bab ii tinjauan pustaka dan landasan teorieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1550/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian dilakukan oleh Bayu Sri Ananto (2011), dengan judul
Implementasi Sistem Bantuan Penderita Buta Warna: Desain Antarmuka Pengguna,
Sistem Tes Buta Warna Dengan Ishihara, dan Transformasi Warna Pada Sistem
Realitas Tertambah. Penelitian tentang pembuatan perangkat lunak yang bukan
hanya sebagai tes buta warna tetapi juga membantu pengidap buta warna untuk
mengetahui warna sebuah objek yang tidak terlihat. Pembuatan perangkat lunak ini
menggunakan pemrograman mobile. Meteode pengujian buta warna menggunakan
metode ishihara dan dilengkapi juga dengan sistem augmented reality sehingga
pemanfaatan perangkat lunak bisa langsung dari kamera smartphone. Penerapan
metode ishihara sebagai tools pengujian buta warna memberikan hasil akurasi yang
tinggi dengan persentase 100%.
Penelitian dilakukan oleh Ratri Widianingsih et al, (2010), dengan judul
Aplikasi Tes Buta Warna Dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Penelitian
ini tentang pembuatan perangkat lunak untuk tes buta warna. Pembuatan perangkat
lunak menggunakan pemrograman desktop. Perangkat lunak ini menggunakan 24
lembar ishihara, dan pembuatannya hanya menggunakan logika if else. Hasil dari
penelitian ini adalah sebuah aplikasi tes buta warna yang digunakan di POLTABES
Samarinda.
Penelitian dilakukan oleh Prasetya Purnamasari (2015), dengan judul Tes
Buta Warna Metode Ishihara Berbasis Komputer (Kelas XI Jurusan Teknik
Instalasi Tenaga Listik SMK Negeri 3 Semarang). Tentang pembuatan perangkat
lunak tes buta warna. Pembuatan perangkat lunak menggunakan metode ishihara
dan menggunakan 17 lembar ishihara, Penelitian ini menggunakan metode research
and development dengan teknik pengumpulan data berupa angket kepada
responden. Hasil output dari perangkat lunak ini hanya menampilkan apakah
pengguna mengidap buta warna parsial atau total, tidak ada penjabaran lagi bila
pengguna mengidap buta warna parsial.
4
Penelitian dilakukan oleh Hari Murti et al (2011), dengan judul Metode
Pendiagnosa Kebutuhan Warna Dengan Menggunakan Metode Ishihara. Penelitian
ini tentang pembuatan perangkat lunak sistem pakar yang digunakan sebagai alat
bantu tes pemeriksaan gangguan pengelihatan terhadap warna. Penelitian ini
menggunakan metode mekanisme inferensi untuk pengujian aturan dengan teknik
penalaran maju (forward reasoning). Metode ishihara yang digunakan
menggunakan 38 lembar. Hasil dari penelitian ini adalah rancangan model dapat
digunakan sebagai alat bantu untuk tes pemeriksaan gangguan penglihatan terhadap
warna, dengan hasil yang sama dengan pengujian manual.
Penelitan dilakukan oleh Puspita Prabawati (2015), dengan judul Sistem
Pakar Diagnosa Buta Warna Berbasis Android. Penelitian ini berfokus pada
pembuatan aplikasi deteksi buta warna berbasis android. Metode Forward chaining
digunakan dalam pembuatan aplikasi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sistem pakar diagnosa buta warna mampu mendiagnosa buta warna secara valid
kepada masyarakat umum dengan sensitivitas yang dibangun berada pada kategori
valid dengan nilai 100%, tingkat spesifisitas pada kategori valid sebesar 80%, nilai
akurasi dari keseluruhan aplikasi sebesar 90%. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah aplikasi yang dibuat merupakan aplikasi dengan tingkat sensitivitas dan
spesifisitas kesehatan dapat diterapkan sebagai pengganti tes buta warna secara
manual.
