bab ii tinjauan pustaka dan hasil penelitian ......pemahaman, pidato disampaikan pada upacara...

56
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN TENTANG INKONSISTENSI KETENTUAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA 2.1. Tinjauan Pustaka Tentang Peraturan Perundang-undangan 2.1.1. Pengertian Dalam kajian teori dan praktik hukum di Indonesia terdapat beberapa istilah yang sering digunakan, baik istilah perundangan, peraturan perundangan, atau peraturan perundang-undangan, atau istilah lain, seperti peraturan negara dan lainnya. 11 Hal ini pun terjadi pada beberapa aturan hukum di Indonesia dimana Tap MPRS No. XX/MPRS tentang Memorandum DPR GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia menyebutkan istilah Peraturan Perundangan. Sementara Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan, Undang-undang No. 10 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara resmi menggunakan istilah Peraturan Perundang-undangan. Istilah perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wettelijk berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang dan bukan 11 Lailam, Op.Cit., 2017, hlm 1.

Upload: others

Post on 24-Dec-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN

TENTANG INKONSISTENSI KETENTUAN HUKUM

DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL

DAN BATUBARA

2.1. Tinjauan Pustaka Tentang Peraturan Perundang-undangan

2.1.1. Pengertian

Dalam kajian teori dan praktik hukum di Indonesia terdapat beberapa

istilah yang sering digunakan, baik istilah perundangan, peraturan perundangan,

atau peraturan perundang-undangan, atau istilah lain, seperti peraturan negara dan

lainnya.11 Hal ini pun terjadi pada beberapa aturan hukum di Indonesia dimana

Tap MPRS No. XX/MPRS tentang Memorandum DPR – GR Mengenai Sumber

Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik

Indonesia menyebutkan istilah Peraturan Perundangan. Sementara Tap MPR No

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan, Undang-undang No. 10 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara resmi

menggunakan istilah Peraturan Perundang-undangan.

Istilah perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan

dari wettelijke regeling. Kata wettelijk berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan

wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang dan bukan

11 Lailam, Op.Cit., 2017, hlm 1.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

10

dengan undang. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang, maka terjemahan

wettelijke regeling ialah peraturan perundang-undangan. 12 Menurut Attamimi

peraturan perundang-undangan adalah peraturan negara, di tingkat Pusat dan di

tingkat Daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan,

baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi.13

Sedangkan S. J. Fockema Andrea dalam bukunya “Rechtsgaleerd

Handwoorden Boek” mengartikan peraturan perundang-undangan dengan dua

pengertian yang berbeda, yaitu (1) Perundang-undangan merupakan proses

pembentukan/ proses membentuk peraturan perundang-undangan negara, baik di

Pusat maupun di Daerah; dan (2) Perundang-undangan adalah segala peraturan

negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan perundang-undangan, baik

Pusat maupun di Daerah.14

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, pengertian peraturan perundang-

undangan adalah: 15

“…keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang

berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang

melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama – sama dengan

pemerintah ataupun yang melibatkan peran pemerintah karena

kedudukan politiknya dalam melaksanakan produk legislatif yang

ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama – sama dengan

pemerintah menurut tingkatannya masing – masing.”

12 Yuliandri, Asas – asas Pembentukan Peraturan Perundang – undangan yang Baik,

Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm 25.

13 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang – undangan, Mandar Maju,

Bandung, 1998, hlm 19.

14 A Hamid S. Attamimi, Teori Perundang – undangan Indonesia: Suatu Sisi Ilmu

Pengetahuan Perundang – undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan

Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta, pada 25 April 1992, hlm 41.

15 Yuliandri, Op. Cit., hlm 39.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

11

Sedangkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 pada Pasal 1 angka 2

menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis

yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur

yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Dengan kata lain bahwa peraturan perundang-undangan mengandung dua

arti. Pertama, proses pembentukan peraturan – peraturan negara dari jenis yang

tertinggi, yaitu undang-undang (wet) sampai yang terendah. Kedua, keseluruhan

produk peraturan negara tersebut.16

2.1.2. Asas-asas Peraturan Perundang - undangan

Hans Kelsen dalam teorinya mengenai Stufenbau des Recht atau The

Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan

berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang

lebih tinggi.17 Menurut pandangan Hans Kelsen hukum adalah sah (valid) apabila

dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang serta berdasarkan norma yang

lebih tinggi sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma

yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang – jenjang serta berlapis –

16 Enny Nurbaningsih, 2004, Heirarki Baru Peraturan Perundang – undangan, Jurnal

Mimbar Hukum Volume X Nomor 48, hlm 26.

17 Ni’ matul Huda, Teori & Pengujian Peraturan Perundang – undangan Yang Baik, Nusa

Media, Bandung, 2011, hlm 23.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

12

lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,

bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya.18

Kemudian terdapat teori dari Adolf Merkl. Adolf Merkl adalah murid dari

Hans Kelsen. Teori Merkl ini diilhami oleh teori hirarki atau jenjang atata hukum

dari Kelsen. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan hukum (die Lehre vom

Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem tata urutan

hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan tindakan

hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi untuk pembuatan norma lain

atau tindakan.19

Lebih lanjut Merkl mengatakan dalam teorinya bahwa suatu norma selalu

mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlizt). Arti dari “dua wajah” dalam

teori Merkl ini adalah suatu norma hukum ia selalu bersumber dan berdasar pada

norma yang ada di atasnya, tetapi juga ke bawah ia menjadi dasar dan menjadi

sumber bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini membawa konsekuensi logis

bahwa dalam teori Merkl dikarenakan norma itu selalu berdasar pada apa yang

ada di atasnya maka konsekuensinya adalah mempunyai masa berlaku yang

relatif. Hal ini dikarenakan norma tersebut bergantung dengan norma yang berada

di atasnya, yang menjadi sumber pembuatannya. Apabila norma hukum yang

berada di atasnya dicabut atau dihapus maka secara otomatis norma – norma yang

berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.

Terakhir terdapat teori Hans Nawiasky dimana teorinya jug dikembangkan

berdasarkan teori Hans Kelsen. Dalam teorinya yang mengkaitkan jenjang norma

18 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Russell

& Russell, New York, 1973, jlm. 111. Dikutip kembali oleh A. Hamid S. Attamimi, Op. Cit, hlm

303.

19 Ni’ matul Huda, Op. Cit., hlm 25.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

13

hukum dengan keberadaan suatu negara, jenjang norma hukum tersebut tidak

hanya berlapis – lapis dan berjenjang tetapi juga berkelompok – kelompok.

Struktur sistem norma yang berlapis atau berjenjang itu oleh Hans Nawiasky

kemudian dikualifikasikan menjadi empat tingkatan norma hukum yang

berurutan, terdiri atas: (1) Tingkat Pertama: Staatsfundamentalnorm atau

staatsgrundnorm (dalam teori Hans Kelsen) yaitu norma fundamental negara,

norma pertama atau norma dasar; (2) Tingkat Kedua: Staatsgrundgesetz, yaitu

norma hukum dasar negara, aturan pokok, atau konstitusi; (3) Tingkat Ketiga:

Formell gesetz yaitu norma hukum tertulis, undang-undang, dan norma hukum

konkrit; (4) Tingkat Keempat: Verordnung dan autonome satzung, aturan

pelaksana dan aturan hukum.

Baik Hans Kelsen, Adolf Merkl maupun Hans Nawiasky, teori mereka

bertiga pada dasarnya memberikan ajaran mengenai tata urutan peraturan

perundang-undangan. Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan

demikian mengandung beberapa prinsip: (1) Peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya; (2)

Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau

memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih

tinggi; (3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya; (4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya

dapat dicabut atau diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat; (5) Peraturan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

14

perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, maka

peraturan yang terbaru harus diberlakukan. (6) Peraturan perundang-undangan

yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan

perundang-undangan yang lebih umum.

Dalam teori peraturan perundang-undangan juga berlaku beberapa asas-

asas hukum yang menjadi rujukan universal yang sebenarnya merupakan

konsekuensi dari teori-teori Hans Kelsen, Adolf Merkl maupun Hans Nawiasky.

Menurut Sudikno Mertokusumo: 20

“… asas-asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum

konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau

petunjuk bagi hukum yang berlaku dan pembentukan hukum praktis

perlu berorientasi pada asas atau prinsip hukum, sehingga dengan kata

lain asas atau prinsip hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah

dalam pembentukan hukum positif.”

