (dengan
cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit
kerja.
2) Karyawan yang conscentiousness cenderung
mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi
secara konsisten, sehingga mengurangi
variabilitas kinerja unit kerja.
h. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk
beradaptasi dengan perubahan lingkungan
1) Karyawan yang mempunyai hubungan dekat
dengan pasar, akan dengan sukarela memberi
informasi tentang perubahan yang terjadi di
lingkungan dan memberi saran tentang
bagaimana merespon perubahan tersebut,
sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan
cepat.
40
2) Karyawan yang secara aktif hadir dan
berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di
organisasi akan membantu menyebarkan
informasi yang penting dan harus diketahui
oleh organisasi.
3) Karyawan yang menampilkan perilaku
conscentiousness (misalnya kesediaan untuk
memikul tanggung jawab baru dan mempelajari
keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan
organisasi beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungannya.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational
Citizenship Behavior
Munculnya OCB dikalangan karyawan
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:
a. Persepsi atas dukungan organisasi
Penelitian yang dilakukan oleh Moorman,
dkk (1998), Wayne, dkk (1997) dan Liden, dkk
(1996) menemukan adanya pengaruh kuat dari
persepsi atas dukungan organisasi terhadap OCB.
Semakin positif persepsi karyawan terhadap
dukungan organisasi kepadanya, akan semakin
tinggi intensitas OCB. Karyawan akan rela
memberikan kinerja terbaiknya di luar tugas-tugas
resminya karena merasa bahwa organisasi
memberikan apa yang mereka harapkan. Studi
41
Shore dan Wayne (1993) juga menemukan bahwa
persepsi terhadap dukungan organisasional dapat
menjadi prediktor organizational citizenship
behavior (OCB). Pekerja yang merasa bahwa
mereka didukung oleh organisasi akan
memberikan timbal baliknya (feed back) dan
menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan
tersebut dengan terlibat dalam perilaku
citizenship.
b. Kualitas hubungan atasan-bawahan
OCB juga dipengaruhi oleh hubungan
antara atasan bawahan yang selama ini terjalin.
Semakin bawahan merasa dekat dengan atasan,
merasa diberi kepercayaan oleh atasan, merasa
diperhatikan atasan, dan sebagainya, akan
semakin tinggi OCB-nya. Hal ini dibuktikan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Liden, dkk (1996)
dan Wayne, dkk (1997). Kedua penelitian mereka
menemukan adanya pengaruh kuat kualitas
hubungan atasan bawahan pada OCB. Riggio
(1990) juga menyatakan bahwa apabila interaksi
pemimpin-bawahan berkualitas tinggi maka
seorang pemimpin akan berpandangan positif
terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan
merasakan bahwa pemimpinnya banyak
memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini
meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan
42
pada pemimpinnya sehingga mereka termotivasi
untuk melakukan “lebih dari” yang diharapkan
oleh pemimpin mereka.
c. Masa kerja
Sommers dkk (1996) menyebutkan bahwa
masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB
karena variabel-variabel tersebut mewakili
“pengukuran” terhadap “investasi” karyawan di
organisasi. Karyawan yang telah lama bekerja di
suatu organisasi akan memiliki keterdekatan dan
keterikatan yang kuat terhadap organisasi
tersebut. Masa kerja yang lama juga akan
meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi
karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta
menimbulkan perasaan dan perilaku positif
terhadap organisasi yang memperkerjakannya.
Perilaku positif karyawan inilah yang dinamakan
organizational citizenship behavior (OCB).
d. Kepuasan kerja
Penelitian yang dilakukan MacKenzie, dkk
(1998) mengidentifikasi variabel kepuasan kerja
yang ternyata berpengaruh pada OCB. Karyawan
yang merasa puas dengan tugas-tugas yang harus
ia lakukan dari perusahaan selama ini akan
menunjukkan tingkat OCB yang lebih tinggi
dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas
dengan hal tersebut.
43
e. Kepribadian dan keadaan jiwa / suasana hati
(mood)
Kepribadian dan keadaan jiwa/suasana hati
(mood) mempunyai pengaruh terhadap timbulnya
perilaku OCB secara individual maupun
kelompok. George dan Brief (1992) berpendapat
bahwa kemauan seseorang untuk membantu
orang lain juga dipengaruhi oleh mood.
Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang
secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan
suasana hati merupakan karakteristik yang dapat
berubah-ubah. Sebuah suasana hati yang positif
akan meningkatkan peluang seseorang untuk
membantu orang lain.
f. Iklim organisasi
Iklim organisasi dapat menjadi penyebab
kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu
organisasi. Di dalam iklim organisasi yang positif,
karyawan merasa lebih ingin melakukan
pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan
dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu
mendukung tujuan organisasi jika mereka
diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan
dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa
mereka diperlakukan secara adil oleh
organisasinya.
44
g. Keadilan prosedural
Penilaian karyawan terhadap keadilan
berbagai kebijakan atau peraturan perusahaan
juga mempengaruhi OCB. Penelitian yang
dilakukan oleh Schappe (1998) dan Moorman, dkk
(1998) membuktikan hal tersebut. Seseorang yang
merasa diperlakukan secara adil oleh perusahaan
melalui berbagai aturannya akan meningkat OCB-
nya. Sebaliknya, karyawan yang merasa
diperlakukan tidak adil akan semakin rendah
OCB-nya.
h. Pertukaran sosial
Organ menggunakan teori pertukaran sosial
(social exchange theory) untuk berpendapat bahwa
ketika karyawan telah puas terhadap
pekerjaannya, mereka akan membalasnya.
Pembalasan dari karyawan tersebut termasuk
perasaan memiliki (sense of belonging) terhadap
organisasi dan perilaku seperti Organizational
Citizenship (Dyne dkk, 1994).
Mengacu pada keefisienan dan keefektifan
proses penelitian, maka tidak semua faktor-faktor
yang mempengaruhi OCB tersebut di atas akan
disertakan sebagai variabel-variabel dalam penelitian
ini. Berdasar pada relevansi dengan permasalahan
yang ada dan ketertarikan penulis sendiri untuk
mendalami teori tertentu, maka kepuasan kerja dan
45
komitmen organisasi akan diuji dalam penelitian ini,
apakah variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh
terhadap OCB dan seberapa besar pengaruh
tersebut.
B. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan
antara individu dengan organisasi kerja, dimana
individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai
dan tujuan organisasi kerja, adanya kerelaan untuk
menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh
demi kepentingan organisasi kerja serta mempunyai
keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari
organisasi kerja.
Sementara komitmen organisasi yang terkait
dengan pekerjaan akan bersinggungan dengan banyak
hal dalam lingkup organisasi. Untuk komitmen
organisasi dapat dipandang pada beberapa konteks
meliputi komitmen organisasi karyawan pada atasan,
rekan kerja, pekerjaan atau organisasi.
Komitmen organisasi adalah derajat dimana
karyawan mengidentifikasi dengan organisasi dan terus
ingin berpartisipasi secara aktif dalam organanisasi
tersebut. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan
bahwa komitmen organisasi (Organizatonal
Commitment) mencerminkan bagaimana seorang
individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi
46
dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Porter et.al
dalam Miner (1992) mendefinisikan komitmen
organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relative dari
individu dalam mengidentifikasikan keterlibatannya ke
dalam bagian organisasi. Sikap ini ditandai dengan tiga
hal, yaitu kepercayaan yang kuat dan penerimaan
terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesediaan
untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama
organisasi, dan keinginan yang kuat untuk
mempertahannkan keanggotaan di dalam organisasi.
1. Komponen Komitmen Organisasi
Menurut Meyer, Allen dan smith dalam Sopiah
(2008:157) mengemukakan bahwa ada tiga
komponen komitmen organisasi, yaitu :
a. Affective Commitment, terjadi apabila karyawan
ingin menjadi bagian dari organisasi karena
adanya ikatan emosional.
b. Continue Commitment, muncul apabila karyawan
tetap bertahan pada suatu organisasi karena
membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lainnya, atau karena karyawan tersebut tidak
menemukan pekerjaan lain.
c. Normative Commitment, timbul dari nilai-nilai
dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi
anggota organisasi karena adanya kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan
hal yang seharusnya dilakukan.
47
Setiap karyawan memiliki dasar dan perilaku
yang berbeda tergantung pada komitmen organisasi
yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen
organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah
laku yang berbeda dengan karyawan memiliki
komitmen organisasi dengan dasar continuance.
Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki
keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai
dengan tujuan organisasi. Sebaliknya karyawan yang
terpaksan menjadi anggota akan menghindari
kerugian financial dan kerugian lain, sehingga
karyawan tersebut hanya melakukan usaha yang
tidak maksimal.
Sementara itu, komitmen normatif yang
berkembang sebagai hasil dari pengalaman
sosialisasi bergantung dari sejauh apa perasaan
kewajiban yang dimiliki karyawan. Komitmen
normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada
karyawan untuk memberi balasan atas apa yang
telah diterima dari organisasi.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen
Organisasi
Komitmen karyawan pada organisasi tidak
terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup
panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada
organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor
48
misalnya, Steers dalam sopiah (2008:63)
mengidentifikasikan ada tiga faktor yang
mempengaruhi Komitmen organisas, yaitu:
a. Ciri pribadi kinerja, termasuk masa jabatannya
dalam organisasi, dan variasi kebutuhan dan
keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.
b. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan
kesempatan berinteraksi dengan rekan kerja.
c. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi
dimasa lampau dan cara pekerja-pekerja lain
mengutarakan dan membicarakan perasaannya
mengenai organisasi.
3. Proses Terjadinya Komitmen Organisasi
Bashaw dan Grant dalam Sophian(2008:159)
menjelaskan bahwa komitmen karyawan terhadap
organisasi merupakan sebuah pengalaman individu
ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Komitmen organisasi timbul secara bertahap
dalam diri pribadi karyawan. Berawal dari
kebutuhan pribadi terhadap organisasi, kemudian
beranjak menjadi kebutuhan bersama dan rasa
memiliki dari para anggota (karyawan) terhadap
organisasi. Wursanto (2005:15) mengemukakan
bahwa rasa memiliki dari para anggota (karyawan)
terhadap kelompoknya dapat dilihat dalam hal-hal
berikut:
49
a. Adanya loyalitas dari para anggota terhadap
anggota lainnya.
b. Adanya loyalitas para anggota terhadap
kelompoknya.
c. Kesediaan berkorban secara ikhlas dari para
anggota baik moril maupun material demi
kelangsungan hidup kelompoknya.
d. Adanya rasa bangga dari para anggota kelompok
apabila kelompok tersebut mendapat nama baik
dari masyarakat.
e. Adanya letupan emosional/amarah dari para
anggota apabila kelompoknya mendapat celaan,
baik itu dilakukan oleh individu maupun
kelompok lainnya.
f. Adanya niat baik (goodwill) dari para anggota
kelompok untuk tetap menjaga nama baik
kelompoknya dalam keadaan apapun.
Setelah rasa memiliki dari setiap anggota
(karyawan) kelompok mulai tumbuh dan
berkembang maka tumbuhlah suatu kesepakatan
bersama yang merupakan komitmen dari pars
snggota organisasi/ kelompok yang harus ditaati
oleh setiap anggota (karyawan).
C. Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Blum & Naylor (dalam Rao, 2003),
kepuasan kerja merupakan hasil dari sikap seseorang
50
terhadap hal hal yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Taylor (dalam Houtte, 2006)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja
sering dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik
dan intrinsik dalam bekerja. Selain itu Perie (1997)
menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan reaksi
afektif terhadap situasi pekerjaan seseorang. Ini dapat
dijelaskan sebagai aspek yang spesifik pada suatu
pekerjaan. Dari beberapa pengertian diatas, kepuasan
kerja dapat diartikan sebagai perilaku dan perasaan
seseorang terhadap aspek yang spesifik dari suatu
pekerjaan.
Pada dasarnya kepuasan kerja dipengaruhi
karena adanya beberapa faktor individu, dimana
kepuasan kerja dipengaruhi usia, jemis kelamin,
pengalaman, dan sebagainya. Kedua, faktor pekerjaan,
dimana kepuasan kerja dipengaruhi oleh otonomi
pekerjaan, kreatifitas yang beragam, identitas tugas,
keberartian tugas (task significancy), pekerjaan tertentu
yang bermakna dalam organisasi dan lain-lain, Dan
ketiga, faktor organisasional, yakni kepuasan kerja
dipengaruhi oleh skala usaha, kompleksitas organisasi,
formalitas, sentralisasi, jumlah anggota kelompok,
lamanya beroperasi, usia kelompok kerja dan
kepemimpinan (Robbin, 2006).
51
Sebaliknya menurut S. Sararaks dan R.