Penelitian ini berfokusi pada pembuatan perangkat lunak yang digunakan
untuk tes buta warna. Hasil yang di inginkan menunjukkan buta warna parsial atau
buta warna total. Metode neural network digunakan sebagai mesin inferensi pada
sistem ini. Metode neural network ini memiliki kelebihan yaitu sistem cerdas,
artinya sistem dapat memberikan jawaban apabila input yang diberikan tidak sama
persis dengan aturan pakar. Dan juga perangkat lunak berbasis web ini berjalan di
perangkat yang lebih mudah di gunakan sehingga masyarakat dapat menggunakan
perangkat lunak ini untuk melakukan deteksi buta warna.
5
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Metode Ishihara
Tes ishihara adalah salah satu cara untuk mengetahui buta warna pada
seseorang. Tes ini dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara dan pertama kali
dipublikasikan pada tahun 1917 di Jepang. Tes ishihara terdiri dari beberapa
lembaran atau plat yang didalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan
ukuran. Titik-titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran.
Warna titik itu di buat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan
mampu melihat objek atauh huruf yang ada di dalam gambar tersebut
Terdapat 17 macam plat atau lembar dalam tes ishihara, dari setiap lembar
yang di gunakan dapat diketahui jenis buta warna. 17 lembar tersebut yaitu:
a. Plat no. 1
Orang normal dan mereka yang buta warna parsial akan terlihat 12, sedangkan
seorang buta warna total tidak akan melihat apapun. Plat nomor satu seperti
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Plat Nomor Satu (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
b. Plat no. 2 dan 3
Pada plat kedua, mata normal akan terbaca delapan. Mereka yang menderita
gangguan penglihatan merah-hijau akan membaca tiga. Plat kedua seperti
Gambar 2.2.
6
Gambar 2.2 Plat Nomor Dua (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Pada plat ke tiga, mata normal akan terbaca 29. Tetapi penderita gangguan
merah-hijau akan terbaca 70. Plat ketiga seperti Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Plat Nomor Tiga (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
c. Plat no. 4 sampai 7
Pada plat ke empat, mata normal akan terbaca lima. Tetapi penderita
gangguan penglihatan merah-hijau akan terbaca dua. Plat ke empat seperti
Gambar 2.4.
7
Gambar 2.4 Plat Nomor Empat (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Pada plat ke lima, mata normal akan terbaca tiga. Tetapi penderita gangguan
penglihatan merah-hijau akan terbaca lima. Plat ke lima seperti Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Plat Nomor Lima (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Pada plat ke enam, mata normal akan terbaca 15. Tetapi penderita gangguan
penglihatan merah-hijau akan terbaca 17. Plat ke lima seperti Gambar 2.6.
8
Gambar 2.6 Plat Nomor Enam (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Pada plat ke tujuh, mata normal akan terbaca 74. Tetapi penderita gangguan
penglihatan merah-hijau akan terbaca 21. Plat ke tujuh seperti Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Plat Nomor Tujuh (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
d. Plat no. 8 dan 9
Pada plat delapan, mata normal akan terbaca enam dan pada plat Sembilan
akan terbaca 45. Tetapi penderita buta warna tidak dapat membaca satu nomor
pun yang ada di plat tersebut. Plat delapan dan Sembilan seperti Gambar 2.8
dan Gambar 2.9.
9
Gambar 2.8 Plat Nomor Delapan (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Gambar 2.9 Plat Nomor Sembilan (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
e. Plat no. 10 sampai 13
Pada plat 10, mata normal akan terbaca lima, plat 11 akan terbaca tujuh, plat
12 akan terbaca 16 dan plat 13 akan terbaca 73. Tetapi penderita buta warna
tidak akan terbaca angka apapun pada plat-plat tersebut. Plat 10 sampai 13
dapat di lihat pada Gambar 2.10 sampai Gambar 2.13.
10
Gambar 2.10 Plat Nomor Sepuluh (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Gambar 2.11 Plat Nomor Sebelas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
Gambar 2.12 Plat Nomor Dua Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
11
Gambar 2.13 Plat Nomor Tiga Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
f. Plat no. 14 dan 15
Sebagian besar orang yang menderita gangguan penglihatan merah-hijau akan
membaca lima pada plat 14 dan membaca 15 pada plat 5. Sebagian orang
normal tidak akan membaca angka apapun. Plat 14 dan 15 dapat dilihat pada
Gambar 2.14 dan Gambar 2.15.