Asas-asas umum adalah asas-asas hukum yang berfungsi menafsirkan

aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi perilaku, sekalipun tidak

secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-asas

hukum tersebut ada yang berfungsi untuk menentukan derajat hukumnya atau

kevalidan hukum. Beberapa asas hukum yang bersifat menentukan derajat atau

kevalidan hukum, seperti asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang

derajatnya lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang derajatnya lebih

rendah) asas ini lahir dari bangunan heirarkisitas peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan membentuk bangunan yang berlapis-lapis,

berjenjang, dan berkelompok, dengan tujuan menentukan derajat validitas norma

20 Mertokusumo, Op.Cit., hlm 5.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

15

masing-masing agar tercipta sistem norma hukum yang harmonis secara vertical.

Derajat norma yang tersusun hirarkis tersebut menentukan norma hukum

yang lebih tinggi dan rendah, dengan konsekuensi norma hukum yang lebih

rendah akan bergantung dan bersumber pada norma hukum yang derajatnya lebih

tinggi, jika ada peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah

yang derajatnya lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah dapat

dikesampingkan (dibatalkan bahkan batal demi hukum).21

Asas lex specialis derogate legi generali (peraturan yang bersifat khusus

mengesampingkan peraturan bersifat umum) adalah salah satu asas hukum, yang

mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan

aturan hukum yang umum. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan

undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus

tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang

lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.22 Ada

beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas ini lex specialis derogate legi

generali yakni: (1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum

tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; (2)

Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex

generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan (3) Ketentuan-ketentuan

lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex

21 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 206.

22 Eddy OS Hiariej dkk, 2009, Persepsi dan Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi

Generali di Kalangan Penegak Hukum, Laporan Penelitian, Yogyakarta, Fakultas Hukum

Universitas Gajah Mada, hlm 5.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

16

generalis. (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan).23

Asas lex posterior derogate legi priori (peraturan yang baru

mengenyampingkan peraturan yang lama). Hukum yang lama bisa lahir dari

beberapa kondisi, baik karena hukum yang menjadi landasan (jenjang keatas)

kehilangan daya laku (seperti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 kehilangan

daya laku karena pasal-pasal penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-

undang Dasar 1945 mengalami perubahan) atau dikarenakan ada hukum yang

baru (seperti Undang-undang No. 10 Tahun 2004 kehilangan daya laku setelah

dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2011). Asas lex posterior derogate

legi priori berangkat dari kondisi dimana peraturan yang berada di bawah akan

kehilangan daya laku/ validitasnya jika ketentuan peratruan di atas yang

melandasi sudah di amandemen atau sudah dicabut dan diganti yang baru.

Selain asas-asas umum tersebut terdapat juga asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut Philipus M. Hadjon

mengemukakan bahwa fungsi asas peraturan perundang-undangan adalah:

“… pada hakikatnya asas peraturan perundang-undangan yang baik

berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan hukum,

maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku.

Dengan demikian, dari segi pembentukan aturan hukum misalnya

pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah menjadi

pedoman dalam perancangan undang-undangan.” 24

23 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta, 2004, hlm 58. 24 Philipus M. Hadjon, Posisi Sentral Hukum Tata Negara Dalam Proses Legislasi, hlm 2.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

17

Senada dengan Philipus M. Hadjon, menurut A. Hamid S. Attamimi asas-

asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berfungsi untuk:

“… memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi

peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, bagi penggunaan

metode pembentukan yang tepat, dan bagi mengikuti proses dan

prosedur pembentukan yang telah ditentukan.25 Serta bermanfaat bagi

penyiapan, penyusunan, dan pembentukan suatu perundang-undangan.

Kemudian dapat dilakukan oleh hakim untuk melakukan pengujian

(toetsen), agar peraturan – peraturan tersebut memenuhi asas-asas

dimaksud.” 26

Dijadikannya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, akan

memberikan jaminan dalam perumusan norma hukum, yang selanjutnya akan

diformulasikan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, sehingga

tujuan pembentukan dan kualitas dari peraturan perundang-undangan yang

dibentuk dapat dicapai.

Dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

dibedakan menjadi dua sifat yakni yang bersifat formal dan materiil. Asas-asas

yang bersifat formal:27

a) Asas tujuan yang jelas

Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas tujuan yang jelas, akan dapat diterima

oleh semua sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan Negara

Indonesia yang berdasar pada Undang-undang Dasar 1945. Mengingat asas

25 A. Hamid Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang – undangan dan

Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm 312.

26 Ibid., hlm 332. 27 Yuliandri, Op. Cit., hlm 137.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

18

ini akan mengukur sampai seberapa jauh suatu peraturan perundang-

undangan diperlukan untuk dibentuk.28 Van der Vlies, menyatakan bahwa

dengan tujuan yang jelas akan dapat dicapai bila:

“… pembuat undang-undang pertama – tama perlu memberikan uraian

yang cukup mengenai keadaan – keadaan nyata yang ingin diatasi oleh

suatu peraturan. Selanjutnya, perlu dikemukakan perubahan –

perubahan apa yang melalui peraturan itu dikehendaki terjadi atas

situasi nyata yang ada serta harus diuraikan bagaimana ketentuan –

ketentuan dalam peraturan itu akan menimbulkan perubahan –

perubahan tersebut. Dalam uraian itu perlu dimuat ikhtisar mengenai

kebaikan dan keburukan. Masuk akal bahwa pembuat peraturan

mengenal situasi yang ada yang ingin diubahnya”29

Dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, penggambaran

tujuan yang jelas dari pembentukan peraturan perundang-undangan,

dicantumkan dalam bagian konsiderans (menimbang), termasuk pula pada

bagian penjelasan. Tujuan ini memberikan petunjuk bagi setiap orang yang

tersangkut dalam pelaksanaan suatu undang-undang, agar dapat mengetahui

secara lebih mudah tentang maksud pembuat undang-undang. Hal ini

penting, khususnya bilamana terdapat cacat di dalam peraturan yang

bersangkutan ataupun pertentangan dengan ketentuan di dalam peraturan

perundang-undangan yang berbeda;

b) Asas organ/lembaga yang tepat

Asas ini yang menghendaki agar suatu organ dapat memberi penjelasan,

bahwa pembuatan suatu peraturan tertentu memang berada dalam

28 Ibid., hlm 337.

29 Linus Doludjawa, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang – undangan,

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang - undangan, Jakarta, 2005, hlm 39.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

19

kewenangannya. Dilihat dari latar belakangnya, asas organ/lembaga yang

tepat merupakan kelanjutan logis dari asas tujuan yang jelas, karena:

“… jika suatu saat sudah jelas apa yang harus dilakukan, selanjutnya

akan dilihat siapakah yang harus melaksanakannya. Asas ini bertujuan

menjalankan pembagian kewenangan sebagaimana yang telah

ditetapkan secara konstitusional dalam undang-undang dan

yurisprudensi.”30

Di Negara Indonesia, kewenangan pembentukan Undang-undang berada di

tangan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden, dan untuk materi –

materi tertentu juga melibatkan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk

melaksanakan Undang-undang sebagaimana mestinya, Presiden dapat

membentuk Peraturan Pemerintah. Dalam hal kegentingan yang memaksa,

Presiden juga dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (Perpu).31 Aspek lain dari asas organ/lembaga yang tepat, adalah

pembagian kewenangan antara organ pusat dan daerah. Organ daerah juga

diberikan kewenngan untuk membentuk peraturan perundang-undangan

tingkat daerah. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang No. 12 Tahun

2011, Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapatkan

persetujuan bersama oleh DPRD;

c) Asas perlunya pengaturan.

Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif – alternatif lain untuk

menyelesaikan suatu masalah pemerintahan. Asas perlunya pengaturan

30 Ibid., hlm 266.

31 Pasal 20, Pasal 5 dan Pasal 22, Pasal 22D Undang – undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

20

merupakan salah satu hal yang harus dijawab untuk merencanakan

pembentukan undang-undang. Di Negara Indonesia prosedur pembuatan

beberapa bentuk peraturan perundang-undangan lazimnya didahului dengan

menyusun naskah akademik. Naskah akademik merupakan landasan dan

sekaligus arah penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian pembuatan peraturan perundang-undangan pada tahap awal yakni

melalui naskah akademik, maka berlakulah asas perlunya pengaturan yakni

dalam bentuk pertanyaan yang pada intinya apakah mesti dibuat dengan

peraturan perundang-undangan tertentu. Inti dari asas ini dapat ditemukan

pada pendapat Van der Vlies yang mengatakan:

“… apakah peraturan itu memang mendesak (urgen) untuk dibuat, dan

kalau ya, dalam bentuk apa peraturan itu mesti dibuat. Salah satu hal

yang mesti dihindari dalam menentukan urgensi adalah jangan dilihat

segala permasalahan secara berlebihan. Dimaksudkan di sini,

organ/lembaga yang berwenang jangan selalu menganggap bahwa

penyelesaian pelbagai persoalan harus diselesaikan dengan

membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini untuk

menghindarkan kesan berlebihan.”32

d) Asas dapat dilaksanakan

Di dalam asas ini diantaranya menyangkut:

“… jaminan – jaminan bagi dapat dilaksanakannya apa yang dimuat

dalam suatu peraturan. Suatu aturan harus didukung oleh kondisi

sosial yang cukup, sarana yang memadai bagi organ atau dinas yang

32 Linus Dolusdjawa, Op.Cit., hlm 272.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

21

akan melaksanakannya, dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi

yang sesuai.”33

Tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat

ditegakkan. Asas dapat dilaksanakan memberikat jaminan kepada

pemerintah maupun masyarakat yang berharap akan tercapainya hasil suatu

peraturan perundang-undangan;

e) Asas konsensus

Yang dimaksud Konsensus dalam asas ini ialah:

“…adanya ‘kesepakatan’ rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan

menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan. Hal ini mengingat pembentukan peraturan perundang-

undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan –

tujuan yang ‘disepakati bersama’ oleh pemerintah dan rakyat.”34

Menurut A. Hamid S. Attamimi, di Indonesia asas konsensus dapat

diwujudkan dengan:

“…perencanaan yang baik, jelas, serta terbuka, diketahui rakyat mengenai

akibat – akibat yang akan ditimbulkan serta latar belakang dan tujuan –

tujuan yang hendak dicapainya. Hal itu dapat juga dilakukan dengan

menyebarkan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut kepada

masyarakat sebelum pembentukannya.”35

Kemudian asas-asas yang bersifat materiil:

a) Asas terminologi dan sistematika yang jelas

33 A. Hamid, S. Attamimi, Op.Cit., 2015, hlm 339. 34 Ibid., hlm 339.

35 Ibid., hlm 340.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

22

Van der Vlies memberi pertimbangan pentingnya asas ini adalah bahwa agar

supaya peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat,

baik mengenai kata – katanya maupun struktur atau susunannya;36

b) Asas dapat dikenali

Alasan penting asas ini adalah apabila suatu peraturan perundang-undangan

tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang, lebih – lebih oleh yang

berkepentingan, maka ia akan kehilangan tujuan sebagai peraturan;37

c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum

Asas perlakuan yang sama dalam hukum menjadi dasar dari semua

peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tidak boleh

ditujukan kepada suatu kelompok tertentu yang dipilih semaunya, di

dalamnya tidak boleh ada pembedaan semaunya, efek suatu peraturan tidak

boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi) karena hal tersebut akan

mengakibatkan kesewenang – wenangan;

d) Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum menghendaki:

“… agar harapan (ekspetasi) yang wajar hendaknya dihormati,

khususnya ini berarti bahwa peraturan harus memuat rumusan norma

yang tepat, bahwa peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan

peralihan yang memadai, dan bahwa peraturan tidak boleh

diberlakukan surut tanpa alasan yang mendesak.”38

36 Ibid., hlm 341. 37 Ibid., hlm 341.

38 Linus Doludjawa, Op. Cit., hlm 292.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

23

Dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, prinsip

kepastian hukum, juga menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik

yang dibuat dan dilaksanakan. Karenanya, setiap kebijakan publik dan

peraturan perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan

dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan

diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk

mengevaluasinya.

Selain asas-asas di atas, terdapat juga asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang tercantum dalam Bab II Undang-undang No.

12 Tahun 2011 yang dibedakan menjadi asas yang bersifat formil dan materiil.

Asas yang bersifat formil: 39

1) Asas kejelasan tujuan

Merupakan asas yang memberikan pedoman pada setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan dimana dalam setiap pembentukannya harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2) Asas kelembagaan atau pejabat yang tepat

Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga

negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang, misalnya Undang-undang dibentuk oleh DPR bersama dengan

Presiden dan DPD. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat

39 Tanto Lailam, Op. Cit., hlm 95.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

24

dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau

pejabat yang tidak berwenang;

3) Asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan

Asas ini mengandung ketentuan bahwa pembentukan peraturan perundang-

undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

sesuai dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, misalnya

materi muatan undang-undang tidak bisa dimasukkan dalam peraturan

pemerintah, dan lain sebagainya;

4) Asas dapat dilaksanakan

Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus

mempertimbangkan efektivitas peraturan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;

5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan

Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara;

6) Asas kejelasan rumusan

Asas ini mengandung ketentuan bahwa setiap peraturan perundang-

undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan

perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

25

hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya;

7) Asas keterbukaan

Setiap pembentukan undang-undang harus melibatkan masyarakat,

partisipasi masyarakat merupakan perkembangan dalam sistem politik

modern, dalam arti adanya penyediaan ruang publik sebagai tuntutan mutlak

sebagai upaya demokratisasi, sebab mustahil dapat mewujudkan negara

hukum yang demokratis tanpa partisipasi masyarakat.40

Kemudian asas yang bersifat materiil:

1) Asas pengayoman

Merupakan asas yang mengandung ketentuan bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan

untuk menciptakan ketentraman masyarakat;

2) Asas kemanusiaan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan

martabat setiap warga negara negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional;

40 Tanto Lilam, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Prudent Media, Yogyakarta,

2012, hlm 54.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

26

3) Asas kebangsaan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4) Asas kekeluargaan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

5) Asas kenunsantaraan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa

memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan

peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian

dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945;

6) Asas Bhineka Tunggal Ika

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah

serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

7) Asas keadilan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.;

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

27

8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat

hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial;

9) Asas ketertiban dan kepastian hukum

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat

mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian

hukum;

10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

Adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara

kepentingan individu, masyarakat, dan kepentingan bangsa dan negara.

2.2. Asas Otonomi Daerah

2.2.1. Pengertian

Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos”

yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti aturan. Sehingga otonomi diartikan

pengaturan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Berdasarkan Kamus Besar

Bahasa Indonesia otonomi adalah pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi

daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

28

mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya.

Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam kaitan

pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendri.41

Pembicaraan mengenai otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari

percakapan mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan, antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam konteks bentuk negara Indonesia.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: “Negara

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”. Ketentuan konstitusional

itu memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan

pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka negara yang

berbentuk kesatuan (unitary) dan bukan berbentuk federasi (serikat). Oleh karena

itu, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri (otonomi daerah), haruslah diletakkan dalam bingkai

pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi

sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka (6)

pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut

Suparmoko mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut Hanif Nurcholis

41 Ubedilah dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Indonesia Center for

Civic Education, Jakarta, 2000, hlm170.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

29

otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk

mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri

dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonomi sendri adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.42

Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan: “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undag-

undang.” Kemudian pada ayat (2) dikatakan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah

Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai daerah otonom, oleh Pasal

18 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 dikonsepsikan sebagai

Pemerintahan Daerah yang dikenal dengan sebutan provinsi, kabupaten, dan kota.

Disamping itu, selain sebagai daerah yang bersifat otonom, daerah-daerah

dimaksud dapat pula bersifat sebagai daerah yang bersifat khusus atau daerah

otonom istimewa sebagaimana dikatakan pada Pasal 18B Undang-undang Dasar

1945: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah

yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

42 Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2002, hlm 76.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

30

2.2.2. Urgensi Otonomi Daerah

Secara garis besarnya dapat dikatakan, bahwa hadirnya satuan

pemerintahan teritorial yang lebih kecil dalam wilayah negara kesatuan Indonesia,

yaitu Pemerintah Daerah, yang di dalamnya mempunyai kewenangan untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya, dapat dijelaskan dengan beberapa

alasan berikut:43

a) Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern yang lebih

menekankan pada upaya memajukan kesejahteraan umum (welfare state).