Jamaluddin (1997) dalam penelitiannya di Malaysia
bahwa faktor utama ketidakpuasan kerja adalah status
ekonomi, kemungkinan berkembangnya karir dan
tantangan, dan beban kerja yang diterima.
1. Dimensi Kepuasan Kerja
Luthan (1998) mengemukakan terdapat tiga
dimensi penting dalam kepuasan kerja, yaitu
kepuasan kerja merupakan respon emosional
terdapat situasi; kepuasan kerja sering kali
ditentukan oleh bagaimana hasil yang diperoleh
sesuai atau melebihi harapannya; kepuasan kerja
mencerminkan beberapa perilaku yang berkaitan.
Sedangkan Hulin et al., (1959) mengungkapkan lima
dimensi yang mencerminkan karakteristik penting
tentang kerja yang ditanggapi karyawan secara
efektif, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan
promosi, supervisi (pengawasan) dan rekan kerja.
a. Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan pekerjaan itu sendiri merupakan
sumber utama kepuasan, dimana pekerjaan
tersebut memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk
menerima tanggung jawab dan kemajuan untuk
karyawan. Penelitian terbaru menemukan bahwa
karakteristik pekerjaan dan kompleksitas
pekerjaan menghubungkan antara kepribadian
52
dan kepuasan kerja. Jika persyaratan kreatif
pekerjaan terpenuhi, maka mereka cenderung
menjadi puas. Selain itu, perkembangan karir
(tidak perlu promosi) merupakan hal penting
untuk karyawan muda dan tua
b. Gaji
Gaji sebagai faktor multidimensi dalam
kepuasan kerja merupakan sejumlah upah/uang
yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa
dipandang sebagai hal yang dianggap pantas
dibanding dengan orang lain dalam organisasi.
Uang tidak hanya membantu orang memperoleh
kebutuhan dasar, tetapi juga alat untuk
memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat
yang lebih tinggi. Karyawan melihat gaji sebagai
refleksi dari bagaimana manajemen memandang
kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika
karyawan fleksibel dalam memilih jenis benefit
yang mereka sukai dalam sebuah paket total
(rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan
signifikan dalam kepuasan kerja secara
keseluruhan.
c. Kesempatan promosi
Kesempatan promosi adalah kesempatan
untuk maju dalam organisasi, sepertinya memiliki
pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal
lain dikarenakan promosi memiliki sejumlah
53
bentuk yang berbeda dan memiliki penghargaan,
seperti promosi atas dasar senioritas atau kinerja
dan promosi kenaikan gaji. Lingkungan kerja yang
positif dan kesempatan untuk berkembang secara
intelektual dan memperluas keahlian dasar
menjadi lebih penting daripada kesempatan
promosi.
d. Pengawasan (supervisi)
Pengawasan merupakan kemampuan
penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan
dukungan perilaku. Ada dua dimensi gaya
pengawsan yang dapat mempengaruhi kepuasan
kerja. Yang pertama adalah berpusat pada
karyawan, diukur menurut tingkat dimana
penyelia menggunakan ketertarikan personal dan
peduli pada karyawan, seperti memberikan
nasehat dan bantuan kepada karyawan. Yang
kedua iklim partisipasi atau pengaruh dalam
pengambilan keputusan yang dapat
mempengaruhi pekerjaan karyawan. Secara
umum, kedua dimensi tersebut sangat
berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan.
e. Rekan kerja
Pada umumnya, rekan kerja yang kooperatif
merupakan sumber kepuasan kerja yang paling
sederhana pada karyawan secara individu.
Kelompok kerja, terutama tim yang “kuat”
54
bertindak sebagai sumber dukungan,
kenyamanan, nasehat, dan bantuan pada anggota
individu. Karena kelompok kerja memerlukan
kesalingtergantungan antara anggota dalam
menyelesaikan pekerjaan. Kondisi seperti itulah
efektif membuat pekerjaan menjadi lebih
menyenangkan, sehingga membawa efek positif
yang tinggi pada kepuasan kerja.
Dari kelima dimensi diatas, digunakan oleh
para peneliti untuk mengukur kepuasan kerja, dan
membawa pengaruh yang signifikan terhadap
kepuasan kerja karyawan.
