bab ii tinjauan pustaka dan hasil penelitian ......pemahaman, pidato disampaikan pada upacara...
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/1.jpg)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN
TENTANG INKONSISTENSI KETENTUAN HUKUM
DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL
DAN BATUBARA
2.1. Tinjauan Pustaka Tentang Peraturan Perundang-undangan
2.1.1. Pengertian
Dalam kajian teori dan praktik hukum di Indonesia terdapat beberapa
istilah yang sering digunakan, baik istilah perundangan, peraturan perundangan,
atau peraturan perundang-undangan, atau istilah lain, seperti peraturan negara dan
lainnya.11 Hal ini pun terjadi pada beberapa aturan hukum di Indonesia dimana
Tap MPRS No. XX/MPRS tentang Memorandum DPR – GR Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik
Indonesia menyebutkan istilah Peraturan Perundangan. Sementara Tap MPR No
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, Undang-undang No. 10 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara resmi
menggunakan istilah Peraturan Perundang-undangan.
Istilah perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan
dari wettelijke regeling. Kata wettelijk berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan
wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang dan bukan
11 Lailam, Op.Cit., 2017, hlm 1.
![Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/2.jpg)
10
dengan undang. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang, maka terjemahan
wettelijke regeling ialah peraturan perundang-undangan. 12 Menurut Attamimi
peraturan perundang-undangan adalah peraturan negara, di tingkat Pusat dan di
tingkat Daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan,
baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi.13
Sedangkan S. J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgaleerd
Handwoorden Boek” mengartikan peraturan perundang-undangan dengan dua
pengertian yang berbeda, yaitu (1) Perundang-undangan merupakan proses
pembentukan/ proses membentuk peraturan perundang-undangan negara, baik di
Pusat maupun di Daerah; dan (2) Perundang-undangan adalah segala peraturan
negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan perundang-undangan, baik
Pusat maupun di Daerah.14
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, pengertian peraturan perundang-
undangan adalah: 15
“…keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang
berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang
melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama – sama dengan
pemerintah ataupun yang melibatkan peran pemerintah karena
kedudukan politiknya dalam melaksanakan produk legislatif yang
ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama – sama dengan
pemerintah menurut tingkatannya masing – masing.”
12 Yuliandri, Asas – asas Pembentukan Peraturan Perundang – undangan yang Baik,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm 25.
13 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang – undangan, Mandar Maju,
Bandung, 1998, hlm 19.
14 A Hamid S. Attamimi, Teori Perundang – undangan Indonesia: Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang – undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan
Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta, pada 25 April 1992, hlm 41.
15 Yuliandri, Op. Cit., hlm 39.
![Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/3.jpg)
11
Sedangkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 pada Pasal 1 angka 2
menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dengan kata lain bahwa peraturan perundang-undangan mengandung dua
arti. Pertama, proses pembentukan peraturan – peraturan negara dari jenis yang
tertinggi, yaitu undang-undang (wet) sampai yang terendah. Kedua, keseluruhan
produk peraturan negara tersebut.16
2.1.2. Asas-asas Peraturan Perundang - undangan
Hans Kelsen dalam teorinya mengenai Stufenbau des Recht atau The
Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan
berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang
lebih tinggi.17 Menurut pandangan Hans Kelsen hukum adalah sah (valid) apabila
dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang serta berdasarkan norma yang
lebih tinggi sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma
yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang – jenjang serta berlapis –
16 Enny Nurbaningsih, 2004, Heirarki Baru Peraturan Perundang – undangan, Jurnal
Mimbar Hukum Volume X Nomor 48, hlm 26.
17 Ni’ matul Huda, Teori & Pengujian Peraturan Perundang – undangan Yang Baik, Nusa
Media, Bandung, 2011, hlm 23.
![Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/4.jpg)
12
lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya.18
Kemudian terdapat teori dari Adolf Merkl. Adolf Merkl adalah murid dari
Hans Kelsen. Teori Merkl ini diilhami oleh teori hirarki atau jenjang atata hukum
dari Kelsen. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan hukum (die Lehre vom
Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem tata urutan
hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan tindakan
hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi untuk pembuatan norma lain
atau tindakan.19
Lebih lanjut Merkl mengatakan dalam teorinya bahwa suatu norma selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlizt). Arti dari “dua wajah” dalam
teori Merkl ini adalah suatu norma hukum ia selalu bersumber dan berdasar pada
norma yang ada di atasnya, tetapi juga ke bawah ia menjadi dasar dan menjadi
sumber bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini membawa konsekuensi logis
bahwa dalam teori Merkl dikarenakan norma itu selalu berdasar pada apa yang
ada di atasnya maka konsekuensinya adalah mempunyai masa berlaku yang
relatif. Hal ini dikarenakan norma tersebut bergantung dengan norma yang berada
di atasnya, yang menjadi sumber pembuatannya. Apabila norma hukum yang
berada di atasnya dicabut atau dihapus maka secara otomatis norma – norma yang
berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.
Terakhir terdapat teori Hans Nawiasky dimana teorinya jug dikembangkan
berdasarkan teori Hans Kelsen. Dalam teorinya yang mengkaitkan jenjang norma
18 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Russell
& Russell, New York, 1973, jlm. 111. Dikutip kembali oleh A. Hamid S. Attamimi, Op. Cit, hlm
303.
19 Ni’ matul Huda, Op. Cit., hlm 25.
![Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/5.jpg)
13
hukum dengan keberadaan suatu negara, jenjang norma hukum tersebut tidak
hanya berlapis – lapis dan berjenjang tetapi juga berkelompok – kelompok.
Struktur sistem norma yang berlapis atau berjenjang itu oleh Hans Nawiasky
kemudian dikualifikasikan menjadi empat tingkatan norma hukum yang
berurutan, terdiri atas: (1) Tingkat Pertama: Staatsfundamentalnorm atau
staatsgrundnorm (dalam teori Hans Kelsen) yaitu norma fundamental negara,
norma pertama atau norma dasar; (2) Tingkat Kedua: Staatsgrundgesetz, yaitu
norma hukum dasar negara, aturan pokok, atau konstitusi; (3) Tingkat Ketiga:
Formell gesetz yaitu norma hukum tertulis, undang-undang, dan norma hukum
konkrit; (4) Tingkat Keempat: Verordnung dan autonome satzung, aturan
pelaksana dan aturan hukum.
Baik Hans Kelsen, Adolf Merkl maupun Hans Nawiasky, teori mereka
bertiga pada dasarnya memberikan ajaran mengenai tata urutan peraturan
perundang-undangan. Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan
demikian mengandung beberapa prinsip: (1) Peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya; (2)
Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi; (3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya; (4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya
dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat; (5) Peraturan
![Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/6.jpg)
14
perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka
peraturan yang terbaru harus diberlakukan. (6) Peraturan perundang-undangan
yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih umum.
Dalam teori peraturan perundang-undangan juga berlaku beberapa asas-
asas hukum yang menjadi rujukan universal yang sebenarnya merupakan
konsekuensi dari teori-teori Hans Kelsen, Adolf Merkl maupun Hans Nawiasky.
Menurut Sudikno Mertokusumo: 20
“… asas-asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum
konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk bagi hukum yang berlaku dan pembentukan hukum praktis
perlu berorientasi pada asas atau prinsip hukum, sehingga dengan kata
lain asas atau prinsip hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah
dalam pembentukan hukum positif.”
Asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang berfungsi menafsirkan
aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi perilaku, sekalipun tidak
secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-asas
hukum tersebut ada yang berfungsi untuk menentukan derajat hukumnya atau
kevalidan hukum. Beberapa asas hukum yang bersifat menentukan derajat atau
kevalidan hukum, seperti asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang
derajatnya lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang derajatnya lebih
rendah) asas ini lahir dari bangunan heirarkisitas peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan membentuk bangunan yang berlapis-lapis,
berjenjang, dan berkelompok, dengan tujuan menentukan derajat validitas norma
20 Mertokusumo, Op.Cit., hlm 5.
![Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/7.jpg)
15
masing-masing agar tercipta sistem norma hukum yang harmonis secara vertical.