Peran demikian membawa konsekuensi pada semakin luasnya campur

tangan negara dalam mengatur dan mengurus aktivitas warga negara demi

pencapaian tujuan negara. Fakta kemajemukan (heterogenitas) masyarakat

Indonesia, baik dari segi teritorial, suku, golongan, dan agama, membawa

konsekuensi kepada kompleksnya persoalan-persoalan kemasyarakatan

yang harus dipecahkan oleh negara. Kenyataan Ini mendorong negara untuk

membuka jalur partisipasi masyarakat untuk ikut memikirkan dan

menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Salah satunya, yaitu dengan

memberikan kesempatan kepada satuan pemerintahan teritoral terdekat

dengan rakyat, yaitu Pemerintah Daerah (local government) untuk terlibat

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah

Daerah itu diberikan kewenangan-kewenangan tertentu untuk mengatur dan

mengurus aktivitas pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya;

43 Krishna D. Darumurti – Umbu Rauta, “Otonomi Daerah: Perkembangan Pemikiran,

Pengaturan dan Pelaksanaan”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 17.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

31

b) Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara

sebagai organisasi kekuasaan, yang di dalamnya terdapat lingkungan-

lingkungan kekuasaan, baik pada tingkat supra struktur maupun

infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari

hal itu, diperlukan pemecahan kekuasaan (dispersed of power). Pemencaran

kekuasaan negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dilakukan

dengan membentuk satuan-satuan teritorial yang lebih kecil dan dekat

dengan rakyat. Satuan teritorial tersebut dikenal dengan sebutan daerah-

daerah besar dan kecil (sebagaimana dimaksud Pasal 18 Undang-undang

Dasar 1945);

c) Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya

kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan

kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya,

merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas

pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.

2.2.3. Sistem Otonomi Daerah

Mengenai sistem otonomi, para ahli menggunakan istilah lain untuk

maksud yang sama bagi penyebutan dan pengertian sistem otonomi.

Koesoemahatmadja menggunakan 2 (dua) istilah sekaligus, yakni sistem (begrip)

dan ajaran (leer). Sementara Tresna juga menggunakan berbagai istilah untuk

maksud yang sama, yaitu sistem, paham dan pengertian. Berbeda dengan mereka,

Liang Gie menggunakan 1 (satu) macam istilah saja, yakni sistem. Namun, yang

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

32

dimaksud olehnya bukan sistem otonmi, melainkan sistem desentralisasi, dengan

alasannya bahwa yang dipersoalkan adalah tata cara pelimpahan wewenang dari

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah menurut suatu prinsip atau pola

pemikiran tertentu.44

Sedangkan istilah yang diperguakan dalam Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 otonomi seluas-luasnya tidaklah disebut sebagai sistem, tetapi

prinsip. Berdasarkan pemahaman bahwa keanekaragaman istilah otonomi

dipergunakan untuk maksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan

acuan pengertian dari sistem otonomi, yakni patokan tentang cara penentuan

batas-batas urusan rumah tangga daerah.

Pada umumnya dikenal 2 (dua) sistem otonomi yang pokok, yaitu: (1)

sistem otonomi materiil, atau pengertian rumah tangga materiil (materiele

huishoudingsbegrip); (2) sistem otonomi formil, atau pengertian rumah tangga

formil (formeele huishoudingsbegrip). Di samping itu, ada juga sistem lain yang

merupakan kompromi antara kedua sistem itu yaitu: (3) sistem otonomi riil, atau

pengertian rumah tangga riil (riele huishoudingsbegrip).

Bila ditilik dari padanan kata “rumah tangga” adalah “huishouding”

(Belanda) yang berarti “inisiatif bebas untuk menjalankan tugas dan kewajiban”,

maka arti kata huishouding tersebut juga berpadanan arti dengan kata otonomi.

Oleh karena itu, kata rumah tangga dapat ditukar (diganti) dengan otonomi.45

Lebih lanjut dari ketiga sistem otonomi daerah dijelaskan sebagai berikut: 46

44 Ibid, hlm 19. 45 Ibid, hlm 20. 46 Ibid, hlm 20.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

33

1) Sistem Otonomi Materiil

Dalam pengertian sistem otonomi materiil, antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas (wewenng dan tanggung

jawab) yang eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang

pembentukan daerah, artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas yang

telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa

yang tidak tercantum dalam undang-undang pembentukan daerah, tidak

termasuk urusan Pemerintah Daerah Otonom, tetapi urusan Pemerintah

Pusat.

Cara penentuan tersebut di atas didasarkan pada keyakinan bahwa ada

perbedaan tugas yang asasi dalam menjalankan usaha-usaha memajukan

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat antara negara dan daerah-daerah

otonom yang lebih kecil. Di sini yang berbeda ialah materi yang menjadi

objek pengurusan dan pengaturan dari masyarakat hukum masing-masing

tersebut di atas. Oleh karena itulah, pengertian ini disebut sebagai sistem

otonomi materiil;

2) Sistem Otonomi Formil

Di dalam pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan sifat

antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan oleh

daerah-daerah otonom. Hal ini berarti apa yang dapat dilakukan negara

(Pemerintah Pusat), pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-

daerah otonom.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

34

Bila ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab), hal itu

semata-mata disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan

praktis, seperti efesiensi penyelenggaraan tugas pelayanan public. Artinya,

pembagian tugas itu tidaklah disebabkan materi yang diatur berbeda

sifatnya, tetapi adanya keyakinan bahwa kepentingan daerah-daerah dapat

lebih baik dan berhasil (lebih efesien) apabila diselenggarakan sendiri oleh

daerah-daerah itu masing-masing daripada oleh Pemerintah Pusat.

Dalam sistem otonomi formil yang demikian tadi, maka tidak terdapat

perbedaan sifat materi yang diurus oleh daerah-daerah sebagai masyarakat

hukum yang lebih kecil dan negara sebagai masyarakat hukum yang lebih

besar. Perbedaan tugas diadakan secara formil dengan membuat bentuk-

bentuk peraturan tertentu. Tugas dari daerah otonom secara normatif tidak

terperinci di dalam undang-undang pembentukannya, tetapi ditentukan

dalam suatu rumusan yang umum saja;

3) Sistem Otonomi Nyata

Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan

kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan

kebutuhan atau kemampuan yang riil dari daerah maupun Pemerintah Pusat

serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi.

Oleh karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini

didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa

konsekuensi bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang

Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, dengan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

35

memperhatikan kemampuan masyarakat daerah untuk mengaturnya dan

mengurunya sendiri. Sebaliknya, tugas yang telah menjadi wewenang

daerah pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu, dapat ditarik kembali

oleh Pemerintah Pusat.

Sistem ini merupakan jalan tengah atau percampuran dari sistem

otonomi materiil dan formil. Dalam arti, sistem ini mengandung anasir-

anasir, baik dari sistem otonomi materiil maupun sistem otonomi formil,

sehingga dapat dikatakan merupakan sistem tersendiri.

2.2.4. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Mengacu pada kaidah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

asas-asas penyelenggaraan Pemerintah Daerah terbagi dalam 3 (tiga) asas, yaitu

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

a) Desentralisasi

Desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu De yang berarti lepas

dan Centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas diri dari pusat.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia. mengenai asas desentralisasi ini dikenal beberapa macam

sistemnya yaitu: 47 (1) desentralisasi politik, adalah pelimpahan kewenangan

dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan

rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang

dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu; (2) desentralisasi

47 Ibid, hlm 12.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

36

fungsional, adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan

mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik

terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya mengurus

kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah

tertentu; (3) desentralisasi kebudayaan (culture decentralisatie) memberikan

hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) untuk

menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama,

dan lain-lain).

Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, macam desentralisasi

yang lebih relevan sebagaimana diutarakan di atas adalah desentralisasi

politik, yaitu pemberian hak dan kewenangan pada badan-badan politik di

daerah-daerah, yaitu badan-badan yang mewakili rakyat dalam suatu daerah

yang didapat karena pemilihan.48 Desentralisasi politik juga mencakup

desentralisasi administrasi di dalamnya. Perlu diingat bahwa salah satu

bagian penting dari administrasi adalah organisasi. Sebuah organisasi selalu

terdiri atas jenjang hirarki. Jenjang hirarki ini ada yang tingkatannya banyak

dan ada yang tingkatannya sedikit. Misalnya, satuan pemerintahan yang

terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Kabupaten/kota.

Pada setiap jenjang hirarki terdapat pejabat yang bertanggung jawab

atas satuan organisasi yang menjadi wewenangnya. Gubernur bertanggung

jawab atas penyelenggaraan pemerintah provinsi. Bupati bertanggung jawab

48 Ibid, hlm 13.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

37

atas penyelenggaraan pemerintah kabupaten. Dan walikota bertanggung

jawab atas penyelenggaraan pemerintahan kota.