Gambar 2.14 Plat Nomor Empat Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
12
Gambar 2.15 Plat Nomor Lima Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
g. Plat no. 16 dan 17
Pada plat 16 mata normal akan terbaca 26 dan pada plat 17 akan terbaca 42.
Pada penderita protonopia dan protonomalia yang parah pada plat 16 akan
terbaca enam dan pada plat 17 akan terbaca dua. Plat 16 dan 17 dapat dilihat
pada Gambar 2.16 dan Gambar 2.17.
Gambar 2.16 Plat Nomor Enam Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
13
Gambar 2.17 Plat Nomor Tujuh Belas (Rokhim, Ahmad. N. 2015)
2.2.2 Buta Warna dan Karakteristiknya
Sebagai salah satu faktor yang berkaitan dengan penglihatan, buta warna
kini menjadi salah satu tolak ukur untuk sebuah persyaratan masuk universitas atau
dunia kerja. Pembedaan persepsi terhadap suatu warna sangat dibutuhkan dalam
bidang-bidang tertentu, seperti teknik dan kedokteran. Warna berperan penting
dalam kehidupan sehari-hari, warna sering dijadikan sebagai tanda atau sekedar
estetika.
Kondisi buta warna mulai diketahui sejak tahun 1879 yang dipublikasikan
oleh John Dalton dalam tulisan esainya. Hal tersebut menjadi awal dikenalnya buta
warna dalam literatur, sekaligus mendorong untuk memberikan bukti konklusif atas
persepsi warna pada penyandang buta warna.
Perbedaan mendasar antara penderita buta warna dan kebanyakan orang
adalah bahwa beberapa warna yang muncul berbeda jika dilihat mata normal,
namum terlihat sama pada penyandang buta warna. Penderita buta warna memiliki
kelemahan terhadap penglihatan, dengan kurangnya kemampuan untuk
membedakan warna, saturasi dan kecerahan.
Pada dasarnya, penglihatan terhadap warna ditentukan oleh pembedaan tiga
kualitas faktor warna, yaitu hue (jenis warna, seperti merah atau hijau dan
sebagainya), saturation (warna tunggal atau warna campuran), brightness
(intensitas warna terang atau gelap). Ketiga faktor untuk penglihatan warna tersebut
dipengaruhi oleh fungsi sel konus atau sel kerucut. Sel fotosensitif pada mata yang
14
disebut sel kerucut tersebut memungkinkan kita melihat warna. Sel kerucut terletak
di tengah-tengah retina dan mengandung tiga jenis pigmen fotosensitif yang dapat
mendeteksi warna merah, hijau, dan biru. Seorang buta warna memiliki kelemahan
atau bahkan sama sekali tidak memiliki pigmen tersebut.
Sel kerucut menyerap foton dan mengirim sinyal listik ke otak. Tiga jenis
sel kerucut memiliki sensitifitas spekral yang berbeda. L-Cones untuk menyerap
(absorpsi) panjang gelombang yang tinggi. M-Cones untuk menyerap panjang
gelombang menengah. Dan S-Cones untuk menyerap panjang gelombang yang
rendah secara efektif. Berdasarkan fungsi sel tersebut, akibatnya cahaya
dipersepsikan terdiri dari tiga jenis (L, m, s), l (long), m (middle), dan s (short).
Merepresentasikan jumlah foton yang diserap oleh masing-masing L-, M-, dan S-
Cones. Oleh karna itu penglihatan normal disebut juga trikromasi normal.
Kelainan pada sel kerucut tersebut, menyebabkan kemungkinan terjadinya
buta warna. Terdapat tiga jenis gangguan penglihatan terhadap warna.
1. Monokromasi
Monokromasi adalah keadaan ketika seseorang hanya memiliki sebuah sel
kerucut (cones) atau tidak berfungsinya semua sel kerucut. Buta warna jenis
ini biasa disebut buta warna total. Buta warna total sangat jarang terjadi dan
dialami oleh sekitar 1 dari 10.000 penduduk di dunia. Monokromasi ada dua
jenis, yaitu rod monochromacy dan cone monochromacy (Rokhim, Ahmad.