Disamping itu, terdapat juga lima model
kepuasan kerja yang menonjol yang akan
menggolongkan penyebabnya dan dapat digunakan
sebagai ukuran kepuasan kerja, antara lain (Kreitner
& Kinicki, 2003) :
a. Pemenuhan kebutuhan, menjelaskan bahwa
kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari
sebuah pekerjaan memungkinkan seorang
individu memenuhi kebutuhannya.
b. Ketidak cocokan, menjelaskan bahwa kepuasan
adalah hasil dari harapan yang terpenuhi.
Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan
antara apa yang diharapkan oleh seorang individu
dari sebuah pekerjaan, saat harapan lebih besar
daripada yang diterima, seorang akan tidak puas.
55
c. Pencapaian nilai, menjelaskan bahwa kepuasan
berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan
memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja
yang penting dari seorang individu.
d. Persamaan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah
suatu fungsi dari bagaimana seorang individu
diperlakukan”secara adil” di tempat kerja.
e. Komponen watak/genetic, menjelaskan bahwa
secara khusus model ini didasarkan bahwa
kepuasan kerja sebagai fungsi dari sifat pribadi
maupun faktor genetic.
Dari sudut pandang masyarakat dan karyawan
individu, kepuasan kerja merupakan hasil yang
diinginkan. Karyawan dengan tingkat kepuasan kerja
yang tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang
lebih baik, mempelajari tugas yang berhubungan
dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki
sedikit kecelaakaan kerja, mengajukan sedikit
keluhan dan menurunkan tingkat stress (Luthan,
2006).
Selain itu karyawan akan merasa senang dan
bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan tidak
berusaha mengevaluasi alternative pekerjaan lain.
Sebaliknya karyawan yang tidak puas dalam
pekerjaannya cenderung mempunyai fikiran untuk
keluar, mengevaluasi alternative pekerjaan lain dan
keinginan untuk keluar karena berharap
56
menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan
(Mobley, 1979).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
(Job Satisfaction)
Menurut Rivai (2006, 478) “Faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada
dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu : faktor intrinsic dan faktor
ekstrintik. Faktor intrinsic ialah faktor yang berasal
dari diri karyawan dan dibawa oleh karyawan sejak
mulai bekerja ditempat pekerjaannya. Faktor
ekstrinsik ialah menyangkut hal-hal yang berasal
dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik,
lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain,
sistem penggajian, dan lain sebagainya”.
Hasibuan (2003) mengungkapkan bahwa
kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
a) Balas jasa yang adil dan layak
b) Penempatan yang tepat dan sesuai dengan
keahlian
c) Suasana dan lingkungan pekerjaan
d) Berat ringannya pekerjaan
e) Peralatan yang menunjang
f) Sikap pemimpin dalam kepemimpinan
57
D. Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan (job performance) dapat
diartikan sebagai sejauh mana seorang melaksanakan
tanggung jawab dan tugas kerjanya (Singh et al., 1996).
Faustino Gomes (1995) mengatakan performansi
pekerjaan adalah catatan hasil atau keluaran (outcome)
yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan tertentu
atau kegiatan tertentu dalam suatu periode waktu
tertentu. Sedangkan pengukuran performansi menurut
Faustino Gomes (1995) merupakan cara untuk
mengukur tingkat kontribusi individu kepada
organisasinya. Kinerja karyawan umumnya diposisikan
sebagai variabel dependen dalan penelitian-penelitian
empiris karena dipandang sebagai akibat atau dampak
dari perilaku organisasi atau praktek-praktek sumber
daya manusia bukan sebagai penyebab atau
determinan.
Menurut Marihot Tua Efendy (2002:194)
mengatakan bahwa kinerja adalah unjuk kerja yang
merupakan hasil kerja dihasilkan sesuai dengan
perannya dalam organisasi.
Faustino Gomes (1995) lebih lanjut menjelaskan
terdapat dua kriteria pengukuran performansi atau
kinerja karyawan, yaitu (1) pengukuran berdasarkan
hasil akhir (result-based performance evaluation); dan
(2) pengukuran berdasarkan perilaku (behavior-based
performance evaluation). Pengukuran berdasarkan
58
hasil, mengukur kinerja berdasarkan pencapaian
tujuan organisasi atau mengukur kinerja berdasarkan
pencapaian tujuan organisasi atau mengukur hasil-
hasil akhir saja. Tujuan organisasi ditetapkan oleh
pihak manajemen atau kelompok kerja, kemudian
karyawan dipacu dan dinilai performanya berdasarkan
seberapa jauh karyawan mencapai tujuan-tujuan yang
sudah diterapkan.