Organisasi yang besar dan kompleks seperti Negara Indonesia tak

akan efesien jika semua kewenangan politik dan administrasi dilektakan

pada puncak hirarki organisasi/pemerintah pusat, karena pemerintah pusat

akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup jika hanya

dilimpahkan secara dekonsentratif kepada para pejabatnya di beberapa

wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara

efesien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan politik dan administrasi

perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Jadi

desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari

puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi

dibawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan tersebut (politik dan

administrasi) diserahkan kepada pemerinta daerah.49

Karena jenjang hirarki yang lebih rendah (pemerintah daerah) tersebut

diserahi wewenang penuh, baik politik maupun administrasi, maka pada

jenjang organisasi yang diberi penyerahan wewenang tersebut timbul

otonomi. Otonomi artinya kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah

yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang

bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional;50

49 Hanif Nurcholis, “Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomis Daerah”, PT.

Grasindo, Jakarta, 2005, hlm 7-8.

50 Ibid, hlm 8-9.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

38

b) Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administratif dari

pemerintah pusat kepada pejabatnya yang berada pada wilayah negara di

luar kantor pusatnya. Dalam konteks ini yang dilimpahkan adalah

wewenang administratif bukan politis. Wewenang politis tetap dipegang

oleh pemerintah pusat. Rondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah

penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administratif kepada

cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah.51

Dalam dekonsentrasi tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal

serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat

memiliki semua kekuasaan dalam dirinya sementara pejabat lokal

merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah.

Jadi, dalam dekonsentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi

(implementasi kebijakan politik) sedangkan kebijakan politiknya tetap

berada pada pemerintah pusat. Konsekuensinya, pejabat daerah yang

dilimpahi wewenang bertindak atas nama pemerintah pusat, bukan atas

nama dirinya sendiri yang mewakili pemilihnya;52

c) Tugas Pembantuan

Disamping asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam

penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia juga dikenal medebewind,

tugas pembantuan. Di Belanda medebewind diartikan sebagai pembantu

penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah

51 Ibid, hlm 14. 52 Ibid, hlm 15.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

39

yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah.

Menurut Bagir Manan tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah daerah

di bawahnya berdasarkan undang-undang.

Koesomahatmadja mengartikan medebewind sebagai pemberian

kemungkinan dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang lebih atas

untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang

tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah

tangga daerah yang tingkatannya lebih atas. Dalam menjalankan

medebewind tersebut urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah

daerah masih tetap merupakan urusan pusat/daerah yang lebih atas.53

Menurut Koesomahatmadja dalam sistem medebewind pemerintah

pusat atau daerah otonom yang lebih tinggi menyerahkan urusan yang

menurut peraturan perundang-undangan merupakan kewenangannya, kepada

daerah otonom di bawahnya. Daerah otonom yang diserahi ini lalu

melaksanakannya melalui perangkatnya (dinas-dinas). Dalam melaksanakan

tugas tersebut, aparat pelaksana (dinas-dinas tadi) bertanggung jawab kepada

kepala daerah (zelfuitvoering).54

2.3. Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan

Kata inkonsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak

berkesesuaian, bertentangan atau ketidakselarasan. Dengan demikian

inkonsistensi peraturan perundang-undangan bermakna dikarenakan adanya

pertentangan atau ketidakselarasan antara satu (atau lebih) ketentuan dengan

53 Ibid, hlm 16. 54 Ibid., hlm 17.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

40

ketentuan lainnya yang berlaku dalam suatu sistem peraturan perundang-

undangan. Menurut jenisnya, secara umum pertentangan hukum terbagi atas dua

jenis yakni : (1) Vertical adalah yang terjadi antara suatu peraturan perundang-

undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hirarki yang berbeda;

(2) Horizontal adalah yang terjadi antara peraturan perundang-undangan dengan

peraturan perundang-undangan lain dalam hirarki yang sama.

Dalam suatu sistem hukum penerapan peraturan perundang-undangan

dalam jumlah banyak secara bersamaan sudah tentu membawa konsekuensi

terjadinya inkonsistensi atau pertentangan hukum. Terdapat beberapa faktor yang

mengakibatkan terjadinya pertentangan hukum salah satunya menurut Kusnu

Goesniadhie dimana menurutnya tercermin oleh adanya faktor-faktor sebagai

berikut: 55 (1) Jumlah peraturan perundang-undangan terlalu banyak yang

diberlakukan; (2) Perbedaan kepentingan dan penafsiran; (3) Kesenjangan antara

pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang tata pemerintahan yang baik;

(4) Kendala hukum yang dihadapai dalam penerapan peraturan

perundangundangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan, administrasi

pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum; (5) Hambatan

hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu

yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan.

Untuk mengantisipasi adanya inkonsistensi diperlukan upaya harmonisasi

atau penyelarasan. Dalam arti bahwa harmonisasi merupakan upaya maupun

proses untuk mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang bertentangan, dan

kejanggalan. Istilah harmonisasi dalam kajian berasal dari kata harmoni (bahasa

55 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujukan Tata Pemerintahan Yang

Baik, Nasa Media, Malang, 2010, hlm 11.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

41

Yunani harmonia), yaitu terikat secara serasi dan sesuai. Sementara itu, istilah

harmonized berarti if two or more things harmonize with each other or more thing

harmonizes with the other, the thing go well together and produce an attractive

result, sedangkan istilah harmony, yaitu a state of peacful existence and

agreement.

Menurut Kusnu Goesniadhie arti dari istilah harmoni adalah keselarasan,

keserasian, kecocokan, keseimbangan. Sedangkan arti harmonisasi dalam hukum

menurut LM Gandhi adalah mencakup penyesuaian, peraturan perundang-

undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum,

kepastian hukum keadilan (justice, gerechtigheid) dan kesebandingan (equity,

billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan

mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan. 56

Oleh karena itu, yang dimaksud harmonisasi perundang-undangan adalah

upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan dan keserasian asas dan sistem

hukum sehingga menghasilkan peraturan yang harmonis. Dengan kata lain

pengharmonisan merupakan upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,

menetapkan dan membulatkan konsepsi suatu peraturan perundang-undangan lain

baik yang lebih tinggi (superior), sederajat, maupun yang lebih rendah (inferior)

dan lain-lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara

56 L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum yang Responsif, Orasi Ilmiah

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 14

Oktober 1995).

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

42

sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping).57

Harmonisasi merupakan konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-

undangan. Dengan dilakukan harmonisasi akan tergambar dengan jelas dalam

pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan

bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan,

sehingga normanya saling berkesesuaian.58

Upaya harmonisasi mempunyai fungsi yang menurut Wacipto Setiadi

bahwa selain untuk memenuhi ketentuan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, paling

tidak ada tiga alasan atau fungsi harmonisasi hukum, yaitu: (1)

Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan

kebulatan konsepsi peraturan perundang-undangan; (2) Harmonisasi hukum

dilakukan sebagai upaya prefentif, dalam rangka pencegahan diajukannya

permohonan judicial review peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan

kehakiman yang berkompeten; (3) Menjamin proses pembentukan peraturan

perundang-undangan dilakukan secara taat asas hukum, demi kepentingan dan

kepastian hukum.59

57 Ade Arif Firmansyah dan Malicia Evendia, “Harmonisasi Pengaturan Kewenangan

Daerah Bidang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan” Kanun Jurnal

Ilmu Hukum, No. 65, April 2015, hlm 24.

58 Kusnu Goesniadhie, dalam Tisnanta et all, Kegiatan Sinkronisasi dan Harmonisasasi

Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pendaftaran Tanah, Kerjasama FH Unila-BPN RI,

2012, hlm 6-7. 59 Wacipto Setiadi, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki

Kualitas Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legeslatif Indonesia vol. 4 No. 2. Juni 2007,

hlm 48.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

43

2.4. Hasil Penelitian

2.4.1. Kontradiksi Vertikal

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menandai era baru di bidang

pertambangan. Hal ini ditandai oleh perubahan bentuk pelaksanaan kegiatannya

dimana sebelumnya menganut rezim kontrak kemudian beralih ke rezim izin.

Tidak hanya itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 juga sudah mengakomodir

prinsip otonomi daerah disamping juga sudah memasukan kewajiban-kewajiban

penting bagi pelaku usaha pertambangan seperti kewajiban pemurnian (smelter)

dan divestasi.