N. 2015).
a. Rod monochromacy adalah jenis buta watna yang sangat jarang terjadi,
yaitu ketidakmampuan membedakan warna sebagai akibat dari tidak
berfungsinya semua cones retina. Penderita rod monochromacy tidak
dapat membedakan warna sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan
abu-abu saja.
b. Cone monochromacy adalah tipe monokromasi yang disebabkan oleh
tidak berfungsinya dua sel kerucut. Penderita buta warna jenis ini masih
dapat melihat satu warna tertentu, karena masih memiliki sel kerucut yang
berfungsi.
15
2. Dikromasi
Dikromasi adalah jenis buta warna ketika salah satu dari tiga sel kerucut tidak
ada atau tidak berfungsi. Dikromasi dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan
sel pigmen yang rusak (Rokhim, Ahmad. N. 2015).
a. Protanopia adalah salah satu jenis dikromasi yang disebabkan oleh tidak
adanya fotoreseptor retina merah. Pada penderita protanopia, penglihatan
terhadap warna merah tidak ada. Dikromasi jenis ini terjadi pada 1% dari
seluruh pria. Protanopia juga dikenal sebagai buta warna merah hijau.
b. Dentanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang
disebabkan tidak adanya fotoreseptor retina hijau. Hal ini menimbulkan
kesulitan dalam membedakan hue pada warna merah dan hijau.
c. Trianopia adalah keadaan ketika seseorang tidak memiliki sel kerucut
gelombang pendek. Seorang yang menderita tritanopia akan kesulitan
membedakan warna biru-kuning dan merupakan jenis dikromasi yang
sangat jarang dijumpai.
3. Kelainan Trikromasi (Animalous Tricharmacy)
Penyimpangan yang dialami dengan penglihatan trikromasi ini disebabkan
oleh faktor keturunan atau kerusakan mata setelah dewasa. Penderita
anomalous trikromasi memiliki tiga sel kerucut tetapi terjadi kerusakan
mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor warna
tersebut (Rokhim, Ahmad. N. 2015).
a. Protanomali adalah kelainan long-wavelength pigment (merah), sehingga
menyebabkan rendahnya sensitifitas terhadap cahaya merah. Artinya
pendetita protanomali tidak akan mampu membedakan warna dan melihat
campuran warna yang dapat di lihat oleh mata normal. Penderita juga akan
mengalami penglihatan yang buram terhadap spectrum merah. Hal ini
mengakibatkan mereka dapat salah membedakan warna merah dan hijau.
b. Deoteranomali disebabkan oleh kelainan pada bentuk pigmen middle-
wavelength (hijau). Sama halnya dengan protanomali, deuteronomali
tidak mampu melihat perbedaan kecil pada nilai hue dalam area spectrum
16
warna merah, jingga, kuning dan hijau. Penderita salah menafsirkan hue
dalam region warna tersebut, karena hue-nya lebih mendekati warna
merah. Penderita deutronnmali tidak memiliki masalah dalam hilangnya
penglihatan terhadap tingkat kecerahan.
c. Trianomali adalah jenis anomalus trichromacy yang sangat jarang terjadi,
baik pada pria maupun wanita. Pada trianomali kelainan terdapat pada
short-wavelength pigment (biru). Pigmen biru ini bergeser ke area hijau
dari spectrum warna.
2.2.3 Konsep Dasar Sistem Pakar
Konsep dasar dari sistem pakar yaitu meliputi keahlian (expertise), ahli
(experts), pemindahan keahlian (transfering expertise), inferensi (inferencing),
aturan (rules) dan kemampuan memberikan penjelasan (explanation capability).
Keahlian (expertise) adalah pengetahuan yang mendalam tentang suatu
masalah tertentu, dimana keahlian bisa diperoleh dari pelatihan/pendidikan,
membaca dan pengalaman dunia nyata (Arhami M, 2005). Ada dua macam
pengetahuan yang tidak ahli. Pengetahuan dari sumber ahli yang dapat digunakan
untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.