Derajat norma yang tersusun hirarkis tersebut menentukan norma hukum
yang lebih tinggi dan rendah, dengan konsekuensi norma hukum yang lebih
rendah akan bergantung dan bersumber pada norma hukum yang derajatnya lebih
tinggi, jika ada peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah
yang derajatnya lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah dapat
dikesampingkan (dibatalkan bahkan batal demi hukum).21
Asas lex specialis derogate legi generali (peraturan yang bersifat khusus
mengesampingkan peraturan bersifat umum) adalah salah satu asas hukum, yang
mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan
aturan hukum yang umum. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus
tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang
lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.22 Ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas ini lex specialis derogate legi
generali yakni: (1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; (2)
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan (3) Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex
21 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 206.
22 Eddy OS Hiariej dkk, 2009, Persepsi dan Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi
Generali di Kalangan Penegak Hukum, Laporan Penelitian, Yogyakarta, Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, hlm 5.
![Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/8.jpg)
16
generalis. (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan).23
Asas lex posterior derogate legi priori (peraturan yang baru
mengenyampingkan peraturan yang lama). Hukum yang lama bisa lahir dari
beberapa kondisi, baik karena hukum yang menjadi landasan (jenjang keatas)
kehilangan daya laku (seperti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 kehilangan
daya laku karena pasal-pasal penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-
undang Dasar 1945 mengalami perubahan) atau dikarenakan ada hukum yang
baru (seperti Undang-undang No. 10 Tahun 2004 kehilangan daya laku setelah
dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2011). Asas lex posterior derogate
legi priori berangkat dari kondisi dimana peraturan yang berada di bawah akan
kehilangan daya laku/ validitasnya jika ketentuan peratruan di atas yang
melandasi sudah di amandemen atau sudah dicabut dan diganti yang baru.
Selain asas-asas umum tersebut terdapat juga asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut Philipus M. Hadjon
mengemukakan bahwa fungsi asas peraturan perundang-undangan adalah:
“… pada hakikatnya asas peraturan perundang-undangan yang baik
berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan hukum,
maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, dari segi pembentukan aturan hukum misalnya
pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah menjadi
pedoman dalam perancangan undang-undangan.” 24
23 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004, hlm 58. 24 Philipus M. Hadjon, Posisi Sentral Hukum Tata Negara Dalam Proses Legislasi, hlm 2.
![Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/9.jpg)
17
Senada dengan Philipus M. Hadjon, menurut A. Hamid S. Attamimi asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berfungsi untuk:
“… memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi
peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, bagi penggunaan
metode pembentukan yang tepat, dan bagi mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan.25 Serta bermanfaat bagi
penyiapan, penyusunan, dan pembentukan suatu perundang-undangan.
Kemudian dapat dilakukan oleh hakim untuk melakukan pengujian
(toetsen), agar peraturan – peraturan tersebut memenuhi asas-asas
dimaksud.” 26
Dijadikannya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, akan
memberikan jaminan dalam perumusan norma hukum, yang selanjutnya akan
diformulasikan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, sehingga
tujuan pembentukan dan kualitas dari peraturan perundang-undangan yang
dibentuk dapat dicapai.
Dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
dibedakan menjadi dua sifat yakni yang bersifat formal dan materiil. Asas-asas
yang bersifat formal:27
a) Asas tujuan yang jelas
Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas tujuan yang jelas, akan dapat diterima
oleh semua sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan Negara
Indonesia yang berdasar pada Undang-undang Dasar 1945. Mengingat asas
25 A. Hamid Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang – undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm 312.
26 Ibid., hlm 332. 27 Yuliandri, Op. Cit., hlm 137.
![Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/10.jpg)
18
ini akan mengukur sampai seberapa jauh suatu peraturan perundang-
undangan diperlukan untuk dibentuk.28 Van der Vlies, menyatakan bahwa
dengan tujuan yang jelas akan dapat dicapai bila:
“… pembuat undang-undang pertama – tama perlu memberikan uraian
yang cukup mengenai keadaan – keadaan nyata yang ingin diatasi oleh
suatu peraturan. Selanjutnya, perlu dikemukakan perubahan –
perubahan apa yang melalui peraturan itu dikehendaki terjadi atas
situasi nyata yang ada serta harus diuraikan bagaimana ketentuan –
ketentuan dalam peraturan itu akan menimbulkan perubahan –
perubahan tersebut. Dalam uraian itu perlu dimuat ikhtisar mengenai
kebaikan dan keburukan. Masuk akal bahwa pembuat peraturan
mengenal situasi yang ada yang ingin diubahnya”29
Dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, penggambaran
tujuan yang jelas dari pembentukan peraturan perundang-undangan,
dicantumkan dalam bagian konsiderans (menimbang), termasuk pula pada
bagian penjelasan. Tujuan ini memberikan petunjuk bagi setiap orang yang
tersangkut dalam pelaksanaan suatu undang-undang, agar dapat mengetahui
secara lebih mudah tentang maksud pembuat undang-undang. Hal ini
penting, khususnya bilamana terdapat cacat di dalam peraturan yang
bersangkutan ataupun pertentangan dengan ketentuan di dalam peraturan
perundang-undangan yang berbeda;
b) Asas organ/lembaga yang tepat
Asas ini yang menghendaki agar suatu organ dapat memberi penjelasan,
bahwa pembuatan suatu peraturan tertentu memang berada dalam
28 Ibid., hlm 337.
29 Linus Doludjawa, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang – undangan,
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang - undangan, Jakarta, 2005, hlm 39.
![Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/11.jpg)
19
kewenangannya. Dilihat dari latar belakangnya, asas organ/lembaga yang
tepat merupakan kelanjutan logis dari asas tujuan yang jelas, karena:
“… jika suatu saat sudah jelas apa yang harus dilakukan, selanjutnya
akan dilihat siapakah yang harus melaksanakannya. Asas ini bertujuan
menjalankan pembagian kewenangan sebagaimana yang telah
ditetapkan secara konstitusional dalam undang-undang dan
yurisprudensi.”30
Di Negara Indonesia, kewenangan pembentukan Undang-undang berada di
tangan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden, dan untuk materi –
materi tertentu juga melibatkan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk
melaksanakan Undang-undang sebagaimana mestinya, Presiden dapat
membentuk Peraturan Pemerintah. Dalam hal kegentingan yang memaksa,
Presiden juga dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu).31 Aspek lain dari asas organ/lembaga yang tepat, adalah
pembagian kewenangan antara organ pusat dan daerah. Organ daerah juga
diberikan kewenngan untuk membentuk peraturan perundang-undangan
tingkat daerah. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No. 12 Tahun
2011, Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapatkan
persetujuan bersama oleh DPRD;
c) Asas perlunya pengaturan.
Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif – alternatif lain untuk
menyelesaikan suatu masalah pemerintahan. Asas perlunya pengaturan
30 Ibid., hlm 266.
31 Pasal 20, Pasal 5 dan Pasal 22, Pasal 22D Undang – undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.
![Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/12.jpg)
20
merupakan salah satu hal yang harus dijawab untuk merencanakan
pembentukan undang-undang. Di Negara Indonesia prosedur pembuatan
beberapa bentuk peraturan perundang-undangan lazimnya didahului dengan
menyusun naskah akademik. Naskah akademik merupakan landasan dan
sekaligus arah penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian pembuatan peraturan perundang-undangan pada tahap awal yakni
melalui naskah akademik, maka berlakulah asas perlunya pengaturan yakni
dalam bentuk pertanyaan yang pada intinya apakah mesti dibuat dengan
peraturan perundang-undangan tertentu. Inti dari asas ini dapat ditemukan
pada pendapat Van der Vlies yang mengatakan:
“… apakah peraturan itu memang mendesak (urgen) untuk dibuat, dan
kalau ya, dalam bentuk apa peraturan itu mesti dibuat. Salah satu hal
yang mesti dihindari dalam menentukan urgensi adalah jangan dilihat
segala permasalahan secara berlebihan. Dimaksudkan di sini,
organ/lembaga yang berwenang jangan selalu menganggap bahwa
penyelesaian pelbagai persoalan harus diselesaikan dengan
membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk
menghindarkan kesan berlebihan.”32
d) Asas dapat dilaksanakan
Di dalam asas ini diantaranya menyangkut:
“… jaminan – jaminan bagi dapat dilaksanakannya apa yang dimuat
dalam suatu peraturan. Suatu aturan harus didukung oleh kondisi
sosial yang cukup, sarana yang memadai bagi organ atau dinas yang
32 Linus Dolusdjawa, Op.Cit., hlm 272.
![Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/13.jpg)
21
akan melaksanakannya, dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi
yang sesuai.”33
Tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat
ditegakkan. Asas dapat dilaksanakan memberikat jaminan kepada
pemerintah maupun masyarakat yang berharap akan tercapainya hasil suatu
peraturan perundang-undangan;
e) Asas konsensus
Yang dimaksud Konsensus dalam asas ini ialah:
“…adanya ‘kesepakatan’ rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan
menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Hal ini mengingat pembentukan peraturan perundang-
undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan –
tujuan yang ‘disepakati bersama’ oleh pemerintah dan rakyat.”34
Menurut A. Hamid S. Attamimi, di Indonesia asas konsensus dapat
diwujudkan dengan:
“…perencanaan yang baik, jelas, serta terbuka, diketahui rakyat mengenai
akibat – akibat yang akan ditimbulkan serta latar belakang dan tujuan –
tujuan yang hendak dicapainya. Hal itu dapat juga dilakukan dengan
menyebarkan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut kepada
masyarakat sebelum pembentukannya.”35
Kemudian asas-asas yang bersifat materiil:
a) Asas terminologi dan sistematika yang jelas
33 A. Hamid, S. Attamimi, Op.Cit., 2015, hlm 339. 34 Ibid., hlm 339.
35 Ibid., hlm 340.
![Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/14.jpg)
22
Van der Vlies memberi pertimbangan pentingnya asas ini adalah bahwa agar
supaya peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat,
baik mengenai kata – katanya maupun struktur atau susunannya;36
b) Asas dapat dikenali
Alasan penting asas ini adalah apabila suatu peraturan perundang-undangan
tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang, lebih – lebih oleh yang
berkepentingan, maka ia akan kehilangan tujuan sebagai peraturan;37
c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum
Asas perlakuan yang sama dalam hukum menjadi dasar dari semua
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tidak boleh
ditujukan kepada suatu kelompok tertentu yang dipilih semaunya, di
dalamnya tidak boleh ada pembedaan semaunya, efek suatu peraturan tidak
boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi) karena hal tersebut akan
mengakibatkan kesewenang – wenangan;
d) Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum menghendaki:
“… agar harapan (ekspetasi) yang wajar hendaknya dihormati,
khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat rumusan norma
yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan
peralihan yang memadai, dan bahwa peraturan tidak boleh
diberlakukan surut tanpa alasan yang mendesak.”38
36 Ibid., hlm 341. 37 Ibid., hlm 341.
38 Linus Doludjawa, Op. Cit., hlm 292.
![Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/15.jpg)
23
Dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, prinsip
kepastian hukum, juga menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik
yang dibuat dan dilaksanakan. Karenanya, setiap kebijakan publik dan
peraturan perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan
dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan
diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk
mengevaluasinya.
Selain asas-asas di atas, terdapat juga asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang tercantum dalam Bab II Undang-undang No.
12 Tahun 2011 yang dibedakan menjadi asas yang bersifat formil dan materiil.
Asas yang bersifat formil: 39
1) Asas kejelasan tujuan
Merupakan asas yang memberikan pedoman pada setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan dimana dalam setiap pembentukannya harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang, misalnya Undang-undang dibentuk oleh DPR bersama dengan
Presiden dan DPD. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat
39 Tanto Lailam, Op. Cit., hlm 95.
![Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/16.jpg)
24
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang;
3) Asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan
Asas ini mengandung ketentuan bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, misalnya
materi muatan undang-undang tidak bisa dimasukkan dalam peraturan
pemerintah, dan lain sebagainya;
4) Asas dapat dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempertimbangkan efektivitas peraturan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
6) Asas kejelasan rumusan
Asas ini mengandung ketentuan bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
![Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/17.jpg)
25
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya;
7) Asas keterbukaan
Setiap pembentukan undang-undang harus melibatkan masyarakat,
partisipasi masyarakat merupakan perkembangan dalam sistem politik
modern, dalam arti adanya penyediaan ruang publik sebagai tuntutan mutlak
sebagai upaya demokratisasi, sebab mustahil dapat mewujudkan negara
hukum yang demokratis tanpa partisipasi masyarakat.40
Kemudian asas yang bersifat materiil:
1) Asas pengayoman
Merupakan asas yang mengandung ketentuan bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
2) Asas kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional;
40 Tanto Lilam, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Prudent Media, Yogyakarta,
2012, hlm 54.
![Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/18.jpg)
26
3) Asas kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) Asas kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
5) Asas kenunsantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945;
6) Asas Bhineka Tunggal Ika
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7) Asas keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.;
![Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/19.jpg)
27
8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial;
9) Asas ketertiban dan kepastian hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum;
10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat, dan kepentingan bangsa dan negara.
2.2. Asas Otonomi Daerah
2.2.1. Pengertian
Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos”
yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti aturan. Sehingga otonomi diartikan
pengaturan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia otonomi adalah pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
![Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/20.jpg)
28
mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya.
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendri.41
Pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari
percakapan mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam konteks bentuk negara Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: “Negara
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”. Ketentuan konstitusional
itu memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan
pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang
berbentuk kesatuan (unitary) dan bukan berbentuk federasi (serikat). Oleh karena
itu, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (otonomi daerah), haruslah diletakkan dalam bingkai
pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka (6)
pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut
Suparmoko mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut Hanif Nurcholis
41 Ubedilah dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Indonesia Center for
Civic Education, Jakarta, 2000, hlm170.
![Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/21.jpg)
29
otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri
dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonomi sendri adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.42
Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undag-
undang.” Kemudian pada ayat (2) dikatakan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah
Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”
Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai daerah otonom, oleh Pasal
18 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 dikonsepsikan sebagai
Pemerintahan Daerah yang dikenal dengan sebutan provinsi, kabupaten, dan kota.
Disamping itu, selain sebagai daerah yang bersifat otonom, daerah-daerah
dimaksud dapat pula bersifat sebagai daerah yang bersifat khusus atau daerah
otonom istimewa sebagaimana dikatakan pada Pasal 18B Undang-undang Dasar
1945: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
42 Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm 76.
![Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/22.jpg)
30
2.2.2. Urgensi Otonomi Daerah
Secara garis besarnya dapat dikatakan, bahwa hadirnya satuan
pemerintahan teritorial yang lebih kecil dalam wilayah negara kesatuan Indonesia,
yaitu Pemerintah Daerah, yang di dalamnya mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa
alasan berikut:43
a) Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern yang lebih
menekankan pada upaya memajukan kesejahteraan umum (welfare state).
Peran demikian membawa konsekuensi pada semakin luasnya campur
tangan negara dalam mengatur dan mengurus aktivitas warga negara demi
pencapaian tujuan negara. Fakta kemajemukan (heterogenitas) masyarakat
Indonesia, baik dari segi teritorial, suku, golongan, dan agama, membawa
konsekuensi kepada kompleksnya persoalan-persoalan kemasyarakatan
yang harus dipecahkan oleh negara. Kenyataan Ini mendorong negara untuk
membuka jalur partisipasi masyarakat untuk ikut memikirkan dan
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Salah satunya, yaitu dengan
memberikan kesempatan kepada satuan pemerintahan teritoral terdekat
dengan rakyat, yaitu Pemerintah Daerah (local government) untuk terlibat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah
Daerah itu diberikan kewenangan-kewenangan tertentu untuk mengatur dan
mengurus aktivitas pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya;
43 Krishna D. Darumurti – Umbu Rauta, “Otonomi Daerah: Perkembangan Pemikiran,
Pengaturan dan Pelaksanaan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 17.
![Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/23.jpg)
31
b) Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara
sebagai organisasi kekuasaan, yang di dalamnya terdapat lingkungan-
lingkungan kekuasaan, baik pada tingkat supra struktur maupun
infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari
hal itu, diperlukan pemecahan kekuasaan (dispersed of power). Pemencaran
kekuasaan negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
dengan membentuk satuan-satuan teritorial yang lebih kecil dan dekat
dengan rakyat. Satuan teritorial tersebut dikenal dengan sebutan daerah-
daerah besar dan kecil (sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945);
c) Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya
kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan
kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya,
merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas
pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.
2.2.3. Sistem Otonomi Daerah
Mengenai sistem otonomi, para ahli menggunakan istilah lain untuk
maksud yang sama bagi penyebutan dan pengertian sistem otonomi.
Koesoemahatmadja menggunakan 2 (dua) istilah sekaligus, yakni sistem (begrip)
dan ajaran (leer). Sementara Tresna juga menggunakan berbagai istilah untuk
maksud yang sama, yaitu sistem, paham dan pengertian. Berbeda dengan mereka,
Liang Gie menggunakan 1 (satu) macam istilah saja, yakni sistem. Namun, yang
![Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/24.jpg)
32
dimaksud olehnya bukan sistem otonmi, melainkan sistem desentralisasi, dengan
alasannya bahwa yang dipersoalkan adalah tata cara pelimpahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah menurut suatu prinsip atau pola
pemikiran tertentu.44
Sedangkan istilah yang diperguakan dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 otonomi seluas-luasnya tidaklah disebut sebagai sistem, tetapi
prinsip. Berdasarkan pemahaman bahwa keanekaragaman istilah otonomi
dipergunakan untuk maksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan
acuan pengertian dari sistem otonomi, yakni patokan tentang cara penentuan
batas-batas urusan rumah tangga daerah.
Pada umumnya dikenal 2 (dua) sistem otonomi yang pokok, yaitu: (1)
sistem otonomi materiil, atau pengertian rumah tangga materiil (materiele
huishoudingsbegrip); (2) sistem otonomi formil, atau pengertian rumah tangga
formil (formeele huishoudingsbegrip). Di samping itu, ada juga sistem lain yang
merupakan kompromi antara kedua sistem itu yaitu: (3) sistem otonomi riil, atau
pengertian rumah tangga riil (riele huishoudingsbegrip).
Bila ditilik dari padanan kata “rumah tangga” adalah “huishouding”
(Belanda) yang berarti “inisiatif bebas untuk menjalankan tugas dan kewajiban”,
maka arti kata huishouding tersebut juga berpadanan arti dengan kata otonomi.
Oleh karena itu, kata rumah tangga dapat ditukar (diganti) dengan otonomi.45
Lebih lanjut dari ketiga sistem otonomi daerah dijelaskan sebagai berikut: 46
44 Ibid, hlm 19. 45 Ibid, hlm 20. 46 Ibid, hlm 20.
![Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/25.jpg)
33
1) Sistem Otonomi Materiil
Dalam pengertian sistem otonomi materiil, antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas (wewenng dan tanggung
jawab) yang eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang
pembentukan daerah, artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas yang
telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa
yang tidak tercantum dalam undang-undang pembentukan daerah, tidak
termasuk urusan Pemerintah Daerah Otonom, tetapi urusan Pemerintah
Pusat.
Cara penentuan tersebut di atas didasarkan pada keyakinan bahwa ada
perbedaan tugas yang asasi dalam menjalankan usaha-usaha memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat antara negara dan daerah-daerah
otonom yang lebih kecil. Di sini yang berbeda ialah materi yang menjadi
objek pengurusan dan pengaturan dari masyarakat hukum masing-masing
tersebut di atas. Oleh karena itulah, pengertian ini disebut sebagai sistem
otonomi materiil;
2) Sistem Otonomi Formil
Di dalam pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan sifat
antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan oleh
daerah-daerah otonom. Hal ini berarti apa yang dapat dilakukan negara
(Pemerintah Pusat), pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-
daerah otonom.
![Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/26.jpg)
34
Bila ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab), hal itu
semata-mata disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan
praktis, seperti efesiensi penyelenggaraan tugas pelayanan public. Artinya,
pembagian tugas itu tidaklah disebabkan materi yang diatur berbeda
sifatnya, tetapi adanya keyakinan bahwa kepentingan daerah-daerah dapat
lebih baik dan berhasil (lebih efesien) apabila diselenggarakan sendiri oleh
daerah-daerah itu masing-masing daripada oleh Pemerintah Pusat.
Dalam sistem otonomi formil yang demikian tadi, maka tidak terdapat
perbedaan sifat materi yang diurus oleh daerah-daerah sebagai masyarakat
hukum yang lebih kecil dan negara sebagai masyarakat hukum yang lebih
besar. Perbedaan tugas diadakan secara formil dengan membuat bentuk-
bentuk peraturan tertentu. Tugas dari daerah otonom secara normatif tidak
terperinci di dalam undang-undang pembentukannya, tetapi ditentukan
dalam suatu rumusan yang umum saja;
3) Sistem Otonomi Nyata
Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan
kebutuhan atau kemampuan yang riil dari daerah maupun Pemerintah Pusat
serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi.
Oleh karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini
didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa
konsekuensi bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang
Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, dengan
![Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/27.jpg)
35
memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan
mengurunya sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi wewenang
daerah pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu, dapat ditarik kembali
oleh Pemerintah Pusat.
Sistem ini merupakan jalan tengah atau percampuran dari sistem
otonomi materiil dan formil. Dalam arti, sistem ini mengandung anasir-
anasir, baik dari sistem otonomi materiil maupun sistem otonomi formil,
sehingga dapat dikatakan merupakan sistem tersendiri.
2.2.4. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Mengacu pada kaidah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
asas-asas penyelenggaraan Pemerintah Daerah terbagi dalam 3 (tiga) asas, yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
a) Desentralisasi
Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu De yang berarti lepas
dan Centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas diri dari pusat.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. mengenai asas desentralisasi ini dikenal beberapa macam
sistemnya yaitu: 47 (1) desentralisasi politik, adalah pelimpahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan
rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang
dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu; (2) desentralisasi
47 Ibid, hlm 12.
![Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/28.jpg)
36
fungsional, adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan
mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik
terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya mengurus
kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah
tertentu; (3) desentralisasi kebudayaan (culture decentralisatie) memberikan
hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk
menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama,
dan lain-lain).
Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, macam desentralisasi
yang lebih relevan sebagaimana diutarakan di atas adalah desentralisasi
politik, yaitu pemberian hak dan kewenangan pada badan-badan politik di
daerah-daerah, yaitu badan-badan yang mewakili rakyat dalam suatu daerah
yang didapat karena pemilihan.48 Desentralisasi politik juga mencakup
desentralisasi administrasi di dalamnya. Perlu diingat bahwa salah satu
bagian penting dari administrasi adalah organisasi. Sebuah organisasi selalu
terdiri atas jenjang hirarki. Jenjang hirarki ini ada yang tingkatannya banyak
dan ada yang tingkatannya sedikit. Misalnya, satuan pemerintahan yang
terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/kota.
Pada setiap jenjang hirarki terdapat pejabat yang bertanggung jawab
atas satuan organisasi yang menjadi wewenangnya. Gubernur bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pemerintah provinsi. Bupati bertanggung jawab
48 Ibid, hlm 13.
![Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/29.jpg)
37
atas penyelenggaraan pemerintah kabupaten. Dan walikota bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pemerintahan kota.