Orientasi dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah dengan

memberikan perhatian yang sama terhadap konservasi dan peningkatan porduksi.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 mulai diberlakukan efektif sejak Januari

2010, namun tentu untuk berlakunya menunggu terbentuknya berbagai peraturan

pemerintah dan peraturan menteri sebagai pelaksanaannya sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 sendiri.60

Selama kurun waktu sekitar 4 (empat) tahun, yaitu hingga Oktober tahun

2014 sudah dibentuk 32 peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun

2009 dimana terdiri dari peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Terakhir

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya

disebut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017) serta Permen ESDM Nomor

25 Tahun 2018. Dikeluarkannya peraturan baru tidak menjamin terwujudnya

60 Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambanga: Dibawah Rezim UU Nomor 4 Tahun 2009,

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, hlm 12.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

44

pencapaian baru, justru terkadang menimbulkan masalah baru. Hal ini terjadi pada

ketentuan yang terdapat di dalam Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 terhadap

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (vertical).

Ketentuan Pasal 60 Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 melanggar

batasan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 karena

mengatur mengenai divestasi. Pasal 127 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

yang menyebutkan bahwa pengaturan lebih lanjut yang dapat diatur oleh

peraturan menteri adalah kententuan yang tercantum pada Pasal 124, 125, dan 126

mengenai Usaha Jasa Pertambangan. Berdasarkan pemaparan inkonsistensi yang

terjadi, maka perlu upaya harmonisasi, karena ketidakselarasan yang terjadi antara

suatu ketentuan dengan ketentuan yang lainnya dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum.

Secara umum asas hukum bertujuan untuk memberikan pedoman atau

arahan yang layak/pantas dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan

hukum. Pedoman demikian memberikan landasan mana hukum yang dapat dan

boleh dijalankan. Mengutip O. Notohamidjojo, dapat dijelaskan: “… asas-asas

hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah (richtlijn) dalam pembentukan hukum

positif, dalam arti asas-asas hukum yang berguna bagi praktik hukum.”61 Dalam

kaitannya dengan pembentukan perundang undangan, penulis sependapat dengan

Philipus M. Hadjon yang mengemukakan bahwa:

“… pada hakikatnya asas peraturan perundang-undangan yang

baik berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan

hukum, maupun sebagai dasar pengujian terhadap hukum yang

berlaku. Dengan demikian, dari segi pembentukan aturan hukum

61 Notohamidjojo, Keadilan dan Kemanusiaan (Beberapa Bab dari Filsafat Hukum), BPK

Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm 49-50.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

45

misalnya pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah

menjadi pedoman dalam perancangan undang-undang.” 62

Penulis menggunakan pendapat dari Philipus M. Hadjon dimana kalimat

“sebagai dasar pengujian terhadap hukum yang berlaku” merupakan landasan

penggunaan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagai

dasar pengujian terhadap inkonsistensi yang terjadi antara Undang-undang Nomor

4 Tahun 2009 dengan Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan mengandung

ketentuan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan. Asas ini memberikan pedoman terhadap materi

yang dapat dimuat harus sesuai dengan jenis dan hierarki dari peraturan

perundang-undangan yang akan dibentuk.

Berkaitan isu pada subbab ini, penulis mengartikan jenis dan hierarki

Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tidak berdasarkan jenis dan hierarki secara

umum yakni keseluruhan produk peraturan perundang-undangan sebagaimana

yang dijelaskan dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 12

Tahun 2011), melainkan lebih khusus yakni berdasarkan Pasal 127 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menyebutkan: “Ketentuan lebih lanjut

mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.”

62 Philipus M. Hadjon, Op Cit., 1994, hlm 2.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

46

Pasal tersebut memberikan arti bahwa Permen ESDM Nomor 25 Tahun

2018 dilihat dari jenis dan hierarkinya berkedudukan sebagai peraturan pelaksana

dimana ketentuan materi muatan di dalamnya mengatur mengenai

penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

124, Pasal 125, dan Pasal 126. Berdasarkan Pasal 124 ayat (3) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan jenis usaha jasa pertambangan meliputi: (a)

konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: (1)

penyelidikan umum; (2) eksplorasi; (3) studi kelayakan; (4) konstruksi

pertambangan; (5) pengangkutan; (6) lingkungan pertambangan; (7)

pascatambang dan reklamasi; dan/atau (8) keselamatan dan kesehatan kerja. (b)

konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang: (1) penambangan;

atau (2) pengolahan dan pemurnian. Dalam ayat tersebut tidak mencantumkan

sama sekali mengenai divestasi sebagai bagian dari jenis usaha jasa

pertambangan. Perlu diketahui divestasi saham sendiri adalah jumlah saham asing

yang harus ditawarkan untuk dijual kepada Peserta Indonesia. Kewajiban divestasi

ditujukan khusus untuk kegiatan usaha pertambangan yang modalnya berasal dari

saham asing (investor). Divestasi saham merupakan kewajiban bagi pemegang

IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi yang sahamnya mayoritas

dimiliki oleh investor asing. Dengan demikian, divestasi saham bukalah bagian

dari kegiatan Usaha Jasa Pertambangan dikarenakan izinnya sendiri berbeda yakni

Izin Usaha Jasa Pertambangan.

Dari pemaparan diatas, letak inkonsistensi yang terjadi tidak pada hierarki,

melainkan pada jenis dan materi muatan. Hal ini dikarenakan batasan pada Pasal

127 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 membenarkan kedudukan atau hierarki

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

47

dari Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksanaannya. Dikatakan melanggar

jenis dan materi muatan dikarenakan tidak seharusnya ketentuan mengenai

divestasi diatur dalam bentuk Peraturan Menteri, melainkan Peraturan Pemerintah.

Hans Kelsen dalam teorinya mengenai Stufenbau des Recht atau The

Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan

berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari kaidah

yang lebih tinggi.63 Menurut pandangan Hans Kelsen hukum adalah sah (valid)

apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang serta berdasarkan

norma yang lebih tinggi sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat

dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang –

jenjang serta berlapis – lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian

seterusnya.

Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dapat

ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar

1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang

Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk Undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-undang

Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan

undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan ini

ditindaklanjuti dengan pemebentukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

63 Ni’ matul Huda, Op. Cit., hlm 23.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

48

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 diatur mengenai sistem

peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis. Hierarki tersebut

dapat ditemukan dalam beberapa rumusan pasal sebagai berikut: Pasal 7 ayat (1)

dan Pasal 8 ayat (1) dan (2). Pasal 7 ayat (1) menyebutkan: “Jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-Undang Dasar 1945; (b)

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan

Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.”

Kemudian Pasal 8 ayat (1): “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,

atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Kemudian ayat (2):

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.”

Hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

undang Dasar 1945 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

49

undang Nomor 12 Tahun 2011 di atas. Hirarki atau tata urutan peraturan

perundang-undangan tersebut mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum

peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7

ayat (2), yang berbunyi: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai

dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Dengan ketentuan ini maka telah jelas diatur kekuatan hukum dan

kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi

peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-

undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan

peraturan perundangan di atasnya. Dalam hal ini berlaku asas lex superior delogat

legi inferiori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

mengesampingkan/ mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah.

Mengenai peraturan menteri (selanjutnya disebut permen), perihal

posisinya dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang tidak disertakan

secara jelas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Untuk itu, penulis

menilai posisi hierarkinya berdasarkan fungsi dari permen. Menurut penjelasan

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud permen

adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Sesuai dengan tugas

dan fungsi seorang Menteri menurut Pasal 17 Undang-undang Dasar 1945, maka

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

50

fungsi dari permen adalah sebagai berikut:64 (a) Menyelenggarakan pengaturan

secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di

bidangnya; (b) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Peraturan Presiden. Oleh karena fungsi permen di sini sifatnya delegasian dari

Peraturan Presiden, maka permen di sini sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut

dari kebijakan yang oleh Presiden dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden;

(c) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang

yang tegas-tegas menyebutnya; (d) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya.

Berdasarkan fungsi tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa posisi

dari permen dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai

peraturan pelaksana atau peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan yang

berada diatasnya Peraturan Presiden atau lebih tinggi. Hal berarti menempatkan

permen dibawah Peraturan Presiden.