Pengukuran kinerja berdasarkan perilaku
memungkinkan pengungkapan aspek-aspek pekerjaan
yang lebih luas sehingga diperoleh gambaran kinerja
yang Komprehensif.
1. Tujuan dan sasaran penilaian kinerja
Tujuan Evaluasi kinerja adalah untuk
memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi
melalui peningkatan kinerja SDM organisasi, dalam
penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai
hasil fisik tetapi pelaksanaan pekerjaan secara
keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang
seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan
kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan
tugasnya semuanya layak untuk dinilai.
Tujuan penilaian kinerja karyawan menurut
Veithzal Rivai (2006:312) pada dasarnya meliputi :
a. Untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan
selama ini.
59
b. Pemberian imbalan yang serasi, misalnya untuk
pemberian kenaikan gaji berkala, gaji pokok,
kenaikan gaji istimewa dan insentif uang.
c. Mendorong pertanggung jawaban dari karyawan.
d. Untuk pembeda antar karyawan yang satu dengan
yang lainnya.
e. Pengembangan SDM yang masih dapat dibedakan
lagi kedalam.
- Penugasan kembali, seperti diadakannya
mutasi atau transef, rotasi perusahaan.
- Kenaikan jabatan.
- Training.
2. Faktor Penghambat Kinerja
Selain pada sumber kesalahan dalam penilaian
kinerja terdapat pula faktor yang didefinisikan
Veithzel Rivai (2006:317) sebagai faktor yang dapat
menghambat kinerja, dalam hal ini Veithzal
mendefinisikan menjadi 3 (tiga ) kelompok utama
yaitu:
a. Kendala Hukum/legal
Penilaian kinerja harus bebas dari
diskriminasi tidak sah atau tidak legal. Apapun
format penilaian kinerja yang digunakan oleh
departemen SDM harus saling dan dapat
dipercaya. Jika hal tersebut tidak dipenuhi,
keputusan dan penempatan mingkin ditentang
60
melanggar hukum ketenagakerjaan atau hukum
lainnya. Keputusan tidak tepat mungkin dapat
terjadi kasus pemecatan yang diakibatkan kepada
kelalaian.
b. Bias oleh penilai (penyelia).
Setiap masalah yang didasarkan kepada ukuran
sebjektif adalah peluang terjadinya bias. Bentuk-
bentuk bias yang umumnya terjadi adalah:
- Hallo effect terjadi ketika pendapat pribadi
penilai mempengaruhi pengukuran kinerja baik
dalam arti positif dan kinerja jelek dalam arti
negatif.
- Kesalahan yang cenderung terpusat. Beberapa
penilai tidak sukanmenempatkan karyawan ke
dalam posisi ekstrim dalam arti ada karyawan
yang dinilai sangat positif dan dinilai sangat
negatif.
- Bias terlalu lunak dan terlalu keras. Bias terlalu
lunak terjadi ketika penilai cenderung begitu
mudah dalam mengevaluasi kinerja karyawan.
c. Mengurangi bias penilaian.
d. Bias penilaian dapat dikurangi melalui standart
penilaian dinyatakan secara jelas, pelatihan,
umpan balik, dan pemilihan teknik penilaian
kinerja yang sesuai.
61
3. Faktor yang mempengaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Mahmudi (2005: 36) faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja karyawan antara lain:
a. Faktor personal/individu yang meliputi
pengetahuan, keterampilan, kemampuan.
Kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang
dimiliki oleh setiap individu.
b. Faktor kepemimpinan yang meliputi kualitas
dalam memberikan dorongan, semangat, arahan,
dan dukungan yang diberikan manajer dan team
leader.
c. Faktor tim meliputi: kualitas dukungan dan
semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu
tim, kepercayaan terhadap sesame anggota tim,
kekompakan, dan keeratan anggota tim.
d. Faktor sistem meliputi sistem kerja, fasilitas kerja
atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi,
proses organisasi, dan kultur kinerja dalam
organisasi.
e. Faktor konseptual meliputi tekanan dan
perubahan lingkungan eksternal dan internal.