Organisasi yang besar dan kompleks seperti Negara Indonesia tak
akan efesien jika semua kewenangan politik dan administrasi dilektakan
pada puncak hirarki organisasi/pemerintah pusat, karena pemerintah pusat
akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup jika hanya
dilimpahkan secara dekonsentratif kepada para pejabatnya di beberapa
wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara
efesien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan politik dan administrasi
perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Jadi
desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari
puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi
dibawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan tersebut (politik dan
administrasi) diserahkan kepada pemerinta daerah.49
Karena jenjang hirarki yang lebih rendah (pemerintah daerah) tersebut
diserahi wewenang penuh, baik politik maupun administrasi, maka pada
jenjang organisasi yang diberi penyerahan wewenang tersebut timbul
otonomi. Otonomi artinya kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah
yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang
bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional;50
49 Hanif Nurcholis, “Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomis Daerah”, PT.
Grasindo, Jakarta, 2005, hlm 7-8.
50 Ibid, hlm 8-9.
![Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/30.jpg)
38
b) Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administratif dari
pemerintah pusat kepada pejabatnya yang berada pada wilayah negara di
luar kantor pusatnya. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah
wewenang administratif bukan politis. Wewenang politis tetap dipegang
oleh pemerintah pusat. Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah
penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administratif kepada
cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah.51
Dalam dekonsentrasi tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal
serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat
memiliki semua kekuasaan dalam dirinya sementara pejabat lokal
merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah.
Jadi, dalam dekonsentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi
(implementasi kebijakan politik) sedangkan kebijakan politiknya tetap
berada pada pemerintah pusat. Konsekuensinya, pejabat daerah yang
dilimpahi wewenang bertindak atas nama pemerintah pusat, bukan atas
nama dirinya sendiri yang mewakili pemilihnya;52
c) Tugas Pembantuan
Disamping asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia juga dikenal medebewind,
tugas pembantuan. Di Belanda medebewind diartikan sebagai pembantu
penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah
51 Ibid, hlm 14. 52 Ibid, hlm 15.
![Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/31.jpg)
39
yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah.
Menurut Bagir Manan tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah daerah
di bawahnya berdasarkan undang-undang.
Koesomahatmadja mengartikan medebewind sebagai pemberian
kemungkinan dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang lebih atas
untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah
tangga daerah yang tingkatannya lebih atas. Dalam menjalankan
medebewind tersebut urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah
daerah masih tetap merupakan urusan pusat/daerah yang lebih atas.53
Menurut Koesomahatmadja dalam sistem medebewind pemerintah
pusat atau daerah otonom yang lebih tinggi menyerahkan urusan yang
menurut peraturan perundang-undangan merupakan kewenangannya, kepada
daerah otonom di bawahnya. Daerah otonom yang diserahi ini lalu
melaksanakannya melalui perangkatnya (dinas-dinas). Dalam melaksanakan
tugas tersebut, aparat pelaksana (dinas-dinas tadi) bertanggung jawab kepada
kepala daerah (zelfuitvoering).54
2.3. Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan
Kata inkonsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak
berkesesuaian, bertentangan atau ketidakselarasan. Dengan demikian
inkonsistensi peraturan perundang-undangan bermakna dikarenakan adanya
pertentangan atau ketidakselarasan antara satu (atau lebih) ketentuan dengan
53 Ibid, hlm 16. 54 Ibid., hlm 17.
![Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/32.jpg)
40
ketentuan lainnya yang berlaku dalam suatu sistem peraturan perundang-
undangan. Menurut jenisnya, secara umum pertentangan hukum terbagi atas dua
jenis yakni : (1) Vertical adalah yang terjadi antara suatu peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hirarki yang berbeda;
(2) Horizontal adalah yang terjadi antara peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain dalam hirarki yang sama.
Dalam suatu sistem hukum penerapan peraturan perundang-undangan
dalam jumlah banyak secara bersamaan sudah tentu membawa konsekuensi
terjadinya inkonsistensi atau pertentangan hukum. Terdapat beberapa faktor yang
mengakibatkan terjadinya pertentangan hukum salah satunya menurut Kusnu
Goesniadhie dimana menurutnya tercermin oleh adanya faktor-faktor sebagai
berikut: 55 (1) Jumlah peraturan perundang-undangan terlalu banyak yang
diberlakukan; (2) Perbedaan kepentingan dan penafsiran; (3) Kesenjangan antara
pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang tata pemerintahan yang baik;
(4) Kendala hukum yang dihadapai dalam penerapan peraturan
perundangundangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum; (5) Hambatan
hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu
yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan.
Untuk mengantisipasi adanya inkonsistensi diperlukan upaya harmonisasi
atau penyelarasan. Dalam arti bahwa harmonisasi merupakan upaya maupun
proses untuk mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang bertentangan, dan
kejanggalan. Istilah harmonisasi dalam kajian berasal dari kata harmoni (bahasa
55 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujukan Tata Pemerintahan Yang
Baik, Nasa Media, Malang, 2010, hlm 11.
![Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/33.jpg)
41
Yunani harmonia), yaitu terikat secara serasi dan sesuai. Sementara itu, istilah
harmonized berarti if two or more things harmonize with each other or more thing
harmonizes with the other, the thing go well together and produce an attractive
result, sedangkan istilah harmony, yaitu a state of peacful existence and
agreement.
Menurut Kusnu Goesniadhie arti dari istilah harmoni adalah keselarasan,
keserasian, kecocokan, keseimbangan. Sedangkan arti harmonisasi dalam hukum
menurut LM Gandhi adalah mencakup penyesuaian, peraturan perundang-
undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum,
kepastian hukum keadilan (justice, gerechtigheid) dan kesebandingan (equity,
billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan. 56
Oleh karena itu, yang dimaksud harmonisasi perundang-undangan adalah
upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem
hukum sehingga menghasilkan peraturan yang harmonis. Dengan kata lain
pengharmonisan merupakan upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,
menetapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan lain
baik yang lebih tinggi (superior), sederajat, maupun yang lebih rendah (inferior)
dan lain-lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara
56 L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, Orasi Ilmiah
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 14
Oktober 1995).
![Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/34.jpg)
42
sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping).57
Harmonisasi merupakan konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-
undangan. Dengan dilakukan harmonisasi akan tergambar dengan jelas dalam
pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan
bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan,
sehingga normanya saling berkesesuaian.58
Upaya harmonisasi mempunyai fungsi yang menurut Wacipto Setiadi
bahwa selain untuk memenuhi ketentuan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, paling
tidak ada tiga alasan atau fungsi harmonisasi hukum, yaitu: (1)
Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan
kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan; (2) Harmonisasi hukum
dilakukan sebagai upaya prefentif, dalam rangka pencegahan diajukannya
permohonan judicial review peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan
kehakiman yang berkompeten; (3) Menjamin proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dilakukan secara taat asas hukum, demi kepentingan dan
kepastian hukum.59
57 Ade Arif Firmansyah dan Malicia Evendia, “Harmonisasi Pengaturan Kewenangan
Daerah Bidang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan” Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, No. 65, April 2015, hlm 24.
58 Kusnu Goesniadhie, dalam Tisnanta et all, Kegiatan Sinkronisasi dan Harmonisasasi
Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pendaftaran Tanah, Kerjasama FH Unila-BPN RI,
2012, hlm 6-7. 59 Wacipto Setiadi, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki
Kualitas Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legeslatif Indonesia vol. 4 No. 2. Juni 2007,
hlm 48.
![Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/35.jpg)
43
2.4. Hasil Penelitian
2.4.1. Kontradiksi Vertikal
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menandai era baru di bidang
pertambangan. Hal ini ditandai oleh perubahan bentuk pelaksanaan kegiatannya
dimana sebelumnya menganut rezim kontrak kemudian beralih ke rezim izin.
Tidak hanya itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 juga sudah mengakomodir
prinsip otonomi daerah disamping juga sudah memasukan kewajiban-kewajiban
penting bagi pelaku usaha pertambangan seperti kewajiban pemurnian (smelter)
dan divestasi.