Berkaitan dengan inkonsistensi yang terjadi antara Permen ESDM Nomor

25 Tahun 2018 dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Peraturan Menteri

sebagai peraturan perundang-undangan delegasian (delegated legislation) atau

secondary legislation dari suatu undang-undang pada prinsipnya mengatur lebih

lanjut materi yang diatur dalam undang-undang yang mendelegasikannya. Pada

prinsipnya peraturan perundang-undangan hanya mungkin dicabut oleh peraturan

perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi. Secara hierarki,

kedudukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan

Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018. Maka penulis berpendapat bahwa pilihan

64 King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-undangan dan Aspek Pengujiannya,

Thafa Media, Yogyakarta, 2017, hlm 80.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

51

harmonisasi yang dapat ditempuh adalah dengan memberlakukan asas lex

superior derogat legi inferiori, dengan mengenyampingkan Pasal 60 Permen

ESDM Nomor 25 Tahun 2018 dan tetap berpedoman pada Pasal 112 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memberikan batasan bagi pengaturan lebih

lanjut mengenai divestasi hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah yakni melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

2.4.2. Kontradiksi Horizontal

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai

hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.65

Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang

(competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari

undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan,

artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-

undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang disebutkan di dalam

kewenangan itu. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan

diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan

atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-

undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal

dari pelimpahan.66

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata Negara dan hukum administrasi. Hal ini dikarenakan setiap tindakan

65 Tim Bahasa Pustaka, 1996. Hlm 1128. 66 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan

Pemerintahan Yang Bersih. disampaikan pada Pidato pengukuhan Guru besar di FH UNAIR 10

Oktober 1994, hlm 4.

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

52

pemerintah diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa

adanya kewenangan yang sah maka seorang pejabat atau badan tata usaha negara

tidak dapat melaksanakan suatu tindakan pemerintahan. Begitu juga kewenangan

dalam pengelolaan pertambangan minerba dimana kewenangan tersebut terbagi

antara pemerintah pusat dan daerah yang dilakukan dengan menerbitkan izin.

Kewenangan daerah dalam pengelolaan pertambangan minerba salah satunya

dilakukan dengan menerbitkan izin pertambangan mineral bukan logam dan

batuan, yang biasanya disebut Izin Pertambangan Rakyat atau pertambangan

rakyat. Kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan ini diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan

kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum

nasional dan kepentingan umum. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah

undang-undang yang dibentuk untuk mengatur kewenangan Pemerintah Daerah

baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Salah satu kewenangan tersebut

adalah berkenaan dengan pemberian izin usaha pertambangan dalam bentuk Izin

Pertambangan Rakyat, yang merupakan izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan

investasi terbatas.

Dalam Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan

Sumber Daya Mineral yang terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

disebutkan bahwa kewenangan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat untuk

komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

53

wilayah pertambangan rakyat adalah kewenangan pemerintah provinsi. Adapun

rincian kewenangan tersebut adalah sebagai berikut: (a) Penetapan wilayah izin

usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam 1 (satu) Daerah

provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil; (b) Penerbitan izin usaha

pertambangan mineral logam dan batubara dalam rangka penanaman modal dalam

negeri pada wilayah izin usaha pertambangan Daerah yang berada dalam 1 (satu)

Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12 mil laut; (c) Penerbitan

izin usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam rangka

penanaman modal dalam negeri pada wilayah izin usaha pertambangan yang

berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi termasuk wilayah laut sampai dengan 12

mil laut; (d) Penerbitan Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral

logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan

rakyat; (e) Penerbitan izin usaha pertambangan operasi produksi khusus untuk

pengolahan dan pemurnian dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang

komoditas tambangnya berasal dari (satu) Daerah provinsi yang sama; (f)

Penerbitan izin usaha jasa pertambangan dan surat keterangan terdaftar dalam

rangka penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu)

Daerah provinsi; (g) Penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan.

Hal ini berbeda dengan ketentuan pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 4

Tahun 2009, kewenangan pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas

mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah

pertambangan rakyat merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

Adapun rincian mengenai ketentuan tersebut sebagai berikut: (1) Kewenangan

pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

54

batubara, antara lain, adalah: (a) pembuatan peraturan perundang-undangan

daerah; (b) pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat,

dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah

laut sampai dengan 4 (empat) mil; (c) pemberian IUP dan IPR, pembinaan,

penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi

produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah

laut sampai dengan 4 (empat) mil; (d) penginventarisasian, penyelidikan dan

penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral

dan batubara; (e) pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan

batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten /kota; (f)

penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah

kabupaten/kota; (g) pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat

dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; (h)

pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha

pertambangan secara optimal; (i) penyampaian informasi hasil inventarisasi,

penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada

Menteri dan gubernur; (j) penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam

negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; (k) pembinaan dan pengawasan

terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan (l) peningkatan kemampuan

aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha

pertambangan.

Berdasarkan kedua ketentuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 jelas terjadi inkonsistensi mengenai

kewenangan daerah dalam pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

55

mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah

pertambangan rakyat dimana berdasarkan Lampiran Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang terdapat pada

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 kewenangan tersebut menjadi milik

Pemerintah Daerah provinsi namun berbeda dengan Undang-undang Nomor 4

Tahun 2009 dimana di dalam Pasal 8 dikatakan secara jelas kewenangan tersebut

merupakan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Inkonsistensi ketentuan antar undang-undang yang mengatur kewenangan

pemberian Izin Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara,

mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat tentu saja

membawa dampak negatif bagi kegiatan pengelolaan pertambangan. Oleh karena

itu diperlukan upaya harmonisasi untuk mengantisipasi adanya pertentangan

ketentuan antar undang-undang yang mengatur kewenangan pemberian Izin

Pertambangan Rakyat untuk komoditas mineral logam, batubara, mineral bukan

logam dan batuan dalam wilayah pertambangan rakyat karena jika tidak, kondisi

ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan Lampiran

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang

terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan produk aturan

yang secara hierarki sejajar, untuk itu penulis menggunakan Pasal 18 angka (2)

Undang-undang Dasar 1945 sebagai titik awal pembahasan dikarenakan relevansi

dan kedudukannya diatas kedua undang-undang tersebut yakni sebagai

Staatsgrundgesetz. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 mengenai

Pemerintah Daerah menyebutkan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten,

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

56

dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan.” Kemudian pada angka 5 dikatakan bahwa

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintahan”67

Lebih lanjut mengenai otonomi daerah itu diatur dalam bentuk Undang-

Undang dimana untuk pembagian urusan itu terdapat dalam Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2014. Pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 menyebutkan:

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat

daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip

otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Kalimat “otonomi seluas-luasnya” mempunyai arti bahwa daerah diberikan

keleluasaan atau penyerahan wewenang (desentralisasi) untuk mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah

sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang. Pemberian otonomi yang

seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat.

Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan

berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya

ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada

67 Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Bab VI, Pasal 18 angka (2) dan (5).

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

57

kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan

kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada

negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.

Terdapat dua bentuk cara penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah pusat kepada daerah yakni: (1) Ultra vires doctrine yaitu pusat

menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara

merinci satu per satu. Sisa wewenang dari wewenang yang diserahkan kepada

daerah otonom secara terperinci tersebut tetap menjadi wewenang pusat; (2) Open

end arrangement atau general competence yaitu daerah otonom boleh

menyelenggarakan semua urusan di luar dimiliki pusat. Artinya, pusat

menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah untuk menyelenggarakan

kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan

pusat. Di sini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang

diserahkan ke daerah. Bentuk yang pertama merupakan bentuk penyerahan

wewenang yang terdapat pada sistem otonomi materiil. Sedangkan yang kedua

merupakan bentuk penyerahan wewenang pada sistem formil.

Jika melihat model yang dianut oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 maka lebih condong pada sistem otonomi formil dimana dalam penyerahan

wewenangnya menganut model open end arrangement atau general competence.

Hal ini tercermin pada Pasal 10 yang merinci urusan mutlak yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat yaitu: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c)

keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiscal nasional; (f) agama. Sedangkan

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

58

urusan diluar dari ketentuan tersebut pada prinsipnya dapat menjadi kewenangan

daerah.

Dasar pelaksanaan prinsip otonomi daerah terdapat pada Pasal 9 angka (4)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan: “Urusan

pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan

Otonomi Daerah.” Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat

ketentuan yang mengatur mengenai urusan penyelenggaraan pemerintahan.

Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah

urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,

urusan pemerintahan konkuren adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota, dan urusan

pemerintahan umum adalah urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan konkuren

antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan

Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup

Urusan Pemerintahan tersebut.