Menurut Mathis dan Jackson (2009), banyak
faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang
meliputi kemampuan seorang karyawan untuk
melakukan pekerjaan tersebut. Kinerja karyawan
juga berkaitan dengan tingkat usaha yang
dicurahkandan dukungan organisasi. Pada sistem
62
penilaian kinerja tradisional, kinerja hanya dikaitkan
dengan faktor personal, namun dalam kenyataanya
kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain
diluar faktor personal seperti sistem, situasi,
kepemimpinan, atau tim.
E. Review Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
Judul Alat Uji Hasil
1 Roby Sambung
(2012)
Pengaruh kepuasan kerja terhadap ocb-1
dan ocb-o dengan
dukungan organisasi sebagai
variabel
moderating(Studi pada Universitas
Palangka Raya)
SEM (Stuctural
Equation
Modeling)
Kepuasan Kerja berpengaruh
signifikan terhadap
OCB-0, dan dukungan
organisasi
memoderasi hubungan antara
kepuasan kerja
dengan OCB
2 Suryana
Sumantri Fahrudin
Js Pareke
(2010)
Studi tentang
organizational citizenship behavior
dan Kepuasan kerja
dosen pada ptn dan
PTS Provinsi Bengkulu
Regresi
Berganda
Kepuasan kerja
berpengaruh signifikan terhadap
OCB
3. Ludy
Kelana
(2008)
Pengaruh Kepuasan
Kerja dan Komitmen
Organisasi terhadap OCB
Regresi
Berganda
Kepuasan Kerja
dan komitmen
Organisasi berpengaruh
positif dan
signifikan terhadap
OCB
4 S. Pantja Djati
Variabel Anteseden Organozational
Citizenchip Behavior
(OCB) Dan
Pengaruhnya Terhadap Service
Quality Pada
Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya
SEM Variabel Anteseden Organozational
Citizenchip
Behavior (OCB)
Dan Pengaruhnya Terhadap Service
Quality Pada
Perguruan Tinggi Swasta di
63
No Nama
Peneliti
Judul Alat Uji Hasil
Surabaya.
5. Ruddy
Mahendra
(2008)
Pengaruh Kepuasan
Kerja, Komitmen
Organisasi dan Lingkungan Kerja
terhadap OCB
Path
Analisis
Kepuasan Kerja,
Komitmen
Organisasi dan Lingkungan Kerja
berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
OCB
6. Dana,
Mubasysyir
Hasanbasri (2007)
Hubungan
Kepuasan Kerja dan
Komitmen Organisasi dengan
OCB di Politeknik
Kesehatan
Banjarmasin
Korelasi
Rank
Spearman
Kepuasan Kerja
dan
KomitmenOrganisasi berkorelasi
positif dan
signifikan dengan
OCB
F. Hubungan antar Variabel dan Pengembangan
Hipotesis
1. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap OCB
Kepuasan kerja menyebabkan karyawan ingin
bekerja sama dan berkontribusi terhadap organisasi.
Karyawan yang merasa puas bekerja akan
memberikan balasan kepada organisasi berupa
kelekatan dengan organisasi dan berperilaku sebagai
anggota organisasi yang baik. Dengan adanya
kepuasan kerja, karyawan akan merasa ingin
melakukan tindakan yang menurutnya
menyenangkan seperti membantu rekan kerja dalam
mengerjakan pekerjaannya yang terlalu banyak
tanpa ada rasa keterpaksaan. Hal ini diperkuat
dengan penelitan dari Murpy, et al (2002) bahwa
64
kepuasan kerja berhubungan signifikan dengan
OCB.
Berdasarkan Penjelasan tersebut diatas,
penulis membuat Hipotesis sebagai berikut :
H1 : Kepuasan kerja berpengaruh Positif dan
signifikan terhadap timbulnya perilaku OCB
(Organizational Citizenship Behavior).
2. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap OCB
Dalam mewujudkan apapun yang menjadi
tujuan dari sebuah perusahaan, karyawan harus
memiliki sebuah komitmen dan perilaku yang baik.
Komitmen organisasi menunjuk pada
pengidentifikasian dengan tujuan organisasi,, dan
ketertarikan untuk tetap menjadi bagian dari
organisasi tempat karyawan bekerja. Dengan adanya
komitmen yang dimiliki para karyawan akan
memberikan kontribusi pada organisasi. Affective
Commitment merupakan bentuk yang paling penting,
karyawan dengan affective commitment yang tinggi
akan memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi dan
berperilaku OCB . hal ini diperkuat dengan
penyataan dari Greenberg & Baron, (2000) semakin
karyawan berkomitmen (Affective) terhadap
Organisasi, semakin karyawan bersikap melebihi
tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini
65
membawa karyawan akan terlibat dalam berbagai
bentuk OCB.