Orientasi dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah dengan
memberikan perhatian yang sama terhadap konservasi dan peningkatan porduksi.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 mulai diberlakukan efektif sejak Januari
2010, namun tentu untuk berlakunya menunggu terbentuknya berbagai peraturan
pemerintah dan peraturan menteri sebagai pelaksanaannya sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 sendiri.60
Selama kurun waktu sekitar 4 (empat) tahun, yaitu hingga Oktober tahun
2014 sudah dibentuk 32 peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 dimana terdiri dari peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Terakhir
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya
disebut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017) serta Permen ESDM Nomor
25 Tahun 2018. Dikeluarkannya peraturan baru tidak menjamin terwujudnya
60 Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambanga: Dibawah Rezim UU Nomor 4 Tahun 2009,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, hlm 12.
![Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/36.jpg)
44
pencapaian baru, justru terkadang menimbulkan masalah baru. Hal ini terjadi pada
ketentuan yang terdapat di dalam Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 terhadap
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (vertical).
Ketentuan Pasal 60 Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 melanggar
batasan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 karena
mengatur mengenai divestasi. Pasal 127 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
yang menyebutkan bahwa pengaturan lebih lanjut yang dapat diatur oleh
peraturan menteri adalah kententuan yang tercantum pada Pasal 124, 125, dan 126
mengenai Usaha Jasa Pertambangan. Berdasarkan pemaparan inkonsistensi yang
terjadi, maka perlu upaya harmonisasi, karena ketidakselarasan yang terjadi antara
suatu ketentuan dengan ketentuan yang lainnya dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Secara umum asas hukum bertujuan untuk memberikan pedoman atau
arahan yang layak/pantas dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan
hukum. Pedoman demikian memberikan landasan mana hukum yang dapat dan
boleh dijalankan. Mengutip O. Notohamidjojo, dapat dijelaskan: “… asas-asas
hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah (richtlijn) dalam pembentukan hukum
positif, dalam arti asas-asas hukum yang berguna bagi praktik hukum.”61 Dalam
kaitannya dengan pembentukan perundang undangan, penulis sependapat dengan
Philipus M. Hadjon yang mengemukakan bahwa:
“… pada hakikatnya asas peraturan perundang-undangan yang
baik berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan
hukum, maupun sebagai dasar pengujian terhadap hukum yang
berlaku. Dengan demikian, dari segi pembentukan aturan hukum
61 Notohamidjojo, Keadilan dan Kemanusiaan (Beberapa Bab dari Filsafat Hukum), BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm 49-50.
![Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/37.jpg)
45
misalnya pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah
menjadi pedoman dalam perancangan undang-undang.” 62
Penulis menggunakan pendapat dari Philipus M. Hadjon dimana kalimat
“sebagai dasar pengujian terhadap hukum yang berlaku” merupakan landasan
penggunaan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagai
dasar pengujian terhadap inkonsistensi yang terjadi antara Undang-undang Nomor
4 Tahun 2009 dengan Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan mengandung
ketentuan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan. Asas ini memberikan pedoman terhadap materi
yang dapat dimuat harus sesuai dengan jenis dan hierarki dari peraturan
perundang-undangan yang akan dibentuk.
Berkaitan isu pada subbab ini, penulis mengartikan jenis dan hierarki
Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tidak berdasarkan jenis dan hierarki secara
umum yakni keseluruhan produk peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang dijelaskan dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011), melainkan lebih khusus yakni berdasarkan Pasal 127 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menyebutkan: “Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.”
62 Philipus M. Hadjon, Op Cit., 1994, hlm 2.
![Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/38.jpg)
46
Pasal tersebut memberikan arti bahwa Permen ESDM Nomor 25 Tahun
2018 dilihat dari jenis dan hierarkinya berkedudukan sebagai peraturan pelaksana
dimana ketentuan materi muatan di dalamnya mengatur mengenai
penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
124, Pasal 125, dan Pasal 126. Berdasarkan Pasal 124 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan jenis usaha jasa pertambangan meliputi: (a)
konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: (1)
penyelidikan umum; (2) eksplorasi; (3) studi kelayakan; (4) konstruksi
pertambangan; (5) pengangkutan; (6) lingkungan pertambangan; (7)
pascatambang dan reklamasi; dan/atau (8) keselamatan dan kesehatan kerja. (b)
konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang: (1) penambangan;
atau (2) pengolahan dan pemurnian. Dalam ayat tersebut tidak mencantumkan
sama sekali mengenai divestasi sebagai bagian dari jenis usaha jasa
pertambangan. Perlu diketahui divestasi saham sendiri adalah jumlah saham asing
yang harus ditawarkan untuk dijual kepada Peserta Indonesia. Kewajiban divestasi
ditujukan khusus untuk kegiatan usaha pertambangan yang modalnya berasal dari
saham asing (investor). Divestasi saham merupakan kewajiban bagi pemegang
IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi yang sahamnya mayoritas
dimiliki oleh investor asing. Dengan demikian, divestasi saham bukalah bagian
dari kegiatan Usaha Jasa Pertambangan dikarenakan izinnya sendiri berbeda yakni
Izin Usaha Jasa Pertambangan.
Dari pemaparan diatas, letak inkonsistensi yang terjadi tidak pada hierarki,
melainkan pada jenis dan materi muatan. Hal ini dikarenakan batasan pada Pasal
127 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 membenarkan kedudukan atau hierarki
![Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/39.jpg)
47
dari Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksanaannya. Dikatakan melanggar
jenis dan materi muatan dikarenakan tidak seharusnya ketentuan mengenai
divestasi diatur dalam bentuk Peraturan Menteri, melainkan Peraturan Pemerintah.
Hans Kelsen dalam teorinya mengenai Stufenbau des Recht atau The
Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan
berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah
yang lebih tinggi.63 Menurut pandangan Hans Kelsen hukum adalah sah (valid)
apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang serta berdasarkan
norma yang lebih tinggi sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang –
jenjang serta berlapis – lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya.
Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar
1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang
Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-undang
Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan ini
ditindaklanjuti dengan pemebentukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
63 Ni’ matul Huda, Op. Cit., hlm 23.
![Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/40.jpg)
48
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 diatur mengenai sistem
peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis. Hierarki tersebut
dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal sebagai berikut: Pasal 7 ayat (1)
dan Pasal 8 ayat (1) dan (2). Pasal 7 ayat (1) menyebutkan: “Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-Undang Dasar 1945; (b)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan
Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.”
Kemudian Pasal 8 ayat (1): “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Kemudian ayat (2):
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.”
Hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
undang Dasar 1945 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-
![Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/41.jpg)
49
undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas. Hirarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7
ayat (2), yang berbunyi: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Dengan ketentuan ini maka telah jelas diatur kekuatan hukum dan
kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi
peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-
undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan
peraturan perundangan di atasnya. Dalam hal ini berlaku asas lex superior delogat
legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah.
Mengenai peraturan menteri (selanjutnya disebut permen), perihal
posisinya dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang tidak disertakan
secara jelas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Untuk itu, penulis
menilai posisi hierarkinya berdasarkan fungsi dari permen. Menurut penjelasan
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud permen
adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Sesuai dengan tugas
dan fungsi seorang Menteri menurut Pasal 17 Undang-undang Dasar 1945, maka
![Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/42.jpg)
50
fungsi dari permen adalah sebagai berikut:64 (a) Menyelenggarakan pengaturan
secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di
bidangnya; (b) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Peraturan Presiden. Oleh karena fungsi permen di sini sifatnya delegasian dari
Peraturan Presiden, maka permen di sini sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut
dari kebijakan yang oleh Presiden dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden;
(c) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang
yang tegas-tegas menyebutnya; (d) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.
Berdasarkan fungsi tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa posisi
dari permen dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai
peraturan pelaksana atau peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan yang
berada diatasnya Peraturan Presiden atau lebih tinggi. Hal berarti menempatkan
permen dibawah Peraturan Presiden.