Ahli (experts) adalah seorang yang memiliki keahlian tentang suatu hal
dalam tingkatan tertentu, ahli dapat menggunkan suatu permasalahan yang
ditetapkan dengan beberapa cara yang berubah-ubah dan merubahnya kedalam
bentuk yang dapat dipergunakan oleh dirinya sendiri dengan cepat dan cara
pemecahan yang mengesankan (Arhami M, 2005).
Ahli seharusnya dapat untuk menjelaskan hasil yang diperoleh, mempelajari
sesuatu yang baru tetang domain masalah, merestrukturisasi pengetahuan kapan
saja yang diperlukan dan menentukan apakah keahlian mereka relevan atau saling
berhubungan.
17
2.2.4 Struktur Sistem Pakar
Sistem pakar disusun oleh dua bagian utama, yaitu lingkungan pengembang
(development environment) dan lingkungan konsultasi (consultation environment).
Lingkungan pengembangan sistem pakar digunakan untuk memasukkan
pengetahuan pakar ke dalam lingkungan sistem pakar, sedangkan lingkungan
konsultansi digunakan oleh pengguna yang bukan pakar guna memperoleh
pengetahuan pakar. Komponen-komponen sistem pakar dalam kedua bagian
tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Arsitektur Sistem Pakar (Turban, 1995)
Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem pakar adalah seperti yang
terdapat pada Gambar 2.18, yaitu user interface (antarmuka pengguna), basis
pengetahuan, akuisisi pengetahuan, mesin inferensi, workplace, fasilitas
penjelasan, perbaikan pengetahuan.
2.2.5 Tujuan Sistem Pakar
Tujuan dari sistem pakar adalah untuk memindahkan kemampuan
(transferring expertise) dari seorang ahli atau sumber keahlian yang lain ke dalam
18
komputer dan kemudian memindahkannya dari komputer kepada pemakai yang
tidak ahli (bukan pakar).
2.2.6 Tahapan Sistem Pakar
Ada beberapa tahapan dalam membangun sistem pakar yaitu
1. Akuisisi pengetahuan (knowledge acquisition) yaitu kegiatan mencari dan
mengumpulkan pengetahuan dari para ahli atau sumber keahlian yang lain.
2. Representasi pengetahuan (knowledge representation) adalah kegiatan
menyimpan dan mengatur penyimpanan pengetahuan yang diperoleh dalam
komputer. Pengetahuan beberapa fakta dan aturan disimpan dalam komputer
sebagai sebuah komponen yang disebut basis pengetahuan.
3. Inferensi pengetahuan (knowledge inferencing) adalah kegiatan melakukan
inferensi berdasarkan pengetahuan yang telah disimpan didalam komputer.
4. Pemindahan pengetahuan (knowledge transfer) adalah kegiatan mentransfer
pengetahuan yang telah di simpan dalam komputer.
2.2.7 Keuntungan dan Kelemahan Pemakaian Sistem pakar
Adapun beberapa keuntungan dari sistem pakar yaitu:
1. Membuat seorang yang awam dapat bekerja seperti layaknya seorang pakar.
2. Dapat bekerja dengan informasi yang tidak lengkap atau tidak pasti.
3. Expert system menyediakan nasihat yang konsisten dan dapat mengurangi
tingkat kesalahan.
4. Membuat peralatan yang kompleks lebih mudah dioperasikan karena expert
system dapat melatih pekerja yang tidak berpengalaman.
5. Expert system tidak dapat lelah dan bosan, juga konsisten dalam memberi
jawaban dan selalu memberikan perhatian penuh.
5. Memiliki untuk memecahkan masalah yang kompleks.
6. Memungkinakan pemindahan pengetahuan ke lokasi yang jauh serta
memperluas jangkauan seorang pakar, dapat diperoleh dan dipakai dimana saja.
19
Adapun beberapa kelemahan dari sistem pakar yaitu:
1. Biaya yang diperlukan untuk membuat dan memelihara sangat mahal.
2. Sulit dikembangkan. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan ketersediaan pakar
dibidangnya.