Perlu diketahui bahwa kewenangan daerah dalam kegiatan pengelolaan

sumber daya mineral berada dalam Urusan Pemerintahan Pilihan yang merupakan

sub urusan dari Urusan Pemerintahan Konkuren sehingga fokus penulis hanya

pada urusan pemerintahan konkuren dikarenakan urusan pemerintahan absolut

dan urusan pemerintahan umum bukanlah urusan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Daerah. Dalam urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

59

Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan

Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua

Daerah. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang

berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan

dengan Pelayanan Dasar. Tafsiran mengenai Pelayanan Dasar sendiri jika

mengacu Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 meliputi: (a)

Pendidikan; (b) Kesehatan; (c) Pekerjaan umum dan penataan ruang; (d)

Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman; (e) Ketenteraman, ketertiban umum,

dan pelindungan masyarakat; (f) Sosial.

Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar mengacu pada Pasal 12 ayat (2) meliputi: (a) Tenaga kerja; (b)

Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; (c) Pangan; (d) Pertanahan; (e)

Lingkungan hidup; (f) Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; (g)

Pemberdayaan masyarakat dan Desa; (h) Pengendalian penduduk dan keluarga

berencana; (i) Perhubungan; (j) Komunikasi dan informatika; (k) Koperasi, usaha

kecil, dan menengah; (l) Penanaman modal; (m) Kepemudaan dan olah raga; (n)

Statistik; (o) Persandian; (p) Kebudayaan; (q) Perpustakaan; (r) Kearsipan.

Kemudian Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang

wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.

Mengacu pada Pasal 12 ayat (3) menjabarkan urusan yang termasuk dalam

kategori Urusan Pemerintahan Pilihan yakni meliputi: (a) Kelautan dan perikanan;

(b) Pariwisata; (c) Pertanian; (d) Kehutanan; (e) Energi dan sumber daya mineral;

(f) Perdagangan; (g) Perindustrian; (h) Transmigrasi.

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

60

Dengan dimasukannya urusan energi dan sumber daya mineral pada Pasal

12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 kedalam kategori urusan Pemerintahan

Pilhan yang merupakan salah satu sub urusan pemerintahan konkuren, maka

Pemerintah Daerah mempunyai hak untuk ikut serta mengelola sumber daya alam

sebagai bagian dari urusan rumah tangganya. Namun hal ini tidak menjadikan

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan sumber

daya alam. Terdapat ketentuan yang mengatur kriteria pembangian urusan

pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan

kabupaten/kota.

Pembagian kriteria Urusan Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 13 ayat

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Kriteria Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat berdasarkan ayat (2) meliputi: (a) Urusan

Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (b) Urusan

Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; (c)

Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

provinsi atau lintas negara; (d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber

dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau (e)

Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

Kemudian Kriteria Urusan Pemerintah Daerah yang menjadi kewenangan

Daerah provinsi berdasarkan ayat (3) meliputi: (a) Urusan Pemerintahan yang

lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang

penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan Pemerintahan yang

manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau (d)

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

61

Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah Provinsi.

Sedangkan Kriteria Urusan Pemerintah Daerah yang menjadi kewenangan

Daerah kabupaten/kota berdasarkan ayat (4) meliputi: (a) Urusan Pemerintahan

yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang

penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan Pemerintahan yang

manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau

(d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Jika melihat ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 dan membandingkannya dengan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur Izin Pertambangan Rakyat, maka bentuk

Izin Pertambangan Rakyat akan lebih condong masuk dalam kriteria Pasal 13 ayat

(4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Penulis mempunyai 2 (dua)

pertimbangan. Pertama, dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun

2009 menyebutkan: “Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk

setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.”

Dalam ayat tersebut memberikan kekhususan kepemilikan dari Izin

Pertambangan Rakyat dengan mengutamakan penduduk setempat (baik

perseorangan, kelompok dan/atau koperasi). Hal ini sejalan dengan Pasal 13 ayat

(4) huruf (c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dimana pengaturan Pasal 67

ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dimaksudkan memberikan manfaat

bagi masyarakat setempat di wilayah daerah kabupaten/kota.

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

62

Kedua, mengenai letak atau lokasi dari WPR atau Wilayah Pertambangan

Rakyat. Pasal 21 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan: “WPR

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.”

Berdasarkan pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa letak lokasi

pertambangan rakyat berada di dalam wilayah suatu kabupaten/kota dikarenakan

penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan oleh bupati/walikota setelah

berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis berpendapat bahwa

kewenangan pemerintah provinsi pada Lampiran Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan asas otonomi karena memangkas

peran negara dalam pengelolaan sumber daya mineral pada tingkat terendah yakni

kabupaten/kota dengan meniadakan urusan yang secara undang-undang (dan

sebagai dasar pelaksanaan asas otonomi dengan sistem formil) memenuhi kriteria

sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.

Pilihan pengharmonisasian yang penulis berikan adalah berdasar pada

prinsip-prinsip yang menjadi dasar pembagian urusan pemerintahan

(akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas) dalam Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 dan sifat dari Izin Pertambangan Rakyat (Pasal 21 dan 67 ayat (1)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009). Berkaitan dengan prinsip pembagian

urusan pemerintahan pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa:68 (1)

Prinsip akuntabilitas adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu Urusan

68 Republik Indonesia, Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintah Daerah, pasal 13 ayat (1).

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

63

Pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan

jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu Urusan

Pemerintahan; (2) Prinsip efisiensi adalah penyelenggara suatu Urusan

Pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling

tinggi yang dapat diperoleh; (3) Prinsip ekstrenalitas adalah penyelenggara suatu

Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan

dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan.

Pada prinsip akuntabilitas dan prinsip eksternalitas dalam menentukan

penanggungjawab penyelenggaraan/penyelenggara adalah berdasarkan pada luas,

besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan. Dalam kaitannya dengan Izin

Petambangan Rakyat adalah izin yang dikeluarkan untuk skala pertambangan

kecil (rakyat). Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah untuk 1 (satu) Izin

Pertambangan Rakyat yang hanya berkisar antara 1 (satu) hingga 10 (sepuluh)

hektare dan luas total dari 1 (satu) Wilayah Pertambangan Rakyat hanya 25 (dua

puluh lima) hektare. Dengan demikian jangkauan dampak dari izin tersebut

terbatas yakni hanya bersifat lokal. Oleh karena akan lebih tepat jika

bupati/walikota sebagai penanggungjawab penyelenggaraan dari izin tersebut.

Sedangkan prinsip efesiensi berpangkal pada tingkat daya guna yang

paling tinggi yang dapat diperoleh. Pada Izin Pertambangan Rakyat Pasal 67 ayat

(1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 memberikan kekhususan kepemilikan

dari Izin Pertambangan Rakyat dengan mengutamakan penduduk setempat (baik

perseorangan, kelompok dan/atau koperasi). Hal ini bukan tanpa alasan, jika

melihat luas wilayah untuk 1 (satu) Izin Pertambangan Rakyat yang hanya

berkisar antara 1 (satu) hingga 10 (sepuluh) hektare kemudian juga luas dari

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN ......Pemahaman, Pidato disampaikan pada upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta,

64

Wilayah Pertambangan Rakyat hanya 25 (dua puluh lima) hektare dengan

kedalaman maksimal 25 (dua pulih lima) meter maka dapat disimpulkan bahwa

model dari Izin Pertambangan Rakyat adalah model investasi pertambangan yang

sifatnya terbatas, artinya bahwa modal yang dimiliki oleh pemegang Izin untuk

mengusahakan kegiatan penambangan rakyat tidak terlalu banyak. Maka dengan

demikian tingkat daya guna yang paling tinggi (baik itu kemampuan

mendatangkan hasil dan melaksanakan urusan) yang dapat diperoleh ada pada

skala lokal atau kedaerahan tidak lintas daerah atau bahkan nasional. Oleh karena

itu akan lebih tepat jika kewenangan izin berskala kecil tersebut diberikan kepada

satuan pemerintahan Kabupaten/Kota.

Kecocokan antara prinsip pembagian urusan pemerintahan (akuntabilitas,

efisiensi, dan eksternalitas), dan sifat dari Izin Pertambangan Rakyat menjadi

landasan bagi penulis untuk memilih mengesampingkan Lampiran Pembagian

Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang terdapat

pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan tetap berpedoman pada

ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur wewenang

kabupaten/kota atas Izin Pertambangan Rakyat.