Berkaitan dengan inkonsistensi yang terjadi antara Permen ESDM Nomor
25 Tahun 2018 dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Peraturan Menteri
sebagai peraturan perundang-undangan delegasian (delegated legislation) atau
secondary legislation dari suatu undang-undang pada prinsipnya mengatur lebih
lanjut materi yang diatur dalam undang-undang yang mendelegasikannya. Pada
prinsipnya peraturan perundang-undangan hanya mungkin dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi. Secara hierarki,
kedudukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan
Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018. Maka penulis berpendapat bahwa pilihan
64 King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-undangan dan Aspek Pengujiannya,
Thafa Media, Yogyakarta, 2017, hlm 80.
![Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/43.jpg)
51
harmonisasi yang dapat ditempuh adalah dengan memberlakukan asas lex
superior derogat legi inferiori, dengan mengenyampingkan Pasal 60 Permen
ESDM Nomor 25 Tahun 2018 dan tetap berpedoman pada Pasal 112 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan batasan bagi pengaturan lebih
lanjut mengenai divestasi hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah yakni melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.
2.4.2. Kontradiksi Horizontal
Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai
hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.65
Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang
(competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari
undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan,
artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-
undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang disebutkan di dalam
kewenangan itu. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan
diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan
atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-
undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal
dari pelimpahan.66
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian
hukum tata Negara dan hukum administrasi. Hal ini dikarenakan setiap tindakan
65 Tim Bahasa Pustaka, 1996. Hlm 1128. 66 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih. disampaikan pada Pidato pengukuhan Guru besar di FH UNAIR 10
Oktober 1994, hlm 4.
![Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/44.jpg)
52
pemerintah diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa
adanya kewenangan yang sah maka seorang pejabat atau badan tata usaha negara
tidak dapat melaksanakan suatu tindakan pemerintahan. Begitu juga kewenangan
dalam pengelolaan pertambangan minerba dimana kewenangan tersebut terbagi
antara pemerintah pusat dan daerah yang dilakukan dengan menerbitkan izin.
Kewenangan daerah dalam pengelolaan pertambangan minerba salah satunya
dilakukan dengan menerbitkan izin pertambangan mineral bukan logam dan
batuan, yang biasanya disebut Izin Pertambangan Rakyat atau pertambangan
rakyat. Kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan ini diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum
nasional dan kepentingan umum. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah
undang-undang yang dibentuk untuk mengatur kewenangan Pemerintah Daerah
baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Salah satu kewenangan tersebut
adalah berkenaan dengan pemberian izin usaha pertambangan dalam bentuk Izin
Pertambangan Rakyat, yang merupakan izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan
investasi terbatas.
Dalam Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan
Sumber Daya Mineral yang terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
disebutkan bahwa kewenangan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat untuk
komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam
![Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/45.jpg)
53
wilayah pertambangan rakyat adalah kewenangan pemerintah provinsi. Adapun
rincian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Penetapan wilayah izin
usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam 1 (satu) Daerah
provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil; (b) Penerbitan izin usaha
pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman modal dalam
negeri pada wilayah izin usaha pertambangan Daerah yang berada dalam 1 (satu)
Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut; (c) Penerbitan
izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka
penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang
berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12
mil laut; (d) Penerbitan Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral
logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan
rakyat; (e) Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk
pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang
komoditas tambangnya berasal dari (satu) Daerah provinsi yang sama; (f)
Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam
rangka penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu)
Daerah provinsi; (g) Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009, kewenangan pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas
mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah
pertambangan rakyat merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Adapun rincian mengenai ketentuan tersebut sebagai berikut: (1) Kewenangan
pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
![Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/46.jpg)
54
batubara, antara lain, adalah: (a) pembuatan peraturan perundang-undangan
daerah; (b) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat,
dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut sampai dengan 4 (empat) mil; (c) pemberian IUP dan IPR, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut sampai dengan 4 (empat) mil; (d) penginventarisasian, penyelidikan dan
penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral
dan batubara; (e) pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten /kota; (f)
penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah
kabupaten/kota; (g) pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat
dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; (h)
pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha
pertambangan secara optimal; (i) penyampaian informasi hasil inventarisasi,
penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada
Menteri dan gubernur; (j) penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam
negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; (k) pembinaan dan pengawasan
terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan (l) peningkatan kemampuan
aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
Berdasarkan kedua ketentuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 jelas terjadi inkonsistensi mengenai
kewenangan daerah dalam pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas
![Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/47.jpg)
55
mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah
pertambangan rakyat dimana berdasarkan Lampiran Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang terdapat pada
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 kewenangan tersebut menjadi milik
Pemerintah Daerah provinsi namun berbeda dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 dimana di dalam Pasal 8 dikatakan secara jelas kewenangan tersebut
merupakan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Inkonsistensi ketentuan antar undang-undang yang mengatur kewenangan
pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara,
mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat tentu saja
membawa dampak negatif bagi kegiatan pengelolaan pertambangan. Oleh karena
itu diperlukan upaya harmonisasi untuk mengantisipasi adanya pertentangan
ketentuan antar undang-undang yang mengatur kewenangan pemberian Izin
Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan
logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat karena jika tidak, kondisi
ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan Lampiran
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang
terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan produk aturan
yang secara hierarki sejajar, untuk itu penulis menggunakan Pasal 18 angka (2)
Undang-undang Dasar 1945 sebagai titik awal pembahasan dikarenakan relevansi
dan kedudukannya diatas kedua undang-undang tersebut yakni sebagai
Staatsgrundgesetz. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 mengenai
Pemerintah Daerah menyebutkan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten,
![Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/48.jpg)
56
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.” Kemudian pada angka 5 dikatakan bahwa
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan”67
Lebih lanjut mengenai otonomi daerah itu diatur dalam bentuk Undang-
Undang dimana untuk pembagian urusan itu terdapat dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014. Pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 menyebutkan:
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Kalimat “otonomi seluas-luasnya” mempunyai arti bahwa daerah diberikan
keleluasaan atau penyerahan wewenang (desentralisasi) untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. Pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
67 Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Bab VI, Pasal 18 angka (2) dan (5).
![Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/49.jpg)
57
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan
kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.
Terdapat dua bentuk cara penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada daerah yakni: (1) Ultra vires doctrine yaitu pusat
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara
merinci satu per satu. Sisa wewenang dari wewenang yang diserahkan kepada
daerah otonom secara terperinci tersebut tetap menjadi wewenang pusat; (2) Open
end arrangement atau general competence yaitu daerah otonom boleh
menyelenggarakan semua urusan di luar dimiliki pusat. Artinya, pusat
menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan
pusat. Di sini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang
diserahkan ke daerah. Bentuk yang pertama merupakan bentuk penyerahan
wewenang yang terdapat pada sistem otonomi materiil. Sedangkan yang kedua
merupakan bentuk penyerahan wewenang pada sistem formil.
Jika melihat model yang dianut oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 maka lebih condong pada sistem otonomi formil dimana dalam penyerahan
wewenangnya menganut model open end arrangement atau general competence.
Hal ini tercermin pada Pasal 10 yang merinci urusan mutlak yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat yaitu: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c)
keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiscal nasional; (f) agama. Sedangkan
![Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/50.jpg)
58
urusan diluar dari ketentuan tersebut pada prinsipnya dapat menjadi kewenangan
daerah.
Dasar pelaksanaan prinsip otonomi daerah terdapat pada Pasal 9 angka (4)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan: “Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah.” Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat
ketentuan yang mengatur mengenai urusan penyelenggaraan pemerintahan.
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah
urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,
urusan pemerintahan konkuren adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota, dan urusan
pemerintahan umum adalah urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan
Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup
Urusan Pemerintahan tersebut.