3. Sistem pakar tidak 100% bernilai benar.
2.2.8 Komponen-komponen Sistem Pakar
1. Basis Pengetahuan (Knowledge base)
Pengetahuan merupakan kemampuan untuk membentuk model mental yang
menggambarkan obyek dengan tepat dan mempresentasikannya dalam aksi yang
dilakukan terhadap suatu obyek (Martin dan Oxman, 1988).
Pengetahuan dapat diklaifikasikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan
prosedural (procedural knowledge), pengetahuan deklaratif (declarative
knowladge), pengetahuan deklaratif (declarative knowlwdge), dan pengetahuan
tacit (tacit knowledge). Penetahuan procedural lebih menekankan pada bagaimana
melakukan sesuatu, pengetahuan deklaratif, menjawab pertanyaan apakah sesuatu
bernilai salah atau benar, sedangkan pengetahuan tacit merupakan pengetahuan
yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa. Basis Pengetahuan merupakan inti
program Sistem Pakar dimana basis pengetahuan ini adalah representasi
pengetahuan (knowladge representation) seorang pakar.
2. Basis Data (Database)
Basis data adalah bagian yang mengandung semua fakta-fakta, baik fakta
awal pada saat sistem mulai beroperasi maupun fakta-fakta yang didapatkan pada
saat pengambilan kesimpulan yang sedang dilaksanakan. Dalam praktiknya, basis
data berada didalam memori komputer. Kebanyakan sistem pakar mengandung
basis data untuk meyimpan data hasil observasi dn data lainya yang dibutuhkan
selama pengolahan (Arhami M, 2005).
20
3. Mesin Inferensi (Iferensi Engine)
Mesin Inferensi adalah bagian yang mengandung mekanisme fungsi berpikir
dan pola-pola penalaran sistem yang akan menganalisis suatu masalah tertentu dan
selanjutnya akan mencari jawaban atau kesimpulan yang terbaik (Arhami M, 2005).
Secara deduktif mesin inferensi memilih pengetahuan yang relevan dalam
rangka mencapai kesimpulan. Dengan demikia sistem ini dapat menjawab
pertanyaan pemakai merskipun jawaban tersebut tidak tersimpan secara eksplisit
didalam basis pengetahuan. Mesin inferensi memulai pelacakannya dengan
mencocokan kaidah-kaidah dalam basis pengetahuan dengan fakta-fakta yang ada
dalam basis data.
2.2.9 Neural Network
Jaringan syaraf tiruan atau jaringan neural adalah sistem pemrosesan
informasi yang mempunyai karakteristik kinerja tertentu seperti jaringan neurol
biologis. Jaringan syaraf tiruan (dalam pembahasan berikutnya disebut jaringan
neural jasa) telah dikembangkan sebagai generalisasi model matematik dari kognisi
manusia atau biologi neural (Widodo, 2005). Jaringan syaraf tiruan berbasis pada
asumsi sebagai berikut.
1. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana yang disebut
neuron.
2. Sinyal yang diberikan antara neuron lewat jalinan koneksi.
3. Sinyal jalinana koneksi mempunyai bobot yang mengalikan sinyal yang
ditransmisikan.
4. Setiap neuron menerapkan fungsi aktivasi (yang biasanya non linear)
terhadap jumlah sinyal masukan terbobot untuk menentukan sinyal keluaran.
Jaringan neural atau jaringan syaraf tiruan juga dikarakteristikkan dengan
karakteristik seperti berikut:
1. Pola interkoneksi antara neuron (arsitektur).
2. Metode penentuan bobot pada koneksi (pembelajaran atau algoritma),
3. Fungsi aktivasinya.
21
Jaringan neural terdiri atas sejumlah besar elemen pemrosesan yang disebut
neuron, unit, sel atau node. Setiap neuron terhubung dengan neuron lain dengan
jalinan koneksi langsung yang terkait dengan bobot. Bobot mewakili informasi
yang digunakan oleh jaringan untuk menyelesaikan masalah. Jaringan neural dapat
diterapkan untuk berbagai masalah yang luas, antara lain sebagai berikut.
a. Penyimpanan dan pemulihan data atau pola.
b. Klasifikasi pola.
c. Pemetaan dari pola-pola masukan yang serupa.
d. Pencarian solusi masalah optimasi terkendali.