Berdasarkan Paparan seperti tersebut diatas,
penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
H2 : Komitmen organisasi berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap timbulnya perilaku
OCB (Organizational Citizenship Behavior).
3. Pengaruh OCB terhadap Kinerja
OCB memberikan dampak yang
menyenangkan bagi sikap karyawan. Karyawan
merasa organisasi sebagai tempat setiap karyawan
diperlakukan dengan keramahan dan saling
menghargai. Hal tersebut membuat organisasi
sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan
untuk bekerja dan mendorong kesetiaan serta
komitmen terhadap Organisasi. Dengan terciptanya
suasana yang baik yang dipengaruhi Oleh OCB,
karyawan akan merasa terpacu dan bersemangat
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
sehingga hasil dari pekerjaannya menjadi lebih baik
dan berkualitas. Hal ini didukung oleh pernyataan
Borman dan Molowidho(1993) yang mengatakan
bahwa OCB dapat meningkatkan kinerja, karena
OCB merupakan pelumas dalam organisasi(dalam
Novliadi 2007).
66
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka
penulis membuat sebuah hipotesis sebagai berikut:
H3 : OCB berpengaruh secara positif dan signifikan
Terhadap Kinerja Karyawan.
G. Kerangka Pikir Teoritis
Paparan tentang Tinjauan Pustaka ini diarahkan
untuk memahami organizational citizenship behavior
ditinjau dari konteks hubungannya dengan pengaruh
kepuasan kerja dan komitmen organisasi dalam
meningkatkan kinerja karyawan di PT. Kamaltex
Karangjati Kabupaten Semarang.
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
merupakan komponen yang penting dalam sebuah
organisasi, karena perilaku tersebut akan mendukung
gerak mesin sosial dalam organisasi. OCB memberikan
fleksibilitas yang diinginkan organisasi untuk
menyelesaikan pekerjaan melalui keinginan-keinginan
yang tidak direncanakan terlebih dahulu. Perilaku ini
memungkinkan partisipan untuk mengatasi kesulitan
yang dapat ditimbulkan oleh kondisi-kondisi yang
mengharuskan pekerja bergantung satu sama lain.
Komitmen organisasi merupakan refleksi dari
kesediaan individu/ karyawan untuk mematuhi
peraturan-peraturan organisasi, kemauan untuk
memperjuangkan pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Komitmen organisasi yang tinggi berimplikasi pada
67
munculnya berakibat pada berbagai sikap dan perilaku
positif, seperti misalnya menghindari tindakan,
perilaku dan sikap yang merugikan nama baik
organisasi, kesetiaan kepada pimpinan, kepada rekan
setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang
tinggi, kesediaan menyelesaikan konflik melalui
musyawarah dan sebagainya. Di antara sejumlah
perilaku positif yang dimunculkan oleh karyawan
tersebut, ada yang tidak mengharapkan imbalan dari
perusahaan dan dapat digolongkan sebagai extra role
atau perilaku pro sosial yang lazim disebut OCB.
Selanjutnya perilaku OCB berpengaruh positif terhadap
peningkatan kinerja karyawan.
Komitmen organisasi yang tinggi hanya dapat
dicapai apabila karyawan merasa puas atas
pekerjaannya terkait dengan aspek-aspek: kondisi
lingkungan kerja, jenis pekerjaan, gaji/upah, insentif
intrinsik maupun ekstrinsik, pengawasan/supervisi,
dukungan organisasi dan penghargaan, serta jenjang
karir. Kepuasan kerja yang tinggi akan memunculkan
motivasi dan komitmen organisasi yang tinggi, sehingga
memungkinkan bagi munculnya perilaku OCB positif
yang berpengaruh dalam meningkatkan kinerja
karyawan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka
pikir teoritis dalam penelitian ini dapat dirumuskan
pada bagan berikut ini:
68
Gambar 2.2
Kerangka Teori Penelitian
OCB (Y1)
H1
Kinerja
Karyawan (Y2)
Kepuasan
Kerja (X1)
Komitmen
Organisasi (X2)
H2
H3