Perlu diketahui bahwa kewenangan daerah dalam kegiatan pengelolaan
sumber daya mineral berada dalam Urusan Pemerintahan Pilihan yang merupakan
sub urusan dari Urusan Pemerintahan Konkuren sehingga fokus penulis hanya
pada urusan pemerintahan konkuren dikarenakan urusan pemerintahan absolut
dan urusan pemerintahan umum bukanlah urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah. Dalam urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
![Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/51.jpg)
59
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua
Daerah. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar. Tafsiran mengenai Pelayanan Dasar sendiri jika
mengacu Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 meliputi: (a)
Pendidikan; (b) Kesehatan; (c) Pekerjaan umum dan penataan ruang; (d)
Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman; (e) Ketenteraman, ketertiban umum,
dan pelindungan masyarakat; (f) Sosial.
Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar mengacu pada Pasal 12 ayat (2) meliputi: (a) Tenaga kerja; (b)
Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; (c) Pangan; (d) Pertanahan; (e)
Lingkungan hidup; (f) Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; (g)
Pemberdayaan masyarakat dan Desa; (h) Pengendalian penduduk dan keluarga
berencana; (i) Perhubungan; (j) Komunikasi dan informatika; (k) Koperasi, usaha
kecil, dan menengah; (l) Penanaman modal; (m) Kepemudaan dan olah raga; (n)
Statistik; (o) Persandian; (p) Kebudayaan; (q) Perpustakaan; (r) Kearsipan.
Kemudian Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang
wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Mengacu pada Pasal 12 ayat (3) menjabarkan urusan yang termasuk dalam
kategori Urusan Pemerintahan Pilihan yakni meliputi: (a) Kelautan dan perikanan;
(b) Pariwisata; (c) Pertanian; (d) Kehutanan; (e) Energi dan sumber daya mineral;
(f) Perdagangan; (g) Perindustrian; (h) Transmigrasi.
![Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/52.jpg)
60
Dengan dimasukannya urusan energi dan sumber daya mineral pada Pasal
12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 kedalam kategori urusan Pemerintahan
Pilhan yang merupakan salah satu sub urusan pemerintahan konkuren, maka
Pemerintah Daerah mempunyai hak untuk ikut serta mengelola sumber daya alam
sebagai bagian dari urusan rumah tangganya. Namun hal ini tidak menjadikan
Pemerintah Daerah mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan sumber
daya alam. Terdapat ketentuan yang mengatur kriteria pembangian urusan
pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
Pembagian kriteria Urusan Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 13 ayat
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Kriteria Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat berdasarkan ayat (2) meliputi: (a) Urusan
Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (b) Urusan
Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (c)
Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara; (d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau (e)
Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Kemudian Kriteria Urusan Pemerintah Daerah yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi berdasarkan ayat (3) meliputi: (a) Urusan Pemerintahan yang
lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang
penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan Pemerintahan yang
manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau (d)
![Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/53.jpg)
61
Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Sedangkan Kriteria Urusan Pemerintah Daerah yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota berdasarkan ayat (4) meliputi: (a) Urusan Pemerintahan
yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang
penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan Pemerintahan yang
manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
(d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Jika melihat ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 dan membandingkannya dengan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur Izin Pertambangan Rakyat, maka bentuk
Izin Pertambangan Rakyat akan lebih condong masuk dalam kriteria Pasal 13 ayat
(4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Penulis mempunyai 2 (dua)
pertimbangan. Pertama, dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 menyebutkan: “Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk
setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.”
Dalam ayat tersebut memberikan kekhususan kepemilikan dari Izin
Pertambangan Rakyat dengan mengutamakan penduduk setempat (baik
perseorangan, kelompok dan/atau koperasi). Hal ini sejalan dengan Pasal 13 ayat
(4) huruf (c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dimana pengaturan Pasal 67
ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dimaksudkan memberikan manfaat
bagi masyarakat setempat di wilayah daerah kabupaten/kota.
![Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/54.jpg)
62
Kedua, mengenai letak atau lokasi dari WPR atau Wilayah Pertambangan
Rakyat. Pasal 21 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan: “WPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.”
Berdasarkan pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa letak lokasi
pertambangan rakyat berada di dalam wilayah suatu kabupaten/kota dikarenakan
penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan oleh bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis berpendapat bahwa
kewenangan pemerintah provinsi pada Lampiran Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan asas otonomi karena memangkas
peran negara dalam pengelolaan sumber daya mineral pada tingkat terendah yakni
kabupaten/kota dengan meniadakan urusan yang secara undang-undang (dan
sebagai dasar pelaksanaan asas otonomi dengan sistem formil) memenuhi kriteria
sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.
Pilihan pengharmonisasian yang penulis berikan adalah berdasar pada
prinsip-prinsip yang menjadi dasar pembagian urusan pemerintahan
(akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas) dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 dan sifat dari Izin Pertambangan Rakyat (Pasal 21 dan 67 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009). Berkaitan dengan prinsip pembagian
urusan pemerintahan pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa:68 (1)
Prinsip akuntabilitas adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu Urusan
68 Republik Indonesia, Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah, pasal 13 ayat (1).
![Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/55.jpg)
63
Pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu Urusan
Pemerintahan; (2) Prinsip efisiensi adalah penyelenggara suatu Urusan
Pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling
tinggi yang dapat diperoleh; (3) Prinsip ekstrenalitas adalah penyelenggara suatu
Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan.
Pada prinsip akuntabilitas dan prinsip eksternalitas dalam menentukan
penanggungjawab penyelenggaraan/penyelenggara adalah berdasarkan pada luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan. Dalam kaitannya dengan Izin
Petambangan Rakyat adalah izin yang dikeluarkan untuk skala pertambangan
kecil (rakyat). Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah untuk 1 (satu) Izin
Pertambangan Rakyat yang hanya berkisar antara 1 (satu) hingga 10 (sepuluh)
hektare dan luas total dari 1 (satu) Wilayah Pertambangan Rakyat hanya 25 (dua
puluh lima) hektare. Dengan demikian jangkauan dampak dari izin tersebut
terbatas yakni hanya bersifat lokal. Oleh karena akan lebih tepat jika
bupati/walikota sebagai penanggungjawab penyelenggaraan dari izin tersebut.
Sedangkan prinsip efesiensi berpangkal pada tingkat daya guna yang
paling tinggi yang dapat diperoleh. Pada Izin Pertambangan Rakyat Pasal 67 ayat
(1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 memberikan kekhususan kepemilikan
dari Izin Pertambangan Rakyat dengan mengutamakan penduduk setempat (baik
perseorangan, kelompok dan/atau koperasi). Hal ini bukan tanpa alasan, jika
melihat luas wilayah untuk 1 (satu) Izin Pertambangan Rakyat yang hanya
berkisar antara 1 (satu) hingga 10 (sepuluh) hektare kemudian juga luas dari
![Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022060823/609c9c96e6ff2d353c34ca69/html5/thumbnails/56.jpg)
64
Wilayah Pertambangan Rakyat hanya 25 (dua puluh lima) hektare dengan
kedalaman maksimal 25 (dua pulih lima) meter maka dapat disimpulkan bahwa
model dari Izin Pertambangan Rakyat adalah model investasi pertambangan yang
sifatnya terbatas, artinya bahwa modal yang dimiliki oleh pemegang Izin untuk
mengusahakan kegiatan penambangan rakyat tidak terlalu banyak. Maka dengan
demikian tingkat daya guna yang paling tinggi (baik itu kemampuan
mendatangkan hasil dan melaksanakan urusan) yang dapat diperoleh ada pada
skala lokal atau kedaerahan tidak lintas daerah atau bahkan nasional. Oleh karena
itu akan lebih tepat jika kewenangan izin berskala kecil tersebut diberikan kepada
satuan pemerintahan Kabupaten/Kota.
Kecocokan antara prinsip pembagian urusan pemerintahan (akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas), dan sifat dari Izin Pertambangan Rakyat menjadi
landasan bagi penulis untuk memilih mengesampingkan Lampiran Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang terdapat
pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan tetap berpedoman pada
ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur wewenang
kabupaten/kota atas Izin Pertambangan Rakyat.