Setiap neuron mempunyai keadaan internal yang disebut level aktivasi atau
level aktivasi yang merupakan fungsi masukan yang diterima.
Secara tipikal, suatu neuron mengirimkan aktivasinya ke beberapa neuron
lain sebagai sinyal. Perlu diperhatikan bahwa neuron hanya dapat mengirim satu
sinyal sesaat, meskipun sinyal tersebut dipancarluaskan ke beberapa neuron lain.
Sebagai contoh tinjau neuron Y yang menerima masukan dari neuron X1,
X2, dan X3 Gambar 2.19.
Gambar 2.19 Neuron Y Menerima Masukan Terbobot Dari X1, X2, dan X3 (Widodo, 2005)
Aktivasi (sinyal keluaran) dari neuron-neuron ini adalah X1, X2, dan X3.
Bobot koneksi dari neuron X1, X2, dan X3 ke neuron Y adalah w1, w2 dan w3.
22
Masukan neto yin ke neuron Y adalah jumlah sinyal terbobot dari neuron X1, X2,
dan X3 yaitu:
Yin = W1 X1 + W2 X2 + W3 X3 ................................................................. (2.1)
Aktivasi y dari neuron Y diberikan oleh fungsi masukan netonya:
y = f( Yin )................................................................................................ (2.2)
Misalnya fungsi aktivasinya sigmoid logistik dengan kurve berbentuk S,
maka:
y = f(Yin) = 1
1+𝑟𝑥𝑝(−𝑌𝑖𝑛) ........................................................................... (2.3)
Selanjutnya dimisalkan bahwa neuron Y dihubungkan ke neuron Z1 dan Z2
dengan bobot v1 dan v2 seperti terlihat pada Gambar 2.20.
Gambar 2.20 Jaringan Neural Dengan Unit Tersembunyi (Widodo, 2005)
Neuron Y mengirimkan keluarannya y ke neuron Z1 dan Z2 dengan
pembobotan v1 dan v2. Dengan adanya unit tersembunyi pada neural Gambar F.2,
maka hal ini akan memberikan kemampuan menyelesaikan lebih banyak masalah
daripada yang dapat diselesaikan oleh jaringan yang hanya terdiri atas unit masukan
dan unit keluaran saja.
2.2.10 Learning Vector Quantization
Learning Vector Quantization adalah suatu metode untuk melakukan
pembelajaran pada lapisan kompetitif yang terawasi. Suatu lapisan kompetitif akan
secara otomatis belajar untuk mengklasifikasikan vector input. Kelas-kelas yang
23
didapatkan sebagai hasil dari lapisan kompetitif ini hanya tergantung pada jarak
antara vector input (Kusumadewi, 2004).
Dalam hal ini diberikan sehimpunan pola yang klasifikasinya diketahui
diberikan bersama distribusi awal vector referensi. Setelah pelatihan jaringan LVQ
mengklasifikasikan vector masukan dalam kelas yang sama dengan unit keluaran
yang memiliki vector bobot (referensi) yang paling dekat dengan vector masukan.
Arsitektur dari LVQ ditunjukkan pada Gambar 2.21.
Gambar 2.21 Arsitektur Learning Vector Quantization (Kusumadewi, 2004)
Keterangan:
X = Vector masukan (X1, X2, …. Xn)
F = Lapisan Kompetitif
y_in = Masukan lapisan kompetitif
y = Keluaran
W = vector bobot untuk unit keluaran
||X-W|| = Selisih nilai jarak Euclediean dan vector input
Pelatihan jaringan syarat tiruan dikatakan berhasil jika pelatihan konvergen,
dan gagal jika pelatihan divergen. Suatu pelatihan dikatakan konvergen jika
kesalahan pada diterasi pelatihan selalu mengecil, sampai pada titik dimana nilai
setiap neuron telah mencapai nilai yang paling baik untuk data pelatihan yang
diberikan. Sebaliknya, pelatihan dikatakan divergen jika kesalahan pada pelatihan
tidak cenderung mengecil menuju sebuah titik tertentu.